14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pacaran
1. Definisi Pacaran
Menurut DeGenova & Rice (2005) pacaran adalah menjalankan suatu
hubungan dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas
bersama agar dapat saling mengenal satu sama lain. Menurut Bowman (1978)
pacaran adalah kegiatan bersenang-senang antara pria dan wanita yang belum
menikah, dimana hal ini akan menjadi dasar utama yang dapat memberikan
pengaruh timbal balik untuk hubungan selanjutnya sebelum pernikahan di
Amerika.
Benokraitis (1996) menambahkan bahwa pacaran adalah proses dimana
seseorang bertemu dengan seseorang lainnya dalam konteks sosial yang bertujuan
untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya orang tersebut untuk dijadikan
pasangan hidup. Menurut Saxton (dalam Bowman, 1978), pacaran adalah suatu
peristiwa yang telah direncanakan dan meliputi berbagai aktivitas bersama antara
dua orang (biasanya dilakukan oleh kaum muda yang belum menikah dan
berlainan jenis).
Kyns (1989) menambahkan bahwa pacaran adalah hubungan antara dua
orang yang berlawanan jenis dan mereka memiliki keterikatan emosi, dimana
hubungan ini didasarkan karena adanya perasaan-perasaan tertentu dalam hati
masing-masing. Menurut Reiss (dalam Duvall & Miller, 1985) pacaran adalah
hubungan antara pria dan wanita yang diwarnai keintiman. Menurut Papalia, Olds
Universitas Sumatera Utara
15
& Feldman (2004), keintiman meliputi adanya rasa kepemilikan. Adanya
keterbukaan untuk mengungkapkan informasi penting mengenai diri pribadi
kepada orang lain (self disclosure) menjadi elemen utama dari keintiman.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pacaran adalah serangkaian aktivitas bersama yang diwarnai keintiman (seperti
adanya rasa kepemilikan dan keterbukaan diri) serta adanya keterikatan emosi
antara pria dan wanita yang belum menikah dengan tujuan untuk saling mengenal
dan melihat kesesuaian antara satu sama lain sebagai pertimbangan sebelum
menikah.
2. Karakteristik Pacaran
Pacaran merupakan fenomena yang relatif baru, sistem ini baru muncul
setelah perang dunia pertama terjadi. Hubungan pria dan wanita sebelum
munculnya pacaran dilakukan secara formal, dimana pria datang mengunjungi
pihak wanita dan keluarganya (dalam DeGenova & Rice, 2005).
Menurut DeGenova & Rice (2005), proses pacaran mulai muncul sejak
pernikahan mulai menjadi keputusan secara individual dibandingkan keluarga dan
sejak adanya rasa cinta dan saling ketertarikan satu sama lain antara pria dan
wanita mulai menjadi dasar utama seseorang untuk menikah.
Pacaran saat ini telah banyak berubah dibandingkan dengan pacaran pada
masa lalu. Hal ini disebabkan telah berkurangnya tekanan dan orientasi untuk
menikah pada pasangan yang berpacaran saat ini dibandingkan sebagaimana
budaya pacaran pada masa lalu (dalam DeGenova & Rice, 2005). Tahun 1700 dan
1800, pertemuan pria dan wanita yang dilakukan secara kebetulan tanpa mendapat
Universitas Sumatera Utara
16
pengawasan akan mendapat hukuman. Wanita tidak akan pergi sendiri untuk
menjumpai pria begitu saja dan tanpa memilih-milih. Pria yang memiliki
keinginan untuk menjalin hubungan dengan seorang wanita maka ia harus
menjumpai keluarga wanita tersebut, secara formal memperkenalkan diri dan
meminta izin untuk berhubungan dengan wanita tersebut sebelum mereka dapat
melangkah ke hubungan yang lebih jauh lagi. Orangtua memiliki pengaruh yang
sangat kuat, lebih dari yang dapat dilihat oleh seorang anak dalam
mempertimbangkan keputusan untuk sebuah pernikahan.
Tidak ada jaminan apakan hubungan pacaran yang dibina akan berakhir
dalam pernikahan, karena dalam berpacaran tidak ada komitmen untuk
melanjutkan hubungan tersebut ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut Newman &
Newman (2006), faktor utama yang menentukan apakah suatu hubungan pacaran
dapat berakhir dalam ikatan pernikahan ialah tergantung pada ada atau tidaknya
keinginan yang mendasar dari diri individu tersebut untuk menikah.
Murstein (dalam Watson, 2004) mengatakan bahwa pada saat seorang
individu menjalin hubungan pacaran, mereka akan menunjukkan beberapa tingkah
laku seperti memikirkan sang kekasih, menginginkan untuk sebanyak mungkin
menghabiskan waktu dengan kekasih dan sering menjadi tidak realistis terhadap
penilaian mengenai kekasih kita. Menurut Bowman & Spanier (1978), pacaran
terkadang memunculkan banyak harapan dan pikiran-pikiran ideal tentang diri
pasangannya di dalam pernikahan. Hal ini disebabkan karena dalam pacaran baik
pria maupun wanita berusaha untuk selalu menampilkan perilaku yang terbaik di
Universitas Sumatera Utara
17
hadapan pasangannya. Inilah kelak yang akan mempengaruhi standar penilaian
seseorang terhadap pasangannya setelah menikah.
