-
25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Akuntabilitas
1. Definisi Akuntabilitas
Akuntabilitas publik adalah kewajiban-kewajiban dari individu-individu
atau penguasa yang diberikan amanah oleh masyarakat untuk mengelola
sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk
menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawabannya atas
keberhasialan ataupun kegagalan dalam kinerjanya. Akuntabilitas terkait erat
dengan instrument untuk kegiatan kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil
pada pelayanan publik dan menyampaikan secara transparan kepada
masyarakat.
Dengan demikian secara sederhana akuntabilitas dapat dimaknai secara
sederhana sebagai suatu langkah pertanggungjawagan. Hal ini sejalan dengan
penjelasan dari Subroto yang menyatakan sebagai berikut:
“akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban
menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/pimpinan organisasi kepada
pihak yang memiliki wewenang untuk pertanggungjawaban. Akuntabilitas
adalah hal yang penting dalam menjamin nilai-nilai seperti efisiensi,
efektifitas, reliabilitas, dan prediktibilitas. Suatu akuntabilitas tidak abstrak
tapi kongkrit dan harus ditentukan oleh hukum melalui prosedur yang
sangat spesifik mengenai masalah dalam pertanggungjawaban.”22
Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa secara menyeluruh,
akutabilitas bersifat mengikat dan merupakan tindakan yang wajib bagi suatu
organisasi atau pihak tertentu yang memiliki wewenang. Lebih lanjut,
22
Lestari, Sri. 2017. Analisis Akuntabilitas Pengelolan Alokasi Dana Desa (ADD) (Studi Kasus di
Wilayah Kecamatan Banyudono). Skripsi Jurusan Akuntansi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Islam. Institut Agama Islam Negerin Surakarta. Hal 20
-
26
akuntabilitas memiliki ketertakitan dengan beberapa aspek lain seperti efisiensi,
efektivitas, reliabilitas, dan prediktibilitas. Sehingga dengan diterapkannya
penyelenggaraan organisasi yang akuntabel dapat mewujudkan kinerja yang
optimal dari suatu organisasi.
Di samping itu, akuntabilitas juga dapat dimaknai dalam konteks cara
penyampaiannya. Menurut Hulme dan Tunner akuntabilitas adalah sebagai
berikut:
“Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban dari seseorang atau
sekelompok orang yang diberi amanat untuk menjalankan tugas tertentu
kepada pihak pemberi amanat baik secara vertikal maupun secara
horizontal.”23
Mengacu pada penjelasan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa
akuntabilitas pada organisasi, khususnya pada organisasi pemerintah yang
mendapatkan mandat dari masyarakat setempat tersebut, harus
bertanggungjawab kepada masyarakat yang diwakilinya. Wakil rakyat juga
harus mampu memahami anggaran, untuk mewujudkan hal ini harus dilakukan
berbagai upaya agar masyarakat dapat mengakses transparansi anggaran.
Akuntabilitas tidak hanya dilaksanakan kepada organisasi atau institusi yang
secara tingkat atau level berada di atas, namun juga perlu disampaikan kepada
organisasi di bawahnya termasuk kepada masyarakat.
2. Tujuan Akuntabilitas
Tujuan dari pelaksanaan akuntabilitas adalah untuk mencari suatu jawaban
atas apa yang harus dipertanggungjawabkan berdasarkan mengenai hal apa
23
Vikrama, A. A. (2017). Evaluasi Transparansi dan Akuntabilitas Inventarisasi Bmd pada Badan
Keuangan Pendapatan dan Aset Daerah Kabupaten Bangli. Citizen Charter, 2(2).
-
27
yang sungguh-sungguh terjadi serta membandingkan dengan apa yang
seharusnya terjadi. Apabila dalam akuntabilitas terjadi penyimpangan atau
hambatan, maka penyimpangan atau hambatan tersebut segera dikoreksi. Maka
pelaksanaan suatu kegiatan diharapkan masih bias mencapai tujuan yang
diharapkan.
Dari penjelasan tersebut sesuai dengan konsep menurut Hulme dan Turner
akuntabilitas yang mana merupakan konsep yang kompleks memeliki tujuan
sebagai berikut:
“sebagai konsep yang bersifat kompleks, akuntabilitas berusaha
mewujudkan objektivitas dalam reformasi sektor publik dan berusaha
untuk mengurangi banyaknya praktik korupsi yang terjadi di dalamnya.
Konsep akuntabilitas dapat memandu dan memberi tekanan pada aktor-
aktor yang terlibat dalam organisasi publik untuk lebih bertanggungjawab
dan mampu menjamin kinerja pelayanan publik yang baik kepada
masyarakat.”24
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipaparkan bahwa setidaknya ada
tiga tujuan utama dari penerapan akuntabilitas dalam organisasi publik. Tujuan-
tujuan tersebut meliputi strategi untuk mencegah praktik korupsi; menekankan
pertanggungjawaban dari tindakan para aktor yang terlibat dan peningkatan kualitas
kinerja pelayanan publik yang dilaksanakan oleh organisasi pemerintah. Maka dari
itu, terwujudnya akuntabilitas publik mengharuskan lembaga-lembaga sektor publik
untuk lebih menekankan pertanggungjawaban horizontal (horizontal accountability)
yaitu pertanggungjawabkan kepada masyarakat luas, bukan hanya sekedar
24
Hulme, David dan Mark Turner. 1997. Governance, Administration and Development: Making
The State Work. London:Macmillan Press. Hal 123
-
28
pertanggung jawaban vertical (vertical accountability) yaitu pertanggungjawaban
atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi.25
Pelaksanaan akuntabilitas dalam pemerintahan mengacu pada akses oleh
masyarakat dalam memperoleh informasi mengenai setiap kegiatan serta
laporan yang menyangkut pertanggungjawaban bukannya tertutup pada
lembaga secara internal saja. Dari tujuan akuntabilitas tersebut, dapat
diinterprestasikan bahwa akuntabilitas harus lebih menekankan
pertanggungjawaban kepada masyarakat setempat untuk menjawab atas
pertanggungjawaban seseorang berdasarkan apa yang terjadi sesungguhnya,
sehingga dapat segera diperbaiki apabila terjadi kesalahan.
