11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Ada beberapa kajian lain yang berkaitan dengan penelitian Partisipasi
Perempuan Dalam Proses Pembuatan Pararem di Desa Pakraman Panjer,
Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, antara lain yaitu yang pertama
penelitian mengenai Peranan Organisasi PKK Untuk Menggerakan Partisipasi
Perempuan Dalam Pembangunan Masyarakat Di Desa Baturiti, Kecamatan
Baturiti, Kabupaten Tabanan yang ditulis oleh Drs, I Wayan Landrawan,M.Si, Ni
Made Dewi Riyani dan Ratna Artha Windari, S.H. dalam penelitian ini bertujuan
untuk (1) mengetahui fungsi dan peran organisasi PKK untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan,
(2) hambatan PKK dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan,
(3) upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan PKK dalam melaksanakan
perannya di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif
dengan penentuan subyek penelitian menggunakan teknik purposive sampling
sehingga yang menjadi subjek penelitian yaitu Kepala Desa, anggota-anggota
organisasi PKK, dan warga masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini menggunakan metode pengumpulan data yakni metode wawancara, observasi
dan metode pencatatan dokumen.
12
Dari penelitian tersebut didapatkan organisasi PKK di di Desa Baturiti,
Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan memiliki fungsi dan peran yang penting
dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sudah berjalan
akan tetapi belum maksimal. Hambatan yang dialami oleh organisasi ini yaitu
berasal dari dalam organisasi yaitu kurangnya koordinasi antara ketua, pengurus,
dan anggota organisasi PKK, serta kurangnya partisipasi masyarakat dalam
mendukung pelaksanaan program yang telah dirancang. Upaya yang dapat
dilakukan yaitu meningkatkan koordinasi antara ketua PKK, anggota organisasi
PKK desa dan masyarakat yang ada di Desa Baturiti.
Yang kedua penelitian tentang Peran Perempuan Dalam Formulasi
Kebijakan Pada Pemerintah Nagari (Dinamika Budaya Matrilineal di Nagari
Mungo, Kecamatan Luak, Kabupaten Lima Puluh, Kota Sumatra Barat yang ditulis
oleh Roza Leismana (2005). Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana peran perempuan dalam proses formulasi kebijakan di Nagari Mungo
dan faktor-faktor yang mempengaruhi peran perempuan tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Penelitian ini menekankan pada penelitian lapangan, penggambaran dan
interpretasi dari data, fakta dan informasi yang berkaitan dengan masalah peran
perempuan dalam formulasi kebijakan di Nagari Mungo. Hasil penelitian
menunjukan bahwa peran perempuan dalam proses formulasi kebijakan di Nagari
Mungo terbatas pada tahap perumusan masalah, sedangkan tahap penyusunan
agenda kegiatan, pemilihan alternatif dan penetapan kebijakan belum memberikan
peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi secara lebih luas.
13
Hal ini terlihat dalam proses formulasi Peraturan Nagari (Perna) Mungo
yang telah berlaku saat ini. Faktor yang mempengaruhi keterlibatan perempuan
dalam proses formulasi kebijakan adalah faktor budaya lokal, akses bagi
perempuan (ke informasi dan ke pendidikan) dan struktur kelembagaan. Diantara
ketiga faktor yang paling mempengaruhi adalah faktor budaya lokal karena
terjadinya pergeseran budaya matrilineal ke matrilineal yang lebih cenderung ke
arah patriarkhi. Rekomendasi yang disarankan adalah memberikan kesempatan
kepada perempuan baik secara kualitas maupun kuantitas dalam proses kebijakan
public melalui pembagian dominasi antara laki-laki dan perempuan agar memiliki
kemampuan dalam menyadari posisi masing-masing dalam tataran seimbang.
Yang ketiga penelitian yang memaparkan mengenai Upaya-upaya Untuk
Mengimplementasikan Konvensi Wanita Kedalam Awig-awig Desa Pakraman
yang disusun oleh A.A. Ketut Sudiana (2008). Penelitian ini memaparkan tentang
membuat awig-awig yang responsif gender, terutama menyangkut hak bagi
perempuan (karma istri) untuk meraih peluang dalam kepemimpinan adat
(khususnya dalam komponen kepengurusan prajuru desa) dan dapat ikut serta
dalam pengambilan keputusan dalam paruman (rapat adat).
