BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Asimilasi tidak banyak dibahas dalam dunia akademis maupun secara
umum di masyarakat, sehingga tak jarang banyak pihak yang tidak mengetahui
apa itu asimilasi dan bagaimana asimilasi itu,tujuan akhir dari pembinaan
narapidana dalam tahap asimilasi adalah agar narapidana dapat diterima dengan
baik di lingkungan masyarakat, mengembalikan narapidana kepada fitrahnya
dalam hubungan dengan tuhan, hubungannya dengan pribadi, manusia lainnya,
serta hubungannya dengan lingkungan masyarakat. Narapidana yang telah
kembali ke masyarakat biasanya menimbulkan dampak-dampak negatif dalam
proses sosialisasinya.
Terhadap reaksi dan dampak-dampak yang diakibatkan dengan adanya
keberadaan narapidana dilingkungan masyarakat, seharusnya memberikan
dukungan dan penerimaan yang baik agar narapidana sendiri dapat
mengembangkan kepribadianya yang sebelumnya melakukan tindak pidana
menjadi diri yang mampu bersosialisasi dengan baik dan dapat memberikan
kontribusi yang baik pula kepada masyaarakat, diantaranya dapat memberikan
suri tauladan bagi lingkungannya.
Pihak Rutan juga turut membantu menyadarkan masyarakat bahwa
narapida tidak selalu dicap jahat, seorang yang melakukan tindak pidana pasti
mempunyai hati nurani yang baik untuk berbuat baik, seharusnya juga
1
2
mensosialisasikan pola pembinaan-pembinaan yang dilakukan oleh Rutan agar
masyarakat tahu bahwa Rutan tidak hanya sebagai tempat menghukum orang-
orang yang melakukan kejahatan, namun juga tempat pembinaan moral agar yang
bersangkutan dapat menemukan jati dirinya dan kembali kepada masyarakat.
Hal inilah yang disebut sebagai asimilasi atau pembauran narapidana ke
dalam lingkungan masyarakat, berdasarkan tujuan pemidanaan yang seperti inilah
maka negara melalui peraturan perundang-undangan berupaya memengakomodasi
upaya pembauran narapidana ke dalam lingkungan masyarakat, pemidanaan suatu
terpidana yang telah menjalani Putusan Pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (ikracht van gewisge) dapat melakukan permohonan
Asimilasi,sebagaimana dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM
No.M.2.PK.04-10 Tahun 2007 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan
Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat, yang
berarti setiap narapidana memiliki hak untuk mendapat asimilasi,asimilasi tersebut
layak diberikan jika memang telah memenuhi persyaratan sesuai peraturan yang
berlaku.
Pemberitaan media cetak maupun elektronik tentang kejadian-kejadian
negatif dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemasyarakatan, secara
sistematis akan membangun opini publik dan selanjutnya akan berdampak buruk
terhadap akuntabilitas dan kepercayaan masyarakat. Berkenaan dengan hal
tersebut untuk membangun kembali pencitraan positif dan kepercayaan
masyarakat terhadap pemasyarakatan dalam melaksanakan tugas pokok dan
3
fungsinya maka seluruh jajaran pemasyarakatan berusaha meningkatkan kinerja
pada masing-masing unit termasuk Rutan Salatiga.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara
hukum.Hal tersebut berarti bahwa Negara Indonesia dalam menjalankan
kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku.1Hukum bukanlah suatu institusi yang statitis, hukum mengalami
perkembangan.Hukum itu berubah dari waktu ke waktu. Konsep hukum seperti
Rule Of Law tidak muncul secara tiba-tiba begitu saja, melainkan merupakan hasil
dari suatu perkembangannya tersendiri, bahwa ada hubungan timbal balik yang
erat antara hukum dengan masyarakat.2
Penyelenggaraan peradilan pidana akan terlihat dengan bekerjanya
komponen penegakan hukum yaitu, Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan
Lembaga Pemasyarakatan. “Penyelenggaraan peradilan tersebut, adalah
merupakan suatu sistem, yaitu suatu keseluruhan terangkai yang terdiri dari unsur-
unsur yang saling berhubungan secara fungsional”.3Sebagai suatu sistem,
komponen-komponen sistem peradilan atau sub sistem peradilan pidana bekerja
untuk mencapai tujuan peradilan pidana berdasarkan wewenangnya masing-
masing.
