9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Tomat
2.1.1 Deskripsi dan Taksonomi Tanaman
Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) berasal dari daerah tropis
Meksiko hingga Peru. Semua varietas tomat di Eropa dan Asia pertama kali
berasal dari Amerika Latin yang dibawa oleh orang Spanyol dan Portugis pada
abah ke-16. Saat ini, budidaya tomat modern dan tomat hibrida dapat tumbuh
dengan baik pada iklim yang berbeda dari daerah asalnya (Villareal & Moomaw,
1979). Klasifikasi botani tomat memiliki sejarah yang menarik, pertama kali
tomat ditempatkan pada genus Solanum dan diidentifikasikan sebagai Solanum
lycopersicon. Walaupun telah diubah menjadi Lycopersicum esculentum, hal ini
memiliki arti sederhana “dapat dimakan”. Secara lengkap para ilmuwan
mengklasifikasikan tanaman tomat dengan sistematik sebagai berikut :
a. Kingdom : Plantae
b. Subkingdom : Tracheobionia
c. Divisi : Magnoliophyta
d. Kelas : Magnoliopsida
e. Subkelas : Asteridae
f. Ordo : Solanales
g. Famili : Solaneceae
h. Genus : Solanum
10
i. Spesies : Lycopersicum esculentum (Jones, 2008).
Kuntum bunganya terdiri dari lima helai daun kelopak dan lima mahkota.
Daun tomat berwarna hijau dan berbulu. Bunga tanaman tomat berwarna kuning.
Buahnya berbentuk bulat, bulat lonjong, bulat pipih, atau oval. Buah yang masih
muda berwarna hijau muda sampai hijau tua. Sementara itu, buah yang sudah tua
berwarna merah cerah atau gelap, merah kekuning-kuningan, atau merah
kehitaman. Buahnya memiliki daging buah yang lembut, lunak, dan kadang-
kadang banyak mengandung biji. Buah tomat memiliki rasa manis, asam, dan
sedikit dingin (Pratiwi, 2009).
Buah tomat memiliki beberapa varietas. Buah tomat menurut bentuknya,
dapat digolongkan menjadi: (1) Tomat Cherry (Lycopersicon esculentum Mill,
var. Cerasiforme (Dun) Alef), bentuknya seperti kelengkeng; (2) Tomat Tegak
(Lycopersicon esculentum Mill, var.validim Bailey); (3) Tomat Kentang atau
Tomat Daun Lebar (Lycopersicon esculentum Mill, var.grandifolium Bailey); (4)
Tomat Apel atau Pir (Lycopersicon esculentum Mill, var.pyriforme Alef); (5)
Tomat Biasa (Lycopersicon esculentum Mill, var.commune). Jenis tomat yang
digunakan dalam penelitiaan ini adalah tomat biasa (Pratiwi, 2009).
Buah tomat merupakan produk hortikultura yang mudah diperoleh di
Indonesia. Rasa buahnya yang manis–asam digemari oleh sebagian besar
masyarakat. Buah tomat merupakan sumber vitamin C dan A, juga kaya
antioksidan. Pada umumnya tomat dikonsumsi dalam bentuk segar (Tugiyono,
2007). Tanaman tomat termasuk tanaman semusim (berumur pendek). Artinya
tanaman hanya satu kali berproduksi dan setelah itu mati. Tanaman tomat
berbentuk perdu yang tingginya dapat mencapai ± 2 meter. Ukuran buah tomat
11
sangat bervariasi, yang berukuran paling kecil memiliki bobot 8 gram dan yang
berukuran besar memiliki bobot 180 gram. Buah tomat yang masih muda
berwarna hijau-muda, bila sudah matang berubah menjadi merah. Buah tomat
muda memiliki rasa getir dan beraroma tidak sedap, sebab masih mengandung zat
lycopersicin yang berbentuk lendir. Aroma yang tidak sedap itu akan hilang
dengan sendirinya pada saat buah memasuki fase pematangan hingga matang.
Rasanya juga akan berubah menjadi manis agak masam yang mencirikan rasa
buah tomat. Buah tomat terdiri dari 2-12 lokul yang mengandung banyak biji
(Jones, 2008). Dalam masyarakat umum, buah tomat hanya dibuat sebagai sayur
saja tanpa adanya pemanfaatan yang lebih, sebagai tepung tomat misalnya yang
dapat dibuat sumber makanan alternatif mengingat gizi yang dikandungnya cukup
kompleks, padahal buah tomat setelah panen akan rusak antara 20% sampai 50%
setelah panen (Winarno & Aman, 1986).
2.1.2 Kandungan Kimia dan Khasiat Buah Tomat
Buah tomat mengandung gizi yang lengkap dan penting bagi manusia.
Buah tomat kaya akan vitamin C dan beberapa antioksidan, di antaranya vitamin
E dan likopen. Selain itu, buah tomat juga mengandung serat makanan alami yang
sangat baik bagi pencernaan manusia dan juga adanya protein dalam buah tomat
menjadikannya buah yang sangat sarat gizi. Dalam 180 gram buah tomat matang,
vitamin C yang terkandung sekitar 34,38 mg yang memenuhi 57,3% vitamin C
dalam sehari. Kandungan seratnya mencapai 1,98 gram dan protein sebesar 1,53
gram (Whfoods.org, 2007). Kadar likopen yang terkandung dalam tomat segar
berkisar antara 3,1 – 7,7 mg/100 gram (Tonucci et. al., 1995). Kandungan likopen
dalam tomat yang cukup tinggi dapat diekstrak untuk produk – produk kesehatan
12
atau kosmetik mengingat kekuatan likopen setara dengan 100 kali kekuatan
vitamin E dalam menanggulangi radikal bebas (Di Mascio, et al., 1989 dalam
Fitrotin, Purnomo, Susanto).
Selain itu, dalam buah tomat juga terkandung solanin (0,007 %), saponin,
asam folat, asam malat, asam sitrat, bioflavonoid (termasuk likopen, α dan ß-
karoten), protein, lemak, vitamin, mineral dan histamin (Canene-Adam et al.,
2005). Likopen merupakan salah satu kandungan kimia paling banyak dalam
tomat, dalam 100 gram tomat rata-rata mengandung likopen sebanyak 3-5 mg
(Giovannucci, 1999). Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa tomat dapat
bermanfaat sebagai obat diare, serangan empedu, gangguan pencernaan serta
memulihkan fungsi liver (Fuhramn et al, 1997). Beberapa studi in vitro
menemukan bahwa likopen memiliki aktivitas antioksidan yang poten. Levy et al.
(1995) menyebutkan bahwa likopen mampu menghambat pertumbuhan kanker
endometrial, kanker payudara, dan kanker paru-paru pada kultur sel dengan
aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan α dan β-karoten. Likopen
ditemukan mampu menginaktifkan hidrogen peroksida dan nitrogen peroksida
(Bohm, dkk., 1995). Dengan penghambatan senyawa radikal bebas tersebut maka
kemungkinan terjadinya kanker dapat diturunkan.
