4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tidur
2.1.1 Definisi Tidur
Tidur adalah keadaan dimana kesadaran akan menghilang secara normal, sehingga
seseorang tidak dapat menilai dirinya sendiri maupun keadaan sekitar. Saat tidur
aktivitas korteks otak akan berkurang yang mengakibatkan kita tidak dapat merespon
stimuli dari luar layaknya pada saat kita terjaga (Fredholm, 2011).
Tidur juga merupakan aktivitas susunan saraf pusat yang berperan sebagai
lonceng biologik (Biologic clock).Segala mahluk memperlihatkan irama kehidupan
yang sesuai dengan masa rotasi dari bola dunia.Bukan hanya manusia, binatang dan
tanaman juga mempunyai irama kehidupan dalam siklus 24 jam, sebulan, tiga bulan
atau setahun.Irama yang seirama dengan rotasi bola dunia dinamakan irama sikardian
(Priguna, 2009).
Gambar 2.1 Pola EEG selama berbagai jenis tidur
a. Grafik pertama, tidur gelombang lambat,
b. Grafik kedua tidur paradoks
c. Grafik ketiga saat terjaga, mata terbuka
(Lauralee, 2016)
5
2.1.2 Patofisiologi Tidur
Tidur tidak dapat diartikan sebagai manifestasi proses de-aktivasi susunan saraf
pusat. Jadi, seseorang yang tertidur itu bukan karena susunan saraf sarafnya tidak
aktif, melainkan giat dalam mengadakan sinkronisasi terhadap neuron-neuron
substansia retikularis dari batang otak.Bagian susunan saraf pusat yang berfungsi
untuk mengadakan sinkronisasi kegiatan neuronal ialah substansia retikularis
ventrilaris medula oblongata dan dinamakan pusat tidur (Priguna, 2009).
Tidur adalah suatu proses aktif, bukan sekedar hilangnya keadaan terjaga. Tingkat
aktivitas otak keseluruhan tidak berkurang selama tidur.Selama tahap-tahap trtentu
tidur, penyerapan 02 oleh otak bahkan meningkat melebihi tingkat normal sewaktu
terjaga (Lauralee, 2016).
Terdapat dua jenis tidur, yang ditandai dengan pola EEG yang berbeda dan
perilaku yang berlainan yaitu non-rapid eye movement (Non-REM) dan rapid eye
movement (REM) (Lauralee, 2016).
2.1.2.1 Non-Rapid Eye Movement(Non-REM)
Pada Non-REM terjadi empat tahap tidur yang masing-masing tahapnya
memperlihatkan gelombang EEG yang semakin pelan dengan amplitudo yang
besar (Gambar 1). Pada permulaan tidur, seseorang berpindah dari tidur ringan
tahap 1 menjadi tidur dalam stadium 4 dalam waktu 30 hingga 45 menit (Lauralee,
2016).
a. Tahap 1
Pada tahap ini adalah tahap transisi dari kondisi sadar menjadi kabur dengan
ditandai seseorang merasa kabur dan rileks, seluruh otot menjadi lemas, kelopak
6
mata menutup dan kedua bola mata bergerak ke kana-kiri.EEG dari tahap ini
memperlihatkan penurunan voltasi dengan adanya gelombang-gelombang alfa
yang makin menurun frekuensinya (Priguna, 2009).
b. Tahap 2
Keadaan tidur masuk ke tahap kedua apabila timbul sekelompok gelombanag
yang berfrekuensi 14-18 siklus/detik pada aktifitas dasar yang berfrekuensi 3-6
siklus/detik.Gelombang-gelombang ini dikenal sebagai Sleep Spindles.Pada
tahap ini ditandai dengan kedua bola mata berhenti bergerak, suhu tubuh
menurun dan tonus otot perlahan-lahan berkurang (Priguna, 2009).
c. Tahap 3
Tahap ini, EEG memperlihatkan perubahan gelombang dasar berfrekuensi 3-6
siklus/detik menjadi 1-2 siklus/detik, yang sesekali terseling oleh timbulnya
Sleep Spindles(Priguna, 2009).
d. Tahap 4
Pada tahap ini, EEG memperlihatkan hanya irama gelombang lambat yang
berfrekuensi 1-2 siklus/detik tanpa munculnya Sleep Spindles(Priguna, 2009).
