12
BAB II KAJIAN TEORI
A. Perancangan
1. Definisi Perancangan
Perancangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata
dasar rancang, yang kemudian mendapat awalan per- dan akhiran –an, yang
berarti proses, cara, perbuatan merancang, merancang segala sesuatu sebagai
bagian dari kerangka kerja (http://kbbi.web.id/perancangan, 6 Oktober 2015).
Sedangkan pengertian perancangan menurut Al-Bahra Bin Ladjamudin
dalam buku Analisis dan Desain Sistem Informasi (2005: 39) “Perancangan
adalah tahapan perancangan (design) memiliki tujuan untuk mendesain sistem
baru yang dapat menyelesaikan masalah-masalh yang dihadapi perusahaan
yang diperoleh dari pemilihan alternatif sistem yang terbaik”
(www.academia.edu, 6 Oktober 2015).
2. Proses Perancangan
Proses perancangan menurut Kotler dan Andreasen (1997) antara lain :
a. Menentukan objektif, misi dan tujuan spesifik organisasi secara luas yang
memerlukan peran pemasaran strategis.
b. Menilai ancaman dan peluang dari lingkungan luar yang dapat ditunjukkan
oleh pemasaran untuk mencapai keberhasilan yang lebih besar.
c. Mengevaluasi sumber daya serta keahlian potensial dan nyata dari
organisasi untuk mengambil keuntungan dari peluang yang ada atau
menyingkirkan ancaman yang tampak dalam analisis lingkungan eksternal.
13
d. Menentukan misi, objektif, dan tujuan spesifik pemasaran untuk periode
perencanaan yang akan datang.
e. Merumuskan strategi pemasaran pokok untuk mencapai tujuan yang
spesifik.
f. Menempatkan sistem dan struktur organisasi yang perlu dalam fungsi
pemasaran agar pelaksanaan strategi yang telah disusun dapat dipastikan.
g. Menetapkan rincian dan taktik untuk melaksanakan strategi pokok dalam
masa perencanaan, termasuk jadwal kegiatan, dan tugas tanggung jawab
tertentu.
h. Menetapkan patokan untuk mengukur hasil sementara dan hasil akhir
program.
i. Melaksanakan program yang telah direncanakan.
j. Mengatur kinerja dan mengatur strategi pokok, rincian taktis, atau
keduanya jika diperlukan (eprints.uns.ac.id, 7 Oktober 2015).
B. Tari sebagai Perwujudan Warisan Budaya Indonesia
Kebudayaan merupakan hasil budi daya manusia, bisa berupa pemikiran
filsafat, kesusastraan, dan kesenian. Seni tari merupakan salah satu bagian dari
kesenian. Beragam suku dan budaya di Indonesia memunculkan berbagai macam
tarian dengan ciri khas daerah maupun suku masing-masing, sehingga perlu dijaga
kelestariannya karena merupakan salah satu wujud dari warisan budaya Indonesia.
Seni tari merupakan ungkapan perasaan manusia yang diwujudkan dalam bentuk
gerakan. Untuk mengetahui seluk beluk tentang seni tari, maka perlu mengetahui
14
pengertian lebih mendalam mengenai definisi tari dan unsur dasar tari (N.
Supardjan & I Gusti Ngurah Suparta, 1982: 7).
1. Definisi Tari
Penentuan batasan atau dalam memberikan definisi tentang seni tari pasti
beragam berdasarkan pada pengetahuan masing-masing individu. Tari pada
dasarnya merupakan ekspresi kegembiraan manusia yang diwujudkan dalam
bentuk gerakan yang indah dipandang dan bisa dinikmati oleh diri sendiri
maupun orang lain. Berikut merupakan definisi tari menurut beberapa tokoh
seni tari dan tokoh dalam seni lain yang berkecimpung dalam dunia seni tari.
Menurut BPH Suryodiningrat seorang ahli tari dari Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam bukunya Babad lan Mekaring Joged Jawi mengemukakan
“Inkang kawastanan beksa inggih punika ebahing sadaya saranduning badan,
kasarengan ungeling gangsa, katata pika tuk wiramaning gendhing,
jumbuhing pasemon kaliyan pikajenging joged. Artinya tari adalah gerak
seluruh badan yang diiringi irama lagu musik yang diselaraskan dengan
ekspresi tariannya”. Definisi lain yang disebutkan dalam buku Pengantar
Pengetahuan Tari, yaitu “Tari adalah ekspresi jiwa manusia melalui gerak-
gerak ritmis yang indah, dikemukakan oleh Drs. Sudarsono dalam bukunya
Djawa dan Bali: Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di
Indonesia”. Ada pula seorang ahli seni dari India bernama Kamaladevi
Chattopadhyaya yang mengemukakan “Tari dapat dikatakan sebagai suatu
naluri, suatu desakan emosi dalam diri kita yang mendorong kita untuk
mencari ekspresi pada tari, yaitu gerakan-gerakan luar yang ritmis yang lama
kelamaan nampak mengarah pada bentuk-bentuk tertentu” (ibid, 17).
15
2. Unsur Dasar Tari
Unsur dasar tari yang utama adalah gerak, selain itu unsur dasar tari yang
lainnya yaitu; irama (ritme), iringan, tata busana dan tata rias, tempat, serta
tema.
a. Gerak
Gerak bisa diungkapkan dengan beragam cara, salah satunya gerak
yang mengandung unsur keindahan (sedap dipandang mata). Namun tidak
semua gerak bisa disebut sebagai gerakan tari. “Gerak yang berfungsi
sebagai materi pokok tari hanyalah gerakan-gerakan tubuh manusia yang
telah diolah dari gerak keadaan wantah menjadi suatu bentuk gerak
tertentu atau dalam istilah kesenian, gerak yang telah mengalami stilisasi
atau distorsi”.
Dari gerak yang mengalami stilisasi atau distorsi (gerak yang telah
diolah) ini maka muncul dua jenis gerak tari, yaitu gerak murni dan gerak
maknawi.
1) Gerak Murni
Gerak Murni adalah gerak tari yang merupakan hasil pengolahan
gerak wantah (gerak sehari-hari), namun tidak mempertimbangkan
pengertian atau maksud dari gerak tari tersebut. Yang dipentingkan
adalah faktor nilai keindahan gerak tarinya saja. Misalnya gerak
memutar-mutar pergelangan tangan, gerak leher seperti pacak-jangga
di Jawa, dan lain sebagainya.
