5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Analisis Hidrologi
CD. Soemarto dalam buku yang berjudul Hidrologi Teknik, menyebutkan bahwa
hidrologi merupakan ilmu yang sangat berpengaruh dalam perencanaan bangunan air,
hal yang paling utama yaitu curah hujan. Analisa hidrologi adalah langkah pertama
dalam sebuah perencanaan bendungan.
2.1.1 Analisis Curah Hujan Maksimum
Dalam analisis ini menggunakan data hujan harian sehingga nantinya didapatkan
nilai debit banjir rencana. Perhitungan hidrologi ini menggunakan 3 titik stasiun yang
berada disekitar lokasi rencana bendungan yakni stasiun Pudak, stasiun Sooko, dan
stasiun Sawoo. Yang mengacu pada hasil perhitungan hidrologi studi terdahulu.
2.1.2 Perhitungan Debit Banjir Rencana
Data debit banjir rencana berfungsi untuk memberikan informasi mengenai
jumlah air yang mengalir pada waktu tertentu. Oleh karena itu, data debit air ini berguna
untuk mengetahui cukup tidaknya persediaan air untuk berbagai keperluan (domestik,
irigasi, pelayaran, tenaga listrik, dan industri pengelolaan DAS) , pengendalian
sedimen, prediksi kekeringan, dan penilaian beban pencemaran air.
Dalam perencanaan ini, debit banjir rencana yang akan digunakan dalam
perhitungan selanjutnya mengacu pada Konsep Laporan Akhir Bendungan Bendo
Kabupaten Ponorogo. Debit banjir rencana ditentukan dengan menggunakan Hidrograf
Satuan Sintetik Nakayasu dengan debit kala ulang 1000 tahun dan debit PMF (Probable
Maximum Flood).
2.2 Hidrolika Pelimpah
Pelimpah (spillway) adalah salah satu komponen penting dari sebuah bendungan.
Dimana pelimpah digunakan sebagai pengontrol pelepasan arus dari suatu bendungan
ke daerah hilir. Tujuan dari adanya meloloskan air adalah agar air tidak melampaui
6
tubuh bendungan (overtopping) dan untuk mengurangi kerusakan pada bendungan.
Bangunan pelimpah harus dirancang dengan baik agar debit banjir yang direncanakan
nantinya dapat mengalir dengan baik melalui saluran transisi, saluran peluncur dan
peredam energi.
Gambar 2.1 Skema Tipe Bangunan Pelimpah pada Bendungan Urugan
Sumber: Suyono Sosrodarsono (2016:203)
2.2.1 Tinggi Bangunan Pelimpah
Puncak mercu bangunan pelimpah/tinggi bangunan pelimpah diatur sama dengan
muka air normal pada suatu bendungan (Normal Water Level). Muka air normal ini
setara dengan batas atas tampungan efektif bendungan.
2.2.1.1 Mercu Pelimpah
Pada umumnya kebanyakan mercu pada pelimpah (spillway) menggunakan
tipe mercu Ogee. Mercu Ogee adalah sebuah mercu yang memiliki bentuk tirai luapan
ambang tajam. Oleh karena itu, mercu ini tidak akan memberikan tekanan sub atmosfir
pada permukaan mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana. Untuk
debit rendah, air akan memberikan tekanan kebawah pada mercu.
7
Gambar 2.2 Desain Bendung Mercu Ogee
Sumber: Kriteria Perencanaan 02,(1986:57)
US Army Corp of Engineers telah mengambangkan persamaan yang digunakan
untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir berikut ini: (Kriteria
Perencanaan 02, 1986:55).
Y
Hd =
1
K . [
X
Hd]
𝑛 (2.1)
Dimana :
X,Y = Koordinat koordinat permukaaan hilir
Hd = Tinggi energi rencana diatas mercu
K,n = Parameter untuk berbagai kemiringan hiliR
Tabel 2.1 Nilai K dan N
Kemiringan permukaan hilir K n
vertikal 2,000 1,850
3 : 1 1,936 1,836
3 : 2 1,939 1,810
1:1 1,873 1,776
Sumber : Kriteria Perencanaan 02,(1986:56)
8
Bentuk mercu pelimpah yang akan direncanakan adalah dengan menggunakan
tipe ogee dengan hulu pelimpahnya adalah tegak lurus. Persamaan yang akan digunakan
adalah sebagai berikut:
X1,85 = 2,0 x Hd0,850 x Y (2.2)
Dimana:
Hd = Tinggi energi rencana diatas mercu
X = Jarak horizontal dari titik tertinggi mercu pelimpah ke permukaan mercu
disebelah hilirnya
Y = Jarak vertikal dari titik tertinggi mercu pelimpah ke permukaan mercu
disebelah hilirnya
Untuk perhitungan profil dibagian hulu dapat diperoleh dengan persamaan:
X1 = 0,175 . Hd (2.3)
X2 = 0,282 . Hd (2.4)
R1 = 0,5 . Hd (2.5)
R2 = 0,2 . Hd (2.6)
2.2.1.2 Kapasitas Bangunan Pelimpah
Bendung pelimpah (over flow wier) merupakan salah satu komponen dari
saluran pengatur aliran yang mana dibuat untuk meningkatkan pengaturan serta untuk
memperbesar debit air yang akan melewati bangunan pelimpah. Debit yang melewati
bangunan pelimpah dapat dihitung dengan menggunakan persamaan rumus yakni
sebagai berikut: (Suyono Sosrodarsono, Bendungan Tipe Urugan, 2016:203).
