1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Demak merupakan salah satu Kabupaten yang ada di
Provinsi Jawa Tengah bagian utara, berbatasan langsung dengan
Kota Semarang sebagai pusat pemerintahan di Jawa Tengah.
Catatan sejarah Kabupaten Demak tidak lepas dari perjuangan
para Wali dalam kegiatan menyebarkan agama Islam pada abad
XV. Keberadaan Demak yaitu sebagai pusat kerajaan Islam
(kasultanan Bintoro) di pulau Jawa dengan tokoh utamanya
adalah Sunan Kalijaga dan Sultan Fattah yang diakui merupakan
tokoh besar dan berpengaruh dalam lintas sejarah Kabupaten
Demak.1
Masyarakat Demak sangat membanggakan dirinya menjadi
warga kota Wali. Tidaklah mengherankan jika kemudian beragam
acara atau ritual yang diperkenalkan oleh para Wali masih
berlangsung sampai saat ini dan menjadi semacam upacara ritual
yang selalu dinantikan masyarakat, tidak hanya warga Demak
sendiri tetapi juga dari luar daerah seperti Solo, Sragen, Madiun,
Magelang, Semarang, Pekalongan, Cirebon, dan Tasikmalaya.
1 Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Demak, Grebeg Besar Demak, (Demak: Pemerintah Kabupaten Demak, 2006), 1.
2
Salah satu upacara ritual yang diselenggarakan masyarakat
Demak ialah Grebeg Besar.
Grebeg Besar merupakan salah satu bentuk upacara ritual
masyarakat Demak yang wajib diselenggarakan setiap tahun
sekali, dimana pelaksanaanya setiap tanggal 10 Dzulhijjah (nama
bulan dari bahasa Arab) bersamaan dengan datangnya peringatan
Hari Raya Idul Adha, yang dipusatkan di Masjid Agung Demak,
pendhopo dan makam Sunan Kalijaga yang bertempat di
Kadilangu. Upacara tradisional yang dilaksanakan setahun sekali
oleh masyarakat Demak ini merupakan tradisi religius yang
diwariskan secara turun temurun. Tradisi tersebut merupakan
perwujudan dari kepercayaan yang kuat terhadap adat istiadat
yang diwariskan leluhur yang diyakini dapat memberikan
keseimbangan dalam kehidupannya.
Istilah Grebeg dalam bahasa Jawa berarti didatangi secara
beramai-ramai oleh banyak orang, sedangkan istilah Besar
dipergunakan di sini karena perayaan tersebut berlangsung pada
bulan Dzulhijjah (nama bulan dari bahasa Arab) yang oleh orang
Jawa disebut bulan Besar. Jadi Grebeg Besar ialah kumpulnya
masyarakat Islam pada bulan Besar sekali setahun, yaitu untuk
kepentingan dakwah Islamiyah di Masjid Agung Demak.2
2 Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Demak, 2006, 3.
3
Perayaan Grebeg Besar di Demak dimaksudkan sebagai
tradisi penghormatan dan rasa syukur atas perjuangan para
leluhur, khususnya sehubungan dengan kegiatan siar Islam yang
dilaksankan Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga.3 Seperti yang
dikatakan oleh bapak Moh. Makmun Sahlan demikian,
Dahulu para Wali menyelenggarakan Grebeg Besar sebagai media dakwah, penyebaran agama Islam tidak banyak mengalami kemajuan. Jumlah para santri masih sangat sedikit. Sebagian besar rakyat terutama masyarakat pedesaan enggan untuk mengucapkan syahadat sebagai pernyataan memeluk agama Islam. Para Wali bermusyawarah mereka sependapat memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan rakyat sebagai sarana dakwah. Terutama dengan memanfaatkan bahasa, adat istiadat, dan kesenian rakyat. Sehingga rakyat menyukai perayaan dan keramaian yang dihubungkan dengan upacara keagamaan.4
Beberapa perubahan terjadi pada perayaan Grebeg Besar di
Demak. Perubahan dimulai pada tahun 1846 saat Bupati Demak,
mengkombinasikan tradisi Grebeg Besar dengan seni budaya yang
diwariskan oleh sembilan Wali seperti barong hakikat, topeng
shari’at dan tari ronggeng ma’rifat yang digunakan sebagai
penyebaran agama Islam. Satu abad kemudian, pada tahun 1976,
Winarno Adisubrata Kasi Kebudayaan Demak berkolaborasi
dengan Dinas Pariwisata memodifikasi perayaan Grebeg Besar
3 Kantor Pariwisata dan Kebudayaan, 2006, 7. 4 Moh. Makmun Sahlan, dan Ustadz Imaduddin, Menyikapi Sejarah, Seni,
Budaya, Dan Dakwah Wali Songo, (Demak: Majelis Ta’lim “Al Barokah”, 2001), 15.
4
dengan menambahkan Slametan Tumpeng Sembilan dan prosesi
Prajurit Patangpuluh. Alasan utama Winarno memodifikasi Grebeg
Besar adalah untuk meningkatkan ketertarikan masyarakat untuk
mengunjungi perayaan Grebeg Besar. Di akhir 1980an, Dinas
Parwisata dengan tujuan mengembangkan dunia kepariwisataan
menambahkan sajian tari sebelum prosesi penyerahan minyak
jamas. Sejak itu pertunjukkan tari Bedhaya Tunggal Jiwa menjadi
elemen penting dalam Grebeg Besar.
