BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayah kepulauan
nusantara terdiri dari berbagai wilayah yang memiliki keanekaragaman dan perbedaan secara
geografis, hidrologis, geologis, dan demografis. Indonesia terletak diantara dua benua yakni
Australia dan Asia serta diapit oleh dua samudera yakni Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik. Secara geografis letak Indonesia berada pada pertemuan antara dua lempeng benua
yang sifatnya dinamis. Lempeng benua tersebut sewaktu waktu dapat bergeser akibat gerakan
tektonik. Pergeseran lempeng yang merupakan tenaga endogen tersebut berpotensi
menimbulkan berbagai peristiwa alam seperti gempa ataupun gunung meletus.
Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam
maupun faktor nonalam maupun faktor manusia yang menimbulkan korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian materil, serta dampak psikologis. Namun hanya sedikit
perhatian diberikan kepada perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) yang juga perlu
disediakan dalam situasi khusus ini.
Bencana alam akibat perbuatan manusia disebabkan terjadinya degradasi lingkungan
yang dapat disebut sebagai salah satu faktor kunci penyebab bencana.1 Manusia sebagai
makluk sosial cenderung kurang bijaksana menyikapi dan menyiasati eksistensi alam sebagai
habitatnya yang penuh dengan potensi sumber dayanya serta berpeluang menimbulkan
bencana alam akibat kecerobohan dan kelalaian manusia dalam memanfaatkan kemajuan
teknologi canggih untuk mengekplorasi sumber daya alam.
1 Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarif, Pengelolaan Bencana Terpadu (Jakarta: Yarsif Watampoe. Agustus
2006), hal. 4.
Akibatnya, Indonesia sering dilanda gempa bumi yang mengakibatkan korban jiwa,
dan kerusakan. Letak geografis dan kondisi geologis menyebabkan Indonesia menjadi salah
satu negara yang sangat berpotensi sekaligus rawan bencana,2 seperti gempa bumi, tsunami,
banjir, tanah longsor, badai, dan letusan gunung berapi. Bencana-bencana tersebut diatas
disebabkan oleh posisi Indonesia yang terletak pada daerah pertemuan tiga lempeng besar
yang aktif yaitu lempeng Pasifik, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Eurasia.3 Pemerintah
harus melindungi setiap warga Negara sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945. Salah satu
cara pemerintah melindungi korban gempa adalah dengan pemberlakuan UU No. 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB).
Gempa bumi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh kepulauan Indonesia yang
terletak di wilayah cicin api pasifik atau lingkaran api pasifik (ring of fire), yakni daerah yang
sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan
samudra Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti kapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang
40.000 km dan sering di sebut sebagai serbuk gempa bumi.4
Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini di Indonesia terdapat peristiwa bencana yang
terjadi setiap tahun. Pasca meletusnya Gunung Krakatau yang menimbulkan tsunami besar di
tahun 1883, setidaknya telah terjadi 17 bencana tsunami besar di Indonesia selama hampir
satu abad (1900-1996).5
Tsunami, badai, dan gempa bumi yang menghantam sebagian negara di Benua Asia
dan Amerika pada 2004/2005 telah menyoroti perlunya perhatian serius terhadap tantangan-
tantangan HAM yang berlipat ganda yang mungkin dihadapi orang-orang yang terkena
dampak bencana-bencana semacam itu. Seringkali HAM mereka kurang diperhatikan.
2 Pusat Data dan Analisa, Indonesia Rawan Bencana, Jakarta: Tempo, 2006, hal.1. 3 Sukandarrumidi, Bencana Alam dan Bencana Anthropogene, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hal.31. 4 Masalah Bencana Alam (On-Line), tersedia di http://www.antara.co.id/masalahbencanaalam,
(25 Juni 2008).
5 M. Hajianto, Analisa Teoritis Gempa Bumi, Belajar Dari Bencana Aceh, Pontianak, 2005, hal.5.
Masalah-masalah yang sering dihadapi orang-orang yang terkena dampak-dampak bencana-
bencana alam diantaranya adalah akses yang tidak setara terhadap bantuan; diskriminasi
dalam pemberian bantuan; relokasi yang dipaksakan; pemulangan atau pemukiman kembali
yang tidak aman atau dipaksakan; dan hal-hal yang berkaitan dengan ganti rugi properti.
Populasi yang terkena dampak seringkali dipaksa meninggalkan rumah rumah atau tempat
tinggal akibat hancurnya rumah dan pernaungan mereka karena letusan gunung berapi,
tsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung. Dengan
demikian sejumlah besar korban juga terpaksa mengungsi akibat bencana-bencana semacam
ini atau akibat munculnya rasa khawatir terhadap kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi
lagi di masa depan.
