1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Notaris dalam hukum perdata di Indonesia, yaitu dalam sistem hukum
pembuktian keberadaannya sangat penting yakni membuat alat bukti otentik.
Dalam menjalankan tugas dan jabatannya tersebut, notaris harus berdasar dan
sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jabatan dan kode etik
serta yang berkaitan dengan dibuatnya suatu akta otentik.
Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal
06 Oktober 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun
2004 Nomor 117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI)
Nomor 4432 (selanjutnya disebut dengan UUJN). Berikut perubahanya
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(selanjutnya disebut dengan UUJN-P).
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN yang menentukan sebagai berikut
bahwa notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. Menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
2
kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka seorang notaris senantiasa
dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya, khususnya bagi masyarakat yang
telah memiliki kesadaran hukum yang baik tentang diperlukannya kepastian
hukum dalam setiap perbuatan hukum yang dilakukannya, dengan menuangkan
dalam suatu alat bukti otentik, yakni akta notaris. Hal tersebut melahirkan
kepercayaan masyarakat terhadap notaris karena akta yang dibuatnya, yang
menyebabkan jabatan notaris sering pula disebut dengan jabatan kepercayaan,
yaitu kepercayaan pemerintah sebagai instansi yang mengangkat dan
memberhentikan notaris sekaligus pula kepercayaan masyarakat sebagai pengguna
jasa notaris.
Peranan signifikan dari notaris di dalam hukum adalah membuat akta
autentik terhadap perbuatan hukum, misalnya saja dalam mendirikan suatu badan
usaha. Membuat perjanjian jual-beli, tukar-menukar, perjanjian kredit, dan lain
sebagainya, yang keseluruhan perbuatan hukum tersebut dapat bersangkut paut
atau menjadikan tanah sebagai objek perjanjian-perjanjiannya.
Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi setiap individu dalam
masyarakat, karena selain mempunyai hubungan yang erat dengan keberadaannya
dalam lingkungannya dan kelangsungan hidupnya. Mempunyai juga nilai
ekonomis yang dapat dicadangkan sebagai sumber pendukung kehidupan individu
itu sendiri sebagai manusia di masa mendatang. Hal tersebut dikarenakan
3
disanalah manusia hidup, tumbuh dan berkembang bahkan secara sekaligus
merupakan tempat dikebumikan pada saat meninggal dunia,1 oleh sebab itu tanah
selain memiliki nilai ekonomi yang tinggi juga mengandung aspek spiritual.
Tanah dewasa ini telah menjadi barang yang sangat bernilai lebih bahkan
berharga melebihi daripada emas, bahkan tanah merupakan salah satu barang yang
dinilai sangat penting oleh negara. Negara mencegah agar setiap jengkal tanah di
Indonesia tidak jatuh ketangan asing, tanah juga berperan besar dalam mengatur
hidup orang banyak baik untuk mendirikan rumah tinggal maupun menjadi
sumber penghasilan mata uang pencaharian dan bahkan belakangan menjadi
komoditas ekonomi.
Keadaan yang sebaliknya saat ini terjadi, yakni sejak krisis multi dimensi
yang meluluhlantakan perekonomian, sejumlah perusahaan pengembang, ratusan
proyek property terpaksa dihentikan. Tidak terhitung lagi bangunan setengah jadi
kini menjadi puing-puing terlantar. Terpuruknya perekonomian nasional
menyebabkan bisnis property termasuk sektor yang paling parah mengalami
dampak krisis yang terjadi. Meskipun kebangkitan bisnis ini dalam waktu singkat
setidaknya harapan pengembang agar roda property segera berputar sangat besar.
Tanah dari sudut pandang ekonomi adalah tempat yang strategis sebagai
sarana untuk menjalankan suatu usaha yang ditunjang dengan prasarana yang
lengkap yaitu merupakan keperluan yang harus dipenuhi guna mengembangkan,
meningkatkan dan memperlancar kegiatan perekonomian di Indonesia. Sehingga
1Soeryono Wignjodipuro, 1982, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,
Gunung Agung, Jakarta, hal. 197.
4
kini, tanah tidak hanya digunakan sebagai tempat tinggal namun juga sebagai
tempat usaha, mulai dari usaha kecil sampai usaha dengan skala internasional.
Sebagai tempat usaha, letak strategis tanah menjadi sangat penting untuk
diperhatikan karena hal ini berperan besar sebagai kunci kesuksesan usaha. Disisi
lain terdapat permasalahan, karena tidak mudah untuk mendapatkan sebidang
tanah untuk usaha, dengan letak yang strategis. Sekalipun memiliki dana yang
cukup untuk membeli tanah, tetap tindaklah mudah untuk mendapatkan tanah
strategis terutama di kota-kota besar seperti di Jakarta dan di Bali.
Hal ini disebabkan karena seluruh tanah di daerah tingkat I Jakarta dengan
kisaran luas wilayah sekitar 661,52 km2 dan Provinsi Bali dengan kisaran luas
wilayah sekitar 5.636,66 km2 sudah ada pemiliknya, baik dimiliki oleh swasta
maupun perseorangan dan sebagian lagi dikuasai oleh pemerintah. Berbanding
terbalik dengan kenyataan tersebut, terdapat pula pihak yang memiliki tanah dan
ingin melakukan usaha dengan mendirikan bangunan tanahnya sebagai tempat
usaha, namun terbentur dengan permasalahan dana untuk mendirikan dan
mengelola bangunan tersebut sebagai tempat usaha.
