Download - BAB II LANDASAN TEORI - BINA NUSANTARA
21
BAB II
LANDASAN TEORI
Landasan teori merupakan bagian penting yang menjadi dasar sebuah penelitian
ilimiah dilakukan. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan
variabel penelitian yakni kompensasi, lingkungan kerja, komunikasi dan kepuasan
kerja. Adapun kerangka dari teori-teori yang digunakan dalam melakukan penelitian
ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.
22
Hierarchy
of Needs Theory
(Maslow, 1943)
Two Factor Theory
(Herzberg, 1950)
Motivators Theory
(Herzberg, 1950)
Hygiene Theory
(Herzberg, 1950) Promotion
(Herzberg, 1950)
Reward
(Herzberg, 1950)
Pay
(Herzberg, 1950)
Nature of Works
(Herzberg, 1950)
Fringe Benefit
(Herzberg, 1950)
Relationship with
co-workers
(Herzberg, 1950)
Supervisor
(Herzberg, 1950)
Operating
Coditions
(Herzberg, 1950)
Thorndike Law
Effect
(Thorndike, 1905)
Reinforcement
Theory
(Skinner, 1985)
Manajemen
Kompensasi
(Hasibuan, 2003)
Teori Komunikasi
Mathematical
Theory of
Communication
(Shannon &
Weaver, 1940
1943)
Work Environment
(Herzberg, 1950)
Komunikasi
Interpersonal
(Myers & Myers
1992)
Equity Theory
(Adams, 1963)
Expectancy
Theory
(Vroom, 1964)
Job Satsifaction
(Spector, 2008)
Gambar 2.1 – Konsep Landasan Teori Penelitian
Job Performance
(Lawler & Porter,
1967)
23
2.1 Teori Hierarchy Of Needs
Teori Hierarchy of Needs oleh Maslow merupakan dasar dari sejumlah teori
yang digunakan dalam penelitian ini. Teori Hierarchy of Needs oleh Maslow pertama
kali berkembang pada tahun 1943. Maslow mengelompokan kebutuhan manusia ke
dalam lima tingkatan. Tingkatan pertama adalah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan
fisiologis merupakan kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan.
Tingkatan kedua dalam teori kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan rasa aman
yang kemudian diikuti dengan kebutuhan akan kasih sayang. Selanjutnya tingkatan
keempat dalam teori kebutuhan Maslow adalah kebutuhan self esteem yang meliputi
reputasi dan status sosial. Pada tingkat tertinggi dalam teori kebutuhan Maslow
(1943) terdapat self actualization yang meliputi kebutuhan akan pengembangan
pribadi diri.
Sejumlah kebutuhan yang dinyatakan oleh Maslow (1943) akan memicu
motivasi dari inidividu untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam rangka
pemenuhan kebutuhan individu kemudian akan terpacu untuk melakukan suatu
pekerjaan. Two factors theory oleh Herzberg (1950) (dalam Herzberg, 1974)
kemudian muncul untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi
kerja individu dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Pada two factors theory terdapat
dua faktor yang mempengaruhi motivasi kerja individu yakni motivator factors dan
hygiene factors. Motivator factors berasal dari pekerjaan itu sendiri yang memicu
munculnya kepuasan kerja. Hygiene factors tidak berasal dari pekerjaan itu sendiri
dan dapat memicu timbulnya ketidakpuasan kerja. Adapun teori ini kemudian
24
berkembang membentuk sejumlah teori baru yang behubungan dengan kompensasi,
lingkungan kerja dan kepuasan kerja.
2.1.1 Konsep Kompensasi
2.1.1.1 Definisi Kompensasi
Kompensasi merupakan pemberian manfaat kepada orang yang dimaksudkan
untuk menerima manfaat tersebut, sehingga dapat menarik minat untuk mencapai
tujuan yang diharapkan (Black, 1953). Lawler III (1966) kemudian menambahkan
bahwa kompensasi penting karena dapat mempengaruhi dan memotivasi pekerja
untuk mencapai suatu tujuan yang kemudian menentukan kesuksesan sebuah
perusahaan. Penelitian Paul (1976) menyebutkan kompensasi yang dianggap penting
bagi pekerja ternyata kurang diperhatikan, sehingga perusahaan gagal untuk
memenuhi kebutuhan pekerja yang selanjutnya berdampak pada penurunan minat
para pekerja dalam menyelesaikan tugasnya. Pekerja yang tergabung dalam serikat
pekerja memperoleh kompensasi yang lebih banyak jika dibandingkan dengan
pekerja yang tidak tergabung dalam serikat pekerja, sehingga umumnya para buruh
anggota serikat pekerja memiliki kepuasan terhadap pekerjaan yang lebih tinggi
(Hirsch, Macpherson, & Dumond, 1997). Adapun pemotongan kompensasi yang
terjadi pada tahun 1970 sebagai dampak dari resesi ekonomi juga mengakibatkan
terjadinya penurunan kepuasan kerja (Boyd, 1999).
Menurut Aswathappa (2007) kompensasi yang diterima pekerja dapat berupa
kompensasi yang memberikan manfaat finansial (gaji, bonus, insentif, dan tunjangan)
dan non finansial (peluang untuk berkembang, pengakuan, dan suasana kerja yang
25
nyaman). Trevor (2008) mendukung penyataan Lawler III (1966) dengan
menambahkan bahwa kompensasi dapat digunakan sebagai strategi untuk
meningkatkan kinerja perusahaan melalui produktivitas pekerja. Penggunaan
kompensasi sebagai komponen strategi untuk meningkatkan kinerja perusahaan itu
dibutuhkan (Trevor, 2008). Sohpia (2013) mendukung pernyataan Aswathappa
(2007) dengan menambahkan bahwa kompensasi yang memberikan manfaat finansial
sangat penting bagi pekerja karena dengan kompensasi tersebut pekerja dapat
memenuhi kebutuhan mereka khususnya kebutuhan fisiologis. Adapun kompensasi
yang memberikan manfaat non finansial juga penting karena membantu pekerja
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial dan sebagai sarana untuk self-
actualization (Sopiah, 2013). Kompensasi yang mampu memberikan manfaat
terhadap pemenuhan kebutuhan pekerja akan mempengaruhi kepuasan kerja (Salisu,
Chinyo, & Suresh, 2015). Adapun menurut Salisu et al. (2015) unsur reward (pay)
dan promotion opportunity merupakan bagian dari variabel kompensasi yang dapat
digunakan untuk mengukur kepuasan kerja. Pengakuan dan penghargaan yang
diberikan perusahaan kepada pekerja juga merupakan unsur dalam variabel
kompensasi yang menentukan kepuasan pekerja terhadap kompensasi yang
diterimanya (Salisu et al., 2015).
Kompensasi dalam industri jasa sendiri, menurut penelitian Bilal (2012)
mengindikasikan bahwa kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, sosial, self-
esteem dan self-actualization merupakan prediktor signifikan terhadap kinerja
pekerja. Ketika pekerja mampu mengakomodasi kebutuhan fisiologis melalui
kompensasi, maka akan terjadi peningkatan kepuasan kerja yang berdampak pada
26
kinerja dari para pekerja (Bilal, 2012). Tukamuhabwa, Ntayi, Muhzewi, Eyaa &
Makerere (2012) melengkapi hasil penelitian Bilal (2012) dengan menambahkan
bahwa kompensasi non finansial juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap
kinerja pekerja. Faktor pay, fringe benefit, dan promotion merupakan bagian dari
variabel kompensasi yang berperan dalam menentukan kepuasan kerja di industri jasa
(Muguongo, Muguna, & Muriithi, 2015). Di samping itu, pemberian tunjangan dari
perusahaan yang dinilai adil oleh pekerja jika dibandingkan dengan perusahaan lain
juga menjadi faktor pengukur kepuasan kerja (Muguongo et al., 2015).
Adapun menurut penelitian Zitkiene dan Blusyte (2015) pemberian
kompensasi juga ternyata berperan dalam jalannya sebuah proses bisnis di perusahaan
jasa yang melakukan outsourcing pekerja. Penelitian Zitikiene dan Blusyte (2015)
mendukung penelitian Muttaqien (2014) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja dari
pekerja outsourcing dapat dicapai melalui pemberian kompensasi yang layak.
Humaeroh, Susilo, & Prasetya (2015) menambahkan, kepuasan pekerja terhadap
kompensasi seperti pemberian upah yang layak dan peluang untuk memperoleh
kenaikan gaji dapat menjadi faktor pemicu meningkatnya kepuasan kerja.
Adapun setelah mengetahui definisi kompensasi dari sejumlah penelitian
sebelumnya, maka definisi kompensasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
bahwa kompensasi tidak hanya merupakan faktor penting yang diperhatikan pekerja
ketika mereka memutuskan untuk berkerja di suatu perusahaan, tetapi juga
merupakan alat yang digunakan oleh perusahaan untuk menyaring pekerja-pekerja
berkualitas (Barbosa, Bucione & Souza, 2014; Cai dan Zheng, 2016; Rynes, Gerthart,
& Minette, 2014).
27
2.1.1.2 Teori-Teori yang Melandasi Konsep Kompensasi
Teori Hierarchy of Needs oleh Maslow (1943) berkaitan dengan teori perilaku
dan organisasional yang digunakan dalam rangka mengeksplor motivasi pekerja
untuk pengelolaan manajerial yang lebih baik. Berdasarkan teori Maslow, pemenuhan
kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan dan terakhir adalah
kebutuhan untuk aktualisasi diri. Teori Maslow mengasumsikan bahwa orang pada
umumnya akan memenuhi kebutuhan mendasar (fisiologis) terlebih dahulu sebelum
mengarahkan ke perilaku pemenuhan kebutuhan pada tingkatan yang lebih tinggi
(aktualisasi diri). Sengupta (2011) menekankan bahwa ketika kebutuhan pada suatu
tingkat telah terpenuhi, maka keinginan untuk memenuhi kebutuhan tersebut akan
berhenti menjadi motivasi utama perilaku seseorang.
