Download - BAB II LANDASAN TEORI A. Gadai (Rahn)
12
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Gadai (Rahn)
1. Pengertian Rahn
Ar-rahn (gadai) menurut bahasa berarti al-tsubut dan al-habs
yaitu penetapan dan penahanan. Dan ada pula yang menjelaskan
bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat, di samping itu rahn
diartikan pula secara bahasa dengan tetap, kekal, dan jaminan.
Sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta
yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil
kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus.
Secara etimologi rahn berarti (tetap dan lama) yakni tetap atau
berarti (pengekangan dan keharusan), sedangkan menurut terminologi
rahn artinya “Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga
dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut”. Ulama
madzhab Maliki mendefinisikan dengan “harta yang dijadikan
pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat”. Ulama
madzab Hanafi mendefinisikan dengan “menjadikan sesuatu (barang)
sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan
sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun
sebagian”.
12
13
13
Ulama madzhab Syafi‟i dan Hanbali mendefinisikan rahn dalam
arti akad, “menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang
dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak
dapat membayar utangnya”.11
Menurut Ahmad Azhar Basyir rahn
adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang,
atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’
sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan
utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Muhammad Syafi‟i Antonio mengartikan rahn adalah menahan
salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan
(marhun) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun
tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang
menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk
dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.12
2. Dasar Hukum Gadai
Rahn diperbolehkan oleh syara‟ dengan berbagai dalil Al-
Qur‟an ataupun Hadist Nabi SAW. Begitu juga dalam ijma‟ ulama.
Diantaranya:
11 Adrian, Hukum Gadai., 14-19.
12 Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 3.
14
14
a. QS. Al-Baqarah ayat 283
إ كخى عه سفز نى حجدا كاحبا
فئ أي بعضكى بعضا فزا يقبضت
فهؤد انذ اؤح أياخ نخق انه
ي كخا نا حكخا انشادة رب
انه با حعهعهى فئ آثى قهب
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah secara tidak tunai) sedangkan kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh piutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah
Tuhannya”. (QS. 2:283).
Syaikh Muhammad „Ali As-Sayis berpendapat,
bahwa ayat Al-Quran di atas adalah petunjuk untuk
menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak
melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka
waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah
barang kepada orang yang berpiutang (rahn).
15
15
Selain itu, Syaikh Muhammad „Ali As-Sayis
mengungkapkan bahwa rahn dapat dilakukan ketika dua
pihak yang bertransaksi sedang melakukan perjalanan
(musafir), dan transaksi yang demikian ini harus dicatat
dalam sebuah berita acara (ada orang yang menuliskannya)
dan ada orang yang menjadi saksi terhadapnya. Bahkan „Ali
As-Sayis menganggap bahwa dengan rahn, prinsip kehati-
hatian sebenarnya lebih terjamin ketimbang bukti tertulis
ditambah dengan persaksian seseorang. Sekalipun
demikian, penerima gadai (murtahin) juga dibolehkan tidak
menerima barang jaminan (marhun) dari pemberi gadai
(rahin), dengan alasan bahwa ia meyakini pemberi gadai
(rahin) tidak akan menghindar dari kewajibannya. Sebab,
substansi dalam peristiwa rahn adalah untuk menghindari
kemudaratan yang diakibatkan oleh berkhianatnya salah
satu pihak atau kedua belah pihak ketika keduanya
melakukan transaksi utang-piutang.