Fakta empiris di atas menjadikan perjanjian pemanfaatan tanah secara
build, operate, and trasnfer (selanjutnya disebut dengan BOT), sebagai jalan
keluar. Oleh karenanya perjanjian BOT adalah suatu bentuk perjanjian yang
sedang berkembang dalam masyarakat sekarang ini.
Praktek perjanjian BOT, secara yuridis berdasarkan atau bersumber pada
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 248/KMK.04/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan
5
Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Build, Operate, And
Transfer). Berdasarkan Pasal 1 yang menentukan sebagai berikut Bangun, Guna,
Serah (Build, Operate, And Trasfer) adalah bentuk perjanjian kerjasama yang
dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan
bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk
mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun, guna, serah selanjutnya
disebut dengan (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada
pemegang hak atas tanah selama masa bangun guna serah berakhir.
Perjanjian BOT, melahirkan hubungan hukum antara dua orang atau lebih,
yang merupakan salah satu sumber perikatan, sebagaimana yang dikatakan oleh
Subekti bahwa suatu hubungan hukum antara dua orang/atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.2 Maka
hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dan hak di
pihak lain. Dengan demikian maka unsur-unsur perikatan adalah sebagai berikut :
1. Perikatan adalah hubungan hukum.
2. Melibatkan 2 orang atau lebih.
3. Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban bagi salah satu pihaknya.
Guna terlaksananya dengan patut suatu perjanjian BOT, harus pula
didasarkan pada asas-asas perjanjian, sebagai berikut :
1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian (kebebasan berkontrak).
2. Asas konsensualisme.
2R. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, PT.Internusa, Jakarta, hal. 1.
6
3. Asas kepercayaan.
4. Asas kekuatan mengikat.
5. Asas kepastian hukum.
6. Asas kebiasaan.
7. Asas kepatuhan.
8. Asas moral.
9. Asas persamaan hukum.
10. Asas keseimbangan.
Berdasarkan uraian di atas, dan dalam kaitannya dengan perjanjian BOT
yang pada dasarnya merupakan suatu “asas kerjasama yang saling
menguntungkan”, “asas kepastian hukum” dan “asas musyawarah”.3 Maka
perjanjian BOT, mengandung unsur-unsur antara lain yaitu :
1. Adanya para pihak.
2. Objek yang diperjanjikan.
3. Jangka waktu dengan hak pengelolaan.
4. Jangka waktu berakhir kembali pada pemilik hak eksklusif atau pemilik
lahan.
5. Selama perjanjian BOT masih berlangsung antara para pihak mempunyai hak
dan kewajiban masing-masing.
Dalam praktek build, operate, and trasnfer agreement, pihak kontraktor
menyerahkan bangunan yang sudah dibangunnya itu setelah masa pengalihan,
3Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1996, Laporan Akhir Tahun
Penelitian Tentang Aspek Hukum Perjanjian Build, Operate And Transfer,
Jakarta, hal. 29.
7
yang mana sementara sebelum proyek tersebut diserahkan terdapat masa tenggang
waktu (masa konsensi) bagi pihak kontraktor yaitu suatu masa untuk
mengoperasikan proyek dan memungut hasil sebagai imbalan dari jasa
membangun proyek yang bersangkutan.
Perjanjian BOT tidak hanya dibuat antara pemerintah dan swasta,
perjanjian ini dapat dibuat antara swasta dengan swasta, baik antara badan hukum
maupun antara perorangan dengan perorangan. Dalam BOT perjanjian yang
dibuat antara pihak yang memiliki tanah dan pihak yang memiliki dana untuk
mendirikan bangunan, maka perjanjian BOT dapat dilakukan oleh siapapun.
Sebagai contoh dimana pemilik hak atas tanah memberikan hak kepada
investor untuk mendirikan bangunan yang bersifat ekonomis selama masa
perjanjian bangun, guna, serah (BOT). Untuk mendapatkan keuntungan ekonomis
daripadanya, kemudian investor mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut
kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah berakhir dan investor
telah mendapatkan keuntungan penuh dari investasinya.
Dengan segala kelebihannya maka perjanjian BOT memiliki potensi untuk
dapat dikembangkan dan diterapkan dalam banyak proyek-proyek pembangunan
infrastruktur. Walaupun demikian, ternyata banyak pihak yang kurang mengetahui
bagaimana penerapan pola perjanjian BOT, karena kurangnya ketersediaan hukum
dan perundangan yang mengatur tentang perjanjian kontrak BOT.
Dengan demikian beberapa persoalan hukum pada perjanjian BOT yang
menjadi kajian aspek hukum dari perjanjian ini, akibat adanya kekosongan norma
terhadap pengaturan perjanjian BOT, sebab selain ketentuan Keputusan Menteri
8
Keuangan Republik Indonesia Nomor 248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak
Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk
Perjanjian Bangun Guna Serah (Build, Operate, And Transfer). Sebagaimana
disebut di atas, tidak ada peraturan yang spesifik yang memberi pengaturannya,
kecuali pada ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata tersebut, berimplikasi pada
praktek-praktek kemitraan dan perjanjian dalam membuat perjanjian BOT yang
cenderung menimbulkan persoalan hukum. Efektifitas penerapannya, identifikasi
dan alokasi resiko, hambatan yang terjadi serta potensi di masa mendatang,
sehingga harus dibuat suatu aturan perundang-undangan yang khusus tentang
BOT.
Pentingnya pengaturan terhadap perjanjian BOT dalam suatu peraturan
perundang-undangan, pengaturan dalam perjanjian BOT diharapkan mampu
memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang
membuatnya. Bagi investor, kepastian hukum tentang penguasaan hak-hak atas
tanah dan dan mengelola bangunan diatasnya dengan tidak adanya gangguan
suatu apapun, baik gangguan dari pemegang hak atas tanah maupun pihak lain.