2.1.3 Ekstraksi Buah Tomat
Buah tomat terdiri dari 5-10% berat kering tanpa air dan 1 persen kulit dan
biji. Jika buah tomat dikeringkan, sekitar 50% dari berat keringnya terdiri dari
gula-gula pereduksi (terutama glukosa dan fruktosa), sisanya asam-asam organik,
mineral, pigmen, vitamin dan lipid. Pada penelitian ekstraksi likopen pada buah
tomat digunakan bahan utama yaitu buah tomat (dalam bentuk jus), selain itu di
13
gunakan pelarut etanol 96 %. Sedangkan alat yang di pergunakan antara lain
beaker glass, labu takar, erlenmeyer, gelas ukur, timbangan, stirerr,
spektrofotometer, piknometer, corong pemisah, kertas saring, pipet tetes, corong
gelas. Proses pertama dilakukan dengan penanganan awal pada buah tomat yaitu
membersihkan buah tomat dari kotorannya dan menghaluskan buah tomat dengan
blender (jus).
Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu
70º C yang menghasilkan sediaan semisolid atau kental. Ekstrak ini di partisisi
dengan n hexane dan diberikan fraksi n hexane. Lapisan air kemudian dipartisi
dengan etil asetat, lapisan etil asetat dipekatkan sehingga diperoleh fraksi etila
asetat buah tomat. Solven terhadap feed pada perbandingan (Fraksi/Solven) F/S
1:4 menunjukkan kondisi perbandingan F/S yang optimal, likopen yang terekstrak
semakin banyak. Demikian juga dengan semakin tinggi suhu dan semakin
lamanya waktu ekstraksi, dan semakin besar perbandingannya dengan solven
maka likopen yang terekstrak juga akan semakin banyak. Dari hasil penelitian di
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro menunjukkan bahwa kondisi optimum
operasi ekstraksi likopen dengan menggunakan solven campuran n-heksana,
etanol, dan aseton adalah pada perbandingan pelarut dan bahan 4 : 1 pada suhu
operasi 70˚C dan 90 menit untuk variable waktu ekstraksi. Pada kondisi ini
likopen yang terekstrak sebesar 5,14 mg/100gram atau sebesar 40,15% (Maulida
& Zulkarnaen, 2010).
14
2.2 Luka diabetik
2.2. 1 Definisi
Luka diabetik adalah luka yang terjadi pada pasien diabetik yang
melibatkan gangguan pada saraf peripheral dan autonomik (Suryadi, 2004). Luka
diabetik terjadi karena adanya kelainan pada saraf, kelainan pembuluh darah dan
kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak diatasi dengan baik, hal itu akan
berlanjut menjadi ulkus bahkan dapat diamputasi (Prabowo, 2007).
2.2.2 Patofisiologi dan Manisfestasi Klinis.
Penyakit neuropati dan vaskuler adalah faktor utama yang mengkontribusi
terjadinya luka. Masalah luka yang terjadi pada pasien dengan diabetes terkait
dengan adanya pengaruh pada saraf yang terdapat pada kaki dan biasanya dikenal
sebagai neuropati perifer. Efek sirkulasi yang menyebabkan kerusakan pada saraf.
Hal ini terkait dengan diabetik neuropati yang berdampak pada sistem saraf
autonom, yang mengontrol fungsi otot- otot halus, kelenjar dan organ visceral.
Dengan adanya gangguan pada saraf autonom pengaruhnya adalah terjadinya
perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran darah. Dengan
demikian kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian antibiotik tidak
mencukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, juga tidak memenuhi
kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek pada autonomi neuropati ini
akan menyebabkan kulit menjadi kering, antihidrosis; yang memudahkan kulit
menjadi rusak dan mengkontribusi untuk terjadinya gangren. Dampak lain adalah
karena adanya neuropati perifer yang mempengaruhi kepada saraf sensori dan
sistem motor yang menyebabkan hilangnya sensasi nyeri, tekanan dan perubahan
15
temparatur (Suriadi, 2004). Luka diabetik mengalami risiko tinggi mengalami
infeksi akibat pemajangan proses inflamasi. Tanda dan gejala dari luka yang
mengalami infeksi adalah dijelaskan sebagai berikut :
Tabel 1. Tanda dan Gejala Infeksi pada Luka (Sibbald et al, 2001)
Infeksi Superfisial
(Kolonisasi Bakteri)
Infeksi Dalam Infeksi Sistemik
Tidak sembuh Nyeri Demam
Jaringan granulasi berwarna
merah cerah
Pembengkakan, Indurasi Menggigil
Jaringan granulasi tampak luas Eritema Hipotensi
Terlihat jaringan nekrosis
pada permukaan luka
Peningkatan suhu lokal pada
kulit sekitar luka
Multiple organ failure
(MOF)
Meningkatnya jumlah eksudat
dari bening menjadi purulen
Adanya jaringan nekrotik
Malodor (berbau tidak sedap) Meningkatnya luas luka dan
kedalaman luka
Undermining
2.2.3 Fase penyembuhan luka
Fase penyembuhan luka pada umumnya terdiri dari :
a. Vascular response : Beberapa detik setelah terjadinya luka pada tipe apa pun,
respon tubuh dengan penyempitan pembuluh darah (konstriksi) untuk
menghambat perdarahan dan mengurangi pajanan terhadap bakteri. Pada saat
yang sama, protein membentuk jaringan fibrosa untuk menutup luka. Ketika
trombosit bersama protein menutup luka, luka menjadi lengket dan lemb
membentuk fibrin. Setelah 10-30 menit setelah terjadinya luka, pembuluh
darah melebar karena serotonin yang dihasilkan trombosit. Plasma darah
mengaliri luka dan melawan toxin yang dihasilkan microorganisme,
membawa oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka dan
membawa agen fagosit untuk melawan bakteri maupun jaringan yang rusak.
16
b. Inflamasi : Bagian luka akan menjadi hangat dan merah karen aprose
fagositosis. Fase inflamasi terjadi 0-6 hari setelah injury. Tujuan inflamasi
untuk membatasi efek bakteri dengan menetralkan toksin dan penyebaran
bakteri.
c. Proliferasi/resolusi : penumpukan deposit kolagen pada luka, angiogenesis
(pembentukan pembuluh darah baru), proliferasi dan pengecilan lebar luka.
Fase ini berhenti dua minggu setelah terjadinya luka, tetapi proses ini tetap
berlangsung lambat 1- 2 tahun. Fibroblast mensintesis kolagen dan
menumbuhkan sel baru. Miofibroblas menyebabkan luka menyempit, bila
tidak terjadi penyempitan akan terjadi kematian sel. Contohnya jika terjadi
scar atau kontraktur. Epitelisasi adalah perpindahan sel epitel dari area sekitar
folikel rambut ke area luka. Perpindahan tersebut terbatas 3 cm. Epitelisasi
akan lebih cepat jika luka dalam keadaan lembab.
d. Maturasi/rekontruksi : fase terakhir penyembuhan dengan remodelling scar
yang terjadi. Biasanya terjadi selam asetahun atau lebih seteleh luka tertutup.
Selama fase ini fibrin di bentuk ulang, pembuluh darah menghilang dan
jaringan memerkuat susunananya. Remodeling ini mencakup sintesis dan
pemecahan kolagen.
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena proses
penyembuhan luka adalah kegiatan bio-seluler, bio-kimia yang terjadi
berkesinambungan. Penggabungan respon vaskuler, aktivitas seluler dan
terbentuknya bahan kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan
komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka. Peran fibroblast
sangat besar dalam proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan
17
menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses
konstruksi jaringan. Pada jaringan lunak yang normal tanpa perlukaan, pemaparan
sel fibroblast sangat jarang dan biasanya tersembunyi di matriks jaringan
penunjang. Sesudah terjadi luka fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan sekitar
luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta
mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyalurounic acid, fibronectin
dan profeoglycans) yang berperan dalam membangun (rekonstruksi) jaringan
baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan
baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh
fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga
fibroblas sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel
pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut berfungsi
sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblas dengan aktivitas
sintetiknya disebut fibroblasia, migrasi, deposit jaringan matriks, kontraksi luka.
