5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bencana Alam
Bencana alam adalah berbagai macam kerusakan yang diakibatkan oleh
fenomena-fenomena alam. Bencana alam dapat terjadi karena fenomena sistem
cuaca ataupun pola tektonik bumi. Fenomena sistem cuaca permukaan bumi
dipengaruhi oleh radiasi matahari dengan penyerapan di permukaan bumi sebesar
45% dan yang dipantulkan sebesar 55%. Akibat peredaran bumi terhadap
matahari dengan kondisi dan kedudukan bumi terhadap matahari yang berbeda-
beda mengakibatkan adanya perbedaan unsur-unsur cuaca seperti suhu, tekanan
udara, angin, kelembaban, hujan dan awan (BMKG, 2010).
Di Indonesia sistem cuaca dipengaruhi oleh musim yaitu musim kemarau
dan musim hujan, adanya pengaruh lokal, adanya pengaruh regional (Muson) dan
adanya pengaruh global (El Nino, La Nina dan Dipole). Dalam kondisi cuaca
ekstrim, fenomena sistem cuaca ini dapat mengakibatkan bencana seperti longsor,
banjir, puting beliung, kebakaran, gelombang tinggi dan petir.
Selain fenomena sistem cuaca, bencana alam juga dapat terjadi akibat pola
tektonik bumi. Berdasarkan penyelidikan para ahli geologi dengan penyelidikan
menggunakan gelombang yang dibiaskan oleh lapisan batuan, bumi mempunyai
beberapa lapisan yaitu (BMKG, 2010):
a. kerak bumi
Kerak bumi adalah lapisan terluar bumi yang bersifat kaku, dingin dan
rapuh. Lapisan ini terbagi dua yaitu kerak samudera dan kerak benua. Kerak
samudra mempunyai ketebalan sekitar 5-10 km sedangkan kerak benua
mempunyai ketebalan sekitar 20-70 km,
b. mantel bumi
Lapisan mantel bumi membujur ke dalam mulai dari lapisan moho sampai
lapisan inti bumi pada kedalaman sekitar 2900 km. Mantel sebagian besar
diperkirakan sebagai lapisan padat. Lapisan ini dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu mantel atas dan mantel bawah. Mantel atas mempunyai kedalaman 700
6
sampai 1000 km di bawah permukaan dan mantel bawah mempunyai kedalaman
lebih dari 1000 km,
c. inti bumi
Inti bumi adalah lapisan yang paling dalam dari bumi. Lapisan ini
diperkirakan mempunyai jari-jari 3500 km dan terdiri dari dua bagian, yaitu inti
luar (outer core) dan inti dalam (inner core).
Setiap lapisan dalam bumi mempunyai perbedaan temperatur. Semakin ke
inti bumi, temperatur semakin tinggi, maka di dalam bumi menyimpan temperatur
yang tinggi. Oleh karena adanya struktur temperatur dan lapisan bumi yang
demikian maka terjadi pergerakan interior bumi.
Menurut para ahli geologi, bumi adalah satu daratan yang disebut dengan
Pangeae. Akibat adanya tekanan dari dalam bumi (endogen) maka terjadilah
pemisahan daratan. Berikut adalah gambar pemisahan daratan Pangae (Gambar 2).
Sumber: BMKG Kota Padang Panjang, (2010)
Gambar 2. Pemisahan Daratan Pangeae
Pola tektonik bumi ini juga terdapat dalam teori tektonik lempeng. Dalam
teori tektonik lempeng, jauh di dalam pusat bumi sebenarnya terdapat sumber
panas yang menyebabkan mantel bumi bergerak secara konveksi. Bumi ini
tertutup oleh lempeng-lempeng benua dan samudera. Menurut teori tektonik
lempeng dari Wegener, permukaan bumi ini terbagi atas kira-kira 20 pecahan
besar yang disebut lempeng. Ketebalannya masing-masing sekitar 70 km.
Ketebalan lempeng kira-kira hampir sama dengan litosfer yang merupakan kulit
terluar bumi yang padat. Litosfer terdiri dari kerak bumi dan selubung atas.
Lempengnya kaku dan lempeng-lempeng itu bergerak di atas astenosfer yang
7
lebih cair. Lapisan kerak bumi terdiri dari sepuluh lempeng-lempeng utama
(Gambar 2), yaitu Lempeng Afrika, Antartika, Indo Australia, Eurasia, Amerika
Utara, Amerika Selatan, Pasifik, Cocos, Nazca dan India. Kesepuluh lempeng
tersebut saling bertemu (BMKG, 2010).
Lempeng samudera lebih berat daripada lempeng benua maka lempeng
samudera akan menunjam ke bawah atau dikenal sebagai Subduction Zone. Gerak
pertemuan dua lempeng merupakan penyebab proses terjadinya bencana alam
gempa bumi. Lempeng samudera yang rapat massanya lebih besar ketika
bertumbukan dengan lempeng benua di zona tumbukan (subduksi) akan
menyusup ke bawah. Gerakan lempeng itu akan mengalami perlambatan akibat
gesekan dari selubung bumi. Perlambatan gerak itu menyebabkan penumpukan
energi di zona subduksi dan zona patahan. Akibatnya di zona-zona itu terjadi
tekanan, tarikan, dan geseran. Pada saat batas elastisitas lempeng terlampaui,
maka terjadilah patahan batuan yang diikuti oleh lepasnya energi secara tiba-tiba.
Proses ini menimbukan getaran partikel ke segala arah yang disebut gelombang
gempa bumi. Bencana alam gempa bumi ini juga sering diikuti oleh bencana
tsunami. Namun tidak semua gempa bumi menyebabkan terjadinya tsunami.
2.2. Gempa Bumi
Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan
bumi. Gempa bumi biasanya disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng
bumi). Kata gempa bumi juga digunakan untuk menunjukkan daerah asal
terjadinya kejadian gempa bumi tersebut. Bumi walaupun padat selalu bergerak,
dan gempa bumi terjadi apabila tekanan yang ditimbulkan akibat pergerakan
lempeng tersebut sudah terlalu besar untuk dapat ditahan (BMKG, 2010).
Gempa bumi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu gempa vulkanik dan
gempa tektonik. Gempa vulkanik adalah gempa yang dihasilkan oleh kegiatan
gunung api. Gempa ini pada umumnya relatif lemah dan hanya dirasakan oleh
manusia yang berada di sekitar gunung api. Gempa vulkanik biasanya terjadi
sebelum, selama dan sesudah terjadi erupsi atau letusan gunung api. Penyebab
utama gempa vulkanik adalah terjadinya persentuhan magma yang mengalir dan
ingin keluar dari perut bumi dengan dinding-dinding corong kepundan gunung api
8
dan tekanan gas pada saat terjadi letusan-letusan hebat. Kejadian berbahaya dari
kegiatan vulkanis tersebut selain gempa adalah keluarnya lava dari corong
kepundan yang dapat menyebabkan meningkatnya suhu sekitar yang diikuti
semburan abu belerang, banjir lahar dan hamburan material seperti bongkahan
batu saat terjadinya letusan (Sukandarrumidi, 2010).
Sukandarrumidi (2010) lebih lanjut menjelaskan bahwa gempa tektonik
terjadi akibat pergeseran atau gerakan lempengan-lempengan tektonik. Kecepatan
gerakan lempengan-lempengan tektonik yang tidak sama akan membentuk jalur
patahan atau pembentukan pegunungan lipatan. Gempa tektonik disebut juga
dengan gempa dislokasi. Penyebaran gempa sangat luas dengan kekuatan
menengah hingga tinggi, diawali dengan gerakan yang lemah beberapa saat lalu
diikuti dengan kekuatan yang cukup besar, melemah dan akhirnya berhenti
sesudah tercapai keseimbangan. Hampir 90% gempa yang terjadi di dunia
merupakan gempa tektonik. Korban jiwa dan harta benda yang ditimbulkan akibat
gempa ini juga lebih banyak, terutama diakibatkan oleh runtuhnya bangunan.