Sedangkan di sisi pemegang hak atas tanah, agar perjanjian BOT menjamin
kepastian bahwa setelah jangka waktu kerjasama berakhir tanah dan bangunan
diserahkan dalam keadaan baik dan siap operasional oleh investor kepada
pemegang hak atas tanah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1960
Nomor 104, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI)
9
Nomor 2043. Pasal 28 yang menentukan sebagai berikut hak guna usaha adalah
hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka
waktu sebagaimana tersebut berdasarkan Pasal 29 ayat (1) guna perusahaan,
pertanian, perikanan, atau peternakan, dengan jangka waktu paling lama 25 tahun.
Pasal 35 ayat (1) UUPA yang menentukan sebagai berikut hak guna
bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UUPA yang menentukan sebagai berikut hak pakai
adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu
asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini,
dengan jangka waktu selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Perjanjian BOT yang dibuat dengan akta notaris sebagai akta otentik,
dibuat dengan mengikuti unsur-unsur berdasarkan Pasal 38 ayat (2) huruf d UUJN
yang menentukan sebagai berikut bahwa pada awal akta atau kepala akta memuat:
1. Judul akta.
2. Nomor akta.
3. Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun.
4. Nama lengkap dan tempat kedudukan notaris.
10
Pasal 44 ayat (1) UUJN yang menentukan sebagai berikut segera setelah
akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan
notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda
tangan dengan menyebut alasannya. Pencantuman nama dan tanda tangan notaris
pada awal akta, dan pencantuman nama dan tanda tangan notaris pada akhir akta
merupakan perintah UUJN, karena merupakan bagian dari syarat formal akta
notaris. Jika syarat formal tidak dipenuhi, baik sebagian atau seluruhnya
sebagaimana berdasarkan Pasal 38 UUJN, maka akta notaris tersebut hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana disebutkan berdasarkan Pasal 84
UUJN dan juga kekuatan pembuktian sebagai tulisan di bawah tangan jika ditanda
tangani oleh para pihak sebagaimana juga ditegaskan berdasarkan Pasal 1869
KUHPerdata.
Berdasarkan Pasal 38 ayat (3) huruf c UUJN yang menentukan sebagai
berikut isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari para pihak
penghadap yang datang menghadap notaris. Sehingga isi akta tersebut merupakan
kehendak atau keinginan para penghadap sendiri, bukan keinginan atau kehendak
notaris, tapi notaris membingkainya dalam bentuk akta notaris sesuai UUJN. Oleh
karena itu, jika isi akta dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak lain yang
berkepentingan, maka hal tersebut, yang berkaitan dengan isi akta, merupakan
permasalahan mereka sendiri.
Dalam kaitan ini, bagaimanakah pemahaman yang benar menurut hukum
kedudukan notaris dalam akta dan para pihak yang tercantum namanya dalam akta
dan pihak yang berkepentingan. Bahwa pencantuman nama notaris pada akta
11
notaris, tidak berarti pihak di dalamnya atau turut serta atau menyuruh atau
membantu melakukan suatu tindakan hukum tertentu yang dilakukan para pihak
atau penghadap, tapi hal tersebut merupakan aspek formal akta notaris sesuai
UUJN, notaris tidak terikat dengan isi akta dan juga tidak mempunyai
kepentingan hukum dengan isi akta yang bersangkutan.
Akta notaris jika dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak yang
berkepentingan dengan alasan apapun, sangat tidak ada alasan hukum untuk
menempatkan atau mendudukan notaris sebagai tergugat, turut tergugat atau
tersangka ataupun saksi. Jika akta notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau
yang berkepentingan, maka untuk menyelesaikan harus didasarkan pada
Kebatalan dan Pembatalan akta notaris sebagai suatu alat bukti yang sempurna.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) UUJN yang menentukan sebagai berikut akta
notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di
hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-
undang ini. Pasal 1 ayat (9) UUJN yang menentukan sebagai berikut salinan akta
adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan
akta tercantum frasa “diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya.” Pasal 1
ayat (10) UUJN yang menentukan sebagai berikut kutipan akta adalah kutipan
kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari akta dan pada bagian bawah
kutipan akta tercantum frasa “diberi sebagai kutipan”. Pasal 1 ayat (11) UUJN
yang menentukan sebagai berikut grosse akta adalah salah satu salinan akta untuk
pengakuan utang dengan kepala akta “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
12
Dalam praktek, akta notariil dibuat tidak hanya berpedoman berdasar dan
menurut ketentuan perundang-undangan yang mengatur perbuatan akta notariil
atau otentik (normatif). Juga mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pembuatan akta notariil serta pengalaman dan pengetahuan
maupun keyakinan seorang notaris tentang kepatutan segala sesuatu dapat
dijadikan rujukan dibuatnya suatu akta.
Akta notaris merupakan keinginan para pihak yang datang menghadap
notaris, tanpa adanya keinginan seperti itu, akta notaris tidak akan pernah dibuat,
kewajiban notaris mengkonstatir suatu perbuatan-perbuatan sebagai suatu
peristiwa konkrit, mengkonstituir peristiwa konkrit tersebut sebagai suatu
peristiwa hukum untuk ditemukan bentuk atau jenis peristiwa atau perbuatan
hukumnya, yang selanjutnya memverlijden seluruh rangkaian peristiwa-peristiwa
atau perbuatan-perbuatan hukum untuk dibuat menjadi atau kedalam suatu akta
dan akhirnya disahkan (ditanda tangani) oleh notaris, sehingga akta tersebut
dikualifikasikan sebagai akta otentik. Isi akta yang bersangkutan merupakan
kehendak para pihak, bukan kehendak atau keinginan notaris.
