1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa sebagai alat komunikasi tidak hanya berupa suatu sistem
simbol yang terdiri dari urutan bunyi-bunyi, namun mengandung makna
sebagai sarana pengungkapan pikiran dan gagasan seseorang. Di dalam karya
sastra, bahasa merupakan sarana yang digunakan pengarang untuk
menyampaikan buah pikiran dan imajinasi dalam proses penciptaan karya
sastra (Supriyanto, 2014:1).
Bahasa dalam karya sastra memiliki unsur estetis, sehingga berbeda
dengan bahasa yang dipakai dalam suatu karya ilmiah. Pemanfaatan bahasa
dalam karya sastra khususnya pada syair lagu dapat menimbulkan imajinasi
dan mengungkapkan pesan tersembunyi. Bahasa dalam lirik lagu merupakan
implementasi bahasa dalam karya sastra yang dapat dikaji dengan
pendekatan stilistika.
Pengkajian stilistika pada lirik lagu dimaksudkan untuk menemukan
keestetikan bahasa. Analisis stilistika memaparkan latar belakang
penggunaan bahasa pengarang yang bersifat khas pada setiap karyanya.
Selain itu, dapat digunakan untuk mengungkapkan sikap pengarang terhadap
fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya.
Lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan ialah salah satu karya
sastra yang memanfaatkan keindahan bahasa. Di dalam lirik lagu tersebut
ditemukan pemanfaatan bunyi, menampilkan pengulangan-pengulangan kata,
frasa, dan kalimat. Pemanfaatan bahasa dapat menggambarkan ekspresi
manusia. Lirik lagu karya Nur Bayan ini memiliki kekhasan tersendiri yakni
2
berupa pemilihan kata (diksi) yang menggambarkan potret kehidupan kaum
marginal. Kata-kata yang digunakan sederhana, akan tetapi menimbulkan
makna yang mendalam. Pada lirik lagu terdapat adanya purwakanthi guru
swara, purwakanthi guru sastra dan purwakanthi lumaksita yang mampu
menumbuhkan imajinasi pembaca. Pemakaian bahasa oleh Nur Bayan dalam
menciptakan lagu mengandung sinonimi, antonimi, tembung saroja, tembung
kawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung
garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa kosakata dialek
Jawa Timuran. Selain itu, diksi yang digunakan dalam lirik lagu Nur Bayan
menyiratkan realita yang terjadi di masyarakat.
Pada dasarnya setiap pengarang lagu memiliki originalitas dan style
masing-masing. „Style‟ atau gaya yaitu cara yang khas dipergunakan
seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan gaya pribadi. Cara
pengungkapan tersebut terdapat pada setiap aspek kebahasaan meliputi:
diksi, penggunaan bahasa kias, bahasa figurative, struktur kalimat, bentuk-
bentuk wacana, dan sasaran retorika lain (Satoto, 2012:35). Berikut adalah
kutipan data yang mengandung asonansi.
(1) Dikelumpukne kancane (TO/I/1) „Dikumpulkan temannya‟
Dibukak oplosane (TO/I/2) „Dibuka oplosannya‟
Diombe rame-rame (TO/I/3) „Diminum bersama-sama‟
Ya pancèn enak rasane (TO/I/4) „Ya memang enak rasanya‟
Data (1) merupakan salah satu bait dari lirik lagu Nur Bayan yang
dikutip dari lagu berjudul Tobat Oplosan. Data (1), menunjukkan adanya
pemanfaatan aspek bunyi purwakanthi guru swara. Asonansi ditunjukkan
pada suku kata terakhir pada setiap baris. Pengulangan bunyi yang terdapat
pada data (1) yaitu pengulangan vokal /e/ terbuka.
3
Selain aspek penanda bunyi yang ditunjukkan melalui asonansi vokal
/e/ pada data di atas, dalam lirik lagu Nur Bayan terdapat adanya aspek
penanda diksi, gaya bahasa, dan pencitraan yang dapat dilihat pada kutipan-
kutipan data berikut.
(2) Ra nyana ra ngira yen prahara bakal teka (PM/II/4)
„Tidak menyangka tidak mengira jika bencana akan datang‟
Pada data (2), terdapat adanya aspek penanda diksi yang ditunjukkan oleh
kata ra „tidak‟ di kata pertama dan ketiga. Kata ra pada data di atas merupakan
aferesis dari kata ora „tidak‟ yang mengalami pelesapan suku kata di ruas kiri
dengan menghilangkan vokal /o/. Kemudian pada data (3) mengandung aspek
penanda gaya bahasa perumpamaan (simile).
(3) Aku kêpengin dadi (BK/I/2) „Saya ingin menjadi‟
Kêrlip-kêrlip lintang (BK/I/3) „Kerlap-kerlip bintang‟
Sing bisa ngancani (BK/I/4) „Yang dapat menemani‟
Ing sabên wêngimu (BK/I/5) „Di setiap malammu‟
Pada akhir baris pertama data di atas, kata kêpengin dadi „ingin menjadi‟
ialah penanda dari gaya bahasa simile, dimana pengarang menggambarkan
keinginan seorang istri simpanan yang berandai-andai menjadi bintang agar dapat
menemani suaminya di setiap malam. Selanjutnya cuplikan data di bawah ini
dapat mewakili dari aspek pencitraan pada lirik lagu Nur Bayan.
(4) Mlaku nèng kuthamu (PIL/I/1) „Berjalan menuju kotamu‟
Abot rasane atiku (PIL/I/2) „Terasa berat di hatiku‟
Kata mlaku „berjalan‟ pada awal baris pertama, menunjukkan adanya
citraan gerak. Citraan gerak berhubungan dengan transformasi pengalaman
terhadap bagian tubuh manusia terutama alat gerak yaitu kaki untuk
menciptakan imaji pendengar terhadap syair lagu tersebut.
4
Lagu-lagu Nur Bayan mulai dikenal masyarakat Indonesia setelah
melejitnya lagu oplosan miliknya yang dinyanyikan oleh Soimah di acara
YKS (Yuk Kita Sahur, yang kemudian berganti nama dengan Yuk Keep
Smile). Pada kesempatan ini penulis akan menganalisis lagu-lagu berbahasa
Jawa karya Nur Bayan yang belum pernah dipergunakan sebagai sampel
dalam penelitian sebelumnya. Terlepas dari musikalitas dan genre musik
yang di gunakan oleh pengarang, penulis hanya menganalisis lirik-lirik lagu
berdasarkan gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang.
Pemilihan lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan menjadi objek
penelitian untuk dikaji secara stilistika mempunyai beberapa pertimbangan.
Pertama, lirik-lirik lagu tersebut mengandung pemanfaatan aspek bunyi
bahasa, pilihan kata (diksi), dan gaya bahasa yang menarik untuk diteliti.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa keseharian yang komunikatif dan
mudah dipahami, sehingga pendengar tidak harus berpikir keras untuk
mendalami makna lagu tersebut.
Kedua, lagu-lagu karya Nur Bayan sangat merakyat karena selalu
menonjolkan tema-tema bernuansa cinta, kesedihan, keprihatinan, dan
penggambaran kisah hidup kaum marginal atau wong cilik sebagai wujud
kritik sosial secara tidak langsung melalui lagu.
Ketiga, dalam lirik lagu ini terdapat jenis-jenis pelanggaran
kesusilaan terkait norma-norma masyarakat seperti perselingkuhan, judi,
minum minuman keras (miras), Wanita Tuna Susila (WTS) yang ditemukan
dalam judul lagu Bojo Simpenan (BS), Bojo Ketelu (BK), doremi (D),
Oplosan (O), Cupet Ati 1 (CA 1), dan Cupet Ati 2 (CA 2). Dari beberapa
5
lagu tersebut semuanya mengandung aspek stilistika yaitu aspek penanda
bunyi, aspek penanda diksi, aspek gaya bahasa, dan aspek pencitraan.
Adapun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan lagu-lagu
berbahasa Jawa dengan pendekatan stilistika antara lain:
1. Kajian Stilistika Bahasa Jawa dalam Lagu Karya Koes Ploes oleh Rani
Gutami (2005). Penelitian tersebut mendeskripsikan bentuk lirik lagu
karya Koes Ploes berupa parikan, wangsalan, bentuk morfologi dan pola
rima. Deskripsi makna dalam penelitian tersebut berupa repetisi, aliterasi,
asonansi yang disesuaiakan dengan konteks. Adapun fungsi lirik lagu
dalam lagu-lagu karya Koes Ploes antara lain fungsi pendidikan, nilai-
nilai kepemimpinan, dan nilai moral.
2. Kajian Stilistika Lirik Lagu Bahasa Jawa Karya Sujiwo Tejo oleh Dewi
Arum Sari (2009). Penelitian oleh Dewi Arum Sari memaparkan
pemanfaatan aspek bunyi, kekhasan morfologi yang bersifat literer serta
reduplikasi, diksi, dan gaya bahasa yang terdapat dalam lirik lagu
berbahasa Jawa karya Sujiwo Tejo.