Fungsi hukum sebagai salah satu alat untuk menghadapi kejahatan melalui
rentetan sejarah yang panjang mengalami perubahan-perubahan, dari satu
1 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) 2Satjipto Rahardjo. 2010. Ilmu Hukum Cetakan KeTujuh.Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, halaman 213. 3Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, &
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Bandung : Widya Padjdjaran, halaman 28.
4
carayang bersifat pembalasan terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan,
yang berubah menjadi alat untuk melindungi individu dari gangguan individu
lainnya, perlindungan masyarakat dari gangguan kejahatan akan terus berubah
sebagai wadah pembinaan narapidana untuk pengembalian ke dalam
masyarakat.4Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan ketertiban dan
kesimbangan. Dengan tercapainya ketertiban didalam masyarakat diharapkan
kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu, hukum
bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat,
membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta
memelihara kepastian hukum.5
Menurut Mardjono Reksodiputro salah satu tujuan sistem peradilan pidana
adalah “mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan tindak pidana tidak
mengulangi lagi kejahatannya”.6Tujuan yang diharapkan oleh sistem peradilan
pidana tersebut adalah berkaitan dengan pemidanaan. Pemidanaan dalam sistem
peradilan pidana merupakan proses paling kompleks karena melibatkan banyak
orang dan institusi yang berbeda.7
Teori tentang tujuan pidana memang semakin hari semakin menuju kearah
sistem yang lebih manusiawi dan lebih rasional.Perjalanan sistem pidana
menunjukkan bahwa retribution atau tujuan untuk memuaskan pihak yang
4Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Sejarah Dan Azaz Penologi. Bandung: Armico, halaman
11.
5Sudikno Mertokusumo. 2010. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, halaman 99.
6Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) : PerspektifEksistensialisme Dan Abolisionisme, Jakarta : Bina Cipta, halaman 15.
7M.Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System&Implementasinya, Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, halaman 114.
5
dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi
korban kejahatan. Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa
pengaruhnya pada zaman modern ini, juga dipandang kuno ialah penghapusan
dosa (expiation) yaitu melepaskan pelanggaran hukum dari perbuatan jahat atau
menciptakan balasan antara yang hak dan batil.8
Teori mutlak atau teori pembalasan (vergeldings theorien) suatu teori yang
berdasarkan pada anggapan utang jiwa harus dibayar dengan jiwa dan hutang
darah harus dibayar dengan darah, dasar ini disebut denda darah (talio). Lambat
laun kekejaman itu dapat dihindarkan dengan penggantian kerugian yaitu dengan
denda atau dengan penjara. Sedangkan teori relatif atau tujuan (doeltheorien)
berbeda sekali dengan teori absolut (mutlak), kalau dalam teori mutlak, perbuatan
pidana dihubungkan dengan kejahatan, maka teori relatif ditujukan kepada hari-
hari yang akan datang, yaitu dengan maksud mendidik orang yang telah berbuat
jahat, agar menjadi orang baik kembali. Indonesia menganut teori gabungan, teori
ini tidak menitikberatkan atau menganggap sebagai dasar hukuman semata-mata
pembalasan saja atau pemulihan kerugian dan pemeliharaan ketetiban umum
dalam suatu masyarakat, melainkan berpendirian, bahwa hukuman itu dijatuhkan
oleh Negara berdasarkan atas keadilan, dan dipertahankannya kesejahteraan
bersama dalam masyarakat.9
Beralihnya sistem kepenjaraan kepada sistem pemasyarakatan membawa
perubahan dalam bentuk perlakuan terhadap narapidana, demikian juga halnya
dengan istilah penjara kemudian beralih menjadi Lembaga
8Andi Hamzah. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, halaman 29. 9Umar Said Sugiarto. 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. halaman
239.
