BAB II
DESKRIPSI OBJEK
A. POTRET YOGYAKARTA & SAMPAH VISUAL
Gambar 1.1 Ruang publik Yogyakarta (Dokumentasi oleh peneliti)
Istilah “sampah visual” pertama kali diperkenalkan oleh Jean Baudrillard.
Baudrillard menyampaikan bahwa sampah visual adalah kebiasaan para kapitalis yang
tanpa berhenti menawarkan berbagai macam produknya melalui berbagai spanduk
dan banner di pinggir jalan, maupun penayangan iklan di televisi yang dapat
menyebabkan “kelelahan” dan “ketertindasan” psikologis untuk mereka yang
menyaksikannya (Harysakti, 2013: 1-2). Melihat fakta sekarang terlihat bagaimana
pemilik merek dagang, event organizer (swasta maupun organisasi siswa &
mahasiswa), partai politik memanfaatkan ruang publik sebagai media beriklan, tanpa
menghiraukan aturan etika pariwara maupun PERDA (Peraturan Daerah) kota
Yogyakarta. Sigit Santosa (2009) menyampaikan bahwa “Media Luar ruangan adalah
semua iklan yang bisa menjangkau calon pembeli saat mereka sedang di luar rumah
atau ruangan kerja". Media luar ruangan membujuk konsumen saat mereka sedang di
tempat umum, dalam perjalanan, dalam waiting room, juga di tempat-tempat
terjadinya transaksi. Pada umumnya ruang publik bisa dimengerti sebagai bagian-
bagian seperti lingkungan hidup, kesehatan masyarakat, pendidikan masal, keamanan
dan hal hal lain yang pengadaannya bisa dikatakan sebagai tugas pemerintah (B.
Herry-Priyono, 2005: 153).
Gambar 1.2 Ruang publik Yogyakarta (Dokumentasi oleh peneliti)
Ruang publik adalah tempat maupun aset, barang, jasa, ruang, dan gugus
infrastruktur lain yang proses kerjanya menjadi tumpuan watak sosial suatu
masyarakat, sehingga masyarakat itu berevolusi dari hanya ‘kerumunan’ (crowd)
menjadi ‘komunitas’ (community) (B. Herry-Priyono, 2005: 158). Ruang publik
dalam pengertian normatif itu yang juga disebut “ruang publik politis” adalah suatu
ruang komunikasi para warganegara untuk ikut menjaga jalannya pemerintahan
(Hardiman, 2010:10- 11).
(sumber: www.facebook.com/SampahVisual/)
Tinarbuko (2012: 1) Mengutarakan bahwa sampah visual sebagai aktivitas
pemasangan iklan luar ruang yang berjenis kelamin komersial, sosial, maupun iklan
politik yang penempatannya tidak sesuai dengan regulasi. “Sampah visual” yang tidak
secepat mungkin diatasi dapat mengganggu keteraturan dan kenyamanan masyarakat
dan juga dapat menurunkan nilai estetika yang dimiliki oleh kota tersebut.
Isi dari 5 Sila Reresik Sampah Visual yang dibuat oleh Sumbo Tinarbuko adalah
sebagai berikut:
1. Iklan luar ruang tidak boleh dipasang di trotoar
2. Iklan luar ruang tidak boleh dipasang di taman kota atau Ruang Terbuka
Hijau (RTH)
3. Iklan luar ruang tidak boleh dipasang di berbagai macam tiang (listrik,
telpon, dan lain lain)
4. Iklan luar ruang tidak boleh dipasang di tembok atau bangunan heritage
5. Iklan luar ruang tidak boleh dipasang atau diikat atau dipaku di batang
pohon.