3. Komponen Pacaran
Menurut Karsner (2001) ada empat komponen penting dalam menjalin
hubungan pacaran. Kehadiran komponen-komponen tesebut dalam hubungan
akan mempengaruhi kualitas dan kelanggengan hubungan pacaran yang dijalani.
Adapun komponen-komponen pacaran tersebut, antara lain:
a. Saling Percaya (Trust each other)
Kepercayaan dalam suatu hubungan akan menentukan apakah suatu
hubungan akan berlanjut atau akan dihentikan. Kepercayaan ini meliputi
pemikiran-pemikiran kognitif individu tentang apa yang sedang dilakukan
oleh pasangannya.
b. Komunikasi (Communicate your self)
Komunikasi merupakan dasar dari terbinanya suatu hubungan yang baik
(Johnson dalam Supraktik, 1995). Feldman (1996) menyatakan bahwa
komunikasi merupakan situasi dimana seseorang bertukar informasi
tentang dirinya terhadap rang lain.
c. Keintiman (Keep the romance alive)
Keintiman merupakan perasaan dekat terhadap pasangan (Stenberg dalam
Shumway, 2004). Keintiman tidak hanya terbatas pada kedekatan fisik
saja. Adanya kedekatan secara emosional dan rasa kepemilikan terhadap
pasangan juga merupakan bagian dari keintiman. Oleh karena itu, pacaran
jarak jauh juga tetap memiliki keintiman, yakni dengan adanya kedekatan
Universitas Sumatera Utara
18
emosional melalui kata-kata mesra dan perhatian yang diberikan melalui
sms, surat atau email.
d. Meningkatkan komitmen (Increase Commitment)
Menurut Kelly (dalam Stenberg, 1988) komitmen lebih merupakan
tahapan dimana seseorang menjadi terikat dengan sesuatu atau seseorang
dan terus bersamanya hingga hubungannya berakhir. Individu yang sedang
pacaran, tidak dapat melakukan hubungan spesial dengan pria atau wanita
lain selama ia masih terikat hubungan pacaran dengan seseorang.
4. Alasan Berpacaran
Menurut DeGenova & Rice (2005) ada beberapa hal yang menyebabkan
individu-individu berpacaran, antara lain:
a. Pacaran sebagai bentuk rekreasi.
Satu alasan bagi pasangan untuk keluar secara sederhana adalah untuk
bersantai-santai, menikmati diri mereka sendiri dan memperoleh
kesenangan. Pacaran merupakan suatu bentuk hiburan an ini jugalah yang
menjadi tujuan akhir dari pacaran itu sendiri.
b. Pacaran memberikan pertemanan, persahabatan dan keintiman pribadi.
Banyak kaum muda yang memiliki dorongan yang kuat untuk
mengembangkan kedekatan dan hubungan yang intim melalui pacaran.
c. Pacaran adalah bentuk sosialisasi.
Pacaran membantu seseorang untuk mempelajari kealian-keahlian sosial,
menambah kepercayaan diri dan ketenangan, dan mulai menjadi ahli
dalam seni berbicara, bekerjasama, dan perhatian terhadap orang lain.
Universitas Sumatera Utara
19
d. Pacaran berkontribusi untuk pengembangan kepribadian.
Salah satu cara bagi individu untuk mengembangkan identitas diri mereka
adalah melalui berhubungan dengan orang lain. Kesuksesan seseorang
dalam pengalaman berpacaran merupakan bagian dari perkembangan
kepribadian. Satu dari alasan-alasan kaum muda berpacaran adalah karena
hubungan tersebut memberi mereka keamanan dan perasaan dihargai
secara pribadi.
e. Pacaran memberikan kesempatan untuk mencoba peran gender.
Peran gender harus dipraktekkan dalam situasi kehidupan nyata dengan
pasangan. Banyak wanita saat ini menyadari bahwa mereka tidak dapat
menerima peran tradisionalnya yang pasif; pacaran membantu mereka
mengetahui hal ini dan belajar jenis peran apa saja yang mereka temukan
dalam hubungan yang dekat.
f. Pacaran adalah cara untuk memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih
sayang. Kebutuhan akan kasih sayang ini merupakan satu dari motif utama
orang berpacaran.
g. Pacaran memberikan kesempatan bagi pencobaan dan kepuasan seksual.
Pacaran menjadi lebih berorientasi seksual, dengan adanya peningkatan
jumlah kaum muda yang semakin tertarik untuk melakukan hubungan
intim (Michael dalam DeGenova & Rice, 2005).
h. Pacaran adalah cara untuk menyeleksi pasangan hidup.
Kesesuaian dari seleksi pasangan menganjurkan agar individu-individu
yang memiliki kecocokan yang baik dalam karakteristik-karakteristik
Universitas Sumatera Utara
20
pokok untuk dapat menikah satu sama lain karena kecocokan dapat
meningkatkan kemungkinan bahwa mereka akan mampu membentuk
hubungan yang saling memuaskan.
i. Pacaran mempersiapkan individu menuju pernikahan.
