9
BAB II
KERANGKA TEORETIK, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
A. Deskripsi Teoretis
1. Pemecahan Masalah Matematika
a. Pengertian Matematika
Matematika merupakan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan
sehari-hari. Pada bidang apa saja, tak lepas dari ilmu matematika untuk
menyelesaikan persoalan yang ada.
Kata matematika berasal dari bahasa Latin, manthanein atau
mathema yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari”, sedang dalam
bahasa Belanda, matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang
kesemuanya berkaitan dengan penalaran.1 Berdasarkan pengertian di atas
matematika disimpulkan sebagai ilmu pasti yang membutuhkan penalaran
dalam mempelajarinya.
Menurut Susanto matematika merupakan ide-ide abstrak yang
berisi simbol-simbol, maka konsep-konsep matematika harus dipahami
terlebih dahulu sebelum memanipulasi simbol-simbol itu.2 Hal itu berarti
dalam matematika harus memahami konsep dasarnya terlebih dahulu
sebelum memanipulasi simbol.
1 Ahmad Susanto, Teori Belajar dan pembelajaran di sekolah Dasar, (Jakarta: Kencana, 2013), p.184.
2 Ibid., p.183.
10
Hudojo menyatakan bahwa matematika berkenaan dengan ide-ide
atau konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hierarkis dan
penalarannya bersifat deduktif.3 Hal ini menunjukkan bahwa matematika
merupakan konsep abstrak yang di peroleh berdasarkan logika.
Menurut Tinggih dalam Suherman dkk, Matematika adalah ilmu
pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar.4 Hal ini menunjukkan
bahwa matematika merupakan ilmu yang membutuhkan penalaran.
Ruseffendi menyatakan bahwa matematika timbul karena pikiran-
pikiran manusia, yang berhubungn dengan ide, proses, dan penalaran.5
Hal ini menunjukkan bahwa dalam matematika membutuhkan proses
pemikiran dan ide dengan cara bernalar.
Reys dalam Suherman mengemukakan bahwa, matematika adalah
telaah tentang pola dan hubungan suatu jalan atau pola berpikir, suatu
seni, bahasa dan suatu alat.6 Hal ini menunjukkan bahwa matematika
merupakan suatu pola, bahasa, dan alat.
Berdasarkan pendapat di atas disimpulkan bahwa matematika
adalah ilmu pasti yang membutuhkan penalaran, pemahaman konsep,
3 Hudojo, Mengajar Belajar Matematika, (Jakarta: Depdikbud, 1988), p.1.
4 Erman Suherman,dkk., Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA
Bekerjasama Dengan UPI,2003), p.15. 5 Russeffendi, Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika
Untuk Meningkatkan CBSA, (Bandung:Tarsito,1992), p.260. 6 Erman Suherman,dkk., op.cit., p.17
11
serta telaah terhadap suatu pola, seni, bahasa, dan alat dalam
penyelesaiannya.
b. Pengertian Pemecahan Masalah
1) Pengertian Masalah Matematika
Krulik dan Rudnick mengemukakan bahwa masalah dalam
matematika adalah situasi yang dihadapkan kepada individu atau
kelompok individu yang belum ada cara menemukan jawabannya.7
Pendapat di atas menunjukkan bahwa sesuatu disebut masalah jika
belum ada cara penyelesaiannya sedangkan sesuatu yang sudah
diketahui cara penyelesaiannya disebut latihan.
Holmes menyatakan bahwa terdapat dua kelompok soal dalam pembelajaran matematika yaitu masalah rutin dan masalah nonrutin. Masalah rutin disebut sebagai masalah penerjemahan karena deskripsi situasi dapat diterjemahkan dari kata-kata menjadi simbol-simbol. Pada masalah rutin siswa langsung dapat menyelesaikan soal dengan rumus yang sudah ada. Masalah rutin membutuhkan satu, dua, atau lebih langkah pemecahan.8 Contoh soal masalah rutin “Haniah memetik beberapa bunga di
kebunnya dan menggunakan semua bunga itu untuk membuat 3 buket
dengan 9 bunga pada setiap buketnya. Berapakah bunga yang telah
dipetik Haniah?”. Pada soal tersebut siswa dapat langsung
menyelesaiakn soal dengan prosedur yang sudah ada, yaitu siswa
7 Stephen Krulik dan Jesse A. Rudnick, Problem Solving, A Handbook For Elementary School Teachers,
(Boston: Allyn and Bacon, 1988), p.2. 8 Sri Wardhani dkk., Pembelajaran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika di SD, (Yogyakarta:
PPPPTK Matematika,2010), p.16.
