Download - Artikel lilim
Kependidikan
PENELITIAN DISERTASI DOKTOR
PENGEMBANGAN MODEL INSTRUMEN PENDETEKSI
MISKONSEPSI KIMIA PADA PESERTA DIDIK SMA
DAS SALIRAWATI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada saat ini Indonesia telah berbenah diri untuk melakukan pembaharuan
pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan, sejak diundangkannya
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Depdiknas,
2003). Arah pembaharuan pendidikan di Indonesia menjadi lebih terarah setelah
dikeluarkannya PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (2005),
yang berisi 8 (delapan) standar nasional pendidikan, yaitu standar isi, standar proses,
standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana
dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian
pendidikan. Salah satu standar nasional pendidikan yang sangat penting dalam
pembaharuan pendidikan adalah standar isi yang merupakan pegangan bagi guru
dalam mengembangkan kurikulum pada tingkat pembelajaran.
Pembaharuan pendidikan dilakukan berlandaskan delapan standar nasional
pendidikan. Standar nasional pendidikan merupakan ukuran minimal tujuan
pendidikan yang harus dapat dicapai dalam waktu yang akan datang, baik untuk
pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. Standar nasional pendidikan
lebih banyak mengatur pendidikan dasar dan menengah, sedangkan pengaturan
pendidikan tinggi lebih banyak diserahkan kepada perguruan tinggi yang
bersangkutan.
Mata pelajaran kimia SMA/MA merupakan salah satu mata pelajaran
kelompok Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam standar isi. Pembaharuan
pembelajaran kimia di SMA/MA lebih ditujukan pada pembelajaran kimia yang
efektif dan efisien. Dalam rangka melaksanakan hal ini, telah dilakukan berbagai
inovasi pendidikan, seperti pembelajaran siswa aktif, pembelajaran-aktif-kreatif-
efektif-menyenangkan (PAKEM).
1
Berdasarkan Standar Isi Mata Pelajaran Kimia SMA/MA (Permekdiknas RI
Nomor 22, 2006), disebutkan bahwa mata pelajaran kimia di SMA/MA bertujuan
agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Membentuk sikap positif terhadap kimia dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis, dan dapat bekerjasama dengan orang lain
3. Memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah melalui percobaan atau eksperimen, dimana peserta didik melakukan pengujian hipotesis dengan merancang percobaan melalui pemasangan instrumen, pengambilan, pengolahan dan penafsiran data, serta menyampaikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis
4. Meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat bermanfaat dan juga merugikan bagi individu, masyarakat, dan lingkungan serta menya-dari pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan demi kesejah-teraan masyarakat
5. Memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterka-itannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi.
Tujuan nomor (5) adalah tujuan pembelajaran kimia dalam aspek kognitif. Hal
ini berarti bahwa memahami konsep kimia dalam pembelajaran kimia merupakan hal
sangat penting. Pada kenyataannya, peserta didik sering mengalami kesulitan dalam
memahami berbagai konsep kimia. Pemahaman konsep kimia oleh peserta didik yang
tidak sesuai dengan konsep kimia yang benar menurut para ahli kimia, disebut
sebagai miskonsepsi kimia atau konsep alternatif kimia. Akibat lebih jauh terjadinya
miskonsepsi kimia pada peserta didik, menyebabkan terjadinya hasil belajar kimia
yang rendah.
Hasil belajar kimia SMA DIY dan lima Kabupaten yang terdapat di DIY
ditunjukkan oleh hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun pelajaran 2007/2008 dan
2008/2009 (Depdiknas, 2008, 2009) terdapat pada Tabel 1.
2
Tabel 1. Hasil UAN Kimia SMA DIY
Wilayah Nilai Rata-rata UAN
2007/2008 2008/2009
DIY 7,08 8,50Kota Yogyakarta 7,12 8,50Sleman 7,13 8,47Bantul 7,27 8,87Kulon Progo 6,94 8,00Gunung Kidul 6,54 8,22
Menurut BSNP (2006 : 12), ketuntasan belajar setiap indikator yang telah
ditetapkan dalam suatu Kompetensi Dasar setiap mata pelajaran berkisar antara 0-
100%. Kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing indikator 75%. Hal ini berarti
secara ideal diharapkan setiap mata pelajaran (termasuk kimia) memiliki nilai ideal
sebesar 7,5 pada skala 10. Meskipun setiap sekolah diperbolehkan menetapkan
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan
rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber daya pendukung dalam penyeleng-
garaan pembelajaran, namun sekolah diharapkan dapat terus menerus meningkatkan
kriteria ketuntasan belajar untuk mencapai kriteria ketuntasan ideal.
Melihat nilai rata-rata UAN Kimia DIY tahun pelajaran 2007/2008 sebesar
7.08, berarti DIY belum mampu mencapai ketuntasan ideal untuk mata pelajaran
kimia. Namun demikian nilai rata-rata UAN Kimia DIY tahun pelajaran 2008/2009
mengalami kenaikan yang relatif tinggi, yaitu menjadi 8,50. Meskipun mengalami
kenaikan, tetapi jika ditinjau dari nilai rata-rata UAN Kimia untuk tiap-tiap sekolah
ada 31 SMA dari 141 SMA (21,98%) yang ada di DIY yang masih memiliki nilai
UAN Kimia di bawah kriteria ketuntasan ideal, bahkan ada yang memiliki nilai rata-
rata UAN Kimia 3,21, yaitu SMA PGRI Pengasih (lihat Lampiran 1).. Hal ini
menunjukkan bahwa masih ada peserta didik di DIY yang mengalami kesulitan dalam
menguasai materi kimia dengan baik. Salah satu diantaranya kemungkinan adanya
miskonsepsi yang dialami peserta didik. UAN adalah penilaian terhadap produk
3
belajar yang tidak bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya miskonsepsi, sedangkan
dalam suatu pembelajaran sangat penting untuk mengetahui bagaimana proses
perolehan konsep kimia peserta didik tersebut hingga mereka dapat menguasai materi
kimia dengan benar. Oleh karena itu pengembangan instrumen yang mampu
mendeteksi miskonsepsi sangat penting dilakukan.
Studi pendahuluan tentang materi apa saja yang sering menyebabkan
terjadinya miskonsepsi kimia pada peserta didik dilakukan peneliti terhadap 125 guru
kimia SMA di DIY dan Jawa Tengah (Lampiran 1). Studi pendahuluan ini dilakukan
terhadap guru-guru kimia, karena guru merupakan sosok yang paling mengetahui
tentang kesulitan belajar yang dialami peserta didik, dan guru pula yang mengetahui
konsep-konsep kimia mana saja yang seringkali menyebabkan miskonsepsi pada
peserta didiknya. Berdasarkan studi pendahuluan ini menunjukkan enam urutan
Materi Pokok yang sering menyebabkan peserta didik mengalami miskonsepsi yang
dapat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Studi Pendahuluan Miskonsepsi Materi Kimia SMA/MA
No. Kelas / Semester
Materi Pokok Terjadinya Miskonsepsi Sering Kadang
-kadangJarang
1. X / 1 Tatanama Senyawa Anorganik dan Organik Sederhana serta Persamaan Reaksinya
38 59 28
2. XI / 1 Kesetimbangan Kimia 34 57 343. X / 1 dan
XI / 1Ikatan Kimia 32 45 48
4. X / 1 dan XI / 1
Struktur Atom 29 54 42
5. X / 1 Hukum-hukum Dasar Kimia 26 44 556. XI / 2 Hidrolisis Garam 23 51 51
Pada penelitian ini akan dikembangkan Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi
Kimia (IPMK) dengan pilihan pada materi pokok kesetimbangan kimia, karena
berbagai alasan, yaitu :
4
1. Materi pokok dengan tingkat miskonsepsi urutan pertama, yaitu
tatanama senyawa anorganik dan organik sederhana dan persamaan reaksinya dan
urutan ke-5 sudah pernah digunakan sebagai materi dalam penelitian yang
dilakukan Sidauruk (2005), yaitu mengenai miskonsepsi Stoikiometri pada siswa
SMA.
2. Materi pokok struktur atom materinya terpisah pada kelas dan
semester yang berjauhan, yaitu kelas X semester 1 dan kelas XI semester 1,
sehingga jika materi pokok ini dipilih kesulitan dalam melakukan ujicoba.
Demikian juga untuk materi pokok ikatan kimia.
3. Materi pokok hidrolisis garam ruang lingkup materinya terlalu sempit,
sehingga sulit untuk dibuat instrumen soal dalam jumlah yang relatif banyak.
Selain ketiga alasan tersebut, pemilihan materi pokok kesetimbangan kimia
juga didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sutiman, Das Salirawati, & Lis
Permanasari (2003) terhadap 236 peserta didik di Kabupaten Sleman yang menun-
jukkan 63,42% dari jumlah sampel mengalami miskonsepsi pada materi pokok
kesetimbangan kimia dan menempati urutan pertama dari seluruh materi pokok kimia
yang ada di SMA. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan instrumen tes
pilihan ganda 5 alternatif jawaban dengan alasan tertutup seperti yang dikembangkan
oleh Treagust (1987).
Menurut Middlecamp & Kean (1985: 5), belajar kimia adalah belajar konsep
kimia yang selalu bersifat abstrak. Hal inilah yang seringkali menyebabkan peserta
didik sulit untuk memahami konsep-konsep kimia. Sejalan dengan hal tersebut,
Johnstone & MacGuire (1987) menyatakan bahwa konsep-konsep sains yang
sifatnya abstrak telah terbukti sulit dipahami oleh sebagian besar peserta didik. Lebih
lanjut Mulyati Arifin (1995: 223) mengemukakan sumber kesalahan yang dilakukan
peserta didik ketika mempelajari kimia antara lain membaca kalimat dan istilah,
memahami konsep, dan operasi matematika.
5
Kesetimbangan kimia adalah salah satu materi pokok kimia yang dipelajari di
SMA di kelas XI semester 1. Materi ini berisi tentang (1) kesetimbangan dinamis, (2)
kesetimbangan homogen, dan heterogen, (3) tetapan kesetimbangan, (4) pergeseran
kesetimbangan, (5) hubungan kuantitatif antar komponen dalam reaksi kesetim-
bangan, dan (6) kesetimbangan kimia dalam proses industri. Selain memerlukan
pemahaman konsep yang mendalam, untuk menguasai materi ini peserta didik
diharapkan mampu menerapkan konsep tersebut dalam memecahkan soal-soal
perhitungan.
Penelitian yang dilakukan oleh Bergquist & Heikkinen (1990) menunjukkan
terjadinya berbagai miskonsepsi pada materi kesetimbangan kimia, terutama ketika
pertanyaan menuntut peserta didik melakukan sintesis dan menerapkan konsep dalam
permasalahan kesetimbangan kimia. Miskonsepsi tersebut diantaranya dalam hal
menghitung konsentrasi ketika molaritas telah diketahui, kesalahan pemahaman
reaksi reversibel dianggap reaksi berkesudahan, penambahan zat reaktan dianggap
hanya akan mengubah konsentrasi zat produk dan kesulitan menentukan perubahan
tersebut, nilai Kc berubah meskipun harga T tetap.
Penelitian yang dilakukan Huddle & Pillay (1996) menunjukkan sebagian
besar mahasiswa di Perguruan Tinggi di Afrika Selatan belum memahami secara utuh
konsep stoikiometri dan kesetimbangan kimia, yaitu dua konsep yang sangat
berkaitan erat. Kesulitan utama dalam memahami kedua konsep ini terletak pada
keabstrakannya dan karena diajarkan sebelum peserta didik mencapai tahap berpikir
operasi formal. Seperti diketahui, untuk menghitung mol, volum, massa, jumlah
partikel dari suatu unsur atau senyawa yang terlibat dalam suatu reaksi kepada peserta
didik hanya disajikan angka-angka yang mewakili kuantitas zat yang diketahui dalam
soal, sehingga diperlukan kemampuan abstraksi mereka dalam mengaitkan angka-
angka dengan sesuatu yang ditanyakan dalam soal. Hal ini hanya dapat dilakukan
oleh peserta didik yang memahami konsep kimia secara komprehensif, utuh, dan
benar. Adanya miskonsepsi kimia dari salah satu konsep, maka akan didapatkan
penyelesaian soal kimia yang salah.
6
Penguasaan materi kesetimbangan kimia memerlukan kemampuan peserta
didik dalam menuliskan persamaan reaksi kimia dengan benar, memahami arti
bilangan indeks dan koefisien, pemahaman konsep massa molar dan massa reaksi.
Penelitian yang dilakukan Friedel & Maloney (1992) menunjukkan adanya kesalahan
dalam penyelesaian soal yang berkaitan dengan pemahaman dan penguasaan
kemampuan tersebut. Bahkan kesalahan penerapannya dilakukan secara konsisten
untuk soal yang berbeda dengan substansi pertanyaan sama.
Menis & Frase (1992) menunjukkan hasil uji prestasi kimia dari 1.177 siswa
Australia dan 537 siswa Amerika yang tergabung dalam second international science
study relatif rendah. Lebih lanjut dikemukakan bahwa rendahnya skor yang diperoleh
disebabkan adanya beberapa miskonsepsi, diantaranya siswa kesulitan dengan konsep
mol dan menghitung perbandingan stoikiometris, siswa kurang memahami sifat-sifat
kimia dan fisika materi, dan siswa tidak mampu menerapkan hubungan yang bersifat
matematis pada konsep kimia.
Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa hasil belajar kimia yang rendah
antara lain disebabkan terjadinya miskonsepsi kimia pada diri peserta didik.
Miskonsepsi kimia saat ini menjadi kajian penting dalam pembelajaran kimia. Kajian
miskonsepsi kimia sebagian besar bertujuan (a) menentukan terjadi tidaknya
miskonsepsi kimia pada berbagai materi pokok kimia, (b) menentukan sebab-sebab
terjadinya miskonsepsi kimia, dan (c) usaha mencegah terjadinya miskonsepsi kimia.
Menurut Paul Suparno (2005: 8), miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak
sesuai dengan konsep yang diakui oleh para ahli. Beberapa peneliti cenderung
menggunakan istilah konsep alternatif, karena dengan istilah itu menunjukkan adanya
keaktifan peserta didik mengontruksi pengetahuan mereka. Berdasarkan pengalaman,
miskonsepsi sulit dibenahi atau dibetulkan, padahal miskonsepsi dapat terjadi pada
semua level, mulai dari peserta didik SD sampai Perguruan Tinggi (Gil-Perez &
Carrascosa, 1990).
Menurut Beek & Louters (1991), sebagian besar maha(siswa) kesulitan dalam
memahami bahasa kimia dan hal ini berpengaruh pada kemampuannya menyelesai-
7
kan masalah kimia. Penelitian senada dilakukan Lynch (1989) tentang bagaimana
peranan bahasa komunikasi di kelas dalam mengatasi terjadinya miskonsepsi kimia
alam diri peserta didik Menurutnya apa yang diucapkan guru di kelas belum tentu
semuanya dapat dipahami dengan baik dan benar oleh peserta didik. Beberapa
dimensi komunikasi yang dapat menyebabkan miskonsepsi kimia diantaranya
banyaknya kata-kata dalam ilmu kimia yang bersifat teknis dan hubungan logis,
frekuensi peserta didik mengungkapkan pendapatnya relatif masih kurang, perbedaan
bahasa yang digunakan guru dan peserta didik, dan ragam bahasa yang digunakan
peserta didik (tidak ada keseragaman bahasa terhadap konsep kimia yang sedang
dipelajari).
