13
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Teori Konstruksi Sosial
Konsep framing berdasarkan dari Teori Konstruksi Sosial, itulah sebabnya
mengapa teori Kontruksi Sosial ini digunakan dalam penelitian ini. Teori Konstruksi
Sosial (social construction),di perkenalkan oleh Peter.L.Berger dan Thomas
Luckman. Teori Konstruksi Sosial bisa dikatakan berada diantara Teori Fakta Sosial
dan Teori Definisi Sosial. Dalam Teori Fakta Sosial, standar yang eksislah yang
penting. Tindakan dan persepsi manusia ditentukan oleh struktur yang ada dalam
masyarakat. Sedangkan dalam Teori Definisi Sosial manusialah yang yang
membentuk masyarakat. Manusia yang membentuk realitas, menyusun institusi dan
norma yang ada (Eriyanto, 2002).
Menurut Berger, manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis yang
melalui tahapan eksternalisasi yang merupakan usaha pencurahan atau ekspresi diri
manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Tahapan yang
kedua adalah objektivasi yaitu hasil yang dicapai dari eksternalisasi manusia.
Manusia juga mempengaruhi realitas sosial yang subyektif melalui proses
internalisasi yaitu penyerapan kembali dunia objektif kedalam kesadaran sedemikian
rupa sehingga subyektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia luar. Melalui
internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.
Menurut teori ini realitas tidak dibentuk secara ilmiah melainkan dibentuk dan
dikostruksi. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu
realitas. Dalam perspektif konstruksi sosial, seseorang akan mencurahkan ketika
bersinggungan dengan kenyataan (eksternalisasi), sebaliknya juga akan dipengaruhi
oleh kenyataan objektif yang ada (internalisasi).
14
Sebuah teks berupa berita harus dipandang sebagai konstruksi atas realita.
karenanya sangat memungkinkan terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara
berbeda. Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan peristiwa atau
fakta dalam arti yang riil.
Teori ini mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan, dan
berita dilihat. Penilaian tersebut antara lain: (Eriyanto, 2002, hal 20-40)
Fakta/Peristiwa adalah hasil Konstruksi
Menurut kaum konstruksionis realitas itu ada, karena dihadirkan
oleh konsep subyektif wartawan. Tidak ada realita yang bersifat
obyektif, karena realita tercipta lewat kontruksi dan sudut pandang
tertentu. Dan realita itu bisa berbeda-beda tergantung bagaimana
pemahaman wartawan dengan sudut pandang mereka masing-masing.
Fakta/realitas pada dasarnya dikonstruksi, karena fakta bukanlah
sesuatu yang telah ada dan menjadi bahan berita, melainkan
diproduksi dan ditampilkan secara simbolik. Itulah mengapa satu fakta
bisa menjadi banyak fakta dengan pemahaman yang berbeda-beda.
Media adalah agen Konstruksi
Dalam pandangan positivis media tidak berperan dalam
membentuk realitas melainkan hanya saluran untuk menggambarkan
realita/peristiwa yang sedang terjadi dengan riil. Namun pandangan
konstruksionis melihat media sebagai sunyek yang mengkontruksi
realita lengkap dengan pandangan, bias, dan keterpihakannya. Media
secara aktif menafsirkan realitas yang kemudian disajikan kepada
khalayak. Media sendiri juga, yang memilih realitas mana yang
dicantumkan dan tidak dicantumkan.
Berita bukan hasil dari Realitas, melainkan Konstruksi dari Realitas
15
Berbeda dengan pandangan positivis bahwa berita adalah
cerminan dari realita, pandangan kontruksionis memahami berita
sebagai hasil kontruksi sosial yang melibatkan ideologi, sudut pandang
wartawan atau media itu sendiri.
Berita bersifat Subyektif/Konstruksi atas Realitas
Karena berita merupakan hasil dari konstruksi dan pemaknaan
realita, maka sudah tentu berita tidak bisa di nilai dengan ukuran
standar yang rigrid. Adanya perbedaan anatara berita dan realitas
sebenarnya bukanlah suatu kesalahan melainkan memang begitulah
pemaknaan media terhadap realitas tersebut. Berita bersifat subyektif
karena ketika meliput peristiwa, wartawan melihat perspektif dan
pertimbangan subjektif, jadi secara tidak langsung opini pasti ada dan
tidak dapat dihilangkan dari sebuah berita.
Wartawan agen Konstruksi Realitas
Jurnalis yang baik adalah jurnalis yang mampu memindahkan
realitas kedalam berita. Sesuai atau tidaknya berita dengan realitas itu
sangan tergantung kepada wartawan. Akan tetapi dalam
konstruksionis, wartawan merupakan agen konstruksi yang tidak
hanya melaporkan fakta tetapi juga memaknai peristiwa. Wartawan
tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keterpihakannya,
karena dalam proses peliputan dan penulisan suatu peristiwa, secara
sengaja atau tidak sengaja wartawan menggunakan persepsinya dalam
memahami masalah.sehingga realitas yang tidak beraturan ditulis dan
dimaknai sehingga dipahami oleh khalayak.
Etika, Pilihan Moral, dan Keberpihakan Wartawan adalah bagian
integral dalam Produksi Berita
16
Nilai, etika, dan keberpihakan wartawan tidak dapat dipisahkan
dari proses peliputan dan pelaporan suatu peristiwa. Karena pada
dasarnya semua kerja jurnalistik merupakan proses yang subyektif,
sebab tidak hanya melibatkan fakta, namun juga keinginan yang
semuanya menyiratkan hal-hal yang berbau subyektif.
Nilai, Etika, dan Pilihan Moral Peneliti menjadi bagian integral dalam
Penelitian
Salah satu sifat dasar dari penelitian yang bertipe konstruksionis
adalah pandangan yang menyatakan peneliti bukanlah sunyek yang
bebas nilai. Pilihan etika, moral, dan keberpihakan peneliti menjadi
bagian yang sukar dihilangkan dari proses penelitian. Peneliti
memiliki berbagai nilai dan pandangan ataupun keberpihakan yang
berbeda-beda. Bisa jadi obyek penelitian yang sama akan
menghasilkan temuan yang berbeda dari masing-masing peneliti.
2.2 Teori Analisis Framing
Teori ini akan menjadi dasar pengerjaan penelitian karena dalam teori ini akan
dijelaskan secara rinci mengenai definisi analisis framing dan aspek apa saja yang
terdapat di dalamnya,efek yang di timbulkan dari framing , dan model analisis
framing yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini. Dalam teori ini
menjelaskan bahwa pemahaman seseorang dipengaruhi oleh pengalaman dan
lingkungan sekitarnya.
2.2.1 Definisi Framing
17
Akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur
komunikasi. Secara sederhana, framing dapat dianalogikan seperti kita sedang
memotret. Misalnya kita hendak memotret sebuah mobil, objek yang menjadi fokus
perhatian adalah bagian interior dari mobil tersebut. Padahal kita tahu bahwa mobil
meliputi bagian interior, ekterior, mesin dan bagian lainnya. Namun, yang menjadi
fokus perhatian adalah bagian interior. Sisi bagian depan, tepatnya pada dashboard
mobil, lebih diperlihatkan ketimbang interior pada bagian lain. Saat mengambil
gambar ini, fotografer memiliki maksud dan tujuan sendiri. Ada sesuatu yang hendak
ia tonjolkan sehingga orang yang melihat foto ini diarahkan tepat sesuai dengan
keinginan dari si fotografer, tanpa harus melihat sisi atau bagian lain dari mobil
tersebut.
Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana
perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu
dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta
apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak
dibawa ke mana berita tersebut. Seperti halnya seorang fotografer dalam memilih
objek gambar dan memotretnya sesuai dengan angle yang ia inginkan.
Robert M. Entman (Sobur, 2009) lebih lanjut mendefinisikan framing sebagai
seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih
menonjol dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal itu berarti menyajikan
secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral,
dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan.
Meskipun berbeda dalam penekanan dan pengertian, ada titik singgung utama
dari definisi framing tersebut. Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana
realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi
realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih
menonjol dan lebih mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat
aspek-aspek tertentu yang disajikan secara menonjol oleh media. Aspek-aspek yang
18
tidak disajikan secara menonjol, bahkan tidak diberitakan, menjadi terlupakan dan
sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak. Framing adalah sebuah cara bagaimana
peristiwa disajikan oleh media.
2.2.2 Aspek Framing
Ada 2 aspek framing yaitu :
Memilih fakta/realitas
Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak
melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu
terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa
yang dibuang (exluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan
dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan
fakta yang lain
Menuliskan fakta
Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu
disajikan kepada khalayak. Gagasan ini diungkapkan dengan, kalimat
dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa,
dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut
ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang
mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang),
pengulangan, pemaikaian grafis untuk mendukung dan memperkuat
penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/
peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap symbol budaya,
generalisasi, simplikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar,
dsb. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok,
19
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan
mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.
2.3 Ideologi Media Massa
Teori ini menjelaskan tentang definisi ideologi dan keterlibatan ideologi
dalam media massa. Teori ini dicantumkan oleh peneliti karena ideologi dalam media
massa adalah unsur yang menjadi bagian dari berita di media massa tersebut. Ideologi
yang dipresentasikan mempengaruhi kontruksi media massa tentang suatu realita.
2.3.1 Definisi Ideologi
Istilah ideologi adalah salah satu istilah yang paling banyak digunakan,
terutama dalam ilmu-ilmu sosial. Menurut arti kata Ideologi ialah pengucapan dari
yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus di dalam pikiran sebagai hasil dari
pemikiran (Sukarna, 1981).
Ideologi memang mempunyai banyak arti, atau dengan kata lain ideologi
dipergunakan dalam arti yang berbeda-beda. Dalam pengertian paling umum,
ideologi adalah pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan
yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang
diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar
pribadi.
Masih banyak lagi pendapat mengenai makna dari ideologi dengan versinya
sendiri-sendiri. Menurut Magis-Suseno, meskipun ada berbagai macam arti yang
digunakan untuk memaknai ideologi itu, pada hakikatnya semua arti itu dapat
dikembalikan pada salah satu dari tiga arti, yakni : (1) ideologi sebagai kesadaran
palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi adalah keyakinan yang tidak
ilmiah (Sobur, 2009).
20
2.3.2 Ideologi Media Massa
Ideologi merupakan konsep dasar cara berfikir seseorang atau golongan,
konsep ini dihasilkan melalui proses berpikir mendalam atas realita dan atau keadaan
yang terjadi di sekitarnya. Dan akhirnya konsep tersebut akan mempengaruhi cara
berpikir dan sudut pandang atas segala sesuatu. Sering terjadi seseorang atau
kelompok berusaha mempengaruhi atau sekedar mensosialisasikan sudut pandang
mereka kepada orang lain,agar memiliki konsep berpikir yang sama. Media massa
kerap menjadi sarana yang paling efektif untuk mensosialisasikan ideologinya.
Selain untuk kepentingan bisnis,pemilik media massa lebih bertujuan
mempengaruhi banyak orang agar mengetahui dan turut serta dalam setiap peristiwa
yang terjadi di negara Indonesia.. Tujuan dan kepentingan itulah yang membentuk
ideologi sebuah media. Pada penerapannya ideologi sebuah media tercermin dari visi
dam misi media tersebut. Akan tetapi ideologi juga bisa berubah seiring waktu. Hal
ini dikarenakan ideologi media massa juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar
tempat dia berada. Keadaan politik, ekonomi, pengiklan, agama juga merupaka faktor
– faktor yang mampu mempengaruhi pembentukan ideologi media massa.
2.4 Peradilan Media
Teori ini menjelaskan tentang Peradilan media dan keterlibatan media dalam
pemberitaannya. Teori ini dicantumkan oleh peneliti karena peradilan media adalah
masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Peneliti ingin melihat apakah dalam
pemberitaannya media melakukan bias peradilan media.
2.4.1 Definisi Peradilan Media
21
Pers sebagai lembaga yang memiliki kemampuan untuk memberikan
informasi kepada publik tentang berbagai peristiwa sekaligus dapat memberikan
tanggapan atas berbagai peristiwa yang di informasikan. Pers dalam tatanan negara
demokrasi merupakan pilar yang berfungsi sebagai kontrol bagi kekuasaan. Tentunya
tidak hanya pers yang dapat secara bebas menyajikan berbagai peristiwa saja yang
mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap berbagai aktivitas kebijakan
negara, akan tetapi haruslah pers yang bersifat independen.
Saat ini dapat dilihat bagaimana pers menjalankan perannya. Berbagai
peristiwa aktual dapat dengan sangat cepat diketahui perkembangannya melalui
berbagai media pers seperti koran, majalah, radio, televisi dan situs-situs internet.
Berbagai macam informasi berseliweran dengan sangat cepat menembus batas ruang
dan waktu. Apa yang telah terjadi di belahan dunia lain sangat dengan cepat diketahui
peristiwanya oleh bagian masyarakat belahan dunia lainnya. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi semakin mendukung dan mendorong aktivitas pers untuk
dapat bekerja dengan lebih baik dan menjalankan fungsingya secara maksimal.
Berbagai peristiwa hukum adalah salah satu bagian yang sangat menarik
untuk disajikan oleh pers. Dapat dilihat bagaimana kasus-kasus hukum begitu banyak
mewarnai berbagai media pers setiap hari melebihi pemberitaan bidang-bidang sosial
lainnya, mulai dari kasus pencurian sandal sampai dengan kejahatan-kejahatan
terkategori seperti korupsi, terorisme dan kejahatan hak asasi manusia. Disamping
pers memiliki kekuatan untuk memantau penegakan hukum, pers juga memiliki
kemampuan untuk menggiring massa menciptakan persepsi masyarakat melalui
opini-opini yang dibentuknya.
Seperti misalnya Kasus Prita versus RS. Omni Internasional, kasus Antasari
Azhar, kasus Gayus Tambunan, kasus Ariel Peter Pan, kasus Abu Bakar Ba’asyir,
dan berbagai kasus hukum yang pastinya mampu melibatkan partisipasi aktif pers
22
untuk menginformasikan perkembangan kasus hukum, dan memberitakan kasus
tersebut dengan mencari narasumber yang beragam seperti pakar hukum, aparat
penegak hukum, politisi, kalangan birokrat, wakil dari LSM dan menghadirkan
pengacara-pengacara pihak yang terkait kasus hukum, bahkan menelusuri jejak-jejak
kehidupan oknum yang terlibat kasus tersebut. Dan itulah yang kemudian
menghasilkan berbagai persepsi tertentu di masyarakat.
Kadang publik atau masyarakat lebih percaya kepada apa yang diberitakan
pers dibandingkan putusan-putusan hukum yang dibuat hakim peradilan negara
disebabkan oleh antara lain (1) ketidakpercayaan masyarakat yang akut dan kronis
pada penegakan hukum oleh lembaga-lembaga hukum negara (2) Mudahnya akses
informasi masyarakat pada media pers, sedangkan pada peradilan resmi akses untuk
mengikuti perkembangan kasus sangatlah terbatas mengingat peradilan terikat erat
oleh ruang dan waktu (3) Keterbatasan pemahaman masyarakat terhadap ilmu hukum
dan perkembangan teori-teori hukum. Masyarakat hanya melihat hukum pada
kejahatan yang didakwakan dan vonis hukumnya, tanpa memperhatikan proses
hukum acara di peradilan (4) Kemampuan pers mengemas kasus-kasus hukum
dengan penyajian yang sangat apik dan menarik.
(http://news.bbc.co.uk/onthisday/hi/witness/october/29/newsid_4395000/4395984.st
m)
Pada dasarnya bias media terjadi karena media massa tidak berada diruang
vakum. Media sesungguhnya berada ditengah realitas sosial yang sarat dengan
bergabagi kepentingan. Media massa bukanlah sesuatu yang bebas, tetapi memiliki
keterkaitan dengan realitas sosial. Bias menurut Macnamara (Sobur, 2009: 34) terjadi
karena berbagai alasan. Kadang-kadang terjadi dengan sengaja, karena wartawan atau
editor memproyeksikan pandangan pribadi mereka dalam cerita atau pandangan yang
telah di tunjukkan kepada mereka. Ini terjadi karena sistem tuntutan media yang
menghimpit akan kecepatan dan rasa haus yang tidak pernah terpuaskan terhadap
23
berita pada batas waktu yang sedikit. Kadang-kadang terjadi karena standar pelatihan
dan pendidikan yang kurang memadai diantara wartawan. Selain itu para wartawan
juga editor berkuasa penuh atas pilihan kata yang akan dipakainya.