Angiogenesis suatu pembentukan pembuluh kapiler baru di dalam luka,
mempunyai peran penting pada tahap proliferasi proses penyembuhan luka.
Vaskularisasi yang tidak lancar, penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau
obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena
terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi ke
dalam luka merupakan suatu respon untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang
cukup di daerah luka karena oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis
merupakan proses pembentukan kolagen muda (gelatinious collagen) yang
terbentuk pada fase proliferasi dan akan berubah menjadi kolagen yang lebih
matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik (proses re-modelling). Untuk
18
mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen
yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan
mengakibatkan terjadinya penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar,
sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut
dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh apabila telah terjadi
kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit sehingga mampu melakukan
aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap
penderita, namun hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik
masing-masing individu, lokasi, luasnya luka, dan manajemen luka itu sendiri.
Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan
yang kurang gizi, dan yang disertai oleh penyakit sistemik (diabetes melitus)
(Tawi, 2004).
Pada penderita diabetes melitus apabila kadar glukosa darah tidak
terkendali menyebabkan abnormalitas leukosit sehingga fungsi kemotaksis di
lokasi radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid menurun
sehingga bila ada infeksi mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh sistem
phlagositosis-bakterisid intra selluler. Pada penderita ulkus diabetika, 50 % akan
mengalami infeksi akibat adanya glukosa darah yang tinggi, yang merupakan
media pertumbuhan bakteri yang subur. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus
diabetika yaitu kuman aerobik Staphylokokus atau Streptokokus serta kuman
anaerob yaitu Clostridium perfringens, Clostridium novy, dan Clostridium
septikum (Riyanto, 2007).
Pada luka kronik khususnya pasien diabetes, jangka waktu proses
proliferasi tidak dapat diprediksi. Berdasarkan penelitian Usui tahun 2008 hal ini
19
terjadi karena sel basal keratinosit pada luka kronik sulit di aktivasi oleh tubuh
(Usui, 2008). Selama proses proliferasi berlangsung, sel-sel akan bermigrasi ke
dalam matriks sementara dan fibroblast luka memperoleh fenotipe kontraktil yang
akan merubah menjadi miofibroblas. Tipe sel ini memainkan peran utama dalam
kontraksi luka (Werner, 2003). Selain adanya mekanisme sel yang bekerja dalam
tubuh, jangka waktu pemulihan luka juga akan dipengaruhi oleh faktor yang dapat
mengurangi efisiensi penyembuhan, seperti : area sekitar luka yang kurang
hygiene, efek samping dari medikasi, gangguan vaskularisasi pada luka berupa
kondisi yang hypoxia, kebiasaan pasien mengkonsumsi alcohol atau merokok, dan
kurangnya suplai nutrisi (Gui & DiPietro, 2010). Pemulihan luka juga dipengaruhi
oleh faktor, seperti : infeksi bakteri yang menghasilkan biofilm, kadar kalium, dan
cairan luka. Adanya biofilm pada dasar luka dapat menghambat aktivitas
fagositosis neutrofil polimorfonuklear. Biofilm ini dihasilkan oleh bakteri
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas Aeuroginosa. Manifestasi klinis akibat
adanya hambatan tersebut yaitu proses inflamasi akan berlangsung lama dan
kerusakan jaringan baru saat memasuki fase proliferasi (Guo & DiPietro, 2010).
Penelitian lain menyebutkan penurunan ion Kalium (K+) dalam sel dapat
menghambat proliferasi yang berkaitan erat dengan respon fisiologis dari sel
limfosit. Hambatan kalium juga akan menyebabkan aktivasi sel terganggu dan
akan menimbulkan efek imunosupresif (Pardo, 2004). Sementara, pada cairan
yang dihasilkan dari luka kronik sangat berisiko menghambat proses proliferasi
sel fibroblast baru karena cairan tersebut bersifat apoptosis atau mengandung
jaringan mati. Cairan yang mengandung jaringan mati ini akan menghambat
konsistensi migrasi dari hormon growth factors dan sitokinin (Seah, 2005).
20
2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka secara umum
adalah faktor intrinsik yaitu;
a. Usia. Semakin tua akan semakin lama proses penyembuhan luka
berlangsung. Hal ini dipengaruhi oleh adanya penurunan elastisitas dalam
kulit dan perbedaan penggantian kolagen yang mempengaruhi penyembuhan
luka.
b. Status penyakit dan pengobatan. Penderita yang mengalami penyakit seperti
diabetes melitus, yang dapat menyebabkan terjadinya mikroangiopati,
neuropati dan masalah khusus yang terjadi pada penderita akan mempersulit
penyembuhan.
c. Status nutrisi. Zat makanan yang masuk kedalam tubuh seperti protein sangat
dibutuhkan dalam proses neo-vaskularisasi, proliferasi fibroblast, sintesa
kolagen dan remodelling luka. Asam amino adalah komponen struktural
protein dan merupakan bagian penting dari DeoxyriboNucleic Acid (DNA)
dan RiboNucleic Acid (RNA). Ini memberikan pola untuk mitosis sel dan
enzim yuang dibutuhkan dalam pembentukan jaringan.
d. Vaskularisasi dan perfusi jaringan. Oksigen berpengaruh dalam
angiogenesis, fungsi fibroblast, epitelisasi dan resistensi terhadap infeksi.
Perfusi jaringan saling terkait dengan oksigenasi jaringan. Perfusi jaringan
yang baik merupakan hal yang esensial untuk oksigenasi. Volume darah
beredar yang adekuat membawa hemoglobin yang kaya O2 ke jaringan.
Masalah yang berkaitan dengan perfusi jaringan dan oksigenasi dapat
diakibatkan oleh penyakit kardiovaskuler, paru dan hipovolemia.
21
Selain itu terdapat pula faktor ekstrinsik yaitu :
a. Teknik pembedahan yang buruk. Jika jaringan ditangani secara kasar selama
pembedahan, maka jaringan mengalami kerusakan yang luas, mengakibatkan
hematom. Hal ini dapat meningkatkan resiko infeksi akibat hematom yang
pecah. Ruang mati (dead space) mungkin juga terjadi jika jaringan tidak
diperbaiki secara tepat selama pembedahan dan memberi peluang untuk
berkembangnya infeksi luka.
b. Drug treatment. Obat juga mempengaruhi penyembuhan luka seperti
steroid, obat anti inflamasi, obat antimitotik dan terapi radiasi. Steroid
menghambat seluruh fase penyembuhan luka, menghambat fagositosis,
sintesa kolagen dan angiogenesis.
c. Manajemen luka yang tidak tepat. Penggunaan teknik pembalutan yang tidak
tepat, pemilihan dan penggunaan bahan balutan yang kurang tepat atau
penggunaan antiseptik solution yang semestinya tidak diperlukan dapat
menghambat proses penyembuhan luka.
d. Psikososial. Berbagai jenis faktor psikososial dapat memberikan efek
merugikan pada penyembuhan luka seperti: buruknya pemahaman dan
penerimaan terhadap program pengobatan atau kecemasan yang berkaitan
dengan perubahan pada pekerjaan, penghasilan, hubungan pribadi dan body
image.
e. Infeksi, dari semua faktor yang memperlambat penyembuhan luka, infeksi
adalah yang paling penting. Infeksi dapat terjadi jika selama perawatan luka
dan setelah perawatan luka tidak dilakukan dengan prinsip aseptik dan
antiseptik yang baik (Suriadi, 2004).