Notaris berkewajiban memberikan penjelasan kepada para penghadap,
agar tindakannya yang dituangkan dalam akta sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku. Jika akta notaris yang bersangkutan, dirasakan oleh para pihak tidak
mencapai tujuan yang diinginkannya atau harus diubah sesuai keadaan, maka para
pihak secara bersama-sama dan sepakat datang kehadapan notaris untuk
membatalkan isi akta yang bersangkutan. Dalam tataran hukum (Kenotariatan)
yang benar mengenai akta notaris dan notaris, jika suatu akta notaris
13
dipermasalahkan oleh para pihak, maka para pihak datang kembali ke notaris
untuk membuat akta pembatalan atas akta tersebut dan dengan demikian akta yang
dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung
segala akibat dari pembatalan tersebut.
Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan
atau mereka bersengketa, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya,
kepengadilan umum untuk membatalkan isi akta yang bersangkutan agar tidak
mengikat lagi. Bahwa yang dibatalkan oleh para pihak, baik karena sepakat atau
melalui putusan pengadilan, adalah isi akta, karena isi akta merupakan kehendak
para pihak. Aspek formal akta notaris merupakan tanggung jawab notaris, yang
juga dapat dibatalkan oleh para pihak jika dapat dibuktikan melalui putusan
pengadilan, misalnya salah satu pihak ingin mengingkari tanggal menghadap
notaris tidak sebagaimana tersebut pada awal akta, tapi tanggal lain yang
diyakininya benar berdasarkan bukti yang dimiliki.
Permasalahan pengingkaran waktu menghadap tersebut, dapat saja
dilakukan oleh para pihak dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk
menghindari kewajiban yang harus ditunaikan oleh yang bersangkutan
sebagaimana tersebut dalam akta yang sudah ditanda tanganinya. Karena tiadanya
pengaturan yang pasti tentang jangka waktu membuat investor maupun pemegang
hak atas tanah menjadi ragu untuk melakukan kerjasama dalam bentuk BOT,
berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN yang menentukan sebagai berikut
notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Tidak
adanya ketentuan limitatif dalam UUJN, maka setiap akta perjanjian BOT pada
14
Pasal 35 ayat (1) UUPA. Hal ini mendorong penulis untuk melakukan sebuah
penelitian ilmiah mengenai perjanjian BOT dan kemudian melihat perlindungan
hukum yang dapat diberikan kepada para pihak dalam sudut pandang hukum
agraria.
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah tersebut diatas penulis
tertarik untuk meneliti, membahas serta mengangkatnya dalam bentuk penelitian
yang berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA
PERJANJIAN BUILD, OPERATE, AND TRANSFER (BOT) YANG TELAH
MELAMPAUI BATAS WAKTU MENURUT UUPA”. Dari penelusuran
kepustakaan yang telah dilakukan, penelitian mengenai topik yang diangkat sesuai
judul tersebut di atas berkaitan dengan usulan penelitian merupakan topik yang
orisinal atau belum pernah ada yang meneliti mengenai permasalahan tersebut,
namun terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan pertanggung jawaban
notaris terhadap akta perjanjian build, operate, and transfer (BOT), antara lain :
Tesis yang ditulis oleh Ima Oktorina, Nim B4B 008 129, berjudul Kajian
Tentang Kerjasama Pembiayaan Dengan Sistem Build, Operate, And, Transfer
(BOT) Dalam Revitalisasi Pasar Tradisional (Studi Kasus Pada Pembangunan
Sentral Pasar Raya Padang), menggunakan metode penelitian hukum empiris,
tesis tersebut ditulis untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program
Studi Magister Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro
Semarang, tahun 2010, dengan permasalahan :
1. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama build,
operate, and transfer (BOT) dalam merevitalisasi pasar raya Padang?
15
2. Bagaimana proses pelaksanaan kerja sama build, operate, and transfer (BOT)
dalam merevitalisasi pasar raya Padang?
3. Kendala-kendala apa saja yang dialami dalam kerja sama build, operate, and
transfer (BOT) dalam merevitalisasi pasar raya Padang?
Dalam tesis tersebut dibahas tentang bagaimana hak dan kewajiban para pihak dan
proses pelaksanaan perjanjian kerjasama tersebut serta kendala-kendala yang
dihadapi dalam kerjasama.
Tesis yang ditulis oleh Sugi Endro Amiarso, Nim 16200/PS/MK05,
berjudul Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Kas
Desa Di Wilayah Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul, menggunakan
metode penelitian hukum normatif, tesis tersebut ditulis untuk memperoleh gelar
Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pasca
Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 2011, dengan permasalahan :
1. Apakah sewa menyewa tanah kas desa di Kecamatan Banguntapan
berkontruksi perjanjian BOT (Build, Operate and Transfer)?
2. Bagaimana perlindungan hukum bagi penyewa tanah kas desa di Kecamatan
Banguntapan?
Dalam tesis tersebut dibahas tentang gambaran dan aspek perlindungan hukum
bagi penyewa tanah kas di Kecamatan Banguntapan dalam proses perj anjian
kerjasama.
Tesis yang ditulis oleh Moeliana Goenardi,Nim 10/310410/PHK/06601,
berjudul Tinjauan Tentang Perjanjian BOT (Build, Operate, And Transfer) Di
Atas Tanah Pengelolaan (Studi Kasus Pasar Sentra Antasari Di Kota
16
Banjarmasin), menggunakan metode penelitian normatif, tesis tersebut ditulis
untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister
Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun
2012, dengan permasalahan :
1. Bagaimanakah konstruksi yuridis perjanjian dengan sistem BOT dalam
peremajaan Pasar Sentra Antasari yang disepakati antara Pemerintah Kota
Banjarmasin dengan PT. Giri Jaladhi Wana?