Keadaan fisik pada tahap ketiga dan keempat adalah lemah lunglai, karena tonus otot
lenyap secara menyeluruh (Priguna, 2009).
Pada tahap 3 dan 4 juga seringkali di kombinasikan karena sulit untuk membedakan
antar satu dengan yang lain. Kedua tahap ini disebut dengan tidur delta, deep sleep atau
slow-wave sleep(Lee-chiong, 2006).
2.1.2.2 Rapid Eye Movement
7
Pada akhir tiap-tiap tahap tidur Non-REM, terdapat episode tidur REM selama
10 hingga 15 menit.Pola EEG selama periode ini mendadak berubah seperti dalam
keadaan terjag, meskipun anda masih tidur lelap (Gambar 2.1) (Lauralee, 2016).
Menurut Lee-chiong (2006) terdapat 2 jenis fase REM yaitu
a. Tonic
Pada REM fase ini terjadi parlisis di hampir seluruh otot, kecuali otot jantung,
otot pernafasan dan otot spinter di sistem pencernaan (Lee-chiong, 2006).
b.Phasic
Pada REM fase phasic mempunyai karekteristik gerakan bola mata yang cepat
dan terkadang terjadi peningkatan aktivitas EMG (Lee-chiog, 2006). Pada
faseini detak jangtung, pola pernafasan dan juga tekana darah menjadi irregular
(Fredholm, 2011).
Setelah episode REM selesai, tahap-tahap Non-REM kembali berulang.Seseorang
secara bergantian mengalami kedua jenis pola tidur sepanjang malam (Lauralee, 2016).
Dalam siklus tidur normal, seseorang selalu melewati tahap Non-REM sebelum
masuk tahap REM. Secara rerata, tidur REM menempati 20% waktu tidur total pada masa
remaja dan sebagian besar pada masa dewasa (Lauralee, 2016).
8
TABEL 2.1 Perbandingan Non-REM dan REM(Lauralee, 2016).
JENIS TIDUR
Karakteristik Non-REM REM
EEG Memperlihatkan gelombang-gelombang Serupa dengan EEG pada orang yang
lambat sadar penuh
Aktivitas Tonus otot cukup; sering bergerak Inhibisi mendadak tonus otot ; tidak ada
motorik gerakan
Kecepatan jantung, Penurunan ringan Ireguler
kecepatan pernapasan,
tekanan darah
Bermimpi Jarang (aktivitas mental adalah Sering
kelanjutan dari pikiran-pikiran
sewaktu terjaga)
Kebangkitan Mudah dibangunkan Lebih sulit dibangunkan tetapi cenderung
bangun sendiri
Presentase waktu 80% 20%
tidur
Karekteristik penting Memiliki empat tahap; yang Gerakan mata cepat
lain bersangkutan harus melewati
tidur jenis ini dulu
2.1.3 Regulasi Tidur
2.1.3.1 Mekanisme bangun
Perbedaan dasar antara bangun dan tidur adalah aktivitas yang terjadi dalam
korteks. Aktivitas korteks dipengaruhi oleh banyak neurotransmmiter yang di
releaseoleh beberapa kelompok sel yang berada di batang otak maupun
hipotalamus. Pada saat bangun, aktivitas kelompok sel tersebut tinggi sehingga
release neurotransmitter akan meningkat dan berujung padaa meningkatnya
aktifitas korteks. Kelompok sel ini disebut waking-maintaining cell grups dan
sistem ini dinamakan acending reticular activating system (ARAS) (Fredholm,
2011).
9
ARAS terdiri dari 2 jalur utama, jalur pertama adalah jalur yang menginervasi
thalamus, sedangkan jalur kedua akan melewati hypothalamus, basalforebrain,
lalu ke korteks (Boutre & Koob, 2004).