Pacaran dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang sikap
dan perilaku pasangan satu sama lain; pasangan dapat belajar bagaimana
cara mempertahankan hubungan dan bagaimana mendiskusikan dan
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi.
Duvall & Miller (1985) menambahkan beberapa alasan lain mengapa
orang-orang berpacaran, yakni bahwa pacaran dilihat sebagai sesuatu yang
menyenangkan dan menghibur. Beberapa orang berpacaran karena begitulah yang
semua orang lakukan. Seseorang berpacaran karena itulah yang diharapkan; jika
tidak pacaran, orang akan mengira ada yang salah pada dirinya. Tekanan sosial
dan penghindaran dari kritik sosial juga menjadi alasan orang berpacaran. Bahkan
banyak lagi orang yang tidak tahu mengapa mereka berpacaran. Pacaran hanya
dijadikan sebagai sebuah cara untuk melewati masa antara pubertas dan dewasa
awal.
5. Model - Model Pacaran
Menurut Duvall & Miller (1985) ada beberapa tingkatan dalam pacaran :
a. Casual Dating
Universitas Sumatera Utara
21
Tahap ini biasanya dimulai dengan “pacaran keliling” pada orang muda.
Orang dalam tahap ini biasanya berpacaran dengan beberapa orang dalam
satu waktu.
b. Regular Dating
Ketika seseorang untuk alasan yang bermacam-macam memilih sebagai
pasangan yang lebih disukai, kemungkinan besar hubungan itu akan
menetap. Pasangan pada tahap ini seringkali pergi bersama dengan
pasangannya dan mengurangi atau menghentikan hubungan dengan
pasangan yang lain. Tahap perkembangan hubungan ini terjadi ketika
seorang atau kedua pasangan berharap bahwa mereka akan saling melihat
satu sama lain lebih sering dibanding yang lain. Jika hubungan ini dapat
memenuhi kebutuhan pasangannya, hubungan ini akan meningkat secara
eksklusif (terpisah dari yang lain).
c. Steady Dating
Tahap ini adalah fase yang serius dan lebih kuat dari fase dating regularly.
Pasangan dalam tahap ini biasa memberikan beberapa simbol nyata
sebagai bentuk komitmen mereka terhadap pasangannya. Mahasiswa pria
bisa memberikan pasangannya berupa pin persaudaraan, kalung, dll
sebagai wujud keseriusan mereka dalam hubungan tersebut.
d. Engagement (Tunangan)
Tahap pengakuan kepada publik bahwa pasangan ini berencana untuk
menikah.
Universitas Sumatera Utara
22
B. Ta’aruf
1. Definisi Ta’aruf
Menurut kamus Al Muhith (dalam Ummi, 2002) ta’aruf adalah saling
berkenalan satu sama lain. Hidayat (dalam Ummi, 2002) menambahkan
pengertian ta’aruf merupakan komunikasi timbal balik antara laki-laki dan
perempuan untuk saling mengenal dan saling memperkenalkan diri yang
berkaitan dengan masalah nikah.
Abdullah (2003) mendefinisikan ta’aruf sebagai proses mengenal dan
penjajakan calon pasangan dengan bantuan dari seseorang atau lembaga yang
dapat dipercaya sebagai perantara atau mediator untuk memilihkan pasangan
sesuai dengan kriteria yang diinginkan sebagai proses awal untuk menuju
pernikahan. Selanjutnya menurut Sakti (dalam Ummi, 2002) ta’aruf sebetulnya
merupakan langkah untuk memantapkan diri sebelum melangkah ke pernikahan.
Menurut Amran (dalam Ummi, 2002) sebelum ta’aruf dilaksanakan,
masing-masing pihak baik laki-laki maupun perempuan telah memiliki informasi
tentang kepribadian masing-masing calon dengan saling bertukar biodata dan foto,
yang diperoleh melalui mediator atau orang ketiga yang dipercaya sebagai
perantara. Orang yang dimaksud sebagai perantara atau mediator dalam proses
ta’aruf adalah orang yang paling dekat dan mengenal kepribadian individu yang
akan melakukan ta’aruf, seperti orangtua, guru ngaji, atau sahabat yang dipercaya,
sehingga diharapkan ia dapat memberikan informasi dan penjelasan yang benar
dan akurat serta menyeluruh mengenai individu tersebut.
Universitas Sumatera Utara
23
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa
ta’aruf adalah proses saling mengenal dan memperkenalkan diri yang berkaitan
dengan masalah nikah antara pria dan wanita dengan tujuan untuk memantapkan
diri masing-masing sebelum melangkah ke jenjang pernikahan dan dalam proses
pertemuannya kedua pihak didampingi oleh mediator.
