1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan pernyataan sejumlah pengamat pemilu di berbagai media massa
didapatkan suatu kecenderungan bahwa pemberitaan media massa terhadap pemilu
dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) cenderung bersifat negatif (Rumah Pemilu,
2015; Haq, 2007; Amri & Ansari, 2013; Sendhikasari, 2013). Temuan tersebut juga
sesuai dengan hasil riset singkat peneliti tentang pola pemberitaan pemilu pada
Pemilu 2009 yang hasilnya memang secara umum kinerja KPU dalam pemberitaan
media massa cenderung negatif. Yang dimaksud negatif di sini adalah sebagian besar
pemberitaan mengangkat tema bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu
mengalami banyak masalah, banyak melakukan kesalahan sehingga dapat
disimpulkan bahwa KPU kurang mampu menyelenggarakan pemilu secara
profesional dan sesuai dengan harapan publik. Jika pemberitaan-pemberitaan
tersebut benar dan objektif, dapat diproyeksikan bahwa pemilu akan gagal
dilaksanakan atau penuh dengan kekacauan yang “masif, terstruktur dan sistematis”.
Pada kenyataannya pelaksanaan pemilu memang belum sempurna namun dapat
dikatakan berjalan dengan cukup baik dan layak diterima hasilnya terbukti dengan
diterimanya hasil pemilu walaupun tentu saja terdapat sejumlah sengketa hasil
pemilu yang telah diselesaikan di Mahkamah Konstitusi1.
Peneliti pernah mewawancarai sejumlah pelaksana pemilu 2009 di tingkat
kecamatan dan desa di Kabupaten Gunungkidul. Mereka menyatakan bahwa
pemberitaan di media cenderung berlebihan dan hanya menambah bahan bakar bagi
pihak-pihak yang ingin menjadikan pemilu sebagai lahan masalah atau
menggunakan isu pemilu demi kepentingan kelompoknya. Contohnya adalah
gugatan oleh salah satu calon peserta pemilu legislatif 2009 dari daerah pemilihan DI
1 Dalam riset singkat tersebut didapatkan 123 kliping pemberitaan terkait Pemilu 2009, 80 kliping dari
harian Kedaulatan Rakyat dan 43 kliping dari Kompas yang dikumpulkan oleh KPU Kabupaten
Gunungkidul terkait berita-berita KPU di tingkat pusat, DI Yogyakarta dan KPU Kabupaten
Gunungkidul. Dari sampel kliping tersebut didapatkan hasil bacaan bahwa sebagian besar tema
pemberitaan bersifat negatif (dengan tema masalah, kekacauan, kesalahan, ketidaksiapan dan tema
sejenis lainnya) bagi tahapan pemilu yang dilaksanakan oleh KPU dan tidak ada satupun pemberitaan
yang memberikan liputan yang positif atau apresiasi di setiap tahapan. Padahal narasumber yang
dikutip oleh awak media sebagian besar berasal dari penyelenggara pemilu seperti KPU dan Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu).
2
Yogyakarta yang bagi para panitia pelaksana pemilu tidak dapat dimenangkan,
namun mungkin dikarenakan pemberitaan yang tidak berimbang tentang betapa
kacaunya pelaksanaan pemilu maka sang calon legislatif “terperdaya” untuk terus
mengusahakan gugatan tersebut yang pada akhirnya hanya menghabiskan banyak
dana, baik bagi sang penggugat itu sendiri atau bagi KPU untuk mengumpulkan
data-data yang begitu banyak. Pada akhirnya kasus tersebut tidak dikabulkan oleh
Mahkamah Konstitusi karena tidak memiliki bukti yang cukup. Hal ini juga terulang
kembali pada pemilu 2014 di mana energi dan sumber daya bangsa ini dihabiskan
untuk memperdebatkan hasil pemilu presiden, yang mungkin salah satu sebabnya
adalah masih kurangnya kredibilitas dan reputasi KPU sebagai pelaksana pemilu
yang profesional dan layak dipercaya hasil perhitungannya. Jika saja reputasi dan
kredibilitas KPU sudah teruji, maka kemungkinan semakin kecil potensi sengketa
hasil pemilu itu terjadi karena para pihak yang mengajukan keberatan akan sangat
kesulitan mendapatkan bukti yang kuat untuk mendukung tuntutannya.
Dengan melihat fenomena tersebut, maka KPU idealnya perlu
memperhatikan manajemen komunikasi organisasinya terutama dalam aspek
hubungan masyarakat (humas) dan lebih spesifik lagi pada aspek hubungan media.
Aspek ini penting untuk semakin meningkatkan kinerja, citra, reputasi dan juga
kredibilitas KPU sebagai penyelenggara pemilu dan lembaga pemerintah yang dapat
dipercaya (Soekartono, 2010; Komisi Pemilihan Umum, 2014). Sejak
direformasinya lembaga penyelenggara pemilu dengan dibentuknya KPU di tahun
1999, dapat dilihat suatu kecenderungan bahwa aspek hubungan media ini cukup
mendapat perhatian dari KPU. Hal ini dapat dibuktikan dengan dibuatnya ruang
khusus media center di seluruh KPU baik KPU kabupaten/kota dan juga KPU
provinsi pada pemilu tahun 2009.
Pembentukan media center merupakan salah satu awal yang baik bagi
terjalinnya hubungan media yang konstruktif. Karena banyak hal yang
mempengaruhi bagaimana media massa lebih menekankan suatu isu dibandingkan
isu lainnya. Dari sisi hubungan media, di antaranya adalah kedekatan atau intensitas
kerjasama antara KPU dengan media massa dan awak media yang meliput
pelaksanaan pemilu. Walaupun tentu saja awak media tidak begitu saja dengan
mudah diarahkan untuk menampilkan berita yang mendukung lembaga, dikarenakan
sifat dasar media yang diharapkan selalu bersikap kritis dan skeptis terhadap sumber
3
beritanya untuk menghasilkan pemberitaan yang mendorong kemajuan wawasan
publik (Luhman, 2000).
Namun hasil dari usaha awal yang prospektif tersebut sampai saat ini belum
berhasil mengangkat tema-tema pemberitaan yang konstruktif bagi pelaksanaan
pemilu. Contoh terbarunya adalah pada pemilu 2014 yang lalu ketika media ramai-
ramai membicarakan kekisruhan DPT, media cenderung hanya mendapatkan
informasi dari kalangan partai politik dan lembaga swadaya masyarakat (LSM),
jarang terdengar mereka menyelidiki permasalahan tersebut ke para pihak yang
mengerjakan pendataan DPT tersebut (yaitu panitia pendaftar pemilih dan operator
di KPU). Selain itu jarang sekali media menampilkan berita yang jelas, mengapa
DPT itu kacau, faktor apa saja yang menyebabkannya dan apa penjelasan KPU dan
pihak terkait terhadap masalah DPT tersebut.
Dari model pemberitaan hingar-bingar itu masyarakat hanya mendapatkan
hiruk-pikuk masalah namun tidak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi serta
pilihan solusi apa yang dapat dilakukan. KPU sebagai penyedia informasi dan media
massa sebagai penyebarnya tidak mampu memberikan wacana yang konstruktif
tentang masalah pemilu tersebut, sehingga bisa jadi akan menghasilkan pemahaman
masyarakat yang mungkin tidak tepat. Selain itu pemberitaan pemilu yang cenderung
negatif, dalam jangka panjang akan membuat reputasi KPU sebagai penyelenggara
pemilu semakin rendah dan bisa jadi membuat masyarakat menjadi semakin apatis
serta enggan mengikuti proses demokrasi tersebut (Tulung, 2013).