b. Hadis
a) Hadis A‟isyah ra yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
yang berbunyi:
16
16
ع عائشت قانج اشخز رسل انه
صه انه عه سهى ي د
طعايا ر درعا ي حدد
“Bahwasanya Rasulullah SAW, membeli makanan
dari seseorang Yahudi dengan menggadaikan baju
besinya. (HR. Muslim)
b) Hadis riwayat Abu Hurairah ra, yang berbunyi:
صه -ع قال: قال رسل انه
انه عه سهى: ) نا غهق انز
ي صاحب انذ ر, ن غ,
عهغزي ( را اندارقط,
رجان ثقاث. إنا أ انحاكى,
انحفظ عد أب داد غز
إرسال
“Barang gadai tidak boleh disembunyikan dari
pemilik yang menggadaikan, baginya risiko dan
hasilnya. (HR. Asy-Syafi‟i dan Ad-Daruquthni)
c. Ijma‟ Ulama
17
17
Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum
gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi
Muhammad SAW yang menggadaikan baju besinya untuk
mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama
juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad
SAW tersebut ketika beliau beralih dari yang biasanya
bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang
Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi
Muhammad SAW yang tidak mau memberatkan para
sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti apapun
harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada
mereka.13
3. Rukun dan Syarat Gadai (Rahn)
a. Rukun Gadai (Rahn)
Fiqh muamalah dalam hal transaksi gadai mempersyaratkan
rukun dan syarat sah gadai. Adapun rukunnya sebagai berikut:
a) Aqid (Orang yang berakal)
Aqid adalah orang yang melakukan akad yang
meliputi dua arah, yaitu (a) Rahin (orang yang
menggadaikan barangnya), dan (b) Murtahin (orang
yang berpiutang dan menerima barang gadai) atau
13 Zainuddin, Hukum Gadai., 5-8.
18
18
penerima gadai. Hal dimaksud, didasari oleh shighat,
yaitu ucapan berupa ijab qabul (serah terima antara
penggadai dengan penerima gadai).
b) Ma’qud ‘alaih (barang yang diakadkan)
Ma’qud ‘alaih meliputi dua hal, yaitu (a) Marhun
(barang yang digadaikan), dan (b) Marhun bih (dain),
atau utang yang karenanya diadakan akad rahn.
b. Syarat Gadai (Rahn)
Selain rukun yang harus terpenuhi dalam transaksi gadai,
maka dipersyaratkan juga syarat. Syarat-syarat gadai diuraikan
sebagai berikut:
a) Shighat
Syarat shighat tidak boleh terikat dengan syarat
tertentu dan waktu yang akan datang. Misalnya, orang
yang menggadaikan hartanya mempersyaratkan
tenggang waktu utang habis dan utang belum terbayar,
sehingga pihak penggadai dapat diperpanjang satu bulan
tenggang waktunya. Kecuali jika syarat itu mendukung
kelancaran akad maka diperbolehkan.
b) Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum
19
19
Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum
mempunyai pengertian bahwa pihak rahin dan mahrun
cakap melakukan perbuatan hukum, yang ditandai
dengan aqil baligh, berakal sehat, dan mampu
melakukan akad. Menurut mazhab Hanafi, anak kecil
yang mumayyiz, yang sudah dapat membedakan sesuatu
baik dan buruk, maka ia dapat melakukan akad rahn
dengan syarat akad rahn yang dilakukan mendapat
persetujuan dari walinya.
c) Utang (Marhun Bih)
Utang (marhun bih) mempunyai pengertian
bahwa: (a) utang adalah kewajiban bagi pihak berutang
untuk membayar kepada pihak yang memberi piutang;
(b) merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika
tidak bermanfaat maka tidak sah; (c) barang tersebut
dapat dihitung jumlahnya.
d) Mahrun
Mahrun adalah harta yang dipegang oleh murtahin
(penerima gadai) atau wakilnya, sebagai jaminan utang.
Para ulama menyepakati bahwa syarat yang berlaku
pada barang gadai adalah syarat yang berlaku pada
20
20
barang yang dapat diperjual belikan, yang ketentuannya
adalah:
(a) Agunan itu harus bernilai dan dapat
dimanfaatkan menurut ketentuan syariat Islam;
sebaliknya agunan yang tidak bernilai dan
tidak dapat dimanfaatkan menurut syariat
Islam maka tidak dapat dijadikan agunan;
(b) Agunan itu harus dapat dijual dan nilainya
seimbang dengan besarnya utang;
(c) Agunan itu harus jelas dan tertentu (harus
dapat ditentukan secara spesifik);
(d) Agunan itu milik sah debitur;
(e) Agunan itu tidak terikat dengan hak orang lain
(bukan milik orang lain, baik sebagian maupun
seluruhnya).
(f) Agunan itu harus harta yang utuh, tidak berada
di beberapa tempat.
(g) Agunan itu dapat diserahkan kepada pihak
lain, baik materinya maupun manfaatnya.14
14 Abdullah Taufik, Potret Gadai Emas Syariah Sebuah Telaah Gadai Emas Syariah pada BSM
Cabang Kediri (Kediri: Dimar Intermedia, 2016), 21-24.
