Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 1 of 51
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Penyu merupakan sejenis reptil yang hidup di laut, hidupnya berpindah dan
berpencar dalam jarak yang jauh di sepanjang kawasan Samudera Hindia,
Samudera Pasifik dan Asia Tenggara. Penyu mendapatkan ancaman baik dari alam
maupun dari kegiatan manusia yang membahayakan populasi penyu secara
langsung atau tidak langsung, misalnya pengambilan telur dan penangkapan
penyu.Tidaklah mengejutkan apabila satwa ini kemudian digolongkan sebagai
satwa yang rentan, terancam punah atau sangat terancam punah seperti tertuang
dalam Daftar Merah Jenis yang Terancam Punah IUCN(Red data book
IUCN/International Union for the Conservation of Nature).Kelestarian dan
keberlangsungan hidupnya tergantung pada upaya pelestarian satwa tersebut dalam
wilayah yang luas serta bermacam-macam habitat laut dan pesisir.
Secara internasional penyu termasuk hewan yang terdaftar pada CITES
dalam Appendiks I sehingga penyu terlarang untuk segala pemanfaatan dan
perdagangannya. Secara nasional, organisme ini dilindungi seperti amanatkan UU
No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa Liar, bahwa penyu hijau berikut bagian-bagiannya termasuk telurnya
merupakan satwa yang dilindungi oleh Negara.
Indonesia telah memulai upaya pelestarian penyu ini melalui institusi
Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam-Direktorat Jenderal Kehutanan,
Departemen Pertanian pada era tahun 80-an.Saat itu Pantai Sukamade menjadi
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 2 of 51
perhatian utama dan mendapat perlindungan dari Suaka Margasatwa Meru Betiri
yang kemudian berkembang statusnya menjadi Taman Nasional. Pada tahun 1984
untuk pertama kalinya distribusi pantai peneluran penyu di Indonesia dipetakan
dalam buku “Marine Conservation Data Atlas” dimana teridentifikasi 143 lokasi
pantai peneluran yang menyebar di wilayah perairan Indonesia (Salm dan Halim,
1984). Namun tidak semua dari lokasi pantai peneluran penyu tersebut sudah
menjadi kawasan konservasi. Sebagian lokasi pantai peneluran masih berada diluar
kawasan konservasi sehingga pengelolaan upaya konservasinya menjadi sangat
tergantung dari kesadaran masyarakat setempat.
Kawasan habitat penyu bertelur di pesisir wilayah barat Kabupaten Aceh
Besar dan Aceh Jaya, terletak di pantai sebelah barat pulau Sumatera. Kawasan ini
mengemban misi pelestarian kehidupan bahari yang sudah selayaknya
mengupayakan perlindungan terhadap habitat dan populasi penyu. Upaya
perlindungan dapat dilakukan dengan mencadangkan daerah perlindungan dan
melakukan pengelolaan penyu serta penyadaran masyarakat.
Dipihak lain, masyarakat Kabupaten Aceh Besar dan kabupaten Aceh Jaya,
mereka telah berpuluh-puluh tahun memanfaatkan penyu terutama dengan
mengambil telurnya. Apabila penegakan aturan pelarangan pengambilan telur
penyu dari pemerintah akan menimbulkan konflik dalam masyarakat. Salah satu
pendekatan untuk menyelesaikan masalah ini adalah mengalihkan bentuk
pemanfaatan penyu yang bersifat ekstraktif ke bentuk non ekstraktif. Dengan kata
lain, memanfaatkan untuk kepentingan (eko) wisata, pendidikan, dan penelitian.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 3 of 51
Pendekatan ini akan menyeimbangkan antara kepentingan perlindungan dan
pemanfaatan terbatas sehingga upaya ini lebih dapat diterima oleh masyarakat.
Namun demikian, untuk mengimplementasi hal diatas masih terganjal
ketiadaan basis data yang memadai untuk menggambarkan kondisi dan sebaran
habitat serta populasi penyu terkini di Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Jaya. Oleh
karena itu, usulan kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan kajian pelestarian
penyu dimana pada tahap awal melakukan pengumpulan data secara ilmiah.
Selanjutnya, hasil ini diharapkan dapat menjadi acuan Pemerintah Daerah dalam
menentukan kebijakan mengenai upaya perlindungan penyu di Kabupaten Aceh
Besar dan Aceh Jaya.
1.2 Tujuan
Tujuan kegiatan ini adalah sebagai berikut:
Memperoleh data populasi yang terkait kondisi habitat penyu;
Memetakan lokasi tempat bertelur dan daerah migrasi penyu di Kabupaten
Aceh Besar dan Aceh Jaya;
Memperoleh data dan informasi kegiatan pemanfaatan penyu oleh
masyarakat setempat di Kabupaten Aceh Besar; dan
Mengidentifikasi lokasi perlindungan, penangkaran dan ekowisata penyu di
Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Jaya.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 4 of 51
1.3 Manfaat
Penerima manfaat dari kegiatan ini adalah aparatur pemerintah, masyarakat
dan pelaku usaha pemanfaatan konservasi penyu sebagai nilai tambah melalui
ekowisata di Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Jaya.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 5 of 51
BAB II. GAMBARAN UMUM
Kabupaten Aceh Jaya terletak pada kordinat 04022’-05016’ Lintang dan
95002’-96003’ Bujur Timur dengan luas daerah 3.727 Km2. Kabupaten Aceh Jaya
terbagi dalam 6 Kecamatan, 21 Mukim, 172 Desa. Batas wilayah administrasi
meliputi sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten
Pidie, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia dan Kabupaten Aceh
Barat, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pidie dan Kabupaten Aceh
Barat, serta sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.Kecamatan
Sampoiniet merupakan kecamatan terluas dengan luas wilayah sekitar 27 persen
(1.011 Km2), sedangkan Kecamatan Panga mempunyai luas wilayah terkecil yaitu
sekitar 8 persen (307 Km2) dari wilayah kabupaten.
Secara geografi kecamatan-kecamatan di wiliyah Kabupaten Aceh Jaya
berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Jalur sepanjang pantai juga
merupakan tempat permukiman penduduk terpadat dibandingkan dengan daerah
pemukiman yang jauh dari pantai. Jaringan jalan yang menyusuri pinggir pantai
yang menghubungkan Banda Aceh dengan kota-kota di bagian barat dan selatan
provinsi ini menjadi faktor yang sangat mendukung bagi penduduk untuk
membangun permukiman di sepanjang pantai.
Pusat- pusat perdagangan dan berbagai aktivitas perekonomian lainnya pun
pada umumnya berlokasi di kota-kota kecamatan yang berada di sepanjang pantai
wilayah ini. Sampai saat ini, ada 16 pulau yang terdata dan mempunyai nama.
Pulau-pulau tersebut tersebar di empat kecamatan. Terdapat juga dua danau/rawa
yang terletak di Kecamatan Teunom dan Panga.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 6 of 51
Menurut Carr (1972), penyu termasuk ke dalam phylum Chordata yang
memiliki dua famili, yaitu:
a. Famili: Chelonidae, meliputi 6 spesies:1) Chelonia mydas (penyu hijau); 2)
Natator depressus (penyu pipih); 3) Lepidochelys olivacea (penyu lekang); 4)
Lepidochelys kempi (penyu kempi); 5) Eretmochelys imbricata (penyu sisik);
6) Caretta caretta (penyu karet atau penyu tempayan);
b. Famili: Dermochelyidae, meliputi 1 spesies: 7) Dermochelys coriacea (penyu
belimbing).
Secara taksonomik, dikenal 7 jenis penyu di dunia, dimana 6 diantaranya
hidup di perairan Indonesia, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu pipih
(Natator depressus), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu sisik
(Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys coriacea)dan penyu
tempayan (Caretta caretta).
Indonesia yang terkenal sebagai negara kepulauan memiliki 17.500 pulau,
81.000 km garis pantai, serta meliputi 2 biogeogafis utama yaitu Indomalaya dan
Australia. Indonesia juga menduduki posisi penting dalam peta keanakeragaman
hayati karena termasuk dalam sepuluh negara yang kaya keanekaragaman hayati
atau dikenal sebagai negara megadiversity country (Mangunjaya, 2006). Salah satu
kekayaan jenis yang dimiliki Indonesia adalah memiliki 6 dari 7 jenis penyu yang
hidup di dunia karena Indonesia merupakan habitatpeneluran, mencari makan dan
bermigrasi bagipenyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys
imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 7 of 51
depressus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), dan penyu tempayan
(Caretta caretta) yang masing-masing memiliki ciri fisik yang berbeda.