Bedhaya biasanya hanya dijumpai di keraton Jawa seperti
pada upacara-upacara saat perayaan ulang tahun penobatan
(wiyosan jumengan), perjamuan untuk tamu raja, dan pembesar
tinggi asing, serta perkawinan kerabat kerajaan.5 Bedhaya
berkembang di luar keraton menandakan adanya perkembangan
jenis-jenis tari bedhaya yang lebih terbuka artinya arah
perkembangan yang tidak selalu berpatokan dengan kaidah tari
bedhaya keraton. Salah satunya yaitu tari Bedhaya Tunggal Jiwa
yang ditarikan oleh sembilan penari wanita. Jumlah sembilan
diyakini oleh masyarakat Jawa sebagai jumlah bilangan terbesar
dan memiliki makna simbolis yang terkait dengan pandangan
filsafat masyarakat Jawa. Berkaitan dengan hal tersebut maka
sudah semestinya untuk membahas tari Bedhaya harus dipahami
5Brakel Papenhuyzen, Seni Tari Jawa Tradisi Surakarta dan Peritilahannya, Alih bahasa oleh Mursabyo, (Jakarta: 1991),46.
5
melalui perspektif budaya Jawa.6 Sebagai tari Jawa yang
dipertunjukan pada tradisi Grebeg Besar, tari Bedhaya Tunggal
Jiwa disesuaikan dengan sejarah dan keberadaan para Wali.7
Seperti yang dikemukakan oleh Edi Sedyawati demikian.
Seni tradisi yang mampu berkembang adalah seni yang memberi peluang bagi kreativitas para senimannya. Dalam proses kreatif itulah, para seniman memanfaatkan latar belakang budaya suatu daerah sebagai objek kreativitas dan dipadukan dengan fenomena-fenomena kekinian.8 Jika dipandang dari sisi tekstual (jumlah penari, properti,
rias busana, dan iringan), tari Bedhaya Tunggal Jiwa ini terlihat
unik, karena busana yang digunakan tertutup pada bagian atas,
memakai properti tasbih, iringan yang digunakan untuk
mengiringi tarinya adalah gendhing ketawang dan gendhing Ilir-ilir.
Hal ini mengimplikasikan bahwa ada ‘sesuatu’ yang diyakini oleh
masyarakat terdapat di balik tari Bedhaya Tunggal Jiwa , sehingga
selalu dipertunjukan pada tradisi Grebeg Besar Demak.
Keberadaan tari sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial-
kulturnya, sebab dalam lingkungan etnik, perilaku mempunyai
wewenang yang amat besar dalam menentukan keberadaan
6 Wahyu Santoso Prabowo, dan Hadi Subagyo, Soamaryatmi, Katarina Indah Sulastuti, Jejak Langkah Tari di Pura Mangkunegaran, (Surakarta: ISI Press, 2007), 40-41.
7 Wawancara dengan Ibu Dyah Purwani, 27 Februari 2013. 8 Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, (Jakarta: Sinar Harapan,
1998), 8.
6
kesenian, termasuk tari tradisional.9 Sebagai unsur kebudayaan,
kesenian termasuk seni tari, tidaklah berdiri sendiri. Ia
berhubungan dengan unsur kebudayaan lain misalnya ilmu,
agama, ekonomi, dan sebagainya.10
Tari Bedhaya Tunggal Jiwa sebagai bagian dari masyarakat
Demak selalu terkait dengan upacara tradisi Grebeg Besar di
Demak. Oleh karena itu, tari Bedhaya yang berkembang di
lingkungan masyarakat Demak menunjukkan keterkaitannya
dengan kompleksitas kehidupan masyarakat. Dapat dikatakan tari
Bedhaya Tunggal Jiwa sebagai suatu bentuk tari yang dipakai
untuk upacara Grebeg Besar di Kabupaten Demak.
Tari merupakan wadah kreatifitas masyarakat dengan
berpatokan pada nilai-nilai estetis yang di dalamnya terdapat
sistem pemaknaan, karena tari merupakan hasil dari proses sosial
dan bukan proses perorangan. Artinya, walau tari tersebut
diciptakan oleh satu orang, namun dalam perkembangannya tari
mengalami perubahan akibat tingkah laku masyarakat secara
kolektif terhadap tari tersebut, maka secara otomatis mengalami
pemaknaan secara kolektif pula, sesuai dengan sifat masyarakat
pendukungnya.11
9 Edi Sedyawati, 1998, 52. 10 Yudoseputro, Jejak-jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama, (Jakarta:
Yayasan Seni Visual Indonesia, 1993), 102. 11 Arnold Hauser, The Sosiology of Art. Terj. Kenneth J. Northcott. (Chicago
dan London: The University of Chicago Press, 1982), 94.
7
B. Rumusan Masalah
Berpijak pada latar belakang yang diuraikan, dapat
dirumuskan suatu permasalahan yang harus dipertanyakan lebih
mendalam, sehingga dapat diidentifikasi beberapa masalah
sebagai berikut.
1. Mengapa tari Bedhaya Tunggal Jiwa dipertunjukkan pada
tradisi Grebeg Besar di Demak?
2. Bagaimana bentuk pertunjukan tari Bedhaya Tunggal Jiwa?
3. Apa makna simbolik yang terkandung pada tari Bedhaya
Tunggal Jiwa?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Pada dasarnya tujuan penelitian merupakan suatu titik
tujuan yang akan dicapai melalui kegiatan penelitian, oleh karena
itu dalam mencapai suatu tujuan penelitian harus memiliki
syarat-syarat yang sangat penting untuk peneliti terapkan seperti
tegas, terperinci, dan sistematis.12 Kejelasan tentang rumusan
tujuan penelitian akan sangat menentukan metode dan teknik
lapangan serta cara analisis data-data yang telah dikumpulkan.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
12 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 1993), 13.
