Download - BAB II BUKIT
BAB I
PE NDAHULUAN
Mola hidatidosa adalah suatu neoplasma jinak villi khorialis, yang ditandai dengan
proliferasi trofoblas yang berlebihan, baik sinsitio dan sitotrofoblas, edema atau degenerasi
hidrofik dari stroma jaringan ikat vili sehingga terjadi distensi dan pembentukan gelembung dan
villa avaskuler, pembuluh darah yang hilang ini menyebabkan kematian dini embrio.
Frekuensi mola hidatidosa pada kehamilan yang terjadi pada awal atau akhir usia subur
relative lebih tinggi. Tingginya angka insiden ini berhubungan dengan status sosioekonomi,
nutrisi yang kurang protein dan asam folat. Studi lain menyebutkan bahwa hipotesis dari nutrisi
berhubungan dengan insidensi mola hidatidosa tidak dapat dibuktikan dari data yang ada. Seperti
yang terjadi di Alaska, bahwa insiden mola hidatidosa tinggi pada populasi yang mengkonsumsi
daging dan ikan.
Resiko yang dapat terjadi pada pasien mola hidatidosa adalah morbiditas dan mortalitas
akibat perdarahan uterus, koagulopati, perforasi uterus, emboli trofoblas atau infeksi. Juga resiko
kehilangan fungsi reproduksi jika harus dilakukan histerektomi.
Tumor trofoblas gestasional adalah sekelompok penyakit yang bersifat ganas dan
berkaitan dengan vili korialis, terutama sel trofoblasnya, yang berasal dari suatu kehamilan, baik
mola maupun nonmola. 15-20% penderita mola hidatidosa komplit akan mengalami transformasi
keganasan.
Kegagalan dalam mengobati pasien dengan penyakit tropoblas gestasional (PTG)
berhubungan dengan temuan diagnosis choriocarsinoma yang semakin banyak, tidak adanya
terapi awal pada resiko tinggi, dan ketidakmampuan penggunaan protokol kemoterapi untuk
mengontrol penyakit ini. Bagaimanapun juga, dengan penatalaksanaan awal yang akurat, PTG
betul-betul dapat disembuhkan.
BAB II
PENYAKIT TROFOBLASTIK GESTASIONAL
Secara mendasar, penyakit trofoblastik gestasional dapat dibagi menjadi mola hidatidosa
dan tumor trofoblastik gestasional.
1
2.1. MOLA HIDATIDOSA
Mola hidatidosa adalah suatu neoplasma jinak villi khorialis, yang ditandai dengan:
1. Proliferasi trofoblas yang berlebihan, baik sinsitio dan sitotrofoblas
2. Edema atau degenerasi hidrofik dari stroma jaringan ikat vili sehingga terjadi
distensi dan pembentukan gelembung.
3. Villa avaskuler, pembuluh darah yang hilang ini menyebabkan kematian dini
embrio.
Klasifikasi
Berdasarkan ada tidaknya janin atau unsur embrionik, mola diklasifikasikan menjadi mola
sempurna (complete) dan parsial.
Pada mola hidatidosa sempurna, vili korionik berubah menjadi suatu massa vesikel-vesikel
jernih. Ukuran vesikel bervariasi dari sulit dilihat sampai yang berdiameter beberapa sentimeter
dan sering berkelompok-kelompok menggantung pada tangkai kecil. Temuan histologik ditandai
dengan:
Degenerasi hidropik dan pembengkakan stroma vilus
Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak
Proliferasi epitel trofoblas dengan derajat bervariasi
Tidak adanya janin dan amnion.
Pada pemeriksaan sitogenik terhadap kehamilan mola sempurna menemukan komposisi
kromosom yang umumnya (85 persen atau lebih) adalah 46, XX, dengan kromosom seluruhnya
berasal dari ayah. Fenomena ini disebut androgenesis. Sebagian besar (85%) mola sempurna
adalah diploid, sedangkan mola parsial (86%) adalah triploid. Risiko tumor trofoblastik yang
berkembang dari mola sempurna adalah sekitar 20%.
Apabila perubahan hidatidosa bersifat fokal dan kurang berkembang, dan mungkin tampak
sebagian jaringan janin, biasanya paling tidak kantung amnion, keadaan ini diklasifikasikan
sebagai mola hidatidosa parsial. Terjadi pembengkakan hidatidosa yang berlangsung lambat
pada sebagian vili yang biasanya avaskular, sementara vili-vili berpembuluh lainnnya dengan
sirkulasi janin-plasenta yang masih berfungsi tidak terkena. Janin pada mola hidatidosa parsial
2
biasanya memiliki tanda-tanda triploidi yang mencakup malformasi congenital multiple dan
hambatan pertumbuhan serta tidak viabel.
Gestasi kembar dengan mola sempurna serta janin dan plasenta normal kadang- kadang
salah didiagnosis sebagai mola parsial diploid. Sebaiknya keduanya diupayakan dibedakan,
karena kehamilan kembar yang terdiri dari satu janin normal dan satu mola sempurna memiliki
kemungkinan 50% untuk menyebabkan penyakit trofoblastik persisten. Risiko koriokarsinoma
yang berasal dari mola parsial sangat rendah.
