Download - Bab II. Tinjauan Pustaka 2007mma
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Potong
Temak sapi merupakan temak ruminansia besar yang memiliki kemampuan
tinggi untuk mengubah hijauan yang berkualitas rendah menjadi produk yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia dalam bentuk daging. Temak ini juga dapat
memanfaatkan hasil sampingdimbah pertanian dan industri sebagai pakan pokok
hidup dan produksi (Muljadi et al., 1992). Kegunaan temak dalam kehidupan
petani meliputi antara lain: (a) sebagai sumber tenaga kerja; (b) pengubah hasil
limbah pertanian dan rumput dam; (c) sebagai tabungan dan cadangan uang tunai;
dan (d) sebagai sumber pupuk organik (Natasasmita dan Mudikdjo, 1980).
Pemilihan suatu bangsa sapi menurut Blakely (1985), tergantung pada
kesukaan petemak, keadaan lingkungan, kemampuan adaptasi, efisiensi produksi,
kemampuan memelihara dan menyusui anak, ukuran badan, pertambahan berat
badan, dan sifat-sifat lain yang cocok dengan keinginan petemak yang
bersangkutan. Jenis sapi yang dipelihara dan sudah lama ada di Indonesia serta
sudah dianggap sebagai sapi lokal adalah sapi Bali (termasuk Bos indicus), sapi
Ongole (Bos indicus) serta Peranakan Ongole (PO), sapi Madura, sapi Jawa, sapi
Sumatera dan sapi Aceh yang semuanya dianggap sebagai k e t m a n sapi Bos
sondaicus dan Bos indicus. Di antara bangsa sapi yang besar populasinya adalah
sapi Bali, sapi Ongole serta Peranakan OngoIe dan sapi Madura (Natasasmita dan
Mudikdjo, 1980).
Faktor iklim sebagai salah satu faktor lingkungan memiliki pengaruh besar
terhadap kehidupan temak sapi potong. Menurut Sugeng (1998) faktor lingkungan
tersebut meliputi: suhu, kelembaban, curah hujan. Faktor lingkungan yang tidak
sesuai akan mejadi beban berat bagi kehidupan sapi. Sifat iklim di daerah tropis di
Indonesia tergolong panas dan lembab ditandai oleh kelembaban udara rata-rata di
atas 60%, curah hujan rata-rata di atas 1.800 d t a h u n dan perbedaan antara suhu
siang dan malarn hari tidak begitu mencolok yakni sekitar 2-5°C.
Temperature humidity index (THI) merupakan faktor yang mempengaruhi
produksi dan perkembangbiakan sapi. Temperature humidity index (THI) yang
juga dikenal sebagai indeks kegelisahan adalah indeks yang menentukan efek
lingkungan terhadap kenyamanan suatu makhluk hidup yang mengkombinasikan
temperatur dan kelembaban (AMS, 2006). Faktor THI berhubungan dengan
kemampuan sapi potong dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya
sehingga dapat mengganggu produksi. Amundson et al. (2006) mengungkapkan
pengaruh lingkungan terhadap tingkat kebuntingan pada sapi potong diiana
untuk hari ke 0-60 periode breeding, nilai THI optimum adalah 68,O sedangkan
ambang batas THI di mana sapi akan beradaptasi adalah 72,9. Pengurangan
tingkat kebuntingan kemungkinan besar ketika rata-raia THI sama atau melebihi
dan 72,9. Selanjjutnya, Berman (2005) menyatakan, temperature humidity index
(THI) digunakan untuk menaksir tekanan (stress) yang berkaitan dengan panas
termasuk sensasi kenyamanan dengan lingkungan berbeda yakni kelembaban
udara dan temperatur pada kecepatan udara rendah . Ketersediaan air harus diperlctungkan dalam usaha petemakan sapi potong.
Sapi yang kekurangan air menyebabkan aktivitas sel-sel tubuhnya akan terganggu
sehingga tubuh sakit dan perturnbuhannya akan terganggu. Kebutuhan air bagi
tiap ekor sapi dewasa diperhitungkan rata-rata 40 liter sehari dan dalam kondisi di
padang penggembalaan diusahakan jarak untuk mencapai sumber air tidak lebih
dari 1,6 km agar sapi tidak terlalu letih.
Evaluasi Sumberdaya Lahan
Lahan mempakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang mencakup
pengertian lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan
vegetasi dimana faktor-faktor tersebut secara potensial akan berpengaruh terhadap
penggunaannya (FAO, 1976). Lahanddam pengertian yang lebih luas termasuk
yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna dan manusia baik
dimasa lalu maupun saat sekarang.
Evaluasi lahan mempakan penilaian keragaan (performance) lahan bila
digunakan untuk tujuan yang spesifik. Hal ini termasuk pelaksanaan dan
interpretasi dari survei dasar seperti ikli i , tanah, vegetasi dan aspek-aspek
lainnya dari lahai~ dalam hal persyaratan dari bentuk-bentuk 'pilihan dari
penggunaan lahan (FAO, 1976). Agar bernilai dalam perencanaan, cakupan
penggunaan lahan yang dipertimbangkan hams dibatasi hanya bagi yang relevan
dalam konteks fisik, ekonomi dan sosial daerah yang dipertimbangkan dan
perbandingannya h a s mengikutsertakan pula pertimbangan ekonomi.