Jalur pertama ARAS akan mengaktivasi relayneuron dan reticular nuclei di
thalamus. Aktivasi reticular nucleisangat penting karena reticular nuclei
mempunyai fungsi sebagai pintu gerbang yang dapat memblok terbentuknya
irama thalamocorticaldan meningkatkan tingkat rangsang juga pada
wakefulness.Jalur ini bersal dari dua struktur kolinergik yaitu penducolopetin dan
laterodorsal tecmental nucleus (PPT/LDT) (Schwartz & Roth, 2008).
Jalur kedua dari ARAS akan melewati hipotalamus lateral (LH), basal
forebrain (BF), lalu ke korteks. Jalur kedua ini mencakup banyak populasi sel
monoaminergik, seperti neuron nonadrenergik di locus coerulus (LC),
serotoninergik di nukleus raphe bagian dorsal median, neuron dopaminergik di
ventral periaquaductal grey matter (vPAG), dan histaminergik di nukleus
tuberomammilari (TMN).Selain itu juga terdapat beberapa tambahan seperti
neuron peptidergik di LH, yang berisi melaninconcentrating hormone (MCH) atau
orexin (ORX), dan nukleus di basal forebrain yang berisi asetilkolin (Ach) dan
GABA (Schwartz & Roth, 2008).
2.1.3.2 Mekanisme tidur
Sejauh ini hanaya satu bagian otak yang diketahui lebih aktif pada saat tidur
daripada saat bangun yakni di daerah preoptik hypothalamus yaitu ventrolateral
preoptiknuclei (VLPO) (Fredholm,2011). Pada saat tidur efferent VLPO yang
berisi neurotransmitter inhibitor seperti GABA dan galanin akan menurunkan
10
aktifivas neuron yang aktif saat bangun seperti, TMN, vPAG, nucleus raphe, LDT,
PPT, dan LC sehingga aktifitas korter akan menurun(Schwartz & Roth, 2008).
Hubungan timbal-balik saling menginhibisi antara sleep-promoting neuron
VLPO dan nonadrenergik, serotoninergik, dan kolinergik waking-sistem
merupakan sebuah sistem bangun-tidur yang dinamis. Dimana saat bangun VLPO
akan di inhibisi oleh arousal system dan sebaliknya (Schwarz & Roth, 2008).
2.1.3.3 Regulasi siklus bangun-tidur
Terdapat dua hal yang mengatur siklus bangun tidur yaitu irama sikardian dan
regulasi homeostatic (Lee-chiong, 2006).
a. Irama sikardian
Sistem ini berpusat pada kemampuan nukleus suprachiamatik (SCN)
dihipotalamus yaitu kemampuan SNC dalam mempresepsi cahaya dan tingkat
melatonin. Setelah SCN menerima input yaitu cahaya dan tingkat melatonin,
informasi akan disalurkan ke zona supraventricular (SPZ) lalu akan di tindak
lanjuti oleh nukleus di dorsomedial hipotalamus (DMH) seperti
mereleasetirotropin realeasing hormone (TRH) sehingga lateral hipotalamus akan
meningkatkan releasemelanin concentrating hormone (MCH) dan orexin dan
menimbulkan wakefulness (Gambar-2) (Schwartz &roth, 2008).
11
b. Regulasi homeostatik
Tidur dipahami sebagai kegiatan restoratif, akan tetapi yang apa yang akan di
restorasi belum diketahui secara. Dipercaya bahwa adenosin merupakan mediator
kunci yang berperan dalam regulasi homeostatic (McCarley, 2007).
Regulasi homoestatik dan irama sicardian merupakan dua mekanisme yang
mengatur siklus bangun-tidur. Terdapat perbedaan mendasar diantara keduanya,
pertama adalah mekanismenya seperti yang dijelaskan diatas, selain itu komponen
homeostatik akan terus meningkat sampai pada tidur dilakukan, sedangkan pada
komponen sikardian akan terus bergerak dan membentuk suatu siklus (Gambar
2.3) (fredholm, 2011).
