9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka merupakan bagian yang akan membahas tentang uraian
pemecahan masalah yang akan ditemukan pemecahannya melalui pembahasan-
pembahasan secara teoritis. Dalam kajian pustaka, membahas tentang teori yang
akan digunakan dalam sebuah penelitian. Teori yang dipakai harus sesuai dengan
apa yang telah disampaikan dalam rumusan masalah.
2.1 Unsur Pembangun Novel
Novel sebagai karya sastra dibangun oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur
intrinsik terdiri atas tema, alur/ plot, latar/ setting, tokoh dan penokohan, sudut
pandang, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada
di luar karya sastra namun secara tidak langsung mempengaruhi bangunan/ sistem
organisme karya sastra. Unsur ekstrinsik tersebut mempengaruhi bangun cerita
sebuah karya sastra namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya (Nurgiyantoro,
2010:23). Unsur-unsur ekstrinsik antara lain latar belakang masyarakat (yang
meliputi ideologi negara, kondisi politik, kondisi sosial, dan kondisi ekonomi
yang ada dalam masyarakat), latar belakang penulis atau pengarang (meliputi
riwayat hidup pengarang, kondisi psikologis pengarang, dan aliran sastra yang
diusung pengarang), dan adanya nilai-nilai yang terkadung dalam novel (meliputi
nilai agama, sosial, moral, dan lain-lain). Secara garis besar, unsur intrinsik atau
unsur pembangun dalam novel adalah sebagai berikut:
10
2.1.1 Alur/ plot
Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2010:113) alur atau plot adalah cerita
yang berisi urutan kejadian, tiap kejadian hanya dihubungkan secara sebab-akibat,
peristiwa satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lainnya.
Dalam pengembangan alur terdapat 3 unsur yang sangat penting. Ketiga unsur
tersebut akan menentukan kualitas atau tidak berkualitasnya sebuah cerita. Ketiga
unsur tersebut antara lain peristiwa – konflik – klimaks.
Sebuah cerita mempunyai tahapan-tahapan alur yang membuat cerita tesebut
menjadi menarik dan diikuti hingga selesai. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
1) Tahapan awal
Tahapan ini disebut juga tahapan perkenalan. Tahapan ini bertujuan untuk
memberikan informasi dan penjelasan yang berkaitan dengan latar dan penokohan
meskipun hanya sebagian.
2) Tahapan tengah
Pada tahap ini menceritakan tokoh utama yang terlibat sebuah masalah dengan
individu maupun sebuah kelompok, disebut juga tahap pertikaian. Tahap ini
menampilkan sebuah pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada
tahap sebelumnya menjadi semakin meningkat dan menegangkan.
3) Tahapan akhir
Tahapan ini terjadi akibat dari konflik. Tahapan ini juga menandakan kesudahan
cerita atau bagaimana akhir/ ending dari sebuah cerita. Terdapat dua jenis ending
yakni happy ending dan sad ending. Happy ending terjadi jika tokoh protagonis
11
memenangkan perselisihan sedangkan sad ending terjadi apabila tokoh antagonis
memenangkan perselisihan.
2.1.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah istilah yang menunjuk pada individu, pada struktur fisik, badan
kasar, hakikatnya sama dengan benda-benda lain yang ada di sekitarnya. Sedangkan
penokohan atau karakterisasi adalah cara-cara pengungkapan terhadap tokoh yang
dikaitkan dengan dunia rekaan sebagai kualitas kreativitas dan imajinasi.
Pada umumnya tokoh dan penokohan dilakukan melalui pemberian nama
dengan berbagai identitasnya. Proses penceritaan pun menjadi lebih mudah dengan
adanya unsur nama tersebut. Menurut James (Wellek dan Warren, 1962:216) tokoh
dan penokohan berkaitan erat dan dengan demikian tidak bisa dipisahkan dengan
peristiwa-peristiwa. Setiap tokoh memiliki emosi, hasrat, dan perasaan-perasaan lain
sehingga perbedaan watak, karakter, cara pandang dalam menghadapi sesuatu
merupakan penyebab konflik dalam sebuah novel.