22
2.2.5 Manajemen Luka Diabetik
Luka diabetik terdiri dari luka ulkus dan gangren. Tujuan perawatan luka
diabetik adalah mencegah terjadinya komplikasi dan mempercepat proses
pemulihan luka. Ulkus yang tidak dirawat dengan baik dapat mengakibatkan
timbulnya luka gangren. Gangren adalah luka yang sudah membusuk dan sudah
melebar, ditandai dengan jaringan yang mati berwarna kehitaman dan membau
disertai pembusukan oleh bakteri.
Antibiotik diberikan bila terdapat infeksi. Pilihan antibiotik berupa
golongan penisilin spektrum luas, kloksasilin/diklosasilin dan golongan aktif
seperti klindamisin atau metronidazol untuk kuman anaerob. Prinsip terapi bedah
pada kaki diabetik adalah mengeluarkan semua jaringan nekrotik dan
mengeliminasi infeksi sehingga luka dapat sembuh. Tindakan operatif pada luka
diabetes dapat berupa tindakan bedah kecil seperti insisi dan pengaliran abses,
debridement dan nekrotomi. Tindakan bedah dilakukan berdasarkan indikasi yang
tepat. Prioritas tinggi harus diberikan untuk mencegah tejadinya luka baru, jangan
membiarkan luka kecil, sekecil apapun luka tersebut dapat menjadi besar dan
akhirnya mengarah pada luka gangren yang proses penyembuhannya
membutuhkan waktu yang lama (Yumizone, 2008).
Pada gangren, tindakan debridement yang baik sangat penting untuk
mendapatkan hasil pengelolaan yang perawatan luka diabetik yang memuaskan
dengan melihat kondisi luka terlebih dahulu, apakah luka yang dialami pasien
dalam keadaan kotor atau tidak, ada pus atau ada jaringan nekrotik (mati) atau
tidak. Setelah dikaji , barulah dilakukan perawatan luka. Untuk perawatan luka
biasanya menggunakan antiseptik dan kassa steril. Jika ada jaringan nekrotik
23
sebaiknya dibuang daengan cara digunting sedikit demi sedikit sampai kondisi
luka mengalami granulasi (jaringan baru yang mulai tumbuh). Lihat ke dalam
luka, pada pasien diabetes dilihat apakah terdapat sinus (luka dalam yang sampai
berlubang) atau tidak. Bila terdapat sinus, sebaiknya disemprot (irigasi) dengan
NaCl 0,9 % sampai pada kedalaman luka, sebab pada sinus terdapat banyak
kuman. Lakukan pembersihan luka sehari minimal dua kali (pagi dan sore),
setelah dilakukan perawatan lakukan pengkajian apakah sudah tumbuh granulasi,
(pembersihan dilakukan dengan kassa steril yang dibasahi larutan NaCl). Setelah
luka dibersihkan lalu tutup dengan kassa basah yang diberi larutan NaCl lalu
dibalut disekitar luka, dalam penutupan dengan kassa agar jaringan luar luka
tertutup. Sebab jika jaringan luar ikut tertutup akan menimbulkan maserasi
(pembengkakan). Setelah luka ditutup dengan kassa basah bercampur NaCl, lalu
tutup kembali dengan kassa steril yang kering untuk selanjutnya dibalut (Ismayati,
2007). Jika luka sudah mengalami penumbuhan granulasi, selanjutnya akan ada
penutupan luka (skin draw). Penanganan luka diabetik, harus ekstra agresif sebab
pada luka diabetik kuman akan terus menyebar dan memperparah kondisi luka
(Hermawati, 2007).
Manifestasi komplikasi luka diabetes dapat dijumpai dalam berbagai
stadium yang masing-masing membutuhkan perawatan tersendiri, mulai dari
stadium ringan yang cukup menggunakan alat-alat sederhana sampai stadium
lebih berat yang harus mengunakan sarana prasarana dan seorang perawat khusus
diabetes. Rumah Sakit di Indonesia masih menggunakan balutan konvensional,
yaitu menggunakan kasa steril sebagai bahan utama balutan. Hasil riset
mengatakan tingkat kejadian infeksi pada perawatan luka dengan cara
24
konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan mengguanakn balutan modern
Hutchinso dan McGukin (Lee, 2001). Penanganan luka diabetik secara efektif
dapat mencegah terjadinya amputasi pada kaki itu sendiri, sehingga beban fisik
dan psikologis pada pasien kaki diabetik dapat dikurangi. Menurut penelitian
Witanto, dkk. dengan sampel pasien rawat inap di Rumah Sakit Immanuel
Bandung bahwa lama perawatan pasien yang dirawat dengan advanced wound
dressing berkisar antara 3-7 hari (80%), sedangkan conventional dressing > 7 hari
(50%). Terdapat studi lain yang membandingkan efektivitas conventional wound
dressing (gauze) dibandingkan dengan beberapa jenis advanced wound dressing,
ternyata diperlihatkan bahwa pemakaian advanced wound dressings memberikan
hasil yang lebih memuaskan, penyembuhan luka lebih cepat, lebih nyaman,
tingkat infeksi lebih rendah, interval penggantian dressing lebih lama, dan
perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat. Sehingga disimpulkan advanced
wound dressings lebih efektif baik secara klinis maupun biaya (Jones, 2006).
Dimana perawatan luka konvensional berupa kasa yang dilembabkan dengan
NaCl 0,09 %; kasa yang dilembabkan dengan povidone iodine 3 %;larutan
hemolok (feracylum);kasa yang dibasahi dengan NaCl 0,09 % dan larutan
antibiotik (neomisin/gentamisin sulfat 60 mg, 80 mg;kombinasi gentamisin sulfat
dan metronidazol infus sebanyak 5 tetes). Sedangkan advanced wound dressing
menggunakan Intra Site Gel, Cerplast cavity (bioceramic), Mebo (Radix
Scutellariae 0,87g; Phellodendri cortex 0,87g; Rhizoma coptidis 0,87g yang
dimana menerapkan konsep modern dressing (Witanto dkk., 2008). Perawatan
yang diberikan bersifat memberikan kehangatan dan lingkungan yang lembab
pada luka (Muha, 1999). Balutan yang bersifat lembab dapat memberikan
25
lingkungan yang mendukung sel untuk melakukan proses penyembuhan luka dan
mencegah kerusakan atau trauma lebih lanjut. Balutan modern lebih dapat
memberikan lingkungan lembab dibanding balutan kasa yang cenderung cepat
kering (Torre, 2006). Kondisi yang lembab pada permukaan luka dapat
meningkatkan proses perkembangan perbaikan luka, mencegah dehidrasi jaringan
dan kematian sel. Kondisi ini juga dapat meningkatkan interaksi antara sel dan
faktor pertumbuhan.