Dengan demikian, gempa bumi merupakan peristiwa pelepasan energi
yang menyebabkan dislokasi (pergeseran) pada bagian dalam bumi secara tiba-
tiba. Penyebab terjadinya gempa bumi adalah:
1. proses tektonik akibat pergerakan kulit/lempeng bumi,
2. aktivitas sesar di permukaan bumi,
3. pergerakan geomorfologi secara lokal, contohnya terjadi runtuhan tanah,
4. aktivitas gunung api,
5. ledakan nuklir.
Mekanisme perusakan terjadi karena energi getaran gempa dirambatkan ke
seluruh bagian bumi. Di permukaan bumi, getaran tersebut dapat menyebabkan
kerusakan dan runtuhnya bangunan sehingga dapat menimbulkan korban jiwa.
Getaran gempa juga dapat memicu terjadinya tanah longsor, runtuhan batuan, dan
kerusakan tanah lainnya yang merusak permukiman penduduk. Gempa bumi juga
menyebabkan bencana ikutan/susulan berupa tsunami, kebakaran, kecelakaan
industri dan transportasi serta banjir akibat runtuhnya bendungan maupun tanggul
penahan lainnya.
9
Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu
lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik. Lempeng Indo-
Australia bertemu dengan lempeng Eurasia di lepas pantai barat Sumatra, Jawa
dan Nusa Tenggara, sedangkan pertemuan lempeng Australia dengan lempeng
Pasifik di utara Irian dan Maluku Utara. Pada daerah sekitar lokasi pertemuan
lempeng tersebut akumulasi energi terkumpul sampai pada suatu titik dimana
lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energi sehingga lepas berupa
gempa bumi. Pelepasan energi sesaat ini menimbulkan berbagai dampak terhadap
bangunan karena percepatan gelombang seismik, tsunami, longsor, dan
liquefaction.
Secara umum parameter gempa bumi terdiri dari waktu kejadian gempa
bumi (jam, menit, detik), lokasi pusat gempa bumi di permukaan bumi/episenter
(koordinat lintang dan bujur), kedalaman sumber gempa bumi (km), kekuatan
gempa bumi (Skala Richter/SR) dan intensitas gempa bumi (MMI). Tabel 1
memperlihatkan estimasi Skala Richter gempa bumi terhadap kekuatan bahan
peledak dan skala kerusakan yang dapat diakibatkannya (Bakornas, 2007).
Tabel 1. Estimasi SR Terhadap Kekuatan Bahan Peledak dan Skala Kerusakan Kekuatan
Gempa (SR) Kesetaraan Terhadap
Kekuatan Bahan Peledak Contoh Skala Kerusakan
1,0 SR 15 kg bahan peledak ledakan pada konstruksi 1,5 SR 160 kg bahan peledak bom konvensional Perang Dunia II 2,0 SR 1 ton bahan peledak ledakan di pertambangan 2,5 SR 4,6 ton bahan peledak bom rakitan Perang Dunia II 3,0 SR 29 ton bahan peledak ledakan MOAB, 2003 3,5 SR 73 ton bahan peledak kecelakaan Chelyabinsk, 1957 4,0 SR 1 kilo ton bahan peledak bom atom kecil 4,5 SR 5 kilo ton bahan peledak rata‐rata Tornado (energi total) 5,0 SR 20 kilo ton bahan peledak bom atom Hiroshima/Nagasaki 5,5 SR 80 kilo ton bahan peledak gempa bumi Little Skull, Amerika Serikat,
1992 6,0 SR 1 mega ton bahan peledak gempa bumi Bantul, DIY, 2006 6,5 SR 5 mega ton bahan peledak gempa bumi Northridge, 1994 7,0 SR 32 mega ton bahan peledak gempa bumi Awaji‐Hansin, Kobe, Jepang,
1995 7,5 SR 160 mega ton bahan peledak gempa bumi Landers, Amerika Serikat,
1992 8,0 SR 1 giga ton bahan peledak gempa bumi Nias, Sumatera Utara, 2005 8,5 SR 5 giga ton bahan peledak gempa bumi Anchorage, Amerika Serikat,
1964 9,0 SR 32 giga ton bahan peledak gempa bumi Aceh dan Sumut, Indonesia,
2004 Sumber: Bakornas, (2007)
10
Estimasi skala gempa bumi jika diukur dengan Skala Modified Mercalli
Intensity (MMI) atau skala yang dapat diketahui melalui penampakan secara kasat
mata dan kerusakan ditampilkan pada Tabel 2 (Bakornas, 2007).
Tabel 2. Estimasi Skala MMI Terhadap Penampakan Kasat Mata dan Kerusakan Skala MMI Penampakan Kasat Mata dan Kerusakan Skala I sangat jarang/hampir tidak ada orang dapat merasakan dan tercatat pada alat
seismograf Skala II terasa oleh sedikit sekali orang terutama yang ada di gedung tinggi, sebagian
besar orang tidak dapat merasakan Skala III terasa oleh sedikit orang, khususnya yang berada di gedung tinggi. Mobil parkir
sedikit bergetar, getaran seperti akibat truk yang lewat Skala IV pada siang hari akan terasa oleh banyak orang dalam ruangan, di luar ruangan
hanya sedikit yang bisa merasakan. Pada malam hari sebagian orang bisa terbangun. Piring, jendela, pintu, dinding mengeluarkan bunyi retakan, lampu gantung bergoyang
Skala V dirasakan hampir oleh semua orang, pada malam hari sebagian besar orang tidur akan terbangun, barang‐barang diatas meja terjatuh, plesteran tembok retak, barang‐barang yang tidak stabil akan roboh, pandulum jam dinding akan berhenti
Skala VI dirasakan oleh semua orang, banyak orang ketakutan/panik, berhamburan keluar ruangan, banyak perabotan bergerser, plesteran dinding retak dan terkelupas, cerobong asap pabrik rusak
Skala VII setiap orang berhamburan keluar ruangan, kerusakan terjadi pada bangunan yang konstruksinya tidak baik, kerusakan sedikit sampai sedang terjadi pada bangunan dengan konstruksi biasa. Bangunan dengan konstruksi yang baik tidak mengalami kerusakan yang berarti
Skala VIII kerusakan luas pada bangunan dengan konstruksi tidak baik, kerusakan berarti pada bangunan dengan konstruksi biasa dan sedikit kerusakan pada bangunan dengan konstruksi yang baik. Dinding panel akan pecah dan lepas dari framenya, cerobong asap pabrik runtuh, perabotan yang berat akan terguling, pengendara mobil terganggu
Skala IX kerusakan berarti pada bangungan dengan konstruksi yang baik, pipa-pipa bawah tanah putus, timbul retakan pada tanah
Skala X sejumlah bangunan kayu dengan konstruksi yang baik rusak, sebagian besar bangunan tembok rusak termasuk fondasinya. Retakan pada tanah akan semakin banyak, tanah longsor pada tebing-tebing sungai dan bukit, air sungai akan melimpas di atas tanggul
Skala XI sangat sedikit bangunan tembok yang masih berdiri, jembatan putus, rekahan pada tanah sangat banyak/luas, jaringan pipa bawah tanah hancur dan tidak berfungsi, rel kereta api bengkok dan bergeser
Skala XII kerusakan total, gerakan gempa terlihat bergelombang diatas tanah, benda-benda beterbangan ke udara
Sumber: Bakornas, (2007)
Besarnya dampak gempa bumi terhadap bangunan bergantung pada
beberapa hal, diantaranya adalah skala gempa, jarak epicenter, mekanisme
sumber, jenis lapisan tanah di lokasi bangunan dan kualitas bangunan. Kerugian
akibat gempa bumi kadang tidak secara langsung disebabkan oleh gempa bumi,
namun disebabkan oleh kerentanan bangunan sehingga terjadi runtuhan bangunan,
11
kejatuhan peralatan dalam bangunan, kebakaran, tsunami, tanah longsor dan
kepanikan karena tidak tahu harus berlindung kemana. Berbagai hal diatas
menyebabkan banyak korban jiwa berjatuhan.