3. Kajian Stilistika Kidung Wêcatantular Karya Syekh Maulana Lawu Warta
oleh Winda Prasetya Ningrum (2014). Penelitian ini mendeskripsikan
adanya pemanfaatan aspek bunyi bahasa, diksi atau pilihan kata, serta
gaya bahasa yang pada setiap larik kidung tersebut memanifestasi nilai -
nilai budaya Jawa.
4. Kajian Stilistika Lirik Lagu Komunitas Jogja Hip-Hop Foundation oleh
Ema Andriyani (2014). Penelitian oleh Ema Andriyani tersebut
mendeskripsikan adanya pemanfaatan aspek bunyi bahasa, diksi atau
6
pilihan kata, gaya bahasa serta pencitraan yang tedapat pada lirik lagu
Komunitas Jogja Hip Hop Foundation.
5. Telaah Stilistika Syi‟ir Mitra Sejati Karya Kiai Bisri Mustofa oleh Nur
Hamidah Fitriyani (2015). Penelitian tersebut memaarkan adanya
pemanfaatan gaya bahasa, diksi, aspek bunyi yang ditemukan pada teks
Syi‟ir Mitra Sejati. Adapun nilai-nilai yang terdapat dalam syi‟ir yang
diteliti yaitu nilai moral, sosial, budaya, dan pendidikan (edukatif).
Berdasarkan kajian yang terdahulu, maka penelitian stilistika lirik
lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan belum pernah dilakukan. Di samping
itu, lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan menggunakan bahasa yang
unik dan khas yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Bahasa yang
komunikatif sesuai dengan perkembangan selera musik generasi muda,
terlebih adanya aksen pelanggaran kesusilaan terkait norma-norma
masyarakat yang disampaikan melalui lirik lagu, sampai sekarang ini belum
ada pengarang yang mampu mengangkat hal tersebut secara gamblang
(blaka) seperti Nur Bayan. Berdasarkan asumsi di atas, penulis mengambil
judul penelitian kajian stilistika lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan.
Selanjutnya disingkat dengan LLBJKNB.
B. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah diperlukan untuk menghindari meluasnya suatu
permasalahan dalam penelitian, maka dalam kesempatan ini penulis menekankan
batasan mengenai objek kajian yang akan diteliti, sehingga akan dapat
memperjelas dan mempertegas pembatasan masalah tersebut.
7
Dalam penelitian ini, permasalahan dibatasi pada kajian stilistika lirik lagu
berbahasa Jawa karya Nur Bayan. Lirik lagu akan dianalisis atau dikaji dari segi
pemanfaatan pola bunyi khusus yang menonjol, adanya proses afiksasi,
perulangan pola frasa, kata, dan kalimat, pemilihan dan pemakaian kosakata atau
diksi, dan pemanfaatan gaya bahasa yang akan diteliti dengan kajian stilistika.
C. Perumusan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih jelas dan terarah, maka peneliti
memfokuskan penelitian dengan merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pemanfaatan dan pemilihan aspek-aspek bunyi bahasa dalam
lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan?
2. Bagaimanakah diksi dan pemilihan kosakata dalam lirik lagu berbahasa Jawa
karya Nur Bayan?
3. Bagaimanakah penggunaan gaya bahasa dalam lirik lagu berbahasa Jawa
karya Nur Bayan?
4. Bagaimanakah pencitraan yang terdapat dalam lirik lagu berbahasa Jawa
karya Nur Bayan?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian mengenai telaah stilistika lirik lagu
berbahasa Jawa karya Nur Bayan yaitu mendeskripsikan secara jelas mengenai:
1. Pemanfaatan dan pemilihan aspek-aspek bunyi bahasa dalam lirik lagu
berbahasa Jawa karya Nur Bayan
2. Diksi dan pemilihan kosakata dalam lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur
Bayan.
8
3. Penggunaan gaya bahasa dalam lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan.
4. Pencitraan yang terdapat dalam lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara teoretis
dan praktis.
a. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat
bagi teori-teori linguistik, khususnya teori stilistika bahasa Jawa.
b. Manfaat Praktis
1. Bisa digunakan untuk memberi informasi kepada para pemerhati bahasa
dan sastra Jawa mengenai Lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan
yang secara garis besar memuat pelanggaran kesusilaan terkait norma-
norma masyarakat yang perlu untuk dijadikan bahan koreksi bersama.
2. Bisa memberi pengetahuan tentang pemanfaatan potensi bahasa
seorang pengarang dengan mengangkat musikalitas kaum marginal.
3. Bisa dijadikan sebagai bahan motivasi kepada para pengarang lagu
agar dapat berkarya lebih baik.
4. Bisa dijadikan sebagai bahan materi ajar stilistika di tingkat SLTA maupun
Perguruan Tinggi.
9
F. Landasan Teoretis
Linguistik merupakan ilmu yang berupaya menelaah bahasa dan
menjadikan bahasa sebagai objeknya, sedangkan stilistika merupakan bagian dari
linguistik yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa terutama dalam
karya sastra. Penelitian bahasa terhadap lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur
Bayan ini menggunakan kajian stilistika.
Landasan teoretis merupakan arahan penalaran untuk sampai pada
pemberian jawaban sementara atas masalah yang dirumuskan. Kajian teori yang
digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan permasalahan yang telah
ditetapkan, yaitu mengenai stilistika, unsur perulangan bunyi, diksi, gaya bahasa,
dan pencitraan.
1. Stilistika
Stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam
karya sastra yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi bahasa serta gaya bunyi,
pilihan kata, kalimat wacana, citraan, hingga bahasa figuratif (Al-Ma‟ruf,
2009:12). Satoto (2012:6), mendefinisikan stilistika sebagai bidang linguistik
yang mengemukakan teori dan metodologi pengkajian atau penganalisisan formal
sebuah teks sastra, termasuk dalam pengertian extended. Extended yang dimaksud
adalah suatu kajian yang menggunakan bahasa sebagai unsur penting, dan
menerima teori lingusitik sebagai sesuatu yang amat relevan.
Menurut Kridalaksana, pengertian stilistika (stylistics) adalah 1. ilmu yang
menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; interdisipliner antara
linguistik dan kesusastraan; 2. Penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa
(2008:227). Pendapat tersebut sepihak dengan pendapat Sujiman (dalam Sujono,
10
1988:1) yang mendefinisikan stilistika ialah ilmu yang meneliti penggunaan
bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra.
Nyoman Kutha Ratna (2014:10) berpendapat bahwa stilistika merupakan:
1) Ilmu tentang gaya bahasa.
2) Ilmu interdisipliner antara linguistik dengan sastra.
3) Ilmu tentang penerapan kaidah-kaidah linguistik dalam penelitian gaya
bahasa.
4) Ilmu yang menyelidiki pemakaiana bahasa dalam karya sastra.
5) Ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan
mempertimbangkan aspek-aspek keindahan-keindahannya sekaligus latar
belakang sosialnya.
Junus (1989:xvii) dalam buku Stililistik Satu Pengantar, melengkapi
beberapa definisi linguistik di atas dengan menyimpulkan bahwa stilistik (dari
stylistic) atau stilistika mungkin lebih tepat dipahami sebagai linguistik yang
digunakan untuk mempengkaji pemakaian bahasa dalam karya sastra karena
adanya keistimewaan di dalamnya.
Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa stilistika
merupakan suatu kajian yang dapat diterapkan dalam karya sastra baik itu
berupa prosa atau puisi yang termasuk di dalamnya lirik lagu dan
berorientasi pada bidang linguistik dengan menggunakan parameter bahasa.
Stilistika menurut hemat penulis berfungsi untuk menunjukkan pemanfaatan
potensi bahasa untuk menciptakan efek-efek yang berkesan estetis melalui
gaya kepengarangan (style).
11
2. Pemanfaatan Aspek Bunyi (Purwakanthi)
Purwakanthi berasal dari kata purwa „wiwitan‟ dan kanthi yang berarti
gandhèng „menggandeng‟; kanca „teman‟, nganggo „memakai‟, migunaakên
„menggunakan‟. Berdasarkan etimologi tersebut Padmosoekotjo (1960:85)
memberikan definisi bahwa purwakanthi atêgês: nggandhèng kang wis kasêbut
ana ing purwa utawa wiwitan. Maksudte: perangan kang buri nggandhèng kang
wis kasêbut ana ing perangan wiwitan utawa purwa, utawa kang wis kasêbut ana
ing perangan ngarêp. Wondene sing digandhèng iku swara utawa aksarane,
tarkadang tembunge „Purwakanthi artinya, menggandeng yang sudah disebut di
awal. Maksudnya, bagian belakang menggandeng yang sudah disebutkan pada
bagian awal, atau yang disebut pada bagian awal. Adapun yang digabungkan yaitu
suara atau huruf, terkadang katanya.‟
a. Asonansi (Purwakanthi Swara)
Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi
vokal yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang juga dalam
prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan (Keraf,
2002:130).
