1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut PTUN) bukan sistem
peradilan yang baru ada, melainkan sudah lama ada di Indonesia. Peradilan ini
ditopang dengan dasar hukum yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut UU PTUN). Lahirnya
UU PTUN dikatakan penting artinya bagi bangsa Indonesia, mengingat undang-
undang ini memberikan landasan pada badan yudikatif untuk menilai tindakan
badan eksekutif serta mengandung perlindungan hukum kepada anggota
masyarakat.1
Perjuangan pembentukan undang-undang ini tidaklah mudah dikarenakan
pada waktu itu belum ada dasar hukum yang menopang secara menyeluruh
PTUN. Usaha-usaha yang dilakukan untuk merancang dan membentuk UU PTUN
sudah mulai dibicarakan sejak tahun 1948, yaitu sejak dimulainya Rancangan
Undang-Undang (selanjutnya disebut RUU) yang dipersiapkan oleh Prof. Wirjono
Prodjodikoro, S.H, yang pada akhirnya pada tahun 1970 melalui Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 (hanya 2 pasal saja yang membahas PTUN yaitu Pasal 66
dan Pasal 67) baru mencantumkan PTUN sebagai salah satu peradilan yang
melakukan kekuasaan kehakiman.2
1 Situmorang, Victor dan Soedibyo, Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara,Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1987, h. 9.
2 Ibid., h 9-10.
2
Karena masih belum ada undang-undang yang secara menyeluruh mengatur
PTUN, maka melalui pidato Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1978
menyatakan bahwa akan merancang dan membentuk Undang-Undang PTUN.
Terbukti pada tahun 1982 RUU tersebut diajukan ke DPR-RI untuk disetujui, dan
pada tahun 1986 RUU tersebut disetujui untuk menjadi undang-undang, yaitu
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.3
UU PTUN masih terus diperbaharui, sehingga pada tahun 2004 disahkannya
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang di dalamnya
berisikan perubahan beberapa pasal. Kemudian pada tahun 2009 UU PTUN
kembali diperbaharui dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.
Kehadiran UU PTUN sangat memberi dampak khususnya bagi masyarakat
luas di era globalisasi ini, dalam hal melindungi hak-hak yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Sehingga dapat menjamin kesejahteraan dan kepercayaan
masyarakat terhadap hukum.4
Namun, dewasa ini muncul isu hukum mengenai apa yang akan menjadi
akibat tidak dilaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (selanjutnya
disebut Putusan Pengadilan TUN). Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau
Pejabat (selanjutnya disebut Pejabat TUN) yang melaksanakan urusan
3 Ibid., h. 15.4 Marbun, S.F.,dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Penerbit
UII Press, Yogyakarta, 2004, h. 19.
3
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku5. Dalam
Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(selanjutnya disbut UU PTUN Perubahan Kedua) menjelaskan secara singkat
bahwa bagi Pejabat TUN yang tidak melaksanakan Putusan Pengadilan TUN
akan diberi peringatan oleh atasannya bahkan presiden, diumumkan di media
massa cetak setempat dan sanksi administratif bahkan pembayaran sejumlah uang
paksa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun masih ada
beberapa kasus yang akan dibahas oleh penulis di bab berikutnya dimana masih
ada Pejabat TUN yang tidak melaksanakan Putusan Pengadilan TUN.
Sebagian besar teori hukum menyatakan baik secara eksplisit maupun
implisit bahwa yang membedakan norma hukum dan norma-norma lainnya adalah
pada norma hukum dilekatkan suatu paksaan atau sanksi.6 Seperti yang telah
diketahui Hart berpendapat bahwa hukum adalah perintah penguasa yang berupa
aturan-aturan yang dibuat secara formal dan dilengkapi dengan sanksi.7 Sanksi
disini bukan hanya sekedar perintah penguasa yang disertai ancaman semata
melainkan berupa perintah yang disertai ancaman untuk mengontrol kekuasaan
seseorang.8
Berdasarkan UU PTUN dijelaskan bahwa tujuan PTUN adalah untuk
menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum dalam
pelaksanaan pemerintahan sehingga dapat pengayoman dan perlindungan kepada
5 Ketentuan Umum, Pasal 1, Angka 2, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 TentangPeradilan Tata Usaha Negara.