3. Indikator Akuntabilitas
Indikator adalah keterangan atau petunjuk dari suatu pekerjaan untuk
menjawab sejauh mana pencapaian yang telah berjalan. Akuntabilitas dapat hidup
dan berkembang dalam lingkungan dan suasana yang transparan dan demokratis
serta adanya kebebasan dalam mengemukakan pendapat. Makna pentingnya
akuntabilitas sebagai unsur utama good governance antara lain tercermin dari
berbagai kategori akuntabilitas. Hulme dan Turner mengemukakan bahwa
akuntabilitas memiliki beberapa indikator sebagai berikut:
“Akuntabilitas merupakan suatu konsep yang kompleks dan memiliki
beberapa instrumen untuk mengukurnya, yaitu dengan indikator yang
meliputi 1) legitimasi para pembuat kebijakan, 2) keberadaan moral yang
memadai, 3) kepekaan, 4) keterbukaan, 5) pemanfaatan sumberdaya secara
optimal, 6) upaya peningkatan efisiensi dan evektifitas.”26
25
Mardiasmo, 2018, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: CV. ANDI
OFFSET 26
Usman, N. N., Usman, J., & Abdi, A. (2017). Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pelayanan
Publik (Studi Pembuatan SIM di Kantor Satlantas Polerestabes Makassar. Kolaborasi: Jurnal
Administrasi Publik. Vol 2 No 2.
-
29
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipaparkan bahwa
akuntabilitas memiliki enam indikator atau aspek yang perlu diperhatikan
dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel. Hal
ini secara lebih rinci dapat merujuk pada penbahasan berikut.
a. Legitimasi bagi para pembuat kebijakan;
Legitimasi dianggap penting bagi pemimpin pemerintahan, karena para
pemimpin pemerintahan dari setiap sistem politik berupaya keras untuk
mendapatkan atau mempertahankannya. Dengan adanya legitimasi yang
dimiliki oleh seorang pemimpin dapat menimbulkan kestabilan politik dan
memungkinkan terjadinya perubahan sosial dan membuka kesempatan yang
semakin besar bagi pemerintah untuk tidak hanya memperluas bidang-
bidang kesejahteraan yang hendak ditangani, tetapi juga untuk
meningkatkan kualitas kesejahteraan. Lebih lanjut Hulme dan Turner dalam
Raba menyatakan sebagai berikut:
“Legitimasi juga merupakan konsep yang menimbulkan hubungan antara
pemimpin dan yang dipimpin. Legitimasi dapat diartikan dalam arti luas
dan arti sempit, dalam arti luas adalah dukungan masyarakat terhadap
sistem politik, sedangkan dalam arti sempit merupakan dukungan
masyarakat terhadap pemerintah yang berwenang. Antara kekuasaan
normatif dan kualitas pribadi berkaitan erat dengan legitimasi. Legitimasi
juga merupakan suatu tindakan perbuatan hukum yang berlaku, atau
peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etnis, adat-istiadat,
maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah.”27
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa legitimasi
menyangkut aspek legal atau formal yang menjadi dasar kewenangan
pemerintah atau pihak tertentu dalam menjalankan praktik organisasi. Lebih
27
Raba, Manggaukang. 2006. Akuntabilitas: Konsep dan Implementasi. Malang: UMM Pess. Hal
116
-
30
lanjut, dalam legitimasi kekuasaan, bila seorang pemimpin menduduki
jabatan dan memiliki kekuasaan secara legitimasi adalah bila yang
bersangkutan dianggap absah memangku jabatannya dan menjalankan
kekuasaannya. Maka dari itu, legitimasi dalam hal ini dapat berupa aturan
atau tegulasi yang dapat menjadi acuan atau panduan penyelenggaraan
organisasi pemerintahan.
b. Keberadaan kualitas moral yang memadai;
Suatu organisasi pemerintahan harus mampu menerapkan nilai-nilai
moral dalam tiap kegiatan, khususnya dalam konteks pelayanan publik.
Karena melalui kegiatan pelayanan publik, pemerintah secara langsung
bertemu dengan masyarakat. Sehingga harus mengedapankan sikap yang
ramah kepada masyarakat dan mempertimbangkan kebaikan bagi organisasi.