Contoh:
(5) Dorèmi dadhu karo rèmi (D/I/1) „Doremi dadu dan remi‟
Wiwit iki mbok ya dilèrèni (D/I/2) „Mulai sekarang sebaiknya dihentikan‟
Asonansi yang ditunjukkan pada data (5) adalah asonansi vokal /i/ jêjêg
yang mengalami perulangan bunyi vokal pada suku kata terakhir dari kata dorèmi
„doremi‟, rèmi „remi‟, wiwit iki „mulai sekarang‟, dan dilèrèni „dihentikan‟.
Khusus untuk vokal /a/ miring pada bahasa Jawa dengan distribusi di
belakang hanya ditemukan pada tiga kata berdasarkan pendapat Sasangka
(2013:3), vokal /a/ miring iku bisa dumunung ing ngarêp, ing têngah, lan ing
buri tembung, nanging kang dumunung ing buri tembung mung ana telu, yaiku
12
ora, boya lan kroya „vokal /a/ miring itu bisa berada di depan, di tengah, dan di
belakang kata, tetapi yang di belakang kata hanya ada tiga yaitu ora, boya lan
kroya.
b. Aliterasi (Purwakanthi Sastra)
Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi
konsonan yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam
prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan (Keraf, 2002:130).
Contoh:
(6) Nèng kene kabeh kanca (PJ/VI/1) „Di sini semua teman‟
Aliterasi yang ditunjukkan pada data (6) adalah aliterasi konsonan /k/
yang mengalami perulangan bunyi pada suku kata pertama dari kata nèng kene „di
sini‟, kabeh „semua‟, dan kanca ‟teman‟.
c. Purwakanthi Lumaksita/ Purwakanthi Basa
Purwakanthi basa yaitu pengulangan bunyi atau suku kata secara
beruntun. Misalnya dalam lagu anak: tanggal siji-jiman tholo-lobak lopis-pista
raja-jaka bagus-Gusti kula (Kridalaksana, 2008:204).
3. Diksi dan Aspek Penanda Morfologis
a. Diksi
Diksi adalah pilihan kata dan kejelasan lafal untuk memperoleh efek
tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang-mengarang
(Kridalaksana, 2008:50). Panuti Sujiman (dalam Sujono dan Endang Siti
Saparinah, 1988:63) menjelaskan bahwa diksi adalah pemilihan kata untuk
mengungkapkan gagasan. Diksi yang berarti pilihan kata, di dalam karang-
mengarang mengingat bahwa kata memiliki beberapa muatan antara lain: bunyi,
13
arti lugas atau kias, tersurat atau tersirat, nilai simbolik atau metaforis, dan irama.
Keunikan diksi yang dipakai Nur Bayan antara lain.
1) Sinonimi
Sinonimi berasal dari kata shy „sama‟ dan onoma „nama‟. Berdasarkan
etimologi tersebut, Keraf (2002:34) menjelaskan bahwa sinonimi adalah suatu
istilah yang dapat dibatasi sebagai, (1) Telaah mengenai bermacam-macam kata
yang memiliki makna yang sama, atau (2) Keadaan dimana dua kata atau lebih
memiliki makna yang sama.
Contoh:
(7) Tansah tak trima (CA 2/I/4) „Selalu saya terima‟
Tak tampa kanti ikhlas ati (CA 2/I/5) „Saya terima dengan ikhlas hati‟
Sinonimi pada data di atas terletak pada akhir baris pertama, dan pada
awal baris kedua data (7). Kata yang bersinonim yaitu kata tak trima „saya terima‟
dan tak tampa „saya terima‟ yang memiliki padanan arti.
2) Antonimi
Antonim yaiku tembung, frasa, utawa ukara kang duwe têgês walikan karo
têmbung, frasa, utawa ukara liyane. „Antonim yaitu kata, frasa atau kalimat yang
mempunyai arti berlawanan dengan kata, frasa atau kalimat lainnnya. Antonim
basa Jawa dibedakake dadi papat yaiku (a) antonim mutlak, ing antarane yaiku:
mati „mati‟>< urip‟hidup‟, lanang „laki-laki‟>< wadon „perempuan‟, swarga
„surga‟>< neraka „neraka‟, (b) antonim tingkatan (berjenjang), kayata: dawa
‟panjang‟>< cendhak „pendek‟, enom „muda‟>< tuwa” tua, endhek „pendek‟ ><
dhuwur ‟tinggi‟ (c) antonim arah, antarane: lor „utara‟ >< kidul ‟selatan‟, wetan
„timur‟ >< kulon „barat‟, ngarep „depan‟ >< buri „belakang‟ (d) antonim walikan
antarane yaiku: dokter >< pasien, kaki „kakek‟>< nini „nenek‟ (Sasangka,
2013:205-207). Menurut Keraf (2002:39), istilah antonimi dipakai untuk
14
menyatakan “lawan makna” sedangkan kata yang berlawanan disebut antonim.
Antonimi adalah relasi antar makna yang wujud logisnya sangat berbeda atau
bertentangan.
Antonimi dapat diartikan sebagai satuan lingual yang
berlawanan/beroposisi dengan satuan lingual lain, sehingga antonimi disebut juga
oposisi makna. Berdasarkan sifatnya opsisi makna dapat dibedakan menjadi lima
macam yaitu: (1) oposisi mutlak, misalnya: hidup><mati, diam><bergerak, (2)
oposisi kutub, misalnya: panjang><pendek, lebar><sempit, (3) oposisi hubungan:
dosen><mahasiswa, jual><beli, (4) oposisi hirarkial, misalnya: detik><
minggu>< jam>< hari>< minggu>< bulan>< tahun, (5) oposisi majemuk,
misalnya: berdiri>< jongkok>< duduk>< berbaring (Sumarlam, 2013:63-67).
3) Kosakata Asing
Kosakata asing dalam lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan terdiri
dari kosakata bahasa Indonesia dan kosakata bahasa Inggris. Penggunaan kosakata
bahasa asing tersebut mempermudah penyampaian dan penerimaan makna.
Berikut kutipan contoh pemakaian kosakata bahasa Indonesia yang terdapat pada
LLBJKNB.
(8) Lagu sing sêring diputêr sabên dina (GA/II/6)
„Lagu yang sering diputar setiap hari‟
Kosakata bahasa Indonesia pada data di atas adalah kata lagu di awal
baris. Kata lagu dalam bahasa Jawa memiliki penamaan tersendiri yaitu tembang.
4) Kata Sapaan
Kata sapaan adalah kata yang digunakan untuk bertegur sapa kepada
lawan bicara, berbentuk kata atau frasa untuk saling merujuk dalam pembicaraan
menurut sifat dan hubungan di antara pembicara itu seperti anda, ibu, saudara.
Contoh:
15
(9) Dhuh Kangmas pancèn jêmbar têmênan atimu (CA 2/II/1)
„Duh Kakanda memang lapang benar hatimu‟
Kata sapaan yang ditunjukkan data (9) tersebut, berdistribusi pada kata
kedua. Kata Kangmas „Kakanda‟ ditujukan untuk bertegur sapa dengan lawan
bicara yang sangat akrab dengan pembicara.
5) Tembung Saroja
Tembung sarodja “ateges rangkep”. Teges liya yaiku kembang terate
padma, kumuda, pangkadja. Dadi tembung saroja yaiku tembung rangkep. Yaiku
tembung loro kang padha utawa mèh pada tegese dianggo bebarengan. Mesti bae
sawise tembung loro iku dirangkep tegese rada beda katimbang karo yen mandeg
dhewe-dhewe. „Tembung sarodja “berarti rangkap”. Arti lain yaitu kembang
terate padma, kumuda, pangkadja. Jadi tembung sarodja yaitu kata rangkap.
Yaitu dua kata yang sama atau hampir sama artinya dipakai bersamaan. Tentu saja
setelah kedua kata yang sama itu dirangkap maksudnya akan sedikit berbeda
daripada ketika berdiri sendiri-sendiri (Subalidinata, 1968:23).
Contoh:
(10) Bulane bundêr sêsêr (SS/VII/1) „Bulannya bulat melingkar‟
Data (10), menunjukkan adanya tembung saroja yaitu pada kata bundêr
sêsêr „bulat melingkar‟ yang berdistribusi pada akhir baris.
6) Kosakata Kawi (Tembung Kawi)
Istilah Kawi berasal dari kavi yang berarti „pujangga, penyair‟ dan kata
kawya atau kavya yang berarti „sajak, syair, puisi (Mardiwarsoto dalam Abdullah,
2007:13). Istilah Kawi dipakai untuk pengertian bahasa yang yang dipakai oleh
para pujangga, baik kuna maupun baru, karena kawi berarti „penyair‟ (Zoetmulder
dalam Abdullah, 2007:13). Kosakata Kawi dalam syair lagu dipergunakan agar
memunculkan efek keindahan.