16
2) Gerak Maknawi
Gerak maknawi adalah gerak wantah yang telah diolah menjadi
suatu gerak tari yang mengandung pengertian atau maksud disamping
nilai keindahan. Misalnya pada tari nelayan, banyak ragam gerakan
nelayan mendayung. Contoh lain misalnya ragam tari usap rawis yang
menggambarkan cara menata kumis, ragam tari ngilo yang berarti
seseorang sedang bercermin setelah berbusana. Tentu masih banyak
gerak ragam tari yang mengandung atau mengiaskan berbagai macam
arti (ibid, 8).
b. Irama atau Ritme
Di dalam kehidupan dunia, irama atau ritme selalu ada dan bersifat
tetap. Contoh yang paling mudah adalah matahari yang selalu terbit dari
timur di pagi hari, makin lama makin naik, berjalan dan berpindah lalu
pada akhirnya tenggelam di sebelah barat waktu sore hari. Ritme sendiri
merupakan jarak yang tetap, di sepanjang jarak ini ada daya naik dan
turun. Sehingga ritme bisa disimpulkan sebagai pola waktu yang
memberikan kehidupan (www.spectradancestudio.wordpress.com, 22
September 2015).
c. Iringan
Tari merupakan gerak yang ritmis, untuk memperkuat dan
memperjelas gerak ritmis dalam sebuah tarian diperlukan iringan. Iringan
tersebut berupa suara atau bunyi-bunyian. Bangsa primitif menari dengan
teriakan-teriakan sebagai iringan. Lalu berkembang selain teriakan diiringi
dengan tepukan tangan, misalnya pada Tari Seudati dari Aceh. Selanjutnya
17
di Indonesia berkembang berbagai macam alat bunyi-bunyian sesuai
dengan tingkat perkembangan masing-masing daerah.
Di Pulau Jawa dan Bali, tarian telah diiringi oleh satu unit instrumen
pengiring lengkap yang disebut dengan gamelan. Dalam seni tari, iringan
ini berfungsi sebagai penguat atau pembentuk suasana, misalnya iringan
untuk tari perang, untuk mengiringi seorang pahlawan yang gugur, untuk
adengan percintaan, untuk tari pemujaan, dan lain sebagainya
(www.spectradancestudio.wordpress.com/2012/09/02/unsur-dasar-seni-
tari/, 22 September 2015).
d. Tata Busana dan Tata Rias
Tata busana dan tata rias di dalam seni tari mempunyai peranan untuk
memperkuat peran dan karakter. Untuk busana dan tata rias peran wanita
disusun tersendiri, berbeda dengan busana dan riasan untuk putra. Bagi
putra masih dibedakan berdasarkan karakternya, misal untuk peran Alusan
akan berbeda tata busana dan riasannya dengan peran Gagahan atau
Dugangan. Dalam peran Gagahan sendiri satu dengan yang lain masih
dibedakan pula (N. Supardjan & I Gusti Ngurah Suparta, 1982: 73).
Sedangkan tata rias, selain sebagai penguat perwatakan atau karakter
dan keindahan, juga yang perlu diketahui bahwa riasan ini akan dinikmati
jarak jauh. Misalnya dalam memperjelas wajah, maka garis mata, garis
alis, dan mulut harus dibuat tebal, hal ini bertujuan agar penonton tetap
bisa melihat wajah penari meskipun dari jarak yang cukup jauh (ibid, 15).
18
e. Tempat
Kegiatan tari selalu dilakukan di suatu tempat yang khusus.
Berkembangnya kebudayaan manusia hingga sekarang maka terbentuklah
suatu tempat khusus yang dipergunakan untuk pergelaran atau pentas,
semisal berbentuk arena, lingkaran maupun pendapa. Ada pula tempat
pertunjukan berbentuk proscenium (sebuah tempat pertunjukan di mana
penonton dengan yang ditonton dibatasi dalam suatu bingkai). Pertunjukan
seni tari sebagai tontonan melibatkan dua pihak yaitu penari dan para
penonton, sehingga tempat untuk penari harus mempunyai penerangan
lampu yang cukup dan tata suara (sound system) yang baik (ibid, 16).
f. Tema
Tema dapat diangkat dari berbagai sumber, misalnya tema yang
diangkat dari manusia, bisa berupa kegiatan sehari-hari, kisah, dan
pengalaman hidup. Bisa juga berasal dari legenda, mitos, atau sejarah.
Tema tentang flora atau dunia tumbuh-tumbuhan misalnya Tari Tani, Tari
Minta Hujan, Tari Kumbang Sari. Tema yang berasal dari fauna atau dunia
binatang misalnya Tari Kijang, Tari Burung, Tari Kelinci, dan sebagainya.
Sedangkan yang diangkat dari alam semesta bisa berupa Tari Ombak, Tari
Api, dan lain-lain. Biasanya tema yang diambil disesuaikan dengan
keadaan alam sekitarnya dan kondisi masyarakat sesuai zamannya (ibid,
15).
3. Perkembangan Tari Tradisional di Indonesia
Pada abad sebelum bangsa Hindu datang, nenek moyang bangsa
Indonesia telah mendiami beberapa wilayah yang tersebar antara pulau-pulau
19
di Indonesia. Sejak mereka hidup berkelompok kecil hingga kelompok besar,
tari telah mendapat tempat sesuai kepercayaan, yaitu tari sebagai media
upacara semenjak bayi lahir, mulai turun ke bumi, perkawinan, bahkan sampai
upacara kematian.
Pada zaman kehidupan berburu, orang-orang menari sebelum mereka
berangkat untuk mencari binatang buruan. Setelah mengetahui dunia pertanian
dan peternakan, mereka menarikan tarian kesuburan seperti tari minta hujan.
Selain itu, bentuk dan tema tarian lain dari nenek moyang bangsa Indonesia
antara lain tari pengobatan, tari inisiasi, tari perang, dan tari senjata. Sesuai
perkembangan kecerdasannya, mereka menari berdasar atas ekspresi jiwa
hanya dengan menggunakan intuisi, belum ke tingkat rasional. Gerakannya
masih sangat sederhana, berupa depakan kaki dan lambaian lengan dikuatkan
dengan ekspresi wajah.
Kedatangan bangsa Hindu di Indonesia cukup banyak membawa
perubahan di berbagai bidang. Di bidang seni tari mereka telah memiliki
patokan atau standar, terbukti dari adanya buku khusus yang berisi penjabaran
masalah tari. Buku tarinya berjudul Natya Sastra Sedang pengarangnya yaitu
Bharata Muni. Dalam buku ini ada penjabaran tentang mudra (sikap tangan),
beberapa dipilih nenek moyang bangsa Indonesia dan masuk dalam tarian.
Sikap tangan yang dimaksud antara lain ngruji atau ngryung, ngiting,
nyempurit, dan ngepel. Di Indonesia mudra ini tidak diberi arti khusus, dalam
tarian Indonesia hanya diambil karena keindahan bentuk atau motif tangan
yang menarik.