Two factors theory menurut Herzberg (1950) menyatakan dua faktor yang
mempengaruhi motivasi kerja dalam rangka pemenuhan kebutuhan seseorang (dalam
Herzberg, 1974). Pertama adalah motivator factors atau faktor motivasi yang terdiri
dari sejumlah faktor yang menyebabkan pekerja merasa puas dan ingin bekerja lebih
baik. Faktor seperti kesempatan untuk memperoleh promosi dan penghargaan
terhadap hasil kerja merupakan bagian dari motivator factors. Kedua adalah hygiene
factor atau faktor higiene yaitu faktor yang jika tidak dipenuhi dapat memicu
ketidakpuasan kerja dan penurunan motivasi. Adapun hygiene factors dapat berupa
faktor gaji dan tunjangan (Herzberg, 1974).
28
Teori ekuitas (equity theory) atau teori keseimbangan (Adams, 1963)
kemudian muncul sehubungan dengan persepsi pekerja terhadap gaji sebagai imbalan
untuk pemenuhan kebutuhan yang didasarkan pada two factor theory Herzberg
(1950). Teori ekuitas menurut Adams (1963) adalah teori tentang persepsi pekerja
yakni bagaimana mereka berkonstribusi terhadap organisasi, apa yang mereka
dapatkan sebagai imbalan, dan bagaimana rasio pengembalian atas konstribusi
tersebut jika dibandingkan dengan yang diterima pekerja lain baik di dalam dan luar
organisasi akan menentukan bagaimana mereka melihat hubungan kerja (Skiba &
Rosernberg, 2011).
Teori ekspektasi (expectancy theory) oleh Vroom (1964) lebih menekankan
pada faktor hasil (outcomes), dibandingkan kebutuhan (needs) seperti yang
dikemukakan oleh Maslow (dalam Nimri, Bdair & Albitar, 2015). Teori ini
menyatakan bahwa kecenderungan untuk melakukan suatu hal dengan cara tertentu
tergantung pada intensitas harapan bahwa kinerja akan diikuti dengan hasil yang
pasti. Vroom (1964) mengemukakan bahwa individu akan termotivasi untuk
melakukan hal-hal tertentu guna mencapai tujuan, apabila mereka yakin bahwa
tindakan mereka akan mengarah pada pencapaian tujuan tersebut. Teori penguatan
kembali (reinforcement theory) oleh Skinner (1958) memandang bahwa perilaku
manusia ditentukan oleh konsekuensi yang diberikan oleh lingkungannya (Sequeira,
Melo, & Paiva, 2014). Teori ini berdasarkan pada Thorndike’s law of effect (1905),
yakni bahwa perilaku yang menghasilkan outcome yang menyenangkan akan
cenderung diulangi, sedangkan perilaku yang menghasilkan outcome yang tidak
menyenangkan akan cenderung tidak diulang (dalam Sequeira et al., 2014). Teori
29
ekspektasi (expectancy) dikombinasikan dengan teori penguatan kembali
(reinforcement) dapat memberikan implikasi terhadap manajemen kompensasi
(Malik, Butt & Choi, 2015). Teori ekspektasi (expectancy) dan penguatan kembali
(reinforcement) menyatakan tentang respon yang mengikuti pemberian penghargaan.
Teori penguatan kembali (reinforcement) sama seperti teori ekspektasi (expectancy)
umumnya fokus pada hubungan antara penghargaan dan perilaku, dengan
menekankan pada harapan terhadap penghargaan yang akan diterima. Implikasi
kedua teori ini terhadap manajemen kompensasi adalah kinerja yang baik jika diikuti
dengan pemberian penghargaan yang sesuai dengan ekspektasi maka akan
menyebabkan kualitas kinerja tersebut akan terulang lagi di masa yang akan datang.
Sebaliknya kinerja yang baik, jika diikuti dengan pemberian penghargaan yang tidak
sesuai ekspektasi akan menyebabkan kualitas kinerja yang baik tersebut tidak akan
terulang lagi di masa yang akan datang (Malik et al., 2015).
2.1.1.3 Peranan Konsep Kompensasi Pada Konteks Freight
Forwarding
Kompensasi dalam industri freight forwarding, menurut Hamdan dan
Setiawan (2014) baik yang memberikan manfaat finansial maupun non finansial,
dapat membangkitkan semangat kerja sehingga berdampak pada kinerja pekerja.
Gunawan (2015) menambahkan, kompensasi merupakan faktor penting, mengingat
kompensasi khususnya yang memberikan manfaat finansial dapat membantu
meningkatkan kesejahteraan hidup pekerja. Peningkatan kesejahteraan hidup akan
memotivasi pekerja untuk bekerja secara maksimal yang kemudian berdampak pada
30
kinerja perusahaan (Gunawan, 2015). Hal ini didasarkan pada kombinasi teori
ekspektasi (expectancy) dan penguatan kembali (reinforcement) yang menyatakan
bahwa kinerja yang baik jika diikuti dengan pemberian penghargaan yang sesuai
dengan ekspektasi maka akan menyebabkan kualitas kinerja tersebut dapat terulang
kembali di masa yang akan datang (Malik et al., 2015). Lesal (2015) menyatakan
kompensasi dapat digunakan sebagai faktor pendorong internal pada aplikasi strategi
bersaing dalam menghadapi persaingan bisnis di industri freight forwarding. Istilah
freight forwarder menurut Oxford Dictionaries adalah ―A company that receives
and ships goods on behalf of other companies: the freight forwarder chooses whether
to ship a consignment by road, by rail, or by sea.” Sebuah perusahaan yang
melakukan jasa penerimaan dan pengiriman barang atas nama perusahaan lain;
perusahaan memilih mengirim barang menggunakan jalan darat, melalui kereta api
ataupun melalui laut (―Freight forwarder,‖ 2016).
Pada industri freight forwarding, buruh angkut atau pekerja blue-collar
umumnya mendominasi dalam proses operasional perusahaan (Sasono, 2003). Buruh
angkut sebagai pekerja blue-collar merupakan faktor penting dalam proses
operasional perusahaan freight forwarder (Gunawan, Suhartono & Sianto, 2008).
Adapun kompensasi merupakan faktor yang dapat mendorong peningkatan
produktivitas sebagai akibat dari kepuasan kerja (Gunawan 2015). Persepsi
kompensasi bagi para buruh dianggap sangat penting, karena kompensasi merupakan
sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Kapeliushnikov,
2015). Sebagian besar buruh menggantungkan hidupnya pada kompensasi yang
diterima dari perusahaan, dimana terkadang kompensasi tersebut belum mampu
31
memenuhi kebutuhan hidup mereka (Canavan, 2014). Di Indonesia fenomena upah
murah identik dengan para buruh, dimana kesalahan tolak ukur yang digunakan untuk
menentukan gaji buruh yaitu biaya hidup rendah merupakan pemicu utama fenomena
ini (Syarifudin, 2016). Ketika upah yang diterima para buruh tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya, ketidakpuasan kerja akan muncul sebagai efek dari kebutuhan
hidup yang tidak terpenuhi (Zotov, Zhidkova, & Dvorovenko, 2014).
Berdasarkan penjabaran di atas, diduga bahwa kompensasi mempengaruhi
kepuasan kerja para buruh angkut sebagai pekerja blue-collar di industri freight
forwarding. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih jelas
sehubungan dengan pengaruh kompensasi baik yang memberikan finansial maupun
non fimansial terhadap kepuasan kerja di industri freight forwarding. Definisi freight
forwarding yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada penggunaan jalur laut.
2.1.2 Konsep Lingkungan Kerja
2.1.2.1 Definisi Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja fisik dan non fisik mempengaruhi hubungan antar pihak di
perusahaan yang kemudian berdampak pada hasil akhir dari pekerjaan (Weiss, 1949).
Hardin (1960) menambahkan bahwa lingkungan kerja akan mempengaruhi kepuasan
pekerja terhadap pekerjaannya. Howel, Brumback, Newman, & Rizzo (1968)
mendukung penyataan Hardin (1960) yang menyatakan bahwa lingkungan kerja yang
mendukung akan meningkatkan kinerja dari para pekerja. Lingkungan kerja
memainkan peran yang signifikan terhadap tekanan kerja di perusahaan, dimana
dengan lingkungan kerja yang mendukung, tekanan kerja dari para pekerja dapat
32
dikurangi sehingga mampu mengoptimalkan kinerja mereka (Forrester, 1984). Hoogs
& Higgs (2002) melengkapi pernyataan Forrester (1984) dengan menyatakan bahwa
lingkungan kerja umumnya fleksibel, tidak harus terpaku pada suatu tempat secara
fisik, tetapi menyesuaikan dengan lingkungan sosial.
Lingkungan kerja yang terdiri dari fasilitas peralatan, perilaku yang diterima
karyawan, lingkungan tempat kerja, tantangan pekerjaan, sistem kompensasi yang
adil, dukungan lingkungan kerja dan sikap rekan kerja merupakan determinan
kepuasan kerja (Rahmawati, Swasto & Prasetya, 2012). Rahmawati et al. (2012)
kemudian membagi lingkungan kerja menjadi dua kategori yakni lingkungan kerja
fisik dan lingkungan kerja non fisik. Lingkungan kerja fisik mencakup keadaan di
sekitar tempat kerja yang berbentuk fisik dan dapat secara langsung dirasakan oleh
pekerja. Adapun lingkungan kerja non fisik merupakan cerminan hubungan antar
pihak yang terlibat dalam lingkungan kerja. Kondisi perusahaan terkait dengan
lingkungan kerja non fisik meliputi suasana kekeluargaan, komunikasi yang baik
antara atasan dan bawahan, dan pengendalian diri. Lingkungan kerja fisik dan non
fisik ini memiliki pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja. Indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur lingkungan kerja fisik antara lain pencahayaan, sirkulasi
udara, warna, kebersihan, keamanan, dan kondisi peralatan kerja. Lingkungan kerja
non fisik dapat diukur melalui struktur tugas, desain pekerjaan, pola kerja sama dan
pola kepemimpinan (Rahmawati et al., 2012). Adapun berdasarkan pembagian
kategori tersebut, menurut Raziq dan Maulabaksh (2015) variabel lingkungan kerja
dapat diukur melalui kepuasan pekerja terhadap kondisi pekerjaan (operating
conditions) serta hubungan dengan atasan dan rekan kerja (relationship with
33
supervisor and co-workers). Beban pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas kerja,
hubungan yang baik dengan rekan kerja dan supervisor serta didukung dengan aturan
dan prosedur yang mudah dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut akan mampu
memelihara tingkat kepuasan kerja pada tingkat tertinggi (Raziq dan Maulabaksh,
2015).