Hasil dalam penelitian ini yaitu dengan melakukan pembaharuan awig-awig
yang mengarah pada pengembangan hukum ada yang responsif gender. Dengan
merevitalisasi terhadap nilai-nilai budaya dan norma keagamaan yang tidak sesuai
dengan kenyataan perkembangan hidup masyarakat yang terkandung dalam awig-
awig desa Pakraman. Dengan berpedoman pada perkembangan hukum yang
14
berlaku dan berkaitan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) seperti konvensi
wanita.
Terhadap pembaharuan yang diharapkan dari mengimplementasikan
konvensi wanita kedalam awig-awig dapat ditempuh dengan melakukan nguwah-
nguwahin awig-awig. Dalam melakukan nguwah-nguwahin awig-awig dapat
merujuk pada asas peraturan perundang-undangan yang ditransformasikan kedalam
awig-awig sebagai pintu masuk hak asasi perempuan sebagai manusia.
Persamaan dari ketiga penelitian ini adalah sama-sama ingin adanya
kesetaraan dan keadilan gender dalam tataran pemerintah daerah khususnya di desa.
Selanjutnya yang menjadi perbedaan dari ketiga penelitian ini adalah yang pertama
lebih menekankan pada peran organisasi PKK dalam meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan desa. yang kedua lebih menekankan pada peran
perempuan dalam formulasi kebijkan dan diharapkan adanya kesadaran akan posisi
masing-masing dalam tataran seimbang. Sedangkan ketiga lebih menekankan pada
implementasi konvensi wanita kedalam awig-awig desa pakraman dan
mengharapkan dilakukannya pembaharuan awig-awig yang mengarah pada
pengembangan hukum adat yang responsif gender.
2.2 Kerangka Konsep
Pada sebuah karya ilmiah untuk mendapatkan intisari atau pokok topik dari
sebuah karya ilmiah tentunya sangat memerlukan sebuah kerangka konsep.
Kerangka konsep merupakan suatu rangkaian dari objek penelitian yang menitik
beratkan pada intisari atau ide pokok dari sebuah penelitian. Kerangka konsep
15
dalam penelitian ini adalah partisipasi perempuan dalam proses pembuatan awig-
awig Desa Pakraman Panjer.
2.2.1 Konsep Partisipasi
Partisipasi dalam pembangunan ataupun dalam pengambilan keputusan
sangatlah penting, terutama bagi masyarakat yang ada di dalamnya. Masyarakat
harus mengetahui keputusan seperti apa yang diambil dan direalisasikan walau
peran tersebut dilakukan oleh pemerintah. Namun hal tersebut tidak lepas dari peran
masyarakat sebagai pihak yang akan merasakan dampak dari keputusan yang
diambil.
Partisipasi berasal dari bahasa inggris yaitu “Participation” adalah
pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Menurut Ndraha (1990), yang diacu
dalam Lugiarti (2004), menyatakan partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan dapat dipilah meliputi : (1) Partisipasi dalam atau melalui kontak
dengan pihak lain sebagai awal perubahan sosial, (2) Partisipasi dalam
memperhatikan atau menyerap dan memberikan tanggapan terhadap informasi,
baik dalam arti menerima, menerima dengan syarat, maupun dalam arti
menolaknya, (3) Partisipasi dalam perencanaan termasuk pengambilan keputusan,
(4) Partisipasi dalam pelaksanaan oprasional, (5) Partisipasi dalam menerima,
memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan, yaitu keterlibatan
masyarakat dalam menilai tingkat pelaksanaan pembangunan.
Menurut Adjid (1985), mengartikan partisipasi sebagai kemampuan
masyarakat untuk bertindak dalam keberhasilan yang teratur untuk menanggapi
kondisi lingkungan, sehingga masyarakat tersebut dapat bertindak sesuai dengan
16
logika yang dikandung oleh kondisi suatu lingkungan. Menurut Cohen dan Uphoff
(1977), partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan
pembuatan keputusan tentang apa yang dilakukan, dalam pelaksanaan program dan
pengambilan keputusan untuk berkontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam
organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program pembangunan dan
evaluasi program pembangunan.
Pengertian partisipasi menurut GBHN (1993) adalah peran serta masyarakat
yang meliputi :
1. Peran serta dalam memikul beban pembangunan, baik beban fisik
seperti biaya, tenaga, waktu, dan lain-lain, maupun berbagai sarana
penunjang atau beban non fisik seperti tanggapan, saran, pendapat, dan
pemikiran.
