20
BAB II
KONSEP DAKWAH DAN EKONOMI ISLAM
A. Dakwah Islam
1. Pengertian Dakwah
Kata dakwah berasal dari bahasa Arab dalam bentuk masdar (infinitif)
dari kata kerja fa'ala (فعل ) da'aa ( دعا ) yad'u (يدعو ) dimana kata dakwah
ini sekarang sudah umum dipakai oleh pemakai Bahasa Indonesia, sehingga
menambah perbendaharaan Bahasa Indonesia.
Kata da'wah (دعوة ) secara harfiyah bisa diterjemahkan menjadi:
"seruan, ajakan, panggilan, undangan".17 Moh.Natsir menterjemahkan-nya
dengan: "panggilan".18 Zafry Zamzam menterjemahkan dengan: "Panggilan,
ajakan, atau seruan ke arah tujuan tertentu".19
Mahmud Yunus menterjemahkan kata dakwah dengan: "menyeru,
mengajak, menghasung, menganjurkan dan memanggil".20 Sedangkan Toha
yahya Umar, di samping menterjemahkan dengan kata "ajakan, seruan,
panggilan, undangan", juga menjelaskan bahwa kata yang hampir sama
dengan dakwah ialah penerangan, pendidikan, pengajaran, indoktrinasi dan
17 H. Masdar Helmy, 1970, Problematika Dakwah Islam dan Pedoman Mubaligh,
Semarang, Thoha Putra. hlm.16 18 Moh. Natsir, tth, Dakwah dalam Praktek, Dewan Dakwah Islamiah Indonesia,
Kalimantan Selatan, Banjarmasin, hlm. 56 19 Zafry Zamzam, 1963, Pengantar Ilmu Dakwah Etika, Fakultas Publistik UNISAN,
Banjarmasin, hlm.3 20 H.Mahmud Yunus, 1986, Pedoman Dakwah Islamiyah, Padang Panjang al-Maktabah
Sa’diyah, hlm.5.
21
propaganda".21 Sedangkan menurut ahli bahasa, maka kata dakwah diambil
dan perkataan: ( الدعاءالى شئ ) yang artinya: menyeru/mengajak kepada
sesuatu.22
Dakwah dalam pengertian tersebut dapat dijumpai dalam ayat-ayat
al-Qur’an antara lain Qur’an surat Yunus ayat 25 dan al-Baqarah ayat 221.
Sedangkan orang yang melakukan seruan atau ajakan tersebut disebut da'i
(isim fa'il) artinya orang yang menyeru. Tetapi karena proses memanggil atau
menyeru tersebut juga merupakan suatu proses penyampaian (tabligh) atas
pesan-pesan tertentu maka pelakunya dikenal juga dengan istilah muballigh.
Dengan demikian secara etimologi pengertian dakwah dan tabligh itu
merupakan suatu proses penyampaian (tabligh) pesan-pesan tertentu yang
berupa ajakan atau seruan dengan tujuan agar orang lain memenuhi ajakan
tersebut.
Sedangkan secara terminologi, banyak pendapat tentang definisi
dakwah, antara lain: pendapat Syekh Ali Makhfuz dalam kitabnya Hidayat al-
Mursyidin bahwa dakwah mendorong manusia agar memperbuat kebaikan dan
menurut petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka
dari perbuatan munkar, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan
akherat.23
Sementara Muhammad Natsir menegaskan dakwah adalah usaha
menyeru dan menyampaikan kepada perorangan manusia dan seluruh umat
21 Toha Yahya, 1967, Ilmu Dakwah, Jakarta, Wijaya, hlm.1 22 Salahuddin Sanusi, 1964, Pembahasan Sekitar Prinsip-prinsip Dakwah Islam ,
Semarang, CV.Ramadhani, hlm.1 23 Syekh Ali Makhfuz, Hidayat al-Mursyidin, Terj. Khodijah Nasution,(Yogyakarta, 3A,
1970), hlm. 17
22
tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini yang meliputi amar
makruf nahi munkar, dengan berbagai macam media dan cara yang
diperbolehkan akhlak dan membimbing pengalamannya dalam pri kehidupan
perseorangan, rumah tangga (usrah) bermasyarakat dan bernegara.24
Sedangkan Thoha Yahya Umar mendefinisikan dakwah yakni mengajak
manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan
perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan
akherat.25
Dari berbagai definisi tersebut meskipun nampak adanya perbedaan
dalam perumusan, namun esensinya dapat dipadukan dalam kesimpulan
sebagai berikut, bahwa dakwah adalah mengajak umat manusia dengan hikmat
kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dengan demikian dakwah merupakan bagian yang sangat penting
dalam kehidupan seorang Muslim, di mana intinya berada pada ajakan
dorongan (motivasi, rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk
menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi keuntungan dirinya dan
bukan untuk kepentingan pengajaknya. Jadi berbeda (bertolak belakang)
dengan propaganda.
Di sisi lain, agama Islam sebagai suatu ajaran tidaklah berarti
manakala ia tidak diwujudkan dalam action amaliah. Ini merupakan aspek
konsekuensial dari keberadaan Islam yang bukan semata-mata menyoroti satu
24 Muhammad Natsir, 1971, Fiqh al-Dakwah Dalam Majalah Islam, (Kiblat Jakarta,
1971), hlm. 7 25 Thoha Yahya Umar, 1981, Ilmu Dakwah, (Jakarta, Wijaya), hlm. 1
23
sisi saja dari kehidupan manusia, melainkan menyoroti semua persoalan hidup
manusia secara total dan universal.
2. Dasar-Dasar Hukum Dakwah
Ada pandangan yang menyatakan bahwa dakwah hukumnya fardu 'ain
didasarkan hadits Nabi saw:
ذلكفبقلبه و طعتسي انه فإن لمفبلس طعتسي ده فإن لمبي هريغا فليكرنأى مر نم
)رواه امحد( أضعف الإميان26
Artinya: "Barang siapa di antara kamu melihat kemunkaran, hendaklah merubahnya dengan tangan, jika tidak mampu dengan lisan, jika tidak mampu dengan hati dan itu selemah-lemah daripada iman" (HR. Ahmad).
Kata "man" dalam hadits tersebut adalah kata yang bermakna umum
yang meliputi setiap individu yang mampu untuk merubah kemunkaran
dengan tangan, lisan atau hati, baik itu kemunkaran secara umum atau secara
khusus. Dengan demikian, merubah kemunkaran adalah perintah yang wajib
dilaksanakan sesuai dengan kadar kemampuan. Jika tidak mampu
melaksanakan salah satu dari tiga faktor tersebut maka dosa baginya dan dia
keluar dari predikat iman yang hakiki.