Rossberg, Eiring, & Friss (2004) menyebutkan bahwa lingkungan kerja dan
kepuasan kerja memiliki hubungan yang erat. Menurut Srivastava (2008) lingkungan
kerja berdampak terhadap kepuasan kerja yang kemudian menjadi faktor penentu
efektivitas organisasi. Tio (2015) menambahkan lingkungan kerja merupakan faktor
yang penting bagi pekerja karena lingkungan kerja dapat membangun perasaan positif
pada saat bekerja. Salunke (2015) mendukung penelitian Tio (2015) dengan
menyatakan bahwa lingkungan kerja penting untuk menciptakan keterikatan sosial
terhadap tempat kerja dan rekan kerja. Nature of works berupa sikap mental pekerja
terhadap pekerjaan yang dimilikinya merupakan salah satu indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur kepuasan pada lingkungan kerja (Salunke, 2015).
Kepuasan pekerja terhadap lingkungan kerja muncul ketika pekerja memiliki
pengalaman menyenangkan sehubungan dengan pekerjaannya di lingkungan kerja
(Salunke, 2015). Adapun lingkungan kerja yang tidak menyenangkan akan
berpengaruh terhadap kinerja dari para pekerja yang notabene merupakan aset
terbesar perusahaan (Salunke, 2015).
Kepuasan kerja dari pekerja di industri jasa akan berdampak pada bagaimana
mereka menyampaikan pelayanan kepada konsumen (Dhermawan, Sudibya, &
Utama, 2012). Bersadarkan hasil penelitian Pangarso dan Ramadhyanti (2015)
34
lingkungan kerja non fisik memiliki pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja.
Adapun Bojadjiev, Petkovska, Misoska, & Stojanovska (2015) mendukung penelitian
Pangarso dan Ramadhyanti (2015) dengan menyatakan bahwa lingkungan kerja non
fisik memiliki pengaruh yang lebih signifikan jika dibandingkan dengan lingkungan
kerja fisik pada pekerja di industri jasa. Pengakuan, kesempatan untuk berkembang,
hubungan dengan atasan dan rekan kerja (relationship with supervisor and co-
workers), serta karakteristik pekerjaan itu sendiri (nature of works) menjadi faktor
dari lingkungan kerja non fisik yang mempengaruhi kepuasan kerja (Bojadjiev et al.,
2015). Hubungan pekerja dengan rekan kerja yang baik dimana perselisihan jarang
terjadi menyebabkan kepuasan pekerja akan lingkungan kerjanya meningkat. Adapun
pihak atasan yang kompeten dan memahami perasaan pekerja, serta memperlakukan
pekerja secara adil juga akan menciptakan kepuasan kerja terhadap lingkungan kerja
(Bojadjiev et al., 2015). Setelah mengetahui definisi lingkungan kerja dari sejumlah
penelitian, maka definisi lingkungan kerja yang digunakan pada penelitian ini adalah
lingkungan kerja baik fisik maupun non fisik merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan perusahaan untuk mencapai komitmen organisasi dan kepuasan kerja
yang akan berdampak pada kinerja pekerja (Kurniasari dan Halim, 2013; Sukmawati,
2008; Wibowo, Musadieq, & Nurtjahjono, 2014).
2.1.2.2 Teori-Teori yang Melandasi Konsep Lingkungan Kerja
Teori Hierarchy of Needs oleh Maslow (1943) berkaitan dengan, pemenuhan
kebutuhan manusia seperti yang telah dijabarkan sebelumnya memotivasi seseorang
untuk melakukan suatu hal dalam rangka memenuhi kebutuhannya tersebut
35
(Sengupta, 2011). Adapaun two factor theory of motivation menurut Herzberg (1950)
berkembang berdasarkan motivasi untuk memenuhi kebutuhan pribadi, seperti yang
telah dijelaskan oleh Maslow (dalam Herzberg, 1974). Two factor theory menyatakan
dua faktor yang mempengaruhi motivasi kerja dalam rangka pemenuhan kebutuhan
seseorang (dalam Herzberg, 1974). Pertama adalah motivator factors atau faktor
motivasi yang terdiri dari sejumlah faktor yang menyebabkan pekerja merasa puas
dan ingin bekerja lebih baik. Nature of work merupakan bagian motivator factors
pada variabel lingkungan kerja. Kedua adalah hygiene factor yaitu faktor yang jika
tidak dipenuhi dapat memicu ketidakpuasan kerja dan penurunan motivasi. Adapun
yang termasuk ke dalam hygiene factors menurut Herzberg (1974) adalah kondisi
lingkungan kerja seperti hubungan sosial di lingkungan kerja baik dengan atasan
maupun dengan rekan kerja, serta kondisi operasional (Arnabile, Conti, Coon,
Lazenby, & Herron, 2003; Briner, 2000; Sengupta, 2011).
Lingkungan kerja yang mendukung akan meningkatkan motivasi dari para
pekerja yang berdampak pada kinerja mereka (Grahn, Ekhdal, & Borgquist, 2000).
Steers, Mowday, & Shapiro (2004) mendukung pernyataan Grahn et al. (2000)
dengan menyatakan bahwa teori lingkungan kerja merupakan pengembangan dari
teori motivasi, dimana lingkungan kerja akan menjadi determinan dari motivasi kerja.
Dobre (2013) menyatakan bahwa lingkungan kerja yang merupakan salah satu aspek
motivasi kerja akan mempengaruhi kinerja perusahaan, dimana motivasi dan
kepuasan kerja berdampak pada kinerja pekerja yang kemudian mempengaruhi
keseluruhan kinerja perusahaan. Lingkungan kerja merupakan bagian dari hygiene
factors dimana kondisi pekerjaan serta hubungan dengan rekan kerja dan atasan
36
merupakan faktor yang dapat memicu timbulnya ketidakpuasan kerja (Hong dan
Waheed, 2011).
2.1.2.3 Peranan Konsep Lingkungan Kerja Pada Konteks Freight
Forwarding
Pada penelitian Lang (2011) di industri logistik, menyebutkan bahwa
lingkungan kerja non fisik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan
kerja. Lingkungan kerja non fisik yang dimaksud adalah hubungan pekerja dengan
atasannya, dimana hubungan tersebut dinyatakan dalam bentuk dukungan dan umpan
balik. Atasan memberikan perhatian dan dukungan moral kepada pekerja, sehingga
pekerja akan merasa puas terhadap pekerjaannya (Lang, 2011). Adapun penelitian
yang dilakukan Indrawan dan Dewi (2014) di industri freight forwarding dan logistik
menyebutkan bahwa kondisi lingkungan kerja fisik yang mendukung juga menjadi
faktor penyebab meningkatnya kepuasan kerja pekerja. Pernyataan Lang (2011) serta
Indrawan dan Dewi (2014) didasarkan pada two factor theory of motivation oleh
Herzberg (1950) dimana lingkungan kerja sebagai bagian dari motivator-hygiene
factors mempengaruhi motivasi dari pekerja untuk melakukan tugasnya yang
kemudian berdampak pada kepuasan kerja (Dobre, 2013).
Buruh angkut atau pekerja blue-collar memiliki peran penting dalam proses
operasional di industri freight forwarding (Sasono, 2003). Adapun lingkungan kerja
para buruh umumnya identik dengan kondisi pekerjaan yang berat, dimana sejumlah
pekerjaan tersebut membutuhkan lebih banyak kemampuan otot jika dibandingkan
dengan kemampuan otak atau intelektual (Webster, Joynt, & Safalafala, 2016).
37
Lingkungan kerja buruh juga identik dengan hubungan yang sering bermasalah antara
buruh dengan atasannya, dimana perbedaan persepsi dan informasi yang diterima
menjadi akar permasalahan dan komunikasi berperan dalam menyelesaikan
permasalahan tersebut (Baskoro, 2014). Tidak hanya dalam hubungan buruh dengan
atasannya, permasalahan juga sering terjadi antar sesama buruh (Haidir, 2015).
Lingkungan kerja merupakan hal yang penting bagi buruh, dimana kondisi pekerjaan
yang berat dan hubungan sosial yang buruk di lingkungan kerja dapat menyebabkan
kepuasan kerja menurun yang kemudian berdampak pada penurunan produktivitas
(Indrawan dan Dewi, 2014). Berdasarkan penjabaran di atas, diduga bahwa
lingkungan kerja mempengaruhi kepuasan kerja di industri freight forwarding.
Adapun penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap
sehubungan dengan pengaruh lingkungan kerja, khususnya lingkungan kerja non fisik
terhadap kepuasan kerja di industri freight forwarding.
2.1.3 Konsep Kepuasan Kerja
2.1.3.1 Definisi Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja berupa perasaan senang saat melakukan pekerjaan yang
dipengaruhi oleh gaji dan pembagian tugas yang jelas, umumnya lebih tinggi pada
pekerja yang tinggal di pedesaan jika dibandingkan dengan mereka yang tinggal di
perkotaan (Fossum, 1974). Kepuasan kerja adalah perasaan senang ketika melakukan
suatu pekerjaan, yang menyebabkan pekerja bersemangat dalam melakukan
pekerjaanya yang kemudian berhubungan dengan kepuasan hidup (Near, Rice, &
Hunt, 1978). Pekerja yang tidak puas terhadap pekerjaanya cenderung memiliki
38
tingkat ketidakhadiran yang tinggi (Scott dan Taylor, 1985). Leigh (1986)
menambahkan bahwa pekerja yang tergabung dalam serikat buruh umumnya
memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan mereka
yang tidak tergabung dalam serikat, karena kepuasan terhadap kompensasi yang
diterima oleh pekerja serikat lebih baik.
