BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di tengah kehidupan masyarakat yang cenderung individualis dan rasionalis,
banyak orang masih memelihara dan mempertahankan kehidupan ritual yang
bersifat transenden emosional dan kolektif. Salah satu perayaan dari sekian
banyak ritual perayaan di dunia yang sering dilakukan masyarakat adalah ritual
perayaan Imlek. Imlek atau dikenal sebagai Tahun Baru Cina (Chinese New Year)
sering dirayakan di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Orang-orang
keturunan Tionghoa yang berlatar agama yang berbeda sepert Buddha, Khatolik,
Protestan, Islam, Tao dan Khonghucu merayakan hari Imlek. Perayaan itu
nampak di sepanjang jalan dan pusat perbelanjaan dengan dibentangkannya
spanduk dan digelarnya atraksi Barongsay dan Liong. Barongsay merupakan
sejenis macan yang berwajah agak lucu, sedang Liong merupakan sejenis ular
naga.
Walaupun perayaan Imlek itu kini sudah milik bersama, tetapi para penganut
Khonghucu merayakannya dengan melakukan ritual khusus. Orang-orang
Tionghoa termasuk penganut Agama Khonghucu menganggap bahwa Imlek
merupakan milik mereka yang diperoleh dari warisan para leluhur mereka.
Orang-orang Khonghucu mengakui bahwa Imlek merupakan bagian dari ritual
perayaan Agama Khonghucu. Agama Khonghucu sering disebut
“Konfusianisme” atau dalam Bahasa Inggris disebut “Confucianism” merupakan
sistem sosial, politik, etika, dan pemikiran keagamaan berdasarkan Khonghucu
dan para penggantinya.1
Di Indonesia perayaan Imlek mengalamai dinamika dalam pelaksanaannya.
Hal ini disebabkan faktor politik yang mempengaruhinya. Pemerintah Soekarno
pernah memberlakukan perayaan Imlek pada masa orde lama. Pada masa Orde
Baru, pemerintah tidak mengakui Khonghucu sebagai agama secara jelas, tetapi
bagian dari agama Buddha. Perayaan atau pesta agama dan adat istiadat Cina
pada masa orde ini terdapat pembatasan lagi dalam perayaannya secara terbuka.
Selanjutnya perayaan Imlek mulai dirayakan kembali secara nasional sejak
dikeluarkannya Keppres Nomor 6 Tahun 2000 pada masa pemerintahan
Abdurahman Wahid. Sejak itu perayaan atau pesta agama dan adat istiadat Cina
sudah tidak ada pembatasan lagi dalam arti bisa dilakukan secara terbuka. Begitu
juga pada saat Pemerintahan Megawati, presiden mengeluarkan kepres no 19,
tahun 2002 yang menetapkan hari raya Imlek sebagai hari libur nasional. Para
penganut agama Khonghucu masih tetap memelihara dan mengadakan ritual, baik
secara individu maupun kolektif di perayaan tersebut.
Kegiataan ritual perayaan Imlek ini tidak hanya berdampak pada kegiatan
keberagamaan sebagai aktifitas ritual, tetapi juga berdampak pada aktifitas sosial
lainnya, diantaranya kegiatan ekonomi, transportasi, keamanan, politik dan
sebagainya. Banyaknya orang yang terlibat di dalam kegiatan ritual tersebut yang
menimbulkan orang lain untuk melakukan aktifitas lainnya, seperti berdagang,
mengamankan lalu lintas, dan konsultasi bagi pemimpin doa.
1 Keith Crim, The Perennial Dictionary of World Religions, Harper San Francisco, New
York, 1989, p. 188-189.
Lebih jelas kenyataan itu nampak pada fenomena perayaan ritual Imlek
tersebut tidak hanya di luar negeri tetapi juga di daerah-daerah, termasuk di Kota
Bandung yang dipusatkan Makin Kota Bandung Jalan Cibadak. Para penganut
agama Khonghucu di Makin Kota Bandung merayakan ritual Imlek baik di rumah
maupun di Kong Mio.
Kenyataan tersebut di satu sisi menunjukkan adanya gairah memelihara
keberagamaan di masyarakat transisi di tengah-tengah kehidupan yang penuh
diwarnai sains dan tekonologi. Padahal sebagian para saintis menganggap bahwa
agama kurang berperan lagi di abad modern yang ditandai dengan teknologi dan
ilmu pengetahuan. Fenomena banyaknya orang-orang datang mengunjungi
perayaan yang dianggap sakral tersebut menunjukkan peran agama menawarkan
solusi hidup dengan konsep kehidupan transenden dan kolektif. Penomena
perayaan Imlek terlihat pada aksi “ritual dan perayaan”. Menempatkan tradisi
keagamaan dalam bentuk kontekstual dalam dinamika perubahan sosial adalah
keniscahayaan yang harus disikapi dengan cara menciptakan wajah baru dari
ajaran agama. Dengan demikian agama menunjukkan bukanlah sekedar wacana
yang memiliki psikologi dan spiritual semata, melainkan meliputi banyak aspek
kehidupan.2 Mereka melakukan ritual perayaan Imlek tersebut memunculkan
kesan atau label khusus terhadap Khonghucu sebagai agama yang memelihara
tradisi.
Banyak orang yang mengaku beragama Khonghucu melakukan aktifitas
ritual perayaan Imlek di Kota Bandung. Hal ini menunjukkan fenomena
2 Amin Abdullah, Studi Agama, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2000, hlm. 11.
keberagamaan, karena ritual tersebut merupakan upacara keagamaan.
Sebagaimana menurut Koentjaraningrat, upacara keagamaan dalam kebudayaan
suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak paling
lahir.3 Begitu juga menurut Ahli Ilmu Perbandingan Agama, Ninian Smart
mengungkapkan bahwa agama sebagai organisme yang memiliki multidimensi,
diantaranya ritual (ritus), institusi sosial (social institution), pengalaman
keagamaan (religious experience) dan unsur lainnya.4
Dengan demikian ritual perayaan Imlek merupakan fenomena keberagamaan
di kalangan penganut Khonghucu. Mereka melakukan aktifitas ritual keagamaan
tersebut dibentuk oleh pemahaman yang mereka pahami. Sekumpulan makna
yang mereka miliki menentukan aktifitas mereka dalam kegiatan ritual Imlek.
Oleh karena itu pemahaman mereka mengenai ritual perayaan Imlek menjadi
penting untuk diteliti dan menimbulkan suatu masalah penelitian keberagamaan,
yaitu bagaimana orang-orang penganut Khonghucu memahami ritual perayaan
Imlek, sehingga mereka malakukan aktifitas ritual tersebut?
B. Rumusan Masalah
Penulis memfokuskan dalam penelitian ini pada kegiatan ritual perayaan
Imlek yang dilakukan para penganut Agama Khonghucu di Kota Bandung.
Kegiatan ritual perayaan Imlek tersebut sebagai masalah substantif, karena kajian
ini termasuk kajian agama sebagai motivasi bertindak,5 dan kajian agama sebagai
3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 375.
4 Walter H. Capps, Religious Studies The Making of a Discipline, Fortress Press, USA, 1995,
p. 308. 5 Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka
Setia, Bandung. 2000, cet. ke-1, hlm.72.
sistem budaya yang memiliki simbol.6 Di dalamnya terdapat beberapa hal berupa
”kata-kata”,” kesan”, ”institusi” dan ”prilaku”. Simbol-simbol agama tersebut
dijadikan cara dalam memahami atau menafsirkan prilaku seseorang dalam
kegiatan ritual perayaan Imlek.
Deskripsi analisis penelitian mengenai makna ritual perayaan Imlek menurut
para penganut Khonghucu tersebut dinyatakan dalam dua rumusan pertanyaan.
Kedua rumusan pertanyaan itu adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses ritual perayaan Imlek di MAKIN Kota Bandung?
2. Bagaimana pola pemahaman para penganut Khonghucu terhadap ritual
perayaan Imlek di MAKIN Kota Bandung?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini merupakan upaya mencari jawaban dari rumusan pertanyaan
bagaimana orang-orang yang mengaku penganut Agama Khonghucu memahami
ritual perayaan Imlek? Menyadari hal tersebut dan berkaitan dengan perumusan
masalah penelitian yang telah disebutkan, maka penelitian ini memiliki tujuan
penelitian yang bersifat pemahaman, bukan pengetahuan. Sebagaimana Joachim
Wach ungkapkan bahwa mempelajari agama atau bagian agama adalah dengan
maksud to understand meaning, bukan to know.7
Dengan melihat pemikiran Joachim Wach tersebut, terdapat dua tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu,
6Clifford Geertz, From the Native‟s Point of View: On the Nature of Anthropological
Understanding, dalam Buku Paul Rabinow dan Wiliam M Sulivan (Ed.), Interpretive Sosial
Science A Reader, University of California Press, California, 1979, p. 228. 7Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama -Suatu Pengantar Awal, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1996, cet.ke-1, hlm. 2.
1. Untuk memahami proses ritual perayaan Imlek yang dilakukan
para penganut Agama Khonghucu di MAKIN Kota Bandung
2. Untuk menemukan pola pemahaman penganut Khonghucu
terhadap ritual perayaan Imlek di MAKIN Kota Bandung.
Dengan demikian kegiatan ini diharapkan memenuhi kepentingan-
kepentingan dan tujuan tertentu yaitu untuk kepentingan akademik, dan berupaya
mengatasi persoalan sosial keagamaan. Dalam memenuhi tuntutan akademik,
penelitian ini diharapkan memiliki relevansi, unik, penting dan menambah
pustaka, terutama bagi jurusan Perbandingan Agama yang ada di Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Hasil penelitian ini diharapkan
berguna untuk menambah pustaka atau referensi dalam kajian agama mengenai
makna ritual keagamaan. Fenomenanya dapat berupa aktifitas ritual perayaan
Imlek di Kota Bandung sebagai aktifitas keagamaan. Secara Akademik kajian ini
relevan dengan jurusan Perbandingan Agama, karena Ilmu Perbandingan Agama
memiliki unsur kajian diantaranya pemahaman, doktrin, ritual dan tokoh agama
atau umat. Sebagaimana menurut Joachim Wach bahwa pengalaman
keberagamaan dapat diungkapkan dalam bentuk pemikiran, peribadatan dan
kelompok sosial.8
Penelitian deskripsi analisis mengenai makna ritual perayaan Imlek penting
untuk diteliti, karena untuk menambah informasi baru dan memelihara warisan
budaya yang berkaitan dengan ritual keagamaan. Walaupun penelitian tentang
ritual sering dilakukan peneliti lain dalam pencarian pengetahuan dan
8 Joachim Wach, Ilmu Perbandigan Agama, Terjemahan Djama‟nuri, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1994, hlm. VIII.
pemahamannya, tetapi penelitian ini berbeda dari beberapa hal. Persfektif, dan
pendekatan dalam penelitian ini berbeda dengan peneliti-peneliti lainnya,
sehingga dengan penelitian ini dapat memberikan informasi baru tentang cara
memandang ritual perayaan Imlek.
Di samping itu penelitian ini diharapkan memberi pengetahuan keherensi dan
konvergensi antara pemahaman teori, khususnya Ilmu Perbandingan Agama
(religious studies) melalui pendekatan sosilogi dan antropologi budaya dari gejala
ritual perayaan Imlek.
Dengan mengkaji makna ritual perayaan Imlek di kota Bandung ini,
diharapkan dapat terjadinya dialong keagamaan yaitu dialog agama dan budaya
lokal sebagai bagian dari warisan bangsa yang tumbuh di masyarakat. Di satu sisi
Khonghucu nampak belum jelas diakui sebagai agama oleh pemerintah, tetapi
para penganutnya mengakui Khonghucu sebagai agama. Di sisi lain pemerintah
mengakui Imlek yang berasal dari kebudayaan Tionghoa sebagai hari libur
nasional. Dengan demikian keberadaan ritual perayaan Imlek sebagai warisan
budaya yang diakui keberadaanya dapat menimbulkan dialog keberagamaan
Model interaksi itu tidak hanya interaksi antara orang-orang yang berkunjung
pada perayaan Imlek tersebut, tetapi terjadi pula interaksi institusi Khonghucu
yang memiliki ritual Imlek dengan dengan ekonomi, politik, transportasi,
keamanan dan sebagainya. Dialog keberagamaan ini diharapkan dapat berdampak
pada tanggung jawab manusia dalam memanfaatkan dampak dari ritual perayaan
Imlek. Sebagaiman Hans Kung ungkapkan bahwa tidak ada dialog keberagamaan
tanpa mempelajari dasar agama-agama (No religious dialogue without
investigating the foundation of the religions).9
Di samping itu, penelitian ini relevan dengan konteks pembangunan
(reformasi) nasional Indonesia. Dilihat dari keberadaan perayaan tersebut sebagai
warisan budaya yang diakui oleh pemerintah yang perlu dilindungi menunjukkan
upaya-upaya mengintegrasikan peran budaya atau agama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Upaya tersebut dianggap penting, dan perlu mendapat
perhatian, karena upaya tersebut relevan dengan upaya memelihara integrasi
bangsa yang plural termasuk isu-isu agama dan budaya.
Keberadaan perayaan tersebut sebagai bagian dari warisan kebudayaan
masyarakat tidak pernah lenyap dalam kehidupan masyarakat yang mengalami
modernisasi, karena aspek tradisional menjadi bagian dari masyarakat yang
mengalami kompleksitas. Sebagaimana Bellah10
ahli sosologi agama jelaskan
bahwa masyarakat tradisional yang memiliki arti yang berbeda-beda dalam setiap
peristiwa tertentu, tidak pernah lenyap, meskipun selalu mendapat gangguan,
karena masyarakat tradisional itu sendiri bagian dari kompleksitas masyarakat.
D. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini berawal dari masalah substantif yang penulis temukan di
lapangan yaitu banyak orang melakukan ritual perayaan Imlek. Ritual ini
dilakukan oleh banyak orang mungkin puluhan atau ratusan orang dalam satu
waktu tertentu. Keberadaan orang-orang tersebut terkadang sering menimbulkan
9 Hans Kung, Global Responsibility in Search of A New World Ethic, Translated John Bowden
Crossroad, New York, 1991, p. vii-xii. 10
Robert N Bellah, Beyond Belief –Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, Terjemahan
Rudi Harisyah Alam, Paramadina, Jakarta, 2000, cet. ke-1, hlm. 222.
kemacetan di jalan raya pada waktu-waktu tertentu, karena banyaknya orang
berkendaraan menuju lokasi perayaan tersebut. Para penganut Khonghucu
mengaku bahwa ritual Imlek merupakan bagian dari kehidupan beragama mereka.
Di satu sisi ritual perayaan Imlek tersebut dapat dipahami sebagai gejala
agama, karena ia termasuk aspek agama yaitu ritual (ritus). Di sisi lain, dampak
ritual perayaan Imlek di Kota Bandung ini dapat berimplikasi pada kegiatan sosial
lainnya, seperti ekonomi, transportasi, keamanan, pemerintahan dan sebagainya.
Terbukti adanya aktifitas berdagang, bebeberapa orang berseragam mengamankan
lalu lintas orang dan kendaraan, banyaknya kendaraan lewat, dan adanya
beberapa pejabat menunjukkan ungkapan selamat dengan kata, “Gong xi pa cai.”
Setelah penulis menemukan masalah substantif tersebut, penulis mendisain
penelitian ini dengan beberapa pertanyaan untuk dicari jawaban-jawabannya.
Persoalan penelitian ini berkaitan dengan bagaimana pola pemahaman mereka
terhadap ritual perayaan Imlek yang mereka lakukan. Upaya-upaya yang
dilakukan penulis untuk mencari jawaban tersebut penulis menggunakan
kerangka teoritis atau teori-teori yang dikerangkakan (constructed). Rumusan
teoritis yang digunakan untuk memahami makna ritual yang dilakukan orang-
orang dalam kegiatan ritual Imlek adalah teori interaksi simbolik. Teori ini
bertujuan memahami pola pemahaman orang-orang yang melakukan ritual
perayaan Imlek.
Terdapat tiga prinsip yang berkaitan dengan teori interaksi simbolik yang
diungkapkan Blumer berkaitan dengan meaning (makna), language (bahasa), dan
thought (pemikiran).11
Pertama, Blumer mengawali teorinya dengan pernyataan
bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh
”makna” yang dia pahami tentang obyek atau orang tersebut. Kedua, makna dapat
dipahami sebagai hasil dari interaksi sosial. Makna tidak melekat pada obyek,
melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari
simbol. Oleh karena itulah teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme
simbolik. Kedua penyataan Blumer tersebut menunjukkan bahwa manusia
memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu, termasuk nama, adalah tanda atau
simbol. Percakapan adalah sebuah media penciptaan makna dan pengembangan
wacana. Pemberian nama secara simbolik adalah dasar terbentuknya masyarakat.
Para pengagum teori ini memahami teori interaksi simbolik sebagai upaya
mengetahui sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan
bahwa Interaksionisme simbolik adalah cara seseorang belajar
menginterpretasikan dunia. Ketiga, Blumer menyatakan bahwa, “an individual‟s
interpretation of symbol is modified by his or her own thought processes.”
Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berpikir sebagai inner conversation,
Setelah dipahami bahwa meaning, language, dan thought memiliki
keterkaitan yang sangat erat, maka teori ini mengarah pada kesimpulan tentang
pembentukan diri seseorang (person‟s self) dan sosialisasinya dalam komunitas
(community) yang lebih besar.
Dengan demikian kerangka teori dalam penelitian ini berperan sebagai
persfektif. Ia berfungsi untuk menyelami proses penelitian, sebagai cara pandang
11
http://edsa.unsoed.net/?p=62 diundu pada tanggal 23 Nopember 2011
dan untuk menafsirkan atau memahami pola pemahaman orang-orang melakukan
ritual perayaan Imlek. Pemahaman kerangka teori ini sesuai dengan peran teori
sebagai persfektif atau paradigma yang dijadikan sebagai sudut pandang untuk
memahami atau menafsirkan dan memaknai setiap fenomena, baik benda, tulisan
maupun orang dalam rangka membangun konsep. Adapun paradigma yang
digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma definisi sosial atau kualitatif
naturalistik yang didukung dengan paradigma fenomenologis.12
Penelitian dengan
menggunakan paradigma fenomenologis ini digunakan karena bersentuhan
langsung dengan kehidupan yang dialami oleh subyek penelitian di lapangan.13
Melalui paradigma fenomenologis, penulis berusaha menemukan makna ritual
perayaan Imlek.
Untuk mengkaji makna ritual perayaan Imlek tersebut, penulis mengkajinya
dengan mempertimbangkan beberapa aspek di dalam ritual perayaan tersebut.
Sebagaimana Koentjaraningrat14
ungkapkan bahwa, sistem upacara keagamaan
secara khusus mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus dari para
ahli antropologi yaitu, tempat upacara keagamaan dilakukan, saat upacara
keagamaan dijalankan, benda-benda dan alat-alat upacara, dan orang-orang yang
melakukan dan memimpin upacara. Sedangkan unsur upacara itu sendiri menurut
Koentjaraningrat ada sebelas unsur, yaitu bersaji, berkorban, berdoa, makan
bersama makanan yang telah disucikan dengan doa, menari tarian pawai,
12
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2001, cet. ke-1, hlm.129. 13
Jane Stokes, How to Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk melaksanakan Penelitian
dalam Kajian Media dan Budaya, terjemahan Santi Indra Astuti, Bentang, Bandung, 2006, cet. ke-
1, hlm. 59. 14
Koentjaraningrat, 1990, hlm. 378
menyanyi nyanyian suci, berprosesi atau berpawai, memainkan seni drama suci,
berpuasa, intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk
mencapai keadaan trance, mabuk, bertapa dan bersemedi.15
Dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu tertentu, pertimbangan aspek
dan unsur di dalam ritual perayaan Imlek, penulis berusaha menemukan proses
ritual perayaan Imlek dan beberapa pola makna yang dipahami orang-orang
dalam melakukan ritual tersebut.
E. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian dapat disebut pula prosedur penelitian yang digunakan
untuk menghasilkan data deskriptif dan menjelaskan bagaimana cara yang
digunakan penulis dalam penelitian ini. Kajian metodologi penelitian ini
mencakup metode penelitian, penentuan jenis data yang dikumpullkan, sumber
data yang diperoleh, cara pengumpulan data yang akan digunakan, cara
pengolahan dan analisa data yang akan ditempuh.16
Selain itu penulis
mencantumkan pula garis besar penulisan laporan.
1. Metode Penelitian
Penulis menggunakan metode deskriptif analisis untuk memahami proses dan
makna ritual perayaan Imlek. Karena jawaban yang diperoleh berupa kata-kata
yang menjadi data yang diperlukan maka metode deskriptif analisis ini bersifat
kualitatif dengan paradigma fenomenologi. Sebagaimana Bogdan ungkapkan
kaum fenomenologis mencari pemahaman (understanding) lewat metode
15
Ibid. 16
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Pedoman
Penulisan Skripsi, Laboratorium Fakultas Ushuluddin, Bandung, 2008, cet.ke-1, hlm.46.
kualitiatif seperti pengamatan peserta (participant observation), pewawancara
terbuka (open-ended interviewing), dan dokumen pribadi. Metode-metode ini
menghasilkan data deskristif yang memungkinkan mereka melihat dunia ini
seperti yang dilihat oleh subyek.17
Metode deskripsi analisis ini merupakan metode yang bertujuan untuk
melukiskan, menjelaskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi
tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat.18
Metode ini terkadang
disebut metode penyelidikan deskriptif atau metode analitik, karena memiliki ciri-
ciri tertentu. Sebagaimana diungkapkan Winarno Surakhmad bahwa metode
deskriptif memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada
masa sekarang, pada masalah-masalah yang aktual; dan data yang dikumpulkan
mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa, sehingga metode ini
sering disebut metode analitik.19
Penggunaan metode ini sesuai dengan data yang diperoleh dari orang-orang
penganut Khonghucu yang berada di wilayah MAKIN Kota Bandung, provinsi
Jawa Barat. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini dikarenakan di lokasi ini
terdapat sekitar 200 kepala keluarga mengaku penganut Khonghucu. Sebagian
dari mereka melakukan ritual perayaan Imlek yang menunjukkan antusias,
sehingga menimbulkan minat bagi penulis untuk melakukan penelitian. Antusias
mereka dalam kegiatan ritual perayaan Imlek tersebut ditunjukkan dengan
17
Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif Suatu
Pendekatan Fenomenologis Terhadap Ilmu-Ilmu Sosial, Terjemahan Arief Furchan, Usaha
Nasional, Surabaya, 1992, , Cet. ke-1, hlm.18-19. 18
Fakultas Ushuluddin Universitas, 2008, hlm. 47 19
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik, Tarsito, Bandung,
1994, cet.ke-5, hlm. 139-140.
banyaknya orang dalam satu malam tertentu melakukan ritual dan perayaan, baik
di rumah maupun di Miao, adanya kemacetan di jalan raya yang berdekatan
dengan lokasi tersebut, banyaknya orang berjualan aneka barang di sekitar lokasi
tersebut, dan terkadang beberapa pejabat daerah mengungkapkan selamat hari
raya Imlek. Kehadiran mereka tidak hanya individu tetapi juga berkelompok
dalam suatu kelompok dari berbagai daerah yang berbeda. Antusias mereka
diekspresikan pula mulai dari rumah, di perjalanan dan di tempat lokasi perayaan
dan menjelang pulang dari perayaan tersebut.
Selain itu, lokasi penelitian ini termasuk mudah dicapai dan datanya mudah
diperoleh. Walaupun lokasi ini mudah dicapai dan dikunjungi orang, tetapi tidak
selalu lokasi ini dianggap tidak menarik untuk diteliti, karena lokasi ini termasuk
subyek penelitiannya masih asing bagi penulis. Lokasi ini masih terbuka bagi
lapangan penelitian. Pemilihan lokasi yang lebih sempit dan terbatas sebagai unit
analisis dimaksudkan untuk memperoleh gambaran lebih terfokus, lebih tajam,
sekalipun tak bisa dijadikan gambaran umum masyarakat tradisional, sehingga
komunitas itu menjadi unik.
