Transcript
Page 1: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg
Page 2: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

10

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

2.1 Kedudukan Kota Bandung dalam Kebijakan Nasional dan Propinsi

alam konteks nasional, Kota Bandung mempunyai kedudukan dan peran yang strategis. Dalam Peraturan

Pemerintah No.47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Kota Bandung ditetapkan sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN) bersama sama dengan 14 kota lainnya (lihat Gambar 2.1). Selain itu dalam RTRWN tersebut, Kota Bandung dan sebagian wilayah Kabupaten Bandung ditetapkan sebagai Kawasan Andalan Cekungan Bandung dan Sekitarnya dengan sektor unggulan industri, petanian tanaman pangan, pariwisata, dan perkebunan (lihat Gambar 2.2). Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan penjabaran detail terhadap kebijakan yang secara hirarkis lebih tinggi yaitu kebijakan nasional dan kebijakan regional. Oleh sebab itu dalam penyusunan RTRW Kota Bandung ini harus mempertimbangkan kebijakan-kebijakan diatasnya yaitu kebijakan nasional dan kebijakan regional (Propinsi Jawa Barat).

2.2 Kebijakan Pengembangan Wilayah Jawa Barat

Berdasarkan prospek perkembangan yang terjadi, maka arahan pengembangan tata ruang makro pada Jawa Barat didasari pada konsep membuka dan meningkatkan fungsi simpul-simpul pertumbuhan selain Jakarta dengan fungsi sebagai outlet kegiatan perekonomian (pintu keluar masuk atau �gate�). Pengembangan Wilayah Jawa Barat menjadi tiga wilayah Pengembangan ini secara makro bertujuan untuk: 1. Membentuk keterkaitan (linkages) yang jelas antar pusat-pusat

pertumbuhan yang membentuk satu sistem wilayah yang terintegrasi.

2. Mengarahkan orientasi alur pergerakan perekonomian baik untuk orientasi pemasaran maupun untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan

3. Memberikan acuan pada penyebaran pelayanan yang proporsional dan terstruktur berdasarkan tingkat dan skala pelayanan.

D

Gedung Sate Kantor Gubernur Jawa Barat Jl. Diponegoro 22

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung 2

Page 3: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

11

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung

2013

Tiga pusat pertumbuhan Jawa Barat memiliki skala pelayanan dan keterkaitan dalam sistem nasional dan memiliki tugas sebagai pintu keluar dan pintu masuk yang menunjang kegiatan perekonomian. Ketiga pusat pertumbuhan tersebut yaitu: 1. Wilayah Pengembangan Barat, dengan pusat pertumbuhan

utama Bojonegara. 2. Wilayah Pengembangan Tengah, dengan pusat pertumbuhan

utama DKI Jakarta dan Bandung. 3. Wilayah Pengembangan Timur, dengan pusat pertumbuhan

utama Cirebon. Berdasarkan karakteristik, kondisi, dan potensi serta arah pengembangan, maka masing-masing Wilayah Pengembangan akan terdiri dari Wilayah Utama dan Wilayah Penunjang: 1. Wilayah Utama adalah wilayah dengan aglomerasi kegiatan

ekonomi utama di bagian utara, yang kecenderungan pengembangannya akan membentuk koridor yang terbentang dari Barat ke Timur. Fungsi wilayah ini adalah sebagai �motor� penggerak utama perekonomian Jawa Barat. Fungsi lainnya

adalah sebagai pemacu dan pusat pertumbuhan wilayah belakangnya (hinterland). Kegiatan ekonomi utama di wilayah ini memiliki keterkaitan yang kuat dengan sistem perekonomian interregional dan nasional, yaitu kegiatan ekonomi industri, perdagangan dan jasa, permukiman dan pertanian lahan basah.

Wilayah Utama yang dikembangkan adalah: a. Wilayah Utama Barat meliputi Kabupaten Serang (sekarang

Propinsi Banten).

b. Wilayah Utama Tengah meliputi Kabupaten dan Kota Tangerang, Bogor, Bandung, Kabupaten Bekasi, Karawang, Purwakarta, Sumedang, dan Subang.

c. Wilayah Utama Timur meliputi Kabupaten dan Kota Cirebon, Kabutpaten Indramayu dan Majalengka.

RTRWP Jawa Barat yang penyusunannya didasarkan pada kesepakatan antara Propinsi Jawa Barat dan Daerah Kabupaten/Kota di wilayah Jawa Barat telah ditetapkan dengan

Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan kesepakatan tersebut, maka penyusunan RTRW Kota Bandung perlu memperhatikan strategi dan kebijakan pemanfaatan ruang di tingkat Nasional dan Propinsi yang telah disepakati bersama.

2. Wilayah Penunjang adalah wilayah dengan fungsi pendukung dan penopang pertumbuhan ekonomi di wilayah pengemabngan utama. Wilayah ini terakumulasi di bagian selatan. Kegiatan basis di wilayah ini adalah pusat-pusat produksi pertanian lahan kering, peternakan, pertambangan, dan kegiatan pariwisata. Wilayah penunjang yang dikembangkan adalah: a. Wilayah Penunjang Barat meliputi Kabupaten Pandeglang

dan Lebak (sekarang Propinsi Banten). b. Wilayah Penunjang Tengah meliputi Kabupaten dan Kota

Sukabumi.

Gambar 2.1 Sebaran Pusat Kegiatan Nasional (PKN)

Gambar 2.2Sebaran Kawasan Andalan di Propinsi Jawa Barat

Page 4: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

12

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

2.3 Gambaran Umum Kota Bandung

2.3.1 Fisik Fisiografis

Kota Bandung berada pada ketinggian sekitar 791 meter di atas permukaan laut (dpl). Titik tertinggi berada di sebelah utara dengan ketinggian 1.050 meter di atas permukaan laut dan titik terendah di sebelah selatan dengan ketinggian 675 meter di atas permukaan laut (dpl). Morfologi tanahnya terbagi dalam dua hamparan, di sebelah utara relatif berbukit-bukit kecil dan di sebelah selatan merupakan daerah dataran (Gambar 2.3). Wilayah Kota Bandung pada umumnya dilewati oleh beberapa sungai besar dengan aliran dari utara ke selatan yaitu Sungai Cikapundung, dan dari selatan ke utara yaitu Sungai Citarum. Sungai-sungai tersebut selain dipergunakan sebagai saluran induk dalam pengaliran air hujan, juga oleh sebagian kecil penduduk masih dipergunakan untuk keperluan MCK. Potensi air lainnya adalah terdapatnya sumber air tanah yang berupa sumur bor, yang umumnya ditemukan di daerah perumahan atau permukiman yang tersebar di Kota Bandung.

Berdasarkan aspek topografi, geologi, jenis tanah, hidrologi, dan klimatologi yang dimiliki, Kota Bandung pada umumnya memiliki tanah yang relatif subur karena terdiri dari lapisan tanah aluvial dan endapan sungai dan danau. Kesuburan tanah ini dapat berarti kekuatan jika kegiatan perkotaan akan lebih didominasi agro atau urban forestry, tetapi sebaliknya akan menjadi kelemahan (opportunity cost terhadap lingkungan alami) jika lahan itu justru didominasi oleh pemanfaatan untuk pengadaan blok-blok bangunan, yang sama sekali tidak memerlukan keberadaan unsur hara yang ada. Sesuai dengan strategi dasar pengembangan fisik Kota Bandung, hal-hal yang penting diperhatikan adalah: 1. Limitasi dan kendala fisiografis Bandung Utara yang terutama

berfungsi sebagai wilayah resapan air dan pengaman keseimbangan tanah.

2. Limitasi dan kendala fisiografis Bandung Selatan terutama Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum.

3. Limitasi dan kendala fisiografis Bandung Timur (Gedebage) yang memiliki jenis tanah yang lembek karena merupakan rawa-rawa.

4. Pengurangan dan pengendalian kemungkinan gangguan terhadap keseimbangan lingkungan hidup di dalam Kota Bandung sendiri sebagai akibat dari perkembangan fisik.

Pada saat ini kondisi yang terjadi adalah padatnya lahan Kota Bandung yang digunakan sebagai lahan terbangun terutama di bagian pusat kota sehingga memaksa perlu adanya pengembangan fisik kota ke wilayah pinggiran. Perkembangan fisik kota ini diantaranya diperuntukan bagi perumahan dengan fasilitas penunjangnya. Dengan melihat kepadatan lahan terbangun di Kota Bandung, diketahui bahwa di bagian timur Kota Bandung masih dimungkinkan untuk pengembangan kota karena masih terdapat banyak lahan terbangun dan wilayah terbangun dengan kepadatan rendah. Bagian timur Kota Bandung ini merupakan WP Ujungberung dan WP Gedebage. Pengembangan ini dilakukan karena kedua WP tersebut memiliki luas lahan non terbangun yang lebih besar dibanding 4 WP lainnya.

