4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jarak
Tanaman jarak, yang bernama ilmiah Ricinus communis L. (gambar 2.1)
berasal dari Ethiophia. Ricinus dalam bahasa latin berarti serangga, hal ini karena
buah jarak memiliki bintik-bintik dan bentuknya sekilas mirip dengan serangga
seperti pada gambar 2.2. Tanaman ini untuk pertama kali dibudidayakan oleh
bangsa Portugis dan Spanyol. Mereka menyebutnya sebagai Agno Casto,
sedangkan bangsa Inggris menyebutnya Castor (Widodo & Sumarsih, 2007).
Menurut Widodo & Sumarsih (2007), klasifikasi ilmiah dari tanaman jarak
adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta (Tumbuhan Berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (Tumbuhan Berbiji Tertutup)
Kelas : Dicotyledoneae (Tumbuhan Berbiji Belah Dua)
Bangsa : Euphorbiales
Suku : Euphorbiaceae
Marga : Ricinus
Jenis : Ricinus communis L.
Gambar 2.1. Tanaman jarak (Ricinus communis L.) Sumber : Hernawati, 2009
5
Gambar 2.2. Biji tanaman jarak Sumber : Hernawati, 2009
Biji jarak yang utama banyak mengandung minyak dan protein.
Kandungan bahan biji jarak dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Kandungan bahan dalam biji jarak
Bahan Kadar (%)
Air 5,1 – 5,5
Protein 12,0 – 16,0
Minyak 45,0 – 50,6
Abu 2,0 – 2,2 Sumber : Hernawati, 2009
Terdapat beberapa jenis tanaman jarak, salah satunya adalah tanaman jarak
pagar (Jatropha curcas L.). Nama Jatropha berasal dari jatros (doctor) dan trophe
(food) yang digunakan untuk keperluan medis. Curcas adalah nama lain dari physic
nut. Tanaman ini memiliki pohon dengan ketinggian 2 – 5 meter, batang penuh
tonjolan akibat daun gugur, cabang pohon menyebar, ranting pendek, daun tunggal
dan getah putih keruh. Bunga dari tanaman ini berwarna hijau kekuningan, buah
bulat kecil berwarna hijau dan memiliki biji berwarna hitam seperti pada gambar
2.3. Tanaman jarak pagar dapat tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian 500 m
pada suhu 20 – 28℃ (Henning, 1990).
6
Gambar 2.3. Bagian-bagian tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) Sumber : Hambali et al, 2006
2.1.1 Minyak Jarak Sebagai Minyak Pelumas Dasar
Minyak jarak merupakan trigliserida yang asam lemaknya didominasi oleh
asam risinoleat. Ciri khusus dari asam risinoleat adalah memiliki ikatan rangkap
dan juga gugus hidroksil, artinya minyak jarak memiliki potensi digunakan sebagai
bahan dasar pelumas. Selain itu, minyak jarak memiliki sifat yang kental (viscous)
pada suhu tinggi, titik tuang yang rendah, indeks ketahanan beban yang cukup
tinggi, serta tetap cair pada suhu rendah.
Keunggulan minyak jarak sebagai pelumas yang bahan dasarnya berasal
dari nabati ini antara lain (PPPTMGB Lemigas, 1998):
1. Sebagai alternatif pengganti minyak pelumas yang berasal dari minyak bumi,
sehingga mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi.
2. Bahan baku yang tersedia relatif mudah diperoleh, karena biji tanaman jarak
(Ricinus communis L.) tumbuh baik di iklim Indonesia dan bukan komoditas
pangan.
3. Minyak jarak bersifat ramah lingkungan dalam arti limbahnya tidak mencemari
lingkungan.
7
2.2 Pelumas
Pelumas merupakan zat kimia (cairan) yang diberikan di antara dua benda
bergerak dan saling bersinggungan yang bertujuan untuk mengurangi gaya gesek
yang terjadi antara keduanya. Menurut Jasin (2003), pelumas dibuat dari minyak
dasar (base oil) ditambah aditif dengan perbandingan tertentu, sesuai spesifikasi
yang diinginkan. Bahan aditif yang ditambahkan bukan berasal dari minyak bumi
melainkan bahan kimia yang dapat berfungsi meningkatkan kualitas. Diharapkan
pelumas yang dihasilkan dapat melayani pelumasan pada mesin atau peralatan
sesuai dengan spesifikasi.