2. Apakah substansi perjanjian BOT yang dibuat oleh Pemerintah Kota
Banjarmasin dalam peremajaan Pasar Sentra Antasari telah melindungi pihak
penyewa dari PT. Giri Jaladhi Wana?
Dalam tesis tersebut dibahas tentang gambaran secara menyeluruh dan sistematis
mengenai asas hukum, kaidah-kaidah hukum, doktrin dan peraturan Perudang-
Undangan mengenai kontruksi hukum perjanjian BOT.
1.2. Rumusan Masalah :
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah keabsahan akta notaris tentang perjanjian BOT yang jangka
waktunya melampaui batas norma kepatutan penguasaan tanah oleh orang
lain seperti diatur berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UUPA ?
2. Bagaimanakah tanggung jawab notaris terhadap akta BOT yang dibuat
dihadapannya dalam hal terjadinya sengketa akibat jangka waktu penguasaan
tanah oleh investor melampui batas norma kepatutan penguasaan tanah
17
berdasarkan Pasal 20 sampai Pasal 44 Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA)?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus yang dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum Penelitian ini adalah untuk mengembangkan kemampuan
diri dalam menyampaikan dan menuliskan dalam karya tulis serta lebih
memahami mengenai perjanjian build, operate, and transfer.
1.3.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengkaji keabsahan serta pertanggung jawaban notaris terhadap akta
Perjanjian build, operate, and transfer yang dibuat dihadapan notaris.
2. Untuk mengkaji mengenai perjanjian build, operate, and transfer memiliki
kepastian hukum agar selama jangka waktu kerjasama investor memiliki hak
penuh untuk menguasai tanah dan mengelola bangunan diatasnya dengan
tidak adanya gangguan suatu apapun baik dari gangguan pemegang hak atas
tanah maupun pihak lain.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat diuraikan
sebagai berikut :
18
1.4.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi
perkembangan ilmu hukum, khususnya di bidang Kenotariatan yang berkaitan
dengan Pertanggung Jawaban Notaris dalam Perjanjian build, operate, and
transfer.
1.4.2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan berupa masukan bagi notaris dalam menjalankan tugas dan kewajiban
notaris sesuai dengan undang-undang jabatan notaris dan kode etik notaris.
1.5. Landasan Teoritis
Dalam penelitian ini landasan teoritis yang digunakan berupa teori,
konsep-konsep, serta pendapat para sarjana.
1.5.1. Teori Kepastian Hukum
Menurut Gustav Radbruch kepastian hukum atau recht sicherkeit, security,
rechts-zekerheid,4 adalah sesuatu yang baru sejak hukum itu dituliskan,
dipositifkan, dan menjadi publik. Kepastian hukum menyangkut masalah law
sicherkeit durch das recht, seperti memastikan bahwa pencurian, pembunuhan
4
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence) Termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legisprudence),
Prenada Media Group, Jakarta, hal. 292.
19
menurut hukum merupakan kejahatan. Kepastian hukum adalah Scherkeit des
Rechts selbst atau kepastian hukum itu sendiri.
Empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama,
bahwa hukum itu positif artinya bahwa ia adalah perundang-undangan
(gesetzkiches recht). Kedua hukum itu didasarkan pada fakta (tatsachen), bukan
suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti
kemauan baik, kesopanan. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara
yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga
mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah,
masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya
kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertujuan menciptakan
kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.5
Menurut Radbruch hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu
diperhatikan, oleh sebab kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam
negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, pun kalau isinya kurang adil, atau
juga kurang sesuai dengan tujuan hukum, tetapi terdapat pengecualian, yakni
bilamana pertentengan antara isi tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu
tata hukum itu boleh dilepaskan.6
Teori kepastian hukum digunakan dalam penelitian ini terkait dengan
kewenangan notaris dalam pembuatan akta BOT sebagai masalah permasalahan
pertama, yang mengkaji keabsahan akta Perjanjian BOT yang dibuat dihadapan
5
Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Liberty, Yogyakarta, hal. 58.
6Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,
Jakarta, hal. 163.
20
notaris, melampaui batas norma kepatutan penguasaan tanah oleh orang lain
seperti diatur berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UUPA.
Kepastian hukum yang dimaksudkan adalah akta BOT yang dibuat
dihadapan notaris harus dapat menjamin adanya kepastian hukum dalam sudut
pandang hukum perjanjian, karena dalam perjanjian BOT menimbulkan perikatan
yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Sedangkan dalam sudut pandang hukum agraria, yang menjadi objek dalam
perjanjian BOT adalah tanah, sehingga segala hal mengenai tanah yang diatur
dalam perjanjian BOT harus sepenuhnya tunduk pada UUPA dan seluruh
perundang-undangan yang berlaku tentang tanah.
1.5.2. Teori Tanggung Jawab
Menurut Kranenburg dan Vegting ada 2 teori yang melandasi pertanggung
jawaban pejabat yaitu :7
1. Teori Fautes Personalles
Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya ini
telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditunjukan
pada manusia selaku pribadi.
2. Teori Fautes De Services
Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut
teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan, dalam penerapannya,
7Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 334.