6
Pemasyarakatan.Perubahan istilah tersebut tidak hanya sekedar menghilangkan
kesan menakutkan dan adanya penyiksaan dalam sistem penjara, tetapi lebih
kepada bagaimana memberikan perlakuan yang manusiawi terhadap narapidana
tersebut.10
Dulu jenis hukuman masih bersifat pidana fisik, misalnya pidana cambuk,
potong tangan dan bahkan pidana mati (pemenggalan kepala) atau
gantung.Dengan lahirnya pidana hilang kemerdekaan, hukuman berubah menjadi
pidana penjara selama waktu yang ditentukan oleh Hakim.Seiring dengan itu,
eksistensi bangunan tempat penahanan sementara semakin diperlukan, apalagi
dengan adanya pidana pencabutan kemerdekaan.11
Fungsi pemidanaan pada masa sekarang ini tidak lagi sekedar penjeraan,
tetapi pemidanaan dimaksudkan sebagai tempat atau sarana pembinaan,
rehabilitasi dan reintegrasi warga binaan Lembaga Pemasyarakatan.Penjeraan
dalam sistem pemidanaan memiliki unsur-unsur balas dendam di Lembaga
Pemasyarakatan.Para warga binaan pemasyarakatan sering mengalami siksaan,
untuk memperbaiki tingkah laku dan perbuatannya. Kedua fungsi pemidanaan di
atas membuat dan mengarahkan supaya narapidana tidak melakukan perbuatan
pidana dan menyadarkan serta mengembalikan warga binaan pemasyarakatan
10Djisman Samosir, 1992, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Di
Indonesia,Bandung : Bina Cipta, halaman 81. 11 David J. Cooke, Pamela J. Baldwin dan Jaqueline Howison. 2008. Menyikap Dunia
Gelap Penjara. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, halaman 3.
7
tersebut ke dalam lingkungan masyarakat, menjadikan ia bertanggung jawab
terhadap dirinya, keluarga dan masyarakat sekitar atau lingkungannya.12
Pidana penjara adalah suatu bentuk pidana yang berupa pembatasan gerak
yang dilakukan dengan menutup pelaku tindak pidana dalam sebuah Lembaga
Pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan
tata tertib yang berlaku dalam Lembaga Pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan
tindakan tata tertib bagi pelaku tindak pidana yang melanggar peraturan
tersebut.13
Berbagai macam pengertian tujuan.dari pidana penjara tersebut terdapat
banyak perbedaan. Namun demikian di Indonesia menurut Sudarto, melalui Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) ke dalam Reglement
Penjara Tahun 1917 memang masih ada yang beranggapan bahwa tujuan dari
pidana penjara tersebut adalah “pembalasan yang setimpal dengan
mempertahankan sifat dari pidana penjaranya yang harus diutamakan.” Tetapi
pada akhir tahun 1963 yang dinyatakan bahwa pidana penjara adalah
pemasyarakatan dan hal tersebut lebih mengarah atau mengutamakan pembinaan
(re-educatie and re-socialisatie).14
Juga telah dijelaskan bahwa pemberian sebutan yang baru kepada rumah
penjara sebagai lembaga pemasyarakatan dapat diduga erat hubungan dengan
gagasan beliau untuk menjadikan lembaga pemasyarakatan bukan saja sebagai
12 Djisman Samosir. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di
Indonesia. Bandung : Penerbit Bina Cipta, halaman 4. 13 Andi Hamzah, Op. Cit., halaman 27.
14 Sudarto, 1974, Suatu Dilema dalam Pembaruan Sistem Pidana Indonesia, Semarang: Pusat Studi Hukum dan Masyarakat, halaman. 32.
8
tempat untuk semata-mata memidana orang, melainkan juga sebagai tempat untuk
membina atau mendidik orang-orang terpidana, agar mereka setelah selesai
menjalankan pidana, mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
kehidupan di luar lembaga permasyarakatan sebagai warga Negara yang baik dan
taat pada hukum yang berlaku.15
Menurut Sahardjo untuk membina narapidana diperlukan landasan sistem
masyarakat sebagai berikut ;
Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna didalam masyarakat.Dari pengayoman itu ternyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindak balas dendam dari Negara.Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan.Terpidana juga tak dijatuhkan pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhdap orang terpidana itu dan masyarakat.16
Dalam rangka pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara yang
bertujuan untuk membentuk kesadaran pada diri narapidana agar menjadi warga
Negara yang baik, taat hukum dan berbakti pada bangsa dan Negara, diberikan
pengarahan tentang tertib hukum bermasyarakat diharapkan narapidana nantinya
hidup dimasyarakat taat akan hukum yang berlaku.
Sebagai Negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum sebagaimana
yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 1 ayat (3)
bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”, maka penegakan hukum di
15P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang.2010.Hukum Penitensier Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika, halaman 165. 16Sahardjo. 1983. Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila, (Pidato Pengukuhan
pada tanggal 3 Juli 1963, di Istana Negara). Jakarta : UI Pres, halaman. 8.