Menurut Gilson & Berkman (1980), iklan merupakan media komunikasi persuasif
yang dirancang sedemikian rupa untuk menghasilkan respon dan membantu
tercapainya objektifitas atau tujuan pemasaran. Definisi iklan menurut KBBI adalah
“berita atau pesan untuk mendorong atau membujuk khalayak ramai, agar tertarik pada
barang dan jasa yang ditawarkan.” Sedangkan menurut beberapa ahli , iklan adalah :
1. Paul Copley, advertising is by and large seen as an art – the art of persuasion –
and can be defined as any paid for communication designed to inform and/ or
persuade yang artinya iklan adalah sebuah karya seni dari persuasi dan bisa
didefinisikan sebagai desain komunikasi yang dibiayai untuk menginformasikan
dan atau membujuk. (sketsasketsa-adv.com/pengertian-iklan-menurut-para-
ahli, diakses tanggal 26/06/18, 10.29)
2. Rhenald Kasali (1992) Menyampaikan bahwa iklan secara sederhana ialah
sebuah pesan yang menawarkan suatu produk yang dimaksudkan kepada
masyarakat melalui media.
Media luar ruangan merupakan salah satu media di antara berbagai pilihan
media beriklan. Pada teori periklanan, berdasarkan media yang digunakan, iklan
terbagi menjadi dua jenis yaitu iklan cetak dan iklan elektronik (Widyatama, 2007).
Iklan cetak adalah iklan yang dibuat dan dipasang dengan menggunakan teknik cetak,
cetak dengan teknologi sederhana dan juga teknologi tinggi. Beberapa bentuk iklan
cetak yaitu : iklan cetak baliho, iklan cetak majalah, iklan cetak tabloid, iklan cetak
surat kabar, iklan spanduk, iklan leaflet, iklan cetak poster, flyers, kemasan produk,
stiker, dan bermacam iklan cetak lainnya, yang lain adalah iklan elektronik, disebut
iklan elektronik karena media yang dipakai sebagai media ditempatkannya pesan
iklan adalah karena menggunakan media yang berbasis perangkat elektronik. Iklan
elektronik dapat dibagi 4 jenis, yaitu iklan radio, iklan televisi, iklan film, dan iklan
yang dipasang dalam media jaringan atau internet. Iklan media luar ruangan adalah
iklan yang ditempatkan berada di ruang terbuka publik. Bentuk yang wajar ditemui di
Indonesia adalah stiker, poster, spanduk, baliho, videotron, dan sebagainya.
Evans dan Berman (1992) menyampaikan bahwa, “Promosi adalah segala bentuk
komunikasi yang dipergunakan untuk menginformasikan (to inform), membujuk (to
persuade), atau mengingatkan masyarakat tentang produk yang dihasilkan organisasi,
individu maupun rumah tangga”. Promosi adalah salah satu cara perusahaan melakukan
komunikasi melalui pesan-pesan yang didesain untuk menstimulasi terjadinya
kesadaran (awareness), ketertarikan (interest), dan berakhir dengan tindakan pembelian
(purchase) yang dilakukan oleh pelanggan terhadap produk atau jasa perusahaan.
Perusahaan biasanya menggunakan iklan, promosi penjualan, pengerahan tenaga-tenaga
penjualan, dan public relations sebagai alat penyampaian pesan-pesan tersebut dengan
tujuan untuk dapat menarik perhatian dan minat masyarakat (Kotler, 2003:22). Menurut
Kuncoro (2010:134) tujuan promosi dibagi menjadi tiga jenis yaitu, memberikan
informasi customer tentang produk atau fitur baru seperti menciptakan kebutuhan,
mempengaruhi customer untuk membeli merek orang lain, dan mengingatkan customer
tentang merek yang termasuk memperkuat positioning merek. Tujuan promosi
memiliki tiga unsur yaitu memberikan informasi, mempengaruhi dan mengingatkan
pelanggannya tentang perusahaan dan produk yang ditawarkan.