2.3.2 Sosial Kependudukan

Menurut data Sensus Penduduk Tahun 1990 jumlah penduduk Kota Bandung adalah 2.058.122 jiwa dengan laju pertumbuhan

penduduk (LPP) sebesar 3,48%. Kemudian pada Tahun 2000 sensus penduduk Kota Bandung menunjukkan jumlah penduduk yang mencapai 2.136.260 jiwa, dengan LPP sebesar 0,37% (tahun 1999-tahun 2000). Mempertimbangkan Kota Bandung sebagai Kota Jasa serta keterbatasan lahan yang ada, dan keterbatasan daya dukung lingkungan, terutama daya dukung lingkungan alami, maka untuk perhitungan Proyeksi Jumlah Penduduk Kota Bandung sampai dengan Tahun 2013, dirancang dengan Laju Pertumbuhan Penduduk rata-rata per tahun sebesar 2,5% (laju pertumbuhan penduduk alami dan migrasi serta komuter) sehingga jumlah penduduk Tahun 2008 diproyeksikan menjadi ± 2,6 juta jiwa dan pada Tahun 2013 menjadi ± 2,95 juta jiwa. Dilihat dari perkembangannya, pertumbuhan jumlah penduduk dalam jangka waktu 1980 hingga 2000 ini diiringi dengan kenaikan kepadatan penduduk, yaitu tahun 1980 adalah 16.035 jiwa/Km2, tahun 1990 adalah 10.808 jiwa/Km2, dan tahun 2000 adalah 12.802 jiwa/Km2. Angka kepadatan tersebut merupakan kepadatan bruto, yakni jumlah penduduk dibandingkan dengan luas lahan Kota Bandung keseluruhan. Adapun kepadatan netto (jumlah penduduk dibandingkan dengan luas lahan terbangun) pada tahun 2000 telah mencapai 188 jiwa/Km2. Hal tersebut sudah sangat jauh di atas standar kepadatan Kota Bandung yang berkisar antara 12.000-13.000 penduduk/ Km2. Penduduk Kota Bandung saat ini masih tersebar tidak merata, dimana kecamatan dengan kepadatan terendah adalah Kecamatan Rancasari dengan jumlah 4.671 jiwa/ Km2, sedangkan yang terpadat adalah Kecamatan Bojongloa Kaler dengan jumlah 34.346 jiwa/ Km2. Dilihat dari komposisinya, berdasarkan jumlah penduduk Kota Bandung menurut usia, dapat dilihat bahwa penduduk terbanyak berusia antara 20-24 tahun yaitu sebesar 229.882 jiwa. Kelompok ini merupakan kelompok usia produktif. Komposisi penduduk Kota Bandung masih hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya berupa struktur usia muda (sebagian besar berusia antara 14-39 tahun), yaitu berbentuk piramida. Dengan banyaknya jumlah penduduk muda ini akan berakibat antara lain pada peningkatan kebutuhan pangan dikarenakan tingginya kebutuhan akan gizi bagi pertumbuhan fisiknya, kebutuhan akan pendidikan, dan kebutuhan akan fasilitas-fasilitas lain yang mendukung kegiatan penduduk pada usia produktif ini.

Gambar 2.3 Gunung dan Perbukitan di Wilayah Cekungan Bandung

Page 5: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

13

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung

2013

Page 6: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

14

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

Berdasarkan tingkat pendidikannya, jumlah penduduk Kota Bandung yang tidak sekolah adalah 20,20% , tidak tamat sekolah sebesar 8,40%, belum tamat SD sebesar 15,70%, tamat SD sebesar 22,20%, tamat SLTP sebesar 14,80%, tamat SLTA sebesar 12,90%, tamat akademi sebesar 3,10%, dan tamat sarjana sebesar 2,70. Dari komposisi tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk terbesar adalah dengan tingkat pendidikan tamat SD. Ini menunjukkan kualitas sumber daya manusia di Kota Bandung masih rendah meskipun jumlah yang tidak tamat sekolah rendah. Sedangkan berdasarkan agama, diketahui bahwa mayoritas penduduk Kota Bandung beragama Islam dengan jumlah 1.991.159 jiwa (93,0%), agama lain yang dipeluk adalah Katolik sebesar 105.919 jiwa (5,0%), Protestan sebesar 29.988 jiwa (1,40%), Budha sebesar 8.561 jiwa (0,40%), dan Hindu sebesar 4.275 jiwa (0,20%).

2.3.3 Perekonomian

Kota Bandung merupakan salah satu Kota di Propinsi Jawa Barat yang cukup potensial. Pada tahun 1997, PDRB Kota Bandung diperkirakan mencakup 8,99% dari seluruh PDRB Jawa Barat. Hal tersebut menunjukkan Kota Bandung mempunyai peranan cukup penting dalam peningkatan perekonomian Jawa Barat secara keseluruhan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas harga berlaku untuk Kota Bandung secara keseluruhan mengalami kenaikkan dari Rp 14,422 trilyun pada tahun 2000, menjadi Rp 17,314 trilyun pada tahun 2001. Sedangkan PDRB Kota Bandung pada tahun 2000 atas dasar harga konstan 1993, mencapai Rp 5,738 trilyun dan pada tahun 2001 naik menjadi Rp 6,158 trilyun. PDRB Kota Bandung baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan 1993 mengalami pertumbuhan yang cukup berarti. PDRB atas dasar harga berlaku mengalami pertumbuhan dari 10,47% menjadi 20,05% pada tahun berikutnya. Peningkatan laju pertumbuhan sebesar 9,58% ini menunjukkan adanya peningkatan pada produksi maupun harga seluruh sektor produksi di Kota Bandung. Laju pertumbuhan PDRB dalam kurun waktu 1998-2001 mengalami perubahan yang cukup bervariasi dan berfluktuasi yang positif. Laju pertumbuhan ekonomi (laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 1993) yang negatif pada tahun 1998--

sebagai salah satu indikasi multikritis yang terjadi di Indonesia -- secara bertahap mengalami perbaikan (laju pertumbuhan ekonomi positif). Laju pertumbuhan ekonomi menjadi positif kembali sejak tahun 1998, yang mengindikasikan adanya keberhasilan dalam upaya pemulihan ekonomi (economic recovery). Dirinci menurut kelompok sektor maupun sektor itu sendiri, maka seluruh sektor PDRB yang dihitung atas dasar harga berlaku mengalami pertumbuhan positif (peningkatan dari tahun 1993). Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sektor yang mengalami pertumbuhan positif paling tinggi adalah sektor jasa-jasa. Hal ini diakibatkan tingginya pertumbuhan dari sub sektor jasa pemerintahan, yang merupakan dampak dari adanya peningkatan gaji pokok pegawai negeri pada tahun 2001. Adapun sektor yang mengalami pertumbuhan positif tetapi mengalami penurunan dari tahun sebelumnya adalah sektor pertanian, industri pengolahan dan keuangan. Sedangkan bila dihitung atas dasar harga konstan 1993, seluruh sektor juga mengalami laju pertumbuhan positif. Laju pertumbuhan tertinggi adalah sektor angkutan dan komunikasi, yang naik sebesar 17,02%. Peningkatan ini diakibatkan adanya kenaikan jumlah penumpang angkutan udara dan adanya peningkatan pengguna jasa pos dan telekomunikasi. PDRB perkapita atas dasar harga yang berlaku tahun 1998 sebesar Rp 4.786.418,15 naik menjadi sebesar Rp 5.133.124,99 pada tahun 1999. Pada tahun 2000 menjadi sebesar Rp 6.751.501,75 dan pada tahun 2001 menjadi Rp 8.066.914,19. Dengan demikian, pendapatan per kapita penduduk Kota Bandung mengalami peningkatan sebesar 19,48% pada tahun 2001. PDRB per kapita atas dasar harga konstan (tahun 1993) sebesar Rp 2.116.705,75 pada tahun 1998, naik menjadi Rp 2.140.122,75 pada tahun 1999, Rp 2.686.003,87 pada tahun 2000, dan naik menjadi Rp 2.869.502,77 pada tahun 2001. Ini berarti telah terjadi kenaikan sebesar 25,51% pada tahun 2000 dan sekitar 6,83% pada tahun 2001. Tampaknya kenaikan PDRB perkapita ini sejalan dengan kenaikan sektor-sektor yang mempunyai sumbangan cukup besar, dalam hal ini adalah industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran. Seperti diketahui, PDRB per kapita yang dihitung dengan cara ini masih mengandung unsur-unsur (faktor produksi) yang sebetulnya tidak dinikmati oleh penduduk secara langsung,

misalnya keuntungan perusahaan yang tidak dibagikan dan penyusutan barang modal (undistributed profit and capital allowance).

2.3.4 Sarana Perkotaan A. Sarana Pendidikan Sarana pendidikan yang ada di Kota Bandung berupa sarana pendidikan tingkat TK, SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi (IAIN, ITB, UNPAD, UPI dan Perguruan-perguruan Swasta). Meskipun pada tahun 2000 hasil penilaian kapasitas pelayanan sarana pendidikan menunjukkan indeks daya layan kumulatif yang lebih besar dari 1 yaitu TK sebesar 1,8, SD sebesar 6,3, SLTP sebesar 10,0 dan SLTA sebesar 4,2, namun pada kenyataannya pelayanan dari sarana ini kurang ada keseimbangan penyebarannya, sehingga dapat dikatakan sarana ini belum memenuhi kebutuhan penduduk. Sebagai contoh masih terdapat daerah yang belum terlayani oleh sarana pendidikan.

B. Sarana Kesehatan Sarana kesehatan di Kota Bandung banyak dikelola oleh pihak swasta baik itu praktek dokter, bidan, apotik maupun bidang farmasi lain. Terlepas dari keseimbangan persebaran sarana kesehatan ini, bila dilihat dari nilai indeks daya layannya, masing-masing sarana menunjukkan nilai yang lebih besar dari 1, kecuali untuk Puskesmas yang indeksnya tepat sama dengan 1 (artinya penyediaan sarana Puskesmas dari sisi kuantitas sudah memenuhi kebutuhan penduduk).

C. Sarana Peribadatan Keanekaragaman agama yang dianut oleh penduduk Kota Bandung perlu didukung oleh fasilitas peribadatan yang beragam pula. Sesuai dengan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Kota Bandung pada tahun 2000 adalah Islam, maka jumlah tempat peribadatan paling banyak adalah mesjid dengan jumlah 2.000 unit, musholla sebanyak 360 unit dan langgar sebanyak 1.634 unit. Komposisi tempat peribadatan lainnya adalah: gereja sebanyak 60 unit, pura 8 unit, dan vihara 20 unit.

D. Sarana Perekonomian Sarana perekonomian (perdagangan dan jasa) yang ada di Kota Bandung sangat beragam, mulai dari pasar tradisional sampai

Page 7: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

15

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung

2013

modern, mulai dari pasar berskala pelayanan lokal sampai ke skala regional dan nasional. Jenis-jenis sarana perekonomian yang ada saat ini antara lain pasar, pertokoan, restoran atau rumah makan, café, dan sebagainya.

