1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan Industrial antara pekerja/buruh dan pengusaha tidak selamanya terjalin dengan
harmonis dan dinamis, tidak tertutup kemungkinan setiap saat hubungan itu akan diwarnai
perselisihan.1Perselisihan perburuhan juga terjadi sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan
pihak buruh atau oleh pihak pengusaha. Keinginan dari salah satu pihak (umumnya pekerja)
tidak selalu dapat dipenuhi oleh pihak lainnya (pengusaha), demikian pula keinginan pengusaha
selalu dilanggar atau tidak selalu dipenuhi oleh pihak buruh atau pekerja. Kecenderungan
terjadinya wanprestasi oleh salah satu pihak merupakan suatu hal biasa terjadi.Ditambah lagi
kondisi dalam masyarakat, kehidupan sehari-hari juga berpengaruh terhadap kelanggengan
hubungan kerja.2
Dalam suatu perselisihan, bisa terjadi antara 2 (dua) pihak buruh dan
pengusaha, atau para pihaknya terdiri dari setidaknya lebih dari 2 (dua) atau lebih pihak, yang
saling berbeda pendapat mengenai pelaksanaan atau perlakuan hubungan kerja. Perbedaan ini
mengakibatkan terjadinya perselisihan hubungan industrial antara buruh/pekerja dengan pihak
pengusaha.3
Hubungan industrial (industrial relations) tidak hanya sekedar menajemen organisasi
perusahaan yang dijalankan oleh seorang manager, yang menempatkan pekerja sebagai pihak
yang selalu dapat diatur. Namun hubungan industrial meliputi fenomena baik di dalam maupun
1Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia, Penerbit
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, h. 10. 2 Aloysius Uwiyono, et.al, Asas – Asas Hukum Perburuhan, Ed. 1, Cet. 3, Penerbit PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2014, h. 127. 3Ibid., h. 128.
2
di luar tempat kerja yang berkaitan dengan penempatan dan pengaturan hubungan kerja.4 Di
Indonesia hubungan industrial (industrial relation) merupakan hubungan yang terbentuk antara
para pelaku dalam produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (Pasal 1 angka 16 UU
No. 13 Tahun 2003).5 Dalam proses produksi di perusahaan pihak-pihak yang terlibat secara
langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha, sedangkan pemerintah termasuk sebagai para
pihak dalam hubungan industrial karena berkepentingan untuk terwujudnya hubungan kerja yang
harmonis sebagai syarat keberhasilan suatu usaha, sehingga produktivitas dapat meningkat yang
pada akhirnya akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan
kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.6
Sarana yang dibutuhkan untuk terciptanya hubungan industrial yang ideal di Indonesia,
yaitu: serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha, lembaga kerja sama bipartit, lembaga
kerjasama tripartit, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, peraturan perundang-
undanganketenagakerjaan dan lembaga penyelesaian hubungan industrial.7
Istilah pekerja/buruh mucul sebagai pengganti istilah buruh. Pada zaman feodal atau
zaman penjajahan Belanda dahulu yang dimaksudkan dengan buruh adalah orang-orang pekerja
kasar seperti kuli, mandor, tukang, dan lain-lain. Orang-orang ini oleh pemerintah Belanda
dahulu disebut dengan blue collar (berkerah biru), sedangkan orang-orang yang mengerjakan
pekerjaan “halus” seperti pegawai administrasi yang bisa duduk di meja disebut dengan white
collar (berkerah putih). Biasanya orang-orang yang termasuk golongan ini adalah para
4Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan & di luar Pengadilan, Ed.
3, Penerbit PT Raja Grafindo, Jakarta, 2007, h 16. 5Ibid., h 17.
6Ibid.
