1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Tujuan hidup tiap individu baik sedang sakit atau sehat adalah hidup
bahagia. Kebahagiaan orang sakit adalah sembuh dari sakit, termasuk juga
pasien kanker. Kanker adalah salah satu penyakit tidak menular yang
menyebabkan kematian. Prevalensi kanker tergantung ras dan status negara,
mayoritas terjadi pada negara berkembang yaitu sekitar 70% dari seluruh
kejadian kanker di dunia (WHO, 2011). Sementara, di Indonesia kejadian
penyakit kanker mencapai 4,3%. Data dari Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas)
2007 menyatakan bahwa kanker adalah penyebab kematian terbesar ke-7 di
Indonesia (Departemen Kesehatan, 2007). Prevalensi kanker dipaparkan oleh
WHO dan RisKesDas, sebagai berikut:
Tabel 1 Prevalensi kanker
Sumber Tahun Keterangan
WHO (2011)
2005
Hasil penelitian WHO dan Bank Dunia memperkirakan 12 juta orang di dunia mengalami kanker tiap tahun, akan terus meningkat hingga tahun 2030 dan diperkirakan mencapai 26 juta orang.
2010
Kanker adalah penyebab kematian ke-2 setelah penyakit kardiovaskular.
Departemen Kesehatan (2007)
2007
Berdasarkan data RisKesDas, prevalensi tertinggi di D. I. Yogyakartaa, 9.6%, dengan rincian data demografi, wanita sebesar 5.7%, laki-laki hanya 2.9%.
Tingginya jumlah kanker dialami oleh ibu rumah tangga, yaitu sekitar 8.2% dan mayoritas berusia lebih tua. Kejadian Kejadian kanker banyak terjadi pada usia lebih dari 75 tahun berkisar antara 9.4%
2
Kanker merupakan kelompok besar penyakit yang dikarakteristikkan
dengan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol dan penjalaran sel abnormal.
Keterlambatan deteksi dini penyakit ini dapat meningkatkan kematian (Prokop,
Bradley, Burish, Anderson, & Fox, 1991; Sheridan & Radmacher, 1992). Tipe
kanker yang banyak terjadi adalah carcinoma, yaitu kanker pada sel jaringan
yang mencakup permukaaan internal maupun eksternal tubuh, terjadi sekitar 85 -
90% pada semua kanker. Salah satu tipe carcinoma adalah kanker payudara
(Sheridan & Radmacher, 1992).
Dewasa ini telah banyak teknologi untuk deteksi dini dan pengobatan
penyembuhan untuk mengatasi kanker, termasuk juga kanker payudara. Hal ini
menjadikan semakin banyaknya para wanita dapat hidup menghadapi kanker
payudara dalam jangka waktu yang lama. Mereka banyak yang menjadi survivor
kanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai berikut:
Tabel 2 Data tingkat survivor
Sumber Data tingkat survivor
Helgeson, Snyder, dan Seltman, 2004
Pasien kanker payudara yang terdiagnosa tahap awal, 95% survive dengan penyakit masih terbatas dan 78% survive dengan penyakit agak berat.
Allen, Savadatti, dan Levy , 2009
Prevalensi survivor tiap tahun akan meningkat, dari 160.000 perempuan yang terdiagnosa kanker payudara, 91% akan survive lebih dari 5 tahun.
William, 2012 Data ISD Skotlandia 2011 menunjukkan bahwa antara tahun 1998-2008 tingkat kematian akibat kanker payudara menurun 17%, meski ada peningkatan diagnosa 8% dari 29% perempuan yang didiagnosa kanker
Hasil analisis para peneliti ditemukan berbeda bahwa dari 1000 wanita
yang didiagnosa menderita kanker payudara sejak tahun 1991, 214 kasus atau
sekitar 22,6 % tumor kembali tumbuh. Tumor payudara ini akan kambuh rata-rata
3
3 sampai 4 bulan usai pengobatan, yang sayangnya 95% dari perempuan
dengan kanker yang kambuh hanya mampu bertahan hidup kurang dari 10
tahun. Namun hasil tersebut tidak didukung oleh hasil yang ditemukan dari studi
yang didanai Yayasan Kanker Macmillan bahwa 60% dari semua pasien yang
telah didiagnosis kanker payudara dapat bertahan hidup hingga 10 tahun
kemudian (Nurlaila, 2012).
Peningkatan jumlah survivor ini perlu menjadi perhatian terkait kualitas
hidupnya setelah menjadi seorang pasien. Sebagai individu yang pernah
mengalami kejadian yang mengancam hidupnya, yaitu terdiagnosis kanker dan
menjalani berbagai pengobatan, survivor harus menghadapi masa setelah tuntas
dari pengobatan. Tuntas dari pengobatan merupakan tahap transisi yang penuh
dengan berbagai tantangan. Selain harus menghadapi kondisi yang berkaitan
dengan kanker dan efek pengobatannya, survivor juga harus mampu kembali
menjalankan tugas peran sosialnya. Pasca pengobatan, kondisi survivor telah
berubah dari sebelum terdiagnosa kanker, di antaranya fisik mengalami
keterbatasan akibat tumor dan berbagai pengobatan yang sudah dijalani serta
informasi tentang kesehatan survivor berkurang karena sudah tidak menjalani
pemeriksaan rutin. Sementara terkait tugas peran sosial, survivor diminta untuk
mampu kembali bekerja, menjalankan tugas istri dan ibu bagi keluarga, berjuang
menghadapi masalah kesehatan yang umum terjadi seiring bertambahnya usia
(Hewitt, Greenfield, & Stovall, 2006).
