32
BAB II
LATAR BELAKANG MUNCULNYA KONFLIK SUNNI-SYI'AH
PASCA SADDAM HUSSEIN
A. Sejarah Singkat Lahirnya Sunni dan Syi'ah
Perbedaan prinsipal antara Syi'ah dan Ahlussunnah pada hakikatnya terletak
pada persoalan tokoh pengganti Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin umat
sepeninggal beliau, baik di bidang pemerintahan maupun dalam hal-hal spiritual
keagamaan. Kaum Syi'ah berpendapat bahwa pemegang jabatan itu telah ditetapkan
dan diwasiatkan oleh Nabi saw., dalam hal ini yang ditunjuk oleh beliau ialah Imam
Ali bin Abi Thalib. Sedang Ahlussunnah berpendapat bahwa Nabi saw. wafat tanpa
mewasiatkan jabatan tersebut kepada siapa pun. Akibatnya, kaum Syi'ah tidak seperti
kaum Muslimin lainnya, hanya mau berpegang pada apa yang mereka terima dari
Ahlul Bait, keluarga Nabi saw. dan keturunan beliau, dalam segala hal yang
bersangkutan dengan pemahaman-pemahaman keagamaan. Dan juga mereka selalu
berpegang teguh dengan pendiriannya bahwa Imam Ali dan keturunannya dari
istrinya, Fatimah putri Rasulullah saw., adalah satu-satunya kelompok yang berhak
menduduki jabatan Khalifah dan kepemimpinan tertinggi umat.50
Nabi saw. wafat pada 12 Rabi' al-Awal 10 H bertepatan dengan 08 Juni 632 M
di Madinah, maka timbul perselisihan dalam kepemimpinan umat Islam. Persoalan
suksesi segera muncul ke permukaan, yakni, persoalan mengenai siapa yang dianggap
50 Syarafuddin al-Musawi, 1994, Dialog Sunnah Syi'ah, Bandung: Penerbit Mizan, halaman
xxvi-xxvii.
33
paling sah sebagai penerus Rasulullah saw. dalam memimpin umat Islam pasca
wafatnya beliau. Dalam kepemimpinannya, Nabi saw. telah berhasil membentuk
suatu ummah (konfedarasi). Namun, untuk menjalankannya Nabi tidak tinggalkan
wasiat, pesan atau menunjuk siapa di antara sahabatnya yang bakal menjadi
khalifah.51
Munculnya permasalahan mengenai pengganti Nabi sebagai pemimpin
umat Islam ini, selanjutnya menghendaki pembagian umat menjadi dua kelompok
besar.
Bagi mayoritas kaum Muslimin saat itu, Nabi saw. memang sengaja
membiarkan masalah tersebut agar terbuka dengan menyerahkannya kepada umat
untuk memutuskan siapa yang mereka anggap paling mampu untuk mengemban
kepemimpinan. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai kaum Sunni, atau penganut
Sunnah 'tradisi'. Adapun kelompok minoritas berkeyakinan bahwa sebenarnya Nabi
saw. telah menunjuk calon pengganti beliau, dan calon tersebut adalah Ali.
Penunjukan tersebut menurut mereka dilakukan Nabi dalam perjalanan kembali dari
Haji Wada' pada 18 Dzulhijjah tahun 11 H (632 M) di Ghadir Khumm (Kolam
Khumm). Pendapat tersebut diperkuat dengan sabda Nabi, "Barangsiapa yang
menganggapku sebagai pemimpinnya (mawla), mulai saat sekarang hendaklah
menganggap Ali sebagai pemimpinnya." Kelompok ini kemudian terkenal dengan
nama Syi'ah.52
Pertemuan mayoritas kaum Muslimin di Saqifah Bani Sa'idah yang
51 M. Abdul Karim, 2014, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, halaman 79. 52 Hamid Enayat, 2001, Reaksi Politik Sunni dan Syi'ah Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi
Abad ke-20, Bandung: Penerbit Pustaka, halaman 6-8.
34
menghasilkan kesepakatan dengan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah
(pengganti) Nabi dalam mengurusi semua permasalahan umat, yang kemudian
dikenal dengan sebutan Khulafa ar-Rasyidun; Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman
bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Meskipun, bagi kelompok Syi'ah (partisan atau
pengikut Ali) kekhalifahan mereka tidak sah. Menurut mereka, Ali adalah keluarga
Nabi (Ahl al-Bait) yang paling berhak untuk menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi
Muhammad.53
Tindakan mayoritas Muslim dalam pemilihan khalifah pengganti Nabi saw.
tersebut bagi kaum Syi'ah dinilai sangat tergesa-gesa, karena tanpa berunding dengan
Ahlul Bait ataupun dengan sahabat-sahabatnya yang sedang sibuk dengan upacara
pemakaman Nabi walaupun, pemilihan khalifah tersebut dengan maksud menjaga
kesejahteraan umat dan memecahkan masalah-masalah mereka saat itu. Dengan
demikian, keputusan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama,
memposisikan Ali dan sahabat-sahabatnya pada suatu keadaan yang sudah tidak
mungkin dirubah lagi, kelompok Ali harus menerima bai'at kepada Abu Bakar secara
terpaksa.54
Perlu diketahui, Ali mulai bergabung dan membaiat Abu Bakar setelah enam
bulan masa kekhalifahannya. Hal ini kemudian banyak ditafsirkan sebagai bentuk
kekecewaan Ali atas terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi. Namun,
ada juga yang berpendapat bahwa keterlambatan Ali dalam membaiat Abu Bakar
disebabkan ia menghormati Fatimah, istrinya dan sekaligus putri Rasulullah saw.
53 M. Abdul Karim, op. cit, halaman 109. 54 Allamah Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba'i, 1989, Islam Syi'ah: Asal-Usul dan
Perkembangannya, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, halaman 39-40.
35
Prosesi pengganti Nabi inilah yang menjadi cikal-bakal lahirnya mazhab-mazhab
dalam Islam, terutama Sunni-Syi'ah yang masih eksis hingga sekarang dan mewarnai
politik di Timur Tengah.55
Walaupun bibit Syi'ah telah ada saat pemilihan Khalifah
Abu Bakar, namun dalam catatan sejarah Islam mulai munculnya Syi'ah adalah
setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib, dan karena adanya rivalitas politik dari
kelompok Khawarij.56
Sebutan Syi'atu Ali dan Syi'atu Mu'awiyah 'pengikut Mu'awiyah', awalnya
tercatat dalam sejarah. Namun, lambat laun Syi'atu Mu'awiyah hilang dan akhirnya
Syi'ah hanya diperuntukkan bagi pengikut Ali. Syi'atu Mu'awiyah seterusnya dikenal
dengan kelompok Sunni. Dari kelompok Syi'ah Ali juga lahir kelompok Khawarij
(kelompok Ali yang keluar dari barisannya dan kumpul di Harurah di bawah
pimpinan Abdullah bin Wahab ar-Rasyibi). Kelompok ini lahir dari kekecewaan
sekelompok orang atas kebijakan politik Ali yang memecat para gubernur pada masa
sebelumnya demi menegakkan pemerintahan yang bersih dari korupsi dan persoalan
nepotisme.57
Sehingga kelompok-kelompok yang awal muncul pasca wafatnya Nabi
saw. adalah Syi'ah, Khawarij, dan Sunni.
Penjelasan terkait kelompok Sunni dan Syi'ah adalah sebagai berikut.
1. Definisi Syi'ah
Kata Syi'ah secara etimologi 'kebahasaan' berarti pengikut, pendukung,
pembela, pencinta, yang kesemuanya mengarah kepada makna dukungan ide atau
55 Ahmad Sahide, 2013, Ketegangan Politik Syi’ah-Sunni di Timur Tengah Sejarah Politik di
SekitarLaut Tengah Pada Abad x M, Yogyakarta: The Phinisi Press,halaman 24. 56 Fuad Mohd. Fachruddin, 1988, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Jakarta: Yasaguna,
halaman 30. Lihat juga M. Abdul Karim, loc. cit. 57 M. Abdul Karim, 2014, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, halaman 111.
36
individu dan kelompok tertentu.58
Syi'ah dalam arti kata lain dapat disandingkan
juga dengan kata tasyayyu' yang berarti patuh atau menaati secara agama dan
mengangkat kepada orang yang ditaati itu dengan penuh keikhlasan tanpa
keraguan. Dalam al-Qur'an penggunaan kata Syi'ah di antaranya terdapat dalam
surat ash-Shaffat [37] ayat 83 yang artinya: "Dan sesungguhnya Ibrahim
benar-benar termasuk pendukungnya (Nuh)". Dalam naskah lama terdapat syair
yang pernah dilantunkan oleh sahabat Hasan bin Tsabit ketika ia memuji Nabi
Muhammad saw. dengan syair Akrama bi qawmi rasulillah syi'atuhum, idza
ta'addadat al-ahwa wa syiya'. Artinya: "Orang yang paling mulia di antara umat
Rasulullah adalah para pengikutnya, apabila telah banyak para pemuja nafsu dan
pengikut". Sehingga kata "Syi'ah" dalam kebahasaan sudah dikenal sejak awal
kepemimpinan Islam sebagai identifikasi terhadap kelompok-kelompok yang
mengidolakan seseorang yang dianggap sebagai tokoh.59
Syi'ah dalam arti terminologi memiliki banyak pengertian. Belum ada
pengertian yang mampu mewakili seluruh pengertian Syi'ah. Kesulitan ini terjadi
karena banyaknya sekte-sekte dalam paham keagamaan Syi'ah. Ibrahim Bafadhol
(2013) dalam bukunya Mencintai Ahlul Bait, memberikan pengertian dengan
mengutip pendapat Ibn Hazm bahwa asas tasyayyu' (menganut paham Syi'ah)
adalah pengakuan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah manusia yang terbaik setelah
Rasulullah saw. dan bahwa dialah Imam serta Khalifah sepeninggal beliau.
58 M. Quraish Shihab, 2014, Sunnah-Syi'ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep
Ajaran dan Pemikiran, Tangerang: Lentera Hati, halaman 60. 59 Muladi Mughni dalam Moh. Hasim, 2012, "Syia'h: Sejarah Timbul dan Perkembangannya di
Indonesia", Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan, Volume 19 No. 02 Juli-Desember 2012, halaman
148-149.
37
Begitu pula imamah atau kekhalifahan setelah Ali adalah hak keturunan Ali.60
Ahmad Amin dalam Muslih Fathoni (1994) juga menjelaskan tentang pengertian
Syi'ah, yaitu golongan yang berkeyakinan bahwa Ali dan keturunannya adalah
orang yang paling berhak menjabat khalifah daripada Abu Bakar, Umar, dan
Usman. Dan bahwasannya Nabi telah menjanjikan kekhalifahan sesudahnya
kepada Ali, dan setiap imam menjanjikan kekhalifahan tersebut kepada
penerusnya.61
Quraish Shihab dengan mengutip pendapat Ali Muhammad al-Jurjani
(1339-1413 M) mendefinisikan bahwa: "Syi'ah adalah mereka yang mengikuti
Sayyidina Ali ra. dan percaya bahwa beliau adalah Imam sesudah Rasul saw.
dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan keturunannya".62
Disimpulkan bahwa pengertian Syi'ah yaitu, "Mereka yang mengikuti Ali
ra. dan percaya bahwa Ali ra.-lah yang paling berhak menjabat khalifah serta
imamah sesudah Rasul saw. daripada Abu Bakar, Umar, dan Usman; dan mereka
percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan keturunannya." Pengertian
ini walaupun hanya mencerminkan sebagian dari golongan Syi'ah, namun dapat
diterima karena menunjuk kepada Syi'ah mayoritas dewasa ini, yakni Syi'ah Itsna
'Asyariyah.
2. Asal Muasal Ajaran Syi'ah
Syi'ah selalu hadir dalam panggung perdebatan dan konflik seperti saat ini.
60 Ibrahim Bafadhol, 2013, Mencintai Ahlul Bait, Yogyakarta: Darul Uswah, halaman 16. 61 Muslih Fathoni, 1994, Faham Mahdi Syi'ah dan Ahamadiyah Dalam Perspektif, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, halaman 16. 62 M. Quraish Shihab, 2014, Sunnah-Syi'ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep
Ajaran dan Pemikiran, Tangerang: Lentera Hati, halaman 61.
38
Konflik Sunni-Syi'ah selalu ada dalam dimensi-dimensi waktu yang berbeda
dengan segala pernik persoalan. Dalam mengungkap sejarah itu, para sejarawan
dari kalangan Sunni dan Syi'ah saling melancarkan argumen yang berbeda dalam
menjelaskan sejarah perkembangan Syi'ah. Masing-masing memberikan klaim
bahwa pendapatnya otentik dan rasional, atau dalam kata lain, masing-masing
mengaku benar.
Dapat dikatakan bahwa Syi'ah adalah golongan pro Ali dan memberi hak
kepadanya untuk menjadi khalifah dan imam setelah Rasulullah saw. wafat.
Sebagai sebuah golongan, mereka muncul setelah wafatnya Ali dengan
memunculkan prinsip-prinsip yang berbeda dengan Ahlusunnah wal Jama'ah.
Dalam menyikapi pendapat tersebut, kelompok di luar Syi'ah, seperti Prof. Dr. H.
M. Rasyidi dan Dr. Fuad Mohammad Fachruddin. Mereka berpendapat bahwa
munculnya prinsip-prinsip tersebut berasal dari Persia sebagai satu bangsa yang
patuh kepada raja dan mempunyai tradisi lama yang mengabadikan sifat
turun-temurun dalam kerajaan dengan mempraktekkan sistem warisan yang
kokoh abadi. Karena setelah orang-orang Persia kehilangan kerajaannya pada
abad ke-7 Masehi, dan kemudian mereka memeluk Islam. Bangsa Persia
memandang Nabi seperti mereka memandang Kisra (Raja Persia), dan
memandang keluarga Nabi sebagaimana mereka memandang Dinasti Persia,
yang beranggapan bahwa jika Nabi wafat maka ia harus diganti oleh
keluarganya.63
63 M. Rasyidi, 1984, Apa Itu Syi'ah?, Jakarta: Harian Umum PELITA, halaman 7. Lihat juga Fuad
Mohd. Fachruddin, 1988, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Jakarta: Yasaguna, halaman 53-54.