Perintah ini disampaikan Rasulullah kepada umatnya agar mereka
menyampaikan dakwah meskipun hanya satu ayat. Ajakan mi berarti bahwa
26 Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Dar al-Fikr, 1978M/1398H), Juz II, Cet.
Kedua, hlm. 20.
24
setiap invidu wajib menyampaikan dakwah sesuai dengan kadar
kemampuannya.27
Sementara itu, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hukum
dakwah adalah wajib kifayah. Apabila dakwah sudah dilakukan oleh
sekelompok atau sebagian orang maka gugurlah segala kewajiban dakwah atas
seluruh kaum muslimin, sebab sudah ada yang melaksanakan walaupun oleh
sebagian orang. Hal ini didasarkan pada kata "minkum" yang diberikan
pengertian lit'tab'id (sebagian).28 Yang dimaksud "sebagian" di sini
sebagaimana dijelaskan oleh Zamakhsyari, bahwa perintah itu wajib bagi yang
mengetahui adanya kemungkaran dan sekaligus mengetahui cara
melaksanakan amar ma'ruf dan nahi munkar. Sedangkan terhadap orang yang
bodoh, kewajiban berdakwah tidak dibebankan kepadanya. Sebab dia (karena
ketidaktahuannya) mungkin memerintahkan pada kemunkaran dan melarang
kebaikan atau mengetahui hukum-hukum di dalam madzhabnya dan tidak
mengetahui madzhab-madzhab yang lain.29 Rasyid Ridha, mengatakan bahwa
surat al'Taubah ayat 122 menjelaskan kewajiban dakwah bagi orang yang
sempurna ilmunya, faqih di bidang agama dan siap untuk mengajarkan kepada
seluruh manusia.30
27 Abdullah Nasih 'Ulwan, Wujub Tabligh al-Da'wah: Fazhlu Da'wah wa al-Da'iyah
(Kairo: Dar al-Salam, 1406H/1986M), Cet. ke-2, hlm. 7-21. dan Muhammad Amin Husain, Khasha'ish al- Da'wah, hlm. 18-19.
28 Ibnu Katsir, 1410 H/1990 M, Tafsir al-Qur'an al-'Adhim, Beirut: Dar al-Jayl, Juz I, Cet. ke-2, hlm. 368.
29 Zamakhsyari, op. cit., Juz I, hlm. 452. 30 Muhammad Rasyid Ridha, 1975, Tafsir al-Manar, Kairo: AI-Hayat al-Mishriyah al-
'Amah lilkita, Juz 11, hlm. 62-65.
25
Dari kedua pendapat tersebut di atas, bahwa jumhur ulama
menganggap berdakwah hukumnya wajib kifayah, karena berdakwah harus
memiliki ilmu dan ma'rifah agar terealisir tujuan dakwah dan sampai kepada
obyek dakwah secara sempurna, jauh dari keraguan dan kesalahan.
Sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah, orang yang wajib berdakwah adalah
yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana dalam hadits yang dikutipnya:
"Seyogyanya bagi siapa yang amar ma'rufdan nahi munkar agar dia mengetahui apa yang telah diperintahkan dan apa yang telah dilarangnya, lembut dalam memerintah dan melarang, dan bijaksana memerintah dan melarang".31 Para ulama telah menjelaskan bahwa dakwah itu Hukumnya fardlu
kifayah. Karena itu, apabila di suatu tempat sudah ada para da'i yang telah
menegakkan ; dakwah, maka kewajiban dakwah bagi yang lain akan gugur
dengan sendirinya. Jika di suatu tempat (daerah) membutuhkan dakwah secara
kontinyu, maka dalam keadaan seperti ini dakwah menjadi fardlu kifayah,
artinya apabila dakwah telah dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan
dan keahlian, maka beban kewajiban itu akan gugur bagi yang lain. Dalam
kondisi yang demikian itu, dakwah bagi yang lain menjadi sunnah muakad
dan merupakan amal shalih. Sebaliknya, apabila di suatu tempat atau daerah
tertentu tidak ada yang melaksanakan dakwah sama sekali, maka dosanya
ditanggung oleh seluruh umat dan beban kewajiban ditanggung oleh
semuanya. Dalam kondisi semacam ini, setiap pribadi umat Islam diharuskan
berdakwah menurut kadar kemampuannya.
31 Ibnu Taimiyah, op. Cit., hlm. 159.
26
Dengan demikian, dakwah bisa menjadi fardlu 'ain apabila di suatu
tempat tidak ada seorang pun yang melakukan dakwah dan dakwah bisa
menjadi fardlu kifayah apabila di suatu tempat sudah ada orang yang
melakukan dakwah. Demikian juga, ketika jumlah da'i masih sedikit,
sementara tingkat kemunkaran sangat tinggi dan kebodohan merajalela, maka
dakwah menjadi wajib 'ain bagi setiap individu sesuai dengan kemampuannya.
3. Unsur-unsur Dakwah
Unsur-unsur dakwah adalah komponen-komponen yang selalu ada
dalam setiap kegiatan dakwah. Unsur-unsur tersebut adalah da'i (pelaku
dakwah), mad'u (obyek dakwah), materi dakwah, wasilah (media dakwah),
thariqah (metode), dan atsar (efek dakwah).