E. Sarana Seni dan Olah Raga Sarana kesenian di Kota Bandung sangat beragam mulai dari karawitan, teater, pedalangan, pertunjukan rakyat, seni musik, seni tari, seni lukis, dan seni rupa yang kesemuanya ini tersebar di berbagai kecamatan. Sedangkan mengenai sarana olahraga di Kota Bandung terdiri dari lapangan indoor dan outdoor, diantaranya terdiri dari kolam renang (15 unit), billyard centre(40 unit), bowling (3 unit), stadion (6 unit), dan lapangan golf (3 unit).

F. Sarana Pariwisata dan Rekreasi Sarana rekreasi di Kota Bandung yang terbanyak adalah tempat billiard sebanyak 25 buah, sedangkan objek dan daya tarik wisata Kota Bandung ada sebanyak 45 buah. Selain itu terdapat berbagai monumen dan tugu yang juga merupakan objek wisata di Kota Bandung.

G. Sarana Umum Sarana umum di Kota Bandung terdiri dari Tempat Pemakaman Umum dan Ruang Terbuka Hijau. Tempat Pemakaman Umum di Kota Bandung terdiri dari 13 buah, berupa TPU Muslimin, TPU Kristen, serta TPU Hindu dan Budha yang tersebar di 6 bagian wilayah kota. Taman kota tersebar di 6 bagian wilayah kota, dengan luas taman keseluruhan di Kota Bandung pada tahun 2000/2001 adalah sebesar 1.143.505,01 m2 berjumlah 487 buah. Luas terbesar terdapat di Wilayah Cibeunying dengan luas 635.724,00 m2 dengan jumlah taman sebanyak 126 buah.

2.3.5 Prasarana Perkotaan A. Transportasi Transportasi di Kota Bandung merupakan sistem transportasi jalan raya, rel, dan udara. Pergerakan lalu lintas di Kota Bandung yang sebagian besar menuju pusat kota/perdagangan (Central Bisinis Distfict) di sekitar Jalan Dewi Sartika, Jalan Asia Afrika, Jalan Merdeka, Jalan Diponegoro, dan sebagainya juga karena adanya pergerakan arus yang memasuki Kota Bandung pada hari-hari libur untuk keperluan wisata ataupun hanya melintasi (trought

traffict). Untuk pergerakan orang/penduduk pada skala perangkutan regional, penduduk Kota Bandung umumnya memanfaatkan fasilitas bus angkutan antar kota yang berada di Leuwipanjang dan Cicaheum. Tujuan dan arah pergerakan orang melalui terminal-terminal bus tersebut terdiri dari beberapa trayek. Pola angkutan barang yang memasuki Kota Bandung, umumnya berupa truk, kendaraan bak terbuka, merupakan pergerakan dalam memenuhi kebutuhan pasar (perdagangan). Jalur pengiriman barang seperti ke Pasar Induk Gedebage, Caringin, Makro, dan lain-lain yang umumnya berasal dari Jakarta, Jawa atau kota-kota lainnya di Jawa Barat. Dalam sistem pergerakan di Kota Bandung, jalan rel juga memegang peranan penting dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi di Kota Bandung. Stasiun Kereta Api Bandung melayani pergerakan orang maupun barang ke arah barat maupun timur yaitu ke Kota Jakarta dan Kota-Kota besar lain di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Stasiun Bandung hanya melayani penumpang untuk kelas bisnis dan eksekutif, sedangkan untuk kelas ekonomi dilayani oleh Stasiun Kiara Condong. Sedangkan untuk jalur pendek disediakan KRD yang umumnya dimanfaatkan oleh para pelajar, pekerja maupun para pedagang untuk melakukan aktivitasnya di Kota Bandung, sehingga membentuk pergerakan commuter (ulang-alik). Selain itu, untuk pergerakan lalu lintas juga ditunjang oleh Pelabuhan Udara Husein Sastranegara, sebagai penerbangan domestik yang datang sebanyak 186.145 orang dan yang berangkat sebanyak 198.263 orang, sedangkan penerbangan internasional yang datang sebanyak 16.484 orang dan yang berangkat sebanyak 14.765 orang. Pola perjalanan yang ada di Kota Bandung menunjukkan bahwa pergerakan penduduk dari luar Kota Bandung (eksternal/regional) menuju wilayah internal (Kota Bandung) adalah cukup besar (perjalanan eksternal-internal). Hal ini disebabkan banyaknya penduduk di luar Kota Bandung yang bekerja di Kota Bandung. Sedangkan untuk pola perjalanan yang ada di Kota Bandung sendiri (internal) pada umumnya dibangkitkan dari kawasan perumahan menuju pusat kota sebagai pusat kegiatan Kota Bandung.

Pola jaringan transportasi di Kawasan Kota Bandung menunjukkan karakteristik sebagai berikut:

1. Pola jaringan cenderung membentuk pola kombinasi radial-konsentris sesuai dengan pola guna lahannya dengan beberapa poros utama kota, serta pada sebagian besar ruas jalan utama terdapat interaksi (simpangan) dengan jarak antara sangat dekat.

2. Pola jaringan pada kawasan perluasan (internal kota) membentuk pola radial untuk mengarahkan arus pergerakan tidak melalui pusat kota.

3. Pola jaringan pada kawasan pinggiran (luar kota) dilayani dengan jaringan jalan tol untuk memisahkan arus pergerakan regional tidak bercampur dengan pergerakan internal kota.

Jaringan jalan di Kota Bandung terdiri dari jaringan jalan primer untuk lalu lintas regional dan antarkota serta jaringan jalan sekunder untuk lalu lintas perkotaan. Total jaringan jalan di Kota Bandung sampai tahun 2000 adalah 1.139,219 km yang terdiri jalan arteri primer 42,140 Km; jalan arteri sekunder 22,990 Km, jalan kolektor primer 30,712 Km; jalan kolektor sekunder 37,308 Km, jalan lokal sepanjang 1.005,069 Km. Moda angkutan yang melayani pergerakan penduduk Kota Bandung terdiri dari kendaraan pribadi dan angkutan umum (angkutan kota). Jumlah angkutan umurn non-bis dalam kota di Kota Bandung sebanyak 5.521 unit armada yang terbagi menjadi 38 trayek (rute angkutan). Jumlah trayek terpadat/terbanyak armada pendukungnya adalah rute angkutan Abdul Muis - Cicaheum � Via Binong dan rute angkutan Cicadas - Elang, dengan jumlah kendaraan masing-masing 369 dan 300 unit kendaraan. Secara umum tempat-tempat kegiatan seperti pertokoan di wilayah Kota Bandung belum menyediakan lahan parkir. Akibatnya untuk beberapa jalur jalan tertentu parkir kendaraan masih menggunakan badan jalan (on street) sebagai sarana perparkiran. Hal di atas merupakan salah satu penyebab (pemicu) terjadinya kemacetan lalu-lintas kota karena ruas jalan menjadi terganggu, seperti yang sering dijumpai di Jalan A. Yani, Jalan Kiaracondong, Jalan Oto Iskandardinata, Jalan Dewi Sartika, Jalan RE Martadinata dan lain-lain. Sedangkan sarana perparkiran lain adalah tempat parkir yang berada di luar badan jalan (off street). Tempat parkir ini biasanya disediakan oleh kawasan-kawasan dan tempat-tempat tertentu seperti kawasan perdagangan, perkantoran, pendidikan dan lain-lain.

Page 8: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

16

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

B. Sanitasi/Limbah Kondisi penanganan air limbah pada saat ini di kota Bandung adalah sebagai berikut: 1. Air dari dapur, mandi, dan cuci:

a. On-site Disposal System, seperti dibuang langsung ke pekarangan rumah, tanpa menggunakan saluran.

b. Imperfect Sewerage System, yaitu dengan menggunakan saluran (sewerage system).

c. Sistem Terpusat (on-site).

2. Kotoran manusia: a. On-site Disposal System, yang meliputi penggunaan cubluk

dan septic tank. b. Sistem Terpusat (off-site).

Pada saat ini sistem terpusat hanya melayani lebih kurang 20% dari penduduk Kota Bandung, sedangkan sisanya berupa on-site disposal dan imperfect system. Air limbah dari Kota Bandung diolah hanya dengan menggunakan satu buah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), yang terletak di Bojongsoang, yang kapasitasnya hanya 400.000 jiwa, atau hanya melayani lebih kurang 15% dari penduduk Kota Bandung saat ini. IPAL Bojongsoang ini melayani sitem terpusat Bandung Timur serta Tengah/Selatan. Sistem terpusat yang melayani Bandung Barat langsung dialirkan menuju Sungai Citepus tanpa pengolahan, demikian juga dengan wilayah pelayanan Bandung Utara, yang tidak diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air. Kondisi ini menunjukkan tingginya tingkat pencemaran yang ditimbulkan oleh air limbah, terutama pencemaran air. Pada saat ini di sebagian besar wilayah, saluran air kotor masih bercampur dengan saluran drainase (sistem campuran) dalam bentuk saluran terbuka. Saluran tertutup untuk limbah domestik maupun non-domestik masih sangat terbatas. Sistem pembuangan air limbah di Kota Bandung, baik setempat maupun terpusat, masih menghadapi permasalahan teknis dan non teknis dalam operasi pengelolaannya yang secara umum akibat kurangnya kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan sarana yang ada. Selain itu pengelolaan limbah non domestik, seperti limbah pabrik, masih banyak yang belum memenuhi

standar yang telah ditetapkan, bahkan masih banyak pabrik-pabrik yang belum memiliki instalasi pengolahan limbah.