39
Rasyidi (1984), juga menjelaskan dengan mengutip pendapat Dr. Husein
Haikal, pengarang Sejarah Abu Bakar dan Umar, bahwa putri Persia yang
terakhir telah dinikahi oleh Husein bin Ali. Atas dasar ini maka simpati bangsa
Persia terhadap keluarga Ali mengandung arti memuliakan orang-orang Persia,
anak cucu Husein yang berdarah keluarga Nabi dan berdarah keluarga Raja
Persia.64
Ada kelompok yang berpendapat bahwa sebenarnya Syi'ah adalah
kelompok sempalan Islam buatan orang Yahudi, Abdullah bin Saba'. Abdullah
bin Saba' sang Yahudi dituduh sengaja membentuk kelompok baru dalam Islam
untuk memecah belah dan menghancurkan umat Islam dari dalam. Sirojuddin
Abbas dalam bukunya I'tiqad Ahlusunnah Wal-Jama'ah, menegaskan bahwa
Abdullah bin Saba' adalah pendeta Yahudi dari Yaman yang sengaja masuk Islam.
Sesudah masuk Islam lantas ia datang ke Madinah pada akhir masa kekuasaan
Khalifah Usman bin Affan, yaitu sekitar tahun 30 H. Akan tetapi hijrahnya
Abdullah bin Saba' tidak mendapat sambutan dari kaum Muslimin, sehingga ia
dendam dan berupaya menghancurkan Islam dari dalam dengan cara
mengagung-agungkan Sayyidina Ali ra.65
Pendapat yang menyatakan bahwa paham Syi'ah adalah buatan Yahudi,
mendapat pertentangan dari pemikir Islam yang lain, terutama dari kalangan
Syi'ah. Quraish Shihab dengan jelas menyebutkan bahwa pendapat yang
menyatakan Syi'ah adalah buatan (rekayasa) Yahudi adalah tidak logis. Menurut
64 M. Rasyidi, loc. cit. 65 Sirojuddin Abbas dalam Moh. Hasim, 2012, "Syia'h: Sejarah Timbul dan Perkembangannya di
Indonesia", Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan, Volume 19 No. 02 Juli-Desember 2012, halaman 150.
40
Shihab, Yahudi tidak dapat memengaruhi sahabat-sahabat Nabi saw. Shihab
menilai bahwa tokoh Abdullah bin Saba' sama sekali tidak pernah ada, ia adalah
tokoh fiktif yang sengaja diciptakan oleh kelompok yang anti Syi'ah.66
Bahkan
golongan Syi'ah sendiri mengutuknya dan menjauhkan diri dari padanya.67
Abdul Halim Mahmud memberikan versi lain perihal awal mula
munculnya ajaran Syi'ah. Ia berkata:
"...Syi'ah pada mulanya merupakan rasa cinta dan kagum seperti
kekaguman Salman al-Farisy terhadap Ahlul Bait (keluarga Nabi
saw.), lalu berkembang dan beralih menjadi cinta, kasih, serta
kasihan ketika sementara orang berkeyakinan bahwa al-Bait
al-Alawy (keluarga Ali) tidak menduduki tempatnya yang wajar
dalam masyarakat. Selanjutnya ketika terjadi penganiayaan berupa
penyiksaan, pengusiran, pemotongan anggota tubuh, pencungkilan
mata, dan pembunuhan (terhadap Ali dan simpatisannya), maka
lahirlah kelompok Syi'ah dalam pengertian istilah..."68
Perbedaan pendapat mengenai asal muasal ajaran Syi'ah yang telah
dijelaskan di atas, merupakan sebab lain sulitnya "kedua kelompok tersebut"
untuk disatukan, meskipun usaha-usaha dalam taqrib (pendekataan di antara
mereka) telah banyak dilakukan oleh para ulama Sunni dan Syi'ah.
3. Kelompok-kelompok dalam Syi'ah
Abu al-Khair al-Baghdadi (wafat 429 H) pengarang kitab Al-Farqu
baina'l-Firaq, membagi Syi'ah dalam empat kelompok besar yaitu Ghulat
(Ekstrimis), Isma'iliyah dan cabang-cabangnya, Zaidiyah, dan Itsna
66 M. Quraish Shihab, 2014, Sunnah-Syi'ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep
Ajaran dan Pemikiran, Tangerang: Lentera Hati, halaman 65. 67 Fuad Mohd. Fachruddin, 1988, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Jakarta: Yasaguna,
halaman 58. 68 M. Quraish Shihab, op. cit, halaman 68-69.
41
'Asyariyah.69
Dan masing-masing dari keempat kelompok tersebut terbagi pula
menjadi beberapa kelompok kecil. Perpecahan dalam kelompok Syi'ah itu terjadi
lebih disebabkan oleh karena perbedaan prinsip keyakinan dalam persoalan
imamah, yaitu pada pergantian imam.70
Berikut akan dijelaskan gambaran umum
kelompok-kelompok dalam Syi'ah.
a) Syi'ah Ghulat
Ajaran-ajaran dari sekte yang ekstrim ini, oleh Jumhur Ulama
dipandang telah keluar dan menyimpang dari akidah-akidah Islam, bahkan
kelompok Syi'ah Imamiyah (Itsna 'Asyariyah) mengatakan bahwa mereka
tidak menerima pendirian Syi'ah Ghulat yang ditolak oleh seluruh umat
Islam.71
Mereka disebut "Ghulat" artinya kelompok yang telah melampaui
batas dari ajaran Islam yang benar.72
Muhammad Abu Zahrah, seorang
ulama Ahlussunnah menulis bahwa kelompok Syi'ah yang keluar dari ajaran
Islam kini telah punah dan tak ada lagi pengikutnya. Secara umum mereka
dinamai Ghulat (kelompok ekstremis).73
Mereka antara lain: As-Sabaiyah (pengikut Abdulah bin Saba'),
Al-Khaththabiyah (mereka adalah penganut aliran Abu al-Khaththab
al-Asady), Al-Ghurabiyah, Al-Qaramithah, Al-Manshuriyah,
An-Nushaiziyah, Al-Kayyaliyah, Al-Kaisaniyah, dan masih banyak lagi yang
69 Ibid, halaman 69-70. 70 M. Rasyidi, 1984, Apa Itu Syi'ah?, Jakarta: Harian Umum PELITA, halaman 50-57. 71 Fuad Mohd. Fachruddin, 1988, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Jakarta: Yasaguna,
halaman 63 72 M. Rasyidi, op. cit, halaman 56-57. 73 M. Quraish Shihab, 2014, Sunnah-Syi'ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep
Ajaran dan Pemikiran, Tangerang: Lentera Hati, halaman 70.
42
mencapai puluhan dengan aneka cabang dan pecahan-pecahannya. Oleh
asy-Syahrastany mereka semua disimpulkan sebagai kelompok-kelompok
yang melampaui batas dalam keyakinan mereka tentang imam-imam mereka
sehingga menjadikan imam-imam itu keluar dari batas-batas kemanusiaan.
Mereka mempersamakan imam-imam dengan Tuhan, sebaliknya ada juga di
antara mereka yang mempersamakan Tuhan dengan makhluk." Jika
kelompok Syi'ah yang sesat dan menyesatkan ini belum punah sama sekali,
maka kemungkinan besar pengikutnya amat sedikit dan tidak lagi memiliki
peranan atau pengaruh yang besar.74
b) Syi'ah Isma'iliyah
Perbedaan perihal keyakinan terhadap keimaman telah membagi
Syi'ah ke dalam kelompok-kelompok dan masing-masing dari
kelompok-kelompok tersebut mengalami sejumlah perpecahan. Kematian
Ismail, putra Imam Ja'far (Imam keenam dari aliran Syi'ah secara umum),
telah membagi Syi'ah menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang
berkeyakinan bahwa walaupun Ismail meninggal di masa hidup ayahnya
namun ia adalah imam dan keimamannya itu berlanjut sesudahnya yang
pertama kepada Muhammad bin Ismail dan keturunannya. Mereka adalah
kelompok Syi'ah Isma'iliyah. Kedua, mereka yang percaya bahwa setelah
kematian Ismail bin Ja'far ash-Shadiq, Musa al-Kadzim yang juga
merupakan anak dari Imam Ja'far-lah sebagai imam ketujuh. Mereka adalah
74 Ibid, halaman 69-73.
43
kelompok Syi'ah Itsna 'Asyariyah, yang memiliki jumlah penganut terbesar
dewasa ini.75
Syi'ah Isma'iliyah dinamai juga Syi'ah Sab'iah 'Syi'ah Tujuh', karena
mereka hanya mempercayai tujuh orang imam sejak Sayyidina Ali ra. dan
berakhir pada Muhammad, putra Ismail. Mereka juga digelari dengan
al-Bathiniyah, karena mereka percaya bahwa al-Qur'an dan Sunnah
mempunyai makna lahir dan makna batin (tersembunyi). Makna lahir adalah
kulit, sedang makna batin adalah inti. Syi'ah Isma'iliyah ini terbagi lagi
menjadi beberapa cabang, dan hingga kini masih memiliki pengikut-pengikut
setia, namun sebagian dari kelompok-kelompoknya memiliki
pandangan-pandangan yang dapat dinilai menyimpang. Kini, Syi'ah
Isma'iliyah tersebar dalam kelompok minoritas di sekian banyak negara
antara lain: Afghanistan, India, Pakistan, Suriah, dan Yaman, serta beberapa
negara Barat, seperti di Inggris dan Amerika Utara.76
c) Syi'ah Zaidiyah
Az-Zaidiyah adalah kelompok Syi'ah pengikut Zaid bin Muhammad
bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau lahir pada
80 H dan terbunuh pada 122 H. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat
taat beribadah, berpengetahuan luas sekaligus revolusioner. Setelah kematian
Ali Zainal Abidin, sekte Zaidiyah terbentuk. Golongan Zaidiyah mengusung
Zaid sebagai imam kelima pengganti Ali Zainal Abidin. Zaid sendiri adalah
75 Ibid, halaman 74. 76 Ibid, halaman 73.
44
seorang ulama terkemuka dan guru dari Imam Abu Hanifah dan merupakan
keturunan Ali bin Abi Thalib dari sanad Ali Zainal Abidin bin Husein. Syi'ah
Zaidiyah adalah golongan yang paling moderat dibandingkan dengan
sekte-sekte lain dalam Syi'ah. Paham yang diajarkan oleh Syi'ah Zaidiyah
dipandang paling dekat dengan paham keagamaan aliran Ahlus Sunnah wal
Jama'ah.77
Kekejaman semasa Dinasti Mu'awiyah terhadap kelompok Ahlul Bait,
menjadikan sementara pengikut Syi'ah memilih untuk tidak terlihat sama
sekali dalam pergolakan politik, berdiam diri, melakukan taqiyah terhadap
penguasa yang zalim demi memelihara diri sambil berdakwah dengan
keteladanan yang baik. Sikap inilah yang dianut oleh Imam Ali Zainal
Abidin, satu-satunya anak Sayyidina al-Husain yang selamat dari
pembantaian di al-Harrah Karbala. Sikap Imam Ali Zainal Abidin itu serupa
dengan sikap paman beliau, Sayyidina al-Hasan, putra Ali bin Abi Thalib
yang mengakui kekuasaan Muawiyah demi kedamaian dan memelihara
kesatuan umat Islam. Sikap inilah yang dilanjutkan oleh Imam Ja'far
ash-Shadiq, putra Muhammad al-Baqir dan berlanjut hingga imam-imam
Syi'ah Itsna 'Asyariyah selanjutnya.78
Tampil melakukan perlawanan, sikap inilah yang dilakukan Imam
Zaid. Dia adalah putra Imam Ali Zainal Abidin sekaligus paman Imam Ja'far
77 M. Rasyidi, 1984, Apa Itu Syi'ah?, Jakarta: Harian Umum PELITA, halaman 52-53. Lihat juga M.
Quraish Shihab, 2014, Sunnah-Syi'ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep Ajaran dan
Pemikiran, Tangerang: Lentera Hati, halaman 82. 78 M. Quraish Shihab, op. cit, halaman 80.
45
ash-Shadiq. Bibit inilah yang melahirkan Syi'ah Zaidiyah. Sikap Zaid
berbeda dengan sikap ayah dan kemenakannya itu diambil setelah melihat
dalam kenyataan bahwa walaupun mereka sudah tidak aktif berpolitik,
namun penganiayaan dan penghinaan terhadap mereka tetap saja berlanjut.
Demikianlah sehingga perlawanan menghadapi penguasa-penguasa yang
berlaku aniaya merupakan dasar utama lahirnya Syi'ah Zaidiyah. Mereka
lebih merujuk kepada Sayyidina Ali ra. (Imam pertama) dan Sayyidina
al-Husain (Imam ketiga Syi'ah) di masa keduanya tampil memerangi
kezaliman walaupun dengan jumlah terbatas dan berakibat pada gugurnya
mereka.79
Menurut mereka imamah tidak dengan nash. Karena itu tidak
disyaratkan imam terdahulu menunjuk imam yang akan datang. Artinya
keimaman tidak berdasarkan warisan, tetapi atas dasar ba'iah. Syi'ah
Zaidiyah menetapkan bahwa imamah dapat diemban oleh siapa pun yang
memiliki garis keturunan sampai dengan Fathimah, putri Rasul saw., baik
dari keturunan putra beliau al-Hasan bin Ali, maupun al-Husain dan selama
yang bersangkutan memiliki kemampuan keilmuan, adil, dan berani, yakni
keberanian mengangkat senjata melawan kezaliman. Karena itulah mereka
mengutamakan dan memilih Zaid daripada Imam Ja'far, kendati ilmunya
melebihi Zaid bahkan, "membimbing Zaid". Namun, karena beliau enggan
mengangkat senjata maka mereka menilainya tidak wajar menjadi imam.