Penelitian miskonsepsi kimia selama ini masih jarang dilakukan, baru terlihat
dominasi penelitian pendidikan kimia, khususnya miskonsepsi kimia sejak 15 tahun
terakhir yang dipicu oleh kenyataan bahwa kimia berisi banyak konsep kimia yang
cenderung bersifat abstrak (Gabel, 1999). Berbeda dengan bidang fisika dan biologi
yang telah banyak melakukan penelitian miskonsepsi sejak tahun 1980-an (Nakhleh,
1992).
Beberapa peneliti mencoba mengembangkan instrumen pendeteksi miskon-
sepsi kimia berbentuk soal pilihan ganda, seperti Bergquist & Heikkinen (1990) pada
materi kesetimbangan kimia, Beek & Louters (1991) pada masalah keterampilan
matematika dan bahasa kimia, Menis & Frase (1992) pada materi teori dasar kimia,
energi kimia, larutan, asam dan basa, reaksi kimia, redoks, kimia organik, dan kimia
nuklir, Kim Chwee Daniel Tan, Ngoh Khang Goh, Lian Sai Chia & Treagust (2002)
pada materi analisis kualitatif kimia anorganik.
Beberapa peneliti lainnya mencoba mengembangkan teknik tertentu untuk
mendeteksi miskonsepsi kimia, diantaranya Garnett & Treagust (1992) pada materi
elektrokimia dan sel elektrolisis melalui wawancara, Nakhleh (1992, 1994) pada
semua materi kimia di tingkat elementary dan middle school melalui wawancara
semi-terstruktur, Odom & Barrow (1995) pada materi difusi dan osmosis melalui
wawancara dan uji tertulis. Huddle & Pillay (1996) pada materi stoikiometri dan
8
kesetimbangan kimia dengan bentuk instrumen Chemistry Examination (lembar ujian
kimia). Krishnan & Howe (1994) pada materi konsep mol dengan bentuk instrumen 4
tipe, yaitu simple multiple-choice questions, two-tier true-false questions with
reasons, two-tier multiple-choice items, dan problems. Staver & Lumpe (1995) pada
materi konsep mol melalui tes tertulis, kumpulan masalah, dan laporan hasil
percobaan. Sidauruk (1999, 2005) pada perubahan materi, hukum kekekalan massa,
sistem periodik, stoikiometri dengan bentuk instrumen soal isian dan pilihan ganda.
Instrumen untuk mendeteksi adanya miskonsepsi kimia, khususnya tentang
materi pokok kesetimbangan kimia belum banyak dijumpai dan dikembangkan.
Kalaupun ada, sebagian besar berbentuk soal pilihan ganda biasa, soal uraian, atau
wawancara. Selain sulit diperoleh dari pengembang instrumen tersebut, kurikulum,
kedalaman dan keluasan materi kesetimbangan kimia di negara lain berbeda,
sehingga relatif tidak sesuai jika diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu, sangat
penting dilakukan pengembangan model instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia,
khususnya pada materi pokok kesetimbangan kimia yang sesuai dengan kurikulum,
kedalaman dan keluasannya, sehingga dapat digunakan secara mudah oleh guru
dalam mendeteksi adanya miskonsepsi pada peserta didik SMA di Indonesia.
Meskipun miskonsepsi kimia sulit untuk dibetulkan, tetapi bukan berarti kita
membiarkan hal itu terjadi berlarut-larut. Secara dini harus diketahui terjadinya
miskonsepsi kimia, sehingga dapat dilakukan pencegahan sesegera mungkin.
B. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah menghasilkan produk berupa Instrumen
Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) materi pokok kesetimbangan kimia pada
peserta didik kelas XI SMA yang memenuhi kualitas instrumen yang baik melalui
langkah-langkah validasi yang ditetapkan (validasi isi, validasi ahli, dan validasi
empirik) dan uji coba di lapangan sebagai uji visibilitas.
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam:
9
1. Memberikan sumbangan ilmiah pada ilmu pendidikan kimia.
2. Memberikan kemudahan pada guru kimia SMA tentang cara mendeteksi terjadi-
nya miskonsepsi kimia pada peserta didik, setelah mempelajari materi pokok
kesetimbangan kimia kelas XI semester 1.
3. Memberikan informasi bagi guru-guru kimia tentang sebab-sebab terjadinya
miskonsepsi kimia ditinjau dari substansi materinya pada materi pokok kesetim-
bangan kimia kelas XI semester 1.
4. Mengembangkan instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia pada materi pokok
yang lain.
5. Mendeteksi terjadinya miskonsepsi pada materi pokok kesetimbangan kimia.
D. Urgensi (Keutamaan Penelitian)
Berdasarkan Standar Isi Mata Pelajaran Kimia SMA/MA disebutkan bahwa
salah satu tujuan pembelajaran kimia adalah agar peserta didik memiliki kemampuan
memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya dan
penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan
teknologi. Hal ini berarti memahami konsep kimia dalam pembelajaran kimia sangat
penting. Pada kenyataannya, peserta didik sering mengalami kesulitan dalam
memahami berbagai konsep kimia. Bahkan sebagian peserta didik mengalami
miskonsepsi karena pemahamannya terhadap konsep kimia tidak sesuai dengan
konsep kimia yang benar menurut para ahli kimia. Mengingat konsep-konsep kimia
saling berkaitan satu dengan yang lain, maka miskonsepsi pada suatu konsep dapat
menyebabkan miskonsepsi pada konsep lainnya. Akibatnya jika miskonsepsi ini
terjadi berlarut-larut prestasi belajar kimia menjadi rendah.
Miskonsepsi dapat terjadi pada diri peserta didik oleh berbagai sebab, seperti
masih variatifnya teori-teori belajar yang digunakan guru, masih kurangnya kompe-
tensi yang dimiliki guru, beragamnya cara dan gaya belajar peserta didik. Selain itu
belum seragamnya cara pemaparan dan kualitas buku teks pelajaran kimia, perbedaan
lingkungan belajar peserta didik, beragamnya metode mengajar yang digunakan guru
dalam penyampaian materi, bervariasinya media pembelajaran kimia yang digunakan
10
sebagai alat bantu dalam pembelajaran, dan masih sangat terbatasnya peralatan dan
bahan laboratorium kimia untuk melakukan eksperimen kimia, semuanya itu dapat
menyebabkan terjadinya miskonsepsi kimia pada peserta didik.
Penelitian miskonsepsi kimia selama ini masih jarang dilakukan, baru terlihat
dominasi penelitian pendidikan kimia, khususnya miskonsepsi kimia sejak 15 tahun
terakhir yang dipicu oleh kenyataan bahwa kimia berisi banyak konsep kimia yang
selalu bersifat abstrak (Gabel, 1999). Berbeda dengan bidang fisika dan biologi yang
telah banyak melakukan penelitian miskonsepsi sejak 1980-an (Nakhleh, 1992).
Berdasarkan hal tersebut, maka adanya pengembangan instrumen pendeteksi
miskonsepsi kimia sangat penting untuk dilakukan. Urgensi atau keutamaan
penelitian pengembangan ini adalah diperolehnya sebuah model instrumen pendeteksi
miskonsepsi kimia, khususnya pada materi pokok kesetimbangan kimia yang benar-
benar dapat mendeteksi ada tidaknya miskonsepsi pada peserta didik kelas XI SMA.
Model instrumen ini dikembangkan dengan melalui langkah-langkah yang sistematis
agar benar-benar diperoleh instrumen yang valid, baik secara teoretis maupun
empirik. Selain itu melalui uji coba skala besar diharapkan akan diketahui visibilitas
dari model instrumen yang dikembangkan di lapangan, baik mengenai mudah
sukarnya diterapkan oleh guru kimia SMA, mudah sukarnya dianalisis, mudah
tidaknya dalam mendeteksi dan mengidentifi-kasi penyebab terjadinya miskonsepsi,
sehingga guru dapat menentukan langkah-langkah tepat untuk mengatasinya.
Urgensi penelitian ini secara teoretis adalah dengan dihasilkannya sebuah
model instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia, memiliki arti penting bagi pengem-
bangan sistem evaluasi pembelajaran kimia di sekolah, sehingga mampu memberikan
inspi-rasi bagi peneliti lain dan guru-guru kimia SMA dalam mengembangkan
instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia pada materi pokok lainnya. Di samping itu,
instrumen yang telah dikembangkan dapat dijadikan landasan teoretis bagi pengem-
bangan penelitian berikutnya dan dijadikan sebagai penelitian yang relevan. Dengan
demikian, hasil penelitian pengembangan ini dapat dijadikan referensi bagi pengka-
11
jian model instrumen evaluasi pembelajaran bidang studi lain di berbagai jenjang dan
jenis pendidikan.
BAB II
STUDI PUSTAKA
A. Belajar Kimia
Ilmu kimia memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya sebagian besar berisi konsep
kimia yang selalu bersifat abstrak, konsep-konsep kimia sifatnya berurutan dan
berkembang dengan cepat, tidak sekedar berisi pemecahan tes-tes, konsep-konsep
kimia jumlahnya sangat banyak dengan karakteristik setiap topik berbeda-beda
(Middlecamp & Kean, 1985: 5-9). Dengan ciri-ciri yang demikian menyebabkan
sebagian besar peserta didik mengalami kesulitan dalam belajar kimia.
Salah satu faktor yang sangat besar andilnya dalam menghambat pencapaian
prestasi belajar yang memuaskan, yaitu adanya miskonsepsi kimia dalam diri peserta
didik, baik disebabkan prakonsepsi yang dibawa peserta didik ketika mereka menco-
ba mengonstruksi sendiri konsep tersebut di pikirannya maupun miskonsepsi buatan
sekolah (school made misconception) (Barke, 2009). Miskonsepsi kimia yang
berlarut-larut akan merusak sistem pemahaman peserta didik terhadap ilmu kimia
secara keseluruhan, mengingat konsep-konsep kimia sebagian besar saling berkaitan
satu sama lain.
B. Miskonsepsi Kimia
1. Pengertian Miskonsepsi Kimia
Konsep pada dasarnya dibangun dari persamaan-persamaan objek, peristiwa,
atau fenomena alam (Liliasari, et al., 1998: 1.26). Pendapat serupa dikemukakan De
Cecco & Crawford. (1993: 288) yang mengartikan konsep sebagai suatu kelompok
stimulus yang memiliki karakteristik tertentu yang sama, dimana stimulus ini dapat
berupa objek, peristiwa, atau orang. Konsep kimia adalah abstraksi fakta-fakta kimia
12
sejenis yang saling berhubungan, yang berarti konsep kimia dibangun oleh sejumlah
fakta kimia. Oleh karenanya konsep kimia selalu bersifat abstrak.
Seseorang yang ingin mempelajari konsep dituntut adanya kemampuan untuk
mengamati persamaan dan perbedaan yang ada, sehingga kemampuan ini akhirnya
berguna dalam pengembangan konsep yang dikuasainya. Dengan penguasaan konsep
tersebut memungkinkan individu dapat menerjemahkan/menafsirkan dunia fisik dan
sosial atau membuat respon yang tepat.
Konsep hanya ada dalam pikiran seseorang sebagai abstraksi dari kejadian-
kejadian, objek-objek, fenomena yang memiliki sifat-sifat atau atribut tertentu. Jadi,
jika ada berbagai kejadian, objek, atau fenomena yang tidak memiliki ciri-ciri yang
dituntut oleh sebuah konsep, maka ia berada di luar konsep itu. Sukar mudahnya
suatu konsep untuk dipahami sangat tergantung pada tingkat keabstrakan dari konsep-
konsep tersebut.
Moh. Amien (1987: 18) membedakan konsep menjadi 3 jenis berdasarkan
bentuknya, yaitu :
a. konsep klasifikasional, mencakup bentuk konsep yang didasarkan atas
klasifikasi fakta-fakta ke dalam bagan-bagan yang terorganisir;
b. konsep korelasional, mencakup kejadian-kejadian khusus yang saling
berhu-bungan, atau observasi-observasi yang terdiri atas dugaan-dugaan terutama
berbentuk formulasi prinsip-prinsip umum, dan
c. konsep teoretik, mencakup bentuk konsep yang mempermudah kita
dalam mempelajari fakta-fakta atau kejadian-kejadian dalam sistem yang
terorganisir.
Nana Sudjana (1989: 27) mensyaratkan kondisi untuk mempelajari konsep,
yaitu unsur-unsur prasyarat hendaknya diulang lagi; konsep yang lebih tinggi
tingkatannya harus menekankan sifat-sifat umum yang memiliki hubungan dengan
setiap konsep dasar; konsep prasyarat harus jelas dan siap terdapat dalam ingatan
sebelum suatu konsep yang lebih tinggi dikembangkan. Hal ini berarti pemahaman
terhadap konsep dasar kimia sangat memegang peranan dalam pemahaman konsep-
13
konsep kimia selanjutnya. Oleh karena itulah, seorang guru kimia yang memperke-
nalkan pertama kali suatu konsep dasar kimia diharapkan tidak salah dalam
penyampaian, karena hal ini akan berakibat fatal ketika konsep tersebut digunakan
sebagai prasyarat memahami konsep kimia yang lain. Konsep sebagai wujud hasil
dari proses pembelajaran yang dicerminkan dalam bentuk nilai/prestasi belajar kimia
akan melibatkan proses perubahan dari prakonsepsi awal yang dimiliki peserta didik
sebagai usaha pencapaian keutuhan konsep, sehingga permasalahan salah konsep atau
miskonsepsi tidak akan muncul.
Setiap peserta didik telah memiliki struktur kognitif yang terbentuk berdasar-
kan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Sebelum peserta didik
mempelajari konsep kimia, mereka telah memiliki konsep yang dibawa sebagai
pengetahuan awal yang disebut prakonsepsi. Konsep yang dibawa dan dikembangkan
sendiri ini tidak selalu sama dengan konsep sebenarnya yang dikemukakan para ahli
kimia. Ketika mereka mengikuti proses pembelajaran dan menerima konsep baru, ia
akan berusaha menyelaraskan konsep baru tersebut dengan konsep yang telah
dimilikinya. Dalam proses penyelarasan ini, ada beberapa kemungkinan yang dapat
terjadi, yaitu kemungkinan :
a. guru menyampaikan konsep tetapi salah dan peserta didik
mengontruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sesungguhnya sudah benar;
b. guru menyampaikan konsep dengan benar dan peserta didik tidak
mengonstruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sesungguhnya salah; atau
c. guru menyampaikan konsep dengan benar dan peserta didik
mengonstruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sesungguhnya salah.
Jika kemungkinan (1) dan (2) yang terjadi, maka dalam diri peserta didik
sebenarnya telah terjadi miskonsepsi yang disebabkan / dibuat sekolah (school made
misconception) dan dibuat peserta didik itu sendiri. Jika hal ini tidak terdeteksi secara
dini oleh guru, maka miskonsepsi akan berlarut-larut dan berakibat fatal pada pema-
haman konsep kimia yang salah secara keseluruhan. Jika kemungkinan (3) yang
14
terjadi, berarti aliran konstruktivistik telah terbentuk dalam diri peserta didik tersebut,
dan inilah yang diharapkan dalam proses pembelajaran.
Menurut Canella & Reiff (1994: 27-28), belajar dengan pendekatan konstruk-
tivistik berarti mengonstruksi atau menyusun struktur pemahaman atau pengetahuan
dengan cara mengaitkan dan menyelaraskan fenomena, ide, atau pengetahuan baru ke
dalam struktur pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Aliran konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah hasil
konstruksi atau bentukan manusia. Manusia mengonstruksi pengetahuannya melalui
interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan
tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada peserta didik, tetapi harus
diinterprestasikan sendiri oleh mereka. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi,
melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Jawaban peserta didik atas
suatu persoalan adalah jawaban yang masuk akal bagi mereka saat itu. Jika ada
jawaban salah, bukan disalahkan, tetapi ditanyakan bagaimana ia dapat memperoleh
jawaban itu. Dengan demikian peserta didik terlibat aktif dalam proses perolehan
suatu konsep.