12
langsung menggunakan rumus perkalian 3 buket dikalikan dengan 9
bunga pada tiap buketnya jadi bunga yang dipetik Haniah ada 27
bunga.
Adapun masalah nonrutin membutuhkan lebih dari sekedar
penerjemahan masalah menjadi kalimat matematika dan penggunaan
prosedur yang sudah diketahui. Masalah nonrutin mengharuskan
pemecah masalah untuk membuat sendiri metode pemecahannya.9
Masalah non rutin membutuhkan dua atau lebih langkah penyelesaian.
Contoh masalah non rutin “bilangan ganjil mana yang kurang dari 60
dan jumlah dari angkanya sama dengan 8?”. Pada soal di atas siswa
mencari sendiri metode penyelesaian soalnya dengan beberapa
langkah. Yang pertama siswa menuliskan terlebih dahulu bilangan ganjil
kurang dari 60, kemudian dari angka-angka yang telah didapat siswa
menentukan angka yang jumlah angkanya sama dengan 8 yaitu 17,35,
dan 53. Holmes menyatakan bahwa apapun jenis masalahnya rutin atau
non rutin tergantung pada pemecah masalah.10
Berdasarkan pendapat di atas disimpulkan bahwa dalam
matematika masalah terdiri dari dua macam yaitu masalah rutin dan
nonrutin. Masalah akan disebut rutin atau non rutin tergantung
9 Ibid., p.17.
10 Ibid., p.18.
13
kemampuan si pemecah masalah yang mengerjakan, bahwa soal itu
sering dihadapi atau jarang.
2) Pengertian Pemecahan Masalah
Polya mengemukakan pemecahan masalah sebagai usaha
mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang
tidak dengan secara mudah dapat dicapai.11 Hal ini menunjukkan bahwa
pemecahan masalah merupakan usaha mencari penyelesaian dalam
sebuah masalah yang dihadapi.
Albercht dalam Purba menyatakan pemecahan masalah adalah
keadaan suatu hal atau peristiwa yang harus diganti dengan sebuah
cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan.12 Hal ini menunjukkan
bahwa pemecahan masalah merupakan cara untuk mencari hal yang
diinginkan dalam sebuah kondisi tertentu.
Pemecahan masalah menurut Bailey dalam purba merupakan
suatu kegiatan yang kompleks dan tingkat tinggi dari proses mental
seseorang.13 Pendapat di atas menunjukkan bahwa seseorang harus
siap mental dalam proses memecahkan masalah.
Krulik dan Rudnick mengemukakan, pemecahan masalah adalah
kondisi dimana seseorang menggunakan pengetahuan,
11
Billstein, Libeskind, Lot, A Problem Solving Approach To Mathematics For Elementary School Teachers, (Boston: Pearson Education, 2010), p.2. 12
Janulis P. Purba, Pemecahan Masalah dan Penggunaan Strategi pemecahan Masalah, (artikel PJ.Purba), p.4. 13
Ibid., p.4.
14
keterampilannya serta pemahamannya untuk memenuhi tuntutan dalam
situasi yang belum dikenal.14 Lencher mengemukakan, memecahkan
masalah adalah proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh
sebelumnya kedalam situasi baru yang belum dikenal.15 Jadi
pemecahan masalah merupakan proses menuju situasi tertentu dengan
mengembangkan ilmu yang kita miliki .
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa, pemecahan masalah adalah usaha untuk mencari penyelesaian
masalah yang dihadapi berdasarkan ilmu pengetahuan yang telah
dimiliki.
3) Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah
Monks dalam Dimyati dan Mujiono mengemukakan bahwa
kemampuan adalah kesanggupan atau kecakapan untuk melakukan
sesuatu.16 Jadi kemampuan merupakan suatu kesanggupan yang kita
miliki dalam melakukan sesuatu.
Dwiyoso mengemukakan bahwa tujuan pendidikan di sekolah
bukan hanya meningkatkan perolehan pengetahuan, akan tetapi harus
dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah.17 Menurut
National Council of Supervisors of Mathematics bahwa memecahkan
14
Stephen Krulik And Jesse A. Rudnick, Teaching Reasoning And Problem Solving In Elementary School, (Boston: Allyn And Bacon,1995), p.4. 15
Sri Wardhani dkk, op.cit., p.15. 16
Dimyati dan Mujiono, Belajar Dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta,2006), p.98. 17
Janulis P. Purba, op.cit., p.1.