Gel yang terbentuk pada luka mudah dibersihkan dan dapat memberikan
lingkungan yang lembab pada luka. Kondisi ini dapat meningkatkan proses
angiogenesis, proliferasi sel, granulasi dan epitelisasi. Prinsip balutan modern dan
konvensional sama yaitu menjaga kelembaban, kehangatan dan mencegah dari
trauma. Namun balutan tradisional kurang dapat menjaga kelembaban karena
NaCl akan menguap sehingga kasa menjadi kering. Kondisi kering menyebabkan
kasa lengket pada luka sehingga mudah terjadi trauma ulang. Kekurangan kasa
dalam menjaga kelembaban lingkungan luka menyebabkan masa perawatan luka
yang memanjang. Balutan modern adalah pilihan yang baik untuk meningkatkan
proses perkembangan luka. Biaya perawatan luka menggunakan balutan modern
lebih mahal dibandingkan balutan konvensional. Namun ini tidak berati balutan
modern tidak efektif dalam pembiayaan, karena efektifitas pembiayaan sendiri
adalah metode yang digunakan untuk mengevaluasi hasil dan biaya yang
dikeluarkan pada suatu intervensi yang didesain untuk meningkatkan status
kesehatan. Biaya perawatan yang mahal bukan berarti tidak efektif, kondisi ini
bisa dianalogikan dengan suatu luka yang dirawat dengan metode konvensional
akan memerlukan waktu yang lebih lama dalam perawatan, keadaan seperti
26
adanya perdarahan atau trauma ulang dapat memperlama masa Perawatan.
Sehingga efektifitas pembiayaan sangat dipengaruhi oleh status kesehatan sebagai
tujuan utama perawatan (Ismail, Irawaty, Haryati., 2009).
2.2.6 Kriteria Luka sembuh
Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera jaringan
lunak. Luka dikatakan mengalami proses penyembuhan jika mengalami proses
fase respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan
fase maturasi sesuai waktu penyembuhan yang normal (Morison, 2004).
Kemudian disertai dengan berkurangnya luasnya luka, jumlah exudate berkurang,
jaringan luka semakin membaik (NPUAP, 1997).
2.3 Sediaan Obat Topikal
Kata topikal berasal dari bahasa Yunani topikos yang artinya berkaitan
dengan daerah permukaan tertentu. Dalam literatur lain disebutkan kata topikal
berasal dari kata topos yang berarti lokasi atau tempat. Secara luas obat topikal
didefinisikan sebagai obat yang dipakai di tempat lesi (Sharma, 2008). Obat
topikal adalah obat yang mengandung dua komponen dasar yaitu zat pembawa
(vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan komponen bahan topikal yang
memiliki efek terapeutik, sedangkan zat pembawa adalah bagian inaktif dari
sediaan topikal dapat berbentuk cair atau padat yang membawa bahan aktif
berkontak dengan kulit. Idealnya zat pembawa mudah dioleskan, mudah
dibersihkan, tidak mengiritasi serta menyenangkan secara kosmetik. Selain itu,
bahan aktif harus berada di dalam zat pembawa dan kemudian mudah dilepaskan
(Yenny & Yanhendri, 2012).
27
Untuk mendapatkan sifat zat pembawa yang demikian, maka
ditambahkanlah bahan atau unsur senyawa tertentu yang berperan dalam
memaksimalkan fungsi dari zat pembawa (Strober et al, 2008). Secara umum
perjalanan sediaan topikal setelah diaplikasikan melewati tiga kompartemen yaitu:
permukaan kulit, stratum korneum, dan jaringan sehat. Stratum korneum dapat
berperan sebagai reservoir bagi vehikulum tempat sejumlah unsur pada obat
masih berkontak dengan permukaan kulit namun belum berpenetrasi tetapi tidak
dapat dihilangkan dengan cara digosok atau terhapus oleh pakaian. Unsur
vehikulum sediaan topikal dapat mengalami evaporasi, selanjutnya zat aktif
berikatan pada lapisan yang dilewati seperti pada epidermis, dermis. Pada kondisi
tertentu sediaan obat dapat membawa bahan aktif menembus hipodermis.
Sementara itu, zat aktif pada sediaan topikal akan diserap oleh vaskular kulit pada
dermis dan hipodermis (Yenny & Yanhendri, 2012).
Penetrasi transepidermal dapat secara interseluler dan intraseluler.
Penetrasi interseluler merupakan jalur yang dominan, obat akan menembus
stratum korneum melalui ruang antar sel pada lapisan lipid yang mengelilingi sel
korneosit. Difusi dapat berlangsung pada matriks lipid protein dari stratum
korneum. Setelah berhasil menembus stratum korneum obat akan menembus
lapisan epidermis sehat di bawahnya, hingga akhirnya berdifusi ke pembuluh
kapiler. Penetrasi secara intraseluler terjadi melalui difusi obat menembus dinding
stratum korneum sel korneosit yang mati dan juga melintasi matriks lipid protein
startum korneum, kemudian melewatinya menuju sel yang berada di lapisan
bawah sampai pada kapiler di bawah stratum basal epidermis dan berdifusi ke
28
kapiler. Saat suatu sediaan dioleskan ke kulit, absorpsinya akan melalui beberapa
fase :
a. Lag phase
Periode ini merupakan saat sediaan dioleskan dan belum melewati stratum
korneum, sehingga pada saat ini belum ditemukan bahan aktif obat dalam
pembuluh darah.
b. Rising phase
Fase ini dimulai saat sebagian sediaan menembus stratum korneum,
kemudian memasuki kapiler dermis, sehingga dapat ditemukan dalam pembuluh
darah.
c. Falling phase
Fase ini merupakan fase pelepasan bahan aktif obat dari permukaan kulit
dan dapat dibawa ke kapiler dermis.
Penyerapan sediaan topikal secara umum dipengaruhi oleh berbagai faktor
(Ansle, 1995):
a. Bahan aktif yang dicampurkan dalam pembawa tertentu harus menyatu
pada permukaan kulit dalam konsentrasi yang cukup.
b. Konsentrasi bahan aktif merupakan faktor penting, jumlah obat yang
diabsorpsi secara perkutan perunit luas permukaan setiap periode waktu,
bertambah sebanding dengan bertambahnya konsentrasi obat dalam suatu
pembawa.
29
c. Penggunaan bahan obat pada permukaan yang lebih luas akan menambah
jumlah obat yang diabsorpsi.
d. Absorpsi bahan aktif akan meningkat jika pembawa mudah menyebar ke
permukaan kulit.
e. Ada tidaknya pembungkus dan sejenisnya saat sediaan diaplikasikan.
f. Pada umumnya, menggosokkan sediaan akan meningkatkan jumlah bahan
aktif yang diabsorpsi.
g. Absorpsi perkutan akan lebih besar bila sediaan topikal dipakai pada kulit
yang lapisan tanduknya tipis.
h. Pada umumnya, makin lama sediaan menempel pada kulit, makin banyak
kemungkinan diabsorpsi.