2. Karakteristik Ta’aruf
Menurut Assyarkhan (dalam http://marsandhy.multiply.com) ada beberapa
ketentuan yang harus dipatuhi dalam melakukan penjajagan yang islami, yaitu:
a. Tidak Berduaan (Tidak ber- Khalwat)
Khalwat adalah bersendirian dengan seorang perempuan lain. Perempuan
lain yang dimaksud yaitu: bukan istri, bukan salah satu kerabat yang
haram dikawin untuk selama-lamanya, seperti ibu, saudara, bibi dan
sebagainya. Ini dilakukan demi menjaga kedua insan tersebut dari
perasaan-perasaan yang tidak baik yang biasa bergelora dalam hati ketika
bertemunya dua jenis itu, tanpa ada orang ketiganya. Dalam hal ini
Rasulullah bersabda sebagai berikut:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan." (Riwayat Ahmad).
b. Tidak Melihat Lawan Jenis dengan Bersyahwat
Di antara sesuatu yang diharamkan Islam dalam hubungannya dengan
masalah gharizah, yaitu pandangan seorang laki-laki kepada perempuan
dan seorang perempuan memandang laki-laki. Mata adalah kuncinya hati,
Universitas Sumatera Utara
24
dan pandangan adalah jalan yang membawa fitnah dan sampai kepada
perbuatan zina. Seperti yang Allah firmankan dalam surat An-Nur: 30
berikut:
“Katakanlah kepada laki-laki yang berimanan, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
c. Menundukkan Pandangan
Menundukkan pandangan itu bukan berarti memejamkan mata dan
menundukkan kepala ke tanah. Apa yang dimaksud menundukkan
pandangan di sini maksudnya adalah menjaga pandangan agar tidak
dilepaskan begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan perempuan-
perempuan atau laki-laki yang beraksi. Pandangan yang terpelihara,
apabila memandang kepada jenis lain tidak mengamat-amati
kecantikannya dan tidak lama menoleh kepadanya serta tidak melekatkan
pandangannya kepada yang dilihatnya itu.
Rasulullah berpesan pada Ali r.a sebagai berikut:
"Hai Ali! Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun yang berikutnya tidak boleh." (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tarmizi) Rasulullah s.a.w. menganggap pandangan liar dan menjurus kepada lain jenis, sebagai suatu perbuatan zina mata. Sabda beliau: "Dua mata itu bisa berzina, dan zinanya ialah melihat." (Riwayat Bukhari)
Universitas Sumatera Utara
25
d. Tidak Berhias Yang Berlebihan (Tabarruj)
Tabarruj ini mempunyai bentuk dan corak yang bermacam-macam yang
sudah dikenal oleh orang-orang banyak sejak zaman dahulu sampai
sekarang. Ahli-ahli tafsir dalam menafsirkan ayat yang mengatakan:
"Dan tinggallah kamu (hai isteri-isteri Nabi) di rumah-rumah kamu dan jangan kamu menampak-nampakkan perhiasanmu seperti orang jahiliah dahulu.” (QS Al-Ahzab: 33)
Ta’aruf adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu-individu yang
telah memiliki komitmen untuk menikah. Pernikahan akan terjadi bila kedua
belah pihak dalam proses ta’aruf sepakat untuk melanjutkan hubungannya ke
tahap pernikahan, dan sebaliknya pernikahan tidak akan terjadi bila kedua belah
pihak atau salah satu pihak tidak sepakat untuk melakukannya, dengan begitu
maka proses ta’aruf berakhir sampai disitu, dan masing-masing pihak akan
berusaha kembali melakukan proses ta’aruf dengan calon pasangan yang lain.
3. Alasan Ta’aruf
Alasan orang memilih ta’aruf sebagai proses pencarian dan penjajagan
calon pasangan hidupnya adalah karena proses ta’aruf ini sesuai dengan ajaran
Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadist; antara lain:
a. “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Surat Al-Israa’ : 32).
Zina yang dimaksudkan dalam ayat di atas diperjelas dalam hadist
Rasulullah Saw yang berbunyi:
“Telah ditakdirkan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti akan ia lakukan dan tak bisa dihindarinya. Adapun mata maka zinanya adalah
Universitas Sumatera Utara
26
melihat, zinanya telinga adalah mendengar, sedangkan zinanya lidah adalah berbicara dan zinanya tangan adalah menyentuh, dan zinanya kaki adalah melangkah, sedangkan zinanya hati adalah membayangkan dan berangan-angan, adapun yang akan membuktikannya adalah kemaluan, ataupun akan mendustakannya.”
b. “....Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula), dan wanita yang baik-baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik-baik (pula)”. (Surat An-Nur : 26 ).
Ayat ini meyakinkan individu yang ta’aruf bahwa jodoh mereka kelak
akan sesuai dengan diri mereka sendiri, jika ia adalah laki-laki yang baik,
maka jodohnya kelak pun adalah wanita yang baik, begitu pula sebaliknya,
maka mereka yang ta’aruf tidak merasa takut lagi dengan siapa pun jodoh
mereka kelak.
c. "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan." (HR. Ahmad).
Hadist di atas menerangkan bahwa pria dan wanita yang bukan muhrim
dilarang untuk berdua-duaan. Proses ta’aruf yang selalu didampingi
mediator dalam setiap pertemuaannya merupakan sebuah proses
perkenalan pria dan wanita yang sesuai dengan ajaran Islam, sesuai
dengan hadist di atas.
d. "Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah berdasarkan agamanya maka kamu akan selamat." (HR. Abi Hurairah).
