digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perlindungan Hukum
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum hadir dalam masyarakat
adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan
yang bisa bertubrukan satu sama lain. Pengkoordinasian kepentingan-kepentingan
tersebut dilakukan dengan cara membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan
tersebut.1
Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara memberikan
kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam memenuhi kepentingannya tersebut.
Pemberian kekuasaan, atau yang sering disebut dengan hak ini, dilakukan secara
terukur, keluasan dan kedalamannya.
Menurut Paton, suatu kepentingan merupakan sasaran hak, bukan hanya
karena ia dilindungi oleh hukum, melainkan juga karena ada pengakuan terhadap
itu. Hak tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan, tapi juga
kehendak.2 Terkait fungsi hukum untuk memberikan perlindungan, Lili Rasjidi dan
B. Arief Sidharta mengatakan bahwa hukum itu ditumbuhkan dan dibutuhkan
manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi
1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 53. 2 Ibid., 54.
28
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
yang melindungi dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan
manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya.3
Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa “Prinsip perlindungan hukum bagi
rakyat terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut
sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindugan
terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan ekpada pembatasan-pembatasan dan
peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.”4
Perlindungan hukum bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali,
dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUDNRI 1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif
harus senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua
orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang
berkembang di masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan yang
mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap warga Negara.
Perlindugan hukum juga dapat diartikan sebagai tindakan atau upaya
untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa
yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan
3 Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 1994), 64. 4 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Rakyat Bagi Rakyat di Indonesia (sebuah Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum
dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara), (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 38.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya
sebagai manusia.5
Dalam Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), konsep perlindungan
hukum, yang tidak lepas dari perlindungan hak asasi manusia, merupkan konsep
Negara hukum yang merupkan istilah sebagai terjemahan dari dua istilah rechstaat
dan rule of law. Sehingga, dalam penjelasan UUD RI 1945 sebelum amandemen
disebutkan, “Negara Indonesia berdasar atas hukum, (rechtsstaat), tidak
berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat)”.
Teori Negara hukum secara essensial bermakna bahwa hukum adalah
supreme dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan
untuk tunduk pada hukum (subject to the law), tidak ada kekuasaan diatas hukum
(above the law), semuanya ada dibawah hukum (under the rule of law), dengan
kedudukan ini, tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power)
atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power).6
Dalam konteks tegaknya suatu negara modern, Jimly Assiddiqie
menambhakan, diperlukan pilar-pilar utama, sehingga dapat disebut sebagai
Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya,
antara lain:
5 Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), 2004, Tesis Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 3. 6 Muh. Hasrul, 2013, Eksistensi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah Dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Efektif, Disertasi, Program Doktor Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makasar, 15.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law):
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum,
yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman
tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya
pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi
yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative mengenai
supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum
dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang
tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu
memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential
yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut
sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential,
tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan
seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan
pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam
rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam
segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang,
kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat
tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan
sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok
masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat
tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang
tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat
suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya
terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi
perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum
wanita ataupun anak-anak terlantar.
3. Asas Legalitas (Due Process of Law):
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas
dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan
pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan
tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku
lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang
dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus
didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normative
demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi
menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat
administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
pula adanya prinsip ‘frijs ermessen’ yang memungkinkan para pejabat tata usaha
negara atau administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri
‘beleid-regels’ (‘policy rules’) ataupun peraturan-peraturan yang dibuat untuk
kebutuhan internal (internal regulation) secara bebas dan mandiri dalam rangka
menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
B. Peraturan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPTS/013/2011
1. Latar Belakang Peraturan Gubernur Jawa Timur
Sebelum dikeluarkannya Peraturan Gubernur Jawa Timur tentang
Ahmadiyah, terlebih dahulu sudah ada beberapa kepala daerah yang
terlebih dahulu sudah memberikan larangan terhadap aktifitas Jemaat
Ahmadiyah dengan mengeluarkan perda, diantaranya adalah yang terjadi
pada tahun 1983 di Lombok Timur melalui surat keputusan bersama
Kep.11/IPK.32.2/L-2.III.3/11/83 tentang pelarangan terhadap kegiatan
jemaah Ahmadiyah Cabang Pancor Lombok Timur yang dikeluarkan pada
tanggal 21 November 1983, setelah itu di Sumatra Selatan pada tahun
2008 dikeluarkan surat keputusan Gubernur No.563/KPT/BAN.