Djaenuddin et al. (2003a) mengemukakan bahwa evaluasi lahan adalah
proses dalam menduga kelas kesesuaian lahan dan potensi lahan untuk
penggunaan tertentu, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Kelas
kesesuaian lahan suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada
dasamya ditentukan oleh kecocokan sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim,
tanah, terrain mencakup lereng, topografirelief, batuan di permukaan dan di
dalam penampang tanah serta singkapan batuan (rock outcrop), hidrologi, dan
persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan turnbuh tanaman. Kecocokan
antara sifat fisik lingkungan dari suatu wilayah dengan persyaratan penggunaan
atau komoditas yang dievaluasi memberikan gambaran atau informasi bahwa
lahan tersebut potensial dikembangkan untuk komoditas tersebut. Hal ini
memberikan pengertian bahwa jika lahan tersebut digunakan untuk penggunaan
tertentu dengan mempertimbangkan berbagai asumsi mencakup masukan yang
diperlukan, akan mampu memberikan hasil (keluaran) sesuai yang diharapkan.
Evaluasi lahan perlu untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan untuk
penggunaan tertentu. Pada dasamya evaluasi sumberdaya lahan membutuhkan
keterangan-keterangan yang menyangkut 3 (tiga) aspek utama, yaitu: lahan,
penggunaan lahan dan ekonomis. Data tentang lahan dapat diperoleh dari kegiatan
survey tanah. FA0 (1976) menyatakan bahwa satuan peta lahan dalam survey
biasanya digambarkan dengan sifat lahan. Sifat lahan yang diidentifikasi dan
diinterpretasi antara lain: landform, litologi, relief dan lereng, tingkat torehan,
elevasi, pola drainase, dan landuse yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Landform atau bentuk permukaan bumi adalah bentukan alam mengenai
permukaan bumi yang terjadi melalui serangkaian proses yang disebut proses
geomorfii (geomorphic process). Landform mempunyai hubungan erat dengan
fisiografi, litologi, topografi, mineralogi, tanah dan lain-lain. Dengan demikian
dalam penelitian tanah, khususnya survei tanah, pemahaman dan penelaahan
fisiografi dan landform sangat penting. Satuan fisiografilandform merupakan
salah satu faktor atau unsur pembeda satuan peta tanah (SPT).
Litologi atau bahan induk adalah massa lunak bersusunan anorganik atau
organik yang menjadi awal pembentukan tanah. Bahan induk bersusunan an-
organik berasal dari pelapukan batuan induk sedangkan bahan induk bersusunan
organik berasal dari bahan induk organik. Informasi geologi dan pengetahuan
tentang litologi setempat bertujuan menentukan penetapan nama bahan induk dan
sifat-sifatnya. Bahan induk dibedakan dalarn dua grup yaitu bahan lepasnunak dan
bahan kukuh. Bahan lepasl lunak sebagian besar berbahan sedimen atau bahan
lapukan yang terdapat di atas batuan keras. Sedangkan bahan kukuh berupa
batuan yang keras seperti batuan beku serta sebagian batuan sedimen dan
metamorfik.
Tingkat torehan, diindikasikan dengan kerapatan drainase (drainage
density) atau kerapatan lembah (valley density). Informasi tentang tingkat torehan
bertujuan menentukan tingkat erosi yang telah terjadi, baik pada masa lampau
maupun pada masa sekarang. Informasi ini dapat diperoleh dari hasil interpretasi
peta rupabumi, foto udara atau citra lainnya dan dari pengamatan lapangan.
Relief dan lereng, me~pakan aspek topografi yang berguna untuk
mengetahui bentuk wilayah &bat adanya perbedaan ketinggian alami ataupun
buatan dan besarnya lereng yang dominan, misalnya bentuk wilayah datar sampai
agak datar mempunyai kelerengan 0-3% dengan perbedaan tinggi <5 meter,
berombak mempunyai kelerengan 3-8% dengan perbedaan ketinggian 5-15 meter,
dan seterusnya.
Elevasi, menyatakan ketinggian tempat dari permukaan laut (diiyatakan
dalam meter). Data ketinggian ini dapat diperoleh dari hasil pengukman langsung
dengan altimeter, Global Positioning System (GPS) atau data yang ada pada peta
rupa bumi/topogrd.
Drainase dan pola drainase. Drainase menyatakan mudah tidaknya air
hilang dar tanah. Berdasarkan klas drainasenya, tanah dibedakan menjadi klas
drainase terhambat (tergenang) sampai sangat cepat (air sangat cepat hilang dari
tanah. Pola drainase adalah bentukan jaringan sungai dan-anak-anak sungai yang
bempa alur-alur, proses dan bentukannya sangat dipengaruhi oleh jenis batuan
induk yang menyusun suatu lanskap. Pola drainase dapat diintepretasi dari peta
rupabumi, foto udara dan citra landsat. Beberapa pola drainase seperti, radial (di
daerah kerucut volkan muda), braided (daerah yang mempunyai aliran sungai
deras karena lereng curam seperti pegunungan, kipas aluvial), dendritik (daerah
datar-bergelombang dari batuan induk homogen dan tidak kukuh (tuf volkan,
batuliat), dan lain-lain.
Landuse atau penggunaan lahan, secara umum dipengaruhi oleh keadaan
tanah dan ketersediaan air. Tipe penggunaan lahan atau Land Utilization Types
(LUT) yang dapat dikembangkan disuatu wilayah akan sangat ditentukan oleh
keadaan sifat tanah dan fisik lmgkungannya. Kriteria utama yang digunakan
dalam menentukan klasifikasi penggunaan lahan dan vegetasi diutamakan pada
jenis dan vegetasi permanen yang terdapat di daerah bersangkutan. informasi ini
bertujuan mendapatkan gambaran tentang keadaan penggunaan lahan yang telah
ada pada saat kegitan dilakukan (present landuse).