21
kerugian yang timbul ini disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu
merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan dimana berat dan ringannya
suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus di tanggung.8
Dalam kaitan dengan jabatan notaris maka diperlukan tanggung jawab
professional berhubungan dengan jasa yang diberikan. Tanggung jawab
profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability), dalam hubungan
dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Tanggung jawab profesional
ini dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa profesional) tidak memenuhi
perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat dari kelalaian
penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.9
Pemberian kewenangan kepada notaris untuk membuat akta sebagaimana
diatur dalam undang-undang jabatan notaris. Menurut perspektif hukum publik
adanya kewenangan terhadap akta-akta yang di buat sejalan dengan prinsip umum
yaitu tiada kewenangan tanpa pertanggung jawaban, para ahli umumnya berpendapat
bahwa kalau terjadi pelanggaran notaris selaku pejabat umum berhubungan dengan
kebenaran materiil, dibedakan berdasarkan 4 pertanggung jawaban notaris yang
menentukan sebagai berikut :10
1. Tanggung jawab notaris secara perdata.
2. Tanggung jawab notaris secara pidana.
3. Tanggung jawab notaris berdasarkan UUJN.
8Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, hal.
335-337.
9Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi,
Gremedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 82.
10
Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif
Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hal. 34.
22
4. Tanggung jawab berdasarkan kode etik.
1.5.3. Konsep-Konsep
Beberapa konsep yang digunakan dan dijelaskan untuk membahas
permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1.5.3.1. Konsep BOT
Build, Operate, And Transfer (selanjutnya disebut dengan BOT) adalah
suatu bentuk pemanfaatan tanah dengan cara pemegang hak atas tanah dengan
tanpa melepaskan haknya atas tanah menyerahkan penguasaan atas tanah dengan
kepada investor untuk suatu jangka waktu tertentu. Dengan memberikan izin dan
wewenang kepada investor untuk mendirikan bangunan, melakukan pengelolaan
secara komersial di atas tanah tersebut dan mendapat keuntungan dari bangunan
tersebut, baik dengan adanya kewajiban untuk melakukan pembayaran maupun
tanpa adanya kewajiban untuk melakukan pembayaran kepada pemegang hak atas
tanah dan kemudian meyerahkan kembali tanah berikut bangunan komersial di
atasnya kepada pemegang hak atas tanah setelah jangka waktu tertentu yang telah
diperjanjikan oleh pemegang hak atas tanah dengan investor berakhir. Unsur-
unsur yang harus dipenuhi dalam perjanjian BOT, sebagai berikut :
a. Adanya tanah yang menjadi objek kerjasama.
b. Adanya perjanjian kerjasama antara pemegang hak atas tanah dengan
investor.
c. Adanya pemberian hak untuk menguasai tanah oleh pemegang hak atas tanah
kepada investor.
d. Adanya kewajiban investor untuk mendirikan bangunan.
23
e. Adanya jangka waktu operasional.
f. Adanya kewajiban menyerahkan penguasaan tanah berikut kepemilikan
bangunan di atasnya kepada pemegang hak atas tanaha setelah masa
kerjasama berakhir.
Dimana apabila salah satu unsur tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut
tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian BOT, melihat unsur-unsur yang
terkandung dalam perjanjian BOT maka harus dilihat bahwa ada suatu pemisahan
yang tegas antara pemegang hak atas tanah dengan investor. Pemegang hak atas
tanah adalah sebagai pihak yang memiliki penguasaan secara yuridis dan investor
adalah sebagai pihak yang memiliki penguasaan fisik. Ada 2 yang menjadi latar
belakang terciptanya pemanfaatan tanah secara BOT, sebagai berikut :
1. Ada pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah, yang ingin membangun
suatu bangunan komersial di atas tanahnya tetapi tidak mempunyai biaya dan
ada investor yang bersedia membiayai pembangunan tersebut.
2. Ada investor yang ingin membangun suatu bangunan komersial tetapi tidak
mempunyai tanah yang tepat untuk berdirinya bangunan komersial tersebut
dan ada pemilik tanah yang bersedia menyerahkan tanahnya untuk tempat
berdirinya bangunan komersial tersebut.
Berkembangnya bisnis di Indonesia memaksa hukum harus untuk segera
dapat menyesuaikan posisinya dalam masyarakat sekarang ini. Fungsi hukum
sebagai pemberi kepastian dan perlindungan hukum dalam setiap transaksi bisnis
yang dilakukan oleh para pelaku bisnis.
24
Hukum memberi peluang akan terciptanya bermacam jenis dan bentuk
perjanjian, baik perjanjian yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam
KUHPerdata maupun ketentuan-ketentuan yang tidak sesuai dengan KUHPerdata.
Hal ini dikarenakan hukum perikatan menganut sistem terbuka sehingga seluruh
pasal tentang perikatan dapat dikesampingkan selama tidak melanggar syarat
sahnya suatu perikatan dan nilai-nilai kesusilaan dan ketertiban umum.
Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata yang menentukan sebagai berikut
semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Pasal tersebut digunakan sebagai dasar hukum
bagi segala macam jenis perjanjian yang dibuat oleh para pelaku bisnis, termasuk
di dalamnya adalah perjanjian BOT.
Dalam perjanjian BOT pihak investor diberi hak untuk membangun,
menguasai, menggunakan, mengoperasikan secara komersial dan sekaligus
bangunan tersebut untuk jangka waktu tertentu (periode konsensi). Perjanjian
build, operate, and transfer dibagi dalam 3 tahapan adalah sebagai berikut :
1. Tahap pembangunan
Pihak pertama menyerahkan tanahnya kepada pihak lain untuk dibangun.
2. Tahap operasional
Berfungsi mendapat penggantian biaya atas pembangunan dalam jangka
waktu tertentu.