79 Moh. Hasim, 2012, "Syia'h: Sejarah Timbul dan Perkembangannya di Indonesia", Jurnal Pengkajian
Masalah Sosial Keagamaan, Volume 19 No. 02 Juli-Desember 2012, halaman 151-152. Lihat juga M. Quriash
Shihab, op. cit, halaman 80.
46
Bahkan bagi Syi'ah Zaidiyah, Imam Ali Zainal Abidin pun tidak diakui
sebagai imam, karena kengganan beliau mengangkat senjata. Imam bagi
Syi'ah Zaidiyah berlanjut setelah kematian Zaid kepada putranya, Yahya, lalu
kepada sejumlah orang.80
Zaidiyah membenarkan adanya dua atau tiga imam dalam dua atau tiga
kawasan yang berjauhan. Mayoritas penganut Zaidiyah mengakui
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar ra., tidak mengutuk keduanya seperti
kelompok Syi'ah lain. Bahkan Zaidiyah merestui dan menyatakan sahnya
kekhalifahan Usman bin Affan ra., kendati ada beberapa hal yang kurang
disetujuinya.81
Imam Zaid berguru antara lain kepada Washil bin Atha', tokoh aliran
Mu'tazilah yang dikenal sangat rasional, karena itu banyak pandangan
Zaidiyah yang sejalan dengan aliran Mu'tazilah, seperti al-Manzilah
baina'l-Manzilatain, dan kebebasan kehendak manusia.82
Terutama dalam
hal yang berkaitan dengan Dzat Allah, qadha dan qadar. Para pelaku dosa
besar oleh Zaidiyah akan ditempatkan di antara dua tempat, sama dengan
pendapat Mu'tazilah, tetapi mereka tidak akan kekal di neraka. Mereka akan
disiksa di neraka sampai dosanya bersih. Setelah besih dari dosa mereka
akan dipindahkan ke surga.
Tidak seperti Syi'ah lain, mereka menolak menggunakan taqiyah, tidak
80 M. Quraish Shihab, op. cit, halaman 80-81. 81 Ibid, halaman 81. 82 Ibid.
47
juga menyatakan bahwa para imam mengetahui ghaib dan tidak juga
menetapkan 'ishmah (keterpeliharaan dari dosa dan kesalahan) bagi para
imam. Mereka tidak mengakui adanya ilmu khusus dari Allah kepada
imam-imam atau tepatnya pemimpin-pemimpin mereka sebagaimana
kepercayaan Syi'ah yang lain, termasuk Syi'ah Imamiyah. Juga, mereka tidak
mengakui raj'ah, yakni kembalinya hidup orang-orang tertentu ke pentas
bumi ini dan dengan demikian mereka tidak mengakui adanya seseorang
tertentu yang dinamai Imam Mahdi. Siapa pun yang adil, berpengetahuan,
berani dan tampil mengangkat senjata melawan kezaliman maka ia adalah
al-Mahdi.83
Az-Zaidiyah dalam konteks menetapkan hukum menggunakan
al-Qur'an dan Sunnah, serta nalar, mereka tidak membatasi penerimaan hadis
dari keluarga Nabi semata-mata, tetapi mengandalkan juga riwayat dari
sahabat-sahabat Nabi yang lain. Muhammad 'Imarah, cendikiawan Mesir
kontemporer, menukil dari buku Talkhish Muhassal Afkar al-Mutaqaddimah
wa'l-Mutaakhkhirin, karya Nashiruddin ath-Thusy mengatakan bahwa Syi'ah
Zaidiyah menganut paham Mu'tazilah dalam bidang prinsip agama (akidah),
bahkan mereka mengagungkan tokoh-tokoh Mu'tazilah melebihi
pengagungan mereka terhadap imam-imam Syi'ah Itsna 'Asyariyah. Sedang
dalam hukum-hukum yang berkaitan dengan rincian ajaran agama, mereka
banyak sejalan dengan pandangan mazhab Abu Hanifah dan sedikit dengan
83 Ibid, halaman 81-82.
48
mazhab Syafi'i.84
Tokoh Zaidiyah yang cukup menonjol ialah Muqatil bin Sulaiman bin
Muhammad bin Nashr dan Abu Fadhl bin 'Amid serta Shahib bin 'Ubad dan
beberapa amir dari Bani Buwaih. Zaidiyah memiliki beberapa pecahan yang
berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa pecahan tersebut mencapai
belasan. Ada yang membatasinya pada empat sekte, yaitu:
1) Jarudiyah, pengikut Abu al-Jarud Ziyad bin Abu Ziyad
2) Sulaimaniyah, pengikut Sulaiman bin Jarir
3) Shalihiyah, pengikut Hasan bin Shalih bin Hay
4) Batriyah, pengikut Kutsair bin Nawi al-Abtar
Sekte Shalihiyah dan Batriyah boleh dikatakan satu pandangan dan
tidak ada perbedaan yang mencolok. Pada umumnya, seket-sekte tersebut
tidak mempunyai kedudukan menonjol di kalangan Zaidiyah modern yang
mengikuti jalan Imam Zaid dalam segi kesederhanaan dan
kemoderatannya.85
Negara Zaidiyah pertama kali didirikan oleh Hasan bin Zaid tahun 250
H di Dailam dan Thabristan. Kemudian oleh al-Hadi ila al-Haq mendirikan
negara Zaidiyah kedua di Yaman pada abad ke-3 H. Zaidiyah tersebar ke
Timur sampai ke negara-negara Hazr (wilayah Afghanistan), Dailam,
Thabristan dan Jailan. Sedangkan ke Barat tersebar sampai negara-negara
Hijaz dan Mesir. Yaman tergolong pusat Zaidiyah. Sampai sekarang
84 Ibid, halaman 82-83.
85 Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMY. 2002. Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Jakarta:
Al-I'tishom Cahaya Umat, halaman 189.
49
sekurang-kurangnya dua pertiga penduduk Yaman adalah penganut
Zaidiyah.86
d) Syi'ah Itsna 'Asyariyah
Kelompok lain dari golongan Syi'ah Imamiyah yaitu Itsna 'Asyariyah
atau lebih dikenal dengan Imamiyah atau Ja'fariyah, atau kelompok Syi'ah
Imam Dua Belas.87
Kelompok ini mempercayai pengganti Ja'far ash-Shidiq
adalah Musa al-Kadzim sebagai Imam ketujuh bukan Ismail saudaranya.
Kelompok Syi'ah inilah yang jumlahnya paling banyak (mayoritas) dari
kelompok Syi'ah yang ada sekarang. Kelompok ini merupakan mayoritas
penduduk Iran, Irak, serta ditemukan juga di beberapa daerah di Suriah,
Kuwait, Bahrain, India, juga di Saudi Arabia, dan beberapa daerah (bekas)
Uni Soviet.88
Sekte Imamiyah inilah yang bertentangan dengan Ahlussunah wal
Jama'ah dalam pemikiran dan ide-idenya yang spesifik. Mereka sangat
berambisi untuk menyebarkan mazhabnya ke segenap penjuru dunia Islam.
Disebut sebagai Syi'ah Imam Dua Belas karena kelompok Syi'ah ini
meyakini dua belas imam secara berurutan, yaitu:
a) Ali bin Abi Thalib ra. digelari dengan al-Murtadha, khalifah keempat
Khulafa ar-Rasyidin, menantu Rasulullah saw., terbunuh oleh
Abdurrahman bin Muljim di masjid Kufah pada tanggal 17 Ramadan
86 Ibid, halaman 192. 87 M. Quraish Shihab, 2014, Sunnah-Syi'ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep
Ajaran dan Pemikiran, Tangerang: Lentera Hati, halaman 83. 88 Ibid.
50
tahun 40 H.
b) Hasan bin Ali ra., digelari al-Mujtaba.
c) Husein bin Ali ra., digelari "Asy-Syahid" (yang mati syahid).
d) Ali Zainal Abidin bin Husein (80-122 H), digelari as-Sajjad.
e) Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin (wafat tahun 114 H), digelari
Baqir.
f) Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqir (wafat tahun 148 H), digelari
ash-Shadiq (sejati).
g) Musa Kadzim bin Ja'far Shadiq (wafat tahun 183 H), digelari Kadzim
(yang mampu menahan diri).
h) Ali Ridha bin Musa Kadzim (wafat tahun 203 H), digelari Ridha.
i) Muhammad Jawwad bin Ali Ridha (195-226 H), digelari Taqi (yang
banyak takwa).
j) Ali Hadi bin Muhammad Jawwad (212-254 H), digelari Naqiy (suci
bersih).
k) Hasan Askari bin Ali Hadi (232-260 H), digelari Zaki (yang suci).
l) Muhammad Mahdi bin Muhammad al-Askari yang digelari Imam
Muntadhar (Imam yang dinantikan). (Lebih jelas lihat Tabel 1)
51
Tabel 1. Skema Kepemimpinan Imam dalam Syi'ah.
4. Definisi Sunni
Sunnah secara harfiah berarti tradisi, Ahl as-Sunnah berarti orang-orang
yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad saw., dalam hal ini
adalah tradisi Nabi dalam tuntunan lisan maupun amalan beliau serta sahabat
mulia beliau. Sunnah ialah apa yang para sahabat menerimanya dari Rasulullah
52
saw. berupa syari'at, agama, dan petunjuk lahir maupun batin. Selanjutnya para
tabi'in menerimanya dari sahabat, kemudian tabi'it tabi'in, kemudian para imam
pembawa petunjuk, yakni ulama yang adil yang jejaknya bisa diikuti, dan
seterusnya siapa saja yang menempuh jalan mereka sampai hari kiamat. Dari sini
jelaslah bahwa Ahlul Haq adalah pengikut sunnah, yakni Ahlussunnah.
Merekalah pada hakikatnya yang pantas dengan sebutan ini.89
Disebut Al-Jama'ah, ialah karena mereka berkumpul di atas al-Haq
(kebenaran) dan berperang kepadanya. Mereka menelusuri jejak jama'atul
muslimin yang berpegang kepada sunnah dari kalangan sahabat, tabi'in, dan
pengikut-pengikut mereka. Juga karena mereka telah berijma' (bersepakat) di atas
al-Haq (kebenaran) dan di atas ittiba' kepada al-Jama'ah, yaitu Ahlus-Sunnah dan
Ahlul Haq.90
Sementara pakar menyatakan bahwa kelompok Ahlussunnah
muncul sebagai reaksi atas paham Mu'tazilah, yang disebarkan pertama kali oleh
Washil bin 'Atha' (w. 131 H/748 M), yang mana sangat mengandalkan akal dalam
memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran Islam.91
Terdapat sekelompok umat Islam yang berpegang teguh pada al-Qur'an
dan as-Sunnah di tengah pemikiran-pemikiran agama atau keyakinan-keyakinan
yang bersifat ghuluw (berlebihan) bermunculan, yakni munculnya keyakinan
dalam beragam bentuk yang terkadang mengangungkan akal, dan terkadang
masuk pada dasar-dasar yang nilainya masih diperselisihkan. Ahlusunnah
89 Nashir Bin Abdul Karim al-'Aql, 1991, Meluruskan Pemahaman Ahlussunnah Wal Jama'ah,
Surakarta: Pustaka Istiqomah, halaman 101. 90 Ibid. 91 M. Quraish Shihab, 2014, Sunnah-Syi'ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep
Ajaran dan Pemikiran, Tangerang: Lentera Hati, halaman 58.
53
merujuk pada sekelompok umat Islam yang mengakui kekhalifahan setelah
Rasulullah saw., yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali ra. Ahlussunnah
dipahami juga sebagai golongan terbesar kaum Muslim yang mengikuti aliran
Asy'ari dalam urusan akidah dan keempat imam mazhab (Malik, Syafi'i, Ahmad
bin Hanbal, dan Hanafi) dalam urusan syari'ah.92
Adapun pengertian
Ahlussunnah menurut Muhammad 'Imarah, Guru Besar Universitas al-Azhar
Mesir:
"Ahlussunnah adalah mayoritas umat Islam yang anutannya
menyatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah dan
bahwa baik dan buruk itu adalah penganut Jabariyah (paham
fatalisme yang moderat). Mereka enggan untuk membicarakan
pergulatan atau perselisihan sahabat-sahabat Nabi menyangkut
kekuasaan. Mereka juga memperurutkan keutamaan Khulafa
ar-Rasyidin sesuai dengan urutan masa kekuasaan mereka.
Mereka membaiat siapa yang memegang tumpuk kekuasaan,
baik penguasa yang taat maupun durhaka, dan menolak revolusi
dan pembangkangan sebagai cara untuk mengubah ketidakadilan
dan penganiayaan. Mereka berpendapat bahwa rezeki bersumber
dari Allah yang dianugerahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya,
baik rezeki itu halal maupun haram (berbeda dengan Mu'tazilah
yang menyatakan bahwa yang dinamai rezeki terbatas pada yang
halal bukan yang haram)."93
Secara garis besar perbedaan-perbedaan antara Sunni dan Syi'ah dapat
dilihat dalam tabel berikut.
No. Syi'ah Sunni
01 Al-Qur'anul Karim
Al-Qur'an menurut sebagian sekte
Syi'ah diragukan akan keasliannya.
Telah disepakati akan
keautentikannya dan terjaga dari
92 Ibid, halaman 58-59. 93 Ibid, halaman 59.
54
penambahan atau pengurangan.
02 Hadis Nabi
Syi'ah tidak menerima selain
hadis-hadis yang dinisbatkan
kepada keluarga Rasul, dan
sebagian hadis yang
diriwayatkan oleh beberapa
pengikut Ali ra. dalam
peperangannya, mereka menolak
setiap hadis selain dari padanya.
Mereka tidak peduli dengan
kesahihannya, baik jalur sanad
maupun metode ilmiahnya.
Tidak dibenarkan untuk menyelisihi
hukum yang termaktub dalam hadis
apapun yang telah terbukti akan
kesahihannya.
03 Sahabat Nabi
Syi'ah berkeyakinan bahwa
sepeninggal Rasul saw. para
sahabat telah kafir, kecuali
beberapa sahabat yang
jumlahnya tidak melebihi
jumlah jari-jemari kedua tangan.
Sebagaimana mereka telah
memposisikan Ali pada
Ahlussunnah telah bersepakat untuk
menghormati dan mendoakan keridaan
untuk mereka, dan bahwasannya
mereka semua adalah terpercaya.
