5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Sustainable Manufacturing
Sustainable manufacturing mulai dikenalkan pada tahun 1978 oleh Dr.Brundtland
mantan Direktur Jendral WHO dan mantan Perdana Menteri Norwegia. Pada saat itu
dikenal dengan istilah Sustainable Development sebagai upaya yang dilakukan pada
kegiatan pembangunan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi pada
masanya (Smith & Ball, 2012).
Menurut Rizal (2018) Sustainable manufacturing adalah proses manufaktur yang
mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara
berkelanjutan pada proses produksinya. Sustainable manufacturing didefinisikan
sebagai kegiatan manufaktur yang menggunakan proses yang tidak menimbulkan
polusi, menghemat energi dan sumber daya, proses yang memperhatikan sisi ekonomi
dan keamanan para pekerja hingga ke konsumen (Davim, 2013).
2.2 Konsep Sustainable Manufacturing
Menurut Brady and Kozak (1995) Sustainable Manufacturing terdapat 2 filosofi yaitu
“from cradle to grave” dan “from soil to soil” sebagai upaya mewujudkan sustainable
manufacturing antara lain sebagai berikut :
1. Implementasi kehidupan yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah dengan
maksud semua yang hidup pastiakan mati dan masuk kembali ke tanah (menjadi
sampah).
2. Implementasi menuju keseimbangan alam, selama entropi yang terbentuk tidak
berlebihan.
3. Penyelamatan lingkungan hidup dari kerusakan dan pencemaran.
4. Penyelamatan ketersediaan sumber daya alam yang meliputi bahan baku industri
manufaktur/ekonomi agar tidak cepat punah.
6
Parris and Kates (2003), meninjau berbagai upaya untuk mengidentifikasi sustainable
dengan berbagai indikator yang sangat bervariasi dalam hal geografis, kemampuan
untuk mengelola keputusan bisnis, dan biaya yang diperlukan. Keberhasilan
implementasi sustainable ke dalam proses manufaktur bergantung pada beberapa
faktor seperti :
1. Informasi
Informasi berupa kualitatif dan kuantitatif yang diperlukan untuk penilaian.
Contohnya data proses pengerjaan, jumlah dan jenis polutan. Namun, informasi
semacam itu tidak selalu tersedia dan terkadang akan sulit untuk didapatkan.
2. Manajemen dan budaya
Masalah sustainable misalnya upaya pengelolaan lingkungan, hal ini cenderung
ditangani oleh departemen khusus secara holistik. Pada penerapanannya tidak
konsisten dan cenderung menghambat pengembangan yang akan dilakukan.
3. Prosedur
Pengambilan keputusan yang tidak sesuai, maka diberlakukan metodologi dan
prosedur yang diperlukan untuk memastikan tujuan dan strategi keberlanjutan.
Salah satu alasan untuk masalah ini adalah karena jumlah variabel akan
diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.
2.3 Penilaian Keberlanjutan (Sustainable Assesment)
Sustainable assesment merupakan sebuah proses yang mengarah kepada suatu
proses pengambilan keputusan menuju pembangunan berkelanjutan (Vinodh,
Jayakrishna, Kumar, & Dutta, 2014). Penilaian ini memberikan informasi yang
diperlukan untuk mengambil keputusan dalam memantau kinerja keberlanjutan,
meningkatkan komunikasi, dan mengidentifikasi masalah terkait keberlanjutan. Tujuan
sustainable assesment yaitu untuk memastikan suatu produk, proses, rencana dan
aktivitas memberikan kontribusi optimal untuk pengembangan berkelanjutan
(Verheem & Tonk, 2000).
7
Menurut Fauzi (2019) dalam konteks penilaian (assesment) tujuan utama penilaian
tersebut lebih diarahkan kepada penyajian status keberlanjutan saat ini serta
mengembangkan strategi kebijakan untuk mendukung pengambilan keputusan dalam
menentukan keberlanjutan di masa yang akan datang. Elkington (1998) menyediakan
kerangka kerja untuk penilaian keberlanjutan dengan istilah “Triple Bottom Line” atau
TBL. TBL adalah kerangka kerja untuk mengukur kinerja keberhasilan organisasi
dengan memperhatikan 3 aspek yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Rogers and
Hudson (2011) menyebut kerangka kerja ini sebagai kerangka yang praktis untuk
keberlanjutan.
2.3.1 Aspek ekonomi
Aspek ekonomi pada kerangka TBL mengacu pada dampak perusahaan
terhadap sistem ekonomi (Elkington & Rowlands, 1999). Hal ini berkaitan dengan
kemampuan perekonomian sebagai salah satu point keberlanjutan untuk bertahan dan
berkembang di masa depan (Spangenberg, 2005). Aspek ini berfokus pada nilai
ekonomi yang diberikan oleh perusahaan kepada sistem dan sekitarnya untuk
meningkatkan daya saing dan mendukung generasi selaanjunya.
2.3.2 Aspek Sosial
Aspek sosial pada kerangka TBL mengacu pada dampak perusahaan yang
menguntungkan dan adil terhadap tenaga kerja, sumber daya manusia, dan masyarakat
(Elkington & Rowlands, 1999). Tujuannya adalah memberikan nilai kepada
masyarakat, contohnya yaitu upah yang adil, jaminan kesehatan, dan tanggung jawab
sosial lainnya.
2.3.3 Aspek Lingkungan
Aspek lingkungan pada kerangka TBL mengacu pada dampak perusahaan yang
tidak membahayakan sumber daya lingkungan. Hal ini berkaitan dengan penggunaan
sumber energi yang efisien, mengurangi emisi dan meminimalkan jejak ekologi (Goel,
2010). Tujuan dari aspek lingkungan yaitu untuk melindungi lingkungan dan
meningkatkan kesejahteraan sosial sekaligus untuk memberikan nilai tambah kepada
8
pemegang saham. Keuntungan finansial juga didapatkan karena berhasil mengurangi
biaya operasional seperti penggunaan energi, air, dan lain sebagainya (Kearney, 2009).
2.4 Definisi Lean
Lean dalam arti kata Bahasa Indonesia yaitu ramping, menurut J. K. Liker and
Morgan (2006) Lean Production dikemukakan oleh Toyota yang dikenal dengan
“Toyota Production System” atau biasa disingkat dengan TPS, yaitu sistem manajemen
operasi dengan prinsip ramping termasuk fokus pada pelanggan, peningkatan kualitas
berkelanjutan melalui pengurangan limbah, perbaikan untuk mempersingkat lead time,
serta meminimalkan biaya produksi. Sedangkan menurut Gaspersz (2007), Lean
merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara berkala untuk meminimlisir bahkan
menghilangkan pemborosan (waste) dan meningkatkan nilai tambah atau yang biasa
disebut dengan value added suatu barang dan jasa dengan tujuan kepuasan pada
pelanggan (customer value).