Hal ini senada dengan penjelasan Hulme dan Turner sebagai berikut ini:
“Kualitas moral erat kaitannya dengan pelayanan yang ramah kepada
masyarakat dengan mengacu pada sikap, senyum aparat dalam melayani
kebutuhan masyarakat dan tidak diskriminatif. Kualitas moral juga harus
menekankan pada penerapan nilai-nilai kebaikan dalam penyelenggaraan
pemerintah agar tidak terjadi penyelewengan. Moralitas pegawai dapat
dikembangkan dengan mengadakan pelatihan dan melakukan pemilihan
pegawai yang profesional.”28
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dijelaskan bahwa kualitas moral
dari seorang pegawai organisasi pemerintahan sangatlah penting baik dalam
konteks penyediaan pelayanan publik dan kegiatan lain yang masih dalam
konteks kepentingan organisasi. Dengan demikian pegawai tidak hanya
bersikap ramah namun juga tidak melakukan diskrimasi dalam proses
28
Ibid Hal 116
-
31
pelayanan. Selain itu, pegawai harus dituntut bekerja berdasarkan nilai-nilai
kebenaran dan kebaikan agar tidak terjadi penyelewengan dalam organisasi.
Hal ini dapat dikembangkan dengan mengadakan pelatihan ataupun
pemilihan pegawai yang profesional.
c. Kepekaan;
Kepekaan atau responsivitas sangatlah penting dalam penerapan
akuntabilitas penyelenggaraan organisasi pemerintahan. Karena aspek
kepekaan pemerintah memiliki kaitan dengan hubungan atau relasi antara
pemerintah dan masyarakat. aspek kepekaan akan dapat menjamin
kepedulian pemerintah kepada masyarakat yang dipimpin. Hulme dan
Turner menjabarakan sebagai berikut:
“kepekaan merupakan sikap para aparatur pemerintahan, terhadap aspirasi
masyarakat agar terciptanya kondisi masyarakata yang berpartisipasi
dalam kegiatan. Kepekaan dalam pelayanan publik berhubungan erat
dengan kepekaan para aparat dalam menerima saran dan kritik maupun
aspirasi dari masyarakat ketika meminta pelayanan.”29
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa kepekaan para
pegawai atau aparatur pemerintah berupa upaya atau tindakan pemerintah
untuk menyaring atau mengakomodir aspirasi masyarakat. Karena dalam
konsep akuntabilitas juga sangat ditekankan adanya partisipasi masyarakat.
Aspek kepekaan menunjukkan sikap pemerintah yang terbuka terhadap
saran dan kritik dari masyarakat yang mana dapat bermanfaat bagi
kebagiakan pemerintah kedepannya.
29
Ibid
-
32
d. Keterbukaan;
Aspek selanjutnya dalam indikator akuntabilitas yakni aspek
keterbukaan atau dikenal juga dengan istilah transparansi. Keterbukaan
aparatur atau pegawai pemerintah menjadi sangat penting, menginggat
dalam konteks akuntabilitas pihak lain termasuk masyarakat dapat
mengakses informasi menyangkut penyelenggaraan pemerintahan. Hulme
dan Turner menyatakan sebagai berikut:
“Keterbukaan erat kaitannya dengan loyalitas kerja berupa kejujuran
aparat dalam melakukan pelayan kepada masyarakat. Keterbukaan dalam
pelayanan dimaksudkan agar proses pelayanan tersebut dapat diketahui
oleh masyarakat. Keterbukaan dapat diwujudkan dengan adanya pelayanan
informasi publik dan adanya laporan tahunan kegiatan organisasi
pemerintahan.”30
Dengan adanya aspek keterbukaan maka dapat menjamin bahwa
aparatur pemerintah telah bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Karena apabila pemerintah tidak ternuka atau transparan maka, dapat
dikatakan bahwa ada yang telah disembunyikan oleh pemerintah. Oleh
karena itu, untuk mewujudkan aspek keterbukaan, pemerintah perlu
menyediakan pelayanan informasi publik dan semacam dokumen laporan
pertanggungjawaban tahunan yang dapat diakses oleh segala pihak termsuk
masyarakat.
e. Pemanfaatan sumber daya secara optimal;
Indokator selanjutnya dalam penerapan akuntabilitas dalam organisasi
pemerintahan yakni menyangkut pemanfaatan sumber daya secara optimal.
Sumber daya yang optimal dapat mempengaruhi keberhasilan penerapan
30
Ibid
-
33
akuntabilitas pada suatau organiasi. Hulme dan Turner menyakan bahwa
pemnfataan sumber daya yaitu mendayagunakan seluruh kemampuan aparat,
budget atau anggaran dan prasarana yang tersedia guna mendukung
pelayanan kepada masyarakat.31
f. Upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas
Indikator terkahir penerapan akuntabilitas yakni upaya peningkatan
efisiensi dan efektivitas. Suatu kebijakan sudah dilaksanakan dengan efektif
dan efisien dengan memperhatikan kebijakan dalam pelayanan dan
penerapannya pada masyarakat. Hulme dan Turner menyatakan sebagai
berikut:
“Acuan pelayanan yang dipergunakan aparat birokrasi dalam proses
penyelenggaraan pelayanan publik. Indikator tersebut mencerminkan
prinsip orientasi pelayanan yang dikembangkan oleh birokrasi terhadap
masyarakat pengguna jasa. Aspek efisiensi dan efektivitas dapat
dilaksanakan dengan merancang kegiatan atau program yang obyektif dan
sesuai dengan panduan.”32
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa aspek
efisiensi dan efektivitas berusaha untuk mencapai hasil yang objetif dalam
tiap kinerja pemerintah. Karena kinerja pemerintah harus didasarkan pada
standar yang jelas dan sesuai dengan panduan yang berlaku. Sehingga dapat
berjalan dengan optimal.
Indikator yang telah ditetapkan ini akan mempermudah dalam
mengetahui akuntabilitas pemerintah desa dalam pelaksanaan APBDes.