Epidemiologi
Insiden di AS muncul 1 dalam 2000 kehamilan sedangkan di Asia Tenggara, Amerika
Utara dan Eropa tidak berbeda jauh yaitu antara 0,2-1,96 kasus per 1000 kehamilan. Frekuensi
mola hidatidosa pada kehamilan yang terjadi pada awal atau akhir usia subur relative lebih
tinggi. Efek paling berat dijumpai pada wanita berusia lebih dari 45 tahun, dengan frekuensi lesi
relative lebih dari 10 kali lipat dibandingkan pada usia 20 sampai 40 tahun. Banyak dijumpai
kasus mola hidatidosa yang terbukti pada wanita berusia 50 tahun atau lebih.
Tingginya angka insiden ini berhubungan dengan status sosioekonomi, nutrisi yang
kurang protein dan asam folat. Studi lain menyebutkan bahwa hipotesis dari nutrisi berhubungan
dengan insidensi mola hidatidosa tidak dapat dibuktikan dari data yang ada. Seperti yang terjadi
di Alaska, bahwa insiden mola hidatidosa tinggi pada populasi yang mengkonsumsi daging dan
ikan.
Resiko yang dapat terjadi pada pasien mola hidatidosa adalah morbiditas dan mortalitas
akibat perdarahan uterus, koagulopati, perforasi uterus, emboli trofoblas atau infeksi. Juga resiko
kehilangan fungsi reproduksi jika harus dilakukan histerektomi.
Menurut DR. Dr. Andrijono, SpOG(K) dari Fak Kedokteran UI, perkembangan jaringan
mola salah satunya disebabkan oleh defisiensi vitamin A.
3
Gambaran klinis
Gambaran klinis sebagian besar kehamilan mola telah banyak berubah dalam 20 tahun
terakhir karena penggunaan ultrasonografi transvaginal dan hCG serum kuantitatif menyebabkan
diagnosis ditegakkan lebih dini. Gejala-gejala mencolok lebih besar kemungkinannya terjadi
pada mola sempurna.
Perdarahan uterus hamper bersifat universal, dan dapat bervariasi dari bercak sampai
perdarahan berat. Perdarahan mungkin terjadi sesaat sebelum abortus atau, lebih sering, terjadi
secara intermiten selama beberapa minggu bahkan bulan. Anemia defisiensi besi sering dijumpai
dan kadang-kadang terdapat eritropoiesis megaloblastik, mungkin akibat kurangya asupan gizi
karena mual dan muntah disertai meningkatkan kebutuhan folat trofoblas yang cepat
berproliferasi.
Uterus sering membesar lebih cepat daripada biasanya. Ini adalah kelainan yang tersering
dijumpai, dan pada sekitar separuh kasus, ukuran uterus jelas melebih yang diharapkan
berdasarkan usia gestasi. Uterus mungkin sulit diidentifikasi secara pasti dengan palpasi,
terutama pada wanita nullipara, karena konsistensinya yang lunak di bawah dinding abdomen
yang kencang.
Walaupun uterus cukup membesar sehingga jauh diatas simfisis, bunyi jantung janin
biasanya tidak terdeteksi. Walaupun jarang, mungkin terdapat plasenta kembar dengan
4
perkembangan kehamilan mola sempurna pada salah satunya, sementara plasenta lain dan
janinnya tampak normal.
Makin besar uterus, makin besar jumlah sel trofoblas, maka akan makin tinggi kadar β-
hCG-nya, yang pada gilirannya akan menyebabkan hiperstimulasi ovarium, sehingga terjadilah
kista lutein bilateral.
Yang sangat penting adalah kemungkinan terjadinya preeklampsia pada kehamilan mola,
yang menetap samapi trimester kedua. Sementara, hipertensi dalam kehamilan jarang dijumpai
sebelum usia gestasi 24 minggu. Pasien dapat mengalami mual dan muntah yang cukup berat.
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering meningkat, tetapi
jarang menyebabkan gejala klinis hipertiroidisme. Tiroksin bebas dalam serum meningkat akibat
efek gonadotropin korionik atau varian-variannya yang mirip tirotropin.
Saat evakuasi, trofoblas, dengan atau tanpa stroma vilus, lolos dari uterus melalui aliran
vena dalam jumlah bervariasi. Volumenya dapat sedemikian sehingga menimbulkan gejala dan
tanda embolisme paru akut dan bahkan berakibat fatal.
Diagnosis
Dasar diagnosis dari mola hidatidosa adalah dari anamnesis didapatkan amenore,
perdarahan pervaginam terus menerus atau intermiten yang tejadi mulai usia gestasi 12 minggu
dan cenderung coklat dariapda merah, uterus lebih besar dari umur kehamilan, hiperemesis
gravidarum atau tampak gelembung mola.
Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya bagian-bagian janin dan bunyi jantung
janin walaupun uterus telah membesar setinggi pusat atau lebih. Disamping pemeriksaan
terhadap status generalis dan status ginekologis juga harus dicari tanda-tanda penyulit seperti
preeclampsia-eklamsia yang timbul sebelum usai gestasi 24 minggu, tirotoksikosis dan emboli
paru-paru.
Pada pemeriksaan laboratorium, kadar gonadotropin korionik serum lebih tinggi daripada
yang diperkirakan untuk usia gestasinya. Pada pemeriksaan penunjang rontgen foto abdomen
tidak ditemukan rangka janin, pemeriksaan USG tampak gambaran badai salju (snow flake
pattern), tes sonde acosta sison (+).