KESBANGPOL&LINMAS/2008 yang dikeluarkan oleh Gubernur
Sumatra Selatan pada 1 September 2008.
Di Sulawesi Selatan juga melakukan hal yang sama, melalui Surat
edaran Gubernur Sulawesi Selatan No. 223.2/803/Kesbang yang
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
dikeluarkan pada 10 februari 2011.7 Pada bulan yang sama tanggal 28
Februari 2011 Gubernur Jawa Timur H. Soekarwo juga mengeluarkan
Peraturan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPTS/013/2011 tentang
pelarangan aktifitas Jemaat Ahmadiyah di wilayah Jawa Timur, Peraturan
Gubernur Jawa Timur ini melarang aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Jawa Timur dan merupakan langkah yang dhiambil oleh pemerintah
provinsi Jawa Timur dalam rangka menjaga kondusifitas masyarakat Jawa
Timur, seperti diketahui bersama bahwa sebelum dikeluarkannya
Peraturan Gubernur Jawa Timur, dibeberapa daerah diluar Jawa Timur
sudah terjadi konflik yang disebabkan oleh perdebatan tentang ideologi
Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Oleh karenanya pemerintah provinsi Jawa Timur mengambil langkah
cepat dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur No
188/94/KPTS/013/2011 tentang larangan aktifitas Jemaat Ahmadiyah
Indonesia di Jawa Timur.
2. Isi Peraturan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPTS/013/2011
tentang larangan aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa
Timur
Peraturan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPTS/013/2011 tentang
larangan aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Timur, yang
isinya melarang aktifitas keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia Jawa
7 Pemantauan dan Dokumentasi- Kontras 23 Oktober 2011.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Timur, serta adanya larangan memasang atribut Jemaat Ahmadiyah
Indonesia di berbagai tempat ibadah.
Sebagai bahan pertimbangan dari dikeluarkannya peraturan Gubernur
jawa Timur tersebut adalah agar masyarakat wajib menjaga dan
memelihara kerukunan antar umat beragama di Jawa Timur untuk
menciptakan ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara demi terwujunya persatuan dan kesatuan
nasional, selain itu juga dalam rangka menjaga stabilitas keamanaan
daerah Jawa Timur, hal ini tidak lepas dari berbagai kasus yang terjadi
berkaitan dengan Jemaat Ahmadiyah diberbagai wilayah di Indonesia.
Selain itu beberapa pertimbangan lain yang menjadi landasan
dikeluarkannya peraturan Gubernur jawa Timur tersebut adalah Undang-
Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalagunahan
dan/atau Penodaan Agama, Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan nomor 8 tahun 2006
tentang pedoman Pelaksana Tugas Kepada Daerah/Wakil Kepala Daerah
dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, Keputusan
Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 3 Tahun 2008, Nomor Kep-033/A/JA/6/2008 dan Nomor 199
Tahun 2008 tentang Peringatan dan perintah kepada Penganut, Anggota,
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga
Masyarakat.
Sehingga dari berbagai pertimbangan sosial dan yuridis tersebut
Gubernur jawa Timur selaku pemimpin tertinggi di wilayah jawa Timur
memutuskan untuk “Melarang Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) yang dapat memicu dan/atau menyebabkan terganggunya keamanan
dan ketertiban masyarakat di Jawa Timur”.
Larangan yang dimaksud dalam peraturan Gubernur tersebut adalah
larangan Menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara Lisan, tulisan maupun
melalui media elektronik, larangan Memasang papan nama organisasi
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di tempat umum, dan larangan
Menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam segala
Bentuknya.