Pemahaman setiap orang mengenai suatu konsep disebut konsepsi, dimana
setiap orang memiliki konsepsi yang berbeda-beda terhadap suatu konsep. Daya pikir
dan daya tangkap setiap peserta didik terhadap stimulus yang ada di lingkungan tidak
akan persis sama. Ada kemungkinan beberapa peserta didik memiliki konsepsi yang
salah terhadap suatu konsep, keadaan inilah yang disebut sebagai miskonsepsi
(Liliasari, 1998: 1.29).
Menurut Paul Suparno (2005: 4) miskonsepsi menunjuk pada suatu konsep
yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar
dalam bidang itu. Sebagai contoh, peserta didik berpendapat bahwa ketika suatu
reaksi mencapai kesetimbangan, konsentrasi zat dalam reaksi akan tetap dan reaksi
terhenti. Konsep tersebut salah, karena konsentrasi zat dalam reaksi kesetimbangan
selalu berubah-ubah, hanya perubahan ini dalam skala yang sangat kecil (mikros-
15
kopis), tetapi dalam skala makroskopis atau dalam perhitungan, konsentrasi zat yang
dapat diamati adalah tetap dan reaksi dianggap terhenti.
Novak & Gowin (1984) mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpre-
tasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima, sedangkan
Brown (1989, 1992) menjelaskan miskonsepsi sebagai suatu gagasan yang tidak
sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima. Feldsine (1987) menjelas-
kan miskonsepsi sebagai suatu kesalahan atau hubungan tidak benar antar konsep.
Arti miskonsepsi secara lebih rinci dikemukakan Fowler & Jaoude (1987), yaitu
miskonsepsi diartikan sebagai pengertian yang tidak akurat tentang konsep, penggu-
naan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-
konsep yang berbeda, dan hubungan hirarkhis konsep-konsep yang tidak benar.
Beberapa ahli menyamakan miskonsepsi dengan salah konsep, namun sebe-
narnya keduanya memiliki pengertian yang berbeda ditinjau dari sumber penyebab-
nya. Miskonsepsi kimia merupakan pemahaman yang salah terhadap suatu konsep
kimia yang bersumber dari kesalahan peserta didik itu sendiri dalam memahaminya,
sedangkan salah konsep pemahaman yang salah terhadap suatu konsep kimia karena
sumber berasalnya konsep tersebut (buku kimia atau guru kimia) memang salah,
akibatnya peserta didik juga salah memahami. Sebagai contoh miskonsepsi, peserta
didik memahami ikatan dalam gas hidrogen klorida adalah ikatan ion, karena
larutannya dalam air, HCl terurai menjadi ion H+ dan Cl-, padahal ikatan dalam
bentuk gas adalah ikatan kovalen. Contoh salah konsep, dalam buku kimia tertulis
“perubahan fisika adalah perubahan dimana zat tidak dapat kembali ke bentuk
semula”. Peserta didik memahami konsep tersebut persis seperti yang tertulis dalam
buku. Padahal konsep yang benar adalah “perubahan fisika adalah perubahan yang
tidak menghasilkan zat yang jenisnya baru”. Jika salah konsep ini terjadi, maka ketika
peserta didik menjumpai perubahan beras kasar menjadi tepung beras, ia akan
mengkategorikan sebagai perubahan fisika, karena tepung beras tidak dapat kembali
menjadi beras.
16
Pada umumnya peneliti modern lebih menyukai penggunaan istilah konsep
alternatif daripada miskonsepsi. Hal ini karena berbagai alasan (Wandersee, Mintzes,
& Novak, 1994), yaitu:
a. konsep alternatif lebih menekankan adanya kesalahan pemahaman
berdasarkan pengalaman yang dikonstruksi oleh peserta didik sendiri;
b. lebih memberikan penghargaan intelektual kepada peserta didik bahwa
merekalah yang memiliki gagasan / ide tersebut; dan
c. seringkali konsep alternatif secara kontekstual masuk akal dan berguna
untuk menjelaskan beberapa persoalan yang sedang dihadapi peserta didik.
Penggunaan istilah konsep alternatif memberikan penghargaan tersendiri bagi
peserta didik yang memiliki gagasan/ide berbeda dengan gagasan/ide para ahli.
Konsep yang berbeda tersebut menunjukkan bahwa dalam pembentukan pengeta-
huan, peserta didik berusaha mengontruksi konsep itu sendiri. Guru tidak perlu
menyalahkan mentah-mentah konsep hasil konstruksi peserta didiknya, karena
mereka mengonstruksi berdasarkan pengalaman hidupnya dan kadang-kadang konsep
tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan permasalahan hidupnya sehari-hari.
Sebagai contoh, ketika peserta didik mengonstruksi konsep bahwa semua zat padat
jika dilarutkan dalam air panas akan lebih cepat melarut berdasarkan pengalamannya.
Meskipun konsep yang terkonstruksi tersebut tidak sepenuhnya benar, karena zat
padat yang dilarutkan bukan berarti semua mengalami proses melarut (proses fisik),
ada juga yang mengalami reaksi dengan pelarutnya (proses kimia), namun konstruksi
konsep tersebut berguna dalam permasalahan sehari-hari yang berkaitan dengan
pelarutan suatu zat padat dalam zat cair.
Istilah miskonsepsi masih tetap dipertahankan dan digunakan oleh beberapa
peneliti dengan berbagai alasan, yaitu miskonsepsi memiliki makna bagi orang awam;
dalam pendidikan sains, istilah miskonsepsi membawa pengertian-pengertian tertentu
sesuai dengan pemikiran saintifik saat ini; dan istilah miskonsepsi lebih mudah
dimengerti, baik oleh para guru maupun orang awam (Wandersee, Mintzes, & Novak,
1994). Dengan kata lain, istilah miskonsepsi lebih mudah dipahami oleh siapa saja
17
yang berhubungan dengan dunia pendidikan daripada istilah konsep alternatif, karena
istilah miskonsepsi telah diketahui umum dan sudah mencerminkan arti dengan
sangat jelas. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, maka pada penelitian ini
memilih menggunakan istilah miskonsepsi. Jadi, miskonsepsi kimia oleh peserta
didik diartikan sebagai pemahaman yang salah terhadap konsep kimia.
Berg (1991: 17) merangkum ciri-ciri miskonsepsi menurut beberapa literatur
sebagai berikut :
a. miskonsepsi sulit sekali diperbaiki;
b. seringkali ”sisa” miskonsepsi terus-menerus mengganggu. Soal-soal
yang seder-hana dapat dikerjakan, tetapi dengan soal yang sedikit lebih sulit,
miskonsepsi muncul lagi;
c. seringkali terjadi regresi, yaitu peserta didik yang sudah pernah
mengatasi miskonsepsi, beberapa bulan mengalami miskonsepsi lagi;
d. dengan ceramah yang bagus, miskonsepsi tidak dapat dihilangkan atau
dihindari;
e. guru pada umumnya tidak mengetahui miskonsepsi yang lazim terjadi
pada peserta didiknya dan tidak menyesuaikan proses pembelajaran dengan
miskonsep-si yang dialami peserta didiknya.
f. peserta didik yang pandai dan yang lemah dapat terkena miskonsepsi.
Miskonsepsi kimia yang dialami peserta didik jelas sangat merugikan bagi
kelancaran dan keberhasilan belajar mereka, apalagi jika miskonsepsi sudah terjadi
lama dan tidak terdeteksi secara dini, baik oleh peserta didik itu sendiri maupun guru.
Konsep-konsep kimia umumnya diajarkan secara hirarkhis dari konsep yang mudah
ke sukar, dari konsep yang sederhana ke kompleks, sehingga jika konsep yang mudah
dan sederhana saja sudah mengalami miskonsepsi, maka lebih lanjut pemahaman
konsep-konsep kimia yang sukar dan kompleks, peserta didik akan semakin kesulitan
dan mengalami kesalahan pemahaman konsep secara berlarut-larut.
Meskipun miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik sulit diperbaiki dan
selalu meninggalkan ”sisa” yang berpengaruh pada pemahaman konsep kimia yang
18
lain, tetapi seorang guru diharapkan tetap berusaha untuk membantu peserta didik
untuk keluar dari miskonsepsi yang terjadi. Oleh karena itu pengetahuan tentang
konsep-konsep kimia mana saja yang sering menimbulkan miskonsepsi sangat
penting dimiliki guru, agar setiap kali menjumpai konsep-konsep tersebut guru
berusaha menjelaskan secara lebih mendalam. Selain dari hasil penelitian, pendetek-
sian tentang konsep-konsep kimia yang menyebabkan miskonsepsi sudah waktunya
dapat dilakukan oleh guru itu sendiri. Untuk itulah diperlukan instrumen yang mampu
mendeteksi terjadinya miskonsepsi kimia pada peserta didik.
2. Cara Mendeteksi Terjadinya Miskonsepsi Kimia
Konsep-konsep kimia yang diajarkan guru tidak selalu dapat diterima secara
utuh oleh peserta didik seperti yang diharapkan. Setiap peserta didik mengonstruksi
konsepnya sendiri-sendiri, sehingga perbedaan konstruksi konsep individu inilah
yang menyebabkan tingkat pemahaman konsep mereka berbeda-beda pula. Menurut
Berg (1991: 11) dalam pembelajaran konsep, peserta didik diharapkan dapat :
a. mendefinisikan konsep yang bersangkutan;
b. menjelaskan perbedaan antara konsep yang bersangkutan dengan konsep-
konsep yang lain;
c. menjelaskan hubungan dengan konsep-konsep yang lain; dan
d. menjelaskan arti konsep dalam kehidupan sehari-hari dan menerapkannya
untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan keempat kriteria tersebut dapat diketahui apakah peserta didik
sudah memahami konsep atau belum. Dengan kata lain, jika peserta didik telah
memahami suatu konsep, maka ia seharusnya memenuhi keempat kriteria tersebut.
Pada kenyataannya, tidak semua peserta didik memiliki pemahaman yang sama
tentang suatu konsep.
Abraham (1992: 112) menggolongkan derajat pemahaman peserta didik
menjadi enam kategori berdasarkan soal yang diberikan padanya, yaitu :
a. tidak ada respon, dengan kriteria tidak menjawab dan atau menjawab ”saya
tidak tahu”;
19
b. tidak memahami, dengan kriteria mengulang pertanyaan, menjawab tetapi
tidak berhubungan dengan pertanyaan dan atau jawaban tidak jelas;
c. miskonsepsi, dengan kriteria menjawab tetapi penjelasannya tidak benar atau
tidak logis;
d. memahami sebagian dan terjadi miskonsepsi, dengan kriteria jawaban
menunjuk-kan ada konsep yang dikuasai, namun ada pernyataan yang
menunjukkan miskonsepsi;
e. memahami sebagian, dengan kriteria jawaban menunjukkan hanya sebagian
konsep yang dipahami tanpa miskonsepsi; dan
f. memahami konsep, dengan kriteria jawaban menunjukkan konsep dikuasai
dengan benar.
Selanjutnya Abraham (1992: 113) mengkategorikan derajat pemahaman 1 dan
2 termasuk tidak memahami, 3 dan 4 termasuk miskonsepsi, 5 dan 6 termasuk
memahami. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Feldsine (1987) bahwa
miskonsepsi sebagai suatu kesalahan akibat hubungan tidak benar antar konsep dan
pendapat Fowler & Jaoude (1987) yang menyatakan salah satu bentuk miskonsepsi
adalah adanya hubungan hirarkhis konsep-konsep yang tidak benar. Ketidakjelasan
dan ketidaklogisan jawaban peserta didik disebabkan penguasaan suatu konsep yang
salah yang berakibat pada kesalahan keseluruhan konsep yang ada, padahal ada
keterkaitan yang erat antar konsep dalam suatu materi ajar. Seperti diketahui, konsep-
konsep kimia dalam materi ajar kimia di SMA/MA sangat erat berkaitan satu dengan
yang lain. Miskonsepsi terhadap suatu konsep kimia akan berpengaruh terhadap
pemahaman konsep kimia yang lain. Hal inilah yang tidak diharapkan terjadi dalam
pembelajaran kimia, karena berakibat akhir pada prestasi belajar kimia yang rendah
(tidak memuaskan).
Banyak cara untuk menentukan, mengidentifikasi dan mendeteksi terjadinya
miskonsepsi kimia pada peserta didik, dapat melalui (1) peta konsep (concept maps),
(2) tes (pilihan ganda maupun esai), (3) wawancara diagnosis, (4) diskusi dalam
kelas, maupun (5) praktikum disertai tanya jawab. Masing-masing cara memiliki
20
kelebihan dan kekurangan, biasanya seorang peneliti atau guru dalam memilih
mempertimbangkan kemampuan, tujuan, waktu, tenaga, biaya, dan kemudahan dalam
menyusun instrumen dan menerapkannya, termasuk kemudahan menganalisis hasil
deteksi tersebut.
a. Peta konsep
Peta konsep (concept maps) adalah bagan yang menunjukkan hubungan antar
konsep atau gagasan-gagasan pokok dari suatu materi ajar yang disusun secara
hirarkhis dan memberikan gambaran yang lebih lengkap (Liliasari, et al., 1998: 2.3).
Miskonsepsi pada peserta didik dapat diidentifikasi dengan melihat apakah hubungan
antar konsep yang dimiliki mereka itu benar atau salah. Dengan peta konsep, dapat
terlihat dengan jelas letak terjadinya miskonsepsi pada peserta didik (Feldsine, 1987:
181). Pada umumnya miskonsepsi tampak dari proposisi yang salah dan tidak adanya
hubungan yang lengkap antar konsep (Novak & Gowin, 1984). Pada praktiknya,
mengidentifikasi menggunakan peta konsep akan lebih akurat hasilnya jika disertai
wawancara klinis yang berfungsi sebagai cara untuk mengungkap lebih mendalam
tentang munculnya gagasan tersebut. Wawancara ini juga berfungsi sebagai teknik uji
ulang atau pencocokan terhadap hasil peta konsep.
Pada Gambar 1 diperlihatkan contoh peta konsep tentang unsur yang dibuat
oleh seorang peserta didik. Berdasarkan peta konsep yang dibuat menunjukkan bahwa
peserta didik tersebut memiliki dua miskonsepsi tentang unsur, yaitu (1) dia
beranggapan bahwa jika atom-atom sejenis bergabung akan membentuk unsur,
sedangkan jika beda jenis membentuk molekul. Padahal konsep yang benar, jika
atom-atom bergabung, baik sejenis maupun beda jenis, keduanya membentuk
molekul, namun jika sejenis disebut molekul unsur dan jika berbeda jenis disebut
molekul senyawa, (2) nomor atom menyatakan banyaknya proton / elektron dalam
atom, padahal nomor atom hanya menyatakan banyaknya proton dalam inti atom,
kecuali untuk atom netral jumlah proton akan sama dengan jumlah elektron.
Instrumen pendeteksi berupa peta konsep memiliki beberapa kelemahan, yaitu
(1) tidak semua peserta didik mampu mengungkapkan hubungan antar konsep dalam
21
bentuk peta konsep, sehingga kemungkinan banyak informasi miskonsepsi yang
diharapkan tidak terjaring, (2) perlunya wawancara klinis untuk memperoleh data
yang lebih akurat memerlukan kemampuan berkomunikasi yang baik, waktu dan
tenaga yang banyak, dan (3) data terjadinya miskonsepsi yang diperoleh sangat
variatif, sehingga memerlukan kepiawaian dalam mengolah dan mengklasifikasikan
agar data dapat diverifikasi sebaik-baiknya.
terdiri atas memiliki
bergabung terdapat
sejenis beda jenis
Gambar 1. Peta Konsep tentang Unsur oleh Peserta Didik
b. Tes pilihan ganda atau esai
Tes pilihan ganda merupakan bentuk instrumen yang paling banyak diguna-
kan dan dikembangkan oleh peneliti dalam mendeteksi terjadinya miskonsepsi pada
peserta didik. Seperti penelitian Amir, et al. (1987) yang menggunakan tes pilihan
ganda dengan alasan terbuka. Peserta didik harus menjawab dan menjelaskan
mengapa ia menjawab seperti itu. Jawaban yang salah digunakan sebagai bahan tes
selanjutnya.
