17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penulisan dalam penelitian ini selain meneliti secara langsung namun juga
membutuhkan adanya referensi dari beberapa sumber salah satunya adalah
penelitian terdahulu yang mempunyai beberapa persamaan terkait dengan judul
dan fokus dari penelitian ini. Hal tersebut dikarenaka untuk dapat membuktikan
bahwa metode atau rumus yang digunakan pernah digunakan untuk melakukan
pengujian dalam suatu penelitian sehingga data yang nantinya diperoleh akan
mengarah kepada data yang valid.
Untuk melihat pengaruh potensi retribusi pasar terhadap realisasi pungutan
retribusi pasar dapat diteliti dengan metode kuantitatif. Dapat dilihat pada tabel di
bawah ini rincian dari penelitian terdahulu terkait nama dan tahun penelitian,
judul penelitian, metode dan variabel yang digunakan serta hasil dari penelitian
tersebut.
17
18
Tabel 4: Penelitian Terdahulu
No. Nama dan Tahun
Penelitian
Judul Penelitian Metode dan Variabel
Penelitian
Hasil Penelitian
1. Bambang Tri Atmojo, 2004 Analisis Faktor-
Faktor Yang
Mempengaruhi
Penerimaan
Retribusi Pasar di
Kabupaten Batang
Pada Tahun 1998-
2002
Metode penelitian
deskriptif dengan
pendekatan
kuantitatif
Analisis regresi linier
berganda dengan
variabel X:
(1) Jumlah pedagang
(2) Jumlah kios
(3) Jumlah los
Variabel Dependen adalah Retribusi
Pasar dan Variabel Independen adalah
jumlah los, jumlah kios, jumlah
pedagang.
Menggunakan analisis regresi linier
berganda dan uji t. hasilnya terdapat
pengaruh positif jumlah pedagang,
jumlah kios, dan jumlah los terhadap
penerimaan retribusi pasar.Perhitungan.
Uji t menunjukkan hasil thit > ttab untuk
19
Variabel Y:
(1)Penerimaan
retribusi pasar
seluruh variabel yaitu tX1 = 32,046 >
ttab = 3,182, tX2 = 108,637 > ttab =
3,182 dan tX3 = 79,180 > ttab = 3,182
yang berarti bahwa masing- masing
variabel berpengaruh positif.
2. Arizaldy, 2009 Analisis Faktor-
Faktor yang
Mempengaruhi
Efektifitas
Penerimaan
Retribusi
Pasar Di Kota
Yogyakarta
Metode penelitian
deskriptif dengan
pendekatan
kuantitatif
Analisis regresi linier
berganda dengan
variabel X:
(1) Jumlah pedagang,
(2) Luas kios,
Jumlah pedagang, luas kios, luas los,
dan luas dasaran terbuka, efisiensi
pemungutan dan efektivitas pemungutan
terbukti berpengaruh signifikan secara
statistik terhadap penerimaan retribusi
pasar di Kota Yogyakarta.
20
(3) Luas los,
(4) Luas dasaran
terbuka,
(5)Efisiensi
pemungutan
(6)Efektivitas
pemungutan
Variabel Y:
(1)Penerimaan
Retribusi Pasar
3. Winarni Utami. 2010
Potensi Retribusi
Pasar Dalam
Meningkatkan
Pendapatan Asli
Metode Penelitian
Deskriptif Kuantitatif
Variabel:
(1) PAD,
Dari empat pasar yang dijadikan sampel
besaran penerimaan retribusi pasar
hanya 24,16% dari jumlah potensi yang
ada.
21
Daerah Kabupaten
Tulungagung
(2) Retribusi Pasar
(kios/ los dan
pelataran, tarif
retribusi pasar)
Menggunakan rumus
penghitungan
potensi penerimaan
retribusi pasar,
efektivitas
pemungutan retribusi
pasar, dan proyeksi
beberapa tahun
kedepan
Efektivitas pemungutan retribusi pasar
paling baik terjadi pada tahun 2004 yaitu
sebesar 111,62% dari target.
Proyeksi untuk 5 tahun kedepan mulai
tahun 2010 sampai dengan tahun 2014
cenderung mengalami peningkatan
terbukti dengan hasil pengujian analisis
trend.
4. Ardana Indra Permana. 2013 Analisis Metode analisis Hasil analisis regresi menunjukkan
22
Penerimaan
Retribusi Pasar Di
Kota Semarang
menggunakan
deskriptif kualitatif
dan kuantitatif
statistik serta regresi
linier berganda
Variabel:
(1)Realisasi
penerimaan retribusi
pasar
(2) PDRB perkapita
(3) Jumlah penduduk
(4) Laju inflasi
bahwa Variabel jumlah penduduk
mempunyai pengaruh positif yang
signifikan terhadap penerimaan retribusi
pasar. Kenaikan jumlah penduduk akan
meningkatkan penerimaan retribusi
pasar. Hal ini dapat dilihat dari besarnya
nilai koefisien positif sebesar 1999,655
dan t hitung sebesar 2,056 dengan
signifikansi sebesar 0,048 < 0,05. Nilai
signifikansi tersebut lebih kecil dari
0,05.