Ada tokoh yang penting, ada pula tokoh tambahan (Anurkarina, 2015:35).
Seorang tokoh yang mempunyai peranan penting dalam suatu cerita disebut tokoh
inti/ tokoh utama, sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena
pemunculannya hanya melengkapi, melayani, dan mendukung pelaku utama disebut
tokoh tambahan/ tokoh pembantu (Aminuddin, 2011:79). Meskipun dibagi menjadi
tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh-tokoh tersebut mempunyai peran dalam
membangun sebuah cerita.
12
Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan watak tokoh-tokoh dalam
sebuah cerita rekaan. Penggambaran karakter atau watak dapat dilihat dari 2 segi,
yaitu:
1) Penggambaran secara langsung
Penggambaran tokoh secara langsung adalah penggambaran tokoh secara tersurat
karena pengarang langsung menggambarkan tokohnya. Misalnya tokoh tersebut ciri-
cirinya sepertinya apa, apa pekerjaannya, dan lain-lain. Dalam penggambaran secara
langsung, seorang tokoh dapat digambarkan bertubuh tinggi, gemuk, berambut
panjang, berbaju compang-camping, dan lain sebagainya.
2) Penggambaran secara tidak langsung
Dalam penggambaran secara tidak langsung, penggambaran tokoh yang dilakukan
melalui dialog antar tokoh sehingga tersirat watak dan karakter tokohnya. Selain
melalui dialog antar tokoh, dapat pula digambarkan melalui jalan pikiran pelaku
melalui narasi, karakter pelaku melalui reaksi yang ditimbulkan saat melalui berbagai
peristiwa, dan melalui lingkungan. Perwatakan yang berbeda antar pelaku dapat
mempercepat timbulnya konflik dan konflik inilah yang berfungsi sebagai motor/
penggerak jalan menuju klimaks (Wahyuningtyas dan Santoso, 2010:7). Konflik
terjadi disebabkan oleh tokoh-tokoh yang ada dalam cerita, baik antara satu tokoh
dengan tokoh lainnya maupun antara tokoh dengan kondisi sekitarnya.
2.1.3 Setting atau Latar
Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu,
maupun peristiwa (Aminuddin, 2011:67). Dalam karya fiksi, setting atau latar dibagi
atas tiga bagian yang meliputi setting tempat, waktu, dan suasana. Latar meliputi
13
penggambaran mengenai letak geografis, kesibukan tokoh, waktu berlakunya
peristiwa, lingkungan agama, musim, dan moral si pelaku/ tokoh. Latar berfungsi
sebagai pemberi kesan realistis dan menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah
sungguh ada dan terjadi.
Latar bermacam-macam jenisnya, antara lain:
1) Latar waktu
Latar waktu menunjukkan saat di mana tokoh melakukan sesuatu pada saat
peristiwa dalam cerita sedang terjadi. Latar waktu juga berkaitan dengan latar tempat
karena kenyataannya memang saling berkaitan. Keadaan suatu yang diceritakan mau
tidak mau harus mengacu pada waktu tertentu karena tempat tersebut akan berubah
seiring berjalannya waktu. Misalnya: pagi hari, siang hari, malam hari.
2) Latar tempat
Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya sastra. Latar tempat akan berpindah-pindah sejalan dengan
perkembangan plot dan tokoh. Misalnya di sawah, di rumah, di dalam angkot, di kaki
gunung.
3) Latar suasana
Latar suasana yaitu situasi apa saja yang terjadi ketika tokoh melakukan sesuatu.
Latar suasana berupa semacam aura rasa atau emosi yang ditimbulkan dan membantu
terciptanya ekspektasi pembaca. Misalnya: sedih, gembira, mencekam, damai, sepi.