9
Indonesia sepenuhnya menjadi tanggung jawab Negara yang dalam hal ini
diemban oleh lembaga-lembaga penegakan hukum di Indonesia yang mana
narapidana mempunyai hak dalam proses pembinaan.
Menyelesaikan suatu perkara pidana harus memperhatikan perlindungan
harkat martabat kemanusiaannya, sekalipun perlu diinsafi bahwa tujuan tindakan
penegak hukum adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat dan disisi lain
tidak boleh sampai mengorbankan hak dan martabat tersangka, atau sebaliknya,
demi untuk melindungi dan menjujnjung harkat martabat termasuk perawatan
tersangka dalam waktu yang tidak ditentukan, tentu disisi lain tidak boleh
mengorbankan kepentingan masyarakat, sehingga antara kedua kepentingan tidak
dikorbankan. Berkaitan denganUUD 1945, Pancasila sebagai dasar Negara di
dalam sila ke-2 yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” menjamin
bahwa manusia Indonesia diperlakukan secara beradab meskipun berstatus
narapidana. Selain itu, pada sila ke-5 mengatakan bahwa “Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia” berarti bahwa narapidanapun haruslah juga
mendapatkan kesempatan berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain
layaknya kehidupan manusia secara normal.
Ruang lingkup pembinaan dan bimbingan yang diberikan mencakup
bidang mental dan ketrampilan, dengan bekal mental dan ketrampilan yang
mereka miliki, diharapkan mereka dapat berhasil mengintegrasikan dirinya di
dalam masyarakat.Semua usaha ini dilakukan dengan berencana dan sistematis
agar selama mereka dalam pembinaan dapat bertobat menyadari kesalahannya dan
bertekad untuk menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, Negara dan
10
bangsa.Disadari bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan bimbingan melalui
berbagai bentuk dan usaha, tentunya menuntut kemampuan dan tanggung jawab
yang lebih berat dari para pelaksananya termasuk perlunya dukungan berupa
sarana dan fasilitas yang memadai.Oleh karena disadari bahwa sarana dan fasilitas
selalu serba terbatas, maka para petugaspun harus mampu memanfaatkan melalui
pengelolaan yang efisien sehinqga dapat mencapai hasil yang optimal.
Pada Pasal 28 D Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, begitu juga dengan napi yang
mempunyai hak dan perlindungan dalam proses pembinaan dirutan. Disamping,
hak seorang napi juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
yang berkaitan dengan sistem pemasyarakatan pada Pasal 5 tentang Sistem
pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas, yaitu:
a. pengayoman :
b. persamaan perlakuan dan pelayanan :
c. pendidikan :
d. pembimbingan :
e. penghormatan harkat dan martabat manusia :
f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan :
g. terjaminnya hak untuk tetap berhubun gan dengan keluarga dan orang-orang
tertentu.
11
Narapidana perlu diperhatikan hak-haknya dan perlu diberi perlindungan
hukum.Secara umum Hak–hak narapidana ini telah tertuang dalam Undang-
Undang Nomor: 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yaitu:
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya :
b. mendapat perawatan baik rohani maupun jasmani :
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran :
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak :
e. menyampaikan keluhan :
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang :
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan :
h. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya :
i. mendapatkan pengurangan masa pidana :
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi ternasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas;
m. mendapatkan hak-hak Narapidana sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.17
Terpenuhinya hak-hak narapidana memiliki dampak positif terhadap
perikehidupan narapidana di Rutan Salatiga.Terwujudnya tata kehidupan yang
aman dan tertib yang pada akhirnya mampu mewujudkan narapidana yang telah
17Lihat Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
12
siap kembali ke masyarakat sebagai manusia yang bermartabat, siap menjalankan
perannya di masyarakat dan berbakti terhadap bangsa dan Negara.