Variabel PDRB Perkapita mempunyai
pengaruh positif yang signifikan
terhadap penerimaan retribusi pasar.
23
Kenaikan jumlah PDRB Perkapita akan
menaikkan penerimaan retribusi pasar.
Hal ini dapat dilihat dari besarnya
koefisien nilai positif sebesar 382,998
dan t hitung sebesar 6,288 dengan
signifikansi sebesar 0,000 < 0,05. Nilai
signifikansi tersebut lebih kecil dari
0,05.
Variabel laju inflasi tidak mempunyai
pengaruh positif signifikan terhadap
penerimaan retribusi pasar.Hal ini dapat
dilihat dari nilai koefisien negatif
sebesar -15284811,273dan t hitung
sebesar -1,311 dengan signifikansi
24
sebesar 0,199 > 0,05.Nilai signifikansi
tersebut lebih besar dari 0,05.
5. Tilawatil Ciseta Yoda. 2014 Analisis Faktor-
Faktor Penyebab
Rendahnya
Penerimaan
Retribusi Pasar Di
Kota Padang
Kuantitatif dengan
Jenis penelitian
Confirmatory
Factor Analysis
(CFA)
Variabel:
(1) Sumber
Daya Manusia,
(2) Pengelolaan
(manajemen),
(3) Regulasi,
(4) Pengawasan,
Data dari Dinas Pasar setelah dilakukan
pengujian beberapa variabel seeprti
sumber daya manusia, pengelolaan, dan
regulasi mempunyai beberapa indikator
yang memberikan pengaruh positif
terhadap rendahnya penerimaan retribusi
pasar di Kota Padang. Sedangkan
variabel pengawasan, kesadaran wajib
retribusi dan sarana prasarana tidak
berpengaruh positif terhadap rendahnya
penerimaan retribusi pasar di Kota
Padang.
25
(5) Kesadaran
wajib retribusi,
(6) Sarana dan
prasarana.
Data dari pedagang setelah dilakukan
pengujian menunjukkan bahwa variabel
sumber daya manusia, pengelolaan, dan
regulasi berpengaruh positif terhadap
rendahnya penerimaan retribusi pasar di
Kota Padang. Sedangkan variabel
pengawasan, kesadaran wajib retribusi
dan sarana prasarana tidak berpengaruh
positif terhadap rendahnya penerimaan
retribusi pasar di Kota Padang.
6. Pingkan Feiby Tambuwun,
Vecky Masinambow, dan
Wensy Rompas. 2014
Analisis Rteribusi
Pasar Di Kota
Manado Tahun
2004-2013
Kuantitatif dengan
metode analisis
regresi berganda
Variabel:
Pengujian regresi menunjukkan bahwa
swalayan signifikan sehingga konsumen
pasar tradisional menjadi berkurang
menyebabkan terjadinya tuntutan
26
Bebas:
(1) Jumlah Swalayan,
(2) Pedagang Pasar
Tradisional
Terikat:
(1) Retribusi Pasar
perbaikan lingkungan pasar untuk
menarik konsumen kembali.
Pengujian regresi menunjukkan bahwa
pedagang pasar tradisional signifikan
tetapi berpengaruh negatif dikarenakan
tidak seluruhnya penerimaan retribusi
pasar berasal dari pedagang saja
melainkan dari penerimaan lainnya.
7. Octaviana Candra Dewi,
Nugroho SBM.
http://ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/jme
Volume 3, Nomor 1 Tahun
2014, Halaman 1-12
Analisis Kinerja
Penerimaan
retribusi Pasar Di
Kabupaten Sleman
Tahun 2006-2010
Metode Penelitian
Campuran Antara
Kualitatif dan
Analisis SWOT
Menggunakan rumus
menghitung potensi
Tingkat efektivitas penerimaan retribusi
pasar di Kabupaten Sleman termasuk
tidak efektif. Hal ini disebabkan karena
jumlah realisasi penerimaan retribusi
pasar di Kabupaten Sleman masih jauh
dari potensi yang ada. Untuk hasil
27
pasar dan efektivitas
penerimaan
Variabel yang
menjadi sasaran
analisis SWOT
adalah petugas
pemungut, pedagang,
dan Dinas Pasar
analisis SWOT diketahui bahwa SKPD
Dinas Pasar Kabupaten Sleman berada
pada kuadran I pada diagram SWOT
yaitu berada pada kuadran pertumbuhan
(Growth) dengan angka diatas rata-rata
untuk sumbu 27orizont (peluang bisnis)
sebesar 2,79, dan sumbu 27orizontal
(kekuatan) sebesar 2,44.