5
Diagnosa pasti dengan melihat gelembung mola keluar dari introitus vagina disertai
perdarahan, tapi bila kita menunggu sampai melihat gelembung mola keluar biasanya sudah
terlambat dan keadaan umum pasien sudah menurun.
Penatalaksanaan
Pengelolaan terdiri dari 4 tahap yaitu perbaikan keadaan umum, evakuasi jaringan mola,
pemberian profilaksis sitostatik dan follow up/ perawatan tindak lanjut pasca tindakan mola.
Pasien biasanya berada dalam kondisi anemis karena mengalami perdarahan sedikit-sedikit dan
lama atau sudah mengalami perdarahan banyak. Transfusikan darah, beri antibiotik, kontrol vital
sign, perdarahan pervaginam. Jika ada penyulit seperti preeclampsia diobati sesuai dengan terapi
preeclampsia, tirotoksikosis diobati sesuai dengan anjuran interne.
Evakuasi terdiri dari 2 cara, yaitu kuret vakum dan histerektomi totalis. Kuret vakum
merupakan terapi pilihan untuk mola hidatidosa.Untuk mola besar, dipersiapkan darah yang
sesuai dan apabila diperlukan dipasang system intravena untuk menyalurkan infus secara cepat.
Zat-zat dilator serviks digunakan apabila serviks panjang, sangat padat dan tertutup. Dilatasi
lebih lanjut dapat dilakukan dengan aman dalam anestesi umum. Setelah sebagian mola
dikeluarkn melalui aspirasi dan pasien diberi oksitosin, serta miometrium telah berkontraksi,
biasanya dilakukan kuretase dengan kuret tajam besar. Evakuasi dengan vakum kuret merupakan
pilihan dan pada pasien yang memang meminta untuk dilakukan sterilisasi maka histerektomi
dapat dilakukan.Histerektomi total dilakukan dengan jaringan mola intoto atau beberapa hari
pasca kuretase. Histerektomi total dilakukan untuk golongan resiko tinggi dimana umur lebih
dari 35 tahun dengan jumlah anak cukup, sebagai tindakan profilaksis terhadap keganasan di
uterus.
Profilaksis dilakukan dengan 2 cara yaitu histerektomi totalis jika fungsi reproduksi
sudah tidak diharapkan lagi, usia dan paritas sudah mencukupi dan kemoterapi jika pasien
menolak atau tidak bisa dilakukan histerektomi dan pada wanita muda dengan histopatologi yang
mencurigakan. Obat sitostatika yang diberikan: Methothrexate, Actinomicin D, Adriamicin,
Vinkristin, dll.
Follow up bertujuan menentukan secara dini adanya transformasi keganasan. Dimana
dilakukan pemeriksaan kadar β-hCG. Lamanya adalah satu tahun dengan jadwal 3 bulan pertama
setiap 2 minggu, 3 bulan kedua setiap 1 bulan dan 6 bulan terakhir setiap 2 bulan. Dengan syarat
6
selama follow up tidak boleh hamil dan kontrasepsinya adalah kondom atau bila haid sudah
teratur dapat digunakan pil.
Bagaimanapun juga, prosedur follow up yang membutuhkan pemeriksaan berkala dalam
masa 1 atau 2 tahun mungkin tidak menjadi masalah pada negara-negara yang telah maju tetapi
sulit dilakukan pada negara-negara berkembang.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi masalah pengobatan pasien baik
secara langsung atau tidak langsung yang disebut sebagai faktor-faktor konstektual. Faktor
konstektual adalah aspek sosial, ekonomi dan keuangan, keluarga, hukum dan lain-lain, serta
pengaruh lingkungan institusional tempat pasien itu dirawat. Sebagai lebih rinci, faktor-faktor
eksternal terhadap pasien itu adalah :
peran keluarga, teman dekat, majikan dan sebagainya
biaya pengobatan
alokasi dan distribusi sumber daya kesehatan oleh pemerintah
peran dan perkembangan asuransi kesehatan/ JPKM
perkembangan teknologi medis
tingkat kesejahteraan masyarakat
PrognosisPrognostik mola (gold Stein Mola)
No. 1 2 3 4
1. Jenis mola Partial klasik rekuren -
2. Besar uterus <1 bulan >1 bulan >2 bulan >3 bulan
3. Kadar hCG <50000 50000-100000 103-104 >104
4. Umur pasien 20-40 tahun < 20 tahun >40 tahun >50 tahun
5. Adanya penyerta - 1/lebih - -
Skor < 4 jinak
Skor > 4 cenderung ganas
Pengalaman menunjukkan bahwa penderita mola hidatidosa dengan uterus di atas 20
minggu, kadar β-hCG di atas 105 mIU/ml dan disertai kista lutein bilateral, lebih besar
kemungkinannya untuk mendapat keganasan.
7
Kematian pada mola hidatidosa disebabkan karena perdarahan, infeksi, eklampsia, payah
jantung atau tirotoksikosis. Di negara maju, kematian mola hampir tidak ada lagi, tetapi dinegara
berkembang masih cukup tinggi yaitu berkisar 2.2% dan 5.7%.4 Hampir 20% mola hidatidosa
komplit akan berlanjut menjadi neoplasia trofoblas kehamilan. Terjadinya proses keganasan bisa
berlangsung antara 7 hari sampai 3 bulan pasca mola, tetapi yang paling banyak dalam 6 bulan
pertama. Pada Mola hidatidosa parsial jarang terjadi.