15
masalah merupakan prinsip dasar dalam mempelajari matematika. 18
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dikemukakan bahwa
kemampuan pemecahan masalah merupakan hal penting dalam
pendidikan di sekolah terutama dalam pelajaran matematika karena
orang yang terampil dalam memecahkan masalah akan dapat
memahami isu yang kompleks dalam masyarakat global.
Polya mengemukakan strategi pemecahan masalah sebagai
berikut : 1) Memahami masalah ; 2) Membuat rencana pemecahan
masalah; 3) Melaksanakan rencana pemecahan masalah; 4) Membuat
review atas pelaksanaan rencana pemecahan masalah.19 Jadi dalam
memecahkan masalah matematika siswa harus memahami terlebih
dahulu masalah tersebut kemudian memikirkan rencana penyelesaian,
selanjutnya menyelesaiakan masalah dengan hal yang sudah
direncanakan, dan yang terakhir mengecek kebenaran dari
penyelesaian tersebut.
Menurut National Council of Teachers Mathematic terdapat
beberapa indikator pemecahan masalah yaitu: 1) Menerapkan dan
mengadaptasi berbagai strategi yang tepat untuk memecahkan
masalah; 2) memecahkan masalah yang timbul dalam matematika dan
yang melibatkan matematika dalam konteks lain; 3) membangun
18
Bitman Simanullang dkk, Pemecahan Masalah Matematika, p.2. 19
Billstein,Libeskind,Lot, op.cit., p.3.
16
pengetahuan matematika baru melalui pemecahan masalah;
4) memantau dan mencerminkan proses pemecahan masalah
matematika.20 Berdasarkan indikator tersebut seseorang dikatakan
pemecah masalah apabila mampu menggunakan strategi yang tepat
dalam memecahkan masalah, dapat memecahkan masalah dalam
konteks apapun, dapat membangun pengetahuan baru melalui hal yang
dilakukan dalam memecahkan masalah, serta mengetahui proses
dalam memecahkan masalah.
Syudan mengemukakan 10 kriteria siswa mampu memecahkan
masalah, yaitu :
1) memahami konsep dan terminologi, 2) menelaah keterkaitan, perbedaan dan analogi, 3) menyeleksi prosedur dan variabel yang benar, 4) memahami ketidak konsistenan konsep, 5) membuat estimasi dan analisis, 6) memvisualisasikan dan menginterpretasikan data, 7) membuat generalisasi, 8) menggunakan berbagai strategi, 9) mencapai skor yang tinggi dan baik hubungannya dengan siswa lain, dan 10) mempunyai skor yang rendah terhadap kecemasan.21 Kriteria di atas menunjukkan bahwa dalam memecahkan
masalah siswa harus memahami konsep yang digunakan dalam
memecahkan masalah, mengetahui persamaan dan perbedaan yang
ada, menggunakan prosedur yang benar dari beberapa prosedur yang
20
NCTM, NCTM Standards and Indicators for Secondary Education, 2000, (https://www.wcsu.edu/math/NCTM%20Standards%20and%20indicators%20for%20secondary%20Eudcation.pdf), p.1 21
Goenawan Roebyanto dan Aning Wida Yanti, Modul Unit 2 Pemecahan Masalah Matematika, 2002, (http://pjjpgsd.dikti.go.id), p.7.
17
ada, memahami bahwa konsep yang ada dapat berubah-ubah, dapat
memvisualisasikan data dalam bentuk gambar atau yang lain, membuat
data yang ada menjadi data yang umum, dapat menggunakan berbagai
strategi dalam menyelesaiakan masalah, mempunyai hubungan sosial
yang baik dengan yang lain, serta tidak mudah putus asa. Jadi dalam
pemecahan masalah menggunakan berbagai ketrampilan yang saling
berkaitan untuk mengambil keputusan.