8
1. Mendeskripsikan bentuk pertunjukan tari Bedhaya Tunggal
Jiwa dalam upacara tradisi Grebeg Besar di Demak
2. Memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat Demak
terkait dengan tari Bedhaya Tunggal Jiwa dan Grebeg Besar.
3. Mengungkapkan peranan tari Bedhaya Tunggal Jiwa dalam
masyarakat Demak.
4. Menganalisis makna simbolik tari Bedhaya Tunggal Jiwa dalam
upacara tradisi Grebeg Besar di Demak.
Hasil tulisan ini diharapkan dapat memperkaya penelitian
seni pertunjukan, khususnya seni tari. Sebagai sumbangan
pemikiran dan masukan untuk memberi pemahaman terhadap
unsur-unsur yang terkait dengan keberadaan tari Bedhaya
Tunggal Jiwa pada upacara tradisi Grebeg Besar di Kabupaten
Demak. Sebagai bahan studi kepustakaan dan memberikan
rangsangan pada peneliti seni pertunjukan untuk lebih banyak,
lebih luas, dan mendorong timbulnya motivasi untuk mengadakan
penelitian lebih lanjut, serta sebagai bahan pengetahuan untuk
memperluas wawasan peneliti dalam ilmu bidang pengkajian seni
pertunjukan, khususnya dalam mengkaji makna simbolik tari
Bedhaya Tunggal Jiwa pada rangkaian upacara tradisi Grebeg
Besar di Kabupaten Demak.
9
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini membutuhkan berbagai kajian sumber
tertulis baik yang berasal dari buku, hasil penelitian, maupun di
luar itu seperti artikel-artikel, jurnal dan lainnya, sehingga dapat
menunjang dan memahami serta menunjukkan kemurnian kajian
penelitian. Tinjauan pustaka dalam sebuah penelitian sangat
penting dilakukan, dengan tujuan untuk menguji permasalahan
secara teoritis.
Tulisan yang membahas tentang tari Bedhaya Tunggal Jiwa
telah dijumpai yaitu dalam bentuk Skripsi yang berjudul “Analisis
Koreografi Tari Bedhaya Tunggal Jiwa di Kabupaten Demak” yang
ditulis oleh Indri Lestari pada tahun 2004 di Universitas Negeri
Yogyakarta. Skripsi tersebut tidak membahas lebih jauh tentang
keberadaan tari Bedhaya Tunggal Jiwa , serta tidak
menghubungkannya dengan tradisi Grebeg Besar di Demak,
seperti yang dikemukakan dalam penelitian ini. Skripsi yang
ditulis itu lebih cenderung kepada pemaparan deskriptif karya
tari. Namun demikian skripsi tersebut menjadi penting di dalam
penelitian ini, sebagai materi yang penting dan dapat digunakan
sebagai bahan data (meski perlu di crosschek ulang). Bagian yang
dapat diambil sebagai acuan salah satunya adalah mengenai latar
belakang penciptaan tari dan koreografi tari yang meliputi: gerak,
10
pola lantai, iringan, tata rias, tata busana, desain dramatik,
tempat pertunjukan, dan properti.
Buku Sejarah dan Legenda Grebeg Besar Kota Wali Demak
yang terbitkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Demak tahun 2006 juga bermanfaat untuk penyusunan tesis ini.
Bagian yang dapat diambil menjadi data adalah mengenai
pembahasan tentang Grebeg dan sejarahnya sampai pada makna
Grebeg Besar di Kabupaten Demak. Selain itu perlu untuk
diketahui mengapa Grebeg di bulan Besar, karena pada saat itu
penyerangan besar-besaran pasukan Kadipaten Bintoro
mengalahkan pasukan Girindrawardhana dilaksanakan pada
tanggal 10 Besar (Dzulhijjah) dan untuk memperingati
kemenangan pasukan Demak, Sultan Fattah memerintahkan
setiap tanggal 10 Besar diadakan peringatan Grebeg Besar.
Artikel dalam jurnal yang ditulis oleh Siti Munawarah
berjudul ”The Meaning of An Islamic Holiday Festival: A Study on
the Grebeg Besar in Demak” Tahun 2001. Dari artikel ini diperoleh
tentang adanya hubungan erat antara perayaan Grebeg dan
kraton di mana perayaan biasanya berfungsi sebagai sumber
legitimasi kerajaan seperti Grebeg Maulud Yogyakarta. Dalam
kasus Grebeg Besar di Demak, pertunjukan ritual ini tidak
dimaknai sebagai legitimasi dari pemerintah yang berkuasa tetapi
dimaknai sebagai pelestarian tradisi budaya yang telah ada sejak
11
Sultan Fatah, raja pertama Demak. Sejak Demak tidak memiliki
kraton, hubungan antara aktifitas Grebeg Besar dan kerajaan
dapat menjelaskan bahwa Demak dulu merupakan sebuah
kerajaan. Selain itu, dua tujuan Grebeg Besar, berfungsi sebagai
momen untuk menunjukkan identitas. Hal ini sejalan dengan
pendapat Muhaimin yang menyatakan dalam konteks Jawa,
perayaan hari raya memiliki dua tujuan: memelihara warisan
budaya dan menunjukkan identitas. Dalam konteks identitas
agama, Grebeg Besar menjadi momen untuk berpartisipasi
mendeklarasikan bahwa mereka adalah komunitas umum.