Secara terminologi, menurut Wee and Wu (2009) yang dikutip pada pada penelitian
Utama, Dewi, and Mawarti (2016), Lean dapat diartikan sebagai suatu rangkaian
kegiatan untuk meminimalisir waste, mengurangi operasi yang bersifat non value
added (NVA) dan meningkatkan operasi yang bersifat value added (VA). Menurut
Fontana and Gaspers (2011) Lean juga dapat diartikan sebagai suatu pendekatan
sistematis untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi pemborosan berupa aktifitas
yang tidak memberi nilai lebih (non-value added activities) melalui perbaikan yang
dilakukan secara berkala dengan mengizinkan aliran produk dengan sistem tarik (pull
system) dari sudut pelanggan dengan tujuan kesempurnaan kepuasan pelanggan.
2.5 Konsep Lean
Pada penelitian yang dilakukan oleh Bayou and De Korvin (2008) penerapan lean
yaitu strategi untuk menghasilkan output yang lebih baik dimana “input” mengacu
pada kuantitas fisik sumber daya yang digunakan dan biaya yang dikeluarkan “output”
mengacu pada kualitas dan kuantitas produk yang akan ditawarkan kepada konsumen.
Narasimhan, Swink, and Kim (2006) juga menyimpulkan bahwa penggunaan sumber
9
daya yang efisien melalui pengurangan pemborosan merupakan aspek esensial yang
bertujuan untuk mengurangi aktivitas yang tidak memiliki nilai tambah. Pada dasarnya
lean manufacturing bertujuan untuk memaksimalkan nilai pelanggan sekaligus
meminimalisir limbah. Penerapan lean pada perusahaan membantu perusahaan untuk
meningkatkan daya saing, terutama dalam mengurangi pemborosan (waste) dalam
proses produksi (Simanjuntak & Wicaksono, 2019). Lean manufacturing merupakan
metode untuk mengoptimalkan kinerja proses produksi karena dapat mengidentifikasi,
menganalisis, dan memberikan solusi yang lebih baik. Lean berfokus pada peningkatan
efisiensi seperti mengurangi pemborosan, meningkatkan nilai lebih, dan memenuhi
kebutuhan konsumen (Hines & Taylor, 2000). Berikut ini meruapakan 5 prinsip dasar
lean menurut Hines and Taylor (2000) yaitu antara lain:
1. Specify value, yaitu menentukan hal apa saja yang dapat atau tidak menambah nilai
dari perspektif pelanggan bukan dari perspektif masing-masing perusahaan dan
departemen.
2. Identify Whole Value Stream, yaitu menentukan tahapan untuk mengetahui waste
yang ada disepanjang value stream. Tahapan tersebut meliputi proses perancangan,
proses pemesanan, dan pembuatan produk.
3. Flow, yaitu melakukan beberapa tindakan yang memiliki nilai tanpa adanya
gangguan seperti kegiatan yang tidak memiliki nilai tambah.
4. Pulled, yaitu melakukan hal-hal yang menarik pelanggan.
5. Perfection, menghilangkan waste secara berkala untuk terciptanya kesempurnaan.
Adapun 5 prinsip dasar lean menurut Gaspersz (2007) yaitu sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi nilai suatu produk baik barang atau jasa berdasarkan perspektif
konsumen, penilaian konsumen tentang terhadap suatu produk yang meliputi
kualitas, harga, dan pengiriman yang tepat waktu.
2. Mengidentifikasi pemetaan proses pada setiap produk baik barang maupun jasa
dengan value stream process mapping.
10
3. Menghilangkan adanya pemborosan pada semua aktivitas di value stream mapping
yang tidak memberikan nilai tambah.
4. Mengelola dengan sedemikian rupa agar material, informasi, dan juga produk
berjalan dengan lancar dan efisien sepanjang proses value stream menggunakan
sistem tarik.
5. Pencarian berbagai teknik atau metode secara berkala untuk mencapai keunggulan
dan peningkatan berkelanjutan.
Dalam penerapannya lean dapat memberikan manfaat bagi perusahaan. Menurut
Melton (2005) berikut ini merupakan manfaat diterapkannya lean yaitu :
1. Penurunan lead time untuk konsumen
2. Mengurangi inventory yang berdampak pada penyimpanan
3. Dapat meningkatkan manajemen pengetahuan
4. Mengurangi kesalahan pada proses produksi
Produksi lean kini telah berkembang dan diterapkan pada semua aspek rantai pasokan.
2.6 Waste (pemborosan)
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ristyowati, Muhsin, and Nurani (2017)
lean bermakna “pabrikasi tanpa pemborosan”. Pemborosan adalah aktivitas yang
menghamburkan sumber daya seperti pengeluaran biaya maupun waktu tetapi tidak
memberikan nilai tambah apapun dalam aktivitas tersebut. Menurut Gaspersz (2007)
pemborosan (waste) merupakan segala aktivitas dalam proses produksi dari input
sampai dengan output yang tidak memberikan nilai tambah. Pemborosan menimbulkan
dampak buruk bagi perusahaan, sehingga penting sekali bagi setiap perusahaan untuk
mengidentifikasi pemborosan yang terjadi dan mengeliminasi agar perusahaan tidak
mengalami kerugian (Rawabdeh, 2005). Mengidentifikasi waste sangatlah penting
dikarenakan jika proses identifikasi waste salah maka akan menimbulkan jenis waste
baru bermunculan. Menurut Mughni (2012) jenis-jenis waste sangatlah beragam dan
11
sulit untuk diidentifikasi sehingga proses identifikasi tesebut membutuhkan ketelitian
dan proses yang matang.
Dalam mendefinisikan waste, menurut Hines and Rich (1997) terdapat beberapa
kategori kegiatan yang berbeda. Berikut ini merupakan kegiatan yang terjadi dalam
proses produksi:
1. Value Added Activity, adalah suatu kegiatan yang dilakukan pada saat
memproduksi suatu produk dan mampu memberikan nilai lebih pada konsumen.
Contoh dari kegiatan Value Added Activity yaitu memanfaatkan kertas bekas
menjadi sebuat kerajinan tangan yang bisa menambah nilai dari kertas itu sendiri.
2. Non Value Adding Activity, adalah semua kegiatan pada proses produksinya dari
awal sampai dengan akhir tidak mengubah ataupun menambah nilai dari suatu
produk yang dihasilkan diterima oleh konsumen. Kegiatan ini merupakan waste
yang harus segera dihilangkan dari proses produksi. Contoh pada kegiatan Non
Value Adding Activity adalah waktu tunggu, penumpukan produk serta penanganan
ganda.
3. Necessary Non Value Adding Activity, adalah serangkaian kegiatan yang perlu
untuk dilakukan namun kegiatan tersebut tidak memberikan nilai lebih kepada
produk yang dihasilkan. Sebagian besar kegiatan ini dianggap sia-sia, namun
kegiatan ini harus tetap dilakukan. Kegiatan ini tidak dapat dihilangkan dalam
jangka waktu pendek akan tetapi bisa dibuat lebih efisian. Untuk menghilangkan
kegiatan ini diperlukan perubahan yang cukup besar pada sistem operasi yang
memerlukan jangka waktu yang cukup lama.
Pada sistem produksi toyota, menurut J. Liker (2004) terdapat tujuh pemborosan yang
ditimbulkan dari proses produksi antara lain sebagai berikut:
1. Over Production (Produksi berlebih)
Waste yang disebabkan oleh produksi yang berlebih baik dalam bentuk barang jadi
maupung barang setengah jadi. Hal ini menyebabkan penyimpanan pada gudang
menjadi penuh karena terlalu banyak produk yang disimpan di gudang.
12
2. Defect (cacat)
Waste dalam bentuk kecacatan produk atau produk yang rusak dalam proses
produksi yang menyebabkan produk harus mengalami pengerjaan ulang.
Pemborosan ini menimbulkan adanya biaya tambahan, termasuk biaya tenaga
kerja, dan komponen biaya lainnya yang diguanakan pada proses perbaikan.
3. Unnecessary Inventory (persediaan yang tidak diperlukan)
Waste yang disebabkan oleh penyimpanan barang yang berlebihan dan sebenarnya
tidak dibutuhkan. Contoh dari pemborosan ini sepeti menyimpan bahan baku yang
ternyata sudah kadalursa.
4. Over processing (proses berlebih)
Waste yang dihasilkan karena proses yang berlebihan. Terdapat beberapa proses
yang tidak memberikan nilai tambah. Proses tersebut dapat menghambat
pengerjaan pada suatu produk yang akan dihasilkan. Contohnya yaitu ketika
terdapat inspeksi yang dilakukan secara berulang-ulang tetapi terkadang masih saja
terdapat barang yang cacat.
5. Transportasi
Pemborosan yang terjadi karenaa pengaturan layout kerja yang kurang tepat,
sehingga barang perlu dipindahkan. Contohnya lokasi gudang yang jauh dari lokasi
lantai produksi. Kesalahan layout ini bisa memakan waktu yang cukup lama
sehingga proses produksi menjadi tidak efisien.
6. Waiting (menunggu)
Waste yang dihasilkan karena jalur produksi yang tidak seimbang. Akibatnya,
operator atau mesin harus menunngu untuk melakukan pekerjaannya. Kerusakan
mesin, supply bahan baku yang terlambat dan hilangnya alat untuk menunjang
pekerjaan juga merupakan pemborosan dari faktor ini.
7. Unnecessary Motion (gerakan yang berlebih)
Pemborosan yang terjadi karena gerakan yang tidak perlu dilakukan oleh operator
atau tidak memberikan nilai lebih pada produk. Jenis pemborosan ini biasanya
13
terjadi karena lingkungan kerja dan kondisi peralatan yang digunakan tidak
ergonomis. Kegiatan ini bisa berpengaruh terhadap produktifitas pekerja dan
menambah waktu proses pengerjaan.
Pada perspektif lain, menurut Kaufman (1999) pada buku Gazpersz (2011)
merumuskan sepuluh jenis waste yang ada pada proses industri manufaktur. Waste
tersebut dikelompokkan kedalam empat kategori antara lain : people, quality, quantity,
dan information seperti gambar 2.1 dibawah ini
Gambar 2.1 10 (sepuluh) jenis pemborosan pada lean manufacturing
Sumber : (Kaufman, 1999)
1. People (orang)
Pemborosan ini merupakan pemborosan yang ditimbulkan oleh manusia. Terdapat
tiga jenis pemborosan pada kategori ini antara lain :
a. Processing
b. Motion
c. Waiting
2. Quantity (kuantitas)
14
Pemborosan ini terjadi akibat jumlah produk yang berada pada sepanjang aliran
proses produksi. Pemborosan ini dibagi menjadi tiga jenis yaitu :
a. Moving things
b. Inventory
c. Making too much
3. Quality (kualitas)
Pemborosan ini terjadi akibat adanya kesalahan pada proses pengerjaan sepanjang
proses produksi yang berdampak pada kualitas produk akhir dimana hal ini sangat
penting untuk menentukan kepuasan konsumen dalam penggunaan produk.
Pemborosan ini biasanya mencakup tentang kecacatan suatu produk, baik
kecacatan part maupun kecacatan unit.
4. Information (informasi)
Pemborosan ini terjadi akibat adanya aliran informasi yang salah pada setiap
tahapan proses. Pemborosan ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu:
a. Planning
b. Schedulling
c. Execution
2.7 Value Stream Mapping (VSM) dan Sustainable Value Stream Mapping (Sus-
VSM)
2.7.1 Value Stream Mapping (VSM)
VSM dapat digunakan karena memberi pandangan secara menyelutuh tentang
proses manufaktur dan telah menjadi salah satu yang paling banyak digunakan pada
perusahaan industri dan jasa (Serrano Lasa, Castro, & Laburu, 2009). Menurut Rother
and Shook (2003) VSM menjelaskan informasi dan proses produksi yang
memungkinkan untuk mengidentifikasi waste serta dapat digunakan untuk alat sebagai
usulan skenario perbaikan di masa depan. McDonald, Van Aken, and Rentes (2002)
menerapkan VSM pada lini produksi bertujuan untuk mengidentifikasi pemborosan
15
disemua tahapan dari awal hingga akhir, dengan demikian alat VSM dapat mengurangi
lead time.
Value Stream Mapping adalah sebuah alat untuk proses pemetaan yang berfungsi
untuk memetakan dan mengidentifikasi aliran material dan informasi pada proses
produksi mulai dari bahan baku tiba sampai dengan produk jadi (Nash & Poling, 2011).
Sedangkan menurut George, Maxey, Rowlands, and Upton (2004) Value Stream
Mapping adalah sebuah metode yang digunakan untuk memetakan sebuah stasiun kerja
dan mengidentifikasi proses produksi didalamnya. Womack and Jones (2003)
berpendapat bahwa VSM merupakan aktivitas dimana pada prosesnya terdapat
aktivitas yang memiliki nilai tambah dan tak bernilai tambah yang dibutuhkan pada
proses produksi. Value Stream Mapping menjelaskan kegiatan seperti flow of product,
flow of information, dan product desaign (Brunt, 2000). Pada beberapa litelatur Value
Stream Mapping dikenal dengan istilah Big Picture Mapping yang merupakan alat
untuk pemetaan sistem secara menyeluruh serta aliran nilai yang terdapat didalamnya.
Pada gambar 2.2 merupakan contoh dari value stream mapping.
Gambar 2.2 Value Stream Mapping
Sumber : (Kurniawan & Hariastuti, 2020)
16
2.7.1.1 Simbol-simbol yang Digunakan pada Value Stream Mapping
Dalam proses pembuatan Value Stream Mapping memerlukan simbol simbol
yang diguanakan sebagai narasi atau pentunjuk dalam aliran proses produksi. Berikut
ini merupakan simbol-simbol pada Value Stream Mapping :
Gambar 2.3 simbol-simbol yang terdapat pada Value Stream Mapping
Sumber : (Hines & Taylor, 2000)
Berikut ini merupakan penjelasan mengenai simbol-simbol yang digunakan :
Tabel 2.1 simbol-simbol pada Value Stream Mapping
Simbol-simbol dalam Value Stream Mapping
Simbol ini menampilkan supplier apabila
diletakkan pada kiri atas, yaitu sebagai titik
awal yang umum digunakan dalam
penggambaran aliran pada material.
Sedangkan simbol untuk customer
diletakkan pada bagian kanan atas dan
biasanya sebagai titik akhir dari suatu aliran
material.
17
Simbol ini menggambarkan proses, operasi,
mesin, atau departemen yang dilalui oleh
aliran material. Simbol ini pada umumnya
mempresentasikan 1 departemen dengan
aliran internal yang continue agar dapat
menghindari pemetaan proses yang tidak
diinginkan.
Simbol ini menjelaskan tentang operasi dan
proses dalam stasiun kerja, dengan
menambahkan jumlah operator yang
diperlukan dalam aliran yang dipetakan.
Simbol ini menjelaskan tentang
perpindahan raw material dari supplier
sampai dengan gudang atau perpindahan
dari produk jadi di gudang sampai dengan
konsumen.
Simbol ini memiliki lambang-lambang yang
menjelaskan informasi yang digunakan
untuk mengidentifikasi sistem. C/T
merupakan waktu siklus yang dibutuhkan
untuk memproduksi suatu barang. C/O
(change over time) adalah waktu pergantian
produksi satu produk dalam suatu proses
produksi.
Simbol ini menjelaskan keberadaan suatu
inventory diantara dua proses. Ketika
memetakan current state, jumlah inventory
dapat diperkirakan dengan satu perhitungan
cepat, dan jumlah tersebut dituliskan pada
bagian bawah segitiga. Jika terdapat lebih
dari satu akumulasi inventory, masing-
masing inventory hanya menggunakan satu
lambang saja. Lambang ini juga berfungsi
untuk mempresentasikan peyimpanan bagi
raw material dan produk jadi.
Simbol ini digunakan untuk menyatakan
perjalanan material ke proses selanjutnya.
18
Simbol yang menunjukkan adanya sebuah
persediaan untuk mengatasi masalah seperti
downtime, dan melindungi sistem dalam
mengatasi fluktuasi pemesanan secara
mendadak.
Simbol ini menjelaskan adanya pengiriman
yang dilakukan dari supplier kepada
konsumen dengan menggunakan
pengangkutan eksternal atau diluar pabrik.
Simbol yang mempresentasikan operator,
simbol ini menunjukkan jumlah operator
yang dibutuhkan untuk melakukan proses
produksi.
Simbol yang digunakan sebagai informasi
tambahan atau beberapa hal yang dianggap
penting lainnya.
Simbol yang digunakan untuk menunjukkan
waktu dalam setiap proses di stasiun kerja,
simbol ini mengidentifikasi waktu yang
memberi nilai lebih atau tidak. VA diartikan
sebagai cycle time dan NVA diartikan
sebagai waiting. Simbol ini juga berfungsi
untuk mengetahui berapa lead time sebuah
produk dan total cycle time untuk sebuah
produk yang dihasilkan. Sumber : (Rother & Shook, 2003)
2.7.2 Sustainable Value Stream Mapping (Sus-VSM)
Sus-VSM adalah pengembangan Value Stream Mapping (VSM) yang
dikombinasikan dengan matriks yang sudah ada sebelumnya dengan matriks triple
bottom line yaitu aspek ekonomi, aspek lingkungan dan aspek sosial dengan harapan
Sus-VSM dapat menjelaskan mengenai performa dari perusahaan mengguanakan
ketiga aspek tersebut (Faulkner & Badurdeen, 2014). Langkah -langkah dalam proses
pemetaan aktivitas pada Sus-VSM yaitu:
1. Mengidentifikasikan metrik sustainable manufacturing yang sesuai dengan tipe
industri
19
2. Mengukur matrik ekonomi dengan menginput data terkait PPIC, waktu proses,
serta data dari supplier sampai dengan konsumen
3. Mengukur matrik mengenai lingkungan
4. Mengukur matrik sosial
Ketiga matrik diletakkan sejajar secara vertikal dengan contoh seperti gambar 2.4
berikut :
Gambar 2.4 Sustainable Value Stream Mapping
Sumber : (Faulkner & Badurdeen, 2014)
2.7.2.1 Metriks dalam Sustainable Value Stream Mapping
Sustainable manufacturing melibatkan pembuatan produk berkelanjutan
mengguanakn proses dan sistem yang berkelanjutan. Dengan demikian, matrik
berkelanjutan produk, matrik berkelanjutan proses dan matrik berkelanjutan sistem
diperlukan untuk mengevaluasi kinerja sustainable manufacturing secara komprehesif.
Matrik keberlanjtan produk berfokus pada penilaian kinerja dari segi ekonomi,
lingkungan, dan sosial sedangkan matrik keberlanjutan proses harus menilai aspek
20
yang sama dari proses individu (Faulkner & Badurdeen, 2014). Pemetaan Sus-VSM
dibutuhkan matrik yang berfungsi untuk mengetahui hasil penilaian dari perusahaan.
Indikator pada Sus-VSM dapat dijabarkan pada tabel 2.3 berikut :
Tabel 2.2 indikator penilaian Sus-VSM
No. Kategori Indikator
1 Ekonomi Waktu
Work in Process
Biaya
Cacat produk
2 Lingkungan Konsumsi material
Konsumsi energi
Konsumsi air
3 Sosial Lingkunga kerja karyawan
Tingkat resiko fisik karyawan Sumber : (Faulkner & Badurdeen, 2014)
2.7.2.2 Metrik Lingkungan
Berdasarkan pentingnya penggunaan sumber daya alam dan sumber daya yang
tidak bisa diperbaharui harus berhati-hati dalam memastikan keberlanjutan dan
menegaskan kebutuhan (Pusavec, Krajnik, & Kopac, 2010). Matrik lingkungan yang
dipetakan pada Sus-VSM antara lain konsumsi penggunaan bahan baku, konsumsi
energi, dan konsumsi penggunaan air.
a. Konsumsi Penggunaan Bahan Baku
Konsumsi penggunaan bahan baku untuk menghasilkan produk, menyumbang
hampir 50% dari biaya pada bidang manufakturing (Sygulla, Bierer, & Götze,
2011). Dalam penggunaan bahan baku sering menghasilkan limbah dalam jumlah
yang besar. Tujuan pemantauan penggunaan bahan baku tidak hanya memeriksa
jumlah bahan baku awal yang digunakan dalam proses produksi akan tetapi jumlah
bahan yang ditambahkan atau dikeluarkan juga harus dalam proses pemeriksaan.
Terdapat alternatif yang dapat dinilai sebagai langkah berkelanjutan yaitu dengan
mendaur ulang untuk energi tambahan dan sumber daya lainnya.
21
b. Konsumsi Energi
Konsumsi energi memiliki hubungan langsung dengan kelesterian lingkungan
karena penggunan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan emisi. Oleh
karena itu, konsumsi energi merupakan matrik yang penting yang harus dipetakan
kedalam Sus-VSM. Matrik konsumsi energi bertujuan untuk mengidentifikasi
jumlah energi yang dikonsumsi oleh setiap proses pada proses produksi serta energi
yang dikonsumsi antara proses transportasi atau penyimpanan. Namun, seacara
tidak langsung konsumsi energi meliputi penerangan, pemanasan atau pendingin
gedung, dan energi lain yang dikonsumsi yang tidak bergantung pada jumlah
produk yang diproduksi tidak akan dipetakan kedalam Sus-VSM.
c. Konsumsi Penggunaan Air
Matrik penggunaan air akan menilai jumlah air yang digunakan selama proses
produksi dan mewakili aspek penting yang kemudian akan dievaluasi untuk
perbaikan dari sisi kelestarian lingkungan. Namun, air yang digunakan seperti
bahan kimia cair tidak termasuk, tetapi akan dipertimbangkan sebagai penggunaan
sumber daya atau bahan dalam Sus-VSM.
2.7.2.3 Matrik Sosial
Keberlanjutan perlu untuk melakukam pemeriksaan terhadap dampak dari
lingkungan sosial dengan pertimbangan semua pemangku kepentingaan yang terlibat
selama proses pembuatan produk berlangsung. Mengingat ruang lingkup kegiatan yang
dinilai menggunakan Sus-VSM bagian terpenting dari stakeholder yang terkena
dampak yaitu pekerja. Untuk menilai aspek ini, risiko terhadap kesehatan dan
keselamatan pekerja harus diukur dan dipantau secara teratur. Matrik sosial bertujuan
untuk menilai kondisi kerja dan keselamatan pekerja, serta bertindak sebagai indikator
yang perlu diselidiki lebih lanjut.
2.8 Delphi Methode
Metode delphi pertama kali dikembangkan pada tahun 1950-an oleh Norman
Dalkey dan Olaf Helmer beserta kelompoknya dalam Rand Corporation. Metode
22
Delphi merupakan proses berkelompok yang digunakan untuk pengumpulan atau
survei pendapat para ahli dalam bidang tertentu (Yousuf, 2007). Sedangkan menurut
Noly (2018) metode Delphi adalah sebuah modifikasi dari teknik brainwriting dan
survei yang memungkinkan para ahli untuk berdiskusi serta membuat keputusan tanpa
harus bertemu tatap muka. Metode Delphi dapat dikarakteristikkan sebagai metode
berkelompok untuk menyusun sesuatu dengan proses komunikasi sehingga proses akan
menjadi efektif untuk menyelesaikan masalah (Widiasih, Karningsih, &
Ciptomulyono, 2015). Untuk menghindari timbulnya penyimpangan komunikasi
Marimin (2004) menerapkan 5 prinsip dasar pada Metode Delphi, yaitu :
1. Anonim (pengabaian nama)
Kuesioner atau tanggapan tidak menyertakan nama dan anonimitas benar-benar
dijaga.
2. Iterasi
Penialaian setiap individu dikaji kembali kepada seluruh pakar yang berpartisipasi
dalaam dua putaran atau lebih, sehingga memungkinkan adanya perubahan pada
nilai awal.
3. Feedback yang terkontrol
Pengkajian nilai dilakukan dalam bentuk rangkuman jawaban terhadap kuesioner.
4. Jawaban statistik
Rangkuman setiap tanggapan dari tiap pakar disampaikan dalam bentuk median,
interkuartil, dan distribusi frekuensi.
5. Konsensus pakar
Konsensus antara para pakar merupakan hasil akhir dan paling penting.
Ukuran kelompok Delphi tidak bergantung pada kekuatan statistik, tetapi lebih
pada dinamika kelompok untuk mencapai konsensus para pakar. Secara umum,
literatur merekomendasikan 10 sampai 18 pakar pada panel Delphi (Okoli &
Pawlowski, 2004). Atau antara 3 sampai 15 pakar (Rowe & Wright, 1999). Metode
Delphi telah digunakan untuk mengatasi masalah pembangunan berkelanjutan,
23
termasuk penentuan bobot indikator dengan menggunakan 12 para ahli (Azevedo &
Barros, 2017) dan green supply chain mengguanakan 8 para ahli (Jiang, Hu, Yen, &
Tsao, 2018).
2.9 Analytical Hierarchy Process (AHP)
Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan metode untuk pengambilan
keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an. Metode ini
merupakan model pendukung untuk menyelesaikan masalah Multi Criteria Decission
Making (Kilincci & Onal, 2011). Menurut Basak and Saaty (1993) hirarki merupakan
representasi dari permasalahan dalam suatu struktur multi level dimana level pertama
merupakan tujuan, kemudian diikuti level faktor, kriteria dan sub kriteria hingga level
terakhir dari alternatif.
Menurut Nurdiyanto and Meilia (2016) Metode AHP digunakan untuk pemecahan
masalah kompleks dibandingkan dengan metode lain karena beberapa alasan yaitu :
1. Terdapat struktur hierarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang terpilih sampai
dengan sub kriteria yang paling detail.
2. Memperhitungkan validasi hingga batas toleransi sebagai kriteria dan alternatif
yang digunakan oleh pengambil keputusan.
3. Memperhitungkan output analisis sensitifitas pengambilan keputusan.
Dalam penentuan bobot kriteria, ditentukan berdsarkan rumus pada skala prioritas
tingkat kepentingan kriteria (Saaty, 2001). Berikut ini merupakan tahapan untuk
memilih keputusan terpenting (Bahmani, Javalgi, & Blumburg, 2015) :
1. Mendefinisikan mengenai kriteria yang dijadikan sebagai tolak ukur penyelesaian
masalah dan juga menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria.
2. Menentukan prioritas elemen yang dimulai dengan pembuatan matriks
perbandingan berpasangan lalu mengisi matriks tersebut menggunakan bilangan
untuk mempresentasikan kepentingan relatif.
3. Melakukan perhitungan nilai matriks normalisasi dengan rumus sebagai berikut :
24
Ai,j = 𝑊𝑖
𝑊𝑗 , i , j = 1,2,…,n (1)
Ai,j = 𝐴𝑖𝑗
max 𝐴𝑖𝑗 (2)
Aij = ∑iAij (3)
Wij = 𝐴𝑖𝑗
𝑛 (4)
Dimana :
Wij = Nilai pembobotan
Aij = Matriks normalisasi
4. Menghitung nilai eigenvector, dengan rumus sebagai berikut :
λ max = ∑Aij (5)
5. Menghitung nilai consistency index dan consistency ratio
CI = 𝜆 max − 𝑛
(𝑛−1) (6)
CR = 𝐶𝐼
𝑅𝐼 (7)
Dimana :
λ max = Eigenvector maksimum
n = Jumlah matriks
CI = Konsistensi indeks
CR = Konsistensi ratio
RI = Random Konsistensi indeks
Berikut ini merupakan tingkat kepentingan dan nilai konsistensi rasio dengan nilai
random indexnya :
Tabel 2.3 nilai tingkat kepentingan
No. Nilai
Kepentingan
Keterangan
1 1 Sama pentingnya
2 3 Cukup penting (1 level lebih penting dibandingkan
dengan alternatif lainnya)
25
3 5 Lebih penting (2 level lebih penting dibandingkan
dengan alternatif lainnya)
4 7 Sangat lebih penting (3 level lebih penting
dibandingkan dengan alternatif lainnya)
5 9 Mutlak lebih penting ( 4 level lebih tinggi
dibandingkan dengan level tertingginya)
6 2,4,6,8 Nilai tengah dari pertimbangan kriteria Sumber : (Kusrini, 2007)
Tabel 2.4 nilai random index (RI)
No. Jumlah n Kriteria Rin
1 2 0
2 3 0,58
3 4 0,90
4 5 1,12
5 6 1,24
6 7 1,32
7 8 1,41
8 9 1,45
9 10 1,49
10 11 1,51
11 12 1,48
12 13 1,56
13 14 1,57
14 15 1,59 Sumber : (Shega, Rahmawati, & Yasin, 2012)
6. Menguji nilai konsistensi
Menurut Saaty (2001) jika nilai CR < 10% untuk standar data dinyatakaan
konsistensinya dan nilai CR > 10% maka data tidak konsistensi, sehingga
diperlukan pengambilan ulang data untuk perbandingan berpasangan.
7. Menyusun ranking prioritas yang didasarkan pada nilai bobot (weighted score)
tertinggi.
2.10 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) adalah sebuah metode untuk
mengevaluasi keggalan yang terjadi pada suatu sistem, desain, proses, atau pelayanan
(Puspitasari & Martanto, 2014). Evaluasi kegagalan dilakukan dengan cara pemberian
26
nilai kepada masing-masing moda kegagalan berdasarkan atas tingkat kejadian
(occurrence), tingkat keparahan (severity), dan tingkat deteksi (detection).
Tujuan dari FMEA yaitu untuk menentukan tingkat risiko dari setiap kegagalan
yang terjadi sehingga diperoleh keputusan untuk mengambil suatu tindakan. FMEA
dapat digunakan untuk mengurangi kerugian pada perusahaan yang timbul akibat
kegagalan, baik pada proses produksi maupun pada saat produk digunakan oleh
pengguna.
Menurut (Ookalkar, Joshi, & Ookalkar, 2009) terdapat beberapa tahapan untuk
mengolahan data menggunakan metode FMEA, yaitu :
1. Mengidentifikasi moda kegagalan potensial dan efek yang didapatkan sehingga
muncul tingkat keparahan (severity). Severity dilakukan untuk menganalisa risiko
dengan menghitung besarnya intensitas kejadian (de Souza & Carpinetti, 2014).
2. Mengidentifikasi penyebab kegagalan potensial untuk mengetahui tingkat kejadian
(occurrence) kegagalan assembly line (Rakesh & Jos, 2013).
3. Mengidentifiksi pengendalian yang dilakukan perusahaan untuk mengetahui
tingkat deteksi (detection).
Untuk mengisi ranking pada data FMEA diperoleh dari proses brainstorming yang
terdiri dari pemberian ranking saverity (S), occurance (O), dan detection (D) pada
tiap kegagalan yang terjadi. Ranking tersebut digunakan (Stamatis, 2003) untuk
menghitung Risk Priority Number (RPN) dengan rumus :
RPN = Severity (S) × Occurance (O) × Detection (D)………… (1)
Nilai severity merupakan penilaian pada tingkat ketelitian pada proses yang akan
diidentifikasi. Nilai occurance merupakan nilai probabilitas kegagalan yang terjadi.
Nilai detection merupakan peluan terjadinya kegagalan yang dapat dideteksi
sebelum terjadinya sebuah kegagalan.
Range pemberian nilai dimulai dari angka 1 sampai 10, dengan tingkat
kegagalan yang berbeda-beda. Semakin kecil nilai semakin kecil pula tingkat
kegagalannya. Setiap pekerja atau anggota yang terkait harus paham mengenai
27
pemberian score beserta keterangan yang telah ditentukan (Prayogi, Sari, &
Arvianto, 2016).
Tabel 2.5 nilai ranking pada severity
Rank Kriteria
1 Minor Tidak menerima kegagalan yang menyebabkan
efek nyata pada produk atau layanan.
Konsumen mungkin tidak akan menyadari
kegagalan tersebut.
2-3 Low Tingkat kepararahan tergolong rendah dan
menimbulkan sedikit keluhan pada konsumen.
4-6 Moderate Tingkat keparahan sedang yang dapat
menyebabkan konsumen memiliki
ketidakpuasan. Dapat menimbulkan perbaikan
karena kerusakan.
7-8 High Tingkat ketidakpuasan konsumen yang tinggi
yang berasal dari kenyamanan operasional. Hal
ini dapat menyebabkan gangguan pada proses
selanjutnya.
9-10 Very High Tingkat keparahan yang sangat tinggi.
Kegagalan ini mempengaruhi keselamatan dan
faktor ketidakdisiplinan. Sumber : (McDermott, Mikulak, & Beauregard, 2009)
Tabel 2.6 nilai rating pada Occurance
Rating Kriteria
1 Unlikely Kegagalan yang tidak mungkin
2 Very Low Kegagalan kemungkinan terhambat karena
proses dalam kontrol statistik
3 Low Kegagalan kemungkinan terhambat, namun
terkadang terjadi karena proses dalam kontrol
statistik
4-6 Moderate Kegagalan sesekali terjadi namun tidak dalam
jumlah yang besar karena proses dalam kontrol
statistik
7-8 High Kegagalan sering dialami karena proses tidak
dalam kendali statistik
9-10 Very High Kegagalan yang tidak bisa dihindari Sumber : (McDermott et al., 2009)
Tabel 2.7 nilai rating pada Detection
Rating Kriteria
1 Very High Kecacatan yang fungsional jelas dan mudah
dideteksi. Keandalan deteksi setidaknya
sebesar 99,99%
2 - 5 High Keandalan deteksi sebesar 99,80%
28
6 - 8 Moderate Kecacatan mudah diidentifikasi, keandalan
deteksi setidaknya sebesar 98,00%
9 Low Kecacatan halus, keandalan deteksi lebih dari
90%
10 Very Low Kecacatan item yang tidak dapat diperiksa.
Seringkali kecacatan itu muncul selama proses
atau layanan. Keandalan deteksi 90% atau
kurang Sumber : (McDermott et al., 2009)
2.11 Root Cause Analysis (RCA)
Root Cause Analysis (RCA) adalah proses pemecahan masalah untuk melakukan
investigasi kedalam suatu masalah atau ketidaksesuaian yang ditemukan. RCA
membutuhkan investigator untuk menemukan solusi mengenai masalah dan
mengidentifikasi penyebab atas dasar masalah yang ada. Oleh karena itu pengolahan
proses, prosedur, kegiatan, perilaku dan kondisi akan dilibatkan pada proses
identifikasi (Consortium, 2012).
2.12 Kajian Terdahulu
Berikut ini merupakan penelitian terdahulu oleh peneliti yang membahas mengenai
teori penilaian berkelanjutan :
Tabel 2.8 Kajian terdahulu
No. Penulis Metode Hasil
1 Singh, Murty,
Gupta, and Dikshit
(2009)
Sustainability assesment dengan
Triple Bottom Line
Penelitian ini membahas mengenai
gambaran tentang indeks
keberlanjutan yang digunakan untuk
mengukur pengembangan
keberlanjutan. Tiga langkah utama
yang dilakukan yaitu normalisasi,
pembobotan, dan agresi. Hasil dari
penelitian ini yaitu evaluasi dapat
mengubah waktu proses sesuai
dengan kepentingan tertentu.
29
2 Ghosh (2013) Lean Manufacturing, Delphi
method, dan Total Productive
Maintenance
Implementasi lean manufacturing
pada industri di India
mengguanakan enam matriks
operasi yaitu output lintasan,
pengurangan lead time, peningkatan
produktivitas, pengurangan
persediaan, pengurangan biaya, dan
pengurangan ruang penyimpanan.
Penelitian ini berhasil mengurangi
waktu tunggu dan meningkatkan
produktivitas
3 Caldera, Desha,
and Dawes (2017)
Penerapan Lean and Green
Thinking
Metode lean digunakan untuk
mengelola perusahan agar lebih baik
lagi. Industri manufaktur
mengidentifikasi peluang lean
thinking tidak hanya untuk
kemajuan pada bidang manufaktur
saja tetapi juga untuk memenuhi
tanggung jawab mereka terhadap
lingkungan
4 Duarte and Cruz-
Machado (2017)
Balance Scorecard (BSC)
berdasarkan lean and green
Pengusulan kerangka penilaian
untuk mengevaluasi bisnis dalam
hal penerapan industri hijau dan
ramping. Penelitian ini
menggunakan kerangka penilaian
untuk mengevaluasi rantai pasok
dalam hal penerapan penerapan
green and lean dalam industri
otomotif.
5 (Azevedo &
Barros, 2017)
Sustainability framework dan
metode delphi
Pengusulan kerangka kerja dengan
aspek triple bottom line yang
meliputi ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Perusahaan
mengidentifikasi tiap indikator
keberlanjutan dengan metode
delphi untuk menilai tingkat
keberlanjutan baik proses produksi
maupun rantai pasok yang sesuai.
6 (Faulkner &
Badurdeen, 2014)
Sustainable Assesment, Sustainable
Value Stream Mapping (Sus-VSM)
Penilaian pada perusahaan
manufaktur penghasil parabola.
Pada 7 tahapan proses produksi
menghasilkan total value added
30
sebesar 32 menit dengan waiting
time sebesar 288 menit. Pada aspek
ekonomi terdapat 35% material
yang hilang sebagai sisa dari hasil
produksi. Diketahui terjadi
pemborosan pada konsumsi air
sebanyak 64 galon, konsumsi energi
material sebanyak 2,5 lbs.
7 (Chiarini, 2014) Value Stream Mapping, Total
Productive Maintenance, 5S,
Cellular Manufacturing, SMED
Hasil dari penelitian ini
mengungkapkan dampak positif
terkait konsumsi listrik secara
umum serta standarisasi kegiatan
dan perilaku pekerja. Kemurnian
dari penelitian ini terletak pada
pengamatan dan pengukuran
dampak lingkungan dari penerapan
lima alat tersebut untuk proses
penghijauan yang berbasis green.