Adanya pertanggungjawaban tersebut merupakan bentuk transparansi
31
Ibid Hal 117 32
Ibid Hal 118
http://jamal-alfath.blogspot.com/2017/04/indikator-akuntabilitas.html
-
34
kegiatan yang dilakukan maupun segala kebijakan yang dilaksanakan,
akuntabilitas tidak hanya dilakukan sebatas pertanggungjawakan hasil
secara tulisan melalui laporan secara periodik, namun pelaksanaannya
secara nyata. Akuntabilitas merupakan wujud dari tanggungjawab penerima
amanah kepada pemberi amanah dalam pelaksanaan APBDes apakah
pemerintah desa sudah transparan sehingga masyarakat terlibat dalam
pengambilan keputusan.
B. Pemerintah Desa
1. Definisi Pemerintah
Istilah desa berasal dari bahasa India, Swadesi yang berarti tempat asal,
tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang merujuk pada kesatuan
hidup dengan suatu norma dan memiliki batas wilayah yang jelas.33
Namun,
sering dengan perkembangan waktu, konsepsi mengenai desa di Indonesia
telah mengalami perkembangan. Berdasarkan kebijakan terbaru di Indonesia
desa dapat didefinisikan sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan.”34
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipaparkan secara lebih rinci
bahwa Desa bersifat legal dengan wilayah yang memiliki batas tertentu dengan
wilayah daerah lain. Desa dengan pemerintahan di dalamnya memiliki peran
33
Yulianti, Y dan Mangku Poernomo. 2003. Sosiologi pedesaan Jogyakarta: Lappera Pustaka
Utama. Hal 23 34
Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang Desa Pasal 1
-
35
penting dalam meberikan pelayanan kepada masyarakat desa dan mewujudkan
pembangunan desa demi menciptakan kesejahteraan masyarakat desa.
Sementara itu, pendapat lain dikemukanakan oleh Widjaja yang
mendefinisikan desa sebagai berikut:
“Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
susunan asli berdasarkasan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan
pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman,
partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan upaya pemberdayaan
masyarakat.”35
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa Desa
memiliki kearifan lokal yang perlu dijunjung tinggi oleh siapapun. Karena hal
tersebut telah menjadi karakteristik desa. Selain itu, desa juga memiliki nilai
demoratis dan menunjung tinggi adanya otonomi desa yang mana dapat
terwujud dalam kegiatan yang bersifat partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat dalam rangka pembangunan desa.
2. Kewenangan Pemerintah Desa
Otonomi desa diatur oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
serta Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, dengan pengertian bahwa
otonomi desa merupakan desentralisasi kewenangan dari pemerintah ke
pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian
pemerintah desa memiliki urusan-urusan yang telah diserahkan oleh
pemerintah dan menjadi tanggung jawab desa sepenuhnya.36
35
Widjaja, HAW. 2003. Pemerintahan Desa/Marga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 3. 36
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014
-
36
Berdasarkan kebijakan mengenai desa yang mana termaktub dalam UU
Desa No 6 tahun 2014 menyatakan sebagai berikut:
“Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau
yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Desa.”37
Desa dalam urusan penyelenggaran pemerintahan disebut pemerintah desa
yang mana memiliki tugas dalam menjalankan urusan dan kepentingan
masyarakat setempat. Hal ini terwujud dengan adanya kepala desa yang mana
dibantu oleh beberapa perangkat desa baik kepala urusan dan kepala seksi serta
Badan Permusyawaratan desa yang memiliki peran sebagai wakil dari
penduduk desa untuk menjamin demokratisasi di desa.
Lebih lanjut dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa, kebijakan UU
Desa mengatur bahwa pemerintah desa memiliki wewenangan sebagai berikut:
“Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.”38
Selain itu, dalam konteks penyelenggaraan pemerintah desa ada beberapa
wewenang yang menjadi acuan atau panduan dalam mendukung kegiatan desa.
wewenang tersebut merupakan bidang-bidang yang harus dilaksanakan dan
diterjemahkan dalam kegiatan pembangunan desa melalui APBDes . Selain itu,
kewenangan juga harus mengacu pada kearifan lokal desa dan berbasis pada
aspirasi masyarkat desa. Agar kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah
Desa menunjukkan responsivitas dari aparatur pemerintah desa.
37
Ibid Pasal 1 38
Ibid Pasal 18
-
37
C. Konsep Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan
kebijakan, akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan harus mengkaji
terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk
atau tidak bagi masyarakat. Suharno mengemukakan:
“Implementasi kebijakan publik secara konvensional dilakukan oleh
negara melalui badan-badan pemerintah. Sebab implementasi
kebijakan publik pada dasarnya merupakan upaya pemerintah untuk
melaksanakan salah satu tugas pokoknya, yakni memberikan
pelayanan publik (publik cervises). Namun, pada kenyataannya
implementasi kebijakn publik yang beraneka ragam, baik dalam
bidang, sasaran, dan bahkan kepentingan, memaksa pemerintah
menggunakan kewenangan diskResi untuk menentukan apa yang
harus dilakukan mereka dan apa yang mereka tidak lakukan.”39
Kemudian dari implementasi kebijakan yang telah dilakukan melalui
tahap rekomendasi merupakan prosedur yang relatif komplek, sehingga tidak
selalu ada jaminan bahwa kebijakan tersebut akan berhasil dalam
penerapannya. Keberhasilan implementasi kebijakan sangat terkait dengan
beberapa aspek diantaranya pertimbangan para pembuat kebijakan, komitmen
dengan konsistensi tinggi para pelaksana kebijakan, dan prilaku sasaran.