Krulik mengemukakan ada beberapa kriteria yang dimiliki
pemecah masalah yang baik yaitu mengetahui anatomi masalah,
mempunyai keinginan untuk menyelesaikan masalah, tidak mudah
putus asa, serta tidak takut untuk menebak.22 Berdasarkan kriteria di
atas, pemecah masalah yang baik yaitu yang mengetahui hal-hal yang
terdapat dalam masalah, mengetahui hal yang perlu diperhatikan atau
hal yang harus dihiraukan karena hanya bersifat pengecoh. Selain itu,
pemecah masalah harus mempunyai keinginan untuk mencari cara
dalam menyelesaiakan masalah, tidak mudah putus asa dalam mencari
cara, dan tidak takut dalam menebak cara dalam penyelesaian masalah
tersebut.
Berdasarkan pendapat di atas disimpulkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah matematika adalah kesanggupan yang dimiliki
siswa untuk mencari penyelesaian masalah berdasarkan ilmu
22
Stephen Krulik dan Jesse A. Rudnick, op.cit., p.6.
18
pengetahuan yang dimiliki dalam pembelajaran matematika. Indikator
kemampuan pemecahan masalah adalah: 1) Membuat representasi
masalah; 2) Memecahkan masalah di dalam konteks matematika;
3) Memecahkan masalah di dalam konteks kehidupan.
2. Metode Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
Metode Pendidikan Matematika Realistik Indonesia yang disingkat
PMRI merupakan salah satu metode pembelajaran matematika yang
berorientasi pada siswa, bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan
matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan
sehari-hari siswa ke pengalaman belajar yang berorientasi pada hal-hal
yang real (nyata).23 Menurut Van den Heuvel-Panhuizen PMRI merupakan
metode yang tidak sekedar menunjukkan adanya suatu koneksi dengan
dunia nyata tetapi lebih mengacu pada penekanan penggunaan situasi
yang bisa dibayangkan oleh siswa.24 Hal ini menunjukkan bahwa, PMRI
merupakan metode pembelajaran yang menekankan penemuan langsung
oleh siswa dengan konteks sesuatu yang bisa dibayangkan atau nyata
dalam pikiran siswa.
Metode PMRI, siswa bukan sekedar penerima yang pasif terhadap
materi matematika yang siap saji, tetapi siswa perlu diberi kesempatan
23
Ahmad Susanto, op.cit., p.205. 24
Ariyadi Wijaya, Pendidikan Matematika Realistik Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), p.20.
19
untuk menemukan matematika melalui praktik yang mereka alami sendiri.
PMRI menekankan kepada konstruksi dari konteks benda-benda konkret
sebagai titik awal bagi siswa guna memperoleh konsep matematika.25
Pendidikan Matematika Realistik diadaptasi dari Realistic
Mathematic Education (RME) pertama kali digagas oleh sekelompok
pendidik di Indonesia. Saat itu matematika merupakan pelajaran yang
ditakuti oleh para siswa, sehingga perlu diatasi agar matematika menjadi
ramah dengan siswa yaitu RME. PMRI merupakan suatu gerakan untuk
mereformasi pendidikan matematika di Indonesia.26
Sejak tahun 1990 PMRI mulai dikembangkan di Indonesia, suatu
transisi dari cara tradisional, metode yang berorientasi pada kemampuan
teknis ke arah reformasi pendidikan matematika yang berdasarkan
pemecahan masalah merupakan inovasi yang kompleks.27 Hal ini
menuntut perubahan pada sikap guru dalam mengajar dan
memperlakukan siswa.
25
Ahmad Susanto, op.cit., p.206. 26
Robert K Sembiring, “Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI): Perkembangan dan Tantangannya”, (Indonesian Mathematical Society Journal on Mathematics Education, Indonesia: Juli 2010), p.11. 27
Ibid., p.12.
20
Gravemeijer dalam Siswoyo mengemukakan tiga prinsip dasar
dalam PMRI, yaitu: guided reinvention (menemukan kembali), didactical
phenomenology, dan self-developed models.28
Prinsip yang pertama yaitu Guided reinvention, pada prinsip ini
siswa diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuan berpikir
kreatifnya untuk memecahkan masalah, sehingga menghasilkan jawaban
maupun cara atau strategi yang berbeda dan baru secara fasih dan
fleksibel.
Prinsip yang kedua yaitu didactical phenomenoology, pada prinsip
ini memberi kesempatan bagi siswa untuk menggunakan penalaran dan
kemampuan akademiknya untuk mencapai generalisasi konsep
matematika. Pada prinsip ini siswa dituntut menggunakan penalarannya
dalam menemukan konsep.