3. Tahap transfer
Pihak kedua menyerahkan kepemilikan bangunan komersial kepada pemilik
tanah.
25
Dilihat dari bentuknya perjanjian BOT adalah perjanjian dengan ketetapan
waktu, dengan demikian perjanjian BOT berakhir apabila jangka waktu yang
disepakati telah berakhir dan sebagai akibat dari berakhirnya perjanjian BOT
maka investor kehilangan haknya untuk menguasai tanah berikut haknya untuk
mengelola bangunan di atasnya, sehingga investor tidak berhak lagi untuk
melakukan tindakan apapun sehubungan dengan penguasaan tanah dan
pengelolaan bangunan di atasnya. Apabila telah disepakati sebelumnya dalam
perjanjian maka perjanjian BOT dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu.
1.5.3.2. Konsep Akta
Akta adalah suatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus di tanda
tangani, harus dibuat dengan sengaja dan harus digunakan oleh orang untuk
keperluan siapa surat itu dibuat. Akta dibagi atas 2 bagian adalah sebagai berikut :
1. Akta otentik.
2. Akta dibawah tangan.
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
berwenang untuk itu yang memuat keterangan menyangkut hal apa yang
disepakati para pihak. Sedangkan akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat
oleh para pihak menyangkut hal apa yang mereka sepakati dan dipersiapkan oleh
pihak-pihak dalam kontrak secara pribadi.11
11
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010,
Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan
Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal. 81.
26
Akta mempunyai dua fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti
(probationis causa).12
Formalitas causa artinya akta berfungsi untuk lengkapnya atau
sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan hukum. Jadi
adanya akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum.
Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai akat bukti, karena sejak
awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari.
Pada dasarnya akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian
sempurna, adalah sebagai berikut :13
1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Ulitwendige Bewijsracht)
kemampuan lahiriah akta otentik merupakan kemampuan akta itu sendiri
untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant
sesse ipsa), jika dilihat dari luar atau lahirnya sebagai akta otentik secara sesuai
dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik maka
akta tersebut berlaku sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya artinya
sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara
lahiriah. Nilai pembuktian akta dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa
adanya, secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti lain.
2. Kekuatan Pembuktian Formil (Formele Bewijskracht)
Kekuatan pembuktian formal akta otentik berarti menjamin keabsahan atau
kepastian tanggal, kebenaran tanda tangan, identitas para pihak yang hadir, berikut
tempat dimana akta itu dibuat.
12
Sudikno Mertakusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi
keempat, Liberty, Yogyakarta, hal. 121.
13
Ibid, hal. 122.
27
3. Kekuatan Pembuktian Materiil (Materiele Bewijskracht)
Kekuatan pembuktian materiil suatu akta otentik adalah tidak hanya
kenyataan, melainkan mengenai adanya suatu unsur yang dapat dibuktikan oleh
akta itu. Pembuktian isi akta sebagai benar terhadap setiap orang atas perbuatan
akta tersebut dapat dianggap sebagai bukti terhadap legalitas akta terhadap dirinya
sendiri.
Ketiga aspek tersebut merupakan kekuatan pembuktian akta sebagai akta
otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut, jika dapat dibuktikan dalam suatu
persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka
akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
dibawah tangan atau akta tersebut didegradasikan dalam kekuatan pembuktiannya
sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.
Apabila memperhatikan uraian diatas dapat dijelaskan bahwa antara akta
otentik dengan akta dibawah tangan terdapat suatu suatu perbedaan yang prinsip,
letak perbedaan antara akta otentik dengan akta dibawah tangan, yaitu :
1. Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti, tanggalnya dicatat dalam buku
Repertorium notaris dan dalam laporan bulanan notaris ke Majelis Pengawas
Daerah, sedangkan akta dibawah tangan tidak selalu demikian.
2. Akta otentik dalam hal tertentu mempunyai kekuatan eksekutorial. Hal ini
terjadi apabila notaris mengeluarkan Grosse akta (salinan akta yang diatasnya
diberi irah irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
dan pada penutup disebutkan : “diberikan sebagai grosse pertama atas
permintaan”) yang dimaksud dengan kekuatan eksekutorial ialah mempunyai
28
kekuatan hukum untuk dieksekusi sama seperti putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sedangkan akta dibawah tangan
tidak pernah mempunyai hal itu.
3. Kemungkinan suatu akta otentik hilang adalah kecil sekali, karena
penyimpanannya oleh notaris yang bersangkutan sangat baik dan rapih karena
minuta akta notaris adalah arsip negara, maka tidak boleh hilang, sedangkan
akta dibawah tangan kemungkinan hilang sangat besar.
4. Akta otentik sebagaimana disinggung di atas mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna yaitu : Kekuatan Pembuktian Diri (Uitwendige
Bewijskracht), Kekuatan Pembuktian Formil (Formele Bewijskracht),
Kekuatan Pembuktian Materiil (Materiele Bewijskracht), sedangkan akta
dibawah tangan tidak demikianlah adanya. Kekuatan pembuktiannya baru
berlaku apabila para pihak mengakui keberadaan akta tersebut dan tanda
tangan mereka juga mereka akui.
1.5.4. Pandangan Para Sarjana
Menurut pendapat Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra bahwa hukum
dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar
adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.14
Pendapat
Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang
14
Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem,
Remaja Rusdakarya, Bandung, hal. 55.
29
lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi, dan politik untuk memperoleh
keadilan sosial.15
Menurut pendapat Munir Fuady, asas kebebasan berkontrak memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak,
demikian juga kebebasan untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut.16
Asas ini
tersirat berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, pada intinya menyatakan bahwa
terdapat kebebasan membuat kontrak apapun sejauh tidak bertentangan dengan
hukum, ketertiban dan kesusilaan.