14
2.2 Antropologi Sastra
Secara etimologis antropologi berasal dari anthropos yang berarti manusia dan
logos yang berarti ilmu. Jadi antropologi berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari
manusia dan kebudayaan dalam berbagai aspeknya. Sedangkan sastra yang berasal
dari kata sas dan tra adalah ilmu untuk mengajar. Secara luas, yang dimaksud dengan
antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di dalamnya terkandung
unsur-unsur antropologi. Antropologi sastra berupaya meneliti sikap dan perilaku
yang muncul sebagai budaya dalam karya sastra. Karena disiplin ilmu antropologi
sangat luas, maka kaitannya dengan sastra dibatasi pada antropologi budaya sesuai
dengan hakikat sastra itu sendiri, yaitu sastra sebagai hasil hasil aktivitas kultural,
baik dalam bentuk benda kasar, sebagai naskah (artifact), maupun interaksi sosial
(sosifact) dan kontemplasi diri (mentifact) (Ratna, 2011:6-7).
Secara umum, antropologi sastra merupakan analisis dan pemahaman terhadap
karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan (Ratna, 2011:6-7). Antropologi
sastra merupakan suatu wadah bagi tradisi dan sastra lisan yang selama ini menjadi
wilayah perbatasan disiplin ilmu antropologi dan ilmu sastra. Hakikat antopologi
adalah fakta empiris, sedangkan sastra sebagai kelompok ilmu humaniora adalah
kreativitas imajinatif. Meskipun hakikatnya berbeda, namun keduanya memiliki
persamaan. Fakta empiris sebagai ciri utama antropologi tidak bisa melepaskan diri
dari kreativitas dan imajinatif. Pada karya sastra termasuk karya sastra yang absurd
pun berangkat dari fakta yang ada dalam masyarakat. Unsur kreasi dan imajinasi
dibangun melalui fakta-fakta yang ada dalam masyarakat. Persamaan yang lain
adalah sastra dan antropologi sama-sama merupakan upaya memahami manusia,
15
sastra dan antropologi memiliki kedekatan objek penelitian yang mengarah ke
fenomena realitas hidup manusia, sastra dan antropologi memiliki kedekatan
metodologis, artinya keduanya banyak memanfaatkan tafsir-tafsir fenomena simbolis,
sastra dan antropologi cenderung memeliharan konsep kekerabatan (trah) sebagai
simbol konteks kehidupan (Endraswara, 2013:9).
Sebagai interdisiplin, antropologi sastra memberikan dominasi terhadap hakikat
karya sastra, sedangkan ciri-ciri antropologis menduduki posisi sekunder. Ciri-ciri
karya sastra yang mengandung unsur-unsur antropologi adalah ceritanya didominasi
oleh masalah-masalah kebudayaan, khususnya kerinduan ke masa lampau. Selain itu,
ciri-ciri yang lain adalah mengandung aspek-aspek kearifan lokal dengan fungsi dan
kedudukannya masing-masing, juga berbicara mengenai suku-suku bangsa dengan
subkategorinya, seperti trah, klen, dan kasta sehingga muncul kelompok-kelompok
tertentu, misalnya masyarakat pecinan, pesantren, kampung Bali, Jawa, Papua, priayi,
santri, dan abangan.
2.3 Etika Jawa
Bertens (1993:4) menjelaskan bahwa etika menurut asal-asul kata berasal dari
kata ethos bahasa Yunani Kuno yang dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti.
Beberapa arti kata ethos yaitu tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang,
habitat; kebiasaan adat; akhlak, watak; perasaan; sikap; dan cara berpikir. Jadi, etika
menurut asal-usul kata berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan.