Pertimbangan lainnya adalah keterbatasan waktu penelitan itu sendiri. Karena
kegiatan penelitian merupakan bagian dari program Strata-1 bagi kelas khusus
anggota kesatuan Brimob, maka waktu yang diperlukan harus sesuai dengan
waktu yang tersedia dalam program tersebut. Namun hasil penelitian atau laporan
penelitian ini yang berupa skripsi tetap dapat dipertanggung jawabkan secara
akademik.
2. Jenis Data yang Dikumpulkan
Penelitian makna ritual perayaan Imlek di kota Bandung termasuk jenis
penelitian kualitatif-naturalistik yang berparadigma fenomenologi. Paradigma
naturalistik ini digunakan untuk memahami nilai-nilai atau pandangan hidup
seseorang dalam memahami ritual perayaan Imlek yang dilakukan para penganut
Agama Khonghucu. Dengan demikian bentuk data dalam penelitian ini berupa
ungkapan-ungkapan yang dideskripsikan cenderung melalui kata-kata dan prilaku
ritual orang-orang sebagai wujud dari keyakinannya.
Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penelitian ini,
penulis mengumpulkan data-data terpilih yaitu data yang benar-benar dapat
menjawab rumusan masalah penelitian. Terdapat dua jenis data yang berkaitan
dengan penelitian ini. Pertama data yang berkaitan dengan proses kegiatan ritual
perayaan Imlek, seperti perilaku, benda, kelompok orang, situasi dan kondisi.
Kedua, data yang berkaitan dengan pola pemahaman mengenai ritual perayaan
Imlek. Jenis data ini berupa persepsi dari para informan mengenai maksud atau
makna di balik kegiatan ritual perayaan Imlek tersebut
3. Sumber Data yang akan Diperoleh
Sumber data dalam penelitian ini berupa persepsi manusia yang akan
diperoleh dari informan, buku-buku, surat kabar dan internet. Sumber data dari
informan disebut data primer sedangkan data yang bersumber dari buku, surat
kabar dan internet disebut data sekunder.
Informan dipilih secara purposive atau snow ball sampling. Sebagai sumber
informasi (key informan), informan ini dianggap memiliki kedudukan penting dan
diperlakukan sebagai subjek yang memiliki kepribadian, harga diri, posisi,
kemampuan dan peranan sebagaimana adanya. Hasil hubungan yang sudah
terjalin antara penulis dengan beberapa orang infornan dapat menambah
informasi baru dan diperolehnya beberapa informan lain yang memiliki
kedudukan berbeda dalam arti, ada informan yang mewakili kelompok (typical
group) dan ada informan yang bersifat individu (typical individu).
Teknik ini dipilih berdasarkan pertimbangan rasional peneliti bahwa
informanlah yang memiliki otoritas dan kompetensi untuk memberikan informasi
data sebagaimana diharapkan penulis. Beberapa informan yang penulis gunakan
sebagai sumber data primer adalah Tokoh penganut Khonghucu, orang-orang
yang datang ke perayaan dari berbagai lapisan sosial seperti, pedagang, karyawan
dan ibu rumah tangga. Beberapa informan tersebut merupakan bahan yang dikaji
untuk menemukan jawaban-jawaban dalam penelitian. Orang-orang yang
memiliki status sosial tersebut dipilih berdasarkan keterlibatan mereka dalam
kegiatan ritual perayaan Imlek. Informan yang bersifat individu (typical individu)
dipilih secara acak yaitu orang yang pernah mengadakan ritual perayaan Imlek.
Sedangkan pemilihan buku, surat kabar dan internet dipilih untuk menunjang
kelengkapan data yang diperoleh dari informan. Penulis memilih buku, surat
kabar dan internet yang berkaitan dengan data yang diperlukan. Data-data
tersebut dikelompokkan sebagai data sekunder.
4. Cara Pengumpulan Data yang akan Digunakan
Pengumpulan data ini digunakan teknik observasi partisipasi atau
pengamatan peserta (observation participant), dan wawancara mendalam. Dalam
teknik observasi partisipasi penulis memperoleh data berkaitan dengan kegiatan
ritual perayaan Imlek dan interaksi orang-orang yang berada di lokasi perayaan
Imlek. Penulis ikut terlibat dalam kegiatan ritual perayaan Imlek tersebut dan
acara kegiatan interaksi sosial, baik dalam kegiatan kelompok maupun antar
individu.
Dengan memanfaatkan beberapa kenalan penulis selama di lapangan, penulis
mengamati beberapa peristiwa yang terdapat dalam ritual perayaan Imlek
tersebut. Penulis mengamati antusias mereka dalam kegiatan ritual tersebut mulai
dari rumah, perjalanan dan di lokasi. Penulis mengamati benda-benda dan alat-
alat yang terdapat dalam ritual tersebut.
Dalam setiap kegiatan ritual perayaan Imlek tersebut, penulis berusaha
menggali dan mengamati pemahaman mereka tentang makna budaya (cultural
meaning) dari informasi yang diterima dengan konteksnya. Penulis bertanya
kepada beberapa informan, apabila ada hal-hal yang tidak tahu atau tidak
mengerti dalam kegiatan pengamatan peserta itu. Kemudian penulis
mengingatnya apabila informasi itu cukup diingat. Setelah tiba di rumah penulis
catat peristiwa atau kejadian yang dianggap penting tersebut. Tetapi ketika
penulis melakukan observasi ke lokasi untuk melihat kondisi geografis terutama
mengenai jalan, Kong Miao, pasar pertokoan, pusat pemerintahan dan perayaan,
penulis membawa catatan dan mencatat data-data yang penulis temukan.
Dalam teknik wawancara mendalam, penulis mewawancarai orang-orang
sebagai informan secara terbuka dan mendalam sesuai dengan data yang
diperlukan. Mereka dipilih secara acak sesuai dengan penemuan gejala yang
dianggap penting menurut penulis. Teknik pengumpulan data melalui wawancara
terbuka ini dilakukan untuk memperoleh informasi data yang berkaitan dengan
pemahaman (pikiran) yang berkaitan dengan orientasi nilai budaya dari orang-
orang yang terlibat dalam kegiatan ritual perayaan Imlek.
Terdapat beberapa pertanyaan secara garis besar yang dilakukan dengan
percakapan informal, diantaranya; Pertama, latar belakang informan mengenai
pendidikan, terutama dari mana pengetahuan Imlek diperoleh, pekerjaan, keadaan
sosial ekonomi dan sebagainya. Kedua, pemahaman, persefsi, atau pikiran
informan mengenai pentingnya kegiatan ritual perayaan Imlek secara lebih jauh.
Dengan memahami persepsi orang-orang tersebut terhadap ritual perayaan Imlek
dapat diperoleh orientasi nilai budaya mereka yang berkaitan dengan makna
hidup, alam, waktu, aktifitas dan hubungan sosial.
5. Cara Pengolahan dan Analisa Data yang akan Ditempuh
Tujuan pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini adalah
menyederhanakan seluruh data yang terkumpul, menyajikannya dalam suatu
susunan yang sistematis, mengolah dan menafsirkan atau memaknai data yang
diperoleh. Kegiatan pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini secara
umum dibedakan dalam tiga tahap yaitu pengolahan atau reduksi data, deskriftif
analisis dan penafsiran data.
Dalam pengolahan data, penulis memeriksa seluruh data yang masuk untuk
dipilih berdasarkan sub-sub pokok bahasan dalam rumusan masalah. Transkrif
hasil pengumpulan data merupakan informasi data penelitian, dicek kembali
kelengkapannya dan teknik penyajiannya.
Dalam deskriftif analisis, penulis mengolah atau menguraikan setiap
fenomena penting yang terjadi. Selanjutnya, menguraikan setiap fenomena
penting itu dengan mengutamakan bahasa penulis yang didukung oleh pernyataan
para ahli dan kenyataan di lapangan. Bentuk analisis ini cenderung berupa kata-
kata bukan angka (non statistik). Penulis berusaha menguraikan tentang proses
ritual perayaan Imlek yang dilakukan orang-orang penganut Khonghucu.
Kemudian penulis mendeskripsikan makna yang mereka pahami dari ritual
perayaan Imlek tersebut.
Untuk memahami makna ritual perayaan Imlek menurut penganut Khoghucu
di kota Bandung, dapat dilakukan dengan menganalisa persepsi informan yang
diamati dan diwawancarai. Penulis tidak hanya mengamati dan mewawancarai
satu informan yang datang ke perayaan tersebut tetapi juga mengkonfirmasi
dengan informan lainnya, sehingga dari konfirmasi informan lain tersebut dapat
dianalisa dan ditafsirkan menjadi konsep tertentu.
Dalam penafsiran data, penulis akan menafsirkan atau memaknai hasil
analisis data tersebut. Penafsiran atau pemaknaan hasil analisis data bertujuan
untuk menarik kesimpulan penelitian. Penarikan kesimpulan didasarkan atas
rumusan masalah yang difokuskan lebih spesifik yang telah ditetapkan
sebelumnya. Dalam proses penafsiran itu berkaitan dengan penggunaan
konfirmasi terhadap informan lain. Setelah penulis melakukan teknik konfirmasi
ini, penulis memberi arti subyektif yang berkaitan dengan makna ritual yang
dipahami beberapa informan. Hasil analisis merupakan jawaban dari persoalan
penelitian yang telah ditetapkan.
Namun, dalam proses penafsiran ini, penulis juga perlu memeriksa kembali
langkah-langkah yang telah dilaksanakan dalam penelitian. Langkah-langkah ini
berguna untuk melihat ketepatan penafsiran. Apabila semua langkah penelitian
telah dilakukan dengan tepat, hasil penafsiran dapat dijamin dan hasil penelitian
dapat digunakan sebagai referensi. Dengan demikian penulis bersikap terbuka dan
menjelaskan semua langkah yang telah dilakukan sehubungan dengan hasil
penelitian yang telah diperoleh tersebut.
Dalam teknik pemeriksaan keabsahan data, penulis melakukan pemeriksaan
yang berkaitan dengan kepercayaan, keteralihan, kebergantungan dan kepastian.
Sebagaimana Moleong20
ungkapkan bahwa keempat kriteria keabsahan data
tersebut adalah derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability),
kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability).
Untuk menentukan kepercayaan (credibility) data penelitian ini penulis
melakukan usaha-usaha diantaranya melakukan penelitian dengan masa observasi
yang cukup sejak studi eksplorasi sampai penulisan laporan sekitar 6 bulan,
pengamatan secara terus menerus kegiatan ritual dan orang-orang yang dijadikan
informan, triangulasi atau upaya pembandingan terhadap data, mendialogkan atau
20
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005,
Cet. ke-21, Edisi Revisi, hlm. 327.
mengkonfirmasi dengan informan lain, menganalisis kasus negatif, menggunakan
bahan referensi dan mengadakan pengecekan anggota (member check).
Agar penelitian ini memiliki kemiripan atau keteralihan (transferability)
sebagai kemungkinan terhadap situasi-situasi yang berbeda, maka penulis
berusaha melakukan uraian rinci (thick description).
Untuk mengukur kebergantungan (dependability) penelitian ini didasarkan
pada alat ukur yang digunakan. Karena penelitian ini termasuk penelitian
kualitatif maka alat ukur yang digunakan adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena
itu teknik observasi dan wawancara mendalam digunakan untuk mengumpulkan
data sebanyak mungkin dan mengungkap persoalan yang ingin diperoleh
jawaban-jawabannya sehingga desain penelitiannya terus berkembang. Metode
auditing yaitu pemeriksaan data yang sudah terpolakan merupakan cara yang
digunakan untuk mengukur kebergantungan.
Agar penelitian ini memperoleh kepastian (confimability), penulis sebagai
peneliti akan berusaha mengungkapkan temuan-temuan dengan penulisan ilmiah
dan mengkonfirmasi hasil temuan data tersebut dengan pembimbing atau tulisan
orang lain. Walaupun penulis memiliki pengalaman subjektif, tetapi apabila
pengalaman subjektif itu berdasarkan data-data yang diperoleh dari subyek
penelitian maka pengalaman subjektif itu dapat dianggap objektif atau penelitian
ini dapat dianggap memiliki kepastian.
6. Garis Besar Penulisan Laporan
Hasil penelitian ini dilaporkan dalam bentuk skripsi sebagai bukti
pertanggungjawaban penulis dalam kegiatan penelitian ilmiah. Adapun garis-garis
besar penulisan laporan hasil penelitian itu diantaranya; Bab Pertama mengenai
Pendahuluan. Uraian dalam bab ini membahas tentang, latar belakang masalah,
rumusan penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran dan
metodologi penelitian. Bab Kedua membahas tentang tinjauan teoritis mengenai
agama dan sistem ritual. Di sini penulis menguraikan tentang agama dan ritual
secara teoritis. Penulis juga menjelaskan agama Khonghucu, ritual dan Imlek
secara umum. Bab Ketiga tentang pembahasan hasil penelitian. Di bab ini penulis
mendeskripsikan dan menganalisis proses dan makna ritual perayaan Imlek. Bab
keempat membahas tentang kesimpulan dan saran. Uraian dalam kesimpulan
menjelaskan jawaban dari pertanyaan penelitian secara ringkas. Hal-hal yang
diungkapkan dalam saran penelitian ini menyangkut hal-hal yang perlu dilakukan
oleh peneliti lain dalam penelitian selanjutnya yang belum ditemukan oleh penulis
dalam penelitian ini. Selain itu dalam saran penelitian ini penulis mengungkapkan
pula beberapa komentar terhadap teori-teori yang digunakan, baik mendukung
maupun mengkritiknya berdasarkan fenomena yang ditemukan penulis di
lapangan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS AGAMA DAN SISTEM RITUAL
Kesadaran spiritual manusia dapat diwujudkan dengan suatu kegiatan yang
dianggap suci dan penting. Ungkapan kesadaran spiritual yang berbentuk perilaku
tersebut dapat berupa ritual suci sebagai bagian dari unsur keagamaan. Dengan
demikian agama menjadi hal penting dalam memenuhi kebutuhan spiritual
manusia. Dalam bab ini secara teoritis terdapat dua hal pokok yaitu deskripsi
mengenai agama, dan sistem ritual.Hal yang menyangkut deskripsi agama yaitu
pengertian agama, unsur agama, dan fungsi agama, sedangkan hal yang berkaitan
dengan sistem ritual yaitu unsur-unsur ritual dan fungsi ritual. Sesuai dengan
pembahasan masalah penelitian, di bab ini penulis mendeskripsikan pula agama
Khonghucu dan ritual keagamaannya secara teoritis.
A. Pengertian Agama
Kata “Agama” terdiri dari dua suku kata yaitu hurup “a” yang berarti tidak, dan
“gama” berarti kacau atau berantakan. Istilah agama berasal dari bahasa sangsekerta yang
pengertiannya menunjukan adanya kepercayaan manusia berdasarkan wahyu Tuhan.
Agama mengandung arti hidup yang sangat kekal bagi kehidupan manusia.21
Jadi secara
sederhana arti kata agama itu adalah tidak kacau atau tidak berantakan. Dengan kata lain
arti kata agama itu adalah teratur atau peraturan.22
Pada umumnya di Indonesia
digunakan istilah „agama‟ yang sama dengan artinya dengan istilah asing „religie‟ atau
„godsdienst‟ (Belanda) atau „religion‟ (Inggris).
Secara istilah kata “agama” memiliki bermacam-macam pengertian. Menurut
seorang ahli agama bahwa terdapat 50 definisi agama yang telah dikumpulkan,
dan beberapa mahasiswa Fakultas Ushuluddin dari sebuah perguruan tinggi telah
berhasil mengumpulkan 98 definisi agama.23
Dengan demikian definisi agama itu
berjumlah banyak.
Penulis di bab ini hanya menunjukkan beberapa definisi dan fungsi agama
menurut beberapa ahli. Untuk memahami istilah agama, sebelumnya perlu juga
diketahui bahwa terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan kata agama dari
bahasa Asing yaitu kata “relegere”, “religion, “religie” atau “religi” dan “din”.
Arti kata “relegere” adalah mengumpulkan dan membaca. Agama memang
21
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama; Bagian I, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandar Lampung,
1993, hlm. 16. 22
Moenawar Chalil, Definisi dan Sendi Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm.19. 23
Djam‟anuri. (editor), Agama Kita Persfektif Sejarah Agama-Agama Sebuah Pengantar Kurnia
Kalam Semesta, Yogyakarta, 2000, cet. ke-1, hlm. 27.
merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan. Ini terkumpul dalam
Kitab Suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain kata itu berasal dari
kata “religere” yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai
sifat mengikat bagi manusia.24
Kata “religie” berasal dari bahasa Latin.
Sedangkan istilah “religi” berasal dari bahasa Belanda dan kata “religion” berasal
dari bahasa Inggris.25
Endang Saipudin Anshari yang dikenal sebagai cendikiawan Muslim tahun
1980 -an menjelaskan,
Agama, religi dan dien adalah suatu sistem credo (tata keimanan
atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar
manusia, dan suatu sistem ritus (tata peribadatan) manusia
kepada yang dianggapnya yang mutlak itu, serta sistem norma
(tata kaidah) yang menyatakan hubungan manusia dengan
manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan
sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaktub.26
Di dalam bahasa Inggeris istilah agama itu disebut “religion” yang berarti
agama, sedang „religious‟ berarti bersifat keagamaan. Dalam bahasa Arab disebut
“din” dengan memanjangkan “I”. Atau sempurnanya disebut “ad-Dien”.27
Dengan melihat pemahaman agama di atas, penulis menemukan tiga
peristilahan yaitu “agama”, “religi” dan “ad-Dien”. Menurut Endang Saifudin
Anshari bahwa dalam arti teknis dan terminologis ketiga istilah tersebut berinti
makna yang sama, walaupun masing-masing mempunyai arti etimologis dan
sejarahnya sendiri.28
Dengan demikian, walaupun yang berbeda itu hanya latar
belakang sejarahnya, namun tentu saja dari perbedaan itu dapat menimbulkan
24
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, UI Press, Jakarta, 1984, jilid ke-1,
hlm. 10. 25
Endang Saifudin, Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama , Bina Ilmu, Surabaya, 1982, hlm. 124 26
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam Pustaka, Bandung, 1983), hlm, 9. 27
ibid. 28
ibid.
konsekuensi-konsekuensi yang berbeda pula dari masing-masing peristilahan
tersebut.
Perkataan kata “ad-Dien” berasal dari bahasa Arab atau bahasa Al-Qur‟an
yang berarti “millah”, “madzhab” dan “tadbier”. Muhammad Adnan pun
menerjemahkan kata “ad-Dien” itu adalah asy-syari‟ah, ath-thoriqoh dan al-
millah yang dapat disaring dalam perkataan peraturan dari Allah swt.29
Lebih
jelas Harun Nasution menjelaskan kata “din” bahwa dalam bahasa Semit kata itu
berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata itu mengandung arti
menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.30
Secara ilmu Sharaf (tata bahasa Arab) kata “dien” itu termasuk masdar dari
kata kerja daana- yadinu. Secara istilah, kata itu memiliki arti bermacam-macam
diantaranya, cara atau adat kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat atau
patuh, menunggalkan Tuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiyamat, nasihat,
dan agama.31
Tetapi secara umum kata “din” itu diartikan dengan undang-undang
atau peraturan Tuhan yang mesti ditaati dan dipatuhi oleh manusia.
Di dalam Al-Qur‟an pun kata “din” memiliki persamaan dengan kata-kata
lainnya diantaranya, kata shirath (QS. al-Fatihah: 5), hukum (QS. Yusuf: 76),
millah (QS. Al-an‟am:156), sabil (QS.An-Nahl: 125), al-Ibadah (QS. Al-Araf:
29).
Secara singkat Harun Nasution menjelaskan bahwa intisari dari pengertian
istilah-istilah yang berkaitan dengan agama itu adalah ikatan.32
Menurut Harun,
29
Muhammad Adnan, Tuntutan Iman dan Islam, Jakarta, 1970, hlm.9. 30
Harun Nasution, hlm. 9 31
Moenawar Chalil, hlm. 13. 32
Harun Nasution, hlm. 10.
agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia.
Manusia dalam kehidupan sehari-harinya sangat dipengaruhi oleh ikatan tersebut,
karena ikatan itu bersumber dari suatu kekuatan yang lebih tinggi daripada
manusia dan kekuatan itu bersifat gaib yang tak dapat dipahami dengan
pancaindera manusia. Mungkin ikatan itu cenderung dipahami secara rasional dan
keyakinan.
Para ahli agama lain menjelaskan mengenai pengertian agama, termasuk para
sarjana agama. Hasbi Ash-shiddieqy mengungkapkan bahwa agama adalah suatu
kumpulan peraturan yang ditetapkan Allah untuk menarik dan menuntun para
umat yang berakal kuat dan patuh akan kebajikan, supaya mereka memperoleh
kebahagiaan dunia, kejayaan dan kesentosaan di akhirat, negeri yang abadi
mengecap kelezatan yang tak ada tolok bandingannya serta kekal selama-
lamanya.33
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap
keyakinan adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supranatural yang berpengaruh
terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam.
Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdo‟a, memuja dan
lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis,
pasrah dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya.34
Asal keyakinan keagamaan itu berpijak pada sesuatu kodrat kejiwaan, yaitu
keyakinan kuat atau rapuh kelanjutan hidup sesuatu agama itu tergantung pada
33
Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam I, Bulan Bintang, Jakarta, 1964, hlm. 17. 34
Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakara, 2005, hlm 1.
masalah tentang berapa dalam dan berapa jauh keyakinan keagamaan itu meresap
pada jiwa setiap penganutnya. Kalangan agamawan berpendapat bahwa agama itu
berasal dari kodrat maha pencipta, yang memberikan bimbingan kepada manusia
pertama mewariskan pada keturunannya, dan kodrat penciptaan itu melahirkan
pembaharuan agama. 35
Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting, karena saling
mempengaruhi antara lembaga budaya dalam tabiat manusia serta sistem nilai,
moral dan etika. Agama itu mempengaruhi organisasi kekeluargaan, perkawinan,
ekonomi, hukum-hukum dan politik agama tidak terlepas dari suatu intitusi
kebudayaan yang menyajikan sesuatu lapangan ekspresi dan implikasi begitu
halus agama tersebut. 36
Menempatkan tradisi keagamaan dalam bentuk
kontekstual dalam dinamika perubahan sosial adalah keniscahayaan yang harus
disikapi dengan cara menciptakan wajah baru dari ajaran agama. Dengan
demikian agama bukanlah sekedar wacana yang memiliki psikologi dan spiritual
semata, melainkan meliputi banyak aspek kehidupan.37
Selain itu Ahmad Abdullah Al-Masdoesi menjelaskan pengertian agama
dengan bahasa Inggeris,
Religion is code of life revealed to mankind from time ever since
the appereance of man in this is globe, and is embodied in its
final perfect from in the Holly Qur‟an which revealed by God to
His last apostle Muhammad Ibn Adb Allah (pease be upon him),
a code of life certain clear and complete guidance concerning
both the spiritual and the material aspects of life.38
35
Zakiah Drajat, Perbandingan Agama I, Bumi Aksara. Jakarta, 1991, hlm. 1. 36
Joesoef Soy‟eb, Agama-agama Besar di Dunia, PT. Al-Husna Zikra, Jakarta, 1996, hlm. 16. 37
Amin Abdullah, Studi Agama, Pustaka Pelajar Offset, 2000, hlm. 11. 38
Ahmad Abdullah Al-Masdoosi, Living Religion of The world , Karchi, 1962, p. 7-8.
Mukti Ali yang dikenal sebagai ahli Ilmu Perbandingan Agama Indonesia
memahami agama sebagai kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan
hukum yang diwahyukan kepata utusan-utusan-Nya untuk kebahagiaan hidup
manusia di dunia dan di akhirat. Hampir mirip dengan Mukti Ali, Sidi Gazalba
mengartikan agama sebagai kepercayaan dan hubungan manusia dengan yang
kudus, dihayati sebagai hakikat yang baik, hubungan itu menyatakan diri dalam
bentuk serta sistem dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.39
Pengertian agama di dalam kamus pun berbeda-beda. W.J.S.