Q = C . L . H3/2 (2.7)
Dimana :
Q = Debit (digunakan debit banjir rencana) (m3/dtk)
C = Koefisien debit (berkisar antar 2,0 – 2,2)
L = Lebar efektif mercu pelimpah (m)
H = Tinggi air diatas mercu pelimpah, termasuk tinggi tekanan kecepatan aliran pada
saluran aliran (m)
9
2.2.1.3 Nilai Koefisien Debit
Koefisien debit/limpahan pada suatu bendungan biasanya berkisar antara angka
2,0 s/d 2,2. Yang mana pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
sebagai berikut:
1) Kedalaman air pada saluran pengarah aliran
2) Kemiringan lereng di hulu pelimpah
3) Tinggi air yang berada di atas mercu pelimpah
Untuk mendapatkan nilai Koefisien debit/limpahan (C) digunakan rumus
Iwasaki yang akan dijabarkan sebagai berikut: (Suyono Sosrodarsono, Bendungan Tipe
Urugan, 2016:205).
Cd = 2,200 – 0,0416 (Hd/W)0,990 (2.8)
C = 1,6 . 1 2
1
+
+
a h Hd
a h Hd
( / )
( / ) (2.9)
Dimana :
C = Koefisien debit
Cd = Koefisien debit pada saat h = Hd
H = Tinggi air di atas mercu pelimpah (m)
Hd = Tinggi tekanan rencana diatas mercu pelimpah (m)
W = Tinggi pelimpah (m)
α = Koefisien (diperoleh pada saat h = Hd sehingga C = Cd)
2.2.1.4 Lebar Efektif Pelimpah
Debit air yang melintasi mercu pelimpah selalu didasarkan pada lebar efektifnya,
yaitu hasil dari pengurangan lebar sesungguhnya dengan jumlah seluruh kontraksi yang
timbul pada aliran air yang melintas mercu pelimpah tersebut.
Rumus berikut dapat digunakan untuk mendapatkan nilai lebar efektif pelimpah
dengan mempertimbangkan jumlah pilar dan efek kontraksi pada dinding pelimpah:
(Suyono Sosrodarsono, Bendungan Tipe Urugan, 2016:206).
L = L’ – 2 (N . Kp + Ka). H (2.10)
10
Dimana:
L = Lebar efektif pelimpah (m)
L’ = Lebar bendung sesesungguhnya (m)
N = Jumlah pilar pada mercu pelimpah
Kp = Koefisien kontraksi pilar
Ka = Koefisien kontraksi dinding samping
H = Tinggi tekanan di atas mercu (m)
2.2.1.5 Penelusuran Banjir Lewat Waduk
Penelusuran banjir biasanya digunakan untuk memprediksi berapa besar debit
banjir yang nantinya akan melewati suatu bendungan. Pada kasus kali ini penelusuran
banjir dilakukan melalui pelimpah. Dengan adanya perhitungan penelusuran banjir
melalui pelimpah maka dapat diketahui tinggi maksimum permukaan air pada
bendungan. Sehingga dapat direncanakan ketinggian tubuh bendungan yang optimum.
Selain itu juga dapat digunakan untuk merencanakan bangunan pelimpah agar banjir
yang masuk melalui waduk dapat mengalir keluar tanpa menyebabkan adanya limpasan
air diatas mercu bendungan (overtopping). Berikut ini adalah persamaan yang
digunakan pada penelusuran banjir: (CD Soemarto, Hidrologi Teknik, 1986:189).