C. Drainase Sistem drainase di Kota Bandung belum terencana dengan baik. Sebagian besar masih mengikuti pola alamiah, sebagian lagi berupa sistem drainase jalan. Secara umum sistem drainase di Kota Bandung terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu drainase makro dan drainase mikro. Saluran pembuangan makro adalah saluran pembuangan yang secara alami sudah ada di Kota Bandung, yang terdiri dari 15 sungai sepanjang 265,05 km, yaitu Sungai Cikapundung, Sungai Cipamokolan, Sungai Cidurian, Sungai Cicadas, Sungai Cinambo, Sungai Ciwastra, Sungai Citepus, Sungai Cibedung, Sungai Curug Dog-dog, Sungai Cibaduyut, Sungai Cikahiyangan, Sungai Cibuntu, Sungai Cigondewah, Sungai Cibeureum, dan Sungai Cinanjur. Sungai utama yang menampung air hujan Kota Bandung adalah Sungai Cikapundung dengan panjang 62,10 km yang memiliki 9 anak sungai yang mengalir dari utara ke selatan. Saluran drainase Kota Bandung di bagian utara yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada umumnya bermuara di sungai Cikapundung. Saluran pembuangan mikro adalah saluran yang sengaja dibuat mengikuti pola jaringan jalan. Pada akhirnya saluran ini bermuara pada saluran makro yang dekat dengan saluran mikro tersebut. Berdasarkan karakteristiknya, saluran mikro terbagi atas: 1. Saluran yang berada di kota lama, sudah tidak dapat lagi

menampung/menyalurkan limpahan air hujan sehingga sering terjadi flash flood terutama di wilayah Bandung Utara;

2. Saluran yang berada di wilayah pengembangan, sebagian letaknya lebih rendah dari permukaan sungai, pembangunan-nya tidak terintegrasi secara internal dalam wilayah Kota Bandung maupun secara eksternal dengan Kabupaten Bandung.

Kondisi saluran mikro ini di beberapa tempat terputus (tidak berhubungan dengan saluran di bagian hilirnya). Pada saat ini hanya sekitar 70% ruas jalan yang memiliki saluran drainase. Secara keseluruhan sistem drainase di Kota Bandung masih belum terencana dengan baik. Sebagai dampaknya adalah timbulnya daerah-daerah rawan banjir di beberapa lokasi, misalnya di Wilayah Gedebage dan Arcamanik. Pada tahun 2001 luas daerah

genangan banjir di Kota Bandung sebesar 314.9 Ha, dengan penyebaran sebagai berikut: ! Bandung Barat 90.4 ha, ! Bandung Timur 197 ha, dan ! Bandung Utara 27.5 ha. Penyebab terjadinya daerah rawan banjir ini adalah karena tertutupnya street inlet oleh beberapa aktivitas, sehingga air hujan tidak bisa masuk ke dalam saluran drainase, adanya pendangkalan di beberapa bagian saluran serta konstruksi drainase yang tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

D. Sampah Masalah persampahan di Kota Bandung adalah tingginya produksi sampah yang berasal dari permukiman penduduk, pasar, pusat perdagangan dan industri, dan pada sisi lain tingginya produksi sampah ini belum dapat diimbangi sepenuhnya oleh prasarana dan sarana yang dipunyai oleh PD Kebersihan Kota Bandung. Kegiatan pengumpulan dan pengangkutan sampah dari sumber sampah/pemukiman hingga TPS menjadi tanggung jawab masyarakat yang dikoordinasi oleh RT/RW, LKMD atau LSM secara swadaya dan swakelola, sedangkan pengolahan sampah dari TPS ke TPA dilaksanakan oleh PD Kebersihan. Tempat penampungan sampah sementara (TPS) yang digunakan di Kota Bandung pada saat ini berjumlah 202 buah, dengan perincian 68 TPS berada di Bandung Barat, 69 di Bandung Tengah, dan 65 di Bandung Timur. Volume sampah yang dapat diangkut pada tahun 2001 adalah 887.990 m3.

Gambar 2.5 Penarik Gerobak Sampah

Page 9: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

17

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung

2013

Tempat pembuangan akhir (TPA) sampah milik PD Kebersihan pada saat ini terdapat di lima lokasi, yaitu TPA Pasir Impun, Leuwi Gajah, Cicabe, Cieunteung, dan Jelekong. TPA Pasir Impun, Cieunteung, dan Cicabe telah ditutup, sedangkan TPA Leuwi Gajah dan Jelekong masih digunakan. TPA Leuwi Gajah, yang mempunyai kapasitas 3.187.409 m3, menggunakan sistem Open Dumping, sedangkan TPA Jelekong, dengan kapasitas 650.490 m3, menggunakan sistem Control Landfill.

E. Air Minum (Air Bersih) Untuk Kota Bandung sendiri terdapat dua buah sumber air bersih, yaitu sungai (air permukaan) dan artesis (air tanah dalam). Berdasarkan data tahun 2000 kapasitas produksi dari PDAM rata-rata sebesar 2.200 liter/detik dengan persentase kehilangan air bersih rata-rata per tahun 47% (berdasarkan pembayaran air pelanggan pada tiap bulannya). Untuk air permukaan diperoleh dari aliran Sungai Cikapundung dengan debit air baku 600 liter/detik dan Sungai Cikapundung (Siliwangi) dengan debit air baku 200 liter/detik, Sungai Cisangkuy dengan debit air baku 1.600 liter/detik , dan Sungai Cibeureum sekitar 40 liter/detik. Selain itu terdapat pula sumber air bersih yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk Kota Bandung yaitu mata air, PDAM menggunakan 10 buah mata air utama yang terletak di daerah Ledeng. Debit air yang mengalir dari mata air sebagian dialirkan ke reservoir XI dan sebagian lagi langsung didistribusikan ke konsumen. Untuk sumur bor, PDAM menggunakan 19 buah sumur bor produksi yang dipompakan ke reservoir IX dan X serta sumur bor lokal. Jumlah pelanggan air bersih di Kota Bandung hingga tahun 2000 sebanyak 144.309 sambungan langsung dengan cakupan pelayanan sekitar 53%.

F. Telekomunikasi Media telekomunikasi yang umumnya digunakan di Kota Bandung adalah telepon, telex, dan faksimili, dimana segala pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana telekomunikasi tersebut baik dari segi kualitas maupun jumlah sambungannya, harus disediakan oleh PT Telkom yang merupakan salah satu badan usaha milik negara yang bergerak dalam pelayanan jasa telekomunikasi. Selain itu, PT Telkom memberikan berbagai pelayanan berupa pelayanan pengaduan gangguan, pengaduan tagihan, pemasangan baru, dan jasa telekomunikasi lainnya seperti mutasi telepon, balik nama, fax, SLI dan hunting dengan memberikan pelayanan Service Point.

Pelayanan telekomunikasi di Kota Bandung sudah cukup merata hingga ke seluruh kota, khususnya telekomunikasi telepon, telegram dan fax. Selain itu pelayanan telekomunikasi ini pun didukung dengan telah meratanya fasilitas kios-kios telekomunikasi serta box-box telepon umum di seluruh penjuru kota dan keterhubungannya dengan jaringan telepon selular dan internasional. Distribusi pelayanan yang diberikan PT Telkom di Bandung dalam Sistem Sambungan Telepon (SST) pada tahun 2003 berkapasitas 498.044 SST, dimana 15.000 SST disediakan oleh badan lain yang bekerjasama dengan PT Telkom. Dari kapasitas yang tersedia, terdapat 407.959 SST yang telah berfungsi, dan dari jumlah tersebut 392.838 SST telah digunakan (tersambung). Dari jumlah yang tersambung tersebut 389.900 SST digunakan untuk pelayanan umum, yang meliputi 16.456 SST untuk telepon umum, dan 373.444 SST untuk pemesanan, yang terdiri dari bisnis, perumahan, dan sosial.

G. Jaringan listrik Pelayanan kebutuhan listrik di Kota Bandung saat ini sebagian besar sudah dapat dilayani, dimana pola jaringan listrik yang ada sebagian besar mengikuti pola jaringan jalan dan berupa sistem jaringan udara. Untuk Kota Bandung seluruh wilayahnya sudah terlayani dengan aliran listrik. Walaupun demikian, permintaan untuk pembukaan sambungan baru dan peningkatan kapasitas, senantiasa meningkat sebagai akibat dari dibukanya kawasan-kawasan baru dan peningkatan kegiatan industri/perdagangan. Sumber listrik yang melayani Kota Bandung dan sekitarnya berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yaitu PLTA Saguling (S.Citarum), PLTA Cikalong, PLTA Lamajan, PLTA Pangalengan (S.Cisangkuy) dan PLTA Bengkok (S.Cikapundung). Sedangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) berasal dari Kamojang. Selain itu terdapat pula Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang berada di dalam kota, yaitu di Cigareleng, Kiaracondong, dan Cibabat.

H. Jaringan Gas Untuk memenuhi kebutuhan akan gas khususnya untuk keperluan dapur masyarakat, Kota Bandung memiliki fasilitas jaringan gas kota untuk dapat melayani penduduk. Gas ini disalurkan melalui jaringan pipa tertutup ke penjuru kota yang hingga saat ini daerah pelayanannya masih sangat terbatas. Jaringan pipa yang ada

sekarang merupakan peninggalan dari zaman Belanda dan umurnya sudah sangat tua dan perlu dilakukan peremajaan. Pendistribusian gas kota ini dikelola oleh Perum Gas Negara (PGN), hingga sampai saat ini produksi gas dari tahun ke tahun relatif konstan bahkan ada kecenderungan menurun. Produksi PGN ini sangat sulit untuk berkembang mengingat pipa jaringan distribusinya sangat terbatas dan gas jenis ini juga penawarannya kalah bersaing dengan gas tabung yang relatif lebih murah dan praktis & tersedia dimana-mana.

2.4 Tinjauan Terhadap Evaluasi RUTRK Bandung

Secara umum hasil evaluasi RUTRK Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung menunjukkan bahwa dalam RUTRK tersebut terdapat banyak permasalahan yang belum terliput dan banyaknya penyimpangan antara fakta dan rencana yang ditemui di lapangan. Tinjauan ini akan dilakukan pada beberapa aspek yaitu aspek struktur tata ruang, transportasi, prasarana kota dan lingkungan.