Poerwadarminta menuliskan bahwa agama merupakan segenap kepercayaan
(kepada Tuhan, Dewa dan sebagainya) serta dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. 40
Agama menjadi
sebuah pengakuan yang sangat sakral, dalam agama adanya suatu bentuk yang
suci, manusia akan insaf dengan adanya suatu agama yang memiliki kekuasaan di
atas segalanya. Kekuasaan inilah yang dianggap sebagai asal atau khalik segala
yang ada. Manusia memiliki bayangan cara hidup yang lurus.41
Di dalam kamus The Holy Intermediate Dictionary of American English,
sebagaimana dikutif oleh Nasruddin Razak bahwa religi dijelaskan sebagai Belief
in and worship of God or the super natural.42
Artinya kepercayaan dan
penyembahan kepada Tuhan atau kepada Dzat yang Maha Mengatasi. Kamus
lainnya yaitu kamus The Advanced learning Dictionary of Current English
39
Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Pustaka Antara, Jakarta, 1962), hlm.
22. 40
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia ,Balai Pustaka, Jakarta, 1985), cet.
ke-8, hlm. 18. 41
Hilman Hadikusuma, Antropologi.., hlm. 123. 42
Nasruddin Razak, Dienul Islam, Al- Ma‟arif, Bandung, 1981, hlm. 60.
tercatat bahwa religi adalah Belief in existence of supernatural rulling power the
creator and controller of the continues to exist after the death of body. 43
Artinya
agama merupakan kepercayaan terhadap adanya kekuatan kodrat yang maha
mengatasi, menguasai, menciptakan dan mengawasi terus menerus keberadaan
manusia setelah mati.
Dengan menggunakan disiplin psikologi, Hidayat Nataatmaja menjelaskan
arti agama sebagai pedoman sempurna agar manusia mampu mengembangkan
fitrahnya secara utuh.44
Ogburn dan Nimhoff yang dikenal sebagai ahli psikologi
menjelaskan bahwa agama adalah suatu pola kepercayaan, sikap-sikap emosional
dan praktek-praktek yang dipakai oleh sekelompok manusia untuk mencoba
memecahkan soal-soal “ultimate” dalam kehidupan manusia.45
Pemahaman tersebut di atas menunjukkan kemiripan dengan pemahaman
agama menurut Immanuel Kant. Pernyataan Immanuel Kant sebagaimana dikutif
oleh Hasanudin bahwa agama adalah perasaan kejiwaan manusia yang berdasar
dan bersumber pada Tuhan.46
Hal yang mirip juga diungkapkan oleh William
James bahwa agama merupakan perasaan dan pengalaman batin insan secara
individual yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang
dipandangnya sebagai Tuhan.47
Selain itu dijelaskan pula bahwa agama
merupakan suatu kata yang dapat digunakan untuk menjelaskan emosi dan
perasaan yang dianggap penting.
43
Ibid., hlm, 61. 44
Hidayat Nataatmaja, Karsa Menegakkan Jiwa Agama, Iqro, Bandung, 1990, hlm. 129. 45
Rasyidi, Empat Kulia Agama Islam di Perguruan Tinggi, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, Cet. ke-
2, hlm. 50. 46
A.H. Hasanuddin, Cakrawala Kulia Agama, Al-Ikhlas, Surabaya, 1982, hlm, 81. 47
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hlm. 30.
Seorang ahli ilmu jiwa agama, Zakiah pun mengungkapkan pendapat ahli
ilmu agama lainnya seperti Frazer, James Martineau, dan Mattegart.48
Frazer
mengungkapkan bahwa agama adalah kekuatan yang lebih tinggi dari pada
manusia, yaitu kekuasaan yang disangka oleh manusia untuk dapat
mengendalikan, menahan atau menekan kelancaran alam dan kehidupan manusia.
Martineau menjelaskan bahwa agama adalah kepercayaan kepada yang hidup
abadi, di mana diakui bahwa dengan fikiran dan kemauan Tuhan, alam ini diatur
dan kelakuan manusia diperbuat. Sedangkan Mategart berpendapat bahwa agama
adalah suatu keadaan jiwa atau lebih tepat keadaan emosi yang berdasarkan
kepercayaan akal kerahasiaan diri kita dengan alam semesta. Thoules
menambahkan bahwa ketiga definisi tersebut terdapat dalam pandangan ilmu jiwa
umum, karena perasaan itu dapat dibagi tiga segi yakni, tanggapan, emosi dan
dorongan.
Seorang tokoh lainnya yang berhaluan atheis seperti Karl Mark menyatakan
bahwa agama atau religion is the sigh of the pressed creature, the heart of heart
less world, just as at is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the
people.49
Mark memahami bahwa agama adalah keluh kesah makhluk tertindas,
hati nurani dari dunia yang tidak berhati, tepat sebagaimana ia adalah jiwa dari
keadaan yang tidak berjiwa. Ia adalah candu masyarakat. Pendapat Mark ini
mungkin melihat realitas agama menunjukkan peran yang melegitimasi
masyarakat tertindas dalam memasuki dunia modern. Agama yang dilihatnya
terutama agama-agama di Erofa.
48
Ibid., hlm. 36. 49
Karl Mark and F. Engels, On Religion, United, Moskow, 1989. p. 42.
Tokoh agama lainnya yaitu Goulson menyatakan bahwa agama adalah hasil
dari pengaruh hubungan khusus antara manusia dengan lingkungannya.50
Begitu
pun menurut Khan, agama adalah hasil produksi alam bawah sadar manusia dan
bukan merupakan hal yang mempunyai wujud dalam alam nyata.51
Dari pemahaman agama di atas menunjukkan bahwa agama sebagai refleksi dari
keyakinan tidak hanya terbatas pada ajaran dan doktrin saja, tetapi juga refleksi dalam
tindakan kolektivitas umat. Hal itu dipertegas oleh penjelasan Koentjaraningrat bahwa
refleksi cara beragama tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, tetapi juga merefleksi
dalam perwujudan tindakan kolektivitas penganutnya atau dimensi religiusitas yang
terangkum dalam empat unsur. Pertama, emosi keagamaan, yaitu aspek keagamaan yang
mendasar, yang ada dalam lubuk hati manusia, yaitu menyebabkan manusia beragama
menjadi religius atau tidak religius. Kedua, sistem kepercayaan, yang mengandung satu
sistem keyakinan tentang adanya wujud dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam gaib,
makhluk halus, dan kehidupan abadi setelah kematiaan. Ketiga, sistem upacara atau
Ritual keagamaan, yang dilakukan oleh para penganutnya, yaitu sistem kepercayaan yang
bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan atau realitas
mutlak. Keempat, umat atau kelompok keagamaan, yaitu kesatuan-kesatuan sosial yang
menganut suatu sistem kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara keagamaan.52
Selain itu unsur-unsur agama dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa unsur-unsur yang
terdapat dalam agama adalah kekuatan gaib, keyakinan manusia, respon yang bersifat
emosionil dari manusia dan paham adanya yang kudus (sacred) dan suci.53
B. Fungsi Agama
50
C.A. Goulson, Science and Christian Belief, United, Moskow, 1970, p. 4. 51
Waheeduddin Khan, Islam Menjawab Tantangan Zaman, Pustaka, Bandung, 1983, hlm. 6. 52
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, UI-Press, Jakarta, 1987, hlm. 81. 53
Harun Nasution, Islam …, hlm. 11.
Secara fungsional, agama menjadi sangat penting sehubungan dengan unsur-
unsur pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastian, ketidakberdayaan
dan keterasingan yang memang merupakan karakteristik fundamental kondisi
manusia. Dalam hal ini fungsi agama ialah menyediakan dua hal. Pertama, suatu
cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia, dalam
arti dimana frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Kedua
adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar
jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia dalam
mempertahankan moralnya.54
Agama bisa dikatakan suatu peraturan yang
mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal, untuk memegang peraturan
Tuhan dengan kehendaknya sendiri supaya mencapai kebaikan kelak hidup di
dunia dan akhirat.55
Bila agama dipandang sebagai pengalaman yang suci manusia dengan Tuhan,
manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan alam, tanpak sejumlah fungsi dalam
kehidupan manusia baik dalam kehidupan pribadi ataupun kehidupan sosial fungsi-fungsi
itu bersifat penjelas dan jawaban atas pertanyaan yang perinsipil yang tampaknya telah
mengusik hati manusia sejak zaman purba, agama bersifat sebagai penetram hati,
pengasah tradisi, pemandu sosial dan juga sebagai pemandu budaya.56
Menurut Robet. B. Taylor bahwa sifat agama ada lima fungsi dalam kehidupan
manusia dan bermasyarakat, fungsi yang paling penting adalah memberi penjelasan
(expslanation). Agamalah yang menjelaskan keberadaan manusia. Fungsi kedua, adalah
54
Thomas E. O‟dea, Sosiologi Agama; Suatu Pengenalan Awal, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, hlm.
25-26. 55
Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-agama, PT. Raja Grafindo Presada, Jakarta, 1996, hlm
3. 56
H. A. Hidayat, Pemikir Islam (Tentang Teologi dan Filsafat), CV. Pustaka Setia, Bandung 2006,
hlm. 23.
memberi ketentraman hati kepada manusia, (reassurance) sebab, manusia yang berada
dalam keadaan keluh kesah maka penyembuhan dicari yang ghaib, yaitu melalui agama.
Fungsi ketiga, menjelaskan „validation‟ terhadap kebiasaan dan nilai dimasyarakat,
agama sebagai tumpangan kebudayaan untuk melaksanakan ritual yang sudah terjadi hal-
hal itu ditopang, disahkan atau diberi sanksi oleh kepercayaan agama. Fungsi agama yang
keempat sebagai pengikat sosial (social integration), agama mengikat masyarakat untuk
kerjasama dan perasaan memiliki yang sama, hal itu terutama berlaku pada kebudayaan
yang mempunyai seperangkat kepercayaan dan praktik agama yang sama bagi seluruh
anggota.57
Agama dapat dipahami sebagai fakta sosial, karena ia menyangkut nilai dan
norma yang menyangkut kepercayaan serta berbagai perakteknya di masyarakat.
Agama dalam konteks ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat dimana
manusia memiliki berbagai catatan termasuk yang biasa diketengahkan dan di
tafsirkan oleh para ahli arkeologi. Dalam masyarakat yang sudah mapan, agama
merupakan salah-satu struktur institusional penting yang melengkapi keseluruhan
sistem sosial. Akan tetapi masalah agama berbeda dengan masalah pemerintahan
dan hukum.58
Agama melukiskan sebagai kebutuhan dasar dan untuk membela diri terhadap
segala kekacauan yang mengancam manusia. Hampir seluruh masyarakat
mempunyai agama. Tidak ada bangsa bagaimanapun primitifnya, yang tidak
memiliki agama. Agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku
kehidupan individu dan kelompok, juga memberi harapan kelanggengan hidup
57
Ibid, hlm. 26-27. 58
Thomas F. O‟dea, Sosiologi Agama.., hlm.1.
sesudah mati dan mengingkat diri dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan
untuk mencapai kemandirian spiritual.59
Manusia pada dasarnya percaya akan adanya kekuatan ghaib, yang sangat luar biasa
atau supranatural yang berpengaruh terhadap individu atau kelompok sehingga
menimbulkan sikap mental, rasa takut, pasrah yang akhirnya akan menimbulkan perilaku
berdo‟a, memuja dan bersandar pada agama.60
Dalam agama terdapat peraturan hukum
yang harus dipahami oleh manusia. Agama menguasai seseorang hingga membuat ia
tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan cara menjalankan ajaran-ajaran agama untuk
mencoba mencari keselamatan.61
Dalam kehidupannya manusia mengalami
ketidakpastian, yaitu kematian. Selain tidak bisa diramalkan, kematian juga berada di luar
jangkauan kekuatan manusia.
Sekalipun mengetahui bahwa kematian merupakan kepastian, namun tidak ada
seorang-pun yang mengetahui kapan kematian itu akan terjadi, hal ini membuat manusia
kecewa atau cemas. Dalam menghadapi kekecewaan tersebut manusia tidak berdaya,
akhirnya manusia menyadarkan diri pada agama.62
Dengan demikian, agama selain
membawa aturan-aturan dan hukum-hukum, juga berfungsi membantu manusia dalam
menghadapi masalah hidupnya.
Dengan berdasarkan pengalaman sehari-hari, dapat dipastikan bahwa setiap
manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini, maupun
sesudah mati. Jaminan untuk itu mereka temukan dalam agama. Terutama karena
agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara yang khas untuk
mencapai kebahagiaan yang pencapainnya mengatasi kemampuan manusia secara
59
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, PT. Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm 119. 60
Ibid., hlm 120. 61
Harun Nasuton, Islam ..., 2008, hlm 9. 62
Elizabet K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm 77.
mutlak. Hanya manusia agama (homo religious) dapat mencapai titik itu, entah itu
manusia yang hidup dalam masyarakat primitif atau masyarakata modern.63
Dengan demikian, agama yang telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi
manusia yang paling sublime, sejumlah besar moralitas, sumber tatanan
masyarakat dan perdamaian batin individu; sesuatu yang memuliakan dan yang
membuat manusia beradab. Akan tetapi, agama pula telah di tuduh sebagai
penghambat kemajuan manusia dan mempertinggi fanatisme dan sifat tidak
toleran, pengacuhan, tahayul (kesia-siaan).64
Joachim Wach menegaskan bahwa setiap manusia memiliki agama atas
pengalaman keagamaannya itu sendiri, yang membuat dirinya merasa bermakna,
di tengah masyarakatnya. Pengalaman keagamaan adalah suatu perasaan yang
didapat manusia pada saat ia berhubungan atau merasa hubungan dengan Yang
Maha Mutlak.65
C. Klasifikasi Agama
Agama dapat diklasifikasikan dalam berbagai kelompok berdasarkan kriteria
tertentu. Para ahli agama mengelompokkan agama-agama itu menjadi agama-agama
besar – agama kecil, agama wahyu-agama alam, agama konvensional - agama modern,
agama tinggi – agama rendah dan sebagainya. 66
Selain itu ada pula agama dikelompokkan berdasarkan sifatnya yaitu agama primitif
dan agama yang telah meninggalkan fase keprimitifan.67
Agama yang termasuk agama
Primitif diantaranya dinamisme, animism dan politeisme. Sedangkan menurut Wach,
63
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1984, Hlm 39-40. 64
Adeng Muhtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2005, hlm 43. 65
Joachim Wach, Ilmu …, hlm. 34. 66
Djam‟anuri, hlm. 27. 67
Harun Nasution, hlm.11
agama dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian yaitu agama Etnis dan agama
universal.68
Agama etnis menekankan pada pelaksanaan perbuatan itu sendiri. Sedangkan
agama universal memberikan penialian utama pada tujuan perorangan sebagai ukuran
dari kemurnian iman.
Sedangkan Djam‟anuri memilih pengklasifikasian berdasarkan bukan wahyu dan
wahyu, atau agama bukan semit dan semit.69
Kelompok agama yang termasuk bukan
wahyu atau bukan semit terbagi empat berdasarkan asal usul bangsanya diantaranya,
Bangsa Mongolis melahirkan Konfusianisme, Taoisme, Shintoisme. Bangsa Arya
memunculkan Hinduisme, Jainisme Sikhisme dan Zoroastrianisme. Bangsa Missellaneous
melahirkan Buddhisme. Bangsa Paganisme melahirkan berbagai agama yang
dikelompokkan dalam paganisme. Sedangkan kelompok agama yang termasuk agama
wahyu atau agama semit diantaranya Islam, Kristen dan Yudaisme.
D. Sistem Ritual Keagamaan
Fenomena agama yang terdapat pada etnis manusia adalah gejala yang
bersifat evolusi. Keberagamaan manusia tidaklah terlepas dari zaman dan
kebudayaan, pada kebudayaan kuno, keberagamaan dianggap sesuatu yang biasa,
sepontan dan vital. Kehidupan manusia sendirilah yang membuka pintu ke-arah
religiusitas. Lain halnya dengan kebudayaan modern. Terutama di Barat,
keberagamaan tidak dipandang lagi sesuatu yang ada dengan sendirinya,
keberagamaan di Barat dan khususnya pengalaman keagamaan telah menjadi soal
dengan adanya proses rasionalisasi.70
Segala sesuatu harus dapat dibuktikan oleh
rasional harus bersifat logis.
1. Pengertian Ritual
68
Joachim Wach, Ilmu… hlm.155. 69
Djam‟anuri, hlm. 28. 70
Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Bergama, Kanisisus, Yogyakarta, 1990, hlm. 21.
Ritual merupakan bentuk pengalaman keagamaan yang diwujudkan dalam bentuk
tingkah laku yang nyata. Menurut Von Hegel, tingkah laku agama yang utama dan
pertama adalah pemujaan.71
Underhill mendefinisikan pemujaan yaitu hormat yang
mendalam yang dikembangkan menuju titik tertinggi dan merupakan suasana fikiran
yang kompleks yang tersusun dari rasa kagum, takut, dan cinta.72
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, ritual adalah sesuatu yang berkenaan dengan
ritus atau hal ihwal ritus. Sedangkan ritus sendiri bermakna tata cara dalam upacara
keagamaan.73
Lebih jelas, disebutkan dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia, pengertian
ritus atau ritual itu sebagai berikut:
Acara keagamaan yang memiliki tata upacara tertentu. Ritus yang
paling lazim adalah do‟a. ritus juga bisa berarti liturgi, yakni
perilaku ibadah yang ditampilkan pemeluk-pemeluk agama. Tiap
agama mempunyai liturgi masing-masing dan beberapa sekte
agama juga mengembangkan liturginya sendiri. Liturgi bisa
merupakan kombinasi kata-kata do‟a, nyanyian, dan gerakan saat
melakukan ibadah.74
Ahli sosiologi agama bernama Elizabeth K. Nottingham menjelaskan bahwa ritual
adalah bagian dari tingkah laku manusia dalam praktik keagamaan yang mencangkup
tingkah laku seperti berkorban, bersemedi berdo‟a, memuja, mengadakan pesta, menari
dan memebaca kitab suci.75
Lebih jelas lagi Notingham memaknai ritual sebagai ibadah.
Ibadah merupakan bagian dari tingkah laku keagamaan yang aktif dan dapat diamati.
Misalnya memakai pakian yang khusus pada agama tertentu, mengorbankan harta dan
nyawa berdasarkan ajaran agama, mengucapkan ucapan formal tertentu atau do‟a
bersemedi dan sebagainya.76
71
Joachim Wach, hlm. 147. 72
Ibid. hlm. 152, 73
Risa Agustin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Serba Jaya, Cetakan Baru, Surabaya, hlm.
536. 74
Anonimous, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1996, hlm. 229. 75
Elizabeth K. Nottingham, Agama …hlm. 15. 76
Ibid
Ritual keagamaan bisa diambil dari kata rites yakni kata sifat (adjective), dan kata
benda. Sebagai kata sifat, ritual adalah segala sifat yang dihubungkan atau disangkutkan
dengan upacara keagamaan, seperti ritual dances, ritual laws, sedangkan sebagai kata
benda adalah segala bersifat upacara keagamaan. Dalam antropologi agama, upacara
ritual sering diartikan ritus, ritus dilakukan untuk mendapatkan keberkahan, rezeki yang
banyak dari suatu pekerjaan. Seperti upacara sakral ketika turun ke sawah untuk
mencegah badai, ada upacara mengobati penyakit (rites of healing); ada upacara karena
perubahan atau siklus dalam kehidupan manuisa, seperti pernikahan, mulai kehamilan,
kelahiran (rites of passage ciclyc rites); dan ada upacara berupa kebalikan dari kebiasaan
kehidupan harian (rites of reversal) seperti puasa pada bulan atau hari tertentu. Memakai
pakian tidak berjahit ketika berihram haji atau umrah adalah kebalikan dari ketika tidak
berihram.77
Ahli sosiologi agama lainnya adalah Thomas F.O‟dea mendefinisikan ritual
keagamaan sebagai transformasi simbolis dari pengalaman-pengalaman yang tidak dapat
diungkapkan dengan tepat oleh media lain. Karena berasal dari kebutuhan batin manusia,
maka ia merupakan kegiatan yang sepontan dalam artian betapapun peliknya ia lahir
tanpa niat dan tanpa tujuan yang disadarinya.
Menurut Thomas F. O‟dea, Ritual keagamaan menunjukan formalisasi prilaku
manusia ketika berhadapan dengan objek suci.78
Jadi Ritual keagamaan merupakan aturan
dalam bertingkah laku dari suatu agama yang memberikan pedoman pada seseorang atau
manusia untuk menempatkan dirinya dalam keadaan hadir pada hal-hal yang sakral.
Menurut Wach, terdapat dua bentuk pengalaman kagamaan yang diwujudkan dalam
tingkah laku yang nyata atau ritual, yaitu peribadatan dan pelayanan.79
Keduanya saling
mempengaruhi. Ketaatan dapat juga disebut kultus. Kultus ini dipahami sebagai suatu
77
Bustanuddin Agus, Agama ..., hlm. 96-97. 78
Thomas F. O‟dea, hlm.76-77. 79
Joachim Wach. hlm.149.
tanggapan total atas wujud total yang bersifat mendalam, integral, realitas mutlak dalam
bentuk peribadatan. Realitas Mutlak ini bersifat sakral dan disembah, dipuja, dipuji oleh
manusia yang memahami realitas mutlak tersebut. Karena realitas mutlak ini dipahami
sebagai Tuhan, maka perilaki keagamaan ini ditujukan kepada Tuhan dengan berbagai
bentuk ritualnya. Perbuatan keagamaan ini terjadi dalam ruang dan waktu dan dalam
suatu konteks yang bentuknya beranekaragam.
Secara spesifik, ritual keagamaan adalah segala tindakan manusia dalam
rangka mendekatkan diri kepada yang gaib dengan tujuan mengharap kebahagiaan
dunia maupun kehidupan setelah mati yang didasarkan atas kepercayaan terhadap
agama yang dianut dan diyakininya dengan sepenuh hati.
2. Unsur Ritual Keagamaan
Ritual keagamaan memiliki unsur-unsur tertentu yang membentuk
keagamaan. Setiap keagamaan mempunyai ciri tertentu yang mungkin berbeda
dari agama yang lain, namun tentu ada unsur-unsur ritual dari masing-masing
agama yang memiliki kesamaan. Secara antropologi, sistem upacara keagamaan
secara khusus mengandung empat aspek yaitu, tempat upacara keagamaan, waktu
upacara keagamaan, benda-benda dan alat-alat upacara, dan orang-orang yang
melakukan dan memimpin upacara.
Sedangkan unsur upacara itu sendiri menurut Koentjaraningrat ada sebelas
unsur, yaitu bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama makanan yang telah
disucikan dengan doa, menari tarian pawai, menyanyi nyanyian suci, berprosesi
atau berpawai, memainkan seni drama suci, berpuasa, intoksikasi atau
mengaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk mencapai keadaan trance,
mabuk, bertapa dan bersemedi.
3. Tujuan dan Fungsi Ritual Keagamaan
Upacara keagamaan dilakukan dengan tujuan sebagai rasa hormat dan untuk
zat realitas mutlak yang diimajinasikan atau digambarkan dan mereka sebut
sebagai roh nenek moyang, makhluk halus atau para dewa agar permohonan dan
keinginan yang diharapkan oleh mereka dapat terlaksana serta mereka dapat
terlapas dari kesulitan. Kesulitan dan ketidak beruntungan itu dianggap sebagian
penganut agama sebagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka di dunia ini.
Joachim Wach juga mengatakan bahwa pengorbanan adalah bentuk lahiriyah
dari bentuk batiniyah antara dewa (Tuhan) dengan manusia, karena melalui
semangat pengorbananlah seseorang akan berkembang secara spiritual.80
Dengan
demikian, pengorbanan atas hal-hal yang tidak terlihat adalah simbol dalam
pengertian ganda, yaitu mewakili orang yang memberikan dalam hati dan
melambangkan penyerahan diri secara pasrah kepada Tuhan.
Ritual korban ini terdapat juga dalam agama wahyu, seperti dalam agama
Islam, ritual yang berbentuk memberikan korban merupakan bukti nyata
ketundukan dan kepatuhan terhadap ajaran agama. Selain itu, ritual atau ibadah
korban tidak hanya memiliki dimensi religius, juga memiliki dimensi sosial.
Esensi pelaksanaan ibadah korban adalah membangun garis vertikal dengan
Tuhannya sekaligus membangun garis horizontal dengan manusia sebagai sarana
hubungan sesama manusia. Ritual yang menggunakan mantra-mantra adalah
80
Joachim Wach, hlm. 163.
kalimat-kalimat yang digunakan untuk memuji, menunjang, menghormati,
memanggil, memohon dan mendekatkan diri kepeda suatu zat yang luhur, maka
mantra identik dengan do‟a.
