13
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Audit
Jasa auditing digunakan secara meluas baik pada perusahaan
swasta maupun pemerintah. Alasan ekonomi yang mendorong diperlukan
auditing dilatar belakangi oleh pada kondisi masyarakat yang semakin
kompleks dan menghindari ketidakakuratan suatu laporan, Mulyadi
(2014).
2.1.1 Pengertian Audit
Adapun pengertian yang berbeda dari beberapa ahli sebagai berikut :
Menurut Mulyadi (2014), auditing sebagai :
“Auditing ialah suatu proses sistematik untuk memperoleh &
mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan
tentang kegiatan & kejadian ekonomi dengan tujuan untuk menetapkan
tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria
yang telah ditetapkan, dan penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai
yang berkepentingan”.
Menurut Arens dan Loebbecke (2015), auditing sebagai :
“Auditing merupakan suatu proses pengumpulan & pengevaluasian
bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu
entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen
untuk dapat menentukan & melaporkan kesesuaian informasi dengan
kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh
seorang yang independen dan kompeten.”
Pengertian atau definisi menurut Arens et al (2010: 4) adalah:
14
“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about
information to determine and report on the degree of correspondence
between
the information and established criteria. Auditing should be done by a
competent, independent person.”
Audit adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi
untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi itu
dan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang
yang kompeten, independen dan berintegritas.
Dari definisi-definisi tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
audit adalah menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam audit dilakukan tindakan-tindakan menyimpulkan
(accumulate), mengevaluasi (evaluate), menentukan (determine),
dan melaporkan (report).
2. Informasi-informasi yang dapat diukur dan kriteria-kriteria yang
telah ditetapkan syarat dalam melakukan pemeriksaan adalah
informasi yang terpercaya atau dapat dibuktikan kebenarannya dan
kriteria standar yang dapat digunakan oleh auditor sebagai
pedoman dalam mengevalusi informasi-informasi tersebut.
3. Untuk memenuhi tujuan audit, auditor harus memperoleh bukti
dengan kualitas dan jumlah yang mencukupi. Bukti (evidence)
adalah setiap informasi yang digunakan auditor untuk menentukan
apakah informasi yang diaudit dinyatakan sesuai dengan kriteria
yang telah ditetapkan.
4. Pengumpulan dan pengevaluasian bukti, adanya bukti-bukti yang
memadai baik dari segi jumlah maupun dari segi menu sangat
diperlukan untuk menentukan kegiatan audit. Bahan bukti dapat
terdiri dari bermacam bentuk yang berbeda termasuk peringatan
lisan dari pihak yang diaudit (klien). Komunitas dengan pihak
ketiga dan hasil pengamatan auditor.
15
5. Auditor harus independen dan kompeten, independen berarti bebas
dari pengaruh-pengaruh hingga batas-batas tertentu. Sedangkan
kompeten berarti auditor harus mempunyai pengetahuan dan
pengalaman yang cukup agar dapat memahami kriteria-kriteria
yang dipergunakan.
6. Pelaporan, Pelaporan hasil audit harus mampu memberikan
informasi mengenai kesesuaian informasi yang diperiksa dengan
kriteria yang telah ditetapkan.
2.1.2 Tujuan Audit
Perusahaan perlu memiliki suatu pengendalian intern untuk
menjamin tercapainya tujuan yang telah direncanakan. Untuk dapat
mencapai tujuan tersebut maka dalam pelaksanaan kegiatan harus diawasi
dan sumber ekonomi yang dimiliki harus dikerahkan dan digunakan sebaik
mungkin. Berdasarkan beberapa definisi audit yang telah dikemukakan di
atas, dapat diketahui bahwa tujuan audit pada umumnya untuk
menentukan keandalan dan integritas informasi keuangan; ketaatan dengan
kebijakan, rencana, prosedur, hukum, dan regulasi; serta pengamanan
aktiva. Dengan demikian tujuan audit menghendaki akuntan memberi
pendapat mengenai kelayakan dari pelaporan keuangan yang sesuai
standards auditing.
Menurut Tuanakotta (2014:84) tujuan audit adalah :
“Mengangkat tingkat kepercayaan dari pemakai laporan keuangan yang
dituju, terhadap laporan keuangan itu. Tujuan itu dicapai dengan
pemberian opini oleh auditor mengenai apakah laporan keuangan disusun
dalam segala hal yang material sesuai dengan kerangka pelaporan
keuangan yang berlaku.”
Menurut Arens dkk (2015:168) :
16
Tujuan audit adalah “untuk menyediakan pemakai laporan keuangan
suatu pendapat yang diberikan oleh auditor tentang apakah laporan
keuangan disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, sesuai
dengan kerangka kerja akuntansi keuangan yang berlaku. Pendapat
auditor ini menambah tingkat keyakinan pengguna yang bersangkutan
terhadap laporan keuangan.”
2.1.3. Jenis – Jenis Audit
Dalam melaksanakan pemeriksaan, ada beberapa jenis audit yang
dilakukan oleh para auditor sesuai dengan tujuan pelaksanaan
pemeriksaan. Menurut Agoes (2012:11-13) ditinjau dari jenis
pemeriksaannya, audit bisa dibedakan menjadi 4 jenis yaitu:
1. Manajemen Audit (Operational Auditing) Suatu pemeriksaan terhadap
kegiatan operasi suatu perusahaan, termasuk kebijakan akuntansi dan
kebijakan operasional yang telah ditentukan oleh manajemen, untuk
mengetahui apakah kegiatan operasi tersebut sudah dilakukan secara
efektif, efisien dan ekonomis. Pendekatan audit yang biasa dilakukan
adalah menilai efisiensi, efektivitas, dan keekonomisan dari masing-
masing fungsi yang terdapat dalam perusahaan. Misalnya fungsi
penjualan dan pemasaran, fungsi produksi, fungsi pergudangan dan
distribusi, fungsi personalia (sumber daya manusia), fungsi akuntansi
dan fungsi keuangan.
2. Pemeriksaan Ketaatan (Compliance Auditing) Pemeriksaan yang
dilakukan untuk mengetahui apakah perusahaan sudah menaati
peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang berlaku, baik yang
ditetapkan oleh pihak intern perusahaan (manajemen, dewan
17
komisaris) maupun pihak eksternal (pemerintah, Bapepam LK, Bank
Indonesia, Direktorat Jendral Pajak, dan lain-lain). Pemeriksaan bisa
dilakukan baik oleh KAP maupun bagian Internal Audit.
3. Pemeriksaan Intern (Internal Auditing) Pemeriksaan yang dilakukan
oleh bagian internal audit perusahaan, baik terhadap laporan keuangan
dan catatan akuntansi perusahaan, maupun ketaatan terhadap kebijakan
manajemen yang telah ditentukan.
4. Computer Auditing Pemeriksaan oleh KAP terhadap perusahaan yang
memproses data akuntansinya dengan menggunakan Electronic Data
Processing (EDP) System. Ada 2 (dua) metode yang bisa dilakukan
auditor :
a) Audit Around The Computer. Dalam hal ini auditor hanya
memeriksa input dan output dari EDP System tanpa
melakukan tes terhadap proces dalam EDP System tersebut.
b) Audit Through The Computer. Selain memeriksa input dan
output, auditor juga melakukan tes proses EDP-nya.
Pengetesan tersebut (merupakan compliance test) dilakukan
dengan menggunakan Generalized Audit Software, ACL dll
dan memasukan dummy data (data palsu) untuk mengetahui
apakah data tersebut diproses sesuai dengan sistem yang
seharusnya. Dummy data digunakan agar tidak mengganggu
data asli. Dalam hal ini KAP harus mempunyai Computer
18
Auditing Specialist yang merupakan auditor berpengalaman
dengan tambahan keahlian di bidang computer information
system audit.