Pola-pola diskriminasi dan pelecehan terhadap hak ekonomi, sosial, dan kultural
mungkin sudah terjadi selama tahap tanggap darurat di situasi bencana alam, risiko terjadinya
pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM akan semakin besar seiring dengan semakin
lamanya situasi pengungsian berlangsung. Biasanya situasi-situasi yang mempengaruhi
HAM orang-orang yang terkena dampak bencana-bencana alam tidak dirancang dan
diterapkan dengan sengaja, tetapi merupakan hasil dari berbagai kebijakan yang kurang tepat
atau hasil dari kelalaian semata-mata.
Kerentanan para korban seringkali terjadi akibat perencanaan dan kesiagaan
menanggapi bencana yang kurang memadai. Seperti dikatakan Sekretaris Jenderal PBB,
“Risiko dan potensi terjadinya bencana yang berkaitan dengan bahaya-bahaya alam sebagian
besar ditentukan oleh tingkat kerentanan yang sudah ada sebelumnya dan oleh efektivitas
langkah-langkah yang diambil untuk mencegah, mengurangi, dan bersiaga menghadapi
bencana.” Namun, begitu orang-orang sudah terkena dampak sebuah bencana, mereka
seringkali menghadapi pula tantangan-tantangan yang lebih berat untuk mendapatkan HAM
mereka secara utuh. Tantangan-tantangan ini dapat dihadapi jika jaminan-jaminan atas HAM
yang relevan diperhitungkan sejak awal oleh para pelaku bantuan kemanusiaan nasional
maupun internasional. HAM merupakan dasar hukum yang menjadi pondasi semua kegiatan
kemanusiaan yang berkaitan dengan bencana-bencana alam. Jika bantuan kemanusiaan tidak
didasarkan pada kerangka HAM, ada bahaya fokusnya menjadi terlalu sempit dan tidak bisa
menggabungkan seluruh kebutuhan dasar para korban ke dalam sebuah proses perencanaan
yang menyeluruh.
Cabang yang khusus membahas tentang korban sudah mulai menarik perhatian yaitu
Viktimologi yang mencuat keluar dari induknya yang sering dianggap criminal centris itu.
Dalam perjalannya the victim’s rights movement atau gerakan untuk hak-hak korban. Di
Amerika serikat telah melahirkan banyak rekomendasi untuk mendapatkan banyak energinya
dari sindrom cerita horor akibat kejahatan yang menyimpang dan menyalahi sistem
peradialan dan peraturan perundang-undangan yang gagal mencegah dan jatuhnya korban
tersebut.6
Di Amerika serikat pernah dibentuk the president’s tax force on victim of crime yang
mengajukan berbagai usulan antara lain: Diadakannya perlindungan bagi korban dan saksi
dari intimidasi, mempersyaratkan ganti kerugian bagi korban di setiap kasus, membangun
guldelines untuk perlakuan yang adil bagi korban kejahatan dan saksi, melarang pelaku
kejahatan membuat cerita tentang kejahatannya, serta menyediakan crime victim
compensation fund (dana kompensasi korban kejahatan).7
Dalam perkembangan, studi viktimilogi yang hanya memfokuskan pada korban
kejahatan nampaknya kurang memuaskan. Hal ini berangkat dari suatu kesadaran bahwa
penderitaan atau kerugian dapat juga diakibatkan oleh sebab-sebab lain di luar kejahatan,
sehingga study special victimology berkembang dalam bentuk general victimology yang
mempelajari korban kecelakaan dan bencana pada umumnya. Dengan demikian mereka yang
6 Topo Santoso, Krisis dan Kriminalitas Pasca Reformasi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm.106. 7 Ibid.
mengalami penderitaan akibat dari kecelakaan lalu lintas dan akibat bencana masuk dalam
lingkup pembahasan general victimology.8
Fakta yang ada pada saat ini, perhatian dalam hal perlindungan terhadap hak-hak
korban bencana alam gempa bumi sangat kecil jika dibandingkan dengan perhatian yang
selalu dicurahkan terhadap perlindungan korban kejahatan dan perlindungan hak asasi para
pelaku kejahatan. Hal tersebut jelas kelihatan dari penanganan yang dilakukan Pemerintah
untuk menangani korban bencana alam sangat lamban dan tidak maksimal. Padahal akibat
dari korban bencana alam gempa bumi lebih banyak menelan korban dibandingkan dengan
korban kejahatan.