I – O = dt
ds (2.11)
Dimana :
I = aliran yang masuk ke waduk (m3/dtk)
O = aliran yang keluar dari waduk (m3/dtk)
S = besarnya tampungan waduk (m3)
dt = periode penelusuran (detik, jam, hari)
dt
ds = perubahan tampungan tiap periode (m3/dtk)
Kalau periode penelusurannya diubah dari dt menjadi t maka penjabaran dari
persamaan rumus 2.6 diatas dapat dituliskan menjadi :
I = I1+I2
2 (2.12)
11
O = O1+ O2
2 (2.13)
ds = S2 – S1 ; dt = t (2.14)
I1+I2
2 - (
O1+ O2
2) = (
S2− S1
t) (2.15)
I1+I2
2 + (
S1t
− O12
) = (S2t
+ O22
) (2.16)
(S1
t−
O1
2) = 𝜓1 (2.17)
(S2
t+
O2
2) = 𝜑2 (2.18)
Maka :
I1+I2
2 + 𝜓 = 𝜑 (2.19)
Dimana :
I1 = Debit inflow pada waktu awal t (m3/dtk)
I2 = Debit inflow pada waktu akhir t (m3/dtk)
O1 = Debit outflow pada waktu awal t (m3/dtk)
O2 = Debit outflow pada waktu awal t (m3/dtk)
S1 = Volume tampungan bendungan pada waktu awal t (m3)
S2 = Volume tampungan bendungan pada waktu akhir t (m3)
t = Periode penelusuran banjir (3.600 dt) (detik)
Pada saat dilakukannya penelusuran banjir dianggap bahwa muka air waduk
pada waktu banjir dating (original level) bedara setara dengan tinggi mercu pelimpah.
2.2.2 Penentuan Tinggi Muka Air pada Mercu Pelimpah
Sebelum adanya perhitungan hidrolika terhadap saluran transisi dan saluran
peluncur, hendaknya perlu dilakukan perhitungan hidrolik pada lereng hilir pelimpah
guna mengetahui kedalaman air pada hulu saluran transisi. Untuk menentukan
kedalaman pada lereng bagian hilir pelimpah tersebut maka digunakan rumus sebagai
berikut: (Ven Te Chow, Hidrolika Saluran Terbuka, 1992:345)
12
𝑉z = √2𝑔 (𝑧+𝐻𝑑−𝑌z) (2.20)
Vz = 𝑄
𝑌𝑧 . 𝐿 (2.21)
F = 𝑉𝑧
√𝑔 . 𝑌𝑧 (2.22)
√2𝑔 (𝑧+𝐻𝑑−𝑌z) - 𝑄
𝑌𝑧 . 𝐿 = 0 (2.23)
Dimana:
Vz = Kecepatan aliran di titik sejauh z (m)
Hd = Tinggi pada hulu pelimpah (m)
Yz = Kedalaman di titik sejauh z (m)
Q = Debit banjir rencana (m3/dtk)
L = Lebar pelimpah (m)
Fz = Bilangan Froude
Z = Tinggi mercu dihitung dari puncak mercu hingga hilir lereng pelimpah (m)
Langkah-langkah dalam perhitungan nya adalah sebagai berikut:
a. Dengan mengambil nilai z
b. Dengan menggunakan metode coba-coba untuk nilai Yz, maka nilai tersebut
dimasukkan ke persamaan (2.23) diatas
c. Dicari persamaan Yz dan Vz
d. Menghitung nilai bilangan Froud dengan menggunakan persamaan (2.22)
e. Elevasi lereng pelimpah didapat dari elevasi puncak pelimpah – Yz
f. Elevasi muka air didapat dari elevasi lereng pelimpah + Yz
2.2.3 Saluran Transisi dan Saluran Peluncur
Perencanaan saluran transisi sangatlah penting bagi rangkaian perencaan suatu
pelimpah bendungan. Dengan adanya perencanaan saluran traansisi yang baik maka
aliran air pada hilir saluran tidak akan mengalami pemberhentian (back water). (Suyono
Sosrodarsono, 1977)
13
Gambar 2.3 Skema penyempitan untuk bagian transisi saluran pengarah
pada suatu bangunan pelimpah
Sumber: Suyono Sosrodarsono (2016 :229)
Perencanaan saluran peluncur (floodway) harus didasarkan pada persyaratan
seperti dibawah ini: (Suyono Sosrodarsono, Bendungan Tipe Urugan, 2016:231).
a. Air yang melimpah dari saluran pengatur mengalir dengan lancar tanpa hambatan-
hambatan hidrolis.
b. Konstruksi dari saluran peluncur harus cukup kokoh dan stabil dalam menampung
semua beban yang timbul.
c. Biaya kontruksi diusakan seekonomis mungkin.
Untuk dapat memenuhi beberapa persyaratan diatas, maka perlu diperhatikan
beberapa hal yaitu sebagai berikut:
a. Tampak atas hendaknya direncanakan selurus mungkin. Pada saluran yang lurus,
tidak akan terjadi kejutan gelombang hidrolis.
b. Penampang melintang pada saluran peluncur diambil bentuk persegi empat.
c. Kemiringan dasar saluran pada bagian hulu diharapkan landau dan kearah hilir
akan semakin curam.
d. Jika salurannya tertutup, biasanya tidak sesuai apabila digunakan untuk saluran
peluncur.
14
Dalam perhitungan profil aliran memiliki sasaran yakni menentukan bentuk profil
aliran. Bila digolongkan secara umum, ada tiga metode/cara yang digunakan dalam
perhitungan ini, yakitu metode integrase grafis, metode integrasi langsung, dan metode
pentahapan. Pada perhitungan kali ini, metode yang digunakan dalam perhitungan
adalah dengan menggunakan Metode Tahapan Langsung.
Metode tahapan langsung adalah suatu metode yang mana secara umum
dinyatakan dengan melakukan pembagian-pembagian saluran menjadi bagian-bagian
saluran pendek, lalu menghitungnya secara bertahap dari satu ujung ke ujung yang
lainnya. Metode ini merupakan metode yang paling sederhana yang dapat digunakan
untuk perhitungan saluran prismatic.
Rumus yang digunakan untuk menghitung bentuk penampang memanjang saluran
transisi adalah sebagai berikut: (Suyono Sosrodarsono, Bendungan Tipe Urugan,
2016:229)
Z1 + Y1 + 𝛼V12
2g = Z2 + Y2 + 𝛼
V22
2g +
𝑘 (𝑉1−𝑉2)
2 .𝑔 (2.24)
Dimana:
Z1 = Elevasi dasar dibagian hulu saluran transisi = elevasi dasar di hilir mercu
pelimpah (m)
Z2 = Elevasi dasar dibagian hilir saluran transisi (m)
y1 = Kedalaman air diujung hulu saluran transisi (m)
y2 = Kedalaman air diujung hilir saluran transisi (m)
V1 = Kecepatan aliran dibagian hulu saluran transisi (m/dtk)
V2 = Kecepatan aliran dibagian hilir saluran transisi (m/dtk)
g = Gravitasi (9,81 m/dtk2)
α = Koefisien energi
k = Koefisien kehilangan tinggi tekanan akibat perubahan penampang lintang
saluran transisi (0,1 – 0,2)
n = Kekasaran Manning
Rumus yang digunakan untuk menghitung penampang aliran pada saluran
peluncur adalah sebagai berikut: (Ven Te Chow, Hidrolika Saluran Terbuka, 1992:239)
15
Gambar 2.4 Skema Bagian Saluran untuk Menurunkan Metode Tahapan
(MetodeTahapan Langsung)
Sumber: Ven Te Chow (1992 :239)
Z1 + 𝛼V12
2g = Z2 + 𝛼
V22
2g + Hf (2.25)
S0 . ∆𝑥 + y1 + 𝛼V12
2g = y2 + 𝛼
V22
2g + Sf . ∆𝑥 (2.26)
∆𝑥 = ∆𝐸
𝑆0−𝑆𝑓 =
𝐸2−𝐸1
𝑆0−𝑆𝑓 (2.27)
E = y + 𝛼V2
2g (2.28)
Untuk rumus manning:
Sf = 𝑛2𝑉2
𝑅4/3 (2.29)
Hf = Sf . ∆𝑥 (2.30)
Untuk nilai gesekan akibat penyempitan saluran menggunakan rumus:
𝑘 (𝑉1−𝑉2)
2 .𝑔 (2.31)
16
Dimana:
Z1 = Elevasi dasar saluran dibagian hulu (m)
Z2 = Elevasi dasar saluran dibagian hilir (m)
y1 = Kedalaman air diujung hulu saluran (m)
y2 = Kedalaman air diujung hilir saluran (m)
V1 = Kecepatan aliran kritis dibagian hulu saluran (m/dtk)
V2 = Kecepatan aliran kritis dibagian hilir saluran (m/dtk)
g = Gravitasi (9,81 m/dtk2)
S0 = Kemiringan dasar saluran
Sf = Kemiringan garis energi
Sw = Kemiringan muka air
E = Energi (m)
H = Tinggi energi (m)
Hf = Kehilangan total tinggi tekanan yang disebabkan oleh gesekan (m)
α = Koefisien energi
n = Kekasaran Manning
Jenis aliran pada suatu saluran terbagi menjadi tiga jenis, yakni aliran subkritis,
aliran kritis dan aliran superkritis. Yang ketiganya dapat diketahui dengan cara
menghitung besarnya bilangan Froude (Fr). Jika hasil dari perhitungan bilangan Fr < 1
maka aliran tersebut adalah aliran subkritis, Fr = 1 maka alirannya adalah kritis dan jika
Fr > 1 maka alirannya adalah superkritis.
Jika aliran yang terjadi disuatu saluran merupakan aliran subkritis maka perhitungan di
mulai dari hilir kearah hulu saluran, sedangkan apabila aliran yang terjadi adalah aliran
superkritis maka sebaliknya perhitungan dimulai dari arah hulu ke arah hilir saluran.
2.2.4 Peredam Energi
Peredam energi ini berfungsi untuk mereduksi aliran yang telah keluar dari saluran
peluncur dengan jenis superkritis, sehingga aliran yang akan masuk ke sungai dapat
diubah menjadi aliran sub kritis yang aman bagi alur sungai tersebut. (Suyono
Sosrodarsono,2016:241).
17
Jenis peredam energi yang biasa digunakan pada bendungan dipilih dan
disesuaikan berdasarkan tipe bendungannya, kondisi tofografinya, dan sistem kerjanya,
untuk bendungan jenis tipe urugan biasanya jenis peredam energi yang digunakan yaitu
sebagai berikut: (Suyono Sosrodarsono, Bendungan Tipe Urugan, 2016:241).
1. Tipe loncatan (water jump type)
Peredam energi tipe loncatan adalah jenis peredam energi yang pada umumnya
cocok digunakan untuk sungai dengan dasar alur yang kukuh. Tipe ini dibuat untuk jenis
sungai yang dangkal. Sehingga biaya pembuatannya pun cukup rendah bila dibandingan
dengan tipe-tipe yang lain, tetapi mempunyai kekurangan efektivitas kerjanya lebih
rendah juga, dan biasanya menimbulkan olakan–olakan pada aliran hilirnya.
Gambar 2.5 Bentuk Lengkungan Peredam pada Energi Loncatan
Sumber: Suyono Sosrodarsono (2016 :243)
2. Tipe kolam olakan (stilling basin type)
Tipe ini dinamakan peredam kolam oalakan dikarenakan jenis ini mempunyai
prinsip, dimana peredam energinya yang sebagian besar terjadi akibat proses pergesekan
diantara molekul-molekul air, akan menimbulkan olakan–olakan didalam kolam
tersebut.
• Kolam olakan datar tipe I, dimana secara teori cocok untuk keadaan sebagai berikut:
a. Aliran mempunyai tekanan hidrostatis yang rendah, (Pw < 60 m)
b. Debit yang dialirkan kecil (debit spesifik q < 18,5 m3/det/m)
c. Bilangan Froude di akhir saluran peluncur < 4,50
18
Gambar 2.6 Kolam Olakan Datar tipe I
Sumber: Suyono Sosrodarsono (2016 :245)
• Kolam olakan datar tipe II, dimana secara teori cocok untuk keadaan sebagai berikut:
a. Aliran dengan tekanan hidrostatis yang tinggi (Pw > 60 m)
b. Debit yang dialirkan besar (debit spesifik q < 45 m3/det/m)
c. Bilangan Froude di akhir saluran peluncur > 4,50)
Gambar 2.7 Kolam Olakan Datar tipe II
Sumber: Suyono Sosrodarsono (2016 :246)
19
• Kolam olakan datar tipe III
a. Aliran mempunyai tekanan hidrostatis yang rendah (Pw < 60 m)
b. Debit yang dialirkan kecil (debit spesifik q < 18,5 m3/det/m)
c. Bilangan Froude di akhir saluran peluncur > 4,50
Gambar 2.8 Kolam Olakan Datar tipe III
Sumber: Suyono Sosrodarsono (2016 :247)
• Kolam olakan datar tipe IV
a. Aliran mempunyai tekanan hidrostatis yang rendah (Pw < 60 m)
b. Debit yang dialirkan kecil (debit spesifik q > 18,5 m3/det/m)
c. Bilangan Froude di akhir saluran peluncur antara 2,50 s.d 4,50
Gambar 2.9 Kolam Olakan Datar tipe IV
Sumber: Suyono Sosrodarsono (2016 :248)
20
Gambar 2.10 Kedalaman Air Minimum di Hilir Kolam Olakan (USBR tipe I, II dan III)
Sumber: Suyono Sosrodarsono (2016 :250)
Gambar 2.11 Panjang Loncatan Hidrolis Kolam Olakan (USBR tipe I, II dan III)
Sumber: Suyono Sosrodarsono (2016 :251)
21
3. Tipe bak pusaran (roller bucket type)
Tipe peredam jenis bak pusara ini adalah jenis peredam energi yang
membutuhkan pondasi batuan yang kukuh dan air yang terdapat dihilirnya cukup dalam.
Bak pusara ini mempunyai bentuk serta modifikasi yang beraneka ragam, disesuaikan
dengan kondisi topografi dan geologi tempat kedudukannya.
Gambar 2.12 Bak Pusara Tipe Grand-Coulee
Sumber: Suyono Sosrodarsono (2016 :255)
Gambar 2.13 Bak Pusara Beralur Tipe Angosture
Sumber: Suyono Sosrodarsono (2016 :255)
2.2.5 Tinggi Jagaan
Adanya perhitungan tinggi jagaan pada suatu bangunan pelimpah digunakan
untuk menghindari terjadinya limpasan, yang kemungkinan terjadi pada elevasi muka
air paling tinggi, ditambah tinggi ombak ataupun kemungkinan adanya benda-benda
terapung yang terdapat pada aliran tersebut.
Disamping untuk menghindari limpasan-limpasan pada elevasi permukaan air
disaat dialirkannya debit banjir rencana, tinggi jagaan juga berperan pada saat
pengaliran debit banjir abnormal.
22
Untuk perhitungan pada tinggi jagaan dapat digunakan rumus sebagai berikut:
(Suyono Sosrodarsono, Bendungan Tipe Urugan, 2016:256).
Fb = C . V . d1/2 (2.32)
atau
Fb = 0,6 + 0,037 . V . d1/3 (2.33)
Dimana:
Fb = Tinggi jagaan (m)
C = Koefisien (0,1 untuk penampang saluran berbentuk persegi panjang)
V = Kecepatan aliran (m/dtk)
d = Kedalaman air didalam saluran (m)
2.3 Analisa Stabilitas Pelimpah
Analisa stabilitas adalah suatu perhitungan yang digunakan untuk mengontrol
apakah suatu bangunan yang direncanakan dapat kuat menahan beban–beban yang
berlaku pada bangunan itu sendiri atau tidak.
1. Kondisi Pembebanan pada saat Tidak Ada Air Pada Saluran.
2. Kondisi Pembebanan pada saat Ada Air Pada Saluran.
3. Kondisi Pembebanan pada saat Gempa, pada kondisi ini nantinya saat perhitungan
akan dimasukkan koefisien gempa pada gaya yang membebani bangunan.
2.3.1 Analisa Pembebanan
Perhitungan stabilitas pada suatu bangunan pelimpah didasarkan pada gaya yang
bekerja pada bangunan pelimpah itu sendiri.
2.3.1.1 Tekanan Air
Untuk perhitungan tekanan air statis pada analisa stabilitas digunakan lah rumus
sebagai berikut: (Braja M. Das, Mekanika Tanah jilid 2, 1995:48)
Pw = 1
2 . 𝛾w . H2 (2.34)
Dimana:
Pw = Tekanan air (ton/m’)
23
𝛾𝑤 = Berat jenis air (t/m3)
H = Kedalaman air (m)
2.3.1.2 Tekanan Tanah
Perhitungan tekanan tanah pada perhitungan ini dibedakan atas tekanan tanah
aktif dan tekanan tanah pasif.
a. Tekanan tanah aktif
Rumus yang digunakan untuk perhitungan tekanan tanah aktif yaitu sebagai
berikut: (Braja M. Das, Mekanika Tanah jilid 2, 1995:51)
Pa = 1
2 . Ka .𝛾t . H2 (2.35)
Koefisien tekanan tanah aktif dihitung dengan rumus berikut:
Ka = tan2 (450 - ∅
2 ) (2.36)
Dimana:
Pa = Tekanan tanah aktif (ton/m’)
Ka = Koefisien tanah aktif
𝛾t = Berat jenis tanah (t/m3)
h = Tinggi tanah (m)
b. Tekanan tanah pasif
Rumus yang digunakan untuk perhitungan tekanan tanah pasif yaitu sebagai
berikut: (Braja M. Das, Mekanika Tanah jilid 2, 1995:53)
Pp = 1
2 . Kp .𝛾t . H2 (2.37)
Koefisien tekanan tanah aktif dihitung dengan rumus berikut:
Kp = tan2 (450 + ∅
2 ) (2.38)
Dimana:
Pp = Tekanan tanah pasif (ton/m’)
Ka = Koefisien tanah pasif
𝛾t = Berat jenis tanah (t/m3)
h = Tinggi tanah (m)
24
2.3.1.3 Berat Material
a. Berat Sendiri Bangunan
Perhitungan berat bangunan bergantung pada bahan yang dipakai untuk
membuat bangunan itu sendiri. Rumus yang digunakan untuk perhitungan berat sendiri
bangunan yaitu sebagai berikut: (Braja M. Das, Mekanika Tanah jilid 1, 1993:31)
W1 + W2 + W3 + …. + Wn (2.39)
W = 𝛾b . V (2.40)
Dimana:
W = Berat bangunan (ton)
𝛾 = Berat jenis bahan (t/m3)
V = Volume (m3)
b. Berat Air
Rumus yang digunakan untuk melakukan perhitungan terhadap berat air yaitu
sebagai berikut: (Braja M. Das, Mekanika Tanah jilid 1, 1993:31)
Ww = 𝛾w . V (2.41)
Dimana:
Ww = Berat air (ton)
𝛾w = Berat jenis air (t/m3)
V = Volume air (m3)
c. Berat Tanah
Rumus yang digunakan untuk melakukan perhitungan terhadap berat tanah yaitu
sebagai berikut: (Braja M. Das, Mekanika Tanah jilid 1, 1993:31)
Ws = 𝛾sat - 𝛾w . V (2.42)
Dimana:
Ws = Berat tanah (ton)
𝛾w = Berat jenis air (t/m3)
𝛾sat = Berat jenis tanah jenuh (t/m3)
V = Volume tanah (m3)
25
2.3.1.4 Gaya Akibat Pengaruh Gempa
We = W . Kh (2.43)
Kh = 𝑎𝑑
𝑔 (2.44)
ad = 𝑛(𝑎𝑐 .𝑧)𝑚 (2.45)
Dimana:
We = Gaya Akibat Gempa (ton)
W = Berat Bangunan (ton)
Kh = Koefisien Gempa
ad = Percepatan Gempa Rencana (cm/dtk2)
ac = Percepatan Kejut Dasar (cm/dtk2)
n = Koefisien jenis tanah
g = Gravitasi (981 cm/dtk2)
z = Faktor yang tergantung pada letak geografis
(Sumber : Braja M.Das Jilid 2, 1985:83)
2.3.1.5 Tekanan Uplift
Gaya uplift adalah gaya tekan ke atas dibawah pelimpah, rumus yang digunakan
berdasarkan pada Kriteria Perencanaan-02 yaitu sebagai berikut:
Gambar 2.14 Gaya Angkat (uplift) pada pelimpah
Sumber: Kriteria perencanaan 02 (1986 :140)
26
𝑃𝑥 = 𝐻𝑥−𝐿𝑥
𝐿. Δ𝐻 (2.46)
Dimana:
Px = Gaya angkat (kg/m2)
Lx = Jarak bidang rembesan pada pelimpah (m)
L = Panjang total jalur rembesan pada pelimpah (m)
Δ𝐻 = Beda tinggi (m)
H = Tinggi energi di hulu pelimpah (m)
(Kriteria Perencanaan 02, 1986)
2.3.2 Kontrol Terhadap Stabilitas
Dalam perhitungan stabilitas terhadap pelimpah, kontrol yang akan
diperhitungkan adalah:
1. Stabilitas terhadap Guling
2. Stabilitas terhadap Geser
3. Stabilitas terhadap Daya Dukung Tanah (DDT)
2.3.2.1 Stabilitas Terhadap Guling
Suatu bangunan dapat dikatakan aman terhadap bahaya guling apabila momen
guling pada suatu bangunan tersebut mempunyai nilai yang lebih kecil daripada momen
tahanan nya.
Rumus yang digunakan untuk menghitung stabilitas terhadap guling adalah:
• Keadaan normal
Sf = Σ Mt
Mg > 1,5 (2.47)
• Keadaan gempa
Sf = Σ Mt
Mg > 1,1 (2.48)
Dimana:
ΣMt = Momen tahanan (t.m)
ΣMg = Momen guling (t.m)
Sf = Faktor keamanan
(Hary Christady, Teknik Pondasi, 1996:399)
27
2.3.2.2 Stabilitas Terhadap Geser
Agar konstruksi aman terhadap geser, maka gaya geser suatu bangunan tersebut
harus lebih kecil dari gaya tahanan dengan memperhitungkan koefisien geser tanah
terhadap konstruksi yang ada.
Untuk menghitung stabilitas terhadap geser, maka dapat menggunakan rumus
keamanan sebagai berikut:
• Keadaan normal
Sf = 𝐶. 𝐴+𝑓.𝛴𝑉
𝛴𝐻 > 1,5 (2.49)
• Keadaan gempa
Sf = 𝐶. 𝐴+𝑓.𝛴𝑉
𝛴𝐻 > 1,25 (2.50)
Dimana:
Σv = Jumlah gaya vertikal (ton)
ΣH = Jumlah gaya horizontal (ton)
Sf = Faktor keamanan
C = Kohesi antara tanah dasar pondasi dengan tanah
A = Luas pembebanan efektif (m2)
F = Tan ∅ = sudut geser tanah
(Kriteria Perencanaan 02, 1986:147).
2.3.2.3 Stabilitas Terhadap Daya Dukung Tanah
Rumus yang digunakan untuk menghitung daya dukung tanah adalah sebagai
berikut:
a. Jika titik tangkap resultan terletak di dalam batas 1/3 dari tepi dasar masing-
masing sisi:
σ = ∑V
L.B . (1 ±
6 . e
B) < 𝜏 (2.51)
e = L
2 –
∑Mv − ∑MH
∑V (2.52)
Dimana:
σ = Besarnya daya dukung tanah (t/m2)
e = Resultan gaya atau eksentrisitas pembebanan (m)
28
Mv = Momen akibat gaya vertical (t.m)
MH = Momen akibat gaya horizontal (t.m)
B = Lebar pondasi (m)
L = Panjang pondasi (m)
𝜏 = Tegangan ijin (t/m2)\
b. Jika titik tangkap gaya resultan terletak diluar batas 1/3 dari tepi dasar masing-
masing sisi (diluar inti dari pondasi)
e > L/6 (2.53)
𝜏maks = 2 . ∑V
LX (2.54)
Dimana:
e = Resultan gaya atau eksentrisitas pembebanan (m)
L = Lebar (m)
X = Lebar manfaat dari kerja reaksi dasar pondasi = 3 (B/2 – e) (m)
𝜏maks = Tegangan maksimum (t/m2)
Σv = Jumlah gaya vertikal (ton)
2.3.3 Penulangan Pelat
Ringkasan langkah–langkah perencanaan pelat satu arah adalah sebagai berikut:
1. Menghitung gaya-gaya yang bekerja pada pelat dan momen rencana (Mu)
2. Menghitung tebal perlu pelat (dperlu)
dperlu = h – selimut beton (2.55)
Dimana :
d = Tebal perlu pelat (mm)
h = Tebal pelat (mm)
selimut beton = minimum 75 mm (untuk beton yang dicor langsung diatas tanah
dan selalu berhubungan dengan tanah) (SNI – 2847 – 2013 butir 7.7.1)
29
Tabel 2.2 Tebal Minimum Selimut Beton
(Sumber: SNI – 2847 – 2013 butir 7.7.1)
3. Menghitung 𝛽
𝛽 = 0,85 – 0,05 . f′c−28
7 (2.56)
(untuk 28 MPa < f’c < 56 MPa)
4. Menghitung Muperlu
Muperlu = Mu
∅ (2.57)
Dimana :
Mu = Momen rencana (KN.m)
∅ = Faktor reduksi kekuatan = 0,90 (SNI 2013-2847 – 9.3)
5. Menghitung Rn
Rn = Mu
b . 𝑑2 (2.58)
Dimana :
Mu = Momen Perlu (Muperlu) (KN.m)
b = Lebar (tiap 1 m = 1000 mm)
d = Tebal pelat (m)
30
6. Menentukan rasio penulangan (𝜌) dengan syarat 𝜌𝑚𝑖𝑛 < 𝜌 < 𝜌𝑚𝑎𝑘𝑠
𝜌𝑏 = 0,85 . fc′
fy . 𝛽 . (
600
600 + fy ) (2.59)
𝜌𝑚𝑖𝑛 = 1,4
fy (2.60)
𝜌𝑚𝑎𝑘𝑠 = (0,0035 +
𝑓𝑦
𝐸𝑠
0,008 ) . 𝜌𝑏 (2.61)
m = fy
0,85 . f′c (2.62)
𝜌pakai = 1
m . (1 − √1 −
2 . m .Rn
fy ) (2.63)
(SNI-03-2847-2002-Halaman 48)
7. Menghitung As yang diperlukan
As = ρ. b . dperlu (2.64)
Dengan didapatkannya luas (As) yang diperlukan maka dapat diketahui diameter
serta jarak antar tulangan dengan bantuan tabel.
8. Pilih tulangan pokok dengan menggunakan taebel A-4
Tabel A-4 dapat dilihat pada bagian lampiran Buku Beton Bertulang.
9. Menghitung tulangan susut dengan syarat :
Tabel 2.3 Syarat Perhitungan Tulangan Susut
(SNI-03-2847-2002-Halaman 48)
10. Jumlah luas penampang tulangan baja pokok tidak boleh lebih kurang dari jumlah
luas penulangan susut
11. Melakukan kontrol tulangan
dpakai = H – tebal selimut – (1/2 . ∅tulangan) (2.65)
31
Cb = (600
600 + fy ) . 𝑑pakai (2.66)
𝛼 = As pakai . fy
0,85 . fc . b (2.67)
Mr = 0,9 . As . fy . (𝑑 − 𝑎
2) (2.68)