2.3. Daerah Rawan Gempa
Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan 3 lempeng utama dunia
yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng Eurasia dan Indo-
Australia bertumbukan di lepas pantai barat Pulau Sumatera, lepas pantai selatan
Pulau Jawa, lepas pantai Selatan Kepulauan Nusa Tenggara, dan berbelok ke arah
utara ke perairan Maluku sebelah selatan. Antara lempeng Australia dan Pasifik
terjadi tumbukan di sekitar Pulau Papua. Sementara pertemuan antara ketiga
lempeng itu terjadi di sekitar Sulawesi. Itulah sebabnya mengapa di pulau-pulau
sekitar pertemuan lempeng sering terjadi gempa bumi. Keberadaan lempengan-
lempengan bumi di wilayah Indonesia tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber: BMKG Kota Padang Panjang, (2010)
Gambar 3. Peta Pertemuan Lempengan-Lempengan di Indonesia
Berikut adalah 25 daerah wilayah rawan gempa bumi di Indonesia yaitu
Aceh, Sumatera Utara (Simeulue), Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung,
Banten Pandeglang, Jawa Barat, Bantar Kawung, Yogyakarta, Lasem, Jawa
Timur, Bali, NTB, NTT, Kepulauan Aru, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sangir Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan,
Kepala Burung-Papua Utara, Jayapura, Nabire, Wamena, dan Kalimantan Timur.
Kegempaan di Sumatera Bagian Barat disebabkan karena pertemuan (tumbukan)
dua lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia,
12
sehingga di wilayah Pulau Sumatera terdapat patahan besar Sumatera (Great
Sumatera Fault) yang juga sering dikenal sebagai sesar Sumatera atau sesar
Semangko, yang membujur sepanjang Bukit Barisan dari Aceh sampai dengan
Lampung. Pada patahan besar Sumatera tersebut juga terdapat segmen-segmen
yang masih aktif. Gambar 4 menunjukkan gambar sesar Semangko yang
membelah Sumatera Barat yang ditandai dengan jalur patahan berupa garis merah.
Kenampakan jalur sesar juga dapat dilihat dari offset sungai-sungai karena adanya
patahan tersebut, salah satunya Sungai Sianok di Bukitinggi.
Sumber: BMKG Kota Padang Panjang, (2010)
Gambar 4. Peta Sesar Semangko yang Membelah Sumatera Barat
Penyebaran kejadian gempa bumi (seismisitas) di wilayah Sumatera Barat
tahun 1998-2008 dapat dilihat pada Gambar 5. Gempa yang sering terjadi rata-rata
memiliki magnitudo ≥ 5 ,0 SR dan pada kedalaman 0-60 km. Sedangkan untuk
data beberapa kejadian gempa besar yang pernah terjadi dan berdampak besar di
Kota Padang Panjang dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.
13
Sumber: BMKG Kota Padang Panjang, (2010)
Gambar 5. Peta Seismisitas Sumatera Bagian Barat
2.4. Dampak Kerusakan Akibat Gempa dan Sejarah Gempa Bumi di
Sumatera Barat
Gempa besar berkekuatan 7,6 SR di Sumatera Barat bukan hanya terjadi
pada tanggal 30 September 2009 lalu saja, namun di wilayah yang berada di zona
gempa ini sudah belasan kali dilanda gempa bumi dalam dua abad ini. Menurut
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, Departemen Energi, sejumlah gempa
besar dengan dampak kerusakan yang luas juga pernah terjadi sebelumnya di
wilayah ini. Misalnya saja, gempa yang mengguncang Padang Panjang pada tahun
1926 lalu. Akibat gempa tersebut, lebih dari 354 orang meninggal dunia dan
ribuan rumah roboh. Gempa menimbulkan bencana di sekitar Danau Singkarak,
Bukit Tinggi, Danau Maninjau, Padang Panjang, Kabupaten Solok, Sawah Lunto,
dan Alahan Panjang. Gempa susulan mengakibatkan kerusakan pada sebagian
Danau Singkarak. Gempa besar juga pernah terjadi pada tahun 1995 di Kerinci
(Sungai Penuh) dengan skala 7 SR. Akibatnya, 84 orang tewas, 558 orang luka
berat dan 1.310 orang luka ringan, serta 7 ribu rumah rusak. Sejarah gempa
14
nampaknya selalu berulang tanpa bisa diprediksi kapan terjadinya, dimana
pusatnya dan berapa kekuatannya. Sejarah gempa yang dihimpun oleh Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Sejarah Gempa Merusak di Sumatera Barat Kejadian Gempa Pusat Gempa dan
Kekuatan (SR) Dampak Kejadian Gempa
Sumatera Barat 1 Oktober 1822 di Padang terasa 3 kali goncangan keras, terdengar suara gemuruh di bawah tanah antara Gunung Talang dan Gunung Merapi
Padang 26 Agustus 1835 kerusakan ringan dan retakan pada bangunan di Padang
Siri Sori, Sumatera Barat
5 Juli 1904 terjadi tsunami di Pantai Siri Sori
Padang Panjang, dengan kekuatan 6,8 SR
28 Juni 1926 lebih dari 354 orang meninggal dunia. Gempa menimbulkan bencana di sekitar Danau Singkarak, Bukit Tinggi, Danau Maninjau, Padang Panjang, Kabupaten Solok, Sawah Lunto, dan Alahan Panjang. Gempa susulan mengakibatkan kerusakan pada sebagian Danau Singkarak. Di Kabupaten Agam (Bukit Tinggi-Bonjol) 472 rumah roboh di 25 lokasi, 57 orang tewas, 16 orang luka berat. Di Padang Panjang sebanyak 2.383 rumah roboh, 247 orang tewas. Terjadi rekahan tanah di Padang Panjang, Kubu Krambil dan Simabur
Singkarak, dengan kekuatan 7,6 SR
9 Juni 1943 Terjadi pensesaran sepanjang 60 km antara Danau Singkarak – Danau Diatas. Sesar normal mencapai 2 meter. Jalan bergeser dekat Salayo sepanjang 2 –3 meter
Pasaman 8 Maret 1977 menimbulkan kerusakan 737 rumah, 1 pasar, 7 sekolah, 8 mesjid dan 3 kantor di Sinurat. Di Talu, 245 rumah, 3 rumah dan 8 mesjid rusak. Retakan tanah antara 5 – 75 meter
Padang, dengan kekuatan 5,4 SR
13 November 1981 timbul retakan dinding, lemari bergeser dan kaca jendela pecah di Padang dan Painan
Padang, dengan kekuatan 6,1 SR
2 Juli 1991 Terjadi kerusakan ringan bangunan di Padang. Getaran terasa di Padang Panjang hingga Singapura
Kerinci (Sungai Penuh), dengan kekuatan 7 SR
7 Oktober 1995 84 orang tewas, 558 orang luka berat dan 1.310 orang luka ringan. 7.137 rumah, transportasi, irigasi, tempat ibadah, pasar dan pertokoan rusak. Liquefaction di Desa Penawar, Kecamatan Sitinjau Laut. Retakan tanah di Desa Sebukar, Koto Iman, Tanjung Tanah dan Kayu Aro. Longsoran di Kampung Benik selatan Danau Kerinci
Nagari Malalak 25 Januari 2003 kerusakan ringan sejumlah ± 80 bangunan di Lubuk Durian, Damar, Simik Air, Jorong Paladangan Kanagarian Malalak, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam kerusakan yang terjadi berupa lepasnya plesteran dinding, retakan dinding dan kolom. Gempa ini bersifat lokal. Getaran terasa di Padang Panjang dan Malalak
15
Kejadian Gempa Pusat Gempa dan Kekuatan (SR)
Dampak Kejadian Gempa
Tanah Datar, dengan kekuatan 5,6 SR
16 Februari 2004 6 orang meninggal, 10 orang luka-luka, 70 rumah rusak, listrik mati sekitar 30 menit di Kababupaten Tanah Datar. Kerusakan melanda Desa Pitalak, Gunung Rajo, Nagari Pitala, Paninggahan, Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar. Terjadi longsoran di Gunung Rajo, Paninjauan. Terjadi retakan jalan antara Gunung Rajo-Padang. Getaran gempa terasa kuat di Padang, Pariaman, Padang Panjang, Bukittinggi, Solok, Sawah Lunto, Sijunjung, Agam, dan Batusangkar
Pesisir Selatan, dengan kekuatan 6 SR
22 Februari 2004 1 orang meninggal, 1 orang luka berat, 5 orang luka ringan, 151 bangunan dan rumah rusak di Kabupaten Pesisir Selatan. Getaran terasa kuat di Kota Padang hingga Painan. Wilayah yang mengalami kerusakan Kampung Gunung Pauh, Kampung Taratak Paneh, Kenagarian Amping Parak, Kecamatan Sutra; Nagari Surantih, Nagari Tuik, Kecamatan Batang Kapas; Kampung Kapeh Panji, Kecamatan Bayang; Kampung Ampang Pulai, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kecamatan IV Jurai, Kec. Lengayang, Kecamatan Ranah Pesisir dan Kecamatan Linggo Sari Baganti