Menurut Prof. Dr. Soetoto, SpOG(K) dari FK Undip (alm) pencegahan perkembangan
mola hidatidosa menjadi keganasan trofoblas dapat dilakukan dengan pemberiansuntikan
imunisasi BCG. Sedangkan menurut DR. Dr. Andrijono, SpOG(K) dari FKUI, dapat dengan
diberikan Vitamin A dosis tinggi.
8
2.2 Tumor Trofoblastik Gestasional
Istilah ini mengacu pada entitas patologis berupa mola invasif, koriokarsinoma dan tumor
trofoblas di plasenta. Kelainan ini mungkin muncul setelah kehamilan mola atau kehamilan
normal atau timbul setelah abortus, termasuk kehamilan ektopik.
Klasifikasi Tumor Trofoblastik Gestasional
1. Non metastatik
2. Metastatik
a. Risiko rendah ---- tidak ada faktor risiko
b. Risiko tinggi---- salah satu faktor risiko
Kadar hCG praterapi > 40.000 mIu/ml
Durasi > 4 bulan
Metastasis otak atau hati
Riwayat kegagalan kemoterapi
Kehamilan aterm sebelumnya
9
Etiologi
Tumor trofoblastik gestasional hampir selalu berkembang pada atau setelah suatu bentuk
kehamilan. Walaupun sangat jarang, koriokarsinoma juga dapat timbul dari teratoma. Sekitar
separuh kasus terjadi setelah mola hidatidosa, 25 % setelah abortus, dan 25 % setelah kehamilan
yang tampak normal. Dari 48 kasus fatal di Brewer Trophoblastic Disease Centre, hanya 14 ( 30
persen ) yang timbul setelah mola hidatidosa ( Lurain dkk, 1982). Sisanya terjadi pada kehamilan
aterm, abortus, atau kehamilan ektopik. Tanos dkk (1994) melaporkan seorang wanita yang
mengalami kekambuhan penyakit trofoblastik gestasional setelah dua kali upaya fertilisasi in
vitro.
Keganasan jarang dijumpai pada plasenta dari kehamilan yang tampak normal. Pada
sebuah kasus yang dilaporkan oleh Brewer dan Mazur ( 1981 ), pada kehamilan 18 minggu
tampak trofoblas ganas luas, dan terdeteksi adanya koriokarsinoma primer di plasenta. Satu
kasus dengan trofoblas ganas yang bermetastasis ke janin juga pernah dilaporkan ( Kruseman
dkk, 1977). Penulis-penulis lain melaporkan koriokarsinoma intraplasenta disertai janin hidup
( Aonahata dkk, 1998; Jacques dkk, 1998). Lele dkk, (1999) menyajikan kasus lain dan
melakukan ulasan terhadap literatur tersebut.
Patologi
Pada sebagian besar kasus tumor trofoblastik gestasional, diagnosis terutama ditegakkan
berdasarkan menetapnya gonadotropin korionik dalam serum. Penatalaksaan klinis tidak lagi
ditentukan oleh temuan histologis. Bahkan, pada sebagian besar kasus, tidak ada jaringan yang
dikirim ke bagian patologi. Pada kasus-kasus yang jaringannya dikirim, yang paling sering
dijumpai adalah koriokarsinoma atau mola invasif.
2.2.1 Mola invasif
Definisi
Mola invasif adalah keganasan pasaca mola hidatidosa (MH) yang ditandai dengan vili
korialis atau gelembung mola yang terletak diantara otot-otot miometrium. Jenis TTG ini sudah
lama dikenal dengan istilah koriokarsinoma destruens atau mola destruens (Ewing ), sedangkan
Tjokronegoro S menggunakan istilah koriokarsinoma villosum. Tetapi sekarang lebih dikenal
10
dengan invasif mole atau mola invasive (MI), karena dianggap bahwa secara patologi anatomi,
tidak ada perbedaan antara MHK dengan MI. Yang berbeda adalah daya penetrasinya. Pada
Mola Invasif , vili korialis dan sel trofoblasnya dapat menembus miometrium maupun
parametrium.
Epidemologi
Data RSHS yang dikumpulkan selama 4 tahun antara 1995-1999, menunjukkan bahwa
selama periode tersebut ditemukan 164 kasus TTG yang dapat dianalisis ( data rekaman medis
lengkap), terdiri dari 41 kasus koriokarsinoma, 11 mola invasive, 1 PSTT, dan sisanya Persistent
Trophoblastic Disease.
Patogenesis dan Progresifitas
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pada saat wanita itu mendapat mola hidatidosa,
sebagian dari vili koriaalis sudah ada di miometrium. Ini terbukti kalau kita melakukan
histerektomi pada MHK, hasil PA nya sering berupa MI, bukan MHK ( Panlilio,
Martaadisubrata). Tampaknya saat jaringan mola itu dievakuasi, yang keluar adalah yang dari
kavum uteri saja, sedangkan yang di miometrium tetap ada.
Bagaimana nasib vili korialis yang ada di mometrium?ada dua kemungkinan, yang
pertama, akan diresorbsi oleh badan sehingga hilang sama sekali dan penderita sehat kembali.