Korban bencana bisa dikatakan sama dengan pengungsi. Pengungsi berarti hidup
dalam penampungan dan tergantung kepada orang lain untuk memperoleh kebutuhan pokok
seperti makanan, pakaian, dan perumahan.9 Perlindungan IDPs (Internally Displaced Persons)
dalam masa tanggap darurat serta jaminan pelaksanaan hak asasi dan kebebasan fundamental
mereka sangat bergantung pada sikap, tindakan, kebijakan, efektifitas, dan kemauan
pemerintah. Perlindungan yang harus di berikan oleh pemerintah nasional, termasuk
pemerintah RI, kepada IDPs mencakup dua bidang utama. Pertama, keselamatan (yang
meliputi keselamatan jiwa, keamanan fisik dan mental dan integritas fisik dan moral). Kedua,
pelaksanaan hak asasi dan kebebasan fundamental (yang sangat dasar dan paling di butuhkan
oleh IDPs sesuai dengan kondisi mereka).
Secara umum dapat dikatakan, bahwa peraturan perundang-undangan yang
memperhatikan atau melindungi korban bencana alam masih sangat minim. Kalaupun ada
undang-undang yang dalam ketentuannya cukup memberikan perhatian dan perlindungan
pada korban kejahatan nonkonvensional seperti kejahatan ekonomi atau tindak pidana
lingkungan, dan korban kejahatan konvensional seperti pembunuhan, pencurian,
8 G Widiartana, Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Yogyakarta: Universitas
Atmajaya Yoyakarta, 2009), hlm. 3-4. 9 UN Centre For Human Rights, Hak Asasi Manusia, Lembar Fakta, Jakarta: Komnas HAM, 2000, hal. 273.
pemerkosaan sudah ada undang-undang perlindungan terhadap korban yaitu Undang-undang
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sedangkan untuk perlindungan
korban bencana alam belum ada satupun undang-undang yang khusus mengatur tentang
perlindungan korban secara khusus yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum.
Pada setiap korban bencana alam gempa bumi akan mengakibatkan hilangnya
keseimbangan jiwa korban, kematian, kehilangan harta dan sanak saudara, kehilangan tempat
tinggal, hilangnya kepercayaan diri dan kepercayaan hidup, luka dan cacat seumur hidup,
yang mengakibatkan trauma dan keputusasaan yang menghampiri disepanjang hidup mereka.
Memang melindungi warga Negara adalah tugas Negara sebagaimana tertulis dalam
pembukaan UUD 1945 alinea ke empat. Untuk itu Negara harus tanggap dan bertanggung
jawab dalam menanggulangi korban bencana alam gempa bumi agar korban tidak bertambah
banyak, akibat dari keterlambatan bantuan dan keterbatasan fasilitas, dan keterbatasan dana
yang disediakan oleh Negara.
Undang-Undang Penangulangan Bencana sebenarnya telah mengakomodir prinsip
HAM (aspek non diskirminasi dan perlindungan atas hak hidup dan kelangsungan hidup)
dalam draft pasal prinsip-prinsip penanggulangan bencana. namun, prinsip ini dikaburkan
dengan tujuan dari pembuatan UU ini sendiri melalui peminimalisiran peran dan tanggung
jawab negara dalam urusan bencana dengan dalih mempertahankan nilai-nilai lokal (gotong–
royong, kesetiakawanan dan kedermawanan).10UU PB selanjutnya justru lebih menekankan
aspek teknis penanggulangan bencana ketimbang memuat jaminan hak asasi manusia para
korban atau penduduk yang rentan terkena dampak bencana.
Patut dicermati dari UU PB lagi adalah tentang definisi bencana “Bencana adalah
suatu gangguan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat yang diakibatkan oleh
faktor alam diantaranya bencana gempa bumi, tsunami, longsor, angin topan, banjir, letusan
10 https://hidupbersamabencana.wordpress.com/2007/07/16/uu-penanggulangan-bencana-bencana-bagi-hak-
asasi-para-korban-bencana/. Tanggal 12 Juni 2017.
gunungapi, kekeringan, epidemi, dan wabah penyakit, bencana karena faktor nonalam
diantaranya kebakaran dan gagal teknologi, dan bencana karena faktor manusia mencakup
peristiwa kerusuhan sosial, teroris, dan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan
kerusakan lingkungan hidup, kerugian harta benda, dampak psikologis, bahkan sampai
menimbulkan korban jiwa manusia.”