16
Contoh:
(11) Gunung Merapi mbledhos ngêtokne dahana (PM/I/2)
„Gunung Merapi meletus mengeluarkan api‟
Pada data (11) menunjukkan adanya kosakata Kawi pada kata terakhir dari
baris tersebut. Kata dahana dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan arti
dengan kata api.
7) Tembung Garba
Tembung garba tegesè tembung rerangkèn, tembung sesambungan,
tembung kang kadadèan saka gandènge tembung loro utawa luwih. Tembung
garba artinya kata yang dirangkai, kata gabungan, kata yang terbentuk dari
penggabungan dua kata atau lebih‟.
Contoh:
sinom garbane tembung : si + enom (jênêng têmbang)
wirotama garbane tembung: wira + utama (linuwih ing kaprawirane)
sireku saka tembung: sira + iku (Padmosoekotjo, 1960:29)
Pada LLBJKNB, di temukan tembung garba yaitu kata anèng. Kata anèng
merupakan gabungan dari kata ana + ing yang mengalami persandian. Di dalam
data, kata anèng tidak ditemukan secara utuh akan tetapi mengalami penghilangan
vokal di awal.
8) Tembung Panyeru
Tembung panyeru utawa kata seru (interjeksi) yaiku tembung kang
ngambarake wedharing rasa seneng, rasa keget, rasa kuciwa, rasa kagêlan, rasa
susah, lan rasa gumun. Tembung panyeru uga ana sing ngarani tembung lok.
Kata seru yaitu kata yang menggambarkan rasa senang, kaget, kecewa, sedih, dan
heran. Kata seru juga disebut dengan tembung lok (Sasangka, 2013:137-138).
Kata seru dalam bahasa Jawa yaitu adhuh, ah, he, o, oh, nah, wah,
hah, heh, hus, huh, hi, sokur, hore, iyung, walah, tobat, eman, halo, yahud.
17
Contoh:
(12) Dhuh kangmas pancèn jêmbar têmênan atimu (CA2/II/1)
Isih nrima apa anane awakku (CA2/II/2)
„Duh Kakanda memang lapang betul hatimu‟
„Masih menerima apa adanya diriku‟
Kata dhuh pada data di atas merupakan têmbung panyeru yang
diaferesis pada awal katanya. Kata dhuh berasal dari ungkapan adhuh yang
menggambarkan rasa sedih.
9) Penambahan dan pengurangan bunyi pada kata
Menurut Sasangka (2013:19), obah-owahe swara iku jalaran katambah
swarane, kasuda swarane, lan ana uga kang swarane pindhah panggonan.
Perubahan bunyi yang dimaksud yaitu perubahan yang diakibatkan bertambahnya
bunyi, berkurangnya bunyi, dan bunyi yang mengalami perpindahan posisi.
a. Penambahan bunyi
Penambahan bunyi atau panambahing swara dibedakan menjadi tiga yaitu
protesis, epentesis, dan paragog.
1. Protesis
Protesis merupakan penambahan vokal atau konsonan pada awal untuk
memudahkan lafal; misalnya penambahan [e] pada enyah, elang dsb.
(Kridalaksana, 2008:203).
Protesis yaiku tambahe swara ing wiwitane tembung kang ora nganti
ngowah surasane tembung. Protesis yaitu bertambahnya bunyi di awal kata yang
tidak sampai merubah makna kata (Sasangka, 2013:19).
Contoh:
nanging → ananging „tetapi‟
jare → ujare „katanya‟
ana → nana „ada‟
ing → ning „di‟
18
2. Epentesis
Epentesis ialah penyisipan bunyi atau huruf ke dalam kata, terutama
kata pinjama untuk menyesuaikan dengan pola fonologis bahasa peminjam;
misalnya penyisipan /e/ dalam kata kelas (Kridalaksana, 2008:58).
Epentesis yaiku tambahe swara ing tengah tembung. Sanadyan ing
tengah tembung tinambahan utawa sineselan swara surasaning tembung ora
nganti owah. Epentensis adalah bertambahnya bunyi di tengah kata. Meskipun
mendapat penambahan di tengah kata atau mendapat sisipan bunyi tidak
mengubah arti kata tersebut (Sasangka, 2013:20).
Contoh:
Kambil → krambil „kelapa‟
Akasa → angkasa „angkasa‟
Ngipi → ngimpi „bermimpi‟
3. Paragog
Paragog adalah penambahan bunyi pada akhir kata untuk keindahan
bunyi atau kemudahan lafal; misalnya penambahan bunyi [u] pada kata bangku,
lampu dsb. (Kridalaksana, 2008:173).
Paragog yaiku tambahe swara ing pungkasane tembung nanging
surasane tembung ora ganti owah. Paragog yaitu bertambahnya suara di akhir
kata tetapi tidak merubah makna kata (Sasangka, 2013:20).
Contoh:
Dudu → duduk „bukan‟
Ora → orak „tidak‟
Ibu → ibuk „ibu‟
b. Pengurangan bunyi
Panyudaning swara utawa abreviasi ing sawijining tembung bisa
dibedaake dadi telu, yaiku aferesis, sinkop, lan apokop. Abreviasi iki uga ana
kang ngarani plutan (tembung plutan). Pengurangan bunyi atau abreviasi pada
19
suatu kata dibedakan menjadi tiga yaitu aferesis, sinkop, dan apokop. Abreviasi
disebut juga dengan tembung plutan (sasangka, 2013:20).
Pluta atêgês: rangkêp, dipluta atêgês: dirangkêp, têmbung pluta
têgêse: ana wandane têmbung iku loro (rong wanda, rong kêcap) sing dirangkêp
didadekake siji, didadekake sawanda (sakêcap) marga ana wandane loro sing
dirangkêp didadekake siji mesthi bae cacahe wandane têmbung iku banjur suda
akèhe. Pluta berarti: rangkap, dipluta berarti: dirangkap. Kata pluta berarti: ada
dua suku kata dalam kata tersebut yang dirangkap (dua suku kata, dua ucap)
dijadikan satu atau dijadikan satu suku kata (satu ucap) oleh karena ada dua suku
kata yang dirangkap dijadikan satu maka jumlah suku katanya akan berkurang
(Padmosoekotjo, 1960:46).
1. Aferesis
Aferesis adalah penanggalan bunyi atau kata dari awal sebuah ujaran;
misalnya Selamat pagi! menjadi Pagi! (Kridalaksana, 2008:3).
Aferesis yaiku sudane swara ing wiwitane tembung. Sanadyan
mengkono, surasane tembung ora nganti owah. Aferesis yaitu berkurangnya
bunyi di awal kata. Meskipun demikian, makna kata tidak sampai berubah
(Sasangka, 2013:20).
Contoh:
Kakang → kang „Kakanda‟
Uwong → wong „orang‟
Bapak → pak „bapak‟
Bisa → isa „dapat‟
Simbah → mbah (sebutan untuk
kakek atau nenek)
Contoh aferesis yang ditemukan dalam LLBJKNB:
(13) Ra kenal penyanyine (PJ/VIII/1) „Tidak kenal penyanyinya‟
Ra ngerti penciptane (PJ/VIII/2) „Tidak tahu penciptanya‟
Aferesis pada data (13), menunjukkan adanya penghilangan atau
penanggalan suku kata pertama pada kata ora „tidak‟. Berdasarkan data tersebut
aferesis ra „tidak‟ berdistribusi di awal kalimat.
20
2. Sinkop
Sinkop yaitu hilangnya bunyi atau huruf dari tengah-tengah kata;
misalnya L. domina menjadi Sp. donna (Kridalaksana, 2008:222).
Sinkop yaiku sudane swara ing tengah tembung. Sanadyan ana
sesudan swara ing tengah tembung, surasane ing tembung ora owah. Sinkop
yaitu pengurangan bunyi di tengah kata. Meskipun mengalami pengurangan bunyi
di tengah kata, tidak mengubah makna kata (Sasangka, 2013:21)
Contoh:
Sethithik → sithik
Temenan → tenan
Njaluk → njuk
Dhuwit → dhit
Weneh → weh
3. Apokop
Apokop adalah pemenggalan satu bunyi atau lebih dari ujung kata
(Kridalaksana, 2008:18).
Apokop yaiku sudane swara ing pungkasaning tembung. Sanadyan ana
sesudan ing pungkasaning tembung, surasane tembung babar blas ora owah.
Apokop yaitu pengurangan bunyi di akhir kata. Meskipun terdapat pengurangan
di akhir kata, makna kata sama sekali tidak berubah (Sasangka, 2013:21)
Contoh:
Temenan → temen
Kuluban → kulub
Kangmas → mas
Pada penelitian ini hanya ditemukan penambahan bunyi berupa epentensis
dan pengurangan bunyi berupa aferesis.