Karakteristik dan Kualitas Lahan
Karakteristik lahan adalah sifat atau atribut lahan yang dapat diukurl
diestimasi, contohnya: sudut lereng, curah hujan, tekstur tanah, kapasitas air
tersedia, biomassa vegetasi dan sebagainya (FAO, 1976). Setiap satuan peta
lahanftanah yang dihasilkan dari kegiatan survei atau pemetaan sumberdaya lahan,
karakteristiknya dirinci dan diuraikan yang mencakup keadaan fisik lingkungan
dan tanahnya. Data tersebut digunakan untuk keperluan interpretasi dan evaluasi
lahan bagi komoditas tertentu.
Setiap karakteristik lahan yang digunakan secara langsung dalam evaluasi
biasanya mempunyai interaksi satu sama lain. Karenanya FA0 (1976)
mengemukakan bahwa dalam interpretasi perlu mempertimbangkan atau
memperbdmgkan antara lahan dengan penggunaan lahan hendaknya
menggunakan kualitas lahan. Namun dalam praktek, karakteristik lahan sering
juga digunakan dalam evaluasi lahan.
Kualitas lahan (land quality) adalah sifat-sifat atau atribut yang bersifat
kompleks dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan
(performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan
tertentu. Kualitas lahan ada yang bisa diestirnasi atau diukur secara langsung di
lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan dari karakteristik lahan (FAO, 1976).
Kualitas lahan kemungkiian berperan positif dan negatif terhadap penggunaan
lahan tergantung dari sifat-sifatnya. Kualitas lahan yang berperan positif adalah
sifatnya menguntungkan bagi suatu penggunaan, sebaliknya kualitas lahan yang
bersifat negatif karena keberadaannya akan merugikan (merupakan kendala)
terhadap penggunaan tertentu, sehingga merupakan faktor penghambat atau
pembatas. Kenyataan menunjukkan bahwa kualitas lahan yang sama bisa
berpengaruh terhadap lebih dari satu penggunaan. Demikian pula satu jenis
penggunaan lahan tertentu akan dipengaruhi oleh berbagai kualitas lahan.
Contoh kualitas lahan untuk produksi temak, menurut FA0 (1976) dalam
Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) meliputi:
Semua kualitas lahan yang mempengaruhi pertumbuhan tanamanihijauanl
rumput temak, antara lain: ketersediaan air, ketersediaan hara, ketersediaan
oksigen di perakaran, daya memegang unsur hara, kondisi untuk
perkecambahan, mudah tidaknya diolah, kadar gararn, WUI-unsur beracun,
kepekaan erosi, hama dan, penyakit tanaman, bahaya banjir, suhu, sinar
matahari dan periode fotosintesis, iklim, kelembaban udara dan masa kering
untuk pematangan tanaman.
* Kesulitan-kesulitan Hi yang mempengamhi tern&,
* Ketersediaan air minum untuk temak
* Penyakit-penyakit tern&,
Nilai nutrisi dari rumput;
Sifat racun dari rumput;
* Ketahanan terhadap kerusakan rumput;
* Ketahanan terhadap erosi akibat penggembalaan;
Menurut Djaenudin et al. (2003a), karena jumlah karakteristik lahan cukt~p
banyak maka untuk kepentingan evaluasi lahan bisa dipilih dan ditentukan sesuai
dengan keperluan dan kondisi lokal di wilayah yang akan dievaluasi. Untuk
evaluasi lahan pada skala kecil (tingkat tinjau skala 1:250.000) dengan skala besar
(tingkat detil skala 1: 10.000) perlu dipertimbangkan mengenai jumlah dan macam
kualitas serta karakteristik lahan sebagai parameter yang akan digunakan. Sebagai
contoh, parameter untuk evaluasi lahan yang digunakan pada tingkat tinjau, tentu
lebih sederhana dibandingkan dengan untuk tingkat detil karena berkaitan dengan
ketersediaan dan kualitas data pada masing-masing tingkat pemetaan tanah
tersebut.
Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah kecocokan dari suatu tipe lahan tertentu bagi
penggunaan yang direncanakan (FAO, 1976). Sebagai contoh, lahan sesuai untuk
irigasi, tambak, pertanian tanaman semusim, tanaman hijauan pakan ternak, dan
lain-lain. Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan dapat ditinjau dari sifat-sifat fisik
lingkungannya, yang terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan atau
drainase yang sesuai untuk suatu usahatani atau komoditas tertentu yang produktif.
Menurut Djaenudi et al. (2003a), dalam menilai kesesuaian lahan ada
beberapa cara, antara lain: dengan perkalian parameter, penjumlahan, atau
menggunakan hukum minimum y a h memperbandingkan (matching) antara
kualitasl karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian
lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan
tumbuh tanaman atau komoditas lainnya yang dievaluasi.