Kepuasan kerja berhubungan dengan teori Herzberg (1950) yakni suatu
pekerjaan dilakukan berdasarkan motivasi kerja, yang kemudian motivasi tersebut
akan mempengaruhi kepuasan kerja (Adigun dan Stephenson, 1992). Gaji dan upah
sebagai bagian dari hygiene factors dalam teori Herzberg (1950) merupakan salah
satu faktor penting penentu kepuasan kerja, mengingat kompensasi yang memberikan
manfaat finansial seperti gaji dan upah dapat membantu meningkatkan kesejahteraan
hidup para pekerja (Gunawan, 2015). Adapun penghargaan dan kesempatan untuk
memperoleh promosi merupakan kompensasi non finansial yang menjadi bagian dari
motivator factors (Gunawan, 2015). Hubungan dengan atasan dan rekan kerja serta
kondisi operasional merupakan bagian dari hygiene factors pada lingkungan kerja
yang mempengaruhi kepuasan kerja (Pangarso dan Ramadhyanti, 2015). Nature of
works sebagai bagian dari motivator factors pada variabel lingkungan kerja juga
memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja (Bojadjiev et al., 2015). Adapun pada
pekerja operasional gudang, komunikasi menjadi salah satu faktor yang diperhatikan,
dimana respon terhadap komunikasi antar pihak ternyata mempengaruhi kepuasan
kerja (Autry dan Daugherty, 2003). Pemahaman pekerja terhadap tujuan perusahaan
dan tugas-tugasnya cenderung akan menciptakan kepuasan kerja bagi para pekerja
(Autry dan Daugherty, 2003). Pekerja yang merasa puas dengan pekerjaanya
39
cenderung memiliki sikap yang lebih baik jika dibandingkan dengan mereka yang
tidak, dimana kondisi lingkungan kerja merupakan salah satu faktor penentu
kepuasan kerja (Saari dan Judge, 2004).
Kepuasan kerja dapat meningkatkan kinerja dan mengurangi sejumlah
perilaku negatif dari pada pekerja (Morrison, 2008). Sebuah perusahaan dapat
dikatakan sukses dan berhasil ketika perusahaan tersebut mampu mencapai tujuannya
(Ionota, 2013). Barbosa dan Gomez (2015) menyatakan tujuan perusahaan
merupakan faktor penting yang perlu dicapai oleh setiap perusahaan untuk tetap
bertahan dalam persaingan industri. Aziz dan Samad (2016) kemudian menambahkan
ketika tujuan perusahaan tercapai, perusahaan akan mampu untuk memelihara
competitive advantage yang merupakan poin plus dari perusahaan tersebut. Adapun
setelah mengetahui definisi kepuasan kerja dan pentingnya kepuasan kerja bagi
perusahaan dan pekerja, maka definisi kepuasan kerja yang digunakan pada penelitian
ini yaitu kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam
meningkatkan kinerja dan poduktivitas pekerja guna mencapai tujuan perusahaan.
(Latif, Ahmad, & Qasim, 2013; Pancahanatam, 2014; Xiao dan Foerse, 2008).
2.1.3.2 Teori-Teori yang Melandasi Konsep Kepuasan Kerja
Salah satu teori yang melandasi konsep kepuasan kerja adalah Herzberg’s
Motivator-Hygiene Theory (dalam Adigun dan Stephenson, 1992). Teori Motivator-
Hygiene oleh Herzberg (1950) menganjurkan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan
merupakan bagian dari kelompok variabel yang berbeda yaitu motivators dan hygiene
factors (Teck-Hong dan Waheed, 2011). Hygiene factors atau yang disebut sumber
40
ketidakpuasan kerja dapat berupa kebijakan dan administrasi perusahaan, hubungan
dengan rekan kerja, keamanan, hubungan dengan atasan, gaji dan kondisi kerja.
Adapun motivator factors yang menjadi sumber kepuasan kerja yakni prestasi,
kemajuan, pekerjaan itu sendiri, pengakuan, dan potensi untuk berkembang.
Ketidakpuasan menurut Herzberg (1950) dihubungkan dengan kondisi di sekitar
pekerjaan (seperti kondisi kerja, upah, keamanan, dan hubungan dengan orang lain)
dan bukan dengan pekerjaan itu sendiri. Sebaliknya kepuasan kerja ditarik dari faktor
yang terkait dengan pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya seperti sifat
pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk
pengembangan diri dan pengakuan. Karena faktor ini berkaitan dengan tingkat
kepuasan kerja tinggi dinamakan motivators (dalam Teck-Hong dan Waheed, 2011).
Selain teori Motivator-Hygiene Herzberg terdapat juga teori keseimbangan atau
equity theory yang melandasi konsep kepuasan kerja (Ryan, 2016). Equity theory atau
teori keseimbangan (Adams, 1963) menyatakan kepuasan kerja terjadi pada tingkatan
dimana hasil pekerjaan diterima individu seperti diharapkan. Semakin banyak orang
menerima hasil, akan semakin puas dan sebaliknya. Kunci menuju kepuasan pada
teori ini adalah perbedaan antara aspek pekerjaan yang dimiliki dengan yang
diinginkan seseorang. Semakin besar perbedaan, semakin rendah kepuasan orang
(Ryan, 2016).
Motivator factors dan hygiene factors sebagai bagian dari two factors theory
Herzberg bersama-sama membentuk teori kepuasan kerja, yang kemudian
berkontribusi pada terbentuknya teori kinerja pekerja. Menurut Lawler dan Porter
(1967) kinerja pekerja adalah kunci dalam memperoleh kesuksesan yang dipengaruhi
41
oleh kepuasan kerja dan motivator kerja. Pengaruh sejumlah teori psikologis seperti
motivasi intrinsik (Deci dan Ryan, 1985) juga berkontribusi dalam terciptanya teori
kinerja pekerja. Kompensasi merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kinerja pekerja (Brown dan Peterson, 1994). Adapun Simamora (1997)
mengemukakan bahwa kinerja pekerja adalah tingkatan dimana para pekerja
mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan.
Pekerja yang puas dengan pekerjaan dan faktor kompensasi yang diberikan
perusahaan cenderung memiliki kinerja yang lebih baik jika dibandingkan dengan
mereka yang tidak puas (Ahmad, Ahmad, & Shah, 2010). Pada industri jasa,
kepuasan kerja yang mempengaruhi kinerja berperan penting dalam pembentukan
persepsi konsumen tentang organisasi (Salleh, Dzulkifli, Abdullah, dan Ariffin,
2011). Faktor motivasi yang berasal dari diri individu, keadilan organisasi, serta
kerterikatan batin dengan pekerjaan juga merupakan sejumlah faktor yang berdampak
langsung pada kepuasan kerja dimana hal ini akan mengarah pada kinerja pekerja
(Jankingthong dan Rukkhum, 2012). Kepuasan kerja tidak hanya berpengaruh
terhadap kinerja pekerja, tetapi juga sebaliknya bahwa kinerja pekerja akan
mempengaruhi kepuasan kerja. Pekerja yang melakukan pekerjaannya dengan sebaik-
baiknya cenderung akan merasa lebih puas terhadap pekerjaan jika dibandingkan
dengan mereka yang tidak (Judge, Bono, Thoresen, dan Patton, 2001).
42
2.1.3.3 Peranan Konsep Kepuasan Kerja Pada Konteks Freight
Forwarding
Joshua (2008) menyatakan bahwa kesempatan untuk berkembang, komunikasi
dan arus informasi mempengaruhi kepuasan kerja dari pekerja di industri freight
forwarding. Adapun dalam hasil penelitian Joshua (2008) kepuasan pekerja terhadap
komunikasi dan arus informasi di perusahaan freight forwarding umumnya masih
tergolong rendah, sehingga menyebabkan ketidakpuasan kerja. Indrawan dan Dewi
(2014) menambahkan bahwa kompensasi dan lingkungan kerja mempengaruhi
kepuasan kerja di industri freight forwarding baik secara parsial maupun simultan.
Segreevich (2015) mendukung pernyataan Indrawan dan Dewi (2014) dengan
menyebutkan bahwa pada industri freight forwarding, kompensasi merupakan salah
satu faktor penentu kepuasan kerja. Kompensasi pekerja yang berdampak pada
kepuasan kerja, dapat dikelompokan berdasarkan orientasi dan kebutuhan pekerja.
Pekerja di bidang jasa pengangkutan yang umumnya merupakan pekerja lepas,
memperoleh kepuasan kerja tidak hanya berdasarkan kompensasi finansial yang
diberikan. Pekerja di bidang jasa pengangkutan umumnya mengedepankan hubungan
sosial di lingkungan kerja sebagai salah satu bentuk kompensasi yang berperan
penting pada kepuasan kerja (Segreevich, 2015). Penelitian Joshua (2008), Indrawan
dan Dewi (2014), dan Segreevich (2015) mendukung teori Motivator-Hygiene
Herzberg (1950) yakni jika pekerja tidak merasa puas terhadap faktor-faktor seperti
gaji, lingkungan kerja, dan hubungan sosial yang terjalin melalui komunikasi maka
akan menyebabkan ketidakpuasan kerja. Equity theory atau teori keseimbangan juga
43
berhubungan dengan penelitian Segreevich (2015), dimana ketika pekerja telah
melakukan usaha untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tidak memperoleh
penghargaan sesuai dengan harapan mereka, maka tingkat kepuasan kerja akan
menurun.
Menurut Riyadi (2011) kompensasi finansial memberikan pengaruh terhadap
kepuasan kerja yang berdampak pada kinerja perusahaan. Nazir, Khan, Shah, &
Zaman (2013) menyatakan hal serupa dengan Riyadi (2011) yakni pemberian
penghargaan atau reward akan berdampak pada kepuasan kerja pekerja di suatu
perusahaan. Penyataan Nazir et al. (2013) didukung oleh hasil penelitian Yasa dan
Utama (2014) yang menyatakan bahwa penghargaan atau reward sebagai bagian dari
kompensasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja.