Adanya Tantangan tersebut memunculkan reaksi psikologis pada survivor
yaitu survivor perlu memelihara body image, mempertahankan hubungan sosial,
dan menghadapi ketidakpastian, karena kondisi fisik, sosial, emosional, spiritual
atau keuangan yang berkaitan dengan kesakitan mempengaruhi
4
kesejahteraannya. Kehidupan individu dari pasien ke survivor membutuhkan
adanya penyesuaian yang akan menjadi sumber penting dalam merespon
kesakitan dan peran sosialnya sehingga mempengaruhi kesejahteraannya.
Penyesuaian ini didapat dari penilaian positif atas kondisi/peristiwa yang dialami.
Keberhasilan penyesuaian dapat membantu para survivor ketika ia harus
mengatasi efek jangka panjang kanker dan pengobatannya, seperti kemungkinan
adanya kekambuhan kanker; kemungkinan munculnya kanker baru; fungsi fisik
yang lemah (lymphedema, terganggunggya fungsi reproduktif seperti menopause
dini dan gangguan seksualitas, meningkatnya berat badan, osteoporosis;
keluhan-keluhan musculoskeletal, adanya penyakit kardiovaskular,
keletihan/fatigue); adanya distress psikososial seperti menurunnya body image,
cemas kekambuhan, khawatir ketidakpastian masa depan, kehilangan dukungan,
tuntutan kembali ke peran fungsi sosial; efek kognitif yaitu mengalami distorsi
kognitif, seperti berkurangnya memori, konsentrasi, dan fungsi kognitif tertentu;
serta risiko kanker pada anggota keluarga (Hewitt, Greenfield & Stovall, 2006).
Dampak lain individu tidak mampu melakukan penyesuaian pada
kehidupan survivalnya adalah akan terkuras sumber psikologisnya yaitu
perasaan tidak berharga, mengalami depresi, kerusakan fungsi mental,
bertindak pada hal yang bersifat merusak diri (self-destructive), seperti ketika
survivor tidak mampu memonitoring kesehatannya sendiri (kurang olahraga, pola
makan sehat yang kurang terjaga, meniadakan check-up rutin ke dokter atau
meniadakan informasi mengenai kondisi kanker dan kesehatannya), berfokus
(preoccupation) pada hukuman dan kematian, mengalami kebosanan,
kehilangan minat serta seringkali merasa kesepian. Selain itu, survivor juga
mengalami kesulitan untuk berhubungan sosial karena merasa fisik terbatas dan
5
adanya stigmatisasi buruk tentang kanker payudara sehingga minder dan menilai
penting pandangan orang lain, mengurangi berpartisipasi pada aktivitas di
masyarakat, dan menghindari perkumpulan yang berhubungan dengan kanker
karena merasa sudah tidak perlu (Zebrack, 2000). Sebagaimana yang
dinyatakan oleh survivor kanker payudara, Hardjanto (2013), bahwa banyak
survivor kanker yang merasa kesepian, padahal yang mengalami kanker bukan
hanya mereka saja. Kondisi ini disebabkan banyak penderita kanker payudara
yang ditinggalkan suami dan keluarganya. Indikasi ini menunjukkan survivor
belum sepenuhnya menerima kondisinya.
Semua efek samping ini dapat menjadi stresor dan adanya stresor dapat
memperparah kejadian kanker bahkan untuk yang tidak kuat dapat
menyebabkan kematian (Hayward, 2010) serta dapat mengganggu
kesejahteraan dan kualitas hidup survivor (Hewitt, Greenfield & Stovall, 2006).
Kesejahteraan subjektif merupakan kondisi seseorang mampu mengevaluasi
secara kognitif dan afektif kehidupannya. Evaluasi kognitif meliputi aspek
kepuasan hidup dan evaluasi afektif meliputi pengalaman emosi
menyenangkan/positif serta sedikitnya mood negatif (Diener, Lucas, & Oishi,
2002). Kesejahteraan subjektif berfokus pada kebahagiaan dan kepuasan hidup
yang secara luas digunakan untuk menilai kualitas hidup.
Zebrack (2000) mengungkapkan bahwa survivor dengan kualitas hidup
tinggi yaitu survivor yang mampu berekonsiliasi pada pengalaman ideal dan
aktualnya, mampu mencapai kesuksesan dalam menyelesaikan gangguan peran
tertentu pada fase sebagai survivor, dan mampu berinteraksi positif serta
mendapatkan penguatan positif dari orang lain. Kondisi ini juga menandakan
pasien kanker payudara menerima peran dan identitas baru, yakni sebagai
6
survivor kanker, yang berarti individu mendapat nilai/ makna pada kondisi ideal
baru yang membentuk konsep diri yang dirasakan positif atau lebih baik dari
kehidupan sebelum mengalami kanker. Tanda bahwa survivor menerima adalah
mampu mengatur kesakitan (pain) dengan cara merubah gaya hidup jadi gaya
hidup sehat, mengatur efek pengobatan jangka panjang, berorientasi pada masa
depan dan pencapaian tujuan, coping positif berhasil, masuk kembali ke tempat
kerja, dan mampu mengatur diskriminasi asuransi kesehatan dan pekerjaan
serta mampu membuat keputusan akhir kehidupan (Zebrack, 2000).