Sebagaimana Ahlussunnah meyakini
bahwa perselisihan yang terjadi di
antara sahabat semata-mata terjadi
karena perbedaan ijtihad mereka yang
55
kedudukan yang istimewa.
Sebagian mereka meyakini
bahwa ia sebagai penerima
wasiat Nabi, sebagian lainnya
menganggap sebagai Nabi,
bahkan sebagian lagi ada yang
menganggapnya sebagai Tuhan.
Berangkat dari sini, mereka
menilai umat Islam berdasarkan
sikap mereka kepada sahabat
Ali. Sehingga orang yang
terpilih sebagai khalifah
sebelumnya, maka ia zalim atau
kafir.
sama-sama didasari oleh keikhlasan.
Perselisihan tersebut telah selesai,
sehingga kita tidak dibenarkan untuk
menumbuhkan kebencian yang
diwariskan kepada generasi penerus.
Mereka adalah umat terbaik.
04 Ahlul Bait
Syi'ah berpandangan bahwa
keluarga Rasulullah adalah
menantunya, Ali dan sebagian
anaknya saja, kemudian anak
keturunan dan cucu-cucunya.
Ahlussunnah berpandangan bahwa
keluarga Rasulullah adalah para
pengikutnya dalam agama Islam
(menurut yang paling rajih), dan ada
yang berpendapat, mereka adalah
orang-orang yang bertakwa dari
umatnya, dan ada juga yang
56
berpendapat mereka adalah karib
kerabatnya dari Bani Hasyim dan Bani
Abdul Muthalib.
05 Antara Syari'at dan Hakikat
Syi'ah meyakini bahwa syari'at
ialah sekumpulan hukum yang
diajarkan oleh Nabi, dan ajaran
itu hanya berlaku kepada
orang-orang awam saja. Adapun
hakikat dan ilmu yang secara
khusus datang dari Allah, maka
tidak ada yang mengetahuinya
selain para Imam Ahlul Bait.
Para Imam tersebut
mendapatkan ilmu hakikat
dengan jalur warisan, setiap
generasi mewarisi generasi
sebelumnya, sebagaimana ilmu
itu senantiasa dijaga akan
kerahasiannya. Mereka juga
meyakini bahwa para Imam
tersebut adalah ma'sum (terjaga
Ahlussunnah meyakini bahwa syari'at
itu adalah hakikat, dan Rasulullah
tidaklah menyembunyikan sesuatu ilmu
pun dari umatnya. Tidaklah ada suatu
kebaikan, melainkan ia telah
ditunjukkan kepada umat tentangnya,
dan tidaklah ada kejelekan melainkan ia
telah peringatkan kepada umatnya.
57
dari dosa).
06 Kepatuhan (al-Wala')
Syi'ah berpandangan bahwa
kepatuhan merupakan salah satu
rukun iman. Kepatuhan menurut
mereka adalah mempercayai
Kedua belas Imam mereka, dan
yang tidak patuh Imam
dianggapnya tidak beriman.
Ahlussunnah meyakini bahwa
kepatuhan yang utuh hanya diberikan
kepada Rasulullah. Adapun selain
beliau, maka tidak ada ketaatan
kepadanya selain ketaatan yang diatur
oleh kaidah-kaidah syari'at.
07 Al-Imamah
Kepemimpinan menurut mazhab
Syi'ah adalah hak warisan pada
anak keturunan Ali dan
Fathimah. Disebabkan doktrin
seputar kepemimpinan inilah,
sehingga mereka tidak pernah
loyal dan tulus kepada seorang
pemimpin yang berasal selain
dari keturunan tersebut (Ahlul
Bait).
Menurut Ahlussunnah, pemimpin
negara adalah seorang khalifah yang
dipilih dari keumuman umat Islam.
Pada diri seorang khalifah disyaratkan
kecakapan, yaitu dia adalah seorang
yang berakal sehat, dewasa, berilmu,
dan telah dikenal akan kesalihannya,
amanah, dan mampu mengemban
tanggung jawab.94
Tabel 2. Perbedaan-perbedaan Sunni dan Syi'ah
94 Syaikh Muhibuddin al-Khatib, Mungkinkah Syi'ah dan Sunnah Bersatu?, Pustaka Muslim halaman
49-57.
58
B. Kehidupan Sunni dan Syi'ah di Bawah Pemerintahan Saddam Hussein
Bulan Juli 1979 Presiden Irak Ahmed Hasan al-Bakr mengumumkan
pengunduran dirinya dan mengangkat Saddam Hussein sebagai Presiden Irak
sekaligus Ketua Dewan Komando Revolusi. Sejak Saddam resmi menjabat sebagai
presiden Irak, sepenuhnya kekuasaan negara ada di tangannya. Saddam memegang
semua jabatan tinggi negara. Selain sebagai Presiden, dia juga menjabat Ketua Dewan
Komando Revolusi, Sekretaris Jenderal Partai Ba'ath, Perdana Menteri, dan Panglima
Angkatan Perang Irak. Dengan mencontoh Presiden Uni Soviet Joseph Stalin,
Saddam Hussein telah menjadi Pemimpin Tertinggi Irak.95
Partai Ba'ath dan Saddam memimpin Irak berdasarkan empat pilar: ideologi
totalitarian, pemerintahan partai tunggal, ekonomi terpimpin, serta kontrol yang ketat
terhadap media dan tentara. Di bawah kekuasaan tunggal Saddam setelah tahun 1979,
Partai Ba'ath benar-benar menjadi sumber ideologi dan dari sini serta dengan itu pula
Saddam memperluas dan mempertahankan kekuasaannya. Hanya dengan tangan besi,
hanya dengan kekuatan, hanya dengan kecerdikan sekaligus kelicikan, ia mampu
menyatukan Irak.96
Saddam paham betul bahwa satu-satunya cara dan jalan untuk
mempertahankan kekuasaan di negeri yang gampang pecah karena tebalnya garis
pemisah baik itu suku maupun mazhab agama adalah dengan terus mengembangkan
95 Yussuf Sholichien M., 2014, Saddam Hussein: Kisah di Balik Perang Teluk 1990-1991, Jakarta:
Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, halaman 64. 96 Trias Kuncahyono, 2005, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman
124-126.
59
rasa ketakutan (fear) dan organisasi partai dan keamanan. Penggunaan kekerasan,
kekejaman di zaman Saddam, menjadi lebih sistematik dan terorganisasi. Kekerasan
lebih menjadi sebuah alat kontrol negara ketimbang simbol tiadanya kontrol negara.
Terbukti, Saddam mampu menegakkan pemerintahan dan berkuasa selama lebih dari
satu dasawarsa.97
Partai Ba'ath memang sangat berperan penting terhadap semua kebijakan yang
dikeluarkan Saddam. Partai Ba'ath mempunyai sebuah lembaga tertinggi negara
bernama Dewan Komando Revolusi (Revolutionary Command Council, RCC),
sebuah badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tertinggi negara. Inilah otoritas
tertinggi yang sebenarnya dalam negara. RCC terdiri dari 8 sampai 10 anggota, yang
dipimpin oleh seorang ketua umum merangkap sebagai Presiden, Perdana Menteri,
Panglima Tertinggi Angkatan Perang, dan Sekjen Partai Ba'ath. Anggota RCC adalah
para petinggi partai pada pelbagai pimpinan lokal negara (Regional Leadership, RL).
Pada pelaksanaannya, Saddam hanya bermusyawarah dengan sedikit anggota RCC
atau RL, lalu keputusan tersebut dirundingkan dalam pleno RCC-RL sebagai
formalitas persetujuan. Pada dasarnya, yang paling berkuasa dalam RCC bukan
keputusan lembaga secara demokrasi, tetapi pimpinan negara. Itulah yang diterapkan
oleh Presdien al-Bakr, dan terlebih oleh Saddam Hussein.98
1. Sunnisasi dan Ba'athisasi
Sejumlah alasan, beberapa di antaranya tetapi tidak semuanya, yang
97 Ibid, halaman 125-126. 98 Alauddin al-Mudarris, 2004, Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman, Yogyakarta: Penerbit Cahaya
Hikmah, halaman 34.
60
bersifat kebetulan, menjelaskan tidak terwakilinya Syi'ah secara politik di bawah
kepemimpinan Ba'ath. Dimulai sejak kudeta pertama Partai Ba'ath tahun 1963,
peranan politik dan militer kaum Syi'ah justru semakin merosot. Hal tersebut
terlihat, pada periode November 1963-1970, komposisi dari 53 anggota Dewan
Pimpinan Partai Ba'ath adalah 84,9% Arab Sunni; 5,7% Syi'ah; dan 7,5% Kurdi.
Berbeda pada periode sebelumnya (1952-1963), dengan perbandingan 38,5%
Arab Sunni; 53,8% Syi'ah; dan 7,7% Kurdi.99
Pada tahun 1968 sampai 1977 (kudeta kedua Partai Ba'ath) misalnya, tak
ada satu pun dari kalangan Syi'ah yang disertakan dalam RCC (badan pembuat
keputusan tertinggi di Irak). Adapun ketika Saddam berkuasa, sejak tahun 1978
sampai pertengahan tahun 1991, hanya dua orang Syi'ah yang menjadi anggota
RCC dan menduduki posisi cukup penting yaitu, Deputi PM Saadon Hamadi dan
Menteri Pertahanan Tuma Abbas. Namun, pada September 1991, Hamadi dipecat
dari jabatannya sebagai PM dan anggota RCC.100
Kekuasaan politik dan militer selalu berada di tangan kaum minoritas
Sunni, yang hanya sekitar 32-37 persen. Posisi tersebut menurut Shafeeq N.
Chabra (2001), diraih kaum Sunni berdasarkan atas hubungan mereka dengan
populasi Arab Sunni yang dominan di kawasan Timur Tengah. Mereka
mempunyai hubungan kultur Arab. Karena itu, Arab Sunni di Irak cenderung
menganggap diri mereka sebagai keturunan dan pewaris dari abad keemasan
peradaban Islam Arab, yakni di zaman Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dari
99 M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, dan Happy Bone Zulkarnain, 1993, Konflik dan Diplomasi di
Timur Tengah, Bandung: PT Eresco, halaman 101. 100 Ibid.
61
abad ke-8 hingga abad ke-13. Di zaman itulah kaum Sunni menduduki posisi
penting dalam pemerintahan dan masyarakat.101
Dimulai pada pertengahan abad ke-16 hingga Perang Dunia I, ketika Irak
berada di bawah kekuasaan Kekhalifahan Usmaniyah, kaum Arab Sunni kembali
mendapat tempat. Mereka dijadikan semacam benteng pertahanan untuk
menahan gempuran pengaruh Syi'ah/Persia yang makin meluas. Oleh karenanya,
peranan mereka baik dalam kehidupan pemerintahan maupun kemasyarakatan
mengalami peningkatan, bahkan mereka memonopoli kekuasaan politik pada
abad ke-20. Keadaan inilah yang kemudian dikatakan oleh Shafeeq N. Chabra
bahwa kaum Sunni Arab memainkan peranan besar dalam sejarah Irak sejak
semula.102
Kuncahyono (2005) menjelaskan kehidupan Sunni dan Syi'ah sebagai
berikut:
Pemerintahan kolonial Inggris menduduki Irak sejak akhir Perang
Dunia I, dengan melanjutkan peta pembagian kekuasaan yang
sudah ada. Bahkan, Inggris berusaha menarik dan mengambil hati
para pemimpin suku dengan menerapkan berbagai kebijakan.
Misalnya, memberikan penyadaran tentang kepemilikan tanah dan
juga memberikan senjata. Inggris menjamin bahwa para pemimpin
suku terkemuka akan memiliki wakil di parlemen. Meskipun,
kaum Syi'ah sebenarnya juga meraih kemajuan pesat terutama di
bidang ekonomi, setelah jalan mereka masuk elite politik dan
militer tertutup. Banyak di antara mereka, kaum Syi'ah, menjadi
tuan tanah dan merambah ke dunia kewirausahaan. Dominasi Arab
Sunni itu berlanjut hingga di zaman Saddam Hussein. Antara tahun
1921 dan 1936, dari 57 anggota kabinet, hanya lima yang
non-Sunni, yakni Syi’ah atau Kurdi. Di zaman monarki berkuasa
(1921-1958), lima kementrian penting dan berkuasa hampir
101 Trias Kuncahyono, 2005, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman
131-132. 102 Ibid.
62
seluruhnya dikuasai Sunni. Dominasi kaum Sunni bahkan
menerobos hingga tingkat lokal. Pada tahun 1933, misalnya, Sunni
memerintah di 13 dari 14 provinsi dan memipin 43 dari 47 distrik.
Menurut suatu perkiraan, periode 1920-1958 merupakan masa
keemasan bagi para pemimpin politik di Irak dari mazhab Sunni.
Di masa itu, hampir 60 persen pemimpin politik Irak adalah dari
Arab Sunni, sekitar 25 persen Arab Syi’ah, dan 15 persen Kurdi.
Pada periode yang sama, jumlah kaum Sunni sekitar 20 persen dari
seluruh jumlah penduduk negeri itu, Syi’ah 55-60 persen, dan
Kurdi sebanyak 20 persen.103
2. Respon Terhadap Sunnisasi Negara: Dari al-Sadr sampai al-Hakim
Sunnisasi dan Ba'athisasi panggung politik Baghdad oleh kelompok
minoritas Arab Sunni, khususnya partai Ba'ath, lebih khusus lagi keluarga
Saddam dan "klan" al-Takriti, inilah yang menjadi sumber utama penentangan
kaum Syi'ah terhadap rezim di Irak. Berbeda dengan motivasi perlawanan kaum
Syi'ah di Iran (pra Revolusi Islam), yang bersumber pada isu-isu meluasnya
korupsi di kalangan Dinasti Pahlevi, distribusi kesejahteraan yang tak merata,
serta hubungan diplomatik dengan Israel, AS, dan Afrika Selatan.104
Berikut
dijelaskan kondisi dan fakta-fakta seputar perlawanan kaum Syi'ah Irak terhadap
rezim Sunni Saddam Hussein.