Sedangkan menurut Mulyadi (2014:30-32) auditing umumnya
digolongkan menjadi tiga golongan yaitu :
1. Audit Laporan Keuangan (Financial Statement Audit). Audit
laporan keuangan adalah audit yang dilakukan oleh auditor
independen terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh
kliennya untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran
laporan keuangan tersebut. Dalam audit laporan keuangan ini,
auditor independen menilai kewajaran laporan keuangan atas
dasar kesesuaiannya dengan prinsip akuntansi berterima umum.
2. Audit Kepatuhan (Compliance Audit). Audit kepatuhan adalah
audit yang tujuannya untuk menentukan apakah yang diaudit
sesuai dengan kondisi atau peraturan tertentu. Hasil audit
kepatuhan umumnya dilaporkan kepada pihak yang berwenang
membuat kriteria. Audit kepatuhan banyak dijumpai dalam
pemerintahan.
3. Audit Operasional (Operational Audit). Audit operasional
merupakan review secara sistematik kegiatan organisasi, atau
bagian daripadanya, dalam hubungannya dengan tujuan
tertentu. Pihak yang memerlukan audit operasional adalah
19
manajemen atau pihak ketiga. Hasil audit operasional
diserahkan kepada pihak yang meminta dilaksanakannya audit
tersebut.
2.1.4. Standar Audit
Standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia (SPAP,
2011) mengharuskan auditor menyatakan apakah menurut pendapatnya,
laporan keuangan disajikan sesuai prinsip akuntansi yang berlaku umum di
Indonesia dan jika ada, menunjukan adanya ketidakkonsistenan penerapan
prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan
dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode
sebelumnya.
Menurut Arens et.al (2012:42) menyatakan bahwa:
“Standar auditing merupakan pedoman umum untuk membantu auditor
memenuhi tanggungjawab profesionalnya dalam audit atas laporan
keuangan historis.Standar ini mencakup pertimbangan mengenai kualitas
profesional seperti kompetensi dan independensi, persyaratan pelaporan
dan bukti”.
Standar auditing yang telah ditetapkan dalam Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP) dan disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia
adalah sebagai berikut (SPAP, 2011:150.1) :
1. Standar umum:
a. Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang
memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai
auditor.
20
b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan
independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh
auditor.
c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporan keuangannya,
auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan
cermat dan seksama.
2. Standar Pekerjaan Lapangan
a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika
digunakan sistem harus disupervisi dengan semestinya.
b. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh
untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat dan
lingkup pengujian yang akan dilaksanakan.
c. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui
inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan dan konfirmasi
sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan
keuangan yang diaudit.
3. Standar Pelaporan
a. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan
telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
umum di Indonesia.
b. Laporan auditor harus menunjukan atau menyatakan, jika ada
ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam
penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan
21
dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode
sebelumnya.
c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus
dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan
auditor.
d. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat
mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi
bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat
secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus
dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan
keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang
jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan jika ada,
dan tingkat tanggungjawab yang dipikul oleh auditor.
2.1.5. Tahapan Audit Laporan Keuangan
Tahapan Audit Laporan Keuangan Menurut Soekrisno Agoes
(2012:9) Tahapan-tahapan audit (pemeriksaan umum oleh akuntan publik
atas laporan keuangan perusahaan) dapat dijelaskan sebagai berikut:
“a. Kantor Akuntan Publik (KAP) dihubungi oleh calon pelanggan (klien)
yang membutuhkan jasa audit.
b. KAP membuat janji untuk bertemu dengan calon klien untuk
membicarakan:
1. Alasan perusahaan untuk mengaudit laporan keuangannya
(apakah untuk kepentingan pemegang saham dan direksi,
pihak bank/kreditor, Bapepam-LK, Kantor Pelayanan
Pajak, dan lain-lain).
2. Apakah sebelumnya perusahaan pernah diaudit KAP lain.
3. Apa jenis usaha perusahaan dan gambaran umum mengenai
perusahaan tersebut.
22
4. Apakah data akuntansi perusahaan diproses secara manual
atau dengan bantuan komputer.
5. Apakah sistem penyimpanan bukti-bukti pembukuan cukup
rapi.
c. KAP mengajukan surat penawaran (audit proposal yang antara lain
berisi: jenis jasa yang diberikan, dan lain-lain. Jika perusahaan
menyetujui, audit proposal tesebut akan menjadi Engagement Letter
(Surat Penugasan/Perjanjian Kerja).
d. KAP melakukan audit field work (pemeriksaan lapangan) dikantor
klien. Setelah audit field work selesai KAP memberikan draft audit
report kepada klien, sebagai bahan untuk diskusi. Setelah draft report
disetujui klien, KAP akan menyerahkan final audit report, namun
sebelumnya KAP harus meminta Surat Pernyataan Langganan (Client
Representation Letter) dari klien yang tanggalnya sama dengan tanggal
audit report dan tanggal selesainya audit field work.
e. Selain audit report, KAP juga diharapkan memberikan Management
Letter yang isinya memberitahukan kepada manajemen mengenai
kelemahan pengendalian intern perusahaan dan saran-saran
perbaikannya”.
Tahapan audit merupakan urutan yang harus dilalui dalam audit.
Tahapan tersebut membantu auditor mengenali klien dan memastikan
bahwa pelaksanaan audit telah dilakukan sesuai rencana dan tidak
melanggar standar auditing sekaligus menjadi alat pengendalian. Auditor
akan sangat beresiko apabila tidak melakukan tahapan audit secara baik.
2.1.6. Auditor
Suatu aktivitas audit dilakukan oleh seorang auditor untuk
menemukan suatu ketidakwajaran terkait dengan informasi yang disajikan.
Menurut International Standard of Organization (19011:2002) Auditor
adalah orang yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan audit.
Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (2011) tentang auditor, audit
dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan
teknis yang cukup sebagai auditor. Auditor adalah seorang yang memiliki
23
kualifikasi tertentu dalam melakukan audit atas laporan keuangan yang
harus dimiliki oleh seorang auditor adalah independensi, integritas dan
kompetensi. Dua kriteria yang pertama lebih bersifat kualitatif sehingga
sulit untuk mengukurnya. Sebaliknya, kompetensi lebih bersifat nyata dan
dapat kita telaah sejauh mana seorang dapat dikategorikan kompeten.
Menurut Agoes (2012), kompetensi auditor adalah kualifikasi yang
dibutuhkan oleh auditor untuk melaksanakan audit dengan benar. Untuk
memperoleh kompetensi tersebut, dibutuhkan pendidikan dan pelatihan
bagi auditor yang dikenal dengan nama pendidikan profesional
berkelanjutan (continuing professional education). Ada beberapa
komponen dari kompetensi auditor, yaitu mutu personal, pengetahuan
umum, dan keahlian khusus.
Dalam menjalankan tugasnya, seorang auditor harus memiliki mutu
personal yang baik, seperti:
1. Berpikiran terbuka (open-minded);
2. Berpikiran luas (broad-minded);
3. Mampu menangani ketidakpastian;
4. Mampu bekerjasama dengan tim;
5. Rasa ingin tahu (inquisitive);
6. Mampu menerima bahwa tidak ada solusi yang mudah;
7. Menyadari bahwa beberapa temuan dapat bersifat subjektif
24
Disamping itu, seorang auditor harus mempunyai kemampuan
berkomunikasi yang baik, karena selama masa pemeriksaan banyak dilakukan
wawancara dan permintaan keterangan dari auditan untuk memperoleh data.
Seorang auditor harus memiliki pengetahuan umum untuk memahami
entitas yang diaudit dan membantu pelaksanaan audit. Pengetahuan dasar ini
meliputi kemampuan untuk melakukan review analitis (analytical review),
pengetahuan teori organisasi untuk memahami suatu organisasi, pengetahuan
audit, dan pengetahuan tentang sektor publik. Yang tidak boleh dilupakan,
adalah pengetahuan akuntansi untuk membantu dalam memahami siklus
entitas dan laporan keuangan serta mengolah data angka yang diperiksa.