Prinsip yang ketiga yaitu self-developed models, prinsip ini
memberikan kontribusi untuk pengembangan kepribadian siswa yang
yakin, percaya diri, dan berani mempertahankan pendapat terhadap model
yang dibuat sendiri serta menerima kesepakatan atau kebenaran dari
pendapat teman lain. Prinsip ini juga mendorong kreativitas siswa untuk
membuat model sendiri dalam pemecahan masalah.
28
Tatag Yuli Eko Siswono, “Pembelajaran Matematika yang Mengembangkan Penalaran, Kreativitas, dan Kepribadian Siswa”, (Paper: FMIPA UNESA Surabaya, 2007), p.4.
21
Menurut Treffers dan Goffree, pendidikan matematika realistik
Indonesia mempunyai karakteristik: 1) Penggunaan konteks;
2) Penggunaan model untuk matematisasi progresif; 3) Pemanfaatan hasil
konstruksi siswa; 4) Interaktivitas; 5) Keterkaitan.29
Penggunaan konteks, siswa dilibatkan secara aktif melakukan
kegiatan eksplorasi permasalahan. Eksplorasi siswa tidak hanya bertujuan
untuk menemukan jawaban akhir dari permasalahan yang diberikan tetapi
juga diarahkan untuk mengembangkan berbagai strategi penyelesaian
masalah yang bisa digunakan. Penggunaan konteks bertujuan untuk
meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa dalam belajar matematika
sehingga dapat mengurangi kecemasan siswa.
Penggunaan model untuk matematisasi progresif, penggunaan
model dalam pendidikan matematika realistik, berfungsi sebagai jembatan
dari pengetahuan dan matematika tingkat konkrit menuju pengetahuan
matematika tingkat formal. Penggunaan model tidak dapat terlepas dari
proses matematisasi karena model merupakan tahapan proses transisi
level informal menuju level matematika formal.
Gravemeijer dalam Wijaya menyebutkan empat level atau tingkatan
dalam pengembangan model, yaitu :
a. Level Situasional, level paling dasar dari pemodelan di mana pengetahuan dan model masih berkembang dalam konteks situasi
29
Ariyadi Wijaya, op.cit., p.21.
22
masalah yang digunakan. b. Level Referensial, level ini model dan strategi yang dikembangkan tidak berada di dalam konteks situasi, melainkan sudah merujuk pada konteks. Siswa membuat model untuk menggambarkan situasi konteks sehingga hasil pemodelan pada level ini disebut sebagai model dari (model of) situasi. c. Level General, level ini model yang dikembangkan siswa sudah mengarah pada pencarian solusi secara matematis. Model ini disebut model untuk (model for) penyelesaian masalah. d. Level Formal, level ini siswa sudah bekerja dengan menggunakan simbol dan representasi matematis. Tahap formal merupakan tahap perumusan dan penegasan konsep matematika yang dibangun oleh siswa. 30
Pemanfaatan hasil konstruksi siswa pada metode PMRI mengacu
kepada ungkapan Freudenthal bahwa matematika bukan merupakan
produk yang siap pakai tetapi sebagai konsep yang dibangun oleh siswa
sehingga pada metode PMR siswa ditempatkan sebagi subjek belajar.31
Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi pemecahan
masalah sehingga diperoleh strategi yang bervariasi. Pemanfaatan hasil
konstruksi siswa dapat digunakan dalam karakteristik PMR lainnya yaitu
penggunaan konteks sehingga siswa dapat mengembangkan aktivitas dan
kreativitas siswa.
Interaktivitas, pemanfaatan interaksi dalam pembelajaran
matematika bermanfaat dalam mengembangkan kemampuan kognitif dan
afektif siswa secara bersamaan. PMRI juga menekankan pentingnya
interaksi sosial pada pembelajaran. Interaktivitas menekankan pada
interaksi sosial antara pembelajar untuk mendukung proses individu
30
Ibid., p.47. 31
Ibid., p.22.
23
masing-masing pembelajar. Pada interaktivitas proses yang berlangsung
tidak hanya mengajarkan pengetahuan yang bersifat kognitif, tetapi juga
mengembangkan potensi alamiah afektif siswa.
Keterkaitan, Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat
parsial, namun banyak yang memiliki keterkaitan. Melalui keterkaitan ini,
satu pembelajaran matematika diharapkan bisa mengenalkan dan
membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan.
Keterkaitan menunjukkan kepada siswa relevansi pokok pembelajaran
yang lain maupun relevansi terhadap kehidupan sehari-hari siswa.