Pemberontakan kaum Syi'ah yang pertama kali sejak kemerdekaan Irak,
terjadi pada tahun 1935. Kala itu ulama Syi'ah menuntut diajarkannya Hukum
Syi'ah di sekolah-sekolah (fakultas) Hukum di seluruh Irak. Namun, gerakan
Syi'ah Irak baru terorganisasi pada akhir tahun 1950-an. Yaitu, ketika sejumah
ulama dan aktivis Syi'ah—seperti, Muhammad Mahdi al-Asafi, Sayyid Kazim
103 Ibid, halaman 133. 104 M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, Happy Bone Zulkarnain, 1993, Konflik dan Diplomasi di
Timur Tengah, Bandung: PT Eresco, halaman 102.
63
al-Ha'iri, Mahdi Ali Akbar Shariati, Ali Muhammad al-Kurani, Mahdi al-Khalisi,
dan Hamid Muhajir— mendirikan Partai Dakwah Islam (Hizb ad-Da'wah
al-Islamiyyah) di Najaf. Tiga di antara pendiri Partai Dakwah: al-Asafi, al-Ha'iri,
dan Shariati, adalah keturunan Iran.105
Partai agama bawah tanah ini dibentuk berdasarkan inspirasi
ajaran-ajaran ulama terkemuka Syi'ah, yakni Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr
(1935-1980). Partai ini bukan hanya sebuah gerakan reformis melainkan juga
sebuah gerakan yang agak revolusioner. Tujuan mereka adalah mengganti negara
sekuler modern yang ditegakkan oleh Partai Ba'ath dengan tatanan dan hukum
sosial-politik Islami. Tentu saja pemerintahan sekuler Baghdad di bawah kendali
Partai Ba'ath sangat tidak menginginkan lahirnya partai seperti itu. Mereka pun
segera bertindak dan memberangusnya. Tahun 1974, lima anggota Partai Dakwah
dihukum mati.106
Dua puluh tahun kemudian (1979) di Baghdad lahir organisasi kaum
Syi'ah yang lain, al-Mujahidin. Kelompok ini didirikan antara lain oleh Sayyid
Abdul Aziz Hakim, anak bungsu Ayatullah Muhsin al-Hakim (salah satu ulama
Syi'ah terkemuka di Irak). Berbeda dengan Partai Dakwah yang menghendaki
berdirinya rezim Islam Irak yang independen, al-Mujahidin secara tegas
mengakui kepemimpinan Ayatullah Khomeini dan dengan sendirinya,
menginginkan rezim Islam Irak yang berorientasi ke Teheran. Namun, baik
Dakwah maupun Mujahidin sama-sama mengakui kepemimpinan Imam Syi'ah
105 Ibid. 106 Trias Kuncahyono, 2005, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman
157-158.
64
Irak, Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr.107
Kerusuhan-kerusuhan Syi'ah terulang kembali dari tahun 1969,. Pada
tahun itu, Muhsin al-Hakim ditangkap karena diduga telah melakukan hubungan
dengan CIA. Akibatnya, lembaga-lembaga keagamaan serta publikasi keagamaan
dikekang. Banyak kaum Syi'ah melakukan demonstrasi di Najaf. Mereka
menyuarakan tentang kepemimpinan al-Hakim dan keunggulan Najaf. Setahun
kemudian, al-Hakim dieksekusi. Dan selama tahun tujuh puluhan, ketegangan
antara pemerintah dan Syi'ah Irak terus meningkat.108
Baqir al-Sadr kemudian dinobatkan sebagai Marji' (ulama yang
mempunyai otoritas di bidang hukum dan agama) bagi umat Syi'ah Irak, setelah
meningggalnya Muhsin al-Hakim pada 1970. Pada masa al-Sadr inilah kaum
Syi'ah Irak mulai diperhitungkan sebagai sebuah kekuatan politik yang potensial.
Para ulama Syi'ah di Najaf, misalnya, mulai menuntut peranan yang lebih aktif
dalam kehidupan politik.109
Kerusuhan-kerusuhan mengguncang perayaan Asyura pada tahun 1974
dan 1977. Di tahun 1977110
, saat berlangsung peringatan Asyura (untuk
mengenang kesyahidan Imam Husein) pecah demonstrasi besar-besaran yang
dipimpin para ulama Syi'ah di Karbala dan Najaf. Selama beberapa hari, ribuan
penduduk Syi'ah bentrok dengan pasukan keamanan yang semula dikirim untuk
107 M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, Happy Bone Zulkarnain, op. cit, halaman 102. 108 Chibli Mallat dalam Shireen T. Hunter, 2001, Politik Kebangkitan Islam, Yogyakarta: Tiara
Wacana, halaman 130. 109 M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, Happy Bone Zulkarnain, op. cit, halaman 103. 110 Orang-orang Syi'ah membagi-bagikan buletin berkala di Irak dan Teluk, di antaranya Al-Iraq
Al-Hur (Irak yang merdeka) dan Shaut asy-Sya'b al-Mudhthahad (Suara Rakyat Tertindas). Isi buletin tersebut
adalah berupa seruan perlawanan terhadap para penguasa kota Baghdad. Lihat: Abdus Sami' Husein, 2006,
Pengkhiantan-pengkhianatan Syi'ah dan Pengaruhnya Terhadap Kekalahan Umat Islam, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, halaman 183-184.
65
mengamankan upacara tersebut. Ketika situasi makin buruk, ribuan orang
ditangkap, sejumlah lainnya tewas dalam bentrokan dan luka-luka.111
Saddam segera memerintahkan agar para pemimpin Syi'ah yang
ditangkap diadili lewat pengadilan khusus, termasuk al-Sadr yang dihukum dari
bulan Juni 1979 sampai Maret 1980. Pengadilan memutuskan, delapan ulama
dihukum mati dan 15 ulama lainnya dihukum penjara seumur hidup. Selama
dalam penjara al-Sadr menyerukan kepada para pengikutnya untuk terus berjuang
melawan rezim Ba'ath pimpinan Saddam. Akibatnya, penangkapan dan
pemenjaraan terus dilakukan aparat keamanan terhadap para pengikut Syi'ah.
Jumlah yang dipenjara mencapai 3.000 orang.112
Perkembangan di dalam negeri Iran, yakni dengan berkobarnya Revolusi
Islam pada tahun 1979, telah memberikan pukulan pada rezim Saddam di
Baghdad. Revolusi yang dikomandai Imam Besar Ayatullah Ruhulah Khomeini
menumbangkan Shah Iran Reza Pahlevi, telah memberikan semangat besar pada
kaum Syi'ah di Irak. Naiknya Khomeini ke pucuk pemerintahan Iran telah
melahirkan dan mendorong timbulnya sentimen anti-pemerintah di kalangan
komunitas Syi'ah di Irak, pada tahun 1979 dan 1980. Pada bulan Februari 1979,
pecah demonstrasi besar yang dilakukan Syi'ah untuk mendukung Khomeini di
Najaf dan Karbala. Baghdad menjawab aksi itu dengan mengirimkan tentara
yang diperkuat tank ke kedua kota itu. Segera demonstrasi di kedua kota itu dapat
111 Trias Kuncahyono, 2005, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman
158. 112 Ibid.
66
ditumpas.113
Demonstrasi pecah lagi pada bulan Juni di tahun yang sama di kedua kota
suci tersebut setelah al-Sadr, yang saat itu menjadi simbol oposisi Syi'ah di Irak,
dilarang memimpin rombongan pergi ke Teheran untuk memberikan ucapan
selamat kepada Khomeini. Pemerintah tidak hanya menindak demonstrasi
tersebut, tetapi juga memberlakukan undang-undang darurat atas kota-kota di
Irak Selatan bahkan atas Baghdad sendiri. Orang-orang yang menjadi anggota
Partai Dakwah terancam hukuman mati. Sejumlah orang yang dicurigai menjadi
anggota organisasi tersebut ditangkap, termasuk al-Sadr sendiri. Ia kemudian
dikenai hukuman rumah di Najaf dan tidak boleh berhubungan dengan dunia luar
sama sekali.114
Tindakan tegas terhadap Partai Dakwah justru mendorong lahirnya
organisasi-organisasi lain berhaluan keras. Misalnya Jun al-Imam (Tentara Imam)
dan Munazzamat al-'Amal a-Islami. Organisasi yang kedua, Munazzamat
al-'Amal al-Islami, adalah organisasi yang berusaha memfokuskan diri pada
aktivitas politik di tingkat masyarakat yang dipimpin oleh Ayatullah Muhammad
Taqi al-Mudarissi dan berpusat di Karbala. Sementara Partai Dakwah berpusat di
Najaf. Akhir tahun 1979 bahkan Partai Dakwah membentuk brigade militer
sendiri yang diberi nama Pasukan Syahid al-Sadr.115
Meningkatnya militansi kaum Syi'ah itu dijawab Saddam dengan
tindakan lebih tegas terhadap mereka. Pada bulan Maret 1980, misalnya,
113 Ibid, halaman 158-159. 114 Ibid, halaman 159. 115 Ibid, halaman 160.
67
sebanyak 96 anggota Partai Dakwah dieksekusi. Tindakan Saddam tidak berhenti
sampai di sini. Pada bulan April tahun yang sama, sebanyak 30.000 orang Syi'ah
diusir dari Irak dan mereka masuk ke Iran. Saddam tidak puas hanya dengan
mengusir kaum Syi'ah. Pada tanggal 8 April 1980, al-Sadr dan saudara
perempuannya, Bint al-Huda, dieksekusi.Ini merupakan pukulan berat bagi kaum
Syi'ah. Mereka kehilangan pemimpin dan panutannya. Akibatnya, mereka seperti
limbung dan porak-poranda. Melihat hal itu, Saddam terus bertindak, menekan
dan menindas kaum Syi'ah. Ia lantas mengusir lagi begitu banyak orang Syi'ah ke
Iran.116
Saddam mulai mengubah taktik dan strategi dalam menghadapi kaum
Syi'ah, setelah serangkaian tindakan tegas dan penindasan terhadap mereka. Saat
itu disebarkan berita bahwa pemimpin Irak itu telah menjadi pengikut Ali bin Abi
Thalib, Imam pertama Syi'ah. Saddam juga diberitakan berusaha menjadi
pengikut yang baik, saleh demi memperoleh "nilai-nilai surgawi", sebagai bentuk
dari komitmennya terhadap "nilai-nilai surgawi" itu, Saddam melarang perjudian
pada awal tahun 1979. Ia juga mengenakan jubah Syi'ah, yang disebut abbaya,
mengunjungi perkampungan Syi'ah dan memberikan hadiah-hadiah berupa uang
dan televisi. Menurut Kantor berita INA, 8 Agustus 1979, Saddam berusaha
meyakinkan komunitas Syi'ah bahwa ia benar-benar pengikut Syi'ah dengan
mengatakan bahwa ia keturunan langsung Khalifah Ali. Akan tetapi, semua usaha
116 Ibid, halaman 159-160. Lihat juga M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, Happy Bone Zulkarnain,
1993, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, Bandung: PT Eresco, halaman 103-104, Chibli Mallat dalam
Shireen T. Hunter, 2001, Politik Kebangkitan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, halaman 132.
68
itu tidak diterima oleh komunitas Syi'ah.117
Perlawanan kaum Syi'ah masih pecah lagi pada tahun 1991 setelah
Perang Teluk I yang disulut oleh invasi Irak ke Kuwait, berakhir. Kaum Syi'ah
melakukan pemberontakan melawan rezim Saddam. Ketika itu, penduduk
Karbala bergabung dengan penduduk Basra melawan Saddam. Pemberontakan
dimulai pada tanggal 5 Maret 1991, pukul 02.30, mereka mulai menyerang
gedung-gedung pemerintah. Dan paginya 6 Maret 1991, pemberontak berhasil
menguasai Karbala. Lusinan pejabat senior, termasuk polisi, para agen keamanan,
deputi gubernur, dan para anggota Partai Ba'ath jajaran atas juga dibunuh oleh
kaum pemberontak.118
Pemerintahan Saddam menjawab aksi itu dengan mengerahkan
pasukannya. Sehari setelah para pemberontak menguasai Karbala, pasukan
pemerintahan Saddam, Garda Republik, mulai menggempur kota itu. Mereka
juga menyerang tempat-tempat yang diyakini menjadi pusat konsentrasi pasukan
Syi'ah. Dan Masjid Imam Hussein pun tak luput dari gempuran pasukan Saddam.
Antara tanggal 7 Maret hingga 11 Maret 1991, tentara Saddam tidak hanya
menembaki dan meroketi masjid, tetapi juga menyerang mereka, kaum Syi'ah
dan para simpatisan yang mengangkat senjata melawan Bahgdad. Berapa jumlah
korban tewas dan terluka serta yang ditahan hingga kini tidak jelas. Akan tetapi,
peristiwa di Karbala itu tetap tercatat sebagai lembaran gelap bagi kaum Syi'ah di
Irak. Peristiwa Karbala tetap tercatat pula sebagai represi paling hebat terhadap
117 Trias Kuncahyono, 2005, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman
160-161. 118 Ibid, halaman 29-30.
69
kaum Syi'ah oleh rezim Saddam Hussein.119
Ulama Syi'ah Irak lain yang juga turut memperjuangkan nasib kaumnya,
adalah Muhammad Baqir al-Hakim. Baqir al-Hakim lahir di Najaf pada tahun
1939. Ia berasal dari keluarga Irak yang dikenal sangat taat beribadah, saleh, dan
dihormati oleh jutaan orang Syi'ah di Irak dan dunia. Ia adalah putra Imam Besar
Ayatullah Muhsin al-Hakim yang pernah menjadi pemimpin spiritual Syi'ah di
dunia pada periode 1955-1970. Setelah menyelesaikan pendidikan di Najaf, ia
bergabung dengan Ayatullah Sayid Muhammad Baqir al-Sadr mendirikan
kelompok politik yang diberi nama Gerakan Islam pada akhir tahun 1960-an.