21
21
4. Ketentuan Umum Pelaksanaan Rahn dalam Islam
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan ar-
rahn antara lain:
a. Kedudukan Barang Gadai
Selama ada di tangan pemegang gadai, maka
kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu amanat yang
dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai.
b. Pemanfaatan Barang Gadai
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil
manfaatnya baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima
gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai
jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Apabila
mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan,
maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu
agar di dalam perjanjian gadai itu tercantum ketentuan jika
penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk
memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya menjadi milik
bersama. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari harta
benda tidak berfungsi atau mubazir.
22
22
c. Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai
Ada beberapa pendapat mengenai kerusakan barang
gadai yang di sebabkan tanpa kesengajaan murtahin. Ulama
mazhab Syafi‟i dan Hambali berpendapat
bahwa murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko
sebesar harga barang yang minimum. Penghitungan di mulai
pada saat diserahkannya barang gadai
kepada murtahin sampai hari rusak atau hilang.
d. Pemeliharaan Barang Gadai
Para ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan
penggadai dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari
penggadai dan tetap merupakan miliknya. Sedangkan para
ulama Hanafiyah berpendapat lain, biaya yang diperlukan
untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai
menjadi tanggungan penerima gadai dalam kedudukanya
sebagai orang yang menerima amanat.
e. Kategori Barang Gadai
23
23
Jenis barang yang biasa digadaikan sebagai jaminan
adalah semua barang bergerak dan tak bergerak yang
memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Benda bernilai menurut hukum syara‟
b) Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi
c) Benda diserahkan seketika kepada murtahin.
f. Pembayaran atau Pelunasan Utang Gadai
Apabila sampai pada waktu yang sudah di
tentukan, rahin belum juga membayar kembali utangnya,
maka rahin dapat dipaksa oleh marhun untuk menjual barang
gadaianya dan kemudian digunakan untuk melunasi
hutangnya.
g. Prosedur Pelelangan Gadai
Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang
menggadaikan tidak boleh menjual atau menghibahkan barang
gadai, sedangkan bagi penerima gadai dibolehkan menjual
barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak
penggadai tidak dapat melunasi kewajibanya.15
5. Pengikatan Agunan dengan Gadai
15 Muhammad dan Sholikhul Hadi, Pengadaian Syari’ah (Jakarta: Salembadiniyah, 2003), 54.
24
24
Perjanjian penjaminan merupakan perjanjian assesoir yang
melekat pada perjanjian dasar atau perjanjian pokok yang menerbitkan
utang piutang di antara debitur dan kreditur. Contohnya adalah
hipotek, hak tanggungan, fidusia, gadai, perjanjian menanggung
(borghtoucth), perjanjian garansi, perutangan tanggung menanggung
(tanggung renteng) dan lain-lain.16
Sebelum pembiayaan direalisasikan, terlebih dahulu harus dibuat
akad atau perjanjian yang mengatur hak dan kewajiban antara lembaga
dengan nasabah penerima fasilitas pembiayaan. Di samping mengatur
hak dan kewajiban para pihak, perjanjian atau persetujuan antara
lembaga dengan nasabah penerima fasilitas pembiayaan (debitur) juga
berfungsi sebagai perikatan pokok dari perjanjian pengikat jaminan
(accesoir).17
Ketentuan syariah tidak mengatur mengenai jenis pengikatan
barang anggunan. Oleh karena itu, tata cara pengikatan terhadap
barang anggunan (rahn) harus berpedoman kepada ketentuan-
ketentuan yang berlaku dalam hukum konvensional sebagai ketentuan
publik yang mengikat perbankan syariah di Indonesia, yaitu barang
bergerak diikat secara fidusia atau gadai, sedangkan untuk barang tidak
16
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), 79.
17 A. Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah (Jakarta: PT Grafindo Pustaka Utama, 2012),
153-154.
25
25
bergerak diikat secara Akta Pengikatan Hak Tanggungan dan Hipotik
untuk Kapal.