6 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Kencana, Cetakan Ke-5,Jakarta, 2013, h. 67, dikutip dari Lon L. Fuller, The Morality of Law, New Haven: Yale UniversityPers, 1975, h. 109.
7 Ibid., h. 62.8 Ibid., h. 68.
4
masyarakat, khususnya dalam hubungan antara Badan atau Pejabat TUN dengan
masyarakat. Sesungguhnya tujuan dari PTUN tidaklah hanya sekedar
perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi sekaligus juga hak-hak
masyarakat. 9 Dalam tujuan PTUN sendiri mencantumkan untuk menegakkan
keadilan yang notabenenya merupakan persamaan kedudukan di depan hukum
(Equality Before the Law);10 kebenaran; ketertiban; dan kepastian hukum. Asas
kepastian hukum (menurut Sudikno Mertukusumo) merupakan sebuah jaminan
bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik.11 Asas kepastian
hukum sangat menentukan, apakah hukum yang diterapkan sesuai atau tidak.
Sehingga dapat menjamin kesejahteraan dan kepercayaan masyarakat terhadap
hukum.12
Untuk lingkungan PTUN berdasarkan UU TUN sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
dalam Pasal 47 mengatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di
Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara.13 Termasuk juga di dalamnya untuk memaksa Pejabat
TUN yang dinyatakan bersalah melalui Putusan Pengadilan TUN untuk
melaksanakan isi dari putusan tersebut.
9 Penjelasan Umum Angka Ke-1, Paragraf ke-12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
10 Titik Triwulan dan H. Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan HukumPeradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Penerbit Kencana, Cetakan Ke-2, Jakarta, 2014, h. 325.
11 http://tesishukum.com/pengertian-asas-kepastian-hukum-menurut-para-ahli/,dikunjungi pada tanggal 23 Pebruari 2015, pukul 10.02 WIB.
12 Marbun, S.F.,dkk, Op. cit., h. 19.13 Udiyo Basuki, Pedoman Beracara Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Suka Press,
Yogyakarta, 2013, h. 3.
5
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan
untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para
pihak.14 Putusan hakim memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat bagi para
pihak yang bersengketa yang berisikan akibat hukum sehingga Pejabat
Pemerintahan (Pejabat TUN) memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu
mematuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.15
Putusan pengadilan yang memerlukan pelaksanaan adalah putusan yang
berkekuatan hukum tetap dan bersifat menghukum (condemnatoir) yang akan
dijelaskan oleh penulis di bab berikutnya. Pelaksanaan tersebut memerlukan
bantuan dari pihak yang kalah perkara artinya pihak yang bersangkutan harus
sukarela melaksanakan putusan pengadilan. Melaksanakan putusan pengadilan
artinya bersedia memenuhi kewajiban untuk berprestasi (melakukan sesuatu,
melakukan sebagian atau tidak melakukan) yang dibebankan oleh Pengadilan
melalui putusannya.
Namun, seperti pertanyaan di atas putusan hakim dalam Pengadilan TUN
tidak didukung dengan pernyataan yang jelas dalam UU PTUN mengenai
penopang bagi setiap putusan hakim yaitu berupa akibat hukum bagi Pejabat TUN
apabila dinyatakan bersalah melalui Putusan Pengadilan TUN namun tidak
mengindahkan putusan tersebut dengan tidak melaksanakan putusan tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan (Selanjutnya disebut UU AP) mengatur mengenai Administrasi
14 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty,Yogyakarta, 1998, h. 175.
15 Pasal 7 ayat (2) huruf l, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang AdministrasiPemerintahan.
6
Pemerintahan termasuk Pejabat Pemerintahan. Definisi Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di
lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.16 Dalam undang-
undang ini menjelaskan mengenai sanksi administratif bagi Pejabat Pemerintahan.