Gambar 2.2 Irama sikardian
Diadaptasi dari Schwartz & Roth, 2008
12
2.1.4 Peran adenosin dalam tidur
Di sistem saraf pusat (SSP), adenosin bersifat sebagai neuromodulator inhibitor
melalui aktifasi resptor adenosin A1(ADORA1). Ikatan adenosin dengan ADORA1 di
daerah reticular activating system (RAS) yaitu basal forebrain dan nukleus
tuberomamilari (TMN) akan menurunkan aktivitas dan release neurotranmitter pada
daerah tersebut. Hal tersebut menimbulkan sebuah hipotesis bahwa adenosin memicu
tidur melalui inhibisi aktivitas dan release neurotransmitter dari walking-maintaining
cell grups (Fredholm, 2011).
Aktivitas adenosin di basal forebrain dipercaya memegang peran penting dalam
regulasi homeostatik tidur, karena peningkatan release adenosin selalu diiringi dengan
meningkatnya keinginginan untuk tidur (McCarley, 2007). Selama terbangun,
glikogen akan dipecah menjadi adenosin sehingga timbul akumulasi adenosin di basal
forebrain, yang memicu pengisian ulang level glikogen melalui tidur (Schwartz &
Roth, 2008).
2.1.5 Peran melatonin dalam tidur
Gambar 2.3 Model Regulasi Tidur
Diadaptasi dari Fredholm, 2011
13
Proses melatonin dalam mempengaruhi tidur adalah melalui proses irama
sikardian, dimana melatonin berfungsi sebagai input yang akan diproses oleh
suprachiasmatik nukleus (SNC). Irama sikardian bermula pada rendahnya rangsang
cahaya yang diterima oleh SNC dimana input tersebut akan diproses oleh dorsomedial
hipotalamus yang akan memberikan respon berupa meningkatnya sekresi melatonin
oleh kelenjar pineal dan menyebabkan tingginya tingkat melatonin. Kadar melatonin
yang tinggi akan diterima oleh SNC dan akan diproses oleh DMH yang memberikan
feedback berupa meningkatnya aktivitas VLPO yang berujung pada meningkatnya
sleepiness (gambar 2.2) (Schwartz & Roth, 2008).
Kosentrasi melatonin tubuh umumnya meningkat saat tidur, atau diperkirakan saat
2 jam sebelum waktu tidur dan mencapai kosentrasi puncak pada jam 2-4 dini hari
(Preedy, 2014).
2.1.6 Hal-hal yang mempengaruhi kualitas tidur
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas tidur yaitu
1. Status kesehatan
Status kesehatan sesorang baik kondisi kesehatan fisik maupun kesehatan
psikologis sangat mempengaruhi kebutuhan tidurnya (Sujono & Hesti, 2015).
a. Penyakit fisik
Setiap penyakit fisik menyebabkan ketidaknyamanan fisik seperti nyeri,
batuk, sesak napas, jantung berdebar dan lain-lainya dapat juga
menyebabkan masalah tidur dan istrahat (Sujono dan Hesti, 2015).
b. Gangguan psikiatrik
Sebuah gangguan yang dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan
mental sehingga dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan
14
mood, gangguan psikotik (Hulisz & Duff, 2009), kecemasan, dan depresi
yang akan menyebabkan kebutuhan istirahat dan tidurnya terganggu
(Sujono dan Hesti, 2015).
c. Lingkungan
Lingkungan fisik yang sangat menggangu diantaranya adalah suhu yang
dingin, suara yang berisik, ukuran tempat tidur, tempat tidur yang keras,
posisi tempat tidur, gaduh dan lain-lainnya (Sujono dan Hesti, 2015).
d. Obat-obatan
Beberapa efek obat diantaranya ada yang menyebabkan mudah
mengantuk/tertidur dan ada pula yang sebaliknya sangat menggangu tidur
(Sujono dan Hesti, 2015).
e. Psikososial serius
Keadaan dimana seseorang mempunyai masalah psikososial yang dapat
mengganggu fungsi kesehariannya, baik dalam berhubungan dengan orang
lain maupun terhadap diri sendiri (Hulisz & Duff, 2009).