2.2.1 Fungsi Pelumas
Menurut Wartawan (1998), secara umum pelumas memiliki fungsi dasar
sebagai berikut:
1. Mengurangi gesekan
Pelumas dapat mengurangi koefisien gesekan dengan cara membentuk lapisan
di antara dua permukaan logam yang bergerak dan saling bergesekan.
2. Menurunkan suhu
Pelumas membantu menyerap panas pada daerah suhu tinggi dan
memindahkannya ke bagian yang suhunya lebih rendah.
3. Mengendalikan korosi
Pelumas dapat mengendalikan korosi dengan cara membentuk lapisan
pelindung untuk menetralkan bahan yang korosif dan membasahi permukaan
logam.
4. Mencegah keausan
Pelumas memegang peranan penting untuk mengatasi tiga hal penyebab
keausan, yaitu abrasi, korosi, dan kontak antara dua permukaan logam.
5. Meredam kejutan
Pelumas dapat berfungsi sebagai fluida peredam kejutan melalui dua
mekanisme. Pertama dengan proses pemindahan tenaga mekanik ke tenaga
8
fluida, seperti dalam peredam kejut otomotif (shock absorber), dan yang kedua
dengan adanya kenaikan viskositas terhadap kenaikan tekanan.
6. Menghilangkan kotoran
Pelumas akan membawa kotoran yang timbul pada permukaan logam ke
permukaan aktif dari filter atau sentrifugasi untuk menghilangkannya. Kotoran
yang tidak tertangkap oleh filter, didispersikan oleh aditif dispersan yang
terdapat dalam pelumas.
2.2.2 Pelumas Dasar
Umumnya pelumas memiliki komposisi yang terdiri atas 90% minyak
dasar dan 10% zat tambahan. Pelumas dasar dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu
minyak mineral, organik, dan sintetis. Minyak nabati merupakan pelumas dasar
yang berasal dari komponen lemak tumbuh-tumbuhan (nabati) dan hewan (hewani).
Minyak sintetis berasal dari bahan kimia yang mengalami proses sintetis
hidrokarbon (misalnya polyaolefin, golongan ester, atau golongan alkylated
naphtalene) (Misriyanto, 2009).
Berikut adalah penjelasan mengenai minyak mineral, minyak nabati, dan
minyak sintetis yang merupakan minyak dasar dari pelumas:
2.2.2.1 Minyak Mineral
Minyak mineral merupakan satu jenis yang banyak digunakan pada saat
ini. Pelumas dasar ini merupakan hidrokarbon yang mengalami serangkaian proses
permunian dan dapat digolongkan menjadi empat jenis, yaitu parafinik, olefin,
naftenik, dan aromatik. Kandungan lain di dalam minyak mineral adalah sulfur,
nitrogen, dan logam.
Menurut Wartawan (1998), minyak mineral memiliki beberapa kelebihan
di antaranya:
1. Harga relatif murah dan tersedia dalam jumlah yang cukup besar.
2. Daerah suhu operasi cukup lebar, meliputi hampir seluruh pemakaian pada
industri, mesin-mesin transportasi, alat-alat berat, dan mesin-mesin lainnya.
9
3. Mudah dicampur dengan bahan aditif, sehingga bisa meningkatkan mutu dan
kinerja.
4. Tidak merusak sekat (seal) dan saluran (gland).
5. Stabil selama penyimpanan.
Pengolahan minyak mineral dapat menghasilkan beberapa jenis minyak
pelumas dengan tingkat viskositas dan sifat fisik yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Selain memiliki kelebihan, minyak mineral juga memiliki beberapa
kelemahan, yaitu:
1. Minyak mineral cenderung membentuk bola-bola kecil (sphere) di atas
permukaan pelat.
2. Kemampuan minyak mineral untuk melumasi permukaan logam terbatas pada
suhu tertentu saja dan kemampuan melumasi akan menurun pada suhu lebih
tinggi.
3. Sulit membentuk emulsi dengan air.
2.2.2.2 Minyak Nabati
Minyak nabati adalah komponen lipid yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan. Penyusun utama minyak nabati adalah trigliserida asam lemak. Asam
lemak yang membentuk trigliserida terdiri dari dua jenis yaitu asam lemak jenuh
(ikatan tunggal) dan asam lemak tidak jenuh (ikatan rangkap). Asam lemak jenuh
bersifat lebih stabil daripada asam lemak tidak jenuh.