Secara kinerja kehumasan, apa yang terjadi pada pemberitaan tentang pemilu
atau KPU dapat dikatakan disumbangkan oleh beberapa faktor kelemahan dalam
aspek komunikasi (humas) dari KPU. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu
terkesan tidak responsif dalam memberikan informasi-informasi penting tahapan
pemilu dan dalam menanggapi krisis atau masalah yang terjadi. KPU terlihat tidak
mengembangkan hubungan media yang baik untuk dapat merespon pemberitaan
yang negatif yang pada akhirnya langsung atau tidak langsung dapat mengganggu
pelaksanaan pemilu. Padahal stigma (reputasi) penyelenggara pemilu selama 32
tahun Orde Baru berkuasa adalah sebagai tukang stempel kecurangan pemilu di
mana jamak diketahui bahwa penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan melakukan
kecurangan demi kemenangan partai pendukung pemerintah (pada masa itu
4
kelompok pendukung pemerintah adalah Golongan Karya atau sekarang disebut
dengan partai Golkar). Sehingga perlu usaha keras untuk mengikis stigma tersebut
dan menunjukkan bahwa penyelenggara pemilu sekarang yaitu KPU merupakan
lembaga yang memiliki kredibilitas dan profesionalitas yang semakin baik dan dapat
dipercaya hasil pekerjaannya.
Idealnya kinerja komunikasi, citra, reputasi dan kredibilitas lembaga KPU
Kabupaten Sleman merupakan hasil dari usaha sistematis semua unsur dalam
lembaga tersebut untuk mengkomunikasikan berbagai program dan informasi
penting kepada masyarakat. Tanpa pelaksanaan manajemen komunikasi yang tepat,
informasi internal antar bagian akan macet dan begitu pula kinerja lembaga secara
keseluruhan, kinerja KPU tidak akan diketahui oleh masyarakat, program-program
kerja tidak tersosialisasikan dengan baik kepada pemangku kepentingan, informasi
eksternal macet yang tentu akan menghambat program kerja dan berbagai kekacauan
lainnya. Oleh karena itu, posisi manajemen komunikasi idealnya mendapatkan porsi
perhatian yang setidaknya mencukupi untuk dapat mendukung keberhasilan program
kerja lainnya yang pada akhirnya meningkatkan citra dan reputasi lembaga sehingga
meningkatkan kredibilitas lembaga (Argenti, 2009; Cornelissen, 2004). Salah satu
aspek penting dalam manajemen komunikasi di lembaga adalah hubungan media.
Hubungan media merupakan salah satu aspek penting bagi semua organisasi
termasuk lembaga pemerintah. Bagi lembaga pemerintah tujuan yang hendak dicapai
adalah kelancaran program kerja, kelancaran pelayanan publik dan penguatan
kelembagaan melalui peningkatan kredibilitas, citra dan reputasi lembaga di hadapan
publik (Garnett, 1992; Marek, 2003).
Di sisi lain pemberitaan media massa merupakan wacana yang dominan
dalam masyarakat. Meskipun media massa dengan pemberitaannya belum mampu
menggiring opini masyarakat secara langsung, namun setidaknya dapat menggiring
perhatian masyarakat terhadap masalah yang diangkat (Kleinnijenhuis et al, 2006).
Jika media massa memberitakan isu A maka sebagian besar masyarakat akan
memperhatikan topik A tersebut dan sebaliknya jika media memberitakan isu B
maka sebagian masyarakatpun akan memperhatikan topik B tersebut yang sering
diistilahkan dengan teori “agenda setting” (Cornelissen, 2004).
5
Selain faktor-faktor pentingnya media bagi lembaga pemerintah dalam
fenomena-fenomena yang dibahas di atas, tema hubungan media yang merupakan
aspek terpenting dalam hubungan masyarakat di lembaga pemerintah khususnya
KPU dalam pengamatan peneliti belum banyak diteliti secara mendalam. Jika kita
menelusuri google.com maka sebagian besar hasil riset yang dapat diakses masih
berkutat pada aspek kehumasan secara umum pada lembaga pemerintah dan
pemerintah daerah, atau jikapun terdapat sejumlah penelitian tentang hubungan
media di lembaga pemerintah, sebagian besar menyasar pada lembaga-lembaga
kementerian di pusat dan lembaga pemerintah daerah baik provinsi dan
kabupaten/kota, contohnya adalah skripsi tentang kegiatan hubungan media yang
dijalankan bagian Humas Pemerintah Kota Yogyakarta (Saputro, 2009). Dalam
penelusuran tersebut, peneliti hanya mendapatkan sedikit sekali penelitian terkait
humas KPU dan tercatat hanya satu penelitian berupa tesis terkait media center KPU
itupun di tingkat KPU pusat saat menghadapi krisis logistik pada pemilu 2004
(Irawati, 2005), kemudian skripsi tentang program sosialisasi KPU di sejumlah KPU
provinsi dan kabupaten baik dalam pemilu dan juga pemilukada (Devi, 2010;
Rochmah, 2010). Selain itu, dengan melakukan penelusuran hasil penelitian
elektronik di perpustakaan Universitas Gadjah Mada terdapat sejumlah penelitian
terkait kehumasan dan khususnya hubungan media yang sebagian berbentuk skripsi
di antaranya tentang hubungan media (media relations) di Kementerian Pekerjaan
Umum (PU) (Novitasari, 2014). Tesis tentang penggunaan media sosial on line oleh
praktisi humas di Yogyakarta (Pienrasmi, 2015). Skripsi tentang humas Badan
Pemeriksa Keuangan terkait dengan Undang-undang keterbukaan informasi publik
(Hidayati, 2014). Sehingga menurut saya penelitian tentang hubungan media di KPU
Kabupaten Sleman ini cukup signifikan untuk dilakukan setidaknya sebagai
tambahan konteks pengetahuan kehumasan di KPU Kabupaten Sleman yang
mungkin saja memiliki perbedaan-perbedaan konteks dan masalah.
B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang masalah di atas, tesis ini berusaha menjawab dua
pertanyaan yaitu:
1. Bagaimana pelaksanaan hubungan media KPU Kabupaten Sleman dalam
pemberitaan pemilu 2014?
6
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi proses pelaksanaan hubungan media
tersebut?
C. Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kinerja
hubungan media yang dilaksanakan oleh KPU pada saat Pemilu 2014 di mana
momen tersebut merupakan salah satu momentum yang menentukan kinerja,
kredibilitas dan reputasi lembaga.
2. Selain itu riset ini juga bertujuan mengetahui faktor-faktor internal dan eksternal
apa saja yang mempengaruhi kinerja hubungan media yang dijalankan oleh KPU
Kabupaten Sleman selama tahapan Pemilu 2014.
D. Manfaat Penelitian
1. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh tambahan pengetahuan tentang aktifitas
hubungan media yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Sleman sebagai lembaga
pemerintah dan dialektikanya dengan awak media dalam masalah pola
pemberitaan pemilu. Pengetahuan ini dapat dimanfaatkan sebagai tambahan
bukti, referensi atau konteks bagi riset-riset serupa yang mencoba mengaitkan
antara manajemen komunikasi lembaga pemerintah dengan arah pemberitaan.