8. Bayu Setyo Sasongko,
Rafael Purtomo, dan Regina
Niken W.
2014
Analisis
Pengelolaan
retribusi Pasar Di
Kabupaten Jember
Metode Penelitian
Kuantitatif
Variabel:
(1) PAD
(2) Pola dan struktur
pertumbuhan
Kontribusi sektor retribusi masing –
masing pasar Kabupaten Jember
terhadap penerimaan total retribusi pasar
di Kabupaten Jember sangat
berpengaruh meskipun nilai
kontribusinya masih kecil.
28
ekonomi daerah
Menggunakan alat
analisis proporsi,
efektivitas, tipologi
klassen, dan analisis
SWOT
Realisasi penerimaan retribusi pasar di
Kabupaten Jember selalu mencapai
target yang ditetapkan, dengan rata –
rata pencapaian sebsar 108, 09 persen
selama kurun waktu 2008 – 2012.
Hasil analisis tipologi klassen dari tahun
2013 – 2014 diperoleh empat klasifikasi
wilayah meliputi: Kuadran I termasuk
daerah cepat maju dan cepat tumbuh
yaitu Pasar Rambipuji, Bangsalsari,
Tanggul, Balung, Ambulu, Kalisat.
Kuadaran II termasuk daerah maju tapi
tertekan yaitu Pasar Tanjung dan Pasar
Gebang. Kuadaran III termasuk daerah
29
berkembang cepat yaitu Pasar Kreongan,
Patrang, Sukorejo, Bungur, Burung,
Jenggawah, Petung, Manggisan, Puger,
Umbulsari, Menampu, Gladakmerah,
Sukosari, Sukowono, Mayang, Balung
Kulon, Wirolegi.Kuadaran IV termasuk
daerah relatif tertinggal yaitu Pasar
Johar, Mangli, Tegalbesar, Kencong,
Sempolan.
Berdasarkan analisis SWOT, masih
terbukanya peluang untuk
dikembangkan di masa mendatang
menjadikan retribusi pasar sebagai salah
satu sektor yang dapat diandalkan dalam
30
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD).
31
Penelitian ini menggunakan beberapa penelitian terdahulu sebagai referensi
untuk melakukan penelitian ini. Selain itu pada saat hasil dari pengujian penelitian
terdahulu membuktikan bahwa ada keterkaitan antara potensi pasar terhadap
pendapatannya hal tersebut menjadikan landasan penelitian untuk melakukan uji
ulang di Kabupaten Malang.
Namun terdapat pembedaan yang mendasari antara penelitian ini dengan
penelitian terdahulu tersebut. Dalam penelitian ini untuk melihat potensi dari
suatu pasar menggunakan rumus dengan menghitung luas toko, luas bedak, dan
luas los yang dijadikan sebagai unsur dari rumus perhitungan. Hal tersebut
dilakukan karena yang menjadi retribusi harian tetap di Kabupaten Malang adalah
untuk tempat dasaran tersebut. Sedangkan untuk tempat dasaran berupa pelataran
atau yang biasa digunakan oleh pedagang kaki lima bukan merupakan jenis
retribusi harian tetap dikarenakan PKL tidak setiap hari berjualan di pasar.
Untuk melihat pengaruh antara potensi tersebut terdapat variabel X yang
hanya satu yakni potensi retribusi pasar dan variabel Y yakni realisasi pungutan
retribusi pasar. Hanya terdapat satu variabel bebas dikarenakan data yang akan
dilakukan analisis merupakan data dokumentasi bukan berasal dari kuisioner/
angket. Sehingga potensi retribusi pasar sudah meliputi dari seluruh potensi
retribusi harian tetap yang akan dilakukan pengujian.
Kemudian pada saat hasil dari pengujian kuantitatif menyatakan ada atau
tidaknya pengaruh antara variabel potensi retribusi pasar terhadap variabel
realisasi pungutan retribusi pasar maka hal tersebut dalam penelitian ini akan
32
didukung oleh pendekatan kualitatif untuk melihat faktor-faktor yang menjadi
pendukung dan penghambat sehingga keluar hasil dari pendekatan kuantitatif
tersebut. Jadi untuk menganalisis peneliti ini tidak menggunakan kuantitatif murni
maupun kualitatif murni. Beberapa hal tersebut yang menjadi pembeda dengan
penelitian terdahulu sehingga selain mengetahui ada tidaknya pengaruh juga
mengetahui faktor pendukung dan penghambatnya dalam perspektif tata kelola
pemerintahan yang baik dalam melakukan pengelolaan potensi retribusi pasar.