Keutamaan dalam pemilihan pasangan melalui ta’aruf adalah karena
dalam proses ini landasan agama seseorang menjadi pertimbangan utama
Universitas Sumatera Utara
27
dalam penentuan pasangan. Mediator dalam proses ta’aruf selain berfungsi
menjadi perantara antara pria dan wanita yang ingin menikah, juga
berperan menjadi informan tentang bagaimana agama individu yang
ta’aruf tersebut. Agama disini maksudnya menggambarkan bagaimana
tingkat pemahaman individu tentang Islam dan aplikasi individu tersebut
dalam menjalankan ajaran Islam dalam kehidupannya sehari-hari.
4. Model - Model Ta’aruf
Menurut Jundy (dalam Al-Izzah, 2002) ada beberapa model ta’aruf, yaitu:
a. Otoritas pembina
Pembina disini adalah guru ngaji atau ustadz. Proses ta’aruf pada model
pertama ini berjalan sangat ketat. Interaksi antara kedua pasangan yang
akan ta’aruf mendapat pengawasan intensif. Pertemuan-pertemuan harus
dengan sepengetahuan pembina.
b. Rekomendasi teman
Pada model ta’aruf ini calon pendamping direkomendasikan oleh teman.
Jika orang tersebut setuju maka proses dilanjutkan dengan
memberitahukan kepada pembina. Apabila pembina setuju maka proses
ta’aruf dilanjutkan dengan mempertemukan kedua pasangan tersebut
dengan didampingi pembina atau teman yang merekomendasikan tersebut.
c. Pilihan Pribadi
Model ini tidak jauh beda dengan model kedua. Dimana orang yang akan
ta’aruf tersebut sudah pernah melihat calon yang akan berproses dalam
Universitas Sumatera Utara
28
ta’aruf tersebut. Cara yang ditempuh adalah dengan meminta bantuan
pembina atau orang lain.
5. Proses Ta’aruf
Proses ta’aruf berbeda dengan proses-proses lain yang dilakukan untuk
mendapatkan calon pasangan hidup. Ada beberapa prosedur dan tata cara yang
dapat dilakukan seseorang sebelum ta’aruf sampai pada proses ta’aruf itu sendiri
(dalam http://blankdakruz.multiply.com), antara lain:
a. Individu yang sudah siap menikah saling tukar menukar CV (Curriculum
Vitae) yang berisi; harapan, cita-cita pernikahan, tipe pasangan yang
diinginkan, dll.
b. Mencantumkan foto diri yang terbaru.
c. Jika kedua pihak merasa cocok dengan CV yang dibaca, barulah proses
ta’aruf dapat dilaksanakan.
d. Pria datang ke tempat wanita atau ke tempat yang telah disepakati bersama
dengan ditemani mediator, tidak sendirian.
e. Pihak wanita juga hadir dengan ditemani mediator, sehingga kedua calon
tidak bertemu berdua-duaan.
f. Masing-masing pihak, dipersilakan untuk saling bertanya mengenai visi
dan misi hidup dan pernikahannya. Saling membuka kekurangan dan
kelebihan masing-masing. Contohnya mengenai riwayat sakit yang pernah
diderita.
g. Setelah itu, keduanya dipersilakan untuk sholat istikharoh (mohon
petunjuk) sebelum menentukan pilihan. Jika keduanya setuju, maka proses
Universitas Sumatera Utara
29
ini akan belanjut ke pernikahan. Tetapi jika tidak, maka proses yang telah
dilalui akan dijaga kerahasiaannya.
C. Pernikahan
1. Definisi Pernikahan
Duvall dan Miller (1986) mendefinisikan pernikahan sebagai hubungan
antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan
seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas
masing-masing sebagai suami dan istri. Pasal 1 Undang-undang Pernikahan No 1
menyatakan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria
dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Munandar, 2001).
Menurut Dariyo (2003) pernikahan merupakan ikatan kudus antara
pasangan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menginjak atau
dianggap telah memiliki umur cukup dewasa. Pernikahan dianggap sebagai ikatan
kudus (holly relationship) karena hubungan pasangan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan telah diakui secara sah dalam hukum agama.
Gardiner & Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) menambahkan
bahwa pernikahan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan
kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk
pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
pernikahan adalah ikatan lahir dan batin yang suci antara pria dan wanita yang
Universitas Sumatera Utara
30
melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan anak dan adanya pembagian peran
suami – istri serta adanya keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih
sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan
emosional antara suami dan istri.
2. Fase Pernikahan
Chudori (1997) menyatakan bahwa ada beberapa fase dalam pernikahan
yang tidak dapat tidak, mesti dilalui oleh setiap pasangan suami istri, antara lain:
a. Fase bulan madu
Dalam fase ini, keindahan suasana hari-hari pertama pernikahan masih
dapat dinikmati berdua. Kemesraan yang diimpikan sebelumnya dapat
lebih dirasakan berdua karena dengan dikukuhkannya ikatan pernikahan,
berarti kedua insan yang saling mengasihi dan mencintai dapat
memanifestasikan impiannya itu secara lebih konkrit. Tidak ada lagi
batasan-batasan yang menjadi penghalang seperti ketika masih belum
menikah. Fase ini merupakan masa yang indah karena masing-masing
pihak berupaya untuk membahagiakan pasangannya.