Pesisir Selatan, dengan kekuatan 5,5 SR
9 April 2004 Beberapa rumah penduduk retak-retak di perbatasan Kota Padang dan Kabupaten Pesisir Selatan
6 Maret 2007 Padang Panjang, dengan kekuatan 6,2 SR
Puluhan rumah di Padang Panjang rusak berat, gempa yang dirasakan cukup lama hingga lebih kurang 1menit. Hal inilah yang menyebabkan cukup banyak kerusakan terjadi. Pada bagian yang dilewati oleh patahan membuat jalan aspal dan tanah merekah
Pulau Siberut, Sumatra Barat, kekuatan 6,9 SR
16 Agustus 2009 Gempa ini menyebabkan setidaknya 7 orang luka-luka. Getaran sangat keras dirasakan di Padang
Padang Pariaman, dengan kekuatan 7,6 SR
30 September 2009 75 orang tewas, ribuan rumah rusak. Gedung perkantoran, mal dan hotel juga banyak yang rusak. Getaran gempa terasa hingga ke Malaysia dan Singapura
Sumber: BMKG, (2010)
Akibat dari gempa bumi dapat dilihat secara langsung ataupun tidak
langsung. Akibat langsung dari gempa bumi adalah getaran/goncangan, bangunan
rusak/roboh, gerakan tanah/terbelah/tergeser, tanah longsor dan tsunami serta
korban jiwa dan harta benda. Sedangkan dampak tidak langsung dari gempa bumi
adalah gejolak sosial dan gangguan ekonomi, wabah penyakit dan kebakaran.
16
2.5. Mitigasi Bencana Gempa
Menurut Bakornas (2002), mitigasi bencana adalah tindakan untuk
mengurangi dampak dari suatu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana
itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka
panjang. Mitigasi bencana mencakup kegiatan perencanaan dan pelaksanaan
tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko terkait dengan bahaya-bahaya
bencana yang sudah diketahui dan proses perencanaan untuk respon yang efektif
terhadap bencana-bencana yang benar-benar terjadi. Istilah mitigasi juga berlaku
untuk cakupan yang luas dari aktivitas-aktivitas dan tindakan-tindakan
perlindungan yang mungkin diawali dari yang fisik, seperti membangun
bangunan-bangunan yang lebih kuat, sampai dengan yang prosedural seperti
teknik-teknik yang baku untuk menggabungkan penilaian bahaya di dalam
rencana penggunaan lahan.
Selanjutnya Bakornas (2002) menjelaskan, mitigasi bencana perkotaan
merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan sebagai suatu titik tolak utama
dari manajemen bencana. Sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mengurangi
dan/atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat
perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, terutama kegiatan
penjinakan/peredaman atau dikenal dengan istilah mitigasi. Mitigasi dilakukan
untuk memperkecil, mengurangi dan memperlunak dampak yang ditimbulkan
bencana. UU No. 22 tahun 1999, UU No. 25 tahun 1999, serta PP No. 25 tahun
2000 memberikan kewenangan yang sangat besar kepada pemerintah kota dan
kabupaten untuk mengelola pembangunan kotanya, khususnya dalam administrasi
pemerintahan dan keuangan.
Oleh karena itu, pemerintah kota mempunyai peran dan fungsi yang sangat
strategis dalam rangka melaksanakan pembangunan di segala bidang, yang
bertujuan untuk meningkatkan peran kota sebagai pusat pertumbuhan wilayah,
penggerak pembangunan, pusat jasa pelayanan dalam segala bidang, serta pusat
informasi dan inovasi, termasuk dalam hal teknologi mitigasi bencana. Akan
tetapi, konsentrasi peran yang besar di kota-kota tersebut tidak lepas dari
kenyataan bahwa kota-kota di Indonesia terletak pada lokasi-lokasi yang rawan
bencana alam. Kota-kota di Indonesia sangat heterogen, dan pluralnya sistem
17
sosial dan perekonomian berakibat kota-kota di Indonesia sekaligus rawan
terhadap bencana sosial, bencana teknologi, atau bencana buatan manusia lainnya.
Secara umum mitigasi dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi struktural
dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-usaha
pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non struktural antara lain
meliputi perencanaan tata guna lahan yang disesuaikan dengan kerentanan
wilayahnya dan memberlakukan peraturan (law enforcement) pembangunan.
Kebijakan Mitigasi Perkotaan merupakan suatu kerangka konseptual yang
disusun untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana terutama di
daerah perkotaan. Mitigasi bencana meliputi pengenalan dan adaptasi terhadap
bahaya alam dan buatan manusia, serta kegiatan berkelanjutan untuk mengurangi
atau menghilangkan resiko jangka panjang, baik terhadap kehidupan manusia
maupun harta benda.
Tujuan utama (ultimate goal) dari Penyusunan Kebijakan Mitigasi
Bencana Perkotaan ini adalah sebagai berikut :
a. mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi
penduduk perkotaan, seperti korban jiwa (kematian), kerugian ekonomi
(economy costs) dan kerusakan sumber daya alam,
b. sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan perkotaan,
c. meningkatkan pengetahuan masyarakat perkotaan (public awareness) dalam
menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga masyarakat
dapat hidup dan bekerja dengan aman (safe).
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, beberapa sasaran perlu ditetapkan
sebagai berikut :
a. mengidentifikasi bencana dan perhitungan/perkiraan dampak/resiko yang
ditimbulkan,
b. menerapkan hasil penelitian dan transfer teknologi,
c. meningkatkan pengetahuan masyarakat (public awareness) melalui sosialisasi,
pelatihan dan pembinaan,
d. menerapkan sistem insentif,
e. meningkatkan kualitas kepemimpinan dan koordinasi.
18
Kelima sasaran tersebut nantinya harus dijabarkan lagi menjadi Program
Tindak (Action Plan) berdasarkan fungsi, tugas dan kewajiban masing-masing
aktor/pelaku/pihak-pihak yang terlibat dalam proses mitigasi. Bentuk-bentuk
tindakan mitigasi antara lain:
1. sebelum terjadi gempa bumi,
a. mengenal apa yang disebut dengan gempa bumi
b. memastikan bahwa struktur rumah dapat terhindar dari bahaya yang
disebabkan gempa bumi (longsor, rekahan tanah)
c. mengevaluasi dan merenovasi ulang struktur bangunan agar terhindar dari
bahaya gempa bumi
d. memperhatikan letak pintu, lift serta tangga darurat, apabila terjadi gempa
bumi, sudah mengetahui tempat paling aman untuk berlindung
e. belajar melakukan P3K
f. belajar menggunakan alat pemadam kebakaran
g. mencatat nomor telepon penting yang dapat dihubungi pada saat terjadi
gempa bumi
h. perabotan (lemari, cabinet) diatur menempel pada dinding (dipaku/ diikat)
untuk menghindari jatuh, roboh, bergeser pada saat terjadi gempa bumi
i. menyimpan bahan yang mudah terbakar pada tempat yang tidak mudah
pecah, agar terhindar dari kebakaran
j. selalu mematikan air, gas dan listrik apabila sedang tidak digunakan
k. penyebab celaka yang paling banyak pada saat gempa bumi adalah akibat
kejatuhan material
l. mengatur benda yang berat sedapat mungkin berada pada bagian bawah
m. mengecek kestabilan benda tergantung yang dapat jatuh pada saat gempa
bumi terjadi (misalnya: lampu, lemari, foto, dan lain-lain)
n. alat yang harus ada di setiap tempat berupa kotak P3K, senter/lampu
baterai, radio, makanan suplemen dan air.