21
b. Aspek Penanda Morfologis
1) Reduplikasi (Tembung Rangkep)
Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik
secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi.
Oleh karena itu, lazim dibedakan adanya reduplikasi penuh, seperti meja-meja
(dari dasar meja), reduplikasi sebagian seperti lelaki (dari dasar laki), dan
reduplikasi dengan perubahan bunyi, seperti bolak-balik (dari dasar balik) (Abdul
Chaer, 2012: 182-183)
Reduplikasi atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah tembung
rangkep. Kata ulang terbagi menjadi beberapa jenis antara lain: 1) Reduplikasi
Penuh (r), 2) Reduplikasi Bervariasi Bunyi/ Dwilingga Salin Swara (rv), 3)
Reduplikasi Parsial (rp), 4) Reduplikasi Parsial Bervariasi Bunyi (rpv).
Reduplikasi penuh (r) merupakan reduplikasi yang wujud fonemis sebagai
kata ulangannya sama dengan betuk dasar contoh: rêsik-rêsik „bersih-bersih‟, ayu-
ayu „cantik-cantik‟, dhuwur-dhuwur‟tinggi-tinggi‟; Reduplikasi bervariasi bunyi/
dwilingga salin swara (rv) adalah morfem ulang dengan bentuk perulangan yaitu
fonemisnya mirip dengan fonemis bentuk dasar yang dikenai proses pengulangan
contoh: sêlang-sêling „selang-seling‟, wira-wiri „mondar-mandir‟, wêrna-wêrni
„warna-warni‟; Reduplikasi parsial (rp) yaitu reduplikai dengan perulangan
sebagian morfem yang wujud fonemisnya sama dengan wujud fonemis penggalan
bentuk dasar yang dikenai proses pengulangan contoh: têtanduran „tetanaman‟,
lung-tinulung „bantu-membantu‟, disêlak-sêlakake „didahulu-dahulukan‟;
Reduplikasi parsial bervariasi bunyi (rpv) yaitu reduplikasi dengan morfem ulang
sebagai ulangan mirip dengan wujud fonemis penggalan bentuk dasar yang
dikenai proses pengulangan contoh: diwêrna-wêrni „diwarna-warni‟ (Perkuliahan
Morfologi pada tanggal 11 Oktober 2013).
22
Reduplikasi dalam bahasa Jawa menurut Sry Satriya Tjatur Wisnu
Sasangka (2013:97) ada tiga yaitu dwipurwa, dwilingga, dan dwiwasana.
Dwipurwa iku têmbung kang dumadi saka pangrangkêpe purwane têmbung
lingga utawa pangrangkêpe wanda kawitaning têmbung. „Dwipurwa itu kata yang
berasal dari reduplikasi awal kata dasar atau reduplikasi suku kata awalan kata‟
(Sasangka, 2013:97). Kata ulang dwipurwa ialah pengulangan suatu kata atas
suku kata awal dengan mengalami pelemahan vokal dari posisi tengah menjadi
pêpêt (Rohmadi dkk, 2012:100).
Contoh dwipurwa
bungah → bubungah→ bêbungah (Sasangka, 2013:97)
Dwilingga yaiku têmbung lingga kang karangkêp. Pangrangkêpe têmbung
lingga iku ana kang karangkêp wutuh lan mawa owah-owahan swara „dwilingga
yaitu kata dasar yang diulang. „Pengulangan/reduplikasi kata dasar tersebut ada
yang diulang utuh/penuh dan dengan perubahan suara‟ (Sasangka, 2013:100).
Contoh dwilingga wutuh
bagus → bagus-bagus (Sasangka, 2013:100)
Contoh dwilingga salin swara
Takon → takon-takon → tokan-takon (Sasangka, 2013:103)
Dwiwasana iku têmbung kang ngrangkêp wanda wêkasan utawa
ngrangkêp wasanane têmbung „Dwiwasana itu kata yang merangkap suku kata
terakhir atau mengulang akhir kata (Sasangka, 2013:104-105).
Contoh dwiwasana
Cêngês → cêngêsngês → cêngêngês
Dalam penelitian ini hanya ditemukan dwipurwa yaitu proses perulangan
dengan mengulang morfem terikat.
23
2) Afiksasi
Afiksasi adalah proses pembentukan kata dengan cara membubuhkan
afiks terhadap bentuk dasar baik yang berupa pokok kata, kata asal, maupun
bentuk-bentuk kata yang lainnya (Mulyono, 2013:75). Afiksasi sebagai penanda
aspek stilistika menurut pendapat penulis yaitu proses pembentukan kata dengan
menambahkan prefiks, infiks, sufiks, maupun konfiks.
a) Prefiks (awalan)/ ater-ater, yaitu afiks yang diletakkan di depan bentuk dasar
meliputi {ka-}, {a(N)} atau {a-}, {ma-}, {pa-}.
Contoh: (ka-) + serat → kaserat „ditulis‟
b) Infiks (sisipan)/ seselan, yaitu afiks yang diletakkan di tengah bentuk dasar
meliputi {-in-}, {-um-}.
Contoh: singkir + (-um-) → sumingkir „menyingkir‟
c) Sufiks (akhiran) / panambang, yaitu afiks yang diletakkan di belakang bentuk
dasar meliputi {-ing} atau {-ning}, {-ira}, {-nira}, dan {-nya}.
Contoh: mantep + (-ing) → manteping „keteguhan‟
d) Konfiks / imbuhan sesarengan, yaitu afiks yang terdiri atas dua unsur yaitu di
depan dan di belakang bentuk dasar meliputi {ka-an} dan {pa-an}.
Contoh: ka-an + pinter → kapinteran „kepandaian‟
Pada LLBJKNB hanya ditemukan bentuk afiksasi berupa infiks. Berikut contoh
infiks yang terdapat dalam LLBJNB.
(14) Awune mubal lahar panas dha sumêbar (PM/I/3)
„Abunya keluar membuat lahar panas menyebar‟
Kata sumêbar pada data (14), mengalami penambahan infiks (seselan)
{-um-}dari yang semula berasal dari kata sêbar menjadi sumêbar.
sêbar + (-um-) → sumêbar „menyebar‟
24
4. Gaya Bahasa (Majas)
Gaya bahasa menurut Edgar Dale [et al] (dalam Tarigan,1985:5) adalah
bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan
memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan
benda atau hal lain yang lebih umum.
Gaya bahasa menurut penulis merupakan suatu cara mengeksplorasi dan
mengekspresikan bahasa dengan menumbuhkan imajinasi yang tersalurkan
kepada pembaca melalui medium bahasa yang indah dan khas.
a. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
a) Epizeuksis
Epizeuksis adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang
dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut (Keraf, 2002:127).
Contoh:
(15) Saya suwe saya nêlangsa rasane (SLNJ/I/1)
„Semakin lama semakin sedih rasanya‟
Kata yang diulang pada data (15) adalah kata saya „semakin‟ yang diulang
sebanyak dua kali dalam satu baris di kata pertama dan kata ketiga.
b) Anafora
Anafora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada
setiap baris atau kalimat berikutnya (Keraf, 2002:127).
Contoh:
(16) Mêndême... (O/VI/4) „Mabuknya‟
Mêndême... (O/VI/5) „Mabuknya‟
Mêndême mandheg wae (O/VI/6) „Mabuknya dihentikan saja‟
Repetisi yang ada pada data (16) terdapat di awal baris. Kata yang
direpetisi adalah kata mêndême.
25
c) Epistrofa
Epistrofa adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada
akhir baris atau kalimat berurutan (Keraf, 2002:128).
Contoh:
(17) Arêp sambat sapa (BS/IV/2)
Têrus aku kudu sambat sapa (BS/IV/3)
„Akan mengeluh pada siapa‟
„Terus saya harus mengeluh pada siapa‟
Perulangan pada data (17) terjadi di akhir baris yaitu dengan mengulang
kata-kata sambat sapa.
d) Mesodiplosis
Mesodiplosis, adalah repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat
berurutan (Keraf, 2002:128).
(18) Bên dina sambat mumêt sambat ngêlu (D/V/5)
„Setiap hari mengeluh pusing mengeluh pening‟
Kata yang diulang pada data tersebut ialah kata sambat „mengeluh‟ yang
diulang sebanyak dua kali sebelum dan sesudah kata ketiga dan kelima.
e) Anadiplosis
Anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat
menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya (Keraf,
2002:128). Menurut Tarigan (1985:203), anadiplosis adalah sejenis gaya bahasa
repetisi di mana kata atau frase terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi
kata atau frase pertama dari klausa atau kalimat berikutnya.