B. Administrasi Publik
Administrasi publik merupakan serangkaian hubungan dan proses yang
terjadi antar individu dengan individu lain maupun antar kelompok. Menurut
George J. Gordon (Dalam Indradi, 2010:117), administrasi publik merupakan
seluruh proses baik yang dilakukan organisasi maupun perorangan yang berkaitan
dengan penerapan atau pelaksanaan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh
badan-badan legislatif, eksekutif, dan peradilan. Pengertian lain dari administrasi
publik dikatakan juga oleh Lembaga Administrasi Negara (Dalam Indradi,
2010:118) bahwa administrasi publik adalah administrasi mengenai negara dalam
keseluruhan arti, unsur, dimensi dan dinamikanya.
Situasi dan kondisi negara bagaimanapun, administrasi negara harus tetap
berperan memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan negara, mengemban
tugas penyelenggaraan negara, mengemban misi perjuangan bangsa dalam
bernegara, memberikan perhatian dan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat dan membuka peluang kepada masyarakat untuk berkarya dalam
upaya mencapai tujuan bersama dalam bernegara, ataupun untuk melakukan peran
33
tertentu dalam pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik yang secara
tradisional dilakukan oleh aparatur negara.
Dengan demikian administrasi publik dapat diartikan sebagai
penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat luas yang mana dilakukan oleh
pemerintah sebagai pejabat negara dan masyarakat sebagai pihak yang
mendapatkan layanan.
C. Pemerintah
Pemerintah sebagai pejabat negara bertugas untuk menjalankan administrasi
publik. Sebagai aparatur sipil negara, pemerintah bertugas untuk menjalankan
kepemerintahannya. Pemerintah juga dimaknai sebagai organisasi yang
berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang
mengikat bagi seluruh penduduk di dalam wilayahnya (Budiardjo, 2008:53). Di
Indonesia pemerintah dibagi menjadi dua tingkatan yaitu pemerintah pusat yang
berada di Ibu Kota Jakarta dan pemerintah daerah yang berada di masing-masing
daerah provinsi maupun daerah kabupaten atau kota. Hal tersebut tercantum
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah
amandemen, Bab VI Pasal 18:
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.
D. Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance)
Menurut Bank Dunia, 1992 (Dalam Sumarto, 2003:3) governance
mempunyai arti:
34
"the manner in which power is exercised in the management of a
country's social and economic resources for development". Makna
dari good governance
Makna lain juga diungkapkan oleh United Nations Development Programme,
1997 (Dalam Widodo, 2001:19):
"Governance it is the complex mechanisms, process, relationships
and institutions through which citizens and groups articulate their
interests, exercise their rights and obligations and mediate their
differences".
Kepemerintahan adalah suatu institusi, mekanisme, proses, dan hubungan yang
komplek melalui warga negara dan kelompok-kelompok yang mengartikulasikan
kepentingannya, melaksanakan hak dan kewajibannya dan menengahi atau
memfasilitasi perbedaan-perbedaan di antara mereka.
Pelaksanaan good governance diikuti oleh beberapa elemen maupun
karakteristik yang membentuknya. Menurut Asian Development Bank (ADB),
1995 (Dalam Sumarto, 2003:3) terdapat empat elemen esensial dari good
governance yaitu accountability, participation, predistability, dan transparency.
Sedangkan United Nations Development Programme yang dikutip Lembaga
Administrasi Negara (Dalam Widodo, 2001:25) menyebutkan karakteristik good
governance terdiri dari:
1. Participation: Hak yang dimiliki oleh setiap warga negara dalam
memberikan suara untuk pengambilan keputusan baik secara langsung
maupun perwakilan.
2. Rule of law: Penegakan kerangka hukum dan dilaksanakan sesuai
peraturan yang sudah dibuat.
35
3. Transparency: Keterbukaan atas data dan informasi yang kemungkinan
akan dibutuhkan oleh pihak lain untuk dilakukan monitoring
4. Responsiveness: Tanggap dan melayani setiap pihak yang terlibat
5. Consensus orientation: Dapat menjadi perantara dari beberapa
kepentingan yang berbeda sehingga dapat diperoleh pilihan terbaik.