Tujuan produk pembiayaan rahn yang secara khusus adalah untuk
membantu masyarakat memperoleh dana tunai untuk secara cepat dan
mudah, dengan menyerahkan barang sebagai jaminan utang (agunan),
maka pengikat secara gadai terhadap barang jaminan utang (rahn)
adalah lebih sesuai dengan tujuan produk rahn. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut:
a. Berdasarkan pemahaman terdapat Surah Al-Baqarah ayat 283
dan Sunnah Rasulullah SAW., maka barang yang dijadikan
jaminan utang harus dipegang/dikuasai oleh pemberi utang
(murtahin).
b. Hak gadai bersifat ikatan (accessoir) karena adanya utang yang
dijamin dengan hak gadai tersebut.
c. Pemegang gadai diutamakan dari penagih-penagih lainnya.
d. Pengikat barang agunan secara gadai dapat dilakukan, baik
dibawah tangan maupun dengan kata notarial. Bila pengikat
dilakukan dibawah tangan, maka prosesnya lebih cepat, praktis,
dan murah.
e. Bentuk pengikat lainnya terhadap barang agunan harus
dilakukan secara notarial. Sehingga memerlukan waktu yang
lebih lama dan biaya relative lebih besar.
26
26
f. Proses eksekusi gadai dibawah tangan lebih mudah jika
dibandingkan dengan jenis pengikat selain gadai.18
6. Hak dan Kewajiban Penerima dan Pemberi Gadai
a. Hak dan Kewajiban Penerima Gadai
a) Penerima gadai berhak menjual marhunapabila rahin tidak
dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo. Hasil
penjualan harta benda gadai (marhun) dapat digunakan untuk
melunasi pinjaman (marhun bih). Dan sisanya dikembalikan
kepada rahin.
b) Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang
telah dikeluarkan unttuk menjaga keselamatan benda gadai
(marhun).
c) Selama pinjaman belum dilunasi maka pihak pemegang gadai
berhak menahan harta benda gadai yang diserahkan oleh
pemberi gadai (nasabah/rahin).
Berdasarkan hak dan penerima gadai dimaksud, muncul
kewajiban yang harus dilaksanakannya, yaitu sebagai berikut.
a) Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau
merosotnya harta benda gadai bila hal itu disebabkan oleh
kelalaiannya.
18
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI,
Takaful dan Pasar Modal Syariah) di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2012), 117-119.
27
27
b) Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai
untuk kepentingan pribadi.
c) Penerima gadai berkewajiban memberitahukan kepada
pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan harta benda
gadai.
b. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai (rahin)
Hak pemberi gadai (rahin)
a) Pemberi gadai (rahin) berhak mendapat pengembalian harta
benda yang digadaikan sesudah ia melunasi pinjaman
hutangnya.
b) Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi atau kerusakan
dan/atau hilangnya harta benda yang digadaikan, bila hal itu
disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
c) Pemberi gadai berhak menerima sisa hasil penjualan harta
benda gadai sesudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya
lainnya.
d) Pemberi gadai berhak meminta kembali harta benda gadai bila
penerima gadai diketahui menyalahgunakan harta benda
gadaiannya.
Berdasarkan hak-hak pemberi gadai diatas maka muncul
kewajiban yang harus dipenuhinya, yaitu
28
28
a) Pemberi gadai berkewajiban melunasi pinjaman yang telah
diterimanya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan,
termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima gadai.
b) Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan benda
gadainya, bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan
pemberi gadai tidak dapat melunasi uang pinjamannya.19
7. Berakhirnya Hak Gadai Syariah (rahn)
Suatu perjanjian tidak ada yang bersifat langgeng, artinya
perjanjian tersebut sewaktu-waktu akan dapat berakhir atau batal.
Demikian pula perjanjian gadai, namun batalnya hak gadai akan sangat
berbeda dengan hak yang lainnya. Menurut Abdul Aziz Dahlan, bahwa
hak gadai dikatakan batal apabila:
a. Hutang piutang yang terjadi telah dibayar dan terlunasi;
b. Marhun keluar dari kekuasaan murtahin;
c. Para pihak tidak melaksanakan yang menjadi hak dan
kewajibannya;
d. Marhun tetap dibiarkan dalam kekuasaan pemberi gadai
ataupun yang kembalinya atas kemauan yang berpiutang.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq bahwa hak gadai akan
berakhir apabila:
19 Zainuddin, Hukum Gadai., 40-41.
29
29
a. Rahin, telah melunasi semua kewajibannya kepada murtahin;
b. Rukun dan syarat gadai tidak terpenuhi;
c. Baik rahin maupun murtahin atau salah satunya ingkar dari
ketentuan syara’ dan akad yang telah disepakati oleh
keduanya.
