10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja dan Perilaku Rentan Gizi
Definisi remaja menurut WHO adalah suatu masa perkembangan seorang
individu yang ditandai dengan munculnya tanda-tanda seksual sekunder
(pubertas) hingga mencapai kematangan seksual. Periode ini adalah suatu
perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, yang
terdiri dari perubahan secara biologik, psikologik dan sosial. Batasan umur remaja
menurut WHO yaitu 10-18 tahun (Soetjiningsih, 2004). Masa remaja ini dikatakan
rentan terhadap masalah gizi oleh karena terjadi percepatan pertumbuhan dan
perkembangan tubuh yang memerlukan energi lebih banyak serta terjadi
perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan yang menuntut penyesuaian masukan
energi dan zat gizi.
Perilaku rentan gizi pada remaja salah satunya ditunjukkan dengan
kebiasaan makan yang kurang baik. Kebiasaan makan yang kurang baik ini
biasanya diawali dengan kebiasaan makan keluarga yang tidak baik yang sudah
tertanam sejak kecil kemudian berlanjut hingga remaja. Bentuk kebiasaan makan
yang tidak baik ini diantaranya adalah makan seadanya tanpa mengetahui
kebutuhan berbagai zat gizi dan dampak akibat tidak terpenuhinya kebutuhan zat
gizi tersebut terhadap kesehatan.
Sebuah studi di Korea yang dilakukan oleh Kim, dkk. (2007)
membuktikan bahwa pola makan pada remaja dapat mempengaruhi status gizi
11
mereka. Penelitian ini dilakukan dengan mengelompokkan remaja pada tiga pola
makan, yaitu pola makan tradisional Korea, pola makan barat, pola makan
modifikasi. Hasil penelitiannya menemukan bahwa kejadian obesitas sentral
paling tinggi pada pola makan barat sebesar 16,8%. Pola makan barat dalam hal
ini adalah pola makan yang banyak mengkonsumsi tepung dan roti, hamburger,
pizza, makanan ringan dan sereal, gula dan makanan manis. Kejadian obesitas
sentral pada kelompok dengan pola makan tradisional Korea adalah 9,8%. Pola
makan tradisional Koreal yaitu pola makan yang banyak mengkonsumsi kimchi,
nasi, ikan dan rumput laut. Sementara kejadian obesitas sentral pada kelompok
dengan pola makan modifikasi sebesar 9,7%. Pola makan modifikasi dalam hal ini
adalah pola makan yang banyak mengkonsumsi mie, tetapi diselingi dengan
kimchi dan nasi. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hallstrom, dkk. (2011)
menunjukkan bahwa sekitar 34% remaja di Eropa memiliki kebiasaan tidak
sarapan di pagi hari. Sementara Merten, dkk. (2009) membuktikan bahwa remaja
yang memiliki kebiasaan sarapan memiliki kecenderungan untuk tidak mengalami
obesitas.
2.2 Intelegensi
2.2.1 Definisi
Wechsler (1974) menjelaskan definisi Intelegensi adalah kemampuan
dalam bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi
lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
intelegensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir
12
secara rasional. Dengan demikian, intelegensi tidak dapat diamati secara
langsung, tetapi harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan
manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Binet (1905), seorang tokoh perintis
dalam pengukuran intelegensi, menguraikan bahwa intelegensi terdiri dari tiga
komponen, yaitu: (1) kemampuan untuk mengarahkan pikiran dan tindakan, (2)
kemampuan untuk mengubah arah tindakan setelah tindakan tersebut
dilaksanakan, dan (3) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan
auto critism. Sedangkan Intelligence Quotient atau IQ adalah skor yang diperoleh
dari tes intelegensi (Boeree, 2003).
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi remaja
Secara garis besar faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya IQ
seorang remaja menurut Boeree (2003), meliputi:
a. Faktor genetik atau keturunan
Untuk mengetahui seberapa kuat pengaruh genetik terhadap
perkembangan intelegensi remaja, dapat mengacu pada konsep heritabilitas.
Heritabilitas adalah bagian dari variansi dalam suatu populasi yang dikaitkan
dengan faktor genetik. Indeks heritabilitas dihitung menggunakan teknik
korelasional. Tingkat paling tinggi dari heritabilitas adalah 1,00 dengan
korelasi 0,70 keatas mengindikasikan adanya pengaruh genetik yang kuat.
Penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association,
menyimpulkan bahwa pada tahap remaja akhir, indeks heritabilitas
kecerdasan 0,75. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh genetik yang kuat
terhadap perkembangan intelegensi (Santrock, 2007).
13
Patrick, dkk. (2014), membuktikan bahwa nilai IQ berhubungan dengan
jenis kelamin, dimana rerata nilai IQ responden laki-laki lebih tinggi
dibandingkan rerata responden perempuan (r = 0,279; p = 0,005). Penelitian
Burgaleta, dkk. (2012) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan volume otak
antara laki-laki dan perempuan yaitu volume otak laki-laki 10% lebih besar
dibandingkan perempuan. Haier, dkk. (2005) menunjukkan bahwa otak laki-
laki memiliki lebih banyak substansia grisea dibandingkan otak perempuan.