16
Etika Jawa terbentuk dari dua kata, yaitu “etika” dan “Jawa”. Etika sebagaimana
telah disebutkan di atas sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan
masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan
kehidupannya. Sedangkan “Jawa” di sini memiliki banyak pengertian. Bisa berarti
Pulau Jawa, orang Jawa, bahasa Jawa, dan lain sebagainya. Namun apabila berkaitan
dengan etika, maka “Jawa” yang dimaksud adalah orang Jawa.
Etika termasuk dalam falsafah Jawa bagian falsafah aksiologi. Falsafah aksiologi
adalah falsafah yang berkaitan dengan etik dan estetik (Endraswara, 2016: 47). Etika
tersebut meliputi segala hal, mulai dari manusia Jawa sebagai anggota keluarga,
masyarakat, dan negara.
Etika Jawa merupakan usaha lahir batin orang Jawa untuk mencari solusi terbaik
dalam menelusuri jalan hidup. Etika Jawa tidak terlepas dari sifat dan perilaku orang
Jawa. Orang Jawa memiliki pola hidup yang unik. Selain itu tingkah laku dan sifat
orang Jawa dalam bermasyarakat sulit dipahami bahkan tidak dapat ditebak dengan
pasti. Mereka mempunyai baik dan buruk yang khas sebagai orang Timur (Suseno
dan Reksosusilo, 1983). Sebagai orang Timur, orang Jawa masih memegang teguh
adat istiadat yang ada, menghargai orang yang lebih tua, kebersamaan dalam
hubungan lebih dipentingkan dan lain sebagainya. Orang Jawa yang ideal adalah
orang Jawa yang mendahulukan kewajibannya terlebih dahulu daripada menuntut
hak.
Orang Jawa memegang prinsip hidup seperti saiyeg saeka praya, patembayan,
pasrah. narimo ing pandum (Sofwan dalam Amin, 2000:125), manunggaling kawula-
gusti (Ciptoprawiro, 1986:28), dan sebagainya. Prinsip seperti itu menunjukkan
17
bahwa orang Jawa selalu merendah hati, sangat hormat kepada orang lain bahkan rela
berkorban apa pun demi orang lain sehingga terwujud hidup rukun dan damai
(Suseno: 1993). Jika demikian yang terjadi adalah sesuatu yang mulia dan positif.
Namun yang kurang baik apabila terjadi sebaliknya, di mana orang Jawa yang selalu
atau memang seharusnya memberi hormat di depan orang yang lebih tua atau lebih
tinggi derajatnya tapi di belakang ada dendam dan sakit hati. Karena sikap yang
demikian, orang Jawa meskipun hatinya tidak rela bahkan dendam kepada orang lain
yang lebih tua atau derajatnya lebih tinggi ia harus memberi hormat kepada orang lain
yang lebih tinggi baik dari segi usia, kedudukan, maupun derajatnya. Menurut Frans
Magnis Suseno, dalam bersosialisasi etika Jawa menanamkan dua kaidah yang paling
menentukan pola pergaulan. Kaidah pertama yaitu bahwa setiap situasi manusia
hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tdak menimbulkan konflik yang disebut
prinsip kerukunan. Sedangkan kaidah kedua menuntut agar manusia dalam cara
bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain
sesuai dengan derajat dan kedudukannya yang disebut prinsip hormat.
2.4 Prinsip Kerukunan
Adanya falsafah Jawa mengatakan madya ngono yo ngono ning ojo ngono
(Endraswara, 2016: 50) yang mengarahkan hidup orang Jawa agar bisa menyesuaikan
diri. Dengan penyesuaian diri yang tepat, maka akan tercipta kerukunan dan
keharmonisan dalam bermasyarakat. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mencegah
timbulnya konflik antar individu sehingga dapat mempertahankan masyarakat agar
dalam keadaan selaras, tenang, tenteram, tanpa perselisihan, tanpa pertentangan, dan
18
bersatu untuk saling membantu. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun
mengandung usaha terus menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu
sama lain dan untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan
perselisihan dan keresahan (Wilner dalam Suseno, 1993:39). Masyarakat Jawa
mendahulukan kerukunan sosial daripada kerukunan pribadi namun bukan berarti
bahwa orang Jawa tidak mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi, melainkan
suatu mekanisme sosial untuk mengintegrasikan kepentingan – kepentingan itu demi
kesejahteraan kelompok.