6. Equity: Semua watga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk
menjaga kesejahteraannya
7. Effectiveness and efficiency: Melakukan setiap proses dengan efektif dan
efisien
8. Accountability: Pertanggung jawaban kepada publik atas keputusan yang
dibuat
9. Strategic vision: Strategi yang harus dimiliki oleh pemerintah dan publik
dalam perspektif good governance
Terdapat dua aspek yang harus saling mendukung untuk dapat terciptanya
good governance yaitu warga yang bertanggung jawab, aktif dan memiliki
kesadaran. Yang kedua adalah pemerintah yang terbuka, tanggap, mau
mendengar, dan mau melibatkan. (Dalam Sumarto, 2003:4). Dengan beberapa
konsep good governance tersebut maka terdapat adanya tuntutan keterlibatan
masyarakat dalam mewujudkan kepemerintahan. Dalam kata lain antara
pemerintah dengan masyarakat harus saling mendekatkan diri yakni dengan
mewujudkan kebijakan desentralisasi (Dalam Widodo, 2001:22). Kebijakan
tersebut dapat terjadi bilamana dalam suatu negara mempunyai dua tingkatan
pemerintah yaitu pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
36
E. Pemerintah Daerah
Keberadaan pemerintah daerah di Indonesia diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang saat ini berlaku adalah Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti atas peraturan
sebelumnya. Pemerintahan Daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi
pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu
Pemerintah Daerah dan DPRD (Domai, 2011:6). Yang dimaksud pemerintah
daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah
yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menunjukkan bahwa keberadaan pemerintah daerah di Indonesia sebagai wujud
dari demokratisasi yang menjadi landasan kepemerintahan di Indonesia. Terdapat
tiga unsur fundamental dari reformasi di Indonesia yaitu transparansi,
akuntabilitas, dan demokratisasi (Adisasmita, 2011:16). Wujud dari demokratisasi
adalah terbentuknya pemerintah daerah dengan adanya desentralisasi.
Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah
pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Secara teroitis pemaknaan
dari desentralisasi adalah penyerahan fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah. Dengan kata lain penyerahan fungsi diberikan dari
organisasi pemerintah di tingkat atas kepada organisasi pada tingkat bawahnya
sehingga dapat memudahkan keterjangkauan kepada masyarakat di setiap daerah
di wilayah Indonesia. Desentralisasi juga menjadi sebuah harapan untuk
menjadikan pemerintah lebih tanggap terhadap permasalahan yang ada di
37
masyarakat mengingat pemerintah pusat terlalu jauh untuk menjangkau
keberadaan daerah-daerah di Indonesia. Daya tanggap tersebut yang menjadi
landasan bagi terciptanya desentralisasi di Indonesia.
Pemberian desentralisasi dari pemerintah pusat dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:
Gambar 1: Penyerahan Desentralisasi
Sumber: Materi Perkuliahan Dr. Bambang Supriyono
Dalam bagan tersebut terdapat alur penyerahan kebijakan desentralisasi dari
pemerintah pusat kepada daerah. Pemerintah pusat yang disebut dengan trias
politica yaitu lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif.
Namun secara sempit pemerintah dimaknasi sebagai lembaga eksekutif yaitu
Kepala Pemerintahan di Indonesia dipegang oleh Presiden selaku Kepala Negara
di Indonesia. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar (UUD 1945 BAB III, Pasal 4). Dengan begitu
menjadikan presiden sebagai kepala pemerintahan atau kepala dalam lembaga
38
eksekutif menyerahkan fungsi pemerintahan dan transfer kewenangan kepada
masyarakat daerah otonom. Di setiap daerah otonom kemudian akan menunjuk
mayor sebagai kepala daerah dan council atau DPRD sebagai perwakilan dari
masyarakat.
1. Desentralisasi
Desentralisasi dapat dimaknai sebagai mereorganisasi kewenangan sehingga
terdapat sistem tanggung jawab bersama antara lembaga-lembaga pemerintahan di
tingkat pusat, regional, dan lokal sesuai dengan prinsip subsidiaritas dengan
tujuan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas sistem pemerintahan secara
menyeluruh (Domai, 2011:101). Penyerahan dalam bentuk transfer kewenangan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah seyogyanya mempunyai tujuan.
Menurut Adisasmita (2011:17) terdapat empat tujuan dari desentralisasi, yaitu:
a. Desentralisasi Politik: pemberian desentralisasi yang ditujukan untuk
perbaikan atas pelaksanaan demokrasi dan keadilan dalam bidang
politik.
b. Desentralisasi Administrasi: pemberian desentralisasi yang ditujukan
sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan pelayanan
masyarakat.
c. Desentralisasi Fiskal: pemberian desentralisasi yang ditujukan untuk
perbaikan atas kinerja keuangan dengan melakukan pengelolaan
keuangan daerah salah satunya dengan meningkatkan potensi sumber-
sumber keuangan daerah secara berkelanjutan.
39
d. Desentralisasi Ekonomi: pemberian desentralisasi yang ditujukan untuk
meningkatkan dan mengatur kegiatan perekonomian di daerah supaya
dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perusahaan swasta
dan memenuhi kebutuhan masyarakat di daerahnya.