Adapun pada penelitian Lang (2011) di industri logistik, menyebutkan bahwa
lingkungan kerja non fisik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan
kerja. Hendri (2012) menambahkan, hubungan kerja dengan rekan kerja
mempengaruhi psikologis karyawan yang berdampak pada kepuasan kerja. Menurut
Jain dan Kaur (2014) lingkungan kerja adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja. Banyaknya jumlah pekerjaan, tekanan kerja dan kelelahan merupakan
hal-hal yang meningkatkan ketidakpuasan kerja (Jain dan Kaur, 2014). Rizal (2012)
mendukung hasil penelitian di atas dengan menyatakan bahwa kompensasi dan
lingkungan kerja baik secara parsial maupun simultan mempengaruhi kepuasan kerja.
Hasil ini diperkuat oleh teori Motivator-Hygiene yang menyatakan bahwa
ketidakpuasan kerja dapat dihubungkan dengan kompensasi dan lingkungan kerja.
44
Kompensasi dan lingkungan kerja merupakan aspek yang menjadi bagian dari
motivators dan hygiene factors (Rizal, 2012).
Menurut Jofri dan Jofri (2011) penyampaian informasi tentang strategi
perusahaan melalui komunikasi berdampak pada kepuasan karyawan. Paripurna
(2013) mendukung pernyataan Jofri dan Jofri (2011) dengan menyatakan bahwa
kepuasan kerja dipengaruhi oleh komunikasi baik antara atasan dan bawahan maupun
komunikasi antar rekan kerja. Munir dan Rahman (2016) menambahkan, buruknya
komunikasi di lingkungan kerja berdampak signifikan pada ketidakpuasan kerja.
Kholid, Nurhardji, & Prajitiasari (2015) mendukung hasil penelitian di atas dengan
menyatakan bahwa komunikasi dan lingkungan kerja secara simultan berpengaruh
terhadap kepuasan kerja. Pekerja yang mampu memahami informasi dan
menyampaikan pendapatnya dengan tetap berpikir positif terhadap lawan bicaranya
memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Penyampaian informasi dengan cara yang
efektif dapat memberikan pengaruh positif terhadap kepuasan kerja (Kholid et al.,
2015).
Industri freight forwarding merupakan salah satu industri yang melibatkan
peran pekerja blue-collar atau buruh dalam kegiatan operasional perusahaan (Sasono,
2003). Kepuasan kerja dari para buruh sebagai motor penggerak pada proses
operasional perusahaan sangat penting karena dapat meningkatkan kinerja perusahaan
dan juga membantu mencapai tujuan perusahaan (Joshua, 2008). Namun, kepuasan
kerja di industri yang melibatkan pekerja blue-collar atau buruh umumnya masih
sangat rendah (Poggi, 2010). Hal ini karena buruknya tingkat pengupahan,
lingkungan kerja yang tidak mendukung, dan arus informasi yang tidak jelas tentang
45
hak-hak buruh (Baiquni, 2014). Ketidakpuasan kerja ini dapat mendorong para buruh
melakukan sejumlah tindakan negatif yang tidak hanya merugikan perusahaan tetapi
juga masyarakat luas (Fajerial, 2015). Berdasarkan penjabaran di atas tentang
pentingnya kepuasan kerja buruh, diduga bahwa kompensasi, lingkungan kerja, dan
komunikasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Penelitian ini dilakukan untuk
melengkapi sejumlah penelitian terdahulu, dengan memfokuskan pada kompensasi,
lingkungan kerja dan komunikasi sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan
kerja dari pekerja blue-collar atau buruh di industri freight forwarding.
2.2 Teori Komunikasi
Teori komunikasi merupakan salah satu teori penting dalam ilmu
pengetahuan. Adapun teori komunikasi klasik yang sangat penting bagi
perkembangan sejumlah teori komunikasi modern adalah teori informasi atau teori
matematis (Mathematical Theory of Communication) oleh Shannon dan Weaver
(1949). Teori Matematis menjelaskan mengenai sejumlah tahapan dan proses dalam
komunikasi. Adapun teori ini kemudian menjadi dasar dari sejumlah teori komunikasi
yang digunakan dalam penelitian ini.
2.2.1 Definisi Komunikasi
Komunikasi berfungsi untuk menyampaikan informasi atau pesan yang
kemudian dapat memberikan manfaat kepada penerima pesan tersebut (Stelzer &
Ceccio, 1984). Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat penting
dalam dunia bisnis, dimana komunikasi merupakan hal yang krusial untuk
46
menyampaikan informasi bisnis (Bennett & Olney, 1986). Komunikasi sangat
penting dalam konteks penyampaian pesan dari supervisor atau atasan kepada
bawahan (Kikoski, 1999).
Hasil penelitian Zhang dan Argawal (2009) menunjukan bahwa komunikasi
memiliki korelasi postif dengan output perusahaan. Ketika komunikasi berhasil
menyampaikan informasi yang dimaksud, hal ini akan mendorong terciptanya
peningkatan kinerja pekerja, komitmen organisasional terhadap perusahaan yang
semakin kuat, dan meningkatnya kepuasan kerja. Sebaliknya komunikasi yang tidak
berhasil menyampaikan informasi yang dimaksud, akan mendorong terjadinya
sejumlah hal tidak diinginkan seperti meningkatnya tingkat stress pekerja,
ketidakpuasan kerja¸ penurunan komitmen terhadap perusahaan, menurunnya
kepercayaan pekerja, meningkatnya ketidakhadiran pekerja, dan keinginan untuk
berhenti dari pekerjaan (Zhang dan Argawal, 2009). Komunikasi dalam perusahaan
merupakan penentu keberhasilan dalam pencapaian tujuan, dengan komunikasi akan
terjadi hubungan timbal balik antar pihak yang terlibat dalam perusahaan baik berupa
perintah, saran, pendapat maupun kritik (Endang, 2010). Adapun variabel komunikasi
dapat diukur dengan tingkat pemahaman pekerja terhadap tugas dan tujuan organisasi
serta melalui sikap dan tindakan sebagai respon dari proses komunikasi tersebut.
Ketika informasi yang diterima, dipahami dan diwujudnyatakan melalui perubahan
sikap dan tindakan sesuai dengan harapan pengirim pesan, maka komunikasi tersebut
dapat dinyatakan berhasil (Endang, 2010). Menurut Turkalj dan Fosic (2014)
komunikasi sangat penting karena membantu perusahaan untuk menyampaikan
strategi bisnis kepada pihak internal —dalam hal ini melibatkan komunikasi antara
47
atasan dan bawahan serta komunikasi di antara pekerja— untuk memenangkan
persaingan industri. Turkalj dan Fosic (2014) mengidentifikasi variabel komunikasi
dengan pemahaman pekerja, yang mencakup pemahaman tentang keadaan dan tujuan
yang ingin dicapai oleh perusahaan, serta hak-hak dan kewajiban mereka. Kesuksesan
proses komunikasi juga dapat diidentifikasi melalui terciptanya hubungan yang
semakin baik diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi (Turkalj
dan Fosic, 2014)
Komunikasi memiliki peranan penting dalam pekerjaan yang melibatkan
interaksi antara atasan dan bawahan di suatu perusahaan, dimana variabel komunikasi
tersebut dapat diukur melalui hubungan interaksi antara pekerja dan atasan yang ada
pada suatu perusahaan (Grover, 2005). Komunikasi dapat meningkatkan kinerja
atasan dan bawahan (Yamaguchi, 2005). Cetin, Karabay, & Efe (2012)
menambahkan keberhasilan proses komunikasi akan sangat membantu dalam
kelancaran proses manajemen, termasuk koordinasi terhadap informasi, proses
pengambilan keputusan, kontrol dan supervisi. Cetin et al. (2012) menilai bahwa
komunikasi dalam suatu perusahaan dapat dikatakan berhasil ketika pihak pekerja
mampu menangkap maksud dan tujuan perusahaan yang kemudian dapat dipenuhinya
melalui tindakan dan pelaksanaan sejumlah tugas.
Komunikasi dalam industri jasa sangat berpengaruh pada persepsi konsumen
terhadap citra perusahaan (Jain, Sethi, & Mukherji, 2009). Poctor (2014)
menambahkan dalam industri jasa ketika perusahaan memberikan informasi dan
pekerja mampu memahami dengan jelas informasi tersebut, kemudian memberikan
umpan balik dan umpan balik dari pekerja tersebut dijadikan masukan oleh atasan,
48
tingkat kepuasan pekerja akan naik karena merasa turut berpartisipasi dalam
kesuksesan perusahaan. Zulkepli, Hasnan & Mothar (2015) mendukung penelitian
Jain et al. (2009) dan Poctor (2014) dengan menyatakan bahwa komunikasi dalam
industri jasa sangat penting karena kepuasan konsumen di indusri jasa tergantung
pada bagaimana perusahaan mampu menyampaikan jasa, yang tentunya didukung
dengan komunikasi yang baik dari internal perusahaan.
Menurut Flood dan Ramammorthy (2004) komunikasi dengan pekerja blue-
collar umumnya dilakukan dengan kata-kata yang lebih mudah dipahami. Istilah
blue-collar menurut Business Dictionary adalah ―Employees whose job entails
(largely or entirely) physical labor, such as in a factory or workshop.” Pekerja yang
melakukan pekerjaan dengan menggunakan tenaga fisik, seperti di pabrik atau loka
karya (―Blue-Collar,‖ 2016). Adapun dari Business Dictionary¸ white collar adalah
“Relating to the work done or the people who work in an office or other professional
environment.” Pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang bekerja di kantor atau di
lingkungan profesional lainnya (―White-Collar,‖ 2016). Lucas (2011) mendukung
hasil penelitian Flood dan Ramammorthy (2004) dengan menyatakan bahwa pekerja
blue-collar umumnya memiliki kemampuan berkomunikasi yang kurang jika
dibandingkan dengan pekerja white-collar. Ors (2014) menambahkan cara
mengkomunikasikan informasi pada pekerja blue-collar dan white-collar berbeda,
karena white-collar merupakan hasil transisi dari blue-collar. Adapun setelah
mengetahui definisi tentang komunikasi dari sejumlah penelitian, maka pengertian
komunikasi dalam penelitian ini yakni bahwa komunikasi terjadi ketika pemberi
pesan (sender) menyalurkan informasi kepada penerima pesan (reciever) kemudian
49
informasi tersebut diproses dan berhasil dipahami oleh reciever yang diwujudkan
dengan pemberian umpan balik kepada sender (Arquero, Polvillo, Hassall, & Joyce,
2015; Chatterje dan Kulakli, 2015; Mardianto, 2014).