Karena aktivitas politiknya yang menentang pemerintah yang berkuasa di bawah
Partai Ba'ath, kedua ayatullah itu berkali-kali dipenjara.120
Tahun 1972, ia ditangkap, dipenjara dan disiksa. Ia kemudian dibebaskan
karena muncul tekanan terhadap rezim yang berkuasa. Lima tahun kemudian, ia
ditangkap lagi menyusul pecahnya pergolakan rakyat pada bulan Februari 1977
di Najaf. Kala itu hukuman yang dijatuhkan atas Baqir al-Hakim sangat berat. Ia
dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh pengadilan khusus tanpa lewat
proses peradilan. Vonis itu mengundang reaksi dari berbagai penjuru. Desakan
dan protes agar Baqir al-Hakim dibebaskan terus bermunculan. Maka, pada bulan
Juli 1979, ia dibebaskan.121
Tahun 1979, Baqir al-Sadr tengah dikenai hukuman tahanan rumah.
Mereka berdua terus berjuang melawan rezim Saddam, yang berkuasa sampai
119 Ibid, halaman 31. 120 Ibid, halaman 28. 121 Ibid, halaman 29.
70
akhirnya Baqir al-Sadr dibunuh oleh orang-orangnya Saddam. Tragedi yang
menimpa Baqir al-Sadr itu telah mendorong Baqir al-Hakim untuk mengambil
keputusan meninggalkan negerinya dan pindah ke Iran. Keputusan itu diambil tak
lama setelah pecah perang Irak-Iran tahun 1980. Di Iran, ia melanjutkan
perjuangannya dan bahkan berperan besar dalam pembentukan SCIRI (Supreme
Council of the Islamic Revolution in Iraq, Dewan Tertinggi Revolusi Islam di
Irak) pada bulan November 1982.122
Tindakan Baqir al-Hakim itu memancing kemarahan luar biasa dari
Saddam Hussein. Apalagi, Baqir al-Hakim terlibat langsung dalam gerakan
politik melawan pemerintahan di Baghdad. Sebagai balasannya, Saddam
menangkap dan menahan 125 orang anggota keluarga Baqir al-Hakim yang
masih ada di Irak. Hanya dalam tempo dua hari, penguasa Irak membunuh 18
anggota keluarga Baqir al-Hakim yang masih tinggal di Irak. Bahkan, pada bulan
Januari 1988, penguasa Irak membunuh saudara laki-laki Baqir al-Hakim, yakni
Sayed Mahdi al-Hakim yang tinggal di Sudan. Walaupun demikian, Baqir
al-Hakim tidak menyurutkan langkah kakinya untuk terus berjuang melawan
penguasa Baghdad.123
Berdirinya SCIRI pada tanggal 17 November 1982, maka al-Hakim,
dengan restu Imam Khomeini diakui sebagai pemimpin utama gerakan Syi'ah
Irak. Namun, seperti ditulis Mallat, al-Hakim belum bisa disejajarkan dengan
al-Sadr. Tidak satu pun, misalnya, karya al-Hakim yang mampu menandingi
122 Ibid, halaman 29. 123 Ibid.
71
Iqtisaduna dan Fasafatuna atau karya-karya al-Sadr lainnya. Juga yang sulit
dibantah, berbeda dengan al-Sadr yang "tumbuh sendiri", maka Baqir al-Hakim
tampak selalu berada di bawah bayang-bayang kebesaran nama ayahnya,
Ayatullah Muhsin al-Hakim.124
Akhir dasawarsa 1990-an, di Irak, sudah muncul tokoh baru yang juga
dari keluarga al-Sadr. Tokoh itu adalah Ayatullah Muhammad Sadiq al-Sadr. Ia
adalah sepupu al-Sadr. Munculnya Sadiq al-Sadr ini benar-benar memberikan
kekuatan kepada kaum Syi'ah. Pemimpin baru ini pun populer dan berani
mengkritik dan mengecam rezim yang berkuasa. Kenyataan seperti itu sangat
tidak disenangi Saddam. Maka dengan segera, ia menangkap Sadiq al-Sadr dan
membunuhnya di Najaf pada tahun 1999. Akibatnya, pecahlah demonstrasi di
berbagai kota di Irak selatan yang penduduknya mayoritas Syi'ah.125
Sembilan demonstran ditangkap dan dibunuh di Ramadi. Pada bulan
April, sekitar 100 tahanan dari penjara Radwaniah dibawa ke Ramadi, dan di
kota itu, mereka dikubur hidup-hidup dalam satu lubang kubur. Tak hanya Sadiq
al-Sadr yang dibunuh, dua putra tertuanya pun dieksekusi oleh rezim. Namun,
putra termudanya selamat, yakni Muqtada al-Sadr. Selanjutnya, ialah pewaris
politik al-Sadr. Dan sejak tahun 1999, Muqtada al-Sadr melakukan perlawanan
bawah tanah terhadap Saddam. Sementara di Najaf, sejak tahun 1999 dipimpin
oleh Ayatullah Agung Ali Sistani yang berasal Iran.126
124 M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, Happy Bone Zulkarnain, 1993, Konflik dan Diplomasi di
Timur Tengah, Bandung: PT Eresco, halaman 104. 125 Trias Kuncahyono, op. cit, halaman 163. 126 Trias Kuncahyono, op. cit, halaman 163.
72
Selepas kepulangan Baqir al-Hakim dari pengasingannya di Iran,
tepatnya pada Jumat 29 Agustus 2003, tepat setelah ia berziarah ke Masjid Imam
Ali, bom mobil pun meledak. Baqir al-Sadr beserta 124 orang lainnya tewas.
Beberapa bulan sebelumnya, 10 April 2003, Najaf sudah kehilangan salah
seorang pemimpinnya. Ketika itu, Abdul Majid al-Khoei, pemimpin senior Syi'ah
Irak, dibunuh juga tak jauh dari Masjid Imam Ali.127
Dan kepemimpinan SCIRI
kemudian dilanjutkan oleh adiknya, Abdul Aziz al-Hakim.
C. Kondisi Irak Pasca Saddam Hussein dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan
Sunni-Syi'ah
Akhir Februari 2003, jelas bahwa pasukan koalisi yang dipimpin Amerika
Serikat berniat menginvasi Irak. Tujuannya ada dua, yaitu: menyingkirkan Saddam
Hussein dari kekuasaannya dan memulihkan Irak dari kepemilikan senjata pemusnah
massal. Sementara banyak dari dunia internasional menentang gagasan perubahan
rezim dengan interverensi militer, banyak orang Irak justru mendukungnya.128
Rasa kehati-hatian muncul di Irak. Tentu saja, penghapusan Saddam disambut
baik oleh Syi'ah Arab dan Kurdi sejak kedua kelompok itu dianaktirikan di bawah
kekuasaannya, terutama setelah Perang Teluk Persia. Selain itu, ada beberapa
kelompok Sunni dan suku-suku yang menentang Saddam telah dirugikan dengan
melemahnya posisi mereka di pemerintahan. Tetapi, banyak juga para Syeikh qabilah
yang mendapatkan keuntungan di bawah Saddam, mereka diberi subsidi atas loyalitas
127 Ibid, halaman 13-14. 128 Hala Fattah, Frank Caso, 2009, A Brief History of Iraq, New York: Facts On Fie, Inc An Imprint of
Infobase Publishing, halaman 246.
73
mereka terhadap rezim.129
Alasan untuk kehati-hatian adalah bahwa tidak ada seorang pun yakin apa
yang diharapkan setelah jatuhnya rezim Ba'ath. Akankah Sunni mempertahankan
posisi mereka sebagai pemegang kekuasaan? Akankah Syi'ah akhirnya memiliki suara
dalam pemerintah, karena jumlah mereka yang mayor? Dan bagaimana dengan Kurdi?
Akankah bisa merealisasikan cita-cita untuk mendirikan sebuah Kurdistan di masa
yang akan datang? Atau setidaknya mereka bisa menikmati otonomi yang setara
dengan Arab Irak? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul di awal perang tahun
2003. Dan setelah beberapa pekan dan bulan setelah invansi, kondisi Irak menjadi
kacau. Banyak pemberontakan-pemberontakan, anarkisme merebak di seantero Irak.
Dalam setahun mereka yang mungkin telah memandang pasukan koalisi sebagai
pembebas, tidak lagi melakukannya. Namun, seiring berjalannya waktu Irak mampu
melangkah menuju pemulihan dan pembentukan pemerintahan baru.130
1. Merebaknya Anarkisme
Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld mengumumkan suksesnya
penaklukan Baghdad, yang ditandai dengan perobohan patung Saddam pada
Rabu 9 April 2003, tepatnya pukul 18.50 waktu setempat atau sekitar 22.50 WIB,
rakyat Irak justru mulai dililit teror "babak baru". Anarkisme. Itulah sebutan yang
tepat untuk menggambarkan keadaan Irak saat itu. Di banyak kota di Irak seperti
Baghdad, Najaf, Fallujah, Rumadi dan kota-kota lainnya, tetapi terutama
Baghdad, penjarahan dan pembakaran terjadi ketika penggulingan rezim.
129 Ibid. 130 Ibid.
74
Makanan dan barang-barang lainnya menjadi langka; fasilitas umum rusak jika
tidak, hancur. Mengamankan perawatan (peralatan) kesehatan dengan layak
menjadi masalah karena harus melakukan pengadaan air minum dan listrik.
Komputer, meja-kursi, ranjang, kasur, kulkas, bahkan kembang plastik digotong
beramai-ramai oleh kawanan "Ali Baba"; julukan yang diberikan kepada para
pencuri.131
Tidak hanya rumah Uday dan Qusay (kedua putra Saddam Hussein) yang
terkena imbasnya, bahkan rumah-rumah milik pejabat tinggi Irak lainnya pun
ikut mereka jarah. Seluruh perabotan ludes tak bersisa. Mereka juga beraksi di
bank-bank, Kedutaan Jerman, Pusat Kebudayaan Prancis, Gedung Unicef,
museum, bahkan rumah sakit. Mereka sudak tak peduli lagi mana barang halal
dan mana barang haram, mana milik publik dan pribadi. Semuanya dilalap
habis.132
Keadaan yang tidak jauh berbeda juga terjadi di selatan Irak, yakni di Kota
Safwan. Kota Safwan kala itu adalah kota yang paling awal ditinggal oleh
pemerintahan pusat. Tidak ada kontrol negara, tidak ada hukum yang ditegakkan,
dan tiadanya sumber-sumber yang bisa menunjang kehidupan. Setelah Safwan
dibombardir, dan pihak koalisi berhasil masuk ke Irak, mereka belum
membangun infrastuktur di sana. Listrik mati, air putus, telepon tidak berfungsi,
tidak ada suplai makanan dan minuman. Pasar dan pertokoan sepi karena tidak
131 Rommy Fibri, Ahmad Taufik, 2008, Detik-detik Terakhir Saddam Kesaksian Wartawan TEMPO
dari Baghdad, Irak, Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO, halaman 13-14. 132 Ibid.
75
ada barang lagi yang bisa dijual. Barang-barang yang masih ada adalah sisa-sisa
sebelum invasi AS dan Inggris ke Irak dimulai. Para pemilik toko lebih memilih
menyimpan barang-barang itu daripada menjualnya. Perkantoran lumpuh karena
tidak ada lagi pemerintahan resmi.133
Hidup berada dalam tekanan semacam itu membuat penduduk Kota
Safwan hilang keseimbangan dan tiadanya lagi logika rasional. Yang kuat tak
menghiraukan yang lemah. Yang muda tak memedulikan lagi yang tua. Lelaki
tidak iba lagi kepada kaum hawa. Keadaan itu menjadi gambaran keadaan kota
ini ketika lima truk Palang Merah Kuwait datang ke sana. Segerombolan pemuda
bertindak bak perampok dan penjarah. Mereka memasukkan barang-barang
bantuan itu ke dalam mobil atau kereta dorong mereka tanpa batas. Sementara
kaum hawa dan tua renta hanya bisa mengeluh, kecewa, dan bahkan meneteskan
air matanya ketika mereka pulang lagi dengan tangan hampa atau hanya bisa
membawa seonggok makanan saja yang belum tentu cukup dimakan sehari.
Panorama semacam itulah yang terjadi di Irak, khususnya di wilayah-wilayah
selatan dan tengah Irak. Demi sesuap nasi justru menimbulkan anarkisme.134
Belakangan, ketika kecaman keras kian mengalir, barulah kubu koalisi
mengatur penjagaan di rumah sakit dan sarana-sarana publik. Tapi secara umum
penjarahan terus berlangsung. Pasukan koalisi seolah membiarkan para Ali Baba
berkeliaran untuk menunjukkan pemerintahan Saddam sudah tidak dapat
133 Musthafa Abd. Rahman, 2003, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam (Laporan dari Lapangan),
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman 192. 134 Ibid, halaman 192-193.
76
dipertahankan. Kemudian, setelah para ulama memperingatkan mereka melalui
pengeras suara yang berada masjid-masjid, barulah aksi penjarahan akhirnya
berhenti.135
Tentu, pasar gelap bermunculan di mana pun ada permintaan, dan banyak
dari barang curian berakhir di negara-negara tetangga, banyak melalui Kurdistan.
Lembaga kebudayaan juga terpukul oleh perang dan akibatnya, insiden paling
terkenal ini, penjarahan Museum Nasional Irak. Hanya setelah jatuhnya Baghdad
pada April 2003, diperkirakan 15.000 buah –banyak darinya adalah artefak
Sumeria Kuno– diambil dari museum (meskipun sekitar sepertiganya telah
kembali).136
Ada juga kerusakan situs arkeologi oleh helikopter koalisi. Di antara
situs-situs tersebut yang hancur adalah Kuil Nabu dan Ninmah yang telah ada
sejak abad ke-6 SM, dan sisa-sisa dari teater Yunani yang telah ada sejak
Kekaisaran Seleucid. Sehari setelah Museum Nasional Irak dijarah, bangunan
utama Perpustakaan Nasioanl Irak dan Arsip itu dibakar, sehingga menyebabkan
kerusakan struktural yang luas. Menurut direktur perpustakaan, Saad Eskander,
"Dengan kejadian itu diperkirakan perpustakaan kehilangan 25 persen dari
koleksinya, termasuk buku langka, sedangkan arsip kehilangan 60 persen dari
koleksi, termasuk catatan Ottoman yang berharga". Eskander juga menyebutkan
bahwa arsip republik benar-benar hancur. Sementara reaksi beberapa pejabat AS
135 Rommy Fibri, Ahmad Taufik, 2008, Detik-detik Terakhir Saddam Kesaksian Wartawan TEMPO
dari Baghdad, Irak, Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO, halaman 14-15. 136 Hala Fattah, Frank Caso, 2009, A Brief History of Iraq, New York: Facts On Fie, Inc An Imprint of
Infobase Publishing, halaman 251-252.