2.4.1 Struktur Tata Ruang

Dalam masa perencanaan RUTRK yang lalu tersebut ditemukan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan struktur tata ruang yaitu: 1. Masih terpusatnya berbagai kegiatan di dalam Kota Bandung

akibat penetapan lima fungsi kota (Bandung sebagai pusat Pemerintahan, Perdagangan, Pendidikan, Pariwisata/Budaya dan Pusat Industri). Meskipun fungsi Pendidikan sudah diupayakan untuk dialihkan keluar Kota Bandung (ke kawasan pendidikan Jatinangor, Kabupaten Bandung), namun permasalahan yang berkaitan dengan fungsi ini masih tetap tidak teratasi. Hal ini terutama diindikasikan dengan menjamurnya secara sporadis kegiatan-kegiatan pendidikan swasta di dalam Kota Bandung.

2. Pengembangan kawasan-kawasan pusat sekunder (Arcamanik, Sadangserang, Setrasari, Turangga dan Kopo Kencana) yang tidak berhasil dan dalam pelaksanaannya menghadapi kendala untuk dikembangkan ke kawasan Timur Bandung. Lebih lanjut ketidakberhasilan pengembangan pusat-pusat sekunder dijelaskan berikut ini: a. Pengembangan Setrasari Mall sebagai pusat sekunder WP

Bojonagara tidak tercapai. Penyebab lumpuhnya pusat sekunder ini antara lain kurangnya akses jalan menuju

Page 10: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

18

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

Setrasari Mall, serta sulitnya mengikat penduduk sekitar dengan lokasi Setrasari Mall yang berada di perumahan menengah ke atas. Hal ini membuat penduduk lebih memilih pergi ke pusat kota atau kawasan perdagangan di Jl. Merdeka.

b. Tidak tercapainya fungsi Sadangserang sebagai Pusat Sekunder WP Cibeunying. Perkembangan kegiatan di WP ini justru terjadi di Simpang Dago sebagai pusat perdagangan, yang melebar hingga sepanjang JL. Ir. H. Djuanda. Kegiatan di ruas jalan ini semakin ramai dengan munculnya factory outlet dan adanya aktivitas informal di sepanjang kawasan Dago pada setiap hari Sabtu dan Minggu malam.

c. Penetapan pusat WP Karees di Jl. Martanegara tidak berjalan semestinya, karena yang terjadi justru

berkembangnya kegiatan di sekitar Jl. Gatot Subroto, dengan dibangunnya Bandung Supermal.

d. Pengembangan Pusat Sekunder Kopo Kencana di WP Tegallega belum optimal. Hal ini disebabkan antara lain karena pusat ini terletak di jalan yang berfungsi sebagai jalan arteri sekunder, sehingga lebih sulit diakses dibandingkan pusat lokal lama yang masih bertahan, yaitu sekitar Astanaanyar. Adapun yang terjadi di pusat lokal lama ini adalah sudah terkonsentrasinya kegiatan yang sering menimbulkan masalah kemacetan lalu lintas.

e. Pengembangan Pusat Sekunder Arcamanik di WP Ujungberung belum tercapai. Hal ini disebabkan antara lain oleh kurangnya akses jalan ke pusat tersebut, kurangnya fasilitas umum dan fasilitas sosial. Yang terjadi justru pergeseran pusat kegiatan ke sekitar Antapani.

f. Penetapan WP Gedebage sebagai kawasan jasa dan industri berskala regional belum dapat di-realisasikan. Begitu pula dengan pembangunan sub pusat perdagangan primer Gedebage di JL. Cipamokolan belum terlaksana, sehingga pengalihan sebagian fungsi pusat kota ke arah timur, khususnya untuk kawasan industri non polutan, jasa perkantoran, dan per-dagangan belum tercapai.

g. Khusus pengembangan perkotaan ke arah Bandung Timur bagian tenggara (sekitar Gedebage) menghadapi kendala karena adanya lokasi genangan banjir dan banyak rawa. Kondisi sebagian wilayah Gedebage dapat dilihat pada Gambar 2.7.

2.4.2 Aspek Transportasi

Masalah ketidaksesuaian dengan arahan RUTRK dari aspek transportasi diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Pengembangan Simpul Terminal Kereta Api di Stasiun Kiara

Condong, Cikuda Pateuh dan Stasiun Andir masih belum dapat berfungsi sebagai pengumpan untuk jaringan jalan raya.

2. Hirarki jaringan jalan (arteri, kolektor dan lokal) dalam kenyataan tidak mengikuti hirarki jaringan jalan sebagai mana yang tercantum dalam RUTR terutama jalan arteri primer Sukarno Hatta yang sudah berubah fungsi menjadi jalan kolektor sekunder.

3. Adanya kesenjangan pertumbuhan kendaraan yang mencapai lebih kurang 11% per tahun dengan pertumbuhan pertambahan jaringan jalan yang hanya lebih kurang 2% per tahun turut mempercepat kinerja lalu lintas Kota Bandung yang makin lama makin macet dan terakumulasi sepanjang tahun.

2.4.3 Aspek Prasarana Kota

Permasalahan prasarana kota yang terjadi di lapangan adalah sebagai berikut: 1. Terjadinya kesenjangan antara Supply (penyediaan) prasarana

oleh Pemerintah Daerah yang masih sangat kurang dibanding dengan Demand (permintaan) masyarakat akan prasarana kota yang memadai dirasakan masih cukup besar.

2. Level of Services penyediaan prasarana kota antara yang direncanakan dalam RUTR Kota Bandung yang melayani rata-rata 80% penduduk kota dalam kenyataan mengalami penurunan hingga 70% yang antara lain diakibatkan oleh

Gambar 2.6 Rencana Penggunaan Lahan 2001 dalam RUTRK 1991

Gambar 2.7 Kondisi Gedebage Gedebage mempunyai kendaladalam pengembangan karena adanya lokasi genangan banjir dan rawa.

Page 11: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

19

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung

2013

kendala pembiayaan, perencanaan, pengelolaan, kelembagaan kualitas prasarana dan aspek lokasi.

3. Masalah prasarana sosial, pendidikan, kesehatan, prasarana hiburan, kuburan, taman kota kurang mendapat perhatian khusus dalam RUTR Bandung.

2.4.4 Aspek Lingkungan

Dalam RUTRK Bandung, pembahasan aspek lingkungan kota kurang begitu spesifik. Adapun permasalahan lingkungan yang dihadapi Kota Bandung diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Masalah kawasan Bandung Utara yang mengalami perubahan

fungsi, semula berfungsi sebagai kawasan lindung berubah menjadi kawasan pemukiman.

2. Masalah persampahan yang teruntama menyangkut masalah Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Kawasan Pasir Impun di daerah Bandung Utara yang dekat dengan kawasan pemukiman diperkirakan akan dapat menyebabkan konflik penggunaan ruang yang akan dapat menjadi permasalahan.

2.5 Potensi Pengembangan Kota Bandung

2.5.1 Aspek Fisik

Secara geografis jarak yang relatif dekat dengan Jakarta sebagai ibukota negara, menjadikan Kota Bandung mampu berkembang dengan pesat di berbagai bidang kegiatan pembangunan. Selain itu faktor suhu di Kota Bandung yang relatif sejuk merupakan potensi yang dimiliki Kota Bandung. Arah pengembangan kota ke timur (WP Ujung Berung dan Gedebage) masih dimungkinkan karena masih banyak lahan dengan kepadatan rendah, seperti terlihat pada Gambar 2.8. Dari aspek fisik binaan yang cukup dominan adalah tersedianya fasilitas pendidikan tinggi dan menengah baik negeri maupun swasta, seperti UPI, ITB, Unpad, Unpar, Unisba, Uninus, Unpas, Unbar, Unla, STIEB, STIE YPKP, Tridarma, Maranatha, dan lain-lain; tersedianya balai penelitian yang berskala nasional dan internasional, seperti Lembaga Pasteur, Puslitbang Jalan, Puslitbangair, dsb.; dan aksesibilitasnya yang cukup baik, yaitu adanya terminal-terminal, bandar udara, dry port (terminal peti kemas) di Kota Bandung yang berskala pelayanan lokal, regional dan nasional. Di samping itu di Kota Bandung terdapat pula

perusahaan dan industri strategis serta seperti P.T. Inti, PT. Telkom, PT. Dirgantara Indonesia, PT.KAI, PT.POS Indonesia, dan lain-lain. Potensi lainnya adalah Kota Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki kekayaan akan bangunan-bangunan tua dan bersejarah dengan berbagai langgam arsitekturnya. Sejalan dengan intensifikasi pembangunan fisik, sebagian bangunan-bangunan yang bisa menceritakan tentang sejarah kota, kebudayaan dan seni arsitektur tersebut mulai banyak diruntuhkan. Namun demikian, keberadaan bangunan-bangunan tua ini diantaranya masih tetap terjaga dan menjadi identitas kota Bandung seperti bangungan Gedung Sate, kampus ITB, kampus UPI, bangunan-bangunan di Jl Braga. Bangunan tua dan/atau bersejarah dapat dilihat pada Gambar 2.9, Gambar 2.10, Gambar 2.11, Gambar 2.12, Gambar 2.13, Gambar 2.14, Gambar 2.15 dan Gambar 2.16.

