10
BAB 2
LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Landasan Teori
Pada bagian ini, peneliti akan membahas hal-hal berkaitan dengan variabel-variabel
yang diteliti di dalam penelitian ini, yaitu meliputi experiential marketing, celebrity
endorsement, brand, brand trust, dan brand loyalty.
2.1.1 Experiential Marketing
Sebelum peneliti menjelaskan mengenai definisi dari experiential marketing, terlebih
dahulu, peneliti akan menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan experience tersebut
menurut beberapa peneliti.
Menurut Keller (Yang, 2009, p248), “experience” berasal dari kata “exprientia”, yang
berarti menjelajahi dan mencoba. Keller juga mempercayai bahwa experience (pengalaman)
adalah suatu persepsi setelah mengalami suatu periode waktu atau kejadian dan kemajuan
dari suatu proses.
Pendapat Schmitt mengenai definisi dari pengalaman banyak dikutip oleh para
peneliti, berikut adalah definisi pengalaman menurut Schmitt yang dikutip dalam tiga
penelitian yang berbeda. Pertama, Schmitt (Lee, Chang, Hou, dan Lin, 2008, p219)
menganjurkan sebuah gagasan mengenai pengalaman, yaitu sebagai tanggapan indiv idu
terhadap rangsangan tertentu yang disebabkan oleh suatu kejadian. Kedua, Schmitt (Yang,
2009, p248) mendefinisikan pengalaman sebagai kejadian umpan balik indiv idu yang terjadi
dalam beberapa stimulasi atau rangsangan (dengan kata lain, yaitu usaha pemasaran
sebelum dan sesudah pembelian), dan pengalaman melibatkan sifat hidup yang lengkap.
Ketiga, Schmitt (Lin, 2006, pp21-22) mendefinisikan pengalaman sebagai kejadian pribadi
11
yang terjadi sebagai tanggapan terhadap beberapa stimulasi dan melibatkan seluruh
makhluk di kehidupan; pengalaman sering dihasilkan dari observasi langsung dan/atau
partisipasi-partisipasi pada kejadian-kejadian tertentu, baik apakah kejadian tersebut nyata,
mimpi, atau virtual.
Carbone (Yang, 2009, p248) menyatakan pengalaman sebagai gambaran yang
pelanggan milik i dalam pik iran setelah berhadapan dengan produk-produk, jasa-jasa, dan
perusahaan-perusahaan, dan ini merupakan persepsi yang dihasilkan dari beragam arti
informasi dalam suatu kombinasi.
Gupta dan Vajic (Lin, 2006, p22) menyatakan bahwa pengalaman terjadi ketika
seorang pelanggan memilik i perasaan atau akuisisi pengetahuan yang dihasilkan dari
beberapa tingkatan interaksi dengan elemen-elemen yang berbeda dari suatu konteks yang
diciptakan oleh seorang penyedia layanan.
Menurut Pine dan Gilmore (Yang, 2009, pp248-249), pengalaman-pengalaman
datang dari interaksi-interaksi pik iran pribadi seseorang dan kejadian-kejadian di dalamnya,
jadi tidak akan ada pengalaman-pengalaman yang identik dengan orang lain.
Di atas telah dijelaskan beragam penjelasan mengenai apa yang dimaksud dari kata
pengalaman itu sendiri. Selanjutnya, peneliti akan membahas definisi dari experiential
marketing yang menjadi salah satu fokus utama dari penelitian ini.
Schmitt (Lin, 2006, p24) mengemukakan definisi dari experiential marketing, yaitu
setiap konsumen yang mengalami beberapa stimulasi yang dihasilkan dari observasi
langsung dan/atau partisipasi dalam kejadian-kejadian tertentu, yang menghasilkan motivasi,
konsensus kognitif, dan perilaku pembelian.
Urquhart Ross menyatakan bahwa experiential marketing merupakan jenis metode
komunikasi tatap muka yang terutama menimbulkan perasaan fisik dan emosional
pelanggan, di mana menurut Robin, hal tersebut menyebabkan pelanggan berharap agar
12
relevan dan interaktif terhadap beberapa merek dan merasakan serta mengalami sepenuh
hati (Ming, 2010, p190).
Schmitt (Lin, 2006, p26) menyatakan bahwa experiential marketing didasarkan pada
teori psikologi, yang juga bersifat praktis, yang terdiri dari teori pelanggan secara indiv idu
dan perilaku sosialnya.
Menurut Jaffe (2007, p94), experiential marketing menawarkan tingkat keterlibatan
pribadi yang tidak dapat ditawarkan oleh bentuk-bentuk media lainnya. Experiential
marketing menawarkan cara-cara baru dan inovatif untuk menyampaikan suatu pesan dan
melakukannya dengan cara-cara yang dapat menghubungkan dengan dampak yang
maksimum dan resonansi yang abadi.
2.1.1.1Strategic Experiential Modules
Menurut Schmitt (Wang, 2008, p45; Yang, 2009, p249), experiential marketing terdiri
dari lima modul pengalaman strategis (strategic experiential modules) yang merupakan dasar
dari experiential marketing tersebut. Lin (2006, p26) menyatakan strategic experiential
modules (SEMs) sebagai lima jenis pengalaman pelanggan. Schmitt (Yang, 2009, p249)
mengusulkan 5 modul pengalaman strategis untuk menawarkan kepada pelanggan bentuk-
bentuk yang berbeda dari pengalaman-pengalaman, yaitu sense, feel, think, act, dan relate.
Schmitt (Lee, Chang, Hou, dan Lin, 2008, p220) juga menyatakan bahwa kelima modul
pengalaman tersebut menggambarkan tentang keterlibatan konsumen terhadap kelima
bentuk pengalaman tersebut.
Menurut Schmitt (Lin, 2006, p63), kelima bentuk pengalaman tersebut merupakan
lima dimensi yang menjadi dasar pengukuran dari experiential marketing.
a. Sense
Schmitt (Yang, 2009, p249) menyatakan bahwa sense marketing berfokus pada lima
indera, yaitu penglihatan (sight), pendengaran (sound), penciuman (smell), perasa (taste),
13
dan peraba (touch). Sense marketing biasanya distimulasikan melalui indera, dengan
menawarkan kegembiraan, rangsangan, dan kepuasan akan keindahan. Sebagai contoh,
desain interior, dekorasi, dan music jazz di Starbucks.
Chuang (Wang, 2008, p47) menyatakan bahwa semakin banyak rangsangan indrawi
yang diberikan oleh suatu pengalaman, maka akan semakin banyak ingatan (memory) yang
dimilik i oleh seseorang. Schmitt menyatakan bahwa penggunaan dari ilmu-ilmu keindahan
atau seni untuk menstimulasi indera pelanggan dipertimbangkan sebagai strategi yang baik
untuk menciptakan identitas suatu produk. Untuk itu, sangat penting bagi suatu perusahaan
untuk menerapkan konsep dari keindahan pada desain produk mereka, seperti pada
kemasan dan pengiriman pesan mereka.
Menurut Schmitt (Yang, 2009, p250), jika dikelola dengan baik, sense marketing
mampu membedakan perusahaan dan produk, merangsang pengalaman indera pelanggan
dan mengirimkan nilai-nilai kepada pelanggan. Kunci sukses dari sense experience adalah
dengan memastikan konsistensi dan menciptakan perbedaan.
b. Feel
Schmitt (Wang, 2008, p47) menyatakan bahwa feel marketing menarik perasaan
batin (inner feeling) dan emosi (emotion) pelanggan. Hal serupa dikutip pula oleh Yang
(2009, p249), yaitu “Schmitt menyatakan bahwa feel marketing berfokus pada perasaan
batin dan emosi pelanggan, dengan menargetkan untuk menciptakan pengalaman
emosional”.
Perasaan merupakan keadaan pik iran yang dihasilkan dari alasan-alasan yang tidak
spesifik (Wang, 2008, p47). Menurut Schmitt (Yang, 2009, p249), sebagian besar dari
perasaan-perasaan di dalam diri ditemui selama periode pengkonsumsian. Sedangkan emosi
berasal dari sumber-sumber yang spesifik, seperti kemarahan atau kegelisahan (Wang, 2008,
p47). Schmitt (Yang, 2009, p249) menyatakan bahwa feel marketing harus dioperasikan
dengan pengertian tentang jenis stimulasi yang dapat menggerakkan emosi dan mendorong
14
konsumen untuk secara otomatis berpartisipasi. Sebagai contoh, Starbucks membuat
konsumen-konsumennya berpik ir bahwa minum kopi itu romantis.
c. Think
Schmitt (Yang, 2009, p249) menyatakan bahwa think marketing berfokus pada
kecerdasan, dengan menargetkan untuk menciptakan pemikiran kognitif dan menyelesaikan
masalah-masalah untuk konsumen-konsumen dengan menggunakan cara-cara yang kreatif.
Wang (2008, p47) menyatakan bahwa ada dua jenis pemikiran (thinking), yaitu
konvergen dan divergen. Pemikiran konvergen (convergent thinking) dimaksudkan untuk
menganalisa dan mengambil keputusan terhadap suatu masalah spesifik. Pemikiran divergen
(divergent thinking) dimaksudkan untuk menciptakan sesuatu dengan mengikuti kehendak
seseorang dan memilik i gaya yang bebas dan kuat yang penuh dengan bakat. Strategi
pemasaran terhadap pemikiran konvergen pelanggan adalah dengan menawarkan pelanggan
dengan informasi yang cukup sebagai referensi bagi keputusan mereka. Sedangkan strategi
untuk pemikiran divergen pelanggan, yaitu pengetahuan tentang sebuah produk dianggap
penting untuk penciptaan citra terkait dengan produk.
Menurut Schmitt (Yang, 2009, pp249-250), permintaan akan think marketing datang
dari kejutan dan minat, menarik konsumen-konsumen untuk berpik ir dan berkonsentrasi.
Think marketing mendorong konsumen-konsumen untuk berpik ir dengan perhatian lebih dan
menjadi kreatif untuk menggerakkan semua itu untuk mengevaluasi perusahaan-perusahaan
dan produk-produk. Ketika orang-orang butuh untuk berpik ir lagi tentang asumsi-asumsi dan
harapan-harapan lama, think marketing memungkinkan untuk merespon pemikiran tersebut.
Bahkan hal tersebut kadang-kadang bisa menimbulkan pergeseran pola pik ir.
d. Act
Act experience dalam hal ini ditujukan untuk menciptakan pengalaman jasmaniah
yang unik (Lee, Chang, Hou, dan Lin, 2008, p220). Schmitt (Yang, 2009, p250) menyatakan
bahwa act marketing berfokus untuk memengaruhi pengalaman fisik, gaya hidup, dan
15
interaksi. Act marketing meningkatkan pengalaman lahiriah untuk menemukan penggantian
untuk gaya hidup, interaksi, dan memperkaya kehidupan konsumen.
Schmitt (Wang, 2008, p48) juga menyatakan bahwa act marketing memperkaya
kehidupan pelanggan dengan menargetkan pada pengalaman fisik mereka, menunjukkan
kepada mereka jalan alternatif untuk melakukan sesuatu, serta melalui gaya hidup alternatif
dan interaksi.
Menurut Schmitt (Yang, 2009, p250), strategi act marketing didesain untuk
menciptakan pengalaman konsumen untuk pola perilaku dan gaya hidup jangka panjang,
yang termasuk pengalaman setelah berinteraksi dengan orang lain. Sebagai contoh,
Starbucks mencoba untuk membuat orang berpik ir bahwa Starbucks merupakan tempat yang
baik untuk menjadi lokasi keluarga dan kerja di luar.
e. Relate
Schmitt (Yang, 2009, p250) menyatakan bahwa relate marketing melibatkan sense,
feel, think, dan act marketing. Bagaimanapun, relate marketing melibatkan kepribadian
seseorang, emosi, ditambah dengan “pengalaman pribadi” yang membuat hubungan di
antara diri sendiri dan orang lain atau bahkan budaya-budaya.
Dalam hal ini, peneliti mengamati bahwa relate marketing termasuk salah satu faktor
yang berperan dalam memengaruhi keputusan konsumen untuk membeli, seperti yang
diungkapkan oleh Blackwell dan kawan-kawan beserta Solmon (Wang, 2008, p48) bahwa
pengaruh dari budaya, ras, status, dan opini pemimpin sangat penting dalam proses
pembelian konsumen.
Menurut Schmitt (Yang, 2009, p250), relate marketing biasanya dibutuhkan untuk
peningkatan diri akan keinginan pribadi, dan membutuhkan orang lain, seperti teman
sekelas, pacar, istri atau suami, keluarga, atau rekan kerja, untuk menunjukkan perasaan
yang menyenangkan dengan tujuan untuk menghubungkan orang-orang dengan sistem
sosial yang lebih luas.
16
2.1.1.2Implementasi Experiential Marketing
Menurut Schmitt (Lin, 2006, p27), experiential provider merupakan komponen-
komponen implementasi taktis dalam penyelesaian pemasar untuk menciptakan kampanye
sense, feel, think, act, dan relate. Schmitt (Wang, 2008, p45) menyatakan bahwa
pengalaman-pengalaman, yaitu pengalaman indrawi (sense), pengalaman afektif (feel)
pengalaman kognitif kreatif (think), pengalaman jasmani, perilaku, dan gaya hidup (act), dan
relate, diimplementasikan melalui apa yang disebut dengan experience providers (ExPros).
Experiential provider (Lin, 2006, p27) terdiri dari komunikasi, identitas v isual dan
verbal, kehadiran produk, co-branding, lingkungan spasial, media elektronik, dan orang-
orang. Pada Tabel 2.1 dijelaskan lebih lanjut mengenai sebagian besar dari experiential
provider tersebut.
Tabel 2.1 Experiential Provider (ExPros)
Provider Bentuk
Komunikasi Terdiri dari perik lanan, komunikasi eksternal dan
internal perusahaan (seperti katalog, brosur dan surat
kabar, laporan tahunan, dan lain-lain) begitu juga
dengan kampanye hubungan publik (public relations)
dari suatu merek.
Identitas Visual atau Verbal Termasuk nama-nama, logo-logo, dan signage.
Co-Branding Termasuk pemasaran event dan sponsorship, aliansi
dan partnership, lisensi, penempatan produk di
bioskop-bioskop, co-op campaigns, dan bentuk-bentuk
pengaturan kerjasama lainnya.
Lingkungan Spasial Termasuk bangunan, perkantoran, dan lingkup atau
wilayah pabrik, retail, dan tempat-tempat umum, serta
tempat-tempat perdagangan.
17
Provider Bentuk
Situs Web dan Media Elektonik Termasuk situs web, ik lan banner, chat room, dan
pelelangan karya seni.
Orang-Orang Termasuk tenaga penjual, perwakilan perusahaan,
penyedia layanan, dan pihak lainnya yang dapat
diasosiasikan dengan suatu perusahaan atau merek.
Sumber: Schmitt (Lin, 2006, p28)
2.1.2 Celebrity Endorsement
Celebrity Endorsement oleh McCracken (Byrne, Whitehead, dan Breen, 2003, p290;
James, 2003, p4) didefinisikan sebagai semua indiv idu yang menikmati pengenalan publik
dan menggunakan pengenalan ini untuk kepentingan produk konsumen dengan tampil
bersama produk tersebut dalam suatu ik lan.
Definisi selebriti dalam hal ini, menurut Speck, Schumann dan Thompson (Choi,
2002, p5) adalah indiv idu yang dikenal oleh publik. Contoh orang yang dapat dikategorikan
sebagai selebriti antara lain adalah tokoh olahraga, aktor atau aktris, dan para entertainer.
Nelson (2010, p73) mendefinisikan selebriti sebagai orang-orang yang berpengaruh atau
orang-orang yang terkenal khususnya di industri hiburan atau di lingkaran bisnis. Definisi
selebriti menurut Patra dan Datta (2010, p57) adalah orang-orang yang sukses dalam profesi
mereka, yang menikmati pengakuan publik dan memilik i sangat banyak penggemar berikut
dengan perhatian media.
Di dalam penerapan celebrity endorsement terdapat celebrity endorser yang
berperan penting di dalamnya. Friedman and Friedman (James, 2003, p4) mendefinisikan
celebrity endorser sebagai indiv idu yang dikenal oleh publik (seperti aktor, tokoh olahraga,
entertainer) untuk pencapaiannya dalam area-area selain daripada kategori produk yang
didukung. Definisi yang hampir serupa dinyatakan oleh Carroll (2009, p150), yaitu celebrity
(Lanjutan Tabel 2.1)
18
endorser didefinisikan sebagai setiap indiv idu yang menikmati pengakuan publik dan yang
menggunakan pengakuan ini atas nama barang-barang konsumsi dengan tampil bersamanya
dalam suatu ik lan. Dalam penelitiannya, James (2003, p4) meluaskan definisi dari celebrity
endorser dengan mencakup selebriti-selebriti yang mendukung produk-produk yang
berhubungan dengan area keahlian mereka, seperti seorang atlet yang mendukung pakaian
dan peralatan olahraga.
2.1.2.1Atribut Celebrity Endorsement
Menurut Shimp (2010, p251) terdapat dua atribut umum yang berkontribusi
terhadap efektifitas endorser, yaitu credibility dan attractiveness, di mana masing-masing
dari atribut tersebut, terdiri lagi subatribut-subatribut tertentu. Choi (2002, p11) di dalam
penelitiannya menyatakan bahwa model kredibilitas sumber (source credibility) dan daya
tarik sumber (source attractiveness) sudah secara luas digunakan untuk menguji pengaruh
dari celebrity endorsement.
Lain halnya dengan Kelman yang memilik i pendapat sedik it berbeda dengan Shimp
dan Choi. Kelman (Byrne, Whitehead, dan Breen, 2003, pp291-292) mengidentifikasi tiga
atribut kunci yang mendasar untuk kesuksesan transfer, yaitu credibility, attractiveness, dan
power. Power sebagai dimensi terakhir, terjadi apabila seorang sumber memilik i kemampuan
untuk memberikan hadiah atau hukuman. Sebagai akibat adanya kekuatan (power), seorang
endorser akan mampu untuk membujuk orang lain agar mau merespon terhadap permintaan
atau posisi yang dianjurkan oleh sumber. Namun, power sangat sulit untuk diterapkan di
dalam perik lanan.
Kelman memang mengidentifikasi adanya tiga atribut kunci untuk mendukung
keefektifan penerapan celebrity endorsement, namun beliau juga menyatakan bahwa power
sangat sulit untuk diterapkan dalam perik lanan yang merupakan salah satu bentuk program
pemasaran. Untuk itu dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan dua atribut untuk
19
menguji pengaruh penerapan celebrity endorsement melalui adanya penggunaan celebrity
endorser, kedua atribut tersebut adalah credibility dan attractiveness.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa, baik credibility maupun
attractiveness, masing-masing terbagi lagi ke dalam subatribut-subatribut tertentu. Shimp
(2010, p251) menyatakan bahwa akronim TEARS biasa digunakan untuk melambangkan
kelima subatribut yang menjadi karakteristik dari endorser, subatribut-subatribut tersebut
adalah trustworthiness, expertise, physical attractiveness, respect, dan similarity. Berikut ini
adalah penjelasan dari masing-masing atribut-atribut dan subatribut-subatribut tersebut.
a. Credibility : Proses Internalisasi
Menurut Hovland, Janis, Kelley, dan Weiss (Choi, 2002, p9), efektiv itas endorser
telah dipelajari dengan kebanyakan menerapkan model kredibilitas sumber. Credibility
(kredibilitas) mengacu pada kecenderungan untuk percaya pada seseorang (Shimp, 2010,
p252). Definisi lainnya dari credibility, yaitu sejauh mana penerima melihat seorang sumber
memilik i pengetahuan, ketrampilan atau pengalaman yang relevan dan mempercayai bahwa
sumber memberikan informasi yang tidak memihak dan objektif (Byrne, Whitehead, dan
Breen, 2003, p291).
Masterman (2007, 109) berpendapat bahwa konsumen lebih cenderung mengadopsi
tingkah laku yang didukung dengan adanya suatu asosiasi dengan catatan bahwa mereka
dapat mengidentifikasikan hal tersebut, selain itu, jika asosiasi dipersepsikan sebagai sesuatu
yang kredibel, dikarenakan keahlian yang dimilik i dengan menggunakan suatu produk atau
jasa yang didukung, maka konsumen cenderung ingin membelinya. Menurut Atkin, Block,
Freiden, Kamins, Gupta, Brand, Hoeke, Moe, Ohanian, Petty, dan Cacciopo (Choi, 2002, p9),
selebriti pada umumnya dipandang lebih kredibel dan pada gilirannya mendesak efek yang
lebih besar terhadap sikap dan niat pembelian daripada seseorang yang bukan selebriti.
Ketika seorang sumber informasi, seperti seorang endorser, dianggap credible, sikap
audience berubah melalui proses psikologis yang disebut sebagai internalisasi. Internalisasi
20
terjadi ketika receiver menerima posisi dari endorser atas suatu persoalan atau isu (Shimp,
2010, p252). Pernyataan serupa juga terdapat pada penelitian lain, yaitu dikatakan bahwa
informasi dari sumber yang kredibel memengaruhi keyakinan, opini, sikap, dan tingkah laku
melalui proses yang dinamakan internalisasi, yang terjadi ketika penerima mengadopsi opini
dari sumber yang kredibel, dikarenakan adanya informasi yang akurat (Byrne, Whitehead,
dan Breen, 2003, p291). Sikap yang terinternalisasi cenderung bertahan sekalipun sumber
dari pesan tersebut terlupakan atau sekalipun sumbernya berganti ke posisi yang lain
(Shimp, 2010, p252).
Menurut Sternthal, Phillips, dan Dholakia, riset mengenai kredibilitas sumber telah
menunjukkan bahwa dalam kebanyakan situasi, sumber yang sangat kredibel lebih efektif
daripada sumber yang kurang kredibel. Ohanian menyatakan bahwa sumber yang sangat
kredibel ditemukan juga dapat menghasilkan perilaku positif yang lebih terhadap posisi yang
dianjurkan oleh sumber dan untuk mendorong perubahan perilaku yang lebih daripada yang
bisa dihasilkan oleh sumber yang kurang kredibel (Choi, 2002, p9).
Model kredibilitas sumber menunjukkan bahwa efektifitas pesan tergantung pada
tingkat expertise dan trustworthiness yang disampaikan oleh seorang selebriti atau sumber
(Carroll, 2009, p150). Hal serupa juga diungkapkan oleh Shimp (2010, p252) di dalam
bukunya, yaitu dua subatribut penting dari kredibilitas seorang endorser yang menjadi
komponen dari TEARS adalah trustworthiness dan expertise. Sama halnya dengan Carroll
dan Shimp, Byrne, Whitehead, dan Breen (2003, p291) di dalam penelitiannya menyatakan
bahwa terdapat dua bagian penting dari credibility, yaitu expertise dan trustworthiness. Choi
pun demikian, di dalam penelitian Choi (2002, p9), beliau menyatakan bahwa model
kredibilitas sumber mengidentifikasi expertise dan trustworthiness sebagai dua dimensi dari
kredibilitas sumber yang memengaruhi efektifitas pesan yang dikomunikasikan oleh sumber.
Shimp (2010, p252) menyatakan bahwa trustworthiness, yang merupakan komponen
T dari TEARS, mengacu pada kejujuran, integritas, dan sifat dapat dipercaya dari suatu
21
sumber. Ohanian (Choi, 2002, p9) menyatakan bahwa trustworthiness mengacu pada
keyakinan atau kepercayaan konsumen pada komunikator dalam menyampaikan pesan
dengan kejujuran dan tanpa adanya prasangka.
Secara umum, seorang endorser harus membuat agar mereka dipercaya tidak
sedang berusaha memanipulasi target pasar dan mereka memang objektif dalam presentasi
mereka. Dengan melakukan hal tersebut, mereka membentuk diri mereka sebagai orang
yang dapat dipercaya, dan oleh karena itu, mereka juga kredibel. Seorang endorser memilik i
kemungkinan yang lebih besar untuk dianggap sebagai orang yang dapat dipercaya, jika
endorser tersebut memilik i kecocokan dengan target pasar dalam hal karakteristik khusus,
seperti jenis kelamin dan etnis (Shimp, 2010, p252).
Expertise, yang merupakan komponen E dari TEARS, oleh Shimp (2010, p252)
dikatakan bahwa expertise mengacu pada pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan
yang dimilik i oleh seorang endorser ketika endorser tersebut dihubungkan dengan merek
yang didukung. Erdogan, Hovland, Janis, dan Kelley (Choi, 2002, p9) mendefinisikan
expertise sebagai tingkatan di mana seorang komunikator dipersepsikan sebagai sumber dari
pernyataan yang valid dan Erdogan juga menyatakan bahwa kemampuan untuk menawarkan
informasi yang akurat datang dari pengetahuan, pengalaman, pelatihan atau ketrampilan
yang sumber milik i.
Shimp (2010, p252) memberikan contoh, yaitu seorang atlet dipertimbangkan
sebagai ahli ketika atlet tersebut mendukung produk yang berkaitan dengan olahraga. Sama
halnya dengan model yang dianggap lebih ahli jika dihubungkan dengan produk-produk
kecantikan dan fashion. Pebisnis yang sukses dianggap sebagai ahli dalam hal perspektif
manajerial. Seorang endorser yang dianggap sebagai ahli dalam suatu bidang tertentu akan
lebih persuasif dalam mengubah opini target pasar terkait dengan area keahlian endorser
tersebut dibandingkan dengan endorser yang tidak dianggap sebagai ahli.
22
b. Attractiveness : Proses Identifikasi
Ketika konsumen menemukan sesuatu pada diri endorser yang dianggap menarik,
persuasi terjadi melalui identifikasi, yaitu, ketika konsumen mempersepsikan celebrity
endorser sebagai sesuatu yang menarik, konsumen kemudian mengidentifikasi endorser
tersebut dan memilik i kecenderungan untuk mengadopsi sikap, perilaku, kepentingan, atau
preferensi tertentu dari si endorser (Shimp, 2010, pp252-253).
Menurut McGuire (Choi, 2002, p10), similarity, familiarity, dan likeability diusulkan
sebagai karakteristik-karakteristik yang memengaruhi keyakinan terhadap pesan dalam
model daya tarik sumber (source attractiveness). Sama halnya dengan Mc Guire, Triandis
(Byrne, Whitehead, dan Breen, 2003, p292) menyatakan bahwa attractiveness meliputi
similarity, familiarity, dan likeability. Kemudian, di dalam penelitian Carroll (2009, p150)
dinyatakan bahwa model daya tarik sumber menunjukkan bahwa konsumen umumnya
memilik i respon yang lebih positif kepada orang-orang yang menarik dan efektifitas pesan
tergantung pada similarity, familiarity, dan kesukaan (lik ing) terhadap endorser (Carroll,
2009, p150).
Melalui apa yang dinyatakan oleh McGuire, Triandis dan Carroll, dapat diamati bahwa
mereka mengusulkan hal serupa untuk model daya tarik sumber, yaitu similarity, familiarity,
dan likeability atau lik ing. Peneliti menemukan bahwa Shimp menawarkan istilah yang agak
berbeda dengan McGuire, Triandis dan Carroll, yaitu melalui adanya konsep TEARS. Di dalam
bukunya, Shimp (2010, p253) menjelaskan komponen TEARS yang menjadi bagian dari
konsep umum attractiveness, yaitu physical attractiveness, respect, dan similarity.
Namun sesungguhnya jika diamati mengenai arti masing-masing subatribut, peneliti
menemukan bahwa istilah yang ditawarkan oleh Shimp memilik i makna yang sama dengan
istilah yang ditawarkan oleh McGuire, Triandis dan Carroll. Peneliti juga mengamati bahwa
terdapat satu istilah yang sama antara konsep yang ditawarkan oleh Shimp dengan McGuire,
Triandis dan Carroll, yaitu similarity. Untuk itu terlebih dahulu peneliti akan menjabarkan arti
23
dari konsep similarity, dan kemudian mengenai familiarity, likeability atau lik ing, physical
attractiveness, beserta respect.
Similarity merupakan kesamaan antara sumber dan penerima (Byrne, Whitehead,
dan Breen, 2003, p292). Erdogan mendefinisikan hal serupa dengan apa yang dinyatakan
oleh Byrne, Whitehead, dan Breen di dalam penelitiannya, yaitu menurut Erdogan (Choi,
2002, p10), similarity mengacu pada kesamaan antara sumber dan penerima pesan.
Similarity merupakan komponen ketiga dari attractiveness dan merupakan S dari model
TEARS, di mana Similarity menampilkan tingkatan di mana seorang endorser cocok dengan
audience dalam hal karakteristik, seperti umur, jenis kelamin, etnis, dan sebagainya (Shimp,
2010, p253).
Familiarity timbul melalui pengetahuan dari sumber melalui adanya exposure yang
berulang-ulang (Byrne, Whitehead, dan Breen, 2003, p292). Erdogan mendefinisikan
familiarity sebagai pengetahuan sumber melalui exposure (Choi, 2002, p10).
Likeability terjadi dari kasih sayang untuk sumber disebabkan oleh penampilan fisik
mereka, perilaku, atau karakteristik pribadi lainnya (Byrne, Whitehead, dan Breen, 2003,
p292). Erdogan mendefinisikan likeability sebagai kasih sayang terhadap sumber sebagai
akibat dari penampilan fisik dan perilaku sumber (Choi, 2002, p10).
Physical attractiveness yang merupakan komponen A dari TEARS, merupakan kunci
pertimbangan dalam banyak hubungan endorsement. Penelitian telah mendukung ekspektasi
intuitif bahwa endorser yang menarik secara fisik menghasilkan evaluasi yang lebih
menguntungkan dari suatu ik lan ataupun merek yang diik lankan daripada komunikator yang
kurang menarik. Respect, R dari model TEARS, merupakan komponen kedua dari atribut
attractiveness. Respect menampilkan kualitas dari kemampuan seorang endorser untuk
dikagumi atau bahkan dipandang karena kualitas pribadi ataupun prestasi yang dicapai oleh
seorang endorser (Shimp, 2010, p253).
24
Berdasarkan penjelasan dari Shimp mengenai komponen yang menjadi bagian dari
konsep umum attractiveness, yaitu physical attractiveness, respect, dan similarity, beserta
McGuire, Carroll dan Triandis yang mengusulkan similarity, familiarity, dan likeability sebagai
karakteristik yang memengaruhi source attractiveness. Maka, peneliti mengamati bahwa
physical attractiveness dan respect bermakna serupa dengan likeability. Namun, pada
dasarnya, pada penelitian ini peneliti lebih mengacu pada konsep yang ditawarkan oleh
banyak peneliti, yaitu similarity, familiarity, dan likeability.
2.1.2.2Implementasi dari Endorsement
Menurut Vemury dan Madhav banyak endorsement gagal karena karakteristik dan
image endorser tidak diriset dan kemudian mereka digunakan dalam komunikasi yang
dibuat-buat yang mencoba untuk dipaksa agar sesuai. Untuk itu, Dyson, Turco, Vemuri dan
Madhav membuat pedoman untuk pemilihan endorser, yang dirangkum dalam FRED, yang
merupakan akronim yang terdiri dari familiarity, relevance, esteem, dan differentiation.
Kemudian oleh Miciak dan Shanklin, model FRED ini dimodifikasi dan ditambah dengan ‘D’
yakni untuk decorum, untuk itu pedoman tersebut namanya menjadi FREDD (Masterman,
2007, pp114-115).
a. Familiarity
Dyson dan Turco menyatakan bahwa familiarity merupakan komponen penting dari
endorser yang efektif. Harus ada kesadaran konsumen dari adanya pengoranisasian
celebrity. Persepsi yang dibutuhkan juga harus merupakan persepsi yang positif di mana
endorser tersebut merupakan sosok yang menyenangkan, ramah, dapat dipercaya, dan tidak
menyinggung. Penting untuk diingat bahwa kebutuhan akan hal-hal tersebut tidak harus
berupa pengenalan di seluruh dunia atau nasional. Pengenalan yang dibutuhkan hanya
berasal dari target pasar yang dimaksud. Riset diperlukan untuk menentukan sifat dan
tingkat keakraban (familiarity).
25
b. Relevance
Menurut Dyson dan Turco, merupakan suatu kebutuhan agar terjalin kecocokan
antara endorser dan target pasar, sehingga target pasar akan merasa nyaman menerima dan
membeli suatu merek jika mereka terhubung dengan endorser.
c. Esteem
Menurut Vemuri dan Madhav, target pasar perlu peduli atau menghormati endorser
dan kebutuhan tersebut cukup untuk dapat membangun kedibilitas dalam hubungan antara
endorser dengan target pasar. Rasa hormat atau peduli tersebut dapat diperoleh dari
kesuksesan dalam kehidupan si endorser, yang bisa saja melalui kemenangan,
kepahlawanan, kepedulian sosial dan terhadap nilai-nilai tertentu.
d. Diferentiation
Menurut Dyson, Turco, Vemuri, dan Madhav, seorang endorser harus bisa keluar dari
keramaian. Dalam hal ini, Charbonneau dan Garland berpendapat bahwa endorsement dapat
tampil berbeda dari adanya keramaian perik lanan, tetapi endorsement harus bisa bersaing
dengan endorsement lainnya. Jadi seorang endorser harus cukup berbeda untuk dapat
menangkap perhatian dari target pasar. Jika tidak ada perbedaan yang berarti, maka strategi
endorsement tidak akan berjalan.
e. Decorum
Ada kecenderungan peningkatan dalam tingkat kegagalan endorsement, sementara
tidak selalu memungkinkan untuk mengontrol seorang endorser yang telah dikontrak.
Penilaian dan peramalan dari kekuatan atau dorongan eksternal, meskipun sulit, dapat
membantu dalam pemilihan endorser yang dibutuhkan untuk asset berkelanjutan.
26
Menurut Masterman (2007, pp116-117), proses seleksi endorsement dapat dilakukan
dalam enam tahap, yaitu sebagai berikut.
a. Evaluasi citra dan persepsi dari endorser, yaitu bagaimana target pasar mempersepsikan
pendukung dari suatu produk atau jasa? Pencocokkan tidak dapat dilakukan dengan
menggunakan pengetahuan sebelumnya.
b. Identifikasikan citra industri potensial yang cocok. Industri manakah yang dipersepsikan
dengan baik oleh target pasar? Sebagai contoh, yaitu olahraga, musik, dan seni.
c. Identifikasikan citra bidang potensial yang cocok. Bidang manakah yang dipersepsikan
dengan baik oleh target pasar? Sebagai contoh, tenis, sepak bola, surfing, music pop,
rock, dan klasik.
d. Identifikasikan citra spesifik yang potensial dan cocok. Citra yang bagaimanakah yang
dipersepsikan dengan baik oleh target pasar? Dalam hal ini, kriteria penyeleksian seperti
yang ditawarkan oleh FREDD dapat dimanfaatkan.
e. Urutkan apa saja yang cocok, evaluasi satu per satu untuk efektifitas dan efisiensi
terhadap solusi komunikasi lainnya dalam analisis biaya yang dibandingkan dengan
manfaat.
f. Pilih dan kontrak endorser.
Ohanian (Carroll, 2009, p150) menekankan bahwa untuk benar-benar efektif,
selebriti yang dipilih sebagai endorser harus berpengetahuan, berpengalaman, dan
memenuhi syarat untuk dianggap sebagai seorang ahli dalam kategori tertentu.
Seorang endorser harus cocok dengan target pasar dan tentunya tujuan indiv idual
dari suatu organisasi juga merupakan hal yang penting. Dalam mengidentifikasi apakah
endorsement merupakan cara komunikasi yang efektif dan efisien untuk dilaksanakan,
sebagai bagian dari proses seleksi endorser, merupakan hal yang penting untuk pertama-
tama meriset citra dan persepsi target pasar tentang seorang endorser.
27
Menurut Shimp (2010, pp254-256), eksekutif perik lanan menggunakan beragam
faktor dalam memilih seorang celebrity endorser. Faktor-faktor yang dianggap paling
penting, yaitu sebagai berikut.
a. Kecocokan antara Selebriti dengan Target Pasar
Pertanyaan pertama yang harus diajukan oleh seorang brand manager ketika
memilih seorang endorser adalah, “Apakah target pasar yang dituju berkaitan secara positif
dengan endorser tersebut?”.
b. Kecocokan antara Selebriti dengan Merek
Eksekutif-eksekutif perik lanan menginginkan agar perilaku, nilai-nilai, penampilan,
dan sopan santun dari si selebriti akan cocok dengan citra (image) dari merek yang
diik lankan.
c. Kredibilitas Selebriti
Kredibilitas selebriti merupakan salah satu alasan utama untuk memilih seorang
celebrity endorser. Orang yang dapat dipercaya dan dianggap berpengetahuan tentang suatu
kategori produk akan sangat baik dalam meyakinkan orang lain untuk melakukan tindakan
tertentu.
d. Daya Tarik Selebriti
Seperti sudah dijelaskan dalam model TEARS, daya tarik selebriti atau attractiveness
mencakup beraneka segi, jadi tidak hanya daya tarik fisik.
e. Pertimbangan Biaya
Berapakah jumlah biaya yang akan dihabiskan untuk memperoleh jasa seorang
selebriti merupakan suatu pertimbangan yang penting. Seorang brand manager harus
melakukan analisis biaya dan manfaat untuk menentukan apakah selebriti yang lebih mahal
dapat dibenarkan dalam hal pengembalian investasi yang lebih besar secara proporsional.
28
f. Faktor Kesulitan atau Kemudahan dalam Bekerja
Sebagian selebriti relatif mudah untuk diajak bekerjasama, sedangkan sebagian juga
ada yang sulit, seperti keras kepala, tidak patuh, sombong, emosional, tidak dapat
dihubungi, ataupun hal-hal lainnya yang tidak dapat diatur. Brand manager dan para agen
perik lanan akan lebih memilih untuk menghindari faktor kerumitan seperti harus berurusan
dengan indiv idu yang tidak ingin untuk menyesuaikan jadwal mereka, ragu-ragu untuk
berpartisipasi dengan merek di luar batasan selebriti tersebut, atau kesulitan-kesulitan
lainnya.
g. Faktor Kejenuhan
Pertimbangan lainnya, tidak sepenting dengan faktor-faktor yang sudah dijelaskan
sebelumnya, meskipun demikian harus tetap dievaluasi, yaitu mengenai berapa jumlah
merek lainnya yang sedang didukung oleh seorang selebriti. Jika seorang selebriti terlalu
banyak mendukung suatu produk atau dengan kata lain terlalu banyak menjadi seorang
celebrity endorser, maka kredibilitas selebriti ter sebut bisa diragukan.
h. Faktor Kemungkinan Keterlibatan dalam Suatu Masalah
Faktor terakhir yang perlu untuk dievaluasi, yaitu adanya kemungkinan bahwa
seorang selebriti akan terlibat dalam suatu masalah setelah hubungan endorsement terjalin.
Mungkin saja seorang selebriti dihukum karena suatu kejahatan atau bisa saja citra dari
seorang selebriti rusak selama kampanye perik lanan. Tidak ada jawaban yang mudah untuk
menjawab implikasi negatif yang mungkin muncul dan berdampak pada merek yang
didukung tersebut.
Hal yang tidak jauh berbeda mengenai apa yang diungkapkan Shimp di atas
dinyatakan pula oleh Patra dan Datta (2010, p59), yaitu berbagai dimensi dari tantangan
yang dihadapi oleh pengik lan dan biro ik lan mereka tentang pemilihan selebriti mungkin
mencakup aspek-aspek berikut, yaitu kecocokan selebriti dengan citra merek, kecocokan
29
selebriti dengan target penonton, keakraban selebriti di antara target penonton, popularitas
selebriti di antara target penonton, biaya terkait untuk mendapatkan selebriti, kredibilitas
selebriti, daya tarik fisik, kecocokan selebriti dengan produk, sejarah endorsement si selebriti
di masa lalu, dan selebriti yang mendukung berbagai merek.
2.1.2.3Manfaat Celebrity Endorsement
Implementasi celebrity endorsement menawarkan banyak sekali manfaat bagi
perusahaan. Hal tersebut telah dinyatakan oleh beragam ahli di dalam penelitian-penelitian
mereka, salah satunya adalah Erdogan. Menurut Erdogan, penggunaan selebriti sebagai
pendukung (celebrity endorser) secara ekstensif dapat memberikan manfaat potensial (Choi,
2002, p6). Berikut peneliti akan membahas manfaat-manfaat yang mungkin diperoleh jika
perusahaan menerapkan celebrity endorsement.
a. Suatu Daya Tarik Guna Menarik Perhatian Penonton
Kaikati (Cronin, 2003, p6) mengemukakan keuntungan dari penggunaan selebriti
dalam perik lanan, yaitu untuk mendapatkan perhatian terhadap merek dari suatu produk, di
mana selebriti membantu untuk membawa fokus dari orang-orang terhadap produk.
Berdasarkan pendapat Sternthal, Phillips, dan Dholakia (Choi, 2002, p6), penggunaan
selebriti menarik perhatian lebih terhadap suatu ik lan di mana selebriti tersebut tampil dan
juga terhadap merek yang mereka dukung daripada dengan ik lan yang tidak mengambil
keuntungan dengan menggunakan status dari seorang selebriti. Spielman (Cronin, 2003, p5)
juga menyatakan bahwa selebriti dipercaya dapat memperbesar perhatian penonton
terhadap ik lan, membuat salinan yang lebih diingat, diinginkan, dan menambah daya tarik
terhadap produk. Menurut Carroll (2009, p150), manfaat penggunaan celebrity endorsement
untuk mendukung strategi merek antara lain untuk meningkatkan perhatian. Menurut
Agrawal dan Kamakura, penggunaan selebriti dipercaya dapat membantu konsumen untuk
mendengarkan ik lan (White, Goddard, dan Wilbur, 2009, p323).
30
Choi dan Rifon menyatakan bahwa selebriti yang tampil sebagai endorser memilik i
kemampuan untuk menarik perhatian penonton, memberikan kepada pedagang eceran
kesempatan yang lebih baik untuk mengkomunikasikan pesan mereka kepada konsumen, di
mana menurut Till, hal tersebut merupakan keuntungan yang sangat penting mengingat
jumlah besar ik lan-ik lan yang secara terus-menerus bersaing untuk perhatian konsumen
(White, Goddard, dan Wilbur, 2009, pp322-323). Erdogan, Baker, dan Tagg (Choi, 2002, p6)
menyatakan bahwa celebrity endorser dapat menolong suatu ik lan dengan menerobos
kekacauan di sekitarnya.
b. Membuat Pesan Yang Disampaikan Lebih Diingat
Menurut Agrawal dan Kamakura, penggunaan selebriti dipercaya dapat membantu
konsumen untuk mengingat pesan dari ik lan dan nama merek yang selebriti dukung (White,
Goddard, dan Wilbur, 2009, p323). Spielman (Cronin, 2003, p5) menyatakan bahwa selebriti
dipercaya dapat membuat salinan yang lebih diingat.
c. Menciptakan, Meningkatkan, dan Mengubah Citra
Menurut Debevee, Iyer, dan Erdogan (Choi, 2002, p6), dengan citra selebriti yang
khusus, selebriti dapat digunakan untuk menciptakan, meningkatkan, dan mengubah citra
merek.
Salah satu keuntungan dari penggunaan selebriti dalam perik lanan, menurut Kaikati
(Cronin, 2003, pp5-6), yaitu selebriti memilik i kemampuan untuk memperbaik i citra
perusahaan yang ternoda, yaitu selebriti dapat membawa kredibilitas dan kepedulian dari
masyarakat terhadap perusahaan. Peneliti mengamati bahwa pendapat mengenai kredibilitas
tersebut juga didukung oleh Spielman, yaitu menurut Spielman selebriti dipercaya dapat
membuat salinan yang dapat dipercaya.
Menurut Carroll (2009, p150), manfaat penggunaan celebrity endorsement untuk
mendukung strategi merek antara lain untuk memperbaik i citra, pengenalan merek, dan
reposisi merek. Hal serupa juga dinyatakan oleh Kaikati, yaitu menurut Kaikati (Cronin, 2003,
31
p6), selebriti dapat digunakan untuk membuat reposisi terhadap merek yang ada sekarang,
yaitu selebriti dapat membawa pendekatan perik lanan dan citra yang baru terhadap merek
yang ada saat ini. Merek atau produk baru juga dapat diperkenalkan oleh selebriti.
d. Mengatasi Hambatan Budaya
Erdogan dan Kaikati (Choi, 2002, p6) menyatakan bahwa selebriti dengan popularitas
dan pengakuan di seluruh dunia dapat membantu mengatasi hambatan budaya dalam
komunikasi pemasaran global. Pendapat Erdogan dengan kalimat yang tidak jauh berbeda
juga dikutip oleh Cronin (2003, p7), yaitu dinyatakan bahwa selebriti dapat membantu dalam
pemasaran global ataupun positioning merek dari suatu produk. Selebriti dapat bermanfaat
dalam meruntuhkan penghalang budaya yang dapat mencegah atau menghalangi
kesuksesan dari suatu produk dalam pasar luar negeri. Kalliny, Beydoun, Saran, dan Gentry
(2009, p95) juga mengutip pendapat serupa dari Erdogan, selain itu, Erdogan juga
menyatakan bahwa media massa memungkinkan selebriti untuk bergerak di luar pasar
nasional mereka serta memperoleh kesadaran dan reputasi di negara-negara yang berbeda.
Menurut Carroll (2009, p150), manfaat penggunaan celebrity endorsement untuk mendukung
strategi merek antara lain, yaitu meliputi potensi untuk mendukung kampanye global.
e. Meningkatkan Penjualan dan Keuntungan
Menurut Agrawal, Kamakura, Gabor, Jeannye, Wienner, beserta Mathur, Mathur dan
Rangan, telah ditemukan bahwa celebrity endorsement dapat menghasilkan penjualan (Choi,
2002, p6). Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan dari Agrawal dan Kamakura
(Nelson, 2010, p71), yaitu riset menunjukkan bahwa pelanggan akan lebih cenderung
memilih barang-barang atau jasa-jasa yang didukung oleh selebriti daripada barang atau jasa
yang tidak mendapat dukungan seperti itu.
Pendapat serupa dinyatakan oleh Cronin (2003, p7), yaitu manfaat utama dar i
celebrity endorsers adalah mereka dapat membantu meningkatkan penjualan dari produk-
produk yang mereka promosikan. Pringle juga menyatakan hal yang serupa, yaitu Pringle
32
(Carroll, 2009, p150) menegaskan bahwa kemitraan antara merek dan selebriti yang sukses
telah menghasilkan keuntungan yang signifikan dalam pendapatan bagi pemilik merek.
Agrawal, Kamakura, beserta Mathur, Mathur dan Rangan (Choi, 2002, p6) juga
menyatakan bahwa celebrity endorsement menghasilkan pengaruh yang positif tingkat
pengembalian saham dan peningkatan keuntungan pada perusahaan.
2.1.2.4Resiko Celebrity Endorsement
Menurut Nelson (2010, p77), terdapat beberapa konsekuensi negatif dari
penggunaan seorang selebriti sebagai pendukung. Salah satunya berkaitan dengan tingginya
biaya untuk memperoleh selebriti terkenal sebagai pendukung.
Cronin (2003, p7) menyatakan jika selebriti menjadi kontroversial atau terikat dalam
perilaku yang menjamin adanya perhatian media yang negatif, hal ini akan menjadi
memalukan untuk perusahaan dan produk mereka. Ketika selebriti diidentifikasikan terlalu
dekat dengan produk, hal ini dapat menciptakan masalah-masalah yang tidak dapat diatasi
oleh perusahaan jika selebriti tersebut menjadi kontroversial atau terlalu terekspose.
Pendapat tersebut serupa dengan pendapat dari White, Goddard, dan Wilbur (2009, p323),
di mana mereka menyatakan bahwa salah satu ketakutan terbesar dalam penggunaan
selebriti adalah adanya kemungkinan publisitas buruk yang timbul berkaitan dengan celebrity
endorser tersebut.
Till (Cronin, 2003, pp9-10) meneliti bagaimana informasi negatif tentang selebriti
dapat berdampak pada persepsi dari merek yang didukung, hubungan dibentuk antara
merek dan selebriti, dan bagaimana informasi tentang selebriti berdampak dan memengaruhi
sikap terhadap merek. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa jenis dari informasi negatif
selebriti tidak secara berbeda memengaruhi evaluasi terhadap suatu merek. Informasi
negatif yang berhubungan diharapkan dapat menghasilkan dampak yang lebih besar
terhadap merek yang didukung di bawah asumsi bahwa probabilitas untuk mengaktivasi
33
informasi negatif dari selebriti yang berhubungan akan lebih besar ketika dipik irkan atau
dievaluasi daripada probabilitas dari mengaktivasi informasi negatif selebriti yang tidak
berhubungan dengan merek atau produk.
Menurut Till dan Shimp (Choi, 2002, p7), informasi negatif tentang seorang celebrity
endorser telah ditemukan dapat memengaruhi persepsi konsumen, baik terhadap selebriti
tersebut dan terhadap merek yang didukung. Nelson (2010, p78) berpendapat bahwa resiko
yang secara potensial paling merusak dalam menggunakan pendukung yang terkenal, yaitu
adanya publisitas negatif yang diterima oleh seorang endorser. Miciak dan Shanklin (White,
Goddard, dan Wilbur, 2009, p323) juga menyatakan bahwa ketika citra seorang endorser
menjadi “ternoda oleh tuduhan terlarang gelap, perilaku tidak etis, tidak biasa, atau bahkan
sedik it tidak konvensional”, hal tersebut secara langsung menciptakan masalah-masalah bagi
endorsement tersebut. Nelson (2010, p78) menyatakan bahwa ketika citra negatif dari
seorang selebriti digambarkan, maka gambaran yang ternodai tersebut juga akan terlukis
pada organisasi, yang membuat organisasi menjadi lebih sulit dalam memperoleh konsumen
untuk membeli produk.
Menurut Louie dan Kulik (White, Goddard, dan Wilbur, 2009, p324), kejadian yang
tidak dikehendaki seperti sakit atau terluka dapat membatasi sorotan media terhadap
selebriti, yang pada gilirannya dapat menurunkan tingkat popularitas dan efektifitas mereka.
Cronin (2003, p8) menyatakan bahwa penurunan popularitas dari seorang selebriti dapat
juga memilik i dampak terhadap persepsi dari suatu produk.
Salah satu aspek negatif dari penerapan celebrity endorsement dinyatakan oleh
Nelson (2010, p77), yaitu suatu perusahaan mungkin tidak mampu memperoleh selebriti
yang diinginkan untuk secara eksklusif mewakili produk perusahaan. Selebriti tersebut bisa
saja mendukung beberapa produk, kadang-kadang, ada pula yang beralih untuk mendukung
produk pesaing.
34
Menurut Tripp, Jensen, dan Carlson (Choi, 2002, pp7-8), ketika selebriti dihubungkan
dengan banyak produk, overexposure dapat membuat hubungan antara celebrity endorser
dengan setiap produk yang didukungnya menjadi kurang istimewa. Selain itu, menurut Choi,
konsumen dapat menjadi waspada tentang motif sebenarnya dari selebriti tersebut dalam
mendukung suatu produk. Konsumen dapat menjadi ragu-ragu tentang pesan yang
disampaikan oleh selebriti tersebut dalam suatu ik lan dan konsumen bisa mempercayai
bahwa selebriti tersebut muncul dalam suatu ik lan untuk kompensasi yang ia dapatkan
daripada dengan sungguh-sungguh percaya pada manfaat dari suatu produk atau jasa yang
didukung.
Pendapat serupa diungkapkan oleh Mowen dan Brown (Cronin, 2003, p8), yaitu
mereka menemukan bahwa selebriti yang menyokong banyak produk terlihat sebagai
endorser yang kurang dapat dipercaya dibanding mereka yang hanya menyokong sebuah
produk. Perubahan citra dapat menjadi berbahaya terhadap suatu produk atau promosi.
Endorsement didasarkan pada citra selebriti, untuk itu perubahan mendadak pada citra
selebriti dapat memilik i dampak negatif pada citra dari suatu merek.
Berdasarkan pendapat Miciak dan Shanklin (Choi, 2002, p7), selebriti yang telah
terbukti sangat efektif sebagai endorser di masa lalu dapat menghasilkan hasil yang
mengecewakan ketika dipasangkan ke produk-produk lainnya.
2.1.3 Brand
Menurut Kotler (Simamora, 2003, p3), merek (brand) adalah nama, tanda, simbol,
desain, atau kombinasi hal-hal tersebut, yang ditujukan untuk mengidentifikasi dan
mendiferensiasi (membedakan) barang atau layanan suatu penjual dari barang dan layanan
penjual lain.
Definisi lain dari merek adalah nama, istilah, logo, tanda atau lambang dan
kombinasi dari dua atau lebih unsur tersebut yang dimaksud untuk mengidentifikasikan
35
barang-barang atau jasa dari seorang penjual atau kelompok penjual untuk membedakannya
dari produk pesaing (Ambadar, Abidin, dan Isa, 2007, p2).
Suyanto (2007, p77) menyatakan bahwa merek merupakan kombinasi dari nama,
kata, simbol atau desain yang memberi identitas produk. Menurut Nicolino dan Davis
(Simamora, 2003, p3), merek juga bisa berarti entitas pengidentifikasi yang memberi janji
nilai tertentu.
Merek dapat menjadi payung yang mampu mempresentasikan produk atau layanan
Anda. Meskipun merek adalah nama atau tanda tetapi merek mempunyai arti yang penting
dalam pemasaran. Karena merek sangat efektif sebagai alat untuk meningkatkan atau
mempertahankan jumlah penjualan (Ambadar, Abidin, dan Isa, 2007, pp2-3).
Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka peneliti mendefinisikan merek sebagai
nama, simbol, desain, atau kombinasi daripada hal-hal tersebut yang dapat digunakan untuk
membedakan antara produk atau jasa perusahaan dengan produk atau jasa kompetitor.
2.1.3.1Panduan Memberi Nama Merek
Beberapa panduan untuk memberi nama pada suatu merek (Ambadar, Abidin, dan
Isa, 2007, p4) antara lain sebagai berikut.
a. Pilih nama yang mempunyai ejaan sederhana.
b. Pilih nama yang mudah diucapkan.
c. Pilih nama yang “tidak biasa” dan istimewa.
d. Nama tersebut dapat diterima secara universal.
e. Bukan nama generik, bisa dilindungi secara trademark (hak paten).
36
2.1.3.2Kategori Merek
Suyanto (2007, pp78-79) di dalam bukunya menyatakan beragam kategori merek,
yaitu sebagai berikut.
a. Merek Privat (private brand / store brand / distributor brand / private label)
Merek privat merupakan merek yang disponsori oleh distributor, misalnya pada
pedagang besar dan pedagang eceran.
b. Merek Spesifik / Indiv idual (specific / indiv idual brand)
Merupakan strategi untuk memberikan nama merek pada sebuah produk yang
spesifik.
c. Merek Lini / Keluarga (Line / Family Brand)
Merek lini produk merupakan strategi meletakkan nama merek pada sebuah lini
produk yang berhubungan. Strategi ini efektif jika perusahaan mempunyai satu atau lebih lini
produk yang masing-masing mengandung sebuah hubungan antara item-item produk
tersebut. Satu keunggulan merek lini produk adalah penambahan item-item produk dapat
dikenalkan dengan memberdayakan nama merek yang telah dibangun.
d. Merek Perusahaan (corporate brand)
Merek perusahaan merupakan strategi membangun identitas merek menggunakan
nama perusahaan untuk mengidentifikasi produk yang dihasilkan.
e. Merek Kombinasi (combination brand)
2.1.3.3Komponen Merek
Sebuah merek terdiri dari empat komponen (Moser, 2008, p133), yaitu sebagai
berikut.
a. Nilai Inti
Nilai yang mendasari merek k ita. Nilai inti adalah fondasi perusahaan kita dan pilar
dari setiap pesan yang kita sampaikan.
37
b. Pesan Merek
Keseluruhan pesan utama yang kita ingin komunikasikan. Semua pesan lain harus
mendukung dan menambah kredibilitas pesan ini.
c. Kepribadian Merek
Keseluruhan karakter dan sikap yang kita gunakan untuk menyampaikan pesan kita.
Kepribadian merek adalah komponen emosional utama yang menentukan apakah merek kita
bisa disukai atau tidak.
d. Ikon Merek
Perangkat eksekusi yang kita gunakan untuk menyampaikan pesan merek dan
kepribadian merek kita, misalnya warna, tipografi, pengisi suara, logo, layout, dan musik.
Ikon merek adalah elemen-elemen yang membuat semua materi pemasaran kita unik.
2.1.3.4Tujuan Pemberian Nama Merek
Tujuan pemberian nama merek (Ambadar, Abidin, dan Isa, 2007, p4) adalah sebagai
berikut.
a. Sebagai suatu cara untuk mendapatkan nilai tambah.
b. Para pengguna dapat langsung mengetahui kualitas produk, fitur yang diharapkan, dan
jasa yang dapat diperoleh.
c. Cermin atau janji yang diucapkan oleh produsen terhadap konsumen atas kualitas produk
yang akan mereka hasilkan.
2.1.3.5Manfaat Merek
Menurut Kotler (Simamora, 2003, p3), keberadaan merek bermanfaat bagi pembeli,
perantara, produsen maupun publik.
a. Bagi pembeli, merek bermanfaat untuk menceritakan mutu dan membantu memberi
perhatian terhadap produk-produk baru yang mungkin bermanfaat bagi mereka.
38
b. Bagi masyarakat, merek bermanfaat dalam tiga hal. Pertama, pemberian merek
memungkinkan mutu produk lebih terjamin dan lebih konsisten. Kedua, meningkatkan
efisiensi pembeli, karena merek dapat menyediakan informasi tentang produk dan tempat
membelinya. Ketiga, meningkatkan inovasi-inovasi produk baru, karena produsen
terdorong menciptakan keunikan-keunikan baru guna mencegah peniruan dari pesaing.
c. Bagi penjual, merek bermanfaat dalam empat hal. Pertama, memudahkan penjual
mengolah pesanan dan menelusuri masalah-masalah yang timbul. Kedua, memberikan
perlindungan hukum atas keistimewaan atau ciri khas produk. Ketiga, memungkinkan
untuk menarik sekelompok pembeli yang setia dan menguntungkan. Keempat, membantu
penjual melakukan segmentasi pasar.
Dua fungsi merek menurut Ambadar, Abidin, dan Isa (2007, pp4-5), yaitu sebaai
berikut.
a. Merek memberikan identifikasi terhadap suatu produk sehingga konsumen mengenali
merek dagang yang berbeda dengan produk lain.
b. Merek membantu untuk menarik calon pembeli.
Dalam penelitian Carroll, beliau menyatakan beragam manfaat dari pemberian
merek, baik bagi perusahaan maupun konsumen. Menurut Carroll (2009, pp146-147),
manfaat bagi perusahaan, yaitu merek menawarkan alat identifikasi untuk mempermudah
penanganan dan pelacakan, perlindungan hukum, kemampuan untuk menjadi berbeda,
tanda akan kualitas, dapat digunakan untuk mengamankan keunggulan kompetitif,
meningkatkan keunggulan finansial, dan meningkatkan loyalitas pelanggan.
39
2.1.4 Brand Trust
Menurut Morgan dan Hunt, kepercayaan (trust) muncul ketika suatu pihak memilik i
keyakinan terhadap keandalan dan integritas rekan dalam suatu pertukaran. Moorman dan
kawan-kawan, mendefinisikan trust sebagai keinginan untuk mempercayai rekan pertukaran
di mana seseorang menaruh kepercayaan tersebut (Zboja dan Clay, 2006, p382).
Rotter mendefinisikan trust sebagai harapan umum yang dimilik i oleh seorang
indiv idu bahwa kata-kata dari orang lain dapat diandalkan. McAllister mendefinisikan trust
sebagai sejauh mana seseorang percaya dan bersedia untuk bertindak berdasarkan kata-
kata, tindakan-tindakan, keputusan-keputusan dari orang lain (Reast, 2005, p5).
Menurut Shen, trust adalah bahwa seseorang mempercayai orang lain atau saling
mempercayai satu sama lain, dan berdasarkan pada trust, dapat memfasilitasi pertukaran
investasi yang spesifik dan informasi dalam organisasi dan janji bersama, pengurangan biaya
transaksi, terjadinya kerusakan potensial atau balas dendam dan jebakan satu sama lain
(Chi, Yeh, dan Chiou, 2009, p231).
Brand trust sebagai suatu konsep secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
kepercayaan terhadap suatu merek tertentu (Kautonen dan Karjaluoto, 2008, p24). Oleh
Kumar (2008, p69), brand trust digambarkan sebagai kerelaan indiv idu untuk mempercayai
kemampuan merek untuk memuaskan kebutuhannya. Dalam situasi di mana indiv idu tidak
dapat secara objektif mengevaluasi kualitas dari produk di muka, brand trust memainkan
peran penting dalam mengurangi ketidakpastian dalam pembelian.
Menurut Chaudhuri dan Holbrook, brand trust berarti bahwa konsumen percaya pada
suatu merek dan menawarkan manfaat yang mereka butuhkan. Lassar, Mittal, dan Sharma
menyatakan bahwa brand trust datang dari persepsi pelanggan terhadap kualitas, citra
inovatif dari merek dan pertimbangan produsen terhadap suatu merek (Chi, Yeh, dan Chiou,
2009, p231).
40
Chaudhuri dan Holbrook juga menyatakan bahwa brand trust adalah kerelaan dari
rata-rata konsumen untuk percaya pada kemampuan merek untuk menjalankan fungsi yang
dinyatakan oleh merek tersebut (Gilbert dan Gao, 2005, p309; Kautonen dan Karjaluoto,
2008, pp24-27; Luk dan Yip, 2008, p453; Matzler, Krauter, dan Bidmon, 2008, p155; Reast,
2005, p5).
Lee (2006, p22) dalam penelitiannya sedik it memodifikasi definisi brand trust
menurut Chaudhuri dan Holbrook, yaitu brand trust menurut Lee didefinisikan sebagai
kepercayaan dari rata-rata peserta terhadap keandalan dan integritas dari suatu merek
sesuai dengan harapan perusahaan bahwa merek tersebut akan melakukan fungsi yang
dijanjikannya.
Lau dan Lee memasukkan aspek resiko yang dirasakan, yang mana sering berkaitan
dengan trust dan mendefinisikan brand trust sebagai keinginan konsumen untuk
mengandalkan merek dalam menghadapi resiko karena harapan bahwa merek akan
menyebabkan hasil-hasil yang positif (Kautonen dan Karjaluoto, 2008, p27).
Menurut Sheth dan Parvatiyar (Matzler, Krauter, dan Bidmon, 2008, p155), dalam
literatur merek, konsep dari brand trust didasarkan pada ide dari hubungan antara konsumen
dengan merek, yang dilihat sebagai substitusi untuk kontak manusia antara perusahaan
dengan pelanggan-pelanggannya.
Berdasarkan pada Andaleeb, Doney, Cannon, Larzelere, dan Huston, brand trust
sebagai suatu pengharapan didasarkan pada kepercayaan konsumen bahwa suatu merek
memilik i kualitas spesifik yan membuatnya konsisten, kompeten, jujur, bertanggung-jawab,
dan lain sebagainya, yang sejalan dengan penelitian tentang trust (Delgado-Ballester dan
Aleman, 2005, p188).
Delgado-Ballester dan Munuera Aleman pada awalnya mendefinisikan brand trust
sebagai perasaan aman bahwa suatu merek akan memenuhi harapan pengkonsumsian.
Kemudian, mereka memasukkan sifat timbal-balik dari hubungan antara konsumen dengan
41
merek, dan mendefinisikan brand trust sebagai perasaan aman yang dimilik i oleh konsumen
dalam interaksinya dengan merek (Kautonen dan Karjaluoto, 2008, p24).
Brand trust (Delgado-Ballester, 2004, p574) didefinisikan sebagai keadaan psikologis
yang diinterpretasikan dari segi probabilitas yang dirasakan oleh Bhattacharya dan kawan-
kawan, keyakinan oleh Barney, Hansen, Garbarino, dan Johnson, atau ekspektasi oleh
Gambetta, Rempel dan kawan-kawan, yang diperuntukkan untuk terjadinya beberapa hasil
yang positif pada pihak yang dipercayai.
Brand trust juga didefinisikan sebagai harapan keyakinan tentang brand reliability
dan intentions dalam situasi yang melibatkan resiko kepada konsumen (Delgado-Ballester,
2004, p586). Dawar dan Pillutla menggambarkan brand trust sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan reliability dan dependability (Gilbert dan Gao, 2005, p309).
Chatterjee dan Chaudhuri (2005, p2) mendefinisikan brand trust sebagai keyakinan
yang konsumen bangun dalam hal keandalan dan integritas merek. Kautonen dan Karjaluoto
(2008, p27) mendefinisikan brand trust sebagai perasaaan aman konsumen dalam
interaksinya dengan merek berdasarkan pada harapan pasti dari keandalan (reliability) dan
tujuan (intentions) merek.
Brand trust berarti bahwa konsumen memilik i harapan positif dan menaruh
keyakinan pada merek, berdasarkan pada hal tersebut konsumen akan memutuskan apakah
akan menyelesaikan transaksi atau tidak. Ini menunjukkan bahwa brand trust mencakup niat
untuk mempercayai dan memainkan peran fasilitator dalam proses pembelian (Luk dan Yip,
2008, p453).
Dalam penelitiannya, Chi, Yeh, dan Chiou (2009, p231) mengusulkan bahwa brand
trust berarti konsumen-konsumen percaya bahwa suatu merek spesifik akan menawarkan
suatu produk yang sangat dapat diandalkan, seperti fungsi yang lengkap, jaminan kualitas,
dan service setelah penjualan kepada mereka.
42
2.1.4.1Dimensi Brand Trust
Brand trust dikonseptualisasikan dengan dua dimensi berbeda yang mencerminkan
perspektif yang berbeda yang mana dengan hal tersebut dapat digunakan untuk membuat
penilaian subjektif untuk suatu merek untuk bisa dianggap sebagai terpercaya, dan mereka
timbul dari tingkat yang berbeda dari abstraksi kognitif dan emosional (Delgado-Ballester,
2004, p576).
Dua dimensi yang berbeda dari brand trust, yaitu brand reliability dan brand
intentions (Delgado-Ballester, 2004, p575; Delgado-Ballester dan Aleman, 2005, p188).
Dimensi serupa dari Delgado-Ballester juga digunakan oleh Luk dan Yip (2008, p452) di
dalam penelitiannya.
Brand Reliability didasarkan pada sejauh mana konsumen percaya bahwa suatu
merek mengerjakan nilai yang dijanjikannya (Delgado-Ballester, 2004, p575). Lebih rinci lagi,
pada penelitian Delgado-Ballester dan Aleman (2005, p188), dinyatakan bahwa dimensi
pertama dari brand trust (reliability) memilik i sifat berdasarkan pada kompetensi atau teknis,
meliputi kemampuan dan keinginan untuk menepati janji dan memuaskan kebutuhan
konsumen.
Sejalan dengan literatur manajemen dan pemasaran, menurut Andaleeb, Doney,
Cannon, Morgan dan Hunt, trust yang didasarkan pada brand reliability mewakili sekelompok
atribut dengan sifat yang didasarkan pada kompetensi dan teknik, karena dalam wilayah
antara merek dan konsumen, ada ekspektasi dan kebutuhan konsumen yang perlu untuk
dicapai dan dipuaskan oleh merek. Untuk itu, brand reliability penting agar suatu merek
dipercayai, karena pencapaian dari janji yang ditampilkan merek ke pasar mengarahkan
konsumen untuk yakin tentang terjadinya kepuasan di masa mendatang. Untuk itu, brand
reliability adalah titik pangkal yang sangat baik untuk menggambarkan brand trust. Brand
intentions didasarkan pada sejauh mana konsumen percaya bahwa suatu merek akan
mempertahankan minat konsumen di atas keinginan dari merek itu sendiri ketika masalah-
43
masalah tidak diinginkan yang berkaitan dengan konsumsi produk timbul. Menurut Andaleeb,
brand intentions menggambarkan aspek kepercayaan berdasarkan pada bukti yang tersedia
untuk membuat indiv idu merasa bahwa perilaku merek diarahkan atau dimotivasi dengan
niat yang baik dan positif terhadap kesejahteraan dan minat mereka, meskipun situasi di
masa mendatang bermasalah dengan pengkonsumsian produk (Delgado-Ballester, 2004,
pp575-576).
Hal yang tidak jauh berbeda dinyatakan oleh Delgado-Ballester dan Aleman dalam
penelitian mereka, yaitu dimensi kedua dari brand trust (intentions) terdiri dari pertalian dari
maksud yang baik terhadap merek dalam hubungannya dengan ketertarikan dan
kesejahteraan konsumen, sebagai contoh ketika masalah yang tidak diharapkan berkaitan
dengan produk timbul (Delgado-Ballester dan Aleman, 2005, p188).
Brand intentions (Delgado-Ballester, 2004, p576) juga berfokus pada keyakinan
bahwa suatu merek tidak akan mengambil keuntungan dari kerentanan konsumen. Dimensi
ini meliputi aspek-aspek seperti altruism (sifat mementingkan kepentingan orang lain)
menurut Frost dan kawan-kawan, dan honesty (kejujuran) menurut Larzelere dan Huston,
dependability (keteguhan atau dapat diandalkan) dan fairness (keadilan) menurut Rempel
dan kawan-kawan.
2.1.5 Brand Loyalty
Brand loyalty atau loyalitas merek adalah ukuran dari kesetiaan konsumen terhadap
suatu merek (Rangkuti, 2002, p60). Selain itu, brand loyalty didefinisikan sebagai loyalitas
yang diberikan oleh pelanggan kepada merek. Loyalitas ini menjadi ukuran seberapa besar
kemungkinan pelanggan akan pindah ke merek lain (Hermawan Kartajaya, Yuswohady, Jacky
Mussry, dan Taufik, 2004, p211).
44
Nelson (2010, p72) mendefinisikan brand loyalty sebagai kecenderungan bagi
indiv idu untuk memilik i preferensi tertentu untuk suatu merek dibandingkan merek-merek
lainnya.
Brand loyalty merupakan tujuan akhir dari manajemen merek, dan jika suatu
perusahaan ingin menguji kelemahan atau kekuatan dari loyalitas pelanggannya, perusahaan
dapat dengan mudahnya menguji apakah konsumen masih menyukai produk perusahaan
dibandingkan pesaingnya (Chi, Yeh, dan Chiou, 2009, p232).
Oliver (Lee, 2006, p26) mendefinisikan brand loyalty sebagai komitmen yang
dipegang secara mendalam untuk membeli kembali atau berlangganan produk atau service
yang dipilih secara konsisten di masa mendatang, meskipun pengaruh situasional dan usaha
pemasaran berpotensi untuk menyebabkan perilaku peralihan. Oliver (Chi, Yeh, dan Chiou,
2009, p232) menyatakan bahwa perubahan dalam lingkungan dan strategi pemasaran dapat
memengaruhi perilaku pembelian konsumen tetapi loyalitas konsumen akan tetap bertahan,
dan konsumen akan secara berulang-ulang tetap membeli merek favorit mereka di masa
mendatang.
2.1.5.1Dimensi Brand Loyalty
Terdapat dua dimensi dari brand loyalty, yaitu behavior dan attitude (Chi, Yeh, dan
Chiou, 2009, p232). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Aaker dan Day bahwa terdapat dua
aspek yang berbeda dari brand loyalty, yaitu behavioral dan attitudinal loyalty (Lee, 2006,
p26).
Dalam pemeriksaan penelitian loyalitas dua dekade lalu, Jacoby dan Chestnut
mengidentifikasi 53 pengukuran yang berbeda dari loyalitas. Pengukuran-pengukuran
tersebut dikategorikan sebagai behavioral, attitudinal, atau gabungan pengukuran meliputi
baik pengukuran behavioral maupun attitudinal (Lin, 2006, p48).
45
Peneliti memantau bahwa dalam menilai brand loyalty, tindakan dengan melakukan
pembelian kembali dikarenakan adanya alasan atau motivasi tertentu dari pelanggan yang
mencerminkan loyalitas dari pelanggan tersebut sehingga si pelanggan bersedia untuk
membeli kembali dan bukan karena adanya faktor-faktor lainnya, seperti kemudahan untuk
melakukan pembelian. Untuk itu, dalam menilai brand loyalty dengan hanya mengamati
frekuensi pembelian konsumen adalah tidak beralasan. Berikut akan dibahas kedua dimensi
dari brand loyalty tersebut.
a. Behavior
Menurut Aaker, Assael, Oliver, Prus, Brandt, Farr, dan Hollis, behavior loyalty
mengacu pada perilaku pembelian ulang (Chi, Yeh, dan Chiou, 2009, p232).
Menurut Chaudhuri dan Holbrook, behavioral brand loyalty dicerminkan oleh
langganan tetap yang berulang-ulang terhadap suatu merek. Menurut Carpenter dan
Lehmann, behavioral brand loyalty dioperasionalisasikan sebagai probabilitas pembelian
ulang yang diukur dengan proporsi berapa kali peserta berpartisipasi dalam pertemuan yang
sama dalam kategori tertentu yang dibandingkan dengan jumlah total peserta dalam kategori
tersebut (Lee, 2006, p26).
Cunningham dan Tucker berpendapat bahwa definisi behavioral secara umum
menggambarkan data diambil dari perilaku konsumen yang jelas atau perilaku yang
dilaporkan, seperti proporsi pembelian yang dicurahkan terhadap suatu merek, penetrasi,
pangsa pasar, rangkaian pembelian, dan probabilitas pembelian (Lin, 2006, pp48-49).
Menurut Knox, purchase loyalty (behavior loyalty) berarti bahwa konsumen tidak
hanya lebih memilih tetapi juga membeli suatu merek secara berulang-ulang. Konsumen
membeli ulang suatu merek karena mereka puas dengan merek tersebut bukan karena
faktor kenyamanan, hambatan waktu, kebiasaan, tidak menyukai merek lainnya, atau
beragam perilaku tersembunyi lainnya, melainkan karena pembelian jangka panjang dan
keterlibatan dalam suatu merek. Perlu diingat bahwa frekuensi pembelian tidak sama dengan
46
loyalitas. Menurut Tseng, Liao, dan Jan, konsumen yang membeli suatu produk tidak berarti
bahwa mereka menyukainya tetapi mungkin karena faktor kenyamanan atau beragam
perilaku tersembunyi lainnya untuk sekali-sekali membeli produk spesifik tertentu (Chi, Yeh,
dan Chiou, 2009, p232).
b. Attitude
Menurut Aaker, Assael, Oliver, Prus, Brandt, Farr, dan Hollis, loyalty attitude berarti
komitmen psikologis terhadap suatu merek (Chi, Yeh, dan Chiou, 2009, p232).
Definisi attitudinal dari brand loyalty menurut Jacoby, Chestnut, Jarvis, dan Wilcox
mengacu pada pengukuran berdasarkan pada preferensi merek atau niat konsumen (Lin,
2006, p49).
Menurut Chaudhuri dan Holbrook, attitudinal brand loyalty meliputi tingkat komitmen
disposisional dalam hal nilai yang unik yang terkait dengan merek. Attitudinal brand loyalty
dinilai dengan niat dari word of mouth menurut Boulding dan kerelaan untuk membayar pada
harga premium menurut Zeithaml, Berry, dan Parasuraman (Lee, 2006, p26).
2.1.5.2Jenis-Jenis Loyalitas
Griffin (2005, pp20-24) menyatakan bahwa dua faktor yang sangatlah penting bila
ingin mengembangkan loyalitas, yaitu keterikatan (attachment) yang tinggi terhadap produk
atau jasa tertentu dibanding terhadap produk atau jasa pesaing potensial, dan pembelian
yang berulang.
Keterikatan yang dirasakan pelanggan terhadap produk atau jasa dibentuk oleh dua
dimensi, yaitu tingkat preferensi (seberapa besar keyakinan pelanggan terhadap produk atau
jasa tertentu) dan tingkat diferensiasi produk yang dipersepsikan (seberapa signifikan
pelanggan membedakan produk atau jasa tertentu dari alternatif-alternatif lain).
47
Empat jenis loyalitas yang berbeda muncul bila keterikatan rendah dan tinggi
dik lasifikasi silang dengan pola pembelian ulang yang rendah dan tinggi, di mana hal
tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Empat Jenis Loyalitas
Keterangan Pembelian Berulang
Tinggi Rendah
Keterikatan Relatif Tinggi Loyalitas premium Loyalitas tersembunyi
Rendah Loyalitas yang lemah Tanpa Loyalitas
Sumber: Griffin (2005, p22)
a. Tanpa Loyalitas
Untuk berbagai alasan, beberapa pelanggan tidak mengembangkan loyalitas
terhadap produk atau jasa tertentu. Keterikatannya yang rendah terhadap produk atau jasa
tertentu dikombinasikan dengan tingkat pembelian berulang yang rendah menunjukkan tidak
adanya loyalitas. Mereka hanya berkontribusi sedik it pada kekuatan keuangan perusahaan.
b. Loyalitas yang Lemah
Keterikatan yang rendah digabung dengan pembelian berulang yang tinggi
menghasilkan loyalitas yang lemah (inertia loyalty). Pelanggan ini membeli karena kebiasaan.
Pembeli ini merasakan tingkat kepuasan tertentu dengan perusahaan, atau minimal tiada
ketidakpuasan yang nyata. Loyalitas jenis ini paling umum terjadi pada produk yang sering
dibeli. Memungkinkan bagi perusahaan untuk mengubah loyalitas lemah ke dalam bentuk
loyalitas yang lebih tinggi dengan secara aktif mendekati pelanggan dan meningkatkan
diferensiasi positif di benak pelanggan mengenai produk atau jasa perusahaan dibanding
dengan produk lain.
48
c. Loyalitas Ter sembunyi
Tingkat preferensi yang relatif tinggi digabung dengan tingkat pembelian berulang
yang rendah menunjukkan loyalitas tersembunyi (latent loyalty). Bila pelanggan memilik i
loyalitas yang tersembunyi, pengaruh situasi dan bukan pengaruh sikap yang menentukan
pembelian berulang. Dengan memahami faktor situasi yang berkontribusi pada loyalitas
tersembunyi, perusahaan dapat menggunakan strategi untuk mengatasinya.
d. Loyalitas Premium
Loyalitas premium merupakan jenis loyalitas yang paling dapat ditingkatkan, terjadi
bila ada tingkat keterikatan yang tinggi dan tingkat pembelian berulang yang juga tinggi.
Pada tingkat preferensi paling tinggi tersebut, orang bangga karena menemukan dan
menggunakan produk tertentu dan senang membagi pengetahuan mereka dengan rekan dan
keluarga. Para pelanggan ini menjadi pendukung vokal produk atau jasa tersebut dan selalu
menyarankan orang lain untuk membelinya.
2.1.5.3Tingkatan Brand Loyalty
Brand loyalty atau loyalitas merek terbagi menjadi lima tingkatan (Durianto, Sugiarto,
dan Budiman, 2004, pp19-20), seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.1.
a. Switcher/Price Buyer
Switcher atau price buyer disebut pula dengan pembeli yang berpindah-pindah, yaitu
merupakan tingkatan loyalitas yang paling dasar. Semakin sering pembelian konsumen
berpindah dari suatu merek ke merek yang lain mengindikasikan bahwa mereka tidak setia,
semua merek dianggap memadai. Dalam hal ini merek memegang peranan yang kecil dalam
keputusan pembelian. Ciri paling jelas dalam kategori ini adalah mereka membeli suatu
merek karena banyak konsumen lain membeli merek tersebut karena harganya murah.
49
b. Habitual Buyer
Habitual buyer atau pembeli yang bersifat kebiasaan adalah pembeli yang tidak
mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi suatu merek produk. Tidak ada alasan yang
kuat baginya untuk membeli merek produk lain atau berpindah merek, terutama jika
peralihan itu membutuhkan usaha, biaya, atau pengorbanan lain. Jadi, ia membeli suatu
merek karena alasan kebiasaan.
c. Satisfied Buyer
Satisfied buyer atau pembeli yang puas dengan biaya peralihan adalah kategori
pembeli yang puas dengan merek yang mereka konsumsi. Namun mereka dapat saja
berpindah merek dengan menanggung switching cost (biaya peralihan), seperti waktu, biaya,
atau resiko yang timbul akibat tindakan peralihan merek tersebut. Untuk menarik peminat
pembeli kategori ini, pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung pembeli
dengan menawarkan berbagai manfaat sebagai kompensasi.
d. Likes The Brand
Likes the brand atau menyukai merek adalah pembeli yang sungguh-sungguh
menyukai merek tersebut. Rasa suka didasari oleh asosiasi yang berkaitan dengan simbol,
rangkaian pengalaman menggunakan merek itu sebelumnya, atau persepsi kualitas yang
tinggi.
e. Committed Buyer
Committed buyer atau pembeli yang berkomitmen adalah kategori pembeli yang
setia. Mereka mempunyai kebanggaan dalam menggunakan suatu merek. Merek tersebut
bahkan menjadi sangat penting baik dari segi fungsi maupun sebagai ekspresi siapa
sebenarnya penggunanya. Ciri yang tampak pada kategori ini adalah tindakan pembeli untuk
merekomendasikan atau mempromosikan merek yang ia gunakan kepada orang lain.
50
Gambar 2.1 Piramida Loyalitas Merek
Sumber: Durianto, Sugiarto, dan Budiman, 2004, p21
2.1.5.4Manfaat Brand Loyalty
Banyak manfaat yang anda dapat kalau pelanggan punya loyalitas tinggi ke merek
anda. Pertama, anda menghemat biaya, karena meretensi pelanggan lama yang loyal.
Kedua, anda akan mendapat jaminan ruang yang dominan di outlet karena peritel melihat
merek yang memilik i loyalitas merek tinggi akan selalu dicari pelanggan. Ketiga, loyalitas
merek yang tinggi akan memicu “word of mouth”, karena pelanggan loyal akan cenderung
menjadi “pengik lan” anda yang sangat fanatik (Hermawan Kartajaya, Yuswohady, Jacky
Mussry, dan Taufik, 2004, p211).
Delgado-Ballester dan Munuera-Aleman (Matzler, Krauter, dan Bidmon, 2008, p154)
menyatakan bahwa brand loyalty menghasilkan manfaat-manfaat, seperti halangan yang
kokoh bagi pesaing untuk masuk, kemampuan yang lebih baik untuk merespon ancaman
CommittedBuyer
Likes The Brand
Satisfied Buyer
Habitual Buyer
Switcher/Price Buyer
51
yang kompetitif, penjualan dan penerimaan yang lebih besar, kepekaan yang lebih rendah
terhadap usaha-usaha pemasaran dari para pesaing.
Loyalitas merek para pelanggan yang ada mewakili suatu aset strategis dan jika
dikelola dan dieksploitasi dengan benar akan mempunyai potensi untuk memberikan nilai
dalam beberapa bentuk, yaitu pengurangan biaya pemasaran, peningkatan perdagangan,
mengikat pelanggan baru baik dengan menciptakan kesadaran merek maupun meyakinkan
kembali, dan tersediannya waktu merespon (Rangkuti, 2002, p63).
Hal serupa juga dinyatakan oleh peneliti lainnya (Durianto, Sugiarto, dan Budiman,
2004, p21), yakni loyalitas merek dapat memberikan nilai kepada perusahaan, yaitu sebagai
berikut.
a. Mengurangi Biaya Pemasaran
Biaya pemasaran untuk mempertahankan konsumen akan lebih murah dibandingkan
untuk mendapatkan konsumen baru.
b. Meningkatkan Perdagangan
Loyalitas yang kuat terhadap suatu merek akan meningkatkan perdagangan dan
memperkuat keyakinan perantara pemasaran.
c. Menarik Konsumen Baru
Perasaan puas dan suka terhadap suatu merek akan menimbulkan perasaan yakin
bagi calon konsumen untuk mengkonsumsi merek tersebut dan biasanya akan
merekomendasikan atau mempromosikan merek yang ia pakai kepada orang lain, sehingga
kemungkinan dapat menarik konsumen baru.
d. Memberi Waktu untuk Merespon Ancaman Persaingan
Bila pesaing mengembangkan produk yang lebih unggul, konsumen yang setia akan
member waktu bagi perusahaan untuk merespon pesaing dengan memperbarui produknya.
52
Griffin (2005, pp11-12) di dalam bukunya menyatakan bahwa semakin lama loyalitas
seorang pelanggan, semakin besar laba yang diperoleh perusahaan dari satu pelanggan ini.
Griffin juga mengatakan bahwa loyalitas yang meningkat dapat menghemat biaya
perusahaan sedik itnya di enam bidang, yaitu: 1) biaya pemasaran menjadi berkurang (biaya
pengambilalihan pelanggan lebih tinggi daripada biaya mempertahankan pelanggan); 2)
biaya transaksi menjadi lebih rendah, seperti negosiasi kontrak dan pemrosesan order; 3)
biaya perputaran pelanggan (customer turnover) menjadi berkurang (lebih sedik it pelanggan
hilang yang harus digantikan); 4) keberhasilan cross-selling menjadi meningkat,
menyebabkan pangsa pelanggan yang lebih besar; 5) pemberitaan dari mulut ke mulut
menjadi lebih positif, dengan asumsi para pelanggan yang loyal juga merasa puas; 6) biaya
kegagalan menjadi menurun (pengurangan pengerjaan ulang, k laim garansi, dan
sebagainya).
2.2 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini meliputi variabel experiential marketing, celebrity endorsement, brand
trust, dan brand loyalty. Berdasarkan pada uraian mengenai variabel-variabel tersebut yang
telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka peneliti mendefinisikan variabel-variabel
tersebut sebagai berikut.
Experiential marketing merupakan bentuk strategi pemasaran di mana pemasar
mencoba untuk menyentuh sisi jasmaniah dan emosional dari target pasar dengan cara
melibatkan target pasar tersebut secara langsung pada praktek atau tindakan tertentu yang
dirancang oleh pemasar, di mana dari bentuk keterlibatan tersebut diharapkan target pasar
dapat memperoleh suatu pengalaman positif sehingga dapat mendorong target pasar untuk
melakukan tindakan-tindakan positif pula terhadap produk yang dipasarkan, antara lain
berupa munculnya perilaku pembelian. Experiential marketing terdiri dari lima dimensi yang
menjadi dasar pengukuran dari experiential marketing, yaitu sense, feel, think, act, dan
53
relate. Namun dimensi ter sebut tidak dapat langsung diukur dan masih memerlukan indikator
untuk mengukurnya, yaitu 1) penglihatan (sight), pendengaran (sound), penciuman (smell),
perasa (taste), dan peraba (touch) untuk dimensi sense, 2) perasaan batin (inner feeling)
dan emosi (emotion) untuk dimensi feel, 3) pemikiran konvergen (convergent thinking) dan
pemikiran divergen (divergent thinking) untuk dimensi think, 4) pengalaman fisik, gaya
hidup, dan interaksi untuk dimensi act, dan 5) menghubungkan orang-orang dengan sistem
sosial yang lebih luas untuk dimensi relate.
Celebrity endorsement merupakan bentuk strategi pemasaran di mana perusahaan
menggunakan selebriti untuk mempromosikan produk atau jasa yang ditawarkan oleh
perusahaan kepada publik, selebriti yang dimaksud dalam hal ini adalah orang-orang yang
dikenal oleh publik, jadi tidak hanya aktor ataupun aktris, tetapi juga meliputi beragam pihak
yang mendapatkan pengakuan atau pengenalan dari publik, seperi atlet, dan ketika seorang
selebriti mendukung program pemasaran dari suatu produk atau jasa, maka selebriti tersebut
disebut sebagai celebrity endorser. Sama halnya dengan variabel experiential marketing,
variabel celebrity endorsement juga terdiri dari dimensi dan indikator yang mengukurnya,
yaitu dimensi credibility dengan indikator expertise dan trustworthiness, serta dimensi
attractiveness dengan indikator similarity, familiarity, dan likeability.
Brand trust merupakan kepercayaan konsumen pada suatu merek bahwa merek
tersebut memilik i kemampuan sehingga dapat diandalkan oleh konsumen, dan tidak hanya
itu, merek tersebut juga dipercayai memilik i niat untuk dapat memenuhi kebutuhan
konsumen tersebut sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh merek tersebut kepada
konsumen sehingga hal tersebut dapat menimbulkan rasa aman bagi konsumen. Variabel
brand trust juga terdiri dari dimensi brand reliability dengan indikator kemampuan dan
keinginan untuk menepati janji, serta kemampuan dan keinginan memuaskan kebutuhan
konsumen, dimensi lainnya yaitu brand intentions dengan indikator altruism, honesty,
dependability, dan fairness.
54
Brand loyalty merupakan kesetiaan konsumen terhadap suatu merek yang
memungkinkan terjadinya pembelian berulang atau dengan kata lain kesediaan konsumen
untuk tidak beralih kepada merek produk sejenis yang lainnya. Variabel brand loyalty terdiri
dari dimensi behavior dengan indikator perilaku pembelian ulang, karena konsumen puas
dengan merek tersebut, serta dimensi attitude dengan indikator word of mouth dan kerelaan
untuk membayar pada harga premium.
Hubungan-hubungan yang terjadi antara variabel yang diteliti terkait dengan tujuan
penelitian dijelaskan berikut ini.
a. Hubungan antara Experiential Marketing dengan Brand Trust
Kepercayaan dibangun melalui pengalaman, semakin positif pengalaman yang
dimilik i oleh konsumen bersama dengan suatu merek, maka seorang konsumen akan
semakin mungkin untuk mempercayai merek tersebut (Delgado-Ballester dan Aleman, 2005,
p193). Hal tersebut berarti bahwa experiential marketing sebagai suatu sarana untuk dapat
memfasilitasi timbulnya pengalaman dengan suatu merek produk, dapat berpengaruh positif
terhadap kepercayaan dari merek produk tersebut.
b. Hubungan antara Celebrity Endorsement dengan Brand Trust
Menurut Abbot dan kawan-kawan (Byrne, Whitehead, dan Breen, 2003, p289) ,
alasan untuk mengadopsi strategi celebrity endorsement, yaitu apa yang selebriti lakukan
adalah untuk meningkatkan merek dan menghemat waktu yang berharga untuk dapat
membuat kredibilitas perusahaan dengan cara mentransfer nilai-nilai terhadap merek. Ketika
konsumen melihat seorang selebriti yang kredibel mendukung suatu produk, mereka akan
berpik ir bahwa perusahaan dari merek tersebut harusnya merupakan perusahaan yang baik.
Artinya jika konsumen dapat berpik ir demikian, tentunya hal ini juga akan mengarahkan
konsumen untuk berpik ir bahwa merek yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut juga
merupakan merek yang baik atau dengan kata lain dapat dipercaya.
55
c. Hubungan antara Brand Trust dengan Brand Loyalty
Terdapat beragam opini yang menekankan pada pentingnya trust sebagai variabel
utama untuk pembangunan brand loyalty, seperti menurut Chaudhuri, Holbrook, Garbarino,
Johnson, Morgan, dan Hunt (Delgado-Ballester, 2004, p587). Di dalam penelitian Romaniuk
dan Bogomolova (2005, p364) dikatakan bahwa trust dipertimbangkan sebagai modal bagi
merek yang dapat berdampak pada peningkatan loyalitas pelanggan.
Spekman mempercayai bahwa trust merupakan fondasi untuk membangun
hubungan jangka panjang dengan pelanggan. Trust dapat membantu bisnis untuk
memprediksi perilaku pelanggan. Yaitu, ketika pelanggan percaya pada suatu produk,
mereka tidak akan dengan mudahnya beralih untuk membeli produk lainnya (Chi, Yeh,
Chiou, 2009, p231).
Morgan dan Hunt menyatakan bahwa brand trust mengarahkan pada tingkat
loyalitas yang lebih tinggi ketika trust menciptakan hubungan pertukaran yang sangat
dihargai (Matzler, Krauter, dan Bidmon, 2008, p155).
Di dalam peneltian Chi, Yeh, dan Chiou (2009, p232), Chi, Yeh, dan Chiou mengutip
pendapat Aaker mengenai manfaat dari adanya konsumen yang loyal. Dua diantaranya, yaitu
sebagai dasar untuk menetapkan harga premium dan juga sebagai pertahanan terhadap
perang harga yang mengganggu.
Dengan adanya kedua manfaat tersebut, dapat diamati bahwa terdapat manfaat
berupa toleransi harga dari pelanggan yang loyal terhadap suatu merek. Dengan
menghubungkan kedua pendapat tersebut, peneliti dapat mengamati bahwa brand trust
berpengaruh terhadap brand loyalty, karena brand trust dapat memengaruhi toleransi harga
pelanggan terhadap suatu merek dan toleransi harga tersebut merupakan bagian dari dua
manfaat brand loyalty yang dinyatakan oleh Aaker. Hal ini serupa dengan pendapat dari
Delgado-Ballester, Munuera-Aleman, dan Yague-Guillen (Romaniuk dan Bogomolova, 2005,
56
p364), yaitu bahwa brand trust memilik i dampak signifikan terhadap komitmen pelanggan,
yang pada gilirannya memengaruhi toleransi harga pelanggan terhadap suatu merek.
Morgan, Hunt, Bearden, Lichtenstain, dan Teel, menyatakan bahwa brand trust
dapat mewakili preferensi pelanggan ketika pelanggan percaya pada suatu merek, mereka
akan lebih memilih dan bergantung pada suatu merek dan meningkatkan keinginan
pembelian kembali (Chi, Yeh, dan Chiou, 2009, p232). Menurut Delgado-Ballester (2004,
p575), berdasarkan pada dimensi brand reliability, ada prediksi bahwa suatu merek akan
memuaskan kebutuhan indiv idu dengan cara positif yang konsisten. Alhasil, Morgan dan
Hunt menyatakan bahwa konsumen yang membangun sikap positif terhadap suatu merek
akan menjadi penghubung terhadap keputusan pembelian kembali. Dari penjelasan tersebut,
dapat diamati bahwa brand reliability yang merupakan salah satu dimensi dari brand trust
dan brand trust sebagai suatu variabel dapat menimbulkan keinginan pembelian kembali, di
mana menurut Oliver (Lee, 2006, p26), komitmen yang dipegang secara mendalam untuk
membeli kembali termasuk ke dalam brand loyalty. Untuk itu, peneliti dapat mengamati
bahwa brand trust berpengaruh terhadap brand loyalty.
Singh dan Sirdeshmukh mengasumsikan bahwa trust merupakan mediator penting
antara perilaku sebelum dan setelah pembelian dan ini dapat menyebabkan loyalitas
pelanggan jangka panjang dan menghubungkan hubungan erat antara penjual dan pembeli,
di mana di bawah hubungan tersebut, pelanggan akan memberikan evaluasi yang positif
terhadap bisnis setelah melakukan pembelian dan mempromosikan kepercayaan dan loyalitas
mereka (Chi, Yeh, dan Chiou, 2009, p232).
Menurut Lau dan Lee, jika seseorang percaya pada pihak lain, ada kemungkinan
bahwa orang tersebut akan mengembangkan niat untuk berperilaku positif terhadap pihak
lain tersebut. Brand Loyalty sebagai konsekuensi penting dari brand trust, dikonsepkan baik
sebagai niat untuk berperilaku terhadap merek tersebut atau sebagai pola sesungguhnya dari
perilaku pembelian, ataupun keduanya (Matzler, Krauter, dan Bidmon, 2008, p156).
57
Chaudhuri dan Holbrook mengusulkan bahwa brand trust meningkatkan brand
loyalty pada consumer products (Chatterjee dan Chaudhuri, 2005, p1). Selain itu, Chaudhuri
dan Holbrook (Chi, Yeh, dan Chiou, 2009, p232) juga mengidentifikasi bahwa ketika
pelanggan meningkatkan kepercayaannya pada suatu merek, mereka akan meningkatkan
preferensi mereka terhadap suatu produk atau frekuensi pembelian ulang di masa
mendatang, dan brand trust tersebut berpengaruh secara positif terhadap brand loyalty. Hal
serupa ditemukan di dalam penelitian Delgado-Ballester dan Aleman (2005, pp190-191),
yaitu brand trust ditemukan dapat secara positif berpengaruh dengan brand loyalty. Selain
itu, ditemukan bahwa baik brand reliability maupun brand intentions dapat memengaruhi
brand loyalty secara positif.
d. Hubungan antara Experiential Marketing dengan Brand Loyalty
Berdasarkan pada studi desain pengalaman yang dilakukan oleh Davenport, Beck,
Gobe, Zyman, Pine, Gilmore, Reichheld, dan juga Schmitt (Lin, 2006, p51) dibuktikan bahwa
pengalaman-pengalaman yang dirancang dengan baik dapat membangun loyalitas.
Yang (2009, pp257-259) pernah melakukan penelitian mengenai pengaruh dari dua
elemen pengalaman yang merupakan bagian dari sense experience dalam experiential
marketing, yang terdiri dari lokasi pelayanan dan produk, terhadap kepuasan pelanggan dan
niat pembelian kembali. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa kedua elemen
pengalaman tersebut memilik i pengaruh yang positif, baik terhadap kepuasan pelanggan dan
juga niat pembelian kembali. Menurut Oliver (Lee, 2006, p26), komitmen yang dipegang
secara mendalam untuk membeli kembali termasuk ke dalam brand loyalty. Apabila
dihubungkan dengan penelitian ini, maka peneliti mengamati bahwa experiential marketing
berpengaruh terhadap komitmen pembelian ulang, di mana komitmen pembelian ulang
merupakan salah satu bagian dari brand loyalty, hal ini berarti bahwa experiential marketing
berpengaruh terhadap brand loyalty.
58
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan Lin (2006, p134), ditemukan bahwa
persepsi pengunjung tentang experiential marketing berpengaruh secara langsung terhadap
loyalitas pengunjung tersebut.
e. Hubungan antara Celebrity Endorsement dengan Brand Loyalty
Berdasarkan pada model daya tarik sumber, menurut Carroll (2009, p151), selebriti
yang menarik mungkin lebih berhasil dalam mengubah kepercayaan dan menghasilkan niat
pembelian. Pernyataan tersebut mendukung penelitian yang dilakukan oleh Blass, Alperstein,
Block, Baker, Churchill, Joseph, Caballero, Solomon, Kahle, dan Homer mengenai daya tarik
(attractiveness) dari seorang selebriti, di mana pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa
attractiveness menyebabkan perubahan tingkah laku dan meningkatkan niat pembelian
kembali (James, 2003, pp20-21).
Ohanian (Carroll, 2009, p151) menunjukkan bahwa bagaimanapun juga kebanyakan
selebriti adalah menarik dan karenanya dampak keseluruhan dari variabel ini mungkin lemah.
Selain itu, attractiveness mungkin hanya relevan untuk kategori yang berhubungan dengan
daya tarik. Bukti keseluruhan berdasarkan pada penelitian menunjukkan bahwa expertise
yang dirasakan adalah variabel yang paling penting, meningkatkan persuasi di atas dan
melampaui pengaruh dari atrractiveness, dan khususnya trustworthiness.
Menurut Atkin, Block, Petty, dan Cacioppo, celebrity endorser ditemukan dapat
menghasilkan tanggapan positif yang lebih terhadap perik lanan dan niat pembelian kembali
yang lebih besar daripada endorser yang bukan selebriti (Byrne, Whitehead, dan Breen,
2003, p291).
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa menurut Oliver (Lee,
2006, p26), komitmen yang dipegang secara mendalam untuk membeli kembali termasuk ke
dalam brand loyalty. Dari pendapat Oliver tersebut, dapat diamati bahwa niat pembelian
kembali termasuk ke dalam brand loyalty. Untuk itu, baik attractiveness yang merupakan
59
salah satu atribut umum yang berkontribusi terhadap efektifitas seorang endorser maupun
celebrity endorser itu sendiri, keduanya berpengaruh terhadap brand loyalty.
Alan dan kawan-kawan melakukan penelitian yang berfokus pada pengaruh dari
model peran atlet pada niat pembelian dan perilaku remaja. Salah satu hasil penemuannya,
yaitu model peran atlet dianggap sebagai pemberi pengaruh yang penting bagi remaja.
Pemberi-pemberi pengaruh tersebut tidak hanya penting dalam membantu untuk
menyebarkan word of mouth positif tentang suatu produk atau merek, tetapi juga untuk
meningkatkan loyalitas merek (Patra dan Datta, 2010, p62).
Di atas telah dijelaskan hubungan yang terjadi antara variabel yang satu dengan
yang lainnya. Berdasarkan pada hubungan-hubungan tersebut, secara garis besar, peneliti
menggambarkan hubungan antara variabel yang diteliti pada model berikut ini.
Gambar 2.2 Kerangka Penelitian
Sumber: Peneliti (2010)
Experiential
Marketing
Celebrity
Endorsement
Brand Trust Brand
Loyalty
60
2.3 Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji guna memenuhi tujuan-tujuan di dalam penelitian ini terdiri
dari tujuh buah hipotesis yang dijelaskan berikut ini.
• Pengujian mengenai apakah implementasi experiential marketing berpengaruh secara
langsung terhadap brand trust dari produk Citra.
Hipotesis 1:
Ho: Variabel experiential marketing tidak memilik i pengaruh langsung yang signifikan
terhadap variabel brand trust dari produk Citra
Ha: Variabel experiential marketing memilik i pengaruh langsung yang signifikan terhadap
variabel brand trust dari produk Citra
• Pengujian mengenai apakah implementasi celebrity endorsement berpengaruh secara
langsung terhadap brand trust dari produk Citra.
Hipotesis 2:
Ho: Variabel celebrity endorsement tidak memilik i pengaruh langsung yang signifikan
terhadap variabel brand trust dari produk Citra
Ha: Variabel celebrity endorsement memilik i pengaruh langsung yang signifikan terhadap
variabel brand trust dari produk Citra
• Pengujian mengenai apakah dengan adanya brand trust dapat berpengaruh secara
langsung terhadap brand loyalty dari produk Citra.
Hipotesis 3:
Ho: Variabel brand trust tidak memilik i pengaruh langsung yang signifikan terhadap
variabel brand loyalty dari produk Citra
Ha: Variabel brand trust memilik i pengaruh langsung yang signifikan terhadap variabel
brand loyalty dari produk Citra
61
• Pengujian mengenai apakah implementasi experiential marketing berpengaruh secara
langsung terhadap brand loyalty dari produk Citra.
Hipotesis 4:
Ho: Variabel experiential marketing tidak memilik i pengaruh langsung yang signifikan
terhadap variabel brand loyalty dari produk Citra
Ha: Variabel experiential marketing memilik i pengaruh langsung yang signifikan terhadap
variabel brand loyalty dari produk Citra
• Pengujian mengenai apakah implementasi celebrity endorsement berpengaruh secara
langsung terhadap brand loyalty dari produk Citra.
Hipotesis 5:
Ho: Variabel celebrity endorsement tidak memilik i pengaruh langsung yang signifikan
terhadap variabel brand loyalty dari produk Citra
Ha: Variabel celebrity endorsement memilik i pengaruh langsung yang signifikan terhadap
variabel brand loyalty dari produk Citra
• Pengujian mengenai apakah implementasi experiential marketing berpengaruh secara
tidak langsung terhadap brand loyalty dari produk Citra dengan dimediasi oleh adanya
brand trust.
Hipotesis 6:
Ho: Variabel experiential marketing tidak memilik i pengaruh tidak langsung yang
signifikan terhadap variabel brand loyalty dari produk Citra
Ha: Variabel experiential marketing memilik i pengaruh tidak langsung yang signifikan
terhadap variabel brand loyalty dari produk Citra
62
• Pengujian mengenai apakah implementasi celebrity endorsement berpengaruh secara
tidak langsung terhadap brand loyalty dari produk Citra dengan dimediasi oleh adanya
brand trust.
Hipotesis 7:
Ho: Variabel celebrity endorsement tidak memilik i pengaruh tidak langsung yang
signifikan terhadap variabel brand loyalty dari produk Citra
Ha: Variabel celebrity endorsement memilik i pengaruh tidak langsung yang signifikan
terhadap variabel brand loyalty dari produk Citra