2. saat terjadi gempa bumi,
a. jika berada dalam bangunan
- melindungi kepala dan badan dari reruntuhan bangunan
19
- mencari tempat yang paling aman dari reruntuhan akibat goncangan
gempa (seperti di bawah meja, di sudut ruangan yang kuat, di bawah
kusen)
b. jika di luar bangunan atau area terbuka
- menghindari bangunan yang ada di sekitar (seperti gedung, tiang listrik,
pohon)
- memperhatikan tempat anda berpijak hindari apabila terjadi rekahan tanah
c. jika sedang mengendarai mobil
- keluar, turun dan menjauh dari mobil, hindari jika terjadi rekahan tanah
atau kebakaran
- keluar dari mobil dan berlindung di sampingnya
d. jika tinggal atau berada di pantai
- menjauhi pantai menuju ke tempat yang lebih tinggi untuk menghindari
terjadinya tsunami
e. jika tinggal di daerah pegunungan
- menghindari daerah yang mungkin terjadi longsoran.
3. setelah terjadi gempa bumi,
a. jika berada dalam bangunan
- keluar dari bangunan dengan tertib
- jangan menggunakan tangga berjalan atau lift, gunakan tangga biasa
- memeriksa apa ada yang terluka, lakukan P3K
- telepon/minta pertolongan apabila terjadi luka ringan atau luka parah
b. memeriksa apakah terjadi kebakaran
- memeriksa apakah terjadi kebocoran gas
- memeriksa apakah terjadi arus pendek
- memeriksa aliran dan pipa air
- memeriksa segala hal yang dapat membahayakan (mematikan listrik, tidak
menyalakan api)
- jangan masuk ke dalam bangunan yang sudah rusak terkena gempa, karena
kemungkinan sewaktu-waktu dapat runtuh akibat gempa susulan
- jangan mendekati bangunan yang sudah rusak terkena gempa, karena
kemungkinan sewaktu-waktu dapat runtuh akibat gempa susulan
20
- menyimak informasi mengenai gempa susulan dari media cetak maupun
media elektronik
- mengisi angket yang diberikan oleh instansi terkait untuk mengetahui
seberapa besar kerusakan yang terjadi.
2.6. Ruang Terbuka sebagai Ruang Evakuasi Bencana
Ruang terbuka publik pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat
menampung aktivitas/kegiatan tertentu dari masyarakatnya, baik secara individu
maupun kelompok, yang meliputi jalan, pedestrian, taman, plaza, pemakaman di
sekitar lapangan terbang dan lapangan olahraga (Hakim dan Utomo, 2003 dalam
Sakti 2009). Ruang terbuka publik terbentuk dari adanya konstruksi sosial oleh
para pengguna dengan keadaan sosial yang menghasilkan ruang, bentuk fisik dan
desain lainnya. Keberadaan ruang terbuka sangat dibutuhkan oleh manusia baik
sebagai wadah interaksi sosial, budaya, politik, ekonomi, estetika kota hingga
wadah kegiatan mitigasi terhadap bencana. Ruang terbuka terdiri dari ruang
terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang terbuka hijau terdiri dari ruang
terbuka hijau itu sendiri, lapangan rumput, taman, jalur hijau, hutan kota dan lain-
lain. Sedangkan ruang terbuka non-hijau terdiri dari jalan raya, plaza, kolam
renang dan lain-lain.
Menurut Permendagri No 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka
Hijau Kawasan Perkotaan, ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau
wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk
area memanjang/jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang
pada dasarnya tanpa bangunan. Salah satu yang termasuk di dalamnya adalah
ruang terbuka hijau kota. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP)
adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh
tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya,
ekonomi dan estetika.
Dalam keseluruhan tahapan siklus kehidupan manusia, kehadiran ruang
terbuka publik dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang sangat diperlukan baik
berupa taman lingkungan, tempat bermain, alun-alun kota, lapangan kota atau
bahkan kuburan umum (Budiharjo, 1997 dalam Sakti 2009). Ruang terbuka publik
21
mempunyai banyak fungsi (multifungsi). Ruang terbuka publik berfungsi sebagai
simpul dan sarana komunikasi serta sebagai pengikat sosial untuk menciptakan
interaksi antara kelompok masyarakat juga sebagai tempat berkumpul sehari-hari
dan pada kesempatan khusus (Carr, 1992 dalam Sakti 2009).
Fungsi utama ruang terbuka publik terbagi menjadi dua. Pertama sebagai
fungsi sosial (rekreatif) yaitu sebagai tempat bermain dan berolahraga, tempat
komunikasi sosial, tempat peralihan dan tempat menunggu, tempat untuk
mendapatkan udara segar dengan lingkungan, sarana penghubung antara suatu
tempat dengan tempat lain, pembatas atau jarak diantara massa bangunan, sarana
penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk
kesadaran sosial, identitas kota (pembentuk karakter suatu kota), sarana untuk
menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan lingkungan.
Sedangkan fungsi kedua adalah sebagai fungsi ekologis, yaitu sebagai penyegar
udara, mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro, menyerap air hujan,
pengendali banjir dan pengatur tata air, memelihara ekosistem tertentu dan
perlindungan plasma nutfah serta sebagai pelembut arsitektur bangunan.
Selain mempunyai berbagai fungsi di atas, ruang terbuka juga berfungsi
sebagai perlindungan terhadap bencana. Langkah tersebut dapat ditempuh dengan
cara menjadikan peruntukan ruang terbuka di kawasan rawan bencana sebagai
ruang evakuasi. Ruang terbuka publik yang berfungsi sebagai konektor atau
linkage antar ruang permukiman akan memudahkan proses evakuasi pada saat
terjadi bencana sehingga dapat meminimalkan jatuhnya korban. Dalam hal ini
ruang terbuka berfungsi sebagai ruang evakuasi bencana, dapat berupa jalur
evakuasi, ruang evakuasi maupun taman evakuasi.
Perencanaan tata ruang yang ada saat ini sebagian besar belum
mengakomodasi pemetaan daerah rawan bencana baik rawan bencana tsunami,
gempa, longsor, gunung meletus, banjir dan rob serta potensi bencana lainnya.
Perencanaan yang ideal seharusnya disesuaikan dengan kondisi eksisting serta
daya dukung lingkungannya sehingga indikasi penurunan daya dukung
lingkungan dan potensi terjadinya bencana dapat diantisipasi dan diminimalisir.
Perubahan tata guna lahan dari ruang terbuka publik menjadi lahan terbangun
menstimulasi terjadinya kerusakan lingkungan (Hadi, 2001 dalam Sakti, 2009).
22
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang secara
tegas telah mengatur muatan rencana tata ruang di semua tingkatan administrasi.
Undang-undang tersebut menuntut kualitas tata ruang yang tinggi dengan muatan
rencana yang diantaranya khusus untuk wilayah kota dan kabupaten. Rencana tata
ruang yang disusun juga harus memuat ruang terbuka (baik hijau maupun non-
hijau) mulai dari perencanaan, penyediaan hingga pemanfaatan termasuk sebagai
ruang evakuasi bencana khususnya gempa. Pilihan jenis ruang terbuka yang
cukup sesuai untuk ruang evakuasi gempa adalah taman dan lapangan.
2.6.1. Ruang dan Jalur Evakuasi
Ruang evakuasi merupakan suatu tempat pengungsian atau pemindahan
penduduk dari daerah-daerah yang berbahaya (bahaya gempa) ke daerah yang
aman dari bahaya tersebut (bahasaindonesia.com, 2010). Ruang evakuasi
merupakan salah satu bentuk tindakan preventif dalam usaha mengurangi dampak
kerugian akibat gempa bumi.