2.5.2 Aspek Ekonomi

Tingkat perkembangan ekonomi Kota Bandung cenderung cepat dan fluktuatif. Pada tahun 2001 laju PDRB menurut harga konstan sebesar 7,34 %, meningkat sebesar 1,93 % dari tahun sebelumnya. Sektor yang berkontribusi besar terhadap PDRB Kota Bandung adalah: sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 33,65 %; dan sektor industri sebesar 31,16 %. Karakteristik ekonomi perkotaan ditandai dengan adanya image kota Bandung sebagai kota tujuan wisata belanja dan obyek wisata berskala nasional. Sebagai kota tujuan wisata belanja antara lain berupa Factory Outlet, Pusat Perdagangan Jeans Cihampelas,

Sepatu Cibaduyut, Pasar Besi Ciroyom-Jatayu, Toko Kue dan Roti, dsb. Sedangkan sebagai objek wisata berskala nasional antara lain: Museum Geologi, Pusat Perdagangan Cihampelas, Cibaduyut, dsb. 2.5.3 Aspek Sosial

Jumlah penduduk yang besar (2.141.837 jiwa � Tahun 2000) dengan mayoritas penduduk berusia produktif terutama pelajar dan mahasiswa yaitu sebesar 25,65%, apabila diarahkan merupakan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) karena diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sumber daya manusia bagi pembangunan Kota Bandung.

2.6 Permasalahan Pengembangan Kota Bandung

2.6.1 Permasalahan Pola Pemanfaatan Ruang

A. Kawasan lindung Berdasarkan RUTR (1992) arahan rencana penggunaan lahan untuk konservasi di Kota Bandung hanya mencakup sekitar 1.114,28 Ha dan yang sudah sesuai penggunaan lahannya hanya sekitar 41,57% dari arahan tersebut. Sisa lahan yang direncanakan sebagai lahan konservasi umumnya digunakan untuk lahan non urban dan permukiman.

Persoalan lain kawasan lindung di Kota Bandung adalah �Masalah Bandung Utara�. Kawasan Bandung Utara yang ada di Kota Bandung dan memiliki kelerengan > 40% meliputi: 1. Kecamatan Sukasari, meliputi: Desa/Kelurahan Isola,

Gegerkalong, Sarijadi dan Sukarasa; 2. Kecamatan Cidadap, meliputi: Desa/Kelurahan Ledeng,

Ciumbuleuit, dan Hegarmanah; 3. Kecamatan Coblong, meliputi: Desa/Kelurahan Dago, Lebak

Siliwangi, Lebakgede, Sekeloa, Lebak Gede, Cipaganti, dan Sadang Serang;

4. Kecamatan Cibeunying Kaler, meliputi: Desa/Kelurahan Cigadung dan Neglasari;

5. Kecamatan Cibiru, meliputi: Desa/Kelurahan Cisurupan, Palasari, Cipadung dan Pasarbiru.

Gambar 2.8 Lahan Tak Terbangun di Wilayah Bandung Timur Pengembangan ke arah Bandung Timur masih memungkinkankarena masih banyak terdapat lahan tak terbangun dan kepadatan bangunan masih rendah

Page 12: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

20

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

Gambar 2.9 Bangunan Bersejarah/Tua di Jl. Braga

Gambar 2.10 Bangunan Bersejarah/Tua di Kawasan Inti Pusat Kota dan Jl. Asia Afrika

Gambar 2.11Bangunan Bersejarah/Tua di Jl. Wastukencana

Gambar 2.12Bangunan Bersejarah/Tua di Jl. Ir. H. Djuanda

Page 13: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

21

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung

2013

Gambar 2.13 Bangunan Bersejarah/Tua di Jl. L.L.R.E. Martadinata

Gambar 2.14 Bangunan Bersejarah/Tua di i Jl. Ganesha dan Jl. Taman Sari

Gambar 2.15Bangunan Bersejarah/Tua di Jl. Diponegoro dan sekitar Gedung Sate

Gambar 2.16Bangunan Bersejarah/Tua di Jl. Dr. Setiabudii

Page 14: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

22

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

Kawasan Bandung Utara ini dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cenderung mengganggu fungsi dan perannya sebagai kawasan resapan air yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyediaan air tanah di Cekungan Bandung. Kegiatan pembangunan fisik bangunan seperti pembangunan perumahan dan pembangunan lainnya di Kawasan Bandung Utara sangat pesat dan kurang terkendali, sehingga cenderung menurunkan kualitas lingungan alami wilayah ini dan menimbulkan persoalan lingkungan, yaitu antara lain (Gambar 2.17): 1. Penurunan muka air tanah

Kondisi ini timbul akibat berkurangnya wilayah tangkapan air di Bandung Utara atau besarnya pengambilan air tanah di Cekungan Bandung, terutama oleh industri yang dalam jangka panjang akan menurunkan muka air tanah di wilayah bawahannya, yaitu Kota Bandung sehingga penduduk Bandung akan mengalami masalah kekurangan air.

2. Pendangkalan Sungai Kondisi ini timbul dari adanya tingkat erosi yang tinggi sebagai akibat dari tidak berfungsinya kawasan hutan lindung di Wilayah Bandung Utara. Lumpur dan tanah akibat erosi mengalir ke sungai Citarum dan pada akhirnya sungai menjadi dangkal dan dapat menimbulkan bencana banjir.

Khusus berkaitan dengan kawasan lindung setempat muncul persoalan kurangnya ruang terbuka hijau, hutan kota, taman kota, ruang terbuka biru, taman bermain, ruang olahraga, dan lain-lain.

Pada tahun 2002 luas ruang terbuka hijau yang dalam pengelolaan Dinas Pertamanan dan Pemakaman (berupa taman, pemakaman dan kebun pembibitan) adalah lk. 243,79 Ha atau sekitar 1,45 % dari total luas wilayah. Kondisi ini masih sangat minim bila

dibandingkan dengan kondisi ideal dari suatu kota adalah memiliki sediaan RTH seluas 20% dari luas keseluruhan kota. Dengan kondisi kekurangan tersebut, keberadaan RTH ini pun masih diganggu dengan adanya konflik-konflik kepentingan dalam pemanfaatan yang kurang menjamin terjaga fungsinya. Keberadaan ruang terbuka hijau ini berkaitan dengan munculnya masalah berkurangnya daerah resapan air (koefisien runoff 0.8).

B. Kawasan Budidaya Salah satu persoalan yang dominan pada kawasan budidaya adalah alih fungsi lahan perkotaan yang tidak terkendali dan terjadi mixuse dalam pemanfaatan ruang kota. Hal ini terutama terjadi pada jalur-jalur utama kota yang semula memiliki fungsi sebagai perumahan golongan menengah ke atas dengan kapling besar menjadi kegiatan komersial yang tidak berskala pelayanan lingkungan atau lokal tetapi berskala pelayanan kota atau regional. Contoh yang terjadi adalah di sepanjang Jl. Otten, Jl. Cipaganti, Jl. Ir. H. Djuanda dan Jl. L.L.RE. Martadinata, seperti pada Gambar 2.18. Alih fungsi perumahan menjadi kegiatan komersial ini memberikan dampak berupa gangguan lalulintas (kemacetan) akibat terjadinya tarikan jumlah pengunjung yang meningkat dan tidak memadainya lahan parkir. Selain itu dampak negatif pun dapat dilihat dengan adanya perubahan-perubahan fisik bangunan yang mencolok akibat tuntutan intensitas aktivitas yang lebih tinggi sehingga terbentuk kondisi bangunan yang kurang selaras dan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan teknis bangunan. Persoalan lainnya adalah konsentrasi kegiatan di inti pusat kota (sekitar alun-alun kota) yang sangat tinggi/kurang merata (Gambar 2.19). Koefisien dasar bangunan (KDB) sudah sangat tinggi pada kelurahan-kelurahan di Kota Bandung lama, rata-rata mencapai 80% hingga 90%, seperti pada Kecamatan Cicendo, Coblong, Lengkong, Babakan Ciparay, Bojongloa Kaler, Batununggal, dan Cicadas. Pada lokasi ini terkonsentrasi kawasan kumuh, terutama di kawasan yang memiliki nilai lokasi strategis. Berkaitan dengan guna lahan perumahan, di Kota Bandung terdapat 62 titik kawasan kumuh yang tersebar di beberapa kecamatan. Hasil pengamatan dari 12 titik kawasan kumuh, secara umum terbentuknya kawasan kumuh disebabkan oleh:

1. Rendahnya kualitas dan kuantitas prasarana/sarana permukiman yang tidak menunjang terbentuknya struktur permukiman dasn sistem pengelolaan lingkungan.

2. Adanya kegiatan ekonomi dengan industri skala kecil maupun besar yang memiliki dampak terhadap lingkungan, membutuhkan pelayanan tambahan dari penyediaan prasarana dan sarana baik secara fisik maupun teknologinya

3. Terkonsentrasinya pemukiman pada beberapa lokasi yang menjadi sentra kegiatan industri kecil sehingga mengorbankan aspek kebutuhan ruang yang layak

4. Rendahnya tingkat kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan lingkungannya.

Gambar 2.17 Pembangunan Perumahan di Bandung Utara Selain rawan longsor akibat kelerengan yang tinggi, pembangunan fisik di Bandung Utara menyebabkan turunnya kualitas lingkungan

Gambar 2.18 Perubahan Fungsi Lahan Alih fungsi perumahan menjadi kegiatan komersial seperti di Jl. L.L.R.E.Martadinata memberikan dampak gangguan lalu lintas dan kemacetan akibat parkir di jalan (on street parking)

Page 15: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

23

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung

2013

Karakteristik dari kawasan kumuh tersebut adalah: 1. Kepadatan bangunan yang tinggi. 2. Kondisi prasarana dan sarana yang buruk secara kuantitatif dan

kualitatif. 3. Kondisi lingkungan yang tidak didukung oleh sistem drainase

dan pembuangan sampah yang memadai. 4. Tidak memiliki keteraturan struktur permukiman. 5. Pemukiman di bantaran sungai. 6. Areal yang terpengaruh secara fisik oleh adanya pengelolaan

limbah oleh pabrik disekitarnya.