Menurut pendapat Felix.O.Soebagjo, dalam penerapan asas kebebasan
berkontrak, bukan berarti dapat dilakukan bebas sebebasnya, akan tetapi juga ada
pembebasan yang diterapkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan, yaitu
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan.17
Dengan
demikian kita melihat bahwa asas kebebasan ini tidak hanya milik KUHPerdata, akan
tetapi bersifat universal.
15
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Alumni, Bandung, hal. 55.
16
Munir Fuady, 2002, Pengantar Hukum Bisnis, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 12.
17
Felix.O.Soebagjo, Perkembangan Asas-Asas Hukum Kontrak Dalam
Praktek Bisnis Selama 25 Tahun Terakhir, Disampaikan dalam pertemuan ilmiah
”Perkembangan Hukum Kontrak dalam Praktek Bisnis di Indonesia”,
diselenggarakan oleh Badan Pengkajian Hukum Nasional, Jakarta 18 dan 19
Februari 1993.
30
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif,
yang dilakukan dengan cara mengkaji bahan-bahan yang berasal dari berbagai
peraturan perundang-undangan dan bahan lain dari berbagai literatur. Penelitian
ini berangkat dari adanya kekosongan norma, beberapa persoalan hukum pada
perjanjian BOT yang menjadi kajian aspek hukum dari perjanjian ini, karena hak
pengelolaan pada perjanjian BOT tidak diatur di dalam UUPA. Akibatnya
praktek-praktek kemitraan dan perjanjian dalam membuat perjanjian BOT
cenderung menimbulkan persoalan hukum.
Penelitian hukum normatif adalah merupakan penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara mengkaji bahan-bahan hukum yang berasal dari berbagai
peraturan perundang-undangan dan berbagai literatur hukum.18
1.6.2. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang digunakan
oleh peneliti untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang
dicari jawabannya.19
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan, sebagai berikut :
1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yang dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
18
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif
: Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 13.
19
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, hal. 93.
31
isu hukum yang sedang ditangani.20
Dalam penelitian ini undang-undang dan
regulasi yang ditelaah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI)
Tahun 1960 Nomor 104, dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia (TLNRI) Nomor 2043.
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI)
Tahun 2004 Nomor 117, dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia (TLNRI) Nomor 4432.
e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun
2014 Nomor 3, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
(TLNRI) Nomor 5491.
f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2008 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2008 Nomor 78, dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Nomor 4855.
20
Ibid
32
g. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
M.01-HT.03.01 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan,
Perpindahan dan Pemberhentian Notaris.
h. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor :
M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan
Pemanggilan Notaris.
i. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
248/KMK.04/1995 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap
Pihak-Pihak Yang Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian
Bangun Guna Serah (“Build Operate and Transfer”).
2. Pendekatan Fakta (fact approach), yaitu melihat fakta-fakta yang ada di
lapangan berdasarkan atas permasalahan yang akan dikaji yang selanjutnya
dikaitkan dengan penerapan hukum yang berlaku.21
1.6.3. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang diteliti dalam penelitian ini adalah bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Bahan hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.22
Bahan
hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa peraturan
Perundang-Undangan yang terkait dengan permasalahan, sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
21
Ibid. hal. 95.
22
Bambang Sunggono, 2010, Metodelogi Penelitian Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta, hal. 113.
33
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1960 Nomor 104, dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2043.
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
117, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432.
e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491.
f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2008 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 78, dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4855.
g. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
M.01-HT.03.01 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan,
Perpindahan dan Pemberhentian Notaris.
h. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.03.HT.03.10
Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris.
34
i. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 248/KMK.04/1995
Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang
Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (“Build
Operate and Transfer”)
2. Bahan hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer berupa buku-buku, jurnal hukum yang termuat dalam
media cetak maupun elektronik, dan internet dengan menyebut nama situsnya
serta artikel-artikel yang relevan dengan topik penelitian.
1.6.4. Teknik pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan melakukan
studi kepustakaan yang meliputi Perundang-Undangan, yurisprudensi, dan buku-
buku literatur. Disamping studi kepustakaan menggunakan studi dokumen hukum
yang tidak dipublikasikan melalui perpustakaan umum seperti dokumen perjanjian
dan putusan pengadilan. Selain itu wawancara juga merupakan salah satu dari
teknik pengumpulan bahan hukum yang menunjang teknik dokumentasi dalam
penelitian ini serta berfungsi untuk memperoleh bahan hukum yang mendukung
penelitian jika diperlukan.
Pengumpulan bahan hukum juga dilakukan dengan menggunakan sistem
kartu (card system). Dalam pengumpulan bahan hukum tersebut, kartu-kartu
disusun berdasarkan topik, bukan berdasarkan nama pengarang. Hal ini dilakukan
35
agar memudahkan dalam hal penguraian, menganalisa dan membuat kesimpulan
dari konsep-konsep yang ada.23
1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul akan
digunakan beberapa teknik analisis, seperti : teknik deskripsi, teknik argumentasi,
dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak
dapat dihindari penggunaannya.
Deskripsi berarti gambaran atau uraian apa adanya terhadap suatu kondisi
atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Teknik argumentasi
adalah memberi penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat
penalaran hukum. Teknik sistematisasi adalah upaya mencari kaitan rumusan
suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan
yang sederajat ataupun antara yang tidak sederajat.
23
Winarno Surakhmad, 1972, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode
& Teknik, Tarsito, Bandung, hal. 257.