Jalur evakuasi merupakan suatu koridor atau jalan yang dapat
mengarahkan masyarakat ke taman-taman kota atau ruang terbuka yang telah
ditentukan sebagai ruang evakuasi. Jalur evakuasi ini harus merupakan jalur
tercepat dan teraman menuju ruang evakuasi. Tanda yang dapat digunakan pada
jalur evakuasi ini dapat berupa sign-sign atau penunjuk arah dan dapat pula
berupa deretan pepohonan yang membentuk suatu lanskap jalur evakuasi yang
menuntun masyarakat untuk sampai tepat di tempat evakuasi. Keberadaan lanskap
koridor dengan penanda vegetasi akan membantu masyarakat mencapai lokasi
saat kepanikan yang terkadang mengakibatkan disorientasi arah. Berbagai atribut
yang ada pada jalur ini harus aman untuk dilewati, oleh karena itu pemilihan
tanaman dan pondasi sign menjadi pertimbangan yang sangat penting untuk
menghindari resiko tertimpa atau jatuh oleh goncangan gempa.
2.6.2. Taman Kota sebagai Taman Evakuasi
Taman kota merupakan ruang terbuka yang terutama menyediakan sarana
rekreasi di areal terbuka (outdoor) bagi masyarakat perkotaan. Dalam bidang
perencanaan kota, peruntukan desain dan fasilitas taman adalah untuk melayani
23
kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar taman tersebut dalam skala RT, RW,
sub wilayah, kota atau propinsi (Nurisjah, 1995). Selain mengakomodir kebutuhan
rekreasi warga kota, fungsi taman kota juga dapat sebagai pelembut kesan keras
dari struktur masif fisik kota, mengurangi kebisingan, mereduksi udara yang
panas dan polusi udara. Taman kota juga dapat membentuk karakter kota dan
memberikan keindahan visual lingkugan kota agar tercipta kesatuan antar ruang.
Menurut Gold (1980) taman adalah setiap area umum atau pribadi yang
digunakan untuk nilai-nilai estetika, pendidikan, rekreasi ataupun budaya,
sedangkan taman kota (urban park) adalah taman yang melayani area sentra
bisnis, area kota yang besar (termasuk kota baru) atau area komersil. Taman
diperlukan masyarakat kota untuk keluar dari kebisingan dan kepadatan kota
tanpa harus melakukan perjalanan jauh. Taman memiliki fungsi ekologis (sumur
resapan air, pohon), ekonomis (kebun sayuran, apotek hidup, taman terapi),
edukatif (belajar alam, pengajian, kerajinan tangan, pertunjukan seni, layar tancap,
bermain, rapat warga), konservasi energi (surya, biogas), dan estetis (kebersihan
dan keindahan lingkungan).
Ada beberapa jenis taman berdasarkan penggunaanya, (1) Neighbourhood
Park, taman ini terletak di sekitar daerah pemukiman; (2) Community Park, taman
ini mempunyai sifat yang lebih akumulatif dari pada “Neighbourhood Park” dan
dapat menampung kegiatan rekreasi bagi warga dalam bentuk suatu komunitas;
(3) City Park; taman ini melayani skala kota bagi warga kota, dilengkapi oleh
nilai-nilai visual yang dapat menghilangkan kesan perkotaan.
Terkait dengan berbagai isu bencana belakangan ini, penelitian mengenai
taman kota makin dikembangkan. Salah satunya taman kota sebagai alternatif
tempat evakuasi saat bencana. Indonesia sebagai daerah rawan bencana
memerlukan berbagai bentuk upaya mitigasi, salah satunya dengan taman kota
sebagai ruang evakuasi. Taman evakuasi tidak hanya memiliki fungsi rekreasi dan
estetis, tapi juga evakuatif. Ketika bencana tiba, taman dapat seketika berubah
menjadi ruang evakuasi bencana (gempa bumi).
Taman evakuasi direncanakan sedemikian rupa dengan memperhatikan
aspek-aspek dan berbagai hal yang dibutuhkan oleh warga saat mengungsi. Hal ini
juga dapat diketahui melalui pengalaman berdasarkan kejadian-kejadian
24
sebelumnya. Penyediaan berbagai fasilitas dan utilitas yang dibutuhkan saat
evakuasi (mengungsi) menjadi hal penting yang harus disediakan. Tata letak dan
komposisi tata guna lahan pun menjadi penting untuk diperhatikan, seperti ruang
terbuka yang cukup, fasilitas dan utilitas dengan konstruksi tahan gempa, suplai
energi, air serta makanan yang cukup dan berbagai hal lainnya.
Joga dan Antar (2007) menjelaskan bahwa taman kota berbasis bencana
merupakan salah satu alternatif ruang evakuasi, selain fungsinya sebagai ruang
rekreasi. Berbagai fasilitas rekreasi yang ada di suatu taman kota dapat
diintegrasikan dengan berbagai fasilitas yang dapat memenuhi kebutuhan
evakuasi, baik bagi korban selamat ataupun yang tidak selamat, seperti taman
pemakaman dan tempat evakuasi korban bencana.
Taman kota berbasis evakuasi bencana merupakan sebuah lanskap taman
kota yang dibangun dengan mengalokasikan lebih banyak ruang terbuka baik
hijau maupun non hijau, mengakomodasi kepentingan perlindungan, evakuasi
atau pertahanan hidup atas bencana. Lebih lanjut dijelaskan bahwa membangun
taman kota berbasis evakuasi bencana merupakan penciptaan nilai jual bagi kota.
Keindahan lanskap kota tetap diperlukan untuk mempertahankan roh kota yang
bersejarah, menampilkan wajah baru untuk memberi kenangan baru sebagai
makna positif atas trauma bencana alam yang pernah terjadi. Penciptaan taman
kota berbasis evakuasi bencana akan dapat mengembalikan fungsi evakuasi bagi
warga kota dan fungsi rekreatif yang akan mengembalikan energi positif bagi
warga kota yang kerap dilanda trauma akibat bencana.
2.7. Perencanaan Lanskap Taman Kota di Daerah Rawan Gempa
Perencanaan adalah suatu alat yang sistematis dan dapat digunakan untuk
menentukan awal suatu keadaan, dan merupakan cara terbaik untuk mencapai
keadaan tersebut (Gold, 1980). Dalam perencanaan tapak terdapat penyesuaian
tapak dengan program. Persyaratan program harus dilengkapi dan dihubungkan
satu dengan lainnya, disertai imajinasi serta kepekaan terhadap replikasi analisis
tapak. Perencanaan tapak adalah pengaturan fungsi ruang, sirkulasi, keindahan
dan keunikan, dengan memanfaatkan elemen air, tanah, dan berbagai benda, serta
keadaan yang ada seperti taman, bangunan, kondisi topografi dan pemandangan.
25
Dalam perencanaan diperlukan suatu pendekatan yang dilakukan
terhadap kebutuhan khusus dari suatu kelompok sosial atau lahan. Pendekatannya
harus efektif untuk penyediaan segala bentuk pelayanan dan ruang bagi
masyarakat yang menggunakannya (Siti Nurisjah dan Pramukanto, 1995).
Merujuk pada UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang-ruang
kota harus dirancang menjadi kota waspada bencana. Itu untuk mengantisipasi
dan memitigasi berbagai bencana alam (banjir, rob, gempa bumi, tsunami) dan
bencana non-alam (kebakaran, krisis air bersih, intrusi air laut, tanah ambles,
pencemaran lingkungan).
Perencanaan lanskap taman kota terutama di daerah rawan gempa perlu
direncanakan dengan seksama agar menjadi lebih baik dari sebelumnya, baik dari
segi keamanan, kesehatan, maupun keindahan. Pembangunan fisik dan jiwa kota
harus sesuai dengan semangat kekhasan lokal (genius loci). Lanskap kota rawan
bencana yang traumatis akan segera berganti dengan taman-taman, padang rumput
yang luas, struktur atau elemen taman tahan gempa. Perencanaan lanskap taman
kota akan memenuhi fungsi evakuasi dan sekaligus fungsi rekreasi bagi
masyarakat, yang dapat menjadi sarana pemulihan fisik dan jiwa anak-anak serta
warga kota lainnya yang lelah karena trauma bencana, menjadi optimis dan riang
gembira kembali.