a. Da'i (pelaku dakwah)
Kata da'i ini secara umum sering disebut dengan sebutan mubaligh
(orang yang menyempurnakan ajaran Islam) namun sebenarnya sebutan ini
konotasinya sangat sempit karena masyarakat umum cenderung mengartikan
sebagai orang yang menyampaikan ajaran Islam melalui lisan seperti
penceramah agama, khatib (orang yang berkhutbah), dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut terdapat pengertian para pakar dalam
bidang dakwah, yaitu:
1. Hasyimi, juru dakwah adalah Penasihat, para pemimpin dan pemberi ingat,
yang memberi nasihat dengan baik yang mengarah dan berkhotbah, yang
memusatkan jiwa dan raganya dalam wa'ad dan wa'id (berita gembira dan
27
berita siksa) dan dalam membicarakan tentang kampung akhirat untuk
melepaskan orang-orang yang karam dalam gelombang dunia.32
2. Nasaraddin Lathief mendefinisikan bahwa da'i itu ialah Muslim dan
Muslimat yang menjadikan dakwah sebagai suatu amaliah pokok bagi
tugas ulama. Ahli dakwah ialah wa'ad, mubaligh mustamain (juru
penerang) yang menyeru mengajak dan memberi pengajaran dan pelajaran
agama Islam.33
3. M. Natsir, pembawa dakwah merupakan orang yang memperingatkan atau
memanggil supaya memilih, yaitu memilih jalan yang membawa pada
keuntungan.34
Namun pada dasarnya semua pribadi Muslim itu berperan secara
otomatis sebagai mubaligh atau orang yang menyampaikan atau dalam bahasa
komunikasi dikenal sebagai komunikator. Untuk itu dalam komunikasi
dakwah yang berperan sebagai da'i atau mubaligh ialah:35
Secara umum adalah setiap Muslim atau Muslimat yang mukallaf
(dewasa) di mana bagi mereka kewajiban dakwah merupakan suatu yang
melekat tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan
perintah; "Sampaikan walaupun hanya satu ayat."
32 A. Hasyimi, 1974, Dustur dakwah Menurut Al-Qur'an, Jakarta: Bulan Bintang, hlm.
162. 33 HMS. Nasaruddin Lathief, tth, Teori dan Praktek Dakwah, Jakarta: Firma Dara, hlm.
20 34 M. Natsir, tth, Fiqhud Dakwah, Jakarta: Dengan Islamiah Indonesia, hlm. 125. 35 Toto Tasmara, 1997, Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Media Pertama, hlm. 41-42.
28
Secara khusus adalah mereka yang mengambil spesialisasi khusus
(mutakhasis) dalam bidang agama Islam yang dikenal panggilan dengan
ulama.
Dalam kegiatan dakwah peranan da'i sangatlah esensial, sebab tanpa
da'i ajaran Islam hanyalah ideologi yang tidak terwujud dalam kehidupan
masyarakat. "Biar bagaimanapun baiknya ideologi Islam yang harus
disebarkan di masyarakat, ia akan tetap sebagai ide, ia akan tetap sebagai cita-
cita yang tidak terwujud jika tidak ada manusia yang menyebarkannya.36 Di
antara sifat da'i yang disebutkan dalam al-Qur'an adalah:
b. Mad'u (Obyek dakwah)
Unsur dakwah yang kedua adalah mau, yaitu manusia yang menjadi
sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu
maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama Islam maupun tidak;
atau dengan kata lain manusia secara keseluruhan. Sesuai dengan firman Allah
QS. Saba' 28:
)28: سبأ (وما أرسلناك إلا كافة للناس بشريا ونذيرا ولكن أكثر الناس لا يعلمون
Artinya: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS. Saba: 28)
Kepada manusia yang belum beragama Islam, dakwah bertujuan untuk
mengajak mereka mengikuti agama Islam; sedangkan kepada orang-orang
36 Hamzah Ya'qub, 1981, Publistik Islam, Bandung: cet II, hlm. 37
29
yang telah beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas iman,
Islam, dan ihsan.
Mereka yang menerima dakwah ini lebih tepat disebut mad'u dakwah
daripada sebutan objek dakwah, sebab sebutan yang kedua lebih
mencerminkan kepasifan penerima dakwah; padahal sebenarnya dakwah
adalah suatu tindakan menjadikan orang lain sebagai kawan berpikir tentang
keimanan, syari'ah, dan akhlak kemudian untuk diupayakan dihayati dan
diamalkan bersama-sama.
Al-Qur'an mengenalkan kepada kita beberapa tipe mad'u. Secara
umum mad'u terbagi tiga, yaitu: mukmin, kafir, dan munafik.37 Dan dari tiga
klasifikasi besar ini mad'u masih bisa dibagi lagi dalam berbagai macam
pengelompokan. Orang mukmin umpamannya bisa dibagi menjadi tiga, yaitu:
dzalim linafsih, muqtashid, dan sabiqun bilkhairat.38 Kafir bisa dibagi menjadi
kafir zimmi dan kafir harbi.39
Di dalam al-Qur 'an selalu digambarkan bahwa, setiap Rasul
menyampaikan risalah, kaum yang dihadapinya akan terbagi dua: mendukung
dakwah dan menolak. Cuma kita tidak menemukan metode yang mendetail di
dalam al-Qur'an bagaimana berinteraksi dengan pendukung dan bagaimana
37 Lihat al-Qur'an surah al-Baqarah: 2-20. 38 Allah berfirman: "Kemudian Kitab ini Kami wariskan kepada orang-orang yang kami
pilih di antara hamba-hamba Kami, lain di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar".
39 lihat surat al-Mumtahanah: 8-9..
30
menghadapi penentang. Tetapi, isyarat bagaimana corak mad'u sudah
tergambar cukup signifikan dalam al-Qur'an.40
Mad'u (mitra dakwah) terdiri dari berbagai macam golongan manusia.
Oleh karena itu, menggolongkan mad'u sama dengan menggolongkan manusia
itu sendiri, profesi, ekonomi, dan seterusnya. Penggolongan mad'u tersebut
antara lain sebagai berikut:
1. Dari segi sosiologis, masyarakat terasing, pedesaan, perkotaan, kota kecil,
serta masyarakat di daerah marjinal dari kota besar.
2. Dari struktur kelembagaan, ada golongan priyayi, abangan dan santri,
terutama pada masyarakat Jawa.
3. Dari segi tingkatan usia, ada golongan anak-anak, remaja, dan golongan
orang tua.
4. Dari segi profesi, ada golongan petani, pedagang seniman, buruh, pegawai
negeri.
5. Dari segi tingkatan sosial ekonomis, ada golongan kaya, menengah, dan
miskin.
6. Dari segi jenis kelamin, ada golongan pria dan wanita.
7. Dari segi khusus ada masyarakat tunasusila, tunawisma, tuna-karya,
narapidana, dan sebagainya.41
c. Wasilah (media dakwah)
Wasilah (media) dakwah, yaitu alat yang dipergunakan untuk
menyampaikan materi dakwah (ajaran Islam) kepada mad'u.
40 Lihat al-Qur'an surah al-Kahfi: 57, surah Fushilat: 5. 41 H.M, Arifin, 1977, Psikologi Dakwah, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 13-14.