20
Bentuk pemerintahan kerajaan di Indonesia telah mulai sejak abad IV,
maka timbul tarian-tarian yang sesuai dengan kerajaan di Indonesia. Di dalam
kerajaan tari berkembang cukup baik, tari mendapat pengelolaan khusus,
dukungan dari berbagai kalangan masyarakat, sumber dana, serta fasilitas dari
raja. Perkembangan lebih lanjutnya tentang tari kembali pada masyarakat luas.
Tampak dari adanya gaya Tari Sunda yang pada awalnya berkembang di
lingkungan Keraton Cirebon, namun kemudian telah berkembang pada
masyarakat Jawa Barat secara umum dan akhirnya dikenal dengan nama Tari
Sunda (ibid, 63-67).
4. Perkembangan Tari Tradisional di Jawa Tengah
Pada abad ke VI sampai abad IX, pusat kerajaan yang mulanya di Jawa
Barat berpindah ke Jawa Tengah. Pada awal zaman ini terkenal sebuah
kerajaan yang bernama Kerajaan Mataran Hindu dengan raja yang bernama
Sanjaya. Masa ini juga banyak peninggalan budaya seperti Candi Kalasan,
Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Prambanan, Candi Sari, dan beberapa
candi di dataran tinggi Dieng.
Cabang kesenian di masa ini juga telah maju dan berkembang, tampak
dari relief-relief candi yang menggambarkan seseorang atau berkelompok
melakukan kegiatan tari. Dalam relief juga tampak adanya alat-alat pengiring,
seperti cengceng, alat tabuhan seperti saron, alat gesek seperti rebab, serta
seruling. Dalam pose gerak tarinya ada yang gerakan yang jauh berbeda
dengan Tari India yang sekarang kita lihat, hal ini membuktikan bahwa nenek
moyang bangsa Indonesia telah memiliki gaya tari sendiri sebelum kedatangan
21
agama Hindu atau Budha. Pengaruh dari tari India pasti ada, tetapi
penambahan gerakan yang diambil juga diplih secara selektif.
Pada abad X pemerintahan dari Jawa Timur pindah ke Jawa Tengah lagi.
Cabang-cabang kesenian di kerajaan Mataram mendapat perhatian luas,
Terbukti dengan disusunnya buku Sastra Gending yang berisi tentang
tuntunan cara hidup yang baik bagi orang Jawa. Kemudian pada abad XVII
kerajaan pindah ke Kartasura, muncul perjanjian Giyanti karena adanya
peristiwa politik. Kerajaan Mataram Jawa Tengah pecah menjadi dua,
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dari sinilah mulai
berkembang dua gaya tari, yakni tari klasik gaya Yogyakarta dan tari klasik
gaya Surakarta. Dalam dua kerajaan ini, tari Jawa dibina dan dikembangkan,
semua unsur dalam tari mendapat perhatian yang jauh lebih baik dan kokoh
(ibid, 68).
5. Tari Daerah Surakarta
Perjanjian Giyanti tahun 1755 sebagai awal timbulnya Tari Jawa gaya
Surakarta. Dalam perjanjian Giyanti Kerajaan Mataram pecah menjadi dua
Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, namun pemecah belahan
ini masih berlanjut. Kasultanan Yogyakarta pecah lagi menjadi Kasultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman, sedangkan Kasunanan Surakarta
pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran.
Pada bidang seni tari, keempat daerah tersebut sebetulnya mempunyai
ciri khusus, namun jika dilihat sepintas, terasa hanya ada dua gaya tari, yaitu
gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta. Kasultanan Yogyakarta masih berusaha
melestarikan dan mempertahankan gaya tari peninggalan nenek moyang, di
22
sisi lain Kasunanan Surakarta selain melestarikan juga merubah dan
menambah di beberapa bagian tari sehinga menjadi lebih menarik jika
dibandingkan dengan tari gaya Yogyakarta.
Paku Alaman dan Mangkunegaran juga melakukan proses asimilasi
dalam bidang tarinya. Hal ini juga dianggap sebuah usaha untuk menemukan
ciri khasnya masing-masing. Perkembangan yang lebih luas di kalangan
masyarakat adalah gaya Surakarta yang berasal dari Kasunanan. Gaya
Kasunanan ini juga selanjutnya dijadikan gaya baku untuk tari gaya Surakarta,
bahkan menjadi bidang studi untuk pelajaran tari, baik secara formal maupun
informal (ibid, 85-86).
Tari Surakarta sendiri masih bisa diklasifikasikan lagi menjadi tiga, yaitu
tari Surakarta menurut jenisnya, tari Surakarta menurut bentuknya, dan tari
Surakarta menurut fungsinya. Dari tiga klasifikasi tersebut, akan sedikit
dijelaskan tentang pembangian tari Surakarta berdasarakan fungsinya.
Tari Surakarta menurut fungsinya dibagi menjadi tiga, yaitu tari untuk
upacara, tari hiburan pergaulan, dan tari untuk pertunjukan. Perkembangan
selanjutnya tari Surakarta dijadikan bidang studi baik lembaga formal maupun
non formal.
a. Tari Upacara
Tari Upacara tentu berkaitan dengan adat dan agama, terlebih untuk
istana yang masih berpegang pada upacara adat. Contoh tari upacara, yaitu
Tari Bedaya Ketawang dan Tari Srimpi Sangupati.
23
b. Tari Hiburan Pergaulan
Manusia juga membutuhkan hiburan untuk memenuhi kebutuhan
kebahagiaan batin dalam hidupnya, hiburan bisa diwujudkan dalam bentuk
tari. Salah satu contoh tari hiburan, misalnya Tari Tayub.
c. Tari Pertunjukan
Tari yang berfungsi untuk pertunjukan harus mempunyai nilai artistik
yang tinggi, sehingga pola garapannya harus teliti berdasarkan ketentuan
pola garapan dalam koreografi. Yang termasuk tari pertunjukkan, misalnya
Tari Bondan, Tari Gambyong, Tari Gatutkaca Gandrung, Tari Gambir
Anom, dan lain sebagainya (ibid, 95-97).
C. Tari Bondan
1. Tari Bondan sebagai Salah Satu Tari Daerah Surakarta
Telah diuraikan dalam sub bab sebelumnya bahwa ada beragam Tari
daerah Surakarta, yang dijabarkan menurut fungsinya. Ada tiga tari daerah
Surakarta menurut fungsinya, yaitu tari upacara, tari hiburan, dan tari
pertunjukan. Tari Bedaya Ketawang dan Tari Srimpi Sangupati termasuk
dalam tari upacara, kemudian Tari Tayub merupakan contoh tari hiburan,
sedangkan Tari Bondan, Tari Gambyong, Tari Gambir Anom, dan Tari
Gatutkaca Gandrung termasuk dalam tari pertunjukan.