Implementasi sebuah kebijakan secara konseptual bisa dikatakan sebagai
sebuah proses pengumpulan sumber daya (alam, manusia maupun biaya) dan
diikuti dengan penentuan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk
mencapai tujuan kebijakan. Rangkaian tindakan yang diambil tersebut
merupakan bentuk transformasi rumusan-rumusan yang diputuskan dalam
kebijakan menjadi pola-pola operasional yang pada akhirnya akan
39
Suharno. 2008. Prinsip-Prinsip Dasar Kebijakan Publik. Yogyakarta: UNY Press, hal 187
-
38
menimbulkan perubahan sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan yang
telah diambil sebelumnya. Hakikat utama implementasi adalah pemahaman
atas apa yang harus dilakukan setelah sebuah kebijakan diputuskan.
Selanjutnya, pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Van Meter
dan Van Horn, sesuai dengan dengan penjelasan berikut ini:
“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau
pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang
diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijaksanaan.” 40
Definisi tersebut, menyakatakan bahwa implementasi atau pelaksanaan
kebijakan publik tidak hanya dilaksanakan oleh pihak pemerintah saja, namun juga
beberapa stakeholder dari swasta atau bahkan masyarakat. Pendapat ini sangat
sesuai dengan konteks pemerintahaan yang modern, dimana tidak hanya
bergantung pada peran pemerintah, melainkan harus bersinergi antara pemerintah,
swasta dan masyarakat untuk tujuan-tujuan yang ditentukan dalam suatu kebijakan.
Dengan demikian sebagai salah satu tahapan yang sangat penting dalam
kebijakan publik, implementasi kebijakan harus mampu menjadi pedoman
dalam pelaksanaan program atau pelayanan publik. Hal ini senada dengan
pendapat Ripley dan Franklin yang menyatakan bahwa “apa yang terjadi
setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program,
kebijakan, keuntungan (benefit), atau sejenis keluaran yang nyata (tangible
output).” 41
Dengan demikian implementasi kebijakan berupaya untuk
mencapai tujuan yang menjadi target dari pemerintah.
40
Leo Agustino. 2014. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. Hlm.139. 41
Budi Winarno. Op. Cit. Hlm.148.
-
39
D. Konsep Tata Kelola Keuangan Desa
Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan salah satu tuntutan bagi
masyarakat yang wajib dipenuhi, salah satu pilar tata kelola pemerintahan
yang baik adalah akuntabilitas.42
Tatakelola keuangan desa merupakan upaya
negara dalam pengelolaan desa agar dapat berjalan dengan optimal sesuai
dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dalam konteks tata kelola
keuangan desa di Indonesia dinyatakan dalam kebijakan UU Desa sebagai
berikut:
“keuangan desa adalah hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai
dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa.”
Selanjutnya pada ayat (2) nya dinyatakan bahwa adanya hak dan
kewajiban akan menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan
pengelolaan keuangan desa.”43
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa keuangan
desa harus diidentifikasi mana yang menyangkut hak dan kewajiban dari desa.
Selain itu, keuangan desa juga memuat beberapa aspek terkait pendapatan,
belanja, pembiayaan yang menjadi keseluruhan bagian yang terkait dengan
pengelolaan keuangan desa.
Lebih lanjut, tata kelola keuangan desa adalah keseluruhan kegiatan yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggung
jawaban keuangan desa. Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa
yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Kepala desa
42
Wiratna Sujarweni V. 2015. Akuntansi Desa, Panduan Tata Kelola Keuangan Desa.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press, hal 28 43
Loc.Cit Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014. Pasal 71
-
40
merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa dan mewakili
pemerintah desa dalam kepemilikan kekayaan milik desa yang dipisahkan.44
Kepala desa dalam mengelola keuangan desa dibantu oleh Pelaksana
Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (PTPKD) yang terdiri dari sekretaris
desa, kepala seksi, dan bendahara. Sekretaris desa bertindak selaku
koordinator pelaksana teknis pengelolaan keuangan desa. Kepala seksi
bertindak sebagai pelaksana kegiatan sesuai dengan bidangnya. Bendahara
bertugas menerima, menyimpan, menyetorkan atau membayar,
menatausahakan, dan mempertanggugjawabkan penerimaan pendapatan desa
dan pengeluaran pendapatan desa dalam rangka pelaksanaan APBDesa.