Salah satu bentuk sediaan topikal adalah gel. Gel merupakan sistem
semipadat yang terdiri dari suspensi partikel anorganik kecil atau molekul organik
besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Sediaan dalam bentuk gel lebih banyak
digunakan karena rasa dingin di kulit, mudah mengering membentuk lapisan film
sehingga mudah dicuci (Suardi, dkk., 2008). Penetrasi gel mampu menembus
lapisan hipodermis sehingga banyak digunakan pada kondisi yang memerlukan
penetrasi seperti sediaan gel analgetik. Cara aplikasi sediaan obat topikal pada
umumnya disesuaikan dengan lesi pada permukaan kulit. Beberapa cara aplikasi
sediaan topikal yaitu oles. Pengolesan pada lokasi lesi merupakan cara pakai
sediaan topikal yang umum dilakukan. Cara ini dilakukan untuk hampir semua
bentuk sediaan. Banyaknya sediaan yang dioleskan disesuaikan dengan luas
kelainan kulit. Penambahan cara oles sediaan dengan menggosok dan menekan
juga dilakukan pada obat topikal dengan tujuan memperluas daerah aplikasi
30
namun juga meningkatkan suplai darah pada area lokal, memperbesar absorpsi
sistemik. Penggosokan ini mengakibatkan efek eksfoliatif lokal yang
meningkatkan penetrasi obat (Schaefer et al, 2008). Tahap penentuan kecepatan
absorpsi perkutan melalui kulit yang utuh adalah difusi/penetrasi melintasi
stratum corneum. Kecepatan absorpsi akan meningkat bila kulit luka. Adapun
langkah-langkah absorpsi obat melalui kulit:
a. Difusi bahan aktif pada lapisan batas antara pembawa dengan kulit
(pelepasan)
b. Penetrasi melalui stratum corneum
c. Permeasi bahan obat ke dalam korium
d. Resorpsi ke dalam peredaran darah
e. Pengangkutan dan distribusi oleh darah
Absorpsi bahan dari luar kulit ke posisi di bawah kulit tercakup masuk ke
dalam aliran darah, disebut sebagai absorpsi perkutan. Kulit merupakan perintang
Suatu sediaan akan dapat memberikan efek sistemik, apabila obat yang diberikan
tersebut dapat menembus lapisan kulit dan masuk kedalam sirkulasi sistemik.
(Ansel, 1989).
2.4 Khasiat Buah Tomat (Lycopersicum esculuentum Mill.) dalam Proses
Penyembuhan Luka
Luka merupakan cedera fisik akibat disintegritas kulit. Penyembuhan luka
adalah proses yang terdiri dari tiga fase yaitu inflamasi, proliferasi, dan
maturasi/remodeling. Ketiga fase ini memiliki interaksi di antara berbagai
31
jaringan dan sel yang dimana terjadi pemanjangan fase apabila terdapat
komplikasi vaskuler salah satunya luka diabetik. Manifestasi patologis dari luka
adalah adanya fibrosis, formasi skar, dan ulkus. Fibrosis menghambat deposisi
matriks dan dapat menjadi hipertrofi dimana luka megalami fase inflamasi kronis
dimana normalnya terjadi dalam waktu 0-3 hari. Saat terjadinya luka, secara
umum diikuti oleh gejala klasik dari inflamasi seperti nyeri, kemerahan, dan
bengkak. Fase inflamasi terjadi segera setelah luka, diawali dengan vasokontriksi,
agregasi platelet, dan infiltrasi dari leukosit limfosit-T ke area luka. Manajemen
dari fase inflamasi adalah membuang debris, jaringan yang rusak, dan mencegah
invasi bakteri oleh neutrofil dan makrofag yang memiliki peran pertahanan
antimikrobial dan debridemen dapat merevitalisasi jaringan melalui produksi
enzim proteolitik dan Reactive Oxygen Species (ROS) atau senyawa oksigen
reaktif (Ekpo, Mbagwu, Jackson, Eno dalam Jha et al, 2012). ROS diproduksi
dalam jumlah banyak pada lokal luka sebagai mekanisme pertahanan melawan
bakteri. Namun, peningkatan neutrofil dan ROS secara terus menerus dapat
merusak substasi antiprotease yang secara normal menjaga sintesis sel matriks
ekstraseluler. Konsentrasi ROS yang tinggi dapat merangsang kerusakan jaringan
membran sel, DNA, protein, dan lemak. ROS berperan penting pada metabolisme
kolagen. Senyawa oksigen reaktif tidak saja langsung menghancurkan kolagen
interstisial tetapi juga menginduksi sekelompok enzim yang bertanggung jawab
dalam degradasi kolagen yaitu matriks metaloproteinase (MMPs), sehingga
mengakibatkan kulit kehilangan kolagen. Meningkatnya ROS inilah yang
kemudian melalui jalur MAPK (The mitogen-activated protein kinase) akan
menurunkan Extracelluler signal-regulated kinase (ERK) dan meningkatkan c-
32
Jun Kinase (JNK/p38), yang selanjutnya akan mengaktivasi peningkatan AP-1
(Aktivator-Protein 1). Meningkatnya AP-1 akan menyebabkan terjadinya
peningkatan MMP-1 (MatrixMetalloProteinase-1) dan MMP-3
(MatrixMetalloProteinase-3). Selanjutnya peningkatan MMP-1 dan MMP-3 ini
akan mengaktivasi penurunan pro-kolagen-1. Karena kolagen tipe-1 yang
dihasilkan menurun, maka kolagen yang diproduksi oleh sel kulit itu juga akan
mengalami penurunan.
Salah satu penyebab peningkatan ROS adalah ketidakseimbangan antara
radikal bebas yang dihasilkan dengan antioksidan yang ada. Di dalam sel yang
hidup, radikal bebas terbentuk pada membran plasma, juga ada di dalam organel-
organel sel seperti peroksisom, retikulum endoplasma, mitokondria dan sitosol
melalui reaksi enzimatis berantai yang berlangsung melalui proses metabolisme.
Radikal bebas bersifat sangat reaktif, dapat menimbulkan perubahan kimiawi dan
merusak berbagai komponen seperti karbohidrat, nukleotida, lipid, dan protein.
Dalam keadan normal radikal bebas ini bisa diredam oleh tubuh, karena secara
alami tubuh menghasilkan antioksidan, seperti katalase dan peroksidase
dismutase. Adanya penyakit metabolik salah satunya diabetes melitus
menyebabkan radikal terus meningkat sementara antioksidan alami nya tidak
mencukupi. Berdasarkan hal tersebut, peran antioksidan menjadi sangat signifikan
dalam penanganan dan manajemen luka yang terbaik. Antioksidan dapat
membuang produk dari inflamasi dengan menekan protease dan ROS dibuktikan
dengan beberapa penelitian antara kimiawi radikal bebas produksi ROS dan
antioksidan (Jha et al., 2012).
33
Fase proliferasi identik dengan pertumbuhan dari jaringan granulasi untuk
menutup area luka secara komplit dan adanya proses angiogenesis. Fase ini
diakhiri dengan kontraksi antar tepi luka. Proses angiogenesis dapat terhambat
apabila terjadi perlambatan dari fase inflamasi. Pada angiogenesis, sel endotelial
migrasi menuju area luka dan membentuk pembuluh darah dan kapiler baru untuk
membawa oksigen dan nutrisi. Proses fibroplasia ini juga dipengaruhi oleh
angiogenesis dan aksi dari sitokin (Agyare et al., 2009). Fase remodeling
merupakan perbaikan luka melalui sistensis kolagen yaitu terjadi peningkatan
kekuatan tensil. Kolagen tipe III diganti oleh kolagen tipe I, dimana terjadi
interaksi yang dipengaruhi oleh suplai oksigen, vitamin C, dan alfa-ketoglutarat
(Jorge et al., 2008). Peran antioksidan tersebut dapat ditemukan pada beberapa
ekstrak tanaman yang telah terbukti berperan pada aktivitas penyembuhan luka.