Tari Bondan merupakan salah satu tari pertunjukan yang berasal dari
Surakarta. Tari Bondan masuk dalam tari pertunjukan karena memiliki bobot
yang mantap dari segi artistiknya. Tari ini dibawakan oleh anak perempuan
24
maupun gadis dewasa yang menari sambil menggendong boneka bayi mainan
dan membawa payung terbuka. Pada saat-saat tertentu penari harus naik dan
menari di atas kendhi, namun kendhi tidak boleh pecah. Terkadang pada akhir
tarian kendhi dipecah untuk menunjukkan bahwa kendhi tersebut tidak berisi
apapun, namun ada juga versi dimana kendhi tidak dipecah (ibid, 97).
Pada tahun 1960-an, Tari Bondan merupakan tarian wajib bagi gadis
cantik atau kembang desa di suatu wilayah untuk menunjukkan siapa jati
dirinya. Tingkat kesulitan dari Tari Bondan cukup tinggi, karena selain menari
mengikuti iringan sambil membawa property, penari juga harus punya
keseimbangan yang bagus pada waktu naik di atas kendhi. Jenis Tari Bondan
yang dibawakan penari biasanya Bondan Cindogo dan Mardisiwi, penari
memakai kain wiron, memakai jamang, memakai baju kutang atau kemben,
dengan rambut di-sanggul, menggendong boneka bayi, memanggul payung,
dan membawa kendi. Untuk Tari Bondan jenis ini menggunakan ragam tari
merawat bayi, karena terinspirasi dari kegiatan harian seorang ibu dari mulai
menggendong bayi, menyuapi, memandikan, meninabobokan bayi, sampai
mencuci dan menjemur pakaiaan (www.ciputranews.com, 23 September
2015).
Ada pula jenis Tari Bondan yang tidak menggunakan boneka, payung,
dan kendhi. Saat pentas, penari mengenakan kostum seperti gadis desa petani,
yakni memakai caping, menggendong bakul atau tenggok, dan memakai
kebaya lengan panjang. Pertama mereka menari memperagakan bagaimana
menggarap sawah kemudian satu persatu kostum luar dilepas sehingga
nampak pakaian dalam (kemben atau baju kutang) seperti pada Tari Bondan
25
yang menggunakan kendhi. Setelah itu para penari pun menari layaknya
gerakan Tari Bondan, tarian ini disebut Tari Bondan Pegunungan atau Bondan
Tani (http://bayumusty.blogspot.com, 23 September 2015).
2. Jenis Tari Bondan
Tari Bondan bisa dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu Tari Bondan
Cindogo, Tari Bondan Mardisiwi, dan Tari Bondan Pegunungan atau Bondan
Tani.
a. Tari Bondan Cindogo
Tari Bondan Cindogo secara umum sama dengan jenis Tari Bondan
lain, yaitu mengisahkan seorang ibu yang merawat bayinya dengan sangat
hati-hati dan penuh kasih sayang. Namun terselip kesedihan dalam tarian
ini, karena satu-satunya anak yang ditimang pada akhirnya meninggal,
sehingga pada tarian ini lebih kental akan nuansa sedih seorang ibu
(www.academia.edu/11192372/tari_bondan, 23 September 2015).
b. Tari Bondan Mardisiwi
Tari Bondan Mardisiwi pun juga tidak jauh berbeda, menggambarkan
cerita yang sama, yaitu seorang ibu yang merawat bayinya dengan hati-
hati dan penuh kasih sayang. Bedanya pada Tari Bondan Mardisiwi, anak
atau bayi yang dirawat tidak meninggal (dokumen.tips/documents/sen-
bud.html, 24 September 2015).
c. Tari Bondan Pegunungan atau Bondan Tani
Tari Bondan Pegunungan atau Bondan Tani juga salah satu jenis Tari
Bondan, gerakan intinya sama yaitu menggambarkan seorang ibu yang
merawat bayi dengan penuh kasih sayang. Namun pada awal tariannya
26
mengisahkan seorang gadis pegunungan atau gadis desa yang asik
menggarap sawah (bertani). Properti yang digunakan pun layaknya gadis
desa yang akan pergi ke sawah, yaitu mengenakan kebaya lengan panjang,
memakai caping, membawa bakul atau tenggok, dan alat pertanian
lainnya. Kemudian satu persatu kostum luar dilepas membelakangi
penonton, hingga tampak kostum bagian dalam seperti wajarnya kostum
untuk Tari Bondan, barulah penari menarikan Tari Bondan (N. Supardjan
& I Gusti Ngurah Suparta, 1982: 97).
3. Properti Tari Bondan
Properti tari merupakan perlengkapan yang digunakan oleh penari pada
waktu pentas. Dalam Tari Bondan secara umum ada tiga buah property yang
digunakan saat menari, antara lain boneka bayi, payung yang terbuka, dan
kendhi. Namun pada jenis Tari Bondan Pegunungan atau Bondan Tani juga
menggunakan properti bakul (tenggok), caping, dan alat pertanian lain.
Properti boneka bayi sebagai gambaran dari anak atau bayi yang baru
lahir. Saat menarikan Tari Bondan, penari menggendong boneka bayi tersebut
sebagai lambang bahwa sudah menjadi tugas seorang ibu untuk mengurus
anaknya. Penari juga membawa properti berupa payung yang terbuka. Di
kehidupan sehari-hari payung berfungsi untuk melindungi orang dari hujan
maupun teriknya matahari. Demikian pula dalam Tari Bondan, payung yang
terbuka dimaksudkan untuk melindungi anak tersebut, bisa juga diartikan
untuk melindungi keluarga. Penjabaran yang lebih luas mengenai payung yang
terbuka mungkin bisa terwakili dengan kata kesejahteraan. Sedangkan kendhi
dalam Tari Bondan melambangkan urusan dapur atau rumah tangga yang juga
27
harus diurus oleh perempuan atau lebih tepatnya seorang ibu (http://aloe-
fera.blogspot.ca/2013/11/analisis-peran-perempuan-jawa-pada-tari).
4. Makna Tari Bondan
Makna secara umum atau keseluruhan dari Tari Bondan, yaitu
menggambarkan seorang ibu yang sedang merawat bayi atau anak yang baru
dilahirkannya dengan sangat hati-hati dan penuh kasih sayang. Gerakan Tari
Bondan juga menggambarkan aktifitas keseharian perempuan desa yang
kompleks.
Penari menggendong boneka bayi, membawa payung terbuka, pada Tari
Bondan Tani penari juga memanggul bakul (tenggok) dan memakai caping.