Dari keputusan Gubernur Jawa Timur tersebut dapat diketahui dengan
jelas bahwa dengan berbagai pertimbangan di tetapkan bahwa melarang
aktiifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di wilayah Jawa Timur untuk
menyebarkan ideologi keagamaannya serta menggunakan dan memasang
atribut Ahmadiyah di wilayah Jawa Timur.8
C. Peraturan Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Mengeluarkan Regulasi
8 Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktifitas Jemaat
Ahmadiyah Indonesia di Jawa Timur
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar hukum pembentukan
Pemerintahan Daerah dan penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah. Dalam
menentukan kewenangan yang dimiliki oleh daerah, berlaku teori residu, kewenangan
daerah merupakan sisa dari semua kewenangan setelah dikurangi lima kewenangan
yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Dengan demikian berarti kewenangan yang
dimiliki daerah tidak terhingga, sehingga setiap daerah dapat menyelenggarakan
kewenangan sebanyak-banyaknya tergantung kebutuhan dan kemampuan daerah
yang bersangkutan.
Akan tetapi dalam menjalankan tugasnya, badan atau aparatur pemerintah
harus dilandasi wewenang yang sah yang diberikan oleh peraturan perundang –
undangan. Oleh karena itu setiap badan atau aparatur pemerintah sebelum
menjalankan tugasnya harus terlebih dahulu dilekatkan dengan suatu kewenangan
yang sah berdasarkan peraturan perundang – undangan. Dengan adanya kewenangan
yang sah yang diberikan oleh peraturan perundang – undangan, maka kewenangan
tersebut dibatasi dan diatur oleh peraturan perundang – undangan sehingga tidak
melebihi kewenangan yang dimilikinya.9
Berdasarkan undang – undang pemerintahan daerah, gubernur adalah kepala
daerah yang memimpin suatu wilayah/provinsi.10 Gubernur disini sebagai kepala
9 Safri Nugraha, Hukum Administrasi Negara (Depok: CLGS-FHUI, 2007) 29. 10 Indonesia, Pasal 24 ayat 2 Undang – Undang Tentang Pemerintahan Daerah UU Tahun 2004, TLN
No. 4437
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
pemerintah daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bersama DPRD
berdasar asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas –
luasnya dalam sistem dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia. Selain sebagai
keala daerah provinsi, gubernur juga berfungsi pula selaku wakil pemerintah di
wilayah provinsi tersebut. 11 Gubernur disini mempunyai pengertian untuk
menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi
pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten/kota. Jadi terdapat dua kedudukan
gubernur yakni sebagai kepala daerha suatu wilayah provinsi dan sebagai wakil
pemerintah di wilayah provinsi.
Sebagai kepala daerah, Gubernur melaksanakan urusan pemerintahan menurut
prinsip otonomi daerah berdasarkan asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Dalam
melaksanakan urusan pemerintahannya menurut otonomi daerah itu, Gubernur
mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya ini
berdasarkan asa desentralisasi yang berarti hanya urusan pemerintahan yang telah
diserahkan kepada daerah otonom tersebut yang dapat dilakukan yaitu urusan diluar
pemerintah pusat yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter
fiskal nasional, dan agama. Kewenangan pemerintah pusat adalah semua kewenangan
pemerintahan sebagai akibat pelimpahan dari rakyat.12 Namun pemerintahan harus
11 Ibid.,37. 12 Hanif Nur Cholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah (Jakarta: Grasindo, 2005),
160-161.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
diselenggarakan secara desentralisasi maka sebagian kewenangn tersebut harus
diserahkan kepada daerah.Dengan demikian pemerintah pusat hanya memiliki
kewenangan 6 (enam) bidang urusan pemerintahan. Sedaangkan kewenangan selain 6
(enam) bidang itu menjadi kewenangan daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Kewenangan yang dipegang pusat adalah kewenangan yang bersifat
nasional.Sedngkan kewenangan yang diserahkan kepada daerah adalah kewenangan
yang bersifat lokalitas (merupakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat).