Bendahara dijabat oleh staf pada urusan keuangan.45
Tata kelola keuangan desa juga sangat erat kaitannya dengan instrumen
yang disebut APBDes. APBDes sendiri dapat didefinisikan sebagai berikut:
“APBDes adalah bentuk pertanggungjawaban dari pemegang
manajemen desa untuk memberikan informasi tentang segala aktivitas
dan kegiatan desa kepada masyarakat dan pemerintah atas pengelolaan
dana desa dan pelaksanaan berupa rencana-rencana program dan
kegiatan yang dibiayai dengan uang desa. APBDesa terdiri dari
pendapatan, belanja dan pembiayaan desa.”46
Berdasarkan penjelesan di tas, APBDes telah bersifat teknis, karena telah
memuat beberapa program atau kegiatan yang mendapat alokasi dari
keuangan desa. APBDes meliputi pendapatan, belanja, dan pembiayaan ang
dimiliki oleh desa tiap tahunnya. Lebih lanjut, berdasarkan pada Permendagri
No.113 Tahun 2014 Pasal 2 menyebutkan bahwa:
44
Loc.cit, hal 17 45
Ibid, hal 30 46
Ibid, hal 33
-
41
“keuangan desa dikelola berdasarkan asas-asas transparan, akuntabel,
partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Dengan
adanya asas-asas tersebut, maka pemerintah desa dalam pengelolaan
keuangannya diharapkan akan transparan dalam pelaporan anggaran,
bertanggung jawab dengan laporan keuangannya, melibatkan
masyarakat dalam pembentukan laporan keuangan, serta tertib dan
disiplin dalam penggunaan anggaran. ”47
Mengacu pada pendapat di atas, maka dapat dipaparkan bahwa tata
kelola keunagan desa dalam praktiknya harus mampu memenuhi nilai-nilai
yang mendasar yang meliputi transpran, akuntabel, dan partisipastif. Dengan
demikian tata kelola keuangan desa tidak hanya harus
dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan tertentu, melainkan harus
terbuka akses informasinya kepada pihak selain pemerintah desa dan harus
pula memberikan ruang keterlibatan masyarakat baik dalam proses
perencanaan dan pelaksanaan atau penggunaan keuangan desa. Ketiga hal
tersebut secara lebih rincinya dapat mengacu pada penjelesan berikut:
1. Transparan
Transparan menjadi aspek pertama dalam asas-asas tata kelola
keuangan desa. aspek transparan menuntut adanya keterbukan informasi
menyangkuta tat kelola keuangan desa. Hal ini sesuai dengan penjelasan
berikut:
“Transparan berarti keterbukaan pemerintah dalam memberikan informasi
yang terkait dengan keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat,
bahwa masyarakat juga hak untuk mengetahui secara terbuka dan
menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam mengelola
sumber daya.48
47
Yuliansyah dan Rusmianto. 2016. Akuntansi Desa. Jakarta: Salemba Empat, hal 47 48
Arifin Tahir. 2015. Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggara Pemerintah Daerah.
Bandung: Alfabeta, hal 109
-
42
Dengan penerapan tata kelola keuangan desa yang tranparan akan
menuntut tindakan yang terbuka dan jujur dari aparatur pemerintah desa.
Disamping itu, aspek tarnasparan merupakan untuk menjamin kebebasan bagi
setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggara keuangan
pemerintah desa.
2. Akuntabel
Akuntabel yaitu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan
pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang
dipercayakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini
sesuai dengan penjelasan berikut ini:
“Asas akuntabel yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir kegiatan penyelenggaraan pemerintah desa dimana harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat desa sesuai dengan
ketentuan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan.49
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bajwa aspek
akuntabel merupakan bentuk pertanggungjawaban dalam tata kelola keuangan
desa. Adanya suatu pertanggungjawaban mencegah terjadi praktik
penyelewengan keuangan desa yang dapat dilakukan oleh aparat desa. Selain
itu, aspek pertanggungjawaban juga akan menjamin penerapan aturan atau
regulasi yang menjadi panduan dalam tata kelola keuangan desa.
3. Partisipatif
Dalam pengelolaan keuangan desa, tentu perlu adanya partisipasi
masyarakat. Partispasi masyarakat merupakan suatu keharusan dalam tata
49
R.B. Bely Dj. Widodo., Remon Musikal., Adrian Puspawijaya., dan Julia Dwi Nuritha Siregar.
2015. Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan dan Konsultasi Pengelolaan Keuangan Desa. Jakarta:
Badan Pengawasan Keuamgamn dan Pembangunan, hal 35
-
43
kelola keuangan desa, karena penggunaan keuangan desa harus bersifat
responsif atau mampung mengkomodir aspirasi masyarakat. Selain itu,
partisipasi masyarakat merupakan upaya demokratisasi dalam pengelolaan
keuangan desa.
“Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga
perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut
dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta
berpartisipasi secara konstruktif.50
Maka dari itu, partisipasi masyarkat dalam tata kelola keuangan desa
bertujuan agar masyarakat ikut berperan aktif dalam pengelolaan keuangan dan
karena masyarakatlah yang paling mengerti mengenai permasalahan yang
terjadi di lingkungannya.
E. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu di gunakan sebagai acuhan atau referensi dalam
melanjutkan penelitian selanjutnya. Manfaat dari penelitian terdahulu adalah
untuk mengetahui permasalahan yang pernah di teliti dan mengetahui solusi
yang dipecahkan oleh penelitian lain, diantaranya:
Penelitian yang dilakukan pada Desa Sareng Kecamatan Geger
Kabupaten Madiun menyebutkan bahwa Akuntabilitas Pemerintah Desa Dalam
Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Menurut
peneliti menunjukkan bahwa Pemerintah Desa Sareng Kecamatan Geger
Kabupaten Madiun sudah melaksanakan penerapan prinsip-prinsip
50
Mardiasmo. 2004. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi Offset, hal 24
-
44
akuntabilitas pada pengelolaan APBDes tahun anggaran 2011. Secara umum
akuntabilitas di pemerintahan Desa Sareng Kecamatan Geger Kabupaten
Madiun sudah berjalan dengan baik, walaupun masih ada beberapa kelemahan
yang harus dibenahi. Menurut hasil analisis berdasarkan tahapan pengelolaan
ADD, yaitu pada tahap pelaksanaan, pelaksanaan program Posyandu Lansia
hanya berjalan selama enam bulan dan selanjutnya program ini tidak berjalan.