Alam merupakan sumber dari pengobatan medis. Ayurweda merupakan
pedoman kuno penatalaksanaan kesehatan yang dipraktikan secara luas di India,
Srilanka, dan negara lainnya (Chopra & Doiphode, 2002). Antioksidan disebutkan
dalam ayurweda yang disebutkan berperan dalam menekan efek ROS. ROS terdiri
dari hydroxyl radicals (OH-), superoxide anions (O2
-), hydrogen peroxide (H2O2)
dan singlet oxygen (O2), termasuk juga peroksidasi lemak dan oksidasi enzim
serta degradasi dari protein. Antioksidan menterminasi reaksi rantai ROS dengan
menghambat reaksi oksidasi oleh radikal bebas. Dalam pengobatan herbal,
tanaman yang mengandung antioksidan banyak dimanfaatkan dan dikatakan tidak
bersifat toksik, efek samping minimal. Tanaman di alam umumnya memiliki
kandungan molekul scavenging radikal bebas seperti asam fenolik, flavonoid,
kuinon, coumarin, lignan, stilbenes, tannin; kandungan nitrogen seperti alkaloid,
34
amin, betalain; vitamin; terpenoid (termasuk karotenoid); dan beberapa metabolit
endogen (Cai, Sun, Corke, 2003). Sedangkan enzim dan non enzim yang menjadi
pertahanan dari antioksidan adalah superoxide dismutase (SOD), glutathione
reductase (GR), catalase (CAT), ascorbate peroxidase (APX), asam askorbat
(vitamin C), α-tocopherol (vitamin E), reduced glutathione (GSH), β- carotene,
vitamin A, dan likopen (Kumar et al., 2012).
Likopen atau α-carotene adalah suatu karotenoid pigmen merah terang
yang banyak ditemukan dalam buah tomat dan buah-buahan lain yang berwarna
merah. Buah tomat juga mengandung antioksidan lainnya seperti flavonoid,
vitamin C, dan asam fenolik. Dari studi yang dilakukan diketahui bahwa likopen
bisa berfungsi sebagai antioksidan yang kuat. Likopen bisa bereaksi dengan
radikal bebas agar berhenti merusak sel-sel dimana kemampuannya
mengendalikan radikal bebas 100 kali lebih efisien daripada vitamin E atau 12500
kali dari pada gluthation (Maulida & Zulkarnaen, 2010). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian juice buah tomat dengan dosis 7-15 g/kg BB
ternyata mampu menurunkan kadar SGOT, SGPT dan MDA hepar tikus coba
yang diinduksi dengan CCl4 (Wahyono, 2006). Dimana SGOT, SGPT dan MDA
adalah merupakan produk yang dihasilkan oleh adanya radikal bebas. Penelitian
Wahyono tahun 2008 mengemukakan bahwa pemberian ekstrak buah tomat
dengan komponen likopen, ß-karoten dan vitamin C, dapat menaikkan jumlah
kolagen tipe-1. Penelitian ini menunjukkan jumlah kolagen tipe-1 yang semakin
meningkat dengan semakin tinggi dosis ekstrak buah tomat, dimana dosis 15
mg/kg BB terlihat jumlah kolagen tipe-1 nya semakin meningkat. Kandungan
antioksidan dapat meredam radikal bebas sehingga ROS tidak terbentuk,
35
akibatnya ERK naik dan c-Jun Kinase turun, dan menyebabkan AP-1 turun, dan
MMP-1 juga menurun. Dengan demikian maka (kolagen tipe-1) tidak mengalami
kerusakan, sehingga kolagen yang diproduksi tidak mengalami penurunan
(Wahyono, 2008).
Buah tomat merupakan salah satu buah yang diujicobakan pada empat
isolasi bakteri yaitu Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae,
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dari pasien yang mengalami infeksi
pada luka. Ekstraksi menggunakan etanol dapat menghambat bakteri lebih baik
dibandingkan ekstra aqueous. Ekstrak tomat memiliki aktivitas antibakteri dimana
Diameter Inhibition Zone (DIZ) 5-10 mm dalam media agar. Dimana
Staphylococcus aureus menunjukkan DIZ paling panjang 10 mm dan E. Coli
sebesar 8 mm (Unnisa et al, 2012). Studi oleh Vorob’ev A.A dkk juga
membuktikkan bahwa buah tomat juga dapat memotong strain Candida albicans,
Enterobacter, Streptococcus, dan Klebsiella. Sehingga buah tomat dapat
disimpulkan menghasilkan efek antibakteri pada mikroorganisme gram positif
maupun gram negatif bahkan fungi pada genus Candida. Sifat buah tomat ini
dapat diaplikasikan dalam perawatan luka diabetik yang rentan akan infeksi
bakteri.
Selain itu buah tomat juga mengandung kandungan lainnya seperti
polisakarida, flavonoid, vitamin C, vitamin A, dan asam fenolic. Pada proses
penyembuhan luka, vitamin A berperan meningkatkan pembentukan kolagen,
diferensiasi sel epitel, dan meningkatkan imunitas. Selain itu, vitamin A berperan
mempercepat fase inflamasi ke fase proliferasi dengan meningkatkan monosit dan
makrofag ke daerah luka (Jeffcoate et al, 2004). Makrofag berasal dari monosit
36
yang berfungsi untuk membersihkan bakteria dan debris dari daerah luka.
Makrofag menghasilkan faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk fibroplasia
dan angiogenesis. Vitamin C merupakan komponen penting yang diperlukan
untuk proses hidroksilasi prolin dan lisin menjadi prokolagen, dimana bahan ini
penting untuk sintesis kolagen. Selain berperan dalam sintesis kolagen, vitamin C
juga berperan meningkatkan fungsi neutrofil dan angiogenesis (Jeffcoate et al,
2004). Flavonoid juga memiliki kemampuan imunomodulator yang dapat
mengaktivasi makrofag (Titisanti, 2005). Makrofag yang aktif berfungsi untuk
melakukan fagositosis, memproduksi TNF, perbaikan jaringan (fibroblast
stimulating factor, fibronectin, kolagenase), sitokin, dan memproduksi hormon
pertumbuhan (growth factor). Growth factor bertanggung jawab atas terjadinya
inflamasi dan proses mitogen fibroblas yang penting dalam proses penyembuhan
luka serta berperan pada reepitelisasi dan membentuk pembuluh kapiler baru atau
angiogenesis (Simatupang, 2003).
2.4 Pengaruh Pemberian Aloksan Terhadap Tikus Galur Wistar sebagai
Hewan Model Diabetes melitus
Percobaan penelitian mengenai diabetes melitus dengan menggunakan
hewan model didasarkan pada patogenesis penyakit tersebut pada manusia yang
bersifat kronis. Kondisi patologis pada hewan model bertujuan untuk melakukan
pencegahan, menetapkan diagnosa, mengetahui pathogenesis, dan terapi yang
digunakan dalam penanganan penyakit diabetes melitus. Meskipun demikian,
kondisi patologis hewan model tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan
kondisi patologis secara nyata pada manusia.
37
Aloksan merupakan zat kimia yang sering digunakan dalam induksi hewan
model diabetes melitus dimana zat ini secara selektif merusak sel β pankreas.
Kerusakan sel β pankreas akibat induksi aloksan diduga karena reduksi aloksan
menghasilkan radikal hidroksil yang dapat menyebabkan kematian sel β pankreas.