Secara tidak sadar bias peradilan media akan terus muncul, padahal
seharusnya media merasa sadar akan salah satu fungsi pers adalah menyajikan
informasi seakurat mungkin dan sebagai lembaga sub sistem dari negara yang
bertugas mengawasi penegakan hukum di negara. Kehidupan pers yang berkembang
di Indonesia diharapkan adalah lembaga pers yang bersifat independen/netral, pers
yang ber-etika, pers yang tidak mengutamakan keuntungan atau menaikkan rating
semata, pers yang dijiwai semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pers
yang secara konsisten meneguhkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dan pers yang
berjuang menyatukan kehidupan berbangsa.
Peradilan Media merupakan informasi yang harus dilihat dan dibaca dalam
kerangka berpikir kritis, mengingat informasi bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak
netral. Informasi merupakan serangkaian konsep-konsep, ide-ide, nilai-nilai, paham-
paham, kerangka berpikir yang ingin ditegakkan/ mempengaruhi publik oleh penyaji
informasi. Penilaian secara komprehensif atas peradilan media mutlak dilakukan
untuk menghindari kesalahpahaman pada kasus-kasus hukum yang ada. Mengingat
pers seringkali dimiliki oleh seseorang yang kaya dan memiliki kepentingan politis,
artinya pers tidak selalu bersifat netral, tidak selalu menyajikan berita tanpa distorsi.
24
Kompas
Kasus Penyuapan Wisma
Atlet SEA Games Oleh
Nazaruddin
Kerangka framing Robert N. Entman
Problem
Identification
Casual Interpretation
Moral Evaluation
Treatment
Recomendation
Konstruksi Kompas
Wacana Kompas
Peradilan Media
2.5 Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 2.5 Model Kerangka Pikir Penelitian
25
Berdasarkan proses pada gambar 2.5 yang merupakan model kerangka
pemikiran di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kasus penyuapan wisma atlet SEA Games oleh Nazaruddin merupakan
berita yang sedang hangat-hangatnya di beritakan di berbagai media. Pada
kolom kerangka pikir yang pertama menjelaskan bahwa kasus Nazaruddin
tersebut adalah kasus yang menarik banyak perhatian masyarakat,
pemerintah dan oknum-oknum politik juga hukum.
2. Kompas : Kompas merupakan harian nasional ternama di Indonesia.
Kompas juga media yang memuat berita dari awal kasus Nazaruddin . pada
penelitian ini peneliti memilih Kompas sebagai media yang akan diteliti
terkait pemberitaan Nazaruddin.
3. Wacana Kompas : pada kolom ke tiga menjelaskan bahwa dalam
penmelitian ini akan dilihat bagaimana wacana yang di bentuk Kompas
dalam pemberitaannya mengenai kasus Nazaruddin.
4. Kerangka Framing Robert N. Entman : kolom ini menjelaskan teori yang
digunakan untuk menganalisa berita-berita kompas yang diteliti. Adapun
elemen penelitiannya adalah sebagai berikut:
a. Problem Identification: merupakan elemen awal yang melihat
bagaimana suatu peristiwa/ isu dilihat. Sebagai apa. Atau sebagai
masalah apa.
26
b. Casual Interpretation : dalam proses ini dilihat bagaimana peristiwa itu
dilihat disebabkan oleh apa. Apa yang dianggap penyebab dari suatu
masalah. Atau Siapa (who/aktor) yang dianggap sebagai penyebab
masalah
c. Moral Evaluation: proses ini menerangkan nilai moral apa yang
disajikan untuk menjelaskan masalah. Nilai moral apa yang dipakai
untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suati tindakan
d. Treatment Recomendation: proses yang terakhir adalah bagaimana
penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/isu. Jalan
apa yang ditawarkan dn harus di tempuh untuk mengatasi masalah.
5. Konstruksi Kompas: dari analisa framing yang dilakukan selanjutnya akan
terlihat bagaimana konstruksi yang di bentuk Kompas dalam pemberitaan
kasus Nazaruddin.
6. Peradilan Media: merupakan salah satu bentuk bias yang terjadi di media.
Dalam penelitian ini akan dilihat apakah dalam pemberitaan Kompas
mengenai kasus Nazaruddin ini terdapat bias peradilan Media atau tidak.