7 Aloysius Uwiyono, et.al, Op. Cit., h. 66.
3
bangsawan yang bekerja di kantor dan juga orang-orang Belanda dan Timur Asing lainnya.8
Namun kemudian, dengan diundangkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
istilah pekerja digandengkan dengan istilah buruh sehingga menjadi istilah pekerja/buruh.9
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan dalam Pasal 1
angka 3 memberikan pengertian pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini agak umum, tetapi maknanya
lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja, baik perseorangan,
persekutuan, badan hukum maupun badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk apa pun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena upah selama ini
diberikan dengan uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk
barang.10
Dalam hal-hal tertentu yang tercakup dalam pengertian pekerja/buruh diperluas.
Misalnya dalam hal kecelakaan kerja, dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja Pasal 8 ayat (2), ditentukan bahwa:
“termasuk tenaga kerja dalam jaminan kecelakaan kerja ialah:11
a. Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan, baik yang menerima upah maupun
tidak;
b. Mereka yang memborong pekerjaan, kecuali yang memborong adalah perusahaan;
c. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain. Istilah yang dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya adalah
8Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Ed. Revisi, Cet. 3,
Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 17-18. 9Ibid., h 19.
10 R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Cet. I, Penerbit CV Pustaka Setia, Bandung, 2013, h. 73.
11 Zaeni Asyhadie, Loc. Cit.
4
majikan yaitu orang atau badan yang memperkerjakan buruh.12
Menurut Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
pengusaha adalah:
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan perusahaan
milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan milknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan
di wilayah Indonesia.
Maksud dari defenisi tersebut adalah:13
Orang perseorangan adalah orang pribadi yang menjalankan atau mengawasi
operasional perusahaan;
Persekutuan adalah suatu bentuk usaha yang tidak berbadan hukum seperti CV,
Firma, Maatschap, dan lain-lain. Baik yang bertujuan untuk mencari keuntungan
untuk mencari keuntungan maupun tidak;
Badan Hukum (recht persoon) adalah suatu badan yang oleh hukum dianggap
sebagai orang, dapat mempunyai harta kekayaan secara terpisah, mempunyai hak
dan kewajiban hukum dan berhubungan hukum dengan pihak lain. Contoh badan
12
Lihat UU No. 21 Tahun 1954 jo UU No. 22 Tahun 1957. 13
Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Cet II, Penerbit PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2007,
h 25.
5
hukum adalah Perseroan Terbatas (PT), Yayasan (Stichting), Koperasi, Pemerintah
Daerah, Negara, dan lain-lain.
Sebagai pemberi kerja pengusaha adalah seorang majikan dalam hubungannya dengan
pekerja/buruh. Pada sisi yang lain pengusaha yang menjalankan perusahaan bukan miliknya
adalah seorang pekerja/buruh dalam hubungannya dengan pemilik perusahaan atau pemegang
saham karena bekerja dengan menerima upah atau imbalam dalam bentuk lain.14
Perlu pula dibedakan antara pengusaha dan perusahaan karena ada pengusaha yang
sekaligus pemilik perusahaan dan ada yang tidak. Menurut UU No. 13 Tahun 2003 perusahaan
adalah:15
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Kuasa adalah kemampuan atau kesanggupan seseorang untuk melakukan sesuatu,
wewenang atas sesuatu, dan wewenang untuk menentukan/memerintah/menduduki atau
mengurus.16
Sedangkan Surat kuasa adalah surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada
seseorang untuk mengurus sesuatu.17
Lebih lanjut, yang dapat betindak sebagi kuasa/wakil dalam
perkara perdata padaumumny adalah advokat sesuai Pasal 32 UU 18/2003; Jaksa dengan kuasa
14
Maimun, Op. Cit., h 26. 15
Maimun, Op. Cit., h 26. 16
Sudarsono, Kamus Hukum, Cet 5, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007, h 232. 17
KBBI edisi ketiga keluaran Balai Pustaka.