Salah satu bentuk dari pariwisata alternatif adalah pariwisata berbasis
ekowisata. Menurut Wood (2002) dalam Warpani & Warpani (2007:152)
menjelaskan bahwa kegiatan ekowisata merupakan bentuk kegiatan wisata alam,
yang memberikan manfaat kepada pelestarian lingkungan dan dapat memberikan
manfaat kepada masyarakat lokal. Kegiatan pelestarian lingkungan dapat dilakukan
dengan konservasi terhadap lingkungan. Kegiatan konservasi pada saat ini sering
menjadi tujuan utama dari kegiatan ekowisata (Scace, Grifone, & Usher, 1992).
Kegiatan ekowisata memiliki tujuan sebagai salah satu cara dalam menumbuhkan
ekonomi masyarakat lokal, selain itu memiliki dampak positif di dalam menjaga
kelestarian lingkungan. Di dalam ekowisata juga ditekankan adanya prinsip nilai
edukasi yang memberikan ilmu pengetahuan mengenai lingkungan sekitar dan
budaya masyarakat setempat (Weaver, 2008).
Kegiatan konservasi lingkungan sering digunakan dalam beberapa prinsip
ekowisata yang dikemukakan oleh para ahli. Kegiatan ekowista sangat mendorong
peran serta masyarakat lokal agar dapat berpartisipasi secara aktigf di dalam proses
perencanaan hingga pengembangan ekowisata (Tuwo, 2011), hal tersebut dilakukan
agar masyarakat lokal dapat tumbuh rasa memiliki terhadap tempat dan kegiatan
wisata yang sudah mereka kembangkan. Dengan rasa memiliki yang tinggi maka
diharapkan masyarakat dapat menjaga keberlangsungan kegiatan wisata, dan
menjaga lingkungan agar tetap lestari.
Kondisi lingkungan laut dan pantai adalah faktor penentu keberlanjutan
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 8 of 51
hidup dan populasi penyu. Ackerman (1997); Wallace et al. (2004) menyatakan
faktor biologi dan fisik lingkungan pantai, pesisir dan laut memberikan pengaruh
terhadap keberlanjutan dan proses ekologi penyu belimbing yaitu proses peneluran
dan proses penetasan. Selain faktor lingkungan, indikasi lainnya adalah faktor
sosial antropogenik yaitu pemanfaatan langsung dan pemanfaatan tak langsung.
Pemanfaatan langsung seperti perburuan penyu dan pengambilan telur, sedangkan
pemanfaatan tak langsung seperti tangkapan sampingan dari perikanan skala besar
(Hitipeuw et al. 2007).
Pelestarian penyu sangat penting untuk dilakukan karena pada beberapa
decade terakhir ini jumlah populasinya di alam mengalami penurunan yang tajam
yang akhirnya dikhawatirkan akan mengalami kepunahan. Penurunan populasi ini
diduga terkait dengan adanya kerusakan habitat di daerah pantai tempat peneluran
penyu, adanya proses penangkapan oleh para pemburu penyu maupun adanya
aktivitas perikanan tangkap yang mengakibatkan secara tidak disengaja tertangkap
penyu. Menurut Adnyana & Hitipeuw (2009), perkembangan aktivitas perikanan
baik yang menggunakan jaring insang (gill net), rawai panjang (longline), maupun
pukat (trawl) di perairan Indonesia telah menimbulkan dampak yang buruk bagi
penyu. Ribuan penyu telah mati karena tertangkap secara kebetulan oleh aktivitas
perikanan.
Ketika melakukan proses peneluran, penyu akan memilih lokasi peneluran
berupa pantai yang masih alami dengan topografi yang relatif tidak terbuka dan jauh
dari aktivitas manusia. Penyu merupakan satwa laut yang sangat sensitif terhadap
gangguan lingkungan, oleh karena itu bila terjadi gangguan pada saat melakukan
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 9 of 51
peneluran, penyu akan melakukan false crawl. False crawl adalah aktivitas penyu
betina menggali dan membuat sarang peneluran maupun aktivitas lain yang
termasuk bagian dari itu, akan tetapi tidak benar-benar melakukan peneluran
(Broderick & Coyne, 2005). False crawl biasanya dimulai dengan berenang menuju
pantai, berjalan di pantai untuk mencari lokasi peneluran yang tepat (terkadang
diikuti kegiatan penggalian sarang), untuk kemudian kembali berjalan menuju ke
laut tanpa melakukan peneluran.
Salah satu program pemerintah dalam meningkatkan nilai perekonomian
mengandalkan potensi daerah, salah satunya program ekowisata penyu.
Pengambilan telur penyu di provinsi Aceh umumnya adalah motif sosial dan
ekonomi, di tataran masyarakat. Fakta yang tak dapat dimungkiri bahwa kebutuhan
uang tunai pada masyarakat semakin meningkat dari waktu ke waktu. Telur penyu
menjadi salah satu sumber penghasilan masyarakat yang nyata dalam menghasilkan
uang tunai yang dibutuhkan untuk menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan
hidup (sandang, pangan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya) bagi masyarakat
pesisir pantai.
Penemuan sarang penyu yang bertelur oleh masyarakat akan dibagi menurut
adat dengan sistem bagi hasil bersama. Ada juga daerah yang melakukan tender
telur per musim peneluran seperti di pulau breuh, kepulauan Aceh. Beberapa daerah
juga menerapkan ketentuan adat untuk menyisakan telur yang ditetaskan secara
alami, walaupun jumlahnya masih belum memenuhi kaidah-kaidah pelestarian
sumberdaya itu sendiri. Disamping itu sumberdaya (resources) konservasi yang
tersedia baik dari segi kuantitas (dana, sumberdaya manusia, infrastruktur) maupun
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 10 of 51
kualitas didasarkan pada kompetensinya sangat terbatas, tidaklah memadai untuk
memantau dan menjaga seluruh pantai peneluran (nesting beach) yang ada di
provinsi Aceh.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 11 of 51
BAB. III. METODELOGI PENELITIAN
3.1 Metode pengambilan data
Sampling yang digunakan dalam kajian sosial ekonomi penyu ini random
purposive sampling. Penentuan lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive)
berdasarkan pertimbangan yaitu merupakan salah satu pusat kegiatan
pengembangan masyarakat perikanan dan lokasi keberadaan penyu yang dominan
di Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Jaya. Data populasi penyu terbaru di kumpulkan
dari masyarakat dan lembaga masyarakat.
3.2 Metode Analisis Data
A. Analisis Populasi Penyu
Perhitungan jumlah penyu yang bertelur didasarkan ketentuan Salm (1982)
disitasi Bawole dkk (1994) sebagai berikut:
P = J/R
P = jumlah penyu yang bersarang
J = Jumlah sarang yang ditemukan
R = Rata-rata naiknya penyu
Perhitungan jumlah kelimpahan populasi penyu bersarang dilakukan
dengan analisa deskriptif statistik dari data time series tahun 2012-2014 dan
tempat/lokasi bersarang.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 12 of 51
B. Analisis Persepsi
Dalam menentukan pengaruh tingkat sosial budaya masyarakat terhadap
persepsi masyarakat terhadap konservasi penyu digunakan skala Likert yaitu
menganalisis dan mengukur pemahaman masyarakat berbagai stekholder
(kelompok/orang) dengan memberikan skor yang dapat mewakili dari penilaian
sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Dengan memberikan
bobot penilaian adalah: 4 = sangat setuju (SS), 3 = Setuju (S), 2 = Tidak setuju (TS)
dan 1 = Sangat tidak setuju (STS), kemudian di rangking berdasarkan jumlah yang
sering muncul dalam pertanyaan tersebut yang lebih dominan, Setelah
mendapatkan data tingkat sosial budaya dan tingkat persepsi masyarakat terhadap
keberadaan penyu dianalisis berdasarkan kriteria diatas.
Tabel 3.1 Contoh Persepsi Masyarakat
Variabel JawabanSS S TS STS
Sikap dan persepsi masyarakat terhadapkonservasi penyu
Keterangan:SS = Sangat Setuju, ST = Setuju, TS = Tidak Setuju, STS = Sangat Tidak Setuju.
C. Analisis Deskriptif
Berbagai macam definisi tentang penelitian deskriptif, di antaranya adalah
penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu
variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau
menghubungkan antara variabel satu dengan variabel yang lain (Sugiyono, 2003).