Definisi bencana ini seakan membatasi bahwa satu-satunya penyebab bencana
merupakan faktor alam, tanpa melihat aspek kecerobohan manusia. Banjir, tanah longsor,
epidemi dan wabah penyakit tidak serta merta muncul menjadi bencana apabila sistem dan
mekanisme terhadap penanganan lingkungan dilakukan secara benar. “Pelimpahan” faktor
alam sebagai penyebab bencana ini kemudian menjadi pembenaran untuk melepaskan
kewajiban negara dalam penanganan bencana.
Pasal-pasal pada Bab III dan IV UU PB menyebut eksplisit lembaga kemasyarakatan,
lembaga usaha, palang merah Indonesia dan lembaga internasional sebagai pelaku
penanggulangan bencana di samping pemerintah. Ini bisa diinterpretasikan negara bukanlah
satu-satunya pihak yang berwenang dalam penanganan bencana. konsekuensi dari ini, maka
negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terjadi kegagalan dalam proses
penanganan bencana. mekanisme address-redress-remedy sebagai mekanisme penegakan
HAM menjadi hilang sebagai konsekuensi “lepasnya’tanggung jawab negara.
Hilangnya kewajiban negara secara substantif membuat jaminan hak yang diberikan
negara dalam tahapan penanganan bencana (Pengurangan resiko bencana, penanganan
tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi serta penatalaksanaan bencana) seolah hanya
monumen puisi pengakuan tentang hak asasi manusia tanpa dapat dinikmati para korban atau
penduduk yang rentan terkena bencana. Dalam pasal 33 – 39 diatur secara jelas prioritas
penanganan, standart minimum bagi pengungsi (tempat penampungan, sanitasi,bantuan
pangan dan non pangan) maupun langkah-langkah penanganan darurat. Namun jaminan ini
tidak diimbangi dengan mekanisme yang mengatur agar negara berkewajiban melakukan hal
ini.
Penanganan gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan Klaten 27 Mei 2006
mengungkapkan, para korban harus berjuang di bawah hujan lebat tanpa bantuan pangan dari
Pemerintah kurang lebih 1 minggu. Sementara bantuan penampungan sementara dan non
pangan (pakaian, perlengkapan tidur, masak dan kebersihan) bahkan lebih lama lagi.
Akibatnya, banyak penduduk khususnya anak-anak, perempuan dan lansia mengalami
berbagai macam penyakit. Banyak korban yang mengalami luka parah menjadi cacat
permanen dikarenakan lambatnya penanganan medis oleh negara. Kegagalan-kegagalan ini
praktis tidak bisa dituntut atau diklaim oleh para korban yang mengandung unsur
pertanggungjawaban dari aparat penyelenggara negara.
Otoritas negara justru lebih kentara pada aspek pelaksanaan teknis dan koordinasi,
termasuk menentukan daerah rawan bencana. Namun, tanpa jaminan HAM bagi penduduk
yang terkena atau rentan terhadap bencana, hal ini justru berpotensi memunculkan kasus
pelanggaran HAM baru. Sebagai contoh, negara berwenang untuk menghilangkan sebagian
atau keseluruhan hak kepemilikan penduduk di daerah yang ditetapkan rawan bencana.
program-program relokasi di daerah rawan bencana sebagian besar ditolak penduduk karena
tidak ada jaminan akan retitusi (penggantian) atas hak kepemilikan dan properti, termasuk
jaminan penghidupan. Kewenangan besar dalam menetapkan suatu wilayah sebagai daerah
rawan bencana bisa disalahgunakan untuk menggusur penduduk yang tinggal di bantaran
sungai atau menggambil alih lahan bagi kepentingan komersial.
Terdegradasinya jaminan HAM pada penduduk yang terkena atau rentan terhadap
bencana dalam UU Penanggulangan Bencana dikhawatirkan berimplikasi luas pada
kegagalan capaian perbaikan kehidupan mereka. Untuk itu, masyarakat sipil khususnya para
korban perlu membangun kesadaran dan menempuh upaya-upaya politik hukum agar UU
Penanggulangan Bencana compliance dengan standar HAM. Upaya yang masih mungkin
adalah membuat gugatan di Mahkamah Konsititusi untuk melihat sejauh mana aspek
penegakan HAM dalam UU Penanggulangan Bencana. Sudah saatnya para korban bencana di
Aceh, Yogyakarta, Pangandaran, Jakarta, Papua dan penduduk rentan terhadap bencana
dilindungi agar kehidupan mereka menjadi lebih baik, bukan dengan menempatkan mereka
sebagai obyek yang hanya dipandang pantas menerima bantuan.