Manusia dan agama tidak bisa dilepaskan, kalau manusia ingin jadi manusia, ingin
sehat batinnya, ingin tentram hidupnya, ingin bahagia dunia dan kehidupan setelah mati.
Agama dipahami manusia di dalam kehidupan nyata. Maka dari itu agama mempunyai
beberapa fungsi dalam kehidupan manuasia. Pertama, agama sebagai ciri khas manusia,
manusia mempunyai fitrah untuk beragama. Menurut Sayid Sabiq, dalam bukunya La-
Aqaidul Islam, bahwa naluri keagamaan, merupakan satu-satunya pemisah antara
manusia dengan mahluk lainnya. Kedua, agama sebagai makna rohani, rohani dari Tuhan.
Manusia sedikit tahu tentang masalah rohani, akan tetapi rohani harus dipupuk dengan
agama. Ketiga, agama sebagai penetram batin. Rohani hanya akan tentram kalau sudah
beriman yaitu beragama dan mengingat Tuhan. Keempat, agama sebagai sumber
kebahagiaan. Kelima, agama sebagai sumber kebenaran.
Nilai-nilai kebenaran tersebut didukung pemahaman Endang Saefudin, dalam
filsafat agama bahwa manusia adalah hewan berfikir, berfikir adalah bertanya, bertanya
adalah mencari jawaban, mencara jawaban adalah mencari kebenaran tentang Tuhan
maka agamalah yang menjadi jawabannya.81
Nico Syukur Dister mengungkapkan bahwa pengalaman adalah pengetahuan
yang timbul bukan pertama-tama dari pikiran melainkan dari pergaulan praktis
dengan dunia. Pergaulan tersebut bersifat langsung, intuitif dan efektif.82
Istilah
dunia itu mencakup baik orang maupun benda. Salah satu ciri khas pengetahuan
semacam itu ialah tekanan pada unsur pasif dalam mengatasi sesuatu, orang
81
Syahminan Zaini, Pedoman Akidah Islam, Pustaka Darul Ilmi, Bekasi, 2006, hlm. 1. 82
Nico Syukur, hlm. 21.
pertama-tama merasa kena ketika disentuh, lebih daripada secara aktif
mengajarkan atau mengolah. Hal itu, sebagaimana terjadi dalam pemikiran oleh
keindrawian, afeksi dan emosi merupakan unsur yang memainkan peranan besar
dalam pengalaman keagamaan.
Selain itu juga, bahwa dalam rangka mencapai kedekatan dengan realitas mutlak
atau realitas tertinggi yang tak terjangkau oleh indera manusia, maka manusia melakukan
berbagai praktik ritual keagamaan untuk mendekatkan diri dan berhubungan baik dengan
Realitas Tertinggi atau Tuhan dengan melakukan berbagai ibadah, pemujaan, berkorban,
bersemedi, berdo‟a dan lain-lainnya. Jadi Ritual keagamaan dapat dipahami merupakan
sebagai kegiatan empiris manusia dalam mengungkapkan kepercayaan dan keyakinanya
yang diteransendensikan melalui simbol-simbol keagamaan.83
Dalam Ritual keagamaan adanya pengungkapan sikap atau prilaku yang tepat untuk
menanamkan sikap ke dalam kesadaran diri yang tertinggi dan juga merupakan
pengungkapan suatu perasaan semua orang yang melibatkan diri dalam ritual keagamaan
tersebut. Jadi bisa dikatakan bahwa ritual keagamaan itu menunjukan prilaku hubungan
ketika berhadapan dengan objek suci.84
Antara kehidupan manusia sehari-hari ada
hubungan yang terjalin dengan dunia ghaib. Sehingga dalam menghadapi kebutuhan
sehari-hari yang dianggap sulit membuat manusia memutuskan diri untuk memasuki
pengalaman dengan dunia gaib.
83
Transenden berasal dari bahasa latin, transcendere. Dalam bahasa ingris: trasendent, artinya
lebih tinggi, unggul, agung, melampaui. Di dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, transenden,
di definisikan sebagai sesuatu di luar kesanggupan manusia yang luar biasa, menonjolkan hal-hal
yang bersifat rohani, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama hlm. 611.
Dalam kutipan Bustanuddin Agus, transcend, berarti melewati batas terangkat dari sesuatu yang
nyata. Sedangkan transenden dalam antropologi agama pengalaman melewati atau terangkat dari
pengalaman, akal dan kemampuan manusia biasa, pengalaman transenden adalah pengalaman
religius, hlm. 108. 84
Thomas F. O‟Dea, hlm. 77.
Agama menjadi bagian penting dalam hidup manusia. Dalam hal ini, Harun
Nasution menjelaskan tentang empat unsur penting dalam agama. Pertama, unsur
kekuatan gaib atau objek suci. Manusia merasa dirinya lemah dan merasa butuh pada
kekuatan gaib sebagai tempat meminta pertolongan. Oleh karena itu, manusia merasa
harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik tersebut
dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan dari kekuatan gaib tersebut.
Kedua, keyakinan manusia bahwa kesejahteraan di dunia ini, hidup di akhirat nanti
tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib. Ketiga, respons manusia
yang bersifat emosional. Respons ini bisa mengambil bentuk perasaan takut seperti pada
agama primitif atau perasaan cinta seperti yang terdapat dalam agama monoteisme. Lebih
lanjut lagi respons itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang
bersangkutan. Keempat, paham adanya yang kudus (sacred) atau suci dalam bentuk
kekuatan gaib, dalam bentuk-bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang
bersangkutan, dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.85
Tujuan hidup beragama dalam monoteisme ialah menyerahkan diri secara total
kepada Tuhan Pencipta semesta alam dengan patuh terhadap perintah dan larangan-Nya,
agar manusia mempunyai roh dan jiwa yang bersih dan budipekerti yang luhur. Manusia
serupa inilah yang akan memperoleh kehidupan senang sekarang di dunia dan
kebahagiaan abadi kelak di akherat.86
Dengan demikian, Ritual keagamaan mempunyai tujuan dan fungsi yang sangat
penting. Penjelasan ritual tersebut di atas dapat dipahami bahwa Ritual keagamaan itu
merupakan bagian dari aspek batiniah seseorang. Pertama, untuk mewujudkan optimisme
manusia, mempertebal keyakinan terhadap realitas tertinggi dan menghilangkan rasa
takut. Kedua, untuk melindungi individu dari rasa ragu dan bahaya dengan
85
Harun Nasution, hlm. 3. 86
Ibid., hlm. 12.
mengantisipasi dan mengatasinya secara simbolis. Dengan cara ini, ritual keagamaan
dapat menenangkan kecemasan yang akan dilahirkan oleh situasi tersebut pada orang-
orang yang tanpa pegangan hidup dan menghindari efek perusak akibat adanya
kecemasan tersebut.87
Ketiga, untuk mempertahankan atau melestarikan kepercayaan
keagamaan yang telah diyakininya dan merupakan pewarisan dari orang-orang terdahulu.
Keempat, untuk mempertebal keyakinan terhadap adanya dunia yang gaib dan juga
memberikan cara-cara pengungkapan emosi keagamaan secara simbolik.88
Kelima, untuk
membawa manusia religius kedalam tempat yang suci, mensakralisasikan waktu dan
menunjukan dalam konteks dimana tingkah laku sakral terjadi. Keenam, sebagai kontrol
sosial, yaitu ritual keagamaan mengontrol perilaku dan kesejahteraan individu demi
kepentingan dirinya sendiri. Hal ini semua dimaksudkan untuk mengontrol dengan cara
konservatif terhadap perilaku, keadaan hati, perasaan dan nilai-nilai kelompok untuk
melindungi komunitas secara keseluruhan.
Dengan dasar fungsi ini, ritual tidak hanya pada aspek pribadi, tetapi aspek bersosial
pun dilakukan, hal ini didasarkan agama yang melekat dalam diri manusia.89
Begitu juga
Emile Durkhem mengungkapkan, upacara-upacara ritual dalam agama dan ibadah adalah
untuk meningkatkan solidaritas, untuk menghilangkan perhatian kepada kepentingan
individu. Masyarakat dalam melakukan ritual larut dalam kepentingan bersama. Terlihat
menurut Emile Durkhem, menciptakan upacara ritual keagamaan yang mengandung
makna kepada keutuhan masyarakat atau solidaritas sosial. Adapun ibadah yang
dilakukan sendiri seperti do‟a, semedi, kebaktian, zikir, shalat tahajud memiliki makna
memperkuat dengan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, supaya manusia mendapatkan
kepuasan batin, ketabahan, harapan untuk meperbaiki kesalahan (dengan sering meminta
87
Thomas F. O‟dea, hlm.16-19. 88
Elizabeth K. Nottingham, hlm. 16. 89
Brian Morris, Antropologi Agama, AK. Group, Yogyakarta, 2007, hlm 299.
ampun), adalah makna-makna terpenting dalam ibadah disamping itu berfungsi sebagai
jujur dan tepat janji.90
E. Agama Khonghucu
Sesuai dengan objek kajian penelitian, penulis menguraikan secara teoritis
mengenai agama Khonghucu. Agama ini termasuk agama mongolisme atau agama
Cina. Agama Khonghucu dikenal dalam dialek Hokian dengan istilah Ji Kauw
atau Ru Jiao (Hua Yu) yang berarti agama yang mengajarkan kelembutan atau
agama bagi kaum terpelajar. Agama ini sudah dikenal sejak 5000 tahun lalu atau
2500 tahun lebih awal dari usia Khonghucu sendiri.
Konghucu (dialek Hokkian) atau Kongzi (dialek Hua Yu) dikenal dalam
bahasa Latin dengan istilah Confucius. Dia diyakini sebagai nabi terakhir oleh
penganut agama Khonghucu. Menurut sejarah dia lahir tanggal 27 bulan 8 tahun
0001 Imlek atau sekitar 551 sm, (enam abad sebelum masehi, berbeda dengan
Nabi Muhammad yaitu enam abad setelah masehi). Menurut penganut
Khonghucu, ajaran Khonghucu disebut Ru Jiao. Sedangkan sebutan Kong Fu Zi
atau Confucianism diberikan oleh Maateo Ricci seorang misionaris Yesuit yang
datang ke Cina pada abad ke-17.91
Di Indonesia untuk menyebut Khonghucu
dikenal Kong Zi, sedangkan ajaran Khonghucu dikenal Agama Khonghucu,
walaupun sebagian orang menyebut ajaran Khonghucu.
Bukti kebesaran Kong zi atau Khonghucu, ditunjukkan oleh para tokoh agama
Khonghucu dengan adanya sistim penanggalan Imlek yang dihitung sejak tahun
kelahiran Kong zi. Walaupun penanggalan Imlek diciptakan pada zaman Huang
90
Bustanuddin Agus, hlm 102. 91
M. Iksan Tanggok. Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia. Jakarta,
Pelita Kebajikan, 2005, hlm. 86.
Di pada tahun 2698 – 2598 sM, dan digunakan sejak Dinasti Xia pada tahun
2205-1766 sM. Penetapan tahun pertama ini dilakukan Kaisar Han Wu Di dari
Dinasti Han pada tahun 104 sM.
Menurut kepercayaan orang Khonghucu nabi pertama yang tercatat dalam
sejarah Ru Jiao adalah Fu Xi. Dia hidup sekitar 30 abad sM. Dia dipercaya oleh
penganut Khonghucu mendapat wahyu dan memuliakan Kitab Yi Jing atau Kitab
Perubahan. Fu Xi memiliki istri bernama Nabi Nu Wa yang dipercaya
menciptakan hukum perkawinan. Pada saat itu seorang anak tidak hanya dianggap
sebagai anak ibu tetapi juga anak ayah. Di samping Nu Wa dalam kepercayaan Ru
Jiao dikenal nabi perempuan lain seperti Lei Zu, Jiang Yuan dan Tai Ren.
Sedangkan Nabi yang terkenal dikalangan para penganut Khonghucu diantaranya,
Huang Di, Yao, Sun, Xia Yu, Wen, Zou gong atau Jidan dan terakhir Nabi Kongzi.
Kitab Yi Jing dikenal penganut Khonghucu sampai sekarang. Kitab ini
menurut mereka ditulis oleh Fu Xi dan disempurnakan oleh lima Nabi yang
mendapat wahyu dalam tempo berlainan yaitu Fu Xi, Xia Yu, Wen, Zou Gong dan
Kongzi.
Dengan demikian kitab suci Agama Khonghucu sejak Yao (2357 – 2255 sM)
atau sejak Fu Xi (30 abad sM) sampai sekarang mengalami perkembangan yang
dinamis. Kitab suci yang termuda ditulis oleh cicit murid Kong zi yaitu Meng zi
(wafat 289 sM). Isi Kitab ini menjelaskan dan meluruskan ajaran Kongzi yang
waktu itu banyak diselewengkan.
Menurut para penganut Khonghucu bahwa kitab yang diulis oleh orang-orang
sebelum Kongzi dan kitab Chunqiujing (kitab atau catatan zaman Cun Ciu atau
musim Semi dan Musim Rontok) yang ditulis sendiri oleh Kongzi adalah sesuai
dengan wahyu Tian. Semua Kitab itu kemudian dihimpun Kongzi dalam sebuah
kitab yang disebut Wujing. Beberapa saat sebelum wafat, Kongzi
mempersembahkan Wujing dalam persembahyangan kepada Tian.
1. Ajaran Pokok Agama Khonghucu
a. Konsep Ketuhanan
Para penganut Khonghucu memahami atau mengakui bahwa Ru Jiao atau
agama Khonghucu sebagai agama monoteis. Mereka percaya bahwa hanya ada
satu Tuhan yang biasa disebut sebagai Tian, Tuhan Yang Maha Esa atau Shangti
(Tuhan Yang Maha Kuasa). Tuhan dalam konsep agama Khonghucu tidak dapat
diperkirakan dan ditetapkan, tetapi tidak satu wujud pun yang tanpa Dia. Dilihat
tidak tampak, didengar tidak terdengar. Namun dapat dirasakan oleh orang yang
meyakininya. Dalam kitab Yi jing dijelaskan bahwa Tuhan itu Maha Sempurna
dan Maha Pencipta (Yuan), Maha Menjalin, Maha Menembusi dan Maha Luhur
(Heng), Maha Pemurah, Maha Pemberi Rahmat dan Maha Adil (Li), dan Maha
Abadi Hukumnya (Zhen).
b. Watak Sejati
Sifat kodrati atau watak sejati manusia (xing) menurut Ajaran Khonghucu
adalah bersih dan baik, karena berasal dari Tian sendiri. Agar sifat baik ini bisa
dipelihara, maka manusia perlu berupaya hidup di dalam Jalan yang diridhoi
Tuhan (Jalan Suci, Dao). Bimbingan agar manusia dapat hidup dalam jalan suci
disebut agama. Dengan demikian menjadi jalas bahwa para penganut Khonghucu
memahami agama diciptakan oleh Tuhan dan disampaikan oleh para Nabi untuk
kepentingan umat manusia.
Para penganut Khonghucu menyadari bahwa agama-agama diturunkan Tuhan
lewat para nabi untuk kepentingan umat manusia, maka umat Khonghucu wajib
hidup penuh susila, tepasalira, penuh toleransi dan penghormatan kepada umat
agama lain, atas dasar keyakinan bahwa agama-agama atau jalan-jalan suci ini
semuanya berasal dari Tuhan.
Secara konsep, ajaran Khonghucu mengajarkan hubungan manusia dengan
Tuhan dan manusia dengan manusia yang dikenal dengan sebutan Zhong Shu dan
xing. Zhong Shu dipahami sebagai setia kepada firman Tuhan, dan xing adalah
tepasalira yaitu tenggang rasa kepada sesama manusia. Prinsip tepasalira ini
ditegaskan dalam beberapa sabdanya yang terkenal dalam ajaran Khonghucu,
“Apa yang diri sendiri tiada inginkan, jangan diberikan kepada orang lain” dan
“Bila diri sendiri ingin tegak (maju), berusahalah agar orang lain tegak (maju).”
Kedua sabda ini dikenal sebagai “Golden Rule” (hukum emas) yang bersifat Yin
dan Yang.
Selain itu ajaran Kongzi yang dianggap penting oleh para penganut
Khonghucu adalah tiga pusaka kehidupan, atau tiga mutiara kebajikan, atau tiga
kebajikan utama yaitu, Zhi, Rend dan Yong. Zhi berarti wisdom dan sekaligus
enlightenment (kebijaksanaan dan tercerahkan/pencerahan). Bijaksana dapat
diartikan pandai selalu menggunakan akal budinya, arif, tajam pikiran, mampu
mengatasi persoalan dan mampu mengenal orang lain. Pencerahan atau yang
tercerahkan, berarti mampu mengenal dan memahami diri sendiri, termasuk di
dalamnya mampu mengenal yang hakiki. Untuk mencapai Zhi manusia harus
belajar keras dengan menggunakan kemampuan dan upaya diri sendiri. Agama,
para Nabi dan atau Guru Agung hanya bisa membantu, namun untuk mencapainya
adalah dari upaya diri sendiri. Orang yang ingin memperoleh Zhi berarti ia harus
belajar keras untuk meraih kebijaksanaan dan sekaligus pencerahan batin.
Ren berarti Cinta Kasih universal tidak terbatas pada orang tua dan keluarga
sedarah belaka, namun juga kepada sahabat, lingkungan terdekat, masyarakat,
bangsa, Negara, agama dan umat manusia. Ren bebas dari stigma masa lalu dan
tidak membeda-bedakan manusia dari latar belakang atau ikatan primordialnya.
Ren tidak mengenal segala bentuk diskriminasi atau pertimbangan atas dasar
kelompok. Meski berasal dari satu kelompok, berpihak kepada orang yang berasal
dari kelompok berbeda namun benar-benar berada dalam kebajikan. Ren dalam
pengertian agama Khonghucu selalu didasari pada sikap ketulusan, berbakti,
memberi, bukan meminta atau menuntut balasan dalam bentuk apapun. Namun
perlu diingat bahwa Ren tidak berarti mencinta tanpa dasar pertimbangan baik dan
buruk. Dalam salah satu sabdanya Kongzi mengatakan, “Orang yang berperi Cinta
Kasih bisa mencintai dan membenci.” Mencintai kebaikan dan membenci
keburukan. Balaslah kebaikan dengan kebaikan; balaslah kejahatan dengan
kelurusan.” Di sini berarti siapa pun yang bersalah, harus diluruskan, dihukum
secara adil dan diberi pendidikan secara optimal agar dapat kembali ke jalan yang
benar. Setelah berada di jalan yang benar, kita tidak boleh terkena stigma, menilai
atas dasar masa lalu seseorang.
Para penganut Khonghucu mengartikan Yong sebagai berani atau keberanian.
Namun yang dimaksud dengan yong, bukanlah keberanian dalam “k” kecil.
Berani melawan harimau dengan tangan kosong, berani menyeberangi bengawan
tanpa alat bantu, bukanlah keberanian yang dimaksud Kongzi. Yang dimaksud
dengan keberanian di sini adalah berani karena benar, berani atas dasar aturan atau
kesusilaan, berani atas dasar rasa tahu malu. Suatu ketika Kongzi berkata, “Bila
memeriksa ke dalam diri aku telah berada dalam kebenaran, mengapa aku harus
merasa takut? Namun bila aku bersalah, kepada anak kecil pun aku tidak berani.
Yong juga diartikan sebagai keberanian untuk melakukan koreksi dan
instrospeksi diri. Bila bersalah, kita harus berani mengakui kesalahan tersebut dan
sekaligus berani untuk mengoreksinya. Nabi Kongzi berkata, “Sungguh beruntung
aku. Setiap berbuat kesalahan, selalu ada yang mengingatkannya.” Dia juga
berkata, “Sesungguh-sungghunya kesalahan adalah bila menjumpai diri sendiri
bersalah, namun tidak berusaha untuk mengkoreksi atau memperbaikinya.” Maka
seorang yang berjiwa besar adalah orang yang berani belajar dari kesalahan.
Menurut Mengzi, Yong dijabarkan sebagai Yi (kebenaran) dan Li (kesusilaan,
tahu aturan, ketertiban atau hukum). Bila seseorang mampu menjalani Ren, Yi, Li
dan zhi dengan baik, maka ia diharapkan mampu menjadi seorang junzi (kuncu),
atau orang yang beriman (dan tentu saja berbudi pekerti luhur). Dalam Islam
disebut “Insan Kamil”. Dengan demikian diharapkan ia akan menjadi manusia
terpercaya atau dapat dipercaya (Xin). Pokok ajaran Ren, Yi, Li, Zhi, atau inilah
yang biasa disebut sebagai lima kebajikan atau Wu Chang.
2. Tempat Ibadah dan Rohaniawan Agama Konghucu
Tempat ibadah Konghucu adalah Litang, Miao (Bio), Kongzi Miao, Khongcu
Bio dan Kelenteng. Litang, selain merupakan tempat sembahyang, juga
merupakan tempat kebaktian berkala (biasanya setiap hari Minggu atau tanggal1
dan 15 penaggalan Imlek). Disini umat mendapat siraman rohani (khotbah) dari
para rohaniawan. Miao dan kelenteng biasanya hanya merupakan tempat
sembahyang, kalaupun ada kebaktian, biasanya ditempatkan diruang yang terpisah
agar tak terganggu aktifitas sembahyang. Disamping menjadi tempat ibadah
agama Konghucu, kelenteng biasanya juga menjadi tempat ibadah agama Tao dan
agama Budha Mahayana.
Rohaniawan agama Konghucu terdiri atas: Xueshi, Wenshi, Jiaosheng,
Zhanglao dan ketua-ketua atau pimpinan-pimpinan Majelis atau tempat ibadah.
Sebelum menjadi Xueshi (biasa disingkat Xs), harus melalui jenjang Wenshi (Ws).
Sebelum menjadi Wenshi, harus melalui jenjang Jiaosheng (Js). Tokoh yang
sudah mencapai tingkatan sesepuh dan sangat senior disebut Zhanglao (Zl).
Setiap rohaniawan, sesepuh dan para pemimpin tempat ibadah yang
memegang jabatan dan surat pengangkatan dari Dewan Pengurus Majelis Tinggi
Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) dan atau menerima surat Li yuan
Rohaniawan (Persidian, peneguhan iman) dan Dewan Rohaniawan MATAKIN,
memilki beberapa kewenangan. Pertama, menyelenggarakan kebaktian bagi umat
Konghucu didaerahnya yang diatur dalam Majelis Agama Khonghucu Indonesia
(MAKIN). Kedua, melakukan Li yuan umat (Pembaptisan). Ketiga, memimpin
berbagai upacara suci bagi umat konghucu, sesuai hukum agama Konghucu,
termasuk hukum perkawinan Agama Konghucu, yang diatur dalam Tata Agama
Konghucu.
3. Ritual Agama Khonghucu
Terdapat ritual dan perayaan dalam agama Khonghucu seperti ritual Li Yuan,
upacara pernikahan, upacara kematian dan perayaan Imlek. Upacara Li Yuan dilakukan
untuk penganut Khonghucu yang baru mendapatkan nama, menginjak usia dewasa,
medapatkan tugas baru dalam kerohanian agama Khonghucu. Bayi yang baru berusia satu
bulan biasanya orang tuanya mengadakan ritual Li Yuan. Anak-anak yang baru menginjak
dewasa atau berusia sekitar lima belas tahun mendapat ritual Li Yuan di tempat Ibadah.
Para penganut Khonghucu yang mendapat gelar baru seperti Zhanglao, Xenshi, Wenshi,
dan Jao sheng melakukan ritual Li Yuan. Tujuan ritual ini adalah untuk mempertegas
keimanan para penganut Khonghucu dan menandai transisi kehidupan.
Ketika seseorang melakukan Li Yuan (pembaptisan) orang dewasa, dia
mengikuti prosesi ritual Li Yuan tersebut. Biasanya pemandu ritual Li Yuan
mengucapkan beberapa pernyataan yang diikuti oleh calon yang ikut ritual.
Pernyataan tersebut diantaranya,
Firman Tian, Tuhan Yang Maha Esa itulah dinamai watak sejati
Hidup mengikuti watak sejati itulah dinamai menempuh jalan
suci.