31
Untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah dapat
menggunakan berbagai wasilah. Hamzah Ya'qub membagi wasilah dakwah
menjadi lima macam, yaitu lisan, tulisan, lukisan, audio visual, dan akhlak:
1. Lisan, inilah wasilah dakwah yang paling sederhana yang menggunakan
lidah dan suara, dakwah dengan wasilah ini dapat berbentuk pidato,
ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya.
2. Tulisan, buku majalah, surat kabar, surat menyurat (korespondensi)
spanduk, flash-card, dan sebagainya.
3. Lukisan, gambar, karikatur, dan sebagainya.
4. Audio visual, yaitu alat dakwah yang merangsang indra pendengaran atau
penglihatan dan kedua-duanya, televisi, film, slide, ohap, internet, dan
sebagainya.
5. Akhlak, yaitu perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam
dapat dinikmati serta didengarkan oleh mad'u.
Pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah yang
dapat merangsang indra-indra manusia serta dapat menimbulkan perhatian
untuk menerima dakwah. Semakin tepat dan efektif wasilah yang dipakai
semakin efektif pula upaya pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang
menjadi sasaran dakwah.
Media (terutama media massa) telah meningkatkan intensitas,
kecepatan, dan jangkauan komunikasi dilakukan umat manusia begitu luas
sebelum adanya media massa seperti pers, radio, televisi, internet dan
32
sebagainya. Bahkan dapat dikatakan alat-alat tersebut telah melekat tak
terpisahkan dengan kehidupan manusia di abad ini.
Dari segi pesan penyampaian dakwah dibagi tiga golongan yaitu: 42
a. The Spoken Words (yang berbentuk ucapan)
Yang termasuk kategori ini ialah alat yang dapat mengeluarkan bunyi.
Karena hanya dapat ditangkap oleh telinga; disebut juga dengan the audial
media yang biasa dipergunakan sehari-hari seperti telepon, radio, dan
sejenisnya termasuk dalam bentuk ini.
b. The Printed Writing (yang berbentuk tulisan)
Yang termasuk di dalamnya adalah barang-barang tercetak, gambar-
gambar tercetak, lukisan-lukisan, buku, surat kabar, majalah, brosur, pamplet,
dan sebagainya.
c. The Audio Visual (yang berbentuk gambar hidup);
Yaitu merupakan penggabungan dari golongan di atas, yang termasuk
ini adalah film, televisi, video, dan sebagainya. Pembahasan media dakwah ini
akan dibahas dalam bab tersendiri.
d. Thariqah (metode)
Hal yang sangat erat kaitannya dengan metode wasilah adalah metode
dakwah thariqah (metode) dakwah. Kalau wasilah adalah alat-alat yang
dipakai untuk mengoperkan atau menyampaikan ajaran Islam maka thariqah
adalah metode yang digunakan dalam dakwah.
42 Moh. Ali Aziz, 2004, Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenada Media, hlm. 121
33
Sebelum kita membicarakan metode dakwah, terlebih dahulu akan
dijelaskan tentang pengertian metode. Kata metode berasal dari bahasa Latin
methodus yang berarti cara. Dalam bahasa Yunani, methodhus berarti cara
atau jalan. Sedangkan dalam bahas Inggris method dijelaskan dengan metode
atau cara.43 Kata metode telah menjadi bahasa Indonesia yang memiliki
pengertian "Suatu cara yang bisa ditempuh atau cam yang ditentukan secara
jelas untuk mencapai dan menyelesaikan suatu tujuan, rencana sistem, tata
pikir manusia.44
Abdul Kadir Munsyi, mengartikan metode sebagai cara untuk
menyampaikan sesuatu.45 Sedangkan dalam metodelogi pengajaran ajaran
Islam disebutkan bahwa metode adalah "Suatu cara yang sistematis dan umum
terutama dalam mencari kebenaran ilmiah".46 Dalam kaitannya dengan
pengajaran ajaran Islam, maka pembahasan selalu berkaitan dengan hakikat
penyampaian materi kepada peserta didik agar dapat diterima dan dicerna
dengan baik.
Metode adalah cara yang sistematis dan teratur untuk pelaksanaan
suatu atau cara kerja.47 Dakwah adalah cara yang digunakan subjek dakwah
untuk menyampaikan materi dakwah atau bias diartikan metode dakwah
adalah cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da'i untuk menyampaikan
43 Soejono Soemargono, 1983, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Nur Cahaya, hlm.
17. 44 M. Syafaat Habib, 1992, Buku Pedoman Dakwah, Jakarta: Wijaya, Cet 1, hlm. 160. 45 Abd. Kadir Munsy, 1982, Metode Diskusi dalam Dakwah, Surabaya: Al-Ihlash, Cet ,
hlm. 29. 46 Soeleman Yusuf dan Slamet Soesanto, 1981, Pengantar Pendidikan Sosial, Surabaya:
Usaha Nasional, hlm.38. 47 Paus A. Partanto, M. Dahlan Al Barri, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arloka,
hlm.461.
34
materi dakwah yaitu al-Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan
tertentu.
Sementara itu dalam komunikasi metode dakwah ini lebih dikenal
sebagai approach, yaitu cara-cara yang dilakukan oleh seorang da'i atau
komunikator untuk mencapai suatu tujuan tertentu atas dasar hikmah dan
kasih sayang.48 Dengan kata lain, pendekatan dakwah harus bertumpu pada
satu pandangan human oriented menetapkan penghargaan yang mulia pada
diri manusia. Hal tersebut didasari karena Islam sebagai agama salam yang
menebarkan rasa damai menempatkan manusia pada prioritas utama, artinya
penghargaan manusia itu tidaklah dibeda-bedakan menurut ras, suku, dan lain
sebagainya. Sebagaimana yang tersirat dalam QS. al-Isra' 70; "Kami telah
muliakan Bani Adam (manusia) dan Kami bawa mereka itu di daratan dan di
lautan. Kami juga memberikan kepada mereka dan segala rezeki yang baik-
baik. Mereka juga Kami lebihkan kedudukannya dari seluruh makhluk yang
lain".
Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk
menyampaikan ajaran materi dakwah (Islam). Dalam menyampaikan suatu
pesan dakwah, metode sangat penting peranannya, suatu pesan walaupun balk,
tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, pesan itu bisa saja ditolak
oleh si penerima pesan. Dalam "Ilmu Komunikasi" ada jargon "the Methode is
message."49 Maka dari itu kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam memilih
dalam memakai metode sangat memengaruhi kelancaran dan keberhasilan
48 Toto Tasmara, Ibid, h. 43. 49 Syarif Anwar dan Amin Maki, 2004, Islam Agama Dakwah Materi Dakwah Yang
Merakyat, Yogyakarta: UII Press, hlm. 15.