Dengan pemberian desentralisasi diharapkan dapat mewujudkan tujuan-
tujuan tersebut. Dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia terdapat dua
pendekatan dalam konteks manajemen pemerintah yang baik yaitu pendekatan
berbasis hak dasar atau disebut dengan Right Based Approach dan pendekatan
berbasis kebutuhan atau disebut dengan Need Based Approach. Pendekatan
berbasis hak dasar bertujuan untuk dapat membantu masyarakat miskin dan
kelompok masyarakat yang termaginalisasi dalam kegiatan pembangunan untuk
memasukkan prioritas, pandangan, dan persepsi mereka untuk memperoleh
manfaat dari program dan kegiatan yang dilakukan pemerintah (Adisasmita,
2011:18). Sedangkan pendekatan berbasis kebutuhan ditujukan untuk membantu
berbagai unsur masyarakat miskin.
Untuk menjalankan penyerahan fungsi pemerintah yang disebut dengan
desentralisasi tersebut dengan baik maka diperlukan prinsip dalam
menjalankannya. Menurut Adisasmita (2011:37) terdapat empat prinsip yang
dapat diterapkan dalam kepemerintahan yaitu
a. Koordinasi: Terbagi menjadi dua yaitu koordinasi internal dan
koordinasi eksternal. Yang dimaksud dengan koordinasi internal adalah
kejelasan tugas dari masing-masing bagian di dalam Satuan Kerja
40
Pemerintah Daerah dan diketahui oleh satu sama lain sehingga terjadi
pembagian tugas yang jelas. Sedangkan koordinasi eksternal adalah
kerja sama antar Satuan Kerja Pemerintah Daerah di daerah tersebut.
b. Integrasi: Menciptakan suatu sistem yang bulat dan utuh dimulai dari
membuat perencanaan kerja dan kegiatan pembangunan serta
pelaksanaan atas perencanaan tersebut. Untuk menciptakan sistem
tersebut maka melibatkan masing-masing bagian dari Satuan Kerja
Pemerintah Daerah dan juga antar Satuan Kerja Pemerintah Daerah.
c. Sinkronisasi: Kesesuaian kegiatan pembangunan dengan jenis dan sifat
kegiatannya agar menjadi tepat sasaran dan tujuan yang diharapkan.
d. Simplifikasi: Penyederhanaan mekanisme pelaksaan kegiatan
pembangunan supaya tidak menjadi berbelit-belit dan menjadi proses
yang lebih sederhana.
2. Keuangan Daerah
Keuangan daerah diartikan sebagai mobilisasi sumber-sumber keuangan
daerah yang dimiliki oleh suatu daerah (Adisasmita, 2011:141). Dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sumber-sumber
pendapatan dari daerah terdiri dari
a. Pendapatan Asli Daerah meliputi:
Pajak daerah
Retribusi daerah
Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan
Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah
b. Pendapatan Transfer meliputi:
Transfer Pemerintah Pusat:
1) Dana perimbangan
2) Dana otonomi khusus
41
3) Dana keistimewaan
4) Dana Desa
Transfer Antar Daerah:
1) Pendapatan bagi hasil
2) Bantuan keuangan
c. Lain-lain pendapatan Daerah yang sah
Diantara beberapa sumber pendapatan tersebut yang merupakan hasil olahan
asli dari daerah adalah pendapatan asli daerah yang mana terdapat pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-
lain pendapatan asli Daerah yang sah.
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan bagian pendapatan yang
berkenaan langsung dengan masyarakat. Menurut Musgrave (Dalam Taylor,
1983:57-58) pemerintah dapat membuka ruang lingkup besar untuk mendapatkan
hasil yang optimal dalam penerimaan pajak apabila dua hal ini sudah terlaksana
yaitu proses demokrasi yang berhasil mengungkapkan preferensi sejati dari setiap
orang dan kesadaran penuh dari masyarakat atas manfaat yang dirasakan sehingga
akan muncul kepatuhan wajib pajak.
Sebagai sektor publik maka pemerintah mempunyai kekuasaan besar dalam
proses pemungutan pajak. Untuk dapat menciptakan sistem pajak yang baik maka
pemerintah harus memperhatikan tiga hal yaitu prinsip keadilan, efisiensi
ekonomi, dan administrasi maupun biaya kepatuhan yang masuk akal (Aronson,
1985:300).
F. Retribusi Daerah
Penerimaan retribusi daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Retribusi daerah adalah
42
pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau Badan.
1. Fungsi Retribusi Daerah
Retribusi daerah mempunyai dua fungsi yaitu fungsi budgetair dan pengatur
(Mardiasmo, 2013:1-2). Yang dimaksud fungsi budgetair adalah retribusi daerah
digunakan sebagai salah satu sumber penerimaan pemerintah daerah sehingga
keberadaannya untuk menutup APBD terutama yang berkaitan dengan penyediaan
jasa dan pelayanan kepada masyarakat pembayar retribusi. Sedangkan fungsi
pengatur digunakan sebagai alat untuk mengatur kehidupan perekonomian dan
sosial masyarakat.