2. Peran serta dalam bertanggungjawab atas pelaksanaan pembangunan,
yaitu pertanggungjawaban administrasi dan kontrol sosial.
3. Peran serta masyarakat dalam menerima kembali hasil-hasil
pembangunan yaitu penilaian sosial terhadap manfaat pembangunan,
penggunaan hasil pembangunan, perawatan serta memelihara hasil
pembangunan.
Pengertian partisipasi diatas memiliki persamaan yaitu adanya keterlibatan
langsung masyarakat dalam merencanakan, pengambilan keputusan, dan
pelaksanaan dari hasil keputusan. Maka pengertian partisipasi menurut Adjid
(1985), Cohen dan Uphoff (1977) merupakan partisipasi yang bersifat
transformasional, yaitu ketika terjadinya partisipasi pada dirinya sendiri dipandang
17
sebagai tujuan dan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi,
misalnya menjadi lebih swadaya atau berkelanjutan. Untuk pengertian partisipasi
menurut GBHN bersifat instrumental, yaitu partisipasi dilihat sebagai suatu cara
atau alat untuk mencapai sasaran tertentu, yaitu perwujudan pembangunan
nasional.
Jadi dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi serta fisik peserta dalam
memberikan respon terhadap kegiatan yang melaksanakan dalam proses belajar
mengajar serta mendukung pencapaian tujuan dan bertanggungjawab atas
keterlibatannya yang bersifat transformasional dan instrumental untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi.
Menurut Soetrisno (1995) bahwa secara umum, ada dua jenis definisi
partisipasi yang beredar di masyarakat, yaitu :
1. Partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat
terhadap rencana atau proyek yang dirancang dan ditentukan tujuannya
oleh perencanaan. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam
definisi ini pun diukur dengan kemauan rakyat ikut menanggung biaya
pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan
pembangunan.
2. Partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat
antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan,
melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah
dicapai. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam
18
pembangunan tidak hanya dengan kemauan rakyat untuk menanggung
biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat ikut
menentukan arah dan tujuan pembangunan. Ukuran lain yang dapat
digunakan adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri
melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Adi (2001), dalam perkembangan pemikiran
tentang partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan suatu komunitas, tidak
cukup hanya melihat partisipasi masyarakat hanya pada tahap perencanaan dan
pelaksanaan. Partisipasi masyarakat hendaknya pula meliputi hal-hal yang tidak
diarahkan, sehingga partisipasi masyarakat meliputi proses-proses :
a. Tahap assessment
Dilakukan dengan mengidentifikasi masalah dan sumberdaya yang dimiliki.
Untuk ini, masyarakat dilibatkan secara aktif melihat permasalahan yang
sedang terjadi, sehingga hal tersebut merupakan pandangan mereka sendiri.
b. Tahap Perencanaan
Dilakukan dengan melibatkan warga untuk berpikir tentang masalah yang
mereka hadapi dan cara mengatasinya dengan memikirkan beberapa
alternatif program.
c. Tahap pelaksanaan
Dilakukan dengan melaksanakan program yang sudah direncanakan dengan
baik agar tidak melenceng dengan pelaksanaannya di lapangan.
d. Tahap evaluasi
19
Dilakukan dengan adanya pengawasan dari masyarakat dan petugas
terhadap program yang sedang berjalan.
a. Unsur-unsur partisipasi menurut Keith Davis (Sastropoetro, 1988) ada tiga
unsur penting partisipasi yaitu :
1. Unsur pertama, bahwa partisipasi sesungguhnya merupakan suatu
keterlibatan mental dan perasaan dan tidak hanya keterlibatan secara
jasmaniah atau fisik.
2. Unsur kedua adalah kesediaan memberi sesuatu atau sumbangan kepada
usaha mencapai tujuan kelompok. Ini berarti bahwa terdapat rasa senang,
kesukarelaan untuk membantu kelompok.
3. Unsur ketiga adalah unsur tanggung jawab. Unsur tersebut merupakan segi
yang menonjol dari rasa menjadi anggota.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi
Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi partisipasi masyarakat dalam
suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu keberhasilan
program namun ada juga yang sifatnya dapat menghambat keberhasilan program.
Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam berpartisipasi, yaitu:
1. Usia
Faktor usia merupakan faktor yang memengaruhi sikap seseorang terhadap
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia
menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma
masyarakat yang lebih baik cenderung lebih banyak yang berpartisipasi
daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya.