Sanksi administratif ini dibagi dalam golongan yaitu sanksi administratif ringan
berupa: teguran lisan, teguran tertulis, serta penundaan kenaikan pangkat,
golongan, dan/atau hak-hak jabatan; sanksi administratif sedang berupa:
pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi, pemberhentian sementara dengan
memperoleh hak-hak jabatan, atau pemberhentian sementara tanpa memperoleh
hak-hak jabatan; dan sanksi administrasi berat berupa: pemberhentian tetap
dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya, serta dipublikasikan
di media massa, atau pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan
dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa. 17 Setiap sanksi ini
disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan Pejabat Pemerintahan. Dalam
UU AP telah mencantumkan kaidah yaitu kewajiban-kewajiban bagi Pejabat
Pemerintah, salah satunya adalah kewajiban mematuhi putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap.18
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara (selanjutnya disebut UU ASN) mengatur mengenai Aparatur Sipil Negara
(selanjutnya disebut ASN) yaitu profesi bagi pegawai negeri sipil (selanjutnya
disebut PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (selanjutnya
16 Ketentuan Umum, Pasal 1, Angka 3, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 TentangAdministrasi Pemerintahan
17 Pasal 81-pasal 83, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang AdministrasiPemerintahan.
18 Pasal 7 ayat (2) huruf i, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang AdministrasiPemerintahan.
7
disebut PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah. ASN memiliki kewajiban-
kewajiban yang harus ditaati, salah satu kewajibannya adalah menaati peraturan
perundang-undangan 19 dan juga ASN memilliki kode etik salah satunya yaitu
melaksanakan ketentuaan peraturan perundang-undangan mengenai displin
pegawai ASN.20 Dalam UU ASN menjelaskan bahwa PNS mendapatkan sanksi
berupa pemberhentian secara tidak hormat dikarenakan melakukan:
penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya
dengan jabatan dan/atau pidana umum; menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik; atau dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun atau lebih dan tindak pidana
tersebut dilakukan dengan berencana. Demikian juga diterapkan pada PPPK.
Dari deskripsi mengenai Pejabat TUN, Pejabat Pemerintah dan ASN diatas
menunjukkan bahwa masing-masing merupakan aparat Negara yang bekerja dan
menjalankan fungsi Pemerintahan. Namun terdapat perbedaan antara Pejabat
Pemerintahan dan ASN dengan Pejabat TUN. Dalam hal pengenaan sanksi jika
tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan.
Sehingga timbul pemikiran yang menyatakan adanya keistimewaan bagi Pejabat
TUN dari pada organ pemerintahan lainnya atau kekurangan pengaturan dalam
19 Pasal 23 huruf d, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.20 Pasal 6 ayat (2) huruf l, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara.
8
UU PTUN. Dalam penelitian ini, penulis akan membahas mengenai akibat hukum
bagi Pejabat TUN yang tidak melaksanakan Putusan Pengadilan TUN.
Berikut beberapa contoh Putusan PTUN yang tidak dilaksanakan oleh
Pejabat TUN diakibatkan karena tidak ada akibat hukum bagi Pejabat TUN yang
tidak melaksanakan Putusan PTUN.
a. Putusan PTUN Nomor: 41/G/2008/PTUN-BDG. Yaitu sengketa antara
Nugroho dkk yang bertindak untuk dan atas nama Gereja Kristen
Indonesia (lanjutnya disebut GKI) Jl . Pengadilan No. 35 Bogor sebagai
Penggugat melawan Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor
sebagai Tergugat. Dengan objek sengketa Surat Kepala Dinas Tata Kota
dan Pertamanan Kota Bogor No : 503 /208–DTKP Perihal Pembekuan Izin
tertanggal 14 Pebruari 2008.