2. Syarat Pemungutan Retribusi Daerah
Pemungutan retribusi daerah dilakukan oleh instansi terkait yang mana
bersinggungan langsung dengan wajib retribusi yang mendapatkan fasilitas
tertentu. Dalam pelaksanaan pungutan tersebut harus terdapat beberapa syarat
yang harus dipenuhi untuk dapat meminimalisir terjadinya hambatan dan
perlawanan oleh para wajib retribusi. Syarat tersebut terdiri dari (Mardiasmo,
2013:2):
a. Keadilan:
Pemungutan retribusi harus adil bagi seluruh wajib retribusi.
Kesesuaian tarif retribusri dengan fasilitas yang diperoleh wajib
retribusi sehingga manfaat yang dirasakan sesuai dengan kewajiban
membayarnya.
43
b. Yuridis
Setiap pemungutan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sehingga dapat menjamin hak setiap orang yang
berkenaan di dalamnya.
c. Efisiensi
Biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pungutan harus lebih rendah
dari hasil pungutan yang didapatkan
d. Sistem yang sederhana
Masyarakat yang menjadi wajib retribusi melakukan pembayaran atas
pungutan tersebut kepada instansi terkait. Sistem yang digunakan pada
saat pemungutan juga harus dilakukan secara sederhana sehingga tidak
membuat bingung masyarakat wajib retribusi.
e. Tidak Mengganggu Perekonomian
Pengenaan pungutan retribusi tidak boleh mengganggu kelancaran
kegiatan produksi maupun perdagangan.
3. Klasifikasi Retribusi Daerah
Retribusi dapat dipungut dengan dua sistem yaitu sistem bersifat progresif
dan bersifat regresif (Suparmoko dalam Darwin, 2010:183).Yang dimaksud
sistem pungutan bersifat progresif berarti tarif pungutan didasarkan bukan kepada
individu melainkan sekelompok orang yang sesuai dengan fasilitas dan sarana
yang didapatkannya. Sehingga tidak didasarkan pada besar pendapatan dari
individu tersebut melainkan dari jenis pelayanan yang diterima oleh individu atau
sekelompok tersebut. Sedangkan sistem pungutan bersifat regresif mempunyai
44
makna bahwa tarif pungutan didasarkan atas besar pendapatan yang dimiliki oleh
individu.
Tata cara pemungutan retribusi sendiri terdapat beberapa ketentuan yaitu
pemungutan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain yaitu pihak ketiga. Namun
tidak menutup kemungkinan bagi pemerintah untuk menunjuk badan-badan
tertentu yang dapat dipercaya untuk ikut membantu melakukan sebagian tugas
pemungutan retribusi. Beberapa hal yang tidak dapat dialihkan kepada pihak
ketiga antara lain kegiatan perhitungan besarnya retribusi terutang, pengawasan
penyetoran retribusi, dan penagihan retribusi (Darwin, 2010:183). Dalam
melakukan pemungutan retribusi maka menggunakan Surat Ketetapan Retribusi
Daerah atau dokumen lain yang sifatnya sama seperti dalam bentuk karcis, kupon
maupun kartu langganan. Dalam kasus pemungutan retribusi apabila wajib
retribusi tidak membayar tepat pada waktunya maka sesuai dengan ketentuan akan
mendapatkan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% dari retribusi yang
terutang dengan sebelumnya diberikan surat teguran.
