1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra bukanlah khayalan yang bohong, karena khayalan dalam
karya sastra berangkat dari realitas yang telah berpadu dengan unsur imajinasi
pengarangnya. Demikian halnya dengan sastra anak yang merupakan salah
satu cabang dari sastra, tentunya mengacu pada kehidupan cerita yang
berkorelasi dengan kehidupan anak-anak dan bahasa yang digunakan sesuai
dengan perkembangan intelektual dan emosional anak. Karya sastra anak
boleh ditulis dan dibaca oleh orang dewasa, bahkan diharuskan, dengan tujuan
agar orang dewasa semakin tahu dan memahami dunia anak-anak, asalkan
yang ditulis harus berisi kehidupan anak dengan bahasa yang mudah dipahami
anak (Kurniawan, 2009:21-22).
Lukens (dalam Kurniawan, 2009:22) mendefinisikan sastra anak adalah
sebuah karya yang menawarkan dua hal utama yaitu: kesenangan dan
pemahaman. Jadi, sastra hadir kepada pembaca, pertama-tama, adalah dengan
memberikan hiburan yang menyenangkan karena menampilkan cerita yang
menarik, mengajak pembaca untuk memanjakan fantasi, membawa pembaca
ke suatu alur kehidupan yang penuh dengan daya imajinasi. Di sisi lain,
karena sastra selalu berbicara tentang kehidupan, maka sastra juga
memberikan pemahaman yang lebih baik pada pembaca tentang kehidupan.
Genre sastra anak sebagaimana genre sastra dewasa secara umum dibagi
menjadi tiga jenis yaitu prosa, drama, dan puisi (Rukayah, 2012:1). Ketiga
jenis sastra tersebut dapat dinikmati oleh pembaca anak-anak maupun dewasa.
1
2
Perbedaan mendasar antara sastra anak dengan sastra dewasa adalah imajinasi.
Sastra anak dapat berkisah mengenai fenomena yang tidak masuk akal
menurut ukuran orang dewasa, misalnya tentang hewan yang dapat bertingkah
laku seperti manusia. Sedangkan sastra dewasa memiliki pembahasan yang
lebih serius dan kompleks. Sastra anak dapat dihasilkan dari penulis dewasa
maupun anak-anak dengan syarat sudut pandang yang digunakan adalah sudut
pandang anak, sehingga mereka dapat memahami isi dan pesan yang
terkandung di dalamnya (Nurgiyantoro, 2013:7).
Berkenaan dengan ragam sastra anak, secara umum sastra anak terbagi
menjadi sembilan, yaitu: (1) bacaan anak usia dini, (2) kisah-kisah tradisional,
(3) puisi, (4) fantasi, (4) cerita realistis, (5) biografi, (6) fiksi kesejarahan, (7)
nonfiksi kesejarahan, (8) nonfiksi atau buku-buku informasi, dan (8) drama
(Sarumpaet, 2010:13).
Ragam sastra anak yang dapat diapresiasi oleh semua kelompok
pembaca, baik anak-anak maupun pembaca dewasa salah satunya adalah puisi.
Anak-anak menanggapi puisi anak dengan membaca dan
mendeklamasikannya sebagai sarana belajar ataupun mendiskusikannya untuk
menyalurkan hobi. Apresiasi sastra, khususnya puisi dapat meningkatkan
imajinasi anak dengan cara berkhayal (Winarni, 2014:30).
Puisi adalah ekspresi penulis melalui media bahasa yang mengandung
unsur emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera,
susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur
(Pradopo, 2012:4). Kata “puisi” berasal dari bahasa Yunani kuno “poieo” atau
3
“poio” yang berarti saya mencipta. Dalam bahasa Yunani, istilah puisi adalah
“poemia” yang berarti membuat atau “poesis” yang berarti pembuatan, dan
dalam bahasa Inggris disebut “poem” atau “poetry” (Damayanti, 2013:9).
Adapun puisi dalam kesusastraan Arab sering disebut dengan syi‘run
atau asy-syi‘ru yang berarti syair atau puisi dan kata asy-syi‘ru berasal dari
verba sya‘ara - yasy‘uru - syi‘ran - syu‘u>ran yang berarti mengetahui,
merasakan, sadar, mengomposisi, atau menggubah sebuah syair (Al-Fadhl
dalam Muzakki, 2006:41). Syair adalah ungkapan yang memiliki wazan dan
qa>fiyah. Definisi lain menyebutkan, bahwa syair adalah salah satu karya sastra
yang masuk dalam kategori puisi lama yang terikat oleh aturan-aturan. Aturan-
aturan puisi lama meliputi jumlah kata dalam satu baris, jumlah baris dalam
satu bait, persajakan atau rima, banyaknya suku kata tiap baris, dan irama
(Damayanti, 2013:73).
Bagi orang Arab syair mempunyai arti tersendiri sesuai dengan
pengetahuan, kemampuan, dan kebiasaan mereka. Dalam pandangan mereka,
syair berarti pengetahuan atau kepandaian (‘ilm/fatha >nah), dan penyair itu
sendiri disebut al- fa>thin (cerdik atau pandai). Menurut Jurji Zaidan (dalam
Muzakki, 2006: 41) syair berarti nyanyian (al-ghina>̍ ), lantunan (insya>dz), atau
melagukan (tarti>l).
Berkenaan dengan puisi anak, pengertiannya tidak se-bias puisi dewasa
karena puisi anak, tentu seperti dengan perkembangan pengetahuan dan
perasaan anak yang masih sederhana. Secara tipografi, puisi anak ditulis
dalam bentuk bait-bait, sedangkan bahasanya sederhana, pendek, penuh irama,
4
dan isinya tentang satu pengalaman tertentu yang dipadatkan, yaitu diceritakan
dengan mengesampingkan unsur setiap peristiwanya (Kurniawan, 2009:28).
Subgenre dari puisi anak adalah: pertama, puisi tradisional. Puisi ini
biasanya bersifat anonim dan lahir dari bahasa lisan, dibacakan dari mulut ke
mulut. Kedua, puisi modern yaitu genre puisi yang banyak menghiasi buku-
buku dan media massa pada zaman sekarang (Kurniawan, 2009:28).