77
menggema shock di seluruh dunia atas penjarahan dan pembakaran, dan yang
lain memberikan tanggapan defensif untuk kegagalan untuk melindungi harta
nasional.137
Secara keseluruhan, penjarahan, teror, dan kekerasan setelah keamanan
menurun sebab adanya perlawanan dan setelah jatuhnya Baghdad dapat
dibandingkan dengan penjajahan Mongol terhadap Baghdad di tahun 1258.
Kekhawatiran lain yang memiliki efek yang tak terduga adalah pencurian
persenjataan dan bahan peledak yang membantu untuk mempersenjatai para
pemberontak.138
2. Munculnya Pemberontakan
Pencarian Saddam Hussein menjadi prioritas utama setelah AS berhasil
mengamankan ladang minyak, Selain modal politik yang jelas yang bisa
diperoleh dari penangkapan Saddam Hussein, ada persoalan baru yang muncul
yaitu pemberontakan terhadap pasukan koalisi pimpinan AS. Pada tahap awal ini,
sel-sel Ba'ath berada di antara pejuang pemberontakan, dan beberapa di antara
mereka berperang untuk pemulihan Saddam. Harus dicatat, meskipun mereka
adalah minoritas di antara para pemberontak; pemberontakan itu sendiri dimulai
sebagai upaya Sunni untuk mempertahankan posisinya di Irak baru. Namun
demikian, dikhawatirkan oleh beberapa orang dan yang lain berharap bahwa
Hussein mungkin muncul kembali di tengah kekacauan sebagai pemimpin yang
137 Ibid, halaman 252. 138 Ibid.
78
dibangkitkan dari semua kekuatan oposisi.139
Bulan Agustus 2003, konon surat yang ditulis oleh Saddam disiarkan oleh
jaringan berita Al-Jazeera. Seperti yang dijelaskan oleh Ahmed S. Hashim,
"Sedang berlangsung (adanya) seruan oleh Syi'ah senior untuk mendeklarasikan
perlawanan, jihad terhadap kehadiran asing di Irak".140
Namun, bagi Hala Fattah
dan Frank Caso langkah itu tampaknya sesuatu yang naif. Tentu saja, membantu
serta bersekongkol dengan Saddam adalah motif terjauh yang mungkin dilakukan
oleh pemberontak Syi'ah, mengingat perlakuan buruk yang mereka terima atas
rezim Saddam dan Partai Ba'ath.141
Saddam berhasil menghindari penangkapan selama empat bulan setelah
surat kontroversial muncul. Tapi pada tanggal 13 Desember 2003, ia ditemukan
bersembunyi di sebuah lubang di sebuah pertanian dekat Desa Daur. Mantan
diktator itu ditemukan kusut dan tampak lelah. Penangkapan tersebut disiarkan di
seluruh dunia, banyak yang mengira pasukan koalisi telah menyelesaikan
misinya, terutama dengan tumbuhnya keraguan, bahkan banyak orang di AS
percaya keberadaan Senjata Pemusnah Massal di Irak. Namun, pemerintahan
Bush tidak mau meninggalkan Irak sehingga keluarlah kebijakan bahwa
pemerintahan yang demokratis harus sudah ada sebelum pasukan koalisi ditarik
mundur. Kebijakan itu mulai memiliki efek negatif langsung. Pemberontakan
menyebar luas.142
139 Ibid, halaman 252. 140 Hashim dalam ibid, halaman 253. 141 Ibid, halaman 253. 142 Ibid, halaman 253.
79
Empat hari sebelum penangkapan Saddam Hussein, Dewan Pengurus
melalui Pengadilan Khusus menghukumi para mantan anggota rezim atas
kejahatan-kejahatan mereka. Sementara itu, pemerintah sementara mengambil
alih di Irak, dan pada tanggal 30 Juni 2004 bertanggung jawab atas penahanan
bawah tanah seluruh anggota rezim, termasuk Saddam Hussein. Saddam
mendekam selama hampir dua tahun sebelum ia dibawa ke pengadilan pada 19
Oktober 2005. Penundaan itu sebagian karena keraguan di antara pengadilan Irak
apakah perlengkapan pengadilan tersebut memiliki kemampuan untuk menangani
kasus seperti itu. Beberapa anggota kehakiman khawatir terhadap keselamatan
pribadi, sementara yang lain menolak gagasan kejahatan perang sebagai alasan
untuk melakukan penawaran dari koalisi.143
Campur tangan AS dalam bentuk membantu –ketua eksekutif pengadilan
khusus, Salem Chalabi,– membuat-buat tuduhan-tuduhan lanjut yang berdampak
penangguhan pengadilan Saddam. Akhirnya, pada tanggal 17 Juli 2005, tuntutan
resmi yang diajukan terhadap Saddam (dan tujuh dakwaan) sehubungan dengan
pembantaian 148 orang di Dujail, kota di Sungai Tigris di Irak Utara pada tahun
1982, menyusul usaha pembunuhan yang dilakukan Saddam. Tuduhan-tuduhan
itu juga mencakup penyiksaan banyak orang yang lainnya dan penangkapan
ilegal 399 orang, semua yang dihasilkan adalah dari insiden yang sama.144
Pembunuhan-pembunuhan terhadap para anggota Partai Ba'ath yang
dilakukan oleh tim resmi dan usaha pembunuhan anggota lainnya memberikan
143 Ibid. 144 Ibid, halaman 253-254.
80
bukti kekacau-balauan yang terjadi di dalam Irak setelah kejatuhannya. Sidang
itu, pada kenyataannya, diselenggarakan di dalam apa yang disebut Zona Hijau,
zona aman AS yang dilindungi di Baghdad. Sidang tersebut berlangsung sampai
tanggal 5 November 2006, ketika Saddam dinyatakan bersalah atas kejahatan
kemanusiaan dan dihukum mati. Putusan itu ditegakkan atas permohonan
banding ke Pengadilan Tertinggi Irak. Dan pada 30 Desember 2006 Saddam
digantung.145
3. Aksi Perlawanan Sunni
Pihak AS memang selalu menyebut sisa-sisa aktivis Partai Ba'ath loyalis
Saddam Hussein di balik aksi perlawanan Irak itu, namun realitanya faksi dan
lembaga Islam Sunni yang lebih kuat menunjukkan perlawanan di
kawasan-kawasan yang terdapat konsentrasi pasukan AS. Sebaliknya, basis kaum
Syi'ah Irak di Kota Najaf, Karbala, dan Halla sejak jatuhnya rezim Saddam
Hussein pada 9 April 2003, tidak memperlihatkan fenomena baru baik dalam
konteks militer maupun politik. Secara militer, perlawanan kaum Syi'ah terhadap
pendudukan AS sangat minim. Secara politik, kekuatan politik kaum Syi'ah
memang solid dan dinamis serta senantiasa menjadi saingan partai-partai sekuler
selama delapan dekade lalu. Revolusi Iran tahun 1979, turut andil memberi
kekuatan baru terhadap kaum Syi'ah Irak.146
Gerakan Islam politik bangkit di Kawasan Sunni Irak seperti Kota Ramadi,
145 Ibid, halaman 254. 146 Musthafa Abd. Rahman, 2003, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam (Laporan dari Lapangan),
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman 252.
81
Fallujah, Baghdad, Tikrit, Samarra, Kirkuk, dan Mosul. Gerakan tersebut selama
empat dekade terakhir ini terhitung lumpuh, khusunya setelah mundurnya peran
Ikhwanul Muslimin di Irak. Bangkitnya gerakan Islam Sunni Irak sejak jatuhnya
rezim Saddam Hussein, merefleksikaan adanya kecemasan kaum Sunni Irak yang
selama ini memiliki tradisi pemegang kekuasaan di Irak sejak masa Dinasti
Ottoman, kolonial Inggris, dan terakhir era rezim Saddam Hussein.147
Poin penting untuk pemberontakan bukanlah penjarahan dan pembakaran
di Baghdad, tetapi kejadian di kota Fallujah Provinsi Anbar (daerah barat
Baghdad termasuk kota-kota Fallujah dan Ramadi, ibukota provinsi, yang
kemudian dikenal sebagai "Segitiga Sunni"). Pemerintah AS dan beberapa media
mencatat bahwa Fallujah sebagai sarang loyalis Saddam, tetapi Hashim
menunjukkan bahwa pada hari-hari awal pendudukan banyak orang-orang
terkemuka Fallujah menolak panggilan rahasia dari pimpinan Irak untuk
melakukan perlawanan, jihad melawan pasukan asing.148
Namun, ketika pasukan
AS tiba dan menduduki beberapa kota dan membangun markas di
sekolah-sekolah di pusat kota, warga mulai bereaksi. Titik balik terjadi saat
demonstrasi pada tanggal 28 April 2003, di depan salah satu sekolah berubah
menjadi kekerasan, dan mengakibatkan kematian pada 15 orang dan melukai 65
orang lainnya (sumber lain menyebutkan jumlah korban yang lebih tinggi).149
Terjadi kesalahpahaman. Tentara AS menduga demonstrasi itu dilakukan
147 Ibid, halaman 253. 148 Hashim dalam Hala Fattah, Frank Caso, A Brief History of Iraq, op.cit, halaman 255. 149 Trias Kuncahyono, 2005, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman
137.
82
oleh penduduk Fallujah yang memang dikenal sebagai pendukung Saddam
sebagai ungkapan ketidaksenangan mereka setelah jatuhnya Baghdad. Apa lagi,
hari itu bertepatan dengan ulang tahun hari kelahiran Saddam. Karena itu, tentara
AS yakin bahwa mereka para demonstran itu adalah pendukung Saddam. Padahal,
demonstrasi itu menuntut tentara keluar dari gedung sekolah dan keluar dari
Fallujah. Entah dari bagaimana mulanya, demonstrasi damai berubah menjadi
bencana. Tentara AS mengkalim bahwa mereka terpaksa menembak karena
terlebih dahulu ditembak. Sementara pihak Human Right Watch memiliki
kesimpulan berbeda: tembakan balasan yang dilakukan oleh tentara AS itu
berlebihan dan sembarangan, karena itu mereka menuntut dilakukannya
investigasi.150
Setiap hari, setelah kejadian itu, tentara AS patroli di wilayah itu dan
melakukan pemeriksaan dari rumah ke rumah. Mereka mencari senjata. Mereka
mencari pendukung Saddam. Sebaliknya, tindakan tentara AS itu justru
memupuk semangat juang penduduk Fallujah, rakyat Irak untuk bangkit dan
melawan AS. Bagi tentara AS, Fallujah adalah zona berbahaya tetapi, bagi rakyat
Irak, Fallujah adalah kota perjuangan.151
Demonstrasi pecah lagi yang mengakibatkan kematian tiga warga sipil
atau lebih dan melukai 17 tentara AS. Sejak Mei 2003 dan seterusnya, gerilyawan
Fallujah meningkatkan serangan terhadap pasukan AS sehingga pada akhir
musim panas, orang-orang di Fallujah secara terbuka menyatakan bahwa mereka
150 Ibid, halaman 137-138. 151 Ibid, halaman 138.
83
akan memberontak secara langsung terhadap pendudukan.152
Pasukan koalisi, terutama AS, sekarang menemukan diri mereka terlibat
dalam situasi yang sulit. Pemberontakan segera menyebar ke kota-kota utara
Fallujah di Sungai Eufrat, termasuk membakar bangunan kota yang diduduki di
Hit, dan penembakan yang ditujukan untuk pasukan AS di Ramadi. Semakin
banyak imam Sunni mulai menyerukan jihad terhadap koalisi dan bukan hanya di
daerah yang disebut Segitiga Sunni (Baghdad-Ramadi-Tikrit).153
Kaum Muslim Sunni di Kota Ramadi di bawah pimpinan Syaikh Ahmed
Kabisyi dan Muslim Sunni di Kota Samarra di bawah pimpinan Syaikh Ayat
Samarraei (pemimpin Partai Islam Irak) dan Muslim Sunni di Kota Tikrit di
bawah pimpinan Syaikh Osama Tikriti (pemimpin Partai Kemerdekaan Islam
Irak), telah berhasil merekrut kader-kader Partai Ba'ath di kawasannya. Para
syaikh-syaikh itu memimpin gerakan perlawanan bersenjata terhadap pasukan
pendudukan AS di Kota Baghdad dan kawasan Muslim Sunni lainnya. Meskipun
pihak AS, menuduh sisa-sisa akivis Partai Ba'ath loyalis Saddam Hussein
menyusup ke masjid-masjid dan dijadikan titik tolak serangan atas pasukan AS,
namun para syaikh-syaikh tersebut yang mengggerakkan perlawanan.154
Gerakan Islam politik di Irak memang mengalami perkembangan luar
biasa menyusul jatuhnya kekuasaan Saddam Hussein. Gerakan Islam itu yang
152 Allawi dalam Hala Fattah, Frank Caso, A Brief History of Iraq, Hala Fattah, Frank Caso, 2009, A
Brief History of Iraq, New York: Facts On Fie, Inc An Imprint of Infobase Publishing, halaman 255. 153 Musthafa Abd. Rahman, , 2003, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam (Laporan dari Lapangan),
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman 253. 154 Ibid.
84
pada dekade tahun 1950-an dan 1960-an lebih dikenal sebagai gerakan dakwah
semata, lalu tampil dengan seruan jihad dan pengusiran pasukan penjajah.155
Bulan Agustus 2003, peristiwa pemboman terjadi dua kali di Baghdad
tidak hanya menarik perhatian dunia tapi juga mengangkat momok al-Qaeda di
Irak yang sebelumnya di sana sudah tidak ada. Yang pertama tanggal 7 Agustus,
adalah sebuah bom mobil yang menewaskan 18 orang di kedutaan Yordania.