Beberapa tanaman penghasil minyak nabati yang dapat dijadikan bahan
dasar pelumas, seperti bunga matahari, kedelai, kelapa sawit, kelapa, kapuk, dan
jarak. Selain sifat pelumasannya dapat menyamai minyak mineral, minyak nabati
juga lebih mudah terurai secara biologis (biodegradable) seperti pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Tingkat biodegradasi dari beberapa minyak pelumas dasar.
Minyak (Oil) Biodegradability (%) Renewability (%)
Minyak nabati (vegetable oil) 70 – 100 100
Minyak mineral (mineral oil) 20 – 40 0
10
Polyaolefin (PAO) 20 – 60 0
Alkyl benzene 5 – 20 0
Diesters 40 – 80 0 – 80
Aromatic esters 5 – 70 0
Polyol esters 20 – 99 0 – 85
Complex esters 20 – 90 0 – 100
Polyalkylglicol (PAG) 10 – 70 0
Jika berada dalam pelat logam, minyak nabati berbeda dengan minyak
mineral. Minyak nabati akan mengalir ke bagian pelat logam yang paling panas,
sedangkan minyak mineral tetap ditempat semula (tidak mengalir). Sifat minyak
nabati tersebut disebabkan karena penurunan tegangan permukaan yang begitu
cepat akibat kenaikan suhu, sehingga meningkatkan daya penetrasi dan sifat
menyebar (spreading property) minyak pada permukaan pelat logam.
Menurut La Puppung (1986), minyak nabati mempunyai kelebihan
sebagai berikut:
1. Minyak nabati mudah mengalir dari suhu lebih rendah ke bagian pelat bersuhu
tinggi, karena kekentalan minyak bertambah kecil akibat pertambahan suhu.
2. Minyak nabati mudah membentuk emulsi dengan air jika dibubuhi emulsifier
dan emulsi yang terbentuk relatif stabil.
3. Daya lumas minyak nabati lebih baik daripada minyak mineral.
La Puppung (1986) juga menyebutkan kelemahan minyak nabati, yaitu:
1. Minyak nabati mengandung asam lemak tidak jenuh yang bersifat labil dan
mudah teroksidasi sehingga membentuk senyawa-senyawa yang dapat
mengakibatkan mesin berkarat.
2. Minyak yang kontak dengan panas pada suhu tinggi akan menghasilkan
sejumlah senyawa polimer yang ditandai dengan warna minyak menjadi lebih
gelap dan meningkatnya berat jenis dan nilai kekentalan, serta daya lumasnya
berkurang.
11
3. Minyak dan lemak nabati dapat dirusak oleh mikroorganisme, terutama selama
penyimpanan, sehingga minyak sering dibubuhi dengan zat anti mikroorganisme
atau minyak harus selalu dalam keadaan steril.
2.2.2.3 Minyak Sintetis
Pelumas sintetis adalah pelumas yang dibuat dengan proses kimiawi
dengan menggabungkan beberapa bahan aditif. Pada awalnya, pelumas yang
digunakan pada kendaraan jaman dulu adalah berasal dari minyak bumi, pada
perkembangannya tidak mampu melayani mesin-mesin dengan teknologi tinggi
sehingga dilakukan penambahan bahan aditif. Selanjutnya, hasil penelitian
menunjukkan bahwa pelumas konvensional berasal dari minyak bumi yang telah
ditambah dengan bahan aditif tidak mampu mendukung kinerja mesin baru,
sehingga dilakukan penggantian dengan bahan lain yang bukan berasal dari minyak
bumi. Bahan ini merupakan bahan kimia yang memiliki kemampuan lebih unggul
dibandingakan dengan minyak mineral dalam semua sifat dasar yang diperlukan,
sehingga terbentuklah pelumas sintetis (Nugroho, 2005)
Pelumas sintetis dikelompokkan dalam dua kelas, yaitu ester organik dan
hidrokarbon yang diolah secara sintetis, baik yang berasal dari petrokimia maupun
oleokimia. Beberapa pelumas dasar sintetis adalah Polyaolefin (PAO), ester
sintetis, seperti monoester, diester, esterphtalat, poliolester (POE), dan ester
kompleks, serta polialkilenglikol (PAG), yaitu polimer petrokimia yang dihasilkan
dari reaksi antara etilen oksida dan propilen oksida (Askew, 2004).
2.3 Teori Keausan
Definisi keausan menurut ASTM adalah kerusakan permukaan benda yang
secara umum berhubungan dengan peningkatan hilangnya material yang
disebabkan oleh pergerakan relatif benda dan sebuah substansi kontak. Pada
umumnya keausan yang lebih besar akan terjadi pada benda yang kekerasannya
lebih rendah. Berbagai faktor yang mempengaruhi keausan adalah kecepatan gerak,
besarnya beban, profil permukaan, serta kekerasannya (hardness) dari material itu
sendiri. Gesekan antar permukaan juga akan menimbulkan panas yang juga
12
mempengaruhi keausan, karena kekerasan material akan berkurang seiring
meningkatnya temperatur. Dampak dari gesekan antara dua material bisa dikurangi
dengan memberikan pelumasan pada permukaan benda yang mengalami kontak.
Selain faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keausan, keausan juga dapat terjadi
pada suatu material yang disebabkan oleh adanya beberapa mekanisme yang
berbeda dan terbentuk oleh beberapa parameter yang bervariasi meliputi bahan,
lingkungan, kondisi operasi, dan geometri permukaan benda yang terjadi keausan.
2.3.1 Jenis-Jenis Keausan dan Penyebabnya
Mekanisme keausan dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu
keausan yang penyebabnya didominasi oleh perilaku mekanis dari bahan dan
keausan yang penyebabnya didominasi oleh perilaku kimia dari bahan, sedangkan
menurut Koji Kato, tipe keausan terdiri dari tiga macam, yaitu mechanical,
chemical and thermal wear.
2.3.1.1 Keausan Yang Disebabkan Perilaku Mekanis (Mechanical)
Keausan yang disebabkan oleh perilaku mekanis digolongkan menjadi
abrasive, adhesive, flow and fatigue wear.
1. Abrasive wear
Keausan ini terjadi jika partikel keras atau permukaan keras yang kasar
menggerus dan memotong permukaan sehingga mengakibatkan hilangnya
material yang ada di permukaan tersebut (earth moving equipment). Contoh :
micro-cutting, wedge forming, dan ploughing yang ditunjukkan pada gambar 2.4
dan 2.5.
Gambar 2.4. Abrasive wear oleh micro-cutting
13
Gambar 2.5. Contoh mekanisme pada abrasive wear
2. Adhesive Wear
Keausan ini terjadi jika partikel permukaan yang lebih lunak menempel
atau melekat pada lawan kontak yang lebih keras, seperti pada gambar 2.6 dan
2.7.
Gambar 2.6. Adhesive wear karena adhesive shear dan transfer
Gambar 2.7. Proses perpindahan logam karena adhesive wear
3. Flow Wear
Keausan ini terjadi jika partikel permukaan yang lebih lunak mengalir
seperti meleleh dan tergeser plastis akibat kontak dengan yang lain, seperti pada
gambar 2.8.
14
Gambar 2.8. Flow wear oleh penumpukan aliran geseran plastis
4. Fatigue Wear
Fenomena keausan ini didominasi akibat kondisi beban yang berulang
(cyclic loding). Ciri-cirinya perambatan retak lelah biasanya tegak lurus pada
permukaan tanoa deformasi plastis yang besar, seperti : ball bearings, roller
bearings dan lain sebagainya seperti pada gambar 2.9, 2.10, dan 2.11.
Gambar 2.9. Fatigue wear karena retak dibagian dalam dan merambat
a. Permulaan retak sebagai hasil dari proses fatigue
b. Retak primer merambat sepanjang bidang slip
15
c. Retak tambahan dari permulaan retak
d. Tambahan retak merambat dan terbentuklah partikel keausan
Gambar 2.10. Skema penggambaran proses retak dari awal retak dan
merambatnya retak permukaan
Gambar 2.11. Contoh terbentuknya partikel keausan pada aus lelah
Crack initiation
Release of
wear particle Crack propagation
16
2.3.1.2 Keausan Yang Disebabkan Perilaku Kimia
1. Oxidative Wear
Pada peningkatan kecepatan sliding dan beban rendah, lapisan oksida tipis,
tidak lengkap, dan rapuh tebentuk. Pada percepatan yang jauh lebih tinggi,
lapisan oksida menjadi berkelanjutan dan lebih tebal, mencakup seluruh
permukaan. Contoh : permukaan luncur di dalam lingkungan yang oksidatif.
2. Corrosive wear
Mekanisme ini ditandai oleh batas butir yang korosif dan pembentukan
lubang. Misalnya permukaan sliding di dalam lingkungan yang korosif. Pada
gambar 2.12 dan 2.13 ditunjukkan contoh-contoh dari corrosive wear.
Gambar 2.12. Corrosive wear karena patah geser pada lapisan lentur
Gambar 2.13. Corrosive wear karena pengelupasan pada lapisan yang rapuh
2.3.1.3 Keausan Yang Disebabkan Perilaku Panas (Thermal Wear)
1. Melt Wear
Keausan yang terjadi karena panas yang muncul akibat gesekan benda
sehingga permukaan aus meleleh.
17
2. Diffusive Wear
Terjadi ketika ada pancaran (diffusion) elemen yang melintasi bidang
kontak, misalnya pada perkakas baja kecepatan tinggi.
2.3.2 Rumus Yang Berkaitan Dengan Pengujian Keausan
Laju keausan dinyatakan dengan jumlah kehilangan atau pengurangan
material (massa, volume, atau ketebalan) tiap satuan panjang luncur spesimen
dengan satuan waktu. Laju keausan dinyatakan dengan :
𝑊 =𝑉𝑖−𝑉𝑓
𝑡=
𝑉
𝑡 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(1)
Dimana :
Vi : volume awal spesimen (mm3)
Vf : volume akhir spesimen setelah pengausan (mm3)
t : waktu atau lama pengausan (menit)
V : volume goresan yang hilang (mm3)
Volume goresan yang hilang (V) pada spesimen uji (block) ditentukan
dengan persamaan :
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2)
Dimana :
B : tebal disk (mm)
r : radius disk (mm)
b : lebar keausan yang diperoleh dari pengamatan melalui mikroskop
pada bekas alur
18
Keausan dapat juga diungkapkan dengan keausan spesifik. Keausan
spesifik dihitung berdasarkan lebar keausan benda uji yang termakan oleh
pengausan yang berputar. Keausan benda uji yang termakan oleh pengaus yang
berputar. Keausan spesifik (Ws dalam mm3/kg) dinyatakan dengan :
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3)
Dimana :
B : lebar disk (piringan) pengaus (mm)
b : lebar keausan pada benda uji (mm)
r : radius piringan pengaus (mm)
Po : beban tekan pada saat pengausan (kg)
lo : jarak tempuh dari proses pengausan (mm)
2.4 Tribometer
Tribometer adalah suatu instrument yang mengukur jumlah tribological,
koefisien dari gesekan, kekuatan gesekan dan volume keausan, antara dua
permukaan yang saling bergesekan. Hal ini ditemukan oleh ilmuan Belanda pada
abad ke-18 yaitu Musschenbroek. Tribometer adalah nama umum yang diberikan
kepada mesin atau alat yang digunakan untuk melakukan tes dan simulasi keausan,
gesekan dan pelumasan pada studi tribologi. Tribometer difungsikan dan
direkayasa oleh produsen yang menginginkan untuk menguji dan menganalisa
kinerja jangka panjang produk mereka.
2.4.1 Jenis-Jenis Tribometer
Jenis tribometer ada banyak, tiga diantara jenis tribometer yang sering
digunakan adalah sebagai berikut:
19
2.4.1.1 Tribometer Pin-on-Disc
Tribometer pin-on-disc adalah tribometer yang menggunakan pin dan disc
dalam bentuk lempengan plat datar sebagai material yang bergesekan. Disc akan
berotasi dan pin diberikan beban agar permukaan pin menekan pada permukaan
disc. Pada sebagian tribometer, pin dikondisikan untuk diam tetapi pada tribometer
yang lain juga ada yang menggerakkan pin ketika diberi beban agar terjadi sliding.
Gambar 2.14 menunjukkan tribometer jenis pin-on-disc.
Gambar 2.14. Tribometer pin-on-disc Sumber : Tim Wolda, 2010
2.4.1.2 Tribometer Pin-on-Ring
Tribometer pin-on-ring merupakan jenis tribometer yang menggunakan
ring dan pin sebagai material yang berkontak. Ring melakukan rotasi sedangkan pin
diberikan beban agar menekan ring. Sebagian tribometer pin-on-ring, pada bidang
kontak dapat diberikan pelumas untuk mengukur nilai dari karakteristik minyak
pelumas yang akan diuji. Gambar 2.15 menunjukkan tribometer jenis pin-on-ring.
Gambar 2.15. Tribometer pin-on-ring
20
2.4.1.3 Tribometer Block-on-Ring
Pada tribometer block-on-ring material yang digunakan sebagai spesimen
adalah sebuah block dan ring. Ring melakukan rotasi sedangkan block diberikan
beban agar menekan ring. Sebagian tribometer block-on-ring, pada bidang kontak
dapat diberikan pelumas untuk mengukur nilai dari karakteristik minyak pelumas
yang akan diuji. Pada tribometer jenis ini, untuk mengukur bagian yang akan
berkontak relatif lebih susah karena permukaan kontaknya lebih besar. Gambar
2.16 menunjukkan tribometer jenis block-on-ring.
Gambar 2.16. Tribometer block-on-ring
2.5 Scanning Electron Microscopy (SEM)
Scanning Electron Microscopy (SEM) digunakan untuk mengetahui
morfologi permukaan bahan. Karakteristik bahan yang menggunakan SEM
dimanfaatkan untuk melihat struktur topografi permukaan, ukuran butir, cacat
struktural, dan komposisi pencemaran suatu bahan. Hasil yang diperoleh dari
karakteristik ini dapat dilihat secara langsung pada hasil SEM berupa Scanning
Electron Micrograp yang menyajikan bentuk tiga dimensi berupa gambar atau foto.
Mikroskop ini digunakan untuk mempelajari struktur permukaan objek, yang secara
umum diperbesar antara 1.000−40.000 kali. SEM memfokuskan sinar elektron
(electron beam) di permukaan objek dan mengambil gambarnya dengan medeteksi
elektron yang muncul dari permukaan objek (Anonymous, 2012). Hasil SEM yang
berupa gambar topografi menyajikan bentuk permukaan bahan dengan berbagai
lekukan dan tonjolan.
21
2.5.1 Prinsip Kerja SEM
Prinsip kerja alat ini adalah sumber elektron dari filamen yang terbuat dari
tungsten memancarkan berkas elektron. Jika elektron tersebut berinteraksi dengan
bahan (spesimen) maka akan menghasilkan elektron sekunder dan sinar-X
karakteristik. Scanning pada permukaan bahan yang diinginkan dapat dilakukan
dengan mengatur scanning generator coils. Elektron sekunder hasil interaksi antara
elektron dengan permukaan bahan ditangkap oleh detektor SE (Secondary
Electron) yang kemudian diolah dan diperkuat oleh amplifier dan selanjutnya
divisualisasikan dalam monitor sinar katoda (CRT). Skema dasar disajikan pada
gambar 2.17.
Gambar 2.17. Skema dasar SEM (Scanning Electron Microscopy) Sumber : Smallman, 2000:157
22
2.5.2 Kebelihan dan Kekurangan SEM
Adapun kelebihan teknik SEM menurut Prasetyo (2011), yaitu terdapat
sistem vakum pada electron optical column dan sample chamber yang bertujuan
antara lain:
1. Menghilangkan efek pergerakan elektron yang tidak beraturan karena adanya
molekul gas pada lingkungan tersebut, yang dapat mengakibatkan penurunan
intensitas dan stabilitas.
2. Meminimalisasi gas yang dapat bereaksi dengan sampel atau mengendap pada
sampel, baik gas yang berasal dari sampel ataupun mikroskop. Karena apabila
hal tersebut terjadi, maka akan menurunkan kontras dan membuat gelap detail
pada gambar.
Sedangkan menurut Material Cerdas (2009), menyebutkan kekurangan dari
teknik SEM antara lain:
1. Memerlukan kondisi vakum.
2. Hanya menganalisa permukaan.
3. Resolusi lebih rendah dari TEM.
4. Sampel harus bahan yang konduktor, jika tidak konduktor maka perlu dilapisi
logam seperti emas.