Hasil penelitian Wildes, Miller, de Majors, Otto, dan Ramirez, (2011)
menunjukkan bahwa survivor kanker payudara dari Amerika Latin yang puas
dengan dokter perawatan kanker secara signifikan dan positif berhubungan
dengan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan (kesejahteraan
fungsional). Kesejahteraan fungsional meliputi kemampuan survivor bekerja,
menemukan pemenuhan (fulfillment) di tempat kerja dan kehidupan, mampu
menikmati hidup, mampu tidur dengan baik dan menikmati aktivitas waktu luang,
serta mampu menerima kesakitannya. Beberapa survivor juga menyatakan
ketidak puasan, yaitu ketika mereka khawatir tidak mampu mendukung
keuangan keluarga dan cemas akan kehilangan pelayanan kesehatan.
Hasil wawancara dengan survivor T menyatakan bahwa dengan
kondisinya yang mengalami kanker payudara dan muncul kanker baru yaitu
kanker rahim membuat T khawatir dengan kondisi keuangan keluarga yang
berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah. Bahkan demi pengobatan T,
anak satu-satunya sampai putus sekolah dan hingga saat ini masih perlu
melunasi hutang yang digunakan untuk pengobatan dulu. Harapan satu-satunya
sekarang diberi kesehatan agar tidak menyusahkan keluarga (wawancara
7
tanggal 31 Mei 2013). Kondisi survivor T ini mendukung hasil penelitian Wildes,
dkk (2011) bahwa dampak tumor dan pengobatannya akan memunculkan stres,
selain dari keadaan diri juga dari keadaan eksternal, seperti keluarga. Hal ini
yang membuat survivor meski sudah tuntas pengobatan masih belum mengalami
kepuasan hidup.
Hasil wawancara lain (wawancara tanggal 15 April 2013) dari salah satu
survivor kanker, yaitu survivor I menyatakan
“memang ketika mengalami sakit atau badan terasa sakit fikiran macam-macam, cemas dan khawatir akan kambuhnya kanker. Jangan-jangan kanker kambuh, menyebar ke mana-mana”. Berdasarkan hasil wawancara tersebut tampak bahwa memang kecemasan
kekambuhan akan muncul pada survivor terutama ketika mengalami sakit atau
badan terasa sakit. Selain itu, kondisi emosi tidak menyenangkan juga masih
dialami survivor I, yaitu ketika menceritakan pengalaman-pengalaman negatif
yang membuatnya stres sempat menyalahkan Tuhan, bahkan sampai sekarang
masih terganggu dengan kondisi anaknya yang belum menyelesaikan
sekolahnya. Kondisi ini juga membuktikan penelitian Wildes dkk. (2011) bahwa
tumor dan pengobatannya memberikan dampak terkait keterbatasn fisik dan
penyakit serta kondisi eksternal seperti keluarga dan hubungan sosial yang
menjadikan stres para survivor.
Pernyataan survivor I juga dikuatkan oleh berbagai hasil studi dan
analisis yang dilakukan oleh Allen, Savadatti, dan Levy (2009); Bellizzi dan
Blank, (2006); Helgeson, Snyder, dan Seltman (2004); serta William (2012) yang
menunjukkan bahwa pasien kanker payudara yang sudah mengakhiri periode
pengobatannya akan mengalami kesejahteraan hidup, namun ada juga yang
masih mengalami distress psikologis terbukti adanya kekambuhan, dan
8
munculnya penyakit lain. Kemungkinan ini disebabkan oleh kondisi kenyataan
yang harus dihadapi setelah berakhirnya pengobatan. Sebutan survivor
menuntut para penderita kanker payudara untuk mampu menjadi “normal”
kembali, yaitu harus berfungsi pada keluarga, pekerjaan dan sosial lagi;
menuntut mereka untuk percaya diri akan body image yang baru; mereka juga
dituntut untuk optimis dan yakin bahwa kanker yang pernah dialaminya tidak
kambuh; serta dituntut untuk bergaya hidup lebih positif, seperti tidak merokok,
mengatur pola makan, dan berolahraga.
Mereka yang mampu memenuhi kondisi sebagai survivor menandakan
sejahtera dan dapat mengambil makna dibalik pengalaman kanker payudara,
bahkan beberapa survivor mampu mengekspresikan apresiasi atas kemampuan
survivenya, yaitu dengan menjadi peer support pasien kanker payudara. Kondisi
berbeda terjadi pada beberapa orang yang tidak mampu memenuhi kondisi
sebagai survivor. Hal ini perlu menjadi perhatian karena mereka mengalami
penilaian negatif atas kondisi survivor (Allen, Savadatti, & Levy, 2009). Penilaian
negatif survivor berupa kecemasan kambuh yang berlebihan, kekhawatiran
kehilangan perhatian, kekhawatiran masa depan, dan keletihan akibat dari
ketidakmampuan individu menyesuaikan dengan identitas baru, yaitu sebagai
survivor kanker.