Ada risiko faktor-faktor penting bagi pemulihan dan rekonstruksi akan luput dari
perhatian di kemudian hari. Lagi pula, mengabaikan HAM mereka yang terkena dampak
bencana-bencana alam berarti tidak memedulikan fakta bahwa mereka tidaklah hidup di
dalam sebuah kevakuman hukum. Mereka tinggal di negara-negara yang mempunyai undang-
undang, peraturan-peraturan, dan institusi-institusi yang semestinya melindungi hak-hak
mereka. Indonesia mempunyai Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana dan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana, itu artinya secara hukum korban bencana alam seharusnya sudah
mendapat perlindungan di negara Indonesia.
Negara secara langsung bertanggungjawab menghormati, melindungi, dan memenuhi
kebutuhan HAM warga negara mereka dan siapapun yang hidup di wilayah atau yurisdiksi
mereka. Jika organisasi-organisasi kemanusiaan nasional terikat hukum-hukum nasional,
maka organisasi-organisasi kemanusiaan internasional mengakui bahwa HAM merupakan
pondasi seluruh kegiatan mereka walaupun tidak terikat traktat-traktat HAM internasional.
Oleh sebab itu mereka harus melakukan yang terbaik untuk menjamin bahwa seluruh hak
dilindungi—bahkan melampaui rumusan kalimat-kalimat yang kaku di dalam mandat mereka
dan demi kepentingan orang-orang yang secara langsung terkena dampak. Setiap organisasi
kemanusiaan wajib tidak mendukung, aktif berpartisipasi di dalam, atau dengan cara apapun
ikut melakukan hal, atau menyetujui seluruh kebijakan atau kegiatan yang menimbulkan atau
bisa menimbulkan pelanggaran-pelanggaran HAM oleh Negara-negara. Tantangan yang
seringkali dihadapi adalah bagaimana menerapkan semua aturan itu dalam konteks
operasionalnya, apalagi terdapat berbagai dilemma kemanusiaan dan HAM yang secara
potensial dihadapi dalam berbagai situasi bencana-bencana kemanusiaan.
HAM sama pentingnya dengan pangan dan pernaungan sebagai kebutuhan hidup para
korban yang harus kita bantu dan lindungi secara hukum.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis merasa perlu untuk
membahas lebih lanjut dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul “Perlindungan Hukum
Terhadap Korban Bencana Alam Sebagai Hak Asasi Manusia”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka penulis
merumuskan :
Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban bencana alam berdasarkan ketentuan
hukum HAM?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini:
Untuk mengetahui konsistensi ketentuan-ketentuan hukum, tentang perlindungan
korban bencana alam sebagai HAM.
D. Manfaat Penulisan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik dari segi teoritis, maupun
praktis.
a. Segi Pemerintah
Diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bahan kajian sebagai suatu usaha
mengembangkan konsep pemikiran secara lebih logis dan sistematis terkait masalah-
masalah hukum terkait perlindungan hukum terhadap korban bencana alam
berdasarkan ketentuan hukum HAM dan agar lebih memperhatikan aturan-aturan
yang ada.
b. Segi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif sebagai bahan masukan
kepada masyarakat terutama untuk korban bencana alam untuk mendapatkan hak dan
perlindungan dari negara.
c. Segi Kepentingan Akademik
Secara akademik penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum.
E. Metode Penelitian
a. Penelitian ini adalah penelitian hukum.11 Tipe penelitian hukum yang dilakukan
adalah yuridis normative12 dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis
terhadap perlindungan hukum terhadap korban bencana alam sebagai bagian dari
HAM.
b. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan tipe pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).
11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal. 10-11. 12 Johny Ibrahim, teori dan metodologi penelitian hukum normative, Banyumedia Publishing, Surabaya, 2005,
hal 390.
c. Bahan hukum
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari atauran hukum:
Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan
Pemerintah No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks,
jurnal-jurnal, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum.
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
hukum, ensiklopedia dan lain-lain.
d. Tehnik Pengumpulan data
Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan
topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan sistem bola salju dan di
klasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk di kaji secara komprehensif.13
e. Tehnik Analisis Data
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan
perundang-undangan, dan artikel dimaksud penulis uraikan dan hubungkan
sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan
hukum dilakukan secara deduktif yakni menaruh kesimpulan dari suatu permasalahan
yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi. Selanjutnya bahan
hukum yang ada di analisis untuk melihat perlindungan hukum terhadap korban
bencana alam berdasarkan ketentuan hukum hak asasi manusia.
13 Ibid, hal.392.