b. Fase pengenalan kenyataan
Setelah bulan madu terlewati, kenyataan pernikahan mau tidak mau harus
dihadapi. Keakraban fase bulan madu perlahan-lahan akan pudar karena
masing-masing pihak harus kembali dengan kesibukannya. Suami harus
bekerja di kantornya, istri pun mulai sibuk dengan hal-hal yang sama atau
sibuk mengurusi pekerjaan rumah tangga. Apabila waktu suami lebih
banyak di kantor, istri akan kecewa, karena istri beranggapan suami lebih
Universitas Sumatera Utara
31
mementingkan pekerjaan dari pada memperhatikan dirinya. Sebaliknya
sang suami menganggap istrinya tidak lagi peduli dengan dirinya karena
tidak sempat lagi mengurus tubuh dan wajahnya. Hal-hal inilah yang turut
mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan, apabila terjadi kesenjangan
antara apa yang dibayangkan dengan kenyataan yang dihadapi.
c. Fase krisis pernikahan
Setelah menyadari kenyataan suami istri sebenarnya, bisa timbul
kecurigaan satu sama lain. Bila suami kerja lembur misalnya, kadang istri
curiga yang lain-lain sehingga pulang terlambat. Demikian pula jika suami
terlalu lelah sehingga mengurangi aktivitas seksualnya. Hal demikian pula
terjadi pada sebaliknya. Fase ini adalah masa paling rawan, sehingga
apabila tidak ada kesadaran dari masing-masing pihak bahwa pernikahan
tidak hanya selalu berisi kemesraan, maka bukan tidak mungkin akan
mengancam kebahagiaan rumah tangga.
d. Fase menerima kenyataan
Setelah fase krisis pernikahan terlalui, maka masing-masing pihak sudah
menerima kenyataan yang sebenarnya, baik kelebihan maupun kekurangan
pasangannya. Penerimaan kenyataan ini membuat masing-masing pihak
dengan kelebihan yang dimiliki berusaha untuk mengatasi kelemahan yang
ada dalam diri pasangannya. Selanjutnya kelemahan masing-masing dapat
dicarikan jalan keluarnya dengan baik, bukan saling menuduh ataupun
saling mencurigai dan saling menyalahkan, akan tetapi saling menutupi
Universitas Sumatera Utara
32
satu sama lain, saling melengkapi kekurangan pasangan dengan kelebihan
yang dimilikinya.
e. Fase kebahagiaan sejati
Fase ini masing-maisng pihak telah betul-betul menyadari arti sebuah
pernikahan. Pernikahan tidak selamanya mulus seperti yang dibayangkan.
Pernikahan ada kalanya juga tersandung oleh kerikil tajam, ada
gelombang-gelombang yang tidak terduga yang menghantam bahtera
rumah tangga, ada perbedaan pendapat, ada duka, derita, ada suka dan
yang paling penting menyadari bahwa setiap pasangan mempunyai
kekurangan yang tidak mungkin dirubah. Kebahagiaan sejati bukan hanya
karena keindahan, kenikmatan dan kemesraan belaka, tetapi masuk
diantaranya jika keduanya mampu mengatasi persoalan yang timbul dalam
rumah tangga. Mampu bahagia karena bisa menerima kekurangan
pendamping hidupnya sendiri.
Lamanya fase yang dilalui oleh masing-masing pasangan memang tidak
sama, ada yang singkat ada pula yang lama, sangat relatif. Semakin dewasa pola
pikir, daya nalar dan kesadaran masing-masing pihak, akan semakin cepat pula
pasangan suami istri mewujudkan cita-cita pernikahannya, memperoleh
kebahagian sejati dalam rumah tangga. Menikmati kebahagiaan ikatan pernikahan
dengan segala masalah-masalahnya.
Universitas Sumatera Utara
33
D. Kepuasan Pernikahan
1. Definisi Kepuasan Pernikahan
Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami istri
terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan
pernikahan itu sendiri. Kepuasan pernikahan dapat merujuk pada bagaimana
pasangan suami istri mengevaluasi hubungan pernikahan mereka, apakah baik,
buruk, atau memuaskan (Hendrick & Hendrick, 1992). Menurut Hughes & Noppe
(1985), kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada
tingkat dimana mereka merasakan pernikahannya tersebut sesuai dengan
kebutuhan dan harapannya.
Tingkat kepuasan pernikahan berubah seiring berjalannya waktu.
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Rollins & Cannon, 1974; Rollins &
Feldman, 1970; Spanier, Lewis, & Cole, 1975 menyimpulkan suatu indikasi
kepuasan pernikahan dalam kehidupan pernikahan mengikuti kurva U. Tingkat
kepuasan tertinggi dirasakan pada periode sebelum memiliki anak, tingkat
kepuasan terendah dirasakan pada saat anak-anak berada pada usia sekolah dan
remaja, lalu tingkat kepuasan tertinggi sekali lagi dirasakan pada saat anak-anak
telah tumbuh dewasa dan telah meninggalkan rumah (Bradburry & Fincham dan
Gottman dalam Fuller & Fincham dalam L’Abate, 1975).
Duvall & Miller (1985) menyebutkan bahwa masa-masa awal dari
pernikahan adalah puncak dari kepuasan pernikahan. Beragamnya pendapat yang
dikemukakan oleh masing-masing ahli memberikan suatu gambaran tidak adanya
Universitas Sumatera Utara
34
tingkat kepuasan pernikahan absolut yang mengesankan pada beragam periode
pernikahan (Fuller & Fincham dalam L’Abate, 1975).