Penilaian negatif yang cenderung dilakukan survivor ini dapat
meningkatkan stres pada masa transisi sehingga mempengaruhi kesejahteraan
subjektifnya, karena kesejahteraan merefleksikan reaksi kognitif dan emosi
kondisi hidupnya. Stres juga merupakan suatu keadaan yang muncul akibat
interaksi kognitif dan emosi yang tidak stabil. Penilaian stres muncul dari
beberapa aspek, yaitu 1) emosi negatif yang dirasakan saat mengalami suatu
9
peristiwa yang dapat mempengaruhi proses kognitif sehingga memunculkan
stres. 2) ketidakpastian, yaitu perasaan tidak berdaya yang menumpuk dan
mendorong reaksi stres. 3) hasil evaluasi peristiwa yang terjadi. Ketika skema
kognitif mendorong munculnya persepsi negatif individu atas peristiwa tersebut,
maka individu akan mengalami stres (Rice, 1999). Proses penilaian reaksi stres
ini dapat mempengaruhi sistem imun dalam tubuh seseorang. Aktivitas neural,
perilaku, mood, dan proses kognitif berubah secara dramatis dalam 1 sampai 3
jam mengikuti aktivasi sel imun oleh bakteri, virus, atau zat yang menstimulasi
sel imun (Maier & Watkins, 2000).
Aktivasi terus-menerus HPA (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal) axis dan
sistem saraf simpatetik dalam merespon stres kronis mempengaruhi kerusakan
respon imun dan berkontribusi pada perkembangan dan progresi beberapa tipe
kanker. Respon HPA mengeluarkan kortisol, dan respon simpatetik
mengeluarkan catecholamines. Keduanya berfungsi untuk memproduksi energi
tubuh, sementara banyak perubahan perilaku (perilaku yang menganggu)
mengurangi energi tersebut, seperti merokok, dsb
Perilaku mengganggu yang mengurangi energi ini berkaitan dengan
penurunan cytotoxic T-cell dan aktivitas sel pembunuh alami yang
mempengaruhi proses imun pengawas tumor, ketika kondisi ini masih dapat
dikendalikan tubuh secara alami, maka tumbuhnya sel kanker dapat terhindari.
Kondisi berbeda muncul ketika tubuh secara alami tidak mampu mengendalikan,
maka sel kanker berkembang (Maier & Watkins, 2000; Prokop, Bradley, Burish,
Anderson, & Fox, 1991; Reiche, Nunes, & Morimoto, 2004). Berdasarkan hal ini,
stres menjadi faktor penting risiko munculnya kanker. Sebagai survivor yang
pernah menjadi pasien, diharapkan mampu mengelola kehidupan survivornya
10
agar tidak menimbulkan stres yang dapat memicu kekambuhan atau munculnya
kanker baru.
Sebagaimana telaah pustaka mengenai etiologi munculnya kanker, baik
itu kanker baru atau kekambuhan bisa dari berbagai faktor, yaitu faktor biologis
berupa oncogenes, faktor perilaku, psikologis, dan sosial berupa carcinogenes.
Faktor yang secara tidak langsung memicu risiko tinggi adanya kanker adalah
stres. Lazarus menyatakan bahwa stres adalah ketidakseimbangan antara
tuntutan dan sumber coping. Stres muncul ketika suatu keadaan dianggap
membahayakan fisik atau psikis, baik secara riil maupun imajinasi dan tidak
mampu direspon dengan efektif (Prokop, Bradley, Burish, Anderson, & Fox,
1991). Rice (1999) juga menyatakan bahwa stres secara tidak langsung dapat
memicu munculnya kanker.
Survivor yang cenderung menilai dan merasakan kehidupan survivornya
sebagai peristiwa negatif, sehingga dapat meningkatkan afek negatif survivor
lebih tinggi daripada afek positif yang memicu ketidak puasan dan ketidak
bahagiaan hidup, dan menyebabkan rendahnya tingkat kesejahteraan subjektif.
Ozmete (2011) mengungkapkan bahwa komponen inti kesejahteraan subjektif
adalah afek seseorang, mencakup penilaian mood dan emosi menyenangkan
dan tidak menyenangkan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor yang
berkontribusi pada komponen kesejahteraan subjektif adalah kepribadian,
adaptasi, hubungan sosial, dan budaya (Biswas-Diener, Diener, & Tamir, 2004)
serta sipiritualitas dan religiusitas (Wills, 2009).
Kemampuan adaptasi individu menandakan bahwa individu tersebut
mampu menyesuaikan keadaan yang ada. Sebagaimana hasil wawancara
survivor I, yang mengatakan bahwa ketika ia merasa cemas, was-was akan
11
kekambuhan kanker, maka ia mengembalikan pada acuan berfikir positif, yaitu
mengingat hasil diagnosa awalnya dulu bahwa kankernya tidak metastase,
stadium 1 dan melakukan pengaturan makanan sehat. Selain itu yang
menguatkan survivor untuk hidup positif adalah ibunya yang meski sudah berusia
83 tahun masih hidup dan pengalaman positif bertubi-tubi yang didapatnya
selama kehidupan setelah kanker. Hal inilah yang menambah rasa syukur dan
keyakinan pada Allah. Bahkan rasa syukur masih hidup sampai saat ini
diwujudkan dengan membantu menpsikoedukasi para pasien kanker payudara
yang tidak mau kemoterapi (Wawancara tanggal 15 April 2013).