2.2.2 Teori-Teori yang Melandasi Konsep Komunikasi
Teori komunikasi klasik yang sangat mempengaruhi perkembangan teori-teori
komunikasi selanjutnya adalah teori informasi atau teori matematis (Mathematical
Theory of Communication). Teori matematis merupakan bentuk penjabaran dari karya
Shannon dan Weaver (1949). Teori ini melihat komunikasi sebagai fenomena
mekanistis, matematis, dan informatif dimana komunikasi sebagai transmisi pesan
dan bagaimana transmitter menggunakan saluran dan media komunikasi. Pada teori
ini terdapat tahap encoding dan decoding sebagai bagian dari proses penyampaian
informasi. Mathematical Theory of Communication menekankan pada akurasi dan
efektivitas penyampaian pesan. Proses yang dimaksud adalah bagaimana pengirim
pesan mampu menyampaikan informasi kepada penerima pesan, dan informasi
tersebut mampu ditangkap dan diwujudnyatakan melalui tindakan yang sesuai dengan
harapan pengirim pesan. Adapun jika penerima pesan tidak memahami dan
memberikan respon yang tidak sesuai dengan harapan pengirim pesan, maka
komunikasi dapat dikatakan gagal (Min-Hsiu dan Wilde, 2010).
Myers dan Myers (1992) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal antar
individu baik secara langsung maupun tidak langsung dikatakan sukses jika informasi
yang dimaksudkan oleh pemberi pesan berhasil dipahami oleh penerima pesan,
sehingga tercipta pemahaman yang sama antar pemberi dan penerima pesan (dalam
50
DeKay, 2012). Komunikasi interpersonal merupakan transaksi informasi antar
individu dengan lingkungan sekitarnya yang menjadi penentu keberhasilan sebuah
organisasi (DeKay, 2012).
2.2.3 Peranan Konsep Komunikasi Pada Konteks Freight
Forwarding
Menurut hasil penelitian Joshua (2008) tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja di perusahaan freight forwarder, komunikasi menjadi
salah satu faktor penentu kepuasan kerja. Saat pekerja tidak mampu memahami hak
dan kewajibannya, mereka akan merasa bingung terhadap pekerjaan yang berdampak
pada menurunnya kepuasan kerja (Joshua, 2008). Muhammad, Sabaar, Hasan, Fiah,
& Nor (2013) mendukung hasil penelitian Joshua (2008) dengan menyatakan bahwa
komunikasi merupakan salah satu elemen yang berperan penting dalam kelancaran
proses operasional di perusahaan freight forwarder. Samapaty (2015) menambahkan
komunikasi berperan dalam proses implementasi strategi, pengelolaan dan
pengembangan di perusahaan freight forwarding.
Pernyataan Joshua (2008) berhubungan dengan teori komunikasi interpersonal
Myers & Myers (1992) yakni ketika pihak yang terlibat dalam komunikasi yaitu
pekerja dan perusahaan memiliki pemahaman yang sama mengenai hak dan
kewajiban, dimana hak dan kewajiban tersebut kemudian dilaksanakan maka akan
berdampak pada kepuasan kerja. Pekerja yang memiliki informasi dan paham tentang
hak-hak dan kewajibannya cenderung memiliki kepuasan kerja yang lebih baik jika
dibandingkan dengan mereka yang tidak (Joshua, 2008). Adapun pernyataan
51
Muhammad et al. (2013) dan Samapaty (2015) didasarkan pada teori Shanon dan
Weaver (1949) yakni ketika proses penyampaian informasi berhasil dalam hal ini
dilakukan oleh atasan, penerima pesan (bawahan) akan mampu mewujudnyatakan
pemahamannya dalam bentuk sikap dan tindakan yang diharapkan oleh pemberi
pesan. Komunikasi yang berhasil juga akan menyebabkan hubungan diantara pihak-
pihak yang terlibat, dalam hal ini adalah perusahaan dan pekerja menjadi semakin
baik (Chin dan Liu, 2015). Adapun komunikasi yang tidak berhasil dapat memicu
terjadinya konflik di lingkungan kerja baik antara atasan dan buruh maupun antar
sesama buruh yang kemudian berdampak pada kepuasan kerja (Chin dan Liu, 2015).
Komunikasi berperan penting pada proses penyampaian informasi dari atasan
kepada buruh atau pekerja blue-collar di industri freight forwarding untuk menjamin
terciptanya kelancaran proses operasional perusahaan (Joshua, 2008). Namun,
komunikasi di lingkungan kerja yang melibatkan buruh sebagai ―ujung tombak‖
perusahaan umumnya identik dengan citra negatif, dimana berbagai permasalahan
yang muncul sebagian besar disebabkan oleh kegagalan komunikasi (Ferreira, 2006).
Hambatan dalam proses komunikasi yang melibatkan atasan dan buruh ini muncul
sebagai akibat dari perbedaan tingkat pendidikan kedua pihak, dimana hal ini
berdampak pada metode komunikasi, penggunaan bahasa dan daya tangkap terhadap
informasi (Ferreira, 2006). Kesuksesan proses komunikasi berperan penting pada
kelancaran operasional suatu organisasi (Muhammad et al., 2013).
Berdasarkan penjabaran di atas, diduga bahwa komunikasi mempengaruhi
kepuasan kerja dari para pekerja blue-collar atau buruh angkut di industri freight
forwarding. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap
52
tentang pengaruh komunikasi pada pekerja blue-collar di industri freight forwarding.
Penelitian ini juga dilakukan mengingat minimnya jumlah penelitian tentang
pengaruh komunikasi terhadap kepuasan kerja di industri freight forwarding. Adapun
penelitian terakhir tentang variabel komunikasi terhadap kepuasan kerja di industri
freight forwarding dilakukan pada tahun 2008 yang lalu, dimana hasil penelitian
tersebut tentu membutuhkan pembaharuan.
2.3 Konteks Industri
2.3.1 Industri Freight Forwarding
Perusahaan jasa angkutan berperan penting dalam menunjang kegiatan
distribusi komoditi baik untuk dalam dan luar negeri (Kumar, 2011). Freight
forwarder merupakan salah satu pihak yang berperan dalam rantai pasok global
(Ford, 2014). Perusahaan freight forwarding memiliki pengaruh terhadap sektor
perdagangan dan distribusi komiditi antar negara di seluruh dunia (Rajasekar dan
Prabhakar, 2015). Freight forwarder sebagai perusahaan yang bergerak dalam
industri freight forwarding bertugas untuk mengantarkan satu barang atas nama pihak
lain, dengan menggunakan jalur udara, laut, dan darat sebagai sarana untuk
menyampaikan barang dalam rangka memenuhi layanan yang telah dijanjikan (Ibis
World, 2016). Pada Ibis World (2016) perusahaan bertanggung jawab untuk seluruh
proses transportasi sesuai perjanjian yang ditentukan dalam kontrak. Adapun industri
freight forwarding sendiri secara singkat dapat dikelompokan menjadi tiga kategori,
yakni
53
1. Air freight cargo (Internasional, Domestik, Charter dan Courier Service)
2. Sea Freight Cargo (Internasional, Domestik, Break bulk, dan Konsolidasi
kargo),
3. Trucking, Railway ( Kereta Api), Bongkar Muat, dan lain-lain.
Berdasarkan tiga kategori dalam industri freight forwarding, pengiriman
internasional sea freight menyumbang kontribusi terbsesar yakni 90% dari total
perdagangan dunia (ICS, 2015). Kontribusi ini diikuti dengan peningkatan jumlah
permintaan jasa sea freight (World Ocean Overview, 2015). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan beberapa ekonom seperti yang dilansir World Ocean Review (2015)
menyebutkan peningkatan jumlah pendapatan rumah tangga memicu pembelian
barang, dimana hal ini berpengaruh terhadap jumlah permintaan jasa sea freight.
Peningkatan jumlah permintaan terhadap jasa sea freight dapat dilihat pada Gambar
2.2. Jumlah permintaan akan jasa sea freight terus mengalami peningkatan sejak
tahun 1980 hingga 2009, dimana oil tankers dan bulk carriers masih mendominasi
perdagangan.
54
Adapun melihat potensi dan menyadari peranan industri freight forwading
yang sangat penting, sejumlah penelitian tentang industri freight forwarding pun terus
dikembangkan hingga pada topik tentang kepuasan kerja dari para pekerja (Joshua,
2008). Kepuasan kerja di industri freight forwarding dipengaruhi oleh faktor
kompensasi, lingkungan kerja, dan komunikasi (Joshua, 2008; Lang, 2011; Lesal,
2015). Joshua (2008) menjabarkan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja di industri freight forwarder, dimana komunikasi menjadi salah satu
faktor penentu kepuasan kerja. Kegagalan dalam proses komunikasi menyebabkan
kepuasan kerja menurun. Saat pekerja tidak memiliki informasi tentang tujuan
perusahaan dan tanggung jawab yang dimilikinya serta tidak mampu untuk
memahami instruksi yang diberikan, maka kepuasan kerja akan menurun (Joshua,
2008). Adapun pada penelitian Lang (2011) di industri freight forwarding,
menyebutkan bahwa lingkungan kerja non fisik memiliki pengaruh yang signifikan
Sumber: World Ocean Review (2015)
Gambar 2.2 – Total Sea Freight Transportation Tahun 1980 -2009
55
terhadap kepuasan kerja. Lingkungan kerja non fisik yang dimaksud adalah support
dan umpan balik yang diberikan. Perhatian dan dukungan moral yang diberikan oleh
atasan akan meningkatkan kepuasan kerja (Lang, 2011). Penelitian Hamdan dan
Setiawan (2014) menyatakan bahwa kompensasi baik finansial dan non finansial
mempengaruhi kepuasan kerja yang dapat menjadi pemicu peningkatan atau
penurunan kualitas kerja dari para pekerja. Kepuasan kerja penting di industri freight
forwarding, dimana perusahaan perlu memelihara kepuasan kerja dari para pekerja
pada tingkat tertinggi guna membantu mencapai tujuan perusahaan (Raziq dan
Maulabaksh, 2015).