2. Dari pengetahuan di atas, publik yang berminat dapat memperoleh manfaat
praktis khususnya bagi pelaksana humas di lembaga pemerintah, terutama KPU
di berbagai tingkatan tentang bagaimana idealita dan realita hubungan media
yang dijalankan pelaksana pemilu untuk menghasilkan pemberitaan yang
konstruktif bagi pelaksanaan pemilu dan membantu meningkatkan kredibilitas
penyelenggara pemilu. Dengan memiliki modal pengetahuan tersebut, para
pelaksana pemilu memiliki setidaknya pemahaman yang mencukupi untuk terus
mengembangkan kompetensi pribadinya di bidang kehumasan dan hubungan
media yang semakin optimal sesuai dengan yang diharapkan dalam teori-teori
hubungan media.
E. Kerangka Pemikiran
E.1. Humas
E.1.1 Definisi
Grunig dan Hunt mendefinisikan istilah humas atau public relations (PR) sebagai
sekumpulan tata kelola atau manajemen komunikasi organisasi terhadap publiknya
(Grunig et al, 2002; Tench et al, 2009; Hunt & Grunig, 1994). Sedangkan Cutlip,
Center dan Broom mendefinisikan humas sebagai fungsi manajemen yang
7
membangun dan menjalankan hubungan baik yang saling menguntungkan antara
organisasi dengan publik yang berpengaruh terhadap kesuksesan dan kegagalan
organisasi (dalam Watson & Noble, 2007). Dalam referensi lainnya ditambahkan
sejumlah kata mencakup proses komunikasi, pengawasan dan fungsi-fungsi teknis
komunikasi yang bersifat strategis dan menyeluruh dari suatu lembaga untuk
menjalin komunikasi yang baik dan mendapatkan kesepahaman dengan semua pihak
yang berkepentingan terhadap organisasi tersebut sehingga pada akhirnya
memberikan dampak positif bagi organisasi (Harvard Business School Publishing
Corporation & The Society for Human Resource Management, 2006).
E.1.2 Cakupan.
a. Humas Internal dan Eksternal
Humas di organisasi besar seperti perusahaan multinasional telah
berkembang menjadi manajemen komunikasi yang secara menyeluruh menangani
berbagai masalah komunikasi lembaga baik eksternal dan internal. Humas internal
merupakan fungsi komunikasi yang menangani berbagai masalah komunikasi di
dalam internal lembaga seperti hubungan antara pimpinan dan pekerja, sosialisasi
kebijakan organisasi kepada pekerja, memperkuat ikatan organisasi dengan pekerja
melalui berbagai metode seperti pelatihan, rekreasi dan integrasi keluarga pekerja ke
dalam organisasi (Novitasari, 2014, hal. 9). Singkatnya humas internal bertujuan
mengoptimalkan kinerja pekerja dengan memperbaiki alur komunikasi di dalam
organisasi untuk menghasilkan kinerja organisasi yang optimal. Jika alur komunikasi
internal tidak optimal maka kecil kemungkinan humas eksternal dapat berjalan
optimal karena kedua aspek komunikasi ini saling mempengaruhi.
Sedangkan fungsi humas eksternal secara ringkas merupakan usaha
organisasi mengelola komunikasi dengan berbagai pihak luar organisasi yang terkait
atau pemangku kepentingan. Di dalam organisasi bisnis fungsi ini memiliki sejumlah
sub fungsi seperti hubungan dengan media atau pers, investor, komunitas,
pemerintah, publik, pemasaran dan lain sebagainya (Argenti, 2009). Selain itu fungsi
kehumasan juga membantu bagian-bagian atau departemen lain di dalam organisasi
yang mengalami masalah komunikasi (Hunt & Grunig, 1994). Humas memiliki
posisi dan kewenangan yang tinggi serta strategis dalam struktur perusahaan modern
(Argenti, 2009). Namun dalam prakteknya di organisasi-organisasi kecil dan
menengah, apalagi di Indonesia fungsi humas ini seringkali masih ditempatkan di
8
bagian yang kecil dan lebih pada tugas-tugas protokoler dan hubungan eksternal
(Novitasari, 2014).
b. Kompetensi Kehumasan Manajerial dan Teknis
Humas menurut Grunig dan Hunt merupakan paduan antara kemampuan
teoritis manajerial kehumasan dan teknis-teknis komunikasi kehumasan.
Kemampuan teknis humas mencakup berbagai kemampuan teknis komunikasi
seperti kemampuan liputan media, menulis pidato dan rilis pers, menulis dan
mendesain brosur, memproduksi video iklan, negosiasi dengan pihak luar,
berkomunikasi dengan masyarakat, melobi pihak pihak eksternal, mengadakan acara
khusus dan menulis laporan tahunan. Sedangkan kemampuan manajerial atau teoritis
humas mencakup kemampuan melakukan riset, perencanaan, sumbang-saran kepada
pimpinan, evaluasi program dan kemampuan manajerial lainnya (Hunt & Grunig,
1994).
Selain itu, dalam hal kompetensi kehumasan ini, perlu keseimbangan dan
atau alokasi personil yang tepat untuk menghasilkan program humas yang optimal.
Sekedar memiliki staf yang menguasai teknis-teknis kehumasan dan menjalankannya
tanpa memperhatikan aspek manajerial kehumasan akan menghasilkan repetisi
aktifitas teknis humas yang tidak didasarkan oleh pemikiran komunikasi yang
menyeluruh. Hasil dari pelaksanaan teknik-teknik humas semata tidak akan
menghasilkan program humas yang optimal karena publik yang dihadapi terus
berubah sehingga diperlukan waktu jeda untuk melakukan riset, evaluasi dan
perencanaan menyeluruh selanjutnya. Sedangkan sekedar menguasai kemampuan
manajerial kehumasan juga hanya akan menghasilkan rencana program humas yang
bagus di kertas namun gagal dalam prakteknya.
c. Siklus Program Kerja Humas
Menurut sejumlah ahli kehumasan (Argenti, 2009), berikut ini adalah
beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menghasilkan siklus program humas
yang efektif baik bagi organisasi di antaranya:
1. Perencanaan atau menentukan tujuan yang jelas dan terukur, setiap organisasi
memiliki alasan yang berbeda-beda saat berkomunikasi dengan publiknya
sehingga penentuan tujuan yang jelas dan spesifik disertai dengan ukuran
keberhasilan yang juga terukur akan mempermudah pelaksanaan program
komunikasi tersebut.
2. Memperhitungkan sumber daya yang tersedia, yaitu mencakup:
9
a. Anggaran, perlu diperhitungkan anggaran atau biaya suatu strategi
komunikasi, tidak hanya biaya dalam jangka pendek namun yang lebih
penting adalah akibat atau biaya jangka panjang dan juga biaya reputasi,
citra serta kredibilitas lembaga.
b. Sumber daya manusia, untuk menghasilkan program komunikasi yang
sukses memerlukan sumber daya manusia yang setidaknya mencukupi
dengan kompetensi yang cukup pula dan disesuaikan dengan kondisi yang
dihadapi oleh organisasi tersebut.
c. Waktu, organisasi idealnya mengalokasikan waktu yang tepat dengan kata
lain responsif dalam menjalankan program komunikasi yaitu
mengalokasikan waktu sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh
organisasi, dengan memprioritaskan kepentingan jangka panjang untuk
meminimalisir bertumpuknya masalah di masa depan. Penumpukan masalah
ini biasanya menghasilkan krisis yang lebih sulit dihadapi.
3. Evaluasi, organisasi perlu melakukan evaluasi hasil program sebagai dasar acuan
untuk melakukan program komunikasi selanjutnya. Menakar posisi awal ini di
antaranya dengan melakukan riset persepsi konstituen terhadap organisasi,
sehingga diketahui persepsi terkini konstituen terhadap organisasi. Selanjutnya
organisasi dapat melakukan program perbaikan atau peningkatan.