22
UNSUR
Atom-atom
unsur
Lambang unsur
molekul
Nomor atom
Banyaknya proton/ elektron dalam atom
Nomor massa
Banyaknya netron dalam inti atom
Bentuk tes pilihan ganda atau esai disertai alasan terbuka juga digunakan
dalam penelitian Krishnan & Howe (1994) dengan memperkenalkan two-tier multiple
choice items.
Contoh tes pilihan ganda dengan alasan terbuka pada materi kesetimbangan kimia:
3 Fe (s) + 4 H2O (g) Fe3O4 (s) + 4 H2 (g) ∆H = positif
Kesetimbangan akan bergeser ke kanan jika pada ....
A. suhu tetap ditambah serbuk besi
B. suhu tetap ditambah suatu katalis
C. suhu tetap tekanan diperbesar dengan memperkecil volum
D. volum tetap suhu dinaikkan
E. volum tetap suhu diturunkan
Alasannya : .....................................................................................................................
.....................................................................................................................
Instrumen berupa tes pilihan ganda dengan alasan terbuka relatif mudah
dalam penyusunannya, tetapi setiap butir soal yang dibuat harus sudah dipikirkan ke
arah mana sebenarnya soal tersebut mampu meramalkan terjadinya miskonsepsi pada
peserta didik. Tes pilihan ganda dengan alasan (reasoning) terbuka memiliki
kelebihan, yaitu peserta didik diberi kebebasan mengemukakan alasan dari jawaban
yang dipilihnya. Dengan demikian dapat diketahui semua alasan peserta didik,
sehingga dengan mudah dapat diketahui miskonsepsi yang terjadi. Namun bentuk
instrumen ini memiliki kelemahan, yaitu jika banyak peserta didik yang tidak
menuliskan alasan karena berbagai sebab, misalnya memang tidak dapat mengung-
kapkan alasan karena jawaban yang dipilih hanya menerka (spekulatif), malas
menulis alasan karena dianggap tidak ada hubungannya dengan nilai, atau menulis
alasan tetapi tidak relevan dengan jawaban yang dipilih, maka tujuan mendeteksi
terjadinya miskonsepsi menjadi tidak tercapai seperti yang diharapkan. Kelemahan
lainnya, kesulitan dalam menerjemahkan alasan yang diberikan peserta didik karena
kekuranganjelasan kalimat yang dikemukakannya.
23
Kelemahan inilah yang kemudian oleh peneliti lainnya, yaitu Treagust (1987:
519) diantisipasi dengan menggunakan tes pilihan ganda tetapi alasan (reasoning)
pilihan jawaban tersebut sudah disediakan. Meskipun model ini memudahkan dalam
menganalisis, tetapi jika terjadi miskonsepsi dengan alasan yang tidak tercantum
dalam soal tidak dapat diketahui. Selain itu peserta didik tidak memiliki kebebasan
mengungkapkan alasan memilih jawaban, atau hanya memilih alasan yang tersedia
secara spekulatif.
Bentuk soal seperti ini juga dikembangkan oleh Odom & Barrow (1995) yang
disebut two-tier diagnostic test pada konsep difusi dan osmosis. Sama halnya
Treagust, soal ini terdiri dari batang soal dan pilihan alasan. Bentuk soal ini juga
digunakan oleh Birk & Kurtz (1999) untuk mengungkap miskonsepsi (maha)siswa
pada konsep struktur molekul dan ikatan kimia.
Berikut ini contoh instrumen bentuk pilihan ganda dengan alasan tertutup.
Harga tetapan kesetimbangan kimia untuk reaksi CaCO3 (s) CaO (s) +CO2 (g)
adalah ...
A.
B.
C. K = [CaO] [CO2]
D. K = [CO2]
E.
Alasan, karena tetapan kesetimbangan adalah :
A. konsentrasi semua zat produk dibagi konsentrasi zat reaktan dipangkatkan
sesuai dengan angka koefisiennya.
B. konsentrasi zat-zat reaktan dibagi konsentrasi zat-zat produk dipangkatkan
sesuai dengan angka koefisiennya.
24
C. berbanding lurus dengan konsentrasi zat-zat produk dipangkatkan sesuai
dengan angka koefisiennya.
D. berbanding lurus dengan konsentrasi zat-zat reaktan dipangkatkan sesuai
dengan angka koefisiennya.
E. konsentrasi semua zat produk dibagi konsentrasi zat reaktan yang berfase cair
atau gas dipangkatkan sesuai dengan angka koefisiennya.
Beberapa peneliti, seperti Clement (1987) dan Twiest & Twiest (1992)
menggunakan tes pilihan ganda, kemudian jawaban yang tidak benar ditelusuri lebih
lanjut dengan wawancara. Bentuk instrumen ini memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan instrumen Treagust, karena dengan wawancara dapat diungkap lebih
banyak penyebab terjadinya miskonsepsi pada peserta didik, tetapi untuk wawancara
memerlukan waktu yang lama dan tenaga yang banyak. Selain itu keberhasilan
wawancara sangat ditentukan oleh kemampuan pewawancara dalam mengorek
informasi yang lebih mendalam (probing) hingga benar-benar memperoleh data yang
diinginkan (Nasution, 2001: 122-126).
Tes esai tertulis merupakan bentuk instrumen pendeteksi miskonsepsi yang
memerlukan kecermatan dalam melihat jawaban peserta didik. Tahap-tahap jawaban
yang diberikan peserta didik harus secara teliti dicermati agar dapat diketahui secara
pasti pada bagian mana telah terjadi miskonsepsi. Biasanya tes esai tertulis disertai
wawancara untuk melihat lebih jauh terjadinya miskonsepsi.
Contoh tes esai tertulis pada materi pokok laju reaksi :
1. Jelaskan bagaimana pengaruh konsentrasi terhadap laju
reaksi ?
2. Jelaskan bagaimana katalis dapat mempercepat suatu reaksi ?
Kelemahan instrumen tes esai tertulis adalah adanya kemungkinan banyaknya
peserta didik yang tidak menjawab atau menjawab tetapi tidak relevan dengan soal
yang dijawab. Penelusuran lebih lanjut terhadap jawaban mereka melalui wawancara
25
memerlukan waktu dan tenaga yang banyak, juga memerlukan pewawancara yang
pandai mengorek informasi lebih mendalam tentang miskonsepsi yang terjadi.
c. Wawancara diagnosis
Selain sebagai pelengkap dari bentuk instrumen pendeteksi miskonsepsi,
wawancara diagnosis juga dapat berdiri sendiri sebagai teknik untuk mengungkap
terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Pedoman wawancara dapat berbentuk
bebas atau terstruktur. Pedoman wawancara bentuk bebas hanya berisi pertanyaan inti
yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh pewawancara sendiri ketika di lapangan
dengan urutan pertanyaan yang tidak kaku (dapat dibolak-balik). Pedoman wawan-
cara terstruktur berisi pertanyaan yang tersusun secara urut dan lengkap. Dengan
adanya kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, maka wawancara
akan lebih baik jika disertai rekaman untuk melengkapi catatan langsung di lapangan.
Contoh wawancara diagnosis pada materi pokok sistem periodik unsur :
a. Dalam satu periode dari kiri ke kanan pada tabel periodik, bagaimana
besarnya jari-jari atom? Mengapa demikian ?
b. Jika demikian, bagaimana pengaruhnya terhadap kekuatan menarik
elektron ?
c. Berarti dalam satu periode elektronegativitas unsur semakin besar atau
semakin kecil ?
Ketiga soal tersebut diajukan untuk menuntun peserta didik pada pemahaman
konsep tentang keperiodikan sifat elektronegativitas unsur-unsur yang terdapat dalam
satu periode. Berdasarkan jawaban peserta didik terhadap ketiga soal tersebut, maka
dapat dideteksi pada bagian mana sebenarnya peserta didik mengalami miskonsepsi.
Meskipun sangat rinci dalam menelusuri terjadinya miskonsepsi, tetapi seperti biasa-
nya teknik wawancara memiliki beberapa kelemahan dalam penerapannya.
d. Diskusi dalam kelas
26
Diskusi dalam kelas, terutama pada awal pembelajaran suatu konsep, sebagai
penjajagan terhadap konsep yang telah dimiliki peserta didik sangat baik dilakukan
guru. Hal ini berguna untuk menjajagi prakonsep dan konsepsi yang dimiliki mereka,
sehingga pendeteksian terjadinya miskonsepsi dapat diketahui secara dini. Hanya satu
hal yang perlu diingat, agar dapat dideteksi terjadi tidaknya miskonsepsi dari semua
peserta didik, maka guru harus mampu menciptakan situasi yang kondusif yang
memungkinkan semua peserta didik berani bicara dan mengungkapkan gagasannya.
Contoh bahan diskusi dalam kelas pada materi pokok struktur atom :
Pertanyaan untuk didiskusikan:
Apa saja partikel penyusun atom itu ? Bagaimana struktur suatu atom dibangun oleh
partikel-partikel penyusunnya ? Mengapa strukturnya harus demikian ?
Berdasarkan hasil diskusi kelas yang diarahkan dan dibimbing guru, maka
akan diperoleh informasi terjadi tidaknya miskonsepsi pada peserta didik. Kelebihan
cara ini dalam mendeteksi miskonsepsi adalah guru secara langsung dapat melakukan
pelurusan terhadap konsep-konsep yang dipahami secara salah oleh peserta didiknya.
Namun demikian kelemahannya lebih banyak, mulai dari sulitnya mengungkap
miskonsepsi dari semua peserta didik karena tidak semua mau aktif sampai pada
penciptaan situasi belajar yang kondusif sehingga mampu memotivasi semua peserta
didik untuk berpartisipasi secara aktif.
e. Praktikum disertai tanya jawab
Bentuk akhir untuk mendeteksi miskonsepsi berupa praktikum disertai tanya
jawab. Selama ini praktikum yang dilaksanakan di berbagai sekolah hanya memfo-
kuskan pada penilaian dan observasi terhadap aspek psikomotorik, namun ujian akhir
praktikum dalam bentuk uji tertulis. Penilaian akhir seperti itu tidak tepat, karena uji
tertulis bukan teknik penilaian yang sesungguhnya (authentic assessment) dari
praktikum. Selain penilaian psikomotorik, praktikum juga dapat digunakan sebagai
cara untuk mendeteksi terjadi tidaknya miskonsepsi, yaitu melalui tanya jawab
27
langsung tentang konsep-konsep yang sedang dipraktikumkan ketika peserta didik
sedang melakukan praktikum. Melalui cara ini, jika terjadi miskonsepsi dengan
segera dapat diperbaiki. Namun demikian, untuk melaksanakan pendeteksian
miskonsepsi dengan cara ini diperlukan banyak orang yang bertugas untuk
melakukan tanya jawab. Jika tanya jawab hanya dilakukan pada beberapa peserta
didik dan tidak lengkap dari awal sampai akhir untuk setiap peserta didik, maka cara
ini sangat tidak efektif untuk mendeteksi miskonsepsi seluruh peserta didik. Alternatif
lain dari cara ini adalah pada akhir praktikum dicarikan waktu khusus untuk
presentasi tiap-tiap peserta didik tentang konsep yang telah dipraktikumkan.
Contoh penerapan praktikum dengan tanya jawab pada materi titrasi asam basa :
Hal-hal yang dapat ditanyakan ketika peserta didik sedang melakukan praktikum :
1. Bagaimana cara Anda mengisikan larutan ke dalam buret ? Mengapa harus
menggunakan corong ?
2. Bagaimana cara Anda melihat volum larutan dalam buret ?
3. Kapan kita menambahkan indikator ke dalam erlenmeyer ? Apa fungsi
indikator ?
4. dan seterusnya
Berdasarkan jawaban peserta didik, maka guru dapat menelusuri lebih lanjut
dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam dari jawaban yang tidak sesuai.
Dengan demikian akan dapat ditemukan terjadi tidaknya miskonsepsi pada peserta
didik. Namun demikian, pertanyaan yang diajukan ketika peserta didik sedang mela-
kukan praktikum akan mengganggu konsentrasi dan kelancaran jalannya praktikum.
Berdasarkan uraian kelima instrumen pendeteksi miskonsepsi tersebut
menunjukkan bahwa masing-masing bentuk instrumen memiliki kelemahan di
samping kelebihan yang ada. Dengan memperhatikan kelemahan dan mempertim-
bangkan bagaimana menutupi kelemahan yang ada, maka dalam penelitian ini akan
dikembangkan instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia berbentuk tes pilihan ganda
dengan alasan setengah terbuka. Bentuk ini dipilih mengingat instrumen tes pilihan
28
ganda dengan alasan terbuka yang dikembangkan Amir, et al. (1987) memiliki
kelemahan, yaitu dikhawatirkan banyaknya peserta didik yang tidak mengisi alasan
dengan berbagai sebab. Demikian juga instrumen tes pilihan ganda dengan alasan
tertentu yang telah disediakan yang dikembangkan Treagust (1987) memiliki
kelemahan, yaitu terbatasinya kebebasan mengungkapkan alasan di luar yang tersedia
dan kemungkinan pilihan alasan yang hanya spekulatif. Jadi, instrumen soal pilihan
ganda dengan alasan setengah terbuka merupakan adaptasi dengan cara mengga-
bungkan kedua bentuk instrumen yang dikembangkan oleh Amir et al. dan Treagust
agar kelemahan keduanya dapat diatasi.
Contoh instrumen soal pilihan ganda dengan alasan setengah terbuka :
Diketahui reaksi setimbang : 2 SO3 (g) SO2 (g) + O2 (g) ∆H = - 45 kkal.
Pada suhu dan volum tetap, jika ke dalam campuran ditambah katalis, maka …
A. letak kesetimbangan akan bergeser ke kiri
B. letak kesetimbangan akan bergeser ke kanan
C. oksigen akan terurai
D. letak kesetimbangan tidak berubah
E. panas yang dibebaskan bertambah besar
Alasan, karena penambahan katalis :
A. tidak mempengaruhi letak kesetimbangan
B. menyebabkan kesetimbangan bergeser ke arah zat produk
C. menyebabkan kesetimbangan bergeser ke arah zat reaktan
D. menyebabkan zat produk yang ringan terurai kembali
E. memperbesar jumlah energi yang dibebaskan
F. .............................................................................................................................
......
29
Dengan memberikan tempat kosong pada option alasan diharapkan peserta
didik memiliki kebebasan untuk mengungkapkan alasan selain yang disediakan. Hal
ini untuk mengantisipasi kemungkinan peserta didik merasa tidak setuju dengan
semua option alasan yang telah tersedia, sehingga dia ingin mengungkapkan dengan
bahasanya sendiri atau menambahkan option yang telah dipilih untuk memantapkan
alasan. Seperti contoh di atas, alasan dari jawaban bahwa katalis ”tidak mengubah
letak kesetimbangan” (D) adalah karena katalis tidak mempengaruhi letak kesetim-
bangan (A), kemungkinan ada sebagian peserta didik yang ingin mengungkapkan
dengan bahasanya sendiri, misal penambahan katalis ”hanya mempercepat tercapai-
nya kesetimbangan” atau ”berfungsi pada awal reaksi sebelum kesetimbangan
tercapai”, maka mereka diberi kebebasan untuk mengungkapkannya. Pada penerapan-
nya nanti, peserta didik diberitahu bahwa jawaban alasan juga akan diberi skor
sendiri, artinya jawaban dan alasan masing-masing memperoleh skor. Dengan
demikian peserta didik diharapkan akan lebih serius dan termotivasi dalam
mengerjakan, baik dalam menjawab soal maupun alasannya.