Proses klasifikasi kesesuaian lahan adalah penilaian dan pengelompokan
lahan dari area tertentu dengan menentukan kesesuaiannya bagi penggunaan
tertentu. Penilaian kesesuaian lahan tersebut dibedakan menurut kategori sebagai
berikut (FAO, 1976):
Ordo. Kelas kesesuaian lahan menunjukkan apakah lahan dinilai sebagai
sesuai (S) atau tidak sesuai (N) bagi penggunaan yang dipertimbangkan. Ordo S
mempakan lahan dimana penggunaan yang lestari dengan jenis yang
dipertimbangkan diharapkan akan menghasilkan keuntungan yang mendukung
pemberian input, tanpa resiko kemsakan yang tidak dapat diterima terhadap
sumberdaya lahan. Ordo N merupakan lahan yang mempunyai kualitas yang tidak
memungkinkan penggunaan yang lestari dalam bentuk penggunaan yang
dipertimbangkan.
Kelas. Kelas mencerminkan derajat kesesuaian. Umtan kelas diyatakan
dengan angka, yang makin rendah kesesuaiannya makin besar angkanya pada
suatu order. Tingkatan kelas kesesuaian lahan adalah:
- Kelas S1 (san~at sesuai): Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang
berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor
pembatas yang bersifat minor dan tidak akan mereduksi produktivitas lahan
secara nyata
- Kelas S2 (cukuu sesuai]: Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor
pembatas ini berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan
input (masukan). Pembatas tersebut biasanya dapat di atas oleh petani sendiri.
- Kelas S3 (sesuai marginal): Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat,
dan faktor pembatas ini berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan
tambahan input yang lebii banyak daripada lahan yang tergolohg S2. Untuk
mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu
adanya bantuan atau campur tangan pemerintah atau pihak swash
- Kelas N1 (tidak sesuai pada saat ini). Lahan yang mempunyai faktor pembatas
yang berat tetapi masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki
dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas
sedemikian besamya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari
dalam jangka panjang.
- Kelas N2 (tidak sesuai selamanya). W a n yang mempunyai faktor pembatas
pemlanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari
dalam jangka panjang.
Subkelas. Subkelas mencerminkan macam hambatan, misalnya kelembaban,
bahaya erosi, dan lain-lain. Subkelas dinyatakan dengan humf kecil, misalnya
S2n1, S2e, S3me, dimana m = moisture (kelembaban); e = erosion (erosi). Pada
kelas S1 tidak ada subkelas.
Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Ternak Ruminansia
Faktor sumberdaya lahan berkaitan sangat erat dengan usaha pengembangm
tenlak rrrminnnsin, sebagai tempat hidup dan sebagai penghasil hijauan pakan
temak. Menurut Suratrnan el al. (198) Wasarkan kehutuhan lahan, txsaha
pctcrnakan dapat dibedakan nlenjadi dua, yaitu: usaha petemakan yang berbasis
Iahan dan usaha petemakan yang tidak behasis 1ah.m. Menrmrt Dinktomt
Jeiidcral Pctcnakan dan Balai Pcnelitian Temak (1995), pemanfaatan lahan untuk
peternakan didasarkan pada posisi bahwa: (a) lahan adalah sumber pakan untuk
ternak (b) semua jenis lahan cocok sebagai sumber pakan (c) pemanfaatan lahan
untuk peternakan diartikan sebagai usaha penyerasian antara peruntukan lahan
dengan sistem pertanian, (d) hubungan antara lahan dengan ternak bersifat
dinamis.
Dalam usaha peningkatan produksi, terdapat hubungan segitiga antara lahan
dengan ternak dan hijauan makanan ternak yang merupakan satu kesatuan organis
yang tak terpisahkan dalam usaha tani. Bila salah satu tidak ada maka produksi
yang dihasikan tidak akan memuaskan dan mungkin akan menyebabkan
kegagalan dalam usaha (Susetyo, 1980). Jenis penggunaan l a h k yang dapat
dimanfaatkan oleh peternak antara lain: lahan sawah, tegalan, padang
penggembalaan, dan lahan perkebunan dengan tingkat kepadatan tergantung pada
keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air, jenis sapi potong yang
dipelihara. Lahan-lahan tersebut memungkinkan pengembangan pola integrasi
ternak-tanaman yang mempakan proses yang saling menunjag dan saling
menguntungkan melalui pemanfaatan tenaga sapi untuk mengolah tanah dan
kotoran sapi untuk pupuk organik sementara lahan sawah dan ladang
menghasilkan l i b a h unsuk pakan ternak seperti jerami padi, jagung dan kacang-
kacangan. Pola integrasi ini diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan pakan
ternak, sedangkan kebun dan hutan memberikan sumbangan rumput lapaugan dan
jenis tanaman lain. Pemanfaatan pola integrasi ini diiarapkan dapat meningkatkan
ketersediaan pakan sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produksi dan
produktivitas ternak (Ryadi, 2004)
Kelompok ternak ruminansia lebih banyak terpaut pada sumberdaya lahan
dibandingkan dengan kelompok unggas yang pasokan input produksinya dapat
b e d dari luar wilayah bersangkutan sepanjang sarana transportasi dan
pendukung tersedia dengan baik (Lembaga Penelitian IPB, 2001). Lebii lanjut
dinyatakan bahwa penyebaran temak mrninmia akan lebih baik kalau didasarkan
atas faktor-faktor sumberdaya lahan (seperti pola penggunaan lahanlkapasitas
tampung ternak) dan ketersediaan sumberdaya manusia khususnya tenaga keja
pertanian.
Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1980), untuk memperhitungkan potensi
suatu wilayah untuk mengembangkan temak secara teknik, maka perlu dilihat
populasi temak yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi
makanan ternak yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Untuk
memperhitungkan potensi wilayah mtuk produksi ternak herbivora @emakan
hijauan) maka perhitungan kepadatan temak teknis yang diperlukan adalah jurnlah
satuan temak (ST) temak herbivora saja. Semakin rendah angka kepadatan
teknisnya, maka berarti kemungkinan wilayah tersebut mempunyai potensi yang
tinggi untuk pengembangan temak. Dari angka kepadatan teknis maka akan
didapatkan gambaran kasar tentang potensi suatu wilayah untuk pdngembangan
temak. Potensi yang sesungguhnya akan ditentukan oleh tingkat produksi hijauan
makanan temak di wilayah bersangkutan. Kemampuan produksi hijauan makanan
temak akan bergantung kepada: (1) Derajat kesuburan tanah, (2) Iklim, (3)
Tataguna tanah, dan (4). Topografi. Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk
memperhitungkan potensi yang sesungguhnya, maka hanya tanah-tanah yang
potensial untuk menghasilkan hijauan makanan ternak saja yang diperhitungkan,
misalnya tanah pertanian, perkebunan, padang penggembalaan dan sebahagian
dari kehutanan.
Hijauan Makanan Ternak
Hijauan makanan temak (Hh4T) merupakan semua bahan yang berasal
dari tanaman dalam bentuk dam-daunan. Kelompok hijauan makanan temak
meliputi bangsa rumput (gramineae), leguminosa, dan hijauan dari tumbuhan lain
seperti daun nangka, waru, dan lain-lain. Hijauan sebagai bahan makanan temak
dapat diberikan dalam dua macam bentuk, yaitu hijauan segar dan hijauan kering.
Hijauan segar berasal dari hijauan segar seperti rumput segar, leguminosa segar
dan silase, sedangkan hijaun kering berasal dari hijauan yang sengaja diieringkan
(hay) ataupun jerarni kering (AAK, 2005).
Khususnya di Indonesia, bahan hijauan memegang peranan penting karena
diberikan dalam jumlah besar. Temak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing
dan domba yang diberi hijauan sebagai bahan tunggal, masih dapat
mempertahankan hidupnya dan mampu tumbuh baik dan berkembang biak (AAK,
2005). Bulo (2004) menyatakan, dalam pengembangan temak ruminansia di
Indonesia, hijauan makanan temak adalah faktor yang sangat penting dengan
komposisi yang terbesar yakni 70-80% dari total biaya pemeliharaan.
Menurut Reksohadiprojo 1984, jenis tanaman budidaya maupun alami
yang m u m dipergunakan sebagai hijauan makanan temak terdii atas: (1) jenis
rumput-rumputan (gramineae); (2) peperduan/semak (herba); dan (3) pepohonan.
Ada banyak pilihan tersedia bagi spesies hijauan yang berpotensi tinggi,
diantaranya adalah: (a) rumput aladapangan antara lain, rumput para
(Brachiaria mutica), rumput benggala (Panicum maximum), rumput kolonjono
(Panicum muticum), rumput buflel (Cenchrus ciliaris) dan lain-lain; @) peperduan,
baik berupa legum seperti kacang gude (Cajanus cajan), komak (Dolochos lablab)
dan lain-lain; dan peperduan lainnya dari limbah tanaman pangan pertanian antara
lain: jerami padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi jalar, daun ubi kayu dan lain-
lain; (c) legum pohon antara lain: sengon laut (Albazia falcataria), lamtoro
(Leucaena leucocephala), kaliandra (Calliandra calothyrsus), turi (Sesbania sp)
dan lainlain. Menurut Manurung (1996), hijauan leguminosa mempakan sumber
protein yang penting untuk temak ruminansia. Keberadaannya dalam ransum
temak akan meningkatkan kualitas pakan.
Limbah Pertanian adalah hasil ikutan dari pengolahan tanaman pangan
yang produksinya sangat tergantung pada jenis dan jumlah areal penanaman atau
pola tanam dari tanaman pangan disuatu wilayah (Makkar, 2002). Menurut
Natasasmita dan Mudikdjo (1980) produksi l i ibah pertanian yang dapat
dimanfaatkan sebagai hijauan makanan ternak akan sangat tergantung kepada tata
guna tanah dan pola pertaniannya. Beberapa macam jenis liibah pertanian yang
dapat diianfaatkan antara lain: jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah,
pucuk tebu, dan lain-lain. Hasil limbah tanaman palawija pada umumnya bernilai
gizi lebih tinggi daripada jerami padi atau jerami jagung. Pemanfaatan limbah
pertanian untuk temak tersebut akan mendukung integrasi usaha peternakan
dengan usaha pertanian baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan.
Menurut Preston dan Willis (1974), pemberian limbah padi pada ransum
sapi penggemukan sangat menentukan dalam p e r t a m b b bobot badan dan
efisiensi penggunaan pakan. Untuk menggantikan sebagian pakan konsentrat,
dapat digunakan tanaman leguminosa, dengan perbandingan 75 persen konsentrat
dan 25 persen leguminosa (Nasrullah et al., 1996). Cara ini selain dapat
meningkatkan kualitas ransum, juga akan memberikan keuntungan, terutama pada
penggemukan sapi lokal.
Batubara et al. (2002) mengatakan sebahagian besar daerah petemakan
ruminansia (sapi, kerbau, domba dan kambing) di Asia Tenggara memanfaatkan
limbah pertanian (crop residue) seperti jerami pa&, jerami jagung dan pucuk tebu
untuk pakan temak pada musim kering. Demikian pula di daerah pertanian
tanaman pangan yang intensif diiana sumber hijauan pakan temak ruminansia
sangat terbatas, sehingga limbah tanaman pangan mempakan altematif
yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung produksi temak ruminansia.