Menurut Joga dan Antar (2007) dan hasil modifikasi serta asumsi logis
penulis, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan taman kota
berbasis gempa adalah:
1. lokasi taman kota dengan pendekatan geologis terkait kerentanannya
terhadap goncangan gempa (rentan atau tidak rentan) dan jarak taman kota
dengan garis sesar/patahan,
2. aksesibilitas masyarakat menuju tapak yang mudah dan tidak terlalu jauh,
3. adanya jalur evakuasi yang mengarahkan masyarakat menuju tempat
evakuasi,
4. luas lahan dan daya dukung pada saat evakuasi berlangsung,
5. ketinggian tempat dari permukaan laut sehingga dapat ditentukan apakah
berpotensi tsunami atau tidak,
26
6. penempatan terintegrasi fasilitas rekreasi dan evakuasi,
7. kebutuhan air, energi dan makanan dapat tersuplai dengan baik,
8. pemilihan pohon yang tidak mudah tumbang dan pemeliharaan yang baik,
9. perencanaan helipad jika jalur transportasi lainnya terputus,
Rencana lanskap taman kota di daerah rawan gempa meliputi rencana
masing-masing zona dengan mempertimbangkan aspek daya dukung, keamanan,
aspek fungsional dan estetika untuk semua elemen lanskap yang direncanakan.
Hasil yang didapat berupa rencana penataan (block plan, site plan) dan rencana
tertulis. Perencanaan ini juga dilengkapi dengan beberapa gambar pendukung
untuk memperjelas, beberapa bagian dilengkapi dengan gambar tampak, potongan
dan sketsa perspektif.
2.8. Perencanaan Berbasis Bencana Evakuasi Bencana
2.8.1. Kriteria-Kriteria Desain Tahan Gempa
Perencanaan dan desain merupakan suatu hal yang berkesinambungan.
Perencanaan berbasis bencana membutuhkan desain yang tahan terhadap
goncangan gempa. Joga dan Antar (2007) mengemukakan bahwa budaya tanggap
bencana adalah hal penting yang harus diperhatikan dan ditingkatkan dalam usaha
mengantisipasi dan memitigasi korban bencana alam. Mengingat keberadaan
kota-kota di Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana, maka perencanaan
berbasis evakuasi bencana merupakan sebuah keharusan, seperti yang dibangun di
Jepang, Hawaii dan Singapura. Perencanaan berbasis evakuasi bencana melalui
tahap pemulihan dan pembangunan kembali fisik dan jiwa kota yang traumatis
harus sesuai dengan semangat kekhasan lokal kota-kota yang rusak.
Kota yang terkonsep seharusnya berdasarkan pada pengalaman/kejadian
bencana yang terus terjadi. Kejadian di titik-titik rawan bencana dianalisis dan
dijadikan bahan penyusunan rencana strategis dan program kegiatan
pembangunan yang terarah dan tepat sasaran untuk rencana mitigasi bencana.
Kota dibangun kembali dengan mengalokasikan lebih banyak ruang
terbuka hijau (RTH), mengakomodasi kepentingan perlindungan, evakuasi, atau
pertahanan hidup atas bencana. Ini sama halnya dengan membangun sistem
27
peringatan dini secara alamiah untuk mengantisipasi bencana alam yang penting
bagi kota dan paling murah untuk dibangun.
Perencanaan kota waspada bencana mensyaratkan perencanaan yang
rasional, aplikatif, dan berorientasi hasil (feasible, implementable, and
achievable). Bencana tidak bisa diperkirakan dengan tepat, tetapi upaya mitigasi
bencana tetap perlu disiapkan untuk meminimalkan korban nyawa dan harta (Joga
dan Antar, 2007).
Sistem peringatan dini bencana dibangun secara menyeluruh di bidang
fisik kota (pembangunan peralatan mutakhir pendeteksi dini, bangunan anti
gempa), dan psikis kota (pendidikan dan pelatihan tanggap serta evakuasi
bencana). Hidup di kota rawan bencana harus mulai dibudayakan kepada seluruh
warga kota bahwa bencana bisa terjadi setiap saat.
Untuk itu perlu dipersiapkan bagaimana cara terbaik mengakrabi,
mewaspadai, mengevakuasi, dan bertahan hidup di daerah rawan bencana. Warga
ditumbuhkan budaya sikap hidup ramah lingkungan dan bencana alam sebagai
bagian fenomena alam kehidupan sehari-hari.
Kesadaran masyarakat, terutama di titik-titik rawan bencana, untuk
sukarela menyediakan taman terbuka multifungsi yang signifikan. Taman sebagai
ruang evakuasi bencana, tempat bermain dan belajar alam bagi anak- anak, tempat
berolahraga, paru-paru kota, daerah resapan air, serta tujuan wisata kota.
Menurut Joga dan Antar (2007), sikap hidup tanggap bencana harus mulai
disosialisasikan dalam kurikulum pelajaran wajib segala tingkatan, disertai
panduan dan pelatihan evakuasi bencana di seluruh pelosok perkampungan dan
permukiman kota. Kelak warga tahu persis kapan, apa, mengapa, ke mana, dan
bagaimana proses evakuasi harus dilakukan saat bencana tiba. Ketika terjadi
bencana, warga diperintahkan lari ke taman-taman kota. Taman kota diefektifkan
sebagai ruang evakuasi, suplai logistik dari udara, dilengkapi tangki air minum,
toilet portabel, papan petunjuk, alat komunikasi, dan bungker gudang makanan
serta obat-obatan (untuk bertahan selama 10 hari).
Taman dilengkapi pompa hidran untuk pemenuhan kebutuhan air bersih
atau cadangan untuk pemadaman kebakaran di musim kemarau. Pohon-pohon
28
terpilih (jenis tertentu) ditanam di sepanjang jalur evakuasi bencana (rute
penyelamatan) menuju taman atau bangunan penyelamatan lainnya.
Alun-alun dan lapangan bola juga merupakan tempat ideal untuk
penampungan darurat dan posko penanggulangan bencana yang aman. Bencana
yang sering kali menimbulkan korban massal membutuhkan taman makam yang
terencana baik, luas memadai, teknik penguburan canggih, dan dikelola secara
profesional mempercepat proses evakuasi dan pemakaman jenazah, menghindari
proses pembusukan dan polusi bau yang menyengat, serta mempercepat proses
pemulihan kebersihan, kesehatan, dan kesegaran kota. Prinsipnya efisien, higienis,
dan ramah lingkungan. Berikut adalah beberapa contoh fasilitas pada taman
berbasis bencana (Gambar 6).
Sumber: Doc. Nurhayati HS Arifin, (2009)
a.) Shelter dengan atap yang terbuat dari panel surya, dapat menyerap sinar matahari sebagai sumber energi b.) Shelter bisa berfungsi sebagai toilet portabel pada saat kondisi bencana c.) Kanal buatan sebagai sumber cadangan air siap pakai sekaligus atraksi air untuk rekreasi d.) Sebuah gazebo yang dapat digunakan untuk bersantai sekaligus ruang mitigasi dimana dibagian
bawahnya terdapat Bunker yang berisi cadangan makanan, selimut serta tenda untuk keperluan evakuasi.
Gambar 6. Contoh Fasilitas Taman Berbasis Bencana di Jepang
Membangun kota waspada bencana membutuhkan waktu puluhan tahun.
RTH dan pemilihan pohon yang lentur bencana, sebagai bangunan hidup (tumbuh,
kembang) membutuhkan pemeliharaan rutin yang harus direncanakan dengan
a.) b.)
c.) d.)
29
matang dan berjangka panjang. Untuk efisiensi dan optimalisasi biaya, prioritas
pemeliharaan RTH dapat dibagi menjadi RTH dengan pemeliharaan penuh (alun-
alun, taman kota, lapangan olahraga, jalur hijau jalan), pemeliharaan sedang
(taman makam, jalur hijau bantaran sungai), dan tidak dipelihara atau dibiarkan
tumbuh alami (hutan kota, hutan lindung, hutan mangrove).