Keahlian khusus yang harus dimiliki seorang auditor antara lain
keahlian untuk melakukan wawancara, kemampuan membaca cepat, statistik,
keterampilan mengoperasikan kommputer, serta kemampuan menulis dan
mempresentasikan laporan dengan baik.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa auditor
merupakan orang yang memiliki kehalian dan pelatihan teknis serta dapat
memenuhi kualifikasi sebagai seorang yang kompeten, independen dan
mempunyai integritas tinggi dalam melaksanakan audit sesuai dengan standar
profesional.
2.2. Independensi Auditor
Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) definisi
independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Akuntan
publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun.Akuntan publik
25
berkewajiban untuk jujur tidakhanya kepada manajemen dan pemilik
perusahaannamun juga kepada kreditur dan pihak lain yangmeletakkan
kepercayaan atas pekerjaan akuntanpublik (SA Seksi 220, PSA No.4).
Penilaian masyarakat atas independensi auditor independen bukan
pada diri auditor secara keseluruhan. Oleh karenanya apabila seorang
auditor independen atau suatu kantor akuntan publik lalai atau gagal
mempertahankan sikap independensinya, maka kemungkinan besar
anggapan masyarakat bahwa semua akuntan publik tidak independen.
Kecurigaan tersebut dapat berakibat berkurang atau hilangnya kredibilitas
masyarakat terhadap jasa audit profesi auditor independen.
2.2.1 Pengertian Independensi
Menurut Mautz dan Sharaf dalam Theodorus M. Tuanakotta
(2014:64) menyatakan bahwa independensi yaitu:
“Independensi mencerminkan sikap tidak memihak serta tidak
dibawah pengaruh tekanan atau pihak tertentu dalam mengambil
tindakan dan keputusan”.
Randal J. Elder, Mark S. Beasley, dan Alvin A. Arens yang dialih
bahasakan Amir Abadi Jusuf (2015:74) megemukakan independensi
adalah sebagai berikut :
“Independensi dalam audit berarti mengambil sudut pandang yang
tidak bias dalam melakukan pengujian audit, evaluasi atas hasil
pengujian dan penerbitan laporan audit.”
Menurut Mulyadi (2014:26-27) menyatakan independensi adalah:
26
“Sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh
pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi juga
berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam
mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang objektif
tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan
menyatakan pendapatnya”.
Menurut Siti Kurnia Rahayu dan Ely Suhayati (2013:58) independensi
adalah sebagai berikut:
“Independen artinya tidak mudah dipengaruhi, netral karena
auditor melaksanakan pekerjannya untuk kepentingan umum”.
Dengan demikian, sebagaimana yang telah ditulis dalam Standar
Profesional Akuntan Publik (2011:220.1) bahwa auditor tidak dibenarkan
memihak kepada kepentingan siapapun, sebab bagaimanapun
sempurnanya keahlian teknis yang ia miliki, auditor akan kehilangan sikap
tidak memihak, yang justru sangat penting untuk mempertahankan
pendapatnya. Auditor mengakui kewajiban untuk jujur tidak hanya kepada
manajemen dan pemilik perusahaan,namun juga kepada kreditur dan pihak
lain yang meletakan kepercayaan (paling tidak sebagian) atas laporan audit
independen, seperti calon-calon pemilik dan kreditur.
2.2.2. Jenis-Jenis Independensi
Dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus selalu
mempertahankan sikap independen di dalam memberikan jasa profesional
sebagaimana diatur dalam Standar Akuntan Publik yang ditetapkan oleh
IAI.
27
Randal J. Elder, Mark S. Beasley, dan Alvin A. Arens yang dialih
bahasakan Amir Abadi Jusuf (2015:74) mengemukakan dalam
independensi terdapat dua unsur, yaitu :
1. Independensi dalam fakta
Independensi dalam fakta akan muncul ketika auditor
secara nyata menjaga sikap objektif selama melakukan
audit.
2. Independensi dalam penampilan
Independensi dalam penampilan merupakan interpretasi
orang lain terhadap independensi auditor tersebut.”
Selanjutnya menurut Soekrisno Agoes (2012:34-35) pengertian
independen bagi akuntan publik (eksternal auditor dan internal auditor)
dibagi menjadi 3 (tiga) jenis independensi:
“1. Independent in appearance (independensi dilihat dari
penampilannya di struktur organisasi perusahaan).
In appearance, akuntan publik adalah independen karena
merupakan pihak luar perusahaan sedangkan internal auditor tidak
independen karena merupakan pegawai perusahaan.
2. Independent in fact (independensi dalam kenyataan/dalam
menjalankan tugasnya).
In fact, akuntan publik seharusnya independen, sepanjang dalam
menjalankan tugasnya memberikan jasa profesionalnya, bisa
menjaga integritas dan selalu menaati kode etik profesionalnya,
profesi akuntan publik, dan standar professional akuntan publik.
Jika tidak demikian, akuntan publik in fact tidak independen. In
fact internal auditor bisa independen jika dalam menjalankan
tugasnya selalu mematuhi kode etik internal auditor dan jasa
professional practice framework of internal
3. In mind, misalnya seorang auditor mendapatkan temuan
audit yang memiliki indikasi pelanggaran atau korupsi atau yang
memerlukan audit adjustment yang material. Kemudian dia
berpikir untuk menggunakan findings tersebut untuk memeras
auditee walaupun baru pikiran, belum dilaksanakan. In mind
auditor sudah kehilangan independensinya. Hal ini berlaku baik
untuk akuntan publik maupun internal auditor”.
28
Berdasarkan jenis-jenis independensi tersebut dapat disimpulkan
bahwa auditor harus mempunyai sikap tidak mudah dipengaruhi oleh hal-
hal yang mengganggu dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpainya
dalam pemeriksaan.Auditor harus mempunyai sikap jujur tidak hanya
kepada manajemen dan pemilik perusahaan, agar masyarakat dapat
menilai sejauh mana auditor telah bekerja dan masyarakat tidak
meragukan integritas dan objektifitas auditor.
2.2.3. Dimensi Independensi
Menurut Mautz dan Sharaf dalam Theodorus M. Tuanakotta
(2014) menekankan tiga dimensi dari independensi sebagai berikut:
“1. Programming independence
Programming independence adalah kebebasan (bebas dari
pengendalian atau pengaruh orang lain, misalnya dalam bentuk
pembatasan) untuk memilih teknik, prosedur audit, berapa dalamnya
teknik dan prosedur audit itu ditetapkan.
2. Investigative independence
Investigative independence adalah kebebasan (bebas dari pengendalian
atau pengaruh orang lain, misalnya dalam bentuk pembatasan) untuk
memilih area, kegiatan, hubungan pribadi dan kebijakan manajerial
yang akan diperiksa. Ini berarti tidak boleh ada sumber informasi yang
legitimasi (sah) yang tertutup bagi auditor
3. Reporting independence
Reporting independe adalah kebebasan (bebas dari pengendalian atau
pengaruh orang lain, misalnya dalam bentuk pembatasan) untuk
menyajikan fakta yang terungkap dari pemeriksaan atau pemberian
rekomendasi atau opini sebagai hasil pemeriksaan."
