8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uji Toksisitas Subkronik
Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses
fisika, biokimia dan biologik yang sangat rumit dan kompleks. Proses ini
umumnya dikelompokkan ke dalam tiga fase, yaitu: fase eksposisi, fase
toksokinetik dan fase toksodinamik. Fase eksposisi merupakan kontak suatu
organisme dengan xenobiotika/tokson, pada umumnya, kecuali radioaktif, hanya
dapat terjadi efek toksik/farmakologis setelah xenobiotika terabsorpsi. Fase
toksikinetik adalah yaitu fase dimana xenobiotika siap diserap dan disebarkan
oleh darah ke seluruh tubuh termasuk target bahan toksik, pada saat bersamaan
sebagian molekul xenobiotika akan terekskresi ke sistem ekskresi. Sedangkan fase
toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja bahan
toksik) dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek
toksik/farmakologis (Wirasuta dan Niruri, 2006).
Menurut Wirasuta dan Niruri (2006), uji toksisitas adalah suatu uji untuk
menentukan: (a) potensi suatu senyawa sebagai racun, (b) mengenali kondisi
biologis/lingkungan munculnya efek toksik dan (c) mengkarakterisasi aksi/efek.
Menurut Murtini dkk (2010) Uji toksisitas dibagi menjadi dua golongan, yaitu uji
toksisitas umum dan uji toksisitas khusus. Uji toksisitas umum dirancang untuk
mengevaluasi keseluruhan efek suatu senyawa pada hewan coba meliputi uji
toksisitas akut, uji toksisitas subkronik dan uji toksisitas kronik.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi Uji Toksisitas Subkronik Polisakarida Krestin dari Ekstrak Coriolus versicolor pada Mus musculus L. dengan Parameter Gambaran Histologis Hati dan Kadar SGPT
Ariesta Adriana Sagita
9
Uji toksisitas subkronik atau disebut juga uji toksisitas jangka pendek
dilakukan dengan memberikan bahan berulang-ulang, biasanya setiap hari atau
ada jeda dua hari setiap minggu selama jangka waktu kurang lebih 10% dari masa
hidup hewan, yaitu 3 bulan bagi mencit (Lu, 1995). Pengujian toksisitas subkronik
berdasarkan pada hasil dari pengujian toksisitas akut (Omaye, 2004).
2.2 Tinjauan Umum tentang Coriolus versicolor
2.2.1 Klasifikasi
Klasifikasi jamur Coriolus versicolor menurut Arjun dan Ramesh (1982)
dalam Ramadhanna (2011) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Fungi
Division : Basidiomycota
Classis : Basidiomycetes
Sub Claasis : Homobasidiomycetes
Order : Polyporales
Family : Polyporaceae
Genus : Coriolus
Species : Coriolus versicolor
2.2.2 Morfologi
Bentuk tubuh buah jamur Coriolus versicolor seperti kipas dengan tepi
yang bergelombang dengan warna zona konsentris yang khas yaitu kuning,
cokelat, abu-abu, kehijauan, atau hitam (Gambar 2.1). Permukaan bawah
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi Uji Toksisitas Subkronik Polisakarida Krestin dari Ekstrak Coriolus versicolor pada Mus musculus L. dengan Parameter Gambaran Histologis Hati dan Kadar SGPT
Ariesta Adriana Sagita
10
tubuhnya berwarna putih hingga kuning muda yang berpori-pori kecil.. Jamur ini
tumbuh berjajar atau bertumpang tindih pada berbagai substrat seperti pada batang
kayu, kaki kayu, cabang dan ranting pohon yang sudah lapuk. Jamur ini tumbuh
pada daerah yang beriklim sedang di Asia, Eropa dan Amerika Utara. Jamur ini
memiliki banyak nama lain, diantaranya: Yun-Zhi (di Cina), Kawaratake (di
Jepang) dan turkey tull (di Amerika Utara) (Cui dan Chisti, 2003).