Bimbingan untuk menempuh jalan suci itulah dinamai Agama
Dipermuliakanlah
Adapun jalan suci yang dibawakan Ajaran Besar itu ialah
Menggembilangkan kebajikan yang bercahaya
Mengasihi rakyat dan berhenti pada puncak kebaikan
Dipermuliakanlah
Hanya kebajikan berkenan Tuhan
Sungguh miliki Yang satu itu: kebajikan
Wei De Dong Tian, Xian You Yi Te
Wei De Dong Tian, Xian You Yi Te.
Siancai92
Selanjutnya seseorang yang telah melakukan ritual Li Yuan menerima kartu
anggota yang didalamnya menerangkan keanggotaan penganut Khonghucu. Di
dalam Kartu tersebut terdapat beberapa pernyataan diantaranya, 1) Apa yang diri
sendiri tiada inginkan, janganlah diberikan kepada orang lain. 2) Seorang yang
berperi cinta kasih ingin dapat tegak maka ia berusaha membantu orang lainpun
tegak; ia ingin maju, maka ia berusaha agar orang lainpun maju. 3) Jangan
mendua hati jangan bimbang, Tuhan besertamu.93
Ritual Li Yuan itu tidak hanya bagi anak-anak tetapi juga bagi para penganut
Khonghucu yang melangsungkan pernikahan. Namun menurut penganut
Khonghucu, Li Yuan Pernikahan biasanya tidak dilakukan di tempat Kong Miao di
Bandung tetapi di daerah lain.
Ritual Li Yuan pernikahan bagi penganut Khonghucu merupakan ritual yang
sakral, tidak hanya ikatan perjanjian antara manusia dengan manusia tetapi
perjanjian manusia dengan Tuhan langit dan disaksikan bumi dan manusia. Salah
satu simbol ritual itu adalah minum air dan kelengkeng.94
Di samping itu ada juga ritual kematian. Ritual kematian dipahami para
penganut Khonghucu untuk menghormati tubuh manusia yang berasal dari Tuhan
Langit (Tian). Sebagaimana ritual-rual lainnya dalam ritual kematian ini dipimpin
oleh para rohaniawan Khonghucu, tetapi suasana dalam ritual ini nampak dalam
kesedihan. Apabila seseorang yang meninggal itu memiliki barang atau benda
92
MATAKIN, Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghuc,: MATAKIN,
Jakarta 2000, hlm. 99. 93
Ibid. 94
Ibid.
yang disayanginya, maka benda atau barang itu ikut juga bersama jasad orang
meninggal dengan cara diletakkan di atas peti dan dikubur.
4. Perayaan Imlek
Ritual dan perayaan Imlek merupakan bagian dari kegiatan keagamaan para
penganut Khonghucu. Istilah Imlek berasal dari dialek Hakhian (salah satu suku
di Negeri Cina) yaitu kata “Im” yang berarti bulan dan “lek” berarti kalender.
Menurut bahasa Mandarin sebagai bahasa resmi nasional Cina menggunakan
bunyi yinlie (yin berarti bulan, dan lie berarti penanggalan). Orang-orang
Tionghoa lebih suka menggunakan kata Imlek.
Tahun Baru Imlek sudah dirayakan sejak 600 tahun sebelum Masehi.
Berkaitan dengan Imlek terdapat Penanggalan Cina. Orang Tionghoa mengenal
Sio yang berarti lambang dari setiap tahun. Sio ini dilambangkan dengan nama-
nama binatang yang memiliki makna tertentu seperti, tikus, macan, kelinci, naga,
ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, dan babi. Sio akan berganti dalam 12
kali.
Penanggalan Imlek ditentukan dari peredaran bulan mengelilingi bumi (lunar
system) yang dikombinasikan dengan peredaran bumi mengelilingi matahari
(solar system). Penanggalan Imlek disebut juga penanggalan imyanglek (system
lunisolar).
Penanggalan Imlek ini pada awalnya disusun untuk menandakan pergantian
musim atau dimulainya musim semi sebagai awal menanam bagi petani di Cina.
Di Cina terdapat empat musim yaitu chuen (musim semi), Shia (musim panas),
chiu (musim rontok), dan thung (musim salju atau dingin). Perayaan ini
diharapkan memperoleh hasil panen yang melimpah.
Para penganut Khonghucu percaya bahwa awal penanggalan Imlek ini
dihitung sejak kelahiran Khonghucu yang menjadi pendiri agama Khonghucu
yaitu tahun 551 SM. Selanjutnya Pada saat Pemerintahan Dinasti Han Bu Tee
(140-86 SM) dari Dinasti Han (206 SM- 220 M) menganjurkan penggunaan
penanggalan Imlek untuk masyarakat Cina.
Biasanya Imlek jatuh pada bulan baru (Chee it atau Chu yi) setelah memasuki
Tai Han (T Kan) yaitu 21 Januari (musim dingin) sampai dengan hi swi (yi suei)
19 Februari (musim semi). Tetapi itu tidak pasti, terbukti pada tahun 1969, Imlek
jatuh pada tanggal 18 Januari.
Menurut penganut Khonghucu bahwa pertimbangan penentuan awal tahun
adalah untuk kesejahteraan manusia yang selanjutnya dijadikan pedoman untuk
mempersiapkan dan merencanakan segala sesuatu selama satu tahun kemudian.
Di Tiongkok, di samping tahun baru yang berdasarkan penanggalan Masehi
juga digunakan penanggalan Imlek. Sebagaimana perlemen Tiongkok pada
tanggal 27 September 1949 memutuskan tentang tahun baru bagi masyarakat yaitu
Tahun Baru yang dirayakan pada tanggal 1 bulan 1 menurut penanggalan Masehi,
dan Tahun Baru Imlek yang jatuh pada tanggal 1 bulan 1menurut penanggalan
Imlek.95
Selain itu penanggalan Imlek digunakan untuk perayaan ritual keagamaan
baik agama Khonghucu maupun Buddha seperti di Negara Jepang, Korea,
95
Lie Sau Fat/ XF. Asali, Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat, Muara Public Relation,
Pontianak, 2008, Cet. ke-1, hlm. 8
Vietnam, Taiwan, Birma dan Negara lainnya.96
Agama-agama lain pun
merayakannya seperti Katolik di beberapa Kota di Indonesia. Mereka
mengadakan misa Imlek dengan menggunakan asesoris Tionghoa seperti pakaian
dan topi Tionghoa, lampion (lampu hias yang berwarna merah) dan petasan.
Orang-orang yang merayakan Imlek memiliki makna-makna tertentu dalam
perayaan Imlek. Salah satu makna yang diharapkan orang-orang dari perayaan
Imlek biasanya adalah keharmonisan dalam tata kehidupan di dunia. Pergantian
waktu atau tahun Imlek bagi orang-orang tertentu menunjukkan adanya
keterikatan manusia dengan waktu dan dapat menyadarkan manusia kepada
kekuasaan alam itu sendiri sehingga manusia dapat bersyukur kepada Tuhan.
Sehingga hari Imlek bagi penganut Khonghucu sebagai hari agung untuk
bersembahyang kepada Tian, roh suci dan leluhur mereka. Dengan kata lain,
secara religius para penganut Khonghucu dapat memahami tahun Imlek sebagai
cara untuk mengakhiri semua bentuk keburukan dan kesalahan, dan berusaha
memperbaiki diri agar tahun selanjutnya memperoleh rezeki lebih banyak dan
dapat menjamu orang suci dan para leluhur.
BAB III
PEMBAHASAN HASIL PENELITHIAN
MAKNA PERAYAAN IMLEK MENURUT
PENGANUT KHONGHUCU DI MAKIN KOTA BANDUNG
96
The Heng Kung dan Surip Prayogo, Tanaman Simbol Imlek, Penebar Swadaya, Depok, 2005,
Hlm. 6.
Selama tahun 1965 sampai dengan 1998 perayaan tahun baru Imlek di
Indonesia, dilarang dirayakan di depan umum. Melalui Instruksi Presiden Nomor
14 Tahun 1967 pemerintahan yang dipimpin Soeharto melarang segala hal yang
berbau Tionghoa, termasuk Imlek. Mungkin alasan politik yang menjadi faktor
utama pelarangan tersebut yaitu pasca tragedi politik tahun 1965 yang dikenal G
30 S/PKI.
Namun masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan
kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika mantan Presiden
Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kebijakan tersebut
dilanjutkan oleh Pemerintahan Megawati Soekarnoputri dengan mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 19/2002 pada tanggal 9 April 2002 yang meresmikan
Imlek sebagai hari libur nasional. Sejak tahun 2003, Imlek resmi dinyatakan
sebagai salah satu hari libur nasional. Akibatnya perayaan Imlek dilaksanakan di
berbagai daerah di Indonesia dengan suasana yang jauh berbeda dengan suasana
pada masa pemerintahan Orde Baru.
Di Kota Bandung ritual dan perayaan Imlek 2563 atau 2012 dilaksanakan
pula oleh etnis Tionghoa termasuk mereka yang menganut agama Khonghucu.
Berbagai persiapan, pelaksanaan dan pasca hari Imlek dilakukan oleh para
penganut Khonghucu pada setiap penyelenggaraan menyambu Tahun Baru Imlek.
Untuk mengetahui lebih jelas proses ritual perayaan dan makna Imlek bagi
penganut Khonghucu di Kota Bandung, penulis mendeskripsikan beberapa hal
yang berkaitan dengan penganut Khonghucu dan ritual perayaan Imlek di Bab ini.
Beberapa hal tersebut diantaranya, sejarah masuknya orang-orang Tionghoa ke
Bandung, keberadaan para penganut Khonghucu, tempat ibadah dan kantor
sekretariat, suasana kota Bandung menyambut perayaan Imlek, proses ritual Imlek
dan makna perayaan Imlek.
A. Masuknya Orang-Orang Tionghoa ke Bandung
Penganut Khonghucu di Indonesia tidak lepas dari keberadaan Tionghoa yang
memiliki orientasi budaya berbeda. Sebagaimana menurut Mely G. Tan bahwa
orang etnis Tionghoa di Indonesia bukanlah satu kesatuan yang monolitis, tetapi
terdiri dari golongan-golongan dengan kewarganegaraan yang berlainan dan
orientasi kebudayaan yang berbeda.97
Menurut Abdurahman Wahid, orang-orang Tionghoa yang menganut
Khonghucu datang ke Indonesia setelah datangnya orang-orang Cina yang
beragama Muslim. Wahid mengungkapkan tiga tahap kedatangan orang-orang
Tionghoa ke Nusantara.98
Pertama, orang-orang Tionghoa yang menyebar di
kepulauan Nusantara pada abad ke-15, terutama di pulau Jawa atau pantai utara
pulau Jawa adalah komunitas Cina Muslim. Hal ini Wahid merujuk kepada tulisan
Ettori Atali yang menyebutkan bahwa pada abad ke-15 M pelayaran Maritim di
kawasan Asia Tenggara hingga ke pantai Timur India didominasi oleh pangkalan
laut Cina yang umumnya beragama Muslim. Kedua, setelah satu atau dua generasi
berikutnya, komunitas Cina didatangkan oleh pemerintahan Kolonial Inggris dan
Belanda terutama di Kalimantan Barat. Komunitas yang didatangkan pemerintah
kolonial tersebut adalah pengikut agama Khonghucu. Ketiga, pada tahun 1960-an
97
Mely G.Tan (Editor). Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1981, hlm. xx 98
Abdurahman Wahid, Konfusianisme di Indonesia Sebuah Pengantar, dalam Th. Sumartana
(Redaktur). Konfusianisme di Indonesia- Pergulatan Mencari Jati Diri. Jogjakarta:
Interpedei. 1995, hlm. xxxii-xxxiii.
banyak terjadi konversi dari agama Khonghucu ke agama Kristen Katolik dan
Kristen Protestan. Konversi besar-besaran diperkuat lagi pada zaman Orde Baru,
karena pemerintahan Orde Baru melarang pemunculan agama Khonghucu sebagai
agama melainkan sebagai salah satu ajaran spiritualitas yang mengandung unsur-
unsur etika.
Seiring dengan masuknya orang-orang Tionghoa ke Indonesia, orang -orang
Tionghoa masuk pula ke Bandung. Sebagaimana menurut Beer bahwa masuknya
orang-orang Tionghoa ke Bandung itu memiliki beberapa versi. Pertama, orang
Tionghoa itu didatangkan oleh pemerintahan Belanda pada masa Daendels untuk
membantu pembangunan jalan raya pos. Pemerintah Belanda pada waktu itu
beralasan mendatangkan mereka karena mereka terkenal dengan kemampuan
pertukangan. Ketika Pemerintah Belanda waktu itu membuat Post Weg, Daendels
mendatangkan etnis Tionghoa dari Cirebon. Mereka dipekerjakan sebagai tukang
kayu. Kedua, orang Tionghoa kemungkinan sebagai pelarian dari perang Jawa
atau Diponegoro (Java Oorlog) pada masa itu. Ketiga, orang Tionghoa ini
didatangkan ke Bandung untuk menghidupkan perekonomian kota Bandung yang
sedang dibangun. Hal ini mirip dengan upaya pemerintah Belanda mendatangkan
orang-orang Tionghoa ke Batavia pada abad ke-17 untuk menghidupkan
perekonomian Kota itu. Pemerintah Belanda pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal J.P. Coen menyukai orang-orang Tionghoa, karena orang Tionghoa
dikenal dengan tidak suka berperang dan rajin. Keberadaan orang Tionghoa
berperan sebagai pedagang eceran dari barang yang diimpor Belanda.
Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang Tionghoa merasa
terancam keselamatannya. Mereka sengaja pindah dari Jawa Tengah, Yogyakarta
dan sekitarnya ke Bandung untuk mendapatkan hidup yang lebih aman dan layak.
Menurut salah seorang sejarawan, peristiwa perpindahan orang Tionghoa itu
terjadi pada peristiwa perang Diponegoro yaitu tahun 1825. Mereka membentuk
komunitas di Bandung tepatnya di daerah Suniaraja. Dengan berperan sebagai
pedagang, orang-orang Tionghoa itu menetap di daerah tersebut.
Menurut Bambang selaku Ketua MAKIN Kota Bandung menceritakan bahwa
secara perlahan, sejak menetap di Suniaraja orang-orang Tionghoa menyebar ke
daerah sekitarnya. Mereka menyebar ke berbagai wilayah di kota Bandung yang
kini dikenal dengan nama-nama jalan diantaranya, Jalan Banceuy, Jalan ABC,
Jalan Pasar Baru, Jalan Gardu Jati, Jalan Cibadak dan Jalan Pacinan Lama.
Kawasan ini sekarang terkenal dengan perdagangannya. Jalan Banceuy dan Jalan
ABC dikenal sebagai pusat perdagangan elektronik. Jalan Gardu Jati Jalan
Cibadak dan Jalan Pacinan Lama dikenal sebagai kios yang menjual barang-
barang grosiran untuk kebutuhan rumah tangga.
Pacinan yang berasal dari bahasa Sunda terdiri dari suku kata “pa-Cina-an”
berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan Cina. Pacinan ini merupakan sebutan
orang-orang Tionghoa di sekitarnya untuk menunjukkan wilayah yang dihuni
orang-orang Cina atau Kampung Tionghoa. Setiap daerah Pacinan di Indonesia
memiliki karakter tertentu. Terdapat beberapa karakter orang-orang Tionghoa
yang tinggal di sekitar Kota Bandung termasuk daerah Pacinan Lama pada masa
pemerintahan Belanda. Pertama, segi kepemimpinan, orang Tionghoa yang
tinggal di Pacinan memiliki pemimpin sendiri. Pemimpin itu diangkat berdasarkan
persetujuan Pemerintahan Belanda. Pemimpin itu berpangkat Mayor, Kapten,
Letnan dan sebagainya. Pemimpin Tionghoa ini merupakan orang yang sangat
kaya dan berpengaruh pada masyarakatnya. Dengan menjadi pemimpin itu,
kekayaan mereka bisa meningkat pula, karena mereka memperoleh hak monopoli
dalam penjualan opium. Kedua, profesi orang Tionghoa umumnya sebagai
pedagang dan pemiliki Toko, walaupun pada awalnya mereka berprofesi sebagai
Tukang Kayu. Sebagaimana menurut sejarawan bahwa perkampungan Tionghoa
yang padat, berdekatan dengan pasar yang terdiri dari toko-toko dan pengrajin,
seperti tukang kunci, lemari, kayu dan sebagainya. Ketiga, karakter arsitekturnya
arsitek Tionghoa berbentuk lengkung dan didominasi warna merah. Bentuk
lengkung itu diwujudkan dalam bentuk rumah dan Klenteng. Vihara yang berada
di dekat station Kereta Api Bandung merupakan salah satu peninggalan arsitektur
Tionghoa.
Namun, pada zaman Pemerintahan Belanda orang-orang Tionghoa juga
mendirikan bangunan mewah yang bergaraya Eropa. Mereka tidak hanya
mendirikan bangunan di kawasan Cibadak dan sekitarnya tetapi juga di kawasan
Bandung Utara, seperti Bangunan Drie Driekleur, SMAK Dago, dan Vila Mei
Ling. Bangunan ini menunjukkan kemakmuran orang Tionghoa di Kota Bandung
pada saat itu.
B. Keberadaan Para Penganut Khonghucu
Berdasarkan data dari dinas Kependudukan Kota Bandung tahun 2009 bahwa
pemeluk Khonghucu berjumlah 29 orang.99
Mereka terdiri dari 15 orang laki-laki
dan 14 orang perempuan. Tempat tinggal mereka tersebar di berbagai daerah
diantaranya, Kota Bandung, Cimahi dan Kabupaten Bandung. Kebanyakan
diantara mereka menetap di daerah Gedebage.
Sedangkan menurut Bambang Sukotjo100
bahwa di Kota Bandung ada sekitar
200 Kepala Keluarga yang beragama Khonghucu. Beliau menjelaskan alasan
perbedaan jumlah pemeluk agama Khonghucu itu. Salah satunya adalah masalah
administrasi kependudukan. Secara singkat Bambang mengungkapkan bahwa di
tingkat kecamatan, para pemeluk Khonghucu belum seluruhnya mencantumkan
Khonghucu sebagai agama yang harus dipilih dalam formulir KTP atau Kartu
Keluarga. Akibatnya data penganut agama Khonghucu menjadi tidak pasti secara
formal. Sebagaimana dia sebutkan dalam suatu surat kabar,101
Kalau ditanya berapa jumlah umat Khonghucu di Jawa Barat,
maka kami tak bisa menjawabnya secara pasti. Kami kesulitan
mendata karena agama Khonghucu belum ditulis dalam KTP.
Baru Kabupaten/Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis dan Kota
Banjar yang mencantumkan agama Konghucu dalam KTPnya.
Tanpa memiliki bukti sah semisal KTP dengan identitas agama
Khonghucu membuat MAKIN Jabar terhambat apabila
mengajukan izin pendirian rumah ibadah.
Bahkan Bambang sendiri mengaku bahwa keterangan agamanya masih
tercatat sebagai pemeluk Agama Kristen di Kartu Keluarga miliknya Padahal dia
sudah berusaha kepada petugas kecamatan untuk mencantumkan nama
Khonghucu di kolom Kartu Keluarga tersebut.
99
Sumber Data dari Dinas Kependudukan Kota Bandung 100
Hasil Wawancara informal 26 Januari 2012 101
Bandung Ekspress, Selasa, 6 Januari 2011.
Hal ini diperkuat dengan pengakuan beberapa para penganut Khonghucu,
bahwa mereka masih menggunakan nama agama yang bukan Khonghucu di
dalam Kartu Tanda Penduduknya. Nama agama yang bukan Khonghucu itu
adalah Kristen, Katolik, Buddha dan Islam. Mereka mengaku masih sulit merubah
keterangan agama di KTP masing-masing. Namun sebagian dari mereka masih
tidak mau menjawab apabila mereka ditanya masalah agama apa yang tercantum
dalam KTP. Mungkin mereka takut atau malu dengan keterangan yang terdapat
dalam KTP itu.
Orang-orang Tionghoa yang menganut agama Khonghucu dapat dibedakan
dari marga (se), gender dan jabatan professional atau status sosialnya. Sebagian
dari para penganut Khonghucu itu menggunakan nama Indonesia, dan sebagian
lain menggunakan nama asli Tionghoa. Bagi penganut Khonghucu yang
menggunakan nama Indonesia, sebenarnya mereka memiliki juga nama yang
berbahasa Tionghoa, sehingga nama mereka menjadi ganda. Ada nama yang
berbahasa Indonesia dan ada pula nama yang berbahasa Tionghoa. Orang
Khonghucu yang hanya menggunakan nama Tionghoa terbagi dalam beberapa
marga (se) diantaranya, marga lie, an, cang, ang, chew, ci, cong, gow, hong, kang,
lauw, liang, lim, liong, oey, ong, ouw,song, tan, tjid, tjio, wong, wu, xu, dan yen.
Secara gender para penganut Khonghucu yang datang ke Miao kebanyakan
laki-laki. Bila dibandingkan dengan jumlah perempuan, jumlah laki-laki lebih
banyak. Perempuan yang datang ke Kong Miao biasanya orang yang sudah lanjut
usia. Hanya beberapa orang perempuan yang dianggap masih muda. Dominasi
laki-laki itu ditunjukkan pula dalam perannya sebagai petugas keagamaan. Semua
pemimpin dan pengatur acara ritual diperankan oleh laki-laki. Kelompok
perempuan memerankan dalan kegiatan pengaturan makanan, seperti memasak,
menyajikan dan kebersihan.
Orang-orang Khonghucu itu dapat dibedakan berdasarkan profesi dan
statusnya. Diantara mereka ada yang menjadi pengusaha, pedagang, karyawan,
ibu rumah tangga, dan mahasiswa. Profesi pedagang menjadi mayoritas di
kalangan mereka, terutama pedagang toko. Status sosial pengusaha merupakan
status yang paling tinggi secara stratifikasi sosial. Hal tersebut dapat dibedakan
dari kendaraan yang mereka bawa di Kong Miao. Beberapa orang Khonghucu
yang menjadi pengusaha dan pedagang menggunakan mobil. Karyawan,
mahasiswa dan pedagang kecil menggunakan motor dan angkutan umum seperti
angkot dan becak.
C. Tempat Ibadah dan Kantor Sekretariat
Para pemeluk agama Khonghucu di Kota Bandung dipusatkan dalam rumah
ibadah yang bernama Kong Miao. Tempat Ibadah ini terletak di jalan Cibadak
nomor 255 i Bandung. Daerah Cibadak yang terletak di pusat Kota Bandung ini
terkenal dengan penghuni yang beretnis Tionghoanya. Orang-orang Tionghoa di
Cibadak ini berlainan agamanya, diantaranya, Khonghucu, Tao, Buddha, Kristen
dan Katolik. Terbukti di kawasan Cibadak ini terdapat beberapa gedung keagaman
sebagai tempat ibadah mereka diantaranya, Vihara, Gereja (kapel), Kong Miao.
Sedangkan orang-orang Tionghoa yang beragama Islam dipusatkan di sekretariat
dan mesjid yang terletak di jalan Muhammad Toha.
Bangunan Kong Mio milik penganut Khonghucu mirip dengan gedung rumah
toko (ruko) yang terdiri dari dua lantai. Di depan bangunan itu bertuliskan,
“Sekretariat MAKIN (Majelis Agama Khoghucu) Kota Bandung Jl. Cibadak No.
255 I. Bandung.” Lantai bawah biasanya digunakan untuk acara umum. Mungkin
lantai bawah ini berfungsi sebagai aula dan bersifat umum. Terbukti penulis
melihat mereka melakukan diskusi atau ramah tamah di lantai bawah itu, tapi
terkadang lantai bawah digunakan untuk sembahyang. Salah satunya sembahyang
Khing Ti Kong yang mengharuskan upacara itu mengarah keluar di depan pintu
secara kolektif. Sedangkan lantai atas digunakan para penganut Khonghucu untuk
sembahyang pribadi dan bersifat khusus. Dengan demikian fungsi gedung
bangunan itu adalah sebagai sarana sembahyang bagi penganut Agama
Khonghucu dan sebagai sekretariat organisasi MAKIN di Kota Bandung.
Sebagian diantara mereka menyebut Kong Miao, karena hal itu berkaitan dengan
tempat sembahyang bagi para penganut Khonghucu. Sebagian lagi menyebut
sekretariat MAKIN, karena tempat itu sebagai kantor organisasi Agama
Konghucu yang ada di daerah Kota Bandung.