Kedua, oleh suatu sebab yang belum diketahui, vili tersebut berkembang lagi menjadi gelembung
mola. Pada keadaan ini bila dilakukan USG, akan tampak gambaran khas vesikuler diantara otot-
otot miometrium.
Bila jumlah gelembung makin banyak, ruang miometrium tidak bisa menampungnya lagi
sehingga akhirnya terjadilah perforasi. Kemungkinan arah perforasi ada tiga. Yang paling sering
arahnya ke perimetrium, sehingga menyebabkan perdarahan intraabdominal. Kalau letaknya
lebih bawah, perforasi dapat juga terjadi ke arah parametrium. Terakhir, perforasi juga bisa
menuju ke arah kavum uteri sehingga kavum uteri terisi lagi oleh jaringan mola dan uterus
kembali membesar. Dalam keadaan demikian sering disangka bahwa wanita itu mengalami
MHK baru dalam waktu yang relatif pendek. Kalau terjadi perforasi, dan penanganannya bersifat
konservatif, seperti kontrol perdarahan kemudian diikuti dengan histerografi saja, kemungkinan
penyembuhannya akan disertai dengan kelemahan otot miometrium pada daerah perforasi
11
tersebut. Hal ini mungkin akan membahayakan bila wanita tersebut kemudian hamil, yaitu
terjadinya ruptur uteri pada kehamilan.
Dengan penjelasan diatas, serta sesuai dengan informasi pustaka, maka disepakati MI
didahului oleh MH, jarang bermetastasis, responsif terhadap kemoterapi dan berprognosis baik.
Walaupun derajat keganasannya rendah, tetapi secara klinis dapat berbahaya, bahkan dapat
berakibat fatal, terutama bila terjadi perforasi ke kavum abdominalis atau parametrium.
Diagnosis
Secara klinis sulit membuat diagnosis MI, kecuali penderita datang dalam keadaan
darurat, yaitu bila seorang wanita yang pernah mendapat MHK datang dengan keluhan akut
abdomen yang disebabkan oleh perforasi ke arah perimetrium. Biasanya penderita sangat
kesakitan, anemis, dan tidak jarang dalam keadaan syok. Dalam keadaan begini, diagnosis
memang mudah dibuat, tetapi secara prognostik sering tidak menguntungkan karena kita sering
kali melakukan histerektomi, walaupun pada wanita muda dengan paritas rendah.
Bila tidak hati-hati melakukan anamnesis, penderita MI yang masuk dalam keadaan
darurat sering disangka sebagai kehamilan ektopik terganggu.
Sebetulnya kita dapat mencurigai adanya MI, tanpa harus menunggu keadaan akut, bila
ditemukan hal-hal sebagai berikut:
1. Anamnesis
a. Dalam waktu yang tidak terlalu lama pernah mendapat MHK
b. Masih ada perdarahan tidak teratur pasca evakuasi
c. Perut terasa membesar lagi
2. Ginekologis
Uterus subinvolusi disertai perdarahan
3. Laboratoris
ß-Hcg tetap tinggi atau ada distorsi pada kurva regresi
4. USG
Tampak gambaran vesikuler di antara otot-otot miometrium.
Kadang-kadang dengan USG dapat pula ditentukan adanya ancaman perforasi
( impending perforation ) . Gambaran USG yang khas ini dapat dianggap patognomonis,
sehingga dapat dianggap diagnosis kerja.
12
Diagnosis Pasti
Ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan PA, dimana ditemukan vili korialis diantara
otot-otot miometrium.
Diagnosis yang hanya berdasarkan klinis, laboratoris dan USG saja, seharusnya masuk dalam
klasifikasi Persistent Trophoblastic Disease atau Koriokarsinoma Klinis.
Terapi
1. Kemoterapi
Pengobatan MI dapat dilakukan secara konservatif saja, asal diagnosis MI dibuat
berdasarkan gambaran klinis, laboratoris, dan USG, atau berdasarkan hasil PA yang
jaringannya diambil bukan dari uterus, melainkan dari tempat metastasis, seperti vagina/
vulva.
Indikasi pemberian kemoterapi pada MI adalah sebagai berikut :
Wanita muda dengan paritas rendah, atau yang masih memerlukan fungsi reproduksi.
Tidak ada tanda-tanda ancaman perforasi
Besar uterus kurang dari 14 minggu.
2. Operasi
Ada kalanya kita tidak bisa menghindar dari kekeliruan untuk melakukan
tindakan operasi, walaupaun wanita itu masih sangat memerlukan fungsi reproduksinya,
terutama bila disertai gejala perdarahan akut akibat perforasi uterus.
Operasi juga dianjurkan bila pada USG ditemukan gambaran ancaman perforasi,
dengan uterus diatas 14 minggu, terutama bila wanita tersebut sudah tidak memrlukan
fungsi reproduksinya.
Jenis operasi yang dilakukan tergantung kepada beberapa hal. Bila wanita masih
muda, sedapat mungkin histerektomi dihindarkan. Bila terjadi perforasi ke arah
peritoneum dan kavum uteri, sehingga terjadi perdarahan intaabdominal dan uterus
membesar lagi karena terisi gelembung mola, maka evakuasi jaringan dilakukan
bersamaan dengan laparotomi, dengan mengisapnya melalui daerah perforasi. Hal ini
dimaksudkan untuk memperkecil uerus sehingga perdarahan lebih mudah dikontrol.
Selanjutnya, dilakukan histerografi dan sterilisasi. Dengan cara ini, wanita itu tidak boleh
13
hamil lagi karena bahaya ruptur uteri pada saat kehamilan, disamping itu, fungsi
menstruasi masih dapat dipertahankan.
Karzmarek et al, pernah melaporkan satu kasus MI yang berhasil diobati dengan
kemoterapi saja, selanjutnya tiga tahun kemudian hamil lagi dan terjadi ruptur uterus
pada kehamilan 39 minggu, pada saat diberi infus oksitosin. Mereka menyangka bahwa
ruptur tersebut terjadi karena adanya kelemahan otot miometrium akibat MI sebelumnya.
Sebaliknya Berkowitz, Song, dan Rustin, melaporkan bahwa dari sekian ratus kasus TTG
yang diobati dengan kemoterapi saja dan kemudian hamil, tidak ada satupun yang
mengalami ruptur selama kehamilan berikutnya. Tetapi, ketiga peneliti tersebut tidak
melaporkan adanya kasus perforasi pada saat mereka diobati untuk TTG nya.
Bagaimana bila terjadi perforasi ke arah kavum uteri saja, tanpa tanda-tanda
perforasi ke tempat lain, apakah evakuasinya dapat dilakuakan dari bawah? Untuk yang
di kavum uteri memang bisa, tetapi kita tidak bisa yakin bahwa gelembung yang ada di
miometrium sudah keluar semua.keadaan semacam ini memang menyulitkan. Bila fungsi
reproduksi sudah tidak diperlukan lagi, sebaiknya dilakukan histerektomi.
Follow up
Semua kasus MI yang mendapat pengobatan kemoterapi saja, harus diawasi selama satu
tahun, untuk melihat kemnungkinan terjadinya kekambuhan. Jadwal dan cara pemantauannya
tidak berbeda dengan follow up pada MHK.
Prognosis
Sesuai dengan sifatnya yang mempunyai derajat keganasan yang rendah, prognosis MI
sangat baik, asal saj masa akutnya dapat segera ditanggulangi.Operasi darurat semacam ini dapt
dilakukan di rumah sakit daerah. Kalau memerlukan kemoterapi, baru berkonsultasi dengan
pusat, sekaligus merujuknya.
Kalau wanita MI kemudian hamil lagi,pengawasannya harus lebih hati-hati. Terutama pada
hamil tua, pemeriksaan USG harus dilakukan secara serial, untuk melihat kemungkinan adanya
”locus minorus resistensi”, yang bisa menimbulkan ruptur uteri spontan pada kehamilan.
Sebaiknya kasus semacam ini dianggap sebagai kehamilan dengan anak mahal. Jadi, jangan
14
diberi uterotonika, baik sebagai augmentasi maupun akselerasi. Kalau perlu dilakukan sectio
cesarean primer.
2.2.2 Koriokarsinoma
Definisi
Koriokarsinoma merupakan salah satu jenis dari Penyakit Trofoblastik Gestasional (PTG)
dimana ia merupakan suatu tumor ganas yang berasal dari jaringan trofoblas yaitu dari sel-sel
sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas yang menginvasi miometrium, merusak jaringan di sekitarnya
termasuk pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan. Koriokarsinoma bersifat agresif
dan sering ditandai dengan metastase hematogenous yang cepat terutama ke paru-paru.
Salah satu ciri khusus dari kanker ini adalah menghasilkan hormon human chorionic
gonadotropin (hCG) dalam kadar yang tinggi. Koriokarsinoma dapat menyerang semua wanita
yang pernah hamil termasuk wanita yang pernah mengalami kehamilan mola. Tidak seperti
mola hidatidosa, koriokarsinoma bisa menyerang banyak organ dalam tubuh seperti hati, limpa,
paru-paru, tulang belakang dan otak.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, neoplasia trofoblastik gestasional didiagnosa pada 15-20% pasien
dengan mola hidatidosa komplit dan 2 % pada pasien dengan mola hidatidosa parsial.
Koriokarsinoma terjadi pada 1 dari 40 kasus mola hidatidosa dan 1 dari 20 000- 40 000
kehamilan. Bagaimanapun, ia hanya terjadi pada 1 dari 160 000 kehamilan aterm.
Di dunia Internasional, rata-rata insiden koriokarsinoma dilaporkan sebanyak 1 dalam
500-600 kehamilan di India hingga 1 dalam 50.000 kehamilan di Mexico, Paraguay dan Swedia.
Perbedaan ini mungkin dikarenakan oleh perbedaan dalam metodologi ( misalnya
pengidentifikasian kasus dan keakuratan nilai statistik).
Insiden koriokarsinoma meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan 5-15 kali lebih
tinggi pada wanita berusia 40 tahun atau lebih berbanding wanita usia muda.
Etiologi
15
Etiologi terjadinya koriokarsinoma masih belum jelas diketahui. Pada koriokarsinoma,
trofoblas normal cenderung menjadi invasif dan erosi pembuluh darah terjadi secara berlebihan.
Keganasan ini dapat terjadi setelah kehamilan normal, namun ia seringkali berhubungan dengan
kehamilan mola.
Koriokarsinoma bisa didahului oleh:
Mola hidatidosa (50% kasus)
Aborsi spontan (20% kasus)
Kehamilan ektopik (2% kasus)
Kehamilan normal (20-30% kasus)
Klasifikasi
Penyakit ini dibagi dalam dua golongan yaitu:
1. Penyakit trofoblast ganas risiko rendah
Pada penyakit ini dapat ditemukan metastasis ke paru-paru dan / atau alat genital, kadar
hCG yang tetap tinggi atau meningkat tetapi tidak melebihi 100 000 mU/ml.
Umumnya penyakit diketahui dan diobati selama kurang dari 4 bulan, setelah mola
dikeluarkan. Jika ada perdarahan yang tidak normal, perlu dilakukan kerokan dahulu.
Untuk membuat diagnosis perlu ditentukan tidak adanya metastasis di otak, hepar dan/
atau traktus digestivus
2. Penyakit trofoblast ganas risiko tinggi
Pada kasus-kasus ini terdapat tidak saja metastasis di paru-paru dan alat genital,
melainkan juga di otak, di hepar, dan / atau traktus digestivus. Diagnosis seringkali
dibuat terlambat, oleh karena hanya 30% terdapat mola hidatidosa dalam anamnesis.
Tidak jarang lebih menonjol gejala-gejala yang disebabkan oleh metastasis, misalnya
ikterus atau perdarahan dalam otak. Diagnosis dalam hal itu baru dipikirkan
apabila ditemukan kadar hCG tinggi. MRI kiranya dapat dipakai untuk mendeteksi
metastasis di otak.
Patogenesis
16
Bentuk tumor trofoblas yang sangat ganas dapat dianggap sebagai suatu karsinoma dari
epitel korion, walaupun perilaku pertumbuhan dan metastasisnya mirip dengan sarkoma. Faktor-
faktor yang berperan dalam transformasi keganasan korion tidak diketahui. Pada
koriokarsinoma, kecenderungan trofoblas normal untuk tumbuh secara invasif dan menyebabkan
erosi pembuluh darah sangatlah besar. Apabila menganai endometrium, akan terjadi perdarahan,
perontokan dan infeksi permukaan. Massa jaringan yang terbenam di miometrium dapat meluas
keluar, muncul di uterus sebagai nodul-nodul gelap ireguler yang akhirnya menembus
peritoneum.
Metastasis sering berlangsung dini dan umumnya hematogen karena afinitas trofoblas
terhadap pembuluh darah. Tempat anak sebar tersering adalah paru ( lebih dari 75 persen ) dan
vagina ( sekitar 50 persen ). Pada banyak kasus, vulva, ginjal, ovarium, otak dan usus juga
mengandung anak sebar.
Gejala dan Tanda
Perdarahan per vaginam pada pasien dengan riwayat kehamilan mola, aborsi, kehamilan
ektopik atau
kehamilan normal
Batuk berdarah dan sesak nafas
Sakit kepala
Sakit tulang belakang
Perut bengkak
Hilang selera makan dan berat badan turun
Mata kuning
Anemis
Peningkatan kadar beta hCG
Pembesaran uterus yang tidak sesuai dengan masa kehamilan
Staging
17
Menurut FIGO:
Stage I Terbatas pada uterus
Stage II Ekstensi keluar dari uterus tapi masih terbatas pada
struktur genitalia seperti vagina dan adneksa
Stage III Metastasis ke paru dengan atau tanpa keterlibatan
traktus genitalia
Stage IV Metastasis ke organ lain
Setiap staging (nomor romawi) diikuti dengan jumlah skor prognostik (lihat tabel)
misalnya
stage III: 5. FIGO merekomendasikan pasien digolongkan dalam kelompok resiko rendah jika
skor prognostik 0-6 dan dalam kelompok resiko tinggi jika skor 7 atau lebih. Indeks skor
prognostik yang digunakan sekarang adalah klasifikasi dari WHO yang telah dimodifikasi.
Indeks Skor Prognostik menurut WHO:
Skor 0 1 2 4
Usia < 39 > 39
Kehamilan
sebelumnya
Mola Abortus Kehamilan aterm
Interval kehamilan
sebelumnya
(bulan)
4 4 sd 6 7 sd 12 > 12
Hcg < 103 103 - < 104 104 - < 105 >/= 105
Ukuran tumor
terbesar
< 3 cm 3-5 cm > 5 cm
Tempat metastasis Limpa, ginjal Traktus GI Hepar, otak
Jumlah metastasis 1 sd 4 5 sd 8 > 8
18
Kemoterapi
sebelumnya
Obat tunggal Obat kombinasi
Diagnosis
The International Federation of Gynaecology & Oncology (FIGO) menetapkan beberapa
kriteria yang dapat digunakan untuk mendiagnosis Penyakit Trofoblastik Gestasional termasuk
koriokarsinoma:
1. Menetapnya kadar beta hCG pada 4 kali penilaian dalam 3 minggu atau lebih (misalnya
hari 1,7,14 dan 21)
2. Kadar beta hCG meningkat pada selama 3 minggu berturut-turut atau lebih (misalnya hari
1, 7 dan 14)
3. Tetap terdeteksinya beta hCG sampai 6 bulan pasca evakuasi mola
4. Gambaran patologi anatomi adalah koriokarsinoma
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto rontgen thoraks
2. Uji sonde
3. USG abdomen – tidak terlihat janin, pada mola akan kelihatan bayangan 'badai salju'
4. MRI
Penatalaksanaan
Koriokarsinoma merupakan salah satu tumor yang sensitif terhadap kemoterapi. Tingkat
kesembuhan walaupun pada koriokarsinoma yang telah bermetastasis adalah sekitar 90-95%.