Iklan luar ruang di Kota Yogyakarta sudah sangat mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, dari ruang publik yang ada di Ibu Kota DIY ini, 87,5% dikuasai iklan luar ruang. Jadi, hampir sudah tidak ada ruang-ruang publik yang bebas dari iklan luar ruang ini. Tidak hanya menjadikan pemandangan kota menjadi semrawut. Status Jogja Istimewapun layak dipertanyakan. Ketua Badan Periklanan Daerah P3I DIY Fransisca Anita Herawati mengungkapkan,
di Kota Yogyakarta dalam kurun Januari–Oktober 2013 saja sudah terpasang 1.329 unit iklan luar ruang. “Kepadatan iklan di Kota Yogyakarta mencapai 87,5%. Itu yang membuat publik menjadi tidak nyaman,” ungkapnya kemarin. Tak mengherankan jika Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X pun terangterangan meminta kepada bupati dan wali kota untuk menertibkan sampah visual ini. Dia prihatin dengan maraknya reklame, khususnya di Kota Yogyakarta, yang sudah ibarat jamur di musim hujan. Sultan menegaskan, reklame mengganggu pemandangan mata. (daerah.sindonews.com, Minggu, 22/03/15)
Kepadatan iklan di Kota Yogyakarta mencapai 87,5%. Itu yang membuat
publik menjadi tidak nyaman, hal ini bukanlah hal yang baru, masalah mengenai
sampah visual sudah ada sejak lama. Menurut Tinarbuko (2012: 1) keberadaan iklan
luar ruang ini malahan menjadi berantakan dan mengganggu keberaturan dan
kenyamanan masyarakat. Sasaran penempelan reklame dilakuan pada ruang publik
dan ruang terbuka hijau di sepanjang jalan yang dianggap strategis yang
menyebabkan keberadaan ruang publik di sepanjang kota menjadi tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, hal tersebut membuat “sampah visual” bertebaran di
sepanjang taman kota, pagar, jembatan, pohon, atau bahkan di tembok bangunan
sekalipun, dinding fly over, tiang listrik, dan telepon umum juga tidak lepas dari
sasaran “sampah visual”. Hal itu semakin menjadi parah dengan kelakuan yang tidak
benar dari beberapa pihak yang tidak bersedia membayar pajak. Hak asasi warga
negara harus dipenuhi oleh pemerintah daerah yaitu adalah hak memilih untuk
melihat atau tidak melihat suatu obyek yang dihadirkan dalam ruang publik.
Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dalam memenuhi hak asasi warga
negara. Pemerintah daerah memiliki responsibilitas dalam pemanfaatan dan
pengelolaan ruang publik dan ruang beriklan, sehingga pemerintah daerah memiliki
tanggung jawab dalam melakukan pembatasan-pembatasan periklanan (Hamid dan
Budianto, 2011: 195). Mengenai sampah visual di Yogyakarta, penyumbang lainnya
adalah ketika musim kampanye Pemilihan Ketua Daerah (PILKADA) dan Pemilihan
Umum (PEMILU) dimana semua calon terpilih beserta partainya berlomba-lomba
untuk promosi dengan berbagai cara, hingga dengan cara yang termurah dimana
mereka menempelkan muka muka calon pilihan partainya di ruang publik. dengan
menempelkan poster di tembok jalanan, banner MMT di paku atau diikat di pohon,
banner yang ditancapkan di taman taman kota, dan lain lain. Acep Iwan Saidi (2011)
menulis di dalam artikelnya bahwa poster-poster politik di negeri ini adalah cermin
dari perilaku politik yang serba semrawut. Poster-poster (politik) adalah visualisasi
dari cara berpikir dan bertindak para pembuatnya yang miskin imajinasi. Beliau
menyampaikan bahwa bukannya untuk mempersuasi, poster-poster politik ini terlihat
memaksakan ambisi pribadi sang tokoh ke dalam benak masyarakat. Ini membuat
banyaknya ruang publik yang diprivatisasi demi keuntungan pribadi atau kelompok,
dimana ruang publik yang seharusnya menjadi milik publik dan kepentingan publik di
renggut oleh kepentingan pribadi atau kelompok.