Sedangkan ulama fiqh menyatakan bahwa suatu akad dapat
berakhir, apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
a. Berakhir masa akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang
waktu;
b. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu
mengikat;
c. Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akan dapat
berakhir apabila:
a) Akad itu fasid;
b) Berlaku khiyar syarat, khiyar‟ aib;
c) Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad;
d) Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna; dan
30
30
e) Wafat salah satu pihak yang berakad, namun dapat
diteruskan oleh ahli warisnya, dengan demikian tidak ada
pihak yang dirugikan.20
B. Jual Beli
1. Definisi Jual Beli
Jual beli (al-bay) secara bahasa artinya memindahkan hak milik
terhadap benda dengan akad saling mengganti, dikatan : ba’a asy-syaia
jika ia mengeluarkannya dari hak miliknya, dan ba’ahu jika ia
membelinya dan memasukannya ke dalam hak miliknya.21
Secara
terminology jual beli adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh pihak
penjual dengan pihak pembeli terhadap sesuatu barang dengan harga
yang disepakatinya. Menurut syari‟at islam jual beli adalah pertukaran
harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan
ganti yang dapat dibenarkan.
2. Dasar Hukum Jual Beli
a. Jual beli disyariatkan berdasarkan al-Qur‟an. Allah Subhanahu
wata‟ala berfirman:
احم ا نه انبع حزو انزبا
20
Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer)
(Jakarta: UI Press, 2008), 115-116.
21 Abdul Azis Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat (Jakarta : Amzah, 2010), 23.
31
31
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.”(al-Baqarah : 275)
b. Bardasarkan Ijma‟
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan
alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan
dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau
harta milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti
dengan barang lainnya yang sesuai.
3. Rukun dan Syarat Jual Beli
a. Rukun Jual Beli
1. Shigat (Ijab dan Qabul)
Jual beli sah dengan adanya ijab (pernyataan menjual) dari
penjual dengan kata-kata yang jelas. Juga dengan adanya qabul
(persetujuan membeli) dari pembeli yang menyatakan
menerima kepemilikan secara jelas.
2. Orang yang melakukan akad;
Orang yang melakukan akad adalah penjual yang menjual
barang dagangannya dan pembeli yang akan membeli barang
dagangannya.
3. Ma’qud alaihi (barang dan uang).
32
32
Barang milik penjual dan tsaman (uang harga) milik pembeli;
maka jual beli fudliliy (yaitu yang tidak punya hak atas barang
yang diperjual belikan) adalah tidak sah.
b. Syarat Jual Beli
Transaksi jual-beli baru dinyatakan terjadi apabila terpenuhi tiga
syarat jual-beli yaitu:
a) Adanya dua pihak yang melakukan transaksi jual-beli;
b) Adanya sesuatu atau barang yang dipindah tangankan dari
penjual kepada pembeli;
c) Adanya kalimat yang menyatakan terjadinya transaksi jual-beli
(sighat ijab qabul).
Syarat yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli adalah:
a) Agar tidak terjadi penipuan, maka keduanya harus berakal
sehat dan dapat membedakan (memilih);
b) Dengan kehendaknya sendiri, keduanya saling merelakan,
bukan karena terpaksa;
c) Dewasa atau baligh.
Syarat benda dan uang yang diperjual belikan sebagai berikut:
33
33
a) Bersih atau suci barangnya, tidak sah menjual barang yang
najis seperti anjing, babi, khomar dan lain-lain yang najis.
b) Ada manfaatnya jual beli yang ada manfaatnya sah,
sedangkan yang tidak ada manfaatnya tidak sah, seperti
jual beli lalat, nyamuk, dan sebagainya.
c) Dapat dikuasai, tidak sah menjual barang yang sedang lari,
misalnya jual beli kuda yang sedang lari yang belum
diketahui kapan dapat ditangkap lagi, atau barang yang
sudah hilang atau barang yang sulit mendapatkannya.
d) Milik sendiri, tidak sah menjual barang orang lain dengan
tidak seizinnya, atau barang yang hanya baru akan
dimilikinya atau baru akan menjadi miliknya.