Hal yang sama juga dilakukan oleh survivor T, ia mengatakan bahwa
bersyukur sampai usia 60 masih sehat, dapat kumpul dengan anak-cucu, dapat
ikut kegiatan di masyarakat lagi, seperti yasinan dan dia sekarang juga sama
sekali tidak memakan brutu, mie instan (wawancara tanggal 31 Mei 2013).
Kedua survivor, survivor I dan survivor T berusaha mempertahankan
kesejahteraannya yaitu berfikir positif serta bersyukur dengan memperkuat
hubungan interpersonal, berbuat kebaikan dan menjaga pola hidup.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Diener dan Seligman (2002)
menguatkan kondisi yang dirasakan survivor pada masa pasca pengobatan.
Mereka menemukan bahwa orang yang sangat bahagia dapat mengingat lebih
banyak peristiwa-peristiwa baik dalam hidupnya daripada peristiwa buruk, dan
melaporkan lebih banyak emosi positif daripada emosi negatif pada kehidupan
sehari-hari. Sebaliknya, orang yang tidak bahagia mengalami ketidakpuasan atas
dirinya sendiri, pada teman serta keluarga. Orang yang sangat bahagia memiliki
hubungan sosial yang berharga dan memuaskan, sedangkan orang yang tidak
bahagia memiliki hubungan sosial yang secara signifikan lebih buruk. Orang
12
yang sangat bahagia mengalami sedikit emosi yang tidak menyenangkan, ini
berarti bahwa meski sering merasa bahagia, kemampuan merasakan emosi tidak
menyenangkan pada waktu tertentu tetap dialami.
Sesuai dengan pendapat Diener dan Seligman di atas, dikaitkan dengan
kondisi survivor T dan survivor I, mengindikasikan bahwa meski survivor merasa
sejahtera, namun masih mengalami ketidak puasan dan merasa negatif, yaitu
cemas kekambuhan, khawatir akan kondisi keluarga. Keadaan ini membutuhkan
hal yang dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif, yaitu merasakan
kepuasan, perasaan positif, dan mengurangi perasaan negatif. Salah satu aspek
yang berhubungan dengan kesejahteraan subjektif adalah kebersyukuran
(Watkins, 2004).
Rasa syukur didapat dari persepsi positif individu atas anugerah yang
diterimanya, bahwa sesuatu yang diterima atau terjadi pada dirinya adalah hal
yang berharga (Watkins, 2004). Syukur merupakan salah satu kekuatan individu
yang dapat dijadikan proteksi diri untuk mengurangi kondisi emosi dan psikis
yang bersifat patologis akibat dari suatu bencana (Bono, Emmons, &
McCullough, 2004). Pada penelitian ini, bencana (peristiwa traumatis) yang
dialami individu adalah akibat kanker payudara dan berbagai pengobatannya.
Perlu adanya usaha membentuk posttraumatic growth yang menghasilkan
kebahagiaan individu. Adanya rasa syukur menunjukkan unsur resiliensi pada
diri individu sehingga terbentuk posttraumatic growth (kekuatan psikologis yang
positif berhubungan dengan keadaan pasca bencana) dan berujung pada
kebahagiaan. Vernon, Dillon, dan Steiner, (2009) menemukan hubungan positif
antara syukur dan pertumbuhan, hubungan negatif dengan gejala PTSD pada
sampel wanita dengan riwayat trauma.
13
McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) juga menemukan trait syukur
secara positif berhubungan dengan kepuasan hidup, kebahagiaan, optimisme,
harapan, dan afek positif, serta berhubungan negatif dengan kecemasan,
depresi, serta afek negatif. Hasil penelitian lain, subjek yang membaca dan
merespon gambaran skenario berbagai peristiwa bantuan, dengan motivasi
penolong tidak disengaja atau disengaja menunjukkan bahwa penerima
mengalami lebih banyak syukur atas penolong yang tidak disengaja (sukarela)
dan memprediksi sikap positif terhadap penolong, afek positif, dan perasaan
keterdekatan (Weinstein, DeHaan, & Ryan, 2010).
Watkins (2004) mengungkapkan bahwa kontribusi syukur pada
kebahagiaan dapat melalui berbagai cara, yaitu 1) ketika sesuatu yang
didapat/diterima individu dirasakan sebagai hadiah, maka individu tersebut akan
bersyukur dan merasa bahagia. Perasaan pengalaman positif sebagai sebuah
hadiah/anugerah ini membentuk penguatan kognitif yang dapat meningkatkan
emosi positif individu; 2) berdasarkan kemampuan individu beradaptasi. Individu
yang mampu beradaptasi dapat merasakan kepuasan dengan menyadari
besarnya keberuntungan atas kondisinya saat ini; 3) selanjutnya, syukur
berkontribusi pada kebahagiaan karena syukur sebagai mekanisme coping yang
efektif. Jika Individu cenderung memandang kehidupan sebagai sebuah hadiah,
maka ia akan mensyukuri hal itu, dengan bersyukur ia akan lebih mampu
menemukan kebaikan bahkan ketika dalam keadaan yang kurang
menyenangkan. Sikap bersyukur ini dapat menjadi coping keadaan stressful dan
mempromosikan kesejahteraan subjektif jangka panjang; 4) cara lainnya adalah
melalui mengingat dan mengoleksi peristiwa-peristiwa hidup yang
menyenangkan. Aspek penting kebahagiaan adalah pengaksesan informasi
14
positif. Orang yang bersyukur akan merasa bahagia, sehingga lebih
memungkinkan untuk mencatat aspek positif dalam hidupnya dan meningkatkan
pengkodean pengalaman ini dalam memori. Berdasarkan hal ini, kesimpulannya
bahwa dengan mengekspresikan perasaan syukur dapat menimbulkan penilaian
yang positif dalam kehidupan. Intervensi syukur mampu meningkatkan
pengalaman bersyukur sehingga meningkatkan kesejahteraan.