Produksi limbah pertanian dapat diestimasi berdasarkan asumsi dari
perbandingan antara produk utama dengan limbahnya. OIeh karena itu, estimasi
produksi limbah pertanian dapat menunjukkan perbedaan yang disebabkan oleh
perbedaan angka konversi (rasio) yang digunakan. Produksi limbah pertanian
disuatu wilayah, dapat diperkirakan berdasarkan luas areal panen dari tanaman
pangan tersebut (Jayasuriya, 2002).
Daya Dukung Hijauan Makanan Ternak
Daya dukung digunakan sebagai b a n dari jumlah individu dari spesies
yang dapat didukung oleh lingkungan tertentu. Secara mum, daya dukung
berkaitan dengan produktifitas ekosistem. Daya dukung sifatnya tidak tetap, daya
dukung bervariasi bergantung pada faktor dam seperti fluktuasi cuaca dan iklim,
dan ini juga secara kontinyu dimodifikasi oleh kegiatiin manusia dan level
teknologi. (Conant, 1983). Daya ddcmg dapat digunakan sebagai alat dalam suatu
kegiatan pembangunan berkelanjutan.
Pengertian daya dukung sudah diienal di kalangan pakar biologi, petemak
sapi dan pengelola satwa liar. Pada spesies hewan, daya dukung dapat
didefinisikan sebagai populasi maksirnum yang dapat didukung dalam suatu
habitat (Khanna et al., 1999).
Produktifitas suatu daerah dalam penyediaan hijauan makanan temak
mempakan salah satu faktor dalam menentukan besarnya daya dukung wilayah
terhadap temak yang dipelihara khususnya sapi potong. Daya dukung atau daya
tampung temak ruminansia dalam suatu wilayah menunjukkan populasi
maksimum suatu jenis ternak ruminansia yang bisa ditopang di wilayah tersebut
berkenaan dengan kemampuan wilayah dalam menyediakan pakan hijauan.
Populasi temak suatu wilayah yang sudah melebihi daya tampungnya
menunjukkan adanya kebutuhan introduksi teknologi untuk meningkatkan
produktifitas wilayah dalam memproduksi pakan hijauan. Daya tampung ternak
ditentukan melalui perhitungan luas dan daya tampung masing-masing jenis
penggunaan lahan. (Lembaga Penelitian IPB, 200 1).
Menurut Sumanto dan Juarini (2006), daya dukung hijauan makanan
ternak adalah kemampuan suatu wilayah menghasilkan pakan terutama hijauan
yang dapat menampung kebutuhan bagi sejumlah populasi ternak ruminansia
dalam bentuk segar maupun kering tanpa melalui pengolahan dan tanpa tambahan
khusus. Nilai daya dukung tersebut diperoleh dari total hijauan pakan tercerna
yang tersedia dibagi jumlah kebutuhan pakan tercerna sejumlah populasi ternak di
wilayah tersebut. Daya dukung hijauan dihitung berdasarkan kebutuhan 1 satuan
temak (ST) sapi potong dalam satu tahun, C i a kebutuhan pakan = populasi
temak (ST) x 1,14 ton Berat Kering Cerna (BKC)/tahun (umumnya ST dewasa =
250 kg).
Produksi hijauan merupakan produksi relatif untuk masing-masing kelas
kesesuaian yang dikuantifikasikan dalam bentuk perkiraan persentase
produktifitas terhadap tingkat produktifitas maksirnum dengan selang dimana S1
= 80-loo%, S2 = 60-SO%, S3 = 41-60% dari produksi rata-rata masing-masing
hijauan atau daya dukung lahan, sedangkan kelas N tidak diperhitungkan
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).
Indeks Daya dukung (IDD) merupakan perbandingan antara total produksi
hijauan pakan temak dengan kebutuhan ternak ruminansia yang ada pada suatu
wilayah. Nilai indeks ini memberikan gambaran apakah suatu jenis hijauan
makanan temak cukup atau tidak dalam memenuhi kebutuhan ternak pada suatu /
wilayah. Indeks daya dukung hijauan makanan ternak d i t u n g dari total pakan
dari masing-masing limbah pertanian yang tersedia terhadap jumlah kebutuhan
pakan bagi sejumlah populasi ternak di wilayah tersebut. Menurut Sumanto dan
Juarini (2006), IDD mempunyai 4 (empat) kriteria yaitu: (1) wilayah sangat kritis,
dengan IDD 5 1; (2) wilayah kritis, dengan IDD >1-2; (3) wilayah rawan, dengan
IDD > 1,5-2; dan (4) wilayah aman, dengan IDD > 2. Masing-masing nilai IDD
tersebut mempunyai makna sebagai berikut:
Nilai 5 1 : Temak tidak mempunyai pilihan dalam memanfaatkan sumber
yang tersedia, terjadi pengurasan sumberdaya dalam agro-
ekosistemnya, d m tidak ada hijauan alami maupun limbah
yang kembali melakukan siklus haranya;
Nilai 21- 1,5 : Temak telah mempunyai pilihan untuk memanfaatkan
sumberdaya tetapi belum terpenuhi aspek konsewasi;
Nilai > 1,5 - 2 : Pengembangan bahan organik ke alam pas-pasan;
Nilai > 2 : Ketersediaan sumberdaya pakan secara fimgsional mencukupi
kebutuhan lingkungan secara efisien.