Asimilasi merupakan bagian dari pembinaan terhadap narapidana yang
menjalankan pidana penjara dalam sistem pemasyarakatan.Untuk menentukan
efektif atau tidaknya pelaksanaan asimilasi pada lembaga pemasyarakatan tidak
jauh berbeda dengan pembahasan terhadap efektif atau tidaknya pidana
penjara.Untuk menentukan efektif atau tidaknya pidana penjara merupakan suatu
hal yang tidak mudah karena harus ada suatu ukuran berupa batasan dan tujuan
yang hendak dicapai.18Dalam pembahasan ini konteks efektivitas yang dimaksud
lebih dikhususkan kepada bagian dari pelaksanaan asimilasi terhadap narapidana
di Rutan Salatiga.
Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan
dengan membaurkan narapidana dalam kehidupan masyarakat.19Pasal 14 ayat (1)
huruf j, Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan berbunyi
“Narapidana berhak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi Keluarga”, yang artinya setiap narapidana mendapatkan kesempatan
berasimilasi.
Adapun persyarat substantif dalam asimilasi yaitu:
1. telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang
menyebabkan dijatuhi pidana;
18Barda Nawawi Arief, 2010, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan
Dengan Pidana Penjara, Yogyakarta : Genta Publishing, halaman 108. 19Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun
2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.
13
2. berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan
bersemangat;
3. masyarakat dapat menerima program pembinaan Narapidana yang
bersangkutan;
4. berkelakuan baik selama menjalani pidana dan tidak pernah mendapat
hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir;
5. masa pidana yang telah dijalani 1/2 (setengah) dari masa pidananya.20
Tata cara untuk pemberian asimilasi adalah sebagai berikut:
1. Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Lapas atau TPP Rutan setelah
mendengar pendapat anggota TPP dan mempelajari laporan perkembangan
pembinaan dari Wali Pemasyarakatan, mengusulkan pemberian asimilasi
kepada Kepala Lapas atau Kepala Rutan;
2. Asimilasi, apabila Kepala Lapas atau Kepala Rutan menyetujui usul TPP
Lapas atau TPP Rutan selanjutnya menerbitkan keputusan Asimilasi;
Lamanya Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan menjalankan
Asimilasi di luar Lapas atau Rutan ditentukan sebagai berikut:
1. untuk kegiatan pendidikan, bimbingan kerja dan latihan keterampilan
disesuaikan dengan waktu yang dipergunakan secara efektif di tempat
kegiatan;
2. untuk kegiatan kerja pada pihak ketiga atau kerja mandiri disesuaikan dengan
waktu yang dipergunakan di tempat kerja paling lama 9 (sembilan) jam sehari
termasuk waktu diperjalanan;
20Pasal 6 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.
14
Selama menjalani proses Asimilasi tanggung jawab keamanan ada pada
Kepala Lapas atau Kepala Rutan.21
Dalam hal pelaksanaan Asimilasi memerlukan kerjasama antara Lapas
atau Rutan dan pihak ketiga, maka kerjasama tersebut harus didasarkan pada
perjanjian yang dibuat antara Kepala Lapas atau Kepala Rutan dan pihak ketiga
yag memberi pekerjaan pada Narapidana.22 Perjanjian kerjasama harus memuat
hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, termasuk upah yang akan diterima
narapidana.23
Bagaimana perubahan berfikir dari para penyelenggara Negara tersebut
terhadap pelaksanaan asimilasi terhadap narapidana di rutan Salatiga belum ada
pihak yang meneliti dan menulisnya sebagai suatu karya tulis kesarjanaan.Oleh
sebab itu penulis menulis judul sebagaimana dikemukakan diatas sebagi judul
penelitian dan skripsi.
Dengan mengetahui sasaran-sasaran dalam proses pelaksanaan asimilasi
terhadap narapidana yang akan dicapai disertai sarana pendukungnya yang masih
serba terbatas, maka disusunlah “Pelaksanaan Asimilasi Terhadap Narapidana
Di Rutan Salatiga” menggunakan Peraturan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor M.02.PK.04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan
21Pasal 13 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.2.Pk.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat.
22 Pasal 14 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.2.Pk.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat.
23Pasal 15 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.2.Pk.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat.
15
Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas, perlu disesuaikan dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan antara lain:
1. Bagaimana prosedur dan pemberian asimilasi terhadap narapidana?
2. Apakah hambatan dalam pemberian asimilasi di Rutan Salatiga?
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan uraian yang terdapat di dalam rumusan masalah diatas maka
yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis prosedur dan pemberian asimilasi di Rutan Salatiga.