20
2. Jenis kelamin
Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan
bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti
bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah
mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan
tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan
perempuan yang semakin baik.
3. Pendidikan
Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan
dianggap dapat memengaruhi sikap hidup seseorang terhadap
lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan
seluruh masyarakat.
4. Pekerjaan dan penghasilan
Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang
akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan
dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat
mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
masyarakat. Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu
kegiatan, harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomian.
21
5. Lamanya tinggal
Lamanya seseorang tinggal dalam sebuah lingkungan tertentu dan
pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh
pada partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam sebuah
lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung
lebih terlihat dalam partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan
lingkungan tersebut.
Ada beberapa partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam
pembangunan desa yang lebih baik, yaitu partisipasi uang, partisipasi tenaga,
partisipasi keterampilan, partisipasi buah pemikiran, partisipasi sosial, partisipasi
pengambilan keputusan dan partisipasi representatif.
Dengan berbagai bentuk partisipasi yang telah disebutkan diatas, maka
bentuk partisipasi dapat dikelompokan menjadi 2 jenis, yaitu bentuk partisipasi
yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan bentuk partisipasi yang
diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata
misalnya uang, tenaga, dan keterampilan, sedangkan bentuk partisipasi yang tidak
nyata misalnya partisipasi buah pemikiran, partisipasi sosial, partisipasi
pengambailan keputusan, dan partisipasi representatif.
2.2.2 Konsep Perempuan
Kata wanita dalam etimologi Jawa itu berasal dari ‘wani ditoto’ alias berani
diatur. Menurut Old Javanese-English Dictionary (Zoetmulder, 1982),
kata wanita berarti ‘yang diinginkan’. Arti kata perempuan dari bahasa asalnya,
Sansekerta, berasal dari kata per-empu-an. Per itu berarti makhluk, Empu berasal
22
dari kata Sansekerta yang berarti mulia, berilmu tinggi, pembuat suatu karya agung.
Leluhur bangsa ini pun sudah memberikan makna dalam kata perempuan sebagai
bentuk penghormatan tinggi kepada kaum wanita.
Perempuan mempunyai sikap pembawaan yang kalem, perasaan perempuan
lebih cepat menangis dan bahkan pingsan apabila menghadapi persoalan berat.
Sementara menurut Windia (2009) ada dua hal yang digunakan untuk
menggambarkan perempuan bali : pertama semangat kerjanya yang hebat dan yang
kedua kedudukannya terhadap warisan yang lemah, bahkan dianggap tidak berhak
terhadap warisan.
Menurut Sunasri (2003) perempuan Bali adalah perempuan yang kawin
dengan laki-laki Bali yang sama-sama beragama Hindu dan akibat dari perkawinan
tersebut mereka menjadi anggota karma istri di banjar atau desa adat. Perempuan
Bali memiliki watak pekerja keras dan mau belajar untuk menjaga tradisi yang ada.
Dalam mengarungi jalan hidup yang sangat luas dan kompleks itu perempuan Bali
dikenal sebagai orang yang sangat suka dan kuat bekerja sehingga kegiatanya
menjadi sangat padat dan kompleks.
Selama ini kaum perempuan selalu dihubungkan dengan urusan domestik,
yakni melahirkan anak, mengurus anak, mengerjakan urusan rumah tangga. Dengan
kondisi seperti ini, perempuan harus menyadari bahwa disadari atau tidak
masyarakat menghargai perempuan mempunyai peranan besar dalam kehidupan
manusia. Kehidupan ini dilakukan oleh perempuan dan laki-laki, hanya siapa yang
lebih dominan tergantung situasi masing-masing.
23
Dominasi inilah yang sering menjadi penghalang keberasilan seseorang
karena mereka yang mempunyai kedudukan yang kurang dominan merasa
fungsinya diambil alih. Kelihatanya masyarakat lebih menitikberatkan besarnya
peranan laki-laki dalam masyarakat, sehingga perempuan hanya melakukan tugas
rumah tangga. Dengan masuknya emansipasi ala Barat ke Bali yang menekankan
pengertian hak dan kewajiban dan berusaha mensejahterakan perempuan dan laki-
laki.
Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan pada level kebijakan-
kebijakan publik secara kuantitas masih dirasa kurang, sementara proporsi jumlah
perempuan lebih besar dari pria. Dengan demikian, secara kuantitas pula
perempuan yang lebih banyak “menikmati” produk dari kebijakan publik yang
lebih banyak dibuat oleh kalangan pria. Perebutan posisi perempuan dalam
pengambilan kebijakan publik merupakan tuntutan yang wajar karena perempuan
adalah sasaran kebijakan publik yang tidak memiliki daya tawar sehingga
mengakibatkan terjadinya banyak produk yang tidak ramah gender. Penyebabnya
tak lain karena secara internal, individu yang membuat produk kebijakan adalah
kaum pria yang relatif mengetahui kebutuhan-kebutuhan sesama, namun tidak
sebaliknya kepada para kaum perempuan.
Perjuangan kesetaraan gender telah memasuki babak baru. Bila pada pemilu
2004 lalu fokus perjuangan gerakan perempuan terletak pada perjuangan merebut
kuota 30 persen dari proporsi keterwakilan perempuan dalam lembaga parlemen.
Maka agenda yang tak kalah penting adalah perjuangan proporsional perempuan
dalam pengambilan kebijakan publik. Meski perjuangan perebutan kuota 30 persen
24
dalam parlemen tidak sepenuhnya berhasil, namun setidaknya agenda tersebut telah
berhasil menjadi wacana aktual dan mengemuka menjadi isu strategis.
Selama ini, wacana gender hanya menjadi isu dalam diskusi-diskusi internal
gerakan perempuan yang tidak mampu menarik simpati publik. Namun wacana
kuota 30 persen sungguh berbeda karena disamping merupakan sebuah tuntutan
hati nurani perempuan juga disebabkan oleh amanah undang-undang. Kelemahan
mendasar dari undang-undang tersebut karena tidak disertai sanksi bagi partai yang
tidak ramah gender.
Untuk memenuhi amanah undang-undang tersebut sebagai sekedar pemuas
konstituen, partai-partai lebih banyak yang mencantumkan para calon legislatif
perempuan pada urutan bawah. Akibatnya sangat jelas pada kedudukan perempuan
dalam legisltaif yang tidak proporsional sesuai kuota yang diharapkan. Angka
proporsi antara pria dan perempuan dalam parlemen tidak jauh beda dengan jumlah
pada periode-periode sebelumnya. Ketimpangan masih terasa dalam keterwakilan
sehingga tetap akan melanggengkan dominasi pria dalam pengambilan kebijakan
publik.
2.2.3 Konsep Pararem Desa Pakraman
Organisasi masyarakat tradisional Bali yang sekarang dikenal dengan istilah
desa pakraman disebut banua, wanua. Sekitar tahun 1910 (sesudah perang Puputan
Badung, 1906, dan Puputan Klungkung, 1908), pemerintah Hindia Belanda mulai
menata desa di Bali, sesuai dengan struktur dan administrasi pemerintah kolonial
Belanda. Beberapa desa digabung menjadi satu, untuk memudahkan dalam
menjalankan roda pemerintah jajahan. Akibatnya, di Bali ada dua desa, yaitu desa
25
yang telah ada dan desa baru, yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda.
Desa yang telah ada ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan desa adat,
sedangkan desa yang baru yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda, dikenal
dengan sebutan desa dinas.
Desa Adat mengurus masalah adat Bali dan agama Hindu di wilayahnya,
sedangkan desa dinas bertugas mengurus kepentingan pemerintah kolonial
Belanda. Keberadaan dua desa di Bali beserta tugas-tugas yang dilaksanakan oleh
masing-masing desa, tetap dipertahankan. Inilah yang menyebabkan, sampai
sekarang di Bali ada dua desa, yaitu desa adat dan desa dinas. Tahun 2001 istilah
desa adat diganti menjadi desa pakraman, berdasarkan Perda Provinsi Bali No 3
Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali
yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat
umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan
Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak
mengurus rumah tangganya sendiri. Banjar pakraman adalah kelompok masyarakat
yang merupakan bagian desa pakrarnan.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa desa pakraman merupakan
organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat
tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan
dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Sebuah desa pakraman, terdiri dan tiga
unsur, yaitu:
26
1. Unsur parahyangan (berupa pura atau tempat suci agama Hindu);
2. Unsur pawongan (warga desa yang beragama Hindu);
3. Unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan
karang guna kaya).