e) Harus diketahui kadar, harga, jenis dan sifatnya dari barang
itu, begitu juga. Jual beli benda yang disebutkan sifatnya
saja dalam janji (tanggungan), maka hukumnya boleh.22
C. Pembiayaan
1. Definisi Pembiayaan
Istilah pembiayaan pada intinya berarti I Belive, I trust, „saya
percaya‟ atau „saya menaruh kepercayaan‟. Perkataan pembiayaan
yang artinya kepercayaan (trust), berarti lembaga pembiayaan selaku
22 Mahmud Yunus, dan Nadlrah Naimi, Fiqih Muamalah (Medan: CP. Ratu Jaya, 2011), 104-105.
34
34
shaibul mal menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk
melaksanakan amanah yang diberikan. Dana tersebut harus digunakan
dengan benar, adil, dan harus disertai dengan ikatan dan syarat-syarat
yang jelas, dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.23
Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 pembiayaan adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antar bank dan pihak lain
yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Selain
pengertian pembiayaan yang dikemukan diatas, terdapat juga
pengertian pembiayaan menurut para ahli yaitu sebagai berikut :
a. Menurut Adiwarman Karim pembiayaan merupakan salah satu
tugas pokok bank yaitu memberikan fasilitas yaitu memberi
fasilitas penyedia dana untuk memenuhi kebutuhan pihak
defisit unit.24
b. Menurut Kasmir pembiayaan adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara pihak pemilik dana
dengan pihak lain. Yang mewajibkan pihak yang dibiayai
23 Andri Soemitra, Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah – Cet Revisi (Jakarta: KENCANA,
2014), 388.
24 Adiwarman A Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), 160.
35
35
untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah angka
waktu tertentu, dengan imbalan atau bagi hasil.25
c. Menurut Muhammad Syafe‟I Antonio pembiayaan merupakan
salah satu tugas pokok bank, yaitu memberikan fasilitas
penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang
merupakan defisit unit.
d. Menurut Muhammad pembiayaan atau financing yaitu
pendanaan yang diberikan suatu pihak kepada pihak lain untuk
mendukung investasi yang telah direncankan, baik dilakukan
sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain pembiayaan adalah
pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang
telah direncanakan. Menurut Muhammad pembiayaan adalah
“penyediaan dana tagihan yang dipersamakan dengan itu
berupa”:
(a) Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan
musyarakah
(b) Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa
beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik
(c) Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah,
salam dan istishna
25 Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008),
96.
36
36
(d) Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh
dan rahn
Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank atau
lembaga keuangan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibayai dan atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana
tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan, tanpa imbalan,
atau bagi hasil. Dengan demikan, dalam praktiknya pembiayaan
adalah :
a. Penyerahan nilai ekonomi atau kepercayaan dengan harapan
mendapatan kembali suatu nilai ekonomi yang sama
dikemudian hari.
b. Suatu tindakan atas perjanjian, dimana dalam perjanjian
tersebut terdapat jasa dan balas jasa (prestasi dan
kontraprestasi) yang keduanya dipisahkan oleh unsur waktu.
c. Pembiayaan adalah suatu hak, dengan hak mana seseorang
dapat menggunakannya untuk tujuan tertentu, dalam batas
waktu tertentu dan atas pertimbangan tertentu pula.
Jadi pada intinya pembiayaan adalah suatu kegiataan penyediaan
dana antara pemilik dana (bank atau lembaga keuangan non bank)
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan ketentuan dapat
37
37
mengembalikan dana tersebut dalam jangka waktu tertentu serta
berdasarkan kesepakatan imbalan atau bagi hasil.26
2. Unsur-unsur pembiayaan
Menurut Ismail pembiayaan memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
a. Bank atau lembaga keuangan non bank
Merupakan badan usaha yang memberikan pembiayaan kepada
pihak lain yang membutuhkan dana
b. Mitra Usaha atau (partner)
Merupakan pihak yang mendapatkan pembiayaan dari bank
maupun lembaga keuangan non bank. Atau pengguna dana yang
disalurkan oleh bank maupun lembaga keuangan non bank.
c. Kepercayaan (trust)
Bank maupun lembaga keuangan non bank memberikan
kepercayaan kepada pihak yang menerima pembiayaan bahwa
mitra akan memenuhi kewajiban untuk mengembalikan dana,
sesuai jangka waktu tertentu yang diperjanjikan. Bank maupun
lembaga keuangan non bank memberikan pembiayaan kepada
mitra usaha sama artinya dengan bank maupun lembaga keuangan
non bank memberikan kepercayaan kepada pihak penerimaan
26 Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Yogyakarta: (UUP) AMPYKPN, 2005), 40.