3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Miskonsepsi Kimia
Pembelajaran adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat berbagai
komponen yang saling berinteraksi dan bekerja sama dalam mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut, maka terjadinya
prestasi belajar kimia yang rendah dapat disebabkan tidak berfungsinya salah satu
atau beberapa komponen yang terlibat dalam sistem pembelajaran sebagaimana
mestinya.
Miskonsepsi sebagai kesalahan pemahaman konsep yang disebabkan oleh
kesalahan konstruksi kognitif peserta didik itu sendiri merupakan salah satu faktor
penyebab rendahnya prestasi belajar kimia. Namun jika ditelusuri lebih lanjut,
miskonsepsi dapat disebabkan oleh banyak hal. Paul Suparno (2005: 29) menyatakan
secara garis besar ada lima kelompok penyebab terjadinya miskonsepsi pada peserta
didik, yaitu (1) peserta didik, (2) guru, (3) buku teks pelajaran, (4) konteks, dan (5)
metode mengajar.
30
a. Miskonsepsi karena peserta didik
Filsafat konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan itu dikonstruksi
oleh peserta didik sendiri ketika berhubungan dengan lingkungan, tantangan, dan
bahan yang dipelajari (Paul Suparno, 1997). Oleh karena peserta didik mengons-
truksi sendiri pengetahuannya, maka sangat mungkin terjadi salah konstruksi yang
disebabkan mereka belum memiliki bekal cukup yang berkaitan dengan konsep yang
sedang dikonstruksi atau belum memiliki kerangka ilmiah yang dapat digunakan
sebagai acuan dalam mengonstruksi pengetahuan yang benar.
Dalam proses konstruksi ulang setelah menerima penjelasan dari guru, dapat
saja terjadi peserta didik mengonstruksi secara tidak utuh karena keterbatasan
kemampuan atau bercampur dengan gagasan lain yang kebetulan dialami dan
dianggap berhubungan. Sebagai contoh, ketika guru menjelaskan tentang reaktor
nuklir yang berguna sebagai pembangkit listrik tenaga nuklir, mungkin beberapa
peserta didik hanya berpikir bahwa semua yang berhubungan dengan nuklir pasti
membahayakan kehidupan, karena yang ada di pikirannya hanya tentang ”bom
nuklir” yang sering mereka dengar.
Dalam pengertian konstruktivisme, miskonsepsi dianggap hal yang wajar
terjadi pada peserta didik, karena mereka memang melakukan proses pembentukan
pengetahuan itu sendiri. Tugas seorang guru adalah membantu meluruskan dan
memperbaiki miskonsepsi secara sabar, karena miskonsepsi tidak mudah diperbaiki
hanya dengan menjelaskan konsep tersebut secara sistematis dan menerapkan banyak
metode mengajar.
Miskonsepsi kimia terjadi paling banyak disebabkan peserta didik itu sendiri,
karena banyaknya konsep kimia yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Adapun beberapa hal yang dapat menyebabkan miskonsepsi yang berasal dari peserta
didik antara lain :
1) Prakonsepsi atau konsep awal peserta didik
Konstruksi awal suatu konsep dinamakan prakonsepsi yang kemungkinan
besar peserta didik mengalami kesalahan karena prakonsepsi dibentuk sebelum
31
mereka mendapatkan pelajaran formal tentang konsep yang dimaksud. Sebagai
contoh, meskipun peserta didik belum diajarkan tentang kesetimbangan kimia, tetapi
ia telah mengonstruksi sendiri bahwa reaksi yang setimbang pasti massanya sama.
Prakonsepsi ini terbentuk hanya berdasarkan pengalaman yang ada di lingkungannya
bahwa sesuatu yang setimbang pasti berkaitan dengan kesamaan massa, seperti
halnya fungsi suatu timbangan. Prakonsepsi yang salah ini dapat menimbulkan
miskonsepsi, karena peserta didik belum mengenal konsep kesetimbangan kimia yang
benar menurut para ahli kimia.
Miskonsepsi kadang-kadang mudah diluruskan melalui proses pembelajaran
formal di sekolah, tetapi kadang-kadang sulit, terutama jika prakonsepsi tersebut telah
mengendap dalam pikirannya dan berkaitan dengan istilah atau peristiwa yang ada
dalam kehidupan sehari-hari. Seperti contoh tadi, setimbang sangat dekat dengan
peristiwa menimbang yang dapat dijumpai sehari-hari dalam kehidupan mereka.
Adanya prakonsepsi menunjukkan bahwa pikiran manusia sejak lahir selalu
dinamis dan aktif untuk memahami sesuatu. Rasa ingin tahu manusia menyebabkan
alam pikiran manusia berkembang sejalan dengan perkembangan usia dan jaman,
sehingga menghasilkan sekumpulan pengetahuan yang menjadi milik diri (Das
Salirawati, 2008: 2-3). Pengetahuan dan pemahaman awal suatu konsep (prakonsepsi)
yang dimiliki seseorang akan menjadi acuan ketika ia harus berhubungan dan
berkomunikasi dengan orang lain, termasuk dalam interaksinya dengan guru secara
formal di sekolah.
Tidak selalu penjelasan yang diberikan guru mampu mengubah prakonsepsi
yang sudah ada dalam pikiran peserta didik, karena peserta didik tidak akan mene-
rima begitu saja penjelasan suatu konsep dari guru, akan tetapi senantiasa mengolah
dan mencerna dengan mengaitkan prakonsepsi yang telah dimiliki. Akan sulit bagi
guru untuk memperbaiki pemahaman suatu konsep jika prakonsepsi yang dimiliki
peserta didiknya telah mengakar dalam pikirannya. Prakonsepsi yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari peserta didik sangat sulit diperbaiki dan diluruskan,
karena adanya anggapan bahwa prakonsepsi yang dimiliki memang benar. Sebagai
32
contoh, massa dan berat memiliki pengertian yang sangat berbeda, berat suatu zat
dipengaruhi oleh gravitasi bumi, sedangkan massa tidak. Namun prakonsepsi mereka,
keduanya sama karena secara umum dalam kehidupan sehari-hari keduanya tidak
dibedakan. Kita biasa menyatakan berat badan seseorang hanya dengan satuan kg,
padahal seharusnya jika yang disebutkan berat, maka satuan yang benar adalah kgf
(kilogram gaya).
Miskonsepsi dapat dikurangi atau diminimalisasikan tetapi memerlukan
proses. Piaget (1972) yang dikutip oleh Ratna Wilis Dahar (1988: 18) menjelaskan
tahap perkembangan kemampuan kognitif anak, mulai dari tahap sensori motorik
(konkret) sampai tahap formal / abstrak. Pada tahap perkembangan dari konkret
menjadi abstrak inilah peserta didik banyak mengalami miskonsepsi disebabkan
terbatasnya kemampuan mengonstruksi pengetahuan dan tidak lengkapnya
pengetahuan yang dimiliki sebagai bekal mengonstruksi suatu konsep secara tepat
dan benar. Namun secara perlahan sesuai dengan tahap perkembangannya, mereka
akan terus-menerus memperbaiki dan mengurangi miskonsepsi dalam dirinya hingga
akhirnya diperoleh pemahaman yang benar tentang konsep tertentu.
Phelps & Cherin Lee (2003) menyatakan perlunya seorang guru mengem-
bangkan pemahaman pembelajaran yang konsisten dengan filosofi konstruktivisme,
artinya peserta didik harus senantiasa dilatih menjadi aktif dalam pembelajaran dan
menanamkan konsep utama ke dalam konstruksi berpikir mereka, sehingga dapat
menjadi dasar bangunan terhadap informasi baru yang diterima. Lebih lanjut
dikemukakan adanya kecenderungan konsep yang dimiliki peserta didik resisten
terhadap perubahan, sehingga tugas guru untuk selalu mengingatkan mereka dalam
mengontruksi ulang prakonsepsi yang telah dimilikinya.
2) Pemikiran asosiatif peserta didik
Menurut Arons (1981: 166), asosiasi peserta didik terhadap istilah-istilah
sehari-hari kadang-kadang dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Sebagai
contoh, peserta didik mengasosiasikan perubahan tekanan akan menyebabkan perge-
seran kesetimbangan. Jika peserta didik tidak melihat bahwa perubahan tekanan
33
hanya akan mempengaruhi zat reaktan dan produk yang berwujud gas, maka ia akan
selalu salah dalam menentukan arah pergeseran, karena angka koefisien dari semua
zat yang terlibat dalam kesetimbangan dihitung.
Demikian juga jika peserta didik mengasosiasikan berlangsungnya reaksi
dengan zat hasil reaksi. Peserta didik beranggapan jika suatu reaksi telah berlangsung,
maka zat hasil reaksi selalu jumlahnya lebih banyak daripada zat reaktan. Pemikiran
asosiatif ini dapat menyebabkan miskonsepsi ketika diterapkan dalam reaksi
kesetimbangan (reversibel) dimana zat hasil reaksi tidak selalu jumlahnya lebih
banyak daripada zat reaktan ketika kesetimbangan tercapai dan reaksi dianggap
terhenti.
Pengertian yang berbeda dari kata-kata yang digunakan guru dan peserta didik
juga dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi (Marshall & Gilmour, 1990: 332).
Kata dan istilah yang digunakan guru dalam proses pembelajaran diasosiasikan
berbeda oleh peserta didik. Sebagai contoh, guru menjelaskan basa sebagai semua zat
yang larutannya dalam air dapat melepaskan ion OH- tanpa penjelasan dan contoh
lebih lanjut. Peserta didik yang tidak dapat memahami makna penjelasan tadi akan
berpikir asosiatif bahwa semua senyawa yang rumus molekulnya mengandung OH
pasti ia termasuk basa. Tentu saja pemikiran asosiatif menyebabkan miskonsepsi,
karena senyawa seperti CH3COOH, HCOH dipahami sebagai basa. Oleh karena itu
penting bagi guru memberikan penjelasan serinci mungkin agar peserta didik tidak
salah dalam menangkap penjelasan tersebut.
Menurut Barke (2008: 23), guru-guru perlu menyadari kegelisahan peserta
didik ketika mereka tidak memahami bahasa yang digunakannya dalam menjelaskan
materi di kelas. Sebagian besar peserta didik akan berusaha sekuat tenaga untuk
menyelami makna bahasa yang digunakan guru, tetapi sebagian dari mereka
mengalami kesalahan dalam membentuk pemikiran asosiatif. Sebagai contoh, peserta
didik mencoba berpikir asosiatif tentang penjelasan pengertian disosiasi yang
diberikan guru, tetapi karena penjelasan guru dirasakan membingungkan, maka
proses pemahaman peserta didik ini menimbulkan kegelisahan. Mungkin sebagian
34
peserta didik pemahamannya benar, tetapi sebagian lagi salah. Disosiasi yang
dijelaskan sebagai peristiwa terurainya suatu zat menjadi zat yang lebih sederhana
disertai beberapa contoh reaksi kesetimbangan yang merupakan peristiwa ionisasi
akan menghasilkan pemikiran asosiatif peserta didik bahwa disosiasi sebagai
peristiwa terurainya suatu zat menjadi ion-ion. Padahal peristiwa disosiasi tidak
selamanya menghasilkan ion-ion.
3) Pemikiran humanistik
Manusia adalah makhluk hidup yang unik, karena meskipun ia lemah
dibandingkan makhluk hidup lainnya, tetapi ia memiliki kelebihan berupa akal
pikiran yang mampu mengendalikan keinginannya. Dalam kehidupan sehari-hari,
manusia seringkali memandang semua benda di sekitarnya sesuai dengan nalurinya
sebagai manusia atau bersifat manusiawi (Gilbert, Watts, & Osborne, 1982: 62).
Naluri yang demikian kadang-kadang dapat membawa kesalahan dalam pemahaman
suatu konsep. Sebagai contoh, miskonsepsi tentang peranan katalis dalam reaksi. Sulit
bagi peserta didik untuk memahami bahwa setelah reaksi berakhir, katalis akan
diperoleh kembali pada akhir reaksi. Hal ini karena berdasarkan pengalaman dan
pemikirannya, sesuatu yang telah bereaksi tidak akan mungkin kembali seperti
semula. Oleh karena itu penjelasan lebih lanjut perlu disampaikan guru kepada
peserta didik, bahwa suatu katalis yang telah ditambahkan dalam reaksi tidak menjadi
produk reaksi.
4) Penalaran (reasoning) yang tidak lengkap atau salah
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan
yang berupa pengetahuan (Jujun S. Suriasumantri, 1970: 18). Pada kenyataannya,
miskonsepsi dapat pula disebabkan oleh penalaran (reasoning) peserta didik yang
tidak lengkap atau salah. Ketika peserta didik belum memperoleh pembelajaran suatu
konsep, ia telah memiliki prakonsepsi yang dibentuk berdasarkan pengalaman dan
interaksinya dengan lingkungan (Berg, 1991: 4). Setelah ia memperoleh pembela-
jaran konsep tersebut dari guru, maka ia akan mengonstruksi ulang prakonsepsinya.
35
Mungkin konstruksi ulang tersebut benar mungkin pula salah. Kesalahan konstruksi
ulang karena prakonsepsi yang dimiliki tidak lengkap dan keterbatasan kemampuan
untuk mengaitkan secara benar konsep yang diterima dengan struktur kognitifnya.
Kesalahan penalaran dapat pula terjadi karena kesalahan logika berpikir yang
digunakan untuk menarik kesimpulan, atau kesalahan menggeneralisasikan suatu
konsep dalam ruang lingkup yang lebih luas, akibatnya terjadi miskonsepsi.
Pengamatan yang tidak lengkap dan teliti terhadap berbagai fakta atau fenomena di
lingkungan sekitar juga dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan kesim-
pulan yang berakibat terjadinya miskonsepsi. Sebagai contoh, senyawa ionik adalah
senyawa yang dapat terurai menjadi ion-ion. Kesimpulan yang dibuat hanya berdasar-
kan logika berpikir bahwa senyawa ionik mengandung ikatan ion, yaitu ikatan antara
ion positif dan ion negatif. Hal ini akan berakibat terjadinya miskonsepsi jika tidak
ada tambahan bahwa ionisasi hanya terjadi ketika senyawa ionik dilelehkan/
dilarutkan dalam air. Dengan demikian guru perlu selalu mengingatkan kepada
peserta didik untuk berhati-hati dalam menggeneralisasikan fakta-fakta menjadi suatu
konsep agar tidak terjadi over generalization (generalisasi yang terlalu luas).
5) Intuisi yang salah
Intuisi merupakan suatu kegiatan berpikir yang non analitik dan tidak
mendasarkan kepada suatu pola berpikir tertentu. Dengan kata lain, intuisi merupakan
kegiatan berpikir yang tidak berdasarkan penalaran (Jujun S. Suriasumantri, 1970:
19). Kadang-kadang dalam diri seseorang muncul perasaan yang secara tiba-tiba
mengungkapkan sikap atau ide dalam memahami sesuatu keadaan atau gejala/keja-
dian, tanpa melalui pemikiran atau penalaran. Sebagai contoh, peserta didik memiliki
intuisi bahwa jika suatu zat padat dicampurkan ke dalam air, maka setelah diaduk dan
didiamkan pasti akan terbentuk endapan. Pemikiran intuitif ini seringkali menjebak
peserta didik untuk tidak bersikap kritis pada berbagai keadaan yang sejenis, sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya miskonsepsi. Hal ini karena tidak semua zat padat
yang dicampurkan dalam air akan mengendap kalau didiamkan, karena adanya dua
jenis campuran, yaitu homogen (larutan) dan heterogen.
36
Biasanya pemikiran intuitif akan muncul di benak peserta didik secara
spontan ketika secara terus-menerus melihat keadaan atau kejadian. Ketika
dihadapkan pada pertanyaan yang berkaitan dengan pemahaman kejadian tersebut,
maka secara spontan pula peserta didik akan menjawab / menanggapi sesuai dengan
pemikiran intuitif yang dimiliki, tanpa berpikir benar salahnya. Jika hal ini terjadi dan
dibiarkan berlarut-larut akan mengganggu pemahaman konsep lain yang berkaitan
dengan konsep yang dipahami berdasarkan pemikiran intuitif tadi.
6) Tahap perkembangan kognitif peserta didik
Seperti yang dikemukakan Piaget (Ratna Wilis Dahar, 1988: 18) bahwa tahap
perkembangan kognitif anak dimulai dari tahap konkret sampai tahap abstrak,
sehingga pemberian materi pelajaran kepada peserta didik harus disesuaikan dengan
tingkat perkembangan kognitifnya. Miskonsepsi dapat terjadi apabila peserta didik
menerima materi ajar yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan kognitifnya.
Sebagai contoh, anak SD yang diberi penjelasan tentang atom yang sangat abstrak,
tidak akan dapat menerima dan memahami dengan benar konsep atom tersebut,
karena tingkat perkembangan kognitifnya belum mampu menjangkau yang konsep
yang abstrak.
Peserta didik di SMA, meskipun mereka sudah termasuk pada tahap berpikir
abstrak, tetapi kadang-kadang mereka masih memerlukan bantuan berupa model,
ilustrasi, atau analogi dengan fenomena kehidupan sehari-hari untuk memahami
konsep yang abstrak. Sebagai contoh, ketika mereka dijelaskan tentang bentuk
molekul tetrahedral, maka tidak cukup hanya digambarkan/dideskripsikan dengan
kata-kata, tetapi guru perlu menunjukkan model molekul tetrahedral, mungkin dengan
molimood/model tiruan dari kertas atau bola pingpong untuk memberikan gambaran
konkretnya. Jika guru tidak membantu dengan model, maka miskonsepsi sangat
mungkin terjadi tentang bentuk molekul tetrahedral yang sesungguhnya.
Contoh lain, guru menjelaskan bahwa kenaikan suhu pada reaksi kese-
timbangan akan menyebabkan reaksi bergeser ke arah endoterm. Konsep ini tidak
mudah dipahami atau sekedar dihafal. Oleh karena itu, guru dapat membantu meng-
37
analogikan dengan kehidupan sehari-hari. Jika suhu dianalogikan dengan uang, lalu
reaksi digambarkan sebagai kesetimbangan antara dua keluarga yang satu kaya
(eksoterm) dan satu lagi miskin (endoterm), tetapi kedua keluarga tersebut hidup
damai (untuk menggambarkan setimbang). Jika keluarga yang kaya mendapat
tambahan rejeki uang, tentu ia akan memberikan kepada keluarga yang miskin
(bergeser ke endoterm). Dengan cara analogi yang demikian dapat membantu
pemahaman peserta didik dan sekaligus mengantisipasi terjadinya miskonsepsi.
7) Kemampuan peserta didik
Kemampuan yang dimiliki peserta didik ada dua macam, yaitu bakat dan
kecerdasan. Secara umum bakat diartikan sama dengan inteligensi, yaitu kemampuan
mental yang dimiliki seseorang. Berbagai penelitian menghasilkan kesimpulan,
bahwa inteligensi merupakan hasil interaksi antara faktor lingkungan dan bawaan,
sehingga keberadaannya tidak konstan melainkan dapat berubah. Namun demikian,
sampai seberapa besar inteligensi berubah tidak dapat dipastikan, yang jelas bila
seseorang mempunyai kemampuan khusus sebagai bagian dari kemampuan mental
umumnya (inteligensi) bila dikembangkan, maka kemampuan itu akan bertambah.
Inteligensi yang kurang (rendah) tentu sangat berpengaruh terhadap kecepatan
dan ketepatan peserta didik dalam menangkap dan memahami materi yang sedang
dipelajarinya. Selain itu bakat yang kurang juga berakibat tidak dapatnya peserta
didik memahami materi secara ;engkap dan utuh, apalagi menghu-bungkan antar
konsep. Oleh karena itu kemungkinan terjadinya miskonsepsi dalam diri peserta didik
dengan inteligensi rendah lebih besar dibandingkan peserta didik yang memiliki
inteligensi tinggi.
Sebagai contoh, ketika diminta mengerjakan soal kesetimbangan kimia, yaitu
menghitung konstanta kesetimbangan berdasarkan tekanan (Kp), maka peserta didik
dengan inteligensi rendah akan menuliskan rumus Kp sebagai perbandingan tekanan
zat produk dibagi zat reaktan, tanpa memperhatikan fase zatnya. Hal ini karena yang
ada dalam struktur kognitifnya berupa konsep bahwa konstanta kesetimbangan adalah
zat produk dibagi zat reaktan. Struktur kognitifnya tidak mampu menghubungkan
38
konsep lain yang menyatakan bahwa hanya zat yang berupa gas yang dapat membe-
rikan tekanan.
Seperti halnya inteligensi, maka kecerdasan seseorangpun berbeda-beda.
Piaget merumuskan tingkat perkembangan kecerdasan manusia ke dalam empat
tahap, yaitu: sensori-motorik (usia 0 – 1,5 tahun), pre-operasional / pre-konseptual
(usia 1,5 – 6 tahun), operasi konkret (usia 6/7 - 10/11 tahun), dan operasi formal (usia
10/11 ke atas). Pentahapan kecerdasan tersebut berlaku secara umum, meskipun
dalam praktiknya ada penyimpangan. Hal ini karena meskipun kecerdasan individu
berkembang mengikuti umur kronologisnya, namun kecerdasan dapat diasah sehing-
ga seseorang dapat memiliki pengetahuan yang melebihi umur kronologisnya. Kecer-
dasan juga mempengaruhi mudah tidaknya peserta didik mengalami miskonsepsi.
Semakin cerdas seseorang tentu saja semakin kecil kemungkinan terjadinya miskon-
sepsi dalam struktur kognitifnya, dan sebaliknya.
Bagi peserta didik yang cerdas, memahami bahwa penentu laju reaksi adalah
tahap reaksi yang lambat sangatlah mudah memahaminya. Namun tidak demikian
bagi peserta didik yang kurang cerdas. Dia kesulitan dalam memahami konsep
tersebut, karena dalam struktur kognitifnya ia membayangkan dalam suatu balap
sepeda motor/mobil yang lajunya tercepat itulah yang menang. Di sini terjadi
miskonsepsi analogi, bahwa laju reaksi disamakan dengan laju sepeda motor/mobil
dalam suatu arena balap, padahal laju reaksi berkaitan dengan penambahan jumlah
zat produk tiap satuan waktu, tidak ada kaitannya dengan laju sepeda motor / mobil.
8) Minat belajar
Perasaan senang dan rasa ingin tahu merupakan sebagian indikator yang dapat
dijadikan kriteria bahwa seseorang berminat terhadap suatu objek (Moh. Uzer
Usman, 2000: 2). Dengan demikian bila peserta didik berminat belajar kimia, maka
tentu ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menguasai materi kimia dengan
baik dan benar. Selain itu, minat yang tinggi dapat menciptakan situasi yang kondusif
bagi peserta didik dalam mengikuti pembelajaran, karena adanya minat dapat
39
memberikan dorongan untuk selalu semangat belajar dan menghadapi permasalahan
yang berkaitan dengan objek yang diminatinya Wasty Soemanto (1987: 16).
Minat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan belajar, semakin tinggi minat
seseorang semakin besar semangatnya untuk belajar (Sri Esti Wuryani D, 1989: 156).
Jika materi pembelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat peserta didik,
maka mereka tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tarik
baginya. Dengan demikian sangat penting bagi seorang guru untuk menumbuhkan
minat belajar peserta didiknya sebelum ia memulai pelajaran (Slameto, 1995: 180).
. Menurut Singer (1987: 92-93), peserta didik yang memiliki minat terhadap
objek tertentu cenderung memberikan perhatian yang lebih besar terhadap objek
tersebut. Oleh karena itu penting bagi seorang guru mengetahui minat peserta didik
dalam rangka meningkatkan prestasi belajarnya (Wayan Nurkancana,1982: 215-
216).
Secara umum dapat dikatakan bahwa peserta didik yang berminat belajar
kimia cenderung memiliki miskonsepsi lebih rendah daripada peserta didik yang
tidak berminat belajar kimia. Hal ini karena peserta didik yang kurang berminat
belajar kimia cenderung kurang memperhatikan penjelasan guru di kelas dan sangat
jarang beraktivitas membaca buku pelajaran kimia. Akibatnya mereka akan lebih
mudah mengalami kesalahan penangkapan materi, karena yang mereka dengarkan
hanya sepotong-potong materi, tidak keseluruhan. Ketika mereka mencoba
membangun pemahaman dalam struktur kognitifnya, maka cenderung mengalami
miskonsepsi karena pemahaman yang tidak lengkap dan utuh.
Sebagai contoh, guru menjelaskan penerapan prinsip pergeseran kesetim-
bangan dalam industri pembuatan ammonia. Oleh karena peserta didik kadang
memperhatikan kadang tidak, maka ia hanya menangkap bahwa agar produk
ammonia menjadi optimal suhu reaksi harus dinaikkan setinggi-tingginya dan tekanan
dinaikkan sebesar-besarnya. Padahal untuk menaikkan suhu dan tekanan diperlukan
pertimbangan biaya operasional yang harus dipikirkan oleh pabrik. Penjelasan yang
terakhir ini jika tidak didengarkan akan berakibat terjadinya miskon-sepsi pada
40
peserta didik yang kurang berminat belajar kimia, karena ia tidak mau mendengarkan
keseluruhan penjelasan guru.
b. Miskonsepsi karena guru
Perubahan kurikulum saat ini menjadi kurikulum 2006 memunculkan
paradigma baru dalam pendidikan dimana proses pembelajaran diharapkan tidak lagi
berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada peserta didik (student
centered). Peranan guru hanya sebagai fasilitator dan motivator dalam proses
pembelajaran. Perubahan paradigma ini tidak serta merta berubah secara drastis,
tetapi peran guru sebagai pendidik yang bertugas menyampaikan ilmu tetap berlaku
Komunikasi verbal yang terjadi ketika seorang guru menerapkan metode
ceramah dalam proses pembelajaran, memiliki kelemahan bahwa peserta didik tidak
dapat secara keseluruhan menangkap materi yang disampaikan guru. Hal ini karena
komunikasi verbal memiliki banyak kelemahan, diantaranya persepsi guru dengan
peserta didik yang berbeda karena masing-masing memiliki dunia dan bahasa yang
berbeda serta pengalaman dan pengetahuan yang berbeda pula (Carter, dkk, 1989).
Hasil penelitian yang dilakukan Garrett & Jimenez (1994) menunjukkan salah
satu penyebab peserta didik sulit menangkap pelajaran disebabkan bahasa yang
digunakan guru dalam mengajar membingungkan, sehingga peserta didik kesulitan
menghubungkan antar konsep yang diterimanya. Penelitian tentang pentingnya
kualitas komunikasi di kelas dan peranan bahasa dalam pembelajaran Sains dilakukan
oleh Lynch (1989). Hasilnya menunjukkan bahwa semua yang diucapkan guru di
depan kelas belum tentu dapat dipahami oleh peserta didik. Hal yang menyebabkan
diantaranya karena dalam Sains (termasuk kimia) terlalu banyak dimuati oleh kata-
kata yang bersifat teknis dan hubungan logis, perbedaan bahasa yang digunakan guru
dengan bahasa yang digunakan peserta didik, beragamnya bahasa yang digunakan
peserta didik yang tidak dipahami guru, kebingungan guru dalam menggunakan kata
penghubung yang bersifat logis, dan ragam bentuk bunyi, makna, struktur, dan
konteks kata yang dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik bahasa yang digunakan.
41
Berdasarkan paparan hasil-hasil penelitian tersebut, maka dapat dipahami
bahwa guru dapat menjadi sumber terjadinya miskonsepsi pada diri peserta didik.
Seperti diketahui bahwa berdasarkan aliran konstruktivisme, seorang peserta didik
akan berusaha mengontruksi ulang atau mencoba melakukan penyelarasan konsep
yang dimiliki dengan konsep yang baru diterima. Jika penangkapan terhadap konsep
yang disampaikan guru oleh peserta didik ternyata salah (bukan karena guru yang
salah konsep), maka akan terjadi konstruksi konsep baru yang salah yang termasuk
miskonsepsi. Miskonsepsi ini akan jauh lebih parah jika ternyata konstruksi kognitif
awal peserta didik didik tentang konsep tersebut memang sudah salah.
Miskonsepsi dapat pula terjadi ketika guru menyampaikan konsep salah dan
peserta didik mengontruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sebenarnya sudah
benar, atau sebaliknya guru sudah menyampaikan konsep dengan benar, tetapi peserta
didik tidak mengontruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sebenarnya salah. Jika
kedua hal ini terjadi, maka ini disebut school made misconception, yaitu miskonsepsi
yang disebabkan sekolah yang dibuat oleh peserta didik sendiri. Oleh karena itu
sangat penting bagi guru, meskipun saat ini ia hanya diposisikan sebagai fasilitator
dan motivator untuk tetap dapat melakukan pengecekan atau deteksi terhadap
kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Lebih penting lagi, seorang
guru perlu lebih berhati-hati dan berusaha menguasai konsep dengan baik dan benar
agar dalam penyampaiannya tidak salah yang dapat berakibat miskonsepsi pada diri
anak didiknya.
Contoh miskonsepsi yang disebabkan guru salah dalam menyampaikan materi
adalah ketika guru menjelaskan perhitungan konstanta kesetimbangan (Kc), yaitu
perbandingan konsentrasi zat produk dibagi zat reaktan. Jika ketika menjelaskan guru
memberikan contoh reaksi kesetimbangan terjadi pada volum 1 L dan ketika
memasukkan dalam rumus konsentrasi (mol / L) harga 1 L tidak dituliskan, karena
menganggap tidak berpengaruh pada perhitungan, maka hal ini dapat menyebabkan
terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Bisa jadi konstruksi kognitif peserta didik
berubah bahwa konsentrasi yang dimaksud hanyalah mol.
42
Contoh lain miskonsepsi yang disebabkan kesalahan peserta didik meskipun
guru sudah menyampaikan konsep dengan benar adalah ketika guru menjelaskan
pergeseran kesetimbangan yang disebabkan oleh suhu. Peserta didik lalu menghu-
bungkan penjelasan guru dengan harga Kc, maka jika peserta didik salah dalam
mengontruksi akan mendapatkan konsep baru hasil konstruksi yang salah pula, yaitu
anggapan bahwa harga Kc dapat berubah ketika suhu berubah.
Penjelasan guru yang terlalu cepat dan kurang mendalam juga dapat memicu
terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Hal ini disebabkan terkadang dalam benak
guru menganggap bahwa materi tersebut sangat mudah dipahami dan tidak
memerlukan penjelasan yang mendalam, dengan harapan peserta didik membaca
sendiri penjelasan lengkap konsep yang dimaksud dari buku. Pada kenyataannya,
tidak semua anggapan guru tersebut benar, karena sebagian peserta didik hanya
mengandalkan penjelasan guru dan baru membaca buku ketika akan menghadapi
ujian. Akibatnya penjelasan yang tidak lengkap dari guru tadi memunculkan
miskonsepsi yang tidak disadari, baik oleh guru maupun peserta didik itu sendiri.
Sebagai contoh, guru menjelaskan bagaimana memasukkan data mol dari zat-
zat dalam reaksi kesetimbangan dan menentukan mol dari zat-zat yang belum
diketahui. Guru beranggapan peserta didik sudah mengetahui bahwa menentukan mol
dari zat-zat yang belum diketahui dilakukan dengan melihat perbandingan angka
koefisien seperti biasa yang dilakukan dalam perhitungan stoikiometri yang berkaitan
dengan persamaan reaksi, sehingga guru merasa tidak perlu memberitahukan hal itu.
Anggapan seperti ini dapat berakibat fatal, karena peserta didik tidak memperoleh
penjelasan lengkap materi tersebut.
Contoh lainnya, ketika guru memberikan contoh soal-soal perhitungan
kesetimbangan kimia dimana data yang diberikan selalu dalam bentuk mol dan tidak
menjelaskan bagaimana jika data yang diketahui dalam bentuk massa atau volum.
Peserta didik yang tidak ingat lagi tentang peta konsep jalur stoikiometri yang
diajarkan di kelas sebelumnya, kemungkinan akan mengerjakan soal dengan cara
43
salah, yaitu langsung memasukkan data massa atau volum tanpa mengubah terlebih
dahulu menjadi mol.
Penelitian yang dilakukan Lynch (1989: 33-41) menunjukkan adanya
miskonsepsi pada peserta didik yang disebabkan kesalahan dalam komunikasi,
dimana guru menjelaskan dengan bahasanya sendiri tanpa peduli peserta didik
mengerti atau menangkap isi dari penjelasannya atau tidak (perbedaan bahasa guru
dan peserta didik), guru mendominasi pembicaraan di kelas tanpa berusaha menggu-
nakan kata penghubung yang besifat logis, ragam bentuk bunyi, makna, struktur, dan
konteks kata. Akibatnya peserta didik ”sibuk” menghubungkan sendiri istilah-istilah
yang digunakan guru dengan mengasosiasikan hal-hal yang biasa dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, guru menjelaskan susu sebagai suatu protein
yang tersuspensi, tetapi karena penjelasan ini tidak dimengerti kemudian peserta didik
mengasosiasikan susu sebagai suatu larutan yang ditempatkan dalam botol untuk
pembuatan keju dan dapat menjadi asam dan inilah yang disebut protein tersuspensi.
Berdasarkan hal tersebut, maka seorang guru sangat mungkin menjadi
penyebab terjadinya miskonsepsi pada peserta didik, terutama peserta didik yang
memiliki kemampuan menengah ke bawah. Penyebab khusus yang mungkin
menjadikan peserta didik mengalami miskonsepsi adalah (1) guru tidak menguasai
bahan / materi secara baik, utuh, dan benar (tidak memiliki kompetensi profesional
dan pedagogik), (2) guru tidak berlatar belakang sarjana bidang ilmu yang diajarkan,
misal sarjana pendidikan matematika tetapi mengajar kimia, (3) jarang melakukan
aktivitas pembelajaran yang memberikan kesempatan peserta didik mengemukakan
gagasan / ide, sehingga tidak dapat mendeteksi terjadinya miskonsepsi secara dini,
dan (4) tidak terjalin baik hubungan antara guru dengan peserta didik, sehingga ketika
peserta didik mengalami kesulitan dalam pemahaman suatu konsep tidak berani
bertanya (Paul Suparno, 2005: 53).
Dengan demikian saat ini guru dituntut untuk senantiasa mengembangkan
keprofesionalannya dengan selalu berusaha menjadi lebih baik dan memperluas
wawasannya. Dengan kata lain guru diharapkan mampu mengembangkan kompetensi
44
profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadiannya sesuai dengan yang diamanatkan
dalam Pasal 28 ayat 1 PP No 19/ 2005 (Standar Nasional Pendidikan) dan Pasal 8 UU
RI No 14/2005 (UU Guru dan Dosen).
c. Miskonsepsi karena buku teks pelajaran
Buku ajar merupakan salah satu masukan (input) dalam proses pembelajaran
yang ikut menentukan keberhasilan pencapaian tujuan instruksional, kurikulum,
institusional, dan bahkan tujuan pendidikan nasional (Taya, et al., 1990: 75). Buku
ajar umumnya disusun berdasarkan kurikulum atau tafsiran kurikulum yang berlaku.
Buku ajar berisi tentang pendekatan implementasi kurikulum yang berlaku, sehingga
ada kemungkinan terdapat beberapa macam buku ajar untuk satu bidang studi tertentu
(Nasution, 1982: 119-120).
Buku ajar dapat merupakan komponen penting dari suatu kurikulum. Oleh
karena itu materi yang terkandung dalam buku ajar harus sesuai dengan sistematika
rincian bahan pelajaran yang tertera dalam silabus mata pelajaran yang bersangkutan
(Muhammad Ansyor & Nurtain, 1991: 17). Buku ajar kimia merupakan buku yang
memuat materi kimia sesuai dengan bahan kajian kimia dan tujuan pembelajaran
kimia yang tertera dalam silabus mata pelajaran kimia kurikulum yang berlaku.
Sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan buku teks pelajaran yang bermutu,
maka pada penerapan Kurikulum 2006 ini Depdiknas mengeluarkan Kebijakan
Standar Mutu Buku Pelajaran yang tertuang dalam Permendiknas No. 2 tahun 2008
tentang buku, termasuk buku teks pelajaran . Kebijakan ini dimaksudkan agar dapat
dihasilkan buku teks pelajaran yang bermutu dan dapat digunakan untuk jangka
waktu yang relatif lama (5 tahun). Dengan demikian, ketika ada pergantian kurikulum
yang kurang dari 5 tahun, tidak akan mempengaruhi buku ajar yang digunakan.
Menurul Bahrul Hayat, et al. (2001) dalam Pedoman Sistem Penilaian
dikatakan bahwa buku teks adalah buku teks pelajaran yang memiliki peranan dalam
menentukan keberhasilan pendidikan peserta didik. Buku teks pelajaran juga
dipandang sebagai sarana untuk mengkomunikasikan ilmu pengetahuan. Buku teks
45
pelajaran yang digunakan guru dan peserta didik di sekolah harus secara jelas dapat
mengkomunikasikan informasi, konsep, pengetahuan, dan mengembangkan kemam-
puan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dengan baik oleh guru dan peserta
didik.
Banyaknya buku teks pelajaran yang beredar di pasaran dari berbagai
pengarang dan penerbit tentunya memiliki perbedaan dari berbagai aspek, seperti
pemaparan isi, keluasan dan kedalaman materi, tampilan, dan lain-lain sesuai dengan
falsafah dan gaya mengajar dari masing-masing pengarangnya, walaupun disusun
atas dasar standar kompetensi dan kompetensi dasar yang sama (Thiessen, Wild, &
Baum, 1989).
Sehubungan dengan fungsinya sebagai pegangan dalam mengajar guru dan
pedoman belajar peserta didik, maka dengan semakin banyaknya buku teks pelajaran
yang beredar semakin besar kemungkinan tidak terkontrolnya kualitas buku ajar
tersebut. Penilaian buku teks pelajaran tidak menjamin sepenuhnya akan kebenaran
konsep yang dipaparkan dalam buku tersebut. Apalagi kenyataan menunjukkan
sebagian besar guru menggunakan buku teks pelajaran bukan berdasarkan pada
kualitas buku, melainkan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, seperti sudah terbiasa
dengan buku dari pengarang dan penerbit tertentu, kepraktisan dalam penggunaan,
banyaknya soal dalam buku, dan lain-lain.
Menurut Taya, et al. (1990: 31) kualitas buku teks pelajaran dapat dilihat dari
segi fisik, seperti desain grafis, ukuran kertas, ukuran kuarto, dan lain-lain, dan dari
segi isi, sejauhmana materi yang ada memenuhi tuntutan kurikulum yang berlaku dan
kebenaran dan keutuhan materi yang ada sesuai dengan disiplin ilmunya. Standar
mutu buku pelajaran yang dimaksud oleh Pusbuk adalah menyangkut kebenaran isi,
kejelasan penyajian materi, keterurutan penyajian, ilustrasi yang jelas, soal dengan
tingkat kesulitan dan konteks yang bervariasi, bahasa yang baik dan komunikatif,
memunculkan cara berpikir logis, dan lain-lain. Namun kriteria buku yang berkualitas
seperti yang diisyaratkan Pusbuk kurang mendapat perhatian guru ketika memilih
buku ajar yang akan digunakan sebagai pedoman pembelajaran.
46
Buku teks pelajaran merupakan sumber belajar bagi peserta didik yang
bersifat pasif, artinya peserta didik hanya berkomunikasi dengan tulisan-tulisan dan
gambar-gambar dalam buku tersebut dan tidak dapat bertanya langsung jika ada
kalimat yang kurang jelas dan tidak dipahami. Semua kalimat dalam buku dicoba
dipahami sendiri oleh peserta didik, sehingga kadang-kadang pemaksaan pemahaman
ini dapat berakibat terjadinya miskonsepsi. Oleh karena itu buku teks pelajaran juga
dapat menyebarkan miskonsepsi bagi peserta didik (Paul Suparno, 2005: 44). Hal ini
karena bahasa yang digunakan oleh pengarang buku untuk memaparkan suatu konsep
mungkin diartikan atau ditangkap berbeda oleh peserta didik.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya beberapa miskonsepsi yang
disebabkan dari buku teks pelajaran yang dibaca oleh peserta didik (Abraham, et al.,
1992). Penelitian yang dilakukan Garnett & Treagust (1992) menunjukkan miskon-
sepsi peserta didik terhadap materi elektrokimia disebabkan oleh buku teks yang
digunakan untuk belajar mereka. Penelitian serupa dilakukan George (1989) yang
menyatakan sebagian besar miskonsepsi yang dimiliki peserta didik bersumber pada
buku yang digunakan.
Kemajuan teknologi juga membawa dampak pada dunia perbukuan, terbukti
semakin banyaknya buku yang dicetak dengan tulisan yang indah, cover yang mewah
disertai gambar-gambar yang menarik. Namun sebenarnya kualitas buku tidak
ditentukan oleh keindahan fisiknya, tetapi pada kebenaran dan kejelasan konsep yang
dipaparkan. Desain dan gambar fullcolour yang menarik belum menjamin buku
tersebut tidak mendatangkan miskonsepsi bagi pemakainya (peserta didik), sebab
tulisan dan ilustrasi gambar yang tidak tepat dapat memunculkan kesalahan
pemahaman peserta didik yang berujung pada terjadinya miskonsepsi.
Sebagai contoh, pada sebuah buku teks kimia SMA kelas XI dipaparkan
tentang pergeseran kesetimbangan disebabkan oleh perubahan konsentrasi salah satu
zat, perubahan tekanan atau volum, perubahan suhu, dan katalis. Padahal sebenarnya
katalis tidak dapat menggeser suatu reaksi kesetimbangan. Namun karena katalis
diletakkan pada paparan tentang faktor-faktor yang dapat menggeser letak
47
kesetimbangan, maka peserta didik menganggap katalis dapat menggeser reaksi yang
telah setimbang. Hal yang benar seharusnya pembahasan tentang katalis terpisah dari
paparan tentang pergeseran kesetimbangan, karena katalis hanya berfungsi
mempercepat tercapainya keadaan setimbang.
Ilustrasi gambar yang disertakan dalam buku teks pelajaran sangat memung-
kinkan munculnya miskonsepsi, karena gambar merupakan wujud konkrit yang
mudah ditangkap dan dipahami peserta didik Oleh karena itu ilustrasi gambar dari
suatu konsep sangat penting diperhatikan guru agar ketika dijumpai ilustrasi gambar
yang salah segera dapat diluruskan, sehingga miskonsepsipun dapat dihindarkan.
Berikut ini adalah contoh gambar yang menganalogikan keadaan kesetim-
bangan dinamis yang kemungkinan dapat menyebabkan miskonsepsi pada peserta
didik.
Gambar 2.Analogi Keadaan Kesetimbangan Dinamis yang Kurang Tepat
(Sumber Gambar: Michael Purba, 2006, 170)
Berdasarkan gambar tersebut, maka peserta didik mengalami miskonsepsi,
dimana kesetimbangan dinamis tercapai ketika volum kedua larutan sama. Penggu-
naan analogi dalam menyampaikan suatu konsep sangat baik, karena membantu
48
peserta didik dalam memahami konsep, tetapi kadang-kadang analogi tersebut dapat
menimbulkan miskonsepsi (Dupin & Jhosua, 1987).
Penggambaran keadaan kesetimbang dinamis yang kemungkinan juga dapat
menyebabkan miskonsepsi adalah kesetimbangan dianalogikan seperti setimbangnya
permainan jungkat-jungkit. Penganalogian tersebut akan berakibat terjadinya miskon-
sepsi bahwa keadaan kesetimbangan dinamis tercapai jika berat/massa sama. Jika hal
ini diterapkan dalam suatu reaksi kimia, maka reaksi kesetimbangan terjadi jika
massa zat-zat reaktan sama dengan massa zat-zat produk.
Contoh lainnya adalah ketika dalam sebuah buku kimia SMA kelas XI
menjelaskan tentang pengaruh tekanan terhadap kesetimbangan dengan memberikan
contoh suatu reaksi kesetimbangan CO (g) + 3 H2O (g) CH4 (g) + H2O (g) disertai
Gambar 3.
Gambar 3.Ilustrasi tentang Pengaruh Tekanan terhadap Kesetimbangan Kimia
(Sumber Gambar: Michael Purba, 2006, 178)
Ilustrasi gambar yang diberikan dalam buku tersebut sangat membingungkan
bagi peserta didik, karena adanya perubahan jumlah molekul zat-zat yang terlibat
dalam reaksi kesetimbangan. Gambar yang membingungkan akan berujung pada
pemahaman yang salah dan akhirnya terjadilah miskonsepsi pada diri peserta didik
tentang konsep yang dimaksud.
49
Menurut Paul Suparno (2005: 53), penyebab khusus terjadinya miskonsepsi
karena keberadaan buku teks diantaranya karena (1) penjelasan yang keliru dalam
buku tersebut, (2) kesalahan penulisan yang tidak diikuti dengan ralat (dalam ilmu
kimia kesalahan penulisan rumus sangat berakibat fatal), (3) penggunaan bahasa yang
terlalu tinggi untuk level peserta didik yang dituju, (4) banyak peserta didik yang
membaca buku teks sepotong-sepotong (tidak utuh) sehingga memberikan
pemahaman yang tidak utuh dan kurang tepat / benar, (5) pemberian ilustrasi gambar
yang diambil dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan makna konsep
yang sesungguhnya, dan (6) penggunaan gambar kartun yang sering mengandung
miskonsepsi.
d. Miskonsepsi karena konteks
Menurut Carter & Brikhouse (1989), konteks materi pelajaran dapat dipahami
secara berbeda oleh peserta didik dan guru. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
pengalaman, pengetahuan, tujuan, keperluan, dan motivasi. Oleh karena itu untuk
memahami kesulitan peserta didik, guru terlebih dahulu harus memahami bahwa
persepsi yang dimiliki peserta didik sering tidak sama dengan persepsi guru, karena
peserta didik memiliki dunia dan bahasa yang berbeda.