Daerah diberi kebebasan untuk menemukan kewenangan yang bersifat lokalitas
tersebut menurut prakarsanya sendiri.
Dalam kaitannya untuk menciptakan produk hukum dalam melaksanakan
otonomi daerah, Gubernur mempunyai wewenang mengatur dan mengurus dimana
wewenang mengatur tersebut perbuatan untuk menciptakan norma hukum yang
berlaku umum dan abstrak, dimana dalam undang – undang pemerintahan daerah
produk hukum hasil mengatur tersebut antara lain:13
1. Peraturan daerah atau Perda, yakni keputusan kepala daerah berdasarkan
persetujuan DPRD.
Perda merupakan hasil kerja bersama antara Gubernur/Bupati/Walikota
dengan DPRD, karena itu tata cara membentuk Perda harus ditinjau dari
beberapa unsur pemerintahan tersebut, yaitu unsur DPRD adalah Peraturan
13 Behnyamin Hoessein, Perubahan, Pola dan Bentuk Pemerintahan Daerah; dari Era Orde Baru ke
Era Reformasi (Jakarta: DIA FISIP UI, 2009), hal 154.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Daerah merupakan sutu bentuk produk legislatif tingkat daerah, karena itu
tidak dapat terlepas dari DPRD. Keikutsertaan DPRD membentuk Perda
bertalian dengan wewenang DPRD dibidang legislatif atau yang secara tidak
langsung dapat dipergunakan sebagai penunjang fungsi legislatif, yaitu hak
penyelidikan, hak inisiatif, hak amandemen, persetujuan atas Rancangan
Peraturan Daerah (Ranperda).Unsur Partisipasi adalah partisipasi
dimaksudkan sebagai keikutsertaan pihak-pihak luar DPRD dan Pemerintah
Daerah dalam menyusun dan membentuk Ranperda atau Perda.14
2. Peraturran Kepala Daerah yakni keputusan kepala daerah tanpa persetujuan
DPRD.
Sedangkan dengan wewenang mengurus, Gubernur selaku kepala
daerah provinsi dapat menciptakan norma hukum yang berlaku kongkrit dan
individual dalam undang – undang pemerintah daerah terdapat hasil produk
pengurusan yaitu keputusan kepala daerah. Keputuusan kepala daerah
merupakan produk hukum hasil pengurusan yang bersifat penetapan dan
istilah yang dipakai oleh peradilan adalah keputusan tata usaha negara.
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh gubernur baik mengatur dan
mnegurus tersbeut membentuk tiga produk hukum. Produk hukum tersebut
hanya untuk melaksanakan urusan – urusan pemerintahan yang telah
diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah berdasarkan asas
14 Rosjidi Ranggawidjadja, Pengantar Ilmu Perundang – Undangan Indonesia (Bandung: Mandar
Maju, 1998), 77.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
desentralisasi. Sedangkan untuk urusan pemerintahan yang tidak diserahkan
kepada daerah otonom hanya bisa dilaksanakan berdasarkan asas
dekonsentrasi, Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu,
dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab
urusan pemerintahan umum. Maksudnya adalah pelimpahan wewenang
pemerintahan yang sebenarnya kewenangan itu ada ditangan pemerintah
pusat, yakni menyangkut penetapan strategi kebijakan dan pencapaian
program kegiatannya, diberikan kepada gubernur atau instansi vertical
didaerah berdasarkan arahan kebijaksanaan umum dari pemerintah pusat,
sedangkan sektor pembiayaannya tetap dilaksanakan oleh pemerintah pusat.15
yaitu dengan adanya pelimpahan kewenangan pemerintahan pusat kepada
Gubernur.
Kedudukan Gubernur selaku wakil pemerintah mempunyai tugas dan wewenang
untuk melaksanakan:16
1. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi
dan kabupaten/kota
15 Sunarto Siswanto, Hukum Pemerintahan Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 7-8. 16 Indonesia, Pasal 37 Undang – Undang Tentang Pemerintahan Daerah. . ..