38
38
pembiayaan. Bahwa pihak menerima pembiayaan akan dapat
memenuhi kewajibannya.
d. Akad
Akad merupakan suatu kontrak perjanjian atas kesepakatan yang
dilakukan antara pihak bank mapun lembaga keunagan non bank
dan pihak nasabah atau mitra.
e. Risiko
Setiap dana yang disalurkan atau diinvestasikan oleh bank maupun
lembaga keuangan non bank selalu mengandung resiko tidak
kembalinnya dana. resiko pembiayaan merupakan kemungkinan
kerugian yang akan timbul karena dana yang disalurkan tidak
dapat kembali.27
3. Jenis-Jenis Pembiayaan
Menurut Muhammad Syafei Antonio jenis-jenis pembiayaan
berdasarkan pada sifat dan penggunaanya. Pembiayaan dapat dibagi
menjadi beberapa jenis diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Pembiayaan Konsumtif yaitu pembiayaan yang digunakan
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis
digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
27 Ismail, Perbankan Syariah., 107.
39
39
b. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk
meningkatkan usaha produksi, perdagangan maupun investasi.
Pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi 2 hal, yaitu
sebagai berikut:
a) Pembiayaan Modal Kerja
Pembiayaan modal kerja yaitu pembiayaan untuk
memenuhi kebutuhan: (a) peningkatan produksi, baik
secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun
secara kualitatif, yaitu peningkatan hasil kualitas atau
mutu hasil produksi dan (b) untuk keperluan perdagangan
atau peningkatan utilty of place dari suatu barang.
Pembiayaan modal kerja berfungsi mengembangkan usaha
yang sudah dijalankan agar dapat mengembangkan usaha
tersebut dan memperoleh keuntungan secara optimal.
b) Pembiayaan investasi
Pembiayaan investasi yaitu untuk memenuhi
kebutuhan barang barang modal (capital goods) serta
fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.
Pembiayaan investasi diberikan kepada nasabah untuk
keperluan investasi, yaitu keperluan penambahan modal
40
40
guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha, ataupun
pendirian proyek baru.
4. Tujuan Pembiayaan
Dalam membahas tujuan pembiayaan, mencakup lingkup yang
luas. Pada dasarnya, terdapat dua fungsi yang saling berkaitan dari
pembiayaan, yaitu sebagai berikut :
a. Profitability
Profitability yaitu tujuan untuk memperoleh hasil dari
pembiayaan berupa keuntungan yang diraih dari bagi hasil
yang diperoleh dari usaha yang dikelola bersama nasabah.
Oleh karena itu, bank hanya akan menyalurkan pembiayaan
kepada usaha-usaha nasabah yang diyakini mampu dan mau
mengembalikan pembiayaan yang telah diterimanya. Dalam
faktor kemampuan dan kemauan ini tersimpul unsur kemanan
(safety) dan sekaligus juga unsur keuntungan (profitability)
dari suatu pembiayaan, sehingga kedua unsur tersebut saling
berkaitan. Dengan demikian keuntungan dari pendapatan usaha
merupakan tujuan dari pemberian pembiayaan yang terjelma
dalam bentuk hasil yang diterima.
b. Safety
Safety merupakan keamanan dari prestasi atau fasilitas
yang diberikan harus benar-benar terjamin sehingga tujuan
41
41
profitability dapat benar-benar tercapai tanpa hambatan yang
berarti. Oleh karena itu, dengan keamanan ini dimaksudkan
agar prestasi yang diberikan dalam bentuk modal, barang atau
jasa itu betul-betul terjamin pengembaliannya, sehingga
keuntungan (profitability) yang diharapkan dapat menjadi
kenyataan.28
28 Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking Sebuah Teori, Konsep Dan Aplikasi
(Jakarta: Sinar Grafika Offiset, 2010), 711.