35
dakwah. Ketika membahas tentang metode dakwah pada umumnya merujuk
pada surah an-Nahl (QS.16:125)
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن
دينتهبالم لمأع وهبيله ون سل عن ضبم لمأع وه كب125: النحل (ر(
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Dalam ayat ini, metode dakwah ada tiga, yaitu: a) hikmah b) mau'izah
al-hasanah c) mujadalah billati hiya ahsan
e. Atsar (efek dakwah)
Setiap aksi dakwah akan menimbulkan reaksi.50 Demikian jika dakwah
telah dilakukan oleh seorang da'i dengan materi dakwah, wasilah, thariqah
tertentu maka akan timbul respons dan efek (atsar) pada mad'u,
(mitra/penerima dakwah). Atsar itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa
Arab yang berarti bekasan/sisa, atau tanda. Istilah ini selanjutnya digunakan
untuk menunjukkan suatu ucapan atau perbuatan yang berasal dari sahabat
50 Moh. Ali Aziz, op, cit.,hlm. 138
36
atau tabi'in yang pada perkembangan selanjutnya dianggap sebagai hadits,
karena memiliki ciri-ciri sebagai hadits. 51
Atsar (efek) sering disebut dengan feed back (umpan balik) dari proses
dakwah ini sering kali dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para
da'i. Kebanyakan mereka menganggap bahwa setelah dakwah disampaikan
maka selesailah dakwah. Padahal, atsar sangat besar artinya dalam penentuan
langkah-langkah dakwah berikutnya. Tanpa menganalisis atsar dakwah maka
kemungkinan kesalahan strategi yang sangat merugikan pencapaian tujuan
dakwah akan terulang kembali. Sebaliknya, dengan menganalisis atsar dakwah
secara cermat dan tepat maka kesalahan strategis dakwah akan segera
diketahui untuk diadakan penyempurnaan pada langkah-langkah berikutnya
(corrective action) demikian juga strategi dakwah termasuk dalam penentuan
unsur-unsur dakwah yang dianggap balk dapat ditingkatkan.
Evaluasi dan koreksi terhadap atsar dakwah harus dilaksanakan secara
radikal dan komprehensif, artinya tidak secara parsial atau setengah-setengah.
Seluruh komponen sistem (unsur-unsur) dakwah harus dievaluasi secara
komprehensif. Sebaliknya, evaluasi itu dilakukan oleh beberapa da'i, para
tokoh masyarakat, dan para ahli. Para da'i harus memiliki jiwa inklusif untuk
pembaruan dan perubahan di samping bekerja dengan menggunakan ilmu.
Jika proses evaluasi ini telah menghasilkan beberapa konklusi dan keputusan,
maka segera diikuti dengan tindakan korektif (corrective action). Kalau yang
demikian dapat terlaksana dengan baik, maka terciptalah suatu mekanisme
51 Abuddin Nata, 1998, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm.
363.
37
perjuangan dalam bidang dakwah. Dalam bahasa agama inilah sesungguhnya
disebut dengan ihtiar insani. Bersama dengan itu haruslah diiringi dengan doa
mohon taufik dan hidayah Allah untuk kesuksesan dakwah.52
Apa saja yang seharusnya dievalusi dari pelaksanaan dakwah tidak lain
adalah seluruh komponen dakwah yang dikaitkan dengan tujuan dakwah yang
ingin dicapai. Dalam upaya mencapai tujuan dakwah maka kegiatan dakwah
selalu diarahkan untuk memengaruhi tiga aspek perubahan diri objeknya,
yakni perubahan pada aspek pengetahuannya (knowledge), aspek sikapnya
(attitude) dan aspek perilakunya (behavioral).
Berkenaan dengan hal tersebut, Jalaluddin Rahmat, menyatakan:
Efek kognitif terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, atau dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, atau informasi. Efek afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci khalayak, yang meliputi segala yang berhubungan dengan emosi, sikap, serta nilai. efek behavioral merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati, yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berperilaku.53 Sedangkan dalam buku Strategi Komunikasi Anwar Arifin
memperjelas efek di atas sebagai berikut:
Sesungguhnya suatu ide yang menyentuh dan yang merangsang
individu dapat diterima atau ditolak ... dan pada umumnya melalui proses:
1. Proses mengerti (proses kognitif)
2. Proses menyetujui (proses objektif)
52 Nasruddin Razak, Ibid., hlm. 6-7 53 Jalaluddin Rahmat, 1982, Retorika Modern, Sebuah Kerangka Teori dan Praktik
Berpidato, Bandung: Akademika, hlm. 269.
38
3. Proses pembuatan (proses sencemotorik)
Atau dapat dikatakan melalui proses:
1. Terbentuknya suatu pengertian atau pengetahuan (knowledge)
2. Proses suatu sikap menyetujui atau tidak menyetujui (attitude)
3. Proses terbentuknya gerak pelaksanaan (prectice)54
4. Hubungan Dakwah Dengan Ekonomi Islam
Bisri Afandi mengatakan bahwa yang diharapkan oleh dakwah adalah
terjadinya perubahan dalam diri manusia, baik kelakuan adil maupun aktual,
baik pribadi maupun keluarga masyarakat, way of thinking atau cara
berpikirnya berubah, way of life atau cara hidupnya berubah menjadi lebih
baik ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas. Yang dimaksud adalah nilai-
nilai agama sedangkan kualitas adalah bahwa kebaikan yang bernilai agama
itu semakin dimiliki banyak orang dalam segala situasi dan kondisi.55
Ketika merumuskan pengertian dakwah, Amrullah Ahmad
menyinggung tujuan dakwah adalah untuk mempengaruhi cara merasa,
berpikir, bersikap, dan bertindak manusia pada dataran individual dan
sosiokultural dalam rangka terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi
kehidupan.56
Kedua pendapat di atas menekankan bahwa dakwah bertujuan untuk
mengubah sikap mental dan tingkah laku manusia yang kurang baik menjadi
54 Anwar Arifin, 1984, Strategi Komunikasi, Bandung: Amico, Cet II, hlm. 41. 55 Bisri Affandi, 1984, Beberapa Percikan Jalan Dakwah, Surabaya, Fak Dakwah
Surabaya, hlm.3. 56 Amrullah Ahmad, 1983, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Primaduta,
hlm. 2.