6
khusus sebagai kuasa/wakil negara/pemerintah sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UU 16/2004; biro
hukum pemerintah/TNI/Kejaksaan RI; Direksi/pengurus atau karyawan yang ditunjuk dari suatu
badan hukum;mereka yang mendapat kuasa insidentiil yang ditetapkan oleh ketua pengadilan
(misalnya, LBH, hubungan keluarga, biro hukum TNI/Polri) untuk perkara-perkara yang
menyangkut anggota/keluarga TNI/Polri; dan kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga
sedarah atau semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan dengan surat
keterangan kepala desa/lurah.18
Ketentuan atau prinsip pokok pemberian kuasa, merujuk kepada BAB KEENAM
BELAS, BUKU KETIGA KUH Perdata tentang Pemberian Kuasa. Menurut 1792 KUH Perdata,
pemberian kuasa (lastgeving, mandate) adalah:19
Persetujuan (overeekomst, agreement) antara pemberi kuasa (lastgever, mandator or
principal), dengan penerima kuasa (lasthebber, mandatory);
Dengan pemberian kuasa itu, penerima kuasa sah bertindak untuk dan atas nama (for
and on behalf) pemberi kuasa melakukan perbuatan hukum yang ditentukan dalam
surat kuasa,
Dalam bertindak melakukan perbuatan hukum, penerima kuasa tidak atau bukan atas
namanya sendiri, tetapi atas nama pemberi kuasa.
Apa yang dikemukan di atas, tidak mengurangi kemungkinan seorang kuasa atau agen
(agent), bertindak atas namanya sendiri untuk kepentingan atau perhitungan orang lain. Namun
umumnya, kuasa bukan bertindak atas namanya sendiri dalam melakukan perbuatan hukum,
18
Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h. 84. 19
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. I, Cet I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009
(selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap I), h. 404.
7
tetapi untuk dan atas nama pemberi kuasa atau principal.20
Berakhirnya kuasa terjadi karena
pemberi kuasa menarik kembali kuasa, salah satu pihak meninggal dunia, atau penerima kuasa
melepas kuasa yang diterimanya.21
Kewajiban kuasa menurut Pasal 1800 KUH Perdata, antara lain:
1) Melaksanakan perbuatan hukum yang dikuasakan kepadanya;
2) Menyelesaikan semua urusan atau perbuatan hukum yang yang dilimpahkan
kepadanya sebelum jangka waktu perjanjian kuasa berakhir;
3) Kuasa wajib memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang tindakan apa saja yang
dilakukannya, serta memberi perhitungan kepada pemberi kuasa tentang segala apa
yang diterimanya (Pasal 1802 KUH Perdata);
4) Bertanggung jawab atas tindakan yang dibuat orang yang ditunjuknya, padahal
kepadanya tidak diberi hak substitusi, atau kepadanya diberi hak substitusi tanpa
menyebut namanya, dan ternyata orang yang ditunjuknya tidak cakap dan tidak
mampu (Pasal 1803 KUH Perdata);
5) Kuasa wajib menanggung segala kerugian dan bunga yang timbul atas keingkaran
atau kelalaian kuasa melaksanakan apa yang dikuasakan kepadanya.
Adapun kewajiban pemberi kuasa, yang terpenting di antaranya:22
1) Pemberi kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh kuasa dengan
pihak ketiga, sepanjang perikatan itu masih dalam batas-batas kekuasaan yang
diberikan kepada kuasa (Pasal 1807 KUH Perdata);
20Ibid.
21 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, ed., Panduan Bantuan Hukum di Indonesia,
Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2009, h 44-45. 22
M. Yahya Harahap I, Op. Cit., h. 405.
8
2) Pemberi kuasa wajib membayar ganti rugi kepada kuasa tentang kerugian yang
diderita sewaktu menjalankan kuasa, dengan syarat asal kuasa tidak bertindak kurang
hati-hati (carelessly) (Pasal 1809 KUH Perdata).
Jadi menurut prinsip hukum perjanjian, pemberi kuasa bertanggung jawab penuh atas
segala perbuatan hukum yang dilakukan kuasa dengan syarat perbuatan yang dilakukannya tidak
melampaui wewenang yang diberikan pemberi kuasa sesuai dengan hal-hal yang dirinci atau
ditentukan dalam surat kuasa, sebagaimana hal itu ditegaskan dalam putusan MA No.