Kerukunan hidup terjadi karena masing-masing persona terjalin saling
menghormati, sopan santun terjaga, dan saling menghargai satu sama lain. Jiwa
kekeluargaan, gotong royong, dan konsep tepa selira selalu dikedepankan dalam
kehidupannya (Endraswara, 2016: 38).
1) Mawas diri dan dapat menguasai emosi.
Mawas diri merupakan sifat yang mencerminkan kesadaran akan kekurangan dan
keterbatasan diri. Mawas diri menjadi jalan yang benar menuju ke pemahaman diri,
pengarahan diri, lalu akhirnya penyadaran diri. Apabila individu tersebut sadar akan
kekurangan dan keterbatasan dirinya sendiri, maka seseorang akan lebih mudah
mempraktikkan strategi mulur mungkret dalam menentukan saat yang tepat kapan
harus menuruti atau meningkatkan keinginannya (mulur) dan kapan harus bersikap
menurunkan keinginannya (mungkret) agar lebih mudah dicapai (Pratisti dan
Prihartanti, 2012:19).
19
Dalam melatih keterampilan mawas diri, individu dapat berkonsentrasi untuk
latihan bertindak secara proporsional dalam pengertian sabutuhe, saperlune,
sacukupe, samestine, sakepenake, dan sabenere (sesuai kebutuhan, sesuai keperluan,
secukupnya, semestinya, seenaknya dan sebenarnya). Sabutuhe, saperlune dan
sacukupe artinya dapat membatasi kebutuhan hidupnya untuk tidak sampai
berlebihan. Sakepenake yaitu tanpa harus memaksakan diri (ngoyo). Sabenere dan
samestine artinya hal yang dilakukan menurut jalan lurus, benar, adil, dan susila.
Masyarakat Jawa selalu berupaya untuk tampil tenang dan tidak menunjukkan
rasa kaget atau gugup. Dalam berbicara pun orang Jawa diharapkan berbicara dengan
suara yang tenang, tanpa emosi. Bagi orang Jawa diharapkan agar dalam berbicara
dan segala tindak-tanduknya dapat diperhatikan orang lain dan berlaku sedemikian
rupa sehingga tidak menimbulkan pertentangan ataupun kontroversi. Ketika
berhubungan dengan orang lain, orang Jawa harus menjaga diri agar bertindak lebih
baik. Memikirkan pihak lain adalah sebuah hal yang penting dalam budaya Jawa
karena orang lain memiliki emosi yang kurang lebih sama dengan dirinya
(Endraswara, 2016: 2).
2) Permintaan/ tawaran tidak boleh langsung ditolak.
Orang Jawa tidak akan langsung menolak suatu permintaan atau penawaran.
Orang Jawa akan mengucapkan inggih yang berarti iya meskipun dalam keadaan
menolak. Terserah pada kehalusan perasaan si peminta untuk menemukan apakah
inggih itu merupakan suatu persetujuan, suatu pembenaran bahwa permohonannya
didengar namun tanpa komitmen untuk memenuhinya, atau bahkan suatu penolakan
20
yang tersembunyi (Suseno, 1993:42). Kata penolakan seperti mboten yang berarti
„tidak‟, tidak akan langsung diucapkan dalam penolakan.
3) Memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung.
Orang Jawa mampu membungkus dan mempersiapkan berita yang tidak
disenangi. Seringkali pembicaraan awal hanya sekedar basa-basi semata namun hal
ini bertujuan untuk saling menjajaki dan mempersiapkan diri secara emosional ketika
tengah berkomunikasi sehingga ketika pembicaraan sudah sampai pada masalah yang
sebenarnya, maka tidak ada bahaya besar lagi bahwa akan timbul reaksi-reaksi
emosional. Apabila berita yang tidak disenangi disampaikan secara langsung, maka
reaksi-reaksi emosional akan terjadi dan dapat menimbulkan „gesekan‟ antar warga
masyarakat.
4) Berpura-pura.
Sikap berpura-pura (ethok-ethok) sangat berharga demi menutup aib, dengan
harapan keselarasan dan menghindari terjadinya konflik. Ethok-ethok dapat berarti
bahwa di luar lingkungan keluarga inti orang tidak akan memperlihatkan perasaan-
perasaan yang sebenarnya. Misalnya saat mendapat kesedihan mendalam, ia
diharapkan tersenyum, apabila mendapat kunjungan dari orang yang tidak disukai,
tetap harus kelihatan gembira.
Di lain pihak, kebiasaan ethok-ethok mengandung arti bahwa tidak memberi
informasi tentang suatu keadaan yang sebenarnya (Suseno, 1993:44). Tidak memberi
informasi tentang keadaan yang sebenarnya bukan berarti berbohong. Hal ini terjadi
karena orang Jawa tidak ingin membuat konflik dengan orang lain.
21
5) Memperlakukan orang lain yang perlu dihubungi seperti anggota keluarga.
Tetangga selalu diperlakukan sebagai keluarga. Orang lain atau orang asing selalu
disapa dengan istilah-istilah dari bahasa keluarga seperti pak, bu, mbah, paklik, bulik,
dan sebagainya. Istilah-istilah itu memiliki keistimewaan bahwa di dalamnya hampir
selalu terungkap segi junior-senior. Misalnya seorang laki-laki yang lebih tua bisa
disebut mbah (kakek) atau pak, laki-laki yang sama umurnya atau sedikit lebih muda
disebut kak atau kang, sedangkan yang jauh lebih muda disebut dhik.. Seorang wanita
yang lebih tua disebut mbah atau mbok, atau bu. Memasukkan lingkungan sosial
dekat ke dalam lingkaran keluarga inti dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk
mencegah timbulnya ketegangan-ketegangan karena dalam keluarga inti terdapat
suasana kerukunan tanpa rasa tertekan.
Kerukunan merupakan motif mengapa pada kesempatan tertentu kepada anggota
keluarga besar harus dikirim makanan yang sudah masak. Selain itu, siapa yang
memiliki sawah harus mengikutsertakan tetangganya dan juga orang-orang lain dalam
panen, dan benda-benda sehari-hari seperti lampu petromaks, sepeda, kursi, atau
bahkan uang tunai kalau tidak banyak juga wajib dipinjamkan (Jay dalam Suseno,
1993:50).
6) Gotong royong.
Ada 2 maksud dalam kegiatan gotong royong, yaitu saling membantu dan
melakukan pekerjaan bersama demi kepentingan seluruh desa. Saling membantu
termasuk membantu tetangga dalam membangun rumah, dalam persiapan suatu pesta,
dan pada kesempatan-kesempatan lain tertentu. Dengan pekerjaan demi kepentingan
desa yang dimaksud misalnya pelebaran jalan, perbaikan irigasi atau bendungan,
22
pembangunan sekolah, dan ronda malam (Kodiran dalam Suseno, 1993:51). Kegiatan
semacam ini dilakukan untuk memperkecil jurang pemisah antara si kaya dan si
miskin maupun perbedaan-perbedaan yang ada.
7) Musyawarah.
Orang Jawa tidak bosan-bosan menunjuk pada keunggulan musyawarah untuk
mengambil keputusan melalui pemungutan suara. Musyawarah bertujuan agar setiap
orang bisa mengemukakan pendapatnya agar tidak diambil keputusan di mana hanya
ada satu pihak saja yang bisa unggul sehingga semua pihak dapat menyetujui
keputusan-keputusan bersama.