Kesolidaritasan dalam kota yang ramah lingkungan dan tanggap bencana
harus dibangkitkan sejak dini tanpa menunggu datangnya bencana terlebih dahulu.
Sikap solidaritas seperti ini sering kali surut dan cepat terlupakan seiring dengan
proses waktu tenggelam dalam keseharian kehidupan "normal" (yang egosentris)
sehingga penanggulangan dan pencegahan bencana ikut pupus, namun hal itu
harus dihindari karena harus tuntas dikerjakan bersama.
2.8.2. Contoh Referensi Taman Lingkungan Berbasis Evakuasi Bencana
Menurut Joga dan Antar (2007), fenomena alam akan selalu menimbulkan
permasalahan manakala kehidupan manusia terganggu atau jiwa mereka terancam.
Penanganan bencana gempa, banjir dan bencana lainnya sejatinya berhulu pada
masalah kepemimpinan, visi, dan pemahaman pada skala prioritas. Kota harus
dirancang berbasis evakuasi bencana, berdasarkan titik-titik rawan bencana, sesuai
dengan apa yang dibutuhkan di lokasi rawan bencana.
Kota berbasis evakuasi bencana mengembangkan ruang terbuka hijau
(RTH) secara ekologis sebagai daerah tangkapan dan resapan air. Pemerintah
daerah harus memperbanyak pembangunan RTH berupa taman lingkungan di
perumahan, taman kota di pusat perkantoran dan perdagangan, lapangan rumput
halaman sekolah, hutan mangrove di tepi pantai, lapangan olahraga di sekitar
permukiman atau sekolah, dan mewajibkan seluruh rumah membuat sumur
resapan air.
Dengan konsep ekodrainase kota, air hujan dan limbah air justru dialirkan
dan diparkir ke daerah resapan seperti situ, waduk, danau, rawa, taman kota,
lapangan olahraga, hutan kota dan mangrove untuk diserap ke tanah sebelum
sisanya dialirkan ke sungai kemudian ke laut. Pemerintah memfungsikan lagi jalur
hijau bantaran kali, bantaran rel kereta api, kolong jembatan dan jalan layang,
saluran tegangan tinggi dari permukiman liar kembali sebagai RTH dengan
30
bijaksana, manusiawi, dan komprehensif. Akibat keterbatasan lahan kota, sudah
saatnya pemerintah mengalihkan masyarakat untuk (sukarela) tinggal di rumah
susun, apartemen, atau kondominium, agar kota kita memiliki RTH sebagai
daerah resapan air yang luas.
Pemerintah cukup membebaskan lahan warga seluas 500 m2
Lebih lanjut Joga dan Antar (2007) menjelaskan, pada lantai dasar taman
dibangun sumur resapan air tersusun dari koral, pasir, pecahan batu bata, ijuk, dan
batu belah, seluas 75 persen dari luas taman. Sisanya, 25 persen, berupa tandon air
untuk taman
evakuasi bencana, sumur resapan, dan menambah luasan daerah resapan air di
perkampungan. Pemerintah juga dapat merevitalisasi atau merefungsionalisasi
taman lingkungan sebagai daerah resapan air. Taman lingkungan yang diperkeras
seperti lapangan bulu tangkis, basket, pos siskamling, parkir kendaraan warga,
harus ditanami rumput dan pohon, dan dilengkapi sumur resapan agar mempunyai
daya serap air lebih besar, serta dikembangkan menjadi taman evakuasi bencana.
Menurut contoh taman berbasis evakuasi bencana yang dirancang oleh
Joga dan Antar (2007), model taman evakuasi bencana sebenarnya
dilatarbelakangi pengembangan konsep taman bale kambang yang sudah lama
dikenal masyarakat tradisional Jawa dan Bali. Konsep ini dikembangkan sesuai
kebutuhan antisipasi bencana karena memiliki kelenturan dan kemudahan
modifikasi sesuai kondisi dan bentuk lahan di setiap lokasi. Taman memiliki dua
bentuk dasar taman dan bale kambang (mengambang/melayang/menggantung).
Bale merupakan bentuk tradisional yang biasa digunakan untuk tempat
berkumpul, bersantai, atau bersosialisasi di teras rumah. Rancangan taman
memiliki nilai artistik, prinsip optimalisasi lahan, multifungsi, menciptakan
keteduhan lingkungan, ruang gerak, dan berinteraksi sosial budaya.
Pengembangan taman evakuasi bencana mensyaratkan fungsi ekologis
(sumur resapan air yang berdaya resap air tinggi, pohon penghasil oksigen),
fungsi ekonomis (kebersihan dan kesehatan warga, berkebun), fungsi edukatif
(ruang belajar alam dan kegiatan pendidikan lain seperti pengajian, kerajinan
tangan), fungsi evakuasi (ruang penyelamatan bencana banjir, kebakaran, gempa
bumi), fungsi konservasi energi (suplai energi surya, biogas), dan fungsi estetis
(kebersihan, kesehatan, dan keindahan lingkungan).
31
untuk cadangan air bersih pada musim kemarau dan kebakaran. Di atas sumur
resapan air dan tandon air dibuat taman koral yang berfungsi sebagai taman terapi
kesehatan bagi warga dan pasar dadakan, sesuai kesepakatan warga. Lantai dasar
dilengkapi fasilitas pos siskamling dan kantor RT/RW. Dengan standar kebutuhan
ruang setiap orang 1 m2, maka untuk ruang evakuasi setiap lantai dapat
menampung pengungsi 300-400 orang per lantai atau total 600-800 orang di dua
lantai, dengan syarat pengungsi tidak membawa banyak barang.
Pada lantai satu seluas 400 m2, lantai dapat digunakan sebagai ruang
evakuasi bencana dan di saat normal dapat difungsikan untuk kegiatan pengajian,
mushala, balai warga RT/RW, perkawinan, atau pentas seni. Lantai ini dilengkapi
fasilitas dapur umum dan toilet bersama. Pada lantai teratas berupa atap rumput
seluas 250 m2.
Fasilitas dapur umum dan toilet bersama dilengkapi panel sel surya untuk
menyuplai kebutuhan energi listrik taman dan dapat ditingkatkan kapasitasnya
untuk rumah tangga, sangat bermanfaat pada saat bencana terjadi ketika aliran
listrik mati total. Sebagian permukaan dinding bangunan taman dapat dipakai
untuk layar pemutaran film cerita atau film penyuluhan warga.
Penyediaan tangga ramp melingkar mengelilingi bangunan taman
dimaksudkan memudahkan proses evakuasi saat bencana, menjadi jogging track
mengelilingi taman, dan berfungsi selasar untuk menampung berbagai kegiatan
anak-anak. Sepanjang tangga ramp dan lantai atas dibatasi bak tanaman sayuran
dan apotek hidup.
Taman dilengkapi tangki air minum, pompa hidran, toilet portabel, papan
petunjuk, alat komunikasi, serta bungker sebagai gudang makanan dan obat-
obatan. Dari 500 m2, sisa lahan seluas 100 m2 ini diisi dengan penanaman pohon
besar berperakaran kuat. Bencana memang tidak bisa diperkirakan dengan tepat,
tetapi upaya mitigasi bencana tetap perlu disiapkan untuk meminimalkan korban
nyawa dan harta (Joga dan Antar, 2007). Salah satu contoh kasusnya adalah taman
evakuasi bencana berikut (Gambar 7).
32
Sumber: Joga dan Antar, (2007)
Gambar 7. Taman Berbasis Bencana di Tengah-Tengah Pemukiman
Menurut Joga dan Antar (2007), pemerintah harus memperbanyak
pembangunan taman lingkungan di permukiman padat bangunan dan padat
penduduk yang sering kali paling dirugikan saat bencana melanda. Berikut adalah
ilustrasi ruang evakuasi dan kegiatan warga (Gambar 8).
Sumber: Joga dan Antar, (2007)
Gambar 8. Gambar Ilustrasi Taman Berbasis Bencana Sumber: Joga dan Antar, (2007)