E.1.3. Model Humas.
Dalam kehumasan terdapat berbagai macam praktek humas yang masing-
masing memiliki perbedaan. Secara ringkas berbagai variasi tersebut
dikategorisasikan menjadi model-model kehumasan yang terdiri dari empat model
humas. Model humas ini dikembangkan dan dipopulerkan oleh Grunig dan Hunt.
Empat model kehumasan tersebut di antaranya:
1. Model publisitas (pers agentry/publicity).
Model kehumasan yang memiliki tujuan utama propaganda atau penyebaran
informasi organisasi kepada publik agar publik menyesuaikan diri dengan
organisasi, sifat komunikasi di dalamnya satu arah dan di dalamnya kebenaran
utuh tidak penting sehingga yang penting adalah agenda organisasi.
2. Model informasi publik (public information).
Dalam model humas sebagai pelaksana informasi publik, humas bertujuan utama
menyebarkan informasi kepada publik dengan alur komunikasi satu arah.
Berbeda dengan model agen pers/publisitas, dalam model informasi publik
10
kebenaran informasi merupakan hal yang penting sehingga kredibilitasnya lebih
baik.
3. Model timbal balik asimetris (two way asymmetric) atau persuasi ilmiah.
Model ini menggunakan landasan riset ilmiah untuk mempengaruhi publik dan
memberikan stimulus pemikiran kepada publik agar sesuai dengan agenda
organisasi. Namun model ini masih dominan hanya dalam usaha merubah
perilaku publik agar sesuai agenda organisasi namun kurang memberikan ruang
terhadap perubahan perilaku organisasi untuk menyesuaikan diri dengan aspirasi
publik.
4. Model timbal balik simetris (two way symmetric)
Merupakan model humas yang paling ideal karena tidak hanya merupakan usaha
merubah publik sesuai agenda organisasi namun juga memberikan input bagi
organisasi untuk terus menyesuaikan diri dengan publiknya. Dengan kata lain
humas dengan model ini merupakan media diskusi antara organisasi dan
publiknya untuk mencapai kesepahaman bersama (dirangkum dari Hunt &
Grunig, 1994; Putra & Sukarno, 2013).
Di dalam setiap organisasi, sejumlah faktor yang sangat berpengaruh
terhadap pilihan model dan bagaimana pelaksanaan kehumasan di antaranya adalah:
1. Kultur organisasi yang tepat. Kultur organisasi yang baik seperti karakter
lembaga yang terbuka, kompetitif atau berbagai karakter organisasi yang positif
lainnya serta kultur organisasi yang menempatkan reputasi dan kredibilitas
lembaga sebagai salah satu hal yang terpenting akan menghasilkan program
komunikasi yang setidaknya dipikirkan dan dirumuskan secara strategis.
2. Kepemimpinan yang memberikan akses dan perhatian terhadap aspek humas
secara logis akan mendukung pelaksanaan program humas. Walaupun tipe
kepemimpinan di berbagai lembaga seringkali bersifat unik sesuai dengan
karakter pribadi pemimpin, faktor yang penting adalah apakah kepemimpinan
tersebut sesuai dengan kondisi organisasi dan mendorong bawahannya
memperhatikan aspek humas dan memperkuat kinerja komunikasinya. Umumnya
karakter kepemimpinan yang terbuka dan responsif memiliki kecenderungan
perhatian yang lebih tinggi terhadap aspek humas di dalam lembaganya.
3. Struktur organisasi yang mendukung berkembangnya kehumasan yang baik.
Penempatan fungsi komunikasi pada posisi yang tepat akan sangat
11
mempengaruhi kinerja komunikasi dan pada akhirnya meningkatkan kinerja
organisasi secara keseluruhan. Dalam sejumlah literatur kehumasan disebutkan
semakin tinggi penempatan struktur fungsi komunikasi dalam suatu lembaga
cenderung menghasilkan kinerja komunikasi yang optimal (Kurnia & Putra,
2004).
4. Anggaran dan sumber daya manusia yang mencukupi (empat poin ini disadur
dari Vos & Westerhoudt, 2008; Argenti, 2009).
Faktor-faktor di atas merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan
pilihan model, pelaksanaan dan juga keberhasilan program humas. Tanpa
bersinerginya berbagai faktor tersebut, akan sulit menghasilkan program kerja
humas yang sukses dan memberikan pengaruh positif bagi lembaga, seperti citra
positif dan peningkatan kredibilitas lembaga.
E.2. Humas Pemerintah
Humas pemerintah secara definisi relatif serupa dengan definisi humas
organisasi umum seperti yang dinyatakan oleh Grunig dan Hunt, yaitu sebagai media
komunikasi timbal-balik antara lembaga pemerintah dengan publik luas. Garnett
(1992) menyatakan bahwa lembaga pemerintahan di berbagai level memiliki
kewajiban memberitahu publik dan mendengarkan publiknya dengan kata lain
humas pemerintah adalah penyebar informasi dan pendengar aspirasi publik.
Dalam konteks negara maju seperti Amerika Serikat (AS) istilah PR lembaga
pemerintah oleh publik Amerika Serikat-pun dikritisi oleh sebagian publik dan
dianggap tidak tepat dalam menjembatani komunikasi antara publik dan lembaga
pemerintah karena dikonotasikan memiliki pengaruh yang buruk bagi opini publik
terhadap pemerintahan. Sehingga fungsi PR dalam pemerintahan AS menggunakan
berbagai istilah lain seperti staf, pengelola atau ahli informasi publik, urusan publik,
publikasi, komunikasi dan lain sebagainya. Namun secara garis besar fungsi
kehumasan di dalamnya tetap dijalankan oleh lembaga pemerintah dengan
perubahan istilah yang dianggap tidak terlalu „ofensif’ dan lebih bersifat memenuhi
kepentingan publik (Turney, 2009).
Sedangkan perkembangan humas di Indonesia sebagai jembatan komunikasi
pemerintah dengan pihak luar secara sadar telah dijalankan sejak awal pembentukan
negara. Walaupun tentu saja dengan berbagai keterbatasan dan berbagai perubahan
12
kondisi umum pemerintahan, humas pemerintah berjalan mengikuti dinamika yang
terjadi. Di masa awal kemerdekaan bidang komunikasi digunakan sebagai media
mengkomunikasikan usaha kemerdekaan dan diplomasi internasional serta
konsolidasi kekuatan negara. Di masa Orde Baru peran komunikasi atau humas
didominasi oleh pemerintahan untuk menstabilkan kondisi negara dan menguasai
serta mengendalikan aliran informasi di masyarakat melalui Departemen
Penerangan. Selain itu sejak tahun 1970-an dibentuk Badan Kordinasi Hubungan
Masyarakat (Bakohumas) yang mengkordinasi humas antar departemen dan lembaga
pemerintah di berbagai level baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota (Kurnia dan
Putra, 2004). Dalam perkembangan terbaru di era pasca Reformasi ketika demokrasi
mulai ditegakkan, fungsi komunikasi dan humas di lembaga pemerintah mulai
direvitalisasi melalui berbagai pembentukan tata perundangan tentang alur informasi
publik dan reformasi birokrasi. Sehingga fungsi komunikasi pemerintah dan juga
humas pemerintah sepertinya diarahkan kembali sesuai dengan definisi humas ideal,
yaitu menjadi simpul komunikasi dua arah antara organisasi dengan publiknya.