Keberadaan Kong Miao di Cibadak ini baru berdiri pada tahun 2009.
Sebelumnya tempat ibadah Khonghucu di Kota Bandung mengalami perubahan
atau berpindah tempat dari tempat satu ke tampat lainnya. Bambang mengaku
bahwa mulai kepemimpinan Abdurahman Wahid sampai sekarang sudah
mengalami tiga kali pindah tempat.102
Perpindahan tempat ibadah itu dikarenakan
status kepemilikannya yang belum permanen alias masih status kontrak atau sewa.
102
Hasil Wawancara Informal 26 Januari 2012
Kini mereka telah mampu membeli gedung ruko di kawasan Cibadak itu yang
dijadikan sekretariat Agama Khonghucu di Kota Bandung. Untuk memperluas
bangunan tersebut, Bambang mengaku sedang mengurus proses kepemilikan ruko
lainnya yang berdekatan dengan ruko yang telah dimilikinya itu.
Menurut Bambang bahwa penganut Khonghucu di Kota Bandung
sebelumnya melaksanakan ritual keagamaan di Vihara yang sekarang digunakan
oleh para penganut Buddha. Orang-orang Khonghucu mengaku merasa kesulitan
untuk mendirikan tempat ibadah. Sebagaimana dia ungkapkan,
Peraturan Bersama Mendagri dan Menag mensyaratkan pendirian
rumah ibadah harus mencantumkan KTP penggunanya minimal
90 orang. Akibat kebijakan Orde Baru yang tidak membolehkan
agama Khonghucu sehingga rumah-rumah ibadahnya diambil
alih agama lain. 103
Bambang menjelaskan pula bahwa sebanyak 12 vihara miliki Khonghucu kini
sudah diambil alih oleh penganut agama lain. Dia mengungkapkan, “Kami tak
ingin memperbesar masalah, namun meminta agar vihara-vihara yang sudah
diambil alih masih bisa dimanfaatkan oleh kami.”104
Gedung Kong Miao yang dijadikan sekretariat MAKIN Kota Bandung ini
biasanya buka setiap pukul 09.00 sampai dengan 11.00 dan 14.00 sampai dengan
16.00. Di lantai bawah terdiri ruang penerima tamu dan dapur. Di pinggir ruangan
itu terdapat rak yang berisi buku-buku dan cinderamata. Antara ruang tamu dan
dapur dibatasi dengan tangga menuju lantai dua. Di bagian dinding terdapat
gambar Khonghucu dan tulisan Mandarin. Sedangkan di ruang lantai atas atau
lantai dua terdapat beberapa bagian. Bagian depan adalah altar, bagian tengah
103
Bandung Ekspress, Selasa, 6 Januari 2011. 104
Ibid.
tempat duduk jemaat, karena terdapat deretan kursi yang memuat sekitar delapan
puluh orang. Di bagian belakang terdapat ruang tempat penyimpanan barang
seperti baju pemandu sembahyang, dupa yang belum dipakai dan lain-lain.
Di bagian altar terdapat beberapa benda diantaranya, tulisan yang berbahasa
Mandarin, beberapa patung Khonghucu sebagai pendiri agama dan beberapa
patung murid Khonghucu, dupa, mimbar, tempat abu untuk menancapkan dupa,
dan lilin. Selain itu deretan kursi tempat jemaat terdapat di ruangan tempat
sembahyang itu.
Di Kong Miao itu petugas keagamaan menyediakan buku kunjungan jemaat.
Setiap orang yang datang ke tempat itu diminta mengisi buku induk jemaat,
termasuk penganut Khonghucu dan tamu. Di buku tamu itu tercantum kolom
nomor, nama, dan alamat yang harus diisi oleh setiap orang yang datang. Ketika
penulis datang ke Kong Miao, Penulis melihat daftar nomor urut di buku induk
pengunjung itu sudah nomor urut 117. Mereka yang datang ke Kong Miao tidak
hanya dari kota Bandung, tetapi juga mereka berasal dari Cimahi, Rancaekek, dan
Majalaya.
Orang-orang Khonghucu yang beribadah di Kong Miao kota Bandung
memiliki organisasi bernama MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia).
MAKIN ini sejenis organisasi tingkat daerah yang mengatur kehidupan beragama
para penganut Khonghucu. MAKIN ini di bawah koordinasi organisasi tingkat
pusat yang bernama MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia).
Struktur MAKIN itu terdiri dari ketua, dan pengurus bidang. Pengurus bidang
terdiri dari empat bidang yaitu bidang kerohanian, layanan kemaThian,
kepemudaan, dan seni-budaya. Di bawah MAKIN terdapat pula oraganisasi-
orgasiasi diantaranya WAKIN (Wanita Agama Khonghucu Indonesia), dan
PAKIN (Pemuda Agama Khonghucu Indonesia). Di samping itu ada juga
penasihat-penasihat keagamaan yang disebut Zianglo. Zianglo ini dijabat oleh
para senior penganut agama Khonghucu. Ketua MAKIN ini sekarang dijabat
Bambang Sukotjo. Seorang pengusaha di Kota Bandung dan dosen di ITENAS.
Dia kini berusia sekitar 42 tahun. Dia lulusan fakultas Teknik di Institut
Teknologi Nasional (ITENAS) di Bandung. Dia bergelar Jausheng 105
artinya
penyampai misi agama.
Para penganut Khonghucu melakukan berbagai jenis kegiatan keagamaan di
Kong Miao Kota Bandung, diantaranya kebakThian minggu, sembahyang leluhur,
ritual khusus dan diskusi keagamaan. Sedangkan kegiatan olah raga dan acara
masak bersama dilakukan pada hari-hari tertentu. Kegiatan kebakThian
sembahyang berlangsung di Kong Miao secara rutin setiap hari minggu dan pada
hari atau malam tertentu. Setiap kegiatan ritual biasanya pemeluk Khonghucu
hadir sejumlah 30 dan 40 orang. Pada hari minggu itu banyak penganut
Khonghucu datang ke Kong Miao untuk mengadakan ritual. Mereka
melaksanakan ritual itu mulai pukul 10.00 sampai dengan 12.00. Biasanya acara
kebakThian pada hari minggu itu dihadiri oleh sebagian anak muda termasuk
pelajar dan mahasiswa. Salah satu di antara mereka adalah mahasiswa S2
105
Jausing ini merupakan tingkat gelar keagamaan dalam Khonghucu di bawah Wense. Susunan
struktur jabatannya dari atas sebagai berikut. Zhanglao (Zl/Penasihat/ senior), Xueshi
(Xs/pemimpin kerohanian), Wenshi (Ws/guru agama), Jausheng (Js/Penyampai misi agama) dan
chun zu (anggota jemaat ).
Universitas Padjajaran. Setelah melakukan ritual kadang mereka mengadakan
makan bersama dan diskusi.
D. Suasana Kota Bandung Menyambut Perayaan Imlek
Menjelang perayaan hari Imlek, suasana Kota Bandung berbeda dengan hari-
hari sebelumnya. Hal tersebut nampak di berbagai sudut kota Bandung, seperti di
Mal, hotel, jalan-jalan, pasar dan rumah. Beberapa surat kabar, baik cetak maupun
elektronik menyiarkan berita kondisi menjelang hari Imlek di Kota Bandung.
Beberapa pusat perbelanjaan di Kota Bandung nampak melakukan persiapan
dengan membuat beberapa acara untuk merayakan Tahun Baru Cina atau Imlek
2563. Pada hari Imlek itu pusat perbelanjaan Bandung Trade Center (BTC)
Fashion Mall menampilkan aktraksi "Barongsai Naik Sepeda." Sebanyak enam
barongsai naik sepeda. Mal Festival Citylink di Jalan Peta Kota Bandung
mengadakan acara "China Town Food Festival" dimana pengunjung dapat
menikmati aneka kuliner khas China dan Indonesia dalam satu tempat. Dalam
pameran itu para pengunjung dapat pula melihat pameran ragam kerajinan
produk-produk unik khas China dalam acara Chinese Fair. Acara di Mal tersebut
menurut salah satu paniThianya berlangsung sejak 13 Januari sampai dengan 5
Februari 2012. Sedangkan pada 23 Januari 2012 dilakukan pesta kembang api
sebagai puncak perayaan pergantian Tahun Baru Cina atau Imlek.
Pusat perbelanjaan lainnya seperti Bandung Supermal (BSM) dan Bandung
Indah Plaza menggelar beragam acara untuk memeriahkan tahun Naga Air atau
Imlek 2012. Masing-masing panitia mengadakan aktraksi barongsai dalam rangka
memeriahkan perayaan Tahun Baru Imlek. Kegiatan lainnya yang dilakukan di
pusat perbelanjaan adalah berfoto dengan kostum Cina, mewarnai di atas
layangan, belajar Chinesse painting, origami dan magic ballon, Kontes Cici Koko,
mandarin singing contesy, menggambar bertema naga dan pertunjukan Potehi (Po
Tay Hie) alias Wayang Cina.
Pusat perbelanjaan itu memanfaatkan situasi tersebut dengan strategi
penjualan tertentu. Misalnya selama periode 6 hingga 23 Januari 2012, mereka
menggelar diskon barang-barang idaman yang dibanderol dengan harga terendah
dan diskon terbesar untuk menghabiskan stock musim belanja akhir tahun. Di
samping itu, BIP menawarkan keuntungan lebih dengan menyediakan ratusan
hadiah langsung berupa toples unik untuk setiap transaksi dimulai dari nilai Rp
300.000, atau bisa juga mengajak untuk mencoba keberuntungan kepada
pengunjung di pohon Ang paw untuk mendapatkan ratusan hadiah berupa voucher
belanja dan souvenir lainnya.
Kegiatan Barongsai itu dilaksanakan pula di hotel-hotel seperti di Hotel
Grand Royal Panghegar. Salah satu pertunjukan barongsai adalah kelompok
barongsai 'Long Qing'. Kegiatan lainnya di hotel-hotel itu adalah menikmati
hidangan tradisional menyambut tahun baru China. Hidangan ini biasa disantap
keluarga menyambut Imlek sebagai simbol kemakmuran dan sukacita. Sepanjang
16 Januari hingga 7 Februari 2012, beberapa hotel menawarkan hidangan salad
berisi ikan ragam warna menandakan harapan akan keberuntungan di tahun baru.
Tradisi makan menyambut tahun baru China dengan mengangkat sumpit sambil
memanjatkan harapan akan Lo Hei, keberuntungan yang tak putus, juga menjadi
bagian perayaan Imlek.
Suasana di jalan-jalan utama di Kota Bandung pun dipadati orang menjelang
perayaan Imlek. Orang-orang tersebut termasuk orang dari Jakarta. Menurut salah
satu sumber berita106
bahwa jalan-jalan yang nampak mengalami kemacetan
adalah di beberapa ruas jalan sebagai pintu masuk warga dari luar kota, contohnya
di pintu tol Pasteur yang masuk ke Kota Bandung, Jalan Dr Junjunan, Cipaganti-
Setiabudi menuju Lembang Kabupaten Bandung Barat, RE Martadinata,
Cihampelas, dari arah Cibiru menuju Cileunyi Kabupaten Bandung maupun
sebaliknya. Kepadatan kendaraan terjadi pula di jalan-jalan lainnya seperti, di
Jalan Pasirkalili, Jalan Otto Iskandardinata (wilayah Pasar Baru) dan seputar
wilayah Alun-alun Kota Bandung seperti Jalan Dalem Kaum, Jalan Dewi Sartika
dan Jalan Kepatihan. Kemacetan tersebut mulai pukul 21.00 WIB sampai jam
12.00.
Menurut salah seorang polisi lalu lintas bahwa kemacetan di pintu tol Pasteur
berbeda dengan hari biasanya, kemacetan tersebut terjadi dari siang sampai
malam, sedangkan pada hari biasa kemacetan terjadi mulai dari pukul 06.00-08.00
WIB dan pukul 16.00-20.00 WIB. Menurutnya, kepadatan arus itu didominasi
kendaraan asal Jakarta yang ingin berlibur. Kemacetan tersebut nampak pada hari
sabtu tanggal 21 Januari 2012 dengan antrian kendaraan sebelum loket tiket
mencapai sedikitnya 5 kilometer menjelang tengah hari. Petugas PT Jasamarga
Cabang Purbaleunyi telah menginformasikan melalui papan VMS (variable
message sign) kepada pengendara di jalur tol bahwa Kondisi pintu Pasteur macet
sepanjang 3 kilometer.
106 Metrotvnews.com, Jalur Wisata Bandung Padat, Senin, 23 Januari 2012.
Sedangkan antrian kendaraan keluar tol Purwakarta-Bandung-Cileunyi pada
siang hari tidak hanya terjadi di pintu-pintu masuk Kota Bandung, tetapi juga
nampak di pintu keluar tol Cileunyi. Arus keluar dari pintu ini bisa menuju arah
Kabupaten Bandung sebelah timur, Kabupaten Sumedang, Garut, dan
Tasikmalaya. Antrian di jalur ini hanya mencapai 2 kilometer dan terjadi sampai
sore hari.
Di stasiun Kereta Api nampak terjadi perubahan. Menurut Petugas Kereta Api
Stasiun Bandung bahwa jumlah penumpang kereta api tujuan timur seperti Jogya,
Solo, Madiun, Surabaya, Kediri, Malang dan Semarang, pada long weekend Imlek
mengalami peningkatan. Di samping itu, pihak kereta api menambah 2 gerbong
pada tiap rangkaian gerbong Kereta Api.
Suasana di pasar dan toko-toko pun berbeda dengan hari-hari biasanya. Sejak
awal tahun 2012, banyak orang mencari pernak-pernik khas tahun baru Imlek.
Mereka membeli aksesories Imlek diantaranya benda yang berbentuk naga,
sehingga penjualan barang itu meningkatkan omset penjualannya. Para pedagang
di kawasan Jalan Cibadak mengaku bahwa penjualan mereka omzetnya meningkat
2 kali lipat. Apabila biasanya mereka memperoleh hanya sekitar 500 ribu per
minggu, pada saat menjelang Imlek mereka bisa memperoleh omzet sampai Rp 1
juta per minggu. Sebagaimana diungkapkan seorang pedagang bernama Heru,
“Penjualan pernak-pernik Imlek telah meningkat sejak awal tahun. Sejak awal
tahun sudah ada kenaikan. Seminggu menjelang Tahun Baru Imlek omsetnya bisa
lebih dari 1 juta." Dia mengatakan, pernak pernik Imlek yang paling banyak
diminati yaitu gantungan dan hiasan tempel. Lambangnya seperti ikan mas, koin
mas, atau shio tahun ini, yaitu naga. Dia mengaku bahwa pernak-pernik itu
dipasang untuk keberuntungan di tahun-tahun selanjutnya. Harga hiasan tempelan
yang dijual itu rata-rata Rp 30 ribu tempelan. Biasanya, pernak-pernik Imlek
tersebut makin ramai dibeli menjelang malam Imlek.
Barang lainnya yang laku terjual di toko-toko di jalan Aksan adalah lilin
Imlek untuk ritual. Lilin ini seukuran tinggi badan orang dewasa berwarna merah
bergambar liong atau naga. Lilin ini digunakan untuk ritual oleh orang-orang
Tionghoa. Harga, lilin yang diproduksinya ini bervariatif dari harga 1000 rupiah
hingga jutaan rupiah untuk satu batang.
Pedagang pasar burung pun memperoleh kenaikan omzetnya pada Tahun baru
Imlek 2012 ini. Para penjual burung di Pasar Burung Pagarasih, Jalan Suka Haji,
Bandung mengaku bahwa setiap menjelang Imlek, burung Pipit laku terjual rata-
rata sekitar 500-600 ekor per-harinya. Padahal biasanya burung itu terjual rata-rata
di bawah 100 ekor perharinya. Rata-rata setiap penjual mematok harga Rp 1.000
per ekor. Para penjual itu mengaku mendatangkan burung-burung tersebut dari
beberapa daerah di sekitar kota Bandung, seperti Cibaduyut dan Cicalengka.
Pedagan ikan pun memperoleh keuntungan yang meningkat menjelang hari
Imlek 2012 ini. Salah seorang pedagang di Caringin Bandung mengaku bahwa
ikan Bandeng biasa laku dibeli oleh orang Tionghoa. Pembeli dari etnis Tionghoa
biasanya hanya membeli dua kilogram untuk persembahan saat sembayang Imlek.
Harga ikan bandeng di pasar Caringin, tidak sama. Namun rata-rata mereka
menjual di kisaran harga Rp 40.000 hingga Rp 50.000 per kilogram. Kadang ikan
itu dijual juga lebih murah dari harga rata-rata, yaitu apabila ikan terlihat mulai
kurang segar. Menurut Karyadi seorang pedagang ikan, "Ikan yang segar itu yang
matanya bening, insangnya masih merah, dan dagingnya kenyal. Kalau matanya
merah, dagingnya di tekan lembek, maka itu sudah tidak segar, yang seperti itu
harus secepatnya dijual.”
Di rumah-rumah, orang Tionghoa sibuk menyiapkan perayaan Imlek.
Biasanya warga Tionghoa terutama ibu-ibu mempersiapkan Imlek dengan
membuat aneka macam kue keranjang atau kue tar, membersihkan rumah dan
tempat ibadah serta menyiapkan ang paw. Sementara yang laki-laki akan
membersihkan pekarangan atau mencat rumah. Salah satunya adalah Keluarga
Cheng. Cheng dan keluarganya sudah memastikan rumah sebersih mungkin,
membuat kue, memotong rambut, memotong kuku, serta membeli baju dan sepatu
baru. Bahkan, tas baru khusus untuk menampung ang paw. Cheng yang berasal
dari Cirebon menuturkan pengalaman merayakan Imlek di Kota Bandung. Ceng
berkata,”Malam Imlek, kami makan-makan, terus ke Kong Miao dan main
kembang api. Pas Imleknya, kami jam enam pagi sudah rapi, wangi dan Qong Xi
Fa Cai ke orangtua.” Namun sebelumnya atau sesudah hari Imlek dia juga
mengaku sering jalan ke Mall berbelanja dan menyaksikan barongsai dengan
memberi ang paw.
E. Proses Ritual Imlek
Proses ritual perayaan Imlek bagi masyarakat Tionghoa termasuk penganut
Khonghucu terdiri dari empat kegiatan utama, diawali oleh ritual menghantar
Dewa Dapur naik kelangit, ritual Imlek, dan perayaan Cap Go Meh. Ritual
menghantar Dewa naik ke langit dilaksanakan seminggu sebelum tahun baru.
Ritual Imlek dilaksanakan saat pergantian tahun baru. Ritual King Thi Kong atau
Sembahyang Tuhan dilaksanakan mereka pada saat menjelang tengah malam
tanggal 8 bulan pertama atau seminggu sesudah hari Imlek. Perayaan Cap Go Meh
sebagai akhir dari perayaan Imlek dilaksanakan pada malam bulan purnama
pertama tahun tersebut yang jatuh pada tanggal 15 bulan pertama Tahun Cina.
Menyambut Tahun Baru China atau Imlek, para Penganut Konghucu di Kota
Bandung mulai berbenah. Selain memperindah rumah dengan aneka lampion,
mereka juga turut membersihkan tempat ibadah, yaitu Kong Miao yang
didominasi warna merah dan tulisan Mandarin dan patung.
Di Kong Miao, kawasan Cibadak Bandung, seminggu menjelang perayaan
Imlek sejumlah penganut Khonghucu dan keturunan Tionghoa lainnya mencuci
patung yang terpajang di ruang utama Kong Miao. Menurut salah seorang
pengurus Miao, pencucian patung dilakukan melalui prosesi khusus. Yang
mencuci patung itu harus terlebih dahulu berdoa dan membersihkan diri. ”Hati
dan pikiran harus bersih,” ujarnya.
Untuk mencuci patung-patung itu, menurut seseorang menggunakan arak dan
kain berwarna merah. Penggunaan arak, menurut dia, sebagai sarana untuk
memudahkan masuknya roh dewa ke dalam patung. Selain itu, arak dipercaya
mengawetkan patung yang terbuat dari kayu tersebut. ”Pencucian harus hati-hati,”
ucapnya. Prosesi mencuci patung dewa tidak setiap saat dilakukan. Menurut salah
seorang petugas, pencucian hanya dua kali dalam setahun, yaitu saat Imlek dan
ulang tahun Nabi Khonghucu.
Kelompok barongsai pun berlatih sebagai persiapan menyambut hari Imlek.
Salah satu kelompok barongsai itu bernama 'Long Qing'. Kelompok ini mengaku
bahwa sejak tahun 1998, mereka berlatih barongsai di Jalan Cibadak 202
Bandung. Orientasi mereka membentuk kelompok barongsai adalah untuk
mengikuti kejuaraan. Menurut salah seorang pelatih barongsai, "Sejak awal kita
memang untuk prestasi, kalau sekarang jadi untuk mengisi pertunjukan hiburan,
itu bonusnya. Dalam setahun, bisa mengikuti kejuaraan sebanyak dua kali.”
Berlatih barongsai menyangkut tekniknya, tingkat kesulitannya, ekspresi,
keserasian musik dan alur cerita.
Komunitas penganut Kahonghucu di Kota Bandung mengadakan ritual dan
perayaan menyambut Imlek pada tanggal 23 Januari 2012. Rangkaian kegiatan
menyambut tahun baru Imlek dimulai dengan sembahyang syukuran tutup tahun
Imlek 2563 mulai 23 Januari mulai pagi hingga malam. Acara persembahyangan
Tahun Baru Imlek dimulai menjelang tengah malam hingga besok paginya.
Menurut penuturan orang Tionghoa yang menganut Khonghucu bahwa pada
malam sebelum tahun baru atau Chu Si Ye, seluruh anggota keluarga kumpul
bersama dan makan Thuan Yen Fan (makan malam sekeluarga). Apabila ada
keluarga yang tidak sempat atau berhalangan untuk pulang ke rumah, di meja
akan disiapkan mangkok dan sepasang sumpit yang mewakili yang tidak sempat
datang tadi. Sayur yang disajikan cukup banyak dan mengandung arti tersendiri,
seperti Kiau Choi yang melambangkan panjang umur, ayam rebus yang disajikan
utuh melambangkan kemakmuran untuk keluarga. Sedangkan bakso ikan, bakso
udang dan bakso daging melambangkan San Yuan atau tiga jabatan yaitu Cuang
Yuen, Hue Yuen dan Cie Yuen. Tiga jabatan tersebut adalah jabatan yang sangat
dihormati masyarakat Tionghoa pada jaman kekaisaran dahulu. Juga ada Kiau Se
atau pangsit yang bentuknya dibuat mirip dengan uang perak zaman dulu.
Menurut kepercayaan, makan Kiau Se akan mendatangkan rejeki. Malahan sesuai
tradisi di antara pangsit tersebut salah satunya akan diisi dengan koin. Bagi yang
mendapatkan koin tersebut konon akan mendapatkan rejeki besar. Di meja juga
disiapkan ikan yang dihias dan akan dimakan. Maknanya yaitu Nien nien yeu yi
atau setiap tahun ada lebihnya. Ikan dingkis bertelur yang dikukus merupakan
hidangan istimewa sebab diyakini dapat membawa keberuntungan di tahun baru.
Menurut Teten seorang pengurus Miao berkata,
Kebiasaan merayakan Imlek memang tidak harus dilakukan
dalam pesta atau perayaan yang berlebihan. Yang paling penting
adalah pergi ke Miao, berdoa menghaturkan kasih dan
persembahan ke Tuhan dan leluhur. Juga tidak lupa bersedekah.
Prinsip di sini yaitu adat dijalankan, soal pesta nomor dua. Imlek
2563 dilambangkan dengan shio Naga diharapkan membawa
keberuntungan.
Teten juga menambahkan bahwa rangkaian persembahyangan menjelang dan
sesudah Tahun Baru Imlek meliputi 21 hari. Bagi orang yang masih kental
merayakannya secara lengkap, tiga pekan itu adalah saat-saat penuh makna bagi
perawatan batin. Mereka berdoa, mawas diri, bersedekah, mohon pengampunan,
berterima kasih kepada Thian (Tuhan), leluhur, orang tua dan orang-orang yang
dituakan, dan mohon pertolongan kepada Tuhan dan para dewa agar sehat,
selamat dan sejahtera di tahun yang baru.
Tetapi menurut pengakuan beberapa orang penganut Khonghucu bahwa
mereka melakukan ritual dan perayaan Imlek itu selama lima belas hari. Mereka
melakukan ritual di rumah dan Kong Miao. Segala rangkaian prosesi perayaan
Tahun Baru Imlek ini dimulai dengan suatu ritual yang dinamakan Cap Ji Gwee
Jie Shie. Beberapa orang Khonghucu mengaku bahwa mereka melakukan ritual
itu di rumah dan Miao. Pada permulaan hari itu, sesuai tradisi, orang Tionghoa
menyalakan puluhan hio (dupa bergagang) dan lilin berketinggian kurang lebih
setengah meter atau lebih. Bagi yang tidak mampu membeli itu, pelaksanaan
sembahyang cukup dengan hio biasa, lilin kecil, minyak nabati, serta sesaji buah-
buahan, kue serba manis, dan pembakaran hu (kertas merang bergambar kuda
terbang). Kadang-kadang ritual ini juga sering disebut dengan Shang Sheng.
Mereka melakukan sembahyang pada leluhur bagi yang ada altar di rumah.
Sebagian dari mereka mengaku pergi ke Miao terdekat untuk sembahyang
mengucapkan terima kasih atas lindungan Thian (Tuhan) sepanjang tahun.
Di Kong Miao, para penganut Khonghucu melakukan ritual Imlek yang
terdiri dari sembahyang, pembacaan kitab suci, nyanyian pujian kepada Thian dan
para leluhur. Para penganut Khonghucu melakukan penyambutan kepada para
Dewa langit dan bumi. Dupa atau hio dinyalakan dengan api dari lilin yang
menghadap pintu masuk. Mereka melakukan sembahyang itu dengan cara sujud
tiga kali di hadapan para dewa dan leluhur. Altar dihiasi dengan sesajian dan
wadah yang serba lima (wu kung).
Petugas prosesi ritual itu terdiri pembawa acara, pemandu musik, pemberi
ceramah keagamaan, pembaca Kitab Suci, pemandu sembahyang dan jemaatnya.
Pembawa acara mengenakan baju biasa sebanyak satu orang. Pemandu musik
mengenakan baju batik sebanyak satu orang. Pemberi ceramah mengenakan baju
batik sebanyak satu orang. Prosesi ritual itu diisi dengan ceramah keagamaan
yang berisi pesan moral. Pembaca kitab suci mengenakan baju biasa berwarna
putih. Pemandu sembahyang terdiri dari tiga orang yaitu satu orang pemimpin
dan dua orang pembantu. Seragam merah dikenakan oleh Ketua MAKIN selaku
pimpinan ritual, sedangkan seragam biru dikenakan oleh petugas atau pembantu
pimpinan. Sedangkan para jemaat mengenakan baju berbeda-beda.
Pada acara ritual Imlek itu terdapat beberapa benda diantaranya, tulisan
yang berbahasa Mandarin, beberapa patung Khonghucu sebagai pendiri agama
dan beberapa patung murid Khonghucu, dupa (hio), mimbar, piano, tempat abu
untuk menancapkan dupa, dan lilin di bagian altar. Selain itu deretan kursi
mengisi ruangan untuk tempat duduk jemaat dan lampu lampion menghiasi
ruangan itu.
Salah seorang tokoh Tionghoa menyampaikan ceramah. Beberapa penggalan
isi ceramahnya adalah sebagai berikut,
Dalam menyambut tahun baru, kita harus merenungkan
tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini di dunia
seperti, bencana-bencana dan pertikaian politik. Dunia
perdagangan juga menyerupai lahan peperangan, semuanya
saling bersaing, etika moral terus merosot, sehingga membuat
manusia hidup dalam kegelisahan, emosi yang tidak stabil, tidak
mengenal kemampuan dan kelemahan dalam diri sendiri, hidup
terjerumus ke dalam pemuasan nafsu dan pertikaian. Oleh karena
itu, menyambut tahun baru Naga Air, kita memperbaharui diri
melalui pertobatan, untuk mewujudkan tahun baru yang lebih
baik dan lebih harmonis.
Setelah selesai acara ritual Imlek di Kong Miao, mereka saling bersalaman
dengan cara mereka yaitu mengepalkan tangan yang diletakkan di dada masing-
masing sambil agak membungkuk dan berkata, “Waide Tong Thian”. Ucapan itu
hamper sama dengan ucapan pembuka dalam ucapan salam. Ucapan itu mirip
dengan ucapan Muslim dengan Assalamu‟alaikum.
Sebagian dari mereka ada yang duduk sambil ramah tamah di ruang bawah
Kong Miao. Sebagian lainnya melanjutkan kegiatan lainnya yaitu memberikan
hormat kepada kedua orang tuanya, saling mengunjungi sanak keluarga dan
kerabat dekat. Sebagian lain terutama anak-anak dan remaja mementaskan
barongsai dan pesta kembang api di luar gedung Miao. Bagi anak-anak muda
mereka akan menyambut tahun baru dengan memasang petasan dan main
Barongsai. Pada malam tahun baru setelah mereka berdoa dan makan malam,
mereka tidur dengan menggunakan pakaian tidur yang baru umumnya berwarna
merah.
Setelah itu pada Hari Raya Imlek anggota keluarga para penganut
Khonghucu, mengunjungi rumah anggota keluarga yang memelihara lingwei
(meja abu) leluhur untuk bersembahyang. Atau mengunjungi rumah abu tempat
penitipan lingwei leluhur untuk bersembahyang. Mereka melaksanakan pemujaan
kepada leluhur, seperti, dalam upacara kematian, memelihara meja abu atau
lingwei (lembar papan kayu bertuliskan nama almarhum leluhur), bersembahyang
leluhur pada hari Ceng Beng (hari khusus untuk berziarah dan membersihkan
kuburan leluhur) dan Hari Raya Imlek.
Banyak pantangan yang tidak dilakukan pada hari tersebut. Sebagaimana
menurut Teten dan law ungkapkan bahwa beberapa hal yang tidak boleh
dilakukan saat Imlek. Pertama, dilarang membersihkan rumah. Menyapu atau
membersihkan rumah dipercaya bisa mengakibatkan tersapunya keberuntungan
yang datang. Bahkan, semua perangkat rumah tangga, seperti sapu, sikat, dan
penyedot debu yang biasa digunakan membersihkan debu pun harus turut
disembunyikan. Kedua, menggunakan pisau dan gunting di hari Imlek dianggap
dapat menghindari keberuntungan. Jadi, menurut mereka lebih baik hindari
penggunaan kedua alat tersebut. Ketiga, hindari mencuci rambut saat Imlek tiba
karena bermakna mengusir semua keberuntungan sampai satu tahun ke depan.
Daripada mencuci rambut, lebih baik mengenakan pakaian berwarna merah yang
berarti kebahagiaan, keceriaan, dan memberi keyakinan akan adanya masa depan
yang cerah. Keempat, usahakan untuk melunasi seluruh utang sebelum Imlek dan
hindari untuk meminjamkan uang pada hari itu. Jika tidak, ada kemungkinan anda
akan terus dipinjami uang oleh orang lain sepanjang tahun. Kelima, jangan
menangis di hari Imlek, karena ini dipercaya akan berdampak negatif dan
menimbulkan kesialan sepanjang tahun ke depan. Keenam, setiap orang yang
merayakan Imlek sebaiknya jangan menceritakan cerita tentang kesedihan dan
kematian karena itu akan dianggap bermakna buruk dan sial. Ketujuh, hindari
untuk menghidangkan bubur saat perayaan Imlek karena bubur dipercaya sebagai
lambang kemiskinan. Lebih baik kata mereka menyajikan kue keranjang, jeruk,
ikan bandeng sampai dengan Siu Mi saja.
Kedelapan, pantangan lainnya yaitu tidak boleh bertengkar atau
mengeluarkan kata-kata fitnah dan tidak boleh memecahkan piring. Namun jika
kebetulan secara tidak sengaja ada piring atau mangkok yang pecah, untuk
penangkalnya harus cepat-cepat mengucapkan Sue sue Phing an yang artinya
setiap tahun tetap selamat.
Selain sajian-sajian itu yang menjadi tradisi di warga Tionghoa dalam
menyambut Imlek adalah dengan menggunakan pakaian tidur berikut pakaian
dalam yang masih baru. Maksudnya adalah untuk membuang kesialan tahun lalu.
Pada hari kedua tahun baru Imlek itu adalah saatnya hue niang cia atau
pulang ke rumah ibu. Mereka melakukan sembahyang di rumah atau di Kong
Miao yaitu penyembahan nenek moyang dan para dewa. Hari ini bagi wanita yang
sudah menikah akan pulang ke rumah ibunya dengan membawa Teng Lu yang
merupakan bingkisan atau ang paw (kantong merah kecil yang berisi uang) untuk
ibu dan adik-adiknya. Secara tradisi ang paw atau Hung pau juga diberikan
kepada anak-anak dan orang tua.
Pada hari ketiga, mereka lebih banyak tinggal di rumah, tidak banyak
melakukan perjalanan dan aktivitas di luar. Mereka meluangkan waktunya
berkumpul dengan keluarga dan berdoa di rumah.
Pada hari keempat adalah hari menyambut para dewa untuk kembali ke bumi.
Konon menurut kepercayaan Dewa Dapur (Co Kun Kong) dan para dewa dari
langit akan kembali ke Bumi. Pada hari kedatangan kembali para dewa-dewi itu,
khususnya Dewa Dapur, akan disambut bunyi-bunyian antara lain dengan lonceng
atau genta. Mereka biasanya ke Miao untuk Hi Fuk atau memohon kepada Dewa
untuk mendapatkan perlindungan dan rejeki. Sesaji yang dibawa biasanya berupa
buah-buahan juga ciu cha (arak) dan teh.
Pada hari kelima, mereka tinggal di rumah untuk menyambut dewa
kesejahteraan. Di antara mereka percaya bahwa apabila ada yang mengunjungi
sanak saudaranya pada hari kelima ini akan membawa sial pada kedua belah
pihak.
Hari keenam sampai dengan hari ketujuh mereka melakukan aktifitas sehari-
hari. Mereka melakukan sembahyang tiap pagi dan sore, baik di depan pintu
menghadap keluar atau ke langit di Kong Miao, maupun di depan altar yang
berada di rumah.
Setelah delapan hari Imlek, para penganut Khonghucu bersembahyang baik di
rumah maupun di Miao. Ritual itu biasanya disebut King Thi Kong. Ritual ini
mengingatkan para ribuan tahun sebelum Masehi, masyarakat Tionghoa sudah
mengenal adanya Tuhan. Menurut salah seorang Tokoh Konghucu bahwa Kaisar
Kuning (Oey Tee/ Huang Ti) pada tahun 4697 SM mengajarkan kepada rakyatnya
nilai - nilai budaya yang tinggi, diantaranya adalah bersembahyang kepada Tuhan,
menghormati Roh Suci dan memuliakan para leluhur. Masyarakat kuno yang
sederhana dengan taat menjalankannya. Ritual ini disempurnakan oleh Pangeran
Zhougong dan para pengikut berikutnya.
Menurut tokoh Khonghucu itu bahwa upacara King Thi Kong dapat
diselenggarakan secara sederhana atau lengkap, yang terpenting adalah ketulusan
dan kesuciannya, bukan kemewahannya. Biasanya yang menjalankan ritual King
Thi Kong adalah orang yang sudah berpantang makanan berjiwa atau vegetarian
sejak beberapa hari sebelumnya. Dalam ritual ini, segala perlengkapan harus
khusus atau tidak pernah dipergunakan untuk keperluan lainnya, bersih lahir dan
batin.
Ritual dilaksanakan dengan mendirikan meja tinggi didepan pintu menghadap
langit, bersembahyang mengucap syukur kepada Yang Kuasa, berjanji untuk
hidup lebih baik terhadap sesama dan memenuh kewajiban sebagai mahluk
ciptaanNya. Dipilih tanggal 9 bulan 1 adalah karena angka 1 berarti esa dan angka
9 adalah yang tertinggi.
Menurut tokoh Khonghucu ritual ini mengingatkan sejarah kaisar Cina zaman
dahulu. Orang-orang Cina dulu berkumpul di Altar Langit (Thian Tan), altar ini
terletak di timur laut kota Beijing, membujur dari utara ke selatan, merupakan
tempat kaisar-kaisar dari Dinasti Ming (1389 - 1644) dan Qing (1644 - 1912)
melakukan ritual King Thi Kong. Altar tersebut didirikan pada tahun 1420 diatas
tanah seluas 273 hektar. Kompleks Altar Langit dikelilingi taman luas, berbentuk
lingkaran bersusun tiga seperti kue tart sehingga dinamakan juga Altar Bukit
Bundar, tidak beratap dan tiap lingkaran dihubungkan dengan tangga yang
batuannya terdiri dari 9 tangga. Semuanya terbuat dari batu granit putih dan
diempat penjuru terdapat tiga gerbang yang indah. Orang- orang menyebutnya
Kuil Surgawi, terbuat dari batu granit putih dengan genting berlapis warna biru,
biru langit dan putih awan seperti warna-warna yang ada di langit. Kaisar
bersembahyang ditempat tersebut diiringi oleh sekitar 3000 peserta upacara,
membawa semua atribut kerajaan dengan naik tandu diiringi kereta kuda, gajah
dan sebagainya dalam formasi yang harmonis, berangkat dari Istana Terlarang
(Forbidden Palace). Tepat ditengah malam ritual dimulai hanya dengan diterangi
cahaya obor, bulan dan bintang. Doa-doa dilantunkan hingga menjelang fajar.
Altar Langit atau Thian Tan biarpun sudah berusia berabad-abad, hingga sekarang
masih terawat dengan sangat baik.
Para penganut Khonghucu di Miao Kota Bandung pun melakukan ritual King
Thi Kong. Ritual itu dilaksanakan di lantai bawah dengan menghadap keluar pada
pukul 22.00 sampai dengan 12.00. Mereka membuat altar di depan pintu yang
diisi dengan berbagai benda yang dianggap suci, seperti janur kelapa, pohon tebu,
buah apel, lengkeng, lilin, dan lampion. Proses ritual King Thi Kong ini tidak jauh
berbeda dengan ritual Imlek, hanya tempat dan maksudnya yang berbeda. Prosesi
ritual ini tidak jau berbeda dengan ritual lainnya, hanya penulis tidak melihat
nyanyian dengan piano pada ritual ini. Penulis mendengar berbagai pujian kepada
Thian, leluhur mereka yang sudah meninggal dan yang sangat mengagumkan
penulis para penganut Khonghucu di Miao Kota Bandung memuji dan
berterimakasih kepada Gusdur atau Abdurahman Wahid yang telah berjasa
terhadap mereka.
Hari kesembilan sampai dengan hari kedua belas, saudara dan sahabat mereka
diundang untuk makan malam. Sedangkan pada hari ketiga belas, mereka
mangaku hanya makan bubur untuk meringankan perutnya.
Pada hari keempat belas, para penganut Khonghucu menyiapkan hal-hal yang
diperlukan (tanghung) untuk perayaan hari kelima belas. Tempat sembahyang
ditata kembali. Sesaji dan alat-alat perlengkapan dipersiapkan untuk ritual yang
kelima belas.
Hari kelima belas mereka melakukan ritual dan perayaan Cap Go Meh. Ritual
ini sebagai akhir dari rangkaian perayaan Imlek. Ritual ini dirayakan pada malam
bulan purnama pertama tahun tersebut yang jatuh pada tanggal 15 bulan pertama.
Pelaksanaan ritual Cap Go Meh ini tidak jauh berbeda dengan ritual hari Imlek.
F. Pola Pemahaman Ritual Imlek
Setelah penulis melakukan wawancara mendalam dan observasi dengan
beberapa penganut Khonghucu di Kota Bandung, penulis menemukan beberapa
pola pemahaman ritual dan perayaan Imlek menurut mereka. Mereka memahami
ritual dan perayaan Imlek dengan beberapa pola pemahaman yaitu,
keberuntungan, harapan baru, penerangan, sebagai sarana spiritual, dan solidaritas
sosial.
1. Keberuntungan
Para penganut Khonghucu memahami bahwa ritual dan perayaan Imlek
memiliki makna keberuntungan. Keberuntungan itu mereka wujudkan dengan
adanya pemberian dan penerimaan ang paw. Secara harafiah, kata “ang paw”
berarti amplop yang berwarna merah. Ang paw telah menjadi salah satu simbol
Tahun Baru Imlek. Setiap hari Imlek ini, di kalangan orang Tionghoa termasuk
penganut Khonghucu melakukan tradisi itu. Menurut salah seorang penganut
Khonghucu bahwa seseorang yang telah menikah memberikan ang paw yang
berisi uang kepada orang yang lebih muda dan belum menikah. “Soal jumlah, hal
ini tergantung pada kemampuan dan kerelaan dari sang pemberi,” katanya. Dia
menjelaskan, “Sejak lama, warna merah melambangkan kebaikan dan
kesejahteraan di dalam kebudayaan Tionghoa. Warna merah menunjukkan
kegembiraan, semangat yang pada akhirnya akan membawa nasib baik.” Ang paw
sendiri adalah dialek Hokkian, arti harfiahnya adalah bungkusan atau amplop
merah. Namun ang paw sebenarnya bukan hanya monopoli perayaan tahun baru
Imlek semata karena ang paw melambangkan kegembiraan dan semangat yang
akan membawa nasib baik, sehingga ang paw juga ada di dalam beberapa
perhelatan penting seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru dan lain-
lain yang bersifat suka cita.
Menurut Law bahwa ang paw pada tahun baru Imlek mempunyai istilah
khusus yaitu "Ya Sui", yang artinya hadiah yang diberikan untuk anak-anak
berkaitan dengan pertambahan umur atau pergantian tahun. Di zaman dulu, hadiah
ini biasanya berupa manisan, bonbon dan makanan. Untuk selanjutnya, karena
perkembangan zaman, orang tua merasa lebih mudah memberikan uang dan
membiarkan anak-anak memutuskan hadiah apa yang akan mereka beli. Tradisi
memberikan uang sebagai hadiah Ya Sui ini muncul sekitar zaman Ming dan Qing.
Dalam satu literatur mengenai Ya Sui Qian dituliskan bahwa anak-anak
menggunakan uang untuk membeli petasan, manisan. Tindakan ini juga
meningkatkan peredaran uang dan perputaran roda ekonomi di Tiongkok di
zaman tersebut.
Uang kertas pertama kali digunakan di Tiongkok pada zaman Dinasti Song,
namun baru benar-benar resmi digunakan secara luas di zaman Dinasti Ming.
Walaupun telah ada uang kertas, namun karena uang kertas nominalnya biasanya
sangat besar sehingga jarang digunakan sebagai hadiah Ya Sui kepada anak-anak.
Di zaman dulu, karena nominal terkecil uang yang beredar di Tiongkok
adalah keping perunggu (wen atau tongbao). Keping perunggu ini biasanya
berlubang segi empat di tengahnya. Bagian tengah ini diikatkan menjadi untaian
uang dengan tali merah. Keluarga kaya biasanya mengikatkan 100 keping
perunggu buat Ya Sui orang tua mereka dengan harapan mereka akan berumur
panjang. Jadi, dari sini dapat kita ketahui bahwa bungkusan kertas merah (ang
paw) yang berisikan uang belum populer di zaman dulu.
Keberuntungan yang dihapami orang-orang Khonghucu dalam menyikapai
hari Imlek bisa disebut sukacita. Makna suka cita itu diwujudkan mereka dengan
berkumpul di keluarga, mengunjungi orang tua dan memberi atau mendapatkan
ang paw.
Keberuntungan hari Imlek ini ditandai juga dengan nama Shio pada tahun ini
yang dipercaya memberikan keberuntungan dan rezeki. Orang-orang Tionghoa
termasuk Khonghucu percaya bahwa pada tahun ini bernama shio naga air.
Sejumlah warga keturunan Tionghoa percaya jika shio naga air dapat memberikan
keberuntungan dan rezeki. Sebagaimana Tan ungkapkan "Shio naga sangatlah
ditunggu-tunggu karena kemunculannya setiap 60 tahun. Untuk tahun ini shio
naga air yang dipercaya memberikan keberuntungan dan rezeki," Sebagian orang
tua dari kalangan Tionghoa mengatakan pada tahun naga menurut perhitungan
nenek moyang, ada beberapa shio yang harus waspada. Beberapa shio akan
mengalami ketidakberuntungan (qiong) pada tahun tertentu seperti shio ayam,
babi, dan ular akan mengalami kesialan kecil.
Namun Tokoh Khonghcu mengatakan bahwa pada dasarnya shio apa pun
pasti mengalami kendala, hanya ramalan itu ada untuk mengingatkan kita agar
berhati-hati dan sabar. Karena itu, warga Tionghoa lebih mengutamakan
sembahyang bersama keluarga. Terutama kalau masih ada orang tua, berkumpul
di rumah orang tua minta maaf dan kemudian bersyukur dengan makan bersama.
2. Harapan baru
Beberapa orang Tionghoa yang menganut Khonghucu memahami bahwa
makna dari hari Imlek itu adalah memberikan harapan baru. Adanya pergeseran
waktu pada malam tanggal satu bulan satu tahun 2563 atau tahun Cina bagi
mereka menunjukkan adanya harapan baru. Pemahaman harapan baru dalam
Imlek itu diwujudkan oleh orang-orang Tionghoa termasuk penganut Khonghucu
dengan adanya pergantian waktu tepat pukul 12.00.
Selain itu para penganut Khonghucu menyalakan petasan dan memainkan
tarian Barongsai. Mercon atau petasan dinyalakan mereka pada malam tahun baru
Imlek. Mercon dipahami para penganut Khonghucu merupakan alat untuk
melawan kejahatan dan dapat mendatangkan perdamaian serta keberuntungan
sepanjang tahun. Mercon juga dipahami orang-orang Khonghucu untuk mengusir
yang jahat atau membuang kesialan tahun lalu dan menyambut segala yang baik.
Mereka percaya bahwa semakin banyak petasan yang dinyalakan, maka semakin
banya roh jahat yang terusir.
Barongsai merupakan tarian singa yang dimainkan beberapa orang dengan
bantuan peralatan tari dan musik. Tarin singa Barongsai yang dimainkan adalah
singa yang wajahnya agak lucu dan memiliki gerakan kepala yang keras dan kaku.
Singa ini melonjak-lonjak seiring dengan bunyi gong dan tambur.
Para penganut Khonghucu percaya bahwa singa barongsai itu memiliki
makna dapat membawa keberuntungan sehingga dapat dipentaskan pada berbagai
acara dan ritual. Menurut beberapa orang Khonghucu, singa barongsai itu bisa
dimainkan tidak hanya pada perayaan Imlek, tetapi juga pada acara pembukaan
rumah makan, pendirian Mio (tempat sembahyang) atau litang (aula) dan acara
besar lainnya dalam masyarakat Khonghucu.
3. Penerangan
Ritual dan perayaan Imlek dipercaya sebagai penerang, baik penerang jiwa
maupun penerang lampu. Sebagaimana mereka menyalakan lilin dan lampion
pada hari Imlek. Pada awalnya lampion adalah lampu yang diselubungi dengan
kain atau keras berwarna merah dan berfungsi sebagai alat penerangan. Seiring
dengan perkembangan zaman, sekarang mereka menggunakan lampion sebagai
hiasan dinding dan dengan beragam hiasan gambar dan tulisan.
4. Ibadah kepada Tuhan Thian
Orang-orang Khonghucu umumnya memahami hari Imlek itu tidak hanya
sebagai hari libur dengan kegiatan wisata atau belanja tetapi juga dipahami
sebagai sarana ritual kepada Tuhan yang mereka yakni Thian dan leluhur mereka.
Menurut Chen salah seorang penganut Khonghucu di Kota Bandung, "Imlek bagi
agama khonghucu merupakan hari raya agama, dan umat khonghucu beribadah
sesuai dengan spirit". Dia mempertegas bahwa ibadah umat khonghucu ditujukan
kepada tiga hal pokok yaitu kepada Tuhan (Thian), alam, dan leluhur. Menurut
penganut Khonghucu tahun baru China yang jatuh pada bulan 1 tgl 1 tersebut
merupakan ibadah kepada Tuhan. Masih banyak ibadah kepada Tuhan, dan itu
merupakan hari raya bagi umat khonghucu. Dia pun menjelaskan bahwa perayaan
Imlek sempat pada suatu jaman dinasti, jatuh pada hari raya Tangcik, akan tetapi
oleh nabi Kongzi disabdakan untuk kembali ke penanggalan dinasti yang awal,
yaitu saat bulan 1 tanggal 1 tahum Imlek.