Pola Pengembangan dan Bentuk Usaha Sapi Potong
Menurut Yusdja dan Ilham (2004), Indonesia memiliki tiga pola
pengembangan sapi potong rakyat dimana ketiga pola ini dapat diembangkan
pada suatu daerah berdasarkan potensi sumberdaya lahan dan pakan. Pertama,
pengembangan sapi potong yang tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan
usaha pertanian terutama sawah dan ladang. Artinya disetiap wilayah persawahan
dan perladangan yang luas maka di sana banyak ditemukan temak sapi. Petemak
memelihara sapi dengan tujuan sebagai sumber tenaga keja terutarna pengolahan
tanah dan penarik barang. Oleh karena itu pertumbuhan pertanian akan
mendongkrak pertumbuhan jumlah sapi. Pada sisi lain, perkembangan usaha
pertanian berhubungan erat dengan perkembangan penduduk. Penduduk akan
semakin padat di wilayah yang mempunyai lahan yang subur. Keadaan ini
menciptakan struktur usaha petemakan berskala kecil. Pola kedua, adalah
pengembangan sapi yang tidak terkait dengan pengembangan usaha pertanian.
Pola ini te jadi di wilayah yang tidak subur, sulit air, temperatur tinggi, dan sangat
jarang penduduk seperti NIT, NTB dan sebagian Sulawesi. Pada umumnya, pada
wilayah seperti ini terdapat padang-padang yang luas yang tidak dapat digunakan
sebagai lahan pertanian. Pola ketiga adalah pengembangan usaha penggemukan
sapi potong yang benar-benar padat modal, dalam usaha skala besar, namun usaha
ini hanya terbatas pada pembesaran sapi bakalan menjadi sapi potong. Perusahaan
penggemukan ini yang dikenal dengan feedlotiers menggunakan sapi bakalan
impor untuk usaha penggemukan. Menurut Sugeng (1998), mengingat kondisi
Indonesia yang mempakan negara agraris maka sektor pertanian tidak dapat
terlepas dari berbagai sektor yang lain diantaranya sub sektor petemakan. Faktor
pertanian dan penyebaran penduduk di Indonesia ini menentukan penyebaran
usaha temak sapi. Masyarakat petemak yang bermata pencaharian bertani tidak
bisa lepas dari usaha temak sapi, baik untuk tenaga, pupuk dan sebagainya
sehingga maju berarti rnenunjang produksi pakan ternak bempa hijauan, hasil
ikutan pertanian berupa biji-bijian atau pakan penguat.
Untuk membuat strategi pengembangan temak ruminansia sesuai dengan
karakteristik dan potensi lahannya, menurut Suratman et al. (1998) pola
pengembangan peternakan dapat mengacu pada pola sebagai berikut:
- IntensiJikasi/diversiJikasi: pengembangan petemakan dilakukan secara intensif,
temak dikandangkan atau digembalakan secara terkendali, diaritkan, disuplai
pakan. Umumnya pola ini dilakukan bersamaan dengan usaha pertanian
lainnya, temak digembalakan bergiliran dengan lahan- tanaman pangan atau
bersamaan disatu lahan yang sama (bagi tanaman yang tidak mudah terganggu
oleh temak);
- Ektens@kasi: pola pengembangan ternak dengan cara digembalakan pada
lahan yang bukan sebagai lahan usaha budidaya pertanian.
Sedangkan bentuk usaha petemakan di Indonesia menurut Natasasmita dan
Mudikdjo (1980) pada umumnya dilakukan secara tradisional yang ditandai
dengan: (1) motivasinya berhubungan dengan kedudukan sosial, agruna, sebagai
kesenangan (hobby), sebagai tabungan atau sehubungan dengan usaha
pertaniannya, yaitu sebagai sumber tenaga kerja dalam pengolahan lahan atau
sebagai surnber pup&, (2) diusahakan secara kecil-kecilan sebagai usaha
sambilan dan perhitungan rugi laba tidak menonjol; (3) dilakukan dengan
teknologi sederhana.
Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem informasi geografis (SIG) dapat diartikan secara harafiah sebagai
suatu komponen yang terdiri atas perangkat keras, pemngkat lunak, data geografis
dan surnberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap,
menyimpan, memperbaiki, memperbahami, mengelola, memanipulasi,
mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan data dalam suatu informasi
berbasis geografis (F'untodewo et al., 2003). Secara spesifik SIG didefinisikan
sebagai suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk
menangani data yang bereferensi geografi yang mencakup (a) pemasukan, @)
manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan lagi), (c) manipulasi dan
analisis, dan (d) pengembangan produk dan pencetakan (Aronoff, 1989 dalam
Barus d m Wiradisastra, 2000).
Berdasarkan operasinya, Sistem informasi geografi dapat dibedakan menjadi
dua kelompok yaitu: (1) SIG secara manual, dan (2) SIG secara terkomputer atau
SIG otomatis. SIG manual beroperasi memanfaatkan peta cetak (kern/
transparan), bersifat data analog dan biasanya terdii atas beberapa unsur data
termasuk peta-peta, lembar material transparansi untuk tumpang tindii, foto u d ~ a
dan foto lapangan, laporan-laporan statistik dan laporan-laporan survei lapangan.