39
lebih baik atau meningkatkan kualitas iman dan Islam seseorang secara sadar
dan timbul dari kemauannya sendiri tanpa merasa terpaksa oleh apa dan siapa
pun.
Salah satu tugas pokok dari Rasulullah adalah membawa mission sacre
(amanah suci) dengan menanamkan akhlak yang mulia bagi manusia. Akhlak
yang dimaksudkan tidak lain adalah al-Qur 'an itu sendiri. Atas dasar ini
tujuan dakwah secara luas, dengan sendirinya adalah menegakkan ajaran
Islam kepada setiap insan baik individu maupun masyarakat, sehingga ajaran
tersebut mampu mendorong suatu perbuatan sesuai dengan ajaran Islam.57
Sedangkan dalam konteksnya dengan ekonomi Islam, bahwa ekonomi
Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan
dari al-Qur'an dan as-sunah dan merupakan bangunan perekonomian yang
didirikan atas dasar-dasar tersebut sesuai dengan lingkungan dan masanya.58
Dalam berbagai pengertian ekonomi, baik yang dikemukakan oleh para
pakar ekonomi Barat maupun oleh para pakar ekonomi Islam sendiri
menempatkan individu (manusia) sebagai obyek kajian ekonomi. Namun
demikian, konsep ekonomi Islam tidak hanya mengkaji individu sebagai
makhluk sosial, sebagaimana yang menjadi kajian ekonomi Barat, tapi lebih
dari itu. Konsep ekonomi Islam juga menempatkan individu sebagai mahluk
yang mempunyai potensi religius.59 Oleh sebab itu, dalam pemenuhan
kebutuhannya, atau aktifitas ekonomi lainnya, ekonomi Islam menempatkan
57 Toto Tasmara, 1997, Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Baru Pertama, hlm. 47. 58 Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Ab al-Karim, 1999, Sistem, Prinsip, dan
Tujuan Ekonomi Islam, terj. Imam saefudin, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 17 59 M. A. Mannan, 1986, Islamic Economic: Theory an Practice Cambridge: The Islamic
Academy, Edisi Revisi, hlm. 20
40
nilai-nilai Islam sebagai dasar pijakannya. Berbeda dengan konsep ekonomi
Barat yang menempatkan kepentingan individu sebagai landasannya.
Nilai-nilai Islam tidak hanya berkaitan dengan proses ekonomi tapi
juga berkaitan dengan tujuan dari kegiatan ekonomi. Islam menempatkan
bahwa tujuan ekonomi tidak hanya kesejahteraan duniawi saja, tapi juga untuk
kepentingan yang lebih utama yaitu kesejahteraan ukhrawi. Dengan demikian
ekonomi Islam dan dakwah bertujuan agar manusia memperoleh kebahagaan
dunia dan akhirat. Ekonomi Islam dan dakwah merupakan sarana untuk
menyeru manusia agar dalam tindak tanduknya sesuai dengan nilai-nilai ajaran
Islam.
B. Konsep Ekonomi Islam
1. Ruang Ekonomi Islam
Beberapa ahli mendefinisikan ekonomi Islam sebagai suatu ilmu yang
mempelajari perilaku manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan
dengan alat pemenuhan kebutuhan yang terbatas di dalam kerangka Syariah.
Ilmu yang rnempelajari perilaku seorang muslim dalam suatu masyarakat
Islam yang dibingkai dengan syariah. Definisi tersebut mengandung
kelemahan karena menghasilkan konsep yang tidak kompetibel dan tidak
universal. Karena dari definisi tersebut mendorong seseorang terperangkap
dalam keputusan yang apriori (apriory judgement), benar atau salah tetap
harus diterima.60
60 Imamudin Yuliadi, 2001, Ekonomi Islam, Yogyakarta: LPPI, hlm. 6
41
Definisi yang lebih lengkap musti mengakomodasikan sejumlah
prasyarat yaitu karakteristik dari pandangan hidup Islam. Syarat utama adalah
memasukkan nilai-nilai syariah dalam ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi Islam
adalah ilmu sosial yang tentu saja tidak bebas dari nilai-nilai moral. Nilai-nilai
moral merupakan aspek normatif yang harus dimasukkan dalam analisis
fenomena ekonomi serta dalam pengambilan keputusan yang dibingkai
syariah.
Imamudin Yuliadi menginventarisir enam definisi ekonomi Islam
sebagai berikut:
1. Ekonomi Islam adalah : ilmu dan aplikasi petunjuk dan aturan syariah
yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh dan menggunakan
sumberdaya material agar memenuhi kebutuhan manusia dan agar dapat
menjalankan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat.
2. Ekonomi Islam adalah: "Ilmu sosial yang mempelajari masalah-masalah
ekonomi masyarakat dalam perspektif nilai-nilai Islam.
3. Ekonomi Islam adalah: "Suatu upaya sistematik untuk memahami masalah
ekonomi dan perilaku manusia yang berkaitan dengan masalah itu dari
perspektif Islam
4. Ekonomi Islam adalah: "Tanggapan pemikir-pemikir muslim terhadap
tantangan ekonomi pada jamannya. Di mana dalam upaya ini mereka
dibantu oleh Al-Qur'an dan Sunnah disertai dengan argumentasi dan
pengalaman empirik
42
5. Ekonomi Islam adalah "Suatu upaya memusatkan perhatian pada studi
tentang kesejahteraan manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan
sumberdaya di bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi
6. Ekonomi Islam adalah : "Cabang ilmu yang membantu merealisasikan
kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang
langka yang sejalan dengan syariah Islam tanpa membatasi kreativitas
individu ataupun menciptakan suatu ketidakseimbangan ekonomi makro
atau ekologis.61
Dari beberapa definisi ekonomi Islam di atas yang relatif dapat secara
lengkap menjelaskan dan mencakup kriteria dari definisi yang komprehensif
adalah yang dirumuskan oleh Hasanuzzaman yaitu "Suatu pengetahuan dan
aplikasi dari perintah dan peraturan dalam syariah yaitu untuk menghindari
ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumberdaya material agar
memberikan kepuasan manusia, sehingga memungkinkan manusia
melaksanakan tanggung jawabnya terhadap Tuhan dan masyarakat (Islamic
economics is the knowledge and application of injunctions and rules of the
shari'ah that prevent injustice in the acquition and disposal of material
resources in order to provide satisfaction to human beings and enable them to
perform their obligations to Allah and the society).62
Hal penting dari definisi tersebut adalah istilah "perolehan" dan
"pembagian" di mana aktivitas ekonomi ini harus dilaksanakan dengan
menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumber-sumber
61 Ibid, hlm. 7 62 Ibid, hlm. 8
43
ekonomi. Prinsip-prinsip dasar yang digunakan untuk menghindari
ketidakadilan tersebut adalah syariah yang di dalamnya terkandung perintah
(injunctions) dan peraturan (rules) tentang boleh tidaknya suatu kegiatan.