Penelitian Emmons dan McCullough, (2003) yang berfokus pada studi
kebersyukuran, menunjukkan bahwa pelatihan dengan menggunakan self-guided
tentang perasaan bersyukur mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis
pada partisipan kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol yang fokus
pada perasaan hassles (kekecewaan) maupun fokus pada kejadian yang dialami
sehari-hari. Hasil penelitian menyatakan bahwa rasa syukur bermanfaat
meningkatkan kesejahteraan subjektif dengan cara menghitung berkah yang
diterima atau merefleksikan aspek-aspek kehidupan yang pantas disyukuri.
Penelitian ini direplikasi Froh, Sefick, dan Emmons, (2008) pada 221 pelajar
SMP. Hasil menyatakan bahwa kelompok eksperimen memiliki peningkatan rasa
optimis, kepuasan hidup, juga menurunkan afek negatif. Pada seting klinis teknik
ini efektif digunakan dalam treatment pada subjek dengan ketidak puasan tubuh
dan kekhawatiran yang berlebihan (Geraghty, Wood, & Hyland, 2010a; 2010b).
Studi selanjutnya dilakukan oleh Rash, Matsuba, & Prkachin, (2011)
menggunakan kontemplasi syukur untuk jangka panjang pada 56 orang
mahasiswa terdiri dari 30 laki-laki dan 26 perempuan di Kolumbia Inggris,
Kanada berusia rata-rata 22,5 tahun. Penelitian mereka dipengaruhi oleh
pernyataan bahwa ada hubungan fisiologis antara keadaan emosi dan fisik
seseorang, dan dengan memanipulasi keadaan emosi dapat memproduksi
15
perubahan fisiologis. Hasil studi menunjukkan bahwa selama 4 minggu intervensi
kontemplasi syukur dapat memperbaiki kesejahteraan partisipan kelompok
eksperimen dalam jangka panjang dibandingkan kelompok kontrol. Bahkan
kelompok eksperimen melaporkan meningkat kepuasan dan harga dirinya.
Kebersyukuran menunjukkan inti dari perilaku positif, menjadi indikator
dari orientasi, memaknai, dan mengapresiasi kepositifan hidup. Individu yang
merasa lebih bersyukur memiliki pandangan yang lebih positif mengenai
lingkungan sosial, penggunaan strategi coping yang produktif, memiliki perilaku
yang positif, kualitas tidur lebih baik, fokus terhadap lingkungan secara positif,
dan memiliki apresiasi yang tinggi terhadap kehidupannya, seperti terjadinya
penurunan aspek negatif terkait diri, kehidupan dan masa depan (Wood, Joseph,
& Maltby, 2008). Efek perasaan bersyukur inilah yang menjadi alasan peneliti
untuk menggunakan program intervensi syukur dalam usaha meningkatkan
kesejahteraan subjektif survivor kanker payudara.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat beberapa intervensi
untuk meningkatkan kesejahteraan individu, di antaranya adalah pelatihan
manajemen distress berbasis mindfulness (MDBM) terhadap peningkatan
kesejahteraan psikologis ODHA. Pelatihan ini efektif diberikan pada 10 ODHA, 3
laki-laki dan 7 perempuan. Bentuk perlakuan diberikan secara berkelompok yang
terdiri dari 9 sesi dan dilaksanakan dalam 5 kali pertemuan. Dalam MDBM
melibatkan teknik mindful yoga, psikoedukasi, meditasi duduk, nafas, makan dan
cinta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa MDBM mampu meningkatkan
kesejahteraan psikologis ODHA (Dewi, 2012).
Intervensi selanjutnya adalah pelatihan relaksasi untuk kesejahteraan
subjektif individu dengan HIV/AIDS (IDHA) oleh (Fikri, 2012). Jenis penelitian
16
eksperimen dengan desain kasus tunggal (single case) ABAB. Kriteria subjek:
teinfeksi HIV/AIDS min. < 60 hari, terinfeksi karena penggunaan IDUs (Injection
Drug Uses), individu masih di tahap lini 1, meminum antiretroviral, jenis kelamin
laki-laki, usia 35 tahun, pendidikan min. D3. Hasil menyatakan Pelatihan
relaksasi khususnya relaksasi pernafasan yang dilakukan selama 3 bulan belum
mampu meningkatkan kesejahteraan subjektif dan menurunkan distress subjek
S.
Penelitian pelatihan pemaafan untuk meningkatkan kesejahteraan
subjektif pasutri Kristen protestan pada tahap awal pernikahan dilakukan oleh
Anakaka (2012). Pelatihan ini diberikan pada 6 pasutri. Pelatihan pemaafan
dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu tahap awareness/exploration, tahap
goodwill to repair/remorse, tahap reframing/reparation, dan tahap transformation.