Substansia grisea memiliki peran penting dalam kecerdasan. Temuan tersebut
dapat menjelaskan adanya perbedaan nilai IQ antara laki-laki dan perempuan.
b. Faktor gizi
Pemenuhan kebutuhan gizi pada saat hamil, menyusui dan pada waktu
bayi sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, karena masa tersebut
merupakan golden period yang biasa disebut 1000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK), yaitu sejak kehamilan sampai anak usia 24 bulan (IDAI, 2015).
Kekurangan dan kelebihan gizi pada saat masa pertumbuhan, dapat
mempengaruhi perkembangan sel otak anak. Hasil penelitian Wibowo, dkk.
(1995), menemukan bahwa status gizi anak berpengaruh pada tingkat
intelegensinya.
1) Berat badan lahir bayi
Center for Urban Epidemiologic Studies New York, AS,
membuktikan terdapat hubungan antara berat lahir bayi dengan tingkat
kecerdasan (IQ). Rata-rata perbedaan angka IQ dari bayi yang berat
lahirnya < 2500 gram dengan bayi yang lahirnya 4000 gram mencapai 10
14
angka (Matte, dkk., 2001). Rubin, dkk. (1973) menemukan bahwa bayi
dengan berat badan lahir rendah dipengaruhi oleh kesehatan ibu selama
kehamilan terutama pada trimester pertama kehamilan, yang merupakan
fase pembentukan sistem saraf sentral yang berpengaruh pada fungsi
intelektual. Sementara berat badan bayi besar berakibat pada
ketidaksempurnaan logika, kemampuan mental (psikologis) dan
kemampuan belajar. Sejumlah penelitian lain juga melaporkan bahwa
anak dengan berat lahir rendah lebih memiliki kesulitan akademis
dibandingkan anak dengan berat lahir cukup (Erickson, dkk., 2010).
2) Masa kehamilan
Anak yang lahir dengan usia kandungan kurang dari sembilan
bulan menyebabkan tidak sempurnanya keadaan bayi yang membuatnya
lebih sensitif terhadap tekanan, stress dan penyakit dari lingkungan. Hal
ini berpengaruh pada proses perkembangan otak yang pada akhirnya
mempengaruhi fungsi intelektual. Otak yang belum mature rentan
terhadap komplikasi neonatal seperti perdarahan intraventricular,
perdarahan matriks germinal, periventricular leukomalacia, mielinisasi
yang tertunda dan volume otak yang berkurang, sehingga berdampak
pada fungsi kognitif anak (Kuperus, dkk., 2008).
3) Riwayat pemberian ASI
Penelitian Novita, dkk. (2008), menemukan bahwa peluang
terjadinya IQ di bawah rata-rata 1,7 kali lebih besar dibandingkan di atas
rata-rata apabila bayi diberikan ASI non eksklusif. Bayi yang diberikan
15
ASI eksklusif menunjukkan fungsi kognitif yang lebih baik dibandingkan
dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif memiliki rata-rata IQ 128,3 dengan
rentangan 112-142 sedangkan bayi yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif memiliki rata-rata IQ 114,4 dengan rentangan 82-137.
Penelitian Maslahah (2010), menemukan bahwa terdapat perbedaan
pengaruh pemberian ASI dengan pemberian susu formula terhadap
tingkat IQ anak usia 5-6 tahun. Secara lebih spesifik dikatakan bahwa
pemberian ASI atau pemberian susu formula di waktu bayi dapat
mempengaruhi tingkat IQ anak. Anak yang memiliki riwayat
mengkonsumsi ASI di waktu bayi mempunyai kemungkinan memiliki
tingkat IQ dalam kategori cerdas sebesar 4,2 kali lebih besar daripada
anak yang memiliki riwayat mengkonsumsi susu formula di waktu bayi.
ASI memiliki kandungan lemak yang terdiri dari asam linoleat dan
kolesterol yang dibutuhkan untuk perkembangan otak (Wardlaw dan
Hampl, 2007). Selain itu, ASI juga mengandung DHA dan AA yang
dibutuhkan dalam pembentukan sel-sel otak secara optimal. ASI
mengandung jumlah DHA dan AA yang sangat mencukupi untuk
menjamin pertumbuhan dan perkembangan otak anak. Selain AA dan
DHA, Taurin merupakan asam amino penting yang terdapat dalam ASI
dengan konsentrasi tinggi yang memiliki peran penting dalam
perkembangan jaringan otak (Salimo, 2009). Susu formula yang
berbahan dasar susu sapi tidak memiliki komponen AA, DHA dan Taurin
16
seperti yang dimiliki oleh ASI. Walaupun saat ini beberapa produsen
susu formula telah menambahkan minyak nabati sebagai sumber
Polyunsaturated Fatty Acids/PUFA seperti AA dan DHA tetapi hasilnya
tidak dapat menyamai ASI. Menurut Susianto (2010), kandungan gizi
pada susu formula tidak stabil seperti yang ada di dalam ASI dikarenakan
adanya faktor perubahan suhu yang menyebabkan perubahan komposisi
senyawa dalam kandungan susu formula. Hal tersebut yang mendasari
adanya perbedaan IQ anak yang mengkonsumsi ASI dengan anak yang
mengkonsumsi susu formula.