Pada Tari Bondan Tani, penari juga menari layaknya orang yang akan
menggarap sawah, kemudian menarikan ragam gerakan merawat bayi, lalu
pada puncaknya penari juga naik diatas kendhi dan tidak boleh pecah
sedikitpun. Gerakan tersebut menunjukkan begitu banyak tugas yang diemban
oleh perempuan Jawa pada masa itu dan sulitnya perempuan dalam
melaksanakan tugasnya. Terlebih lagi ketika seorang ibu mempunyai anak,
selain tugas rumah tangga juga harus merawat dan mendidik buah hatinya. Hal
ini juga menjelaskan bahwa perempuan Jawa pada masa itu mempunyai peran
ganda dalam hal pekerjaan, selain membantu pekerjaan suami di sawah atau
ladang, juga mengurus anak dan keperluan rumah tangga (http://aloe-
fera.blogspot.ca/2013/11/analisis-peran-perempuan-jawa-pada-tari).
28
D. Buku Cerita Bergambar
Sekarang sastra tulis telah memasyarakat, bahkan di kalangan anak-anak.
Tradisi dongeng lisan mulai bergeser ke tulisan, sehingga banyak muncul buku
bacaan anak yang beraneka ragam, baik yang dibukukan maupun yang dimuat di
majalah. Untuk menarik perhatian anak-anak tentunya buku bacaan yang tersedia
dibuat semenarik mungkin, dengan gambar ilustrasi yang warna-warni dan lucu-
lucu, serta sajian teks yang tidak terlalu panjang. Melalui buku cerita bergambar,
orang tua bisa membiasakan anak mengenal tulisan hingga makin lama menjadi
lancar membaca. Adanya gambar ilustrasi yang berwarna-warni dan menarik juga
melatih imajinasi anak agar lebih mudah memahami cerita yang disampaikan
(Sugihastuti, 2013: 31-33).
1. Pengertian Buku Bergambar
Buku cerita bergambar merupakan salah satu dari berbagai ragam buku
bergambar. Menurut Rothlein (1991) dalam Jurnal Teori dan Praktik
Kependidikan PGSD, mengemukakan bahwa buku bergambar merupakan
buku cerita yang penyajiannya menggunakan teks dan ilustrasi atau gambar.
Buku tersebut ditujukan untuk anak-anak, yaitu untuk anak usia dini dan anak
usia sekolah dasar awal. Gambar dalam sebuah buku berperan penting dalam
proses belajar membaca dan menulis. Dengan menggunakan buku bergambar
yang baik bisa lebih memotivasi mereka untuk belajar, anak-anak juga
terbantu dalam proses memahami dan memperkaya pengalaman dari cerita.
Menurut Stewing (1980) masih dalam Jurnal Teori dan Praktik
Kependidikan PGSD bahwa buku bergambar adalah buku yang menyejajarkan
29
cerita dengan gambar. Sehingga kedua elemen tersebut bekerja sama untuk
membentuk sebuah cerita dengan ilustrasi gambar. Buku-buku bergambar
dimaksudkan untuk mendorong anak agar mengapresiasi buku bacaan. Untuk
menarik minat anak agar mau membaca, baik secara verbal ataupun
gambarnya haruslah menarik, jelas, dan komunikatif.
Gambar dalam cerita anak-anak juga harus sesuai dengan tema, latar,
perwatakan, dan plot dalam cerita. Begitu pula ilustrasi di dalam buku cerita
bergambar (picture story book) yang berfungsi untuk menggambarkan pelaku,
latar, dan rangkaian kegiatan untuk membangun alur cerita (plot) dari suatu
cerita. Buku bergambar yang baik dapat menjadi kesenangan atau hiburan dan
menjadi pengalaman estetik bagi anak (Jurnal Teori dan Praktik Kependidikan
PGSD, Juli 2006).
2. Jenis Buku Bergambar
Buku bergambar atau picture book dapat dibagi menjadi beberapa jenis.
Rothlein dan Meinbach (1991) membagi jenis buku bergambar menjadi lima
macam, yaitu ; 1) buku abjad (alphabet book), 2) buku mainan (toys book), 3)
buku konsep (concept book), 4) buku bergambar tanpa kata (wordless picture
book), dan 5) buku cerita bergambar (picture story book). Berikut penjelasan
tentang kelima jenis buku bergambar seperti yang telah disebutkan di atas.
a. Buku Abjad (Alphabet Book)
Setiap huruf alfabet dalam buku abjad selalu dikaitkan dengan suatu
ilustrasi atau bentuk gambar objek yang diawali dengan huruf. Ilustrasinya
harus jelas sesuai huruf kunci, gambar objeknya juga harus mudah
dikenali. Beberapa buku abjad diberikan tema khusus, misalnya
30
peternakan, kebun binatang, tumbuh-tumbuhan, transportasi, dan lain
sebagainya. Fungsi dari buku abjad sendiri adalah untuk membantu
menstimulasi anak terhadap pengenalan huruf dan membantu anak
mengembangkan kosa kata (Jurnal Teori dan Praktik Kependidikan PGSD,
Juli 2006).
b. Buku Mainan (Toys Book)
Buku-buku mainan disajikan dengan cara yang tidak biasa, misalnya
buku kartu papan, buku pakaian, buku pipet tangan, dan lain sebagainya.
Buku mainan ini bertujuan untuk mengarahkan anak-anak agar lebih
memahami teks, mengeksplorasi konsep nomor, kata bersajak, dan alur
cerita. Buku mainan dapat membantu anak-anak untuk mengembangkan
ketrampilan kognitif, menumbuhkan sikap positif terhadap membaca,
meningkatkan kemampuan berbahasa, mengembangkan sifat sosialnya,
dan bisa meningkatkan kecintaan anak terhadap buku bacaan (Jurnal Teori
dan Praktik Kependidikan PGSD, Juli 2006).
c. Buku Konsep (Concept Book)
Buku konsep adalah buku yang menyajikan konsep menggunakan
satu atau lebih contoh untuk membantu pemahaman konsep yang sedang
dikembangkan. Konsep yang ditekankan akan diajarkan melalui alur cerita
atau dijelaskan melalui repetisi (bentuk pengulangan) dan perbandingan.
Melalui konsep seperti warna, bentuk, ukuran dapat diperagakan sendiri
dengan konsep yang lainnya (Jurnal Teori dan Praktik Kependidikan
PGSD, Juli 2006).
31
d. Buku Bergambar Tanpa Kata (Wordless Picture Book)
Buku bergambar tanpa kata merupakan buku yang digunakan untuk
menyampaikan cerita melalui ilustrasi saja. Bentuk gambar tanpa kata bisa
terdapat di televisi, komik, dan bentuk visual lainnya dari komunikasi.