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan subjektif
pasutri Kristen Protestan.
Sebagian besar intervensi kesejahteraan menggunakan pendekatan
kognitif karena perubahan emosi akan bersifat sementara dan rentan dalam
menghadapi peristiwa berikutnya yang dianggap menekan (Retnowati, 2002).
Perubahan kognitif juga terjadi melalui konsep mindfulness, sebagaimana yang
dilakukan pada penelitian ini. Selain itu peneliti menggunakan intervensi syukur
berupa daftar syukur, karena dengan mendata banyak pengalaman yang
disyukuri dapat meningkatkan referensi pengalaman positif dalam memori yang
dapat menjadi coping saat stressful, mempromosikan kesejahteraan subjektif
jangka panjang (Watkins, 2004), serta dapat menjadi unsur resiliensi (Vernon, et.
al., 2009) untuk survivor kanker payudara dalam menghadapi kejadian yang
dianggap menekan. Kegiatan ini dikenal dengan sebutan aktivitas intentional
17
yang merupakan salah satu cara untuk meningkatkan fokus kesadaran (Toepfer,
Cichy, & Peters, 2012).
Kegiatan program intervensi syukur didasarkan pada prinsip intervensi
syukur yaitu upaya dan kontinuitas, self-concordance, bervariasi, perbandingan
anugerah diri dengan sosial, fokus perhatian pada anugerah, dan penerimaan.
Penjelasan prinsip bervariasi dapat berupa topik yang dihitung kebersyukurannya
bervariasi, mulai dari kesehatan, keluarga, pekerjaan, dsb. Variasi ini juga dapat
dimaksudkan bahwa intervensi syukur dapat dikombinasikan dengan teknik
intervensi lain serta bervariasi dari durasi waktu intervensi (Worthen & Isakson,
2007).
Alasan di atas lah yang mendorong penelitian ini akan dilakukan
menggunakan program intervensi syukur untuk meningkatkan kesejahteraan
subjektif pada survivor kanker payudara. Survivor sebagai orang yang pernah
mengalami sakit yang mengancam hidupnya, memiliki trauma atas pengalaman
tersebut dan mereka juga dituntut agar mampu kembali ke peran sosialnya, agar
pada kondisinya sebagai survivor mengalami kesejahteraan.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh program intervensi syukur pada kesejahteraan
subjektif survivor kanker payudara ?
C. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji bahwa program intervensi
syukur akan dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif survivor kanker
payudara.
18
D. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam :
1. Memberikan strategi prevensi untuk hidup lebih baik dan bahagia, baik pada
orang dengan penyakit kronis maupun orang normal pada umumnya.
2. Memperkaya kajian dunia psikologi, khususnya mengenai intervensi yang
lebih menekankan pada emosi positif, dan
3. Sebagai sumber informasi untuk memperdalam dan memperbanyak
penelitian lebih lanjut dalam bidang yang berkaitan, yaitu tentang komponen
kesejahteraan subjektif, syukur, dan intervensi syukur.
E. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya
Penelitian tentang kesejahteraan subjektif telah banyak dilakukan baik di
dalam maupun luar negeri. Baru-baru ini penelitian kesejahteraan subjektif di
UGM adalah pengaruh pelatihan relaksasi untuk kesejahteraan subjektif individu
dengan HIV/AIDS (IDHA) oleh Fikri (2012). Penelitian oleh (Darmayanti, 2012),
Model kesejahteraan subjektif remaja penyintas bencana tsunami Aceh 2004. Da
penelitian oleh Fitriasri (2013) yaitu hubungan antara varibel pemaafan dan
coping proaktif dengan kesejahteraan subjektif pada ibu tunggal karena
perceraian yang bekerja sebagai PNS pada Pem. Prov Jateng.
Penelitian intervensi atau treatment untuk kanker payudara juga telah
banyak dilakukan, di antaranya adalah treatment pemaafan untuk meningkatkan
penerimaan diri penderita kanker payudara. Subjek penelitian hanya 1 orang
wanita yang telah mengikuti 6 sesi treatment. Hasilnya ada peningkatan
pemaafan dan penerimaan diri (Rahmadani, 2011). Program lain dilakukan
Pamungkas (2011), adalah latihan pasrah diri terhadap perbaikan simtom
19
depresi pasien kanker payudara. Latihan ini merupakan kombinasi dzikir dan
relaksasi yang dilakukan 2 kali sehari selama 3 minggu pada pasien rawat jalan
berjumlah 64 orang, 32 kelompok perlakuan dan 32 kelompok kontrol. Hasilnya
tidak ada pengaruh perbaikan skor depresi (BDI) pasca latihan pasrah diri.
Fourianalistyawati (2007) juga telah melakukan treatment transpersonal
untuk menurunkan depresi perempuan penderita kanker payudara. Treatment ini
terdiri dari visualisasi, afirmasi, dan release yang diberikan pada 8 orang pasien
berusia 35-50 tahun. Hasilnya ada perbedaan tingkat depresi sebelum dan
setelah treatment. Selanjutnya, treatment reiki menggunakan energi kehidupan
sebagai medianya, dilakukan pada 13 orang penderita kanker payudara. Hasil
menunjukkan treatment ini dapat menurunkan tingkat depresi (Sholichatun,
2004). Studi lain dilakukan oleh Desmaniarti (2003) yang menguji efektifitas
latihan relaksasi kesadaran indera menggunakan kaset dan liflet untuk
menurunkan kecemasan penderita kanker payudara. Latihan dilakukan selama
14 hari pada 15 orang, 7 orang kelompok kaset dan 8 orang kelompok liflet.