2.3.2 Pentingnya Industri Freight Forwarding di Indonesia
Freight forwarding merupakan industri yang tidak hanya menjadi arsitek
dalam pendistribusian komoditi tetapi juga sekaligus menjadi pihak yang terlibat
dalam membantu pemerintah untuk mempromosikan produk Indonesia ke luar negeri
(Rahman, 2004). Adapun peranan freight forwarding sebagai sarana penghubung dan
penunjang distribusi barang komoditi ke seluruh wilayah Indonesia dapat dilihat pada
Gambar 2.3. Pada Gambar 2.3 tampak peranan industri freight forwarding khususnya
sea freight dalam menghubungkan pulau-pulau di Indonesia melalui jalur utama
penghubung laut (main sea corridor).
56
Freight forwarding sebagai salah satu sektor kunci dalam industri transportasi
dan pergudangan, pada tahun 2014 menyumbang sebesar US$ 33,34Miliar terhadap
PDB Indonesia dengan mencatat peringkat ke 53 pada logistic performance index dan
LPI score sebesar 3,08 (LPI, 2014). Adapun berdasarkan data APTRINDO Supply
Chain Indonesia, tren logistik Indonesia naik seiring dengan jalannya program
Masyarakat Ekonomi Asean 2015. Asumsi potensi pasar logistik Indonesia
diperkirakan pada tahun 2015 mencapai angka US$ 247,74Miliar (ALFI, 2014).
Gambar 2.3 – Peran Sea Freight Sebagai Penghubung Nusantara
Sumber: IPC (2012)
57
Potensi pasar yang cukup besar ini, sangat penting bagi perkembangan ekonomi
Indonesia, khususnya pada industri freight forwarding dimana hal ini akan membuka
peluang bagi sejumlah pihak yang telah dan ingin berkecimpung dalam industri
freight forwarding (ALFI, 2014). Adapun industri freight forwarding di Indonesia
merupakan salah satu industri jasa yang terus tumbuh dan berkembang. Meskipun
pertumbuhannya industri freight forwarding di Indonesia diperkirakan berjalan
dengan lambat (dari 3% selama 5 tahun terakhir menjadi sekitar 1.5%), laju ini akan
tetapi melebihi laju GDP global, sebuah situasi yang baik mengingat keadaan
ekonomi masa kini (Knigge, 2015). Adapun berdasarkan data Forwarder dan
Ekspedisi Indonesia (ILFA, 2011) hingga tahun 2011 tidak kurang terdapat 3000
lebih perusahaan freight forwarding berskala internasional dan lokal yang tergabung
dalam organisasi ini.
Sea freight sebagai bagian dari industri freight forwarding memiliki peran
penting dalam mendistribusikan barang ke berbagai pelosok Indonesia (Knigge,
2015). Sea freight merupakan tol laut yang berfungsi menjembatani proses
pengiriman rail freight ataupun road freight. Kapabilitas daya jangkauan yang luas,
mendukung sea freight untuk melaksanakan fungsi perannya sebagai tol laut. Adapun
di Indonesia, peran sea freight dalam pendistribusian barang-barang komoditi dapat
dilihat pada Gambar 2.4. Pada Gambar 2.4 tampak Indonesia yang dibagi ke dalam
tiga wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). ALKI merupakan alur
pelayaran yang dapat dimanfaatkan oleh kapal untuk melaksanakan pelayaran dalam
rangka pendistribusian barang. Melalui ketentuan jalur ALKI yang dapat dilalui, sea
58
freight kemudian menjadi tol laut yang menghubungkan pendistribusian barang antar
pulau di Indonesia.
Kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan peran
penting angkutan laut menyebabkan volume perdagangan terus meningkat yang
kemudian berdampak pada kebutuhan akan perusahaan jasa angkutan khususnya
melalui jalur laut mengalami peningkatan (Padmuji dan Achmadi, 2012). Adapun
peranan sea freight dalam pendistribusian barang seperti yang tampak pada Gambar
Sumber: IPC (2016) Gambar 2.4 – Jalur Transportasi Sea Freight Indonesia
59
2.4 diuraikan secara lebih jelas melalui data jumlah bongkar muat barang antar pulau
dan luar negeri yang dapat dilihat pada pada Tabel 2.1
Pada Tabel 2.1 tampak jumlah bongkar muat barang baik untuk antar pulau
maupun untuk luar negeri terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 jumlah
bongkar muat barang untuk perdagangan domestik mencapai angka 404.161 ton
dengan rincian jumlah muat sebesar 182.486 ton dan bongkar sebesar 221.675 ton.
Adapun pada tahun 2014 total bongkar muat untuk antar pulau mencapai angka
710.345 ton dengan rincian jumlah muat sebanyak 328.743 ton dan jumlah bongkar
sebanyak 381.602 ton. Adapun selisih antara jumlah bongkar muat untuk tahun 2010
hingga 2014 untuk transportasi antar pulau mencapai angka 306.184 ton atau
meningkat sebesar 76% sejak tahun 2010.
Tabel 2.1 Jumlah Bongkar Muat Barang Antar Pulau dan Luar Negeri di
Pelabuhan Indonesia tahun 2010 – 2014 (dalam Ton)
Tahun Muat Bongkar
Antar Pulau Luar Negeri Antar Pulau Luar Negeri
2010 182.486 233.222 221.675 65.641
2011 238.940 376.652 284.292 78.836
2012 312.599 488.264 327.715 69.645
2013 303.881 510.699 336.063 89.512
2014 328.743 417.155 381.602 100.570
Sumber: BPS (2016)
60
Pelabuhan Tanjung Priok sebagai salah satu pelabuhan utama di Indonesia
mengalami dampak dari peningkatan volume perdagangan (ALFI, 2014). Gambar 2.5
menunjukan kenaikan jumlah arus kargo pada tahun 2012 dan 2013 sebagai dampak
dari peningkatan volume perdagangan. Pada tahun 2012 terjadi kenaikan arus kargo
hingga 6,21Miliar unit ekuivalen dua puluh kaki (teu). Peningkatan ini terus berlanjut
hingga tahun 2013 dimana arus kargo mencapai angka 6,4Miliar unit ekuivalen dua
puluh kaki (teu). Adapun peningkatan yang terjadi pada tahun 2012 dan 2013
melebihi kapasitas pelabuhan Tanjung Priok yang hanya mampu menampung
sebanyak 5Miliar unit ekuivalen dua puluh kaki(teu).
Sumber: ALFI (2014)
Gambar 2.5 – Unit Ekuivalen Dua Puluh Kaki (teu) di Pelabuhan Tanjung Priok
Capacity
Container Traffic
61
Kelebihan kapasitas yang dialami pelabuhan Tanjung Priok menunjukan
besarnya kebutuhan masyarakat terhadap jasa angkutan laut atau sea freight
(Adhiyakso dan Hadi, 2012). Presiden Joko Widodo menyadari besarnya kebutuhan
masyarakat Indonesia terhadap jasa angkutan laut dan pentingnya transportasi laut
sebagai salah satu sarana pendistribusian komoditi (Presiden RI, ). Didasarkan pada
kesadaran tersebut, Presiden Joko Widodo mencanangkan program pembangunan
ekonomi maritim Indonesia. Salah satu yang menjadi perhatian Presiden Joko
Widodo adalah sektor logistik sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 2.6. Pada
Gambar 2.6 tampak bahwa salah satu target pembangunan Presiden Joko Widodo
adalah konektivitas antar wilayah di Indonesia melalui sektor transportasi.
Sumber: Ben Line Agencies (2014)
Gambar 2.6 – Target Pembangunan Periode Pemerintahan Presiden Joko Widodo
dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
62
Presiden Joko Widodo dalam gagasan program Lima Poros Maritim Nasional
melalui tol laut, berfokus pada pembangunan dan pengembangan lima pelabuhan
utama di Indonesia yakni pelabuhan Belawan/ Kuala Tanjung, pelabuhan Tanjung
Priok, pelabuhan Tanjung Perak, pebuhan Makassar dan pelabuhan Bitung (Fajrah,
2016). Adapun pelabuhan feeder atau pelabuhan transit juga menjadi perhatian
Presiden Joko Widodo yang mencakup 19 pelabuhan yakni Pelabuhan Sabang,
Pekanbaru, Batam, Jambi, Palembang, Panjang, Tanjung Emas, Pontianak,
Banjarmasin, Balikpapan, Samarinda/Palaran, Kupang, Pantoloan, Ternate,
BauBau/Kendari, Sorong, Ambon, Jayapura, dan Merauke (Fajirah, 2016).
Pentingnya peranan angkutan laut di Indonesia dalam pendistribusian barang
dan pembangunan sektor ekonomi maritim harus diikuti dengan peningkatan kualitas
layanan (Gunawan, 2015). Adapun peningkatan kualitas layanan umumnya
dipengaruhi oleh kepuasan kerja dari para pekerja di industri freight forwarding,
dimana peran buruh angkut sangat mendominasi dalam industri ini. Buruh sebagai
―ujung tombak‖ perusahaan freight forwarding merupakan komponen krusial dalam
penyampaian layanan kepada konsumen, dimana hal ini akan mempengaruhi citra
perusahaan (Gunawan, 2015). Para pekerja dalam industri freight forwarding
umumnya didominasi oleh para buruh angkut yang berperan penting dalam
penyampaian jasa kepada konsumen (Samapaty, 2015). Oleh karena itu kepuasan
kerja para buruh angkut sangat penting dalam industri freight forwarding untuk
menjamin pekerja memberikan kualitas layanan yang optimal kepada konsumen
(Gunawan, 2015).