Berdasarkan ketiga dimensi independensi tersebut, Mautz dan
Sharaf mengembangkan petunjuk yang mengindikasikan apakah ada
pelanggaran atas independensi. Mautz dan Sharaf dalam Theodorus M
Tuanakotta (2014) menyarankan:
“1. Programming Independence
29
a. Bebas dari tekanan atau intervensi manajerial atau friksi yang
dimaksudkan untuk menghilangkan (eliminate), menentukan
(specify) atau mengubah (modify) apapun dalam audit. b. Bebas dari intervensi apapun dari sikap tidak kooperatif yang
berkenaan dengan penerapan prosedur audit yang dipilih. c. Bebas dari upaya pihak luar yang memaksakan pekerjaan audit itu
direview diluar batas-batas kewajaran dalam proses audit. 2. Investigative Independence
a. Akses langsung dan bebas atas seluruh buku, catatan, pimpinan
pegawai perusahaan dan sumber informasi lainnya mengenai
kegiatan perusahaan, kewajiban dan sumber-sumbernya.
b. Kerjasama yang aktif dari pimpinan perusahaan selama
berlangsungnya kegiatan audit.
c. Bebas dari upaya pimpinan perusahaan untuk menugaskan atau
mengatur kegiatan yang harus diperiksa atau menentukan dapat
diterimanya suatu evidential metter (sesuatu yang mempunyai nilai
pembuktian).
d. Bebas dari kepentingan atau hubungan pribadi yang akan
menghilangkan atau membatasi pemeriksaan atas kegiatan, catatan
atau orang yang seharusnya masuk dalam lingkup pemeriksaan.
3. Reporting Independence
a. Bebas dari perasaan loyal kepada seseorang atau merasa
berkewajiban kepada sseorang untuk mengubah dampak dari fakta
yang dilaporkan.
b. Menghindari praktik untuk mengeluarkan hal-hal penting dari
laporan formal dan memasukkannya kedalam laporan informal
dalam bentuk apapun.
c. Menghindari penggunaan bahasa yang tidak jelas (kabur, samar-
samar) baik yang disengaja maupun yang tidak didalam pernyataan
fakta, opini dan rekomendasi dalam interpretasi.
d. Bebas dari upaya untuk memveto (judgement) auditor mengenai apa
yang seharusnya masuk dalam laporan audit, baik yang bersifat fakta
maupun opini.”
Petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Mautz dan Sharaf dalam
Theodorus M Tuanakotta (2014) sangat jelas dan masih relevan untuk
auditor pada hari ini. Ini adalah petunjuk-petunjuk yang menentukan
apakah seorang auditor memang independen.
30
2.2.4. Faktor – faktor Yang Mengancam Independensi
Menurut Mulyadi (2013:27), “auditor harus independen dari setiap
kewajiban atau independen dari pemilikan kepentingan dalam perusahaan
yang diauditnya”.
Di samping itu, auditor tidak hanya berkewajiban memperhatikan
sikap mental independen, tetapi ia harus pula menghindari keadaan-
keadaan yang dapat mengakibatkan masyarakat meragukan
independensinya. Dengan demikian, di samping auditor harus benar-benar
independen, ia masih juga harus menimbulkan persepsi di kalangan
masyarakat bahwa ia benar-benar independen. Sikap mental independen
auditor menurut persepsi masyarakat inilah yang tidak mudah
pemerolehannya.
2.2.5. Faktor – faktor yang mempengaruhi Independensi Auditor
a. Hubungan keluarga akuntan berupa suami / istri, saudara sedarah
dengan klien.
Hubungan yang timbul karena sedarah atau karena perkawinan dengan
klien dapat menimbulkan keadaan yang akan mengurangi bahkan
merusak independensi auditor dalam melaksanakan pemeriksaannya.
b. Besar Audit Fee yang dibayarkan oleh klien tertentu
Independensi auditor diragukan apabila ia menerima fee selain yang
ditentukan dalam kontrak kerja, adanya fee bersyarat (contingent fee)
dan menerima jumlah fee dalam jumlah yang sangat besar dari klien
31
yang diaudit. Dalam rapat komisi Kode Etik Akuntan Indonesia tahun
1990 mempertegas bahwa imbalan yang diterima selain fee dalam
kontrak dan fee bersyarat tidak boleh diterapkan dalam pemeriksaan.
(Suyatmini, 2011 : 22)
c. Hubungan usaha dan keuangan dengan klien, keuntungan dan
kerugian yang terkait dengan usaha klien.
Akuntan publik atau auditor dapat kehilangan independensinya
apabila mereka mempunyai kepentingan keuangan dan hubungan
usaha dengan klien yang diauditnya.
d. Pemberian fasilitas dan bingkisan (gifts) oleh klien.
Seorang klien yang memberikan fasilitas ataupun gifts kepada auditor
yang melakukan audit di perusahaan bisa mempengaruhi
independensi, jika dilihat oleh pihak – pihak yang berkepentingan
misalnya para investor, pemerintah. Mereka akan menganggap bahwa
akuntan publik tersebut berada di bawah pengaruh kliennya sehingga
independensi akuntan publik tersebut diragukan.
e. Keterlibatan usaha yang tidak sesuai
Seorang auditor tidak boleh terlibat dalam usaha atas pekerjaan
lainnya yang dapat menimbulkan pertentangan atau mempengaruhi
independensi dalam pelaksanaan jasa professional, dan juga seorang
auditor tidak dapat melakukan kerjasama bisnis dengan perusahaan
kliennya atau pemegang saham.
32
f. Pelaksanaan mengenai jasa lain oleh klien audit yang disediakan
kantor akuntan publik
Semakin meningkatnya peranan akuntansi pada dunia bisnis
mendorong perusahaan memerlukan jasa – jasa lain selain jasa audit
yang sering diberikan kantor akuntan publik. Seperti jasa akuntansi,
jasa konsultasi manajemen, dan jasa perpajakan.
2.2.6. Aspek – aspek dalam Independensi
Independensi mencakup dua aspek, yaitu :
1. Independensi dalam kenyataan, yaitu berarti adanya
kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan
fakta – fakta dan adanya pertimbangan yang objektif, tidak
memihak di dalam merumuskan dan menyatakan
pendapatnya.
2. Independensi dalam penampilan, yaitu berarti adanya kesan
dalam masyarakat bahwa auditor bertindak independen
sehingga auditor harus menghindari keadaan – keadaan
atau faktor – faktor yang dapat mengakibatkan masyarakat
meragukan kebebasannya.
2.3. Profesionalisme
2.3.1 Pengertian Profesionalisme
Pengertian umum, seseorang dikatakan profesional jika memenuhi
tiga kriteria, yaitu mempunyai keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai
33
dengan bidangnya, melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan
menetapkan standard baku di bidang profesi yang bersangkutan dan
menjalankan tugas fungsinya dengan memenuhi etika profesi yang telah
ditetapkan. Profesi dan professionalisme dapat dibedakan secara konseptual.
Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria,
sedangkan professionalisme adalah suatu atribut individual yang penting
tanpa melihat suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak.
(Lekatompessi dan Susanty, 2011 dalam Herawati).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :
Profesi adalah pekerjaan dari pekerjaan tersebut diperoleh nafkah
untuk hidup, sedangkan professionalisme dapat diartikan bersifat
profesi atau memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan
dan latihan. (Badudu dan Sutan, 2010 : 848).
Secara sederhana, professionalisme berarti bahwa auditor
melaksanakannya tugas- tugasnya dengan kesungguhan dan kecermatan.
Sebagai seorang yang profesional, auditor harus menghindari kelalaian dan
ketidakjujuran. Arens et al. (2010) dalam Noveria (2011 : 3) mendefinisikan
professionalisme sebagai tanggung jawab individu untuk berperilaku yang
lebih baik dari sekedar mematuhi undang-undang dan peraturan masyarakat
yang ada. Profesionalisme juga merupakan elemen dari motivasi yang
memberikan sumbangan pada seseorang agar mempunyai kinerja tugas yang
tinggi (Guntur dkk, 2002 dan M. Ja'far, 2005 : 13).
34
Sebagai professional, auditor mengakui tanggung jawabnya terhadap
masyarakat, klien, dan terhadap rekan seprofesi, termasuk untuk berperilaku
yang terhormat, sekalipun imi merupakan pengorbanan apabila telah
memenuhi dan mematuhi standar-standar kode etik yang telah ditetapkan oleh
IAI (Ikatan Akuntan Indonesia), antara lain :
1. Prinsip - prinsip yang ditetapkan oleh IAI yaitu standar ideal dari
perilaku etis yang telah ditetapkan oleh IAI seperti dalam
terminologi filosofi.