Retribusi daerah dikelompokkan menjadi beberapa golongan yang disebut
dengan objek pajak yaitu:
a. Jasa Umum
Pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk
tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh
orang pribadi atau Badan. Jenis-jenis dari retribusi yang termasuk jasa
umum terdiri dari:
45
1) Retribusi Pelayanan Kesehatan
2) Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
3) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk
dan Akta Catatan Sipil
4) Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
5) Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
6) Retribusi Pelayanan Pasar
7) Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
8) Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
9) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
10) Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus
11) Retribusi Pengolahan Limbah Cair
12) Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang
13) Retribusi Pelayanan Pendidikan
14) Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
b. Jasa Usaha
Pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut
prinsip komersial. Jenis-jenis dari retribusi yang termasuk jasa usaha
terdiri dari:
1) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
2) Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
3) Retribusi Tempat Pelelangan;
4) Retribusi Terminal;
5) Retribusi Tempat Khusus Parkir;
6) Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa;
7) Retribusi Rumah Potong Hewan;
8) Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
9) Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;
10) Retribusi Penyeberangan di Air; dan
11) Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
c. Retribusi Perizinan Tertentu
Pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang
pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan
pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber
daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna
46
melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Jenis-jenis dari retribusi yang termasuk perizinan tertentu terdiri dari:
1) Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
2) Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
3) Retribusi Izin Gangguan;
4) Retribusi Izin Trayek; dan
5) Retribusi Izin Usaha Perikanan
4. Retribusi Pasar
Retribusi pasar merupakan pungutan retribusi sebagai pembayaran atas
pelayanan penyediaan fasilitas pasar. Objek dari retribusi pasar berupa penyediaan
fasilitas pasar tradisional seperti pelataran, los, kios, yang dikelola pemerintah
daerah dan khusus disediakan untuk pedagang. Sedangkan untuk subjek dari
retribusi pelayanan pasar adalah orang atau badan yang mendapatkan pelayanan
fasilitas pasar tradisional. Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan kelas,
golongan (termasuk jenis dagangan), luas pemakaian tempat-tempat, frekuensi
dan waktu pemanfaatan fasilitas. Untuk besaran tarif retribusi pelayanan pasar
ditetapkan berdasarkan kelas dan golongan pasar seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 5: Tarif Retribusi Pasar
No. Kelas
Pasar Gol. Toko Bedak
Los/
PKL Keterangan
1. Pasar
Kelas I
A
B
C
400,00
350,00
300,00
350,00
300,00
250,00
300,00
275,00
225,00
/hari/m2
/hari/m2
/hari/m2
2. Pasar
Kelas II
A
B
C
325,00
300,00
250,00
300,00
275,00
225,00
275,00
250,00
200,00
/hari/m2
/hari/m2
/hari/m2
47
No. Kelas
Pasar Gol. Toko Bedak
Los/
PKL Keterangan
3. Pasar
Kelas III
A
B
C
300,00
275,00
225,00
275,00
250,00
200,00
250,00
225,00
175,00
/hari/m2
/hari/m2
/hari/m2
4. Pasar
Kelas IV
A
B
C
250,00
225,00
200,00
225,00
200,00
175,00
200,00
175,00
150,00
/hari/m2
/hari/m2
/hari/m2
5. Tempat
Berjualan
Pedagang
Non-
PKL
PKL
750,00
500,00
/hari
/hari
Sumber: Olahan Penulis dari Peraturan Daerah Kabupaten Malang
Nomor 10 Tahun 2010 tentang Retribusi Jasa Umum
5. Potensi Retribusi Pasar
Untuk menentukan besaran yang dapat diterima oleh pemerintah dari
retribusi pasar maka diperlukan adanya penghitungan potensi retribusi pasar.
Menurut Mahmudi (2010:73) untuk mengukur potensi dari retribusi pasar
dilakukan dengan menghitung jumlah fasilitas yang disediakan oleh pemerintah
kepada para pedagang dengan didasarkan pada kelas pasar, jenis dan tempat
berdagang, dan golongan pedagang. Ali Akhmad (2001:18) juga berpendapat
bahwa potensi penerimaan retribusi pasar dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
Dihitung berdasarkan jumlah seluruh tempat usdaha yang ada, dengan
asumsi tempat usaha tersebut dalam kondisi yang baik dan layak
digunakan sebagai tempat usaha
48
Dihitung berdasarkan jumlah tempat usdaha yang dimanfaatkan oleh
pedagang atau jumlah pedagang
G. Kerangka Teori
Melihat beberapa teori yang dijadikan sebagai landasan dalam penelitian ini
maka dapat dibuat kerangka pemikiran seperti bagan di bawah ini:
Gambar 2: Kerangka Pemikiran Teoritis
Sumber: Olahan Penulis dari Buku Robert M. Maclver Dalam Budiardjo.,
Syafiie., Budiardjo., Adisasmita., Mardiasmo., Devas., Suparmoko Dalam
Darwin., Mahmudi., Musgrave Dalam Taylor., Aronson.
Kerangka teori merupakan gambaran pemikiran dari penelitian ini yang
bersumber dari beberapa penelitian terdahulu dan buku-buku yang menjadi
landasan bagi tinjauan pustaka.
49
H. Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu pendapat dan pemikiran sementara dari penulis
terhadap rumusan masalah. Hipotesis ini bersifat sementara karena berdasarkan
teori dan penelitian terdahulu sehingga belum berdasarkan pada fakta yang terjadi
di lokasi penelitian yang mana didapat melalui pengumpulan data. Berdasarkan
rumusan masalah yang ada maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Diduga potensi retribusi pasar mempunyai pengaruh yang positif
terhadap realisasi pungutan retribusi pasar, sehingga semakin tinggi nilai
ketepatan dari variabel tersebut maka semakin menambah penerimaan
retribusi pasar.
2. Diduga realisasi pungutan retribusi pasar masih menjauh atau tidak
sesuai dengan potensi retribusi pasar yang ada. Hal tersebut dikarenakan
adanya faktor-faktor yang menyebabkan kondisi itu dapat terjadi.