63
2.3.3 Peranan Buruh Angkut (Blue-Collar) di Industri Freight
Forwarding
Buruh angkut atau pekerja blue-collar memiliki peran yang sangat penting di
industri freight forwarding (Samapaty, 2015). Buruh memainkan peranan yang
penting dalam pembentukan citra perusahaan melalui penyampaian layanan kepada
konsumen (Gunawan, 2015). Buruh yang tidak memperoleh kepuasan kerja
cenderung untuk melakukan berbagai tindakan negatif (Fajerial, 2015).
Buruh atau pekerja blue-collar identik dengan tingkat pendidikan yang
rendah, upah minim, dan pilihan pekerjaan yang terbatas (Carless, Fewings-Hall,
Hall, Hay, Hemsworth, & Coleman, 2007). Buruh atau pekerja blue-collar juga
identik dengan pekerja yang berketerampilan rendah (Hellerstein, Neumark, &
Troske, 2010). Buruknya fasilitas, tingkat pengupahan, lingkungan sekitar tempat
kerja dan arus informasi dengan pihak manajemen perusahaan menyebabkan
kepuasan kerja para buruh di industri freight forwarding masih sangat rendah (Poggi,
2010). Persepsi kompensasi sangat penting bagi para buruh di industri freight
forwarding karena merupakan sumber utama mata pencaharian mereka untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Kapeliushnikov, 2015). Namun pemberian
upah yang minim berpotensi untuk menimbulkan ketidakpuasan kerja, yang besar
pengaruhnya pada aktivitas perusahaan freight forwarding mengingat pentingnya
peranan buruh (Syarifudin, 2016). Lingkungan kerja yang melibatkan para buruh di
industri freight forwarding juga identik dengan kondisi pekerjaan yang berat dan
hubungan sosial buruk, baik antar sesama buruh maupun antara pihak buruh dan
64
perusahaan (Baskoro, 2014; Haidir, 2015). Lingkungan kerja yang buruk ini
cenderung berdampak pada penurunan kepuasan kerja (Dawal dan Taha, 2015).
Adapun faktor komunikasi berperan dalam menciptakan kepuasan kerja dari para
buruh di industri freight forwarding (Joshua, 2008). Namun sering kali komunikasi
yang melibatkan para buruh tidak berjalan dengan efektif sehingga memicu
ketidakpuasan kerja (Ferreira, 2006). Berbagai permasalahan muncul dalam proses
komunikasi antara para buruh dan pihak perusahaan yang disebabkan oleh perbedaan
interpretasi. Perbedaan interpretasi merupakan akibat dari ketidaksesuaian
penggunaan metode komunikasi dan bahasa terhadap daya tangkap sejumlah pihak
(Ferreira, 2006). Permasalahan yang muncul sebagai akibat kegagalan komunikasi
akan berdampak pada kepuasan kerja dari para buruh di industri freight forwarding
(Muhammad et al., 2013).
Ketidakpuasan kerja akan mendorong buruh melakukan sejumlah tindakan
negatif seperti demonstrasi, mogok kerja, pencurian, dan berbagai tindakan lainya
yang tidak hanya merugikan perusahaan tetapi juga masyarakat luas (Fajerial, 2015;
Trio, 2016; Tanjung, 2016). Kepuasan kerja buruh sangat penting, karena disamping
efek negatif yang ditimbulkan ketika kepuasan kerja itu tidak terpenuhi, perusahaan
yang berhasil menjaga kepuasan kerja dari para pekerjanya pada tingkat yang
tertinggi akan memperoleh dampak positif (Biziukov, 2012). Dampak positif yang
dimaksud adalah ketika pekerja merasa puas dengan pekerjaannya, maka kinerja
perusahaan akan meningkat sebagai dampak dari peningkatan kinerja pekerja
(Shooshtarian, Ameli, & Aminilari, 2013).
65
2.4 Hubungan Antar Variabel dan Hipotesis Penelitian
2.4.1 Kompensasi dan Kepuasan Kerja
Kompensasi merupakan hal penting yang menjadi perhatian pekerja ketika
memutuskan untuk bekerja di suatu perusahaan (Barbosa et al., 2014). Adapun
demikian, kompensasi dapat dibagi ke dalam dua kategori, yakni kompensasi yang
memberikan manfaat finansial dan non finansial (Aswathappa, 2007). Kompensasi
yang memberikan manfaat finansial seperti gaji, bonus, insentif dan tunjangan dapat
membantu pekerja untuk memenuhi kebutuhan fisiologis mereka (Sopiah, 2013).
Adapun kompensasi yang memberikan manfaat non finansial seperti penghargaan,
peluang untuk berkembang dan suasana kerja yang nyaman akan memenuhi
kebutuhan pekerja sehubungan dengan interaksi sosial (Sopiah, 2013).
Pemberian kompensasi yang mampu memenuhi kebutuhan pekerja akan
menciptakan kepuasan kerja (Salisu et al., 2015). Sejumlah faktor seperti pay, fringe
benefit, promotion dan reward merupakan bagian dari variabel kompensasi yang
berperan dalam menentukan kepuasan kerja di industri jasa (Muguongo et al., 2015).
Adapun di industri freight forwarding, pemberian kompensasi yang layak oleh
perusahaan akan menjadi faktor pemicu meningkatnya kepuasan kerja dari para buruh
angkut (Gunawan, 2015). Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, maka
ditetapkan hipotesis satu, yakni:
H1: Terdapat pengaruh kompensasi terhadap kepuasan kerja dari para buruh angkut di
industri freight forwarding.
66
2.4.2 Lingkungan Kerja dan Kepuasan Kerja
Lingkungan kerja merupakan faktor penting yang harus diperhatikan
perusahaan untuk mencapai kepuasan kerja (Kurniasari dan Halim, 2013).
Lingkungan kerja dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu lingkungan kerja fisik dan
lingkungan kerja non fisik (Rahmawati et al., 2012). Lingkungan kerja fisik
mencakup keadaan yang dapat dirasakan oleh pekerja secara langsung, sedangkan
lingkungan kerja non fisik adalah cerminan hubungan antar pihak dalam suatu
organisasi (Rahmawati et al., 2012).
Lingkungan kerja yang nyaman dan mampu membangun perasaan positif
akan menciptakan kepuasan kerja (Salunke, 2015). Sejumlah faktor seperti hubungan
dengan atasan dan rekan kerja (relationship with supervisor and co-workers), kondisi
pekerjaan (operating conditions), dan sikap mental pekerja terhadap pekerjaan itu
sendiri (nature of works) merupakan bagian dari variabel lingkungan kerja yang
menentukan kepuasan kerja di industri jasa (Raziq dan Maulabaksh, 2015). Adapun
di industri freight forwarding, buruknya hubungan sosial yang melibatkan para buruh
angkut akan menyebabkan penurunan kepuasan kerja (Baskoro, 2014; Haidir, 2015).
Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, maka ditetapkan hipotesis dua, yakni:
H2: Terdapat pengaruh lingkungan kerja terhadap kepuasan kerja dari para buruh
angkut di industri freight forwarding.
2.4.3 Komunikasi dan Kepuasan Kerja
Komunikasi merupakan proses untuk menyampaikan informasi yang dimiliki
dari pemberi pesan kepada penerima pesan (Mardianto, 2014). Komunikasi memiliki
67
korelasi positif dengan output perusahaan, dimana ketika informasi yang disampaikan
berhasil dipahami dan diwujud nyatakan dalam bentuk sikap serta tindakan yang
diharapkan, hal ini akan mendorong peningkatan kinerja dan kepuasan kerja (Zhang
dan Argawal, 2009). Komunikasi juga dapat diidentifikasi melalui hubungan yang
semakin baik antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi (Chin dan
Liu, 2015).
Pemahaman terhadap tugas individu dan tujuan perusahaan merupakan hal
yang dapat mengidentifikasi variabel komunikasi (Turkalj dan Fosic, 2014). Adapun
di industri freight forwarding, proses komunikasi yang melibatkan pekerja blue collar
umumnya sering menemui hambatan sebagai akibat dari perbedaan tingkat
pendidikan (Muhammad et al., 2013). Hambatan dalam komunikasi ini menyebabkan
penurunan kepuasan kerja, mengingat komunikasi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja buruh angkut di industri freight forwarding (Joshua,
2008). Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, maka ditetapkan hipotesis tiga,
yakni:
H3: Terdapat pengaruh komunikasi terhadap kepuasan kerja dari para buruh angkut di
industri freight forwarding.
2.4.4 Kompensasi, Lingkungan Kerja, dan Komunikasi dengan
Kepuasan Kerja
Kompensasi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan fisiologis berpengaruh
terhadap kepuasan kerja (Salisu et al., 2015). Adapun hubungan sosial di lingkungan
kerja, baik dengan atasan maupun rekan kerja, serta kondisi operasional perusahaan
68
juga dapat mempengaruhi kepuasan kerja (Pangarso dan Ramadhyanti, 2015).
Komunikasi di lingkungan kerja merupakan faktor penting, karena respon sebagai
akibat dari proses komunikasi ternyata mempengaruhi kepuasan kerja (Turkalj dan
Fosic, 2014).
Kompensasi di industri freight forwarding merupakan salah satu faktor yang
dapat memicu meningkatnya kepuasan kerja, mengingat kompensasi finansial
membantu pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Gunawan, 2015).
Adapun di industri freight forwarding lingkungan kerja non fisik memiliki pengaruh
signifikan terhadap kepuasan kerja dari para buruh angkut (Lang, 2011). Banyaknya
jumlah pekerjaan, tekanan kerja dan kelelahan merupakan bagian dari variabel
lingkungan kerja yang meningkatkan ketidakpuasan kerja (Jain dan Kaur, 2014).
Penyampaian informasi di industri freight forwarding yang masih menemui sejumlah
hambatan juga menyebabkan menurunnya kepuasan kerja para buruh angkut (Joshua,
2008). Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, maka ditetapkan hipotesis
empat, yakni:
H4: Terdapat pengaruh kompensasi, lingkungan kerja dan komunikasi terhadap
kepuasan kerja dari para buruh angkut di industri freight forwarding.