Gambaran permukiman kumuh dapat dilihat pada Gambar 2.20 dan lokasi titik kawasan kumuh dapat dilihat pada Gambar 2.21) Masalah lain dari guna lahan perumahan adalah yang berkaitan dengan penyediaan tempat tinggal. Pemenuhan kebutuhannya belum sepenuhnya dilaksanakan oleh developer baik pemerintah maupun swasta, sehingga terbentuk enclave dan tidak terorganisir. Selanjutnya, persoalan kawasan budidaya dapat dilihat dari penyimpangan penggunaan lahan yang terjadi. Hal ini didasarkan pada ijin lokasi dan data rencana penggunaan lahan RUTR (1992): 1. Penggunaan lahan perumahan yang telah terlaksana mencapai

sekitar 66% dari rencana. Sedangkan ketidaksesuaian yang terjadi umumnya berupa non urban dan jasa.

2. Arahan luas yang direncanakan RUTR (1992) untuk jasa/perdagangan yang sudah terbangun adalah sebesar 54,7%. Sisanya masih digunakan untuk kegiatan lain. Kegiatan yang cukup dominan menempati area yang dialokasikan untuk kawasan jasa/perdagangan adalah pemukiman dan non urban.

3. Arahan penggunaan lahan industri Kota Bandung dikonsentrasikan di daerah Bandung Timur. Sampai tahun 1999 yang terlaksana baru 43%, sehingga masih banyak yang

Gambar 2.19 Kawasan Inti Pusat Kota

Gambar 2.20 Permukiman Kumuh Karakteristik permukiman kumuh antara lain kepadatan bangunan tinggi, prasarana dan sarana buruk, serta kondisi lingkungan yang tidak didukung oleh sistemdrainase dan pembuangan sampah yang memadai

Page 16: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

24

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

berlokasi di Bandung Barat. Ketidaktercapaian rencana itu antara lain karena kurangnya dukungan prasarana yang dibutuhkan.

2.6.2 Permasalahan Transportasi

Kondisi transportasi di Kota Bandung sudah dalam kondisi �sakit�. Munculnya kegiatan-kegiatan komersial seperti mall-mall dan factory outlet memperburuk kondisi transportasi di Kota Bandung. Apabila tidak segera �ditangani�, keberadaan kegiatan komersial akan mengakibatkan �terkuncinya� jalur-jalur transportasi Kota Bandung. Tingkat pelayanan (level of service) jalan di Kota Bandung sudah sangat rendah, sehingga sering menimbulkan kemacetan yang

terjadi pada sebagian besar ruas jalan di Kota Bandung. Hal ini disebabkan oleh jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan serta penggunaan jalan oleh kegiatan diluar kegiatan transportasi. Perbandingan kapasitas jalan dengan jumlah kendaraan yang ada di Kota Bandung tidak seimbang, yaitu luas jalan sekitar 3% dari total luas wilayah. Kondisi ini masih sangat minimum bila dibandingkan dengan kondisi ideal proporsi luas jalan dari suatu kota, yaitu sekitar 15% hingga 20%. Adapun kegiatan-kegiatan yang sering menggunakan badan jalan sehingga keberadaanya mengganggu lalulintas adalah PKL, pasar tumpah, dan on street parking. Masalah transportasi ini tidak bisa hanya diselesaikan dari sisi transportasinya saja, tetapi harus terintegrasi dengan policy dari

sektor-sektor lain, seperti pengaturan fungsi lahan. Selain masalah yang berkaitan dengan level of service jalan, muncul pula masalah yang berkaitan dengan sistem terminal dan penyediaan fasilitas pejalan kaki (trotoar, penyeberangan, dll).

Gambar 2.23 Persoalan Jalur Pejalan (Trotoar) Kenyamanan para pejalan terganggu antara lain disebabkan karena: ! Ruang parkir yang

tidak sesuai standar dimensi kendaraan, sehingga memanfaatkan sebagian trotoar sebagai ruang parkir.

! Trotoar dimanfaatkan sebagai ruang parkir.

! Pekerjaan infrastruktur (drainase) yang tidak segera dibersihkan kembali. Selain kenyamanan pejalan terganggu, juga dapat mengurangi kapasitas jalan serta berdampak buruk pada visualisasi kawasan.

! Kondisi fisik trotoar yang rusak dan tidak menerus.

Gambar 2.22 Persoalan Kemacetan Kemacetan di beberapa ruas jalan terjadi akibat jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan dan adanya alih fungsi lahan perkotaan yang kurang terkendali

Gambar 2.21 Lokasi Titik Kumuh di Kota Bandung

Page 17: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

25

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung

2013

2.6.3 Permasalahan Sarana dan Prasarana Kota

A. Air Bersih 1. Kurangnya ketersediaan air baku untuk memenuhi kebutuhan

penduduk, baik secara kuantitas maupun kualitas. 2. Kurangnya prasarana air bersih, pada saat ini tingkat pelayanan

air bersih baru mencapai 53%. Penduduk yang sudah terjangkau jaringan air bersih ini, sebagian besar tidak mendapatkan pelayanan yang optimal.

3. Tingginya tingkat kebocoran, yaitu sebesar 47% pada tahun 2000.

4. Penggunaan air tanah yang cukup tinggi, baik oleh PDAM maupun industri, yaitu mencapai 71% dari besarnya aliran alami air tanah.

B. Air Kotor 1. Masih banyaknya penggunaan sistem setempat dalam

pengolahan limbah, seperti penggunaan cubluk dan pembuangan air cuci dan mandi tanpa saluran, terutama pada lingkungan perumahan yang padat.

2. Terbatasnya kapasitas Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk mengolah air limbah domestik yang dihasilkan.

3. Tidak tersedianya IPAL di beberapa sektor yang membutuhkan pengolahan air limbah khusus, seperti industri.

4. Bercampurnya air hujan dan drainase pada satu saluran menyebabkan besarnya volume air limbah yang harus diolah.

5. Masih banyaknya saluran yang merupakan saluran terbuka di daerah perkotaan.

C. Drainase 1. Kurangnya prasarana drainase mikro dan tidak berfungsinya

drainase yang ada. Tidak berfungsinya drainase ini disebabkan karena terjadinya penyempitan saluran drainase akibat perkembangan kota.

2. Pendangkalan dan penyempitan drainase makro. 3. Saluran drainase di bagian tenggara, wilayah Gedebage lebih

rendah dari permukaan sungai. 4. Tidak terintegrasinya di satu wilayah dengan wilayah lainnya. 5. Berubahnya fungsi saluran irigasi menjadi drainase, khususnya

di Bandung Timur. Permasalahan-permasalahan di atas menyebabkan banyaknya daerah genangan banjir di Kota Bandung. Banyaknya titik genangan banjir terutama di pusat kota yaitu di Kelurahan Suka Bungah, Pasteur, Tamansari, Babakan Ciamis, Cihapit, Cicadas, Sukamaju, Kacapiring, Samoja, Braga, Paledang, Cikawao, Balong Gede, Lingkar Selatan, Turangga, Cijagra, dan Batu Cikal. Pada saat musim hujan tiba, di Kota Bandung sering dilanda banjir, yang biasanya merupakan banjir Cileuncang. Banjir dan angin

Gambar 2.25 Pasar Tumpah Kegiatan pasar tumpah akibat para pedagang menempati badan jalan dapat mengurangi kapasitas jalan sehingga memicu kemacetan lalu lintas

Gambar 2.24 Persoalan Angkutan Umum Tidak adanya kantong pemberhentian dan lokasi pangkalan sementara bagi angkutan umum dapat memicu terjadinya kemacetan lalu lintas

Gambar 2.26 Permasalahan Air Bersih Fasilitas air bersih belum dapat memenuhi kebutuhan seluruh penduduk Kota Bandung

Gambar 2.27 Permasalahan Drainase Beberapa persoalan drainase: ! Saluran drainase

yang mampet karena adanya sampah (atas)

! Terjadinya sedimentasi (tengah)

! Bangunan yang berada di atas saluran (bawah)

Gambar 2.28 Banjir di Bandung Timur Sistem drainase belum terencana dengan baik sehinggatidak mampu menampung air hujan dan akhirnya menimbulkan daerahgenangan banjir.

Page 18: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

26

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

kencang menyebabkan banyak ruas jalan yang terendam air dan banyak pohon yang tumbang hingga ke jalan raya dan menimpa kendaraan yang pada akhirnya menyebabkan kemacetan, yang sekarang ini sering terjadi adalah pada ruas jalan seperti Jl. Kopo, Jl. Mohammad Toha, Jl. Buahbatu, Jl. Gedebage, Jl. Terusan Pasteur, Jl. Pasirkoja, Jl. Soekarno-Hatta, Jl. Kopo Cirangrang, Jl. Lengkong Kecil, Jl. Gatot Subroto, Jl. Turangga, Jl. Laswi, dan Jl. Pelajar Pejuang.

D. Persampahan 1. Tingginya produksi sampah. 2. Kurangnya sarana pengolahan sampah, seperti TPS, TPA, dan

armada pengangkut. Memperhatikan jumlah sampah yang ada pada saat ini, pada dasarnya daya tampung TPA Jelekong dan Leuwi Gajah sudah mendekati maksimal.

Tingginya produksi sampah dan kurangnya sarana ini menyebabkan masih banyaknya sampah yang tidak terangkut dan tidak diolah, yang pada gilirannya dapat menyebabkan polusi udara, air, dan tanah. E. Pemadam Kebakaran 1. Terbatasnya debit air menyebabkan sulitnya kerja petugas

pemadam kebakaran pada saat terjadinya kebakaran. 2. Banyaknya kampung-kampung kumuh dengan kepadatan

tinggi juga menyulitkan sulitnya pemadaman api pada saat terjadi kebakaran.

3. Distribusi pos-pos pemadam kebakaran yang kurang merata.

F. Energi dan Telekomunikasi Banyaknya kabel saluran udara, terutama di daerah padat penduduk, menyebabkan rendahnya kualitas visual.

G. Fasilitas Sosial dan Umum 1. Pendidikan

a. Tidak meratanya distribusi fasilitas pendidikan. b. Tidak meratanya tingkat pelayanan fasilitas pendidikan,

menyebabkan tumbuhnya sekolah-sekolah favorit, yang pada akhirnya menyebabkan tidak meratanya distribusi pergerakan bersekolah.

c. Berkembangnya fasilitas pendidikan swasta di lokasi-lokasi yang tidak sesuai.

d. Tidak tersedianya fasilitas parkir yang memadai sehingga kendaraan parkir secara on street (on street parking).