Hasilnya baik liflet maupun kaset efektif menurunkan kecemasan penderita
kanker payudara, namun tidak ada perbedaan efektifitas antara kaset dengan
liflet.
Penelitian intervensi untuk kanker payudara di atas, sebagian besar untuk
mengatasi psikopatologis, seperti depresi, kecemasan, subjeknya sebagian
besar adalah pasien kanker payudara. Masih sedikit penelitian pada subjek
sebagai survivor kanker payudara. Berdasarkan kajian kepustakaan, penelitian
tentang survivor kanker payudara masih butuh pengembangan. Studi kualitatif
dilakukan oleh Allen, Savadatti, dan Levy, (2009), The Transition from Breast
Cancer Patient to Survivor; studi oleh Bell, Lijovic, China, Schwarz, Fradkin,
20
Bradbury dan Davis, (2010), Psychological Well-Being in a Cohort of Women
with Invasive Breast Cancer Nearly 2 Years after Diagnosis; studi oleh
Helgeson, Snyder, dan Seltman (2004), Psychological and Physical Adjustment
to Breast Cancer Over 4 Years : Identifying Distinct Trajectories of Change; dan
studi yang dilakukan Erika, Rebecca, Amelia, Lisa, dan Bettencourt (2010), The
feasibility and effectiveness of expressing writing for rural and urban breast
cancer survivor.
Penelitian tentang kebersyukuran pun juga telah banyak dilakukan, yang
sebagian besar dilakukan di luar negeri terutama oleh Emmons dan McCullough,
ada juga studi tentang syukur yang dilakukan oleh Ruini dan Vescovelli (2012),
The Role of Gratitude in Breast Cancer: Its Relationships with Post-traumatic
Growth, Psychological Well-Being and Distress. Studi intervensi syukur dilakukan
oleh Rash, Matsuba, dan Prkachin (2011), Gratitude and Well-Being: Who
Benefits the Most from a Gratitude Intervention?.
Di Indonesia, syukur dalam ranah Psikologi masih tergolong jarang,
seperti studi tentang hubungan bersyukur dan subjective well-being pada
penduduk miskin (Arbiyah, Imelda, & Oriza, 2008), perbedaan tingkat syukur
ditinjau dari kepribadian Big Five Personality (Qoyyimah, 2010). Intervensi syukur
yang telah dilakukan adalah treatment kognitif perilaku bersyukur untuk
menurunkan depresi pada remaja yang dilakukan oleh Mutia, Subandi, dan
Mulyati (2010). Alasan menggunakan pendekatan kognitif perilaku bahwa syukur
dapat dimunculkan dengan membiasakan perilaku positif sebagai balasan dan
wujud dari rasa terimakasih pada sumber yang mendatangkan kebaikan atau
nikmat, sehingga mereka menyimpulkan bahwa syukur dapat muncul melalui
proses berfikir dan membiasakan perilaku tertentu. Treatment kognitif perilaku
21
bersyukur ini dilakukan sebanyak 6 sesi dengan adaptasi modul CBT dari
Retnowati, dkk pada tahun 2008. Treatment ini diberikan pada remaja berusia 13
-18 tahun dengan kategori depresi tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
treatment kognitif perilaku bersyukur terbukti dapat menurunkan atau
mengurangi depresi, ada perbedaan tingkat depresi setelah mendapat treatment
antara subjek kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dan ada perbedaan
tingkat depresi setelah follow-up 2 minggu pasca treatment.
Intervensi syukur juga telah dilakukan oleh Puspitasari (2012), yaitu
program kebersyukuran untuk mengatasi gejala gangguan stres pasca trauma
pada remaja penyintas erupsi merapi. Program ini dilakukan pada siswa SMPN 2
Cangkringan Yogyakarta dengan 24 partisipan, 12 kelompok eksperimen dan 12
kelompok kontrol. Metode program kebersyukuran dengan pendekatan kognitif
behavior yang mengacu dari Miller dan dilakukan berkelompok. Hasil dari
penelitian tidak terbukti secara signifikan adanya penurunan lebih tinggi
gangguan stress pasca trauma pada kelompok eksperimen dibandingkan
kelompok kontrol.
Karakteristik penelitian ini yang membedakan dengan penelitian syukur
yang sudah dilakukan di Indonesia adalah program intervensi syukur dengan
konsep mindfullness, yaitu mengoleksi pengalaman yang disyukuri pada buku
harian syukur dan adanya teknik mindufulness (meditasi) untuk memperkuat
kesadaran kebersyukuran. Selain itu subjek penelitian adalah survivor kanker
payudara dalam tahap transisi, yaitu pasca tumor dan serangkaian treatmentnya
yang masih jarang diteliti, sehingga penelitian pengaruh program intervensi
syukur pada kesejahteraan subjektif survivor kanker payudara dapat
dipertanggung jawabkan keasliannya.