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2. Kordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota
3. Kordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di
daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Gubernur sebagai wakil pemerintah juga melaksanakan urusan
pememrintahan di wilayah provinsi yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.17 Dalam hal ini Gubernur
sebagai wakil pemerintah dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi urusan pemerintah, yakni Politik Luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter fiskal dan agama. Setelah mendapat limpahan sebagian urusan pemerintahan
kepadanya berdasarkan asas dekonsentrasi atau dapat menugaskan kepeda
pemerintahan daerah dengan asas tugas pembantuan.
Dalam hal kaitannya dengan dikeluarkannya sebuah keputusan Gubernur yang
berisi tentang urusan agama, yaitu surat keputusan Gubernur No.
188/94/KPTS/013/2011 tentang larangan aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di
Jawa Timur. Keputusan tersebut adalah keputusan kepala daerah yang merupakan
produk hukum hasil pengurusan yang bersifat penetapan.
Dapat diuraikan menurut sifatnya, bahwa individual disini adalah keputusan
itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju
yaitu ditujukan dan dialamatkan kepada seseorang, beberapa orang atau banyak orang 17 Indonesia, Pasal 3 Ayat 2 Undang – Undang Tentang Pemerintahan Daerah. . ...
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
tertentu. Dalam keputusan tersebut yang dituju adalah Jemaatn Ahmadiyah Indonesia
Jawa Timur. Selanjutnay keputusan tersbeut bersifat kongkret yang berarti keputusan
tersebut di dalamnya diatur perbuatan yang sudah nyata, yaitu tidak hanya
melarang melakukan kegiatan yang dapat memicu atau menyebabkan terganggunya
keamanan dan ketertiban masyarakat Jawa Timur, tetapi sudah dikongkretkan
menjadi menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun media
elektronik, memasang papan nama organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia di tempat
umum, memasang papan nama pada masjid, musholla, lembaga pendidikan dan lain –
lain dengan identirtas Jemaat Ahmadiyah, dan menggunakan atribut Jemaat
Ahmadiyah Indonesia dalam segala bentuk. Selanjutnya keputusan tersbeut final atau
sekali selesai yang berarti tanpa meminta persetujuan pihak atasan, keputusan
tersbeut sudah langsung dapat berlaku.
Dengan demikian surat keputusan Gubernur Jawa Timur tersebut merupakan
produk hukum kepala daerah yang berasal dari wewenang kepala daerah yang berupa
hasil pengurusan yang bersifat penetapan atau keputusan tata usaha negara. Surat
keputusan tersebut adalah surat keputusan yang berisi tentang urusan agam yang
dilihat dari isinya yakni berisi tentang larangan melakukan aktifitas suatu kelompok
keagamaan tertentu yaitu Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Mengingat urusan agama merupaka urusan pemerintah pusat, maka
pemerintah daerah tidak berwenang mengeluarkan produk hukum baik itu melalui
perbuatan mengatur maupun mengurus yang berisi tentang urusan agama kecuali
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
telah mendapatkan pelimpahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
sesuai dengan kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi
berdasarkan asas dekonsentrasi atau mendapatkan tugas dari pemerintah berdasarkan
asas pembantuan. Jadi dapat dikatakan bahwa kewenangan Gubernur Jawa Timur
dalam mengeluarkan surat keputusan tersebut melebihi kewenangan yang
dimilikinya.
D. Hubungan UUD 1945 Tentang Kebebasan Beragama
Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa
ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana
ini hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29
UUD 1945. Dengan arti kata, masalah kebebasan beragama memang tidak pernah
tuntas diperdebatkan hingga sekarang.
Pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang”.
Pasal 28E menjelaskan bahwa :
1. Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat.
Pasal 28J menerangkan bahwa :
1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
Dan Pasal 29 yang menegaskan bahwa :
1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
Semula, rancangan awal pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPK berbunyi:
“Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
bagi pemeluk-pemeluknya”. Kemudian diubah lewakeputusan rapat PPKI, 18
Agustus 1945 menjadi: “Negara berdasar ataKetuhanan Yang Maha Esa”.