Pernyataan syahadat dan pesan untuk melaksanakan rukun
Islam khususnya sholat lima kali sehari yang tersembunyi dalam
lagu Ilir-ilir.
Buku Upacara Garebek di Yogyakarta, Arti dan Sejarahnya
ditulis oleh A. Daliman tahun 2012 ini sangat bermanfaat sebab
dalam buku ini dijelaskan sejarah tradisi Grebeg di Yogyakarta,
namun sebelumnya dijelaskan tentang sejarah tradisi Grebeg yang
dilaksanakan oleh keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta yang
melaksanakan tradisi Grebeg 3 kali yaitu Grebeg Mulud, Grebeg
Pasa/Sawal/Bakda dan Grebeg Besar, sedangkan di Demak
hanya 1 kali yaitu Grebeg Besar Demak. Inti makna dari upacara
Grebeg adalah kurban atau selamatan Negara yang
dipersembahkan oleh Raja kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk
12
memohon keselamatan, dan kesejahteraan bagi raja, negara, dan
rakyat. Bagian yang terpenting pada buku ini yaitu pada halaman
23, Sultan Demak pertama semula ingin menghapus kepercayaan
lama ini (pada masa Hindu sebutan untuk kurban yaitu
rajaweda), namun tidak berhasil. Atas anjuran para Wali maka
tradisi kurban itu tetap dilestarikan. Kemudian kurban itu
dinamakan garebek/grebeg yang disesuaikan dengan ajaran-
ajaran Islam.
Buku yang ditulis oleh Clara Brakel Papenhuyzen dengan
judul Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan Peristilahannya , tahun
1991 merupakan buku yang bermanfaat dalam penelitian ini.
Tulisan ini bermanfaat dalam memberi gambaran mengenai pola-
pola gerak tari gaya Surakarta. Pemahaman tentang pola gerak
menjadi landasan dalam membahas bentuk tari Bedhaya Tunggal
Jiwa di Kabupaten Demak.
Tesis yang berjudul “Tari Bedhaya Ketawang: Reaktualisasi
Hubungan Mistis Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu
Kencana Sari dan Perkembangannya” yang ditulis oleh Nora
Kustantina Dewi pada tahun 1994, memberi penjelasan tentang
asal usul tari Bedhaya Ketawang hingga sampai pada
perkembangan. Kelahiran tari Bedhaya Ketawang yang dianggap
sangat sakral oleh kalangan istana Surakarta dikaitkan dengan
peranan Kanjeng Ratu Kencanasari, yang dalam legenda Jawa
13
dipercaya telah mengadakan hubungan percintaan mistis dengan
raja Jawa pertama.
Di dalam tesis ini diungkapkan secara lengkap mulai dari
penari Bedhaya Ketawang, komposisi tari Bedhaya Ketawang, tata
rias dan busana, iringan tari, sesaji, pengaturan yang terlibat,
kehidupan penari, fungsi tari Bedhaya Ketawang dan
perkembangannya, sampai pada religio magis dan makna
simbolisnya. Jumlah sembilan pada tari Bedhaya merupakan
simbol makrokosmos (jagad raya) yang ditandai dengan sembilan
arah mata angin. Selain itu jumlah sembilan merupakan simbol
alam semesta.
Makna simbolik dalam tari Bedhaya yang disebut makna
simbol nilai dualisme dapat dilihat dan dihayati pada bentuk
kemanunggalan antara batak dengan endhel ajeg dalam
hubungannya dengan Rwa-Binedha . Sifat tersebut jelas
menunjukkan adanya hubungan dengan berlangsungnya upacara
kesuburan. Sesuai dengan tema tari Bedhaya Ketawang yang
melambangkan kesuburan yaitu menggambarkan hubungan
seksual antara Penembahan Senapati beserta keturunannya
dengan Kanjeng Ratu Kencana Sari, yang ditransformasikan
dengan gerak-gerak percintaan yang sangat halus secara abstrak.
Buku Djawa dan Bali oleh R.M Soedarsono tahun 1972 di
dalam buku tersebut terdapat pembahasan tentang terjadinya
14
gaya Surakarta dan Jogjakarta. Lahirnya dua gaya tersebut tidak
lain sebagai akibat terpecahnya kerajaan Mataram menjadi dua
pada tahun 1755 yaitu kerajaan Kasunanan Surakarta dan
kerajaan Kasultanan Jogjakarta.13 Pembahasan gaya ini sebagai
dasar untuk membahas gerak yang dipakai pada tari Bedhaya
Tunggal Jiwa .
Satu lagi buku berjudul Labanotation The System of
Analyzing and Recording Movement yang ditulis oleh Ann
Hutchinson Guest, edisi ke 4 tahun 2005, menjadi semacam buku
suci yang digunakan sebagai landasan dasar dalam menganalisis
gerak tari Bedhaya Tunggal Jiwa . Analisis gerak melalui sistem
tersebut menjadi mutlak dilakukan dikarenakan penelitian ini
merupakan penelitian yang berada di bawah payung disiplin
Etnokoreologi.
Dari tinjauan di atas, belum ada pustaka yang membahas
dan meneliti tentang makna simbolis tari Bedhaya Tunggal Jiwa
pada upacara tradisi Grebeg Besar Demak dalam perspektif
tekstual dan kontekstual. Dengan demikian, penelitian ini masih
bersifat orisinal.