b. Bupati Kepulauan Selayar Provinsi Sulawesi Selatan, H. Syahrir Wahab
tidak mematuhi putusan PTUN Makassar Nomor :
58/G.TUN/2010/P.TUN.Mks yang telah berkekuatan hukum tetap dalam
sengketa kepegawaian yang dimenangkan oleh Drs. Muh. Arsad, MM
Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar,
sehingga yang bersangkutan dilapor oleh Ketua PTUN Makassar ke
Presiden, Ketua DPR RI, Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan dan
Ketua DPRD Kepulauan Selayar (Koran Tempo Makassar, Senin 28
Januari 2013 “PTUN Laporkan Bupati Selayar ke Presiden).21
Dan masih ada putusan PTUN lainnya yang tidak dilaksanakan oleh Pejabat
TUN yang akan dibahas pada bab berikutnya.
21 http://www.kompasiana.com/aca/penguatan-pelaksanaan-eksekusi-putusan-ptun_552ff3e96ea83453728b45b4, dikunjungi pada tanggal 9 Juli 2015, pada pukul 10.35WIB.
9
Oleh karena itu penulis melakukan penelitian mengenai apakah yang akan
menjadi akibat hukum bagi Pejabat TUN apabila tidak melaksanakan Putusan
Pengadilan TUN yang sudah berkekuatan hukum tetap dilihat dari beberapa kasus
belakangan ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Mengapa Pejabat TUN tidak melaksanakan Putusan Pengadilan TUN
yang telah berkekuatan hukum tetap dan menghukum?
2. Apakah yang menjadi akibat hukum bagi Pejabat TUN yang tidak
melaksanakan Putusan Pengadilan TUN?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengidentifikasi dan mendeskiripsikan Putusan Pengadilan TUN
yang tidak dilaksanakan oleh Pejabat TUN.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan Putusan
Pengadilan TUN oleh Pejabat TUN.
3. Untuk mengetahui akibat hukum bagi Pejabat TUN yang tidak
melaksanakan Putusan PTUN.
10
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian dan tujuan
yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
Teoritis:
Menambah dan pemperluas pemahaman ilmu hukum khususnya Hukum
Peradilan Tata Usaha Negara, dalam hal hukum acara PTUN sehingga dapat
mengetahui akibat hukum bagi Pejabat TUN yang tidak melaksanakan Putusan
Pengadilan TUN yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Praktis:
Dengan penelitian ini, penulis memberi masukan kepada Pembentuk
Undang-Undang (Lembaga Legislatif) bahwa pengaturan mengenai akibat hukum
bagi Pejabat TUN yang tidak melaksanakan Putusan Pengadilan TUN belum
diatur secara jelas dan pasti sehingga diharapkan Pembentuk Undang-Undang
dapat memberikan kejelasan dalam hal tersebut. Dan akhirnya permasalahan
mengenai akibat hukum bagi Pejabat TUN yang tidak melaksanakan Keputusan
Pengadilan TUN yang sudah berkekuatan tetap, dapat terselesaikan.
1.5 Metode Penelitian
1.5.1 Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum ini merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan
pada metode, sistmatika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
11
menganalisanya.22 Dalam penelitian hukum yang dilakukan adalah know-
how dalam ilmu hukum, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-
how, penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang
dihadapi. 23 Soetandyo Wignjosoebroto memperkaya wacana tentang
penelitian hukum normatif yaitu sebagai studi tentang hukum sebagai suatu
model institusi, studi tentang hukum sebagai proses konflik yang dinamis,
studi tentang hukum di tengah-tengah konteks perubahan dan metode-
metode dalam kajian sosiologi hukum kontemporer. 24 Dalam penelitian
hukum ini, penulis memilih untuk mengidentifikasi isu hukum yang diteliti,
melakukan penalaran hukum, menganalisis isu hukum yang diteliti dan
kemudian memberikan pemecahan atas isu hukum tersebut dengan melihat
hukum sebagai model institusi dan sebagai proses konflik yang dinamis.