Rumusan ini menghilangkan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya) yang justru dipandang prinsipil bagi kalangan
nasionalis-Islam. Rumusaninilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga
sekarang dan tidak mengalami perubahan meski telah empat kali mengalami
amandemen: 1999, 2000, 2001, dan 2002.
UUD 1945 dalam sistem hukum di Indonesia dikenal sebagai sumber dari
segala sumber hukum yang menjadi turunannya. Adapun tingkatan hukum di
Indonesia setelah UUD 1945 adalah: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, dan
Peraturan Daerah. Dalam sistim hukum global Indonesia banyak juga
meratifikasi berbagi konvenan Internasional seperti Konvenan Internasional Hak
Sipil dan Politik lewat UU Nomor 12 Tahun 2005. Dalam masa reformasi UUD
1945 paling tidak telah mengalami empat kali amandemen, sungguh sebuah
masa perubahan yang sangat cepat dalam hukum di Indonesia.
Di era reformasi sekarang, banyak sekali produk hukum yang lahir
dalam masa reformasi dihasilkan sebagai produk kontestasi etno politik dari berbagai
kelompok masyarakat baik ditingkat pusat maupun daerah. Reformasi berjalan
dengan berbagai upaya legislatif mengisi ruang hukum Negara Indonesia dengan
berbagai produk hukum. Bercampur dengan situasi politik dan ekonomi Negara
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
dan berbagai agenda kepentingan lainnya, reformasi telah menghasilkan
sejumlah produk hukum, mulai dari UU sampai dengan Peraturan Daerah.
Sangat disayangkan, sejumlah produk hukum atau peraturan yang ada
menimbulkan ketegangan di masyarakat dan tumpang tindih bahkan ada juga yang
melihat sebagai produk-produk multitafsir.
Namun demikian, di sisi lain Negara Indonesia adalah negara yang
berpenduduk majemuk dari segi suku bangsa, budaya, dan agama. Penduduk
Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang tersebar di berbagai wilayah
Penduduk ini menganut agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Bagian terbesar
dari penduduk menganut agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu Buddha dan
Khonghucu, bahkan juga ratusan aliran keagamaan. Karena itu diperlukan kearifan
dan kedewasaan di kalangan umat beragama untuk memelihara keseimbangan
antara kepentingan kelompok dan kepentingan nasional. Dari sisi Pemerintah,
diperlukan kebijaksanaan dan strategi untuk menciptakan dan memelihara suasana
kebebasan beragama dan kerukunan umat beragama guna mewujudkan masyarakat
Indonesia yang aman, damai sejahtera dan bersatu.
Dimana yang dimaksud kerukunan umat beragama disini adalah keadaan
hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian,
saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya
dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan, pemeliharaan
kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan
pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan umat beragama.
Dilain pihak kita ketahui, bahwa Indonesia merupakan negara Pancasila,
artinya bukan sebagai negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri
pada satu agama tertentu, tetapi negara Pancasila juga tidak dapat dikatakan sebagai
negara sekuler karena negara sekuler sama sekali tidak mau terlibat dalam
urusan agama. Menurut Mahfud M.D, negara Pancasila adalah sebuah religious
nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan
memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa
membedakan besarnya jumlah pemeluk masing-masing. Berangkat dari konsepsi
tersebut, maka adalah suatu keniscayaan bahwa negara mempunyai kewajiban
konstitusional (constitutional obligation/judicial review) untuk melindungi
kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya.18
Dengan demikian, kebebasan beragama di Indonesia dijamin oleh UUD
1945 terutama pasal 28E, 28I, dan 29. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya
dapat dilakukan melalui UU sebagaimana ditur dalam Pasal 28J UUD 1945
tersebut. Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga
diatur adanya hak-hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia. Pasal 22 UU
Nomor 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa:
18 Mahfud, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
“(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; dan (2) Negara
menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”19
Tetapi Undang-Undang yang sama juga mengatur adanya kewajiban dasar
manusia, yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak
memungkinkan terlaksananya dan tegaknya HAM, sebagaimana diatur dalam Pasal-
pasal 1, 67, 68, 69 dan 70 UU tersebut. Tentang pembatasan hak dan kebebasan
hanya dapat dilakukan oleh UU sebagaimana diatur Pasal 73 UU tersebut. Demikian
pula kebebasan beragama dijamin oleh Kovenan Internasional Hak Sipil dan
Politik yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005. Dalam Pasal
18 ayat (1), (2) dan (3) UU ini, disebutkan sebagai berikut:
1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.
Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama
atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu
maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau
tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan
ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.
19 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2. Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya
untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai
dengan pilihannya.
3. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya
dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi
keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan
kebebasan mendasar orang lain.
Prinsip dan pasal-pasal mengenai kebebasan beragama diatas masih sangat
umum dan perlu penjabaran lebih lanjut. Jika dikaitkan dengan isu kebebasan
beragama di Indonesia dewasa masalahnya dapat dibagi menjadi sekurang-
kurangnya 4 masalah11: 1) Hubungan kebebasan beragama dengan agama lain. Ini
menjadi masalah karena adanya pluralitas agama yang mengakibatkan adanya
benturan program antara satu agama dengan agama lain. 2) Hubungan
kebebasan beragama pada pemeluk agama masing- masing. Ini menyangkut
masalah-masalah pemikiran dan pengamalan ajaran agama yang oleh umat
penganut agama tersebut dianggap menyimpang. 3) Hubungan kebebasan
beragama dan pemerintah. Khusus ketika terjadi konflik peran pemerintah mutlak
diperlukan sebagai penengah dan fasilitator antar agama atau antar pemeluk
agama. 4) Hubungan kebebasan beragama dengan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM). Ini bermasalah ketika HAM yang dianggap universal itu
ternyata secara konseptual dan praktis berbenturan dengan prinsip-prinsip dalam
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
agama. UUD 1945 tidak secara tegas mengatur agama-agama apa saja yang harus
dipeluk oleh seseorang sebagai warga negera Indonesia. Dengan demikian
menurut ketentuan UUD 1945 tersebut, warga negara diberi kebebasan untuk
memeluk dan memilih salah satu agama atau keyakinan serta menjalankan
ibadat sesuai syariatnya. Agama dan kepercayaan seseorang tidak dapat
dipaksaan, Negara sekalipun tidak dapat memaksakan dan menentukan seseorang
harus memilih salah satu agama tertentu.
Di dalam Penetapan Presiden (PnPs) No. 1 Tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang kemudian
ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan
Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden menjadi Undang-undang,
khususnya dalam Penjelasan pasal 1, agama-agama yang dipeluk oleh penduduk
Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khong Cu
(Confusius). Agama-agama inilah yang dipeluk hampir seluruh penduduk
Indonesia. Oleh karena itu agama-agama dimaksud mendapatkan jaminan dari
negara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yakni
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Selain mendapatkan jaminan dari negara juga mendapatkan bantuan-bantuan dan
perlindungan.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Jadi ke 6 (enam) agama tersebutlah yang mendapat fasilitas dari negara
atau bantuan dari negara. Akan tetapi tidak berarti agama-agama lain, misalnya:
Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Teosism, di larang di Indonesia. Mereka juga
mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat (2) UUD 1945
dan mereka dibiarkan adanya asal tidak melanggar peraturan perundang-
undangan.
Kemudian, masalah kebebasan beragama mempunyai jalinan yang erat
dengan kerukunan umat beragama. Dalam hal ini, ketika kebebasan beragama
merupakan HAM, maka menjadi tanggung jawab negara untuk menjadi
fasilitator agar dapat dilindungi dan ditegakkan sebagaimana mestinya. Hal ini
penting karena kerukunan umat beragama merupakan benih terciptanya harmoni
sosial yang penting untuk pelaksanaan pembangunan guna mencapai tujuan
negara. Harmoni sosial juga penting untuk menjadi jalan agar HAM dapat berjalan
sebagaimana mestinya.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.