13 Periksa R. M Soedarsono, Djawa dan Bali: Dua Pusat Perkembangan Dramatari Tradisional di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1972), 25.
15
Selain mempergunakan data yang berasal dari sumber
tertulis diatas, data yang berupa informasi lisan juga tidak dapat
dihindari. Disadari pentingnya data lisan karena tesis ini
mengharapkan penjelasan yang lebih terperinci dan mendalam
yang tidak dijumpai di dalam sumber bacaan. Penentuan
narasumber berdasarkan seleksi dan tidak menyimpang dari
perlakuan yang diterapkan pada sumber tertulis.
E. Landasan Teori
Gertrude Prokosch Kurath dalam artikelnya yang berjudul
“Panorama of Dance Ethnology” telah merumuskan apa yang harus
dikerjakan oleh seorang peneliti dalam disiplin koreologi sebagai
berikut. Teori Choreology adalah cara untuk mengenali tari dan
budaya termasuk kedudukan individu dalam budaya, gender,
bentuk organisasi sosial, dan aktivitas ekonomi. Ia dapat
diidentifikasi dengan gaya setempat dan pemisahan gaya pada
ruang keluasaan yang sangat besar. Seterusnya ahli choreology
boleh membina rekaan pengkajian komparatif untuk
menyelesaikan masalah tentang pra sejarah, asal-usul,
penyebaran, internal dan perubahan budaya.14 Jadi Etnokoreologi
didefinisikan sebagai pengkajian ilmiah tentang tari mengenai
14 Periksa Getrude Prokosch Kurath, “Panorama of Dance Etnhnology,” dalam Shelemay, ed., 1992, 74.
16
segala hal penting yang terkait dengan kebudayaan, fungsi-fungsi
keagamaan atau simbolismenya, atau bahkan juga kedudukannya
dalam masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan
etnokoreologi penulis dapat mengetahui: latar belakang tari atau
asal- usul tari, tari dan masyarakat, budaya tari, fungsi tari, nilai
dan konsep budaya tari.
Teori ini juga diperkuat sejalan dengan pendapat Heddy
Shri Ahimsa-Putra yang mengatakan, bahwa dalam menganalisis
seni yaitu dengan memfokuskan pada dua bentuk kajian yaitu
tekstual dan kontekstual. Kajian tekstual adalah kajian yang
memandang fenomena kesenian (seni tari) sebagai suatu teks yang
berdiri sendiri. Kajian kontekstual merupakan suatu kajian yang
menempatkan fenomena itu dalam konteks yang lebih luas yaitu
konteks sosial budaya masyarakat di mana fenomena itu muncul
dan hidup.15 Melalui kajian tekstual dapat diuraikan atau
dideskripsikan secara rinci struktur yang ada dalam tari Bedhaya
Tunggal Jiwa , sedangkan kajian kontekstual dapat diungkapkan
kondisi sosial budaya masyarakat Kabupaten Demak yang sangat
konsisten dengan keberadaan tari Bedhaya Tunggal Jiwa.
Marco de Marinis dalam bukunya The Semiotics of
Performance tahun 1993 menjelaskan bahwa berbeda dengan
15 Heddy Shri Ahimsa Puta (ed), Ketika Orang Jawa Nyeni, (Yogyakarta: Galang Press, 2000),400.
17
semiotic linguistic yang hanya berlapis tunggal, seni pertunjukan
merupakan multilayered entity atau sebuah entitas multilapis.
Yang dimaksud dengan multilapis adalah karena sebuah seni
pertunjukan baru bisa disebut sebagai pertunjukan bila ada
pemainnya, ada koreografernya (bila tari), ada penataan busana
dan penata riasnya, ada penata musik iringannya, ada penata
panggungnya, ada penata lighting, ada penata sound system, ada
stage managernya , ada penontonnya, ada yang bertugas
melakukan publisitas sebelum pertunjukan, ada penyandang
dananya dan sebagainya. Lapis-lapis ini baru merupakan lapis
seni pertunjukan sebagai teks menurut istilah de Marinis, padahal
kenyataannya dalam perkembangan seni pertunjukan tak bisa
lepas dari perkembangan politik, sosial, dan ekonomi, serta masih
berkaitan erat dengan kehidupan religi serta adat masyarakat
pemiliknya.16
Dalam menganalisis makna simbol dalam aktivitas ritual,
digunakan teori penafsiran yang dikemukakan Victor Turner yaitu:
1). Exegetical meaning yaitu makna yang diperoleh dari informan
warga setempat tentang perilaku ritual yang diamati. Dalam hal
ini, perlu dibedakan antara informasi yang diberikan oleh
informan awam dan pakar. Seorang peneliti juga harus tahu pasti
16 Periksa Marco de Marinis, The Semiotics of Performance. Terj. Aine O’Healy (Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, 1993), 1-56.
18
apakah penjelasan yang diberikan informan itu benar-benar
representatif dan atau hanya penjelasan dari pandangan pribadi
yang unik; 2). Operational meaning yaitu makna yang diperoleh
tidak terbatas pada perkataan informan, melainkan dari tindakan
yang dilakukan dalam ritual. Pengamatan seharusnya tidak hanya
mempertimbangkan simbol tetapi sampai pada interpretasi
struktur dan susunan masyarakat yang menjalankan ritual;
3)Positional meaning yaitu makna yang diperoleh melalui
interpretasi terhadap simbol dalam hubungannya dengan simbol
lain secara totalitas. Atau dengan kata lain makna suatu simbol
ritual harus ditafsirkan ke dalam konteks simbol yang lain dan
pemiliknya.17 Pemahaman tiga dimensi arti simbol Victor Turner
digunakan untuk mengetahui makna simbolis tari Bedhaya
Tunggal Jiwa pada upacara ritual tradisi Grebeg Besar Demak.