8 (Garza-Reyes,
2015)
Lean-green, dan Eco-Sustainability Penelitian ini mengidentifikasi 6
aliran pada bidang lean dan green.
Hasilnya didapati beberapa
indikator untuk mengembangkan
manufaktur yang berkalanjutan.
Para pekerja juga termotivasi untuk
menggunakan strategi efektif yang
berkelanjutan.
9 (Garza-Reyes,
Romero,
Govindan,
Cherrafi, &
Ramanathan,
2018)
PDCA dan Environmental Value
Stream Mapping (E-VSM)
Pendekatan berbasis PDCA yang
diusulkan untuk E-VSM dapat
menjadi alternatif efektif untuk
mengingkatkan kinerja operasi
hijau. Penelitian ini bertujuan untuk
berkontribusi dengan menginspirasi
para manajer operasi yang mungkin
ingin membuat operasi organisasi
mereka lebih berkelanjutan dan
ramah lingkungan.
10 (Kloepffer, 2008) Life Cycle Assesment (LCA) dan
Life Cycle Costing (LCC)
LCA dan LCC penting untuk
mempertahankan keunggulan pada
aspek ekonomi dan sosial.
Mengingat suatu penilaian sangat
penting dilakukan untuk perusahaan
manufaktur, maka metode ini
31
sebagai penilaian untuk
meningkatkan kualitas perusahaan.
11 (Graymore, Sipe,
& Rickson, 2008)
The five sustainability assesment
methods dan region scale
Penilaian dengan pengukuran
ecological footprint, wellbeing
assesment, ecosyste health, quality
of life, dan natural resource
availability digunakan untuk
tercapainya keberlanjutan pada
proses produksi. Hasilnya tidak ada
satupun yang dianggap efektif
karena data yang dikumpulkan tidak
lengkap namun peneliti
menyarankan dengan menggunakan
penialaian kesejahteraan.
12 (Saad, Nazzal, &
Darras, 2019)
Triple Bottom Line, Analitycal
Network Process (ANP) dan
Analitycal Hierarchy Process
(AHP)
Penilaian dilakukan untuk
mengembangkan kerangka kerja
sistematis dan komprehesi baru
untuk penilaian yang berfokus pada
3 aspek. Penelitian ini menyajikan
beberapa formula untuk menghitung
hasil tiap indikator dan diharapkan
dapat memberikan alternatif
perbaikan sesuai dengan prioritas
masalah.
13 (Ren, Liang, &
Chan, 2017)
Multi criteria decision making
(MCDM) dan TOPSIS
Hasil MCDC untuk mengolah
lumpur limbah di Kota bagian
selatan Cina mengguanakan 3
teknologi yaitu penimbunan,
pengomposan, dan pengeringan.
Jumlah total limbah yang ada yaitu
sekitar 50 ton pertahun. MCDC
terbukti dapat menentukan solusi
dan membandingkan solusi untuk
membuat keputusan yang tepat.
14 (Agusti, 2017) Sus-VSM dan Life Cycle Assesment
(LCA)
Hasil identifikasi waste menunjukan
hasil pemborosan air mencapai
127% dari SNI sedangkan dari
aspek lingkungan, dampak
lingkungan sebesar 94% disebabkan
oleh bahan baku pelumas yaitu
Crude Oil. Diusulkan alternatif
perbaikan dengan menerapkan
32
sumber alternatif air melalui
Rainwater Harvesting dan alternatif
crude oil yaitu Soybean Oil.
15 (Djatna &
Prasetyo, 2019)
Sus-VSM, Life Cycle Assesment
(LCA), dan 5Whys
Penyebab utamanya yaitu
permasalahan permesinan arean
pengisian dan faktor kedisplinan
operator. Perbaikan yang diusulkan
berhasil mengurangi lead time dan
meminimalkan produk cacat.
16 (Sparks, 2014) Sus-VSM, Desain of Experiments
(DOE), dan Supply Chain Sus-VSM
Penelitian ini bertujuan untuk
memperluas fungsi dari Sus-VSM
dengan memasok jaringan lantai
produksi dan memeriksa manfaat
dari penerapan simulasi Design of
Experiments (DOE). Matrik yang
diidentifikasi yaitu menilai dari segi
ekonomi, lingkungan dan sosial
yang kemudian peneliti
mengembangkan Supply Chain Sus-
VSM untuk memungkinkan
identifikasi lokasi dimana
keberlanjutan dapat ditingkatkan.
17 (Purnama, 2018) Sus-VSM, VALSAT, dan kaidah
Kaizen
Menganala aktivitas produksi dan
memberikan usulan perbaikan
melalui pendekatan Sus-VSM dan
VALSAT. Hasil yang diperoleh
yaitu terjadi pengurangan waktu
produksi sebesar 37,97% dan
meningkatkan aktivitas value added
sebesar 84,75%. Perbaikan yang
dilakukan dengan perubahan tata
letak dan usulan kaizen.
18 (Azevedo &
Barros, 2017)
SC’Sustainaible, metode delphi dan
Simple Additive Weighting (SAW)
Penelitian ini mengidentifikasi tiap
dimensi keberlanjutan. Lalu
menentukan bobot tiap dimensi dan
membuat kerangka kerja yang
sekiranya dapat diimplementasikan
sebagai pemantauan program kerja
dan manajemen perusahaan.
19 (Vippianto, 2017) Sus-VSM, dan SC’Sustainability Berdasarkan aspek ekonomi, sosial
dan lingkungan yang terpilih
sebanyak 11 matrik diantaranya
33
yaitu lead time, value added time,
availability of logistics, cost
associated with EHS, penggunaan
energi, material usage, days of
employee training, work job
satisfaction, local community
hiring, dan average length service of
employee. Hasil penelitian
menunjukkan perusahaan memiliki
indeks sustainability dengan score
57,76 (range 1-100) yang
merupakan kategori highly fair yang
berarti perlu adanya perbaikan.
20 (Zain &
Wicaksono, 2019)
Sustainable Manufacturing, Sus-
VSM, Net Present Value
Fokus penelitian memilih stuffing
karena memiliki masalah terbanyak
yaitu dimulai dari performa
ekonomi yaitu nilai tertinggi pada
kepuasan pekerja yang buruk
(46,47%). Analisis stacker dengan
Net present value menghasilkan
penghematan sebesar
Rp.23.846.757.