Dalam rembug desa di beberapa daerah terdapat kebiasaan bahwa orang-orang
desa mengungkapkan persetujuan mereka terhadap setiap keputusan dengan bersama-
sama menjawab inggih (Jay dalam Suseno, 1993:52). Pendapat-pendapat yang
berlawanan diungkapkan secara tidak langsung dan sopan, biasanya melalui sindiran
atau dengan tidak menanggapi pertanyaan yang diajukan.
2.5 Prinsip Hormat
Prinsip hormat menggambarkan sikap tokoh sebagai manusia Jawa yang selalu
menjaga dan mengupayakan kesempurnaan hidup. Akal budi yang dimiliki orang
Jawa mendorong mereka untuk menghargai harga diri orang lain. Sikap tokoh yang
mencerminkan sikap hormat yang berarti bahwa setiap orang dalam cara berbicara
dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat kepada orang lain sesuai dengan
derajat dan kedudukannya. Orang Jawa yang sadar akan kedudukan sosialnya, akan
dapat membawa diri sesuai dengan tuntutan tata krama sosial. Apabila dua orang
23
Jawa bertemu, bahasa, sikap, dan pembawaan mereka selalu mengungkapkan suatu
pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan sosial.
Pikiran pertama orang Jawa pada permulaan suatu pembicaraan adalah tingkat
kehormatan mana yang harus ditunjukkan kepada lawan bicara.
Sebagaimana telah diterangkan dalam prinsip kerukunan, orang Jawa dalam
menyapa orang lain mempergunakan istilah-istilah dari bahasa keluarga. Istilah-
istilah itu memiliki keistimewaan bahwa di dalamnya selalu terungkap segi senior-
yunior. Apabila lawan bicara memiliki pangkat sosial yang lebih tinggi dipergunakan
istilah senior, apabila pangkatnya lebih rendah mempergunakan istilah yunior.
Misalnya lelaki yang lebih tua disebut mbah (kakek), Pak, Pakde. Lelaki yang
seumuran atau sedikit lebih muda disebut kak atau kang, yang jauh lebih muda
dipanggil dhik. Wanita yang lebih tua disebut mbah atau mbok, wanita yang
seumuran dipanggil mbakyu.
Penggunaan istilah-istilah itu masih bergeser sesuai dengan kedudukan sosialnya.
Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin tua dia dalam sebutan, begitupun
sebaliknya. Apabila masih dalam hubungan keluarga maka tanpa memperhatikan
perbandingan umur yang nyata harus mempergunakan istilah dan bahasa yang sesuai
dengan hubungan generasi.
Prinsip hormat yang disebut mad-sinamadan, artinya saling menjaga harga diri itu
yang dipegang orang Jawa untuk menjaga harmonisasi sosial (Endraswara, 2016:4).
Suseno (1993:65) mengutip pandangan Hildred Geertz yang mengatakan bahwa sikap
hormat itu tercapai melalui tiga perasaan, yaitu wedi, isin, dan sungkan.
24
1) Wedi
Wedi dalam bahasa Jawa berarti takut. Takut sebagai reaksi terhadap ancaman
fisik maupun sebagai rasa takut terhadap akibat kurang enak suatu tindakan (Suseno,
1993:63). Selain itu takut merupakan suatu mekanisme pertahanan hidup dasar yang
terjadi sebagai respon terhadap suatu stimulus tertentu, seperti rasa sakit atau
ancaman bahaya.