Victor Turner dalam bukunya yang berjudul The Ritual
Process: Structure and Anti -Structure, terjemahan Winangun tahun
1990, menjelaskan bahwa upacara berperan untuk membuat
individu menjadi cocok dengan masyarakatnya, membuatnya
dapat menerima aturan-aturan yang berlaku dan disepakati oleh
masyarakat. Dalam mengkaji hubungan antara struktur sosial
dengan agama dan upacara adalah dalam hal kaitanya dengan
17 Victor Turner The Forest of Symbols; Aspects of Ndembu Ritual, (London: Cornell University Press, 1967) 50-51.
19
kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang ada dalam
lingkungan hidup yang dihadapi oleh para pelakunya dalam
masyarakat.
Desmond Morris dalam bukunya Manwatching, A Field
Guide to Human Behavior (1977) yang mengkaji tentang sikap,
tindakan dan perilaku manusia, baik yang merupakan bawaan
sejak lahir maupun yang disebabkan pengaruh lingkungan
sosialnya. Bentuk pengungkapannya secara simbolik. Selanjutnya
sikap, tindakan dan perilaku direfleksikan ke dalam mimik
(wajah/ekspresi roman muka), sikap dan gerak (gesture and
movement). Ia juga membahas tentang kostum. Kostum diartikan
pula sebagai pakaian, pada dasarnya pakaian mempunyai tiga
fungsi yaitu: untuk kenyamanan, untuk kesopanan, dan untuk
pertunjukan.
Kodiran dalam tulisannya berjudul Perkembangan
Kebudayaan dan Implikasinya terhadap Perubahan Sosial di
Indonesia tahun 2000 menjelaskan bahwa, mekanisme dinamika
kebudayaan yang berasal dari luar adalah akulturasi
(acculturation).18
18 Kodiran, Perkembangan Kebudayaan dan Implikasinya terhadap Perubahan Sosial di Indonesia , (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, 3 Juni 2000), 4.
20
F. Metode Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian, jenis
penelitian ini tergolong ke dalam penelitian kualitatif dengan
menggunakan metode penulisan secara deskriptif analitis dan
menggunakan pendekatan Etnokoreologis. Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami tentang apa
yang dialami oleh subyek penelitian, seperti perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa dalam suatu
konteks yang alamiah.19
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
Etnokoreologi seperti apa yang dikatakan oleh R.M Soedarsono
dalam bukunya Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni
Rupa dengan mantap menganjurkan agar para mahasiswanya
berani menggunakan etnokoreologis. Namun, memang tidak
gampang, karena pendekatan ini melibatkan banyak disiplin,
hingga bisa pula dikatakan sebagai pendekatan multidisiplin.20
Etnokoreologi dipergunakan untuk mengkaji dari sudut pandang
kontekstual yang di dalamnya mengandung pendekatan
multidisiplin seperti antropologi dan sejarah. Untuk mengkaji dari
19 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kulaitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 6.
20 Periksa R.M Soedarsono, Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, (Bandung: MSPI, 2001),15.
21
sudut pandang tekstual, maka dipergunakan semiotik
pertunjukan.
Metode deskriptif analitis merupakan metode yang
digunakan dalam penelitian ini, mengingat objek yang diteliti
adalah suatu bentuk tari tradisi yang masih dilestarikan di
kehidupan masyarakatnya. Deskriptif yang dimaksud adalah
untuk memaparkan dan menggambarkan data secara jelas dan
terinci, sedangkan analitis adalah menguraikan pokok
permasalahan dari berbagai macam bagian dan penelaahan untuk
masing-masing bagian, mencari hubungan antar bagian sehingga
diperoleh sesuatu pengertian yang tepat dan pemahaman arti
secara keseluruhan.21 Oleh karena itu untuk mewujudkan obyek
yang dipilih ke dalam bentuk tulisan deskriptif analitis penulis
melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Penentuan materi penelitian
a. Penentuan Objek
Penulis memilih objek tari Bedhaya Tunggal Jiwa dalam
rangkaian upacara tradisi Grebeg Besar di Demak hal ini
dikarenakan banyak keunikan dalam pelaksanaannya antaralain
hubungan tari yang sangat erat dengan upacara, sehingga setiap
21 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990),32.
22
upacara tradisi Grebeg Besar dilaksanakan selalu dipertunjukan
tari Bedhaya Tunggal Jiwa .
b. Penentuan lokasi
Kabupaten Demak dipilih sebagai lokasi penelitian terkait
dengan kegiatan upacara tradisi Grebeg Besar dalam mengkaji tari
Bedhaya Tunggal Jiwa . Peneliti menetapkan beberapa lokasi
Pertama, Masjid Agung Demak sebab kaitannya dengan Grebeg
Besar. Masjid Agung Demak merupakan tempat berlangsungnya
acara ritual seperti ziarah, pengajian dakwah, penyembelihan
hewan kurban, serta selamatan Tumpeng Sanga . Kedua, pendhopo
Kabupaten. Pendhopo Kabupaten Demak merupakan tempat
berkumpulnya para pejabat pemerintah dan masyarakat untuk
sama-sama menyaksikan tari Bedhaya Tunggal Jiwa . Selain itu
pendhopo juga digunakan untuk mengadakan acara ritual Grebeg
Besar. Ketiga, di Kadilangu. Kadilangu adalah salah satu
kelurahan di Kecamatan Demak. Di Kelurahan ini terdapat Masjid
Sunan Kalijaga dan di sekitarnya terdapat makam Sunan Kalijaga.