311K/Sip/1973. Pemberian ganti rugi itu kepada kuasa adalah sebesar yang telah
dikeluarkannya, terhitung sejak tanggal pemberian kuasa.23
Penunjukan kuasa dalam surat gugatan diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR (Pasal 147
ayat (1) RBG). Pasal 123 Ayat (1) Het Herziene Inlandsch/Indonesich Reglement (HIR)
mengatakan, selain kuasa lisan atau kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan, pemberi kuasa
dapat diwakili oleh kuasa dengan surat kuasa khusus atau bijozondere schriftelijke machtiging.
Cara penunjukan ini dikaitkan dengan Pasal 118 HIR (Pasal 142 RBG). Menurut Pasal
118 Ayat (1) HIR (Pasal 142 Ayat (1) RBG), gugatan perdata diajukan secara tertulis dalam
bentuk surat gugatan yang ditandatangani oleh penggugat. Berdasarkan Pasal 123 Ayat (1),
penggugat dalam gugatan itu dapat langsung mencantumkan dan menunjuk kuasa yang
dikehendakinya untuk mewakilinya dalam proses pemeriksaan. Penunjukan kuasa yang
demikian, sah dan memenuhi syarat formil, karena Pasal 123 ayat (1) jo Pasal 118 ayat (1) HIR,
telah mengaturnya secara tegas.24
23
M. Yahya Harahap I, Op. Cit., h. 406. 24
M. Yahya Harahap II, Op. Cit., h. 13.
9
Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.25
Pasal 1 angka 2 dan Pasal
98 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang No. 40 Tahun 2007 menegaskan Organ perseroan adalah Rapat
Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. Direksi mewakili Perseroan baik di
dalam maupun di luar pengadilan. Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang,
yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain
dalam anggaran dasar.
Berdasarkan ketentuan ini, undang-undang sendiri telah menentukan, Direksi bertindak
sebagai kuasa menurut hukum untuk mewakili kepentingan perseroan di dalam dan di luar
pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa dari perseroan.
Hak Direksi memberi kuasa diatur di dalam Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas berbunyi sebagai berikut:
Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau
lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan
hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.
Selanjutnya, Penjelasan pasal ini berbunyi:
Yang dimaksud “kuasa” adalah Kuasa khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana
disebutkan dalam surat kuasa.
25
Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
10
Ketentuan Pasal 87 UU No.2/2004 yang nyata-nyata memberikan ruang gerak bagi
organisasi pengusaha untuk beracara dipersidangan mewakili anggotanya atas dasar surat kuasa
khusus, hampir tidak pernah dipergunakan. Dengan diintrodusirnya ketentuan Pasal 87 UU/2004,
bagi hakim hal ini merupakan pekerjaan rumah sendiri. Betapa tidak? Karena pengurus serikat
pekerja//serikat buruh yang bertindak sebagai kuasa hukum pekerja/buruh , oleh karena
mayoritas tidak mempunyai latar belakang pendidikan ilmu hukum, mereka sama sekali tidak
atau relatif kurang memahami hukum acara. Akibatnya, ketua majelis hakim harus menyediakan
kelonggaran waktu untuk membimbing mereka beracara di persidangan. Tentu saja, kesabaran
dan ketekunan hakim dituntut untuk itu.26
Dalam Pasal 185 ayat (1) HIR dibedakan antara putusan akhir dan bukan putusan akhir.