2. Peraturan perilaku seperti standar minimum perilaku etis yang
ditetapkan sebagai peraturan khusus yang merupakan sesuatu
keharusan.
3. Interpretasi peraturan perilaku tidak merupakan keharusan, tetapi
para praktisi harus memahaminya.
Ketetapan etika seperti seorang akuntan publik wajib untuk harus
tetap memegang teguh prinsip kebebasan dalam menjalankan proses
auditnya, walaupun auditor dibayar oleh kliennya.
2.3.2. Konsep Profesionalisme
Konsep profesionalisme yang dikembangkan oleh Hall dalam Lestari
dan Dwi (2011 : 11) banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur
profesionalisme dari profesi auditor yang tercermin dari sikap dan
perilaku. Menurut Hall dalam Herawati dan Susanto (2010 : 4) terdapat
lima dimensi profesionalisme, yaitu :
35
1. Pengabdian pada profesi. Pengabdian pada profesi dicerminkan
dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan
dan kecakapan yang dimiliki. keteguhan untuk tetap melaksanakan
pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah
ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan.
pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya alat untum
mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi,
sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah
kepuasan rohani, baru kemudian materi.
2. Kewajiban Sosial. Kewajiban Sosial adalah pandangan tentang
pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik
masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut.
3. Kemandirian. Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan
seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan
sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan
anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap
sebagai hambatan kemandirian secara profesional.
4. Keyakinan terhadap peraturan profesi. Keyakinan terhadap profesi
adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai
pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan orang
luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan
pekerjaan mereka.
36
5. Hubungan dengan sesama profesi. Hubungan dengan sesama
profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan,
termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok kolega
informal sebagai ide utama dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi
ini para profesional membangun kesadaran profesional.
2.3.3. Cara Auditor Mewujudkan Perilaku Professional
Menurut Mulyadi (2010) dalam Noveria (2011 : 5) menyebutkan
bahwa pencapaian kompetensi profesional akan memerlukan standar
pendidikan umum yang tinggi diikuti oleh pendidikan khusus, penelitian
dan uji professional dalam subyek - subyek (tugas) yang relevan dan juga
adanya pengalaman kerja. Oleh karena itu, untuk mewujudkan
professionalisme auditor, dilakukan beberapa cara antara lain
pengendalian mutu auditor, review oleh rekan sejawat, pendidikan profesi
berkelanjutan, meningkatkan ketaatan hukum yang berlaku dan taat
terhadap kode perilaku professional.
IAI berwenang menetapkan standar (yang merupakan pedoman)
dan aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota termasuk setiap
kantor akuntan publik lain yang beroperasi sebagai auditor independen.
persyaratan - persyaratan ini dirumuskan oleh Komite 17, komite yang
dibentuk oleh IAI. Ada tiga bidang utama dimana IAI berwenang
menetapkan standar memuai aturan yang bisa meningkatkan perilaku
professional seorang auditor, yaitu :
37
1. Standar Auditing. Komite Standar Professional Akuntan Publik
(Komite SPAP) IAI bertanggung-jawab untuk menerbitkan standar
auditing. Standar ini disebut sebagai Pernyataan Standar Auditing
atau PSA. Di Amerika Serikat pernyataan ini disebut SAS
(statement on Auditing Standard) yang dikeluarkan oleh Auditing
pengurus pusat IAI telah mengesahkan sejumlah pernyataan
standar auditing. Penyempurnaan terutama sekali bersumber pada
SAS dengan penyesuaian terhadap kondisi Indonesia dan Standar
Auditing Internasional.
2. Standar kompilasi dan penelaahan laporan keuangan. Komite
SPAP IAI dan Compilation and Standarts Commitee
bertanggungjawab untuk mengeluarkan pernyataan mengenai
auditor sehubungan dengan laporan keuangan suatu perusahaan
yang tidak diaudit. Pernyataan ini di Amerika Serikat disebutkan
Statement on Standarts for Accounting and Review Services
(SSARS) dan di Indonesia disebut Pernyataan Standar Jasa
Akuntansi dan Review (PSAR). PSAR 1 disahkan pada tanggal 1
Agustus 1945 menggantikan pernyataan NPA sebelumnya
mengenai hal yang sama. Bidang ini mencakup dua jenis data,
pertama yaitu untuk situasi dimana auditor membantu kliennya
menyusun laporan keuangan tanpa memberikan jaminan mengenai
isinya (jasa kompilasi). Kedua, untuk situasi dimana akuntan
melakukan prosedur - prosedur pengajuan pernyataan dan analitis
38
tertentu sehingga dapat memberikan suatu keyakinan terbatas
bahwa tidak diperlukan perubahan apapun terhadap laporan
keuangan bersangkutan (jasa review).
3. Standar atestasi lainnya. Tahun 1906, AICPA menerbitkan
Statements on Standary for Atestation Engagement. IAI sendiri
mengeluarkan beberapa pernyataan standar atestasi pada tanggal 1
Agustus 1994 . Pernyataan ini mempunyai fungsi ganda, pertama,
sebagai kerangka yang harus diikuti oleh badan penetapan standar
yang ada di dalam IAI untuk mengembangkan standar yang
terperinci mengenai jenis jasa atestasi yang spesifik. Kedua,
sebagai kerangka pedoman bagi para praktisi bila tidak terdapat
atau belum ada standar spesifik seperti itu. Komite Kode IAI di
Indonesia dan Commitee on Professional Ethnics di Amerika
Serikat menetapkan ketentuan perilaku yang harus dipenuhi oleh
seorang akuntan publik yang meliputi standar teknis. Standar
auditing, standar atestasi, serta standar jasa akuntansi dan review
dijadikan satu menjadi Standar Professional Akuntan Publik
(SPAP).
Jadi menjalankan profesinya dengan kesungguhan dan tanggung
jawab agar menjadi kinerja tugas sebagaimana yang diatur dalam
organisasi profesi, meliputi pengabdian pada profesi, kewajiban sosial,
kemandirian, keyakinan profesi dan hubungan dengan rekan seprofesi.
39
2.4. Etika Profesi
2.4.1. Pengertian Etika Profesi
Arens (2010 : 67) mendefinisikan etika secara umum sebagai
perangkat prinsip moral atau nilai. Perilaku beretika diperlukan oleh
masyarakat agar semuanya dapat berjalan secara teratur. Setiap profesi
yang memberikan pelayanan jasa pada masyarakat harus memiliki kode
etik yang merupakan seperangkat prinsip - prinsip moral yang mengatur
tentang perilaku profesional. Tanpa etika, profesi akuntan tidak akan ada
karena fungsi akuntan adalah sebagai penyedia informasi untuk proses
pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku bisnis.
Merujuk pada klasifikasi profesi secara umum, maka salah satu ciri
yang membedakan profesi - profesi yang ada adalah etika profesi yang
dijadikan sebagai standar pekerjaan bagi para anggotanya. Etika profesi
diperlukan oleh setiap profesi, khususnya bagi profesi yang membutuhkan
kepercayaan dari masyarakat seperti profesi auditor. Masyarakat akan
menghargai profesi yang menerapkan standar mutu yang tinggi dalam
pelaksanaan pekerjaannya.
Auditor wajib menaati segala peraturan perundang - undangan
yang belaku, menyimpan rahasia jabatan, menjaga semangat dan suasana
kerja yang baik. Kode etik berkaitan dengan masalah prinsip bahwa
auditor harus menjaga, menjunjung (responsibility), berintegritas
(integrity), bertindak secara obyektif (objectivity) dan menjaga
40
independensinya terhadap kepentingan berbagai pihak (independence)
serta berhati-hati dalam menjalankan profesi.