Walaupun dalam prakteknya humas pemerintah di sebagian besar lembaga
pemerintah masih menerapkan komunikasi searah yang ditandai dengan dominannya
penggunaan media massa sebagai saluran komunikasi dalam menyebarkan informasi
kepada publik (Lubis, 2012).
Humas pemerintah banyak memiliki kesamaan dan seringkali
dikomparasikan dengan humas di organisasi bisnis, namun dalam aspek tertentu
memiliki sejumlah perbedaan dengan humas di lembaga bisnis. Sejumlah perbedaan
tersebut di antaranya dalam hal yang mendasari pentingnya humas dan tujuan
pelaksanaan humas. Dalam humas pemerintah, kegiatan humas lembaga pemerintah
didasari oleh kewajiban pemerintahan yang demokratis terhadap publiknya dalam
memberikan informasi, edukasi dan pemberdayaan publik serta yang paling penting
adalah sebagai media komunikasi antara pemerintah dan masyarakat sebagai usaha
untuk memenuhi kewajiban lembaga menjalankan misi utamanya yaitu melayani
publik. Untuk itu humas di lembaga pemerintah memiliki sejumlah tujuan yang
sedikit berbeda dari tujuan humas di lembaga bisnis, di antaranya:
1. Menjalin interaksi dengan publik dalam rangka membuat publik mengetahui
kondisi lembaga pemerintah, mendidik dan memberdayakan publik terkait
program-program kerja lembaga pemerintah yang melibatkan publik.
13
2. Melayani hak publik terhadap informasi dan menghasilkan kebijakan pemerintah
yang transparan.
3. Dengan kinerja komunikasi yang baik akan menghasilkan citra positif,
peningkatan reputasi dan kredibilitas lembaga.
4. Meningkatnya reputasi dan kredibilitas lembaga akan meningkatkan kepercayaan
publik dan meningkatkan partisipasi publik terhadap kebijakan lembaga (disadur
dari Vos & Westerhoudt, 2008).
Dengan melihat tujuan komunikasi lembaga pemerintah di atas, diperoleh
gambaran cakupan fungsi yang ditangani oleh fungsi kehumasan di lembaga
pemerintah di antaranya fungsi pelayanan informasi publik, fungsi
periklanan/kampanye, sosialisasi, pendidikan dan penyuluhan lembaga, hubungan
media, komunikasi internal dan manajemen krisis. Semua fungsi kehumasan tersebut
secara keseluruhan pada akhirnya juga terkait dengan identitas, citra, reputasi dan
kredibilitas lembaga pemerintah (Garnett, 1992). Dalam perkembangan terbaru
kehumasan di lembaga pemerintah di Indonesia, fokus utama fungsi humas di era
terkini adalah penguatan fungsi akses komunikasi publik, hal ini ditandai dengan
penguatan berbagai dasar peraturan dan infrastruktur untuk memberikan akses
pelayanan publik yang lebih baik (Hidayati, 2014).
Humas pemerintah sepertihalnya humas di organisasi bisnis memiliki dua
cakupan pekerjaan yaitu humas atau komunikasi internal dan eksternal. Usaha-usaha
fungsi humas internal di organisasi bisnis tersebut juga dilakukan oleh lembaga
pemerintah seperti dalam pelatihan pegawai, acara-acara penguatan kelembagaan
melalui pelatihan dan rekreasi untuk memperkuat ikatan internal organisasi, namun
istilah „bagian‟ atau departemen mana yang mengerjakan humas internal tersebut
seringkali lebih banyak dikerjakan oleh bagian sumber daya manusia atau bagian
umum. Dalam organisasi pemerintah fungsi humas eksternal juga menerapkan
pembagian sub fungsi-fungsi tersebut dengan variasi atau adaptasi istilah yang pada
dasarnya komunikasi dengan pemangku kepentingan eksternal seperti hubungan
antar lembaga, hubungan media, laporan kinerja kepada publik, respon masalah
publik, meningkatkan penggunaan layanan lembaga, pendidikan dan kampanye serta
pemberdayaan masyarakat (Lee et al , 2012). Pada umumnya fungsi eksternal inilah
yang benar-benar ditangani oleh bagian humas di lembaga pemerintah, contohnya
dalam memberikan pelayanan informasi publik, hubungan dengan lembaga lain,
14
sosialisasi dan penyuluhan program kerja kepada masyarakat dan pemberdayaan
serta peningkatan partisipasi masyarakat terhadap program kerja lembaga.
E.3. Hubungan media
Dengan merangkum sejumlah referensi kehumasan, hubungan media
merupakan salah satu bagian yang paling penting dan juga disebut sebagai asal-
muasal fungsi kehumasan (Hunt & Grunig, 1994; Theaker, 2001). Definisi hubungan
media menurut Grunig menekankan pada idealisme bahwa hubungan media
merupakan jalinan hubungan baik antara praktisi humas dengan media massa dalam
jangka panjang untuk menghasilkan liputan yang positif bagi lembaga dan publik.
Sedangkan Cutlip, Center dan Broom (dalam Putra dan Sukarno, 2013) menyatakan
hubungan media adalah spesialisasi dalam humas yang berfungsi membangun dan
memelihara hubungan mutualisme antara organisasi dengan berbagai saluran
komunikasi dalam hal ini media massa yang meliput di organisasi tersebut. Selain itu
hubungan media dirumuskan sebagai usaha diseminasi informasi yang dilakukan
oleh organisasi kepada pemangku kepentingan sesuai dengan agenda lembaga
tersebut melalui kerjasama peliputan media massa profesional (Argenti, 2009).
Definisi tersebut serupa dengan Jefkins (dalam Putra dan Sukarno, 2013) yang
menyatakan hubungan media adalah usaha humas untuk mendapatkan
publisitas/liputan media secara maksimal.
Dalam hubungan media, salah satu acuan dalam menilai apakah program
hubungan media tersebut berjalan dengan baik adalah pola pemberitaan lembaga
yang sering disebut dengan publisitas baik atau publisitas buruk (good or bad
publicity). Istilah ini dalam sejumlah riset dirumuskan sebagai arah (tone) atau sifat
berita yang secara sederhana dapat dikategorikan berdasarkan judul atau tema utama
ke dalam berita favourable, netral dan unfavourable, dengan kata lain berita positif,
netral dan negatif (Hunt & Grunig, 1994). Dalam riset ini kategorisasi tersebut juga
diperluas dengan memasukkan kategori kecenderungan seperti condong negatif atau
condong positif untuk mengakomodir pesan-pesan berita yang mungkin tidak
eksplisit dan ekstrim dalam menampilkan kata-kata kunci baik dalam judul dan juga
tema berita.
Hubungan media di lembaga pemerintah memiliki perbedaan dibandingkan
dengan hubungan media di organisasi non pemerintah yang menghasilkan perbedaan
15
perlakuan media di dalamnya. Perbedaan tersebut di antaranya adalah bahwa
hubungan media dengan lembaga pemerintah lebih asimetris dan cenderung dikuasai
oleh lembaga pemerintah dikarenakan media massa sebagai institusi bisnis memiliki
keterbatasan kekuasaan dan akses lainnya dibandingkan dengan lembaga
pemerintah. Selain itu media massa juga sangat bergantung terhadap lembaga
pemerintah dalam hal narasumber berita sehingga sebenarnya banyak faktor yang
dapat memudahkan hubungan media lembaga pemerintah (Berita Kementerian,
2014; Lee et al, 2012). Namun di negara-negara penganut sistem demokrasi seperti
Indonesia di masa ini, kesenjangan atau hegemoni lembaga pemerintah terhadap
media massa semakin berkurang seiring dengan menguatnya nilai demokrasi dan
aktifisme publik, sehingga lembaga pemerintah semakin perlu memperhatikan aspek
hubungan medianya. Karena media massa di satu sisi bisa menjadi rekan kerja baik
dalam menyebarkan informasi kelembagaan kepada publik seluas-luasnya namun di
sisi lain dapat menyebarkan informasi negatif yang berakibat buruk bagi kredibilitas
lembaga jika kinerja hubungan media suatu lembaga tidak berjalan baik.