Hurlock (1999) mengatakan bahwa pada masa awal pernikahan setiap
pasangan memasuki tahap dimana mereka dituntut menyatukan banyak aspek
yang berbeda dalam diri masing-masing. Kemampuan pasangan untuk
menyatukan aspek yang berbeda ini akan menentukan tingkat harmonisasi suatu
keluarga. Dilanjutkan oleh Hurlock bahwa kemampuan suami istri dalam
menyatukan perbedaan ini sangat ditentukan oleh kematangan penyesuaian diri
diantara mereka, sehingga mereka dapat membina hubungan baik dalam
kehidupan pernikahan di masa-masa selanjutnya yang juga akan mempengaruhi
tingkat kepuasan mereka dalam pernikahan.
Berdasarkan hal di atas, dapat disimpukan bahwa kepuasan pernikahan
adalah evaluasi suami istri terhadap hubungan pernikahannya yang cenderung
berubah-ubah sepanjang waktu serta dipengaruhi oleh kematangan penyesuaian
dan adanya kesesuaian antara kebutuhan dan harapan yang dimiliki suami / istri
dengan kenyataan dalam pernikahan itu sendiri.
2. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan
Menurut Hendrick & Hendrick (1992), ada dua faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan pernikahan, yaitu:
a. Premarital Factors
1) Latar Belakang Ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak
sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan
pernikahan.
Universitas Sumatera Utara
35
2) Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang
rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih
banyak menghadapi stressor seperti pengangguran atau tingkat
penghasilan rendah.
3) Hubungan dengan orantua yang akan mempengaruhi sikap anak
terhadap romantisme, pernikahan dan perceraian.
b. Postmarital Factors
1) Kehadiran anak, sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan
pernikahan terutama pada wanita (Bee & Mitchell, 1984). Penelitian
menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa menambah stress
pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan (Hendrick &
Hendrick, 1992). Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan
pernikahan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaan anak
tersebut.
2) Lama Pernikahan, dimana dikemukakan oleh Duvall bahwa tingkat
kepuasan pernikahan tinggi di awal pernikahan, kemudian menurun
setelah kehadiran anak dan kemudian meningkat kembali setelah anak
mandiri.
Menurut Holahan & Levenson (dalam Lemme, 1995), pria lebih puas
dengan pernikahannya daripada wanita. Pada umumnya wanita lebih sensitif
daripada pria dalam menghadapi masalah dalam hubungan pernikahannya.
Penelitian menunjukkan bahwa penurunan dan penyebab menurunnya kepuasan
Universitas Sumatera Utara
36
pernikahan lebih dirasakan oleh istri daripada suami (Rollins & Feldman dalam
Brigham, 1986).
Adhim (2004) mengatakan bahwa pasangan yang telah berkenalan secara
intensif dengan pacaran kemudian menikah, dalam benak mereka telah tertanam
seakan mereka telah saling mengenal dengan baik. Menurut Adhim (2004),
persepsi tentang pasangan akan menumbuhkan harapan-harapan tertentu terhadap
pernikahan. Resiko dari setiap harapan adalah kekecewaan, dan kekecewaan tentu
saja akan mempertajam perselisihan dan memperlemah kemampuan
menyesuaikan diri. Seringkali, ketika harapan tersebut tidak ditemui dalam
pernikahan maka ini akan menyebabkan ketidakpuasan yang pada akhirnya dapat
berujung pada perceraian.
Kepuasan pernikahan juga dipengaruhi oleh faktor agama. Menurut
Abdullah (2003), seseorang yang mengawali segalanya dengan motivasi iman dan
ibadah pada Tuhan semata akan merasakan kepuasan dalam hidupnya. Hal ini
didukung oleh Clark (1998) yang menyatakan bahwa agama memiliki peranan
penting dalam pembentukan sikap terhadap pernikahan dan selanjutnya akan
mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan pernikahan. Clark
menambahkan bahwa ketaatan beragama berhubungan dengan kestabilan
pernikahan.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, antara lain : latar belakang
ekonomi, pendidikan, hubungan pernikahan orangtua, kehadiran anak, lama
perkawinan, persepsi dan agama, serta jenis kelamin.
Universitas Sumatera Utara
37
3. Aspek Kepuasan Pernikahan
Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), ada beberapa area-area
dalam pernikahan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan pernikahan.
Area-area tersebut antara lain:
a. Communication
Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam
berkomunikasi dengan pasangannya. Area ini berfokus pada rasa senang
yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka
saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya.