Alur cerita disajikan melalui gambar yang diurutkan dan tindakan juga
digambarkan dengan jelas. Buku bergambar tanpa kata bisa berupa buku
humor, buku serius, buku informasi, maupun buku fiksi. Keunggulan jenis
buku ini, bisa membantu anak mengembangkan bahasa tulis dan bahasa
lisan mengikuti gambar. Ketrampilan pemahaman juga bisa dikembangkan
saat anak mampu membaca cerita atau menangkap maksud melalui
ilustrasi (Jurnal Teori dan Praktik Kependidikan PGSD, Juli 2006).
e. Buku Cerita Bergambar (Picture Story Book)
Buku cerita bergambar yaitu buku yang memuat pesan melalui
ilustrasi dan teks tertulis. Buku cerita bergambar biasanya memuat
berbagai tema yang diangkat dari pengalaman kehidupan sehari-hari anak.
Dalam buku ini, karakter bisa berupa manusia atau binatang. Buku cerita
yang diilustrasikan dengan menarik dan ditulis dengan baik akan
memberikan kontribusi pada perkembangan sastra anak. Tentunya juga
memuat elemen sastra seperti alur cerita, struktur kata yang baik, karakter
yang baik, perubahan gaya, latar, dan tema yang menarik, sehingga
melalui buku ini, imajinasi akan berkembang dan anak mendapatkan
stimulus untuk berpikir kreatif. Selain itu juga bisa mengembangkan
komunikasi secara lisan, mengembangkan proses berpikir kognitif,
32
memacu anak untuk mengungkapkan perasaannya, dan meningkatkan
kepekaan seni (Jurnal Teori dan Praktik Kependidikan PGSD, Juli 2006).
Dalam buku cerita bergambar, tidak hanya elemen sastra yang
diperhatikan, tapi dari segi ilustrasinya pun juga harus diperhatikan.
Ilustrasi yang baik tentu mempunyai daya memuat pesan dan imajinasi
sesuai isi cerita. Estetika dari gambar-gambar yang ditampilkan harus
relevan dengan isi cerita. Di samping itu, ilustrasinya juga harus mengenai
sasaran sebagai wujud telah tersampaikannya pesan dalam cerita kepada
pembaca. Oleh karena itu, ilustrasi dalam buku cerita anak-anak sangatlah
perlu karena bisa memperjelas makna cerita (Sugihastuti, 2013: 83).
3. Manfaat Buku Cerita Bergambar
Buku cerita bergambar dapat digunakan untuk membantu anak mengenal
lingkungan dan situasi yang berbeda dengan lingkungan tempat tinggal
mereka. Melalui buku cerita bergambar anak dapat mengenali karakteristik
pelaku (baik atau buruk), mengetahui latar (waktu dan tempat terjadinya
cerita), serta situasi yang ada pada cerita. Menurut Stewing (1980) ada tiga
manfaat dari buku bergambar, yaitu:
a. Memberikan masukan bahasa pada anak-anak.
b. Dapat memberikan masukan visual pada anak-anak.
c. Dapat menstimulasi kemampuan visual dan verbal anak-anak.
Maka melalui buku cerita bergambar akan memacu reaksi anak untuk
berkomentar terhadap gambar dan cerita yang ada pada buku, baik itu orang,
benda, tempat, warna, ilustrasi atau gambar karakter, perubahan objek,
maupun perkembangan cerita dari awal hingga akhir. Dari hal tersebut akan
33
diketahui bahasa dan kebiasaan anak, sehingga orang tua bisa membantu anak
mempertajam kemampuan mereka dalam berekspresi dan mengarahkan minat
serta bakat anak (Jurnal Teori dan Kependidikan PGSD, Juli 2006).
Buku cerita bergambar juga sebagai salah satu media untuk terapi
kecerdasan anak karena bisa juga digunakan untuk mendongeng, khususnya
bagi anak yang belum bisa membaca, maka perlu peran orang tua untuk
membacakannya. Berikut beberapa manfaat lain dari buku cerita bergambar,
diantaranya :
a. Merangsang ketrampilan anak untuk berpikir secara sistematis.
b. Anak memperoleh wawasan yang lebih luas, mendapat perbendaharaan
kata, ungkapan, mengetahui watak orang, sejarah, kebudayaan, dan
sebagainya.
c. Jelajah cakrawala pemikiran anak menjadi lebih baik, lebih kritis, dan
cerdas.
d. Melejitkan daya imajinasi anak, karena sebagai dasar untuk
mengembangkan kreativitas anak.
e. Membentuk karakter anak, dengan membaca anak diharapkan bisa
membedakan baik dan buruk, lalu bereaksi mencintai kebaikan dan
membenci perbuatan buruk.
f. Menumbuhkan rasa ingin tahu dari si anak, sehingga anak banyak,
bertanya, berkomentar, dan berkeinginan untuk belajar lebih banyak.
g. Sebagai rangsangan agar anak mempunyai kepekaan emosi, kecerdasan
spiritual, dan nilai budi pekerti yang luhur (Jasmin Hana, 2011: 68-89)
34
4. Kriteria Buku Cerita Bergambar
Untuk memilih buku cerita bergambar yang baik bagi pembelajaran anak,
ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam sebuah buku cerita
bergambar dari segi isinya, menurut Rothlein (1991) antara lain :
a. Gambar harus mendukung teks.
b. Gambarnya jelas dan mudah dibedakan.
c. Ilustrasi dapat memperjelas rangkaian cerita, latar, penjiwaan, dan
karakter.
d. Anak mampu atau bisa dengan mudah mengidentifikasi karakter dan
tindakan.
e. Gaya dan ketepatan bahasa harus cocok atau sesuai untuk anak-anak.
f. Bisa menghindarkan klise.
g. Tema yang dipilih harus mempunyai kegunaan.
h. Ada ketepatan konsep yang mudah dipahami oleh anak.
i. Variasi buku yang dipilih merefleksikan keragaman budaya.
j. Buku yang dipilih juga merefleksikan berbagai gaya (Jurnal Teori dan
Kependidikan PGSD, Juli 2006).
Sedangkan dari segi fisik buku, agar buku cerita bergambar mapun
beragam buku anak lebih awet biasanya dicetak dengan kertas karton tebal.
Hal ini untuk menyiasati karena terkadang anak yang aktif bisa melakukan
berbagai kegiatan, misalnya mencorat-coret kertas dalam sebuah buku,
mungkin menjatuhkan makanan atau menumpahkan minuman (Firmanawati
Sutan, 2004: 18).
35
5. Strategi Layout Buku Cerita Bergambar
Untuk mendapatkan sebuah layout yang baik dalam membuat buku cerita
bergambar, diperlukan strategi yang tepat agar penyampaian pesan pada buku
cerita bergambar dapat terkomunikasikan pada target audience. Dalam buku
“Layout Dasar dan Penerapannya” diuraikan cara membuat layout yang baik,
yaitu :
a. Membuat konsep desain.
b. Menentukan media dan spesifikasinya.
c. Merencanakan pengorganisasian melalui thumbnails atau sketsa layout.
d. Mulai membuat desain menggunakan komputer (desktop publishing).
e. Menentukan teknik cetak yang sesuai (Surianto Rustan, 2009: 7-15).