Pasal 5 Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 Desa Pakraman mempunyai
tugas sebagai berikut:
a. mengayomi krama desa;
b. mengatur krama desa;
c. Membuat awig-awig atau pararem mengatur pengelolaan harta kekayaan
desa;
d. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan disegala bidang
terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan;
e. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka
memperkaya, melestarikan, dan rnengembangkan kebudayaan nasional
pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya berdasarkan
paras-paros, sagilik-saguluk, salunglung-sabayantaka (musyawarah-
mufakat);
Pasal 6 Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 Desa pakraman mempunyai
wewenang sebagai berikut:
a. menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya
dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar-krama desa sesuai
dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat;
27
b. turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan
yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan tri hita karana;
c. melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.
Pararem yang hidup dalam masyarakat tidak hanya membedakan hak dan
kewajiban melainkan juga memberikan sanksi-sanksi adat baik berupa sanksi
denda, sanksi fisik, maupun sanksi psikologi dan yang bersifat sprirtual, sehingga
cukup dirasakan sebagai derita oleh pelanggarnya. Sanksi Adat adalah berupa
reaksi dari desa pakraman untuk mengembalikan keseimbangan magis yang
terganggu. Jenis-jenis sanksi adat yang diatur dalam awig-awig maupun pararem
antara lain (Sirtha, 2008) :
a. Mengaksama (minta maaf),
b. Dedosaan (denda uang),
c. Kerampang (disita harta bendanya),
d. Kasepekang (tidak diajak bicara) dalam waktu tertentu,
e. Kaselong (diusir dari desanya),
f. Upacara Prayascita (upacara bersih desa)
Pararem merupakan sebuah cerminan dimana hukum adat itu bersifat
dinamis. Pararem merupakan bukti hukum adat tumbuh mengikuti perubahan
masyarakat melalui putusan-putusan dalam sebuah paruman atau rapat adat. Hasil
keputusan inilah kemudian yang dikenal dengan istilah pararem. Sebelumnya
sangat sulit untuk mencari referensi atau literatur yang memuat mengenai pararem.
Dalam beberapa buku dan literatur ada disebutkan mengenai pararem, namun tidak
dijelaskan tentang pengertiannya secara jelas.
28
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang
Perubahan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa
Pakraman dan Lembaga Adat, menjelaskan pengertian pararem adalah hasil
keputusan paruman desa atau banjar yang berisi ketentuan pelaksanaan awig-awig
desa pakraman dan atau yang menyangkut hal prinsip diluar pelaksanaan awig-awig
desa pakraman yang berlaku.
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa pararem timbul akibat dari
sebuah fenomena atau gejala yang dianggap dapat mengganggu keseimbangan
kehidupan masyarakat dimana didalam awig-awig hal tersebut tidak diatur, atau
sudah diatur namun isinya masih ambigu atau belum prinsip mengarah kepada
gejala sosial yang dimaksud atau memang perlu peremajaan aturan dari isi awig-
awig tersebut agar sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat untuk itu
dibuatlah aturan tambahan diluar awig-awig yang isinya adalah hasil musyawarah
bersama didalam paruman (rapat) desa.
Pararem dibentuk melalui suatu proses berdasarkan suatu keputusan dari
prajuru (pejabat) desa dalam paruman untuk mempertahankan hukum atau
menyelesaikan perselisihan (Sirtha, 2008). Hal itulah pararem dapat dikatakan
sebagai implementasi dari sila keempat Pancasila yakni “Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Desa adat yang sekarang disebut Desa Pakraman berdasarkan Perda No. 3
Tahun 2001, yang kemudian disempurnakan menjadi Perda No.3 Tahun 2003, yang
mengharuskan desa pakraman menyuratkan awig-awignya yang sebelumnya tidak
tertulis tetapi ditaati oleh krama desa sebagai hukum adat yang bertujuan mencapai
29
Tri Sukerta yaitu sukerta tata parhyangan, sukerta tata pawongan dan sukerta tata
palemahan, yang merupakan perwujudan falsafah Tri Hita Karana yaitu hubungan
manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, hubungan manusia dengan
sesamanya dan hubungan manusia dengan palemahan atau lingkungan.