2. Kesehatan a. Tidak meratanya distribusi fasilitas kesehatan, terutama

apotek, rumah sakit swasta, dan praktek dokter. b. Fasilitas kesehatan terutama Rumah Sakit tidak dilengkapii

dengan ruang parkir yang memadai.

3. Perdagangan a. Berkembangnya fasilitas perdagangan, seperti factory

outlet, cafeé, dan mall, pada lokasi-lokasi yang tidak sesuai, ditinjau dari peruntukan lahan dan daya dukung prasarana.

b. Berkembangnya fasilitas perdagangan pada jarak yang terlalu dekat satu sama lain pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain terdapat juga daerah-daerah yang tidak terlayani oleh fasilitas perdagangan.

4. Peribadatan Berkembangnya fasilitas peribadatan dengan pesat tanpa hirarki yang jelas, sehingga banyak fasilitas peribadatan yang pemanfaatannya tidak optimal.

5. Sarana Umum Terbatasnya taman-taman umum dan taman bermain, terutama pada lingkungan perumahan. Khusus untuk wilayah Bandung Timur yang belum berkembang, dapat dikatakan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana masih sangat terbatas.

Gambar 2.30 Kepadatan Bangunan Kepadatan bangunan yang tinggi dapat menyebabkan turunnya kualitas lingkungan, rendahnya tingkat kenyamanan dan sulitnya pemadaman api pada saat terjadi kebakaran

Gambar 2.31 Parkir On Street Parkir on street terjadi karena fasilitas sosial dan umum tidak dilengkapi dengan ruang parkir yang memadai sehingga dapat menimbulkan kemacetan lalu lintas. Dari atas ke bawah: Sekolah di Jl. Ir. H. Djuanda, Studio Foto di Jl. Banda, dan tempat kursus

Gambar 2.29 Sampah Menggunung di Sekitar Pasar

Page 19: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

27

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung

2013

2.6.4 Permasalahan Sosial Ekonomi

Permasalahan sosial ekonomi yang terjadi diantaranya adalah: 1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi terutama dari migrasi

(urbanisasi). 2. Penanganan kawasan kumuh (slum) dan lingkungan buruk (bad

environment) tidak dibarengi dengan upaya pengendalian migrasi. Berkaitan dengan kawasan kumuh di Kota Bandung terjadi okupansi pemukiman pada daerah kiri-kanan bantaran sungai serta disepanjang jalur rel kereta api.

3. Pasar modern (mall, supermarket, hypermarket, departemen store, dsb) yang dibangun di Kota Bandung hanya menjadi tempat penjualan barang-barang produksi dari luar, sehingga nilai tambahnya bagi Kota Bandung sangat kecil.

4. Struktur industri belum berbasis pada sumberdaya lokal sehingga sangat dipengaruhi oleh perubahan eksternal (struktur industri sangat rapuh terhadap pergolakan ekonomi global dan sensitif terhadap nilai tukar).

5. Pemberdayaan UKM dan Koperasi sebagai tulang punggung dan katup pengaman perekonomian kota belum dilaksanakan secara optimal, sehingga kontribusinya terhadap perekonomian masih sangat rendah.

6. Maraknya pedagang kaki lima yang umumnya pendatang dan menyebar secara tidak tertib (menempati ruang-ruang publik). Kesadaran masyarakat pada keindahan dan kebersihan kota sangat kurang.

7. Perdagangan informal khususnya pedagang kaki lima, telah lama berkembang dan diakui sebagai pengaman pada masa krisis perekonomian. Meskipun demikian banyak permasalahan yang dihadapi dengan adanya pedagang informal, khususnya pedagang kaki lima yang tidak tertata, antara lain: a. menimbulkan kekumuhan kota (secara visual, kotor, dll). b. mengubah/mengganggu ruang publik (trotoar, taman,

parkir). c. menimbulkan eksternalitas negatif (kemacetan,

penimbunan sampah). d. beroperasi di luar kerangka hukum (melanggar aturan,

pemalakan, monopoli ruang publik, dll). e. omzetnya besar tetapi sumbangan terhadap PAD tidak

sebanding.

f. okupansi lahan kota oleh masyarakat marginal yang pada awalnya sebagai usaha untuk survive cenderung menjadi power yang semakin sulit dibenahi.

g. terjadinya ekskalasi kemapanan usaha PKL dari non permanen ke permanen, baik dalam hal pola penempatan, penyebaran PKL, serta bentuk wadah usaha.

2.7 Limitasi Pengembangan

Kota Bandung memiliki limitasi yang perlu dipertimbangkan dalam pembangunan kota, di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Bentuk bentang alam Kota Bandung yang berupa cekungan

dengan ketinggian rata-rata 791 meter di atas permukaan laut (dpl) memiliki morfologi tanah yang terbagi dalam dua hamparan.

2. Di sebelah utara relatif berbukit-bukit kecil dan di sebelah selatan merupakan daerah dataran. Hal ini mengakibatkan pemanfaatan lahan tidak dapat optimal karena sebagian lahan berupa perbukitan.

3. Sebagian wilayah utara Kota Bandung tidak cocok untuk pengembangan permukiman karena rawan longsor dan bentang alamnya memiliki kelerengan yang tinggi.

4. Keterbatasan lahan di Kota Bandung untuk pengembangan. Lahan non terbangun yang dimiliki Kota Bandung sangat minim, yaitu dengan luas sekitar 5.360,61 Ha atau 32,04% dari luas keseluruhan lahan. Ruang terbuka hijau yang dalam pengelolaan Dinas Pertamanan dan Pemakaman hanya berkisar 243,79 Ha atau 1,45 %. Luas kawasan terbangun sebesar 11.369,39 Ha atau 67,96% dari luas keseluruhan.

Gambar 2.32 Persoalan Pedagang Kaki Lima PKL yang menempati trotoar dan badan jalan menyebabkan terganggunya pejalan dan pengendara sehingga dapat menimbulkan kemacetan lalu lintas. Selain itu, PKL yang tidak tertata dapat memberikan visualisasi yang semrawut pada kota. Dari atas ke bawah: PKL di Jl. Merdeka, PKL di Jl. Purnawarman, dan PKL di Jl. Dalem Kaum

Gambar 2.33 Limitasi Bandung Utara Sebagian wilayah Bandung Utara tidak cocok untuk pengembangan permukiman karena rawan longsor dan bentang alamnya memiliki kelerengan yang tinggi

Page 20: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

28

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

5. Adanya Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 49 Tahun 2000 tentang Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP), membatasi pembangunan secara vertikal, terutama di sekitar kawasan yang telah ditetapkan dalam aturan tersebut. Peta KKOP dapat dilihat pada Gambar 2.34 dan Ilustrasi 3 dimensi KKOP dapat dilihat pada Gambar 2.35. Adapun ketentuan yang termasuk dalam KKOP, adalah: ! Permukaan Pendekatan dan Lepas Landas, yaitu permukaan

di bawah lintasan pesawat udara setelah lepas landas atau akan mendarat, yaitu sejauh 15 Km dari ujung landasan dengan kemiringan 2%.

! Kawasan Kemungkinan Bahaya Kecelakaan, yaitu bagian dari kawasan Pendekatan dan Lepas Landas, yaitu sejauh 3 Km dari ujung landasan.

! Permukaan Transisi, yaitu bidang miring sejajar poros landasan sampai 315 m dari sisi landasan, dengan kemiringan 14,3% sampai memotong Permukaan Horizontal Dalam.

! Permukaan Horizontal Dalam, yaitu bidang datar di atas dan di sekitar bandara dengan radius 4 m dari ujung landasan/permukaan utama dengan ketinggian +51 m di atas ketinggian ambang landasan yang ditetapkan, yaitu ambang landasan 29 dengan ketinggian + 731,783 m dpl, sehingga ketinggian Permukaan Horizontal Dalam ini adalah + 782,783 dpl.

! Permukaan Kerucut, yaitu bidang miring antara jarak 4 Km sampai 6 Km dari ujung landasan/ permukaan utama, dengan kemiringan 5%, yang meng-hubungkan tepi luar

Permukaan Horizontal Dalam dengan tepi Dalam Permukaan Horizontal Luar.

! Permukaan Horizontal Luar, yaitu bidang datar di sekitar bandara dengan radius mulai dari 6 Km sampai 15 Km dari ujung landasan, dengan ketinggian + 156 m di atas ketinggian ambang landasan atau ketinggian + 887,783 m dpl.

Berdasarkan kepentingan KKOP Bandara Husein Sastranegara tersebut, maka pengaturan ketinggian bangunan di wilayah Kota Bandung harus dihitung secara cermat sesuai dengan lokasi dan ketinggian di atas permukaan laut.

Gambar 2.34Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan di Sekitar Bandar Udara Husein Sastranegara Bandung

Tabel 2.1 Limitasi Perkotaan Kota Bandung

No Limitasi

1 Keterbatasan luas lahan untuk pengembangan kota yang hanya 16.729 Ha

2 Fisiografi Kota Bandung berupa cekungan, maka pemanfaatan lahan tidak leluasa dan menjadi perangkap sirkulasi udara kota

3 Rawan genangan banjir

4 Rentan dampak bencana gempa

5 Sumber air baku terbatas

6 Aturan keselamatan penerbangan membatasi pembangunan secara vertikal

Sumber : Hasil Analisis, 2001

Page 21: BAB 2 Perkemb & Permasalahan Kota Bdg

29

Perkembangan dan Permasalahan Kota Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung

2013

Gambar 2.35 3 Dimensi Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan di Sekitar Bandar Udaraa Husein Sastranegara Bandung

Sumber: Dep. Perhubungan Direktorat Perhubungan Udara, berdasarkan Kepmen perhubungan No. KM 49 Tahun 2000


Top Related