2.1.7 Manfaat tidur
Tidur yang adekuat kualitas dan kuantitasnya mempunyai banyak manfaat, antara
lain :
1. Pemulihan kognitif
Pemulihan aspek kognitif terjadi pada fase Rapid Eye Movement (REM) dan
tahap empat fase Non-Rapid Eye Movement (Non-REM).Pada fase ini, terjadi
perubahan aliran darah serebral, peningkatan aktifitas kortikal, peningkatan
konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin.Proses-proses tersebut dapat
15
membantu penyimpanan memori dan pembelajaran.Selama tidur otak
menyaring informasi yang disimpan tentang aktifitas hari tersebut (Sujono dan
Hesti, 2015).
2. Pemulihan fisiologis dan psikologis
Selain memperbaiki proses biologis secara rutin, tidur juga mengembalikan
kenormalan level aktivitas dan keseimbangan normal sistem saraf (Sujono dan
Hesti, 2015).
3. Sintesis protein dan sekresi hormon pertumbuhan
Kedua hal tersebut berguna dalam proses regenerasi sel (Sujono dan Hesti,
2015).
4. Menjaga normalisasi sistem imun
Hal ini terkait dengan adekuatnya produksi sel darah putih selama (Sujono dan
Hesti, 2015).
2.1.8 Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
PSQI yaitu kuisioner untuk mengetahui kualitas tidur sesorang dalam jangka waktu
1 bulan secara subyektif. Terdapat 19 item yang akan dikelompokkan ke dalam 7
komponen skor antara lain : mulai dari kualitas tidur, sleep latency, total waktu tidur,
efisiensi pola tidur, ganguan tidur, penggunaan obat tidur dan kemapuan beraktifitas
saat bangun. Pada hasil akhir dari PSQIakan diketahui apakah seseorang termasuk
dalam kategori yang mempunyai kualitas tidur baik atau buruk.Dalam PSQI dikatakan
kualitas tidur baik bila mendapat skor ≤ 5, dan kualitas tidur jelek bila mendapat skor
> 5.Semakin tinggi skor yang didapatkan sesorang menandakan bahwa orang tersebut
mengalami kualitas tidur terburuk (Buysee & Reynold, 1988).
16
Secara global, skor PSQI > 5 mempunyai sensitifitas diagnostik sebesar 89,6 %
dan spesifisitas diagnostik sebesar 86,5 % dalam membedakan orang dengan kualitas
tidur baik dan orang dengan kualitas tidur buruk (Buysee & Reynold, 1988).
2.2 Kopi
2.2.1 Definisi kopi
Kopi adalah salah satu minuman yang berasal dari proses pengolahan dan ekstraksi
biji tanaman kopi. kopi merupakan minuman psikostimulant yang akan menyebabkan
orang tetap terjaga, sehingga kopi menjadi minuman favorit (Saputra E, 2008).
Kopi terdiri dari dua jenis spesies, yaitu kopi arabika dan robusta (Saputra E,
2008).Dalam secangkir kopi robusta didapatkan sekitar 131-220 mg kafein (Jasvinder,
2011) sedangkan kafein pada kopi arabika tidak lebih dari 1,5% (Saputra E, 2008).
Sistematika tanaman kopi menurut Saputra E ( 2008) :
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Divisi : Mangnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub kelas : Asteridae
Ordo : Rubiaceae
Genus : Coffea
Spesies : Coffea spp
17
2.2.2 Kebiasaan Mengkonsumsi Kopi
Kebiasaan mengkonsumsi kopi didefinisikan sebagai rutinitas mengkonsumsi kopi
dalam setiap hari.Terdapat banyak alasan mengapa kopi begitu digemari salah satu
diantaranya adalah sebagai penghilang rasa ngantuk.(Nakajima, 2010).
Kebiasaan mengkonsumsi kopi juga banyak dihubungkan dengan berbagai
penyakit, salah satunya meningkatkan insomnia (O’keefe, 2013).