Berdasarkan uraian di atas pendidikan matematika realistik
merupakan metode yang memungkinkan siswa menemukan sendiri
pengetahuan matematika dengan aktivitas-aktivitas mereka, dengan
mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki melalui bimbingan dari
guru. Sehingga pendidikan matematika realistik sesuai untuk
mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
3. Metode Ceramah
Metode ceramah yaitu cara menyampaikan pelajaran dengan jalan
penuturan secara lisan kepada anak didik.32 Ciri metode ceramah dalam
pelaksanaan pengajaran di kelas guru sangat dominan, siswa
mendengarkan dengan teliti dan mencatat isi ceramah yang disampaikan
oleh guru di depan kelas.
32
Syarif Hidayat, Teori dan Prinsip Pendidikan, (Tangerang: Pustaka Mandiri, 2003), p.96.
24
Kelebihan metode ceramah: 1) Bahan dapat disampaikan sebanyak
mungkin dalam jangka waktu yang singkat; 2) Guru dapat menguasai
situasi kelas; 3) Organisasi kelas lebih sederhana dan mudah
dilaksanakan; 4) Tidak terlalu banyak memakan biaya dan tenaga.33
Kekurangan metode ceramah: 1) Perhatian hanya berpusat pada
guru; 2) Siswa diharuskan mengikuti kemauan guru; 3) semua pelajaran
yang di dapat langsung di telan tanpa kritik oleh siswa.34
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa metode ceramah
merupakan metode pembelajaran yang berpusat pada guru. Siswa tidak
berperan aktif dalam pembelajaran namun hanya sebagai pendengar.
Siswa tidak bebas berpendapat dalam pembelajaran.
B. Bahasan Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian dengan variabel yang sama yaitu tentang metode
pendidikan matematika realistik yang dilakukan oleh Nurul Saidah dengan
Judul Penigkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Materi
Pecahan Melalui Metode Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI) Pada Siswa Kelas IV SD II Gribig Tahun ajaran 2013/2014.35
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa,
keterampilan guru mengelola pembelajaran, kemampuan pemecahan
33
Ibid., p.96. 34
Ibid., p.97. 35
Nurul Sadiah, “Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Materi Pecahan Melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) Pada Siswa Kelas IV SD II Gribig Tahun ajaran 2013/2014”, Skripsi, (Kudus: Universitas Muria Kudus, 2014).
25
masalah matematika, dan respon siswa dengan menerapkan PMRI pada
mata pelajaran matematika materi pecahan. Hasil dari penelitian ini adalah
terjadi peningkatan dari siklus I ke siklus ke-2 yaitu dari 73,43 menjadi
88,93.
Penelitian lain dengan variabel sama adalah penelitian yang
dilakukan oleh Fajrussathi’ dengan judul Meningkatkan Kemampuan Siswa
dalam memecahkan Masalah Melalui Metode Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia (PMRI) pada Pembelajaran Matematika Pokok
Bahasan Perkalian di Kelas III B SDIT Sultan Agung Yogyakarta.36
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa tentang perkalian siswa kelas III SD pada mata
pelajaran matematika melalui penerapan metode Pendidikan Matematika
Realistik. Hasil dari penelitian ini adalah terjadi peningkatan dari siklus I ke
siklus ke-2 yaitu dari 52,95 menjadi 66,57. Pada indikator pemecahan
masalah juga terjadi peningkatan. Pada indikator: (1) mengidentifikasi
masalah terjadi peningkatan dari 56% menjadi 77,8%; (2) merencanakan
penyelesaian masalah meningkat dari 46,43% menjadi 66,78%;
(3) menyelesaikan masalah sesuai dengan rencana meningkat dari
60,95% menjadi 66,43%; (4) mengevaluasi penyelesaian yang diperoleh
meningkat dari 29,6% menjadi 32,4%.
36
Fajrussathi’, “Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Memecahkan Masalah melalui Pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) pada Pembelajaran Matematika Pokok Bahasan Perkalian di Kelas III B SDIT Sultan Agung Yogyakarta”, Skripsi, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2010).