Namun demikian, sisa dana Posyandu Lansia yang tidak berjalan tersebut
dialihkan untuk kegiatan lain tanpa menyertakan bukti penggunaan yaitu
kuitansi sesuai dengan ketetapan yaitu Peraturan Bupati Madiun Nomor 8
Tahun 2011.51
Hasil yang hampir sama juga ditunjukkan oleh penelitian dilakukan di
Desa Bendosari Kecamatan Ngantru Kabupaten Tulungagung Hasil penelitian
menunjukkan Pemerintah Desa Bendosari, Kecamatan Ngantru, Kabupaten
Tulungagungtelah menerapkan prinsip- prinsip akuntabilitas pada pengelolaan
APBDes tahun anggaran 2015. Akuntabilitas ini secara umum di pemerintahan
Desa Bendosari Kecamatan Ngantru Kabupaten Tulungagung sudah berjalan
dengan baik, walaupun masih ada beberapa kelemahan yang harus dibenahi.
Menurut hasil analisis berdasarkan tahapan pengelolaan DD, yaitu pada
tahapan pelaksanaan, pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastuktur
pedesaanyaitu pembangunan jalan paving belum berjalan sesuai dengan
harapan karena pelaksana dari kegiatan pembangunan ini tidak dikelola
langsung oleh Tim Pelaksanan Kegiatan yang dibentuk oleh Pemerintah Desa,
51
Elgia Astuty. 2013. Akuntabilitas Pemerintah Desa dalam Pengelolaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa (APBDES) (Studi pada Alokasi Dana Desa Tahun Anggaran 2011 di Desa
Sareng Kecamatan Geger Kabupaten Madiun). Publika¸1(2): 1-19
-
45
namun kenyataannya seluruh pengadaan barang dan jasa masih dilaksanakan
oleh bendahara desa.52
Hal yang senada juga dibuktikan penelitian di Desa Kerepkidul
Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk sudah melaksanakan penerapan prinsip-
prinsip akuntabilitas pada pengelolaan APBDes tahun anggaran 2015.
Pemerintah Desa Kerepkidul telah membuktikan komitmennya atau
tanggungjawabnya dengan cara mematuhi dan mengikuti tahapan serta
ketentuan yang berlaku sesuai dengan Peraturan yang telah dikeluarkan oleh
Bupati Nganjuk. Namun dalam penerapannya masih ditemukan permasalahan
yakni pada besar jumlah persentase yang sedikit melebihi dari yang
ditetapkan.53
Sama seperti penelitian sebelumnya peneliti mengungkapkan bahwa
akuntabilitas hukum dan kejujuran Desa Garon telah berpedoman pada
Undang-Undang RI No.06 Tahun 2014, Peraturan Menteri dalam Negeri No.83,
113 dan 114, Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2014, dan Peraturan Bupati
Magetan No.12 Tahun 2015. Akuntabilitas manajerial pemerintah Desa Garon
telah melibatkan masyarakat, seluruh perangkat desa, tim pelaksana, BPD,
LPM dan Karang Taruna. Akuntabilitas program Desa Garon dengan
mengikutsertakan masyarakat dalam menyusun program desa. Akuntabilitas
finansial pemerintah Desa Garon terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja
52
Retno Murni Sari. 2015. Akuntabilitas Pengelolaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Desa
(APBDes) di Desa Bendosari Kecamatan Ngantru Kabupaten Tulungagung. Jurnal Kompilek,
7(2): 139-148 53
Indrian Supheni. 2016. Akuntabilitas Penyelenggaraan Pemerintah Desa Dalam Pengelolaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) (Studi Alokasi Dana Desa Tahun Anggaran
2015 Di Desa Kerepkidul Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk). Eksis, 11(2): 190-199
-
46
Desa Garon dapat dikatakan cukup ekonomis, tidak efesien, namun
memberikan kontribusi pembangunan yang dapat dikatakan cukup efektif bagi
perekonomian masyarakat Desa Garon.54
Pada penelitian ini peneliti mengungkapkanbahwa prinsip akuntabilitas
dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Tahun
2015 di desa Argorejo dan desa Argodadi Kecamatan Sedayu Kabupaten
Bantul secara bertahap mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan sampai pada tahap pelaporan dan pertanggung jawaban
APBDes telah sesuai dengan Permendagri No.113 tahun 2014, namun dari sisi
administrasi masih diperlukan adanya pembinaan lanjutan, karena belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan serta masih ada keterlambatan pada
pelaporan akhir. Kendala utamanya adalah belum efektifnya pembinaan aparat
pemerintahan desa dan kompetensi sumber daya manusia, sehingga
memerlukan pendampingan dari Pemerintah Daerah secara berkelanjutan.55
Berbeda dengan peneliti ini menunjukkan bahwa berdasarkan Peraturan
Bupati Nomor 33 Tahun 2015 tentang pengelolan Keuangan Desa secara garis
besar pengelolaan Keuangan Desa telah mencapai akuntabilitas. Selain itu
masih diperlukan adanya pendampingan desa dari pemerintah daerah yang
intensif dalam membantu desa untuk mewujudkan akuntabilitas pengelolaan
54
Pipit Juliana dan Purweni Widhianningrum. 2017. Akuntabilitas Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa Garon Kecamatan Kawedanan Kabupaten Magetan. ASSETS: Jurnal Akuntansi dan
Pendidikan, 6(2): 169-183 55
Efra Daud Soeharso. 2017. Akuntabilitas Pemerintah Desa dalam Pengelolaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Tahun 2015 Berdasarkan Permendagri No. 113 Tahun
2014 di Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul Yogyakarta. Journal of Governance and Public
Policy, 4(3): 422-442
-
47
keuangan Desa.56
Hal senada juga diungkapkan peneliti menemukan bahwa
tingkat kredibilitas aparatur desa Mandesan dapat dinilai melalui
pertanggungjawaban dalam mengelola keuangan secara optimal. Dengan
diterapkannya asas pengelolaan keuangan yang mengacu pada Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.113 Tahun 2014, dan adanya kejelasan sasaran
anggaran yang berorientasi pada masyarakat dengan ketercapaian realisasi
yang mendekati nilai anggarannya. Serta terjadi upaya melakukan peningkatan
kualitas aparatur desa melalui pemantapan administrasi keuangan secara
konsisten, akuntabel dan transparan.57
Penelitian yang berbeda juga menunjukkan bahwa tidak adanya
keterbukaan/tranparansi mengenai anggaran yang dikelola pemerintah desa
dalam hal ini pelaksanaa anggaran, sehingga masyarakat pada umumnya tidak
mengetahui secara terperinci tentang APBDes. Masyarakat hanya mengetahui
jumlah keseluruhan APBDes tahun 2016 yaitu Alokasi Dana Desa berjumlah
Rp. 390.342.144 dan Dana Desa yang dari Pusat berjumlah Rp. 557.039.956.