Etika Auditor dalam Standar Professional Akuntan Publik disebut
sebagai norma akuntan menjadi patokan resmi para auditor Indonesia
dalam berpraktik. Norma - norma dalam SPAP tersebut menjadi acuan
dalam penentuan standar utama dalam pekerjaan auditor, antara lain :
a. Auditor harus memiliki keahlian teknis, independen dalam sikap
mental serta kemahiran professional dengan cermat dan seksama.
b. Auditor wajib menemukan ketidakberesan, kecurangan, manipulasi
dalam suatu pengauditan.
Dari penjelasan di atas, didapat kesimpulan bahwa etika profesi
merupakan perangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus
dipenuhi dalam mengemban profesi.
2.4.2 Prinsip Dasar Etika Profesi
Setiap praktisi wajib mematuhi prinsip dasar etika profesi yang ada
di bawah ini :
a. Prinsip Integritas. Prinsip Integritas mewajibkan setiap praktisi
untuk tegas, jujur, dan adil dalam hubungan professional dan
hubungan bisnisnya. Praktisi tidak boleh terkait dengan laporan,
komunikasi, atau informasi lainnya yang diyakininya terdapat :
41
a) Kesalahan yang material atau pernyataan yang
menyesatkan.
b) Pernyataan atau informasi yang diberikan secara tidak hati -
hati, atau
c) Penghilangan atau penyembunyian yang dapat menyesatkan
atas informasi yang seharusnya diungkapkan.
b. Prinsip Objektivitas. Prinsip Objektivitas mengharuskan praktisi
untuk tidak membiarkan subjektivitas, benturan kepentingan, atau
pengaruh yang tidak layak dari pihak - pihak lain yang mrmprny
objektivitas. Karena beragamnya situasi tersebut, tidak mungkin
untuk mendefinisikan setiap situasi tersebut. Setiap praktisi harus
menghindari sikap hubungan yang bersifat subjektif atau yang
dapat mengakibatkan pengaruh yang tidak layak terhadap
pertimbangan professionalnya.
c. Prinsip Kompetensi serta Sikap Kecermatan dan Kehati - hatian
professional mewajibkan setiap praktisi untuk :
a) Memelihara pengetahuan dan keahlian profesional yang
dibutuhkan untuk menjamin pemberian jasa profesional yang
kompeten kepada klien atau pemberi kerja dan
b) Menggunakan kemahiran professionalnya dengan seksama
sesuai dengan standar profesi dan kode etik profesi yang
berlaku dalam memberikan jasa profesionalnya. Pemberian
jasa professional yang kompeten membutuhkan pertimbangan
42
yang cermat dalam menerapkan pengetahuan dan keahlian
profesional. Kompetensi profesional dapat dibagi menjadi
dua tahap yang terpisah sebagai berikut :
1. Pencapaian kompetensi profesional
2. Pemeliharaan kompetensi profesional.
Pemeliharaan kompetensi profesional membutuhkan
kesadaran dan pemahaman yang berkelanjutan terhadap
perkembangan teknis profesi dan perkembangan bisnis
yang relevan. Pengembangan dan pendidikan profesional
yang berkelanjutan sangat diperlukan untuk
meningkatkan dan memelihara kemampuan praktisi agar
dapat melakukan pekerjaannya secara kompeten dalam
lingkungan professional. Sikap kecermatan dan kehati -
hatian profesional mengharuskan setiap praktisi untuk
bersikap dan bertindak secara berhati-hati, menyeluruh,
dan tepat waktu, sesuai dengan persyaratan.
d. Prinsip Kerahasiaan. Prinsip Kerahasiaan mewajibkan setiap
praktisi untuk tidak melakukan tindakan - tindakan sebagai berikut
:
1. Mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia yang
diperoleh dari hubungan profesional dan hubungan bisnis
kepada pihak luar KAP atau jaringan KAP tempatnya bekerja
tanpa adanya wewenang khusus, kecuali jika terdapat
43
kewajiban untuk mengungkapkannya sesuai dengan
ketentuan hukum atau peraturan lainnya yang kurang berlaku
dan
2. Menggunakan informasi yang bersifat rahasia yang diperoleh
dari hubungan profesional dan hubungan bisnis untuk
keuntungan pribadi atau pihak ketiga.
Setiap praktisi harus tetap menjaga prinsip kerahasiaan,
termasuk dalam lingkungan sosialnya. Setiap praktisi harus
waspada terhadap kemungkinan pengungkapan yang tidak
disengaja, terutama dalam situasi yang melibatkan hubungan
jangka panjang dengan rekan bisnis maupun anggota keluarga
langsung atau anggota keluarga dekatnya.
Setiap praktisi harus menjaga kerahasian informasi yang
diungkapkan oleh calon klien atau pemberi kerja. Setiao praktisi
harus mempertimbangkan pentingnya kerahasiaan informasi terjaga
dalam KAP atau jaringan KAP tempatnya bekerja.
e. Prinsip Perilaku Profesional
Prinsip Perilaku Profesional mewajibkan setiap praktisi
untuk mematuhi setiap ketentuan hukum badan peraturan yang
berlaku, serta menghindari setiap tindakan yang dapat
mendiskreditkan profesi. Hal ini mencakup setiap tindakan yang
44
dapat mengakibatkan terciptanya kesimpulan yang negatif oleh
pihak ketiga yang rasional dan memiliki pengetahuan mengenai
semua informasi yang relevan, yang dapat menurunkan reputasi
profesi.
Dalam memasarkan dan mempromosikan diri dan
pekerjaannya, setiap praktisi tidak boleh merendahkan martabat
profesi. Setiap praktisi harus bersikap jujur dan tidak boleh
bersikap atas melakukan tindakan sebagai berikut :
a) Membuat pernyataan yang berlebihan mengenai jasa
profesional yang dapat diberikan, kualifikasi yang dimiliki
atau pengalaman yang telah diperoleh atau
b) Membuat pernyataan yang merendahkan atau melakukan
pertimbangan yang tidak didukung bukti terhadap hasil
pekerjaan praktisi lain.
2.5. Kinerja Auditor
Secara etimologi, kinerja berasal dari prestasi kerja (performance).
Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (2005 : 67) bahwa istilah
kinerja berasal dari kata job performance tersebut atau actual performance
(prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang), yaitu hasil
kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya.
45
Teori tentang prestasi kerja lebih banyak memacu pada teori psikologi
yaitu tentang proses tingkah laku kerja seseorang, sehingga seseorang
tersebut menghasilkan sesuatu yang menjadi tujuan dari pekerjaan (Agustia
2012 : 104). Kinerja atau prestasi kerja dapat diukur melalui kriteria seperti
kualitas, kuantitas, waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absen dan
keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaan.
Kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu : kinerja individu dan kinerja
kelompok. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik kualitas maupun
kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja
kelompok (Mangkunegara, 2010 : 15). Gibson et al. (1996) dalm Wibowo
(2009), menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan suatu ukuran yang
dapat digunakan untuk menetapkan perbandingan hasil pelaksanaan tugas,
tanggung jawab yang diberikan oleh organisasi. Kinerja auditor merupakan
tindakan atau pelaksanaan tugas pemeriksa yang telah diselesaikan oleh
auditor dalam kurun waktu tertentu.
Pengertian kinerja auditor menurut Mulyadi dan Kanaka (2011 : 116)
adalah auditor yang melaksanakan penugasan pemeriksa (examination) secara
obyektif atau laporan keuangan tersebut menyajikan hal secara wajar sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dalam semua hal yang
material, posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan. Kalbers dan Forganty
(1995) mengemukakan bahwa kinerja auditor sebagai evaluasi terdapat
pekerjaan yang dilakukan oleh atasan, rekan kerja, diri sendiri, dan bawahan
langsung.