Pengertian "memberikan kepuasan terhadap manusia" merupakan suatu
sasaran ekonomi yang ingin dicapai. Sedangkan pengertian "memungkinkan
manusia melaksanakan tanggung jawabnya terhadap Tuhan dan masyarakat"
diartikan bahwa tanggungjawab tidak hanya terbatas pada aspek sosial
ekonomi saja tapi juga menyangkut peran pemerintah dalam mengatur dan
mengelola semua aktivitas ekonomi termasuk zakat dan pajak.
Namun perlu ditegaskan di sini perbedaan pengertian antara ilmu
ekonomi Islam dengan sistem ekonomi Islam. Ilmu ekonomi Islam merupakan
suatu kajian yang senantiasa memperhatikan rambu-rambu metodologi ilmiah.
Sehingga dalam proses perkembangannya senantiasa mengakomodasikan
berbagai aspek dan variabel dalam analisis ekonomi. Ilmu ekonomi Islam
dalam batas- batas metodologi ilmiah tidak berbeda dengan ilmu ekonomi
pada umumnya yang mengenal pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Namun
berbeda halnya dengan sistem ekonomi Islam yang merupakan bagian dari
kehidupan seorang muslim. Sistem ekonomi Islam merupakan suatu keharusan
dalam kehidupan seorang muslim dalam upaya untuk mengimplementasikan
ajaran Islam dalam aktivitas ekonomi. Sistem ekonomi Islam merupakan salah
satu aspek dalam sistem nilai Islam yang integral dan komprehensif.
Suatu pertanyaan akan muncul yaitu bagaimana kaitan antara ekonomi
Islam dengan ekonomi konvensional? Sebagai suatu cabang ilmu sosial yang
44
mempelajari perilaku ekonomi yang memuat pernyataan positif, ekonomi
konvensional tidak secara eksplisit memuat peranan nilai (value) dalam
analisa ekonomi. Bagi seorang muslim persoalan ekonomi bukanlah persoalan
sosial yang bebas nilai (value free). Dalam perspektif Islam semua persoalan
kehidupan manusia tidak terlepas dari koridor syariah yang diturunkan dari
dua sumber utama yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.63
2. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Para pemikir ekonomi Islam berbeda pendapat dalam memberikan
kategorisasi terhadap prinsip-prinsip ekonomi Islam. Khurshid Ahmad
mengkategorisasi prinsip-prinsip ekonomi Islam pada: Prinsip tauhid, rub-
biyyah, khilafah, dan tazkiyah. 64 Mahmud Muhammad Bablily menetapkan
lima prinsip yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dalam Islam, yaitu: al-
ukhuwwa (persaudaraan), al-ihsan (berbuat baik), al-nasihah (memberi
nasihat), al-istiqamah (teguh pendirian), dan al-taqwa (bersikap takwa).65
Sedangkan menurut M. Raihan Sharif dalam Islamic Social Framework,
struktur sistem ekonomi Islam didasarkan pada empat kaidah struktural, yaitu:
(1) trusteeship of man (perwalian manusia); (2) co-operation (kerja sama); (3)
limite 'private property (pemilikan pribadi yang terbatas); dan (4) state
enterprise (perusahaan negara).45
63 Ibid, hlm. 8-10 64 Muslimin H. Kara, 2005, Bank Syariah Di Indonesia Analisis Terhadap Pemerintah
Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press, hlm 37-38 65 Mahmud Muhammad Bablily, 1990, Etika Bisnis: Studi Kajian Konsep Perekonomian
Menurut al-Qur'an dan as-Sunnah, terj. Rosihin A. Ghani, Solo: Ramadhani, hlm. 15
45
Prinsip ekonomi Islam juga dikemukakan Masudul Alam Choudhury,
dalam bukunya, Constributions to Islamic Economic Theory.
Ekonomi Islam menurutnya didasarkan pada tiga prinsip, yaitu:
(1) the principle of tawheed and brotherhood (prinsip tauhid dan persaudaraan), (2) the principle of work and productivity (prinsip kerja dan produktifitas), dan (3) the principle of distributional equity (prinsip pemerataan dalam distribusi).66
Menurut Adiwarman Karim Bangunan ekonomi Islam didasarkan
atas lima nilai universal, yakni tauhid, keadilan, kenabian, khilafah, dan
Ma'ad (hasil).67 Menurut Metwally yang dikutip Zainul Arifin,68 prinsip-
prinsip ekonomi Islam itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
(1) Dalam ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai
pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus
memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi
guna memenuhi kesejahteraan bersama di dunia, yaitu untuk diri sendiri
dan untuk orang lain. Namun yang terpentirig adalah bahwa kegiatan
tersebut akan dipertanggung-jawabkan di akhirat nanti.
(2) Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu,
termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama,
kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan kedua,
Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah,
apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.
66 Muslim H.Kara, op. cit, hlm. 38 67 Adiwarman Karim, 2002, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: III T Indonesia, hlm. 17 68 Zainul Arifin, 2003, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari'ah, Jakarta: Alvabet, hlm.
13.
46
(3) Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Seorang
Muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat
keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah SWT
dalam Al Qur'an:
نة عارن تجكواطل اال ان تبالب كمنيب الكموأكلو اما ال تونام ناالذيهآايي
)29: النساء. (.. منكم تراض
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perda- gangan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kalian...' (QS 4:29).69
(4) Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif
yang, akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Al Qur'an mengungkapkan bahwa "Apa yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari
penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang
kaya saja di antara kalian..," (QS:57:7). Oleh karena itu, sistem ekonomi
Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh
beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan sistem ekonomi
kapitalis, di mana kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan
oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan kepentingan umum.
69 Yayasan Penyelenggara/Penterjemah, op. cit, hlm. 122
47
(5) Islam menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya
direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari
Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, "Masyarakat punya hak
yang sama atas air, padang rumput dan api." Sunnah Rasulullah tersebut
menghendaki semua industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan
produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan, harus dikelola
oleh negara. Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk
keperluan dalam negeri dan industri tidak boleh dtkuasai oleh individu.