Gambar 2.1 Coriolus versicolor (Koleksi pribadi)
2.2.3 Tinjauan polisakarida krestin (PSK)
Miselium Coriolus versicolor sebelum diekstrak mengandung komposisi:
oksigen 47,5%, karbon 40,5%, hidrogen 6,2% dan nitrogen 5,2%. Sedangkan
setelah diekstrak (berupa bubuk PSK) mengandung 34-35% karbohidrat (91-93 β-
glucan), 28-35% protein dan sisanya bebas gula dan asam amino (Cui dan Christi,
2003).
Beberapa pengaruh fisiologis dari penggunaan PSK yaitu memiliki
pengaruh anti-tumor pada berbagai variasi sel kanker (Ho et al., 2006). Menurut
Darmanto dkk., (2004), PSK mampu mengurangi efek toksik 2-ME pada embrio
berupa penurunan presentase kematian embrio, menurunkan jumlah kematian sel
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi Uji Toksisitas Subkronik Polisakarida Krestin dari Ekstrak Coriolus versicolor pada Mus musculus L. dengan Parameter Gambaran Histologis Hati dan Kadar SGPT
Ariesta Adriana Sagita
11
syaraf, sehingga mengurangi angka insiden kelainan janin, dan meningkatkan
kadar antioksidan darah. Selain itu, PSK mampu menghambat kematian sel yang
diinduksi oleh iradiasi sinar gamma Cobalt 60 pada jaringan palatum janin mencit
(Araby, 2007). Menurut Wahyuningsih (2006), ekstrak jamur Coriolus versicolor
yang diberikan sebelum induksi 2-ME mampu memperkuat respon imun
(imunostimulasi) terutama peningkatan total leukosit dan jumlah makrofag.
Sedangkan ekstrak jamur Coriolus versicolor yang diberikan sebelum dan
sesudah induksi 2-ME dapat memperkuat dan mengembalikan fungsi responn
imun non-spesifik terutama total leukosit dan jumlah makrofag. Pemberian
ekstrak jamur Coriolus versicolor sesudah induksi 2-ME lebih menguntungkan
sebagai imunorestorasi.
Namun polisakarida krestin memiliki pengaruh toksik terhadap organ
ekskresi. Mandasari (2011) menyebutkan bahwa jaringan hati mengalami
degenerasi parenkimatosa pada pemberian dosis PSK 120 mg/kg BB dan 160
mg/kg BB. Pada dosis 200 mg/kg BB jaringan hati mengalami degenerasi
hidropik dan nekrosis, sedangkan pada dosis 240 mg/kg BB jaringan hati
mengalami nekrosis. Selain itu, kadar SGPT tidak mengalami kenaikan namun
SGOT mengalami kenaikan menjadi 151, 62 ± 26,62 IU/L. Menurut Wati (2011),
pemberian PSK pada dosis 160 mg/kg BB mengakibatkan perubahan perilaku
pada hewan coba berupa aktivitas lokomotor menurun, tremor istirahat iritasi
mata, diare, dan kematian. Hasil pengamatan gambaran histologis ginjal pada
dosis 200 mg/kg BB menunjukkan adanya penempelan glomerulus, pelebaran
lumen tubulus, pendarahan intertubuler serta apoptosis.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi Uji Toksisitas Subkronik Polisakarida Krestin dari Ekstrak Coriolus versicolor pada Mus musculus L. dengan Parameter Gambaran Histologis Hati dan Kadar SGPT
Ariesta Adriana Sagita
12
2.3 Tinjauan Umum tentang Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dari tubuh. Hati disebut kelenjar karena
menghasilkan empedu (exocrin) dan juga juga mengeluarkan hasil produksi dari
makanan (endocrin) (Wibowo dan Paryana, 2009).
Secara morfologis, hati tampak sebagai organ sederhana tetapi secara
fungsional sangat kompleks. Hati diliputi jaringan ikat fibrosa tipis yang disebut
fibrosa perivascularis (Glisson) yang tepat terletak tepat di lapisan dalam
peritoneum viscelare dan akan membentuk septa jaringan ikat tipis yang masuk ke
dalam hati di porta hepatis dan membagi-bagi hati dalam lobus dan lobulus
(Sodikin, 2011; Wibowo dan Paryana, 2009).
Hati terdiri atas lobus yang dibagi-bagi lagi menjadi lobulus, tiap lobulus
dibentuk dari kolom sel hati yang bercabang-cabang yang seringkali tidak terbatas
jelas dan mirip jaringan tanpa dinding sel yang berbatas tegas. Hati memiliki
beberapa macam lobulus, yaitu lobulus klasik (lobulus hati), lobulus portal dan
asinus hati (unit fungsional) (Sodikin, 2011).
Lobulus hepar terbentuk mengelilingi sebuah vena sentralis yang mengalir
ke vena hepatika dan kemudian ke vena cava. Lobulus hepar dibentuk terutama
dari banyak lempeng sel hepar yang memencar secara sentrifugal dari vena
sentralis seperti jeruji roda. Masing-masing lempeng hepar tebalnya 1-2 sel, dan
di antara sel yang berdekatan terdapat kanalikuli biliaris kecil yang mengalir ke
duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobulus hepar yang
berdekatan (Guyton dan Hall, 1997).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi Uji Toksisitas Subkronik Polisakarida Krestin dari Ekstrak Coriolus versicolor pada Mus musculus L. dengan Parameter Gambaran Histologis Hati dan Kadar SGPT
Ariesta Adriana Sagita
13
2.3.1 Histologis hati
Menurut Stacey (2004), pada tingkat seluler, hati terdiri atas empat
sistem:
Sistem hepatosit (sel hati)
Sistem saluran empedu, termasuk produksi cairan empedu sebagai hasil
perombakan hemoglobin dari sel-sel darah.
Sistem sirkulasi darah. Ada dua pembuluh darah yang memasuki hati:
arteri hepatika yang membawa darah yang kaya oksigen dari paru-paru
melalui jantung dan aorta; dan vena portal hepatika yang membawa
senyawa derivat makanan dari usus halus. Selain itu terdapat sistem
pembuluh darah kapiler, yaitu kapiler darah, kapiler empedu dan kapiler
limfe.
Sistem retikuloendothelial yang terdiri atas sel Kupffer, liposit (tempat
penimbunan lemak), limfosit dan sel endothelial.
Sel-sel parenkim hati (hepatosit) tersusun berupa lempengan saling
berhubungan dan bercabang yang membentuk anyaman tiga dimensi, di antara
lempeng-lempeng ada sinusoid darah yang mirip dengan kapiler darah. Hepatosit
bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel ini
terletak di antara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu. Sel Kupffer
melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dari dari sistem
retikuloendothelial tubuh, dan fungsi utamanya adalah memfagositosis bakteri
dan benda-benda asing dalam darah. Darah dipasok melalui vena porta dan arteri
hepatika, dan disalurkan melalui vena sentral dan kemudian vena hepatika ke
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi Uji Toksisitas Subkronik Polisakarida Krestin dari Ekstrak Coriolus versicolor pada Mus musculus L. dengan Parameter Gambaran Histologis Hati dan Kadar SGPT
Ariesta Adriana Sagita
14
dalam vena kava. Saluran empedu mulai sebagai kanalikuli yang kecil sekali yang
dibentuk oleh sel parenkim yang berdekatan. Kanalikuli bersatu menjadi duktula,
saluran empedu interlobular, dan saluran hati yang lebih besar. Saluran hati utama
menghubungkan duktus kistik dari kandung empedu dan membentuk saluran
empedu biasa, yang mengalir ke dalam duodenum (Guyton dan Hall, 1997; Lu,
1995; Sodikin, 2011). Gambaran histologis hati dapat dilihat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Gambaran histopatologi hati mencit (Amalina, 2009).
2.3.2 Fungsi hati
Menurut Guyton dan Hall (1997), fungsi dasar hati dapat dibagi menjadi:
fungsi vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah, fungsi metabolisme yang
berhubungan dengan sebagian besar sistem metabolisme tubuh, dan fungsi sekresi
serta ekskresi yang berperan membentuk empedu. Beberapa fungsi lain hati antara
lain:
Vena sentralis
Sinusoid
Hepatosit
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi Uji Toksisitas Subkronik Polisakarida Krestin dari Ekstrak Coriolus versicolor pada Mus musculus L. dengan Parameter Gambaran Histologis Hati dan Kadar SGPT
Ariesta Adriana Sagita
15
1. Metabolisme karbohidrat
Dalam metabolisme karbohidrat, metabolisme melakukan fungsi spesifik,
yaitu: menyimpan glikogen sebesar 5-8%, mengubah galaktosa dan
fruktosa menjadi glukosa.
2. Metabolisme lemak
Fungsi utama hati dalam metabolisme lemak adalah untuk memecah asam
lemak menjadi senyawa kecil yang dapat dipakai untuk energi, untuk
mensintesis trigliserida, dan untuk mensintesis lipid lain dari asam lemak,
terutama kolesterol dan fosfolipid.
3. Metabolisme protein
Dalam metabolime protein, hati memiliki fungsi membentuk ureum untuk
mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, deaminasi asam amino, dan
pembentukan kira-kira 90% protein plasma.
4. Sebagai penyimpan vitamin
Hati mempunyai kecenderungan tertentu untuk menyimpan vitamin.
Vitamin tunggal yang palig banyak disimpan dalam hati adalah vitamin A.
Vitamin D dan B12 juga disimpan di dalam hati secara normal.
5. Fungsi hati sehubungan dengan koagulasi darah
Hati membentuk sebagian besar zat-zat darah yang digunakan dalam
proses koagulasi darah. Zat-zat tersebut adalah fibrinogen, protrombin,
globulin akselerator, faktor VII, dan beberapa faktor koagulasi penting
yang lain. Vtamin E dibutuhkan oleh proses metabolisme hati untuk
membentuk protrombrin serta faktor VII, IX, X.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi Uji Toksisitas Subkronik Polisakarida Krestin dari Ekstrak Coriolus versicolor pada Mus musculus L. dengan Parameter Gambaran Histologis Hati dan Kadar SGPT
Ariesta Adriana Sagita
16
6. Fungsi detoksikasi
Hati adalah pusat detoksikasi tubuh. Berbagai obat dan zat-zat kimia
dinonaktifkan oleh proses oksidasi, metilasi, dan konjugasi.
2.3.3 Kerusakan hati karena bahan toksik
Derajat kesehatan hati dipengaruhi oleh berbagai kerusakan hati dan
berbagai mekanisme yang menyebabkan kerusakan tersebut. Hati sering menjadi
organ sasaran zat toksikan karena sebagian besar toksikan memasuki tubuh
melalui sistem gastrointestinal dan setelah diserap toksikan dibawa oleh vena
porta ke hati. Hati juga mempunyai kadar enzim yang tinggi untuk metabolisme
(terutama cytochrome P-450) yang membuat sebagian besar toksikan menjadi
kurang toksik dan lebih mudah larut dalam air sehingga mudah diekskresikan (Lu,
1995).
Kerusakan hati meliputi kerusakan struktur maupun gangguan fungsi hati
(Susanto, 2006). Menurut Lu (1995), pemeriksaan histopatologis hati merupakan
suatu pemeriksaan yang dapat membuktikan adanya kerusakan hati yang ditandai
adanya perubahan struktur hati dari struktur normalnya. Kerusakan struktur hati
meliputi degenerasi parenkimatosa, degenerasi hidropik dan nekrosis. Degenerasi
parenkimatosa merupakan degenerasi yang sangat ringan dan sangat reversibel.
Sel-sel hati tidak dapat mengeliminasi air yang masuk ke dalam sel sehingga
tertimbun di dalam sel, sehingga sel mengalami pembengkakan dengan sitoplasma
yang tampak keruh dan terdapat granula-granula di dalamnya akibat endapan
protein (Widyarini, 2010) (Gambar 2.3).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi Uji Toksisitas Subkronik Polisakarida Krestin dari Ekstrak Coriolus versicolor pada Mus musculus L. dengan Parameter Gambaran Histologis Hati dan Kadar SGPT
Ariesta Adriana Sagita
17
Gambar 2.3 Gambaran histopatologis hati mencit yang mengalami degenerasi
parenkimatosa (tanda panah warna putih) (Amalina, 2009).
Jika kejadian ini terjadi berulang-ulang maka hepatosit akan nampak
vakuola berisi air dalam sitoplasma yang tidak mengandung lemak atau glikogen.
Peristiwa ini disebut dengan degenerasi hidropik (Widyarini, 2010) (Gambar 2.4).
Gambar 2.4 Gambaran histopatologis hati mencit yang mengalami degenerasi
hidropik (tanda panah warna putih) (Amalina, 2009).
Apabila kemudian terjadi robekan sitoplasma dan terjadi perubahan inti
maka kerusakan hepatosit menjadi irreversibel dan sel mengalami kematian atau
nekrosis. Initi menjadi lebih padat (piknotik) yang dapat hancur bersegmen-
Vena sentralis
Hepatosit
Sinusoid
Vena sentralis
Sinusoid
Hepatosit
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi Uji Toksisitas Subkronik Polisakarida Krestin dari Ekstrak Coriolus versicolor pada Mus musculus L. dengan Parameter Gambaran Histologis Hati dan Kadar SGPT
Ariesta Adriana Sagita
18
segmen (karioreksis) dan kemudian hepatosit menjadi eosinofilik (Amalina, 2009;
Widyarini, 2010) (Gambar 2.5).
Gambar 2.5 Gambaran histopatologis hati mencit yang mengalami nekrosis
(tanda panah warna putih) (Amalina, 2009).
Menurut Stacey (2004), gangguan fungsi hati dapat dideteksi pada
aktivitas serum glutamate piruvat transaminase (SGPT), serum glutamate
oksaloasetat transaminase (SGOT), alkaline phosphatase (AP), γ-glutamyl
transaminase (GGT), sorbitol dehydrogenase (SDH), ornithine
carbamoyltransferase (OCT) dan lactate dehydrogenase (LD). Salah satu enzim
yang akan diuji pada penelitian ini adalah GPT. Serum glutamate piruvat
transaminase atau yang memiliki nama lain alanin aminotransferase (ALT)
merupakan enzim sitoplasma yang mengkatalisis alanin dan α-ketoglutarate, yang
membentuk piruvat dan glutamat. Persamaan reaksi dapat dilihat pada gambar 2.6
dan reaksi ini merupakan reaksi kimia reversibel (Stockham dan Scott, 2002).
Enzim GPT merupakan enzim sitosol yang sebagian besar terdapat di
dalam hati, otot, jantung, ginjal dan otak. Enzim ini digunakan sebagai indikator
kerusakan sel-sel hati (Murtini dkk., 2010). Kadar normal SGPT pada mencit
Hepatosit
Sinusoid
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi Uji Toksisitas Subkronik Polisakarida Krestin dari Ekstrak Coriolus versicolor pada Mus musculus L. dengan Parameter Gambaran Histologis Hati dan Kadar SGPT
Ariesta Adriana Sagita
19
adalah 40,8-50 IU/L (Lenaerts et al., 2005). Biasanya peningkatan GPT lebih
tinggi daripada GOT pada kerusakan hati yang akut, mengingat GPT merupakan
enzim yang hanya terdapat pada sitoplasma sel hati. Sebaliknya GOT yang
terdapat baik dalam sitoplasma maupun mitokondria akan meningkat lebih tinggi
dari GPT pada kerusakan hati menahun. Ketika sel hati rusak, maka kebocoran
enzim ini akan masuk ke dalam darah. Peningkatan enzim transaminase
merupakan petunjuk yang paling peka dari nekrosis sel-sel hati, karena
peningkatannya terjadi paling awal dan paling akhir kembali ke kondisi normal
dibandingkan tes yang lain. (Syahrizal, 2008).
Gambar 2.6 Reaksi katalis enzim glutamic pyruvic transaminase (GPT) (Norbert, 1987 dalam Mandasari, 2011).
COO-
H
CH3
COOH
NH2 +
CH2
C C
COOH
O =
COOH
CH2
COOH
+ O =
CH3
C
CH2
CH2
COOH
CH NH2
GPT
Alanin α-ketoglutarat Piruvat Glutamat
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi Uji Toksisitas Subkronik Polisakarida Krestin dari Ekstrak Coriolus versicolor pada Mus musculus L. dengan Parameter Gambaran Histologis Hati dan Kadar SGPT
Ariesta Adriana Sagita