Tujuan hubungan media di lembaga pemerintah di antaranya adalah:
1. Berinteraksi dengan publik luas dan membuat publik luas paham dengan
kebijakan yang diambil oleh suatu lembaga pemerintah serta membentuk
kebijakan yang transparan.
2. Membangun dan mempertahankan kredibilitas lembaga pemerintah di mata
publik di antaranya melalui perbaikan citra lembaga dan meningkatkan profil
lembaga di media. Tidak seperti iklan atau advertorial, pemberitaan positif
terhadap suatu lembaga memiliki kredibilitas yang lebih tinggi di mata
publik. Sehingga hubungan media yang menghasilkan pemberitaan positif,
jauh lebih efektif dalam meningkatkan kepercayaan publik dari pada iklan
dan advertorial.
3. Merubah perilaku dari publik yang ditargetkan (sosialisasi, kampanye dan
edukasi), di lembaga pemerintah seperti KPU, perubahan perilaku publik
terhadap pemilu merupakan salah satu hal terpenting dalam menghasilkan
pemilu yang berkualitas. Sejumlah perubahan sikap tersebut di antaranya
adalah peningkatan partisipasi pemilih, peningkatan kualitas pemilih dan hasil
pemilihan (pemilih cerdas, kampanye anti politik uang dan berbagai aspek
lainnya).
16
4. Mempengaruhi keputusan politik dari lembaga lain yang terkait. Dalam hal
ini KPU dengan lembaga negara lainnya terutama yang sangat berpengaruh
bagi kinerja KPU. Profil media KPU yang kredibel akan mempengaruhi
keputusan politik di berbagai level. Dengan perubahan sikap di lembaga-
lembaga yang terkait dengan KPU seperti kepala daerah, pemutus kebijakan
anggaran, legislatif pusat dan lembaga kepresidenan maka berbagai masalah
yang dihadapi KPU akan mendapatkan dukungan yang optimal dari lembaga
negara lainnya (disadur dari Vos & Westerhoudt, 2008; Theaker, 2001).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, walaupun hubungan antara
lembaga pemerintah dengan media massa memiliki ketimpangan terutama dalam hal
akses kekuasaan dan ketergantungan media terhadap informasi dari lembaga
pemerintah. Dalam perkembangan terkini khususnya di Indonesia ketika pemerintah
telah menerapkan dan menegakkan demokrasi dan terus meningkatkan peran serta
masyarakat dalam berbagai kebijakan publik, maka aspek hubungan media humas
pemerintah perlu semakin diperkuat. Karena melalui medialah, lembaga pemerintah
dapat dengan mudah dan seluas mungkin menyebarkan informasi kepada publik dan
sekaligus mendapatkan respon atau reaksi publik terhadap suatu kebijakan untuk
mendapatkan rumusan kebijakan yang komprehensif dan sesuai dengan aspirasi
rakyat (Garnett, 1992).
Agar lembaga memiliki hubungan media yang baik, lembaga tersebut harus
memiliki pola pikir bahwa yang terpenting dalam hubungan media adalah hubungan
baik jangka panjang antara praktisi atau aktor humas dengan awak media (Hunt &
Grunig, 1994). Hubungan baik ini sebenarnya merupakan wujud strategi komunikasi
komunikasi yang terintegrasi dan komprehensif meliputi rencana jangka pendek,
jangka menengah dan jangka panjang (Argenti, 2009). Hubungan media yang baik
juga membutuhkan sejumlah prasyarat sikap, baik dari sisi praktisi humas dan juga
dari awak media. Sikap-sikap tersebut diantaranya saling menghormati,
kesepahaman, saling percaya dan kemampuan saling mentoleransi berbagai
keterbatasan antara kedua profesi yang saling membutuhkan tersebut (Hunt &
Grunig, 1994).
17
Selain sikap-sikap tersebut, menurut Hunt dan Grunig (1994) terdapat
setidaknya tiga hal yang harus dilakukan oleh praktisi hubungan media yang akan
menghasilkan hubungan media yang optimal di antaranya:
1. Kemampuan dalam bekerjasama dan memberikan informasi yang baik kepada
media.
2. Membangun kredibilitas agar dapat selalu diandalkan sebagai sumber berita
yang terpercaya.
3. Membangun hubungan pribadi yang baik dengan awak media.
Sedangkan secara teknis, menurut Grunig dan Hunt hubungan media
mencakup sejumlah pekerjaan teknis hubungan media, di antaranya:
1. Konferensi pers, yaitu narasumber memberikan informasi kepada sekelompok
wartawan, biasanya menanggapi suatu isu yang sedang hangat dibicarakan.
2. Press briefing (pengarahan kepada awak pers), yaitu pemberian informasi
secara rutin oleh humas atau pejabat lembaga kepada wartawan tentang
berbagai perkembangan terkini lembaga.
3. Kunjungan wisata bersama awak media, yaitu lembaga mengadakan
kunjungan ke wilayah wisata dengan mengikutsertakan wartawan untuk
menjalin ikatan pribadi yang lebih baik.
4. Siaran pers, yaitu memberikan informasi kepada awak media untuk dimuat di
medianya, biasanya dalam bentuk tulisan baik cetak dan juga elektronik.
5. Acara khusus, saat menjalankan suatu acara khusus, lembaga mengundang
dan memfasilitasi wartawan untuk turut serta dan meliput acara tersebut.
6. Jamuan makan bersama awak media, serupa dengan kunjungan wisata,
jamuan makan dengan wartawan memberikan wadah bagi pimpinan dan
wartawan untuk dapat menjalin hubungan baik.
7. Wawancara individual, yaitu pelaksanaan wawancara antara pimpinan dengan
seeorang wartawan secara khusus untuk memberikan informasi yang terkesan
eksklusif.
8. Wawancara atau temu bicara di radio dan atau televisi.
9. Serta kunjungan ke redaksi media, yaitu kunjungan pimpinan lembaga untuk
audiensi kepada pimpinan dan redaksi media untuk menjalin kerjasama
dengan instansi media.
18
Terdapat beberapa jenis media yang saat ini diperhatikan oleh masyarakat di
antaranya adalah media cetak seperti koran, majalah, media suara seperti radio,
media audio visual seperti televisi dan juga media yang terbaru yaitu media on line
yang dapat bersifat tulisan, audio, visual dan bahkan interaktif (Parsons, 2008).
Pemahaman aktor humas terhadap masing-masing jenis media perlu diperdalam
untuk mendapatkan hubungan media yang efektif dan efisien karena kesalahan
pemilihan mitra media massa dan kurang tepatnya target audiens akan sangat
mempengaruhi cakupan pemangku kepentingan yang ingin dicapai oleh suatu
kegiatan diseminasi informasi (Argenti & Barnes, 2009). Di masing-masing media
ini terdapat berbagai perbedaan cara kerja pemberitaan yang perlu juga dipahami
oleh praktisi humas dan hubungan media untuk dapat menghasilkan program
hubungan media yang optimal, di antaranya pengetahuan tentang pangsa pasar
media, filosofi dan idealisme media, aktor penentu munculnya pemberitaan dan
berbagai aspek lainnya.
F. Kerangka Konsep
Penelitian ini bertujuan membahas pelaksanaan salah satu program yang
terpenting bagi humas pemerintah yaitu hubungan media. Hubungan media adalah
jalinan kerjasama antara aktor humas dengan media massa profesional untuk
menghasilkan liputan yang positif bagi lembaga. Hubungan media dapat dikatakan
merupakan inti pekerjaan humas berdasarkan sejumlah riset tentang humas lembaga
pemerintah di berbagai tingkatan lembaga dan pemerintah daerah. Hubungan media
mencakup setidaknya tiga prinsip agar dapat berjalan dengan optimal yaitu meliputi
membangun kredibilitas pelaksana hubungan media agar dapat dipercaya sebagai
sumber berita, mengembangkan hubungan pribadi yang baik antara humas dengan
awak media dan kemampuan kerjasama yang dimiliki oleh humas dan lembaga.
Untuk menggambarkan teknis pelaksanaan hubungan media dapat dilihat dari
bagaimana proses pelaksanaan berbagai program hubungan media yang secara
umum meliputi siklus pelaksanaan program kehumasan yaitu bagaimana fact finding
atau riset awal dalam program hubungan media yang dijalankan. Kemudian
bagaimana communicating/pelaksanaan atau implementasi program hubungan media
seperti aspek perencanaan dan realisasi program (anggaran, SDM dan implementasi
teknis). Yang terakhir adalah bagaimana evaluasi program hubungan media yang
telah dijalankan sebagai dasar perencanaan selanjutnya.
19
Selain itu riset ini juga membahas berbagai faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi pelaksanaan hubungan media. Faktor-faktor tersebut mencakup
faktor kelembagaan KPU secara umum dan juga kondisi khusus di KPU Kabupaten
Sleman. Sejumlah faktor penting yang menentukan bagaimana kinerja dan proses
dalam program hubungan media tersebut di antaranya adalah kultur organisasi,
persepsi pimpinan terhadap kegiatan hubungan media yang mencakup bagaimana
persepsi, pemahaman, pengertian dan penerapan para aktor kunci KPU Kabupaten
Sleman terhadap hubungan media. Hasil dari persepsi aktor utama hubungan media
tersebut akan mempengaruhi bagaimana posisi humas dalam struktur organisasi.
Kelanjutan dari pemahaman pimpinan dan penempatan humas sebagai pengelola
hubungan media tersebut akan tercermin dalam model perencanaan dan pelaksanaan
alokasi sumber daya mencakup SDM dan anggaran.
Bagan 1 Pelaksanaan Hubungan Media
Tabel 1 Kerangka Konsep
N
o.
Konsep Penjelasan Indikator
1. Hubungan
media
Jalinan hubungan baik dan
kerjasama antara humas
dengan media massa
profesional untuk
menghasilkan liputan positif
bagi lembaga.
Membahas bagaimana:
kredibilitas, hubungan pribadi dan
kemampuan kerjasama aktor
humas dalam hubungan media
serta membahas bagaimana
pelaksanaannya.
2. Membangun
kredibilitas
aktor humas
Keadaan karakter pribadi dan
tingkat usaha untuk
menguasai informasi
kelembagaan agar dapat
dipercaya oleh media massa
Aspek ini dapat dilihat dengan
membahas bagaimana profil, sifat
dan karakter aktor, arti penting
hubungan media bagi aktor dan
penguasaan informasi.
Prinsip hubungan media:
Membangun kredibilitas humas
Mengembangkan hubungan pribadi
Kemampuan kerjasama
Siklus Program Hubungan Media
Perencanaan / riset Awal
Pelaksanaan: alokasi anggaran, SDM dan waktu
Evaluasi
Teknis Hubungan Media:
konferensi pers
press briefing
kunjungan wisata
siaran pers
acara khusus
jamuan/media gathering
wawancara individual
dialog interaktif
media visit
output liputan
Faktor-faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan hubungan media
20
sebagai narasumber berita.
3. Mengembang
kan
hubungan
pribadi
Jalinan komunikasi
personal/non formal antara
humas dengan awak media
dalam rangka mempererat
kerjasama profesional.
Bagaimana implementasi dalam
menjalin hubungan secara pribadi
dengan awak media, keterbukaan
dan komunikasi interpersonal
4. Kemampuan
kerjasama
Tingkat profesionalisme
humas dalam menjalin
kerjasama dengan awak
media dan menjalankan
program-program teknis
hubungan media.
Membahas bagaimana keahlian
humas dalam memberikan
informasi dan melaksanakan
kegiatan teknis hubungan media
5. Siklus
program
hubungan
media
Merupakan bentuk ideal
pelaksanaan hubungan media
mencakup fact finding –
implementasi
(communicating) – evaluasi.
Membahas bagaimana pelaksanaan
riset awal, implementasi program
mencakup perencanaan dan
realisasi program (anggaran,
personil dan waktu), serta evaluasi
sebagai bahan perencanaan
lanjutan.
6. Output
hubungan
media
Hasil dari kegiatan hubungan
media yang secara sederhana
dapat dinilai dengan meneliti
pola peliputan yang
dilakukan oleh media.
Bagaimana pola dalam sampel
pemberitaan bagi KPU Kabupaten
Sleman (cenderung negatif, netral
atau positif).
7. Faktor yang
mem-
pengaruhi
Berbagai kondisi yang
mempengaruhi pelaksanaan
hubungan media mencakup
faktor internal organisasi dan
eksternal.
Dalam aspek ini akan membahas
apa saja dan bagaimana kondisi
internal lembaga dan eksternal
yang terkait dalam mempengaruhi
pelaksanaan hubungan media.
G. Metodologi Penelitian
G.1. Pendekatan dan Metode Penelitian.
Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu tidak sebatas meneliti data-data yang
ada namun juga mencoba menggali berbagai hal yang mungkin saja mendasari
munculnya data tersebut terutama terkait dengan subjektifitas aktor-aktor yang ada di
dalam proses yang diteliti. Sedangkan metode penelitian yang akan digunakan
adalah penelitian deskriptif yang akan berusaha menggambarkan proses di dalam
program hubungan media yang dijalankan KPU Kabupaten Sleman. Metode
deskriptif ini digunakan untuk lebih memperdalam bagaimana interaksi di dalam
proses hubungan media tersebut sebagai cerminan atau proyeksi atas kinerja
komunikasi kelembagaan secara keseluruhan dengan mendeskripsikan semua proses
yang terjadi dan membandingkan idealita hubungan media dengan realitas hubungan
21
media yang terjadi di KPU Kabupaten Sleman (Novitasari, 2014, hal. 30-39;
Pienrasmi, 2015, hal. 20-35).
G.2. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam riset ini di antaranya dokumentasi-dokumentasi
terkait organisasi KPU kemudian kaitannya dengan hubungan media di KPU
Kabupaten Sleman seperti data perencanaan dan realisasi anggaran dan data-data
lainnya serta sampel kumpulan kliping pemberitaan tentang KPU Kabupaten Sleman
di Kedaulatan Rakyat, Harian Jogja dan Radar Jogja. Selain itu, data-data tertulis
tersebut juga diperkuat dengan wawancara dan observasi terhadap aktor-aktor
penting dalam program hubungan media di antaranya ketua dan anggota KPU
Kabupaten Sleman, pejabat sekretariat yang membidangi humas, keuangan, SDM
dan perencanaan serta staf pelaksana humas.
G.3. Teknik Pengumpulan Data
a. Pembacaan terhadap dokumen-dokumen, yaitu analisa terhadap dokumentasi
program hubungan media yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Sleman
meliputi:
i. Latar belakang organisasi (sejarah, asas, visi dan misi, dasar pemikiran dan
berbagai aspek terkait lainnya) dari KPU sebagai penjelasan konteks dasar
kultur komunikasi yang hendak dibangun yang mungkin saja
membedakannya dari lembaga pemerintah lainnya.
ii. Kebijakan umum atau dasar peraturan pelaksanaan yaitu bagaimana
kebijakan umum terkait hubungan media, aturan tertinggi sebagai dasar
hukum hubungan KPU dengan media, arahan dari KPU pusat, KPU
provinsi, struktur organisasi KPU dalam mengelola aspek komunikasi
lembaga, serta pemahaman pimpinan terhadap pentingnya hubungan media.
iii. Perencanaan, di antaranya tentang perencanaan porsi anggaran dan personil
terhadap aspek hubungan media.
iv. Penerapan dan realisasi, kondisi riil penerapan hubungan media yang
dijalankan oleh KPU Kabupaten Sleman.
v. Dan keluaran (output), hasil dari usaha hubungan media yang mewujudkan
dirinya dalam bentuk pemberitaan media massa yang akan diambil dari
sampel pemberitaan.
vi. Serta berbagai faktor baik pendukung dan penghambat di dalam proses
tersebut.
22
Kemudian analisa dokumentasi hasil program hubungan media, peneliti akan
mengumpulkan dan menganalisa sejumlah sampel dokumentasi pemberitaan
tertulis terutama berupa kliping dan dokumentasi berita media cetak, pemilihan
kliping tersebut dilakukan untuk setidaknya menghasilkan proyeksi atau
cerminan pola pemberitaan pemilu 2014 yang muncul di media lokal Kabupaten
Sleman. Tidak digunakannya media televisi dan radio dikarenakan kesulitan
teknis untuk merekam dan menyimpan bukti-bukti hasil pemberitaan. Analisa
terhadap data pemberitaan tersebut dilakukan dengan menggunakan sudut
pandang humas KPU Kabupaten Sleman untuk mengetahui kecenderungan
seberapa banyak kemunculan berita pemilu yang positif, cenderung positif,
netral, cenderung negatif dan yang negatif berdasarkan judul berita dan juga tema
berita secara keseluruhan. Melalui kliping-kliping atau dokumentasi berita
tersebut, peneliti juga akan mencari siapa saja yang menjadi narasumber dalam
berita tersebut. Hal ini untuk mengetahui sebaran narasumber yang digunakan
oleh awak media terhadap munculnya pola pemberitaan yang ada dan
mengetahui aktor humas mana saja yang terlibat aktif dalam hubungan media
sebagai sumber berita.
b. Wawancara, setelah pembacaan terhadap dokumentasi-dokumentasi di atas
dilanjutkan dengan wawancara terhadap aktor-aktor kunci hubungan media di
KPU Kabupaten Sleman untuk mendapatkan bagaimana persepsi mereka
terhadap pentingnya komunikasi, humas dan khususnya hubungan media bagi
kepentingan lembaga. Selain persepsi dari wawancara tersebut juga didapatkan
bagaimana peran aktor humas tersebut dalam hubungan media selama periode
tersebut. Wawancara tersebut sebagai bahan pembanding atas data-data dokumen
yang telah didapatkan sebelumnya. Dengan wawancara ini maka akan diketahui
apa saja yang mungkin menjadi faktor atau konteks munculnya data dokumen
yang ada.
c. Observasi, sebagai penguat serta untuk memvalidasi data-data dokumentasi dan
wawancara, dilakukan observasi partisipatif secara langsung yaitu observasi oleh
peneliti yang juga mengikuti proses tersebut secara langsung dan tidak sekedar
melakukan observasi dari jauh terhadap proses komunikasi di dalam program-
program hubungan media serta berbagai proses terkait di dalamnya untuk melihat
bagaimana interaksi antar aktor di dalam proses hubungan media tersebut.
Observasi ini diperlukan untuk membuktikan terutama hasil wawancara terhadap
23
aktor yaitu apakah apa yang dinyatakan oleh aktor tersebut sesuai dengan
tindakan atau implementasinya di lapangan.
G.4. Teknik Analisis Data
a. Reduksi data, pengumpulan data terutama terkait dengan data dokumentasi baik
kliping berita dan juga dokumentasi program kerja hubungan media di KPU
Kabupaten Sleman merupakan hasil dari pengerucutan berbagai data yang
dikumpulkan. Dalam hal kliping berita, pengumpulan berita dibatasi dan disaring
hanya pada berita yang bertemakan pemilu di Kabupaten Sleman dengan kata-
kata kunci Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sleman, pemilu di
Kabupaten Sleman dan semua organisasi penyelenggara pemilu di bawahnya.
Pengerucutan ini untuk mendapatkan konteks berita yang memiliki keterkaitan
paling erat dengan lembaga KPU Kabupaten Sleman.
b. Penyajian data disajikan dengan kalimat yang deskriptif untuk kemudian
ditambahkan dengan hasil analisa dari peneliti dalam melihat data-data yang ada.
Hasil analisa tersebut merupakan hasil konfirmasi dengan data-data lain yang
muncul.
c. Pengambilan kesimpulan, hasil dari rangkuman data-data serta hasil verifikasi
dan validasi data-data tersebut dianalisa dan dirumuskan menjadi kesimpulan dan
juga saran-saran.
G.5. Uji Keabsahan Data
Keabsahan data dalam riset ini didapatkan dengan melakukan konfirmasi
atau verifikasi antar data yang didapatkan. Contohnya dalam menganalisa pola
pemberitaan akan dikonfrontir dengan persepsi aktor-aktor kunci hubungan media di
KPU Kabupaten Sleman untuk mendapatkan kesepahaman atau kesepakatan
terhadap analisa yang disimpulkan oleh peneliti.
G.6. Lokasi dan Waktu Penelitian
a. Lokasi.
Lokasi penelitian dilaksanakan di kantor KPU Kabupaten Sleman Jalan
Merbabu no. 19 Denggung Sleman.
b. Waktu.
Penelitian ini telah dimulai sejak pengumpulan sampel data-data kliping
berita terkait pemilu dan KPU Kabupaten Sleman di media koran harian Kedaulatan
Rakyat, Harian Jogja dan Radar Jogja sejak Januari 2014 sampai dengan Juli 2014.
Pembatasan pengambilan sampel pada jangka waktu tersebut dilakukan dengan dasar
24
pemikiran bahwa pada masa itu merupakan masa pelaksanaan Pemilu 2014 di mana
akan tersedia banyak berita terkait pemilu dan juga KPU Kabupaten Sleman,
sehingga pengumpulan kliping berita akan lebih mudah dilakukan dan hasil sampel
diharapkan dapat semakin memperkuat argumentasi penelitian ini. Sedangkan
pengumpulan data lainnya seperti wawancara dan pengumpulan data tambahan akan
dilakukan pada Juli 2015. Untuk pelaksanaan observasi dilakukan selama tahapan
Pemilu 2014 dengan cara terus mengikuti dan mencatat interaksi antar aktor dalam
hubungan media.