Sedangkan SIG terkomputer beroperasi sudah dengan menggunakan komputer
sehingga datanya merupakan data dijital namun memerlukan peralatan-peralatan
khusus yang membutuhkan keterarnpilan khusus pula dan membutuhkan biaya
yang besar terutama pada tahap awal pembentukannya. Keuntungan SIG otomatis
dibandingkan dengan SIG manual adalah pada tahap analisis dari penggunaan
data yang berulang-ulang, kompleks dan menggunakan data yang sangat besar
jumlahnya (Barus dan Wiradisastra, 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa, salah
satu contoh penggunaan SIG manual adalah dalam perencanaan penggunaan lahan
seperti perencanaan penentuan wilayah pengembangan komoditas tertentu dalam
proses evaluasi kesesuaian lahan yakni dengan membandingkan antara kualitas
lahan dengan persyaratan turnbuh komoditas yang bersangkutan (crop
requirement). Data sumberdaya lahan yang diperlukan adalah (1) data iklim
(curah hujan, regim kelembaban, dll.), (2) data tanah, terutama sifat-sifat tanah
yang relevan dengan keperluan tanaman, (3) data penggunaan lahan, (4) data
peruntukan lahan, dan (5) data sosial ekonomi.
Wiradisastra (1989) mengemukakan bahwa sistem informasi sumberdaya
a ld l ahan dikembangkan dengan tujuau agar dalam menjawab kebutuhan
informasi dan analisis dapat lebih fleksibel sehingga kemajuan-kemajuan dan
perubahan-perubahan baru dapat selalu dipertimbangkan untuk meningkatkan
ketelitian dan updating sesuai dengan berkembangnya waktu. Salah satu tujuan
adalah dalam menjawab kebutuhan analisis kelayakan lahan bagi usaha pertanian
dalam hubungan penatagunaan lahan atau evaluasi lahan. Evaluasi lahan adalah
proses yang merupakan penghubung antara sistem infomasi dengan pengguna
informasi yang pada umumnya para perencana.
Sistem infomasi geografis (SIG) mempunyai ciri utarna yakni
kemampuannya mengintegrasikan data, baik yang sejenis maupun gabungan data
spasial seperti data penginderaan jauh dengan data non-spasial (atribut) seperti
data perpustakaan dan data lapangan. Oleh sebab itu, integrasi SIG dengan
teknologi GPS (Global Positioning System) dan inderaja benginderaan jauh)
sebagai surnber input data, akan sangat bemanfaat untuk mendapatkan ha i l yang
lebih baik, akurat dan up to date. Salah satu bentuk data GPS adalah berbentuk
titik tinggi dan koordiiat, yang selanjutnya dapat diinterpolaszkan pada SIG.
Bentuk integrasi SIG dan inderaja misalnya adalah pemanfaatan foto udara atau
citra satelit diiana hasil interpreiasi foto udara atau citra dipindahkan kesuatu
peta. Tahap selanjutnya, peta tersebut dapat didigitasi untuk diiasukkan ke dalam
SIG.
Penginderaan Jauh untuk PenutupadPenggunaan Lahan
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau daerah yang
dikaji. Pada berbagai hal, penginderaan jauh dapat diartikan sebagai suatu proses
membaca. Dengan menggunakan sensor kita mengumpulkan data dari jarak jauh
yang dapat dianalisis untuk medapatkan infomasi tentang objek, daerah atau
fenomena yang diteliti (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Perkembangan teknologi satelit penginderaan jauh dewasa ini
memungkinkan dilakukannya pemetaan sumberdaya aladahan. Untuk maksud
identifikasi dan pemetaan jenis tanaman dari citra Landsat, cara yang paling
efektif adalah dengan mengamati pada dua saluran atau lebii secara bersama-
sarna dengan bantuan alat pengamat wama aditif atau melakukan interpretasi pada
citra paduan wama. Menurut Hanggono (1999), analisis jenis penutupant
penggunaan lahan dilakukan melalui pengolahan citra dengan tahapan yakni: (1)
penyiapan citra asli, dan (2) analisis dan interpretasi citra. Tahap penyiapan
dilakukan ketika akan menggunakan sebuah citra satelit, yakni dengan melakukan
koreksi geometri (akibat pengaruh rotasi dan bentuk bumi, efek panoramik,
perubahan kecepatan dan variasi ketinggian satelit) dan koreksi radiometri, untuk
mengurangi kesalahan perekaman nilai pixel yang diakibatkan adanya pengaruh
azimut matahari dan kondisi atmosfer seperti kabut aerosol, dan sebagainya.
Sedangkan tahap analisis dan interpretasi citra dilakukan dengan klasifikasi dan
interpretasi visual citra. Interpretasi citra secara visual dapat dilakukan dengan dua
metode, yaitu penajaman citra (image enhancement) dan visualisasi dalam warna
semu (color composite). Penajaman citra bertujuan meningkatkan kontras objek-
objek geografis yang tergambar pada citra Sedangkan penampilan dalam
komposisi wama semu, seringkali lebih mempermudah pengenalan objek melalui
perbedaan wama.
Tujuan dari suatu prosedur analisis citra adalah untuk mendapatkan
deskripsi dan kelas penutupan dan penggunaan lahan secara menyeluruh
mengenai lokasi penelitian. Salah satu penerapan yang sering dilakukan adalah
segmentasi atau klasifikasi citra dengan tujuan men&asilkan informasi tutupan
lahan. Klasifikasi citra dilakukan secara terbimbiig (supervised classz~cation)
dengan metode kemiripan maksimum (maximum likehood classification atau
MLC) (Hanggono, 1999).