Secara ringkas penjelasan tentang syair atau puisi dapat dilihat dalam
bagan di bawah ini:
Gambar 1. Skema genre dan ragam sastra anak
Gambar 2. Skema subgenre puisi anak dan posisi objek penelitian
Genre Sastra Anak
Puisi Prosa Drama
Ragam Sastra Anak
Bacaan anak usia dini, kisah tradisional, fantasi,
cerita realistis, biografi, fiksi kesejarahan, nonfiksi
kesejarahan, dan buku-buku informasi
Subgenre Puisi Anak
Puisi Modern Puisi Tradisional
Diwan Ara>ji>chun Tughanni> lil-
Athfa>l
Karya Sulaima>n al-‘Isa
Objek penelitian
5
Syair anak-anak di dalam kesusastraan Arab telah cukup berkembang
dengan berbagai bentuk dan genre yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Salah satu penyair puisi anak-anak di zaman modern ini adalah Sulaima>n al-
‘Isa.
Sulaima>n al-‘Isa adalah seorang penyair dari Suriah. Dia lahir pada
tahun 1921 dan wafat pada 9 Agustus 2013 silam di usianya yang ke-92 tahun.
Sulaima>n mendapatkan pendidikan pertamanya dengan sang ayah, Ahmad al-
‘Isa di desa. Sulaima>n al-‘Isa mampu menghafalkan Al-Qur’an, syair
Mu‘allaqa>t, di>wa>n al-Mutannabi, dan seribu bait dari syair Arab. Semasa itu,
di desa tempat tinggalnya belum ada satupun sekolah selain Madrasah Kutta>b
yang merupakan sebuah rumah kecil tempat ayahnya, Syaikh Ahmad al-‘Isa
tinggal dan mengajar (al-‘Isa, 1995:479).
Sulaima>n al-‘Isa mulai menulis syair pada kisaran umur 9-10 tahun. Dia
menulis di>wa>n pertama dari syair-syairnya di desa. Di>wa>n-nya tersebut
membahas tentang kekhawatiran para petani dan kesengsaraan hidup mereka
(al-‘Isa, 1995:479).
Sulaima>n al-‘Isa masuk sekolah ibtidaˈiyyah di kota Antakya. Kepala
sekolah langsung memasukkannya di kelas empat karena kepandaiannya. Pada
saat itu distrik al-Liwa yang termasuk wilayah Antakya sedang dalam proses
revolusi untuk melepaskan diri dari Suriah sebagaimana rencana Perancis.
Ketika Sulaima>n al-‘Isa masuk kelas lima dan enam di sekolah dasar, dia
sudah turut berkontribusi terhadap perjuangan nasional warga al-Liwa melalui
syair-syairnya (al-‘Isa, 1995:479).
6
Sulaima>n al-‘Isa melanjutkan pendidikan sekolah menengahnya di
Hama, Lattakia, dan Damaskus. Dalam masa hidupnya dia mengalami
kepahitan sebagai tunawisma dan mulai menyadari pentingnya perjuangan
demi persatuan, kemerdekaan dan kebebasan Arab. Sulaima>n pernah masuk
penjara berkali-kali karena syair-syairnya serta sikap nasionalismenya (al-‘Isa,
1995:479).
Setelah lulus dari pendidikan sekolah menengahnya, Sulaima>n al-‘Isa
melanjutkan studinya di sebuah perguruan tinggi di Baghdad. Setelah lulus,
dia kembali ke Suriah dan menjadi guru bahasa dan sastra Arab di salah satu
sekolah menengah di Aleppo. Di sela-sela kesibukannya mengajar, Sulaima>n
al-‘Isa juga aktif menulis karya sastra dan merupakan salah satu anggota dari
organisasi persatuan penyair yang didirikan oleh Adonis dan Yusuf Kha>l. Dia
juga merupakan pendiri organisasi Persatuan Penulis Arab di Suriah pada
tahun 1969 (al-‘Isa, 1995:480).
Sulaima>n al-‘Isa menikah pada tahun 1950 dan dikaruniai dua orang
putra dan seorang putri yaitu Ma‘an, Ghilla>n, dan Ba>diyah. Selain berbahasa
Arab dan Turki, dia juga menguasai bahasa Perancis dan Inggris. Sulaima>n al-
‘Isa telah mengunjungi sebagian besar wilayah jazirah Arab juga banyak
negara lainnya (al-‘Isa, 1995:480).
Seusai perang Arab-Israel pada tahun 1967, Sulaima>n al-‘Isa mulai
menulis syair anak-anak dan menaruh perhatian yang besar pada dunia
mereka. Bersama sang istri, Dr. Malake Abiad, dia banyak berkontribusi
dalam menerjemahkan buku-buku sastra Inggris dan Perancis ke dalam bahasa
7
Arab. Sebagian besar buku Aljazair aslinya ditulis dalam bahasa Perancis.
Selain itu dia bersama istrinya dan juga teman-temannya berkontribusi dalam
menerjemahkan cerita-cerita dan drama-drama anak dari berbagai belahan
dunia (al-‘Isa, 1995:480).
Sejumlah penghargaan yang telah diraih oleh al-‘Isa di dunia
kepenyairan yaitu: (1) pada bulan Oktober 1982 Sulaima>n al-‘Isa menerima
penghargaan Afro-Asian Writers “Lotus Prize” untuk syair-syairnya, (2) pada
tahun 1984 karya syair anak-anaknya mendapatkan penghargaan dari Liga
Arab bidang pendidikan, budaya dan organisasi ilmiah, (3) tahun 1990, dia
terpilih menjadi anggota Dewan Bahasa Arab Damaskus, (4) tahun 2000, dia
menerima “The Babatin Prize” untuk kreativitas syairnya (al-‘Isa, tt:553).
Sulaima>n al-‘Isa banyak menuliskan karya, khususnya syair anak-anak,
mulai dari tahun 1950-an hingga akhir hayatnya. Beberapa kumpulan syairnya
yang terbit tahun 1990 sampai sekarang di antaranya: Al-A‘ma>l Asy-
Syi‘riyyah - empat jilid (1995), ‘Ala Thari>qil-Umr : Mu‘a>limu Si>rati
Dza>tiyyah (1996), Ats-Tsama>la>t - tiga jilid (2001), Al-Kita>bah Baqa>ˈun
(2002), Tsama>la>t 4 (2004), Ad-Di>wa>n adh-Dha>chik - dua jilid (2004), Wa
Aktubu (2004), Kita>bul-Chani>n (2005), Tsama>la>t 5 (2006), Hamasa>tu Ri>syati
Muta‘ibah (2007), Richlatu Kafa>ch (2007), Mudun wa ˈAsfa>run (2009), Kai
Abqa> ma‘al-Kalimah (2009), Qithara>t (2012) (al-‘Isa, tt:554).