46
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil karya yang dicapai oleh seseorang
dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepada yang didasarkan atas
kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan waktu yang diukur dengan
mempertimbangkan kuantitas, kualitas, dan ketepatan waktu. Kinerja
(prestasi kerja) dapat diukur melalui pengukuran tertentu (standar) dimana
kualitas adalah berkaitan dengan mutu kerja yang dihasilkan dalam kurun
waktu tertentu, dan ketetapan waktu adalah kesesuaian waktu yang telah
direncanakan. Karakteristik yang membedakan kinerja auditor dan kinerja
manajer adalah output yang dihasilkan.
2.5.1 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Auditor
Menurut Elizabeth (2013), Kinerja auditor akan dilihat berdasarkan hasil
dan proses audit yang dilakukannya sesuai dengan standar dan aturan yang ada.
Dengan demikian, kemampuan seorang auditor dalam menyelesaikan tugasnya
dan pemahaman yang baik akan aturan dan kode etik yang berlaku akan berujung
pada hasil kerja yang lebih baik, adapun faktor – faktor lain yang mempengaruhi
kinerja auditor selain independensi, professionalisme, dan etika profesi, antara
lain :
a. Struktur Audit
Bowrin (1998) dalam Fanani (2008), menyatakan bahwa struktur audit
adalah sebuah pendekatan sistematis terhadap auditing yang dijelaskan oleh
langkah-langkah penentuan audit, prosedur rangkaian logis, keputusan, dan
47
menggunakan sekumpulan alat-alat serta kebijakan audit yang komprehensif
dan terintegrasi untuk membantu auditor dalam melakukan audit. Penggunaan
struktur audit akan membantu auditor dalam melaksanakan tugasnya menjadi
lebih baik sehingga meningkatkan kinerja auditor.
b. Konflik Peran
Konflik peran timbul karena mekanisme pengendalian birokrasi
organisasi tidak sesuai dengan norma, aturan, etika, dan kemandirian
professional. Selanjutnya menurut Fanani (2008), konflik peran timbul karena
adanya dua perintah berbeda yang diterima secara bersamaan dan
pelaksanaan atas salah satu perintah saja akan mengakibatkan diabaikannya
perintah yang lain. Konflik peran berpengaruh negatif terhadap kinerja
auditor junior, Agustina (2009). Konflik peran dapat menimbulkan rasa tidak
nyaman dalam bekerja dan menurunkan motivasi.
c. Ketidakjelasan Peran
Seseorang dapat mengalami ketidakjelasan peran apabila mereka merasa
tidak ada kejelasan sehubungan dengan ekspektasi pekerjaan , seperti
kurangnya informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan atau
tidak memperoleh kejelasan mengenai deskripsi tugas dari pekerjaan mereka,
Ramadhan (2011). Penelitian yang dilakukan Ramadhan (2011) menyatakan
bahwa ketidakjelasan peran berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor.
Adanya ketidakjelasan peran dalam kantor akuntan publik dapat membuat
kinerja auditor kurang optimal dalam menangani kliennya sehingga dapat
menurunkan kinerja auditor.
48
d. Pemahaman Good Governance (tata kelola perusahaan)
Pemahaman good governance merupakan wujud penerimaan akan
pentingnya suatu perangkat peraturan atau tata kelola yang baik untuk
mengatur hubungan fungsi dan kepentingan berbagai pihak dalam urusan
bisnis untuk pelayanan publik. Penerapan good governance pada KAP
diharapkan akan memberikan arahan yang jelas pada perilaku kinerja auditor
serta etika profesi pada KAP. Trisnaningsih (2007) menyatakan bahwa
prinsip dasar good governance pada organisasi KAP meliputi beberapa hal
yaitu : Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi, dan
Kesetaraan/Keadilan. Hasil penelitian Sapariyah (2011) menyatakan bahwa
good governance berpengaruh positif terhadap kinerja auditor.
e. Gaya Kepemimpinan
Hasil penelitian Trisnaningsih (2011) menyatakan bahwa gaya
kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja auditor. Gaya
kepemimpinan dapat mempengaruhi kreativitas kinerja auditor dalam
melaksanakan tugasnya. Gaya kepemimpinan sangat diperlukan di dalam
kantor akuntan publik tempat mereka bekerja karena dapat memberikan
nuansa pada kinerja auditor baik secara formal maupun nonformal.
f. Budaya Organisasi
Budaya organisasi menurut Yuskar (2011) adalah pola pemikiran,
perasaan, dan tindakan dari suatu kelompok sosial satu dengan yang lain.
Hasil penelitian Trisnaningsih (2011) menunjukkan adanya pengauruh positif
antara budaya organisasi dengan kinerja auditor. Budaya organisasi yang kuat
49
diperlukan oleh setiap organisasi agar kepuasan kerja dan kinerja karyawan
meningkat, sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi secara
keseluruhan.
g. Komitmen Organisasi
Komitemen organisasi adalah suatu keadaan dimana seseorang karyawan
memihak organisasi tertentu serta tujuan dan keinginannya untuk
mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut Sapariyah (2011).
Penelitian yang dilakukan Sapariyah (2011) dan Yuskar (2011)
menyimpulkan bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap
kinerja auditor.
2.6 Penelitian Terdahulu
Sebagian acuan dari penelitian ini dapat disebutkan beberapa hasil
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, berikut disajikan dalam tabel 2.1
sebagai berikut :
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Nama
Peneliti
Judul Penelitian Variabel
Penelitian
Hasil
1. Alim (2011) Pengaruh kompetensi
dan independensi
terhadap kinerja
auditor dengan etika
profesi sebagai
Kompetensi,
Independensi,
Kinerja Auditor,
dan Etika Profesi
(sebagai
Independensi
berpengaruh secara
signifikan terhadap
Kinerja Auditor.
Kompetensi dan Etika
50
variabel moderasi. moderasi) Profesi tidak
berpengaruh terhadap
Kinerja Auditor.
2. Kitta (2009) Pengaruh etika
profesi, kompetensi,
professionalisme, dan
Independensi auditor
terhadap kinerja
auditor pada
Inspektorat Provinsi
Sulawesi Selatan
Etika Profesi,
Kompetensi,
Independensi,
Professionalisme
dan Kinerja
Auditor.
Kompetensi dan
independensi auditor
berpengaruh terhadap
kinerja auditor.
professionalisme dan
etika profesi tidak
berpengaruh terhadap
kinerja auditor.
3. Yanthi
(2011)
Pengaruh
independensi auditor,
etika profesi, dan
professionalisme
terhadap kinerja
auditor.
Independensi,
etika profesi,
professionalisme,
kinerja auditor.
Independensi, etika
profesi, dan
professionalisme
berpengaruh terhadap
kinerja auditor.
4. Adellia
Lukyia
(2014)
Pengaruh
independensi auditor,
etika profesi, dan
professionalisme
terhadap kinerja
auditor.
Independensi,
etika profesi,
professionalisme,
kinerja auditor
Independensi, etika
profesi, dan
professionalisme tidak
berpengaruh terhadap
kinerja auditor.
5. Martina
(2010)
Pengaruh
independensi auditor,
etika profesi, dan
Independensi,
etika profesi,
professionalisme,
Independensi dan
professionalisme
berpengaruh terhadap
51
professionalisme
terhadap kinerja
auditor. Pengaruh
independensi auditor,
etika profesi, dan
professionalisme
terhadap kinerja
auditor.
kinerja auditor kinerja auditor.
Etika Profesi tidak
berpengaruh terhadap
kinerja auditor.
6. Wika
(2010)
Pengaruh
independensi,
komitmen organisasi,
gaya kepemimpinan,
dan pemahaman
terhadap kinerja
auditor.
Independensi,
komitmen
organisasi, gaya
kepemimpinan,
pemahaman,
kinerja auditor
Independensi,
komitmen organisasi,
gaya kepemimpinan,
dan pemahaman
berpengaruh positif
7. Wibowo
(2012)
Pengaruh
independensi,
komitmen organisasi,
gaya kepemimpinan,
dan pemahaman
terhadap kinerja
auditor.