Pendapat lain mengatakan bahwa, penelitian deskriptif merupakan penelitian yang
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 13 of 51
dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang
ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan
(Suharsimi, 2005). Jadi tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat
penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat
populasi atau daerah tertentu.
3.3 Waktu dan Tempat
Kajian ini dilakukan pada bulan September 2015. Tempat/lokasi penelitian di
lakukan pada wilayah pesisir yang memiliki potensi ekowisata penyu di kabupaten
Aceh Besar dan Kabupaten Aceh Jaya. Penentuan lokasi ini dipilih secara sengaja
(purposive) berdasarkan pertimbangan yaitu merupakan salah satu pusat kegiatan
pengembangan masyarakat perikanan dan lokasi keberadaan penyu yang dominan
di Kabupaten Aceh Besar dan kabupaten Aceh Jaya. Adapun daerah penelitian dan
jumlah sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.2 dan 3.3.
Tabel 3.2 Daerah Penelitian dan Jumlah Sampel Kabupaten Aceh BesarNo Kecamatan Desa/Kawasan Jumlah Sampel (Orang)1
Peukan Bada
Lam Tutue 102 Lam Teungoh, 153 Lam Pageu 264 Pulau Bunta 105
Lhok NgaLampu’uk 26
6 Lhok Nga 26TOTAL 113
Tabel 3.3 Daerah Penelitian dan Jumlah Sampel Kabupaten Aceh JayaNo Kecamatan Desa/Kawasan Jumlah Sampel (Orang)1
Panga
Keude Panga 302 Kuta Tuha 153 Alue Pit 25
TOTAL 70
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 14 of 51
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Populasi Penyu di Kabupaten Aceh Besar
4.1.1 Kelimpahan Populasi Berdasarkan Tahun
Upaya dalam menghitung kelimpahan populasi berbagai jenis penyu yang ada
di Kabupaten Aceh Besar sebelum tahun 2012 tidak pernah dilakukan, setelah
periode tersebut pembaruan data terus dilakukan kelengkapannya. Data
kelimpahan populasi hasil pemantauan dalam kurun waktu lebih dari 3 tahun hanya
ada untuk beberapa lokasi peneluran seperti Pantai Lange, Lampuuk, Lhoknga dan
Ujong Pancu.
Gambar 4.1 Jumlah penyu berdasarkan tahun (2012-2014) di Kabupaten AcehBesar
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 15 of 51
Berdasarkan Gambar 4.1 dapat diinterpretasikan bahwa kelimpahan penyu
yang bersarang di tahun 2012 yaitu 3,44 ± 5,17 induk, jumlah ini berkisar 32, 14 %
dari total induk yang bersarang selama periode 2012-2014. Tahun 2013 terjadi
peningkatan induk yang bersarang dengan jumlah 4,00 ± 2,66 induk, yaitu 50,00 %
dari total populasi induk yang bersarang periode 2012-2014. Di tahun 2014 terjadi
penurunan jumlah induk yang bersarang berjumlah 5,40 ± 4,56 induk dengan
persentase 17,85 % dari total jenis induk penyu yang bersarang periode 2012-2014.
4.1.2 Kelimpahan Populasi Berdasarkan Bulan
Data kelimpahan populasi hasil pemantauan dalam kurun waktu lebih dari 3
tahun hanya ada untuk beberapa lokasi peneluran seperti Pantai Lange, Lampuuk,
Lhoknga dan Ujong Pancu. Fluktuasi kelimpahan populasi dari ketiga jenis penyu
(Belimbing, Lekang dan Sisik) berdasarkan bulan bersarang dapat disajikan pada
Gambar 4.2.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 16 of 51
Gambar 4.2 Jumlah Penyu berdasarkan bulan di Kabupaten Aceh Besar
Dari gambar 4.2 dapat dijelaskan bahwa kelimpahan rata-rata dari ketiga
jenis induk penyu yang bersarang di tahun 2012 pada bulan September 2012 yaitu
(1,00) induk,dengan persentase 3,57 %, bulan Oktober 2012 (6.00 ± 3,46) induk ,
persentase 10,71 %, bulan November 2012 (1,50 ± 0,70) induk , persentase 7,14 %,
bulan Desember 2012 (3,00 ±1.00), persentase 10,71 % dari total induk yang
bersarang selama periode 2012-2014. Tahun 2013 induk yang bersarang terdata di
bulan Januari 2013 dengan jumlah raa-rata 2,00 ± 1,41 induk, yaitu 7,14 %, bulan
Februari 2013 (2,00) induk, persentase 3,57 % , bulan April 2013 (1,00) induk,
persentase 3,57 %, bulan September 2013 (4,00) induk, persentase 3,57 %, bulan
Oktober 2013 (2,67 ± 2,08) induk, persentase 10,71 %, bulan November 2013 (5,33
± 3,21) induk, persentase 10,71 %, bulan Desember 2013 (7,00 ± 1,00) dengan
persentase 10,71 % dari total populasi induk yang bersarang periode 2012-2014.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 17 of 51
Pada tahun 2014 terjadi penurunan jumlah induk yang bersarang berjumlah
5,40 ± 4,56 induk dengan persentase 17,85 % dari total jenis Induk penyu yang
bersarang periode 2012-2014. Diawal tahun 2014 jumlah induk yang bersarang dari
ketiga jenis dimulai pada bulan Januari 2014 dengan jumlah rata-rata 9,50 ± 4,95
induk dengan persentase 7,14 %, bulan Februari 2014 (4,00) induk, persentase 3,57
%, bulan April 2014 (2,00) induk dengan persentase 7,14 % dari total jenis Induk
penyu yang bersarang periode 2012-2014.
4.1.3 Kelimpahan Populasi Berdasarkan Tempat/Lokasi Bersarang
Data kelimpahan populasi hasil pemantauan dalam kurun waktu lebih dari 3
tahun hanya ada untuk beberapa lokasi peneluran seperti Pantai Lange, Lampuuk,
Lhoknga dan Ujong Pancu. Kelimpahan populasi dari ketiga jenis penyu
(Belimbing, Lekang dan Sisik) berdasarkan tempat/lokasi bersarang dapat disajikan
pada gambar 3.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 18 of 51
Gambar 4.3 Jumlah jenis penyu berdasakan lokasi di Kabupaten Aceh Besar
Berdasarkan Gambar 4.3 dapat di interpretasikan bahwa kelimpahan penyu
yang bersarang berdasarkan tempat/lokasi di Lampuuk yaitu 13,67 ± 6,11 induk,
jumlah ini berkisar 30,00 % dari total induk yang bersarang selama periode 2012-
2014. Pantai Lange induk yang bersarang tercatat dengan jumlah rata-rata 2,50 ±
2,12 induk, yaitu 20,00 % dari total populasi induk yang bersarang periode 2012-
2014. Pantai Lhoknga rata-rata jumlah induk yang bersarang berjumlah 19,00 ±
6,00 induk dengan persentase 30,00 % dari total jenis Induk penyu yang bersarang
periode 2012-2014. Pantai Ujong Pancu rata-rata jumlah induk yang bersarang
berjumlah 5,50 ± 3,54 induk dengan persentase 20,00 % dari total jenis Induk penyu
yang bersarang periode 2012-2014.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 19 of 51
4.1.4 Hubungan Tempat/lokasi bersarang dengan Jenis Penyu
Jenis Penyu belimbing (Dermochelys coriacea) lebih memilih tempat
peneluran dengan tekstur pasir pecahan karang dan berwarna putih terdata penyu
yang bersarang dengan jumlah rata-rata (3,50 ± 1,76) dengan persentase 6 %,
sedangkan di tekstur opac dan berwarna abu-abu tidak ditemui penyu jenis ini
bersarang.
Penyu sisik (Eretmochelys imbricata) pada dasar nya menyukai pantai yang
memiliki tekstur pasir pecahan karang dan berwarna putih, pada kajian ini penyu
sisik (Eretmochelys imbricata) yang bersarang di tekstur pantai tersebut memiliki
jumlah rata-rata 3,80 ± 2,74 induk dengan persentase 35,71% dan hanya 16,66 %
di tempat/lokasi pasir bertekstur opac berwarna abu-abu dengan jumlah rata-rata 3
induk yang bersarang.
Jenis penyu lekang (Lepidochelys olivacea) menyukai tekstur pasir opac
dan berwarna abu-abu, terdata jumlah rata-rata penyu lekang (Lepidochelys
olivacea) 1,6 ± 0,54 induk, persentase 83,33% bersarang di pantai bertekstur opac
berwarna abu-abu dan 3.67 ± 3,12 induk , persentase 42,85 % bersarang pada
tekstur pasir pecahan karang dan berwarna putih.
4.2 Populasi Penyu di Kabupaten Aceh Jaya
4.2.1 Kelimpahan Populasi Berdasarkan Tahun
Upaya dalam menghitung kelimpahan populasi berbagai jenis penyu yang
ada di Kabupaten Jaya sebelum tahun 2012 tidak pernah dilakukan, setelah periode
tersebut pembaruan data terus dilakukan kelengkapannya. Data kelimpahan
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 20 of 51
populasi hasil pemantauan dalam kurun waktu lebih dari 3 tahun hanya ada untuk
beberapa lokasi peneluran seperti Pantai Aron Meubanja
Gambar 4.4 Jumlah penyu berdasarkan tahun (2012-2014) di Kabupaten AcehJaya
Berdasarkan Gambar 4.4, total penyu yang bertelur di kecamatan Panga dari
tahun 2012 sampai tahun 2014 terdata sebanyak 188 induk yang bertelur. Tahun
2012 tercatat 25 ± 8,3 ekor induk, tahun 2013 tercatat 101 ± 16,8 dan tahun 2014
terdata 62 ± 12,4 induk yang terdiri dari 3 jenis yaitu Penyu Belimbing (4 ekor),
Penyu Lekang (136 ekor) dan Penyu Sisik (48 ekor).
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 21 of 51
4.2.2 Kelimpahan Populasi Berdasarkan Bulan
Data kelimpahan populasi hasil pemantauan dalam kurun waktu lebih dari 3
tahun hanya ada untuk beberapa lokasi peneluran seperti Pantai Aron Meubanja,
Kecamatan Panga, Kabupaten Aceh Jaya. Fluktuasi kelimpahan populasi dari
ketiga jenis penyu (Belimbing, Lekang dan Sisik) berdasarkan bulan bersarang
dapat disajikan pada Gambar 4.5.
Gambar 4.5 Jumlah Penyu berdasarkan bulan di Kabupaten Aceh Jaya
Berdasarkan Gambar 4.5 dapat dijelaskan bahwa kelimpahan rata-rata dari
ketiga jenis induk penyu yang bersarang di tahun 2012 pada bulan Oktober 2012
yaitu (4,53 ± 3,51 ) induk,dengan persentase 4,25 %, bulan November 2012 (4,21
± 3,02 ) induk , persentase 3,7 %, bulan Desember 2012 (5,5 ± 4,23) induk ,
persentase 5,32 %, dari total induk yang bersarang selama periode 2012-2014.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 22 of 51
Tahun 2013 induk yang bersarang terdata di bulan Januari 2013 dengan jumlah raa-
rata 10,52 ± 3,41 induk, yaitu 10,63 %, bulan Februari 2013 (10,21 ± 3,11) induk,
persentase 10,26 % , bulan Maret 2013 (10,08 ± 3,04) induk, persentase 10,17 %,
bulan Oktober 2013 (2,57 ± 1,22) induk, persentase 2,12 %, bulan November 2013
(7,61 ± 2,08) induk, persentase 6,71 %, bulan Desember 2013 (13,33 ± 3,21) induk,
persentase 13,60 % dari total populasi induk yang bersarang periode 2012-2014.
Diawal tahun 2014 jumlah induk yang bersarang dari ketiga jenis dimulai pada
bulan Februari 2014 dengan jumlah rata-rata 16,50 ± 4,95 induk dengan persentase
17,14 %, bulan Maret 2014 (11 ± 3,8) induk, persentase 11,57 %, bulan April 2014
(2,00 ± 0,87) induk dengan persentase 0,53 %, bulan Mei 2014 (2,35 ± 1,26) induk
dengan persentase 0,56 % dari total jenis Induk penyu yang bersarang periode
2012-2014.
Melalui Gambar 4.6 dapat dijelaskan bahwa persentase jenis penyu yang
bertelur di pantai Aron Meubanja, Kecamatan Panga, Kabupaten Aceh Jaya yaitu
Penyu Belimbing 2,1 %, Penyu Sisik 25,5% dan Penyu Lekang 72,3 %.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 23 of 51
Gambar 4.6. Persentase Jenis–jenis Penyu berdasarkan bulan di Kab. Aceh Jaya
4.3 Kajian Sosial Ekonomi
4.3.1 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Berdasarkan hasil wawancara, rata-rata umur responden di lokasi penelitian
berusia produktif dimana 74 orang berumur antara 21-30 tahun, dan hanya dua
responden yang diwawancara berumur di bawah 20 tahun (Tabel 4). Selain itu, dari
responden yang diwawancarai Desa Lampu’uk, Lamtutu, am Teungoh, Lam Pageu,
dan Lhoknga memiliki tingkat pendidikan yang beragam dari tamatan SD/sederajat
hingga Sarjana dan Pascasarjana (Gambar 4.7).
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 24 of 51
Tabel 4.1 Karakteristik umur responden Aceh BesarDesa Th 21 - 30 Th 31 - 40 Th Th
Lam Tutue 6 3 1Lam Teungoh 12 1 2Lam Pageu 9 11 6Lampu'uk 2 20 3 1Pulau bunta 4 2 4Lhok Nga 23 3Total 2 74 23 14
Gambar 4.7 Tingkat pendidikan masyarakat di lokasi penelitian kabupaten AcehBesar
Berdasarkan Gambar 4.7 terlihat bahwa Desa Lampuuk memiliki
keragaman dalam hal tingkat pendidikan. Pada Desa Lampuuk terdapat setiap
jenjang pendidikan mulai dari tamatan SD/sederajat hingga Sarjana bahkan alumni
Pascasarjana (S2). Tercatat, empat orang tamatan Sarjana dan satu orang meraih
gelar Master di daerah ini meski dominan tingkat pendidikan tetap tamatan
SLTA/sederajat, yaitu sebanyak 17 orang responden. Keragaman tingkat
pendidikan selanjutnya terdapat di Desa Lhoknga meski masih didominasi oleh
tamatan SLTA/sederajat yaitu sebanyak 11 orang dan tamatan Sarjana sebanyak
05
101520
Tingkat Pendidikan
SD/Sederajat
SLTP/Sederajat
SLTA/Sederajat
Sarjana
Pasca Sarjana
Lainnya
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 25 of 51
empat orang. Sedangkan desa Lam Pageu didominasi oleh tamatan SD/sederajat
dan SLTP/sederajat dimana dengan jumlah yang sama, yaitu 12 orang.
Tabel 4.2 Karakteristik umur responden Aceh JayaDesa Th 21 - 30 Th 31 - 40 Th Th
Keude Panga 2 8 16 4Kuta Tuha 1 9 2 3Alue Pit 3 3 11 8Total 6 20 29 15
Berdasarkan hasil wawancara, rata-rata umur responden di lokasi penelitian
berusia produktif dimana 29 orang berumur antara 21-30 tahun, dan hanya 6
responden yang diwawancara berumur di bawah 20 tahun (Tabel 4.2). Selain itu,
responden yang diwawancarai Desa Keude Panga, Kuta Tuha dan Alue Pit,
memiliki tingkat pendidikan yang beragam dari tamatan SD/sederajat hingga
Sarjana dan Pascasarjana (Gambar 4.8).
Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa Desa Keude Panga memiliki
keragaman dalam hal tingkat pendidikan. Di terdapat setiap jenjang pendidikan
mulai dari tamatan SD/sederajat hingga Sarjana bahkan alumni Pascasarjana (S2).
Tercatat, empat orang tamatan Sarjana dan satu orang meraih gelar Master di daerah
ini meski dominan tingkat pendidikan tetap tamatan SLTA/sederajat, yaitu
sebanyak 18 orang responden. Keragaman tingkat pendidikan selanjutnya terdapat
di Desa Lhoknga meski masih didominasi oleh tamatan SLTP/sederajat yaitu
sebanyak 8 orang dan tamatan SLTA/sederajat sebanyak 3 orang. Sedangkan desa
Alue Pit didominasi oleh tamatan SLTA/sederajat dimana dengan jumlah yang
sama, yaitu 16 orang.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 26 of 51
Gambar 4.8 Tingkat pendidikan masyarakat di lokasi penelitian kabupaten AcehJaya
Menurut Gaffar (2001) semakin banyak manusia sebagai subjek
pembangunan mengenyam jenjang pendidikan yang semakin tinggi akan
memegang peranan penting bagi pergerakan roda pembangunan. Seringkali tingkat
pendidikan seseorang dijadikan dasar untuk menentukan kedudukan seseorang
dalam bidang tugasnya, karena semakin tinggi jenjang pendidikan yang dimiliki
maka semakin tinggi derajat sosialnya.
Namun dalam penelitian ini, mengingat responden yang diwawancarai
beragam dan sebagian besar masyarakat yang memanfaatkan wilayah pesisir
sebagai sumber mata pencahariannya, tingkatan pendidikan tidak menjadi ukuran
dalam tolak ukur pendapatan. Hal ini dapat dilihat dari pendapatan bulanan yang
dihasilkan dari masing-masing wilayah penelitian. Hanya Desa Lampuuk
kabupaten Aceh Besar yang memiliki keragaman pendapatan bulanan yang lebih
baik dibandingkan dengan desa lain dan itupun hanya empat orang saja yang
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
SD SLTP SLTA Sarjana Lainnya
Keude Panga
Kuta Tuha
Alue Pit
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 27 of 51
memiliki pendapatan rata-rata Rp. 2.500.001-3.500.000 per bulannya, sedangkan
daerah lain tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hanya daerah Lam Pageu yang
memiliki pendapatan rata-rata di bawah UMR yaitu seluruh responden yang
diwawancarai memiliki pendapatan rata-rata < Rp. 1.000.000.
Pendapatan bulanan yang dihasilkan dari masing-masing wilayah penelitian
di Kabupaten Aceh Jaya, hanya Desa Keude Panga yang memiliki keragaman
pendapatan bulanan yang lebih baik dibandingkan dengan desa lain dan itupun
hanya 10 orang saja yang memiliki pendapatan rata-rata Rp. 2.500.001-3.500.000
per bulannya, sedangkan desa lain tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hanya
daerah Kuta Tuha dan desa Alue Pit yang memiliki pendapatan rata-rata di bawah
UMR yaitu seluruh responden yang diwawancarai memiliki pendapatan rata-rata <
Rp. 1.000.000.
Hal ini sesuai dengan yang diutarakan Kusnadi (2003), bahwa dalam hal
tingkat pendidikan khususnya bagi nelayan tradisional, untuk bekal kerja mencari
ikan dilaut, latar belakang seorang nelayan memang tidak penting artinya karena
pekerjaan sebagai pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan
pengalaman, maka setinggi apapun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah
memberikan pengaruh terhadap kecakapan mereka dalam melaut. Persoalan dari
arti penting tingkat pendidikan ini biasanya baru mengedepankan jika seorang
nelayan ingin berpindah ke pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan
pendidikan yang rendah jelas kondisi itu akan mempersulit nelayan tradisional
memilih atau memperoleh pekerjaan lain selain mejadi nelayan.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 28 of 51
4.3.2 Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat dalam Pemanfaatan
Sumber Daya Laut
Pengetahuan pada dasarnya adalah hasil dari proses pemahaman tentang
suatu hal, termasuk tentang terumbu karang. Seseorang melakukan pemahaman
bisa datang dari usaha sendiri memahami kondisi lingkungannya dan memahami
atas dasar hasil alih pengetahuan. Dalam proses alih pengetahuan selalu ada aktor
yang melakukan kegiatan memberi materi pengetahuan yang disampaikan kepada
kelompok target.
Gambar 4.9 Persepsi masyarakat terhadap potensi habitat Penyu untuk wisata diKabupaten Aceh Besar
Berikut hasil pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang
pemanfaatan sumber daya laut berdasasrkan hasil survei yang dilakukan di
Kecamatan Lhoknga dan Kecamatan Peukan Bada tepatnya di Desa Lhoknga,
Lampuuk, Lam Teungoh, Lam Tutue, Lam Pageu dan Pulau Bunta Kabupaten Aceh
Besar. Berdasarkan Gambar 9, masyarakat di lokasi penelitian telah memahami arti
pentingnya keberadaan penyu dan habitatnya. Hal ini tercermin dari pengetahuan
0
5
10
15
20
25
30
Lam Tutue LamTeungoh
Lam Pageu Lampu'uk pulaubunta
Lhok Nga
Potensi Tidak Potensi Sangat Potensi Tidak Tahu
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 29 of 51
masyarakat akan potensi wisata di daerahnya. Terlihat dari hasil wawancara hampir
seluruhnya responden menjawab berpotensi (sangat potensi dan potensi) terhadapat
habitat penyu untuk wisata dan tidak ada menjawab tidak berpotensi.
Masyarakat di Kabupaten Aceh Besar sudah lama terbuka dari pengaruh yang
datang dari luar kabupaten sehingga atas pengetahuannya sendiri mereka
mengetahui bagaimana nelayan sekitarnya yang menggunakan alat tangkap yang
merusak lingkungan seperti menggunakan bom dan racun potassium. Alat tangkap
tersebut telah menimbulkan pengetahuan baru dan sekaligus merubah sikap dan
dapat mengarah pada perilaku peniruan. Namun demikian mereka juga melihat
kenyataan bahwa hasil tangkapan ikan makin menurun dilokasi terjadinya
pengeboman dan pemotasan. Atas dasar pemahamannya sendiri mereka mulai
menyadari bahwa alat tangkap tersebut justru merusak dan merugikan. Proses
pemahaman makin kuat sejalan dengan makin meluasnya sosialisasi penyelamatan
penyu di Indonesia, khususnya di Kabupaten Aceh Besar.
Gambar 4.10. Persepsi masyarakat terhadap potensi habitat Penyu untuk wisata diKabupaten Aceh Jaya
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Sangat Potensi Potensi Tidak tidakPotensi
Tidak Tahu
Keude Panga
Kuta Tuha
Alue Pit
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 30 of 51
Adapun pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang pemanfaatan
sumber daya laut berdasasrkan hasil survei yang dilakukan di Kecamatan Panga
Kabupaten Aceh Jaya. Berdasarkan Gambar 4.10, masyarakat di lokasi penelitian
telah memahami arti pentingnya keberadaan penyu dan habitatnya. Hal ini
tercermin dari pengetahuan masyarakat akan potensi wisata di daerahnya. Terlihat
dari hasil wawancara hampir seluruhnya responden menjawab berpotensi (sangat
potensi dan potensi) terhadapat habitat penyu untuk wisata dan tidak ada menjawab
tidak berpotensi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di lokasi penelitian
kabupaten Aceh Besar untuk melihat persepsi merka terhadap beberapa pertanyaan
yang berkaitan dengan konservasi penyu dan habitatnya dan dengan menggunakan
skala Likert dapat dilihat pada Tabel 4.3. Sebagian besar responden sangat
mendukung kegiatan pelestarian penyu dan habitatnya. Sebagai contoh,
berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan konservasi laut di daerah
enelitian, 68,14% responden menjawab setuju dan 12,39% sangat setuju.
Dari beberapa pertanyaan untuk mengetahui persepsi responden terdapat
keengganan mereka dalam relokasi penyu ke tempat daerah mereka, yaitu sebesar
50,44% menjawab tidak setuju dan 13,27% sangat tidak setuju. Alasannya beragam,
namun sebagian besar menjawab karena wilayah mereka dikenal dengan penyu dan
habitatnya, sehingga jika direlokasi akan menghilangkan jati diri wilayah mereka.
Hal ini patut diapresiasi karena keinginan kuat dari mereka untuk menjadga
daerahnya sendiri (Tabel 4.3).
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 31 of 51
Dalam proses alih pengetahuan ada asumsi bahwa makin sering materi
pengetahuan disampaikan kepada kelompok sasaran maka makin melekat
penguasaan pengetahuan. Seseorang dalam menyerap pengetahuan mempunyai
sikap terbuka, artinya segala informasi akan menjadi masukan tidak saja karena
hasil tatap muka tetapi juga dari sumber informasi lain terutama dari media massa.
Penguasaan pengetahuan secara otomatis akan merubah sikap dan selanjutnya akan
merubah perilakunya, kendati tidak ada jaminan bahwa pengetahuan yang
dikuasainya akan menghasilkan perilaku yang positif tetapi sebaliknya juga bisa
menimbulkan perilaku sebaliknya. Untuk menghindarkan akibat negatif yang
ditimbulkan maka diperlukan kegiatan untuk mengarahkan ke tujuan awal bahwa
proses alih pengetahuan akan sejalan dengan sasaran pembangunan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di lokasi penelitian
kabupaten Aceh Jaya untuk melihat persepsi mereka terhadap beberapa pertanyaan
yang berkaitan dengan konservasi penyu dan habitatnya dan dengan menggunakan
skala Likert dapat dilihat pada Tabel 4.4. Sebagian besar responden sangat
mendukung kegiatan pelestarian penyu dan habitatnya. Sebagai contoh,
berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan konservasi laut di daerah
penelitian, 61,53% responden menjawab setuju dan 10,85% sangat setuju.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 32 of 51
Tabel 4.3 Hasil Wawancara terhadap persepsi masyarakat di Kab. Aceh BesarNo Pertanyaan Jawaban (%)
SS S TS STS1 Konservasi laut 12.39 68.14 2.65 16.812 Nilai positif konservasi penyu bagi daerah 38.05 55.75 4.42 1.773 Sebagai Leader dalam wilayah konservasi 24.78 67.26 7.96 0.004 Kawasan konservasi penyu berbasis wisata dan bahari? 26.55 73.45 0.00 0.005 Relokasi habitat asli penyu daerah ini? 14.16 77.88 7.96 0.006 Kepentingan penyelamatan penyu untuk relokasi ke tempat diluar daerah ini? 1.77 34.51 50.44 13.277 Perlukah kita menyelamatkan habitat penyu? 34.51 65.49 0.00 0.008 Apabila penyu di jadikan maskot/icon dari kawasan pesisir disini? 25.66 74.34 0.00 0.009 Penyelamatan habitat pesisir dan laut sebagai kurikulum pelajaran sekolah? 22.12 74.34 3.54 0.00
Keterangan: SS = Sangat Setuju, ST = Setuju, TS = Tidak Setuju, STS = Sangat Tidak Setuju.
Tabel 4.4. Hasil Wawancara terhadap persepsi masyarakat di Kabupaten Aceh JayaNo Pertanyaan Jawaban (%)
SS S TS STS1 Konservasi laut 10.85 61.53 5.72 21.92 Nilai positif konservasi penyu bagi daerah 35.83 50.72 8.07 5.383 Sebagai Leader dalam wilayah konservasi 15.87 70.54 5.6 7.994 Kawasan konservasi penyu berbasis wisata dan bahari? 19.42 60.33 10.35 9.95 Relokasi habitat asli penyu daerah ini? 21.47 60.66 5.68 12.196 Kepentingan penyelamatan penyu untuk relokasi ke tempat diluar daerah ini? 7.89 25.43 60.41 6.147 Perlukah kita menyelamatkan habitat penyu? 34.51 65.49 0 08 Apabila penyu di jadikan maskot/icon dari kawasan pesisir disini? 20.5 79.5 0 09 Penyelamatan habitat pesisir dan laut sebagai kurikulum pelajaran sekolah? 18.93 70.59 10.48 0
Keterangan: SS = Sangat Setuju, ST = Setuju, TS = Tidak Setuju, STS = Sangat Tidak Setuju.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 33 of 51
Dari beberapa pertanyaan untuk mengetahui persepsi responden terdapat
keengganan mereka dalam relokasi penyu ke tempat daerah mereka, yaitu sebesar
60,41% menjawab tidak setuju dan 6,14% sangat tidak setuju. Alasannya beragam,
namun sebagian besar menjawab karena wilayah mereka dikenal dengan penyu dan
habitatnya, sehingga jika direlokasi akan menghilangkan jati diri wilayah mereka.
Hal ini patut diapresiasi karena keinginan kuat dari mereka untuk menjaga
daerahnya sendiri (Tabel 4.4).
Dalam proses alih pengetahuan ada asumsi bahwa makin sering materi
pengetahuan disampaikan kepada kelompok sasaran maka makin melekat
penguasaan pengetahuan. Seseorang dalam menyerap pengetahuan mempunyai
sikap terbuka, artinya segala informasi akan menjadi masukan tidak saja karena
hasil tatap muka tetapi juga dari sumber informasi lain terutama dari media massa.
Penguasaan pengetahuan secara otomatis akan merubah sikap dan selanjutnya akan
merubah perilakunya, kendati tidak ada jaminan bahwa pengetahuan yang
dikuasainya akan menghasilkan perilaku yang positif tetapi sebaliknya juga bisa
menimbulkan perilaku sebaliknya. Untuk menghindarkan akibat negatif yang
ditimbulkan maka diperlukan kegiatan untuk mengarahkan ke tujuan awal bahwa
proses alih pengetahuan akan sejalan dengan sasaran pembangunan.
Berdasarkan Gambar 4.11, terlihat 22 %% responden di kabupaten Aceh
Besar menyatakan sangat setuju terhadap konservasi penyu dan habitatnya dan 66%
menyatakan setuju. Sedangkan yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak
setuju hanya 9% dan 3%. Hal ini berarti masih ada sebagian masyarakat yang belum
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 34 of 51
mengerti arti pentingnya penyelamatan penyu dan habitatnya bagi daerah mereka
sendiri.
Gambar 11. Persepsi masyarakat secara keseluruhan terhadap pelestarian habitatpenyu di Kabupaten Aceh Besar
Gambar 4.12. Persepsi masyarakat secara keseluruhan terhadap pelestarian habitatpenyu di Kabupaten Aceh Jaya
22%
66%
9%
3%
sangat setuju
setuju
tidak setuju
sangat tidak setuju
16%
54%
19%
11%
Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 35 of 51
Adapun berdasarkan Gambar 4.12, terlihat 16 % responden di kabupaten Aceh
Jaya menyatakan sangat setuju terhadap konservasi penyu dan habitatnya dan 54 %
menyatakan setuju. Sedangkan yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak
setuju hanya 19 % dan 11 %. Hal ini berarti masih ada sebagian masyarakat yang
belum mengerti arti pentingnya penyelamatan penyu dan habitatnya bagi daerah
mereka sendiri.
4.3.3 Kekuatan Hukum Adat
Pengelolaan perikanan di Indonesia mengenal adanya muatan nilai-nilai
kearian lokal masyarakatnya salah satunya hukum adat. Hukum adat laot di Aceh
merupakan ketentuan adat yang relevan dengan model pengelolaan perikanan yang
berorientasi pada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan rakyat. Dalam sistem
aturan, hukom adat laot mengenal adanya hari-hari pantang laot, adat sosial, adat
pemeliharaan lingkungan, adat kenduri laut, dan adat barang hanyut. Bagi nelayan
yang melanggar ketentuan, berdasarkan putusan Lembaga Persidangan Hukom
Adat Laot, hanya akan menghasilkan dua sanksi, yakni penyitaan hasil tangkapan
dan pelarangan melaut 3-7 hari.
Posisi hukum adat laot dalam perundang-undangan memiliki dua bentuk
pengaturan, yakni dalam konsep pengelolaan sumberdaya perikanan (Qanun No.
16/2002, Qanun No. 21/2002), dan dalam konsep lembaga adat dan hukom adat laot
(Perda No. 7/2000, Qanun No. 9/2008 dan Qanun No. 10/2008).
Berdasarkan hasil wawancara terhadap masyarakat di lokasi penelitiaan
terhadap kekuatan hukum adat di Kabupaten Aceh Besar, hampir seluruh lokasi
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 36 of 51
menyatakan hukum adat yang berlaku sangat kuat. Hanya di Pulau Bunta, Lampuuk
dan Lhoknga yang sebagian masyarakat tidak mengetahui peranan hukum adat
dalam perlindungan penyu dan habitatnya (Gambar 13). sedangkan pengambil
kebijakan dalam hukum adat di lokasi penelitian 51% dipegang oleh Panglima Laot
(Gambar 15). hal ini sesuai dengan peranan Panglima laot. Dalam Perda Nomor 2
Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat di Aceh, disebutkan tugas
penting Panglima Laot dalam empat hal, yakni: pemimpin wilayah kelautan,
pemimpin persoalan sosial nelayan, menyelesaikan perselisihan di laut, dan
memimpin pelestarian lingkungan hidup.
Dalam bidang perikanan, masalah hukum adat laot dan lembaga hukom adat
laot ditegaskan dalam Pasal 11 ayat Qanun11 Nomor 16 Tahun 2002 tentang
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, yang menyebutkan bahwa dalam pengelolaan
sumber daya perikanan Pemerintah Provinsi mengakui keberadaan lembaga
Panglima Laot dan hukum adat laot yang telah ada dan eksis dalam kehidupan
masyarakat nelayan di Provinsi. Pola pelaksanaannya dengan memberdayakan
peran, fungsi dan kewenangannya dalam komunitas masyarakat nelayan.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 37 of 51
Gambar 4.13. Kekuatan hukum adat laut dalam perlindungan habitat penyu diKabupaten Aceh Besar
Berdasarkan hasil wawancara terhadap masyarakat di lokasi penelitiaan
terhadapa kekuatan hukum adat di Kabupaten Aceh Jaya, hampir seluruh lokasi
menyatakan hukum adat yang berlaku sangat kuat. Hanya di desa Kuta Tuha yang
sebagian masyarakat tidak mengetahui peranan hukum adat dalam perlindungan
penyu dan habitatnya (Gambar 14). sedangkan pengambil kebijakan dalam hukum
adat di lokasi penelitian 54 % dipegang oleh Panglima Laot (Gambar 16). hal ini
sesuai dengan peranan Panglima laot. Dalam Perda Nomor 2 Tahun 1990 tentang
Pembinaan dan Pengembangan Adat di Aceh, disebutkan tugas penting Panglima
Laot dalam empat hal, yakni: pemimpin wilayah kelautan, pemimpin persoalan
sosial nelayan, menyelesaikan perselisihan di laut, dan memimpin pelestarian
lingkungan hidup.
0
10
20
30
Lam Tutue LamTeungoh
Lam Pageu Lampu'uk pulaubunta
Lhok Nga
Kuat Sangat Kuat Lemah Tidak Tahu
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 38 of 51
Gambar 4.14. Kekuatan hukum adat laut dalam perlindungan habitat penyu diKabupaten Aceh Jaya
Dalam bidang perikanan, masalah hukum adat laot dan lembaga hukom adat
laot ditegaskan dalam Pasal 11 ayat Qanun11 Nomor 16 Tahun 2002 tentang
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, yang menyebutkan bahwa dalam pengelolaan
sumber daya perikanan Pemerintah Provinsi mengakui keberadaan lembaga
Panglima Laot dan hukum adat laot yang telah ada dan eksis dalam kehidupan
masyarakat nelayan di Provinsi. Pola pelaksanaannya dengan memberdayakan
peran, fungsi dan kewenangannya dalam komunitas masyarakat nelayan.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Sangat Kuat Kuat Lemah Tidak Tahu
KeudePanga
Kuta Tuha
Alue Pit
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 39 of 51
Gambar 4.15. Pemangku adat yang berperan dalam perlindungan habitat penyu diKabupaten Aceh Besar
Gambar 4.16. Pemangku adat yang berperan dalam perlindungan habitat penyu diKabupaten Aceh Besar
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan di Indonesia, potensi
perikanan dimaksudkan sebagai potensi meningkatkan kesejahteraan dan
menyelesaikan kemiskinan. Dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan dengan jelas disebutkan bahwa tujuan pengelolaan perikanan adalah di
samping meningkatkan taraf hidup nelayan, juga diperuntukkan sebagai upaya
meningkatkan penerimaan dan devisa negara, kesempatan kerja, kebutuhan
konsumsi protein ikan, optimalisasi pengelolaan sumberdaya ikan, dan menjamin
Mukim25%
PanglimaLaot51%
Geuchiek12%
Tidak Tahu12%
Geuchik16%
Panglima Laot54%
Mukim19%
Tidak Tahu11%
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 40 of 51
kelestarian. Mengenai konsep pengelolaan sendiri sebenarnya juga dengan tegas
disebutkan Pasal 2 UU Perikanan, di mana pengelolaan perikanan dilakukan
berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan,
keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.
4.3.4 Pengelolaan Berbasis Masyarakat (Community Based Management)
Pengelolaan berbasis masyarakat dilakukan agar masyarakat merasa ikut
memiliki habitat penyu. Dengan ikut memiliki, maka masyarakat bisa ikut
berpartisipasi, sehingga dengan partisipasi aktif dari masyarakat diharapkan
program penyelamatan penyu dan ekosistem pesisir bisa lebih berhasil. Salah satu
kegiatan yang telah dilakukan agar pengelolaan berbasis masyarakat bisa berjalan
dengan efektif, adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya
penyelamatan penyu.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan masyarakat di lokasi
penelitian kabupaten Aceh Besar, sebanyak 64% masyarakat menyatakan setuju
dalam hal perlindungan habitat penyu dan 36% sangat setuju serta tidak ada
masyarakat yang menyatakan tidak setuju untuk melindungi habitat penyu di setiap
desa penelitian di Kabupaten Aceh Besar (Gambar 4.17).
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 41 of 51
Gambar 4.17. Pendapat Masyarakat terhadap Perlindungan Habitat Penyu diKabupaten Aceh Besar
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan masyarakat di lokasi penelitian
kabupaten Aceh Jaya , sebanyak 79,5 % masyarakat menyatakan setuju dalam hal
perlindungan habitat penyu dan 20,5 % sangat setuju serta tidak ada masyarakat
yang menyatakan tidak setuju untuk melindungi habitat penyu di setiap desa
penelitian di Kabupaten Aceh Besar (Gambar 4.18).
Gambar 4.18 Pendapat Masyarakat terhadap Perlindungan Habitat Penyu diKabupaten Aceh Jaya
0
5
10
15
20
25Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Setuju Apabila adamanfaat untuk saya
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Sangat setuju Setuju Tidak Setuju Setuju ApabilaAda Manfaatuntuk saya
Keude Panga
Kuta Tuha
Alue Pit
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 42 of 51
Bersamaan dengan meningkatnya eksploitasi penyu, pada tahun 1978
pemerintah Indonesia menghadiri Conference on the International Trade of
Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan menyetujui untuk
menghentikan perdagangan penyu laut di dunia internasional (Adnyana, 1997: 6).
Setelah konferensi ini, pemerintah mulai mengambil beberapa tindakan secara
bertahap untuk melindungi penyu laut, seperti yang diringkas online oleh The Turtle
Foundation (2002), yang dijelaskan pada Tabel 4.5.
Namun, undang-undang Indonesia tersebut di atas sering dianggap hanya cara
untuk memuaskan kritik pemerhati lingkungan nasional dan internasional.
Meskipun demikian jenis penyu yang paling sering diperdagangkan, yaitu Penyu
sisik (Eretmochelys imbricata) dan Penyu Hijau, tidak dilindungi sampai tahun
1996 dan tahun 1999. Di tingkat internasional semua jenis penyu telah masuk dalam
daftar Appendix 1 CITES pada tahun 1978 yang artinya perdagangan penyu secara
internasional telah dilarang (KSBK, 1999). Walaupun undang-undang perlindungan
penyu sudah ditetapkan, namun masyarakat di lokasi penelitian ini mengaku masih
mengkonsumsi telur penyu yang diperjualbelikan secara bebas. Sebanyak 76% dari
total responden di kabupaten Aceh Besar menyatakan pernah mengkonsumsi telur
penyu dan sisanya tidak pernah sama sekali (Gambar 4.19).
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 43 of 51
Tabel 4.5 Perundang-undangan pelestarian PenyuUndang-undang Tahun Akibat terhadap penyu di IndonesiaKeputusan MenteriPertanianNo. 327/Kpts/Um/5/1978
1978Status terlindung untuk jenis Penyubelimbing (Dermochelys coriacea)
Keputusan MenteriPertanianNo. 716/Kpts/-10/1980
1980Status terlindung untuk jenis Penyu sisik(Eretmochelys imbricata) Semu andPenyu Tempayan
Peraturan PemerintahRepublik Indonesia No.5/1990 tentang KonservasiSumber Daya Alam Hayatidan Ekosistemnya (Pasal 21dan 40)
1990
Setiap orang dilarang untuk: Menangkap, melukai, membunuh,
menyimpan, memiliki, memelihara,mengangkut, dan memperniagakanpenyu yang dilindungi dalamkeadaan hidup;
Mengeluarkan penyu yangdilindungi dari suatu tempat diIndonesia ke tempat lain di dalamatau di luar Indonesia;
Memperniagakan, menyimpan,memiliki (atau mengeluarkan darisuatu tempat di Indonesia ke tempatlain di dalam atau di luar Indonesia)kulit, tubuh, atau bagian-bagian lainpenyu yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut;
Mengambil, merusak,memusnahkan, memperniagakan,menyimpan atau memiliki telurdan/atau sarang penyu yangdilindungi.
Pelanggar penyu dan/atau telurnya dapatdikenakan: Sanksi hukuman penjara paling lama
lima tahun dan denda paling banyakseratus juta rupiah.
Keputusan MenteriKehutanan No.882/Kpts/2/1996
1996Status terlindung untuk jenis PenyuPipih
Keputusan MenteriKehutanan No.771/Kpts/2/1996
1996
Status terlindung untuk jenis Penyu sisik(Eretmochelys imbricata)Masa ini Indonesia adalah satu-satunyanegeri di Dunia yang belum melindungipenyu hijau (Whitten, 1996)
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 44 of 51
Peraturan PemerintahRepublik Indonesia No.7/1999 tentang PengawetanJenis Tumbuhan dan Satwa
1999
Semua jenis penyu Laut, termasukPenuy Hijau, dilindungi di Indonesia.
Mengirim atau mengangkut penyu didalam atau di luar Indonesia harusmendapat izin dari Menteri.
Peraturan PemerintahRepublik Indonesia No. 8tentang Pemanfaatan JenisTumbuhan dan Satwa
1999
Barang siapa mengambil penyu atautelur dari habitat alam tanpa izin dapatdihukum denda adminsitrasi sebanyak-banyaknya Rp. 40 juta dan/ataudihukum tidak diperbolehkanmelakukan kegiatan pemanfaatan penyudan telurnya.
Gambar 4.19. Konsumsi telur penyu di Kabupaten Aceh Besar
Sebanyak 74% dari total responden di kabupaten Aceh Jaya menyatakan
pernah mengkonsumsi telur penyu dan sisanya tidak pernah sama sekali (Gambar
4.20).
76%
24%Pernah
Tidak pernah sama sekali
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 45 of 51
Gambar 20. Konsumsi telur penyu di Kabupaten Aceh Besar
Sebagian besar masyarakat mengkonsumsi telur penyu dari hasil tangkapan
di pinggir pantai dan membelinya di pasar. Hal ini patut menjadi perhatian bagi
masyarakat dan Dinas Kelautan dan Perikanan dalam usaha menjaga kelestarian
penyu dan habitatnya. Diharapkan juga dikeluarkan regulasi pelarangan dan sanksi
yang tegas bagi pelaku perdagangan penyu di Kabupaten Aceh Besar. Padahal hasil
wawancara terhadap penjual telur penyu kisaran harga satu butir bervariasi
tergantung musim, dengan kisaran harga Rp. 5.000 hingga Rp. 10.000,-.
Hasil wawancara sebanyak 113 responden, mereka tidak mengetahui pasti
jumlah telur yang diperjual belikan setiap musimnya, namun kisaran rata-rata setiap
bertelur satu ekor penyu menghasilkan 100-150 butir telur. Mengingat satu tahun
musim penyu bertelur antara tiga sampai empat kali dan setiap telurnya Artinya,
jika tindakan pengambilan telur dan memeperdagangkan telur penyu tidak
dihentikan, maka kecil harapan anak cucu kita nanti akan dapat melihat penyu itu
sendiri.
74%
26%
Pernah Tidak Pernah
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 46 of 51
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan kajian ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan penting dalam
menjaga kelestarian penyu dan habitatnya di kabupaten Aceh Besar dan kabupaten
Aceh Jaya, yaitu perlunya pengawasan (monitoring controlling and surveillence)
yang berbasis masyarakat. Selain itu, penyadaran masyarakat (public awareness)
juga harus diperkuat dalam menjaga hewan yang dilindungi ini agar tidak terjadi
pengumpulan telur-telur yang diperjual belikan secara illegal. Dalam hal itu, perlu
juga dibangun penguatan hukum lembaga adat Panglima Laot di wilayah Aceh
Besar dan Aceh Jaya dalam penanganan konservasi penyu. Tidak kalah pentingnya,
dalam rumusan ini juga diharuskan pembentukan pengembangan DPL (Daerah
Perlindungan Laut) guna menjamin keberadaan penyu untuk generasi yang akan
datang.
Arahan kebijakan pengelolaan dan perlindungan penyu pada jangka pendek
perlu adanya Pengelolaan dan perlindungan Penyu Berbasis Masyarakat. Pada
jangka menengah perlu pengembangan penangkaran penyu dan ekowisata berbasis
perlindungan penyu pada jangka panjang diharapkan pengelolaan dan perlindungan
penyu berbasis ekowisata secara kompherensif dan terpadu
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 47 of 51
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman RA. (1997). The Nest Environment and The Embryonic Development
Of Sea Turtles. In: Lutz, P.L., and Musick, J.A. (Eds.). The Biology of Sea
Turtles. Boca Raton: CRC Press, pp. 83-106.
Adnyana, I. B. W & C. Hitipeuw. 2009. Panduan melakukan pemantauan populasi
penyu di pantai peneluran di Indonesia. WWF-Indonesia & Universitas
Udayana. 31 p.
Adnyana, W. 1997. Studies on the Harvesting and Diseases of Wild-Caught Marine
Turtles in Indonesia. Disertasi tidak diterbitkan. Australia: Program
Pascasarjana di Australian Institute of Tropical Veterinary and Animal
Sciences, James Cook University.
Anderson, L.G. 1976. The Relationship between firms and fishery in
commonproperty fisheries. Land Econ., 52: 179–91.
Anderson, L.G. 1986. The economics of fisheries management. Johns Hopkins
University Press, Baltimore. 296 pp.
Broderick. A & M. Coyne. 2005. Sea turtle glossary. http://www.seaturtle.org/
glossary/index.shtml?term=False+Crawl+Attempt.Download at 30th
May 2010.
Carr, A. 1972. “Great Reptiles, Great Enigmas”, Audubon No. 2, pp 504-515.
Clark, C.W. 1985. Bioeconomics modelling and fisheries management. John Wiley
and Sons, New York : 291 pp.
Croll, E. dan Parkin, D. 1992. ‘Anthropology, the Environment and Development’,
dalam Croll, E. dan Parkin, D. (eds) Bush Base: Forest Farm – Culture,
Environment and Development. London: Routledge.
Fauzi, A., 2004. Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Gordon, H.S. 1954. The economic theory of a common-property resources: The
Fishery. J. Polit. Econ., 62: 124 – 42.
Hitipeuw C, Dutton PH, Benson S, Thebu Julianus and Bakarbessy J. (2007).
Population Status and Internesting Movement of Leatherback Turtles,
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 48 of 51
Dermochelys coriacea, Nesting on the Northwest Coast of Papua,
Indonesia. Chelonian Conservation Biology, Chelonian Conservation
Biology 6(6):28-36.
KSBK. 1999. Turtle Slaughter in Bali Island: monitoring perdagangan penyu di
Bali. Malang: KSBK.
Mangunjaya, F. M. (2006). Hidup harmonis dengan alam: esai-esai pembangunan
lingkungan, konservasi, dan keanekaragaman hayati Indonesia. Yayasan
Obor Indonesia.
Munro, G.R., and A.D. Scott. 1984. The economics of fisheries management.
University of British Columbia, Vancou-ver : 96pp.
ProFauna Indonesia. 2003. Perdagangan Penyu Sisik di Indonesia. Malang:
ProFauna Indonesia.
Scace, R.C., E. Grifone, and R. Usher. (1992). Ecotourism in Canada. Quebec:
Canadian Environmental Advisory Council.
Schaefer, M.B. 1957. Some considerations of population dynamics and economics
in relation to the management of marine fisheries. J. Fish. Res. Board Can.,
14 : 669–81.
Sofyan, 2006. Pemodelan Keragaan Sektor Perikanan untuk Pengembangan
Ekonomi Sumber daya dan Regional Pesisir: Suatu Analisis Model
Hybrid. Disertasi, Tidak Dipublikasikan. Sekolah Pasca Sarjana, IPB.
Bogor
The Turtle Foundation. 2002. Legislation Relevant to Turtle Conservation in
Indonesia. (Online), (www.turtle-foundation.org, diakses 2 Maj 2004).
Tuwo, Ambo. (2011). Pengelolaan Ekowisata Pesisir Dan Laut. Surabaya: Brilian
Internasional.
Wallace BP, Sotherland PR, Spotila JR, Reina RD, Franks BF, Paladino FV. (2004).
Abiotic and Biotic Factors.
Warpani, Suwardjoko P. & Warpani, Indira P. (2007). Pariwisata Dalam Tata Ruang
Wliayah. Bandung: Penerbit ITB.
Weaver, David. (2008). Ecotourism, 2nd
ed. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 49 of 51
Whitten, T. 1996. ‘Conservation of Marine Turtles’ dalam Whitten, T. and Whitten,
J. (eds) Indonesian Heritage Vol 5: Wildlife. Jakarta: Buku Antar Bangsa
(Grolier International, Inc.).
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 50 of 51
Lampiran Foto-Foto Lapangan
Laporan Kajian Ekowisata Konservasi penyu di Aceh Jaya dan Aceh BesarPage 51 of 51