1.5.2 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pendekatan
Undang-Undang (Statute Approach) dan Pendekatan Konseptual
(conceptual approach). Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)
adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua semua undang-
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani. 25 Sebagian ilmuan hukum menyebut pendekatan ini dengan
sebutan pendekatan yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-produk
22 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI-Press, Cetakan Ke-3,Jakarta, 1986, h. 43.
23 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Penerbit Kencana, Cetakan Ke-9, Jakarta,2014, h. 60.
24 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, PenerbitBayumedia, Cetakan ke-4, Malang, 2008, h. 35-36.
25 Peter Mahmud Marzuki, Op. cit., h. 133.
12
hukum. 26 Dalam penelitian penulis, pendekatan ini dilakukan dengan
menelaah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara beserta perubahannya serta undang-undang lain yang
berkaitan dengan isu hukum yang dikemukakan penulis. Selain Pendekatan
Undang-Undang penulis juga menggunakan Pendekatan Konseptual dalam
penelitian penulis. Pendekatan Konseptual (conceptual approach) adalah
pendekatan yang dilakukan dengan beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yanng berkembang di dalam ilmu hukum.27 Pendekatan ini
berada pada tiga ranah atau tataran sesuai tingkatan ilmu hukum itu sendiri
yaitu tataran ilmu hukum dogmatik konsep hukumnya teknik yuridis, tataran
teori hukum konsep hukumnya umum dan tataran filsafat hukum konsep
hukumnya konsep dasar.28 Dalam hal ini penulis mempelajari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkaitan dengan isu hukum yang
diteliti penulis, sehingga dari pandangan dan doktrin yang berkaitan tersebut
dapat dijadikan landasan bagi penulis dalam membangun argumentasi dan
memecahkan isu hukum yang dihadapi.
1.5.3 Jenis Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan,
arsip-arsip dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan objek
penelitian penullis yang meliputi:
26 Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Penerbit Mandar Maju,Bandung, 2008, h. 92.
27 Peter Mahmud Marzuki, Op. cit., h. 135.28 Nasution, Bahder Johan, Loc. cit.
13
1. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
terdiri dari perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.29
Dalam penelitian penulis, bahan hukum primer berupa:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara;
c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan;
d. Putusan-putusan PTUN.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi yang meliputi buku-
buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-
komentar atas putusan pengadilan. 30 Dalam hal ini penulis
menggunakan buku-buku teks yang berkaitan dengan penelitian
penulis.
29 Peter Mahmud Marzuki, Op. cit., h. 181.30 Ibid.
14
1.6 Sistematika Penulisan
Pada bagian ini penulis memaparkan secara singkat tentang materi tiap-tiap
bab dalam skripsi ini, dengan tujuan untuk mempermudah penulisan agar lebih
objektif, runtut, terarah dan terukur sehingga pembaca dapat jelas mengetahui hal-
hal apa saja yang menjadi ulasan dalam pembahasan skripsi ini. Sistematika
penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan mengenai latar belakang permasalahan, rumusan
permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoretis dan kerangka
konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: KAJIAN TEORITIK
Bab ini menguraikan tentang hakekat dantujuan PTUN, asas-asas di dalam
PTUN, subjek dan objek sengketa TUN, penyelesaian sengketa melalui PTUN
dan jenis Putusan Pengadilan TUN.
BAB III: PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan tentang deskripsi Putusan Pengadilan TUN yang tidak
dilaksanakan oleh Pejabat TUN, faktor-faktor Pejabat TUN tidak melaksanakan
putusan Pengadilan TUN, akibat hukum bagi Pejabat TUN yang tidak
melaksanakan putusan Pengadilan TUN menurut UU TUN dan analisis penulis.
BAB IV: PENUTUP
Bab ini merupakan rangkaian akhir dari skripsi ini. berisikan kesimpulan dan
saran atas pokok permasalahan yang ada, yaitu akibat hukum bagi Pejabat TUN
yang tidak melaksanakan Putusan Pengadilan TUN.
DAFTAR PUSTAKA