Putusan akhir adalah putusan yang mengkhiri suatu perkara dalam suatu tingkatan peradilan
tertentu. Sedangkan putusan yang bukan putusan akhir (Putusan Sela dan Putusan Antara) adalah
putusan yang berfungsi untuk memperlancar jalannya persidangan. Putusan sela hanya
dimintakan banding bersama-sama dengan banding Putusan Akhir perkara yang sama.27
Isi pertimbangan Hakim dalam Putusan Sela Nomor. 03/G/2014/PHI.Smg yang menolak
Kuasa Hukum Tergugat, adalah: Majelis Hakim menimbang bahwa mengenai Kuasa Hukum
Tergugat yang diwakili oleh General Manager dan HRD Manager, Majelis Hakim menyatakan
bahwa orang yang berhak mewakili Pengusaha untuk beracara di Pengadilan Hubungan
Industrial adalah Organisasi Pengusaha, sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 87
Undang –Undang No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Oleh karena Undang-undang tersebut
merupakan Lex Spesialist yang merupakan hukum secara formal untuk beracara di Pengadilan
26
Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Loc. Cit. 27
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. 3, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 101-
102.
11
Hubungan Industrial maka ketentuan mengenai kuasa hukum harus tunduk pula pada ketentuan
Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004 tersebut, bukan kepada Undang-undang Perseroan Terbatas (PT).
Berdasarkan ketentuan tersebut maka menurut Majelis Hakim bahwa Kuasa Hukum
Tergugat bukan Organisasi Pengusaha, akan tetapi adalah karyawan Tergugat, maka tidak
memenuhi syarat sebagai kuasa yang ditentukan Undang-undang sebagaimana tersebut diatas,
oleh karenanya menurut Majelis Kuasa Hukum Tergugat tidak mempunyai legal standing untuk
beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili Tergugat.
Bertolak dari kesenjangan antara Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI jo Pasal
103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan putusan hakim yang menyatakan
General Manager tidak bisa mewakili Pengusaha adalah keliru atau tidak tepat, sehingga penulis
tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan ke dalam skripsi dengan judul “
TINJAUAN YURIDIS TERHADAPLEGAL STANDING GENERAL MANAGER
MEWAKILI PENGUSAHA (Studi Kasus Putusan Sela Nomor 03/G/2014/PHI.Smg)”
B. Rumusan Masalah
Apakah penolakan oleh Majelis Hakim terhadap General Manager yang mewakili
Pengusaha dalam Putusan Sela Nomor: 03/G/2014/PHI.Smg sudah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui apakah penolakan oleh Majelis Hakim terhadap General Manager
yang mewakili Pegusaha dalam Putusan Sela Nomor: 03/G/2014/PHI.Smg sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
12
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu
pengetahuan hukum, khususnya pada hukum ketenagakerjaan, pada umumnya dalam
pengembangan Hukum Perdata.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Hakim dalam
memutus perkara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI),
memberikan pemahaman bagi pekerja, advokat dan Pengusaha dalam bertindak
sebagai pemberi dan penerima kuasa dalam beracara di Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI).
E. Metode Penelitian
Agar tujuan dan manfaat penelitian ini dapat tercapai sebagaimana yang telah
direncanakan, maka untuk itu dibutuhkan suatu metode yang berfungsi sebagai pedoman
dalam melaksanakan penelitian ini, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder bahan belaka.28
28
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet 1, Ed. 13,
Penerbit Pt RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, h 13.
13
2. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan
tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang
sedang dicoba untuk dicari jawabnya.29
Pendekatan yang digunakan di dalam
penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (Statuta Approach) dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu hukum yang sedang ditangani,30
dan pendekatan konseptual (Conceptual
Approach). Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-
ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-
asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.31
3. Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan
, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim.32
29
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Penerbit Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cetakan ke-3,
2007, h 93 30
Ibid. 31
Ibid., h 95 32
Ibid, h 141.
14
Bahan hukum primer yang digunakan berupa legislasi dan regulasi seperti Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (PT).
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-
buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar
atas putusan pengadilan.33
Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku hukum, dan kamus
hukum.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus,
ensiklopedia, ideks kumulatif, dan seterusnya.34
4. Unit Analisis
Legal standingGeneral Manager mewakili Pengusaha sebagai Tergugat.
33
Ibid. 34
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., h 13.