2.2.3 Kafein
Kafein merupakan salah satu zat psikoaktif yang banyak digunakan pada
masyarakat. Banyak sumber kafein yang tersedia seperti kopi, teh, soda, dan
coklat.Kafein meningkatkan sekresi norepinenefrin dan meningkatkan aktivitas saraf
di beberapa daerah otak.Kafein di absorbsi dari saluran cerna, didistribusikan dengan
cepat ke seluruh jaringan dan dengan mudah melintasi sawar plasenta (Goodman &
Gilman, 2008).
Konsumsi kafein secara rutin dapat menyebabkan terjadinya toleransi. Tanda-tanda
dan gejala-gejala dari konsumsi kafein secara berlebihan anatara lain kecemasan,
Struktur Molekul Kafein
Diadaptasi dari Goodman & Gilman 2008
Gambar 2.4
18
insomnia, wajah memerah, diuresis, gangguan saluran cerna, kejang otot, takikardia,
aritmia, peningkatan energi, dan agitasi psikomotor (Sukandar dkk, 2008).
2.2.3.1 Farmakokinetik kafein
Konsumsi kafein per oral akan diabsorbsi dengan cepat, dan akan mencapai
kosentrasi puncak dalam plasma dalam 45-75 menit dapat menembus sawar otak.
Kafein akan di metabolisme menjadi paraxantin, teobromin dan teofilin. Pada
orang yang mengkonsumsi kafein dalam jumlah besar atau mengkonsumsi kafein
secara rutin, akan mengakibatkan menurunnya clereance kafein. Dalam pemakaian
dosis tunggal, waktu paruh kafein adalah 4-7 jam (Roehrs & Roth, 2008).
Waktu paruh akan berkurang pada individu yang merokok dan akan meningkat
hingga 2 kali lipat pada wanita hamil atau yang menggunakan kontrasepsi oral
dalam jangka waktu panjang (Lee K-H et al, 2009).
2.2.3.2 Mekanisme kafein dalam mempengaruhi tidur
Secara umum, dalam mempengaruhi tidur, kafein bertindak sebagai antagonis
reseptor adenosin, yang berpusat pada reseptor adenosin A1(ADORA1) dan
reseptor adenosin A2 (ADORA2A) (Roehrs & Roth, 2008), sedangkan reseptor
A2B dan A3 hanya memainkan peran kecil (Chawla, 2011).
Akan tetapi kafein juga dapat menimbulkan efek di SSP melalui mekanisme
lain seperti meningkatkan turn-over beberapa neurotransmiter monoamin seperti,
dopamin, serotonin dan noradrenalin (Fredholm, 2011).
a. Reseptor adenosin A1 (ADORA1)
Ikatan adenosin pada reseptor A1akan menginhibisiwake-active neuron sehingga
releaseneurotransmitter akan menurun. Ini dibuktikan dengan pemberian adenosin
19
yang dapat menginhibisi neuron kolinergik di basal forebrain, dan bila inhibisi
dihilangkan dengan pemberian antagonis reseptor akan meningkatkan aktivitas
neuron tersebut. Sehingga blok reseptor ADORA1 di basal forebrain oleh kafein
akan meminimalisir efek yang ditimbulkan oleh penumpukan adenosin saat bangun
(Fredholm, 2011).
Selain itu, blok ADORA1 oleh kafein pada waking-maintaining cell grups yaitu,
LC, nukleus raphe, TMN, vPAG, LH, BF, juga PPT dan LDT, akan meningkatkan
aktifitas neuron juga release neurotransmitter daerah tersebut yang akan berujung
pada meningkatnya cortical arousal(Fredholm, 2011).
b. Reseptor adenosin A2A (ADORA2A)
Beberapa studi menunjukkan adanya kemungkinan bahwa kafein menimbulkan
wakefulness melalui reseptor ADORA2A.bukti yang paling kuat diperoleh studi
yang melibatkan tiga jenis tikus yang diberi kafein, yaitu tikus liar, tikus yang tidak
memiliki resepto A1 dan tikus yang tidak memiliki reseptor A2. Hasil studi tersebut
adalah naiknya wakefulness pada tikus liar dan tikus yang memiliki reseptor A1
(Fredholm, 2011).