Contoh:
(19) Atiku kangên, kangênku marang kowe (SLNJ/I/2)
„Hatiku rindu, rinduku kepada dirimu‟
Data (19) menunjukkan adanya perulangan pada kata kangên „rindu‟ yang
menjadi awal tuturan setelahnya.
26
f) Repetisi Utuh (Penuh)
Repetisi utuh (penuh) yaitu pengulangan satuan lingual secara utuh atau
penuh. Satuan lingual yang diulang ini dapat berupa satu baris, atau satu kalimat
secara utuh, atau bahkan satu bait atau beberapa kalimat secara utuh (Sumarlam,
2013:60).
Contoh:
(20) Pokoke joget... pokoke joget (PJ/I/1)
Pokoke joget... pokoke joget (PJ/I/2)
Pokoke joget... pokoke joget (PJ/I/3)
Pokoke joget... pokoke joget (PJ/I/4)
„Yang penting joget... yang penting joget‟
„Yang penting joget... yang penting joget‟
„Yang penting joget... yang penting joget‟
„Yang penting joget... yang penting joget‟
Data (20) menunjukkan adanya perulangan pada kata-kata pokoke joget
yang diulang secara penuh pada baris-baris berikutnya.
b. Gaya Bahasa Kiasan
a) Metonimia
Metonimia (berasal dari bahasa Yunani meta „bertukar‟ + onym „nama‟)
adalah sejenis gaya bahasa yang mempergunakan nama sesuatu barang bagi
sesuatu yang lain berkaitan erat dengannya. Dalam metonimia sesuatu barang
disebutkan tetapi yang dimaksud barang lain (Dale [et al] dalam Tarigan,
1985:122).
Metonimia ialah majas yang memakai nama ciri atau nama hal yang
ditautkan dengan nama orang, barang, atau hal, sebagai penggantinya. Kita dapat
menyebut pencipta atau pembuatnya jika yang kita maksudkan ciptaan atau
buatannya ataupun kita menyebut bahannya jika yang dimaksud brangnya
(Moeliono dalam Tarigan, 1985:123)
27
Metonimia adalah salah satu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah
kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat
dekat (Keraf, 2002:142). Gaya bahasa ini berupa penggunaan sebuah objek
sebagai atribut atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat hubungannya untuk
menggantikan suatu objek (Sutejo, 2010:30).
Contoh:
(21) Tutupen oplosanmu (O/III/2) „Tutup oplosanmu‟
Emanên nyawamu (O/III/3) „Sayangi nyawamu‟
Gaya bahasa yang ada pada akhir baris pertama data (21) merupakan
majas metonimia dengan menggunakan istilah oplosan sebagai atribut
menggantikan istilah minuman keras dari berbagai komposisi bahan yang
dicampur menjadi satu.
b) Sinisme
Sinisme adalah sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk
kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.
Sinisme menurut Tarigan (1985:91), adalah ironi yang lebih kasar sifatnya, namun
terkadang sukar ditarik batas tegas antara keduanaya. Sinisme menurut
pemahaman penulis, ialah suatu acuan yang diartikan sebagai sindiran yang
mengandung ejekan.
(22) Pama biyèn kowe manut kandhane wong tuwa (D/IV/1)
Ra mungkin uripmu tansah rêkasa (D/IV/2)
Bandha lan donya (D/IV/3)
Kabèh ilang musna (D/IV/4)
Sing ana kari raga karo nyawa uwa..wa..wa..wa... (D/IV/5)
„Seumpama dahulu Kamu menurut nasehat orang tua‟
„Tidak mungkin hidupmu akan susah‟
„Harta benda‟
„Semua hilang musna‟
„Yang ada tinggal raga dengan nyawa‟
28
Baris terakhir dalam kutiapan data (22) memuat majas sinisme dengan
mengejek orang yang tidak menurut nasehat orang tua akan kehilangan harta
benda dan yang tersisa hanyalah raga dan nyawanya.
c) Sarkasme
Sarkasme berasal dari bahasa Yunani sarkasmos yang diturunkan dari kata
kerja sakasein yang berarti „merobek-robek daging seperti anjing‟, „menggigit
bibir karena marah‟ atau‟bicara dengan kepahitan‟ (Keraf dalam Tarigan,
1985:92). Bila dibandingkan dengan ironi dan sinisme, sarkasme ini lebih kasar.
Sarkasme adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran
pedas dan menyakiti hati‟ (Poerwadarminta dalam Tarigan, 1985:92). Ciri utama
gaya bahasa sarkasme ialah selalu mengandung kepahitan dan celaan getir,
menyakiti hati, dan kurang enak didengar (Tarigan, 1985:92).
Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar yang mengandung
kepahitan dan celaan yang getir sehingga menyakiti hati dan kurang enak
didengar (Keraf, 2002:143-144).
Contoh:
(23) Judhine mbok aja diterusne (D/III/2)
Mbok dipikir tuwèke (D/III/2)
Timbang sara uripe (D/III/2)
„Judinya sebaiknya jangan diteruskan‟
„Sebaiknya dipikirkan masa tuanya‟
„Daripada susah hidupnya‟
Kata sara uripe di akhir baris data (23), mengandung majas sarkasme
dengan mengecap orang yang senang berjudi dan tidak mau untuk menghentikan
kebiasaan buruknya akan susah hidupnya karena tidak memikirkan masa tuanya.
Penggunaan kata sara uripe „susah hidupnya‟ dapat membuat orang yang
bersangkutan menjadi tersinggung bahkan marah ketika mendengarkan tuturan
secara frontal seperti itu.
29
d) Perumpamaan (Simile)
Simile berasal dari bahasa latin yang bermakna „seperti‟. Perumpamaan
adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja
kita anggap sama. Itulah sebabnya kata „perumpamaan‟ disamakan denga kata
„persamaan‟. Gaya bahasa perumpamaan secara eksplisit dijelaskan oleh
pemakaian kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, penaka, serupa
(Tarigan, 1985:9-10). Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, dengan
kata lain langsung menyatakan sasuatu sama dengan hal lain (Keraf, 2002:138).
Contoh:
(24) Umpama bisa aku gayuh lintang (GA/III/1)
„Seumpama saya bisa meraih bintang‟
Data (24) menunjukkan adanya majas simile dengan memperumakan bisa
meraih bintang dengan diksi yang lebih eksplisit dijelaskan dengan kata umpama
„seumpama‟ di awal baris.
e) Personifikasi
Personifikasi berasal dari bahasa Latin persona („orang, pelaku, aktor, atau
topeng yang dipakai dalam drama‟) + fic („membuat‟). Karena itulah apabila
mempergunakan gaya bahasa personifikasi, kita memberikan ciri-ciri atau
kualitas, yaitu kualitas pribadi orang-orang kepada benda-benda yang tidak
bernyawa ataupun kepada gagasan-gagasan (Dale [et al] dalam Tarigan, 1985:17).
Dengan kata lain penginsanan atau personifikasi, ialah jenis majas yang
melekatkan sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang
abstrak (Tarigan, 1985:17).
Personifikasi atau prosopopoeia menurut Keraf (2002:140) adalah
semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau
barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat
30
kemanuasiaan. Sedangkan Sutejo (2010:103) menambahkan bahwa gaya bahasa
ini lebih banyak dan lebih intensif untuk melukiskan sesuatu benda, barang,
organ, atau apapun yang dianggap dapat berprilaku sebagai manusia.
Contoh:
(25) Nèng simpang lima iki sing nyêksèni sumpahe ati (SLNJ/IV/3)
„Simpang lima ini yang menyaksikan sumpah hati‟
Pada data (25) terdapat majas personifikasi dengan menggambarkan
bahwa sebuah lokasi yaitu simpang lima, dalam tuturan ini seakan-akan memiliki
mata dan telinga untuk menyaksikan sumpah seseorang.
c. Gaya Bahasa Penegasan
a) Enumerasia
Enumerasia merupakan gaya bahasa penegasan dengan melukiskan suatu
peristiwa agar keseluruhan maksud kalimat lebih jelas dan lugas (Sutejo,
2010:29).
Contoh:
(26) Lêwat gêlombang radio (GA/I/1) „Lewat gelombang radio‟
Aku krungu swaramu (GA/I/2) „Saya dengar suaramu‟
Banjur kênal-kênalan (GA/I/3) „Kemudian saling berkenalan‟
Baris pertama data (26) menunjukkan adanya gaya bahasa enumerasia
yang dipertegas dengan tuturan lêwat gêlombang radio yang menceritakan suatu
peristiwa awal mula perkenalan sepasang kekasih melalui gelombang radio.
b) Hiperbola
Hiperbola menunjukkan gaya pengungkapan yang melebih-lebihkan dalam
menggambarkan sesuatu (Sutejo, 2010: 93). Hiperbola adalah semacam gaya
bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebih-lebihan, dengan
membesar-besarkan suatu hal (Keraf, 2002:135). Menurut Tarigan (1985:55),
hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-
lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan
31
pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan
pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frase, atau kalimat.