4) Status gizi pada usia dua tahun
Mulai sejak lahir sampai berusia dua tahun terjadi perkembangan
otak yang pesat pada bayi yaitu sekitar 80%. Secara umum apabila terjadi
kekurangan atau kelebihan zat gizi pada periode usia 0-2 tahun bersifat
ireversibel dan akan berdampak pada kualitas hidup dan mempengaruhi
perkembangan otak jangka panjang yang selanjutnya berdampak pada
kemampuan kognitif dan prestasi pendidikan (IDAI, 2015). Penelitian
Anwar (2010), menemukan bahwa riwayat status gizi buruk pada usia
dua tahun ke bawah berpengaruh pada tingkat kecerdasan anak saat
berusia 5-6 tahun. Anak umur 5-6 tahun dengan riwayat status gizi buruk
memiliki skor IQ 6,5 poin lebih rendah daripada anak dengan riwayat
status gizi baik.
17
5) Gizi kurang
Kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan terganggu, badan
lebih kecil yang diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil. Jumlah sel
dalam otak berkurang dan terjadi ketidakmatangan dan
ketidaksempurnaan organisasi biokimia (neurotransmitter) dalam otak.
Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak
(Pamularsih, 2009). Penelitian Sari (2010) menunjukkan bahwa siswa
dengan status gizi kurang mempunyai skor IQ lebih rendah sebesar 13
poin secara signifikan dibandingkan siswa dengan status gizi normal.
Penelitian lainnya yang dilakukan Wibowo (1994) telah membuktikan
bahwa status gizi anak mempunyai dampak positif terhadap
intelegensinya.
Menurut penelitian Karsin (2004) anak yang mengalami Kurang
Energi Protein (KEP) mempunyai skor IQ lebih rendah 10-13 skor
dibandingkan anak yang tidak KEP. Protein merupakan salah satu
sumber zat gizi makro (makronutrien) yang berkontribusi besar pada
fungsi otak. Asam amino esensial diperlukan untuk mengatur
pembentukan neurotransmitter di otak (Bourre, 2006). Selain KEP,
malnutrisi pada anak-anak dapat dipengaruhi oleh kekurangan
mikronutrien (zat besi, yodium, seng, dan vitamin A), yang juga
memiliki pengaruh buruk pada pertumbuhan. Anak yang mengalami
anemia mempunyai IQ lebih rendah 5-10 skor dibandingkan yang tidak
anemia. Anak yang mengalami Gangguan Akibat Kekurangan Iodium
18
(GAKI) mempunyai IQ lebih rendah 50 skor dibandingkan anak yang
mengalami GAKI (Karsin, 2004).
c. Faktor kesehatan fisik
Data survei nasional memperkirakan bahwa sekitar 30% dari semua
anak mempunyai beberapa bentuk kondisi kesehatan yang kronik, dan 15-
20% dari semua anak mempunyai masalah fisis, pembelajaran, dan gangguan
perkembangan. Anak lelaki lebih banyak menderita penyakit kronik daripada
anak perempuan. Penyakit kronik serius terbanyak adalah asma; lebih dari
12% anak pernah didiagnosis asma pada suatu waktu dalam kehidupannya.
Setengah dari anak yang dilaporkan asma mengalami gejala asma sebelum
usia 12 bulan. Hampir 6% anak dilaporkan mengalami gangguan pemusatan
perhatian/hiperaktivitas (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder/ADHD).
Kegemukan biasanya tidak dimasukkan dalam masalah kesehatan kronik,
walaupun hampir 17% dari semua anak usia 6 sampai 19 tahun mempunyai
indeks massa tubuh di atas persentil ke-95 (Kliegman, dkk., 2007).
Anak dengan penyakit kronik di Indonesia dikelompokkan dengan
sebutan Anak Dengan Disabilitas (ADD). Kelompok ini merupakan salah
satu kelompok anak Indonesia yang memiliki hak yang sama untuk
memperoleh layanan kesehatan. Kondisi kesehatan ADD sangat kompleks,
terdiri atas berbagai jenis disabilitas dengan permasalahan yang cukup
spesifik sehingga memerlukan pendekatan secara khusus dalam
penanganannya. Mereka merupakan kelompok yang rentan dan rawan
19
terhadap paparan penyakit maupun ancaman tindak kekerasan (Kemenkes RI,
2014).
World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah ADD
sekitar 7 sampai 10% dari total populasi anak. Gambaran data ADD di
Indonesia sangat bervariasi; belum ada data terkini tentang jumlah dan
kondisi ADD. Data Susenas 2003 menunjukkan sebagian besar (85,6%) anak
dengan disabilitas berada di tengah masyarakat dan hanya sebagian kecil
(14,4%) berada di institusi, termasuk sekolah luar biasa (SLB) dan lembaga
kesejahteraan sosial anak (LKSA). Menurut data Badan Pusat Statistik
Nasional tahun 2007, terdapat 8,3 juta jiwa ADD, atau sekitar 10% dari total
populasi anak di Indonesia (Kemenkes RI, 2014).
Anak dengan penyakit kronik dapat mengalami hambatan untuk
mencapai tumbuh kembang optimal. Mereka dapat mengalami keterlambatan
dalam perkembangan fisis, kognitif, komunikasi, motorik, adaptif, atau
sosialisasi, juga gangguan dalam aspek pertumbuhan seperti kenaikan berat
badan dan tinggi badan yang tidak optimal. Hal lain yang perlu dideteksi
yaitu risiko timbulnya perilaku yang menyimpang seperti emosi yang
meledak-ledak, sikap menentang, cenderung nekat, dan drug abuse yang
banyak dijumpai pada masa remaja (Kliegman, dkk., 2007). Gangguan
tumbuh kembang yang terjadi mulai dari gejala ringan sampai dengan berat,
dapat pula bersifat sementara atau permanen. Gangguan tersebut akibat gejala
atau kelainan yang menetap, pengobatan yang terlambat, keterbatasan
aktivitas atau mobilitas, atau keterbatasan terhadap kegiatan di sekolah,
20
rekreasi, bermain, aktivitas keluarga, atau dalam pekerjaan (Suris, dkk.,
2008). Penyakit kronik berdampak terhadap perkembangan anak serta
menimbulkan berbagai masalah dan menurunkan kualitas hidupnya
(Michaud, dkk., 2007; Neinstein, 2008).
d. Faktor lingkungan
Remaja membutuhkan lingkungan yang baik untuk dapat
mengoptimalkan perkembangan intelektualnya melalui dukungan secara
mental seperti rasa kasih sayang, rasa aman, pengertian, perhatian,
penghargaan dan rangsangan intelektual. Dukungan mental tersebut dapat
bersumber dari pengasuh utama remaja tersebut sejak kecil. Pengasuhan,
perhatian, dan hubungan yang dibangun dengan penuh kasih sayang akan
mempercepat perkembangan emosional dan kesehatan mental anak. Ketika
hubungan dengan anak dibangun dengan penuh kebaikan dan penghargaan,
maka anak akan berkembang dengan perasaan aman dan emosi yang merasa
terlindungi. Pengasuhan melalui pembinaan hubungan (relationship)
menyediakan “dasar yang aman” sehingga anak dapat mulai mengeksplorasi
dunia dengan jaminan rasa aman. Semakin banyak hal baru yang dieksplorasi,
semakin sukses pengalaman yang diperoleh anak. Pengasuhan melalui
pembinaan hubungan dengan penuh kasih sayang ini akan membuat anak
merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan senantiasa merasa berharga.
Selain itu, pengasuhan ini akan mengajarkan anak untuk memperlakukan
orang lain di lingkungannya dengan baik. Perlu disadari bahwa anak meniru
apa yang dilakukan orang dewasa di sekitarnya, menyimpannya dalam
21
memori dan suatu saat akan melakukan hal yang sama dengan orang dewasa
tersebut. Anak yang diperlakukan dengan penuh cinta kasih akan tumbuh
menjadi seseorang yang peduli dengan orang lain (Osofsky, 2003).
Faktor lingkungan lainnya yang berpengaruh pada intelegensi anak
yaitu, tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga dan riwayat sosial-budaya.
1) Tingkat pendidikan ibu
Hasil penelitian Sari (2010), menunjukkan bahwa skor IQ pada
anak dari ibu yang berpendidikan rendah 10 poin lebih rendah
dibandingkan anak dari ibu yang berpendidikan menengah, sedangkan
anak dari ibu yang berpendidikan tinggi memiliki skor IQ sembilan poin
lebih tinggi. Tingkat pendidikan ibu berkaitan dengan kemampuan
penerimaan informasi tentang gizi. Menurut Suhardjo (2003), seorang
ibu dengan pendidikan yang rendah akan lebih mempertahankan tradisi-
tradisi yang berhubungan dengan makanan sehingga lebih sulit menerima
informasi baru tentang gizi, dan begitu pula sebaliknya.
Avan, dkk. (2007), menyatakan bahwa anak yang diasuh oleh
orangtua yang menyelesaikan pendidikan hingga ke tahap sekunder atau
lebih akan memiliki nilai IQ yang lebih tinggi. Anak yang diasuh oleh
ibu yang hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah dasar akan
mempunyai risiko tiga kali lebih besar untuk mengalami hambatan
pertumbuhan dibandingkan anak yang diasuh ibu berpendidikan lebih
tinggi. Penelitian lain menyebutkan bahwa ibu yang menempuh
pendidikan formal lebih dari lima tahun akan lebih banyak memberikan
22
respon kepada anak secara verbal dan emosional, lebih mampu
mengorganisasi lingkungan, cukup menyediakan materi bermain dan
permainan, keterlibatannya dengan anak lebih besar dan stimulasi yang
mereka berikan juga lebih bervariasi (Andrade, dkk., 2005).
2) Pendapatan keluarga
Penelitian yang dilakukan oleh Seifert (2007) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara status sosial ekonomi dan
kecerdasan. Orangtua yang memiliki pendapatan yang rendah mengalami
kesulitan untuk memfasilitasi lingkungan yang secara intelektual dapat
menstimulasi anak-anak mereka. Hal inilah yang menyebabkan kurang
optimalnya perkembangan kognitif anak. Mc Wayne (2004) menjelaskan
bahwa anak yang berada pada keluarga dengan pendapatan yang rendah
memiliki risiko terhambatnya perkembangan kognitif yang lebih tinggi
dibandingkan anak yang berada pada keluarga dengan pendapatan yang
lebih tinggi. Pendapatan keluarga memiliki hubungan positif yang cukup
tinggi dengan tingkat intelegensi anak sejak usia tiga tahun sampai
dengan remaja. Pendapatan keluarga rendah, kurang memiliki akses
terhadap sumber daya yang meliputi nutrisi, layanan kesehatan dan
kesempatan pendidikan dibandingkan dengan keluarga berpenghasilan
tinggi. Hasil ulasan beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan
orangtua memiliki pengaruh positif tidak hanya pada kesehatan dan
kesejahteraan tetapi juga pada nilai tes kognitif anak (Mayer, 2002).
Selain itu, anak-anak dari latar belakang sosio-ekonomi yang rendah
23
lebih cenderung berisiko mengalami perkembangan kognitif yang lebih
buruk karena kurangnya stimulasi kognitif dirumah (Votruba-Drzal,
2003).
3) Latar belakang sosial-budaya
Santrock dan Yussen (1992) menyatakan bahwa latar belakang
sosial budaya anak mempengaruhi kemampuan mentalnya. Tes
kecerdasan pada 320 anak Yahudi, Cina, Negro dan Puerto Rico
menunjukkan hasil bahwa: (1) nilai anak Yahudi lebih tinggi pada bagian
verbal dan lebih rendah pada pemikiran (reasoning) dan angka serta
pengetahuan ruang (space); (2) nilai anak Negro lebih tinggi pada
kemampuan verbal dan lebih rendah pada pemikiran, ruang dan angka
(number); (3) anak Puerto Rico lebih rendah pada bagian verbal tetapi
lebih tinggi pada angka, ruang dan pemikiran; (4) nilai anak Cina rendah
pada kemampuan verbal, tetapi lebih tinggi pada angka, ruang dan
pemikiran. Dalam perbandingan antara anak kulit putih dan anak Asia,
nilai anak kulit putih lebih tinggi pada kemampuan verbal namun lebih
rendah pada kemampuan mengenai ruang (spatial orientation). Penelitian
Wibowo (1994) menunjukkan bahwa performance IQ anak balita Jawa
relatif lebih tinggi dibanding anak balita Sumbar.
4) Rangsangan intelektual
Rangsangan atau stimulasi yang didapatkan anak sejak usia dini,
baik di lingkungan keluarga maupun dari lingkungan sekitar anak
berpengaruh terhadap tingkat inteligensi anak. Studi longitudinal
24
mengenai kemampuan kognitif pada anak yang mendapatkan pendidikan
usia dini yang dilakukan oleh Campbell dan Ramey (1995) dalam
American Educational Research Journal, menemukan bahwa adanya
hubungan antara intervensi dini melalui pendidikan usia dini pada anak-
anak dari keluarga dengan pendapatan rendah dengan intelegensi jangka
panjang dan prestasi belajarnya. Penelitian tersebut membuktikan bahwa
remaja yang mendapatkan pendidikan usia dini menunjukkan hasil yang
lebih tinggi untuk tes bahasa dan matematika daripada remaja yang
hanya mendapatkan intervensi pendidikan pada sekolah dasar. Hasil
penelitian Setyaningrum, dkk. (2014), menemukan bahwa anak usia dini
yang mengikuti pembelajaran di PAUD berpeluang mempunyai
perkembangan kognitif yang baik sekitar empat kali dibandingkan
dengan anak usia dini yang tidak ikut PAUD. Anak yang mendapatkan
stimulasi yang terarah pada pembelajaran di PAUD perkembangan
intelegensinya lebih cepat daripada anak yang kurang stimulasi atau
bahkan tidak mendapatkan stimulasi. Berbagai stimulasi melalui
pancaindera seperti melihat, mendengar, merasa, mencium dan meraba,
yang diberikan selama awal kehidupan mempunyai pengaruh yang besar
pada pertumbuhan dan maturasi otak (Warsito, dkk., 2010).
2.2.3 Pengukuran tingkat intelegensi
Tes intelegensi atau sering disebut tes IQ merupakan suatu jenis tes
psikologis yang secara khusus digunakan sebagai alat pengukuran tingkat
25
intelegensi atau kemampuan kognitif seseorang (Sukardi, 1993). Tes intelegensi
disusun untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu
kemampuan dalam memberikan suatu jawaban atau kesimpulan secara logis
berdasarkan informasi yang diberikan (Guilford, 1982). Metode untuk pengukuran
tingkat intelegensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode
Standard Progressive Matrices (SPM). SPM merupakan bentuk asli dari Raven
Progressive Matrices yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1938. Tes ini
terdiri dari lima kelompok soal, dimana masing-masing kelompok soal berisi 12
soal, sehingga jumlah keseluruhan soal adalah sebanyak 60 soal. Setiap soal akan
bergerak dari soal yang mudah hingga soal yang sulit. Kondisi ini menunjukkan
bahwa dibutuhkan kapasitas kognitif yang lebih besar untuk memasukkan dan
menganalisa informasi di dalam otak. Tes ini dirancang khusus untuk usia enam
hingga 65 tahun yang dapat disajikan secara individual ataupun klasikal. Waktu
untuk mengerjakan tes ini adalah kurang lebih 30 menit. Aspek yang diukur pada
SPM adalah daya abstraksi, berpikir logis/menalar, berpikir sistematis, kecepatan
dan ketelitian serta konsentrasi.
2.3 Obesitas
2.3.1 Definisi
Penderita obesitas lebih banyak dijumpai pada usia remaja dan eksekutif
muda di perkotaan oleh karena mengkonsumsi makanan berlebih serta kurangnya
aktivitas fisik dan berolahraga. Obesitas biasanya disebabkan karena remaja tidak
dapat mengontrol makanannya, makan dalam jumlah berlebih sehingga berat
26
badannya melebihi normal. Pada beberapa kasus obesitas terjadi karena binge
eating disorder yaitu suatu keadaan seseorang yang makan dalam jumlah besar
secara terus menerus dan cepat tanpa terkontrol. Setelah menyadarinya baru
merasa bersalah tapi jika keadaan binge datang lagi dia akan kembali
melakukannya tanpa sadar (Sulistyoningsih, 2011).
Kegemukan (overweight) seringkali disamakan dengan obesitas, namun
pada dasarnya memiliki arti yang berbeda. Kegemukan merupakan keadaan berat
tubuh yang melebihi berat tubuh secara normal, sedangkan obesitas merupakan
keadaan kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak. Kegemukan dan
obesitas bisa terjadi pada berbagai golongan umur dan jenis kelamin. Juvenil
obesity adalah obesitas yang terjadi pada usia muda (anak-anak). Sekitar 50-70%
obesitas yang muncul pada remaja cenderung berlanjut hingga dewasa
(Sulistyoningsih, 2011).
Obesitas merupakan suatu bentuk penyimpangan dari bentuk tubuh yang
ideal. Obesitas menjadi hal yang penting bagi remaja, karena pada masa ini
penampilan fisik menjadi suatu hal yang penting yang dapat mempengaruhi
kehidupan seseorang. Obesitas tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik yang
dapat mengakibatkan berbagai penyakit bagi penderitanya, tetapi juga
berpengaruh pada masalah psikososial. Seseorang yang obesitas sering kali
diasosiasikan memiliki harga diri yang rendah. Hal ini tidak timbul dengan
sendirinya namun karena adanya stigma dan stereotipe yang berada di masyarakat
yang membuat penderita obesitas menjadi tidak puas dengan dirinya sehingga
memiliki harga diri yang rendah.
27
Warschburger (2005) menyatakan obesitas membuat remaja mengalami
gangguan kesehatan emosional seperti timbulnya harga diri yang negatif,
meningkatnya depresi dan kecemasan. Akan tetapi, besarnya hubungan antara
masalah berat badan dengan masalah psikologi ini bervariasi dan obesitas tidak
secara langsung mengakibatkan masalah psikososial. Sebuah penelitian oleh
Eisenberg, dkk. (2003) menyatakan bahwa ejekan yang berhubungan dengan berat
badan yang ditujukan pada penderita obesitas dapat menurunkan harga diri baik
pada remaja putri dan putra. Masalah psikososial yang terjadi pada remaja
obesitas ini juga mempengaruhi aspek lain dalam hidup salah satunya adalah
prestasi belajar (Aluja dan Blanch, 2002; Xie, dkk., 2006).
2.3.2 Penilaian status gizi
Standar pertumbuhan yang dikembangkan oleh World Health
Organization (WHO) berdasarkan penelitian longitudinal di enam negara yang
tersebar di empat benua yaitu Pelotas (Brasil), Accra (Ghana), Delhi (India), Oslo
(Norwegia), Muscat (Oman), Davis (California-AS). WHO Multicentre Growth
Reference Study (MGRS) telah dirancang untuk menyediakan data yang
menggambarkan bagaimana anak-anak harus tumbuh, dengan cara memasukkan
kriteria tertentu (misalnya: menyusui, pemeriksaan kesehatan, dan tidak
merokok). MGRS menghasilkan Standar Pertumbuhan Normal (preskriptif),
berbeda dengan yang hanya deskriptif. Standar baru memperlihatkan bagaimana
pertumbuhan anak dapat dicapai apabila memenuhi syarat-syarat tertentu seperti
pemberian makan, imunisasi dan asuhan selama sakit. Standar baru ini dapat
28
digunakan diseluruh dunia, karena penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dari
negara manapun akan tumbuh sama apabila gizi, kesehatan dan kebutuhan
asuhannya dipenuhi. Standar WHO (2005) ini diadopsi sebagai acuan untuk
menilai status gizi anak di Indonesia. Kategori dan ambang batas status gizi anak
sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010
tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
Indeks Kategori
Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)
Berat Badan menurut Umur
(BB/U)
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Gizi Buruk < -3 SD
Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD
Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi Lebih >2 SD
Panjang Badan menurut Umur
(PB/U) atau Tinggi Badan
menurut Umur (TB/U)
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Sangat Pendek < -3 SD
Pendek -3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi >2 SD
Berat Badan menurut Panjang
Badan (BB/PB) atau Berat Badan
menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Sangat Kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
Indeks Masa Tubuh menurut
Umur (IMT/U)
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Sangat Kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
Indeks Masa Tubuh menurut
Umur (IMT/U)
Anak Umur 5 – 18 Tahun
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 1 SD
Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas >2 SD
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010
Tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak
29
2.4 Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi
Li (1995) menemukan bahwa anak yang obesitas memiliki IQ (Intelligence
Quotient) yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan anak yang tidak
obesitas. Akan tetapi, IQ hanya mengukur kemampuan anak dan tidak
memprediksi prestasi belajar. Penelitian oleh Mo-Suwan, dkk. (1999) menemukan
bahwa obesitas pada remaja diasosiasikan dengan prestasi belajar yang buruk,
sedangkan pada anak usia 8-12 tahun yang obesitas tidak ditemukan hubungan
tersebut. Sebuah studi lima tahun lebih dari 2.200 orang dewasa mengklaim telah
menemukan hubungan antara obesitas dan penurunan tingkat intelegensi
seseorang. Para peneliti menemukan bahwa orang dengan Indeks Massa Tubuh 20
atau kurang bisa mengingat 56% kata dalam tes kosa kata, tetapi mereka yang
mengalami obesitas, dengan IMT 30 atau lebih tinggi, bisa mengingat hanya 44%.
Subyek gemuk juga menunjukkan tingkat yang lebih tinggi penurunan intelegensi
ketika mereka diuji ulang lima tahun kemudian, ingatan mereka turun menjadi
37,5% tetapi subyek dengan berat badan yang sehat mempertahankan tingkat
recall (Chandola, dkk., 2006). Studi terbaru menunjukkan, orang yang kegemukan
atau obesitas memiliki jaringan otak 8% lebih sedikit dibanding pada orang yang
berat badannya normal. Akibatnya otak mengalami kemunduran sampai 16 tahun
lebih tua dibandingkan orang yang tidak terlalu banyak lemak. Orang yang
overweight memiliki jaringan otak 4% lebih sedikit dan otaknya terlihat lebih tua
8 tahun (Haris, 2008).
Secara fisiologik, tingginya kadar lemak dalam tubuh akan menghasilkan
berbagai macam oksidan penyebab terganggunya perkembangan intelegensi,
30
seperti eicosanoid, dokosanoid, lisofosfolipid, reactive oxygen species (ROS), 4-
hidroksinonenal (4-HNE) dan 4-hidroksiheksenal (4-HHE). Stres oksidatif ini
diduga sebagai salah satu faktor utama yang berperan dalam penurunan tingkat
intelegensi. Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme lemak
mengakibatkan terjadi akumulasi kerusakan oksidatif biomelekul, terutama pada
kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan antioksidatin endogen. Jaringan otak
hanya mempunyai sedikit perlindungan antioksidan dan mempunyai kadar asam
lemak tak jenuh yang tinggi, sehingga mudah terkena oksidasi (Purnomo dkk,
2009). Selain itu, penimbunan lemak pada penderita obesitas akan menyebabkan
tingginya kadar asam lemak bebas (FFA) dan trigliserida dalam plasma, dimana
FFA dan trigliserida ini merupakan hasil metabolisme dari lemak. FFA bersifat
lipotoxocity bagi tubuh dan dapat menyebabkan toksisitas pada saraf (Farooqui
dan Harrocks, 2006).
Sekitar 36-59% anak dan remaja obesitas menderita Obstructive Sleep
Apnea Syndrome (OSAS), gejalanya dapat berupa mengorok dan mengompol
yang dapat mengakibatkan ventrikel kanan mengalami hipertrofi dan terjadi
hipertensi pulmonal (Wing dan Pak, 2003). Penyebabnya adalah adanya
penebalan pada jaringan lemak di daerah faringeal yang seringkali diperberat oleh
adanya hipertrofi adenotonsilar. Obstruksi saluran nafas intermiten di malam hari
dapat mengakibatkan tidur gelisah serta mengurangi sirkulasi oksigen ke otak.
Sebagai akibatnya, anak akan mengantuk pada keesokkan harinya dan mengalami
hipoventilasi. OSAS yang terjadi berkepanjangan akan berdampak pada gangguan
perkembangan intelegensi anak tersebut. Pada sebuah studi tentang hasil MRI
31
pada penderita OSAS membuktikan bahwa terjadinya penyusutan volume gray
matter pada bagian frontal, parietal, temporal, hipokampus dan serebelum (Hunt,
2004). Obesitas dan OSAS adalah dua faktor risiko yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya hipertensi yang dapat menyebabkan terganggunya perkembangan
intelegensi melalui mekanisme hipoksia. Hipoksia yang terjadi intermiten dapat
menyebabkan kerusakan hingga atropi otak. Hipertensi merupakan faktor risiko
potensial yang dapat menyebabkan degenerasi otak dan sistem saraf pusat
(Pandav, dkk., 2003).
Obesitas merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular karena terjadi
penebalan dan pengerasan pembuluh darah, hal yang sama juga terjadi dengan
arteri di otak. Selain itu, hormon yang dikeluarkan dari lemak dapat memiliki efek
merusak pada sel otak, sehingga fungsi otak berkurang. Orang yang obesitas akan
kehilangan jaringan otak di bagian depan dan bagian lobus temporal, area otak
yang sangat penting untuk memori dan pencernaan. Selain itu area lain yang
terganggu adalah anterior cingulate gyrus (berfungsi untuk pemusatan perhatian),
hippocampus (memori jangka panjang), dan bangsal ganglia (untuk pergerakkan).
Hal tersebut akan menyebabkan terjadi perubahan struktur anatomi otak yang
kemudian menyebabkan gangguan fungsi faal otak terutama daya ingat
(Chandola, 2006).
Riset yang dilakukan oleh Gale dan tim peneliti mengumpulkan data dari
8200 laki-laki dan perempuan yang berusia 30 tahun, dimana IQ mereka pernah
dites sebelumnya saat mereka berusia 10 tahun. Hasilnya yaitu anak yang
memiliki IQ tinggi banyak yang menjadi vegetarian saat mereka berusia 30 tahun.
32
Seperti yang diketahui bahwa seorang vegetarian memiliki kadar kalesterol yang
rendah serta jarang menderita obesitas ataupun penyakit jantung. Studi lainnya
juga menemukan bahwa anak dengan kemampuan otak yang cerdas biasanya
mempunyai gaya hidup sehat seperti tidak merokok, tidak kegemukan, tekanan
darahnya normal, dan rajin berolahraga (Gale, 2009). Para ahli setuju bahwa
pengaruh obesitas terhadap IQ didasarkan pada pola kehidupan masyarakat yang
moderen seperti tingkat stres tinggi, pola makan seperti mengkonsumsi makanan
siap saji, kurang aktivitas seperti berolahraga yang mengakibatkan penumpukan
lemak tubuh secara berlebihan. Oleh karena itu perubahan gaya hidup anak-anak,
remaja, sampai dewasa sangat penting (Gale, 2009).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Jorien Veldwijk dkk. (2011), dengan
jumlah sampel 236 anak usia tujuh tahun, menemukan bahwa tidak terdapat
hubungan antara IMT dengan intelegensi anak sekolah. Pada hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tingkat intelegensi menurun seiring dengan peningkatan IMT
tetapi hubungan ini menunjukkan tidak signifikan pada analisis statistik yang
dilakukan. Meskipun telah melakukan analisis multivariat untuk mengontrol
variabel confounding seperti aktivitas fisik, tingkat pendidikan ibu, IMT ibu
sebelum hamil, perilaku merokok ibu selama hamil, dan berat badan lahir, tetap
menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui konsistensi hasil penelitian terdahulu mengenai
hubungan obesitas dengan tingkat intelegensi pada anak sekolah.