Dalam buku cerita bergambar juga mengandung elemen-elemen layout,
seperti elemen teks, elemen visual, dan invisible elemen. Secara umum tujuan
dari elemen-elemen layout tersebut, yaitu untuk menyampaikan informasi
dengan lengkap dan tepat serta kenyamanan dalam membaca termasuk
kemudahan untuk mencari informasi yang dibutuhkan, navigasi, dan estetika
(ibid, 27).
a. Elemen Teks
Agar teks nyaman untuk dibaca dan bisa menyampaikan informasi
pada target audience, maka perlu diperhatikan dalam memilih jenis huruf
dan ukurannya termasuk jarak antar huruf, kata, baris dan lebar paragraf.
Jenis huruf harus cocok dengan tema atau kosep desainnya dan sesuai
untuk target audience. Ukuran huruf pun juga diperhatikan, misal untuk
anak yang masih dalam tahap membaca awal maka perlu ukuran huruf
36
yang sedikit lebih besar sehingga mudah dibaca. Terutama untuk judul
diberi ukuran yang besar untuk menarik perhatian pembaca. Jarak antar
huruf dan kata yang tepat juga akan meningkatkan keterbacaan teks. Lebar
paragraf juga menentukan kenyamanan membaca dan bisa ditentukan dari
ukuran huruf. Jika ukuran huruf yang digunakan besar maka lebar paragraf
bisa ditambah (ibid, 18-21).
b. Elemen Visual
Elemen visual bisa berupa foto, artworks, infographics, garis, kotak,
inzet, dan poin. Pada majalah atau buku cerita anak-anak akan lebih sering
menggunakan artworks dibandingkan dengan fotografi. Karena artworks
dapat memancing imajinasi anak sehingga cara berpikir anak akan
berkembang menjadi lebih kreatif. Artworks merupakan berbagai karya
seni (bukan fotografi), baik berupa ilustrasi, kartun, mapun sketsa. Pada
situasi tertentu bisa menyajikan informasi dengan lebih akurat juga bisa
mengandung pesan yang dalam (ibid, 56-57).
c. Invisible Elemen
Invisible elemen yang dimaksud adalah elemen yang tidak terlihat
pada hasil cetakan, namun berfungsi sebagai acuan dalam penempatan
semua elemen layout. Sehingga akan bermanfaat untuk membentuk
kesatuan (unity) dari keseluruhan layout. Yang termasuk invisible elemen
adalah margin dan grid. Margin sebagai penentu jarak antar pinggir kertas
dengan ruang yang ditempati elemen-elemen layout. Margin untuk
mengantisipasi agar layout tidak terlalu jauh ke pinggir halaman sehingga
pada waktu pencetakan tidak terpotong. Sedangkan grid adalah garis bantu
37
yang mempermudah kita untuk menempatkan elemen layout, sehingga
terjaga konsisitensi dan kesatuannya (ibid, 63-68).
Menyusun layout untuk buku cerita bergambar sama halnya
dengan menyusun layout secara umum, maka perlu diketahui tentang prinsip
dasar layout yang juga merupakan prinsip dasar desain grafis. Berikut
beberapa uraian tentang prinsip dasar layout :
a. Sequence (Urutan)
Sequence atau urutan yang dimaksud dalam prinsip dasar layout
adalah membuat prioritas dan mengurutkan dari yang harus dibaca
pertama hingga yang boleh dibaca di akhir. Sequence diperlukan agar
informasi pertama yang ingin disampaikan oleh penulis bisa langsung
terbaca, bila semua informasi sama kuatnya maka pembaca akan kesulitan
menangkap pesan yang diinginkan. Sequence dapat tercapai dengan
adanya penekanan (emphasis).
b. Emphasis (Penekanan)
Emphasis merupakan penekanan yang paling kuat sehingga terbentuk
point of interest-nya. Misalkan judul yang menjadi informasi pertama yang
harus dilihat pembaca, maka penulisan judul harus diberi penekanan.
Beberapa cara untuk memberikan emphasis atau penekanan, antara lain :
1) Ukuran yang dibuat jauh lebih besar dibanding dengan elemen layout
lainnya dalam suatu halaman.
2) Warna yang dibuat kontras atau berbeda sendiri dengan latar belakang
dan elemen lainnya.
38
3) Letakkan di posisi yang strategis atau menarik perhatian pembaca,
misal kecenderungan membaca dari atas ke bawah dan kiri ke kanan,
maka letakkan pada kiri atas.
4) Gunakan bentuk atau style yang berbeda dengan elemen di sekitarnya.
c. Balance (Keseimbangan)
Balance atau keseimbangan adalah pembagian berat yang merata pada
bidang layout, namun bukan berarti seluruh bidang harus dipenuhi dengan
elemen tetapi untuk menampilkan kesan seimbang. Bukan hanya dari tata
letak, tapi juga ukuran, warna, arah, dan lain sebagainya. Balance dibagi
menjadi dua, yaitu simetris (symetrical balance) dan asimetris atau tidak
simetris (assymetrical balance).
d. Unity (Kesatuan)
Unity atau kesatuan akan tercapai jika semua elemen desain, baik
berupa teks, gambar, warna, ukuran, posisi, style, dan lain sebagainya
saling terkait dan disusun secara tepat. Tidak hanya yang terlihat secara
fisik tapi juga pesan yang ingin disampaikan dalam konsepnya, sehingga
layout yang memiliki kesatua akan memberi efek yang kuat bagi pembaca
(ibid, 73-86).
Buku cerita bergambar yang memang ditujukan untuk anak-anak
haruslah menarik perhatian serta mudah untuk dibaca, sehingga diperlukan
desain cover buku yang juga menarik. Karena cover atau sampul buku adalah
wajah pertama yang akan dilihat oleh pembaca. Beberapa langkah untuk
membuat cover buku cerita bergambar yang menarik, yaitu :
39
a. Siapkan konsep gambar untuk sampul yang sesuai dengan tema yang
diangkat dalam cerita bergambar.
b. Tentukan font judul yang cocok atau sesuai untuk karakter buku cerita
bergambar yang akan dibuat. Sesuaikan juga dengan isi buku, bercerita
tentang apa, dan ukurannya sesuaikan agar bisa terbaca pertama kali yakni
tidak terlalu kecil tapi juga tidak terlalu besar.
c. Jika menggunakan sub judul maka siapkan pula sub judul yang sekilas
bisa menginformasikan isi buku cerita bergambar.
d. Buatlah sinopsis yang menarik, sinopsis adalah ringkasan isi buku yang
tertera pada cover belakang. Sinopsis juga menentukan apakah buku yang
dibuat akan laku di pasaran atau diminati pembaca, karena pembaca
setelah tertarik melihat cover, pasti akan membaca judul, sub judul, dan
terakhir akan membaca sinopsis dari isi buku, sehingga usahakan
ringkasan dibuat semenarik mungkin dan bisa membuat pembaca
penasaran (https://malkasmedia.wordpress.com/tag/jasa-layout-buku/, 3
Oktober 2015).