Contoh:
(27) Nangis sabên dina aku nganti asat êluhku (ARK/III/1)
„Setiap hari saya menangis hingga kering air mata saya‟
Data (27) menunjukkan adanya ungkapan yang melebih-lebihkan tuturan
dengan menggambarkan orang yang menangis sampai kering air matanya.
5. Pencitraan
Pencitraan atau pengimajian adalah transformasi gambaran pengalaman
panca indera melalui bahasa.
a. Citra Penglihatan (Visual Imegery)
Citraan penglihatan ialah jenis citraan yang sering yang menekankan
pengalaman visual (penglihatan) yang dialami pengarang kemudian
diformulasikan ke dalam rangkain kata yang seringkali metaforis dan simbolis
(Sutejo, 2010:21). Berdasarkan penegertian tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa citraan penglihatan adalah citraan yang timbul karena rangsangan indera
penglihatan.
Contoh:
(28) Nganti omah-omah ajur mumur padha bubrah (PM/I/4)
„Hingga rumah-rumah hancur lebur menjadi rusak‟
Citraan yang ada pada data di atas menunjukkan hasil transformasi indera
penglihatan dengan menekankan pada tuturan ajur mumur untuk menunjukkan
bahwa untuk melihat kenyataan rumah-rumah hancur lebur karena bencana alam
yakni dengan mata.
b. Citra Pendengaran (Auditory Imagery)
Citraan pendengaran merupakan bagaimana pelukisan bahasa yang
merupakan perwujudan dari pengalaman pendengaran (audio) (Sutejo, 2010:22).
32
Penulis berpendapat bahwa citraan pendengaran adalah citraan yang erat
hubungannya dengan gambaran atau kesan diperoleh melalui indera pendengaran
yang ditandai dengan munculnya diksi bunyi suara yang dapat ditangkap oleh
indera pendengaran (telinga).
Contoh:
(29) Krungu swarane suling (PJ/III/1) „Dengar suara suling‟
Kêpènak ana nèng kuping (PJ/III/2) „Enak terdengar di telinga‟
Kata swarane pada data (29) menunjukkan adanya pencitraan pendengaran
pada kata kedua tuturan tersebut. Kata swara dikategorikan dalam citraan
pendengaran karena erat hubungannya dengan indera pendengaran yaitu telinga.
c. Citra Penciuman (Olfactory)
Citraan penciuman ialah penggambaran yang diperoleh melalui
pengalaman indera penciuman (Sutejo, 2010:23). Citraan penciuman menurut
versi penulis ialah citraan yang berhubungan dengan kesan atau gambaran yang
dihasilkan oleh indera penciuman. Citraan ini ditandai dengan kata-kata yang
seolah-olah membuat kita seperti mencium sesuatu.
Contoh:
(30) Arume kêmbang mêkar ing wayah bêngi (SLNJ/III/4)
„Harumnya bunga mekar di waktu malam‟
Kata arume „harumnya‟ pada awal kalimat data (30) menunjukkan adanya
citraan penciuman. Kata arume „harumnya‟ erat hubungannya dengan indera
penciuman yaitu hidung.
d. Citra Perabaan (Tactile Imagery)
Citraan perabaan ialah penggambaran atau pembayangan dalam cerita
yang diperoleh melalui pengalaman indera perabaan (Sutejo, 2010:24). Menurut
hemat penulis, Citraan perabaan adalah citraan yang dapat dirasakan oleh indera
peraba (kulit). Adanya citra perabaan diidentifikasi dengan menemukan diksi
yang dapat dirasakan kulit, misalnya dingin, panas, lembut, kasar, dan sebagainya.
33
Untuk memperjelas citraan perabaan dapat diilustrasikan dengan contoh berikut.
Lembut wajahnya menyudutkan aku dalam kelap sepi. Sesekali jerawatnya,
semakin menyentakkan imajinasiku untuk menyentuhnya. Aku terkejut, ketika di
ujung mimpi kurasakan dingin bibirnya yang merah (dikutip dari Sutejo,
2010:24).
e. Citra Gerak (Kinaesthetic Imagery)
Citraan ini, menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak,
tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya
(Sutejo,2010:24). Citraan gerak menurut asumsi penulis ialah citraan yang
berhubungan dengan indera penggerak atau menimbulkan imajinasi pembaca
bahwa sesuatu yang tidak bergerak seolah-olah bergerak.
Contoh:
(31) Mêndhung mêntiyung langit Tulungagung (MMLT/III/1)
Mayungi tresnaku sing wurung (MMLT/III/2)
„Awan menggelayut di langit Tulungagung‟
„Memayungi cintaku yang kandas‟
Kata mayungi „memayungi‟ pada awal baris kedua data di atas,
dikategorikan dalam citraan gerak karena menimbulkan imajinasi pembaca bahwa
awan gelap dapat seolah-olah bergerak mengikuti seseorang yang sedang patah
hati.
6. Nur Bayan dan Karyanya
Nur Bayan adalah seorang seniman yang lahir di Kediri, Jawa Timur, 14
Juni 1983; ia adalah pencipta lagu sekaligus penyanyi campursari dan dangdut.
Dialah pencipta lagu “Oplosan” dan “Pokoke Joget” yang mana kedua lagu
tersebut mampu menghipnotis masyarakat pencinta musik koplo. Pria asal Kediri,
Jawa Timur ini kerap membawakan lagu-lagu ciptaannya sendiri. Sempat ramai
34
dengan kasus hak cipta lagunya, sekarang Nur Bayan masih mencoba tetap eksis
di blantika musik Indonesia.
Pada awal tahun 90-an, Nur Bayan telah berkecimpung di dunia tarik
suara, namun hanya di lingkup Provinsi Jawa Timur saja. Tahun 2007, ia mulai
memberanikan diri untuk lebih giat di dunia musik dengan tidak hanya bernyanyi
tetapi juga menciptakan lagu. Di tahun ini pula Nur Bayan menciptakan lagu
dangdut koplo berjudul “Oplosan”. Lagu oplosan sendiri baru mulai dikenal
masyarakat luas sekitar tahun 2013 setelah dibawakan oleh penyanyi Pantura
yaitu Wiwik Sagita. Lagu ini semakin terkenal setelah sering ditampilkan di acara
YKS Trans TV dan dinyanyikan oleh Soimah Pancawati. Berkat lagu inilah, nama
Nur Bayan terkenal. Kini lagu-lagu ciptaannya didaulat untuk dinyanyikan
penyanyi-penyanyi pendatang baru jebolan dari Audisi Dangdut Academy (DA) di
Indosiar. Salah satu lagu ciptaannya yaitu Kejora yang dibawakan oleh Lesti juara
DA 1, dan Muara Hati yang dibawakan oleh Evi juara DA 2.
G. Metode Penelitian
Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis dan
menjelaskan suatu fenomena (Kridalaksana, 2008:153). Dalam metode
penelitian akan dipaparkan mengenai jenis penelitian, data dan sumber data, alat
penelitian, populasi, sampel, metode pengumpulan data, metode analisis data
dan metode penyajian analisis data.
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian mengarah pada tingkat penelitian atau berkisar pada kadar
penelitian. Penelitian ini dalam tingkatan deskriptif kualitatif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang studi kasusnya mengarah pada pendeskripsian
35
secara rinci, mendalam, dan benar-benar potret kondisi apa yang sebenarnya
terjadi menurut apa adanya di lapangan (Sutopo, 2002:111).
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang penentuan sampelnya
dengan cara cuplikan atau nukilan yang juga disebut purposive sampling, artinya
sampel ditentukan secara selektif, sumber datanya diarahkan kepada sumber data
yang menghasilkan data secara produktif, penting sesuai dengan permasalahan
yang ditentukan tujuan penelitian, dan teori yang digunakan (Sutopo, 2002:36).
Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang mendeskripsikan
kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan dengan penetuan sampelnya
menggunakan cara cuplikan atau nukilan yang disebut purposive sampling.
Penelitian deskriptif kualitatif tingkatannya berada di antara penelitian
eksploratif dan eksplanatif.
Maksud dari penelitian yang dilaksanakan ini adalah mendeskripsikan
dan menjelaskan fenomena yang muncul tanpa menggunakan hipotesa dan data
beserta hasilnya berbentuk deskriptif. Fenomena yang dikaji tidak berupa angka
atau koefisien tentang hubungan antara variabel. Penelitian ini berusaha
mendeskripsikan data-data kebahasaan yang berwujud kata-kata.
b. Data dan Sumber Data
Data adalah semua informasi yang dicari, dikumpulkan, dipilih, serta
dipilah menjadi bahan penelitian, yang selanjutnya akan dianalisis (Sudaryanto,
1993:3). Penelitian ini menggunakan jenis data lisan dan tulis. Data lisan berupa
tuturan yang berasal dari rekaman suara/MP3 lagu-lagu Nur Bayan berbahasa
Jawa yang di dalamnya mengandung pemanfaatan pola bunyi, adanya proses
afiksasi, pengulangan pola kalimat, frasa, atau kata, pemakaian kosakata atau
diksi, dan pemanfaatan gaya bahasa. Data tulis berupa transkrip lirik lagu yang di
36
dalamnya mengandung aspek pemanfaatan pola bunyi, adanya proses afiksasi,
pengulangan kata, frasa, atau kalimat, pemakaian kosakata atau diksi, dan
pemanfaatan gaya bahasa dari MP3.