Menurut beberapa orang Khonghucu bahwa hio artinya harum. Makna harum
disini ialah Dupa, yaitu bahan pembakar yang dapat mengeluarkan asap berbau
sedap atau harum. Menurut Tokoh Khonghucu Dupa yang dikenal pada jaman
Nabi Khonghucu (Kongzi) berwujud bubuk atau belahan kayu, misalnya, Tiem
Hio (Cheng Xiang), Bok Hio (Mu Xiang)/Gaharu, Than Hio (Tan Siang)/Cendana
dan lain-lain. Membakar dupa/hio mangandung makna, jalan Suci itu berasal dari
kesatuan hatiku (Dao You Xin He) dan hatiku dibawa melalui keharuman dupa
(Xin Jia Xiang Chuan).
Selain itu dupa juga berfungsi untuk menenteramkan pikiran, memudahkan
konsentrasi, meditasi -seperti aroma terapi pada jaman sekarang, mengusir hawa
atau hal-hal yang bersifat jahat, mengukur waktu, terutama pada jaman dahulu,
sebelum ada lonceng atau jam.
Dupa itu memiliki gagang dan warna yang bermacam-macam, ada yang
bergagang hijau, bergagang merah dan tidak bergagang. Dupa yang bergagang
Hijau gunanya khusus untuk bersembahyang di depan jenasah keluarga sendiri
atau dalam masa perkabungan. Dupa yang bergagang Merah gunanya untuk
bersembahyang pada umumnya. Contoh ke altar Thian/Tuhan, altar Nabi, Shen
Ming (para suci), dan leluhur. Dupa yang tidak bergagang, berbentuk piramida,
bubukan dan sebagainya berguna untuk menenteramkan pikiran, mengheningkan
cipta, mengusir hawa jahat.
Dupa yang bergagang Merah digunakan pada ritual-ritual tertentu dengan
mempertimbangkan jumlah batang dalam penggunaannya. 1 batang dapat
digunakan untuk segala upacara sembahyang. Dupa ini bermakna memusatkan
pikiran untuk sungguh-sungguh bersujud. Dua batang berguna untuk menghormat
kepada arwah orang tua/yang meninggalnya telah melampaui 2 x 360 hari/setelah
sembahyang Tai Siang atau ke hadapan altar jenasah bukan keluarga sendiri.
Dupa ini mengandung makna ada hubungan Iem Yang (Yin dan Yang) atau
Negatif dan Positif dan ada hubungan duniawi. Tiga batang berguna untuk
bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa/Nabi/Para Suci. Empat batang
memiliki kesamaan makna dengan 2 batang. Lima batang berguna untuk
menghormat arwah umum, umpamanya pada sembahyang bulan VIII Imlek (Yin
Li): sembahyang King Hoo Ping (Jing He Ping). Mengandung makna
melaksanakan Lima Kebajikan (Ngo Siang/Wu Chang) atau sembahyang Thu Thi
Kung (Hok Tek Ceng Sin). Delapan batang sama guna dengan 2 batang, khusus
untuk upacara kehadapan jenazah oleh Pimpinan Upacara dari Majelis Agama
(MAKIN). Mengandung makna Delapan Kebajikan. Sembilan batang untuk
bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa, Nabi Konghucu dan Para Suci.
Sedangkan 1 pak boleh sebagai pengganti 9 batang atau 1 batang.
Ketika penulis bertanya kepada salah seorang penganut Khonghucu mengapa
ritual Imlek itu masih berkaitan dengan kehidupan spiritual termasuk leluhur
mereka yang sudah meninggal, maka dia menjawab,
Ketika manusia meninggal dunia maka jasadnya turun ke
bumi, sedangkan rohnya hidup terus di langit sebagai Chi. Hal
ini memungkinkan orang yang masih hidup untuk berhubungan
dengan leluhur mereka yang sudah meninggal dunia melalui
pemujaan, ritual, dan upacara.
Dia menjelaskan bahwa ritual dan perayaan Imlek ini tidak hanya
dipahami sebagai kebudayaan tetapi sebagai ritual keagamaan Khonghucu dan
bukan hari raya umat lainnya. Sebagaimana dia jelaskan,
Saya ingin meluruskan beberapa hal yg berkaitan dg agama
Khonghucu. Laku bakti, apalagi Sembahyang, jelas bukan
sekedar Kebudayaan, di dalamnya ada makna-makna agamis bagi
umat Khonghucu. Imlek memang bukan hari raya keagamaan
umat Buddha. Imlek adalah salah satu bagian dr rangkaian ritual,
ibadah, sembahyang kepada Thian (Tuhan Yang Maha Esa),
Leluhur dan Sin Beng atau Shen Ming atau Roh Suci bagi umat
agama Khonghucu, yang berlangsung mulai tanggal 1 bulan 1
Imlek (Kongzi-li), maka jelas sekali kalau perayaan tahun baru
Imlek adalah perayaan keagamaan bagi umat agama Khonghucu.
Dan memang tidak semestinya salah kaprah kalau umat agama
Buddha ikut-ikutan melakukan perayaan keagamaan yg bukan
berasal dari ajaran agamanya ini, dengan bersembahyang ke
kelenteng-kelenteng atau Vihara. Tahun 1 Imlek/Khongcu-lik
ditetapkan oleh raja Han Wu DI, dari dinasti Han (206 s.M - 220
M), dengan mengambil tahun kelahiran nabi Khongcu/Kongzi
(551 s.M) untuk menghormati, mengenang jasa Nabi Kongzi
yang menganjurkan untuk dipakainya kembali penanggalan
dinasti He/Xia (abad 23 s.M).
Dia pun mengkritik istilah penanggalan Imlek. Menurut dia seharusnya istilahnya
bukan Imlek tetapi Kongzi-li atau Khonghucu-lik. Sebagaimana dia jelaskan,
Sebutan penanggalan Imlek sendiri sebenarnya salah kaprah
juga, yang lebih cocok diebut sebagai He-Lik/Xia-Li (karena
dinasti tersebut yang pertama kali memakainya) atau yangg
paling tepat disebut Kongzi-Li/Khongcu-lik (karena Nabi
Khongcu yang menganjurkan untuk dipakai kembali penanggalan
ini, disamping tahun 1 yang dipakai adalah tahun kelahiran Nabi
Kongzi. Penanggalan ini tidak hanya berdasar dari peredaran
bulan mengelilingi bumi, tapi juga disesuaikan dengan peredaran
bumi mengeliling matahari, sehingga dapat diketahui kapan saat
pasang surut air laut, kapan keempat musim berganti, sehingga
pedoman ini sangat cocok bagi petani dan nelayan yang saat itu
(jaman Nabi Kongzi) memang menjadi mata pencaharian
sebagian besar rakyat Tiongkok. Ajaran Nabi Khongcu yg telah
berlangsung selama ribuan tahun, telah mengakar dalam pola
pikir, menjadi pedoman hidup sebagian besar orang-orang
Tionghoa (kalau tidak bisa dikatakan semua orang-orang
Tionghoa). Maka tidak heran akhirnya ajaran Nabi Khongcu ini
menjadi budaya bagi masyarakat Tionghoa, namun jangan
kemudian diartikan bahwa perayaan keagamaan, ajaran-ajaran
Nabi ini hanyalah kebudayaan, tradisi, dan sebagainya, karena ini
seperti kacang yg lupa kulitnya, orang yang lupa atau melupakan
asal usulnya. Orang boleh saja menggunakan ajaran-ajaran Nabi
Khongcu sebagai pedoman hidup tanpa harus mengimani agama
Khonghucu, namun hendaknya tetap sportif mengakui bahwa apa
yang diajarkan Nabi Khongcu mengandung nafas-nafas Imani
serta memiliki nilai-nilai agamis.
Menurut dia, apabila ada orang yang mengatakan bahwa perayaan Imlek itu
bukan perayaan umat Khonghucu, maka orang tersebut sedang berupaya
membelokan sejarah Imlek itu sendiri. Sebagaimana dia jelaskan,
Saya ga ngerti yang disebutkan orang-orang yang
mengatakan Imlek bukan hari raya umat Khonghucu. Seharusnya
jangan membelokan sejarah, sudah jelas-jelas diambil dari tahun
kelahiran nabi khong zi 551 sm masih saja diperdebatkan bukan
hari raya agama Khong hu cu !!! Berpikirlah secara bijaksana
jangan picik membelokan sejarah.
Dengan demikian bagi orang Khonghucu Imlek itu dipahami tidak hanya
sebagai peristiwa alam yang memiliki dampak sosial dan ekonomi, tetapi juga
berkaitan dengan keyakinan agama Khonghucu yang mereka anut, sehingga Imlek
menjadi penting. Mereka melakukan ritual, karena terdapat nilai-nilai kesakralan
yang berupa makna, banda, waktu, tempat dan orang-orang tertentu di dalam
ritual Imlek tersebut.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Para penganut agama Khonghucu di Kota Bandung melakukan ritual dan
perayaan Imlek sejak kedatangan mereka ke Kota Bandung, baik dilakukan di
rumah maupun di tempat sembahyang. Berbagai dinamika dalam ritual dan
perayaan Imlek telah mereka alami sejak kedatangan orang-orang Khonghucu ke
kota Bandung hingga pada tahun 2563 atau 2012 M.
Sejak masa reformasi, biasanya para penganut Khonghucu melakukan proses
ritual dan perayaan Imlek itu dengan berbagai tahapan. Berbagai persiapan,
pelaksanaan dan pasca hari Imlek dilakukan para penganut Agama Khonghucu di
Kota Bandung. Mereka pun memiliki pola pemahaman yang berbeda terhadap
kegiatan ritual dan perayaan Imlek tersebut. Untuk menjawab pertanyaan
penelitian sebagai kesimpulan penelitian ini, penulis menguraikan dua hal penting.
Pertama, proses ritual perayaan Imlek yang dilakukan para penganut Agama
Khonghucu. Kedua, pola pemahaman para penganut Khonghucu dalam
memahami ritual perayaan Imlek di MAKIN Kota Bandung.
A. Kesimpulan
Para penganut agama Khonghucu melakukan proses ritual dan perayaan
Imlek yang terdiri atas empat kegiatan utama yaitu ritual menghantar Dewa
Dapur naik kelangit, ritual Imlek, dan perayaan Cap Go Meh. Ritual menghantar
Dewa naik ke langit dilaksanakan seminggu sebelum tahun baru. Ritual Imlek
dilaksanakan saat penelitian tahun baru. Ritual King Thi Kong atau Sembahyang
Tuhan dilaksanakan mereka pada saat menjelang tengah malam tanggal 8 bulan
pertama atau seminggu sesudah hari Imlek. Perayaan Cap Go Meh sebagai akhir
dari perayaan Imlek dilaksanakan pada malam bulan purnama pertama tahun
tersebut yang jatuh pada tanggal 15 bulan pertama Tahun Cina.
Sejak tanggal 1 bulan 1 tahun Imlek, para penganut Khonghucu melakukan
ritual dan perayaan Imlek itu selama lima belas hari. Menjelang Tahun Baru Imlek
mereka melakukan ritual di rumah dan Kong Miao. Segala rangkaian prosesi
perayaan Tahun Baru Imlek ini dimulai dengan suatu ritual yang dinamakan Cap
Ji Gwee Jie Shie. Pada permulaan hari itu, sesuai tradisi, orang Tionghoa
menyalakan puluhan hio (dupa bergagang) dan lilin berketinggian kurang lebih
setengah meter atau lebih. Bagi yang tidak mampu membeli itu, pelaksanaan
sembahyang cukup dengan hio biasa, lilin kecil, minyak nabati, serta sesaji buah-
buahan, kue serba manis, dan pembakaran hu (kertas merang bergambar kuda
terbang). Kadang-kadang ritual ini juga sering disebut dengan Shang Sheng.
Mereka melakukan sembahyang pada leluhur bagi yang ada altar di rumah.
Sebagian dari mereka mengaku pergi ke Miao terdekat untuk sembahyang
mengucapkan terima kasih atas lindungan Thian (Tuhan) sepanjang tahun.
Di Kong Miao, para penganut Khonghucu melakukan ritual Imlek yang terdiri
dari sembahyang, pembacaan kitab suci, nyanyian pujian kepada Thian dan para
leluhur. Para penganut Khonghucu melakukan penyambutan kepada para Dewa
langit dan bumi. Mereka melakukan sembahyang itu dengan cara sujud tiga kali di
hadapan para dewa dan leluhur. Altar dihiasi dengan sesajian dan wadah yang
serba lima (wu kung).
Petugas prosesi ritual itu terdiri pembawa acara, pemandu musik, pemberi
ceramah keagamaan, pembaca Kitab Suci, pemandu sembahyang dan jemaatnya.
Pembawa acara mengenakan baju biasa sebanyak satu orang. Pemandu musik
mengenakan baju batik sebanyak satu orang. Pemberi ceramah mengenakan baju
batik sebanyak satu orang. Prosesi ritual itu diisi dengan ceramah keagamaan
yang berisi pesan moral. Pembaca kitab suci mengenakan baju biasa berwarna
putih. Pemandu sembahyang terdiri dari tiga orang yaitu satu orang pemimpin
dan dua orang pembantu. Seragam merah dikenakan oleh Ketua MAKIN selaku
pimpinan ritual, sedangkan seragam biru dikenakan oleh petugas atau pembantu
pimpinan. Sedangkan para jemaat mengenakan baju berbeda-beda.
Terdapat beberapa benda pada acara ritual Imlek diantaranya, tulisan yang
berbahasa Mandarin, patung Khonghucu sebagai pendiri agama dan beberapa
patung murid Khonghucu, dupa (hio), mimbar, piano, tempat abu untuk
menancapkan dupa, dan lilin di bagian altar. Selain itu deretan kursi mengisi
ruangan untuk tempat duduk jemaat dan lampu lampion menghiasi ruangan itu.
Setelah selesai acara ritual Imlek di Kong Miao, mereka saling bersalaman
dengan cara mereka yaitu mengepalkan tangan yang diletakkan di dada masing-
masing sambil agak membungkuk dan berkata, “Waide Tong Thian”. Ucapan itu
hampir sama dengan ucapan pembuka dalam ucapan salam. Ucapan itu mirip
dengan ucapan Muslim dengan Assalamu‟alaikum.
Beberapa penganut Khonghucu melanjutkan kegiatan lainnya yaitu
memberikan hormat kepada kedua orang tuanya, saling mengunjungi sanak
keluarga dan kerabat dekat. Anak-anak dan remaja mementaskan Barongsai dan
pesta kembang api di luar gedung Miao. Bagi anak-anak muda mereka akan
menyambut tahun baru dengan memasang petasan dan main Barongsai. Pada
malam tahun baru setelah mereka berdoa dan makan malam, mereka tidur dengan
menggunakan pakaian tidur yang baru umumnya berwarna merah.
Pada Hari Raya Imlek anggota keluarga para penganut Khonghucu,
mengunjungi rumah anggota keluarga yang memelihara lingwei (meja abu)
leluhur untuk bersembahyang. Mereka mengunjungi rumah abu tempat penitipan
lingwei leluhur untuk bersembahyang. Mereka melaksanakan pemujaan kepada
leluhur, dan membersihkan kuburan leluhur.
Pada hari kedua tahun baru Imlek, para penganut Khonghucu melakukan hue
niang cia atau pulang ke rumah ibu. Mereka bersembahyang di rumah atau di
Kong Miao. Mereka menghadap foto dan patung nenek moyang dan para dewa.
Hari ini bagi wanita yang sudah menikah akan pulang ke rumah ibunya dengan
membawa Teng Lu yang merupakan bingkisan atau ang paw (kantong merah kecil
yang berisi uang) untuk ibu dan adik-adiknya. Secara tradisi ang paw atau Hung
Pau juga diberikan kepada anak-anak dan orang tua.
Pada hari ketiga, para penganut Khonghucu lebih banyak tinggal di rumah,
tidak banyak melakukan perjalanan dan aktivitas di luar. Mereka memanfaatkan
waktunya dengan berkumpul dengan keluarga dan berdoa di rumah.
Pada hari keempat para penganut Khonghucu melakukan sembahyang
menyambut para dewa untuk kembali ke bumi. Mereka percaya bahwa Dewa
Dapur (Co Kun Kong) dan para dewa dari langit akan kembali ke Bumi. Biasanya
dalam menyambut Dewa Dapur, mereka melakukannya dengan bunyi-bunyian
antara lain dengan lonceng atau genta. Mereka biasanya ke Miao untuk Hi Fuk
atau memohon kepada Dewa untuk mendapatkan perlindungan dan rejeki. Sesaji
yang dibawa biasanya berupa buah-buahan juga ciu cha (arak) dan teh.
Pada hari kelima, para penganut Khonghucu diam di rumah untuk
menyambut dewa kesejahteraan. Di antara mereka percaya bahwa jika ada yang
mengunjungi sanak saudaranya pada hari kelima ini akan membawa sial pada
kedua belah pihak.
Hari keenam sampai dengan hari ketujuh, para penganut Khonghucu
melakukan aktifitas sehari-hari. Mereka melakukan sembahyang tiap pagi dan
sore, baik di depan pintu menghadap keluar atau ke langit di Kong Miao, maupun
di depan altar yang berada di rumah. Sebagian dari mereka pun mulai berdagang
atau melakukan aktifitas lainnya.
Hari kedelapan, para penganut Khonghucu bersembahyang baik di rumah
maupun di Miao. Ritual itu biasanya disebut King Thi Kong. Ritual ini
mengingatkan para ribuan tahun sebelum Masehi, masyarakat Tionghoa sudah
mengenal adanya Tuhan. Disamping mereka mengenal nilai - nilai budaya yang
tinggi, diantaranya adalah bersembahyang kepada Tuhan, menghormati Roh Suci
dan memuliakan para leluhur. Menurut beberapa orang tokoh Khonghucu bahwa
upacara King Thi Kong dapat diselenggarakan secara sederhana atau lengkap,
yang terpenting adalah ketulusan dan kesuciannya, bukan kemewahannya.
Para penganut Khonghucu di Miao Kota Bandung pun melakukan ritual King
Thi Kong. Ritual itu dilaksanakan di lantai bawah dengan menghadap keluar pada
pukul 22.00 sampai dengan 12.00. Altar disusun mereka di depan pintu yang diisi
dengan berbagai benda yang dianggap suci, seperti janur kelapa, pohon tebu, buah
apel, lengkeng, lilin, dan lampion. Penulis tidak melihat nyanyian dengan piano
pada ritual ini. Penulis mendengar berbagai pujian kepada Thian, leluhur mereka
yang sudah meninggal. Mereka memuji dan berterimakasih kepada Gusdur atau
Abdurahman Wahid yang telah berjasa terhadap mereka, sehingga mereka bisa
melaksanakan ritual secara terbuka.
Hari kesembilan sampai dengan hari kedua belas, saudara dan sahabat mereka
diundang untuk makan malam. Sedangkan pada hari ketiga belas, mereka
mangaku hanya makan bubur untuk meringankan perutnya.
Pada hari keempat belas, para penganut Khonghucu menyiapkan hal-hal yang
diperlukan (tanghung) untuk perayaan hari kelima belas. Tempat sembahyang di
tata kembali. Sesaji dan alat-alat perlengkapan dipersiapkan untuk ritual yang
kelima belas.
Hari kelima belas mereka melakukan ritual dan perayaan Cap Go Meh. Ritual
ini sebagai akhir dari rangkaian perayaan Imlek. Ritual ini dirayakan pada malam
bulan purnama pertama tahun tersebut yang jatuh pada tanggal 15 bulan pertama.
Pelaksanaan ritual Cap Go Meh ini tidak jauh berbeda dengan ritual hari Imlek.
Selanjutnya para penganut Khonghucu memahami ritual dan perayaan Imlek
dengan beberapa pola pemahaman yang berbeda. Ritual dan perayaan Imlek
dipahami mereka sebagai, keberuntungan, harapan baru, penerangan, sarana
spiritual, solidaritas sosial dan sebagai sarana ritual kepada Thian, orang suci
atau seng beng dan leluhur mereka.
Pola-pola pemahaman ritual dan perayaan Imlek tersebut diwujudkan dengan
berbagai kegiatan dan benda-benda yang ada dalam ritual dan prayaan Imlek
tersebut. Beberapa kegiatan selain ritual dilakukan orang Khonghucu seperti,
berkumpul di keluarga, mengunjungi orang tua dan memberi atau mendapatkan
ang paw. Mereka bersembahyang bersama keluarga. Terutama kalau mereka
masih punya orang tua, berkumpul di rumah orang tua minta maaf dan kemudian
bersyukur dengan makan bersama.
Benda-benda yang terdapat dalam ritual dan perayaan Imlek diantaranya,
gambar naga, Barongsai, lampion, ang paw, petasan, lilin, dan dupa. Tahun Shio
naga air dipercaya oleh para penganut Khonghucu memberikan keberuntungan
dan rezeki. Tarian singa Barongsai memiliki makna dapat membawa
keberuntungan sehingga dapat dipentaskan pada berbagai acara dan ritual. Lilin
dan lampion berwarna merah berfungsi sebagai alat penerangan dan dipahami
sebagai penerang jiwa. Ang paw dipahami mereka sebagai ungkapan kegembiraan
dan semangat yang akan membawa nasib baik
Petasan dan Mercon dipahami para penganut Khonghucu merupakan alat
untuk melawan kejahatan dan dapat mendatangkan perdamaian serta
keberuntungan sepanjang tahun. Mercon juga dipahami orang-orang Khonghucu
untuk mengusir yang jahat atau membuang kesialan tahun lalu dan menyambut
segala yang baik. Mereka percaya bahwa semakin banyak petasan yang
dinyalakan, maka semakin banya roh jahat yang terusir.
Dupa (hio) berfungsi untuk menenteramkan pikiran, memudahkan konsentrasi,
meditasi atau terapi, mengusir hawa atau hal-hal yang bersifat jahat, mengukur
waktu, terutama pada jaman dahulu, sebelum ada lonceng atau jam. Dupa yang
bergagang Merah gunanya untuk bersembahyang pada umumnya. Contoh ke altar
Thian/ Tuhan, altar Khonghucu, Shen Ming/ Sheng Beng (para suci), dan leluhur.
Dupa yang tidak bergagang, berbentuk piramida, bubukan dan sebagainya
berguna untuk menenteramkan pikiran, mengheningkan cipta, mengusir hawa
jahat.
Imlek itu dipahami tidak hanya sebagai peristiwa alam yang memiliki
dampak sosial dan ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan keyakinan agama
Khonghucu yang mereka anut, sehingga Imlek menjadi penting. Mereka
melakukan ritual, karena terdapat nilai-nilai kesakralan yang berupa makna,
banda, waktu, tempat dan orang-orang tertentu di dalam ritual Imlek tersebut.
B. Saran
Setelah penulis melakukan penelitian mengenai proses dan makna ritual dan
perayaan Imlek di Kota Bandung, penulis menyarankan kepada peneliti lainnya
untuk meneliti lanjutan terhadap hal-hal yang belum ditemukan penulis dalam
penelitian ini. Terdapat beberapa hal yang penulis belum dapat deskripsikan
seluruhnya, diantaranya makanan, tanaman dan makna lainnya yang terdapat
dalam ritual Imlek.
Penulis menyadari bahwa ritual dan perayaan Imlek ini merupakan salah
satu untur keagamaan dari beberapa unsur lainnya yaitu Emosi keagamaan,
sistem doktrin, ritual, dan lembaga keagamaan. Oleh karena itu penulis
menyarankan untuk lebih lengkap mengkaji agama Khonghucu secara lengkap
sehingga dapat diteliti keempat unsur agama tersebut.
Di samping itu penulis menyarankan dalam kajian agama Khonghucu perlu
dikaji dengan pendekatan eksternalistik yang menggunakan karakter sosial dan
historis, agar dapat memperkaya dan mengembangkan kajian keberagamaan, dan
pendekatan internalistik guna memahami makna hidup, makna alam, makna sosial
dan makna spiritual di kalangan para penganut Khonghucu.