2. Menganalisis hambatan dalam pelaksanaan asimilasi di Rutan Salatiga.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua
kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis
a. Sebagai bahan informasi bagi para akademis maupun praktisi hukum dan
sebagai bahan perbandingan bagi penelitian lanjutan.
b. Memperkaya khasanah perpustakaan ilmu hukum khususnya yang
berkaitan denganasimilasi terhadap narapidana.
16
2. Secara praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau instansi terkait dalam
penerapan hukum terhadap asimilasi terhadap narapidana.
b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat, pelajar/mahasiswa maupun
praktisi hukum mengenai asimilasi terhadap narapidana.
E. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka penelitian
yang sedang diteliti ini berjenis penelitian hukum normatif. Metode penelitian
hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode
atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.Tahapan pertama penelitian
hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum
obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap
masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian
yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan
kewajiban).Penelitian hukum Normatif dilengkapi dengan penelitian hukum
empiris untuk agar lebih dapat tercapai tujuan penelitian yang telah ditentukan
secara lebih mendalam.
Keluarnya Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No: M.
02 PK.04.10 TAHUN 2007 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat Dan
Cuti Bersyarat, sebagai salah satu upaya lebih meningkatkan program
17
pembinaan bagi warga binaan. Indikator keberhasilan program pembinaan
sesuai sistem pemasyarakatan adalah banyaknya jumlah narapidana dan anak
pidana yang telah memenuhi syarat melaksanakan Asimilasi. Sistem
pemasyarakatan menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa
Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kwalitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Sesuai sistem pemasyarakatan tersebut maka optimalisasi peningkatan
pelayanan asimilasi merupakan langkah strategis dalam mengatasi masalah
over capacity di Rutan Salatiga, kebijakan ini diambil tidak hanya akan
menjadi solusi untuk masalah kelebihan kapasitas Rutan Salatiga tetapi juga
masalah anggaran Negara.
2. Bahan Hukum
Dalam metode penelitian hukum normatif, terdapat 3 macam bahan
pustaka yang dipergunakan oleh penulis yakni:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau
yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–
undangan, Bahan hukum primer yang penulis gunakan di dalam penulisan
18
ini yakni: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan,Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No:
M. 02 PK.04.10 TAHUN 2007 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat
Dan Cuti Bersyarat.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum yang tidak
mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang
merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang
mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan
petunjuk ke mana peneliti akan mengarah, yang dimaksud dengan bahan
sekunder disini oleh penulis adalah doktrin-doktrin yang ada di dalam
buku, jurnal hukum dan internet.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan
pengertian atas bahan hukum lainnya.Bahan hukum yang dipergunakan
oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data diusahakan sebanyak mungkin data yang
diperoleh atau dikumpulkan mengenai masalah-masalah yang berhubungan
dengan penelitian ini, disini penulis akan mempergunakan data primer,
sekunder, dan yaitu data yang diperoleh dengan cara:
19
a. Wawancara
Wawancara adalah cara memperoleh data yang bersifat primer.
Dalam hal ini akan diusahakan untuk memperoleh data-data dengan
menggunakan tanya jawab (wawancara) dengan pihak-pihak yang terkait
dalam pelaksanaan asimilasi terhadap narapidana di Rutan Salatiga, yaitu
Kepala Rutan Salatiga dan Tim Pengamat Pemasyarakatan Rutan Salatiga.
b. Studi Kepustakaan
Studi Kepustakaan ini untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-
teori, pendapat-pendapat ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan
erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan tersebut dapat berupa
peraturan perundang-perundangan, karya ilmiah para sarjana, dan sumber-
sumber lain.
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Macam-macam
pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah:24
a. Pendekatan Undang-Undang (statute approach)
b. Pendekatan kasus (case approach)
24Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, halaman 93.
20
4. Unit Amatan
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No: M. 02 PK.04.10
Tahun 2007 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat Dan Cuti Bersyarat.
5. Metode Analisis
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu menggambarkan
gejala-gejala terhadap suatu yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu
pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan
data deskriptif. Digunakan pendekatan kualitatif oleh penulis bertujuan untuk
mengerti atau memahami gejala yang diteliti.25Bertujuan meneliti kaidah-
kaidah hukum yang mengatur tentang bagaimana hak napi di dalam proses
pembinaan, khsusunya tujuan asimilasi terhadap narapidana di Rutan Salatiga.
25Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, halaman 32.
21
22