Diduga hal tersebut berkaitan dengan ikatan kafein dengan ADORA2A di ventral
periaqueductal grey matter (vPAG) yang merupakan neuron dopaminergik. Ikatan
tersebut akan meningkatkan release dopamin yang akan menginhibisi sleep-active
neuron yaitu ventrolateral preoptik nuclei (VLPO) dan menstimulai wake-active
neuron (Ventrivela, Lu & Qiu, 2010).
2.2.3.3 Efek kafein terhadap tidur
20
Kafein dapat mempengaruhi tidur manusia.Dalam sebuah studi epidemiologi
disebutkan adanya hubungan antara konsumsi kafein dengan gangguan tidur dan
rasa mengantuk pada siang hari (Roehrs & Roth, 2008).
Jumlah kafein dalam satu gelas kopi sangat bervariasi, bergantung pada jenis
biji kopi dan cara penyajiannya. Secara umum, dalam satu gelas kopi terdapat
antara 85 mg-175 mg kafein (Roehrs & Roth, 2008). Agar kafein dapat
mempengaruhi tidur yang signifikan diperlukan dosis kafein lebih dari 100 mg -
150 mg (Boutel & Koob, 2004).
Meskipun waktu paruh kafein relatif pendek, efek kafein terhadap tidur timbul
bukan hanya saat mengkonsumsi kafein pada malam hari tapi juga pada saat pagi
hari (Fredholm, 2011). Ini terjadi karena pada orang dengan kebiasaan
mengkonsumsi kopi akan terjadi akumulasi paraxantin, yang merupakan hasil
metabolisme tubuh terhadap kafein, sehingga clearance dari kafein akan
memanjang (Roehrs & Roth, 2008).
Pengaruh utama kafein pada tidur adalah pada sleep latency, waktu total tidur,
tidur Non-REM tahap 2, dan deep sleep atau Non-REM tahap 3 dan 4. Pada sleep
latency dan fase deep sleep didapatkan aktifitas korteks yang rendah karena
reticular activating system (RAS) inaktif sehingga release monoamin
neurotrasmiter ke korteks oleh RAS yang rendah. Ini diakibatkan oleh efek
neuromudulator inhibitor dari adenosin, dimana saat bangun terjadi penumpukan
adenosin di RAS (Fredholm, 2011).
Akan tetapi pada orang dengan konsumsi kopi aktivitas korteks akan tetap
tinggi. Hal ini diakibatkan karena ikatan kafein dengan reseptor adenosin baik
ADORA1 maupun ADORA2A pada RAS sehingga akan mengurangi efek
21
neuromudulator inhibitor dari adenosin dan menyebabkan tetap tingginya aktivitas
RAS. Dengan begitu RAS tetap akan merelease neurotransmiter monoamin ke
korteks dan berujung pada tingginya aktivitas korteks, sehingga pada orang dengan
konsumsi kopi, sleep latency akan memanjang, tidur Non-REM tahap 2
memanjang, menurunnya fase deep sleep dan menurunnya total waktu tidur
(Fredholm, 2011).
Selain itu kafein juga dapat meningkatkan durasi tidur REM. Tidur REM
dipengaruhi aktifitas neuron kolinergik di batang otak yaitu penducolopetin dan
laterodorsal tecmental nucleus (PPT/LDT), dimana pada saat REM, aktifitas
neuron PPT/LDT akan meningkat. Ikatan kafein dengan reseptor adenosin di
PPT/LDt akan menjaga tingginya release asetilkolin (Ach) pada saat tidur,
sehingga akan mengganggu siklus tidur NREM-REM (Boutrel & Koob, 2004).
Selain pengaruh kafein terhadap SSP, kafein juga berpengaruh terhadap tubuh
secara sistemik terutama pada pembuluh darah, dimana pada pembuluh darah di
ginjal kafein akan meningkatkan gromerular filtration rate (GFR) sehingga
meningkatkan produksi urin (Osswald & Schnermann, 2011). Peningkatan tersebut
akan menimbulkan keinginan untuk berkemih saat tidur sehingga pada orang
dengan konsumsi kopi akan sering terbangun.