-
Laporan Assessment dan Analisis Potensi Konflik Tenure
Terkait DA REDD+ di KPHL Kapuas
Ditulis Oleh
WIDIYANTO
Maret 2013
-
Laporan Assessment dan Analisis Potensi Konflik Tenure
Terkait DA REDD+ di KPHL Kapuas
A. PENDAHULUAN
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Kapuas menjadi salah satu lokasi
yang penting untuk di-assessment potensi konfliknya oleh WGT setidaknya berdasar
tiga alasan. Pertama, KPH Kapuas merupakan salah satu KPH Model yang pendiriannya
paling awal, saat kebijakan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan oleh Kementerian
Kehutanan sebagaimana tertuang dalam Permenhut No. 6 tahun 2009 tentang
Pembentukan Wilayah KPH, dicanangkan.
Kedua, sebagai KPH Model, assessment terhadap KPH Kapuas merupakan cermin
sekaligus bahan evaluasi terbaik bagi Kementerian Kehutanan dalam mencapai target
pembentukan 120 KPH hingga tahun 2014. Ketiga, yang lebih spesifik, hampir seluruh
wilayah KPHL Kapuas tumpang-tindih dengan wilayah Demostration Activities REDD+
yang diprakarsai oleh Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP), sehingga
dibutuhkan assessment yang mendalam mengenai persinggungan dan implikasinya.
Assessment kali ini dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari assessment yang dilakukan
oleh WGT sebelumnya, yakni pada tahun 2011. Konteks assessment saat itu KPHL
Kapuas belum terbentuk. Oleh sebab itu, WGT melakukan assessment dan analisa tenure
guna mendukung pembentukan KPH Model di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
Seperti assessment sebelumnya, penelitian ini diawali dengan pelatihan tiga perangkat
analisa land tenure yang dilaksanakan oleh WGT dengan mengundang KPH-KPH yang
sudah terbentuk. Pelatihan dilaksanakan pada 6-8 Juni 2012 bertempat di Bogor. Kepala
KPHL Model Kapuas menjadi salah satu peserta yang diundang dalam pelatihan
tersebut yang kemudian ditindaklanjuti dengan menetapkannya sebagai lokasi
assessment dengan sejumlah pertimbangan di atas.
Tiga perangkat analisa tenure WGT yang diajarkan dalam pelatihan adalah Perangkat
Analisis Land Tenure atau Rapid Land Tenure Assessment (RATA), sistem database
pendokumentasian konflik HuMaWin, dan perangkat Analisa dan Gaya Pihak
Bersengketa (AGATA).
KPHL Kapuas sendiri sudah terbentuk sejak tahun 2011 melalui Peraturan Bupati
Kapuas No.197 tahun 2011. Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari SK Menhut
No.247/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Wilayah KPHL Model Kapuas, Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah. Meski sudah memiliki dasar hukum pembentukan sejak
tahun 2011, akan tetapi bangunan kelembagaan KPHL Model Kapuas baru berdiri sejak
-
pertengahan 2012 dengan kantor yang masih menumpang di salah satu ruangan di
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kapuas.
Peta Wilayah KPHL Model Kapuas (Unit XXXIII) berdasar SK 247/Menhut-II/2011
Pembentukan KPH merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Ditjen Planologi
Kementerian Kehutanan dalam mendorong percepatan kebijakan prioritas
Kementerian untuk Pemantapan Kawasan Hutan. KPH akan dibentuk di seluruh
kawasan hutan di Indonesia. Dengan pembentukan KPH yang menekankan pada
kepastian penguasaan kawasan hutan, dapat memberikan kesempatan kepada pihak-
pihak lain untuk turut mengelola dan memanfaatkan hutan dan hasilnya serta
sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.
Yang tergambar kuat dalam konsep pembentukan KPH adalah desentralisasi yang nyata
di sektor kehutanan. KPH bertanggung jawab secara langsung atas wilayahnya dengan
mendorong peningkatan peran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan
demi kepentingan kelestarian ekosistem serta peningkatan taraf ekonomi masyarakat
yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan.
Pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada akumulasi keuntungan mendorong
maraknya eksploitasi terhadap hutan yang berujung pada kerusakan ekosistem dan
lingkungan. Degradasi dan deforestasi menjadi ancaman nyata di masa depan yang
dampaknya dapat dirasakan dengan meningkatnya suhu bumi akibat perubahan iklim.
Dengan kata lain saat ini kita mendapati bahwa banyak hutan yang mengalami
penurunan secara kualitas.
Di sisi lain, tak sedikit hutan yang terlantar tak terkelola dengan baik akibat
pengusahaan hutan yang tak bertanggung jawab, yang apabila ditangani dengan baik
-
dapat menghasilkan manfaat bagi pihak lain serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Penelantaran hutan ini terjadi ketika perencanaan pengusahaan hutan
tidak dirancang dengan baik. Pengusahaan hutan pada masa lalu dianggap lebih
menekankan aspek eksploitasi dengan meminggirkan aspek sosial, ekologi, dan
keberlanjutan hutan di masa depan.
Ketiga aspek penting tersebut belum menjadi instrumen utama untuk dipertimbangkan
secara inheren dalam perencanaan pengusahaan hutan. Setelah dieksploitasi, hutan
menjadi areal lahan terbuka dan rentan mengalami konversi status yang pada akhirnya
akan mengurangi luasan maupun kualitas lahan.
Sementara itu peran organisasi kehutanan yang berada di tingkat lokal yang ada tidak
dimaksudkan untuk mengelola kawasan hutan di tingkat tapak. Keberadaan instansi-
instansi tersebut lebih pada kontrol perijinan dalam alur pengusahaan hutan dan
kepanjangan tangan dari Kementerian Kehutanan di tingkat pusat. Organisasi
kehutanan di tingkat daerah menekankan tugas pokok dan fungsinya secara
administratif atas kawasan hutan sementara pengelolaannya diserahkan kepada pihak
lain.
Dasar yang digunakan Kementerian Kehutanan melalui instansi-instansi kehutanan di
bawahnya merujuk UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. UU tersebut menekankan
bahwa penguasaan seluruh hutan di Indonesia diserahkan kepada Pemerintah untuk
mengatur dan mengurus segala urusan terkait hutan, kawasan hutan dan hasil hutan,
menetapkan status kawasan, serta mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang
dengan hutan dan perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Dengan berpedoman pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, maka
penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk peningkatan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjamin keberadaan
hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; mengoptimalkan
fungsi hutan secara seimbang; meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
meningkatkan kapasitas serta keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan,
dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan
ekonomi serta ketahanan masyarakat; dan menjamin distribusi manfaat yang
berkeadilan dan berkelanjutan.
Di sinilah letak strategis pendirian KPH yang salah satu poin pendiriannya guna
meningkatkan aksesibilitas masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan. Karena
KPH didorong untuk lebih mengetahui kondisi kawasan secara langsung sehingga
diharapkan mampu memberikan solusi dan manfaat yang kongkret bagi kelangsungan
kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan, yang secara langsung akan
berkontribusi secara signifikan pada proses penyelesaian konflik kehutanan yang
marak belakangan.
-
KPHL Model Kapuas tampaknya didirikan berdasar sejumlah kegelisahan di atas.
Assessment WGT kali ini lebih pada proses mengidentifikasi potensi konflik tenure yang
dialami KPH dengan pihak lain yang bertindak selaku pengelola di dalam kawasan KPH.
Pihak lain tersebut tak lain adalah KFCP. WGT tidak melakukan assessment dari sudut
pandang kehutanan, biofisik, tutupan, maupun wilayah kelola, akan tetapi lebih pada
potensi persoalan land tenure di wilayah KPHL Kapuas yang bersinggungan dengan
wilayah kerja KFCP. Data-data mengenai assessment tersebut diperoleh dari berbagai
sumber laporan sebagai pengaya laporan ini.
Tata Kuasa Wilayah KPHL Model Kapuas
KPHL Model Kapuas dengan keterbatasan kelembagaan dan sarana pendukung lainnya,
berupaya melakukan identifikasi awal mengenai kondisi tata kelola dan tata kuasa di
wilayahnya. Dari sini, KPH Kapuas harus menerima kenyataan bahwa telah berlangsung
sebuah proyek demonstration activities REDD+ di wilayahnya yang dilakukan oleh
KFCP. Artinya, KFCP telah beraktivitas beberapa tahun sebelum KPHL Model Kapuas
didirikan.
Berdasar pengamatan sepintas,
adanya kelembagaan KPHL Model
dengan KFCP sebagai pelaksana
proyek demonstrasi aktivitas
REDD+ di lapang yang hampir
secara keseluruhan tumpang-tindih,
memunculkan tanggapan beragam
yang sangat potensial dapat
menimbulkan konflik atas tata
kuasa kawasan hutan di Kapuas.
Potensi konflik ini tentu saja perlu
diuraikan guna dicari jalan
keluarnya demi pengelolaan kehutanan ke depan yang lebih baik.
Pada umumnya konflik tenure menyangkut kawasan hutan terjadi jika terdapat
perbedaan klaim penguasaan atas kawasan atau satu lahan yang sama, di mana masing-
masing pihak merasa paling berkuasa atas lahan yang menjadi obyek sengketa dan
berupaya mengecualikan atau menghilangkan klaim pihak lainnya. Pengecualian atau
penghilangan klaim pihak lawan sengketa dapat dilakukan dengan beragam metode
yang pada intinya hendak mengurangi legitimasi keberadaan pihak lain tersebut.
Dalam kasus ini, potensi konflik tata kuasa teridentifikasi bermula dari adanya
persinggungan wilayah KPHL Model Kapuas dengan wilayah kerja demonstration
-
activities KFCP. KPHL Model Kapuas dan KFCP adalah dua pihak yang terlibat dalam
konflik tata kuasa tersebut.
KPHL Model melandaskan legitimasi keberadaannya pada aturan formal mulai dari
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 247/Menhut-II/2011 tentang Pembentukan
KPHL Model Kapuas hingga ke Peraturan Bupati No. 197 tahun 2011. Di lain pihak,
KFCP, dengan dukungan dana berlimpah untuk menyelenggarakan proyek DA REDD+
berupaya membangun legitimasinya melalui beragam kegiatan yang bersentuhan
langsung dengan masyarakat.
Beragam kegiatan yang dilakukan KFCP di wilayah kerjanya antara lain melakukan
pemetaan wilayah kerja, wilayah desa, pembibitan, demonstrasi penanaman beragam
jenis tanaman di lahan-lahan kritis, pemantauan terhadap kebakaran lahan, dan lain
sebagainya.
Kegiatan KFCP di luar aktivitas kehutanan tampak juga dilakukan oleh proyek
kemiteraan bilateral Indonesia-Australia ini, seperti turut membantu sejumlah
pemerintah desa, terutama di daerah yang menjadi wilayah kerjanya, menyusun
rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes).
Di tingkat pemerintahan, KFCP juga
terlibat mendanai pengembangan
kapasitas birokrasi dalam
pemerintahan lokal setempat
sebagai komitmen dukungan
pembangunan Kerangka Kerja
Nasional REDD termasuk dukungan
terhadap Pokja REDD antar instansi
pemerintah.
Beragam aktivitas dan dukungan
KFCP di luar kehutanan tersebut di
atas secara tak langsung
memperkuat legitimasi
keberadaannya dalam tata kuasa kehutanan di wilayah KPHL Model Kapuas. Terdapat
persepsi kuat dalam pandangan masyarakat bahwa KFCP merupakan pengelola
kawasan tersebut yang menjurus pada pemegang kuasa tunggal atas kawasan.
Kesan ini sulit untuk ditampik mengingat KFCP melakukan kegiatan dengan mobilisasi
dana dan sumberdaya yang tak sedikit. Sehingga persepsi yang terbangun di
masyarakat, sesungguhnya KFCP-lah yang berperan besar dalam membangun dan
memberi penghidupan masyarakat desa.1
1 Persepsi ini muncul dari kalangan kepala desa dan sejumlah warga yang terlibat dalam kegiatan yang didanai
oleh KFCP, seperti pembibitan, penanaman, penabatan blok-blok bergambut di desa seperti di Desa Katimpun.
-
Faktor lain yang memperkuat legitimasi KFCP dari perspektif global. KFCP merupakan
proyek percontohan pertama dari kesepakatan Indonesia-Australia Forest Carbon
Partnership (IAFCP). Misi utama project IAFCP ini menyusun model pendanaan yang
menggunakan pendekatan berbasis inisiatif pasar dan merumuskan langkah-langkah
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.2 Skema pendanaan perubahan
iklim model REDD ini yang sekarang menjadi perdebatan hangat di tingkat
internasional.
KFCP merupakan realisasi dari kemitraan yang melibatkan dua negara, Indonesia-
Australia, untuk karbon hutan. Kesepakatan ini ditandatangani langsung oleh Presiden
SBY dan Perdana Menteri Australia, untuk jangka waktu 2008-2012 dengan komitmen
pendanaan dari Australia sebesar 40 juta AUD. Rinciannya 10 juta AUD untuk persiapan
REDD dan 30 juta AUD untuk pengembangan pilot project Kalimantan Tengah ini.
Kementerian Kehutanan melalui Sekretaris Jenderal Hadi Daryanto lalu mengeluarkan
Surat Keterangan No. KT. 12/II-KUM/2010 tertanggal 20 Desember 2010 tentang
Penunjukan Wilayah Kerja KFCP, yang berada pada kawasan lahan gambut seluas
120.000 hektar yang terletak di bagian utara bekas kawasan Proyek Pembangunan
Lahan Gambut (eks PLG) sejuta hektar yang dibatasi oleh Sungai Kapuas di sebelah
barat dan Sungai Mantangai di bagian barat daya dengan wilayah administrasi terbagi
di Kecamatan Mantangai dan Kecamatan Timpah, Kabupaten Kapuas, Provinsi
Kalimantan Tengah dengan batas geografis kurang lebih 11402321-1140402321
bujur timur dan 10561-203010 lintang selatan.
Surat yang dikeluarkan Sekjend Kemenhut tersebut menjadi dasar peta wilayah kerja
KFCP, meski dalam poin-poin kesepakatan telah secara eksplisit menyebut lokasi
proyek demonstration activities KFCP di Kabupaten Kapuas.
B. Sekilas tentang Wilayah KPHL Model Kapuas dan KFCP
Sejarah Kawasan
Dasar penetapan wilayah KPHL Model Kapuas adalah Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. 247/Menhut-II/2011 tentang Pembentukan KPHL Model Kapuas. Dalam
Surat tersebut dinyatakan bahwa letak geografis KPHL Model Kapuas berada pada 114
23' 31,4" - 114 42'44,5" Bujur Timur dan 151'47,4" - 2 25' 45,8" Lintang Utara.
Luas area wilayahnya mencapai 105.372 hektar berada di dua kecamatan, yaitu
Kecamatan Mantangai dan Kecamatan Timpah. Wilayah KPH berada secara
administratif di sepuluh desa di dua kecamatan tersebut. Desa-desa tersebut adalah
Petak Puti di Kecamatan Timpah, Desa Tumbang Muroi, Lapetan, Tumbang Mangkutup,
2 Bernadinus Steni dan Sentot Setyasiswanto, Tak ada Alasan Ditunda; Potret FPIC dalam Proyek
Demonstration Activities REDD+ di Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah, HuMa, 2011, hal. 15-16.
-
Katunjung, Sei Ahas, Katimpun, Kalumpang, Mantangai Hulu dan Mantangai Tengah
berada di Kecamatan Mantangai.
Wilayah KPHL Model Kapuas berada di eks proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta
Hektar (Eks-PLG) Provinsi Kalimantan Tengah. Sebelah timur berbatasan dengan Hutan
Konservasi di Kabupaten Barito Selatan, sebelah barat berbatasan dengan APL
Kabupaten Kapuas di mana dapat dijumpai desa-desa yang berada di tepi Sungai
Kapuas. Demikian sebelah selatan, wilayah KPHL Kapuas berbatasan dengan APL, dan
utara dengan HPK Kabupaten Kapuas.
Mulanya proyek PLG Sejuta Hektar diprakarsai oleh Pemerintahan Presiden Soeharto
pada masa lalu untuk mengkonversi secara besar-besaran kawasan gambut menjadi
areal pertanian pangan. Melalui
Keppres No. 82 tahun 1995 tentang
Pengembangan Lahan Gambut untuk
Pertanian Tanaman Pangan di
Kalimantan Tengah, Pemerintah
melakukan konversi tersebut guna
mengantisipasi krisis pangan nasional
saat itu.
Berdasar peta lampiran Tata Guna
Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun
1982, kawasan Eks-PLG berada di
kawasan hutan produksi (HP) dan sebagian hutan produksi yang dapat dikonversi
(HPK) yang secara hukum status kawasan hutan tersebut dapat dilepaskan sebagai
kawasan hutan. Lalu Menteri Kehutanan mengeluarkan SK No. 166/Menhut/VII/1996
mengenai Pencadangan Areal Hutan untuk Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah.
Keluarnya SK Menhut ini kuat dugaan demi memuluskan rencana Pemerintah untuk
mengkonversi kawasan sebagaimana dikehendaki Presiden dalam Keppres tahun 1995
itu.
Berbagai kebijakan lainnya pun ditelurkan guna menyukseskan program PLG Sejuta
Hektar yang terbilang prestisius tersebut, seperti misal program transmigrasi para
penduduk dari Jawa yang ditempatkan di sebelah selatan lokasi PLG itu. Hingga
sekarang masih banyak transmigran yang tinggal di dekat Mantangai di sekitar
perkebunan kelapa sawit. Guna menjalankan konversi kawasan, pelbagai Ijin
Penebangan Kayu (IPK) pun dikeluarkan. Aktivitas penebangan kayu membabati hutan
meninggalkan potongan-potongan kayu dan semak belukar.
Di kawasan tersebut kemudian dibuat drainase-drainase dan kanal dengan membuat
tabat yang fungsinya menahan air masuk ke gambut. Proses pengeringan lahan gambut
ini membuat lahan kering-kerontang, ekosistem hutan rawa gambut menjadi rusak, dan
sebagai dampak terburuknya: lahan menjadi mudah sekali terbakar. Ini kerap terjadi di
-
Blok A sebelah utara. Sementara Blok E yang terletak di ujung utara wilayah KPHL
Model Kapuas kondisi hutannya dapat dikatakan masih bagus.
Menurut penuturan warga Katunjung, periode akhir tahun 1997an merupakan puncak
terjadinya kebakaran hebat di kawasan gambut ini. Berhektar-hektar lahan gambut
terbakar yang mengakibatkan bencana asap akibat kebakaran yang hebat. Asap
kebakaran gambut membubung tinggi hingga ke daerah-daerah lain dan menimbulkan
bencana asap tingkat nasional. Ekosistem dan ekologi di kawasan tersebut menjadi
rusak akibat kebakaran tersebut. Hutan pun mengalami degradasi fungsi dan kebakaran
gambut menjadi pemicu utama pelepasan emisi gas rumah kaca.
Dokumen Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan rencana kegiatan KFCP
menyebutkan beberapa lokasi di Blok A bahkan mengalami lebih dari satu kali
kebakaran terhitung sejak tahun 1990, 2001, 2002, 2004, 2005, hingga 2006 dan 2009.
Bahkan di lokasi tersebut terdapat rawa gambut yang mengalami tujuh kali kebakaran
pada durasi tersebut. Letak lokasi yang paling sering mengalami kebakaran, menurut
dokumen UKL-UPL KFCP, berada di dekat kanal primer. Bisa jadi lokasi rawa tersebut
yang mengalami pengeringan parah sehingga gambut mudah terbakar.
Dengan kondisi ekosistem dan ekologi yang rusak akibat kebakaran, ditambah
massifnya penebangan kayu yang dilegalkan berdasar Ijin Pemanfaatan Kayu pada
masa 1990an akhir, kawasan Eks-PLG berubah seolah menjadi lahan terbuka. Sisa-sisa
tebangan pohon berserak, gambut mengering, dan tutupan lahan makin berkurang.
Areal tersebut lebih mirip lahan terlantar ketimbang kawasan hutan.
Kerusakan rawa gambut yang merupakan ekosistem terbesar di wilayah KPHL Model
Kapuas tentu saja membahayakan tak hanya dapat memicu pelepasan emisi yang dapat
mendorong terjadinya perubahan iklim, namun juga membahayakan kelangsungan
ekosistem di sana.
-
Hutan rawa gambut memiliki fungsi ekologis yang sangat besar dalam menjaga dan
mengontrol fungsi hidrologi dan ketersediaan air serta sebagai habitat yang spesifik
bagi keanekaragaman jenis flora dan fauna, seperti ramin, jelutung, ketiau, dan nyatoh.
Hutan rawa gambut yang rusak dan terganggu akan sangat sulit untuk direklamasi.
Meski kondisi lahan terlantarterutama di Blok A sebelah utara, akan tetapi secara
hukum, status kawasan tersebut masih kawasan hutan dengan kategori hutan produksi
sebagaimana ditunjuk dalam Peta TGHK tahun 1982. Upaya pelepasan kawasan yang
pernah dilakukan melalui SK Menhut tahun 1996 tidak berjalan mulus, sehingga
statusnya masih tetap Kawasan Hutan.3
Dalam dokumen Perencanaan KFCP tahun 2009 pun menyebut bahwa lokasi Eks-PLG
masih berstatus sebagai Kawasan Hutan Negara dengan kategori hutan produksi, yang
dalam waktu beberapa tahun mendatang akan berubah menjadi hutan lindung atau
suaka alam.4
Status kawasan hutan tersebut dapat ditemukan dalam Perda No. 3 tahun 2002 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) Kabupaten Kapuas dan Perda No. 8 tahun
2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (Perda RTRWP) Kalimantan
Tengah yang menyatakan bahwa Eks-PLG merupakan Kawasan Hutan dengan fungsi
Konservasi, yang terdiri dari Konservasi Flora dan Fauna, Kawasan Konservasi
Hidrologi, Kawasan Konservasi Gambut Tebal, dan Kawasan Konservasi Ekosistem Air
Hitam.
Keppres No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian
Tanaman Pangan secara resmi dicabut melalui Keppres No. 80 tahun 1999 tentang
3 Yayasan BOS, Proposal Pengusulan Areal Mawan menjadi Hutan Konservasi [Suaka Alam], tahun tidak
diketahui, hal 16. 4 Lihat dokumen Perencanaan KFCP tahun 2009 halaman 4.
-
Pedoman Umum Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut
di Kalimantan Tengah.
Dalam Pasal 1 ayat (4) Keppres No. 80 disebutkan bahwa kawasan yang memiliki lahan
basah yang bergambut dengan ketebalan gambut lebih dari 3 meter dan kawasan yang
berfungsi lindung pada daerah kerja pengembangan lahan gambut dimanfaatkan untuk
konservasi dan pengelolaannya di lakukan oleh Departemen Kehutanan dan
Perkebunan.
Perda dan Keppres ini kemudian menjadi sarana justifikasi bagi Yayasan Penyelamatan
Orangutan Borneo (BOSF) mengajukan konsesi konservasi orangutan seluas 300.000an
hektar di kawasan hutan Eks-PLG menyeberang ke Hutan Konservasi di Kabupaten
Barito Selatan, di sebelah timur wilayah KPHL Model Kapuas sekarang. Status ijin BOS
di daerah Mawas sendiri tak dapat dilacak, meski lembaga ini telah beroperasi di
lapangan. Di wilayah Kabupaten Kapuas, BOSMAWAS beroperasi di sebelah timur
dusun Tuanan, Desa Katunjung, Kecamatan Mantangai, hingga ke utara termasuk Blok
E, dalam wilayah KPHL Model Kapuas.
Kejelasan status kawasan hutan Eks-PLG sebagai kawasan hutan lindung muncul
melalui Instruksi Presiden No. 2 tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan
Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Dinyatakan
dalam Inpres tersebut bahwa keseluruhan wilayah Blok E masuk dalam kawasan
Lindung. Demikian halnya di Blok A bagian utara.
Keputusan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan kelestarian ekosistem dan
keanekaragaman hayati yang hidup di hutan rawa gambut. Dalam Permenhut No.
55/Menhut-II/2008 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Konservasi Kawasan
Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah, wilayah Eks-PLG masuk sebagai
wilayah arahan fungsi hutan lindung.
Ditinjau dari segi hukum, kejelasan status kawasan tersebut menjadi dasar yang kuat
untuk tetap memasukkan lahan Eks-PLG sebagai hutan yang dikuasai negara, meski
pada kenyataannya kondisinya telah mengalami degradasi dan deforestasi yang parah.
Paling tidak lahan yang dimaksud tidak dikeluarkan sebagai areal penggunaan lain yang
akan dengan mudah dimanfaatkan untuk kepentingan nonkehutanan, seperti ekspansi
kelapa sawit yang ekspansinya kian meluas di Kalimantan ini.
Perubahan fungsi kawasan dari status hutan produksi menjadi hutan lindung kemudian
ditetapkan melalui SK. Menhut No. 292/Menhut-II/2011 tentang Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan di
Kalimantan Tengah.
Dalam lampiran peta SK Menhut No. 292, wilayah Blok E dan A sebelah utara ditunjuk
menjadi hutan lindung dengan mengeluarkan beberapa bagian di sebelah kanan-kiri
-
Sungai Kapuas menjadi APL mengingat adanya keberadaan desa-desa dan permukiman
warga yang umumnya di tepian sungai tersebut. Kepastian status hukum lahan Eks-PLG
terakhir berdasarkan SK Menhut No. 529/Menhut-II/2012 tentang Penunjukan Areal
Hutan di Provinsi Kalimantan Tengah Seluas 15.300.000 Hektar Sebagai Kawasan
Hutan.
Sementara itu dalam peta pencadangan yang dikeluarkan oleh Ditjen Planologi
Kementerian Kehutanan bernomor S.207/VII-WP3H/2011 memasukkan lokasi Eks-PLG
untuk wilayah KPHL Model Kapuas. Wilayah KPHL Model Kapuas yang 105 ribu hektar
berada di dua blok A dan E itu. Dan dikukuhkan dalam SK Pembentukan KPHL Model
Kapuas.
KPHL Model Kapuas sendiri sedang menyusun blok-blok pengelolaan dengan melihat
kesatuan hidrologis, biofisik, tutupan lahan, kedalaman gambut serta pertimbangan
sosial-ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar wilayah KPH.
Tentang DA REDD+ KFCP
Keluarnya SK Sekjen Kementerian
Kehutanan No. KT.12/II-KUM/2010
tentang Penunjukan Lokasi Wilayah
Kerja KFCP, makin menguatkan bahwa
pengelolaan eks lahan PLG berada di
tangan Kementerian Kehutanan. Pada
periode paska pemberhentian Mega
PLG sejuta hektar, sempat terjadi tarik-
ulur kewenangan pengelolaan
kawasan antara Pemerintah dengan
pemerintah daerah. Pemerintah pusat
berargumen mengenai status kawasan
hutan, sementara pemerintah daerah mendasarkan klaim pengelolaannya menurut UU
No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Ijin-ijin perkebunan sawit sempat
dikeluarkan oleh Pemda Kabupaten Kapuas dengan dasar kewenangannya tadi (Gamma
Galudra, dkk; 2010).
Bila menilik penanggalannya, SK Sekjend Kemenhut yang menunjuk lokasi KFCP terbit
tiga hari sebelum Rapat Kabinet yang menunjuk Kalimantan Tengah sebagai provinsi
pilot implementasi REDD+ di Indonesia. Artinya, penunjukan Kabupaten Kapuas
sebagai wilayah DA REDD+ KFCP memiliki legitimasi sangat besar dengan berbagai
dukungan secara politik dari Pemerintah Pusat. Barangkali pula rapat kabinet tersebut
merupakan arena justifikasi lokasi KFCP di Kabupaten Kapuas.
-
KFCP kemudian melakukan pendekatan-pendekatan kepada pemerintahan desa di
wilayah kerja mereka, yang terdiri dari tujuh desa itu. KFCP membuat kesepakatan
dengan para kepala-kepala desa yang kemudian dikukuhkan dalam bentuk Perjanjian
Desa. KFCP juga membantu melakukan pendampingan perangkat desa-desa dalam
membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa).
Tak banyak penduduk desa yang
mengetahui isi dari Perjanjian Desa.
Sebagian penduduk Katunjung misalnya
mengatakan hanya sekitar 10 persen warga
desa tersebut yang mengetahui ada
perjanjian. Dan pemberitahuan mengenai
DA REDD+ KFCP dianggap mereka hanya
sosialisasi. Tidak dalam kerangka free, prior
and informed consent (FPIC) sebagai
prasyarat persetujuan atau penolakan
proyek oleh komunitas adat yang
terdampak (Bernadinus Steni, dkk; 2012).
Mantir-mantir adat dimasukkan sebagai
salah satu penandatangan Perjanjian dalam
kapasitasnya sebagai saksi.
Dengan demikian tergambar kuat bahwa
melalui Perjanjian Desa, KFCP seolah-oleh
memperoleh dukungan formal dari
komunitas adat yang mendiami wilayah proyek.
Di Katunjung, ada salah seorang mantir yang tidak menyetujui proyek percontohan
KFCP dengan menolak menandatangani Perjanjian Desa. Bagi masyarakat lokal,
kehadiran KFCP justru menciptakan polarisasi di tingkat akar rumput (Widiyanto;
2012). Ada yang pro terhadap kehadiran proyek, yakni mereka yang memperoleh
keuntungan secara ekonomi, namun tak sedikit pula yang menolaknya dengan sejumlah
alasan.
Dalam Perjanjian Desa pihak KFCP diwakili oleh sebuah badan hukum bernama PT
Aurecon Indonesia, yang berdomisili di Jakarta. Masyarakat dan beberapa pihak banyak
yang kemudian menanyakan legalitas, baik KFCP maupun perusahaan tersebut,
mengingat struktur KFCP tidak pernah menyebut nama perusahaan tersebut ketika
berada di lapangan.
Akan tetapi, ada pokok persoalan lainnya yang bersumber pada Perjanjian tersebut. Ada
tujuh prinsip yang akan diterapkan oleh KFCP dalam Perjanjian Desa, yakni:
-
1) KFCP tidak akan pernah mencoba mengklaim lahan atau status hukum dan hak adat
atas tanah dan wilayah di desa tanpa persetujuan dari seluruh penduduk desa.
Setelah perjanjian berakhir lahan dan hasil-hasil sepenuhnya dikelola masyarakat.
2) KFCP akan menghargai dan mengakui hukum-hukum adat termasuk yang mengatur
sumberdaya alam.
3) Keuntungan-keuntungan dari kegiatan KFCP harus dibagi secara adil di antara
semua pemangku kepentingan hak, termasuk perempuan dan kelompok-kelompok
terpinggirkan.
4) Kegiatan-kegiatan KFCP harus mendukung mata pencaharian yang berkelanjutan
sesuai dengan pembangunan desa.
5) Semua anggota masyarakat di desa mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam
program secara penuh dan efektif.
6) Anggota masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang akurat
tentang kegiatan KFCP untuk memastikan tata kelola program yang baik.
7) Pelaksanaan program harus sejalan dengan hukum dan peraturan lokal dan
nasional (termasuk hukum adat), dan konvensi-konvensi internasional.
Dalam prinsip poin 1 KFCP menyatakan tidak akan mengubah atau mengklaim status
lahan. Prinsip tersebut benar adanya akan tetapi praktik di lapangan dengan adanya
peta wilayah kerja, pola-pola pembagian kerja, serta belum adanya mekanisme hukum
yang kuat mengenai proyek percontohan REDD+, membuat apa yang telah dilakukan
oleh KFCP di lokasi seperti penguasa atas lahan.
Sejak berhentinya mega PLG sejuta hektar tahun 1998an, mulai muncul klaim-klaim
kepemilikan atas kanal-kanal atau tabat oleh masyarakat lokal, mengingat tabat
tersebut merupakan sumber kehidupan mereka (Gamma Galudra; 2010). Sehingga saat
salah satu kegiatan KFCP adalah melakukan pembukaan blocking kanal, protes
masyarakat pun muncul.
Dalam focused group discussion yang diselenggarakan WGT dalam rangkaian assessment
ini di Desa Katimpun, pada akhir November 2012, dapat dikatakan secara keseluruhan
peserta mengenal dan mengetahui proyek KFCP, dan sebaliknya hampir semua yang
hadir tidak mengetahui apa dan siapa KPHL Kapuas itu. Di beberapa lokasi proyek KFCP
tampak pula ditemui poster-poster berisi informasi kegiatan dan alokasi dananya.
Kegiatan-kegiatannya meliputi pembibitan dan penanaman yang lebih banyak
dikonsentrasikan di Katunjung ke selatan, termasuk Katimpun.
C. Hutan Desa sebagai Solusi Mengatasi Potensi Konflik?
KFCP tampak memang mendemonstrasikan bagaimana upaya mengurangi pelepasan
emisi di lahan gambut dilakukan lewat DA REDD+, meski pada dasarnya masyarakat
lokal memiliki cara sendiri dalam mengelola kawasan. Proyek percontohan yang
dilakukan KFCP dapat dianggap termasuk tipe DA REDD+ tingkat lokal dimana lokasi
-
proyek memiliki perencanaan tata ruang yang terbatas pada satu jenis area hutan yakni
hutan lindung.
Pokok persoalannya adalah DA REDD+ yang dilakukan KFCP tidak memiliki konsesi
legal yang kuat atas lahan sehingga masalah tenure yang seharusnya menjadi konsern
utama para proponent proyek seperti KFCP, memiliki kepastian di masa depan.
Kepastian tenurial jangka panjang merupakan hal yang sangat penting untuk validasi
dan pengembalian biaya. Kepastian tentang kelangsungan hidup sebuah kegiatan
percontohan juga merupakan faktor penting yang menjadi penentu dalam model
konsesi. Para pemrakarsa (proponent) proyek berkepentingan untuk memastikan
bahwa kegiatan percontohan yang mereka lakukan akan berlangsung cukup lama untuk
mengembalikan biaya awal yang besar (Erin Myers, dkk: 2011). Barangkali juga
imajinasi keuntungan atas klaim karbon setelah DA REDD+ dianggap berjalan lancar.
Tampaknya hal ini sangat disadari oleh KFCP. Dengan dukungan saling menguntungkan
dengan Pemerintah dan instansi pemerintahan terkait, KFCP kemudian mendorong
pengajuan skema Hutan Desa. Menurut catatan Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Kapuas, ada tujuh desa yang mengajukan skema Hutan Desa kepada Menteri
Kehutanan, yakni Desa Katunjung, Katimpun, Sei Ahas, Mantangai Hulu, Kalumpang,
Tumbang Muroi, dan Petak Puti.
Pada pertengahan November 2012, datang tim verifikasi hutan desa dari Kementerian
Kehutanan. Kali ini baru empat desa yang dikunjungi dalam waktu yang relatif singkat.
Tim datang ke Desa Katunjung, Katimpun, Petak Puti, dan satu desa di luar kawasan
adalah Tambak Bajaj.
Semua desa tersebut berada di wilayah area kerja KFCP, kecuali Tambak Bajaj.
Ditengarai KFCP-lah yang melakukan pendekatan supaya desa-desa mengajukan skema
hutan desa. Di tengah ketidakpastian yuridis mengenai status aktivitasnya di masa yang
akan datang, skema hutan desa tampak merupakan pilihan yang realistis guna
mewadahi aktivitas DA REDD+ KFCP apabila secara resmi berakhir.
Pasal 6 ayat (4) butir f Permenhut No. 20 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan karbon
Hutan, dinyatakan salah satu penyelenggara karbon hutan adalah pemegang izin hutan
desa. KPHL Kapuas sendiri mengatakan setuju dengan hutan desa mengingat skema
tersebut diharapkan mampu memberdayakan masyarakat di sekitar kawasan.
Dengan pengelolaan hutan yang dikoordinasikan oleh pemerintahan desa, hutan desa
dianggap mampu memberikan nilai tambah bagi kemajuan masyarakat lokal.
Masyarakat desa bisa mengembangkan potensi sumberdaya hutan yang ada dengan
membudidayakan lebah hutan atau hasil alam nonkayu lainnya.
Catatan KPHL Kapuas terhadap pengajuan hutan desa adalah luasan kawasan yang
diajukan harus realistis dengan melihat tingkat kemampuan warga dalam mengelola.
Misalnya saja, apakah realistis 231 kepala keluarga Desa Katimpun mengajukan luas
-
hutan desa mencapai 3.270 hektar? Demikian pula apakah sanggup 277 kepala keluarga
warga Desa Katunjung mengelola 6.938 hektar hutan desa nantinya? Yang artinya 25
hektar tiap kepala keluarga? Belum lagi jarak antara lokasi hutan desa yang diajukan
dengan permukiman yang rata-rata agak jauh.
Pengajuan hutan desa ini pada dasarnya menjadi titik kompromi antara KFCP sebagai
salah satu pihak yang secara ekonomi dan legitimasi kuat, dengan KPHL Kapuas yang
secara yuridis kuat meski serba terbatas dalam infrastruktur dan pendanaan. Namun
poin-poin kritisasi yang dilontarkan oleh KPHL Kapuas menjadi penanda adanya
persetujuan dengan catatan.
D. Land Tenure Analysis Tools
Pengerjaan laporan assessment ini menggunakan dengan RaTA dan sistem HuMaWin
sebagai tools dalam menganalisis dan mendokumentasikan perjalanan kasus yang
menjadi obyek assessment.
E. Rekomendasi
Hasil assessment mendorong sejumlah rekomendasi, yakni:
Perlu melakukan pertemuan multipihak yang menjadi stakeholder KPH,
termasuk KFCP, untuk menjelaskan secara komprehensif mengenai penguasaan
lahan oleh KPHL Model Kapuas;
Perlu memperkuat sarana dan prasarana penunjang, terutama bagi kegiatan
operasional KPHL Model Kapuas di lapangan di wilayah KPH;
-
Daftar Pustaka
Gamma Galudra, et al, Hot Spot of Emmission and Confusion; Land Tenure Insecurity,
Contested Policies and Competing Claims, in Central Kalimantan Ex-Mega Rice
Project, Working Paper No.100, WAC-Icraf, 2010.
Soraya Afif, dkk, Kajian Para Pihak Terkait Upaya Pengurangan Emisi dari Deforestasi
dan Degradasi Hutan di Kalimantan Tengah, Kemitraan, 2011.
Erin Myers, et al, Apakah yang Dimaksud dengan Proyek Percontohan REDD+?, Info Brief,
Cifor, 2011.
Bernadinus Steni dan Sentot Setyosiswanto, Tak Ada Alasan Ditunda; Potret FPIC dalam
Proyek DA REDD+ di Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah, HuMa, 2011.
Widiyanto, Legal Actors Assessment in KFCP Project, tidak diterbitkan, 2012.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Katimpun, Kecamatan
Mantangai, Kabupaten Kapuas, 2011.
WGT, Laporan Assessment dan Analisa Tenure untuk Mendukung Pembentukan KPH
Model di Kabupaten Kapuas, Prov Kalimantan Tengah, WGT, 2011.
Peraturan Bupati Kabupaten Kapuas No.197 tahun 2011 tentang Pembentukan Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Kapuas Dinas Perkebunan dan
Kehutanan.
Instruksi Presiden No. 2 tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi
Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 247/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Wilayah
KPHL Model Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 529 tahun 2012.
Peraturan Menteri Kehutanan No. 20 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Karbon
Hutan.
Peraturan Daerah No. 3 tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Kapuas.
Perjanjian Desa Katunjung dengan KFCP, 2011.
-
Foto-foto Kegiatan FGD di Desa Katimpun, 22 November 2012