Namun metastase ke hepar dan otak sering berakibat fatal.
Penatalaksanaan korikarsinoma dapat dilakukan dengan:
a) Kemoterapi
Terapi menggunakan obat tunggal seperti metotraxate atau actinomycin D
direkomendasikan pada korikarsinoma dengan resiko rendah/ belum bermetastase meluas
ke seluruh tubuh. Regimen kombinasi seperti EMACO ( etoposide, metotrexate,
19
actinomycin D, cyclophosphamide & vincristine (Oncovin)) direkomendasikan untuk
yang resiko sedang hingga tinggi.
b) Histerektomi
Biasanya dilakukan pada wanita berusia 40 tahun atau lebih, atau pada wanita yang
memang mau dilakukan histerektomi. Histerektomi perlu dilakukan pada pasien dengan
infeksi berat dan perdarahan yang tidak terkontrol.
Prognosis
Kebanyakan wanita dengan koriokarsinoma yang belum menyebar dapat sembuh dan
dapat mempertahankan fungsi reproduktif.
Prognosis baik apabila:
hCG < 100 000 IU/ urin 24 jam atau < 40 000 IU/ ml serum
simptom < 4 bulan
Tidak ada metastasis ke otak atau hepar
Belum pernah mendapat kemoterapi sebelumnya
Tidak didahului dengan kehamilan aterm sebelumnya
Prognosis buruk/ penyakit tersebut lebih sulit disembuhkan apabila:
hCG > 100 000 IU/ urin 24 jam atau > 40 000 IU/ ml serum
simptom > 4 bulan
Metastasis ke otak atau hepar
Gagal dengan kemoterapi sebelumnya
Didahului dengan kehamilan aterm sebelumnya
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Djamhoer, Anwar AD, Armawan E, Sitorus MO. Protokol Pengelolaan Penyakit
Trofoblas Gestasional. FK-UNPAD. Bandung. 2001. 53-61
2. Zainu Saleh, A. Kanker Ginekologi : Klasifikasi dan Petunjuk Pelaksanaan Praktis.
Palembang : Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UNSRI/ RSMH ; 2005.
3. Lukas E, Djuanna AA. Mola hidatidosa. Dalam : Pedoman diagnosis dan terapi obstetric
dan ginekologi. EditorManoe IMSM, Rauf S, Usmany H. Ujung Pandang : Bagian
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ; 1999. p.108-11
4. Martadisoebrata D. Penyakit Serta Kelainan Plasenta dan Selaput Janin. Dalam : Ilmu
Kebidanan. Editor Wiknjosastro H. Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Edisi ketiga, Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 1994.p.339-59
5. Cunningham, et al. Disease and abnormalities of The Placenta. William Obstetrics 23 th
edition. Appleton & Lange Company. 2010.
6. Berkowitz RS, Goldstein DP. Gestational Trophoblastic Neoplasia. Practical
Gynecologic Oncology. Third edition. Edited by Berek JS, Hacker NF. Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelpia. 2000; 615-636.
7. Sarwono Prawirohardjo. Gangguan bersangkutan dengan hasil konsepsi dalam buku ilmu
kandungan ed 2 cetakan 5. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka. 2007: 260-266
8. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Tumor trofoblastik gestasional dalam
Obstetri William edisi 21. New York. Mc graw hill. 2001: 939-941
9. Report of a WHO Scientific Group. Gestational Trophoblastic Diseases. World Health
Organization Technical Report Series 692. Geneva. 1983.
10. Winkjosastro H. Penyakit Serta Kelainan Plasenta Dan Selaput Janin. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 1999; 339-360.
11. O’Quin AG, Barnard DE. Gestational Trophoblastic Diseases. Current: Obstetric &
Gynecologic Diagnosis & Treatment. 8th edition. Edited by Decherney AH, Pernoll ML.
A Lange Medical Book. Appleton & Lange. USA. 1994; 967-976.
12. Beckmann CRB. Gestational Trophoblastic Diseases. Obstetrics & Gynecology. Third
edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 1998; 490-498.
21
13. Suwiyoga K, Faktor Konstektual dalam Masalah Etika Klinis. Buku Ajar Obstetri dan
Ginekologi Sosial. Universitas Udayana
14. Ngan HYS, et al. Gestational Trophoblastic diseases. Staging Classification and Clinical
Practice Guidelines of Gynecologic Cancer by The FIGO Committee on Gynecologic
Oncology. Edited by Benedet JL, Pecorelli S. Elsevier. 2000; 79-86.
15. Berek, Jonathan. Berek & Novak’s Gynecology, 14th edition. Lippincott Williams &
Wilkins. 2007
16. Mochtar R. Penyakit Trofoblas. Dalam : Sinopsis Obstetri. Editor Lutan D. Jilid I. Edisi
2. Jakarta : EGC ; 1998.p.238-45.
17. Copeland LJ. Gestational Trophobiastic Neoplasia. In : Textbook of Gynecology. 2nded.
Philadelphia : WB Saunders Company : 2000.p.1409-15.
18. Aliza L. Leiser, MD, and Carol Aghajanian, MD. Evaluasi dan Manajemen Penyakit
Trofoblas GestasionaL. New York
22