Independensi,
komitmen
organisasi, gaya
kepemimpinan,
pemahaman,
kinerja auditor.
Independensi dan
pemahaman
berpengaruh positif
terhadap kinerja
auditor.
Komitmen organisasi
dan gaya
kepemimpinan tidak
berpengaruh secara
signifikan terhadap
kinerja auditor.
52
2.7 Pengembangan Hipotesis
2.7.1 Pengaruh Independensi Auditor terhadap Kinerja Auditor
Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak
dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain (Mulyadi,
2011). Independensi biasanya dikarakteristikkan dengan menekankan
pemisahan atau otonomi kepentingan seorang individu dengan suatu
entitas. Independensi berarti bahwa auditor harus objektif. Auditor tidak
menyandarkan penilaiannya berdasarkan tekanan dari pihak lain dan
menghindari hubungan yang akan muncul kepada orang lain yang dapat
berakibat munculnya konflik kepentingan (Vanasco, 2006). Arens et al.,
(2012) menyatakan nilai audit sangat bergantung pada persepsi publik
akan independensi yang dimiliki auditor. Auditor yang independen adalah
auditor yang tidak memihak atau tidak dapat diduga memihak, sehingga
tidak merugikan pihak manapun (Pusdiklatwas BPKP, 2010). Dalam Kode
Etik Akuntan Indonesia.Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa setiap anggota
harus mempertahankan integritas, objektivitas dan independensi dalam
melaksanakan tugasnya. Seorang auditor yang menegakkan
independensinya, tidak akan terpengaruh dan tidak dipengaruhi oleh
berbagai kekuatan.
. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
H1 : Independensi Auditor berpengaruh terhadap kinerja auditor.
53
2.7.2 Pengaruh Profesionalisme terhadap Kinerja Auditor
Profesionalisme berkaitan dengan dua aspek penting yaitu aspek
struktural dan sikap (Hall, 1968). Aspek struktural yang karakteristiknya
merupakan bagian dari pembentukan sekolah pelatihan, pembentukan
asosiasi profesional dan pembentukan kode etik. Sedangkan aspek sikap
berkaitan dengan pembentukan jiwa profesionalisme. Auditor harus
meningkatkan kinerjanya agar dapat menghasilkan produk audit yang
dapat diandalkan bagi pihak yang membutuhkan. Guna peningkatan
kinerja, hendaknya auditor memiliki sikap professional dalam
melaksanakan audit atas akuntabilitas keuangan negara. Gambaran tentang
profesionalisme seorang auditor menurut Hall (1968) tercermin dalam
lima hal yaitu: pengabdian pada profesi, kewajiban sosial, kemandirian,
kepercayaan terhadap peraturan profesi dan hubungan dengan rekan
seprofesi. Dengan profesionalisme yang tinggi, kebebasan auditor akan
terjamin.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sofyan (2017), dengan
judul penelitian pengaruh independensi, profesionalisme, dan role stress
terhadap kinerja auditor di BPK RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Utara
menyatakan hasil bahwa profesionalisme berpengaruh positif terhadap
kinerja auditor. Artinya, semakin baik profesionalisme dari auditor maka
semakin meningkat pula kinerja dari auditor. Berdasarkan uraian di atas,
maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :
54
H2 : Profesionalisme berpengaruh terhadap kinerja auditor.
2.7.3 Pengaruh Etika Profesi terhadap Kinerja Auditor
Etika profesi mengarahkan anggota dalam memenuhi tanggung
jawab professionalnya. Prinsip ini meminta komitmen auditor yang
memenuhi prinsip etika profesi. Etika profesi mampu memberikan rasa
tanggungjawab yang tinggi terhadap pekerjaannya serta hubungan
kerjasama yang baik terhadap rekan kerja. Rasa tanggung jawab membuat
auditor berusaha menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dan
berkualitas.
Dalam menjalankan profesinya akuntan publik dituntut untuk
memiliki prinsip dan moral, serta perilaku etis yang sesuai dengan etika.
Kompetensi auditor tidak hanya dilihat dari segi teknis tapi juga dari segi
etika (Cathy dan Christine, 2011). Menurut Halim (2008:29) etika profesi
meliputi suatu standar dari sikap para anggota profesi yang dirancang agar
sedapat mungkin terlihat praktis dan realitis, namun tetap idealistis.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mendukung profesionalitas akuntan
dalam melaksanakan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat yaitu
dengan disusun dan disahkannya Kode Etik Ikatan Akuntan Publik
Indonesia (IAPI), aturan etika Kompartemen Akuntan Publik, Standar
Profesi Akuntan Publik (SPAP) dan Standar Pengendalian Mutu Auditing
yang merupakan acuan yang baik untuk mutu auditing (Jati, 2009).
Prinsip-prinsip etika yang dirumuskan Ikatan Akuntan Publik Indonesia
55
(IAPI) dan dianggap menjadi kode etik perilaku akuntan Indonesia adalah
(1) tanggung jawab, (2) kepentingan masyarakat, (3) integritas, (4)
obyektifitas dan independen, (5) kompetensi dan ketentuan profesi, (6)
kerahasiaan, dan (7) perilaku profesional.
Menurut (Dinata, 2013) etika profesi berpengaruh positif terhadap
kinerja auditor dan menurut (Gabritha Floretta, 2014) etika profesi
berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor pada KAP di Jakarta.
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
H3 : Etika Profesi berpengaruh terhadap kinerja auditor.
2.8 Kerangka Berpikir
Gambar 2.1
Kerangka Berpikir
Independensi
Auditor (X1)
Professionalisme
(X2)
(( Etika Profesi
(X3)
Kinerja Auditor
(Y)
H1
1
H2
1
H3
1
56
Kerangka berpikir adalah hasil dan sintesis teori serta kajian
pustaka yang dikaitkan dengan masalah yang dihadapi dalam perumusan
masalah penelitian ini. Kerangka berpikir dalam penelitian imi didasarkan
pada pemikiran bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia selalu
berdasarkan motivasi dan minat tertentu, yang nantinya akan
mempengaruhi kinerja individu tersebut.
Penelitian ini menggunakan teori sikap dan perilaku sebagai dasar
pemikiran. Carl Jung (1979), teori sikap memberikan tendensi atau
kecenderungan untuk bereaksi. Sikap bukan perilaku tetapi lebih pada
kesiapan untuk menampilkan suatu perilaku, sehingga berfungsi
mengarahkan dan memberikan pedoman bagi perilaku yang nantinya akan
terlihat dalam kinerja (prestasi kerja) yang merupakan suatu hasil karya
yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan
kesungguhan waktu yang diukur dengan mempertimbangkan kuantitas,
kualitas, dan ketetapan waktu. Penelitian ini mengkaji tentang
independensi, profesionalisme, etika profesi dan kinerja auditor.
Independensi auditor, professionalisme, dan etika profesi secara
parsial berpengaruh terhadap kinerja auditor, namun ada yang berpendapat
bahwa tidak semua komponen professionalisme berpengaruh terhadap
kinerja auditor, karena disebabkan oleh adanya variabel lain yang
mempengaruhi hubungan dependen dan independen.
57
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti dapat merumuskan
permasalahan yang akan diteliti, kemudian membangun hipotesis dalam
membentuk kelompok teori yang perlu dikemukakan dalam penyusunan
kerangka berpikir dalam membuat suatu hipotesis harus ditetapkan terlebih
dahulu variabel penelitiannya. Dalam penelitian ini terdapat 3 variabel dari
independensi auditor, professionalisme, etika profesi sebagai variabel
bebas, dan kinerja auditor sebagai variabel terikat yang dibentuk melalui
hasil empiris penelitian - penelitian sebelumnya. Untuk mengetahui
apakah hipotesis diterima atau ditolak, peneliti melakukan analisis regresi
berganda terhadap data - data yang telah dikumpulkan.