c. Penentuan Narasumber
Peneliti menentukan narasumber terlebih dahulu, sebab
seorang narasumber harus mengetahui seluk beluk mengenai
objek penelitian. Hal ini dilakukan agar mendapatkan keterangan
yang akurat dalam pengumpulan data sehingga dalam
pendeskripsian dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para
23
narasumber yang dipilih yaitu Kepala Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Demak tentang acara Grebeg Besar dan
pelaksanaan tari Bedhaya Tunggal Jiwa Bapak Drs. Muhamad
Ridwan umur 50 tahun, Camat Demak Bapak Edi Suntoro umur
49 tahun, ketua panitia penyelenggara upacara tradisi Grebeg
Besar, Bapak Sasongko umur 43 tahun, sesepuh Kadilangu Bapak
R. Soediyoko umur 76 tahun, pencipta tari Dyah Purwani
Setianingsih umur 49 tahun, para penari, pencipta musik Bapak
Rosyim Hadi Surono umur 63 tahun, para pemain musik, tokoh
masyarakat Bapak Moersidi umur 45 tahun dan masyarakat yang
hadir sebagai partisipan maupun yang tidak hadir pada saat
upacara tradisi Grebeg Besar.
2. Tahapan Pengumpulan Data
Sumber data tentang tari Bedhaya Tunggal Jiwa dalam
upacara tradisi Grebeg Besar di Demak, meliputi sumber tertulis,
sumber lisan, dan rekaman. Untuk mendapatkan data tersebut
ditempuh dengan teknik studi kepustakaan, observasi, wawancara
dan dokumentasi.
a. Studi kepustakaan
Studi kepustakaan yaitu mengumpulkan beberapa
pendapat dan teori utama serta teori pendukung yang dapat
membantu dalam menganalisis atau menafsirkan makna tari
24
Bedhaya Tunggal Jiwa . Pengumpulan data melalui studi pustaka
adalah untuk mendapatkan sumber tertulis/tercetak, seperti
buku-buku, jurnal, dan laporan penelitian. Bahan bacaan yang
memperkuat penulisan ini tertera dalam kepustakaan.
Sehubungan dengan studi pustaka maka Moh. Nasir mengatakan
demikian,
Memperoleh informasi dari penelitian terdahulu harus dikerjakan, tanpa memperdulikan apakah sebuah penelitian menggunakan data primer atau sekunder, apakah penelitian tersebut menggunakan penelitian lapangan ataupun laboratorium secara tekun merupakan kerja kepustakaan yang sangat diperlukan dalam mengerjakan penelitian.22
b. Observasi
Selain melakukan studi pustaka untuk menjaring berbagai
informasi yang diperlukan, pengumpulan data juga dilakukan
dengan teknik observasi. Observasi dilakukan terhadap tari
Bedhaya Tunggal Jiwa yang ada di Kabupaten Demak, guna
mendapatkan data yang berhubungan dengan pertunjukan tari
Bedhaya Tunggal Jiwa yang meliputi bentuk tari serta elemen-
elemen pendukung tari seperti rias dan busana, pola lantai,
properti tari, pemusik, sindhen, dan yang lainnya. Observasi
dilakukan sebelum pertunjukan berlangsung yaitu untuk
mengetahui persiapan apa saja yang dilakukan dan saat
22 Moh. Nasir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 93.
25
pertunjukan tari Bedhaya Tunggal Jiwa berlangsung, dengan
harapan peneliti dapat mengamati aktivitas yang terjadi pada saat
pertunjukan tari berlangsung. Guna merekam data yang terjadi di
lapangan serta menjaga validitasnya dalam melakukan
pengamatan peneliti menggunakan alat bantu berupa catatan,
kamera foto serta tape recorder. Observasi di lapangan sudah
peneliti lakukan sejak tahun 2011 ketika peneliti baru menjalani
semester pertama di Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan
dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Peneliti selalu berusaha menyempatkan diri untuk menonton
pertunjukan tari Bedhaya Tunggal Jiwa dalam tradisi Grebeg
Besar di Kabupaten Demak. Hasil observasi tersebut dipergunakan
pula untuk menyusun tugas-tugas dari beberapa mata kuliah,
tentunya dengan sudut pandang yang berbeda, disesuaikan
dengan disiplin ilmu yang dipelajari. Cara tersebut terbukti efektif
dan cukup membantu penyusunan rencana tesis ini.
c. Wawancara
Teknik yang digunakan dalam wawancara ini yaitu
wawancara tak terstruktur. Wawancara tak terstruktur
menunjukan bahwa penulis maupun subyek penelitian lebih
mengemukakan pendapatnya, tidak terkekang dan terkesan resmi.
Dengan bentuk wawancara seperti ini diharapkan penulis
mendapatkan data yang akurat.
26
Dalam menjaring data melalui wawancara, dipersiapkan
beberapa daftar pertanyaan yang masih bersifat umum.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran secara umum
upacara tradisi Grebeg Besar. Pada tahap berikutnya pertanyaan
disusun berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap
fenomena-fenomena objek penelitian agar lebih terfokus pada
permasalahan penelitian.
d. Pencatatan/ Pendokumentasian
Pengumpulan data di lapangan yang berkaitan dengan
pencatatan data dan perekaman, digunakan alat bantu seperti
video, camera, tape recorder, dan buku catatan (note book). Hal ini
dimaksudkan agar data yang diperoleh tidak hilang dan dapat
dicek/dilihat atau didengar ulang pada saat pengolahan data,
teristimewa untuk melakukan pengolahan transkripsi tari
Bedhaya Tunggal Jiwa .