Sedangkan untuk layout bagian isi dari buku cerita bergambar perlu
memperhatikan prinsip-prinsip dasar layout seperti yang telah diuraikan
sebelumnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
a. Buku cerita bergambar biasanya menyejajarkan antara ilustrasi dengan
teks, sehingga proporsinya dibuat dengan kesan seimbang. Dan antara
elemen satu dengan lainnya harus saling berkaitan agar tercipta menjadi
satu kesatuan.
40
b. Pemilihan tipografi yang tepat untuk teks dalam buku cerita bergambar,
disesuaikan dengan tema dan target pembacanya. Untuk cerita bergambar
gunakan huruf yang sederhana dan mudah dibaca seperti jenis huruf sans
serif. Bila target pembacanya anak Sekolah Dasar kelas 1 dan kelas 2,
gunakan jenis huruf sans serif dengan ukuran 14 pt sampai 24 pt.
c. Perhatikan tingkat keterbacaan dari teks di dalam buku cerita bergambar,
baik dari jenis huruf, ukuran, warna, lebar baris, jarak antar baris, kontras,
dan sebagainya agar pembaca yang masih anak-anak nyaman dalam
membaca buku tersebut (taranokanai.blogspot.com/2012/12/cara-
membuat-layout-buku, 3 Oktober 2015).
E. Perkembangan Psikologi Anak Usia 6-7 Tahun
Masa anak-anak dimulai saat mereka melewati masa bayi, yaitu sekitar
usia 2 tahun hingga anak matang secara seksual. Menurut Elizabeth B. Hurlock
(2003), masa anak-anak masih dibagi lagi yaitu periode awal masa anak-anak
(usia 2-6 tahun) dan periode akhir masa anak-anak (usia 6 tahun sampai anak
matang secara seksual). Pada sub bab ini akan sedikit diuraikan tentang
perkembangan anak pada permulaan akhir masa anak-anak (usia 6-7 tahun)
(Elizabeth B. Hurlock, 2003: 108).
1. Perkembangan Psikologi Anak Usia 6-7 Tahun
Anak usia 6 tahun biasanya sudah dituntut untuk mulai mengikuti
pendidikan formal. Dari sisi psikologis anak usia 6-7 tahun pasti mulai
41
berbeda dengan usia dibawahnya, karena anak sudah mulai sekolah sehingga
menyebabkan pola perilaku, minat, dan nilai budi pekertinya mulai berubah.
Banyak julukan atau label yang diberikan orang tua, pendidik, maupun
ahli psikologis yang dapat mencerminkan ciri-ciri perilaku anak-anak pada
periode akhir masa anak-anak ini.
a. Usia Menyulitkan dan Tidak Rapih
Orang tua menjuluki masa ini usia menyulitkan karena anak-anak
mulai tidak menuruti perintah orang tua. Usia tidak rapih juga digunakan
orang tua untuk melabeli periode ini, karena anak-anak kurang
bertanggung jawab terhadap pakaian dan benda-benda miliknya.
b. Usia Sekolah Dasar dan Periode Kritis
Para pendidik memberikan label usia sekolah dasar, karena
diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang nantinya
digunakan untuk penyesuaian diri pada waktu dewasa dan bisa
mempelajari ketrampilan tertentu baik kurikuler maupun ekstrakurikuler.
Pendidik juga memberi pandangan masa ini adalah periode kritis, karena
anak mulai mengembangkan kebiasaan untuk mencapai prestasi (sukses,
tidak sukses, atau sangat sukses). Kebiasaan yang dimulai sejak kecil ini,
cenderung menetap hingga anak dewasa.
c. Usia Berkelompok, Penyesuaian Diri, Usia Kreatif, dan Usia Bermain
Para ahli psikologi menyebut periode ini usia berkelompok dan usia
penyesuaian diri, di mana anak-anak akan mulai mempunyai keinginan
untuk diterima dalam kelompok sehingga akan menyesuaikan diri sesuai
kelompoknya. Pada masa ini anak-anak juga akan mengembangkan
42
kreativitasnya, sehingga disebut usia kreatif. Selain itu juga disebut usia
bermain, bukan karena banyak waktu untuk bermain akan tetapi karena
luasnya minat dan kegiatan bermain anak (ibid, 146-148).
2. Perkembangan Kemampuan Membaca Anak Usia 6-7 Tahun
Dari segi kemampuan untuk membaca, anak usia 6-7 tahun masuk dalam
pembaca dasar awal. Setiap anak tingkat perkembangannya berbeda, tidak
jarang pada usia 6-7 tahun anak masih belum mahir membaca sehingga perlu
peran orang tua untuk selalu mendukung dan melatihnya. Pada awalnya, anak
membaca dengan suara keras, sehingga bisa lebih mudah dikoreksi kesalahan
bacaannya. Umumnya kesalahan terjadi pada kata-kata yang panjang atau
kata-kata yang jarang digunakan. Sedangkan kecepatan membaca dan tingkat
pemahaman mereka akan terus berkembang. Pada tahap ini, umumnya anak-
anak masih menyukai bacaan dengan tema fantasi atau dongeng, tetapi cerita
dan kalimatnya lebih panjang dari tahap sebelumnya. Anak-anak akan
menunjukkan ketertarikannya pada komik dan cerita bergambar, maka perlu
diarahkan agar anak memilih buku sesuai dengan minat mereka. Buku yang
berisi informasi dan pengetahuan sederhana juga cocok diberikan pada anak
usia ini (Firmanawaty Sutan, 2004: 28-31).
3. Perkembangan Keterampilan Anak Usia 6-7 Tahun
Beberapa keterampilan juga mulai muncul pada periode akhir masa anak-
anak, keterampilan tersebut antara lain :
a. Keterampilan menolong diri sendiri, di mana anak mulai bisa berpakaian,
makan, mandi, dan berdandan sendiri.
43
b. Keterampilan menolong orang lain, yang dimulai dari lingkungan rumah
seperti merapikan tempat tidur, menyapu, membantu orang tua, dan lain
sebagaianya.
c. Keterampilan sekolah, di sini anak mulai mengembangkan berbagai
keterampilan, misalnya menulis, menggambar, melukis, membentuk tanah
liat, menari, mewarnai, dan lain sebagainya.
d. Keterampilan bermain, anak-anak akan mulai aktif mengembangkan
ketertarikannya pada mainan yang sedikit lebih sulit. Misalnya bermain
bola, bermain sepeda, sepatu roda, dan berenang (Elizabeth B. Hurlock,
2003: 151).