Sumber data berasal dari rekaman dalam bentuk MP3 berjumlah 57 lagu
pada website dengan menetapkan 15 lagu sebagai sampel dalam penelitian. MP3
diakses pada tanggal 23 Maret 2014 pada pukul 15.35 dari website:
http://lagudjawaasli.blogspot.co.id/2014/01/koleksi-lagu-NurBayanterlengkap.html.
c. Alat Penelitian
Alat dalam penelitian ini meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama
dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri artinya kelenturan sikap peneliti
mampu menggapai dan menilai makna dari berbagai interaksi (Sutopo, 2002:35-
36). Peneliti merupakan komponen yang harus ada dalam penelitian. Dengan
ketajaman intuisi kebahasaan (lingual), peneliti mampu membagi data secara
baik menjadi beberapa unsur (Sudaryanto, 1993:31-32). Alat bantu berupa alat
elektronik dan alat tulis menulis. Alat bantu elektronik berupa laptop (untuk
mengetik dan menyimpan hasil data), handphone, headset (untuk mendengarkan
MP3 lagu Nur Bayan), printer (untuk mencetak hasil penelitian). Alat tulis
berupa pena, kertas, spidol (perlengkapan mentranskrip data-data serta menandai
data yang sudah ditemukan).
d. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian
langsung yang mewakili atau dianggap mewakili populasi secara keseluruhan.
Populasi adalah keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa (Subroto,
2007:36). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian lirik lagu yang
mengandung unsur perulangan bunyi, diksi, gaya bahasa, dan pencitraan pada
37
lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan. Pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu pengambilan sampel
ditentukan secara selektif, sumber datanya diarahkan pada sumber data yang
menghasilkan data secara produktif, sesuai dengan permasalahan yang ditentukan
dalam tujuan penelitian, dan teori yang digunakan (Sutopo, 2002:36). Adapun
sampel yang dimaksud adalah lirik lagu Nur Bayan yang berjudul:
1. Amung Rasa Kangen
2. Bojo Ketelu
3. Bojo Simpenan
4. Cupet Ati 1
5. Cupet Ati 2
6. Doremi
7. Gelombang Asmara
8. Mêndhung Mêntiyung Langit Tulungangung
9. Oplosan
10. Pare In Love
11. Pokoke Joget
12. Prahara Merapi
13. Simpang Lima Ninggal Janji
14. Sujud Syukur
15. Tobat Oplosan
(ARK)
(BK)
(BS)
(CA1)
(CA2)
(D)
(GA)
(MMLT)
(O)
(PIL)
(PJ)
(PM)
(SLNJ)
(SS)
(TO)
e. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode dan teknik adalah cara dalam upaya, metode adalah cara yang
harus dilaksanakan dan teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto,
1993:9). Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode simak.
Kemudian dilanjutkan dengan teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar
yang digunakan adalah teknik sadap yakni dengan cara penyadapan lirik-lirik
dari 15 lagu karya Nur Bayan. Teknik lanjutannya adalah teknik catat yakni
38
mentranskripsi hasil sadapan. Hasil transkripsi merupakan transkripsi ortografis
yakni pengalihan data yang berbentuk lisan (tuturan) ke dalam bentuk tulisan
dengan memperhatikan sistem ejaan yang telah disempurnakan (EYD). Adapun
prosedural yang dilakukan peneliti antara lain: menyiapkan data, menyimak 15
lirik lagu dengan menggunakan teknik sadap, kemudian dengan mengaplikasikan
teknik catat data yang berupa tuturan ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan
untuk dianalisis berdasarkan aspek bunyi, pilihan kata, gaya bahasa, dan
pencitraan yang ada di dalamnya.
f. Metode dan Teknik Analisis Data
Metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
padan dan agih.
1. Metode Padan
Dalam hal ini objek sasaran dengan metode padan yaitu kesejatian atau
identitasnya ditentukan berdasarkan tinggi kadar kesepadanannya,
keselarasannya, kesesuaiannya, kecocokannya atau kesamaannya dengan alat
penentu yang bersangkutan yang sekaligus sebagai standar atau pembakuannya
(Sudaryanto, 1993:13). Dalam metode padan teknik yang digunakan adalah
teknik dasar yang disebut teknik pilah unsur penentu (PUP). Adapun alatnya
yakni daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto,
1993:21). Teknik ini digunakan untuk menganalisis unsur langsung pada majas
dan pencitraan. Penerapan metode padan dapat dilihat pada data berikut.
(32) Ana sing egol-egolan (PJ/V/1)
Ana sing punji-punjian (PJ/V/2)
„Ada yang menggoyang-goyangkan pinggul‟
„Ada yang saling memanggul (mengangkat di bahu)‟
Data di atas terdiri dari dua tuturan yaitu ana sing egol-egolan dan ana
sing punji-punjian dengan daya pilah pembeda referen pelaku dan tindakan
39
(agentif-aktif) dari kata ana „ada‟ yang menunjuk pada referen pelaku sebagai
subjek dan kata egol-egolan „menggoyang-goyangkan pinggul‟ serta punji-
punjian „memanggul‟ sebagai kata kerja. Unsur langsung di atas menunjukkan
adanya penggunaan citraan penglihatan karena menunjuk pada orang lain yang
sedang melakukan gerakan menggoyangkan pinggul, dan memanggul temannya.
Citraan penglihatan adalah citraan yang timbul karena adanya rangsangan indera
penglihatan. Citraan penglihatan tersebut memiliki nilai fungsi menumbuhkan
imajinasi pendengar untuk membayangkan seolah-olah melihat orkes dangdut
dengan ada orang-orang yang melakukan kegiatan menggoyangkan pinggul dan
memanggul temannya.
2. Metode Distribusional (Agih)
Metode distribusional didasarkan pada prilaku satuan lingual tertentu
dengan satuan lingual lainnya. Teknik yang digunakan dalam metode ini adalah
teknik bagi unsur langsung (BUL), cara kerja teknik ini dengan membagi satuan
lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur; dan unsur-unsur yang
bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsungmembentuk satuan lingual
yang dimaksud (Sudaryanto, 1993:31). Dengan kata lain, metode ini
mempermudah peneliti dalam menganalisis dengan membentuk konstruksi yang
lebih mendetail. Metode ini digunakan untuk menganalisis aspek bunyi, pilihan
kata, dan penanda morfologis. Adapun penerapan metode ini dapat dilihat pada
data berikut.
(33) Sêjatine aku trêsna têmenan (BS/IV/5)
„Sesungguhnya saya benar-benar cinta‟
Dari data di atas, terbagi menjadi dua unsur bawahan langsung yaitu
sêjatine „sesungguhnya‟ dan aku trêsna têmenan „saya benar-benar cinta‟. Kedua
unsur langsung tersebut menunjukkan adanya purwakanthi guru sastra (aliterasi)
40
/t/. Dapat dilihat pada kalimat, sêjatine aku trêsna têmenan. Aliterasi /t/
berdistribusi pada suku kata kedua dari belakang (paenultima) kata sêjatine
„sebenarnya‟; awal suku kata pertama dari kata trêsna „cinta‟, dan têmenan
„sungguhan‟. Perulangan konsonan /t/ tersebut memiliki nilai fungsi
memperindah lirik lagu.
g. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Dalam metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode formal
dan informal. Metode formal adalah metode penyajian hasil analisis dengan
menggunakan lambang atau tanda-tanda, sedangkan metode informal yatu
metode penyajian hasil analisis data dengan menggunkan kata-kata biasa atau
sederhana agar mudah dipahami (Sudaryanto, 1993:144-145). Penelitian ini
menggunakan metode penyajian hasil analisis data secara informal. Penerapan
metode tersebut dapat mempermudah peneliti dalam penyampaian dan
pemahaman terhadap hasil penelitian.
h. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan untuk skripsi ini adalah sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, pembatasan masalah, landasan teoretis, data dan sumber data,
metode dan teknik penelitian, sistematika penulisan.
Bab II Analisis Data, terdiri dari pemanfaatan dan pemilihan aspek-aspek
bunyi bahasa, diksi dan pemilihan kosakata, penggunaan gaya bahasa , serta
pencitraan yang terdapat dalam lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan.
Bab III Penutup, terdiri dari simpulan dan saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN