v
ASAS TUNGGAL PANCASILA DALAM PANDANGAN
SYARIKAT ISLAM (SI) MASA ORDE BARU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Taufan Anof
NIM: 102045225190
KOSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2009 M
vi
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ASAS TUNGGAL PANCASILA DALAM PANDANGAN
SYARIKAT ISLAM (SI) MASA ORDE BARU telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 12 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi
Jinayah Siyasah Kosenterasi Siyasah Syar’iyyah.
Jakarta, 12 Desember 2008
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Asmawi, M.Ag ( ....................................)
NIP. 150 282 934
2. Sekretaris : Sri Hidayati ( ....................................)
NIP. 150 282 403
3. Pembimbing : DR. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag ( ....................................)
NIP. 150 275 509
4. Penguji I : DR. Phil. JM. Muslimin, MA ( ....................................)
NIP. 150 312 427
5. Penguji II : DR. H. Abdurrahman Dahlan, MA ( ....................................)
NIP. 150 234 496
vii
������������ KATA PENGANTAR
Dengan asma Allah, Pencipta semesta raya, muara segala damba dan
tambatan semua pinta, Dia-lah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, patutlah puji
dan syukur teruntuk bagi-Nya, yang dengan taufik dan hidayah-Nya tersikap segala
ketidak berdayaan, serta dengan inayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw,
Rasulullah terakhir yang diutus membawa syari’ah yang penuh rahmat dan membawa
keselamatan dalam kehidupan dunia dan akhirat, dan semoga terlimpah pula kepada
keluarga, para sahabat serta para pengikutnya yang istiqomah.
Setelah melewati proses yang panjang, akhirnya penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari, bahwa karya ini terselesaikan bukan
sepenuhnya dari buah pikir penulis sendiri, akan tetapi banyak pihak yang ikut andil
dalam penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya, khususnya kepada Bapak/Ibu:
1. Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
bimbingan kepada mahasiswa Fakultas Syariah.
2. Asmawi, M.Ag. Ketua Program Studi Siyasah Syar’iyyah dan Ibu Sri
Hidayati, M.Ag. Sekretaris Program Studi Siyasah Syar’iyyah yang tidak
viii
pernah letih memberikan arahan dan motivasi kepada mahasiswa Siyasah
Syar’iyyah, khususnya kepada penulis.
3. Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag. selaku pembimbing yang dengan ketulusan
membimbing dan memberikan pengarahan kepada penulis walau di tengah
kesibukannya, hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang mendermakan ilmunya kepada penulis selama kuliah di kampus tercinta
ini.
5. Pimpinan Perpustakaan baik Pusat maupun Fakultas, serta seluruh stafnya
yang telah memberikan pelayanan sebaiknya sehingga mempermudah penulis
dalam mencari buku referensi hingga skripsi ini cepat terselesaikan.
6. Dengan rasa bhakti penulis haturkan kepada Ayahanda Rusly Hasan dan
Ibunda Siti Hanifah, yang tak pernah bosan mendidik dan mendo’akan untuk
keberhasilan ananda dan terima kasih atas segala kasih sayangnya yang telah
diberikan selama ini. Serta terima kasih kepada keluarga dan seseorang yang
spesial bagi penulis yang telah mendukung sepenuh hati.
7. Segenap Pengurus DPP Syarikat Islam yang telah membantu penulis dengan
memberikan referensi yang penulis butuhkan dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman seperjuangan di SS angkatan 2002, yang senantiasa
memberikan warna-warni kehidupan dan pemikiran selama menjalani
perkuliahan. Bagi teman-teman yang belum lulus, terus berjuang “Never Give
Up”.
ix
9. Teman-teman Ikatan Remaja Masjid Jami’ Al-Muhajirin (IRMARIN) Komp.
Ciledug Indah II dan teman-teman halaqah, terima kasih atas dukungan dan
do’anya, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.
10. Terakhir, kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis, baik
yang membantu secara langsung maupun tidak langsung, penulis tidak akan
melupakan jasa kalian semua.
Demikian untaian terima kasih ini, tiada yang dapat penulis lakukan kepada
mereka yang telah berjasa, kecuali menghaturkan terima kasih seagung-agungnya
serta iringan do’a semoga Allah Swt membalas dengan segala kebaikan.
Jakarta, Januari 2009 M .
Muharram 1430 H
Penulis
x
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 10
D. Review Studi Terdahulu 11
E. Metode Penelitian 13
F. Sistematika Penulisan 14
BAB II ASAS TUNGGAL PANCASILA
A. Sejarah Lahirnya Pancasila 16
B. Proses Pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila 26
BAB III SYARIKAT ISLAM DAN ORDE BARU
A. Kebijakan Orde Baru Terhadap Islam 39
B. Syarikat Islam dan Orde Baru 48
xi
BAB IV ASAS TUNGGAL PANCASILA DALAM PANDANGAN
SYARIKAT ISLAM
A. Program Asas dan Program Tanzhim (Program Perlawanan) 60
Syarikat Islam
B. Pandangan Syarikat Islam Terhadap Asas Tunggal 74
Pancasila
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 90
B. Saran 92
DAFTAR PUSTAKA 93
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Rezim Orde Baru diawali dengan meletusnya peristiwa berdarah 30
September 1965 yang menewaskan tujuh perwira Angkatan Darat.1 Dengan
tampilnya Orba banyak pimpinan Islam yang menaruh harapan besar, dengan
kembalinya Islam dalam panggung politik nasional, yang selama periode Demokrasi
Terpimpin merasa benar-benar disudutkan. Pada peristiwa penghancurkan PKI dan
menjatuhkan Soekarno, golongan Islam menjadi bagian penting dari kekuatan koalisi
bersama militer, kelompok fungsional, kesatuan mahasiswa dan pelajar, organisasi
sosial-keagamaan dan sebagainya.
Langkah pertama yang dilakukan pemerintah Orde Baru adalah membebaskan
tokoh-tokoh Islam yang dipenjarakan Soekarno, hal tersebut semakin memperbesar
harapan kaum muslimin kepada Orde Baru. Sehingga didirikanlah sebuah panitia
yang diberikan nama Badan Koordinasi Amal Muslimin untuk merealisasikan
1 Inu Kencana Syafiie, Sistem Politik Indonesia, cet. IV (Bandung: Refika Aditama, 2008), h.
43
xiii
harapan itu.2 Akan tetapi harapan dari umat muslim sepertinya tidak akan terlaksana,
Setelah berhasil menghancurkan kekuatan Komunis, pemerintah Orde Baru terus
menerus memapankan kekuasaannya diatas panggung politik Indonesia. Sebuah
tatanan negara dan bangsa yang didasarkan atas pelaksanaan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsisten. Didukung secara efektif oleh Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) dan sekelompok teknokrat.3
Dalam upaya Orde Baru memperkuat perannya sebagai pembela Pancasila
dan UUD 1945, pada Desember 1966, kelompok militer menyatakan bahwa mereka
akan mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap siapa saja, dari kelompok mana
saja, dan aliran apa saja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945
seperti yang pernah dilakukan oleh PKI di Madiun, G.30S/PKI, Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia dan Masyumi – Partai Nasionalis Indonesia dan sebagainya.4
Dalam rangka memulihkan kembali demokrasi di dalam negeri, pemilihan
umum pertama diadakan pada tanggal 3 Juli 1971. Dalam pemilu ini, partai-partai
Islam terdiri dari NU, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), Perti dan partai yang
baru saja berdiri yakni Parmusi (Partai Muslimin Indonesia). Golkar yang merupakan
partai yang didukung pemerintah menang besar (mengumpulkan 62,8 persen suara),
2 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 111
3 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama; Wacana Ketegangan Kreatif Islam
dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h.107
4 Effendy, Islam dan Negara, h.112
xiv
sementara partai-partai Islam mendapatkan 27,11 persen, partai-partai non-Islam dan
Nasionalis mendapatkan 10,09 persen. Dari kursi 360 kursi parlemen yang
diperebutkan, Golkar memenangkan 227 kursi, partai-partai Islam 94 kursi, dan
sisanya untuk partai sekuler dan non-Islam. Maka jelaslah bahwa Golkar
mendominasi kekuatan politik di dalam negeri.5
Dua tahun setelah pemilu 1971, pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan
baru tentang restrukturisasi politik yang berisi pengelompokan semua partai politik,
sebuah kebijakan yang menghasilkan pembentukan PPP (Partai Persatuan
Pembangunan), PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dan Golkar. PDI secara formal
didirikan pada tanggal 10 Januari 1973 merupakan penggabungan dari PNI, Parkindo,
Partai Katolik, IPKI, dan Partai Murba. Sedang PPP yang formalnya didirikan pada
tanggal 5 Januari 1973, merupakan fusi dari empat partai Islam yakni, PSII, NU, Perti
dan Parmusi.6
Disamping itu, banyak juga kebijakan pembangunan/politik yang dibuat
bertentangan dengan aspirasi dan kepentingan Islam, diantaranya: Pengumuman
rancangan Undang-undang Perkawinan pada tahun 1973; Pembangunan tempat-
tempat perjudian, “lokalisasi”, dan melegalisasikan perjudian “terselubung”;
Larangan memakai Jilbab di sekolah menengah; Program keluarga berencana yang
5 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 113
6 Ibid, h. 126
xv
tidak memperhatikan ajaran Islam; Maraknya penjualan Minuman keras, dan
pemberian izin secara bebas oleh pemerintah untuk membangun kilang-kilang arak.7
Pada 1978, lagi-lagi masyarakat Muslim merasa diserang keyakinan agama
mereka. Dalam salah satu sidang MPR, pemerintah berupaya menaikan status aliran
kepercayaan menjadi sama dengan posisi agama seperti Islam dan Kristen. Serangan
paling akhir yang akan menjadi objek pembahasan skripsi ini, yakni serangan
terhadap konstruk lama Islam politik, terutama dalam kerangka simbolisme
ideologisnya, dalam pidato tahunannya di depan DPR, 16 Agustus 1982, Presiden
Soeharto menegaskan bahwa seluruh kekuatan sosial politik harus menyatakan bahwa
dasar ideologi mereka satu-satunya adalah Pancasila.8 Kemudian gagasan presiden ini
dimasukan dalam ketetapan MPR No. II/1983 (pasal 3 bab IV).9 Pada tanggal 19
Februari 1985, pemerintah, dengan persetujuan DPR, mengeluarkan undang-undang
No. 3/1985, menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima
Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Empat bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni
1985, pemerintah lagi-lagi atas persetujuan DPR, mengeluarkan undang-undang No.
8/ 1985 tentang ormas, menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau masa harus
mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal Indonesia yang didorong oleh
persamaan aspirasi, profesi, idealitas, kepentingan agama atau kepercayaan pada
7 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1999), h. 119
8 Effendy, Islam dan Negara, h. 120
9 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 203
xvi
Tuhan, dengan tujuan merealisasikan tujuan tertentu dalam negara Republik
Indonesia.10
Dengan adanya asas tunggal tersebut, PPP menghadapi dilema politik dalam
arti bahwa apabila PPP melakukan penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal
partai akan mengakibatkan dibekukannya partai oleh pemerintah. Untuk menjaga
keutuhan partai, para pemimpin PPP memilih jalan pragmatis dengan menerima
Pancasila sebagai asas tunggal dan PPP mengganti segala sesuatu yang terkait dengan
asas, indetitas, pernyataan-pernyataan dan simbol-simbol Islam.11
Dikarenakan perubahan asas tersebut, PPP yang merupakan fusi dari partai-
partai Islam. Hal itu menimbulkan pertikaian di dalam tubuh PPP. PSII yang
merupakan bagian dari PPP, menyatakan diri keluar karena asas tunggal tidak sesuai
dengan asas PSII.12
Dari beberapa usur yang terdapat di dalam PPP, hanya PSII lah
yang menyatakan diri keluar dari PPP.
PSII merupakan partai yang bermula dari sebuah organisasi dagang; Syarikat
Dagang Islam (SDI)13
, yang didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 di rumah H.
Samanhudi di kampung Sandakan Solo.14
Pada tanggal 10 September 1912 SDI
10 Ibid, h. 206
11 Ibid, h. 223
12 Bustamam, PSII-1905 (Partai Syarikat Islam Indonesia) dizaman Orde Baru 1966-1998,
(Jakarta, Lembaga Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, 2000), h. 53
13 Effendy, Islam Dan Negara, h. 63.
14 Ohan Sudjana, Liku-liku Perjuangan Syarikat Islam, (Jakarta: DPP PSII-1905, 1999), h. 4
xvii
meningkatkan dirinya menjadi organisasi yang berstatus badan hukum yang disahkan
di depan notaris B. Turkule Surakarta, yang sekaligus perubahan nama SDI menjadi
SI.15
Perubahan nama tersebut dimaksudkan untuk memeperluas cakupan sasaran
gerak, dan juga memperjelas corak dan idiologi SI.16
Dengan menampilkan diri
secara penuh kepada rakyat Indonesia, SI memperoleh dukungan dari semua kelas.
Para pedagang muslim, para buruh di kota-kota, kyai dan ulama, bahkan juga
kalangan priyai, dan lebih didominasi oleh petani.17
Syarikat Islam memiliki dasar yang berpangkal pada keyakinan bahwa agama
Islam adalah agama Allah, mengingatkan pada keutuhan dan kesucian Al-Qur’an.
Program asas Syarikat Islam menunjuk pada contoh yang diperlihatkan oleh Nabi
Muhammad serta umat-umat yang terdahulu. Al-Qur’an dan Al-Hadits akan
dipergunakan sebagai dasar atau pedoman dalam pembuatan Undang-undang.18
Setahun dari tahun berdirinya, SI mengalami perkembangan yang sangat
cepat, SI mempunyai 26 cabang di seluruh Indonesia dengan total anggota 130.878
orang.19
SI adalah gerakan raksasa, dalam periode 1912-1916 dari seluruh cabang
yang ada, SI memiliki jumlah anggota sebanyak 700.000 orang, dibanding dengan
15 Ibid, h. 5; M. A. Gani, Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), h. 14
16 Firdaus A.N, Syarikat Islam Bukan Budi Utomo, (Jakarta: Datayasana, 1997), h. 2
17 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (T.tp.: Pustaka Jaya, t.t. ), h. 42.
18 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT. Pustaka LP3S,
1996), h. 157.
19 A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil, (Jakarta: Grafitipers, 1985), h. 225.
xviii
organisasi-organisasi lain di Indonesia pada masa itu.20
Pengaruh Syarikat Islam
dalam masa yang relatif pendek bukan saja meliputi pulau Jawa Madura dan meluas
sampai keluar Jawa, tetapi sampai berpengaruh dikalangan kaum muslimin Indonesia
yang tinggal di tanah suci Mekah.21
Di bawah kepemimpinan H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Abdul
Muis, SI mengembangkan program politiknya dengan agendanya yang bersifat
nasional, menuntut pemerintahan sendiri [oleh rakyat Indonesia] dan kemerdekaan
Indonesia, sehingga dengan demikian menjadikan SI sebagai organisasi politik
nasional pertama di Indonesia.22
Pada perjalanan SI selanjutnya, SI mengalami beberapa perubahan nama,
yakni: Central Syarikat Islam (Tahun 1915), kemudian pada Kongres Nasional
(Natico) CSI ke VII tanggal 17-23 Februari 1923 yang dilangsungkan di Madiun,
Central Syarikat Islam dijadikan partai politik, dengan nama Partai Syarikat Islam
Hindia Timur (PSIHT).23
Akan tetapi pada Januari 1929 di pekalongan mengalami
perubahan nama kembali menjadi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).24
Seiring dengan perjuangan yang dilakukan bumi putra di dalam negeri, dalam
peperangan di Eropa keterlibatan Amerika Serikat melawan Nazi Jerman, memberi
20 Ibid, h. 195.
21 Sudjana, Lika-liku Perjuangan, h. 6-9
22 Effendy, Islam Dan Negara, h. 64.
23 Sudjana, Lika-liku Perjuangan, hal. 31
24 Firdaus A.N, Syarikat Islam Bukan Budi Utomo, h. 22.
xix
kesempatan kepada Jepang untuk memegang hegemoni di Asia. Pada 7 Desember
1941, Pearl Harbour dibombardir bala tentara Jepang. Kejadian ini sangat
mempengaruhi moral tentara Belanda di Indonesia. Dalam Perang Dunia II, Belanda
adalah anggota ABCD Front (America, British, Chinese, Dutch). Gurbernur Jendral
Mr. A. W. L. Tjarda van Starkenborg S. Pada 8 Desember 1941 melalui radio
mengumumkan perang terhadap Jepang. Dimana-mana penduduk diperintahkan
membuat perlindungan. Badan-badan penjagaan serangan udara dibentuk. Disamping
itu didirikan badan penjagaan kota dan daerah.25
Akan tetapi tanggal 1 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Jawa. Bandung
sebagai pusat pertahanan Belanda dibombardir Jepang.26
Beberapa hari setelah itu;
Tanggal 8 Maret 1942 pemerintahan Hindia Belanda jatuh, dan Jepang mulai
menduduki Indonesia. Di awal masa penjajahan Jepang, melalui dektrit Letnan
Jendral Imamura, panglima pertama di Jawa.27
Jepang membubarkan segenap partai-
partai politik di Indonesia dan melarang segala bentuk aktifitasnya. Maka pada bulan
April 1942 Abikusno pimpinan Partai Syarikat Islam Indonesia mengeluarkan
instruksi menghentikan segala gerak organisasi untuk sementara waktu.28
25 S. Silalahi, Dasar-dasar Indonesia Merdeka; Versi Para Pendiri Negara, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 28.
26 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 34.
27 Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, h. 142.
28 Sudjana, Lika-liku Perjuangan, h. 66
xx
Namun, kependudukan Jepang di Indonesia tidak bertahan lama, di akhir
masa penjajahan Jepang sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945.29
Tiga bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan, dengan
Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November 1945 yang ditanda tangani oleh Wakil
Presiden Mohammad Hatta jelas bahwa Maklumat tersebut memuat keinginan
pemerintah akan kehadiran partai-partai politik,30
Maka pada tahun 1946 akhirnya
PSII aktif kembali.31
Deskripsi wacana di atas adalah sebagian dari perjalanan politik SI. Berangkat
dari hal-hal yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk membahas lebih jauh
mengenai pandangan SI terhadap asas tunggal pancasila, SI memiliki pandangan yang
berbeda dari partai/ormas lain, SI satu-satunya organisasi yang menolak akan
pemberlakuan asas tunggal pancasila dalam tubuh PPP yang ditetapkan pemerintah
bagi setiap partai politik dan ormas. Dalam hal itu pembahasan ini akan dirangkum
dalam skripsi yang berjudul: “ASAS TUNGGAL PANCASILA DALAM
PANDANGAN SYARIKAT ISLAM (SI) MASA ORDE BARU”
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
29 Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004),
h. 120.
30 M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia; Sebuah Potret Pasang Surut,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1983), h. 64
31 Sudjana, Liku-liku Perjuangan , h. 69
xxi
Dari apa yang dipaparkan di atas, penyusun perlu melakukan pembatasan agar
penelitian ini tidak terlalu melebar, lebih terfokus dan sistematis. Adapun pembatasan
penelitian ini terkosentrasi pada pandangan Syarikat Islam (SI) terhadap penetapan
Asas Tunggal Pancasila masa pemerintahan Orde Baru.
Dalam hal tersebut, penulis akan mengangkat persoalan yang dianggap urgent
untuk dibahas secara menyeluruh dan konkrit agar pembahasan judul skripsi ini bisa
dipertanggung jawabkan, untuk itu perumusan masalah yang akan penulis kemukakan
adalah :
1. Apa latar belakang pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila yang ditetapkan
Rezim Orde Baru;
2. Bagaimana pandangan Syarikat Islam (SI) mengenai penetapan Asas
Tunggal Pancasila yang diberlakukan oleh Rezim Orde Baru.
C. TUJUAN DAN MANFAAT
Dalam penulisan skripsi ini penulis memiliki tujuan, di antaranya adalah :
1. Mengenal dan memahami lebih jauh perjalanan Syarikat Islam dan
kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pemberlakuan Asas Tunggal
Pancasila.
2. Melihat secara keseluruhan dan cermat terhadap pandangan Syarikat Islam
mengenai Asas Tunggal Pancasila.
Manfaat penelitian dari pembahasan di atas adalah :
xxii
1. Secara teoritis penelitian ini sebagai khazanah ilmu pengetahuan dalam
studi politik Islam dan hukum ketatanegaraan Islam ataupun untuk studi
politik dan ketatanegaraan pada umumnya.
2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan,
evaluasi atau perbandingan bagi partai atau organisasi lainnya. Dengan
melihat secara keseluruhan dan cermat bagaimana pandangan Syarikat
Islam mengenai penetapan Asas Tunggal Pancasila.
D. REVIEW STUDI TERDAHULU
Dalam penelitian ini penulis menemukan beberapa hasil penelitian terdahulu
yang membahas topik yang sejenis. Yakni penelitian-penelitian terdahulu yang
memiliki pembahasan seputar Syarikat Islam dan Penerapan Syarikat Islam di
Indonesia, di antaranya:
1. Ida Parida, Peranan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Dalam
Demokratisasi Politik di Indonesia 1945-1973, (Skripsi S1: Program Studi
Siyasah Syar’iyyah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syahid Jakarta,
2006). Penelitian ini membahas kontribusi serta pasang surut PSII dalam
kabinet orde lama dan orde baru di dalam Demokratisasi dan
pembaharuan politik Islam di Indonesia tahun 1945-1973.
2. A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil, (Jakarta: Grafitipers,
1985). Penelitian ini membahas dengan panjang lebar mengenai sejarah
SI, dimulai dari kronologis berdirinya Syarikat Dagang Islam (SDI) yang
xxiii
merupakan embrio dari SI, hingga perkembangannya menjadi Central
Syarikat Islam (CSI) dan di dalam penelitian ini dibahas pula pergolakan-
pergolakan atau sikap politik SI terhadap kolonial Belanda.
3. Ohan Sudjana, Liku-liku Perjuangan Syarikat Islam, (Jakarta: DPP PSII-
1905, 1999). Penelitian ini pada pembahasannya tidak jauh berbeda
dengan penelitian yang dilakukan A.P.E. Korver, yakni membahas sejarah
perjuangan politik SI, mulai dari berdirinya SI (tahun 1905) sampai masa
orde baru tahun 1984.
4. Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama; Wacana
Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999). Penelitian ini menguraikan secara umum mengenai penetapan Asas
Tunggal Pancasila oleh pemerintah Orde Baru. Dengan segala konflik
yang muncul seiring penetapan kebijakan tersebut.
Dari hasil-hasil penelitian terdahulu, dapat di lihat bahwa, pada penelitian
pertama: terfokus pada peran serta PSII dalam demokratisasi politik di Indonesia
tahun 1945 sampai 1973, tidak menyentuh tahun 1982 ketika Asas Tunggal Pancasila
itu diberlakukan. Penelitian ke-dua dan ke-tiga: penelitian ini terlihat lebih ditekankan
pada studi sejarah terhadap SI, penelitian kedua mulai tahun 1905 sampai 1916 dan
penelitian ke-tiga mulai tahun 1905 sampai 1984, namun memang dalam penelitian
ini menjelaskan pula pandangan Syarikat Islam (SI) terhadap Asas Tunggal, akan
tetapi masih bersifat umum. Kemudian penelitian ke-empat: secara umum pula
menjelaskan mengenai proses pemberlakuan Asas Tunggal dan mengurai pendapat-
xxiv
pendapat ormas Islam mengenai hal tersebut, tetapi uraian tersebut hanya pendapat
dari ormas NU dan Muhammadiyah.
Dengan demikian dari pembahasan penelitian-penelitian terdahulu memiliki
perbedaan dengan penelitian ini. Penelitian terdahulu tidak dan/ kurang menyentuh
dari pada pandangan Syarikat Islam terhadap Asas Tunggal Pancasila. Sehingga pada
penelitian ini, penulis akan mencoba menguraikannya secara spesifik.
E. METODE PENELITIAN
Dalam penyusunan skripsi ini metode yang digunakan adalah melalui riset
kepustakaan (library research) atau metode penelitian kualitatif dengan melakukan
kajian dari berbagai sumber (Primer-Skunder).
1. Sumber Primer: Ohan Sudjana, Liku-liku Perjuangan Syarikat Islam,
(Jakarta: DPP PSII-1905, 1999), E. Saefullah Wiradipraja, Satu Abad
Dinamika Perjuangan Syarikat Islam, (Jawa Barat: Dewan Pimpinan
Wilayah Syarikat Islam Jawa Barat, 2005), Bustam, PSII-1905 (Partai
Syarikat Islam Indonesia) dizaman Orde Baru 1966-1998, (Jakarta,
Lembaga Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, 2000), M. A. Gani, Cita Dasar dan
Pola Perjuangan Syarikat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),dan buku-
buku lain yang terkait pembahasan penulis.
2. Sumber Skunder: A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil,
(Jakarta: Grafitipers, 1985), Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari
Terbit, (T.t.p.: Pustaka Jaya, t.t.), Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara;
xxv
Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta:
Paramadina, 1998), Deliar Nur, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-
1942, (Jakarta: PT. Pustaka LP3S, 1996), Serta sumber-sumber yang
lainnya, seperti halnya buku-buku bacaan, majalah, Koran, artikel dan
tulisan-tulisan lain yang ada relevansinya dengan permasalahan yang
penulis bahas, sehingga hasil dari penelitian ini dapat menghadirkan sebuah
kepastian sebagai mana penulis harapkan.
Dengan literature yang ada, pada pembahasan penulisan skripsi ini
menggunakan metode analisis kualitatif dengan memaparkannya secara sistematis,
jelas dan sebenar-benarnya dari informasi yang didapat dalam penelitian ini. Adapun
mengenai tekhnik penulisan mengacu pada pedoman penulisan skripsi yang
dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta (Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman
Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007).
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Agar Penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka penulisan skripsi
ini disusun dalam lima bab yang masing-masing dari sub-sub bab, di antaranya :
BAB I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan
dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian ,tinjauan pustaka, metode
penelitian dan sistimatika penulisan.
xxvi
BAB II Menjelaskan mengenai Asas Tunggal Pancasila, yang terdiri dari
sejarah pancasila dan proses pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila.
BAB III. Menguraikan risalah Syarikat Islam, yang dibagi dalam dua masa;
Syarikat Islam pra kemerdekaan dan Syarikat Islam pasca kemerdekaan.
BAB IV Pada bab ini merupakan fokus dari penelitian yang membahas
mengenai, pandangan Syarikat Islam terhadap Asas Tunggal Pancasila, yang
didalamnya dibahas; Program Asas dan Program Tanzhim Syarikat Islam dan Asas
Tunggal Pancasila dalam pandangan Syarikat Islam.
Bab V Merupakan bab akhir dari penulisan skripsi, yang membahas mengenai
kesimpulan penulis terhadap seluruh materi skripsi yang telah diuraikan dalam bab-
bab sebelumnya, serta penulis akan mengemukakan kesimpulan serta saran yang
berisi sumbangan pemikiran atau pendapat setelah mempelajari seluruh materi dalam
skripsi ini.
xxvii
BAB II
ASAS TUNGGAL PANCASILA
A. SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA
Sejarah Pancasila dimulai dari pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) yang merupakan
bentuk langkah awal realisasi dari statemen Pemerintah Jepang yang secara resmi
Perdana Menteri Kyoso pada bulan September 1944 mengumumkan niat Pemerintah
Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia kelak dikemudian
hari. Sejalan dengan itu lagu kebangsaan Indonesia boleh dinyayikan kembali dan
bendera Sang Merah Putih dapat dikibarkan bersama bendera Jepang, yang
sebelumnya sejak tanggal 20 Maret 1942 hal tersebut dilarang.
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dibentuk
bertepatan dengan hari ulang tahun Tenno Heika (Kaisar Jepang) pada tanggal 29
April 1945 dan Badan ini baru diresmikan sebulan kemudian; tanggal 28 Mei 1945
oleh Saiko Sikikan dan Gunseikan. Dalam sambutan peresmiannya Saiko Sikikan
menjelaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah suatu bukti nyata akan tujuan
perang suci Dai Nippon.32
32 Silalahi, Dasar-dasar Indonesia, h. 47-48
xxviii
Anggota Badan Penyelidik berjumlah 68 orang dan ke dalam jumlah ini masih
harus ditambah 7 orang Jepang yang di angkat sebagai anggota istimewa. Anggota
Badan Penyelidik tidaklah terbatas pada tokoh-tokoh yang bertempat tinggal di
Jakarta tapi dari seluruh pelosok pulau Jawa.33
Dari 68 anggota tersebut, Anggota-
anggota golongan Islam yang duduk dalam Badan Penyelidik hanyalah 9 orang,
yakni: H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosuyoso, Sukiman [dari Syarikat Islam], K.H.
Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir [dari Muhammadiyah],
Abdul Halim [dari Persatuan Ulama Indonesia], Achmad Sanusi, dan K.H. Wachid
Hasjim [dari Nahdhatul Ulama].34
Selama masa tugasnya, Badan ini mengadakan dua kali sidang umum: sidang
umum pertama diselenggarakan dari tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 1
Juni 1945; sidang umum kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan tanggal 17 Juli
1945. Pembicaraan dan pembahasan mengenai dasar negara merupakan salah satu
acara sidang umum yang pertama, Sekurang-kurangnya ada tiga anggota yang
mengemukakan pandangannya tentang dasar negara, yakni; Muh. Yamin yang
berpidato tanggal 29 Mei 1945, Soepomo; tanggal 31 Mei 1945, dan terakhir
Soekarno; tanggal 1 Juni 1945.35
33 Ibid, h. 53
34 Ibid, h. 54
35 A. M. W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: Centre For Strategic
And International Studies, 1985), h. 25-26
xxix
Dalam pidatonya Sukarno menyampaikan maksud keinginan Ketua Badan
Penyelidik, dengan menjelaskan philosofische gronslag Indonesia Merdeka atau yang
dalam bahasa Jerman disebut Weltanschauung adalah fundamen, filsafat, pikiran,
jiwa, dan hasrat yang sedalam-dalamnya bagi didirikannya gedung Indonesia
Merdeka yang kekal dan abadi.36
Kemudian Soekarno mengajukan Lima Asasnya sebagai dasar negara, yaitu:
Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau
demokrasi, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan. Dia menamakan Lima Asasnya ini
“Pancasila”. Soekarno kemudian menyampaikan “teori perasaan”: lima sila itu
diperasnya menjadi tiga sila (Tri Sila): Sosio-nasionalisme (yang mencakup
Kebangsaan Indonesia dan Peri-kemanusiaan), sosio-demokrasi (yang mencakup
Demokrasi dan Kesejahteraan sosial) dan Ketuhanan. “Tri Sila”-nya ini pun, pada
gilirannya, diperas pula menjadi satu sila (“Eka Sila”), yakni Gotong Royong.37
Dengan pidato yang disampaikan Soekarno tersebut, tanggal 1 Juni 1945 kini
ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari lahirnya Pancasila.
Dalam perkembangannya, susunan pancasila yang diusulkan oleh Soekarno
tersebut mengalami perubahan bentuk, yang perubahan tersebut merupakan hasil
kompromi, antara pihak Islam dan pihak kebangsaan yang terdiri dari sembilan orang.
36 Silalahi, Dasar-dasar Indonesia, h. 67
37 Endang Saifuddin An Shari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945; dan Sejarah Konsesus
Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959,
Cet.II (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h.17
xxx
Modus persetujuan antara golongan Islam dan golongan kebangsaan itu dicantumkan
di dalam satu rancangan pembukaan yang berbunyi sebagai berikut:38
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi
pemeluknya;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyarawatan-perwakilan;
5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Karena modus persetujuan tersebut dibuat di Jakarta dan di tanda tangani oleh
kesembilan anggota panitia tersebut bertepatan dengan ulang tahun Jakarta, maka
modus persetujuan itu dikenal sebagai Piagam Jakarta (The Jakarta Charter).39
Dari kesembilan penandatangan Piagam Jakarta itu sungguh-sungguh
representatif mencerminkan alam dan aliran fikiran yang hidup dalam masyarakat
Indonesia: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Ahmad siebardjo dan M.
Yamin mewakili dari golongan nasionalis, sedangkan Abikoesno Tjokrosoejoso,
Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, dan Abdul Wahid Hasjim mewakili
golongan Islam.40
38 Pranarka, Sejarah Pemikiran, h. 33-35
39 Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 31-32
40 Ibid, h. 47
xxxi
Walaupun Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi, tetap saja menjadi
perdebatan dalam sidang umum, terutama dikarenakan dicantumkannya kata “dengan
kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya” pada Piagam Jakarta [yang
kini dikenal dengan 7 kata Piagam Jakarta] sehingga menimbulkan perdebatan oleh
sebagian anggota BPUPKI, dan kemudian muncul pula keinginan anggota dari
golongan Islam untuk menetapakan pasal dalam Undang-Undang Dasar sesuai
dengan nilai-nilai Syariat Islam, seperti halnya K.H. Wahid Hasjim dan Sukiman
mengusulkan bahwa Kepala Negara haruslah beragama Islam serta dimasukannya
kembali 7 kata tersebut kedalam salah satu pasal UUD, sehingga terus menerus
menimbulkan perdebatan yang sengit, yang akhirnya dengan segala usaha dari hasil
kompromi ditetapkalah UUD, yang di mana Piagam Jakarta tetap di masukkan dalam
Muqadimah UUD, kemudian Kepala Negara adalah orang Islam, serta masuknya 7
kata dalam pasal 29.41
Akan tetapi, tidak bertahan lama Piagam Jakarta (Pancasila) mengalami
perubahan kembali. Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan, selanjutnya
Pemerintahan Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
yang diketuai oleh Soekarno. Pada tanggal 9 Agustus 1945 di Dalath Vietnam,
Terauchi menyatakan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia sekitar
41 Safroedin Bahar, dkk, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
(Jakarta: Sekrektariat Negara Republik Indonesia, 1992), h. 166-290
xxxii
tanggal 29 Agustus 1945.42
Tetapi pada tanggal 14 Agustus 1945 bom atom jatuh di
Nagasaki dan Hirosima. Sehingga tanggal 17 Agustus 1945, jam 04.00 (pagi), yakni
sehari setelah Jepang menyerah kepada kekuatan Sekutu, naskah baru Pernyataan
Kemerdekaan dirumuskan. Pada jam 10.00 (pagi) di hari yang sama, yang bertempat
di Jalan Pegangsaan Timur 56 (tempat kediaman Soekarno ketika itu), Proklamasi ini
ditanda tangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia,
dan dengan resmi dibacakan oleh Soekarno.
Keesokan harinya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengadakan
rapat. Pertemuan pertama panitia Persiapan ini direncanakan dalam agenda pada jam
09.30, akan tetapi ternyata belum juga dimulai sampai jam. 11.30.
Semula, Panitia Persiapan ini beranggotakan dua puluh satu orang, termasuk
Ketua dan Wakil Ketua. Atas saran Soekarno enam orang anggota ditambahkan.
Dalam pidato pembukaannya Soekarno menekankan arti historik saat ini, dan
mendesak agar panitia persiapan bertindak “dengan kecepatan kilat”, dan
mengingatkan para anggota agar tidak bertele-tele dalam masalah detail, tetapi
memusatkan perhatian mereka hanya untuk membicarakan beberapa perubahan
penting dalam pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar. Hatta
dipersilakan untuk menyampaikan empat usul perubahan:
1. Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”;
42 Pranarka, Sejarah Pemikiran, h. 51
xxxiii
2. Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak kalimat “Berdasarkan kepada ke-
Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya “diubah menjadi “berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa;
3. Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”,
kata-kata “dan beragama Islam dicoret;
4. Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi
“Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, sebagai pengganti
“Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Setelah membacakan perubahan-perubahan tersebut, Hatta menyatakan
keyakinannya: “inilah perubahan yang maha penting menyatukan segala bangsa”.
Setelah mengambil alih pimpinan, Soekarno menambahkan bahwa Undang-Undang
Dasar yang dibuat ini Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar
Kilat, Revolutie grondwet.
Hanya beberapa jam kemudian, yakni jam 13.45, Panitia Persiapan menerima
dengan bulat teks perubahan Preambule dan batang tubuh Undang-Undang Dasar ini.
Preambule dan batang tubuh Undang-Undang Dasar dengan beberapa perubahan ini
dikenal luas sebagai “Undang-Undang Dasar 1945”.43
Perubahan tersebut dilakukan
dengan dalih untuk mengakomodasi tuntutan wakil-wakil umat. Dengan kompromi
terakhir ini, perjuangan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam yang
43 Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 50- 52
xxxiv
memberlakukan syariat Islam menjadi tidak mungkin, karena bertentangan dengan
UUD 1945 yang telah disepakati. Kompromi dalam PPKI dipandang sebagian orang
sebagai kekalahan politik umat Islam dalam pentas awal perjalanan kenegaraan
Indonesia.44
Sehingga dengan adanya perubahan tersebut, teks Pancasila menjadi:
1. Ketuhanan yang Maha Esa;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyarawatan-perwakilan;
5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Idiologi kebangsaan itu menjadi dasar negara, dan karena itu juga menjadi
sumber hukum. Namun, nama Pancasila tidak terdapat dalam naskah UUD 1945.
Walaupun demikian di dalam masyarakat terdapat perasaan umum bahwa dasar
negara itu adalah Pancasila. Konsep dasar negara yang lima itu terdapat pula di dalam
pembukaan konstitusi RIS dan mukadimah UUDS 1950 walaupun di dalam
rumusannya berlainnan dari yang terdapat di dalam pembukaan UUD 1945.45
44 Taufik Adnan Amal, Politik Syariat Islam; Dari Indonesia Hingga Nigeria, (Jakarta :
Pustaka Alvabet, 2004), h. 61.
45 Pranarka, Sejarah Pemikiran, h. 314
xxxv
Dalam praktek kehidupan politik kenegaraan pada masa tersebut tidak
mengacu kepada Pancasila sebagai Idiologi nasional, yang memang sudah
menggejala pada periode sebelumnya (masa berlakunya UUD 1945). Perkembangan
konflik politik dan idiologi dalam periode itu membawa kritis mengenai kedudukan
pancasila sebagai dasar negara. Hal itu terjadi di dalam Konstituante, dimana terjadi
konflik Idiologi (Islam, Kebangsaan dan Sosial-Ekonomi)46
. Pertentangan yang
paling sengit berlangsung antara para pendukung aliran ideologi Islam dan Pancasila
[kebangasaan].
Dalam diskursus ini, kelompok Islam pada dasarnya menyatakan kembali
aspirasi-aspirasi ideologi politik yang sudah mereka kemukakan pada masa
prakemerdekaan, yakni mendirikan negara yang jelas-jelas berdasarkan Islam.
Mereka mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi negara berdasarkan argumen-
argumen mengenai (1) Watak holistik Islam; (2) Keunggulan Islam atas semua
ideologi dunia lain, dan; (3) Kenyataan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas warga
negara Indonesia.47
Sementara itu, beberapa kalangan lain menolak gagsan mengenai Islam
sebagai dasar negara berdasarkan pertimbangan kemungkinannya untuk dapat
diterapkan. Mengingat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia heterogen secara
sosial-keagamaan, mereka meragukan bahwa Islam dapat berperan sebagai
46 Ibid, h. 315
47 Effendy, Islam dan Negara, h. 107
xxxvi
pendangan dunia ideologis-politis bagi seluruh masyarakat. Sementara itu, pancasila,
betapapun tidak sempurnanya, telah terbukti dapat menjadi dasar ideologi bersama
seluruh masyarakat Indonesia.
Dengan pendirian yang mutlak-mutlakan tersebut, dapat dibayangkan jika
pada akhirnya kompromi sulit detemukan. Bahkan ketika Islam mundur dari tuntutan
mereka yang awal untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dan hanya menuntut
penegasan kembali piagam jakarta, konflik tersebut telah terlanjur menyebabkan
macetnya sidang Majelis Konstituante. Dilihat dari kekuatan elektoral mereka, tidak
ada satupun partai yang memiliki suara yang diperlukan (yakni mayoritas 2/3 suara)
untuk menggolkan preferensi-preferensi ideologis mereka.48
Perdebatan tentang dasar ideologi negara dalam Mejelis Konstitusi
berlangsung sampai rapatnya yang terakhir pada tanggal 2 Juni 1959, tanpa suatu
keputusan. Dengan demikian pembuatan suatu Undang-Undang Dasar permanen
menjadi terbengkalai. Pihak pemerintah membaca situasi ini sebagai suatu
kemacetan konstitusional yang serius. Maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden
Soekarno dengan sokongan penuh dari pihak militer mengeluarkan dektrit untuk
kembali kepada UUD 1945 dan sekaligus membubarkan Majelis Konstituante yang
dipilih rakyat itu. Situasi yang tidak seronok ini telah mengguncangkan umat Islam,
baik secara politik maupun secara psikologis. Dibawah payung UUD 1945, Sukarno
48 Ibid, h. 107
xxxvii
telah kembali menggenggam kendali pimpinan politik nasional dengan kekuasaan
yang hampir-hampir tidak terbatas.49
Dengan dektrit itu Pancasila sebagai dasar negara ikut serta dinyatakan
kedudukannya, namun tidak adanya penjelasan eksplisit. Sehingga menumbuhkan
suasana pemikiran yang menjadi kabur. Hal ini mengakibatkan usaha berbagai aliran
Idiologi memberikan tafsiran masing-masing. Suasana ini membawa perkembangan
selanjutnya, timbulah pemikiran kritik mengenai pancasila.50
Fase pemikiran ini
tampak dari timbulnya tema pemikiran mengenai pancasila murni, yang terjadi pada
masa orde baru. Di dalam fase ini terjadilah proses eksplisitasi pancasila sebagai
dasar negara, sumber hukum dan idiologi nasional.51
B. PROSES PEMBERLAKUAN ASAS TUNGGAL PANCASILA
Tahun 1966 merupakan tahun lahirnya pemerintahan Orde Baru di bawah
kepemimpinan Soeharto. Kemunculan Orde Baru dilatar belakangi oleh berbagai
peristiwa, terutama yang terjadi pada enam tahun terakhir di bawah rezim Orde
Lama. Pemerintahan Orde Lama yang dipimpin Soekarno dengan Demokrasi
Terpimpin dan proyek Nasakomnya, telah digoyang oleh antagonisme politik,
kekacauan sosial dan kritis ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara
menyeluruh.
49 A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 175
50 Pranarka, Sejarah Pemikiran, h. 315
51 Ibid, h. 316
xxxviii
Mengenai kegagalan ekonomi, mencatat bahwa antara tahun 1958-1966
inflasi meningkat tajam, peredaran uang meningkat menjadi 701 persen, harga
barang-barang membumbung tinggi menjadi 635 persen, makanan dan pasokan
barang-barang yang lain sulit didapatkan dan hubungan dagang dengan negara-negara
asing menjadi lebih buruk.52
Sementara itu, meningkatnya suhu politik menjelang akhir tahun 1965,
dikaitkan dengan siapa pengganti Presiden Soekarno kalau yang bersangkutan wafat,
yang pada saat itu Soekarno mengalami berbagai penyakit tuanya. Hanya ada dua
kandidat yang disebut-sebut sebagai presiden yang menggantikan Soekarno. Yaitu
Letjen. A. Yani dan Jenderal A. H. Nasution yang keduanya sangat dibenci oleh PKI.
Dengan puncak kebencian tersebut PKI melakukan pembantaian di Lubang Buaya
Jakarta, dengan sasaran utama mereka adalah para Jenderal. Jendral A. H. Nasution
luput dari pembunuhan ini tetapi 7 (tujuh) perwira angkatan darat lainnya terbunuh.53
Peristiwa ini tepatnya terjadi pada tanggal 30 September 1965, yang dikenal sebagai
peristiwa G.30S/PKI.
Setelah peristiwa G.30S/PKI, kekuatan Orde Baru di bawah kepemimpinan
Soeharto, yang pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Kostrad (Komando
Cadangan Strategi Angkatan Darat), mengkosolidasi kekuatannya dan secara
bertahap berhasil mengontrol situasi, yang pada akhirnya berhasil mengambil alih
52 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 101
53 Syafiie, Sistem Politik, h. 43
xxxix
kekuasaan dari pemerintah Orde Lama pada tahun 1966.54
Pada tahun 1967 di
keluarkanlah Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang menetapkan
pencabutan kekuasaan pemerintah negara dari tangan Presiden Soekarno dan
diangkatnya Jendral Soeharto sebagai Presiden kedua Republik Indonesia.55
Dengan dimulainya Rezim Orde Baru, banyak pimpinan Islam yang menaruh
harapan besar, dengan kembalinya Islam dalam panggung politik nasional, yang
selama periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-benar disudutkan. Pada peristiwa
penghancurkan PKI dan menjatuhkan Soekarno, golongan Islam menjadi bagian
penting dari kekuatan koalisi bersama militer, kelompok fungsional, kesatuan
mahasiswa dan pelajar, organisasi sosial-keagamaan dan sebagainya.
Langkah pertama yang dilakukan pemerintah Orde Baru adalah membebaskan
tokoh-tokoh Islam yang dipenjarakan Soekarno, hal tersebut semakin memperbesar
harapan kaum muslimin kepada Orde Baru. Sehingga didirikanlah sebuah panitia
yang diberikan nama Badan Koordinasi Amal Muslimin untuk merealisasikan
harapan itu.56
Akan tetapi harapan dari umat muslim sepertinya tidak akan terlaksana,
Setelah berhasil menghancurkan kekuatan Komunis, pemerintah Orde Baru terus
54 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 105
55 Syafiie, Sistem Politik Indonesia, h. 45
56 Effendy, Islam dan Negara, h. 111
xl
menerus memapankan kekuasaannya di atas panggung politik Indonesia. Orde Baru
membedakan dirinya sendiri dari Orde Lama dengan mendifinisikan diri sebagai:
1. Sebuah tatanan negara dan bangsa yang didasarkan atas pelaksanaan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsisten;
2. Sebuah tatanan yang berusaha mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu
keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia berdasarkan Pancasila;
3. Sebuah tatanan yang bercita-cita membangun sistem negara dan
masyarakat berdasarkan UUD, demokrasi dan hukum;
4. Sebuah tatanan hukum dan tatanan pembangunan.
Selain mengindentifikasikan dirinya dengan empat karakteristik ini, Orde
Baru mencela Orde Lama sebagai penyimpang dari semangat Pancasila dan UUD
1945, yang dikarenakan Orde Lama menerapkan Demokrasi Terpimpin dan
Nasakom, serta mengangkat Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Orde Baru
memberikan prioritas nasional terhadap pelaksanaan pembangunan dan modernisasi,
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Didukung secara efektif oleh Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan sekelompok teknokrat.57
Dalam upaya Orde Baru memperkuat perannya sebagai pembela Pancasila
dan UUD 1945, pada Desember 1966, kelompok militer menyatakan bahwa mereka
akan mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap siapa saja, dari kelompok mana
saja, dan aliran apa saja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945
57 Ismail, Ideologi Hegemoni, h.107
xli
seperti yang pernah dilakukan oleh PKI di Madiun, G.30S/PKI, Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia dan Masyumi – Partai Nasionalis Indonesia dan sebagainya.58
Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 1967 Soeharto dengan tegas
mengatakan:
“Pancasila adalah kepribadian kita, pandangan hidup seluruh bangsa
Indonesia, pandangan hidup yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat,
menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan kita; oleh karena itu,
Pancasila adalah satu-satunya pandangan yang dapat pula mempersatukan
kita.
Pancasila adalah perjanjian luhur seluruh rakyat Indonesia yang harus
selalu kita junjung tinggi bersama dan kita bela selama-lamanya.”59
Dalam rangka memulihkan kembali demokrasi di dalam negeri, pemilihan
umum pertama diadakan pada tanggal 3 Juli 1971. Dalam pemilu ini, partai-partai
Islam terdiri dari NU, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), Perti dan partai yang
baru saja berdiri yakni Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), partai-partai non-Islam
dan sekuler yakni PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, dan IPKI dan Golkar
didukung Pemerintah60
, saling berkompetisi.
Golkar menang besar (mengumpulkan 62,8 persen suara), sementara partai-
partai Islam mendapatkan 27,11 persen, partai-partai non-Islam dan Nasionalis
58 Effendy, Islam dan Negara, h.112
59 Centre For Strategic and International Studies, Pandangan Presiden Soeharto Tentang
Pancasila, cet. II (Jakarta: Sekretariat Negara R.I.,1976), h. 10
60 Asal usul Golkar (Golongan Karya) dapat ditelusuri dari Sekber Golkar (Sekretariat
Bersama Golongan Karya) yang didirikan pada tanggal, 20 Oktober 1964. Organisasi ini pada awalnya
dibentuk sebagai koalisi berbagai kekuatan masyarakat untuk mengimbangi pengaruh PKI dalam ,
dalam pemerintahan Orde Baru disegarkan kembali dan diperluas hingga menjadi kekuatan politik yang amat besar. Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998).
xlii
mendapatkan 10,09 persen. Dari kursi 360 kursi parlemen yang diperebutkan, Golkar
memenangkan 227 kursi, partai-partai Islam 94 kursi, dan sisanya untuk partai
sekuler dan non-Islam. Sejumlah kursi tambahan (100) diisi oleh anggota-anggota
yang ditunjuk oleh pemerintah, 75 kursi ditunjuk dari militer dan 25 kursi dari sipil.
Dengan total 327 dari 460 kursi, jelaslah bahwa Golkar mendominasi kekuatan
politik di dalam negeri.61
Kemudian dengan Tap MPR No. IX/MPR/1973 Hasil Pemilu 1971, Soeharto
di angkat kembali menjadi presiden dan pada selanjutnya dalam beberapakali
pemilihan umum (1977, 1982, 1987 dan 1992) dengan kemenangan Golkar yang
terus menerus, Suharto tetap dipertahankan menjadi Presiden Republik Indonesia.62
Kemenangan tersebut melalui strategi dengan dikeluarkannya peraturan menteri
dalam negeri (Permen 12/ 1969) menyebutkan bahwa “seluruh anggota kelompok-
kelompok fungsional yang ditugaskan dibadan-badan pemerintah di tingkat provinsi
dan lokal harus diganti jika mereka bergabung kedalam partai-partai politik [PNI,
NU, Parmusi, PSII, Perti dan lain sebagainya]. Selain itu, pemerintah juga
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP 6/ 1970) yang mempunyai konsekuensi luas
dalam pemilihan umum.
Peraturan-peraturan di atas dikeluarkan untuk menciptakan monoloyalitas.
Mereka harus tetap loyal kepada pemerintah yang memperkerjakan mereka. Jika
61 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 113
62 Syafiie, Sistem Politik Indonesia, h. 46
xliii
tidak, promosi mereka ke jabatan yang lebih tinggi dapat tertunda. Langkah-langkah
ini, tentu saja, menjamin dukungan yang eksklusif terhadap Golkar.63
Pada masa ini, Militer mulai masuk kedalam MPR/DPR, keberadaan Militer
di MPR/DPR, merupakan kebijakan dari pemerintah yang dengan dalih untuk
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta mempertahankan Pancasila dan UUD
1945 dari kemungkingan perubahannya oleh MPR/DPR RI maka ABRI pun ikut
berpolitik, hal tersebut dianggap pula sebagai bagian dari pengabdian ABRI kepada
bangsa dan negara yang kemudian disebut sebagai Dwifungsi ABRI.64
Berbagai perkembangan setelah pemilihan umum 1971 hanya memperbesar
rasa putus asa masyarakat politik Islam. Kekalahan dalam pemilihan umum tidak
hanya tercermin dalam merosotnya wakil-wakil Islam di parlemen. Tetapi hal itu juga
tampak dalam komposisi kabinet baru, dimana keterlibatan tokoh-tokoh politik Islam
tertentu benar-benar mulai dibatasi. Salah satu kasus yang paling jelas menunjukan
hal itu adalah mulai memudarnya dominasi NU dalam Departemen Agama.65
Dua tahun setelah pemilu 1971, pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan
baru tentang restrukturisasi politik yang berisi pengelompokan semua partai politik,
sebuah kebijakan yang menghasilkan pembentukan PPP (Partai Persatuan
Pembangunan), PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dan Golkar. PDI secara formal
63 Effendy, Islam dan Negara, h. 116
64 Syafiie, Sistem Politik Indonesia, h. 47
65 Effendy, Islam dan Negara, h. 118
xliv
didirikan pada tanggal 10 Januari 1973 merupakan penggabungan dari PNI, Parkindo,
Partai Katolik, IPKI, dan Partai Murba. Sedang PPP yang formalnya didirikan pada
tanggal 5 Januari 1973, merupakan fusi dari empat partai Islam yakni, PSII, NU, Perti
dan Parmusi.66
Di kalangan partai-partai Islam sendiri sebenarnya masih ada perbedaan
pendapat terhadap gagasan fusi partai. Namun demikian karena tekanan dari
pemerintah, akhirnya partai-partai harus menerima aturan penggabungan ini. Langkah
yang dilakukan pemerintah tersebut merupakan proses untuk menciptakan
pemerintahan yang stabil, oleh karena itu diperlukan homogenitas sosial dan
konsesus politik dengan mengurangi jumlah partai dan membentuk partai baru
dukungan pemerintah.67
Terlepas dari proses restrukturisasi politik yang terus menerus dilakukan Orde
Baru, menyusul pemilihan umum 1971, proses itu diperkuat dengan penerapan
konsep massa mengambang di mana aktivitas-aktivitas partai di tingkat desa dan
kecamatan hampir sepenuhnya dihapuskan, ditambah dengan dilaksanakannya sistem
politik yang pada dasarnya tidak kompetitif oleh pemerintah. Kemudian perpecahan
yang terus berlangsung di dalam tubuh PPP, terutama semasa kepemimpinan John
66 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 126
67 Karim, Negara dan Peminggiran, h. 144
xlv
Naro (strategi pemerintah untuk secara intensif menarik banyak tokoh dan intelektual
Muslim), memperlemah kekuatan PPP dalam pemilihan umum.68
Karena tampilnya PPP sebagai partai Islam dianggap pemerintah sebagai
ancaman. Dan PPP memang kritis terhadap pemerintah; dalam kampanye pemilu
tahun 1977 ia mengangkat masalah korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan
kecendrungan-kecendrungan sekularistik pemerintah yang merupakan pendukung
Golkar. Pemerintah menjadi lebih keras terhadap PPP ketika partai ini terus
menyerang pemerintah, dan menghubungkan kampanye PPP dengan bantuan
keuangan dari Libya dan dengan Komando Jihad.69
Strategi lain pemerintah terhadap peminggiran Islam politik akan dijelaskan
pada BAB III, namun untuk pembahasan pada bab ini yang menjadi sasaran
pemerintah yakni kerangka simbolisme ideologis, hal ini berlangsung pada 1983.
Pemerintah meragukan komitmen kelompok-kelompok sosial-keagamaan dan politik
tertentu terhadap komitmen Ideologi negara. Dalam pandangan Presiden Soeharto,
mereka tidak meyakini Pancasila secara seratus persen. Sehingga dalam pidato
tahunannya di depan DPR, 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto menegaskan bahwa
seluruh kekuatan sosial politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka satu-
68 Effendy, Islam dan Negara, h. 119
69 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), h. 69
xlvi
satunya adalah Pancasila.70
Kemudian gagasan presiden ini dimasukan dalam
ketetapan MPR No. II/1983 (pasal 3 bab IV).
Proses ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk menciptakan
stabilitas politik dan menghapus polarisasi politik yang tajam, yang dianggap
disebabkan oleh fanatisme kelompok, sebagaimana terlihat, khususnya selama
kampanye pemilu pada masa-masa sebelumnya. Polarisasi politik ini, dibarengi
dengan fanatisme keagamaan, seringkali melahirkan pemusuhan antara satu partai
politik dengan partai politik lain yang berbeda asasnya.71
Pada tanggal 19 Februari
1985, pemerintah, dengan persetujuan DPR, mengeluarkan undang-undang No.
3/1985, menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila
sebagai asas tunggal mereka. Empat bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985,
pemerintah lagi-lagi atas persetujuan DPR, mengeluarkan undang-undang No. 8/
1985 tentang ormas, menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau masa harus
mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal Indonesia yang didorong oleh
persamaan aspirasi, profesi, idealitas, kepentingan agama atau kepercayaan pada
Tuhan, dengan tujuan merealisasikan tujuan tertentu dalam negara Republik
Indonesia.72
70 Effendy, Islam dan Negara, h. 120
71 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 203
72 Ibid, h. 206
xlvii
Dengan adanya asas tunggal tersebut, PPP menghadapi dilema politik dalam
arti bahwa apabila PPP melakukan penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal
partai akan mengakibatkan dibekukannya partai oleh pemerintah. Untuk menjaga
keutuhan partai, para pemimpin PPP memilih jalan pragmatis dengan menerima
Pancasila sebagai asas tunggal dan PPP mengganti segala sesuatu yang terkait dengan
asas, indetitas, pernyataan-pernyataan dan simbol-simbol Islam.73
Sejak masa awal Orde Baru berkuasa sistem negara telah berupaya
mendefinisikan negara sebagai konsep organisme total secara budaya beragam namun
secara geografis dan kebangsaan bersifat tunggal. Negara menekankan kohesi
budaya, keabadian dan saling membagi dengan tradisi-tradisi besar. Sejak tahun
1970, Pancasila adalah pendidikan dasar kewarganegaraan dari Orde Baru. Pada
GBHN tahun 1973 dinyatakan bahwa kurikulum pada setiap tingkat pendidikan,
mulai dari taman kanak-kanak sampai tingkat menengah ke atas, negeri maupun
swasta, harus mengajarkan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan semua aspek-
aspek terkait untuk mewariskan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada Generasi Muda. Ini
melingkupi segenap yang terlingkupi dalam naungan pancasila sebagai idiologi
negara dan makin kuat dan sakral dengan dicantumkannya pada Bab IV GBHN
tentang Bidang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan kepercayaan kepada Tuhan sebagai prasyarat menjadi warga negara
yang setia (misalnya bukan komunis), mengingkari Pancasila sebagai asas tunggal
73 Ibid, h. 223
xlviii
bukan saja dianggap sabagai penghianat tapi malah juga dianggap sebagai tindakan
bid’ah. Dengan logika ideologi ini, yang komunis maupun yang mendirikan negara
teokrasi Islam termasuk golongan pembelot negara Pancasila. Kursus wajib
pemantapan Pancasila dan masyarakat madani (P4), sistem pendidikan PMP,
beberapa ketetapan presiden, dan prinsip asas tunggal, keseluruhannya telah
memapankan kesaktian Pancasila.74
Dengan demikian perubahan atas asas PPP tersebut, menimbulkan pertikaian
di dalam tubuh PPP. PSII yang merupakan bagian dari PPP, menyatakan diri keluar
karena asas tunggal Pancasila tidak sesuai dengan asas PSII,75
PSII merupakan satu-
satunya usur PPP yang menolak akan pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila, yang
dalam sejarahnya, PSII memang merupakan partai yang memegang teguh prinsip
pada Islam dan adapun pembahasan asas PSII serta pandangan PSII terhadap asas
tunggal Pancasila tersebut akan dibahas pada Bab IV. Dan perpecahan lain yang
muncul dalam tubuh PPP, yakni para pemimpin NU yang dikarenakan konflik dengan
MI, NU melancarkan kampanye politik yang menyerukan anggotanya untuk tidak
memilih PPP. Kampanye ini, dikenal sebagai aksi penggembosan yang dilancarkan
banyak pemimpin NU.76
74 Al-Chaidar, Reformasi Prematur; Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total, (Jakarta:
Darul Falah, 1999), h. 37
75 Bustamam, PSII-1905, h. 53
76 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 225
xlix
Bilamana dalam pidato Soeharto pada permulaan Orde Baru dipersoalkan
kedaulatan rakyat yang ditindas oleh Soekarno dan Soekarno menciptakan istilah
“Demokrasi Terpimpin”, maka Soeharto telah meniru dengan bagus sekali cara-cara
yang digunakan oleh Soekarno. Dengan menamakannya “Demokrasi Pancasila”, ia
menggunakan “power by remote control”, sehingga semua kekuatan politik dapat
ditundukannya. Pancasila merupakan prestasi politik tertinggi Orde Baru, dan oleh
karenanya maka semua prestasi lainnya dinamakan dengan istilah Pancasila. Mulai
dari sistem ekonomi Pancasila, Pers Pancasila, hubungan industrial Pancasila hingga
Orde Baru pun disebut sebagai Orde Pancasila.77
77 Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 38
l
BAB III
SYARIKAT ISLAM DAN ORBA
A. KEBIJAKAN ORBA TERHADAP ISLAM
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab II, yang selama periode
Demokrasi Terpimpin umat Islam benar-benar merasa tersudutkan, dan dengan
dimulainya Rezim Orde Baru menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965, banyak
pemimpin politik Islam yang menaruh harapan besar, harapan itu terutama tampak
jelas di kalangan bekas pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya. Namun
kenyataannya, harapan umat Islam dan kemungkinan rehabilitasi Masyumi hanyalah
harapan kosong, yang walaupun pada awal pemerintahan Orba, pemerintah
membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang dipenjarakan Soekarno (termasuk
Mohammad Natsir, Sjarifuddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman
Singodimedjo, Prawoto Mangkusumo, dan Hamka).78
Dalam pemerintahan Orde Baru pada bidang politik, ekonomi, dan budaya
telah didominasi oleh kekuatan-kekuatan non-muslim dan orang Islam dilarang
memegang bidang-bidang tersebut. dapat dikatakan bahwa, Indonesia adalah satu-
satunya negara bependudukan Islam terbesar di dunia tetapi dengan pengaruh Islam
78 Effendy, Islam dan Negara, h. 111
li
yang paling sedikit.79
Selain itu, pemerintahan Orde Baru pun Didukung secara
efektif oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)80
dan dengan melihat
hal tersebut semakin jelas bahwa kebangkitan politik umat Islam yang diharap-
harapkan sulit untuk diwujudkan, seiring upaya pemerintah dalam melakukan
pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni.
Kejelasan tersebut didukung pula dengan munculnya stetmen pada Desember
1966, kelompok militer menyatakan bahwa mereka akan mengambil tindakan-
tindakan tegas terhadap siapa saja, dari kelompok mana saja, dan aliran apa saja, yang
ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan oleh
PKI di Madiun, G.30S/PKI, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia dan Masyumi –
Partai Nasionalis Indonesia dan sebagainya. Bahkan, pada awal 1967, Soeharto
sendiri menegaskan bahwa “militer tidak akan menyetujui rehabilitasi kembali partai
[Masyumi] itu.” 81
Begitupun Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII), partai yang akan
didirikan Muhammad Hatta dan Deliar Noer oleh Rezim Orde Baru ditolak dengan
berbagai alasan. Di samping itu, pada tahun 1968 kelompok Islam yang ada di
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang memperjuangkan asas
negara Islam di dalam memperbaiki institusi negara. Gagal mencapai kesepakatan,
79 Karim, Negara dan Peminggiran, h. 77
80 Ismail, Ideologi Hegemoni, h.107
81 Effendy, Islam dan Negara, h.112
lii
karena tidak adanya titik temu antara keinginan wakil Islam dengan keinginan
kelompok nasionalis-sekuler. Dalam hal ini kelompok Islam berhadapan dengan
ABRI dan Golkar (sebagai kelompok mayoritas di dalam MPRS ketika itu).82
Sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia,
sejak masa kemerdekaan telah timbul konflik ideologi sosial dan politik antara
pemerintah dan umat Islam dan beberapa kekuatan sosial politik lainnya. Konflik
tersebut kemudian menyangkut masalah dasar negara. Umat Islam menghendaki
Islam sebagai dasar negara, karena umat menempatkan diri sebagai mayoritas dan
jasa yang besar dalam perjuangan kemerdekaan. Sementara pemerintah dan sebagian
orang-orang yang ikut mendirikan republik menginginkan dasar kebangsaan.
Perkembangan perbedaan pandangan tersebut kemudian menimbulkan konflik
ideologi Islam dan Pancasila. Umat Islam di samping merupakan komunitas sosial
yang paling besar dan memiliki ideologi politik dengan kemampuan potensial
mengerahkan mobilitas secara efektif. Pemerintah Orde Baru setelah hancurnya PKI,
kemudian menetapkan umat Islam khususnya partai dan organisasi Islam sebagai
sasaran utama pembinaan dan pengarahan pembangunan politik.83
Sikap yang ditunjukan Orde Baru terhadap Masyumi dan yang lainnya,
merupakan usaha nyata pemerintah dalam meminggirkan kekuatan politik umat Islam
82 Karim, Negara dan Peminggiran, h. 113
83 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-1987
Dalam Perspektif Sosiologis, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), h. 123-124
liii
dan peminggiran-peminggiran tersebut akan terus berlanjut dengan berbagai
bentuknya. Akan tetapi kebijakan pemerintah itu, menimbulkan kekhawatiran
tersendiri bagi pemerintah terhadap representasi konstituen politik Islam di masa
depan. Pemerintah khawatirkan, dengan ketiadaan mekanisme politik untuk
mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan-kepentingan konstituen politik
Islam di atas, akan menumbuhkan rasa frustasi yang lebih dalam, yang pada
gilirannya dapat mendorong mereka kearah ekstremisme politik yang lebih
membahayakan. Dengan demikian pemerintah memberikan kelonggaran untuk
berdirinya partai Islam baru, apabila partai tersebut bersedia mendefinisikan kembali
agenda politik mereka dalam kerangka-kerangka yang lebih dapat diterima oleh
pemerintah.84
Sebagai gantinya, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) didirikan, Meskipun
demikian, persetujuan pemerintah diatas bukan tanpa pembatasan sama sekali. Akan
tetapi dengan kontrol cukup ketat oleh pemerintah, dan yang lebih menggelisahkan
para pemimpin Islam adalah kenyataan bahwa gerak politik para bekas pemimpin
Masyumi sangat dibatasi, kalau tidak, dilarang sama sekali. Bahkan, dalam
perkembangan kepengurusan Parmusi, banyak unsur pimpinan Masyumi tidak
dibolehkan duduk di dalamnya.85
Hal tersebut terlihat pada Muktamar pertama
Parmusi di Malang pada tahun 1968, partai Memilih Mr. Roem sebagai ketua. Namun
84 Effendy, Islam dan Negara, h. 113
85 Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 33
liv
pemerintah menolak tampilnya bekas tokoh Masyumi sebagai pimpinan partai.
Dengan demikian partai dipimpin oleh Djarnawi dan Lukman Harun (dua Aktivis
Muhammadiyah).86
Beberapa saat setelah Muktamar terjadi perebutan kedudukan pimpinan partai,
yang dilakukan oleh seorang tokoh muda yang semula tidak dikenal, J. Naro bersama
Imron Kadir. Naro, semula adalah seorang pegawai dan jaksa tinggi. Karir politiknya
di awali tahun 1968, ketika menjadi anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan.
Perebutan kedudukan ini dengan alasan bahwa pimpinan Parmusi telah menentang
kebijaksanaan pemerintah. Gerakan Naro tampaknya mendapat restu pemerintah dan
gejolak tersebut juga memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk ikut campur.
Melalui SK. Presiden No. 77 tahun 1970, ditetapkan Mintareja sebagai ketua partai.
Mintareja adalah pegawai tinggi pemerintah di Departemen Sosial dan anggota PP
Muhammadiyah. Dengan demikian dengan SK tersebut pula sekaligus membatalkan
pengangkatan Djarnawi sebagai ketua partai. Sehingga sejak saat itu Parmusi mulai
kehilangan dukungan umat.87
Pada tanggal 3 Juli 1971 dilangsungkan pemilu pertama masa Rezim Orba,
Dalam pemilu ini, partai-partai Islam terdiri dari NU, PSII (Partai Syarikat Islam
Indonesia), Perti dan partai yang baru saja berdiri yakni Parmusi (Partai Muslimin
Indonesia). Sebagai mana yang sudah dijelaskan pada Bab II, pada pemilu ini
86 Ibid, h. 33; Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik, h. 125
87 Ibid, h. 126
lv
kekuatan Islam politik makin merosot. Golkar yang merupakan kendaraan politik
pemeritah menang besar. Ini sebagian disebabkan karena langkah-langkah yang
benar-benar sudah ditata, pemerintah Orde Baru berhasil menciptakan “kondisi-
kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi partai-partai politik”.88
Didorong oleh kemenangan besar Golkar, pemerintah melalui Operasi Khusus
(Opsus) mempercepat program penyederhanaan partai politik, yaitu dengan mendesak
partai pemilu 1971 untuk menjadi tiga organisasi kekuatan politik, masing-masing:
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), fusi dari empat partai Islam; Partai Demokrasi
Indonesia (PDI), fusi dari empat partai nasionalis dan Kristen/Katolik; kemudian
Partai Golkar.89
Selanjutnya dalam beberapakali pemilihan umum (1977, 1982, 1987 dan
1992) dengan kemenangan Golkar yang terus menerus, Suharto tetap dipertahankan
menjadi Presiden Republik Indonesia.90
Terhadap pengelompokan tersebut, membawa implikasi pada dikotomi politik
Islam dan non-politik Islam. Pertama, dengan format kepartaian baru, PPP yang
memiliki basis pada massa Islam sekarang menghadapi dua lawan utama; Golkar dan
PDI. Kedua, pengelompokan tersebut juga mengandung arti adanya usaha sistematis
untuk memecah belah politik Islam, karena “fusi artifisial” tidak akan membawa
88 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 113; Effendy, Islam dan Negara, h. 116
89 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2001), h. 41
90 Syafiie, Sistem Politik Indonesia, h. 46
lvi
persatuan. Sejarah telah membuktikan bahwa PPP hampir tidak pernah luput dari
konflik internal. Ketiga, pengelompokan dapat mengandung arti domestika politik
Islam, seperti terbukti kemudian, PPP harus melakukan penyesuaian diri dengan
kebijaksanaan pemerintah, umpamanya dalam melaksanakan ketentuan asas tunggal
Pancasila,91
sebagaimana pula yang telah dijelaskan dalam Bab II.
Dalam konflik-konflik yang muncul dalam tubuh PPP, telah membawa PPP
pada proses kemerosotan. Ini dengan jelas tergambar dalam perolehan suara dalam
tiga pemilu terakhir. Tahun 1977 PPP memperoleh suara 29,29%, tahun 1982
menurun dengan perolehan suara 27,78%, dan merosot tajam pada pemilu tahun 1987
dengan perolehan suara halnya 18,8%.92
Disamping itu, banyak juga kebijakan pembangunan/politik yang dibuat
pemerintah bertentangan dengan aspirasi dan kepentingan Islam, diantaranya:
1. Pengumuman rancangan Undang-undang Perkawinan pada tahun 1973,
yang menimbulkan protes sangat dahsyat dari hampir semua organisasi
Islam, karena rancangan yang dibuat pemerintah benar-benar
mengabaikan ajaran Islam;
2. Pembangunan tempat-tempat perjudian, “lokalisasi”, dan melegalisasikan
perjudian “terselubung” melalui pungutan uang lotre olah raga yang biasa
disebut Sumbangan Dana Sosial Berhadiah;
91 Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, h. 42
92 Ibid, h. 52
lvii
3. Larangan memakai Jilbab di sekolah menengah;
4. Program keluarga berencana yang tidak memperhatikan ajaran Islam;
5. Maraknya penjualan Minuman keras, dan pemberian izin secara bebas
oleh pemerintah untuk membangun kilang-kilang arak.93
Pada 1978, lagi-lagi masyarakat Muslim merasa diserang keyakinan agama
mereka. Mereka merasa keberatan dengan upaya pemerintah, dalam salah satu sidang
MPR, pemerintah berupaya menaikan status aliran kepercayaan menjadi sama dengan
posisi agama seperti Islam dan Kristen. Reaksi keras dari para pemimpin dan aktivis
Muslim, termasuk mereka yang menjadi anggota parlemen (khususnya dari PPP),
memaksa pemerintah untuk membatalkan rencana itu. Karena tidak mau menentang
baik aspek ritual maupun teologis Islam, Presiden Soeharto – yang juga Muslim –
tidak mengakui aliran kepercayaan sebagai agama. Hingga akhirnya pada 1979, aliran
kepercayaan ini kemudian secara resmi diakui sebagai salah satu unsur kebudayaan
Indonesia. Karena itu, pengawasannnya diserahkan kepada Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, dan bukan kepada Departemen Agama.94
Serangan paling akhir terhadap konstruk lama Islam politik, terutama dalam
kerangka simbolisme ideologisnya, berlangsung pada 1983. Pemerintah meragukan
komitmen kelompok-kelompok sosial-keagamaan dan politik tertentu terhadap
komitmen Ideologi negara. Dalam pandangan Presiden Soeharto, mereka tidak
93 Karim, Negara dan Peminggiran, h. 119
94 Effendy, Islam dan Negara, h. 120
lviii
meyakini Pancasila secara seratus persen. Sehingga dalam pidato tahunannya di
depan DPR, 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto menegaskan bahwa seluruh
kekuatan sosial politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka satu-satunya
adalah Pancasila.95
Perkembangan itu sangat mengecewakan sebagian besar masyarakat Muslim
di Indonesia. Mereka merasa bahwa, tidak saja tokoh-tokoh mereka disingkirkan dari
arus utama politik bangsa, tetapi bahkan – hingga tahap tertentu – dikursus politik
negeri ini pun tidak mencerminkan kenyataan bahwa mayoritas penduduknya
Muslim. Karena itu, sedemikian pahitnya, mereka merasa bahwa pemerintah Orde
Baru telah memperlakukan para pemimpin dan aktivis politik Muslim, terutama yang
berasal dari Masyumi, seperti ”kucing kurap”. Maka bisa dipahami jika banyak dari
mereka yang melihat politik pangasastunggalan Pancasila sebagai upaya lebih jauh
yang sengaja diambil oleh pemerintah untuk melakukan depolitisasi terhadap Islam.96
Keadaan terpinggir semacam ini menimbulkan dua reaksi umat Islam. Yang
pertama, adalah oposisi terhadap pemerintah, bahkan berkali-kali melakukan
kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Tindakan seperti ini makin membuka
peluang bagi pemerintah untuk menekan umat Islam. Yang kedua, muncul kreativitas
untuk mencari jalan keluar dari “kebutuhan” politik terutama yang dilakukan oleh
kelompok cendekiawan dan aktivis organisasi Islam. Kegiatan ini ternyata kemudian
95 Ibid, h. 121
96 Ibid, h. 122
lix
memperkuat kemampuan umat Islam, dan akhirnya mendorong pemerintah untuk
mengambil sikap akomodatif terhadap Islam.97
B. SYARIKAT ISLAM DAN ORDE BARU
Pada masa Orde Baru hanya ada tiga partai Islam yang bertahan, yakni PSII,
NU dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Pembentukan Parmusi (Partai
Muslimin Indonesia) diharapkan memberikan sesuatu yang baru bagi politik Islam.
Tapi keterlibatan pemerintah dalam proses pembentukannya menghambat partai
tersebut melakukan kegiatan-kegiatan atau mengambil kebijakan-kebijakan politik
yang independen.98
Dalam rangka memulihkan kembali demokrasi di dalam negeri, pemilihan
umum pertama diadakan pada tanggal 3 Juli 1971. Dalam pemilu ini, partai-partai
Islam terdiri dari PSII, NU, Perti dan Parmusi, partai-partai non-Islam dan sekuler
yakni PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, dan IPKI dan Golkar didukung
Pemerintah, saling bersaing.
Golkar menang besar (mengumpulkan 62,8 persen suara), sementara partai-
partai Islam mendapatkan 27,11 persen, partai-partai non-Islam dan Nasionalis
mendapatkan 10,09 persen. Dari kursi 360 kursi parlemen yang diperebutkan, Golkar
memenangkan 227 kursi, partai-partai Islam 94 kursi, dan sisanya untuk partai
97 Karim, Negara dan Peminggiran, h. 51
98 Syamsuddin, Islam dan Politik, h. 49
lx
sekuler dan non-Islam. Sejumlah kursi tambahan (100) diisi oleh anggota-anggota
yang ditunjuk oleh pemerintah, 75 kursi ditunjuk dari militer dan 25 kursi dari sipil.
Dengan total 327 dari 460 kursi, jelaslah bahwa Golkar mendominasi kekuatan
politik di dalam negeri.99
Suara yang didapat partai Islam sangatlah menurun dibanding pemilu tahun
1955. Apabila dilihat dari persentase dukungan Umat Islam terhadap Partai Islam,
dalam pemilu 1955, dari jumlah pemilih Muslim sebanyak 32.910.999 yang memilih
partai Islam tercatat 16.642.924 atau sekitar 50,5 persen sedangkan pada Pemilu 1971
dengan jumlah pemilih Muslim sebanyak 47.643.272, yang memilih partai Islam
hanya 14.833.942 (31,1 persen).100
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan umat Islam
tidaklah secara otomatis menjadi pendukung partai-partai Islam. Dukungan mereka
tersebar ke barbagai aliran, partai politik dan partai pemerintah “Golongan Karya”.
Dan apabila dilihat dari perolehan suara perbandingannya cukup jauh pula, Pada
pemilu 1955 perolehan suara partai Islam mencapai 43,9 persen dan dalam pemilu
1971 perolehan suara PSII, NU, Perti dan Parmusi hanya mendapat 27,1 persen.101
Adapun wakil-wakil PSII yang duduk sebagai anggota dewan terdapat 10
orang, yakni:
99 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 113
100 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendikiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 130
101 Ibid, h. 131
lxi
1. Wartomo Dwijoyuwono duduk dalam komisi I (Hankam, Luar Negeri,
Penerangan, Kepresidenan, Dewan Pertahanan Keamanan Nasional, Bakin,
MPR, DPR, DPA).
2. Andi Mappatunru BA duduk di Komisi II (Dalam Negri. LAN, Arsip
Nasional, PAN dan Sekneg).
3. Johan Burhanuddin duduk di komisi III (Kehakiman, Mahkamah Agung dan
Kejaksaan Agung).
4. Ishak Moro duduk di Komisi IV (Pertanian, Tenaga Kerja, dan Transkop).
5. Ubaya Ahmadi duduk di Komisi V (Perhubungan, PUTL, Dewan
Telekomunikasi, LAPAN dan DEPARI).
6. Thayeb Moh. Gobel duduk di Komisi VI (Perindustrian, Pertambangan dan
BATAN).
7. Oesman Yusuf Helmi duduk di Komisi VII (Keuangan, Perdagangan,
Bapenas, BPK, Bank Sentral, BPS, dan Bulog).
8. Drs. MA. H. Gani MA duduk di Komisi VIII (Kesehatan, Sosial, Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional).
9. Bustamam SH duduk di Komisi IX (Agama, Pendidikan dan Kebudayaan,
LIPI).
10. Drs. Syarifudin Harahap duduk di Komisi X (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara).102
102 Sudjana, Liku-liku Perjuangan, h. 135
lxii
Dalam masa sidang, anggota-anggota PSII sangat aktif dan kritis pada
permasalahan-permasalahan yang muncul di dalam negeri. Oesman Yusuf Helmi,
Waktomo Dwijoyuwono, dan H. Mch. Ibrahim. Mereka merupakan tokoh-tokoh yang
berani berbicara dan mengeritik pemerintah, contohnya seperti Oesman Yusuf yang
telah mengajukan lebih kurang 300 pertanyaan kepada pemerintah, sejumlah usul
resolusi dan interpelasi.103
Pada tanggal 23-29 Juli 1972 dilangsungkan Majlis Tahkim PSII ke XXXIII
(33) di Gedung Merdeka Bandung. Sidang Tahkim berjalan dengan tertib-tentram dan
puncak dari semua sidang-sidang Tahkim tersebut adalah pada saat pemilihan formasi
Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah yang akan diserahi amanah periode 5 tahun
(1972-1977). Sebagai hasilnya sesuai dengan aspirasi para perserta yang hadir,
munculah formasi baru yang ditandai dengan suatu cirinya yang khas yaitu
Peremajaan. Kecuali seorang (Muhammad Safe’i, kuarang lebih 70 tahun), seorang
tua yang semangatnya masih muda remaja, maka seluruh DPP yang baru adalah
tokoh-tokoh pemimpin angkatan muda yang rata-rata berusia dibawah 50 tahun.
Sebagai contoh Bustamam SH (47 tahun) Presiden Dewan Partai, H.M. CH. Ibrahim
(40 tahun) Presiden Lajnah Tanfidziyah dan para Wakil Presiden LT, Oesman Yoesuf
(48 tahun), KH. Firdaus AN (48 tahun), Ishak Moro (41 tahun) dan Dra.Jubaidah
Muhtar (36 tahun).104
103 Ibid, h. 202
104 Ibid , h. 142-143
lxiii
Akan tetapi selang beberapa bulan tepatnya pada tanggal 22 Desember 1972
terjadi pengambil alihan dan pendudukan DPP dan kantor LT PSII oleh orang-orang
yang menyatakan dirinya sebagai Team Penyelamat Kaum PSII di bawah pimpinan
Suryo Ahmad Mojo. Pihak TP (Team Penyelamat) PSII menyatakan bahwa
pengambilan alih ini dikarenakan, TP PSII melihat keadaan kepemimpinan PSII tidak
dapat mengikuti perkembangan ketatanegaraan dewasa ini sehingga menimbulkan
kegelisahan dikalangan kaum PSII, sehingga TP PSII tidak mengakui lagi
kepemimpinan PSII Pusat yang terbentuk dalam MT PSII ke 33 di Majalaya-
Bandung.105
Kemudian pada 22 Desember 1972 TP PSII membentuk Pimpinan
Darurat (PD) PSII, yang diketuai oleh H. Anwar Cokroaminoto.106
Sepertinya nasib PSII sama dengan apa yang dialami oleh Parmusi, dalam
upaya pemerintah meminggirkan tokoh-tokoh Masyumi, pemerintah ikut campur
dalam pembentukkan kepengurusan partai.107
Dan sekarang pemerintah berusaha
meminggirkan tokoh-tokoh PSII dan memecah PSII dengan membuat tandingan
kepengurusan dalam tubuh PSII. Hal ini merupakan sebuah strategi yang sering
dilakukan oleh pemerintah, karena terjadi pula kepada Muhammadiyah dan NU,
105 Ibid, h. 158-161
106 Ibid , h. 167
107 Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 33
lxiv
pemerintah ikut campur di dalam pendirian, pembentukan kepengurusan, artikulasi
kepentingan, anggaran belanja dan akses pembuat kepentingan.108
Menyikapi hal tersebut DPP PSII MT ke 33 berpendapat bahwa sesuai dengan
ketentuan hukum dan tradisi partai, kepemimpinan PSII yang dijalankan oleh DPP
PSII tidak dapat diambil alih oleh siapapun kecuali oleh badan penggenggam
kekuasaan partai yang memilih DPP PSII, yaitu Majlis Tahkim (Kongres Nasional)
PSII. Dengan demikian DPP PSII MT ke 33 akan meneruskan tugas kepemimpinan
PSII sesuai dengan keputusan-keputusan Majlis Tahkim ke 33.109
Akan tetapi sikap PD PSII semakin sewenang-wenang, PD PSII menggeser
beberapa orang PSII MT. 33 dalam DPR/MPR yang merupakan wakil dari PSII,
diantaranya Wartomo Dwijoyuwono (Sekjen PSII MT.33) yang duduk sebagai wakil
Ketua fraksi Persatuan Pembangunan di DPR digantikan Drs. Syarifuddin Harahap,
HM. CH. Ibrahim (Presiden LT PSII MT.33) sebagai anggota Badan Pekerja MPR
diganti pula oleh Drs. Syarifuddin Harahap, sementara Dra. Zubaedah Mohtar (W.
Presiden LT. PSII MT.33) sebagai anggota pengganti di MPR diganti oleh Djohan
Burhanuddin SH.110
Selain itu seiring usaha pemerintah yang dua tahun setelah pemilu 1971,
pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan tentang restrukturisasi politik yang
108 Karim, Negara dan Peminggiran, h. 144
109 Sudjana, Liku-liku Perjuangan, h. 170
110 Ibid, h. 174
lxv
berisi pengelompokan (fusi) semua partai politik, sebuah kebijakan yang
menghasilkan pembentukan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PDI (Partai
Demokrasi Indonesia) dan Golkar.111
Tapi sebenarnya kebijakan ini sudah
disampaikan pada tanggal 3 Maret 1970.112
Hal tersebut oleh PD PSII dijadikan
sebagai isu dalam menghancurkan DPP PSII, dengan mengatakan DPP PSII hasil
MT.33 anti fusi, dan tidak mau mencalonkan Presiden Soeharto sebagai Presiden
pada sidang MPR 1973. Dan tidak hanya itu saja serangan yang dilancarkan, PD PSII
juga akan melakukan pembekuan kepada cabang yang tidak menunjukan sikap
mendukung PD PSII.113
Akan tetapi serangan yang dilancarkan PD PSII sepertinya tidak berhasil, LT
PSII MT. 33 dengan cepat tanggap pada tanggal, 5 Januari 1973 bersama NU,
Parmusi, dan Perti melakukan kesepakatan untuk memfusikan politiknya dalam 1
(satu) partai politik barnama Partai Persatuan Pembangunan.114
Sehingga dengan
demikian dapat mengembalikan kepercayaan kader-kader PSII terhadap PSII MT. 33.
Pada tanggal 11 Januari 1973 terjadi perundingan antara kedua belah pihak
(PSII MT.33 dan PD PSII), yang dilaksanakan di rumah H. Anwar Cokroaminoto JL.
Singamangraja No. 29 Kebayoran Baru Jakarta, yang terdiri dari perwakilan PD PSII
111 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 126
112 Mulkhan, Perubahan Prilaku Politik, h. 86
113 Sudjana, Liku-liku Perjuangan, h. 180
114 Ibid, h. 183
lxvi
yakni, H. Anwar Cokroaminoto, Drs. M. Gani, MA., dan Drs. Syarifuddin Harahap,
kemudian DPP PSII MT. 33 diwakili oleh, Bustamam SH (Presiden Dewan
Penasehat) dan H. Mch. Ibrahim (Presiden LT PSII), dari perundingan tersebut
menghasilkan kesepakatan bahwa persoalan keorganisasian dan kepemimpinan
Syarikat Islam, selanjutnya sampai dengan berlangsungnya Majlis Tahkim Luar Biasa
yang akan datang disusun bersama-sama dibawah pimpinan Bapak H. Anwar
Cokroaminoto.
Tanggal, 20 Januari 1973 diadakan perundingan kembali, tetapi menimbulkan
kegagalan di dalam perundingan, dikarenakan pihak PD PSII menyarankan kepada
DPP PSII MT. 33 agar pembentukan DPP SI diserahkan sepenuhnya oleh H. Anwar
Coktoaminoto yang merupakan sesepuh partai dan PD PSII meminta H. Mch.
Ibrahim rela mengorbankan sebagian kawan-kawannya untuk tidak duduk dalam DPP
Syarikat Islam yang akan dibentuk. Dengan pernyataan tersebut, H. Mch. Ibrahim
menyatakan akan tetap bertahan pada keputusan Majlis Tahkim PSII ke 33115
dan
menjalankan tugasnya sebagaimana biasa.
Menindak lanjuti hasil keputusan rapat Pimpinan Kelompok Persatuan tanggal
5 Januari 1973 untuk mengfusikan kegiatan politik dalam satu wadah Partai
Persatuan Pembangunan, DPP-SI MT.33 diundang ikut serta untuk mengambil
bagian dalam team penyusunan AD-ART, Program dan Ketentuan-Ketentuan Khusus
Partai dan akan tetapi Selasa tanggal 13 Februari 1973 dalam penyelenggaraan
115 Ibid, h. 190-193
lxvii
penyusunan DPP PPP, sangat disesalkan oleh DPP-SI MT.33 dalam penyusunan DPP
PPP tersebut tidak mengundang DPP-SI MT.33 yang duduk dalam Presidium dan
Badan Pekerja Kelompok Persatuan. Dan ternyata justru PD PSII yang diikut
sertakan dalam penyusunan itu.116
Tampaknya perjuangan PSII dari mulai awal berdirinya sampai saat ini tidak
berjalan dengan mulus, pada tahun 20-an kaum komunis memasukan jarum infiltrasi
yang beracun ke dalam SI. Dengan masuknya tokoh komunis seperti Semaun,
Darsono dan Alimin ke dalam tubuh SI sehingga SI menjadi pecah ada SI putih dan
ada SI merah.117
Selain itu kini masuknya Gobel dkk kedalam SI sebagai infiltrasi
yang memecah belah kekuatan SI dengan memperalat anak cucu Cokroaminoto.
Sejak Syarikat Islam menggabungkan kegiatan politiknya dalam PPP, maka
ruang lingkup Syarikat Islam hanya pada pembinaan dalam bidang pendidikan, sosial,
ekonomi dan da’wah Islamiyah. Dalam bidang pendidikan mulai didata keadaan
sekolah-sekolah yang bernaung dibawah naungan SI dan menyusun kurikulum
bidang studi Syarikat Islam mulai tingkat sekolah dasar, menengah pertama dan
menengah atas. Dalam bidang sosial ikut meringankan beban yang diderita oleh
masyarakat, seperti hal masyarakat yang terkena bencana alam dan lain sebagainya.
Dalam bidan pembangunan SI bersama-sama pemerintah di daerah ikut membangun
sarana pendidikan dan tempat ibadah. Demikian juga dalam masalah Da’wah sangat
116 Ibid, h. 199-201
117 Effendy, Islam Dan Negara, h.68
lxviii
digiatkan baik tablig dalam acara umum seperti maulid Nabi Saw, khutbah jum’at dan
lain-lain. Mubalig-mubalig dari SI mempunyai ciri khasnya dalam menyampaikan
da’wah Islamiyahnya, yakni; kritis, korektif dan konstruktif. Kursus-kursus bagi para
pemuda pelajar dan mahasiswa terus digiatkan dipusat daerah dan dalam bidang
penerbitan setiap bulan diterbitkan majalah yang memuat berita luar negeri serta
berita intern Syarikat Islam.118
Akan tetapi upaya SI dalam melanjutkan geraknya, tidak semulus apa yang
dibayangkan, dalam upaya kebijakan-kebijakan pemerintah yang terus menerus
berusaha meminggirkan politik umat Islam, Operasionalisasi kebijaksanaan demikian
mencakup berbagai aspek kehidupan dan kegiatan sosial ummat. Di dalam melakukan
kegiatan dakwah, baik SI ataupun yang lainnya harus dapat rekomendasi dari
Departemen Agama, dan rekomendasi tersebut diberikan apabila kegiatan dakwah
dan peningkatan kehidupan keagamaan tidak mempergunakan tema politik. Secara
lebih khusus dalam kegiatan Masjid dan Khutbah, dengan tegas dilarang untuk
membicarakan masalah politik.119
Pada pemilu 1977, dalam pengajuan nama-nama untuk anggota DPR/MPR,
wakil-wakil dari DPP SI selalu dipersulit dan pencalonan ini tidak jarang mendapat
gangguan dari PD PSII dimana mereka sering mengirimkan surat terhadap Laksusda
118 Ibid,, h. 206
119 Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik, h. 94
lxix
agar nama-nama yang diajukan DPP SI ke Panitia Pemilihan Daerah dicoret.120
Dalam menghadapi tekanan-tekanan tersebut DPP SI mengadakan konsolidasi
diberbagai aspek, diantaranya: konsolidasi organisasi, pendidikan, sosial ekonomi,
kaderisasi dan pembinaan remaja, bidang dakwah/pembinaan umat, dan bidang
umum.121
Berbarengan dengan adanya program konsolidasi tersebut, Djohan
Burhanuddin dari PD PSII mengadakan huru-hara di daerah Jawa Barat dengan
mengobrak-abrik PPP di cabang-cabang yang kebetulan dipimpin oleh anggota DPP
SI. Selain itu PD PSII membentuk cabang-cabang tandingan SI ditiap kabupaten dan
kodya se-Jawa Barat.122
Dan selain itu upaya lain yang dilakukan pemerintah Orde
Baru untuk meredam gerak langkah SI, dengan dalih kestabilitas ketahanan nasional,
tokoh-tokoh SI pun dimasukan kedalam penjara.123
Pada selanjutnya Usaha-usaha PD PSII dalam menghancurkan DPP SI terus
berlanjut, pada tahun 1979 PD PSII menghalang-halangi acara silaturahmi DPP SI
yang diadakan di Gedung Merdeka Bandung dengan melakukan hasutan-hasutan
kepada pejabat Kepolisian agar polisi tidak memberikan izin. Namun, acara tersebut
tetap bisa diselenggarakan yang pada kesempatan itu hadir pula Gurbenur Jawa Barat
dan kemudian PD PSII melakukan aksinya kembali dengan mengajukan surat
120 Sudjana, Liku-liku Perjuangan,h.220
121 Ibid,h. 227
122 Ibid, h.236
123 Ohan Sudjana, Jejak-Jejak Jihad, (Sukabumi: Pustaka 99, t.t), h. 54
lxx
perecallan terhadap anggota DPRD II Sukabumi wakil dari DPP SI yang berjumlah 3
orang hasil pemilu 1977, namun surat pengajuan tersebut tidak digubris oleh Pemda
Kabupaten Sukabumi.124
Pada 1982 tampaknya merupakan pemilu terakhir yang diikuti oleh DPP SI,
Dikarenakan kebijakan pemerintah mengenai pemberlakuan asas tunggal yang
disampaikan di depan DPR, 16 Agustus 1982, bahwa Presiden Soeharto menegaskan
seluruh kekuatan sosial politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka satu-
satunya adalah Pancasila.125
Kemudian gagasan presiden ini dimasukan dalam
ketetapan MPR No. II/1983 (pasal 3 bab IV).126
Sehingga dikarenakan kebijakan
pemerintah tersebut PPP mengubah asasnya menjadi asas Pancasila. Hal itu
menimbulkan pertikaian di dalam tubuh PPP. PSII yang merupakan bagian dari PPP,
menyatakan diri keluar karena asas tunggal tidak sesuai dengan asas PSII.127
Pada bab
selanjutnya akan dibahas mengenai Asas PSII dan pandagan PSII terhadap Asas
Tunggal Pacasila.
124 Sudjana, Liku-liku Perjuangan, h. 238
125 Effendy, Islam dan Negara, h. 120
126 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 203
127 Bustamam, PSII-1905, h. 53
lxxi
BAB IV
ASAS TUNGGAL PANCASILA
DALAM PANDANGAN SYARIKAT ISLAM (SI)
A. PROGRAM ASAS DAN PROGRAM TANZHIM SYARIKAT ISLAM
Syarikat Islam (PSII [Partai Syarikat Islam Indonesia]) dengan singkat
memiliki tujuan akan menjalankan Islam seluas-luas dan sepenuh-penuhnya, untuk
mencapai Dunia Islam yang sejati dan menurut kehidupan Muslim yang
sesungguhnya, untuk mewujudkan tujuan tersebut nyatalah perlu sekali mempunyai
Program Asas dan suatu Program Tanzhim (Program Perlawanan), yang menjadi
dasar dan pedoman segala cita-cita yang dituju dan bagi segala perbuatan yang
dilakukan untuk mencapai maksud itu.128
Program Azas pertama kali dirumuskan dan disahkan dalam Natico III di
Jakarta tahun 1917. Rumusannya mengalami dua kali perubahan: pertama, setelah
Natico IV di Yogyakarta tahun 1920, dan kedua dalam Natico XV juga di Yogyakarta
tahun 1930 yang sampai saat ini tetap dipertahankan.
Program Azas berisi pokok-pokok pikiran tentang idiologi perjuangan
Syarikat Islam yang merupakan pedoman pokok bagi segenap aktifis organisasi
dalam melakukan gerak-gerak organisasi. Program ini berintikan enam butir program
128 Firdaus, Syarikat Islam Bukan Budi Utomo, h. 48
lxxii
asas dan tiga butir program tanzhim.129
Di bawah ini akan dipaparkan Program Asas
dan Program Tandhim yang dimaksud di atas:
I. Program Asas
Program asas Partai Syarikat Islam terdapat 6 (enam) butir asas di dalamnya,
yakni: Persatuan Umat Islam, Kemerdekaan Umat, Sifat Negara dan Pemerintahan,
Kehidupan Ekonomi, Keadaan Dan Derajat Manusia Di Dalam Pergaulan Hidup Dan
Hukum dan Kemerdekaan Sejati. Dibawah ini akan diuraikan mengenai enam butir
asas tersebut.
1. Persatuan Dalam Umat Islam
Haji Samanhudi maupun Haji Umar Said Cokroaminoto melihat suatu
kenyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia waktu itu, yaitu
penjajahan oleh bangsa Belanda yang telah berjalan lebih dari 300 tahun lamanya
tidak mungkin dapat dilenyapkan tanpa kesatuan dan persatuan antar bangsa
Indonesia sendiri. Pengalaman di masa lampau telah membuktikan kepada kita bahwa
perjuangan bersenjata yang pernah terjadi dan tersebar di seluruh penjuru tanah air
secara terpisah-pisah seperti Perang Paderi (1821-1837), Perang Diponegoro (1825-
1830), Perang Aceh (1873-1904) tidak pernah berakhir dengan kemenangan di pihak
kita sebagai pejuang-pejuang bangsa.130
129 Wiradipraja, Satu Abad, h. 93
130 Gani, Cita Dasar, h. 80
lxxiii
Untuk itu Syarikat Islam percaya, bahwa untuk menjadikan Ummat Islam
yang bersatu, lebih dulu harus dibangun suatu kaum (partai), yang tidak berpecah-
belah atau terbagi-bagi, PSII mengutip firman Allah Ta’ala, QS. Al-Imran (3) ayat
103 yang berbunyi:
����☺�� ������ �������� ����
�����☺ ! "#�� ����$%&⌧() � ٣:١.٣/ال���ا�
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai...”
Persatuan yang demikian itulah yang dibangun oleh PSII yang di dalam
persatuannya itu menjadi bagian dalam persatuan umat Islam seluruh dunia.131
2. Kemerdekaan Umat
Apa yang dimaksud dengan kemerdekaan ummat di sini adalah kemerdekaan
bangsa Indonesia yang mencakup semua aspek bidang politik, ekonomi dan lain
sebagainya. Kemerdekaan adalah mutiara kehidupan bagi setiap insan yang ingin
menikmati rahmat dan karunia Allah. Perlu kita sadari di manapun penjajahan itu
terjadi, selalu mengakibatkan atau melahirkan pebuatan-perbuatan kejam dan bengis.
Setiap penjajahan dan penindasan akan membangkitkan rasa kemarahan dan
131 Partai Syarikat Islam Indonesia, Siaran Khusus Program Asas dan Program Tandhim,
(Jakarta: PSII, 1954), h. 7
lxxiv
perlawanan dalam hati manusia. Penjajahan dan penindasan selalu akan menghambat
manusia untuk menikmati kebebasan berbicara dan beragama.132
Kaum Partai SI Indonesia percaya dengan sekuat-kuatnya kepercayaan akan
benarnya firman Allah didalam QS. Al Fath (48) ayat 23:
)�+,�- ���� ./012�� �3)$ �456 7
8�9 ���:)$ � 8)2�� 3;�9 ��+,<=�2
���� >⌧?�3��) )٤٨:٢٣/ا����( Artinya: “Sebagai suatu sunnatullah yang Telah berlaku sejak dahulu, kamu
sekali-kali tiada akan menemukan peubahan bagi sunnatullah itu.”
Karena kepecayaan seperti tersebut di atas ini, kaum Partai SI Indonesia
percaya juga dengan seteguh-teguhnya kepercayaan, bahwasanya apabila kaum
muslimin menjalankan perintah-peritah Allah dan Rasulullah dengan sungguh-
sungguh, akan mendapat kebahagiaan dan keluhuran derajat, sebagai yang telah
dikaruniakan kepada orang Islam zaman dulu.133
Dalam asas Kemerdekaan Umat ini, PSII mencontoh dari segala yang telah
dijalankan oleh Rasulullah. Yang merupakan Salah satu dari pada sayarat-syarat yang
utama untuk menjaga kehidupan kita sebagai umat Islam, untuk menuntut kehidupan
yang aman, untuk menjadi kaum yang memegang pemerintahan negeri dan untuk
mencapai kemuliaan dan keluhuran derajat manusia, sebagai yang dijanjikan oleh
Allah dengan merujuk pada QS. An-Nur (24) ayat 55 yang berbunyi:
132 Gani, Cita Dasar, h. 88
133 Bustamam, PSII-1905, h. 55
lxxv
3���� @��� �AB�$1���
����,�9��C ECF,�9
����6�☺���� �4G )H6GI�2��
E�;+,⌧(H6JK� =�L)2 MHA
NO�PQR�� � ☺"� �56T� -��
UVB�$1��� 8�9 �WH;H6�:)$) ٢٤:٥٥ /ا����(
Artinya: “Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh-
sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia
Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa..."
Dengan demikian PSII menyatakan salah satu syarat-syarat yang utama itu
ialah: bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai kemerdekaan umat
atau kemerdekaan kebangsaan dan mesti berkuasa atas negeri tumpah darah
sendiri.134
3. Sifat Negara Dan Pemerintahan
Sifat (sistem) negara dan pemerintahan yang dikehendaki oleh Syarikat Islam
bukanlah sistem pemerintahan dikatator komunis atau diktator fasis atau diktator
dalam segala bentuk manifestasinya. Sistem yang dikehendaki Syarikat Islam adalah
pemerintahan demokratis dalam bentuk negara dengan demokrasi konstitusional. Haji
Umar Said Cokroaminoto menyadari bahwa pengertian demokrasi tidak bersifat
tunggal. Pengertian demokrasi pada umumnya bervariasi antara negara yang satu
dengan negara yang lain. Negara Rusia dan negara-negara komunis lainnya
134 PSII, Siaran Khusus, h. 10
lxxvi
menamakan negaranya sebagai negara yang berlandaskan demokrasi rakyat.
Amerika, Inggris, Jerman, Jepang dan yang lainnya juga menamakan negaranya
sebagai negara demokrasi, yakni negara demokrasi menurut pengertian mereka
sendiri.135
Sedangkan menurut paham PSII dan juga mengingat contoh-contoh pada
zaman Khulafaurrasyiddin, dengan mengutip QS. Asy-Syura (42) ayat 38 yang
berbunyi:
�AB�$1����� ���Y� Z� -��
�W�\]�&�2 ����9�)$�^��
5_`�56I�2�� �W�a�&J9�^��
Fb�P�C1 �Wc\�,d�Y �e☺�9��
�W�;G�,J$ f�P �g�hi�(,�?) رىا�� / ٤٢ : ٣٨(
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki
yang kami berikan kepada mereka.”
Dengan maksud ayat di atas, sebuah pemerintahan yang diinginkan terlebih-
lebih buat zaman kita yang sekarang ini menurut PSII ialah suatu pemerintahan yang
Demokrasi; kekuasaannya berdasarkan kepada kemauan rakyat (umat) yang
dinyatakan sepenuh-penuh di dalam suatu Majelis Syura, berupa Majelis Perwakilan
Rakyat, Majelis Parlemen, atau lain-lainnya yang serupa itu, yang susunanya, hak-
135 Gani, Cita Dasar, h. 98
lxxvii
hak dan kewajiban-kewajiban harus berdasarkan asas-asas demokrasi yang seluas-
luasnya.136
4. Penghidupan Ekonomi
Kapitalisme dan imperialisme adalah penyakit dunia dalam bidang politik dan
ekonomi yang banyak menimbulkan kesengsaraan dan kemelaratan bagi umat
manusia. Oleh karena itu Haji Umar Said Cokroaminoto berpendapat bahwa
melenyapkan kapitalisme dan imperialisme tidak hanya merupakan suatu keharusan
ditinjau dari segi politik dan segi ekonomi tetapi merupakan amal ibadah ditinjau dari
segi agama.137
Sejarah Indonesia menunjukan, bahwa yang menjadi pokok pangkal bangsa
Belanda datang ke Indonesia sampai akhirnya berkuasa dan memerintah di negeri
tumpah darah ini, ialah geraknya Kapitalis bangsa Belanda, yang terus menerus
mendapat keuntungan besar dari hasil tanah Indonesia. Oleh karena itu, untuk
menghidupkan neraca penghidupan ekonomi rakyat, sehingga tidak akan timbul
penumpukan kekayaan yang jahat sifatnya dan tidak akan ada kemiskinan yang
sangat.138
Dalam upaya penghidupan ekonomi di Indonesia, ada beberapa hal yang
PSII tekankan mengenai ini, sebagai langkah-langkah yang harus dijalankan guna
penghidupan ekonomi yang baik, adapun langkah-langkah tersebut yakni:
136 PSII, Siaran Khusus, h. 11
137 Gani, Cita Dasar, h. 116
138 Bustamam, PSII-1905, h. 57
lxxviii
a. Dengan adanya kesadaran yang muncul dari penindasan yang dilakukan
kolonial, PSII merasa wajib memerangi kapitalisme;
b. Mewajibkan tiap-tiap orang untuk bekerja bersungguh-sungguh sekuat
tenaga;
c. Dalam upaya membangun neraca penghidupan ekonomi rakyat,
dijalankannya penggalangan shadaqah dan zakat;
d. Adanya pengawasan oleh rakyat kepada perusahaan-perusahaan
pemerintah;
e. Dalam usaha memerangi kapitalisme, PSII berusaha mempersatukan
faham, tujuan dan usaha dikalangan umat Islam dengan didirikannya
serikat-serikat pekerja.139
5. Keadaan Dan Derajat Manusia Di Dalam Pergaulan Hidup Dan Hukum
Pada asas ini Partai Syarikat Islam Indonesia menolak adanya perbedaan
kedudukan manusia di dalam hukum. Adapun yang menjadikan perbedaan
kedudukan manusia di hadapan Allah hanyalah dari ketaqwaannya, sebagaimana
dinyatakan di dalam Al Qur’an QS. Al-Hujurat (49) ayat 13 yang berbunyi:
���U3�jkG�? l+�+,2�� �kmHi
YCFG_�Ji56 7 8��9 2&⌧n)o
`.)pmq^�� �WCFG_�r6 � !��
�pY���C1 "�s����)$��
��t��r�P� �� �2 ` +gHi
139 PSII, Siaran Khusus, h. 11-15
lxxix
�YCF�9�&u��^ 3��� ����
�WCF2)iJ�^ ` +gHi 1��� v0wH6��
y&H� 7) ١٣ : ٤٩ / ���اتا�(
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.”140
Selain dari pada itu Kaum Partai SI Indonesia mengakui persamaan nilai
dalam pandangan Allah antara orang mukmin laki-laki dan mukmin perampuan
sebagaimana dinyatakan dalam QS. An Nahl (16) ayat 97:141
�8�9 "��☺�� �☯)H6G{ 8��9 �&"�)o
��^ `.)pmq^ ���a�� ⌦8�9)�9
~�+,�d�)�,56)r �8�9 "��☺��
�☯)H6G{ 8��9 �&"�)o ��^ `.)pmq^
���a�� ⌦8�9)�9 ~�+,�d�)�,56)r
,_`��� � ,��:\L) � )١٦:٩٧/ا����( Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka
kerjakan.”
6. Kemerdekaan Yang Sejati
Titik puncak dalam perjuangan umat manusia ialah keinginan untuk mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin. Tetapi keinginan yang luhur ini
140 Ibid, h. 16
141 Bustamam, PSII-1905, h. 61
lxxx
tidak akan tercapai apabila ia sendiri tidak berada dalam status merdeka, artinya ia
bukan seorang rakyat jajahan, baik ditinjau dari kekuasaan bangsa asing atau dari
kekuasaan apapun namanya dalam segala bentuk manifestasinya. Positifnya ia
seorang yang merdeka.142
Adapun keyakinan Partai Syarikat Islam Indonesia, yang dimaksud
kemerdekaan rakyat Indonesia sejati, yaitu melepaskan rakyat dari pada segala
macam perhambaan apapun juga, ialah dengan jalan kemerdekaan yang berasaskan
keislaman.143
Atas dasar hak-hak asasi kemerdekaan yang diberikan oleh Tuhan kepada
umat manusia, maka setiap individu harus yakin bahwa dirinya adalah orang yang
merdeka. Oleh karena itu dia tidak perlu takut kepada siapapun juga, kecuali kepada
Allah Swt. Karena Dia-lah yang menciptakan manusia itu dan Dia pula yang
menciptakan langit dan bumi serta alam semesta. Baik atau buruk yang dikerjakan
seseorang, maka orang itu sendirilah yang menanggung akibatnya, seperti dalam QS.
Fushshilat (41) ayat 46:
�8+9 "���⌧ �☯)H6G{
���=J(�,H6)r � �8�9�� �C�� -�^
� ;JL56 �)r F ��9�� ��Y�P
]EGk6)hHY �3�H� �r6��2 Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya)
untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka
142 Gani, Cita Dasar, h. 151
143 PSII, Siaran Khusus, h. 18
lxxxi
(dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya
hamba-hambaNya.”
Kemudian QS. Muddatstsir (74) ayat 38:
P�Cn �%J(�m � ☺HY �4�:{=⌧n
v�_���a�P )٧٤:٣٨/ا�����( Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang Telah
diperbuatnya.”
Dengan demikian, kemerdekaan individu sebagai hak-hak asasi seorang cukup
besar diberikan oleh agama Islam kepada setiap orang. Terserah kepada individu
yang bersangkutan untuk mempergunakan hak kemerdekaan diri pribadinya atas
dasar-dasar yang dipilihnya sendiri, jalan yang baik atau jalan yang buruk yang akan
di pertanggung jawabkan dihadapan Allah Swt.144
II. Program Tanzhim (Program Perlawanan)
Program Tanzhim yang dibentuk PSII merupakan kesadaran gerak perlawanan
untuk menjalankan Islam sepenuh-penuh asas dan seluas-luas syari’at, agar dapat
tercapai kemuliaan dan keluhuran derajat bagi umat Islam, sebagai yang diuraikan di
dalam program asas, maka Partai Syarikat Islam Indonesia menetapkan gerak
perlawanannya yakni:
144 Bustamam, PSII-1905, h. 154
lxxxii
a) Berdasarkan kepada sebersih-bersihnya tauhid, sebagaimana dinyatakan
dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 163 yang berbunyi:145
�YCF�;G)2Hi�� �G)2Hi .3�5�� � �# ��G)2Hi �#Hi ���a �8G ☺��%&2��
�EL��%&2��) ٢:١٦٣ / ����ة١(
Artinya: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan
melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Dengan memakai landasan itu jelaslah bagi semua orang, bahwa berjuang
bukan karena keinginan pribadi, bukan karena kepentingan kelompok, bukan
pula karena kepentingan keluarga, dan bukan karena keinginan tertentu yang
hanya menguntungkan sesuatu pihak. Akan tetapi berjuang karena negara,
bangsa, dan agama dan dalam rangka tujuan yang lebih hakiki yaitu berjuang
karena Allah semata.146
b) Dengan melihat pada umumnya umat Islam di dunia, khususnya di Indonesia
masuh jauh lebih banyak hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan. Faktor
utama yang menyebabkan kemiskinan dan kemelaratan itu karena umat Islam
belum mempergunakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan.147
Dengan
demikina asas kedua Syarikat Islam yakni, berdasarkan kepada ilmu
145 PSII, Siaran Khusus, h. 19
146 Gani, Cita Dasar, h. 177
147 Ibid, h. 184
lxxxiii
(wetenschap), hal tersebut dijelaskan pada QS. Az-Zumar (39) ayat 9 yang
berbunyi:
���$ �� a b��� =_� �AB�$1���
�g��)����? �AB�$1����� "# �g��☺56���? F � ☺kmHi �&1n⌧�� �?
���C2j�q^ /6G��J2QR�� ) ٣٩:٩/ا����(
Artinya: “Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakal lah
yang dapat menerima pelajaran.”
PSII memandang ilmu adalah wajib dituntut dengan sebenar-benarnya oleh
orang Islam baik laki-laki maupun perempuan, sebagai yang diperintahkan di
dalam Hadits Rasulullah Saw.:
���" آ� م�# $%& �' �� 148/ر�ا. ا,-ا,�,ر+*�) ا�(
Artinya: “Mencari ilmu itu adalah wajib di atas sekalian orang Islam.” (H.R.
Ibnu Abdil Barr)149
Ialah ilmu yang harus diperolah setinggi-tingginya kemajuan akal (intelect) tetapi
tidak sekali-kali boleh dipisahkan dari pada pendidikan budi pekerti dan pendidikan
rohani, sebagai yang dinyatakan di dalam QS. Ali Imran (3) ayat 190-191:150
148 Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Mukhtarul Ahaditsin Nabawiyyah, (Indonesia: Maktabah
Daaru Ihyaul Kutubil Arobiyyah, 1948), h. 107
149 PSII, Siaran Khusus, h.20
150 Bustamam, PSII-1905, h. 64
lxxxiv
�Hi MHA ��r6 7 �W��G ☺==2��
NO�PQR���� /�G56�Q7����
��JL12�� P���+�2����
�4G�?� M�j��☯R /6G�:J2QR�� ۞ �AB�$1��� �g��&Cn��? 1���
��☺G�L�$ ��L����$�� `M5����
�WH;HY��,�! �g��&�:⌧(� �?�� MHA
��r6 7 �W��G��==2��
NO�PQR���� ��,�Y�P ��9
{4Ji56 7 �⌧�G a >⌧�KG�Y
�_�G )�:�- �_�/i)r 7��⌧���
P�+,2�� � ٣:١٩٠�١٩١/ال���ا� Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami
dari siksa neraka.”
c) Bersandar kepada siyasah (politik) yang berkenan dengan Bangsa dan negeri
tumpah darah sendiri, dan politik menuju maksud akan mencapai persatuan
dan perhubungan dengan umat Islam di lain-lain negeri (Pan Islamisme).151
Penggunaan kata-kata “sepandai-pandainya siyasah” ini tidak berdiri sendiri,
tetapi selalu bergandengan dengan dua point yang telah disebutkan
sebelumnya. Hal ini desebabkan pelaksanaan politik praktis berdasarkan
pandangan Islam tidak mungkin dilepaskan dari prinsip sebersih-bersih
Tauhid dan setinggi-tinggi ilmu pengetahuan. Kalau prisip tri logi dilepaskan
151 PSII, Siaran Khusus, h. 22
lxxxv
atau tidak dipergunakan maka dalam pelaksanaan politik praktis manusia pada
umumnya atau para politisi khususnya lebih cenderung bergerak kearah suatu
prinsip yang kotor yang bersumber dari alam pikiran yaitu, untuk mencapai
tujuan, orang harus berani menghalalkan semua cara. Prinsip yang kotor itu
sangat dicela oleh ajaran Islam, karena sangat merusak dan melanggar sopan
santun politik dan hak-hak asasi manusia yang dijungjung tinggi oleh agama
Islam.152
B. PANDANGAN SI TERHADAP ASAS TUNGGAL PANCASILA
Bersama dengan mantapnya stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi,
perlindungan dan pengamanan pancasila sebagai asas dan ideologi nasional negara
menjadi prioritas utama pemerintah Orde Baru. Terlebih setelah pemilu 1982, Golkar
mendapatkan suara mayoritas yaitu 64,34 persen suara atau 246 kursi (232 kursi pada
tahun 1977), PPP mendapat 17,78 persen; 94 kursi (99 kursi pada tahun 1977), dan
PDI 7,88 persen suara; 24 kursi (29 kursi pada tahun 1977). Berdasarkan hasil
tersebut jelas PPP dan PDI terus mengalami kekalahan politik berhadapan dengan
Golkar di arena politik Indonesia. PPP dan PDI tetap terlalu lemah untuk dapat
menandingi Golkar yang didukung oleh pemerintah dan militer.153
152 Gani, Cita Dasar, h. 197
lxxxvi
Menyusul kekalahan mereka, PPP dan PDI dikejutkan dengan usulan presiden
Soeharto dengan menyatakan semua kekuatan sosial politik terutama Partai Politik yang masih
menggunakan asas lain selain asas Pancasila harus menegaskan bahwa satu-satunya asas yang
digunakan adalah Pancasila. Gagasan pemerintah tersebut untuk pertama kali disampaikan
presiden Soeharto pada pidato kenegaraan di depan sidang DPR 16 Agustus 1982.
Kemudian gagasan tersebut dimasukan dalam ketetapan MPR. No.II/1983 (pasal 3
BAB IV), dengan alasan bahwa demi memelihara, memperkuat, dan memantapkan
Pancasila dalam kehidupan sosial dan nasional bangsa, maka seluruh partai dan
Golkar harus menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal mereka.154
Orde Baru, orde yang bertekad bulat menegakkan dan mengamalkan Pancasila dan Undang Undang
Dasar 1945. Komitmen Orde Baru tersebut dilatar belakangi yang dalam menurut Orde Baru bahwa
dalam kurun waktu dua dasawarsa perang dan revolusi yang lalu telah meninggalkan luka-luka yang
berat pada tubuh sebagai bangsa, baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial. Kurun waktu perang
dan revolusi selama dua dasawarsa tadi juga mempengaruhi kehidupan politik dan perkembangan
sistem politik Indonesia. Selama bertahun-tahun Indonesia mempraktekkan demokrasi parlementer
dengan sistem multi partai. Dengan melaksanakan Pemilihan Umum 1955 Indonesia dahulu
mengharapkan datangnya stabilitas politik yang mantap, sehingga dapat memasuki kurun waktu
pembangunan tetapi justru Indonesia mengalami kekecewaan yang besar.155
153 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 202
154 Ibid, h. 203
155 Presiden Soeharto, “Pidato Kenegaraan”, h. 9, Artikel diakses pada 09 Januari 2009 dari
http://www.bappenas.go.id/index.php?module=ContentExpress&func=display& ceid= 1931
lxxxvii
Hasil Pemilihan Umum waktu itu tidak menghasilkan pemerintahan yang stabil dan
efektif seperti yang diharapkan, bahkan suatu ketika melahirkan pemberontakan-
pemberontakan yang merobek-robek tubuh bangsa ini. Dewan Konstituante yang dihasilkan
oleh Pemilihan Umum menjadi arena pertarungan mengenai dasar negara yang dipersoalkan
kembali dan karena konstituante ini tidak berhasil mengambil keputusan, maka didekritkan
kembali berlakunya Undang Undang Dasar '45, yang memang mendapat dukungan bagian
besar rakyat.
Kecewa dengan demokrasi parlementer dengan sistem multi-partai, maka lahirlah
pandangan dan dikembangkan lah Demokrasi Terpimpin. Tetapi Demokrasi Terpimpin yang
dilaksanakan dengan memelihara dan membangkitkan iklim revolusi itu ternyata juga tidak
memberi hasil yang diharapkan, bahkan menimbulkan bencana nasional yang hampir-hampir
meruntuhkan Negara Proklamasi dengan meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI.
Dalam keadaan seperti itu lah memasuki Orde Baru. Orde Baru bertekad
untukk melanjutkan perjuangan bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita
Kemerdekaan. Orde Baru bertekad untuk mengadakan koreksi total dalam cara-cara
perjoangan untuk mencapai cita-cita tadi. Yang ditekankan tidak lagi perang dan revolusi,
melainkan pembangunan dalam arti seluas-luasnya. Dan pembangunan itu dilaksanakan
dengan menjalankan Pancasila dan Undang Undang Dasar '45 secara murni dan
konsekwen. Cara-cara untuk mengatur kehidupan politik yang dahulu ternyata tidak dapat
membawa stabilitas nasional dan menggerakkan pembangunan dengan sendirinya tidak
dapat dilanjutkan dan harus diperbaharui setelah kita memasuki Orde Baru, Orde
lxxxviii
Pembangunan.156
Dengan pemberlakuan Asas Tunggal tersebut, menimbulkan
bermacam-macam tanggapan. Terutama dari unsur-unsur PPP; Nahdhatul Ulama
(NU), Muslimin Indonesia (Muhammadiyah) dan Syarikat Islam (SI).
Dalam catatan Centre For Strategic And International Studies, pandangan
Suharto tentang pancasila sudah dimulai dari tahun 1966, yakni ketika Soeharto
menyampaikan laporan pemerintah kepada rakyat bertepatan dengan berakhirnya
tahun 1966 dan tahap penyelamatan, 31 Desember 1966. Soeharto menyatakan
bahwa, Pancasila merupakan dasar idil bagi peri-kehidupan nasional, yang tetap tidak
boleh berubah sebagaimana perumusannya tampak jelas dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945. Dan didalam menghadapi setiap perubahan situasi dan kondisi,
landasan idil Pancasila tetap menjiwai tiap kebijaksanaan dan langkah-tindakan
Pemerintah, dan tetap menjadi kompas-ideologis untuk mencapai tiap-tiap sasaran,
walaupun menghadapi rintangan-rintangan apapun juga.157
Pada tahap selanjutnya pancasila mulai terus dilancarkan, baik dalam acara-
acara yang diadakan pemerintah, peringatan hari lahirnya pancasila dan pidato
kenegaraan Presiden. Dalam peringatan hari lahirnya pancasila tanggal 1 Juni 1967 di
Jakarta, yang merupakan tahun-tahun pertama Soeharto menjabat menjadi Presiden,
156 Ibid, h. 10
157 CSIS, Pandangan Presiden Soeharto, h. 14
lxxxix
Soeharto menyatakan kembali pandangannya tentang pancasila bahwa, dengan dasar
falsafah negara Pancasila Indonesia dapat menentukan pendiriannya terhadap segala
macam masalah pokok yang dihadapi baik masalah-masalah dalam negeri maupun
masalah-masalah luar negeri; karena pancasila merupakan pandangan hidup, maka
pencasila itu pun menjadi tuntunan hidup dan tujuan bangsa Indonesia; ia menjadi
sumber tertib sosial, ia menjadi sumber tertib seluruh perkehidupan, baik sebagai
individu, maupun dalam ikatan golongan, ikatan partai politik, ikatan organisasi, ia
merupakan sumber tertib negara dan tertib hukum serta harus menjadi pedoman dan
dilaksanakan oleh pemerintah, semua aparatnya dan oleh setiap pejabat dalam
melaksanakan kekuasaan serta tugasnya. 158
Dari pandangan-pandangan yang mucul
tersebut, puncaknya adalah pada pidato kenegaraan Presiden Soeharto 16 Agustus
1982 dan dilegalkan dalam Tap MPR No. II/Tahun 1983.
Karena terpojok oleh desakan ideologis ini, PDI tampaknya tidak mempunyai
pilihan lain kecuali menerima Pancasila sebagai asas ideologi mereka159
dan dalam
penerapan asas tunggal tersebut dari NU, memperlihatkan sikap koperatif dalam
menanggapi gagasan pemerintah agar pancasila menjadi asas tunggal bagi seluruh
partai dan ormas. Persetujuan asas ini disahkan oleh keputusan muktamar NU ke-27
pada tanggal 8-12 Desember 1984 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo
Situbondo, Jawa Timur. Sejalan dengan ini, NU memformulasikan kembali
158 Ibid, h. 15
159 Effendy, Islam dan Negara, h. 121
xc
AD/ART-nya (pasal 2) menjadi “NU berdasarkan Pancasila”.160
Kemudian senada
dengan NU berdasarkan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta mulai
tanggal 7-11 Desember 1985 dan sebelum dilaksanakan Muktamar tersebut,
Muhammadiyah telah melaksanakan sidang Majlis Tanwir (forum tertinggi kedua
setelah Muktamar) pada bulan Mei 1983 yang setuju memasukan pancasila dalam
AD/ART Muhammadiyah161
, Namun Muhammadiyah baru secara resmi menerima
pancasila sebagai asas tunggal pada Muktamar ke-41, dengan mengubah pasal 2
AD/ART-nya bahwa, “Muhammadiyah berdasarkan Pancasila”.162
Dari sikap kedua ormas tersebut yang menerima ditetapkannya asas tunggal
pancasila sebagai asas partai politik dan ormas, Syarikat Islam yang merupakan
termasuk unsur PPP mempunyai sikap yang berbeda, SI dengan tegas menolak akan
penetapan asas itu. Penetapan asas tunggal pancasila tentunya sangat bertentangan
dengan AD/ART SI pasal 2 yang menyatakan bahwa Syarikat Islam berdasarkan
Dinul Islam yang telah dinyatakan dalam program asas (asas perjuangan yang telah
dijelaskan pada sub bab pertama bab VI) untuk menjalankan Islam dengan seluas-
luasnya dan sepenuh-penuhnya.163
160 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 235
161 Ibid, h. 245
162 Ibid, h. 249
163 Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga Syarikat Islam 1972, h. 4
xci
Sejak permulaan Syarikat Dagang Islam didirikan Dinul Islam sudah menjadi
asas organisasi. demikian pula anggaran dasar Partai Syarikat Islam dahulu dan dalam
anggaran dasar Syarikat Islam sekarang Dinul Islam merupakan asas yang
fundamental dari kehidupan organisasi Syarikat Islam. Dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara setiap anggota Syarikat Islam mendasarkan tingkah
lakunya, ucapan serta sikap dan pandangan hidupnya atas prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Al-Qur’anul Karim dan Sunah Rasul. Al-Qur’an dan Sunah Rasul
adalah pedoman Hukum Tertinggi bagi setiap anggota kaum Syarikat Islam dalam
mengembangkan tugasnya dan pandangan hidupnya terutama dalam pelaksanaan
amal ibadah sehari-hari.164
Syarikat Islam berkeyakinan bahwa apabila umat Islam secara konsekwen
memegang secara kokoh prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al-Qur’anul Karim
dan Sunnah Rasul, bukan saja persatuan umat Islam menjadi kokoh dan kuat ibarat
batu karang yang tidak akan hancur dan lapuk, tetapi ia juga akan merupakan suatu
kekuatan tangguh yang mempu menghantarkan umat Islam ke arah pembangunan
lahir dan batin. Al-Qur’anul Karim telah memuat prinsip-prinsip pokok dan garis-
garis besar mengenai tata hidup dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara baik
untuk individu-individu maupun untuk pemimpin-pemimpin masyarakat dan para
pejabat pemerintahan atau para penguasa negara.165
164 Gani, Cita Dasar, h.31
165 Ibid, h. 40
xcii
Sebelum DPP SI melakukan penolakan terhadap asas tersebut, penolakan
sudah muncul dari cabang-cabang SI, antara lain M. Mahfudz Ketua Cabang SI
Kabupaten Subang Jawa Barat, sebelum diterimanya asas tunggal sebagai asas partai
dan ormas, ditegaskan oleh berliau terlebih dahulu perlunya menegaskan tentang
sebuah komitmen terhadap Al-Qur’an. Hal ini dipandang amat penting, sebab dalam
situasi kehidupan bersyarikat yang penuh dengan kekacauan, dimana berbagai ide
tentang sistem asas atau sistem nilai atau gagasan dasar mengenai kehidupan
bersyarikat.
Tidak sedikit elit umat Islam sudah diwarnai oleh anggapan kuat untuk lebih
mengagumi berbagai dan gagasan yang terlepas dari sistem nilai dan budaya muslim.
Dan dengan tegas dinyatakan bahwa dalam arti fungsional, Islam harus disebut
sebagai suatu bentuk ideologi atau falsafah hidup, dengan demikian barang siapa
yang mengaku dirinya muslim, dalam kedudukan atau dalam posisi apapun ia berada,
dan dari tingkat atau golongan apapun ia berasal, tanpa terkecuali, ia secara konsisten
harus mengakui dan mengimani Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya
(ideologinya).166
Kemudian secara formal DPP SI menjawab pernyataan terhadap asas tunggal
pancasila itu dengan pendekatan yang bersumber dan berdasar kepada konstitusi
negara Indonesia yang berlaku saat itu, yaitu UUD 1945 menurut dekrit 5 Juli 1959,
pendekatan tersebut dilakukan guna menyatukan dan menyamakan tafsiran dan arti
166 Sudjana, Liku-liku Perjuangan , h. 294
xciii
pancasila dan UUD 1945 dalam rangka melaksanakan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen167
, yang dapat dikatakan bahwa SI memandang pemerintah telah salah
dalam mentafsirkan pancasila dan UUD 1945. Terkait hal itu Dekrit 5 Juli 1959 telah
menetapkan kembalinya Undang-Undang Dasar 1945 bagi segenap Bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta
tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.168
Pernyataan Dekrit 5 Juli 1959 tersebut diperkuat pula dengan Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa Dekrit 5 Juli 1959 merupakan
sumber hukum bagi berlakunya kembali UUD 1945 dan kekuatan hukumnya
bersumber pada dukungan seluruh rakyat Indonesia.169
Pada selanjutnya tinjauan Syarikat Islam dalam menyamakan pentafsiran dan
arti pancasila dan UUD 1945, dilakukanlah pengkajian yang lebih mendalam
terhadap Piagam Jakarta sesuai dengan maksud Dekrit Presiden 1959. Dengan
kembalinya kepada UUD 1945 sebagaimana dimaksudkan dalam Dektrit Presiden,
terjadilah pemulihan fungsi dan isi arti Piagam Jakarta. Adapun fungsi dan arti
Piagam Jakarta itu ialah suatu perjanjian moril yang sangat luhur diantara golongan
Islam dan golongan nasional. Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 merupakan
167 Ibid , h. 280
168 Artikel diakses pada 09 Januari 2009 dari http://www.indopolitik.com/ dokumen/dekrit-
presiden-5-juli-1959.php
169 Sudjana, Liku-liku Perjuangan , h. 281
xciv
rangkaian kesatuan dengan UUD 1945 karena Piagam Jakarta itu adalah sumber dan
dasar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian Pancasila dan UUD
1945 yang berlaku sekarang ini haruslah diartikan dan ditafsirkan menurut Dekrit 5
Juli 1959. Mengenai pendapat tersebut, Syarikat Islam mengutip pandangan-
pandangan para tokoh mengenai piagam jakarta, antara lain; Prof. Dr. M. Yamin,
Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan Prof. Dr. Notonegoro SH Guru Filsafat dan Ilmu
Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta.170
Kemudian lebih lanjut Syarikat Islam memaparkan bahwa, UUD 1945 itu
adalah sistem berkedaulatan rakyat berdasarkan kepada Pancasila menurut Hukum
dengan menegakan hak-hak asasi manusia atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa
dengan didorong oleh keinginan luhur dan Pembukaan UUD 1945 menetapkan fungsi
dan tugas pemerintah Negara Indonesia yaitu (1) Melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia (hak asasi manusia warga negara Indonesia untuk
memperoleh perlindungan Jiwa, raga, agama, pikiran, harta kekayaan, kemerdekaan
dan lain sebagainya). (2) Memajukan kesejahteraan umum (hak asasi manusia warga
negara Indonesia untuk memperoleh kesejahteraan umum) (3) mencerdaskan
kehidupan bangsa (Hak asasi manusia warga negara Indonesia untuk memperoleh
pendidikan agama, ilmu pengetahuan dan keterampilan dan lain sebagainya). (4) Ikut
170 Ibid, h. 282
xcv
pelaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan
sosial (hak asasi manusia untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia).171
Dari pemaparan yang disampaikan Syarikat Islam tersebut, SI mefokuskan
akan fungsi dan tugas UUD 1945 (termasuk didalamnya pancasila) yakni menegakan
hak-hak asasi manusia atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa menuju kehidupan
kebangsaan yang bebas dan SI menyatakan pula bahwa tujuan dari Konstitusi 1945
adalah mengadakan kepastian hukum dan mencegah adanya anarchi dan
kesewenangan-wenangan. Sehingga penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan atas
sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak
terbatas) dan penetapan perundang-undangan harus berdasar kepada konstitusi dan
tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.172
Dengan demikian terkait penetapan asas tunggal pancasila oleh pemerintah terhadap
seluruh partai politik dan ormas, SI memandang penetapan tersebut bertentangan
dengan Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya secara rinci SI menyampaikan kembali
bahwa di negara demokrasi seperti Republik Indonesia kita ini semua kebebasan yang
telah diakui dan dijamin konstitusi itu baik kebebasan berserikat dan berkumpul,
kebebasan pers, kebebasan akademik dan kebebasan lainnya harus dilindungi oleh
alat-alat penegak hukum. UUD 1945, kemudian harus mengakui dan mempersaksikan
adanya dan berlakunya hak-hak asasi manusia atas berkat Rahmat Allah yang Maha
171 Ibid, h..283
172 Ibid, h. 284
xcvi
Kuasa (kalimat pertama dan ketiga Pembukaan UUD 1945, [Piagam Jakarta]) yang
berarti bahwa hak-hak asasi itu tidak boleh ditiadakan, dibatasi atau dikurangi
berlakunya.173
SI mengutip pasal-pasal yang terkait dengan hak-hak asasi manusia di dalam
UUD 1945 terdiri dari 6 pasal (27, 28, 29, 30, 31, dan 34). Kemudian Universal
Declaration of Human Right yang diproklamasikan oleh sidang umum PBB di Paris
tanggal 10 Desember 1948 terdiri dari 30 pasal. Dengan demikian dari catatan dan
pembahasan tersebut, SI menyimpulkan:
1. Dalam sistem konstitusi UUD 1945 adalah merupakan hak asasi warga negara
sebagai pemegang kedaulatan rakyat untuk dengan bebas dan merdeka
mendirikan organisasi sosial politik, termasuk partai politik.
2. Beragama (pasal 29 UUD 1945), berkebangsaan (kalimat pertama UUD 1945,
[Piagam Jakarta]) adalah hak-hak manusia berkat Rahmat Allah yang Maha
Kuasa (kalimat ketiga pembukaan UUD 1945[Piagam Jakarta]), maka dengan
demikian agama dan kebangsaan dapat dijadikan asas organisasi sosial politik
(termasuk partai politik).
3. Dalam sejarah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indondesia ternyata
bahwa organisasi sosial politik (termasuk partai politik) ada yang
menggunakan asas kebangsaan dan telah terbukti berhasil baik dapat
melahirkan, mempertahankan dan membangun negara proklamasi 17 Agustus
173 Ibid, h. 285
xcvii
1945 sampai dengan sekarang ini. Sistem ini penting dan perlu dipegang
teguh dan disempurnakan dengan tetap mempertahankan inti isinya yaitu asas
agama dan asas kebangsaan sebagaimana yang terkandung dalam pancasila
dan UUD 1945 (pembukaan UUD 1945 kalimat pertama, kedua, ketiga, dan
keempat).174
4. Ex. Partai Politik yang telah ikut melahirkan, mempertahankan dan
membangun Negara Indonesia, seperti NU, Parmusi, PSII, Perti, PNI,
Indonesia dan kekuatan sosial politik lainnya yang ada dalam masyarakat
sekarang ini dapat dijadikan modal usaha perbaikan dan penyempurnaan
sistem kepartaian di Indonesia.
5. Perbaikan dan penyempurnaan sistem organisasi sosial politik (termasuk
partai politik) menurut UUD 1945 haruslah dilakukan dengan jalan
menegakan hukum dan menggunakan hukum (rechst porming dan
rechtsaanwending) tidak dengan jalan menegakan kekuasaan dan
menggunakan kekuasaan belaka (machtsvorming, machtsaanwending).175
Dengan demikian jelaslah dengan tafsiran terhadap pancasila dan UUD 1945 yang
dipaparkan SI bahwa, Syarikat Islam menolak asas tunggal pancasila yang ditetapkan
pemerintah kepada partai politik dan ormas, yang menyimpulkan ketetapan itu
174 Ibid, h. 286
175 Ibid, h. 287
xcviii
sangatlah bertentangan dengan hak asasi manusia yang merupakan keinginan dari
Piagam Jakarta (Pembukaan UUD) dan UUD 1945.
Pernyataan Syarikat Islam didukung pula oleh Deliar Noer yang memberikan
komentar menolak terhadap pemberlakuan asas tunggal pancasila, secara singkat dia
menyatakan bahwa asas tunggal pancasila untuk semua partai tanpa menyertakan asas
khasnya semula, telah menafikan kebhinekaan masyarakat yang memang berkembang
menurut keyakinan masing-masing dan asas tunggal pancasila pun menghalangi
orang-orang yang sama keyakinan untuk berkelompok sesamanya serta bertukar
pikiran berdasarkan keyakinannya, termasuk agama yang dianut masing-masing.
Dalam rangka ini dapat dikatakan asas tunggal mengandung unsur paksaan, dan
bukan keleluasaan yang merupakan ciri demokrasi serta menafikan hubungan agama
dan politik, yang mendorong adanya sekularisasi dalam politik.176
Dari 3 unsur PPP tersebut (NU, MI dan SI) nyatalah yang mendukung penetapan asas
tunggal tersebut lebih dominan dibandingkan yang menolak. Sehingga sesuai dengan
keinginan pemerintah yang hanya mengizikan partai dengan satu asas saja, yaitu
Pancasila. PPP pun di dalam Muktamar I/1984 telah mematuhi aturan pemerintah
tersebut, sehingga asas Islamnya dihilangkan.177
Dikarenakan hal tersebut SI
menyatakan diri keluar karena asas tunggal tidak sesuai dengan asas SI.178
176 Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983),
h. 60
177 Karim, Negara dan Peminggiran, h.145
178 Bustamam, PSII-1905, h. 53
xcix
Muktamar tersebut juga memutuskan mengenai “khittah perjuangan”. Di
dalam khittah ini terdapat lima: khidmat untuk mewujudkan masyarakat yang
bertakwa kepada Allah dan meningkatkan mutu kehidupan beragama serta
mengembangkan kehidupan agama Islam dalam masyarakat melalui pendidikan,
dakwah dan usaha lainnya. Seperti biasa, aktivitas partai adalah terbatas sekali.
Kegiatan partai hanya terbatas pada fungsi “legislatif’. Dengan begitu, hampir tidak
ada peningkatan aktivitas partai dari waktu ke waktu. Bagi partai ini, “fanatisme”
Islam merupakan satu-satunya alat untuk mengintegrasikan massa. Oleh karena itu,
PPP tidak mungkin mampu bersaing dengan partai yang mempunyai program dan
aktivitas yang jelas.179
Dalam Muktamar II tahun 1989, PPP tujuannya tidak lagi
mencerminkan Islam. Begitu pula usahanya tidak lagi mempunyai hubungan dengan
Islam. Lambangnya pun diganti dari ka’bah menjadi bintang bersudut lima.180
Kebijakan pemerintah tersebut ternyata sangat mengecewakan sebagian besar
masyarakat Muslim di Indonesia. Mereka merasa bahwa, tidak saja tokoh-tokoh
mereka disingkirkan dari arus utama politik bangsa, tetapi bahkan hingga tahap
tertentu diskursus politik negeri ini pun tidak mencerminkan kenyataan bahwa
mayoritas penduduknya Muslim. Maka bisa dipahami bahwa bagi mereka yang
179 Karim, Negara dan Peminggiran, h. 146
180 Ibid, h. 147
c
melihat politik pengasastunggalan Pancasila sebagai upaya lebih jauh yang sengaja
diambil oleh pemerintah untuk melakukan depolitisasi terhadap Islam.181
Era 1973-1982 yang menampakkan adanya semangat PPP untuk berjuang
habis-habisan demi kejayaan Islam. Pada era ini Islam memainkan fungsi integrasi di
antara berbagai partai Islam. Aktivitas PPP juga menunjukan keberanian
pemimpinnya untuk menghadapi ancaman. Ini bisa dilihat dalam sikapnya menentang
kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh partai pemerintah. Akan tetapi dalam
perkembangannya PPP menghadapi dua ancaman sekaligus. Pertama, yang bersifat
internal. Yang termasuk ke dalam kategori internal ini ialah: (1) adanya potensi
konflik di antara Nahdatul Ulama dan Muslimin Indonesia; (2) tidak adanya
pemimpin yang bisa mengatasi setiap persoalan; (3) sempitnya wawasan pemimpin,
yang mengakibatkan tidak munculnya gagasan dan program inovatif untuk
menggerakan semua komponen partai; (4) ketidakmampuan mencari alternatif
kegiatan di tengah kesempitan ruang gerak yang diciptakan oleh kebijakan “floating
mass”. (5) terputusnya komunikasi partai dengan massa umat di tingkat “grass-root”
(6) keterbatasan jumlah “kader” yang siap berkhidmat di dalam partai; (7) ketiadaan
biaya untuk menghidupkan aktifitas partai di desa-desa; dan (8) tiadanya wakil yang
duduk di dalam kabinet.182
181 Effendy, Islam dan Negara, h. 122
182 Karim, Negara dan Peminggiran, h. 147
ci
Kedua, yang bersifat eksternal, yaitu kebijaksanaan politik pemerintah yang
tidak menginginkan adanya setiap pengaruh partai bukan-pemerintah di tengah
masyarakat, terutama mengenai: (1) pembatasan medan aktivitas partai hingga ke
tingkat “kecamatan”; (2) keharusan pegawai negeri dan ABRI mendukung
pemerintah; (3) munculnya suasana memusuhi partai bukan-pemerintah di tengah
masyarakat yang bisa menghalangi masyarakat untuk berkhidmat dan aktif di dalam
partai; (4) campur tangan pemerintah dan/pihak keamanan dalam menentukan
pimpinan partai; (5) konflik ideologi, sebagai akibat dari keinginan rezim untuk
menghalangi pertumbuhan dan perkembangan ideologi yang berasaskan kepada
agama.183
183 Ibid, h. 148
cii
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Di awal karier Orde Baru, Rezim Orde Baru menyusun berbagai langkah
restrukturisasi politik secara sistematis dan komprehensif. Tujuannya
adalah untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya serta menciptakan
stabilitas politik yang kuat dan terkendali guna menjamin roda
pembangunan. Dimana Orde Baru telah berkaca pada orde sebelumnya,
yang menurut Orba; Orde Lama adalah Orde yang gagal dalam
menjalankan pemerintahan. Sementara itu, tidak saja di masa sebelumnya,
pada masa ini pula politik Islam pun menjadi sorotan bagi pemerintahan
Orba, yang dikhawatirkan oleh pemerintahan Orba, bahwa politik Islam
akan menjatuhkan Rezim Orde Baru. Langkah pertama dalam menekan
politik Islam dan melakukan “stabilitas politik” (yang merupakan kata
halus untuk melanggengkan kekuasaan Orba) adalah, pemerintahan Orba
melakukan fusi terhadap partai politik, sehingga terbentuklah tiga partai;
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terdiri dari partai-partai Islam,
Partai Demokrasi Indonesia yang terdiri dari partai-partai nasionalis
sekuler dan partai non-Islam, dan partai Golkar yang merupakan partai
pemerintah dan militer. Dan kemudian langkah selanjutnya di samping
ciii
langkah-langkah lain, ditetapkanlah Asas Tunggal Pancasila sebagai asas
bagi setiap partai politik dan ormas, hal ini terjadi dikarenakan
sebelumnya sering terjadi konflik-konflik antara partai yang ber-
ideologikan Islam yakni PPP dengan Golkar yang berasaskan pancasila.
Konflik ini dicetus dengan adanya sentimen keagamaan yang dibawa-
bawa; Islam dan bukan Islam. Sehingga ditetapkanlah Asas Tunggal
tersebut, yang akhirnya dalam tubuh PPP mengalami perdebatan dan
berdampak pada perpecahan ketika partai harus menganut Asas Pancasila,
dan dengan begitu, hampir tidak ada peningkatan aktivitas partai PPP dari
waktu ke waktu. Bagi partai ini, “fanatisme” Islam merupakan satu-
satunya alat untuk mengintegrasikan massa. Maka dalam kondisi seperti
itu, Golkar tampil sebagai kekuatan politik yang tidak dapat dikalahkan.
2. Seiring dengan adanya pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila oleh Orde
Baru, PPP pun akhirnya mengubah asasnya menjadi Asas Pancasila.
Syarikat Islam yang merupakan unsur dari PPP, menyatakan diri keluar
dari PPP. Karna Asas Pancasila tidak sesuai dengan Asas Perjuangan
Syarikat Islam. Dalam menanggapi Asas Tunggal tersebut, Syarikat Islam
menyatakan dengan tegas menolak akan pemberlakuan Asas Tunggal
Pancasila bagi partai politik dan ormas. Hal tersebut tidak sesuai dengan
pernyataan diri sebagai seorang muslim, yang tentunya seharusnya hanya
Islam yang menjadi Asas partai, bagi mereka yang menyatakan diri
mereka partai Islam. Dalam tanggapannya yang lebih formal, Syarikat
civ
Islam menyatakan bahwa, pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila sangat
bertentang dengan Hak Asasi Manusia. Dalam sistem konstitusi UUD
1945 pun menjelaskan bahwa hak asasi warga negara sebagai pemegang
kedaulatan rakyat untuk dengan bebas dan merdeka mendirikan organisasi
sosial politik, termasuk partai politik dan beragama (pasal 29 UUD 1945),
berkebangsaan (kalimat pertama UUD 1945, [Piagam Jakarta]) adalah
hak-hak manusia berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa (kalimat ketiga
pembukaan UUD 1945[Piagam Jakarta]), maka dengan demikian agama,
kebangsaan dapat dijadikan asas organisasi sosial politik (termasuk partai
politik).
B. SARAN
Politik otoriter Orde Baru telah mengasingkan rakyat dalam kehidupan politik
dan memarjinalkan partisipasi politik mereka dalam keputusan-keputusan negara
yang menyudutkan. Hal ini telah memupuk keinginan rakyat yang menghendaki
kebebasan dari kukungan Orde Baru. Sehingga menjadi bumerang bagi Orde Baru,
yang menyebabkan runtuhnya Rezim Orde Baru. Seharusnya dalam menjalankan
pemerintahan, guna mewujudkan pemerintahan yang baik, haruslah dihidupkan
prinsip checks and balances, sehingga pemerintah tidak berkuasa sewenang-wenang.
Pembatasan-pembatasan partai-partai politik dan ormas dalam berasas pada masa
Orde Baru, tentunya harus dihilangkan untuk memunculkan artikulasi dan partisipasi
politik rakyat. Dengan demikina dalam upaya seperti itu, ketegangan hubungan antara
negara dengan masyarakat akan hilang, kecendrungan hubungan yang sinergi antara
cv
negara dengan masyarakat akan terjadi. Sinergi hubungan ini akan terlihat pada
dukungan yang diberikan oleh masyarakat terhadap negara.
cvi
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Al-Chaidar, Reformasi Prematur; Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total, Jakarta:
Darul Falah, 1999
Amal, Taufik Adnan, Politik Syariat Islam; Dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta :
Pustaka Alvabet, 2004
A.N, Firdaus, Syarikat Islam Bukan Budi Utomo, Jakarta: Datayasana, 1997
Anwar, M. Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995
Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga Syarikat Islam 1972
Bahar, Safroedin, dkk, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekrektariat Negara Republik
Indonesia, 1992
Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit, T.tp.: Pustaka Jaya, t.t.
Bustamam, PSII-1905 (Partai Syarikat Islam Indonesia) dizaman Orde Baru 1966-
1998, Jakarta, Lembaga Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, 2000
Centre For Strategic and International Studies, Pandangan Presiden Soeharto
Tentang Pancasila Jakarta: Sekretariat Negara R.I.,1976, cet. 2
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998
Endang Saifuddin An Shari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945; dan Sejarah Konsesus
Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945-1959, Jakarta: CV. Rajawali, 1986, Cet. Ke-2
Gani, M. A., Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1984
Ghazali, Adeng Muchtar, Perjalanan Politik Umat Islam, Bandung: Pustaka Setia,
2004
cvii
Hasyimi, Al, Sayyid Ahmad, Mukhtarul Ahaditsin Nabawiyyah, Indonesia: Maktabah
Daaru Ihyaul Kutubil Arobiyyah, 1948
Ismail, Faisal, Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama; Wacana Ketegangan Kreatif
Islam dan Pancasila, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999
Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1999
----------------, Perjalanan Partai Politik di Indonesia; Sebuah Potret Pasang Surut,
Jakarta: Rajawali Pers, 1983
Korver, A.P.E., Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil, Jakarta: Grafitipers, 1985
Ma’arif, A. Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985
Mulkhan, Abdul Munir, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam
1965-1987 Dalam Perspektif Sosiologis, Jakarta: Rajawali Pers, 1989
Noer, Deliar, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan,
1983
----------------, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: PT. Pustaka
LP3S, 1996
----------------, Partai Islam di Pentas Nasional; Kisah dan Analisis Pekembangan
Politik Indonesia 1945-1965, Bandung: Mizan, 2000, cet. 2
Partai Syarikat Islam Indonesia, Siaran Khusus Program Asas dan Program
Tandhim, Jakarta: PSII, 1954
Pranarka, A. M. W., Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: Centre For
Strategic And International Studies, 1985
Silalahi, S., Dasar-dasar Indonesia Merdeka; Versi Para Pendiri Negara, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001
Sudjana, Ohan, Liku-liku Perjuangan Syarikat Islam, Jakarta: DPP PSII-1905, 1999
----------------, Jejak-Jejak Jihad, Sukabumi: Pustaka 99, t.t
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2005
Syafiie, Inu Kencana, Sistem Politik Indonesia, Bandung:Refika Aditama,2008, cet. 4
cviii
Syamsuddin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001
Wiradipraja, E. Saefullah, Satu Abad Dinamika Perjuangan Syarikat Islam, Jawa
Barat: Dewan Pimpinan Wilayah Syarikat Islam Jawa Barat, 2005
Yunarti, D.Rini, BPUPKI, PPKI,Proklamasi Kemerdekaan RI, Jakarta: Kompas,
2003
Web site:
http://www.bappenas.go.id
http://www.indopolitik.com
cix