26
Berdasarkan hasil penelitian di atas, metode Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia diduga dapat berpengaruh terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa. Berdasarkan
dugaan tersebut akan dilakukan penelitian tentang pengaruh metode
pendidikan matematika realistik Indonesia terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa kelas V Sekolah Dasar. Adapun
perbedaan penelitian ini dari sebelumnya adalah: 1). materi mencakup
materi jarak dan kecepatan pada kelas V SD semester 1; 2). indikator
kemampuan pemecahan masalah meliputi: Membuat representasi
masalah, Memecahkan masalah di dalam konteks matematika,
Memecahkan masalah di dalam konteks kehidupan; 3). metode penelitian
yang digunakan yaitu metode eksperimen dengan 8 kali pertemuan.
C. Kerangka Berpikir
Kemampuan pemecahan masalah matematika adalah salah satu
kesanggupan yang harus dimiliki siswa untuk mencari penyelesaian dalam
sebuah masalah dengan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki
dalam pembelajaran matematika.
Guru harus menerapkan metode pembelajaran yang tepat untuk
meningkatkan kemampuan tersebut. Salah satu metode pembelajaran
yang bisa meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika
adalah pembelajaran dengan metode pendidikan matematika realistik
Indonesia yang didalamnya memuat karakteristik; penggunaan konteks,
27
penggunaan model untuk matematisasi progresif, pemanfaatan hasil
konstruksi siswa, interaktivitas, dan keterkaitan.
Penggunaan konteks, pada karakteristik ini siswa menemukan
jawaban secara mandiri. Siswa aktif dalam mengembangkan strategi
pemecahan masalah. Siswa mengembangkan strategi pemecahan
masalah sesuai dengan strategi yang dikemukakan Polya yaitu memahami
permasalahan yang dihadapi, kemudian membuat rencana pelaksanaan
dalam pemecahan masalah. Selanjutnya, siswa memecahkan masalah
yang dihadapi sesuai dengan yang telah direncanakan. Terakhir siswa
mereview hal yang telah dilaksanakan dalam pemecahan masalah.
Penggunaan model, model disini berhubungan dengan kemampuan
pemecahan masalah siswa, karena model merupakan proses transisi dari
level yang situasional menuju level formal dalam menyelesaikan masalah.
Model disini digunakan siswa sebagai cara dalam pemahaman masalah.
Siswa memahami masalah dengan cara, mengubah bahasa-bahasa dalam
masalah menjadi model matematika. Siswa mulai dengan menggunakan
pengetahuan sesuai situasi, kemudian mengembangkan pengetahuan
sesuai konteks, lalu mencari solusi dengan pengetahuan yang dimiliki, dan
yang terakhir siswa menggunakan pengetahuannya dalam simbol
matematika.
Pemanfaatan hasil konstruksi, Siswa membuat rencana pemecahan
masalah dengan mengembangkan ide-ide yang dimiliki. Siswa juga
28
mengembangkan konsep pemecahan masalah sesuai dengan prosedur
yang ada. Kreativitas yang dimiliki siswa dapat mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah siswa dalam menyelesaikan masalah
yang dihadapi.
Interaktivitas, karakteristik ini tidak hanya mengembangkan potensi
kognitif siswa namun juga potensi afektif siswa. Siswa saling berbagi
pendapat dengan cara berdiskusi dalam pembelajaran. Siswa bersama-
sama mengembangkan pemikirannya untuk menyelesaikan masalah.
Keterkaitan, Siswa mengaitkan pembelajaran terhadap pembelajaran
lain atau terhadap kehidupan sehari-hari. Siswa menyelesaikan masalah
sesuai dengan konteks kehidupan. Hal ini sesuai dengan indikator
pemecahan masalah menurut NCTM yaitu memecahkan masalah yang
timbul dalam matematika dan yang melibatkan matematika dalam konteks
lain.
Berdasarkan uraian di atas, diduga terdapat pengaruh yang
signifikan antara metode pendidikan matematika realistik Indonesia
dengan kemampuan pemecahan masalah seseorang. Hal itu dilihat dari
karakteristik metode pendidikan matematika realistik Indonesia. Apabila
pembelajaran dilaksanakan dengan metode pendidikan matematika
realistik Indonesia, maka kemampuan pemecahan masalah siswa akan
meningkat.
29
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, dapat dirumuskan hipotesis,
terdapat pengaruh yang signifikan antara metode pendidikan matematika
realistik Indonesia terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika
pada siswa kelas V di SD N Kayu Manis Jakarta Timur. Sehingga, apabila
pembelajaran dilakukan dengan metode pendidikan matematika realistik
maka kemampuan pemecahan masalah siswa akan semakin baik.