Bahkan proses transparansi ini tidak membawa dampak positif kepada tata
pemerintahan yang ada di Desa Tandu, serta keterbukaan pemerintah dalam
membuat kebijakan-kebijakan tidak diketahui oleh masyarakat. Pelaksanaan
Program APBDes di Desa Tandu tidak menerapkan prinsip akuntabilitas,
walaupun penerapan prinsip akuntabilitas pada tahap ini pertanggung jawaban
hanya diberkan kepada pemerintah daerah. Sedangkan kepada masyarakat
56
Lina Nasehatun Nafidah dan Nur Anisa. 2017. Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Desa di
Kabupaten Jombang. Akuntabilitas: Jurnal Ilmu Akuntansi, 10(2): 273-288 57
Henny Indarriyanti dan Vivi Eka Setyawati. 2017. Akuntabilitas APBdes sebagai Penentu
Tingkat Kredibilitas Aparatur Desa. Prosiding Seminar Nasional dan Call For Paper Ekonomi
dan Bisnis, hal 22-34
-
48
proses pertanggung jwaban tidak dilakukan sampai sekarang sehingga sampai
saat ini respon dari masyarakat untuk menunjang program pemerintah kurang.
Masyarakat hanya menginginkan laporan pertanggung dari pemerintah kepada
masyarakat sebelum melaksanakan program pemerintah selanjutnya.58
Pada peneliti ini menunjukkan bahwa problematika kepolisian sebagai
penyidik tindak pidana korupsi dalam penetapan tersangka tindak pidana
korupsi dana kampung/desa, yaitu: Pertama, saksi tidak kooperatif dalam
kesediaan hadir meskipun telah dipanggil secara patut dan resmi, Kedua,
penyidik tindak pidana korupsi terlebih dahulu harus memiliki bukti nilai
kerugian negara dari Inspektorat Kabupaten Aceh Tengah dan Badan
Pemeriksaan Keuangan (BPK), yang memerlukan waktu sangat lama hingga
lebih dari 2 (dua) bulan.59
Hal yang sama juga ditemukan peneliti menunjukkan
bahwa Kepala Desa Tunjungori Kecamatan Tambak Kabupaten Gresik diputus
bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 1 tahun serta
dendaRp.50.000.000 juga mengembalikan uang negara sebesar Rp.239.396.815.
Dalam mekanisme persetujuan APBDes diketahui bahwa BPD sebagai
lembaga kemasyarakatan desa tidak diundang untuk melakukan musyawarah
terkait perencanaan APBDes Tanjungori, adapun tanda tangan persetujuan oleh
BPD juga telah ditanda tangani sendiri oleh terdakwa.60
58
Adianto Asdi Sangki., Ronny Gosal., dan Josef Kairupan. 2017. Penerapan Prinsip Transparansi
dan Akuntabilitas dalam Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Jurnal Eksekutif,
1(1): 1-12 59
Achmad Surya. 2018. Problematika Penyidik Dalam Penetapan Tersangka Tindak Pidana
Korupsi Dana Desa di Kabupaten Aceh Tengah. RESAM Jurnal Hukum, 4(1): 1-16 60
Okta Alfahni Ardiansa dan Tamsil. 2018. Analisis Yuridis Pelanggaran Prosedur Pengadaan
Barang/Jasa Desa Dengan Sumber Dana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Desa di Desa
Tanjungori Kecamatan Tambak Kabupaten Gresik (Studi Kasus Putusan Nomor 239/Pid. Sus-
TPK/2017/Pn. Sby). Jurnal Novum, 3(1): 1-9
-
49
Berdasarkan penelitian terdahulu diatas, terlihat adanya penyelewengan
mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa oleh karena itu posisi
penelitian ini adalah lebih kepada melengkapi penelitian diatas yang berkaitan
tentang Akuntabilitas Pemerintah Desa Dalam Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa, jadi bisa dikatakan bahwa penelitian ini
merupakan penelitian terbaru di Kabupaten Bojonegoro.