(6) Seorang Muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat, seperti
diuraikan dalam Al Qur'an:
واتقوا يوما ترجعون فيه الى اهللا ثم توفى كل نفس ما كسبت وهم ال
)281: البقرة. (يظلمون
Artinya: Dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi padas hari yang padsa waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian maing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidask dianiaya (dirugikan).(QS 2:281).70
Oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan,
perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua
bentuk diskriminasi dan penindasan.
(7) Seorang Muslim yang kekayaannya melebihi ukuran tertentu (nisab)
diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian
kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan harta tersebut),
70 Yayasan Penterjemah/pentafsir, op. cit, hlm 70.
48
yang ditujukan untuk orang miskin dan mereka yang membutuhkan.
Menurut pendapat para ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua setengah
persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (idle assets),
termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan
permata, pendapatan bersih dari transaksi (net earning from
transaction), dan 10% (sepuluh persen) dari pendapatan bersih investasi
(8) Islam melarang setiap pembayaran bunga (riba) atas berbagai bentuk
pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan
perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur'an secara
bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga. Hal
ini dapat dilihat dari turunnya ayat-ayat Al Qur'an secara berturut-turut
sebagai berikut:
Pada tahap pertama dalam Surat (30) Ar Rum ayat 39. Allah berfirman:
من متيا اتماهللا و دا عنوبراس فال يال النوا فى اموبرا ليرب من متيا اتمو
).39 :الروم(زكوة تريدون وجه اهللا فاولئك هم المضعفون
Artinya: Dan suatu riba tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka itu-lah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya.
Tahap kedua Allah berfirman dalam surah (4) An Nisa' ayat 160-161 sebagai berikut:
فبظلم من الذين هاد وحرمنا عليهم طيبات احلت لهم وبصدهم عن سبيل
)160: النساء. (اهللا كثيرا
49
ين واخذهم الربوا وقدنهواعنه واكلهم اموال الناس با الباطل واعتدنا للكافر
)161: النساء. (منهم عذابا اليما
Artinya: "Maka disebabkan karena kezaliman orang-orang Yahudi,
Kami haramkan atas mereka yang baik (yang dahulunya) di- halalkan bagi mereka dan karena mereka banyak mengha- langi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta manusia de- ngan jalan yang batil. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Tahap ketiga diturunkan oleh Allah melalui surat (3) Al-Imran ayat 130
sebagai berikut:
يآايها الذين امنوا التأكلون الربوا اضعافا مضاعفة واتقوا اهللا لعلكم تفلحون
).130: الروم(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan
Tahap terakhir larangan riba terdapat dalam Surat (2) Al Baqarah ayat
278-279:
نمنيؤم متوا ان كنبالر من قىا بوا مذرقوا اهللا ووا اتنام نا الذيهاايي .
)278: البقرة(
ت لمال فان الكموام سؤر فلكم متبان تله ووسراهللا و ب منرا بحولوا فأذنفع
)279: البقرة. (تظلمون وال تظلمون
50
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah
dan tinggalkanlah sisa-sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (perintah itu), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan me merangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Islam bukanlah satu-satunya agama yang melarang pembayaran bunga.
Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga
adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada
zaman Yunani kuno Aristoteles adalah orang yang amat menentang dan
melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk praktek bunga.71 Dalam
Perjanjian Lama, larangan riba tercantum dalam Leviticus 25:27, Deutronomi
23:19, Exodus 25:25 dan dalam Perjanjian Baru dapat dijumpai dalam Lukas
6:35.
3. Ekonomi Islam Dalam Realitas Sosial
Pada dasarnya sistem ekonomi Islam berbeda dari sistem- sistem
ekonomi kapitalis dan sosialis; dan dalam beberapa hal, merupakan
pertentangan antara keduanya dan berada di antara kedua ekstrim tersebut.
Sistem ekonomi Islam memiliki kebaikan-kebaikan yang ada pada sistem
ekonomi kapitalis dan sosialis, tetapi bebas daripada kelemahan yang terdapat
pada kedua sistem tersebut. Hubungan antara individu dalam sistem ekonomi
Islam cukup tersusun sehingga saling membantu dan kerjasama diutamakan
dari persaingan dan permusuhan sesama mereka. Untuk tujuan tersebut, sistem
71 Eko Suprayitno, 2005, Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan
Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, hlm. 2-3.
51
ekonomi Islam bukan saja menyediakan individu kemudahan dalam bidang
ekonomi dan sosial bahkan juga memberikan mereka juga pendidikan moral
dan latihan tertentu yang membuat mereka merasa bertanggungjawab untuk
membantu rekan-rekan sekerja dalam mencapai keinginan mereka atau
sekurang-kurangnya tidak menghalangi mereka dalam usahanya untuk
hidup.72
Islam memandang masalah ekonomi tidak dari sudut pandang kapitalis
yang memberikan kebebasan serta hak pemilikan kepada individu dan
menggalakkan usaha secara perseorangan. Tidak pula dari sudut pandang
komunis, yang " ingin menghapuskan semua hak individu dan menjadikan
mereka seperti budak ekonomi yang dikendalikan oleh negara. Tetapi Islam
membenarkan sikap mementingkan diri sendiri tanpa membiarkannya merusak
masyarakat. Pemilihan sikap yang terlalu mementingkan diri sendiri di
kalangan anggota masyarakat dapat dilakukan dengan melalui pengadaan
moral dan undang-undang. Di satu sisi pemahaman konsep ekonomi di
kalangan masyarakat berubah dan diperbaiki melalui pendidikan moral serta di
sisi yang lain, beberapa langkah tertentu yang legal diambil untuk memastikan
sifat mementingkan diri golongan kapitalis tidak sampai ke tahap yang
menjadikan mereka tamak serta serakah; dan bagi si miskin, tidak merasa iri
hati, mendendam dan kehilangan sikap toleransi. Bagian yang terpenting dari
prinsip-prinsip tersebut yang perlu bagi organisasi ekonomi dalam masyarakat
untuk mencapai tujuan yang telah dinyatakan tadi ialah hak pemilikan
72 Afzalur Rahman, 1995, Doktrin Ekonomi Islam, terj. Soerojo dan Nastangin, Jilid Ī
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, hlm. 10
52
individu, yang perlu untuk kemajuan manusia bukan saja senantiasa dijaga dan
terpelihara tetapi terns didukung dan diperkuat. 73
73 Ibid, hlm. 11