Hal tersebut dapat menyebabkan kondisi 'alloxan diabetes' (Lenzen, 2008). Dosis
yang digunakan melalui intravena adalah 65 mg/kgBB, sedangkan per subkutan
dan intraperitonial adalah 2-3 kalinya. Pemeriksaan gula darah dilakukan 3 hari
setelah induksi dan merupakan waktu tercepat untuk mengukur kondisi
hiperglikemi hewan coba. Hewan coba yang belum diberi makanan diambil dari
kandang, kemudian diambil sample darahnya dari bagian ekor dengan cara
ditusuk mengunakan jarum steril, darah dikeluarkan dari ekor tikus, diaplikasikan
pada glucose strip dan dilihat hasilnya pada monitor, setiap tikus dievaluasi dan
dilihat tingkat keberhasilan peningkatan gula darahnya, untuk hewan coba yang
tidak berhasil mengalami peningkatan gula darah yang diinginkan, hewan coba
diinduksi ulang (Mohapatra, 2008). Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya
daya tahan individu tikus yang berbeda terhadap aloksan sehingga menyebabkan
kondisi awal keadaan diabetes tidak seragam (Kim et al., 2006), dengan kadar
glukosa darah 100-200 mg/dl. Menurut Szkuldelski (2001) terdapat variasi
perubahan histopatologi pulau Langerhans akibat induksi aloksan. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh cara pemberian (intravena, sub-kutan, intraperitoneal) dan
ketahanan dari masing-masing individu hewan.
Menurut penelitian Chah et al (2006), luka dibiopsi sirkuler dengan
diameter 2 cm pada hari ke-7 setelah induksi aloksan. Bahkan aloksan dikatakan
38
telah dapat menginduksi diabetes melitus hingga 24 jam setelah administrasi dan
kondisi komplikasi kronis pada tes laboratorium telah ada setelah 7 hari.
2.6 Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar
2.6.1 Sistematika Hewan Percobaan
Tikus putih dalam sistematika hewan percobaan diklasifikasikan sebagai
berikut (Sugianto, 1995):
a. Filum : Chordata
b. Subfilum : Vertebrata
c. Classis : Mammalia
d. Subclassis : Placentalia
e. Ordo : Rodentia
f. Familia : Muridae
g. Genus : Rattus
h. Species : Rattus norvegicus
2.6.2 Karakteristik Hewan Percobaan
Tikus galur wistar sebagai hewan coba relatif resisten terhadap infeksi dan
sangat cerdas. Tikus tidak seperti mencit yang fotofobik dan cenderung
berkumpul dengan sesamanya. Aktivitasnya tidak terganggu oleh kehadiran
manusia (Setiawan, 2010). Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus yang biasanya
dijadikan hewan percobaan antara lain berumur 2-3 bulan, memiliki berat 150-600
gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25 cm, kepala dan
badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan tidak lebih dari 20-
39
23 mm. Tikus galur wistar jantan jarang berkelahi dibandingkan dengan mencit
jantan yang pada dasarnya sering berkelahi. Tikus galur wistar bisa tinggal
sendirian dalam kandang dan hewan ini memiliki ukuran tubuh lebih besar
dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan di laboratorium, tikus
putih lebih menguntungkan dibandingkan mencit (Setiawan, 2010).
Wang Jinheng dalam penjelasannya mengatakan, "Sebabnya peneliti
memilih tikus galur wistar sebagai hewan percobaan karena tikus putih
mempunyai banyak keunggulan. Pertama, banyak gen tikus wistar relatif mirip
dengan manusia. Kedua, dalam binatang menyusui (mamalia), kemampuan
berkembang biak tikus galur wistar sangat tinggi, sangat cocok digunakan dalam
eksperimen massal. Selain hal tersebut, tipe bentuk badan tikus tersebut kecil,
mudah dipelihara dan obat yang digunakan di tubuhnya dapat relatif cepat
termanifestasikan, dikarenakan fisiologisnya yang mirip dengan kondisi tubuh
manusia. Tikus galur wistar memiliki organ yang lengkap sebagai mamalia
(Intanowa, 2012). Oleh karena itu, hewan ini sering dipilih sebagai makhluk
percobaan untuk obat-obatan atau makanan yang nantinya akan digunakan atau
dikonsumsi oleh manusia. Selain itu juga, penelitian menggunakan galur wistar
jantan akan menghasilkan penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi
oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus galur wistar
betina. Tikus galur wistar jantan juga memiliki kecepatan metabolisme obat lebih
cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibandingkan tikus galur wistar
betina (Setiawan, 2010).
40
2.6.3 Penyiapan Tikus
Setiap tikus kemudian akan diberikan penomoran sesuai dengan kelompok
sampel dan kemudian akan dimasukkan ke kandang per kelompok. Ukuran
kandang yang dianjurkan adalah 900 cm2 untuk sepasang bibit tikus dan 1.080
cm2 cukup untuk seekor induk dengan 14 anak. Pada waktu disapih, kurang lebih
10 ekor tikus dapat ditempatkan di kandang yang lebih besar. Apabila tikus sudah
mencapai dewasa, maka 4-5 ekor tikus merupakan jumlah maksimum untuk
kandang dengan ukuran tersebut. Tikus akan dibuat hidup secara alami dalam
kandang pada suhu ruangan berkisar antara 20-25oC (John dan Soesanto, 1988).
2.6.4 Persiapan Pakan dan Minum
Pakan standar yang diberikan ke tikus, pada dasarnya tidak berbeda jauh
dengan makanan mencit. Cara penyajian makanan tikus hampir sama dengan
mencit. Komposisi pakan standar pada tikus dapat sedikit bervariasi, misalnya:
protein 20-25% (tetapi hanyan 12% kalau protein itu lengkap berisi semua 20
asam amino esensial dengan konsentrasi benar); lemak 5%; pati 45-50%; serat
kasar kira-kira 5%; dan abu 4-5%. Makanan tikus harus mengandung vitamin A
(4000 IU/Kg); vitamin D (1000 IU/Kg); alfa-tokoferol (30 mg/Kg); asam linole at
(3 g/Kg); tiamin (4 mg/Kg); riboflavin (3 mg/Kg); pantotenat (8 mg/Kg); vitamin
B 12 (50 ug/Kg); biotin (10 ug/Kg); piridoksin (40-300 ug/Kg); dan kolin (1000
mg/Kg). seekor tikus dewasa makan antara 12 g sampai 20 g makanan/ hari (John
dan Soesanto, 1988). Pemberian dilakukan pada pagi atau sore hari. Minum
diberikan dengan menggunakan botol ukuran 150 cc dan diletakkan diatas
kandang. Minum yang diberikan ialah air mineral.
41
2.6.5 Kandang Hewan Coba
Kandang hewan coba terbuat dari boks plastik yang bagian atasnya
ditutup dengan menggunakan kawat besi yang telah dipilin. Dilengkapi juga
dengan tempat minum. Sementara untuk makannya, diberikan secara langsung ke
tikus dengan menaburkannya ke dalam boks setiap pagi atau sore hari. Kandang
dan botol minum dibersihkan dengan menggunakan sabun, kemudian boks
kandang dijemur hingga kering dan di dalamnya diberi alas dengan
potongan/serbuk kayu. Pembersihan kandang dan penggantian potongan/serbuk
kayu dilakukan setiap seminggu sekali. Potongan/serbuk kayu yang telah kotor
tercampur kotoran tikus kemudian dibuang, boksnya dicuci dengan disinfektan
dan kemudian dikeringkan. Setelah boks kering kemudian potongan/serbuk kayu
diganti dengan yang baru.