Serangan kedua, pada 19 Agustus oleh seorang, yakni bom bunuh diri, yang
mengendarai truk ke Hotel Canal, lokasi markas PBB di Baghdad. Di antara 22
orang yang tewas dalam serangan itu adalah diplomat terhormat Sergo Vieira de
Mello, anggota PBB khusus wakil sekretaris Jenderal Kofi Annan yang bertugas
membantu membentuk Dewan Pemerintahan Interim. Vieira de Mello telah di
Baghdad sejak 2 Juni. Untuk saat ini, PBB tetap di Irak meskipun ada tragedi itu,
tapi pemboman kedua di parkir hotel (pada 22 September) meyakinkan Sekjen
untuk mengevakuasi semua tetapi juga beberapa anggota staf dari negara itu.
Ada beberapa faktor yang memaksa sikap penduduk Ramadi, Samarra,
Kirkuk, Tikrit, Fallujah, dan Baghdad mengalami perubahan ke arah lebih
radikal.
Pertama, kehadiran langsung pasukan AS di kawasan Muslim Sunni, dan
pasukan AS tersebut belum bisa akomodatif dengan sensitivitas struktur
masyarakat Irak.
Kedua, pengaruh doktrin Tanzim Al Qaeda atas aktivis Islam Sunni di
155 Ibid, halaman 254.
85
Irak.
Ketiga, terlibatnya aktivis-aktivis organisasi oposisi pada era Saddam
Hussein maupun setelahnya, dalam perlawanan terhadap pasukan AS.
Keempat, kecemasan kaum Muslim Sunni di Irak atas hilangnya tradisi
kekuasaan yang selalu berada di tangannya, mengingat semakin kuatnya
tuntutan kaum Syi'ah dan Kurdi untuk mendapatkan kekuasaan secara
adil.156
Perlawanan kaum Sunni terhadap pendudukan AS bukan berarti kaum
Sunni Irak adalah loyalis Saddam Hussein, dan malah banyak tokoh Muslim
Sunni menyebut Saddam sebagai diktator. Namun, perlawanan mereka atas
pendudukan AS saat itu lebih berupa refleksi dari kecemasan mereka akan
kehilangan supremasi kekuasaan, di saat AS menghembuskan slogan perubahan
bentuk negara Irak yang akan memberi kesempatan sama pada semua etnis dan
penganut mazhab agama di negara itu.
Kaum Sunni Arab yang merasa minoritas di Irak terpaksa melakukan
tekanan terhadap AS dalam bentuk melancarkan perlawanan bensenjata agar
mereka tidak kehilangan kekuasaan. Sebaliknya kaum Syi'ah di Irak selatan
melakukan dua hal untuk mendapat simpati AS. Pertama, kaum Syi'ah Irak
berusaha melepaskan diri atau sedikitnya menjaga jarak dengan Iran untuk
meyakinkan AS bahwa kaum Syi'ah Irak tidak akan membuka pintu bagi upaya
penyusupan pengaruh Iran dalam pemerintahan kelak. Kedua, kaum Syi'ah Irak
156 Ibid.
86
masih berusaha menghindar terlibat bentrok senjata langsung dengan pasukan
pendudukan AS. Sikap oposisi kaum Syi'ah Irak atas pendudukan AS itu masih
ditunjukkan dalam bentuk aksi damai semacam unjuk rasa, pidato, dan
pamflet-pamflet.157
Berkat dua kebijakan tersebut, membuat kota-kota Syi'ah di Irak selatan
reatif tenang. Kaum Syi'ah Irak yang mengalami kepahitan sebelum ini, yakni
diperlakukan sebagai anak tiri oleh negara Irak dan merasa dizalimi oleh rezim
Saddam Hussein, tampak tidak terlalu tergesa-gesa mengambil sikap dan
memilih menunggu, apalagi AS benjanji akan mengubah pola dan sistem negara
Irak serta mengizinkan kaum Syi'ah mengambil peran sentral dalam
pemerintahan mendatang.
Berbeda halnya dengan kawasan-kawasan Syi'ah. Kaum Sunni merasa
roda perjalanan zaman tidak berpihak pada mereka setelah jatuhnya rezim
Saddam. Realita baru itu memicu kecemasan cukup kuat di kalangan kaum Sunni.
Perlawanan bersenjata di Kota Ramadi, Samarra, Fallujah, Baghdad, dan Kirkuk
merupakan perwujudan dari perasaan cemas itu. Bahkan mereka bisa jadi
terpaksa pula bekerja sama dengan sisa-sisa aktivis Partai Ba'ath yang sama-sama
terancam masa depannya.158
4. Aksi Perlawanan Syi'ah
Pejabat dan pasukan Amerika Serikat begitu terkejut dan terkesima
157 Ibid., halaman 255. 158 Ibid, halaman 255-256.
87
menyaksikan ratusan ribu –bahkan konon lebih dari satu juta– orang pengikut
Syi'ah merayakan peringatan tewasnya cucu Nabi Muhammad saw., Sayyidina
Hussein bin Ali bin Abi Thalib, hari Selasa 22 April 2003 di Kota Karbala,
sambil mengumandangkan slogan-slogan anti-AS. Sayyidina Hussein bin Ali bin
Abi Thalib tewas di Karbala pada 680 M di tangan pasukan Yazid dari Bani
Umayyah yang bermarkas di Damaskus-Suriah. Hari itu menjadi hari besar bagi
pengikut Syi'ah.
Kaum Syi'ah Irak juga sering menggelar aksi unjuk rasa anti pendudukan
AS di Baghdad dan kota-kota lainnya di Irak Selatan. Mereka menuntut
berdirinya negara Islam di Irak pasca-Saddam Hussein dan menolak pendudukan
AS. Kelompok Syi'ah yang mayoritas di Irak, 60 persen dari 24 juta
penduduknya, bisa menjadi satu-satunya pengancam keberadaan AS di Irak.
Sebaliknya AS-lah yang bisa mencegah Syi'ah memegang tampuk kekuasaan di
negeri itu. Fenomena tersebut dapat mengantarkan lahirnya pemerintahan
teokrasi atau radikal di Irak yang anti-AS, dan apabila tiada kendali maka bisa
menjelma mejadi kekuatan yang dapat merebut kekuasaan dan menciptakan
model pemerintahan yang anti-Barat. Oleh karena itu, kemudian AS
memperingatkan Iran agar tidak ikut campur urusan dalam negeri Irak.159
Sebaliknya kalau meredam kekuatan Syi'ah dengan kekuatan, bisa jadi AS
berhadapan dengan aksi kemarahan massa yang sulit diduga hasilnya. Jika
meletup intifadah Syi'ah gaya intifadah Palestina, maka semakin kuat suara agar
159 Ibid, halaman 217.
88
AS segera keluar dari Irak. Alasannya, karena keberadaannya sudah tidak
memiliki legitimasi dan ditolak oleh rakyat negeri itu. Kalau AS memaksakan
kehendaknya, akan terjadi pertumpahan darah berlarut seperti yang terjadi di
Palestina. Peristiwa perayaan Karbala itu, juga menunjukkan bahwa basis massa
Syi'ah yang memanjang dari wilayah Irak Selatan hingga pinggiran Kota
Baghdad terorganisir secara baik. Pemimpinnya berpengaruh serta dapat
menggerakkan mereka setiap saat.160
Tahun 2004 terlihat keterlibatan kaum Syi'ah dalam evolusi. Jika
pemberontakan telah cukup menyulitkan di awal dan permusuhan yang
berkelanjutan, partisipasi Syi'ah akhirnya turut serta membawa Irak ke keadaan
perang sipil. Sementara dua pemimpin terkemuka dan berpengaruh Syi'ah
mengambil peran yang berbeda terhadap pendudukan, mereka berdua menentang
kekuasaan asing di negara mereka. Salah satunya adalah Muqtada al-Sadr, anak
dari ulama besar Ayatullah Muhammad Sadiq al-Sadr yang dibunuh (bom mobil)
pada Jumat 29 Agustus 2003, tepat setelah ia berziarah ke Masjid Imam Ali.
Muqtada al-Sadr mewarisi gerakan Syi'ah kerakyatan yang dibangun oleh
ayahnya dan mengubahnya menjadi kekuatan ampuh setelah jatuhnya rezim
Ba'ath. Pada bulan April 2004, al-Sadr menyerukan Tentara Mahdi untuk
membela sesama Syi'ah dari pendudukan dan dari sekutu di antara pasukan
keamanan Irak. Tentara mahdi segera memiliki kontrol tidak hanya dari Kota
Sadr (bagian dari Baghdad), tetapi kota-kota Basra, Najaf, dan Nasiriya. Hal ini
160 Ibid, halaman 217-218.
89
juga memberikan penyeimbang yang efektif untuk agresi Sunni. Kekuatan milisi
adalah menjadi faktor utama dalam pengaruh politik al-Sadr di tahun-tahun
mendatang.
Grand Ayatullah Ali al-Sistani telah merencanakan kursus oposisi yang
berbeda untuk lebih dari satu tahun (di Najaf). Meskipun ia memerintahkan
mengakhiri aktivitas dan balas dendam terhadap kriminal pembunuhan, ia juga
memerintahkan ulama Irak tidak menerima posisi administratif atau eksekutif dan
bertanggung jawab dalam setiap lapisan pemerintahan. Al-Sistani juga
menyerukan pemilu untuk majelis nasional yang bertanggungjawab menulis
konstitusi baru Irak. Yang lebih penting, meskipun al-Sistani tertarik dalam
melestarikan sifat Islam Irak dalam pemerintahan baru, dan ini bertentangan
dengan demokrasi sekuler pemerintahan Bush.
Kaum Syi'ah kini ingin memegang kekuasaan penuh di Irak, kekuasaan
yang belum pernah mereka raih sebelumnya. Bila tak berhasil memegang
kekuasaan secara penuh, minimal kelompok Syi'ah mendapat peran utama,
sedang kelompok lainnya mendapat peran lebih kecil sesuai dengan porsi
komposisi penduduk. Kalau AS bersedia menerima penerapan demokrasi hakiki
di Irak yakni atas dasar satu suara untuk satu orang, kelompok Syi'ah akan
memegang kekuasaan secara dominan.
Berdasar penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa realita politik yang
muncul pasca lengsernya Saddam Hussein adalah timbulnya reaksi politik baik
dari kalangan Sunni maupun Syi'ah yang sama-sama anti AS.
90
5. Pemerintahan Sementara
Dari perspektif Washington dan London, masih ada alasan untuk
kekhawatiran perpecahan dalam Dewan Pemerintah, dengan anggota Syi'ah yang
mendukung posisi al-Sistani. Dengan demikian, pada awal tahun 2004, PBB
kembali ke Irak (tim tambahan tiba pada 23 Januari); Sekjen Annan, meskipun
awalnya enggan, setuju untuk mengirim tim PBB yang lebih besar, yang
dipimpin oleh Utusan Khusus Lakhdar Brahimi, untuk membantu menengahi
situasi. Meskipun kaum Syi'ah berdebat, kedaulatan Irak dicapai pada 28 Juni
2004. Pemerintahan sementara ini dipimpin oleh Ayad Allawi, yang ironisnya,
mantan anggota Partai Ba'ath yang telah mengundurkan diri pada pertengahan
1970-an ketika Saddam Hussein mengkonsolidasikan kekuasaannya.
Anti-Saddam, sikap pro-Baratnya diperolehnya dari dana rahasia AS dan Inggris.
Pada tahun 1990, Allawi telah mendirikan The Iraq National Accord
(Kesepatakan Nasional Irak), yang menjadi partai politik yang kuat di
tahun-tahun pasca Saddam Hussein.161
Jelas bagi orang-orang Irak bahwa Allawi adalah pilihan Bremer. Dengan
demikian, pemerintah tidak memegang banyak peranan dari masyarakat. Dan
dalam beberapa bulan, kaum pemberontak meningkatkan serangannya, tidak
hanya terhadap pasukan koalisi tetapi, melawan polisi Irak dan keamaan juga.
Allawi sendiri menjadi sasaran upaya pembunuhan pada tanggal 20 April 2005.
Kecuali Kurdi, pada tahun 2004, pemberontakan memiliki daya tarik massa di
161 Hala Fattah, Frank Caso, A Brief History of Iraq, Hala Fattah, Frank Caso, 2009, A Brief History of
Iraq, New York: Facts On Fie, Inc An Imprint of Infobase Publishing, halaman 258-259.
91
seluruh Irak. Dorongan murni aksi pemberontakan itu adalah keinginan Irak
untuk pemerintahan sendiri, lepas dari campur tangan pasukan koalisi, setelah
berakhirnya rezim Saddam dan Partai Ba'ath. Banyak orang Irak memandang
koalisi sebagai halangan untuk tujuan ini.162
Sebagai langkah maju menuju Pemerintah Sementara, yang akan
mengubah dinamika politik sejarah Irak, kebencian sektarian bercampur dengan
keinginan untuk menggulingkan koalisi. Dengan tidak mempercayai sistem
politik yang tampak dipaksakan dari atas, Sunni dan Syi'ah mulai memerangi satu
sama lain, dan juga memerangi kekuatan koalisi. Aspek lain yang tak
direncanakan dari kejatuhan Saddam adalah banyaknya para mujahid yang
bergabung dalam pertempuran melawan koalisi, meskipun tidak selalu dengan
restu dari pimpinan pemberontak asli. Seperti mujahid asal Yordania, Abu Mus'ab
al-Zarqawi, pemimpin al-Qaeda di Irak. Tujuannya adalah mendorong pasukan
koalisi keluar dari Irak. Al-Zarqawi tewas akibat serangan udara AS pada 7 Juni
2006. Dan juga Iran diam-diam mengirim senjata kepada kaum Syi'ah di Irak.163
162 Ibid, halaman 259. 163 Hala Fattah, Frank Caso, A Brief History of Iraq, Hala Fattah, Frank Caso, 2009, A Brief History of
Iraq, New York: Facts On Fie, Inc An Imprint of Infobase Publishing, halaman 259-260.