Laswell (1991) membagi komunikasi pernikahan menjadi lima elemen
dasar, yaitu: keterbukaan diantara pasangan (opennes), kejujuran terhadap
pasangan (honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain
(ability to trust), sikap empati terhadap pasangan (empathy) dan
kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill).
b. Leisure Activity
Area ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu
senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal
atau bersama. Area ini juga melihat apakah suatu kegiatan dilakukan
sebagai pilihan individu atau pilihan bersama serta harapan-harapan dalam
mengisi waktu luang bersama pasangan.
c. Religious Orientation
Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana
pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang memiliki
Universitas Sumatera Utara
38
keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli teradap hal-
hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu
akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orangtua akan
mengajarkan dasar-dasar dan nilai-nilai agama yang dianut kepada
anaknya. Mereka juga akan menjadi teladan yang baik dengan
membiasakan diri beribadah dan melaksanakan ajaran agama yang mereka
anut.
d. Conflict Resolution
Area ini berfokus untuk menilai persepsi suami istri teradap suatu masalah
serta bagaimana pemecahannya. Diperlukan adanya keterbukaan pasangan
untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi
yang digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Area ini juga menilai
bagaimana anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah
bersama-sama serta membangun kepercayaan satu sama lain.
e. Financial Management
Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-
bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Konsep
yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan
keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi
masalah dalam pernikahan (Hurlock, 1999). Konflik dapat muncul jika
salah satu pihak menunjukkan otoritas terhadap pasangannya juga tidak
percaya terhadap kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.
Universitas Sumatera Utara
39
f. Sexual Orientation
Area ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah
seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan.
Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan
ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan.
Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini
bisa terjadi karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui
kebutuhan mereka satu sama lain, mampu mengungkapkan hasrat dan
cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan
sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasanga suami istri.
g. Family and Friends
Area ini dapat melihat bagaimana perasaan dan perhatian pasangan
terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman. Area ini
merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama
keluarga besar dan teman-teman. Pernikahan akan cenderung lebih sulit
jika salah satu pasangan menggunakan sebagian waktunya bersama
keluarganya sendiri, jika ia uga mudah dipengaruhi oleh keluarganya dan
jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu lama (Hurlock,
1999).
h. Children and Parenting
Area ini menilai sikap dan perasaan tentang memiliki dan membesarkan
anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan
mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana pengaruh
Universitas Sumatera Utara
40
kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Kesepakatan antara
pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam
pernikahan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap
anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud.
i. Personality Issue
Area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-
kebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya sebelum menikah individu
berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian
pasangannya bahkan dengan berpura-pura menjadi orang lain. Setelah
menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul. Setelah menikah
perbedaan ini dapat memunculkan masalah. Persoalan tingkah laku
pasangan yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan,
sebaliknya jika tingkah laku pasangan sesuai yang diinginkan maka akan
menimbulkan perasaan senang dan bahagia.
j. Egalitarian Role
Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam
dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas
rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua.
Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat
bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar
rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar juga
memiliki jabatan yang lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan
untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan
Universitas Sumatera Utara
41
kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan
pribadi.
4. Kriteria Kepuasan Pernikahan
Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995), ada beberapa kriteria dari
pernikahan yang memiliki kepuasan yang tinggi, antara lain:
a. Adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan,
dimana dalam keluarga terdapat hubungan yang hangat, saling berbagi dan
menerima antar sesama anggota dalam keluarga.
b. Kebersamaan, adanya rasa kebersamaan dan bersatu dalam keluarga.
Setiap anggota keluarga merasa menyatu dan menjadi bagian dalam
keluarga.
c. Model parental role yang baik
Pola orangtua yang baik akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak
mereka. Hal ini bisa memberntuk keharmonisan dalam keluarga.
d. Penerimaan terhadap konflik-konflik
Konflik yang muncul dalam keluarga dapat diterima secara normatif, tidak
dihindari melainkan berusaha untuk diselesaikan dengan baik dan
menguntungkan bagi semua anggota keluarga.
e. Kepribadian yang sesuai
Dimana pasangan memiliki kecocokan dan saling memahami satu sama
lain. Hal yang penting juga yaitu adanya kelebihan yang satu dapat
menutupi kekurangan yang lainnya sehingga pasangan dapat saling
melengkapi satu sama lain.
Universitas Sumatera Utara
42
f. Mampu memecahkan konflik
Levenson (dalam Lemme, 1995) mengatakan bahwa kemampuan
pasangan untuk memecahkan masalah serta strategi yang digunakan oleh
pasangan untuk menyelesaikan konflik yang ada dapat mendukung
kepuasan pernikahan pasangan tersebut.
E. Kepuasan Pernikahan Pasangan Yang Menikah Dengan Pacaran
Kepuasan pernikahan pasangan yang menikah dengan pacaran adalah
evaluasi suami istri terhadap hubungan pernikahannya yang cenderung berubah-
ubah sepanjang waktu serta dipengaruhi oleh kematangan penyesuaian dan adanya
kesesuaian antara kebutuhan dan harapan yang dimiliki suami / istri yang menikah
melalui pacaran dengan kenyataan yang dihadapi dalam pernikahan itu sendiri.
F. Kepuasan Pernikahan Pasangan Yang Menikah Dengan Ta’aruf
Kepuasan pernikahan pasangan yang menikah dengan ta’aruf adalah
evaluasi suami istri terhadap hubungan pernikahannya yang cenderung berubah-
ubah sepanjang waktu serta dipengaruhi oleh kematangan penyesuaian dan adanya
kesesuaian antara kebutuhan dan harapan yang dimiliki suami / istri yang menikah
melalui ta’aruf dengan kenyataan yang dihadapi dalam pernikahan itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
43
Universitas Sumatera Utara