Rasa takut memiliki 2 sumber utama, yaitu dari penglihatan adanya ancaman
yang nyata dan dari lenyapnya simbol-simbol atau tanda-tanda keselamatan (Moreno,
1977:3). Dalam jenis perasaan takut yang pertama, rasa takut yang timbul
dihubungkan secara khusus dengan suatu bahaya tertentu yang jelas ada di
hadapannya. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu ancaman yang tidak perlu lagi
dicari tandanya. Lalu dalam jenis perasaan takut yang kedua bersumber dari perasaan
jiwa seseorang yang merasa keberadaan hidupnya terancam, namun di mana letak
sebenarnya ancaman itu sulit ditemukan. Perasaan seperti itu adalah perasaan takut
yang tidak jelas obyek sasarannya namun jelas adanya. Misalnya saja kita takut apa
yang terjadi dalam gelap tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam gelap.
Selain bersumber dari perasaan jiwa seseorang, ada juga ketakutan jika
keselamatan dan alat-alat atau hal-hal yang menenangkan dan menjamin ketenangan
jiwa mendadak lenyap. Situasi semacam itu merupakan contoh rasa takut yang
disebabkan oleh kurangnya jaminan ketenangan dan keselamatan.
25
2) Isin
Isin berarti malu. Malu memiliki arti beragam, yaitu sebuah emosi, pengertian,
pernyataan, atau kondisi yang dialami manusia akibat sebuah tindakan yang
dilakukan sebelumnya, dan kemudian ingin menutupinya.
Menurut Schneider (dalam Albers, 2007), rasa malu terbagi dalam dua kategori,
yaitu rasa malu yang berhubungan dengan kehinaan (disgrace shame) dan rasa malu
yang terkait dengan kesopanan (discretionary shame). Schneider berpendapat bahwa
disgrace shame lebih diutamakan sehingga discretionary shame dapat diabaikan.
Namun keduanya tetap diperlukan oleh manusia untuk menghindarkan dirinya dari
perbuatan yang memalukan.
Menurut para penulis seperti Charles Darwin dan Nietzsche, manusia secara
kodrati memang memiliki discretionary shame dan nilainya positif dalam interaksi
manusia (Albers, 2007). Rasa malu yang berhubungan dengan kesopanan ini
memiliki fungsi positif untuk menjamin adanya kesopanan, privasi, kesusilaan, dan
kebijaksanaan. Rasa malu berfungsi untuk menetapkan batasan-batasan yang tepat
guna mencegah perilaku yang melanggar kehormatan dan integritas orang lain. Maka
dari itu orang Jawa merasa isin apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat
yang tepat kepada orang yang pantas dihormati.
3) Sungkan
Dalam kosa kata bahasa Jawa terdapat kata sungkan, namun tidak ada padanan
kata sungkan dalam Bahasa Indonesia. Sehubungan dengan tidak adanya padanan
yang sesuai dalam Bahasa Indonesia, maka sering disebut bahwa sungkan adalah
emosi yang khas yang dimiliki oleh orang Jawa. Sungkan adalah nama untuk suatu
26
keadaan di mana seseorang merasa enggan, segan juga malu, sekaligus ada rasa
hormat. Lebih singkatnya sungkan adalah malu dalam arti yang lebih positif. Hildred
Geertz (1961:114&152) menggambarkan sungkan sebagai rasa hormat yang sopan
terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal sebagai pengekangan halus terhadap
kepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain. Rasa sungkan biasanya
muncul pada saat berbicara dengan orang yang lebih tua, orang terpandang atau juga
orang yang baru saja dikenal sehingga sungkan mencegah orang melakukan
perbuatan yang tidak layak dilakukan.
Seseorang akan memiliki perasaan sungkan pada saat sudah dewasa. Dengan
sikap sungkan seseorang akan terlihat lebih sopan, baik, beretika dan membuat lebih
menarik lawan bicara saat berinteraksi. Sungkan dalam hal ini lebih mengarah pada
hal-hal yang positif, karena dapat membuat hati orang lain senang dan mempererat
hubungan dalam bermasyarakat. Sikap sungkan biasanya dilakukan oleh seseorang
ketika bertemu atau berinteraksi dengan orang yang baru dia kenal atau ketika
seseorang berkunjung ke rumah orang lain yang dihormatinya.