Selain dari di>wa>n-di>wa>n syair di atas, masih terdapat sejumlah karya
Sulaima>n al-‘Isa baik yang diterbitkan maupun yang tidak. Adapun karya
syairnya di tahun 1990 sampai sekarang yang berkaitan dengan dunia anak-
8
anak di antaranya: Achki> Lakum Thufu>lati> Ya> Shigha>r (1993,2001), Di>wa>n
al-Athfa>l (1999), Ugha>nil-Chika>ya>t (2001), Kalima>t Khudhra lil-Athfa>l
(2005), Farchun lil-Athfa>l (2006), Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l (2009),
Chada>̍ iq al-Kalima>t (2009), Tis‘u Masrachiya>t Syi‘riyyah lil-Athfa>l (2013)
(al-‘Isa, tt:557).
Sulaima>n al-‘Isa tidak hanya aktif menulis syair, dia juga banyak
menulis prosa dan cerita terjemahan. Beberapa karyanya sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris, Perancis dan Rusia. Aktifitas kepenulisannya terus
dia lakukan hingga penyakit yang diderita merenggut kesehatannya. Bahkan
meskipun dia telah menderita kesulitan pengucapan, Sulaima>n al-‘Isa tetap
tertarik dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Pada pagi hari tanggal 9
Agustus 2013 Sulaima>n menghembuskan nafas terakhirnya. Organisasi
Persatuan Penulis Arab (Uni Arab Writer‟s) mengumumkan pernyataan
berduka atas kematian penyair besar ini. Sulaima>n al-‘Isa dimakamkan di
makam Syekh Raslan. Kematian dari Sulaima>n al-‘Isa bertepatan dengan lima
tahun wafatnya penyair besar Palestina, Mahmoud Darwish.
Berdasarkan pengamatan peneliti, karya Sulaima>n al-‘Isa yang dijadikan
sebagai objek kajian penelitian masih terbatas. Peneliti pertama yaitu Mas‘u>d
(2011) dalam tesisnya membahas tentang “At-Tasyki>l al-Musi>ki> fi> Syi‘ri
Sulaima>n al-‘Isa: Di>wa>n al-Jaza>̍ ir Namudzaja>n”. Hasil penelitian ini berupa
penemuan bentuk-bentuk musik atau irama yang beranekaragam di dalam
syair Sulaima>n al-‘I>sa.
9
Peneliti Kedua, Karmila (2014) dalam skripsinya meneliti tentang
“Muhassinat Lafdziyah dan Muhassinat Ma„nawiyah dalam Puisi Anak
Antologi Puisi Diwanul Atfhal” karya Sulaima>n al-‘I>sa. Hasil dari penelitian
ini disimpulkan bahwa di dalam kitab Di>wa>nul Athfal terdapat 713(tujuh ratus
tiga belas) data Muhassinat lafdziyah dan 9(sembilan) Muhassinat
ma„nawiyah. Muhassinat merupakan bagian dari balaghah yang termasuk
dalam ilmu badi„.
Sementara itu, penelitian dengan memanfaatkan analisis struktural strata
norma Roman Ingarden untuk menarik pesan dan amanat yang terkandung di
dalam syair, sudah pernah dilakukan oleh para peneliti. Beberapa di antaranya
yaitu pertama, Nafisa (2015) dalam skripsinya yang berjudul “Nilai-Nilai
Pendidikan Karakter dalam Diwan Kamil Kilani lil Athfal Karya Kamil Kilani
(analisis Strata Norma Roman Ingarden)”. Hasil penelitian ini yaitu berupa
norma-noma syair yang terdiri dari lapis bunyi, lapis arti, lapis hal-hal yang
dikemukakan, lapis dunia, dan lapis metafisis. Hanya saja pada penelitian ini
tidak disebutkan batasan sebuah karya sastra yang bisa dikatakan mengandung
lapis metafisis. Karena pada kenyataannya tidak semua karya sastra
mengandung lapis metafisis. Selain itu pada penelitian ini juga dideskripsikan
nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam setiap syair.
Kedua, Gustaf Sitepu (2006) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis
Strata Norma Terhadap Kumpulan Puisi Nostalgia = Transendensi Karya
Toeti Heraty”. Hasil penelitian ini yaitu berupa analisis struktural 14(empat
10
belas) buah puisi karya Toeti Heraty dengan menggunakan teori strata Norma
Roman Ingarden yang terdiri dari lima lapis norma.
Selanjutnya, berdasarkan hasil pengamatan peneliti, penelitian terhadap
di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l dengan menggunakan analisis struktural
strata norma Roman Ingarden belum pernah dilakukan. Hal ini menjadi
kesempatan bagi peneliti untuk menjadikan di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-
Athfa>l sebagai objek kajian. Peneliti tertarik untuk menganalisis struktur puisi
dan mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat di dalam
delapan syair dalam kumpulan puisi Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l. Penentuan
delapan syair yang akan dijadikan objek penelitian ini, didasarkan pada
kesinambungan tema dalam 1(satu) syair dengan syair selanjutnya.
Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l dalam bahasa Indonesia memiliki arti
“Anyunan-ayunan bernyanyi untuk anak-anak”. Disebut dengan Di>wa>n karena
Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l berisi kumpulan puisi anak-anak karya
Sulaima>n al-‘Isa. Dalam kamus Al-Maurid (2006:378) Di>wa>n berarti
“kumpulan puisi” (majmu>‘atun syi‘riyyatun). Ara>ji>chun merupakan bentuk
jamak dari kata Arjuchah yang berarti “ayunan, buaian” (Munawwir,
1997:475). Tughanni> merupakan bentuk mudhari„ dari kata ghanna yang
berarti “menyanyi” (Munawwir, 1997:1021). Kata al-Athfa>l merupakan
bentuk jamak dari ath-Thiflu yang berarti “anak kecil” (Munawwir,
1997:856).
Syair-syair yang terdapat di dalam Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l
ditulis oleh orang dewasa dengan sudut pandang anak-anak sebagai pusat
11
penceritaan dalam syair-syairnya. Sisi menarik dari Di>wa>n Ara>ji>chun
Tughanni> lil-Athfa>l yang menjadikan peneliti tertarik untuk mengkajinya
sebagai objek penelitian ada beberapa hal. Pertama, di>wa>n ini merupakan
salah satu karya penyair besar kontemporer, sehingga bisa dianggap mampu
mewakili karakteristik kesusastraan di masanya, khususnya di wilayah
Damaskus, Suriah.
Kedua, Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l merupakan salah satu
karya baru yang terbit pada tahun 2000-an sehingga dapat digolongkan dalam
karya-karya kontemporer. Ketiga, Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l karya
Sulaima>n al-‘Isa menggunakan bahasa sederhana dengan irama yang kuat.
Maka, untuk mengkaji unsur bunyi dan keterkaitannya dengan unsur-unsur
yang lain dalam syair membutuhkan teori strata norma Roman Ingarden yang
dapat menguraikan keterkaitan antar unsur tersebut menjadi sebuah kesatuan.
Keempat, analisis terhadap kumpulan syair Arab untuk anak-anak
terbilang langka di Indonesia, untuk itu penelitian ini diharapkan dapat
mengembangkan kajian sastra anak. Selanjutnya, berdasarkan penelusuran
melalui perpustakaan-perpustakaan digital di Indonesia, penelitian mengenai
Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l belum pernah dilakukan, sehingga
diharapkan penelitian ini dapat menjadi acuan untuk penelitian berikutnya.
Berdasarkan tinjauan pustaka dan beberapa alasan di atas, peneliti
mengambil judul penelitian “Nilai-Nilai Pendididikan Karakter dalam Di>wa>n
Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l Karya Sulaima>n al-‘Isa (Analisis Strata Norma
Roman Ingarden)”. Pengungkapan nilai-nilai pendidikan karakter yang ada di
12
dalam syair tersebut menjadi tujuan akhir setelah melalui proses
penganalisisan unsur-unsur syairnya. Selanjutnya, hasil penelitian ini
diharapkan dapat turut berkontribusi dalam pengembangan sastra anak dari
segi kajian sastra maupun manfaat syair sebagai sarana membentuk
pendidikan karakter pada anak.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu pertama, memberikan
wawasan dan pengetahuan yang objektif terhadap pengkajian syair anak,
khususnya dalam menentukan dan menganalisis strata norma dalam puisi.
Manfaat kedua, mengungkapkan pengalaman pembaca dengan mengambil
amanat dan pesan yang terdapat dalam Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l.
Manfaat ketiga, mengembangkan kajian sastra Arab untuk anak-anak di
Indonesia melalui apresiasi terhadap Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l
dalam bentuk analisis sastra anak yang didasarkan pada strata norma Roman
Ingarden.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah struktur teks yang membangun 8(delapan) syair dalam
Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l karya Sulaima>n al-‘Isa berdasarkan
teori strata norma Roman Ingarden?
2. Apa saja nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat pada 8(delapan)
syair dalam Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l karya Sulaima>n al-‘Isa?
13
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian adalah untuk memberikan arah yang jelas pada
penelitian yang dilakukan. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengungkapkan struktur teks yang membangun 8(delapan) syair dalam
Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l karya Sulaima>n al-‘Isa berdasarkan
teori strata norma Roman Ingarden.
2. Mendiskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat pada
8(delapan) syair dalam Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l karya
Sulaima>n al-‘Isa.
D. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam sebuah penelitian bertujuan agar penelitian
lebih fokus, sistematis, dan terarah melalui data yang telah diperoleh.
Pembatasan ini juga bertujuan agar tidak terjadi pembahasan yang bias
disebabkan masalah yang dikaji terlalu melebar dan tidak tertuju pada masalah
penting yang sesuai dengan rumusan masalah penelitian.
Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l terdiri dari 103(seratus tiga) syair
anak-anak karya Sulaima>n al-‘Isa dengan tema syair yang beragam, di
antaranya tema tumbuhan, benda-benda dan keadaan alam, binatang,
nyanyian, dan lainnya. Keberagaman tema-tema syair yang terdapat dalam
Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l inilah yang kemudian perlu dibatasi
oleh peneliti agar penelitian lebih fokus.
14
Penentuan 8(delapan) syair menjadi fokus penelitian ini berdasarkan
pada kesinambungan tema dalam 1(satu) syair dengan syair selanjutnya,
sehingga tema kedelapan syair tersebut secara umum membentuk suatu cerita
tersendiri. Adapun tema syair yang lainnya (selain kedelapan syair tersebut)
berdiri sendiri atau dapat disebut tema yang terpisah antara 1(satu) judul
dengan judul lainnya. Tema kedelapan syair tersebut yaitu: syair pertama
bertema “ halangan” ( َابَ بَ الض) , syair kedua bertema “liburan” ( ةَ ازَ جَ الَإ ), syair
ketiga bertema “kepercayaan diri” ( َبَإقَ ثَإ هَإسَإفَ ن َ ة ), syair keempat bertema
“kebebasan” ( َأَ مَ ث َيَ حَ اءشَ ا ), syair kelima bertema “keharmonisan” ( امئَ الوَإ ), syair
keenam bertema “pengembaraan” ( ادَ وَ الرَ ), syair ketujuh bertema “persahabatan”
( قَ يَ دَإالصَ ), dan syair kedelapan bertema “ketakutan” ( فَ وَ الَ ).
Selain kesinambungan alur tema, alasan lain yang mendasari pembatasan
ini adalah tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk mengungkapkan struktur teks
berdasarkan strata norma Roman Ingarden dan nilai-nilai pendidikan karakter
yang terdapat di dalam Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l. Sehubungan
dengan hal itu, syair-syair yang dijadikan objek tersebut merupakan syair-
syair yang memiliki nilai pendidikan karakter yang berguna untuk
diaplikasikan dalam pendidikan berbasis sastra. 8(delapan) syair yang terpilih
juga memiliki bentuk yang sama, yaitu berupa syair lirik. Keunikan 8(delapan)
syair ini juga terletak pada kesamaan bentuk kata yang digunakan sebagai
judul awal syair. Judul kedelapan syair tersebut adalah (1) Ughniyyatudh-
15
Dhaba>b, (2) Ughniyyatu lil ‘Aqabah, (3) Ughniyyatul-Chajar, (4)
Ughniyyatul-Ayyal, (5) Ughniyyatuth-Thuyu>r, (6) Ughniyyatul-Baja‘a>t, (7)
Ughniyyatul-‘Anz, (8) Ughniyyatul-Chamal.
E. Landasan Teori
1. Pengertian Puisi
Puisi dalam kesusastraan Arab biasa disebut dengan syi‘run atau asy-
syi‘ru yang berarti syair atau puisi. Kata asy-syi‘ru berasal dari verba sya‘ara -
yasy‘uru - syi‘ran - syu‘u>ran yang berarti mengetahui, merasakan, sadar,
mengomposisi, atau menggubah sebuah syair (Al-Fadhl dalam Muzakki,
2006:41).
Syair adalah ucapan atau tulisan yang mengikuti wazan (ritme gaya
lama) dan qa>fiyah (rima akhir) serta unsur ekspresi rasa dan imajinasi yang
harus lebih dominan dibanding prosa (Asy-Sya>yib, 1994:295). Syair juga
merupakan ungkapan imajinasi, pikiran, dan perasaan penyair yang
dituangkan dalam bentuk tulisan (Kamil, 2009:12).
Telah banyak peneliti yang mengkaji tentang sebab kemunculan syair
Arab. Muncul pendapat yang menyatakan bahwa pola syair Arab diperoleh
dari irama bunyi kaki unta ketika menghentakkan kaki ke tanah hingga
akhirnya diperoleh pola wazan syair. Pendapat yang lain mengatakan bahwa
pola tersebut diperoleh dari lagu-lagu yang sering dinyanyikan di padang
pasir. Pendapat berikutnya menjelaskan bahwa syair Arab lama memiliki pola
yang bertransformasi dari berbagai pola yang selanjutnya muncul pola bachr
(Al-Aziz, 1405:53).
16
Syair juga merupakan ungkapan pikiran dan perasaan penyair secara
imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa,
baik dalam struktur fisik maupun struktur luarnya. Hanya saja dalam sastra
Arab klasik, kecuali dalam syair sufistiknya, pengkonsentrasian syair sebagai
bahasa konatif atau simbolik tidak terlalu ditekankan. Aspek yang ditekankan
adalah struktur luarnya yang harus memenuhi unsur „arudl dan unsur diksinya
yang menyentuh emosi yang dianut umumnya literatur Arab dan diadopsi
sastrawan Indonesia klasik dengan muncul jenis syair yang bersajak aa
(Waluyo, 1987:8-15).
Karena itu, pembagian atau kategori syair biasanya didasarkan pada
bentuk dan isinya. Secara bentuk, syair Arab dibagi menjadi 3 yaitu: (1) Syi‘r
multazam, yaitu syair yang terikat dengan aturan wazan dan qa>fiyah. (2) Syi‘r
mursal, yaitu syair yang terikat dengan satuan rima (taf‘i>la>t), tetapi tidak
terikat dengan aturan wazan dan qa>fiyah. (3) Syi‘r churr, yaitu syair yang
tidak terikat sama sekali dengan aturan wazan, qa>fiyah maupun taf’i>la>t
(Husein, tt:311).
Syair Arab dilihat dari isinya terbagi juga menjadi tiga macam yaitu: (1)
Syair cerita (syi‘r qishashi), yaitu jenis novel yang bersifat objektif. Syair ini
berupa kasidah panjang yang menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah,
kemudian disusun dalam bentuk cerita kepahlawanan yang dinyanyikan. (2)
Syair lirik (syi‘r ghina >’i), yaitu syair yang secara langsung mengungkapkan
perasaan, baik perasaan sedih maupun harapan. Syair ini berupa kasidah yang
cukup panjang dan bersifat subjektif. (3) Syair drama (syi‘r tamtsili), yaitu
17
syair yang dibuat untuk disaksikan di atas panggung dan bersifat subjektif
(Ahmad Asy-Sya>yib, 1994:309).
Berkenaan dengan puisi anak, pengertian puisi anak tidaklah se-bias
pengertian puisi dewasa. Hal ini karena puisi anak tentu selaras dengan
perkembangan pengetahuan dan perasaan anak yang masih sederhana. Oleh
karena itu, dengan mencermati aspek tipografi, bahasa, dan isinya, dapat
dibedakan apa yang disebut puisi anak. Secara tipografi, puisi anak ditulis
dalam bentuk bait-bait, dan bahasanya sederhana, pendek, penuh irama, serta
isinya tentang satu pengalaman tertantu yang dipadatkan, yaitu diceritakan
dengan mengesampingkan unsur setiap peristiwa (Kurniawan, 2009:28).
2. Pendekatan Struktural
Secara definitif, strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur
dalam yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar-hubungannya. Pada
satu pihak, hubungan antar unsur yang satu dengan satu unsur lainnya. Di
pihak yang lain, hubungan antar unsur dengan totalitasnya (Ratna, 2004:91).
Struktur menurut Jean Piaget (dalam Siswantoro, 2010:13) adalah
kombinasi keseluruhan pada unsur-unsur yang memiliki ide keseluruhan dan
ide transformasi. Struktur memiliki ide keseluruhan dengan adanya kepaduan
internal di antara unsur-unsur pembangun struktur. Sedangkan ide
transformasi yang dimiliki struktur mengandung pengertian bahwa struktur
tidak statis sehingga aspek-aspek baru dalam struktur dapat berubah.
Teeuw (dalam Kurniawan, 2009:69) menyatakan bahwa pada prinsipnya
analisis atau pendekatan struktural bertujuan untuk membongkar dan
18
memaparkan secermat, seteliti, sedetail, dan sedalam mungkin keterkaitan dan
keterjalinan semua unsur karya sastra yang bersama-sama menghasilkan
makna yang menyeluruh. Analisis struktural bukanlah analisis terhadap unsur
secara terpisah atau penjumlahan unsur-unsurnya. Poin terpenting dari analisis
atau pendekatan struktural adalah menganalisis keterpaduan struktur yang
total, keseluruhan makna yang unik, yang terkandung dalam karya sastra.
Tugas serta tujuan analisis struktur adalah mengupas sedetail mungkin
keseluruhan makna yang padu itu.
Pendekatan struktural dapat disebut dengan pendekatan objektif,
pendekatan formal, atau pendekatan analitik yang mengkaji karya sastra dari
aspek yang membangun karya sastra tersebut, seperti tema, alur, latar,
penokohan, gaya penulisan, dan gaya bahasa. Sedangkan aspek ekstrinsik
seperti pembaca, penulis, lingkungan, dan budaya harus dikesampingkan
karena tidak memiliki kaitan langsung dengan struktur karya tersebut (Semi,
2012:84).
Demikian halnya dengan syair, merupakan sebuah struktur yang terdiri
dari lapisan-lapisan norma. Untuk itu, kajian terhadap 8(delapan) syair dalam
Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l pada penelitian ini merupakan analisis
sastra anak yang menggunakan pendekatan analisis struktural strata norma
Roman Ingarden. Pendekatan analisis struktural pada syair-syair ini
dimaksudkan untuk membahas karya sastra dengan melepaskan dirinya dari
aspek-aspek luar karya sastra tersebut. Analisis puisi dengan pendekatan
19
struktural memfokuskan pada unsur-unsur pembangun struktur berupa unsur-
unsur internalnya (Siswantoro, 2010:63).
3. Strata Norma Roman Ingarden
Teori struktural strata norma Roman Ingarden diperkenalkan oleh
seorang filsuf Polandia, Roman Ingarden. Norma yang dimaksud di sini
adalah norma implisit yang harus ditarik dari setiap pengalaman individu
karya sastra dan bersama-sama merupakan karya sastra yang murni sebagai
keseluruhan (Wellek dan Werren, 2014: 169).
Karya sastra tidak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan
terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan
lapis norma lain di bawahnya. Norma-norma itu adalah sebagai berikut:
a.) Lapis Bunyi (Sound Stratum)
Rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan
panjang bukanlah suara yang tidak berarti. Suara tersebut disesuaikan
dengan konvensi bahasa, disusun sedemikian rupa sehingga
menimbulkan arti. Bunyi memiliki sifat estetis yang dapat
mempengaruhi sasaran, menimbulkan rasa dan memperdalam ucapan.
Bunyi juga memiliki pola atau aturan khusus yang bertujuan untuk
memunculkan nilai seni dan efek puitis (Pradopo, 2014:22).
Unsur bunyi dalam syair Arab dapat dianalisis dari segi huruf
secara otonomi atau dalam bentuk rangkaian huruf dalam sebuah
kalimat. Analisis huruf secara otonom dilakukan dengan proses
pengelompokan berdasarkan kuat dan lemahnya huruf yang keluar dari
20
Makharijul-churu>f, serta perpaduannya dengan tanda baca (harakat)
(Hasanuddin dalam Nafisa, 2015:17).
Analisis bunyi berdasarkan rangkaian huruf dapat diperoleh
melalui beberapa unsur yang berfungsi sebagai penentu makna dan
nilai estetis. Rangkaian bunyi sebagai norma dalam syair adalah
sebagai berikut:
1. Irama
Irama adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras
lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur (Pradopo, 2014:40).
Pada pembacaan puisi, jeda dan tekanan berperan untuk
menciptakan suasana tertentu. Kondisi ini dapat menghubungkan
imajinasi pembaca dengan intuisi penyair. Irama juga merupakan
bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga
dapat menimbulkan suasana (Hasanuddin dalam Nafisa,
2015:17).
Irama dalam puisi dibagi menjadi dua macam, yaitu
metrum dan ritme. Metrum merupakan irama yang tetap, artinya
pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu sesuai dengan
jumlah suku kata yang tetap. Sedangkan ritme adalah irama yang
disebabkan pertentangan dan pergantian bunyi tinggi rendah
secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang
tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma
penyairnya.
21
Metrum dalam aturan syair Arab lama bisa dipadankan
dengan istilah bachr. Sedangkan ritme (sajak) dapat dipadankan
dengan istilah qa>fiyah. Bachr adalah sederet pola kata dalam
syair Arab (Yammut, 1996:16). Hal ini diatur di dalam ilmu
„arudl yaitu ilmu yang mempelajari wazan syair Arab dan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya (Al-Hasyimy,
1997:6). Sedangkan qa>fiyah adalah huruf dan harakat di akhir
bait-bait qashidah yang sudah ditetapkan penyair untuk diulang-
ulang. Ilmu yang mempelajarinya dinamakan ilmu qawafi (jamak
dari qa>fiyah).
Bachr atau metrum dalam syair Arab terbagi menjadi enam
belas macam yaitu: bachr tha>wil, bachr madid, bachr basi>th,
bachr wafi>r, bachr ka>mil, bachr ramal, bachr hajz, bachr rajaz,
bachr sari‘, bachr munsarich, bachr khafif, bachr muqtadhab,
bachr mhaujtats, bachr mutada>rak, dan bachr mutaqarib.
Adapun bachr yang umum digunakan dalam syair anak-
anak adalah bachr ka>mil, bachr rajaz, bachr ramal, bachr
mutaqarib, dan bachr mutada>rak (Najib, 1994:110). Selain itu,
bachr yang digunakan pada syair anak-anak biasanya adalah
bachr yang memiliki pola-pola pendek.
Selain bachr, keberadaan qa>fiyah turut menyempurnakan
musikalisasi syair Arab. Kedua unsur ini banyak ditemukan pada
syair Arab lama. Namun demikian, tidak sedikit para penyair
22
Arab kontemporer yang masih menggunakan aturan bachr dan
qa>fiyah dalam menggubah syairnya.
2. Efoni dan Kakofoni
Efoni dan kakofoni adalah rangkaian bunyi yang
dimanfaatkan untuk membentuk kesan tertentu, mengalirkan
perasaan, imajinasi-imajinasi dalam pikiran atau pengalaman
jiwa pendengarnya. Efoni merupakan rangkaian bunyi yang
terdiri dari huruf vokal, konsonan bersuara, bunyi likuida dan
bunyi sengau guna menimbulkan suasana yang indah dan
menyenangkan. Sedangkan kakofoni merupakan rangkaian bunyi
yang terdiri dari huruf konsonan tidak bersuara sehingga
menimbulkan kesan tidak menyenangkan dan suram (Pradopo,
2014:29-31).
3. Aliterasi dan Asonansi
Aliterasi dan asonansi berfungsi untuk memperdalam rasa,
selain itu untuk orkestrasi dan memperlancar ucapan (Pradopo,
2014:38). Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang
dominan di dalam puisi. Sebaliknya, asonansi adalah
pengulangan bunyi vokal yang dominan dalam puisi.
Pemanfaatan bunyi vokal dan konsonan menjadikan sebuah puisi
memiliki kemerduan bunyi, terlebih jika digunakan secara serasi
dan berulang-ulang (Keraf, 2007:130).
23
4. Repetisi
Unsur repetisi biasa digunakan pada karya sastra lisan
maupun tulis. Repetisi merupakan bentuk pengulangan bunyi,
suku kata, kata dan kalimat guna memberikan penekanan dan
memperoleh makna yang mendalam pada sebuah pemaknaan
suatu konteks (Keraf, 2007:127).
Jenis repetisi bervariasi, beberapa di antaranya yaitu
anafora, epifora, dan simploke. Anafora adalah pengulangan
bunyi dalam bentuk kata pada awal baris puisi. Sedangkan
epifora adalah pengulangan bunyi dalam bentuk kata pada akhir
baris puisi. Adapun simploke adalah pengulangan bunyi dalam
bentuk kata maupun frase pada awal dan akhir baris puisi.
Pengulangan bentuk kata atau bentukan linguistik pada awal dan
akhir tiap baris puisi ini digunakan untuk menimbulkan efek
tertentu pada puisi (Keraf, 2007:127-128).
5. Onomatope
Onomatope adalah unsur bunyi yang berupa tiruan suara
yang dihasilkan oleh benda, gerak, binatang, manusia, atau segala
wujud yang menimbulkan bunyi. Contoh onomatope adalah
seekor binatang dinamakan cicak, karena binatang tersebut
menghasilkan bunyi [cek-cek] (Subroto, 2011:6). Penggunaan
onomatope dapat menciptakan daya imajinasi pendengar atau
pembaca.
24
b) Lapis Arti (Units of Meaning)
Lapis arti merupakan rangkaian fonem, suku kata, kata, frase,
dan kalimat yang kesemuanya merupakan satu kesatuan arti (Pradopo,
2014:15). Lapis arti dalam strata norma merupakan lapis kedua yang
ditimbulkan dari lapis bunyi. Arti dari sebuah puisi dapat ditangkap
melalui dua cara, yaitu memahami arti denotatif yang sesuai dengan
apa yang tertulis, dan memahami arti secara konotatif. Lapis arti
menimbulkan lapis ketiga yang berupa latar, pelaku, objek-objek yang
dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan.
c) Lapis Hal-Hal yang Dikemukakan
Lapis hal-hal yang dikemukakan berupa latar, pelaku, objek-
objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang. Lapis hal-hal yang
dikemukakan diperoleh dari pengkajian terhadap lapis kedua, yaitu
lapis arti. Dunia pengarang dalam lapis ketiga ini adalah ceritanya,
yang merupakan dunia imajinasi yang diciptakan pengarang. Dunia
pengarang ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek
yang dikemukakan, latar, pelaku, serta alur (Pradopo, 2014:18).
d) Lapis Dunia
Lapis dunia yang merupakan lapis keempat dalam analisis strata
norma Roman Ingarden adalah lapis yang tidak perlu dinyatakan
secara gamblang, namun dapat dipahami secara implisit (Pradopo,
2014:15). Lapis ini ditimbulkan oleh adanya lapis hal-hal yang
dikemukakan.
25
e) Lapis Metafisis
Lapis kelima adalah lapis metafisis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi atau melakukan sebuah perenungan. Lapis metafisis
berkaitan erat dengan filosofi dari sebuah puisi. Lapis metafisis
memiliki sifat tragis, sublim dan suci. Akan tetapi tidak semua karya
sastra mengandung lapis metafisis ini (Pradopo, 2014:15).
Karya sastra yang mengandung lapis metafisis merupakan karya
sastra yang mencapai tingkatan keempat atau niveau human dan kelima
atau niveau religius (filosofis) dalam tingkatan pengalaman jiwa.
Adapun tingkatan pertama atau niveau anorganis yang terjelma pada
karya sastra hanya berupa pola bunyi, irama, baris, sajak, alenia, alenia,
kalimat, gaya bahasa dan sebagainya. Untuk tingkatan kedua atau
niveau vegetatif yang terjelma dalam karya sastra berupa suasana-
suasana yang ditimbulkan oleh rangkaian-rangkaian kata-kata itu.
Tingkatan ketiga atau niveau animal merupakan tingkatan yang dicapai
oleh binatang dan sudah ada nafsu jasmaniahnya. Tingkatan ini jika
terjelma dalam kata berupa nafsu-nafsu naluriah seperti makan, minum,
dan sebagainya (Pradopo, 1994:55-59).
Sementara itu, tingkatan pengalaman jiwa keempat atau niveau
human jika terjelma ke dalam karya sastra dapat berupa renungan-
renungan batin dan moral, konflik kejiwaan, rasa simpati dan segala
pengalaman yang dirasakan manusia. Sedangkan tingkatan kelima atau
niveau religius (filosofis) berupa renungan batin sampai hakikat,
26
hubungan Tuhan dengan manusia, renungan filsafat dan metafisis, dan
sebagainya (Pradopo, 1994:58).
4. Nilai Pendidikan Karakter
Nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Hakikat
nilai berupa norma, etika, dan rujukan lain yang dirasakan berharga untuk
manusia (Mulyono, 2004:11). Nilai bersifat abstrak yang mendorong manusia
untuk melakukan hal-hal konkret berupa sikap dan perilaku.
Adapun karakter adalah cara berfikir dan berperilaku yang khas tiap
individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara (Samani, 2013:42). Karakter berkaitan dengan
hal-hal yang baik. Pendapat yang lain menyatakan bahwa karakter terdiri dari
korelasi antara pengetahuan akan hal-hal yang baik (moral knowing),
perasaan untuk melakukan hal yang baik (moral feeling), dan perilaku yang
berisi kebaikan dan kebajikan (moral behaviour) (Lickona, 1911:5). Ketiga
hal tersebut mampu mendorong manusia untuk berperilaku yang baik sesuai
dengan pengetahuan akan nilai dan etika sosial.
Nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003
pasal 3, menganut sembilan pilar, yaitu: (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-
Nya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran dan diplomatis, (4)
hormat dan santun, (5) dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong,
(6) percaya diri dan kerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan
rendah hati, serta (9) toleransi, kedamaian, kesatuan (Samani, 2013:106).
27
Adapun yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah pendidikan
yang mengembangkan karakter yang mulia dari peserta didik dengan
mempraktekkan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan pengambilan
keputusan yang beradab dalam hubungan dengan sesama manusia maupun
dengan Tuhannya (Samani, 2013:44).
Pendidikan karakter ini dapat diperoleh dengan berbagai sarana dan
media. Salah satu sarana yang mudah diaplikasikan bagi pendidikan karakter
yaitu dengan menggunakan media puisi. Alasannya, karena puisi sarat akan
pesan dan amanat serta dapat menarik perhatian anak-anak.
F. Data dan Sumber Data
1. Objek Penelitian
Objek penelitian sastra adalah pokok atau topik penelitian sastra
(Sangidu, 2007:61). Objek penelitian ini adalah 8(delapan) syair dalam Di>wa>n
Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l karya Sulaima>n al-‘Isa dengan memanfaatkan
teori analisis struktural strata norma Roman Ingarden.
2. Data
Data penelitian sebagai data formal adalah kata-kata, kalimat maupun
wacana. Data yang terkumpul dalam analisis deskriptif berupa kata-kata,
gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan
metode kualitatif (Moleong, 2010:16). Bentuk data dalam penelitian ini berupa
huruf, kata-kata, frasa, kalimat, dan wacana yang terdapat di dalam 8(delapan)
syair Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l.
28
3. Sumber data
Sumber data adalah naskah (Ratna, 2004:47). Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data kepustakaan yang berupa buku,
transkrip, e-book, hasil penelitian dan lain sebagainya yang diuraikan dengan
perincian sebagai berikut :
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan sumber data utama (Siswantoro,
2004:140). Sumber data primer penelitian ini adalah 8(delapan) syair
dalam Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l karya Sulaima>n al-‘Isa
yang diterbitkan oleh Majalah Dabi> ats-Tsaqa>fiyyah Tushaddiru ‘an
Da>rish-Shadi> lish-Shacha>fah wan-Nasyr wat-Tauzi>‘ di Damaskus, Syiria
pada tahun 2009. Secara keseluruhan, di>wa>n ini berisi 103 syair anak-
anak.
Adapun 8(delapan) syair yang dijadikan sebagai sumber data
primer penelitian ini yaitu: (1) Ughniyyatudh-Dhaba>b, (2) Ughniyyatu
lil ‘Aqabah, (3) Ughniyyatul-Chajar, (4) Ughniyyatul-Ayyal, (5)
Ughniyyatuth-Thuyu>r, (6) Ughniyyatul-Baja‘a>t, (7) Ughniyyatul-‘Anz,
(8) Ughniyyatul-Chamal.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber data yang kedua.
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah data-data yang
bersumber dari buku-buku, karya tulis, data penelitian, informasi dari
29
media massa maupun media cetak, dan website yang berhubungan serta
menunjang pembahasan penelitian.
G. Metode dan Teknik Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah strategi yang digunakan dalam penelitian
(Subana dan Sudrajat, 2011:10). Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,
dan sebagainya, dengan cara mendiskripsikannya dalam bentuk kata-kata atau
bahasa (Moleong, 2010:6).
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan proses diperolehnya data dari sumber data
(Subana dan Sudrajat, 2011:115). Teknik pengumpulan data diperoleh dari
teknik pustaka dan wawancara. Teknik pustaka adalah pengumpulan data
melalui sumber pustaka. Sedangkan teknik wawancara adalah cara
memperoleh data melalui percakapan, baik terstruktur ataupun tidak.
Penelitian ini menggunakan teknik pustaka melalui sumber data primer berupa
Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l karya Sulaima>n al-‘Isa dan sumber data
sekunder berupa buku-buku acuan yang berkaitan.
30
3. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data dalam penelitian kualitatif berfungsi untuk memahami
objek yang diteliti agar dapat mencapai hasil yang telah diramalkan. Langkah
kerja pengolahan data dalam penelitian ini adalah :
1.) Pengambilan data melalui pembacaan secara intensif teks sastra
Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l sebagai objek penelitian.
2.) Data yang telah diambil melalui tahap pembacaan akan dilanjutkan
pada klasifikasi data yaitu pengelompokkan data sesuai kebutuhan
masalah yang telah dirumuskan.
3.) Data yang telah diklasifikasikan selanjutnya akan diolah melalui
tahap analisis struktur 8(delapan) syair dalam teks sastra Di>wa>n
Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l berdasarkan teori strata norma Roman
Ingarden yang dilanjutkan dengan analisis isi dan nilai-nilai
pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya.
4.) Data yang telah dianalisis memerlukan proses lanjutan berupa tahap
interpretasi yang selanjutnya digunakan untuk penarikan simpulan
dan pemberian saran-saran.
H. Sistematika Penulisan
Agar diperoleh suatu pembahasan yang jelas dan berkesinambungan
antara bab demi bab, maka sistematika penulisan penelitian ini sebagai
berikut:
31
Bab I berisi pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, pembatasan masalah, landasan teori, data
dan sumber data, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II tentang isi, yaitu: (1) Analisis struktur strata norma yang terdiri
dari analisis lapis bunyi, lapis arti, lapis hal-hal yang dikemukakan, lapis
dunia, dan lapis metafisis. (2) Analisis nilai-nilai pendidikan yang berupa
amanat dari 8(delapan) syair dalam Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l.
Bab III berisi penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.
Pada bagian akhir dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran yang
berupa 8(delapan) syair Di>wa>n Ara>ji>chun Tughanni> lil-Athfa>l, dan biografi
Sulaima>n al-‘Isa.