3. Tahapan Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan tetap berpedoman pada
prinsip keterkaitan antara kepustakaan dengan data yang
diperoleh, kemudian menentukan kerangka ilmiah dari objek
penelitian. Sehubungan dengan analisis data maka Moh. Nasir
mengatakan demikian,
27
Data mentah yang telah dikumpulkan oleh peneliti tidak akan ada gunanya jika tidak dianalisis. Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisisnya, data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.23 Analisis data dilakukan melalui beberapa tahap: pertama,
menelaah seluruh data yang telah tersedia dari beberapa sumber,
yaitu sumber pustaka dan nara sumber. Kedua, reduksi data
dengan cara membuat abstarksi (pembuatan rangkuman inti).
Ketiga, menyusun data ilmiah dalam satuan-satuan kategori.
Keempat, memeriksa ulang keabsahan data dan kelima
melakukan penafsiran (interpretasi) data, selanjutnya diolah dan
dianalisis berdasarkan pendekatan yang telah ditetapkan.
Langkah akhir kerja dari penelitian ini adalah menyajikan hasil
penelitian dalam bentuk laporan tertulis.
Data-data yang dianalisis meliputi bentuk dan struktur
pertunjukan tari Bedhaya Tunggal Jiwa , serta makna yang
terkandung di dalamnya. Analisis gerak dilakukan dengan
menggunakan sistem Labanotation (notasi laban), untuk mendapat
gambaran yang jelas dan detail tentang gerak-gerik pada tari
Bedhaya Tunggal Jiwa yang memuat makna didalamnya.
23 Moh. Nasir, 2005,346.
28
Analisis dengan menggunakan sistem Labanotation
tersebut dilakukan dengan bertahap pula yaitu: pada tahap awal
adalah pemahaman simbol-simbol dalam sistem notasi laban, dan
kaidah-kaidah konseptual dalam notasi Laban. Tahap berikutnya
adalah pemahaman gerak secara praktis dan teorietis. Pada
dasarnya seorang peneliti etnokoreologi perlu pula menguasai
teknik-teknik gerak secara memadai, karena seorang peneliti
entokoreologi tidak hanya harus mendeskripsikan gerak tari yang
ditelitinya dengan tepat, melainkan ia juga harus bisa menjajagi
batas-batas gerak yang tepat dalam hal ini hubungannya dengan
kepentingan analisis gerak dengan sistem notasi Laban.24
Pemahaman juga dilakukan sekaligus pada musik tarinya terkait
dengan analisis hitungan geraknya, dan sebagai langkah terakhir
dalam analisis gerak ini adalah menotasikan gerak ke dalam
Notasi Laban. Analisis gerak melalui Labanotation merupakan
langkah yang mutlak bagi penelitian-penelitian yang berada di
bawah payung disiplin Etnokoreologi.
24 Baca Edi Sedyawati, “Etnokoreologi Nusantara: Perspektif, Paradigma dan Metodologinya”, dalam Pramutama (ed), Etnokoreologi Nusantara (Batasan Kajian, Sistematika, dan Amplikasi Keilmuannya), (Surakarta:ISI Press, 2007),74.
29
4. Tahapan Penyusunan Tesis
Tahapan penyusunan tesis dilakukan pada tahap akhir,
artinya data yang ditulis telah dikerangkakan secara keseluruhan.
Tujuan dari penyusunan agar pembahasan dari topik yang
ditujukan dapat dipertanggungjawabkan terhadap segala sesuatu,
sebagai bukti ilmiah dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan.
Pada tahapan ini penulis memadukan yang telah disampaikan
dengan beberapa pendekatan yang sesuai.
G. Sistematika Penulisan
Sebagai akhir dari kerja penelitian ini adalah menyajikan
dalam bentuk laporan yang disusun secara sitematis dalam lima
bab sebagai berikut.
Bab I merupakan pengantar. Berisi tentang latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II, diberi judul Latar Belakang Kultural Masyarakat
Demak, yang meliputi pengenalan sekilas wilayah (geografis),
kondisi sosial masyarakat Demak, sistem Agama dan kepercayaan
masyarakat Demak, pendidikan, mata pencaharian, kesenian dan
hiburan.
30
Bab III, diberi judul Kajian Tekstual Tari Bedhaya Tunggal
Jiwa. Bab ini membahas tentang klasifikasi dan fungsi tari,
elemen-elemen tari Bedhaya Tunggal Jiwa.
Bab IV, diberi judul Makna Simbolik dan Bentuk
Pertunjukan Tari Bedhaya Tunggal Jiwa dalam Upacara Tradisi
Grebeg Besar. Bab ini membahas tentang pengertian dan asal usul
tari Bedhaya Tunggal Jiwa , upacara Grebeg Besar yaitu tentang
pengertian dan asal usul Grebeg Besar, bentuk pertunjukan tari
Bedhaya Tunggal Jiwa dalam upacara tradisi Grebeg Besar di
Demak, dan makna simbolik pertunjukan tari Bedhaya Tunggal
Jiwa dalam upacara tradisi Grebeg Besar di Demak.
Bab V, merupakan kesimpulan.