Hardiman menyampaikan bahwa polis atau yang publik itu merupakan ruang
komunikasi dalam kebebasan dan kemajemukan sudut pandang, karena sebagai warga
negara (bukan sebagai anggota keluarga) individu merelatifkan persoalan-persoalan
privat mereka, sementara oikos atau yang privat adalah ruang keniscayaan yang
tunduk di bawah desakan-desakan survival manusia sebagai spesies (Hardiman, 2015:
191). Beliau menyampaikan bahwa semakin ruang publik itu bisa dijerumuskan
sebagai medium persuasi politis dan ekonomis, ruang publik itu menjadi semakin
apolitis sebagai keseluruhan dan tampak terprivatisasi (Hardiman, 2015: 196) yang
sangat mengkhawatirkan adalah ketika hal ini terjadi pembiaran, dan masyarakat
menganggapnya menjadi hal yang lumrah atau wajar beberapa hal yang akan terjadi
adalah adanya kelompok lain yang melakukan hal yang serupa karena terjadi
pembiaran, dan ini akan menjadi budaya baru.
Wardi bachtiar menyampaikan bahwa subkultur menyimpang, yaitu dimana
para anggota dari subkultur tersebut biasanya juga mengajarkan kepada anggota-
anggota barunya tentang berbagai keterampilan untuk melanggar hukum dan
menghindari kejaran agen-agen kontrol sosial (Wardi Bachtiar, 2006:108), yang
dibutuhkan adalah aksi nyata dari para agen-agen kontrol sosial seperti pemerintah
dan masyarakat itu sendiri. Menurut Lase (2003) vandalisme merupakan tindakan
atau perbuatan yang mengganggu atau merusak berbagai obyek fisik dan buatan, baik
milik pribadi maupun fasilitas atau milik umum. Tindakan yang menyebabkan
sampah sosial bisa dikatakan adalah vandalisme, dimana mereka merusak ruang
publik dengan tindakannya.
B. GERAKAN MASYARAKAT YOGYAKARTA MELAWAN SAMPAH
VISUAL
Dengan keadaan Yogyakarta yang sekarang, dibutuhkan agen-agen kontrol
sosial yang bergerak nyata memerangi sampah visual. melihat realitas itu JGS (Jogja
Garuk Sampah) hadir dan ada, JGS (Jogja Garuk Sampah) merupakan sebuah gerakan
masyarakat memerangi sampah visual di kota Yogyakarta.
Gambar 1.3 Kegiatan membersihkan sampah visual oleh JGS (Dokumentasi oleh peneliti)
JGS (Jogja Garuk Sampah) diinisiasi oleh warga Yogyakarta asli untuk kota
Yogyakarta. JGS (Jogja Garuk Sampah) memiliki beberapa program setiap
minggunya untuk "giat" (giat adalah sebutan untuk bergerak dan membersihkan
sampah visual di jalanan) di hari rabu untuk area kota Yogyakarta, dan hari jumat
untuk area Sleman, mereka mulai melebarkan titik titik yang dirasa banyak didapati
sampah visual, dan setiap bulannya mereka memiliki program andalan "ngonthel"
yaitu bersepeda mengelilingi kota untuk membersihkan sampah visual, tujuan mereka
adalah mengenalkan dan mengedukasi masyarakat untuk bergerak memerangi sampah
visual dikotanya.
Gambar 1.4 JGS beraksi (Dokumentasi oleh peneliti)
Alat alat yang biasanya mereka bawa untuk bergiat adalah cairan sabun untuk
membantu melepaskan kertas poster yang menempel di tembok atau tiang listrik dan
lampu merah, lalu serokan untuk membantu mempermudah pengambilan sampah
kertas di tembok, dan lain lain, lalu ada tang, gunting kawat, pisau, dan lain lain untuk
melepaskan baliho, spanduk yang ditempatkan ditempat yang tidak semestinya, atau
baliho dan spanduk yang memiliki ijin namun sudah habis masanya. JGS (Jogja
Garuk Sampah) memiliki grup Whatsapp untuk media berkomunikasi, dimana
anggotanya aktif melaporkan titik titik yang dirasa sudah kotor oleh sampah visual,
dan bisa dianggendakan untuk dilaksanakan "giat". Koordinator JGS (Jogja Garuk
Sampah) juga sering diundang menjadi pembicara diberbagai acara, sekolah maupun
kampus untk sharing mengenai pentingnya menjaga kebersihan ruang publik dari
sampah visual.