Desa pakraman telah memiliki awig-awig baik tertulis maupun belum tertulis
yang menjadi landasan hukum adat mengatur dan membina krama-nya dalam
pakraman supaya hidup saling asah, saling asuh dan asih, salunglung sabayantaka,
paras paros sarpanaya. Dalam penerapan awig-awig dimaksud dibuat pararem yang
terdiri atas panyacah awig, pararem pengele, pararem penepas wicara dan wiweka
(kebijakan) prajuru di luar awig dan pararem untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan pemerintah selaku guru wisesa dalam meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat sebagai perwujudan melaksanakan dharma agama dan
dharma negara. Faktor inilah yang dapat mengangkat Bali terkenal di seluruh dunia
dengan berbagai julukan dan ditetapkan sebagai tujuan wisata utama.
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori Governance
Teori yang digunakan untuk membedah masalah dalam penelitian ini
menggunakan teori Governance. Secara umum istilah “Governance” menunjukkan
suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-
sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi
juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat.
Kemampuan suatu negara mencapai tujuan negara sangat tergantung pada
kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan
30
sektor swasta dan masyarakat (Thoha ; 2000). Sedangkan menurut Widodo (2001)
menyimpulkan “that governance system are participatory, implying that all
members of governance institutions have a voice in influencing decision making”.
Lembaga Administrasi Negara (2000) medefinisikan governance sebagai
penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta
efisien dan efektif dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di
antara domain-domain negara, sector swasta dan masyarakat (society). Pada tataran
ini, governance berorientasi pada 2 (dua) hal pokok, yakni : Pertama, orientasi ideal
negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional.
Pada tataran ini, governance mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan
bernegara dengan elemen-elemen konstituennya, seperti legitimacy, accountability,
scuring of human right, autonomy and devolution of power dan assurance of
civilian control; Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara
efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Dalam
konteks ini, governance tergantung pada pada sejauh mana struktur serta
mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.
United Nations (Keban; 2000) merumuskan indikator governance yang
meliputi : (1) kemampuan, yaitu kemampuan yang cukup untuk melaksanakan
kebijakan dan fungsi-fungsi pemerintah, termasuk sistem administrasi publik
efektif dan responsif; (2) akuntabilitas dalam kegiatan pemerintah dan transparan
dalam pengambilan keputusan; (3) partisipasi dalam proses demokrasi, dengan
memanfaatkan sumber informasi dari publik dan dari swasta ; (4) perhatian
31
terhadap pemerataan dan kemiskinan; dan (5) komitmen terhadap kebijakan
ekonomi yang berorientasi kepada pasar.
United Nations Development Programme (UNDP) mendefinisikan
governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative
authority to manage a nation’s affair at all levels”. Menurut definisi ini, governance
mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political, dan administrative.
Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara
atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan civil
society (masyarakat sipil), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya
masing-masing.
Dari ketiga kaki tersebut lebih ditekankan pada organisasi masyarakat sipil
(civil society) yaitu terwujudnya pembangunan manusia yang berkelanjutan tidak
tergantung kepada berfungsinya negara atau sektor swasta dengan baik, namun juga
pada kondisi masyarakat sipil yang mampu memfasilitasi interaksi sosial politik
dan mampu memobilisasi berbagai kelompok di dalam masyarakat untuk terlibat
dalam aktivitas sosial, ekonomi, dan politik. Organisasi masyarakat sipil juga dapat
menyalurkan partisipasi publik dlam aktivitas sosial dan ekonomi
danmengorganisasikan publik untuk mempengaruhi kebijakan publik. Mereka juga
beperan penting dampak potensial dari ketidakstabilan ekonomi, menciptakan
mekanisme alokasi manfaat sosial dan menyalurkan suara kelompok masyarakat
miskin dalam membuat kebijakan publik dan pemerintah.
UNDP memformulasikan ciri-ciri sekaligus sebagai prinsip utama untuk
mewujudkan Governance :
32
1. Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan, baik
secara langsung maupun secara tidak langsung melalui lembaga perwakilan
yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas
dasar kebebasan berasosiasi dan bicara serta berpartisipasi secara
konstruktif.
2. Role Of Law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang
bulu.
3. Transparency, adanya keterbukaan yang dibangun atas dasar kebebasan
memperoleh insformasi
4. Responsiveness, lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam
memberikan pelayanan.
5. Consensus Orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat yang
lebih luas.
6. Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk
memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
7. Efficiency and Effectiveness, pengelolaan sumber daya publik dilakukan
secara berdaya guna dan berhasil guna.
8. Accountability, pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas
yang dilakukan.
9. Strategy vision, penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat harus
memiliki visi jauh kedepan (Mardiasmo: 2002).