1) Pengalaman
Setiap peserta didik memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam kehidup-
annya yang mempengaruhi pola pikir dan kemampuan dalam mengatasi permasa-
lahan. Pengalaman peserta didik dapat menyebabkan miskonsepsi. Sebagai contoh,
pengertian setimbang selalu disamakan dengan sesuatu yang jumlahnya sama, karena
demikianlah pengalaman dalam kehidupannya. Peserta didik menemukan setimbang
ketika membeli sesuatu dan ditimbang dengan timbangan, melihat permainan
jungkat-jungkit yang dapat setimbang ketika jumlah anak-anak yang duduk di ujung
kedua sisi sama. Hal inilah yang mempengaruhi pola pikirnya ketika harus mema-
hami kesetimbangan reaksi.
50
Kesidou & Duit (1993) telah melakukan penelitian terjadinya miskonsepsi
pada materi termodinamika yang salah satunya disebabkan latar belakang penga-
laman hidup sehari-hari peserta didik, yaitu ketika memahami tentang pengertian
suhu dan panas. Peserta didik menyatakan suhu adalah variabel yang dapat diukur,
sedangkan panas tidak dapat diukur. Pemahaman yang salah ini dilatarbelakangi
peristiwa kehidupannya dimana seseorang yang menderita demam diukur suhunya
dengan termometer, sedangkan panas dipandang sesuatu yang dihasilkan api sehingga
tidak dapat diukur.
2) Bahasa sehari-hari
Seperti diketahui, semua bidang ilmu memiliki istilah-istilah yang berbeda
dengan istilah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, jika
bahasa sehari-hari disamakan artinya dengan istilah yang ada dalam bidang ilmu
tertentu akan dapat menimbulkan miskonsepsi.
Ilmu kimia banyak memiliki bahasa dan istilah yang spesifik yang berbeda
dengan bahasa sehari-hari dan bahasa ilmu yang lain. Sebagai contoh, istilah
resonansi dalam ilmu kimia tidak sama artinya dengan istilah resonansi dalam ilmu
fisika. Demikian juga istilah setimbang dalam ilmu kimia tidak sama artinya dengan
istilah setimbang dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa perbedaan makna bahasa dan
istilah dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Penelitian yang dilakukan Lynch
(1989) menyatakan bahwa faktor bahasa mempengaruhi kemampuan peserta didik
dalam membangun konsep, seperti bagaimana menggunakan kata penghubung yang
bersifat logis, ragam bentuk bunyi, makna, struktur, dan konteks kata.
Penelitian serupa dilakukan oleh Beek & Louters (1991) yang hasilnya dari
234 maha(siswa) menunjukkan rerata skor masalah dalam menyelesaikan soal kimia
yang diberikan pengajar yang berkaitan dengan bahasa umum dan bahasa kimia
sebesar 87% dan 84%, artinya sumber utama kesulitan maha(siswa) dalam mema-
hami konsep kimia terletak pada penggunaan bahasa umum dan bahasa kimia.
51
3) Teman
Setiap peserta didik tidak pernah terlepas dari pergaulan dengan teman-teman
sebayanya. Pergaulan dapat mempengaruhi pola pikir, sikap, dan kemampuan
seseorang (Slameto, 1995 : 71). Dalam pergaulan antar peserta didik, terutama dalam
hal belajar dan mempelajari suatu materi pelajaran, peserta didik yang memiliki
kepandaian lebih belum tentu dapat mempengaruhi teman, sebab anak-anak seusia
remaja (anak SMA) lebih mudah dipengaruhi oleh teman yang suaranya vokal.
Padahal mereka yang bersuara vokal belum tentu memiliki kemampuan intelektual
yang tinggi, tetapi mungkin memiliki miskonsepsi satu atau beberapa konsep. Hal ini
berakibat ketika seorang peserta didik berada satu kelompok diskusi/belajar dengan
peserta didik yang vokal, dapat tertular miskonsepsi tersebut, karena peserta didik
yang vokal dapat berbicara meyakinkan kepada teman satu kelompoknya.
4) Agama
Agama adalah keyakinan seseorang terhadap sesuatu dzat pencipta alam
semesta. Ajaran agama yang dipahami secara kurang atau tidak tepat dapat berakibat
fatal ketika pemahaman tersebut diterapkan dan dihubungkan dengan bidang ilmu
tertentu. Sebagai contoh, menurut ajaran agama Islam manusia diciptakan dari tanah
(QS Faathir: 11), jika pemahaman ini salah maka terjadilah miskonsepsi bahwa
komposisi zat-zat yang terkandung dalam tubuh manusia sama dengan zat-zat yang
terkandung dalam tanah. Kesalahan pemahaman agama dikarenakan kita hanya
mengambil penggalan ayat-ayat, sehingga tidak diperoleh pemaknaan yang utuh dan
benar dari suatu firman Tuhan.
e. Miskonsepsi karena metode mengajar
Kurikulum baru memberikan ruang gerak yang bebas bagi guru untuk
mengembangkan kurikulum pada tingkat pembelajaran, tetapi kenyataannya guru
tetap berorientasi pada penyelesaian semua materi untuk tiap semesternya (subject
matter oriented). Hal ini disebabkan pada akhirnya nanti peserta didik harus dibekali
semua materi ajar dalam menghadapi ujian akhir, sehingga guru berusaha keras untuk
menyelesaikan dan menyampaikan materi tepat pada waktunya. Akibatnya sebagian
52
guru masih sangat jarang menerapkan metode pembelajaran tanya jawab, diskusi,
demonstrasi, praktikum, eksperimen, dan metode-metode selain ceramah dalam
proses pembelajarannya, karena metode-metode tersebut dianggap banyak menyita
waktu pembelajaran, padahal materi yang harus disampaikan relatif banyak, sehingga
guru takut tidak selesai menyampaikan semua materi. Menurut sebagian guru, hanya
dengan metode ceramah, maka ia dapat mengejar target materi yang harus
disampaikan kepada peserta didik.
Pembelajaran dengan ceramah memang menghemat waktu, karena komuni-
kasi terjalin hanya satu arah, yaitu dari guru kepada peserta didik. Namun bahasa
verbal yang digunakan guru dalam ceramah sangat memungkinkan terjadinya
miskonsepsi pada peserta didik, karena pemahaman dan penangkapan yang salah
tentang kalimat yang digunakan guru, penjelasan yang terlalu cepat dan kurang
mendalam, dan sulitnya guru mendeteksi sudah atau belumnya materi tersebut
dikuasai peserta didik ketika materi tersebut diajarkan. Oleh karena itulah perlu bagi
guru menerapkan metode ceramah yang diselingi dengan tanya jawab atau diskusi,
dimana peserta didik diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat tentang
konsep atau materi yang sedang dibahas dengan bahasa mereka sendiri, sehingga jika
terjadi miskonsepsi dapat segera terdeteksi dan diperbaiki (Arons, 1981).
Namun demikian, bukan berarti metode ceramah merupakan metode
pembelajaran yang buruk, karena baik buruknya metode sangat tergantung dari
karakteristik materi dan kemampuan guru dalam menerapkannya. Metode ceramah
baik dan tepat digunakan untuk menyampaikan materi yang sederhana, tidak terlalu
abstrak, dan konsepnya mudah dicerna oleh peserta didik. Demikian juga jika metode
ceramah diterapkan oleh guru yang piawai mentransfer ilmu dengan bahasa yang
lugas, menarik, dan jelas akan dapat menutupi semua kekurangan yang ada dan
sedikit kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Kepiawaian guru
berbicara di dalam kelas dapat menghilangkan kebosanan peserta didik dalam belajar
sekaligus menarik perhatian mereka untuk mau mendengarkan dengan seksama
(Tjipto Utomo & Kees Ruijter, 1994 : 185). Dengan mendengarkan secara seksama,
53
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam menangkap materi dapat diminimalisir,
sehingga miskonsepsi dapat terhindarkan.
Baik buruknya suatu metode pembelajaran sangat tergantung kecakapan guru
dalam memilih dan menggunakan metode tersebut (Pasaribu & Simanjuntak, 1983:
15). Pengguna metode memberi warna dan nilai pada metode yang digunakan.
Penggunaan metode yang tepat dapat membantu mempermudah peserta didik dalam
memahami suatu konsep dan sekaligus meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa keunggulan pembelajaran di Jepang
terutama disebabkan oleh peranan guru yang mampu memilih strategi pembelajaran
yang efektif termasuk di dalamnya memilih metode pembelajaran (Aleks Masyunis,
2000 : 7). Metode pembelajaran merupakan salah satu komponen sistem pembela-
jaran yang berada di bawah kontrol guru. Oleh karena itu gurulah yang harus
mempersiapkan penerapan suatu metode pada pembelajaran suatu konsep.
Sebelum merencanakan untuk menerapkan metode baru, guru sebaiknya me-
mikirkan kesesuaiannya dengan materi yang akan diajarkan, termasuk kelancaran
penerapannya dengan meninjau alokasi waktu yang tersedia dan sarana prasarana
pendukung yang ada. Ketika akan menerapkan suatu metode pembelajaran, guru
perlu mempersiapkan dengan baik agar metode yang digunakan benar-benar
membantu pemahaman peserta didik, bukan sebaliknya membingungkannya.
Banyak metode pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran
kimia, seperti ceramah, diskusi, tanya jawab, resitasi (penugasan), demonstrasi,
praktikum, dan eksperimen. Pengkombinasian beberapa metode dalam suatu pembe-
lajaran konsep tertentu akan menjadikan peserta didik memperoleh pemahaman
dengan berbagai cara.
Metode tanya jawab dapat menimbulkan miskonsepsi jika guru tidak membe-
rikan simpulan yang benar dari seluruh konsep yang digunakan sebagai bahan tanya
jawab. Demikian juga metode diskusi, guru harus memberikan simpulan akhir yang
berupa penjelasan yang benar tentang konsep yang didiskusikan, sehingga jika ada
peserta didik yang salah dalam memahami segera dapat memperbaiki dan mengon-
54
truksi ulang struktur kognitif baru. Hal ini juga berlaku pada penerapan metode
resitasi (penugasan), baik yang berupa pekerjaan rumah (PR) maupun tugas yang
dikerjakan di kelas.
Lain halnya dengan metode demonstrasi dimana guru ingin menunjukkan
suatu proses/reaksi kimia di hadapan peserta didik. Guru perlu mempersiapkan sebaik
mungkin dan melakukan uji coba sebelum demonstrasi di depan kelas. Hal ini sebagai
antisipasi agar tidak terjadi kegagalan yang berakibat terjadinya miskonsepsi pada
diri peserta didik. Sebagai contoh, ketika guru akan mendemonstrasikan pengaruh
konsentrasi terhadap laju reaksi, maka harus dicoba terlebih dahulu agar ketika
didemonstrasikan di depan kelas tidak mengalami kegagalan.
Seseorang dapat dikatakan sudah belajar kimia secara lengkap ketika dalam
proses pembelajarannya disertai kegiatan kerja ilmiah, yaitu praktikum maupun
eksperimen. Keduanya hampir sama, tetapi dalam eksperimen selain peserta didik
dilatih kerja ilmiah, terampil menggunakan alat dan bahan kimia, juga dilatih untuk
menggunakan penalaran dan logikanya dalam menemukan sesuatu yang baru
(inovatif), baik dalam hal prosedur, bahan yang digunakan maupun alat alternatif
yang mungkin dapat diciptakan.
Pelaksanaan praktikum dan eksperimen hendaknya didasari pada suatu prinsip
bahwa segala gejala dan reaksi kimia yang terjadi dan dipraktikkan tidak selalu
memberikan hasil yang sama, karena ilmu pengetahuan termasuk ilmu kimia
memiliki sifat relatif (tidak absolut), artinya selalu ada kemungkinan terjadi
penyimpangan (Das Salirawati, 2008: 18). Hal ini perlu disampaikan kepada peserta
didik agar ketika mereka menemukan penyimpangan yang terjadi dan dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari tidak kebingungan, bahkan kemudian terbentuk kontruksi
konsep yang saling kontradiktif yang akhirnya menyebabkan miskonsepsi. Sebagai
contoh, semua logam jika dipanaskan akan bertambah panjang. Jika guru tidak
memberitahukan bahwa ada satu logam yang berwujud cair, yaitu air raksa, maka
peserta didik akan kebingungan ketika melihat air raksa dipanaskan tidak bertambah
panjang. Demikian pula ketika peserta didik bereksperimen menguji adanya gula
55
pereduksi dari berbagai macam sampel yang mengandung karbohidrat dengan reagen
Barfoed, maka endapan yang terbentuk tidak selalu merah bata, tetapi dapat berwarna
hijau atau coklat, tergantung dari banyaknya gula pereduksi yang terkandung dalam
sampel. Dengan demikian guru harus tetap ambil bagian dalam mengantisipasi
kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada diri peserta didik.
Secara khusus cara mengajar guru yang diwujudkan dalam bentuk metode
pembelajaran dapat menimbulkan miskonsepsi jika guru (1) hanya menggunakan
metode ceramah dan menulis tanpa berusaha mencari umpan balik dikuasai atau
belumnya materi yang disampaikan, (2) tidak menjelaskan penurunan rumus dari
konsep awalnya, sehingga peserta didik hanya menghafal dan tidak adaptif terhadap
penerapan rumus dalam perhitungan dengan berbagai situasi, (3) tidak menyampai-
kan terjadinya miskonsepsi yang dialami sebagian peserta didik, sehingga kemung-
kinan peserta didik yang tidak terdeteksipun akan mengalami miskonsepsi, (4) tidak
memberikan simpulan akhir setelah menerapkan metode tanya jawab, diskusi,
maupun resitasi (penugasan), (5) memberikan analogi yang salah pada saat ceramah,
(6) tidak mengujicoba terlebih dahulu demonstrasi yang akan dilakukan, dan (7) tidak
menjelaskan adanya penyimpangan gejala atau reaksi kimia.
C. Teori Respon Butir
Tes sebagai instrumen dalam bidang pendidikan berguna untuk mengetahui
karakteristik peserta didik yang dikenai instrumen tersebut. Informasi tentang
karakteristik peserta didik akan tepat jika instrumen yang digunakan benar-benar baik
kualitasnya. Pada saat ini ada dua teori pengukuran yang dapat digunakan untuk
menganalisis kualitas suatu instrumen, yaitu teori tes klasik dan teori respons butir.
Menurut teori respon butir, butir tes yang baik adalah butir tes yang memiliki
tingkat kesukaran berkisar antara -2 dan +2, daya pembeda antara 0 dan 2, dan
pseudo-guessing lebih kecil dari 1/m atau 1/k (m atau k = banyaknya option)
(Hambleton & Swaminathan, 1985: 36, 107; Hullin, Drasgow, & Parsons, 1983: 36).
Pada penelitian ini akan digunakan dua parameter, yaitu daya pembeda dan tingkat
kesukaran.
56
D. Tes Diagnostik
Mehrens & Lehmann (1984: 410) berpendapat bahwa tes diagnostik adalah
bagian dari tes prestasi. Menurut Djemari Mardapi (2008: 89) tes diagnostik berguna
untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik. Tes ini dilakukan
apabila diperoleh informasi bahwa sebagian besar peserta didik gagal dalam
mengikuti proses pembelajaran. Hasil tes diagnostik memberikan informasi tentang
konsep-konsep yang belum dipahami dan yang telah dipahami. Konsep yang belum
dipahami tersebut salah satunya dapat disebabkan terjadinya miskonsepsi yang
dialami peserta didik.
Berkaitan dengan hal itu, maka tes diagnostik juga dapat digunakan untuk
mengetahui materi-materi yang dirasa sulit dipahami oleh peserta didik, termasuk
materi yang sering menyebabkan miskonsepsi. Tes diagnostik yang baik dapat
memberikan gambaran akurat tentang miskonsepsi yang dialami peserta didik
berdasarkan informasi kesalahan yang dibuatnya.
Menurut Zeilik (1998), tes diagnostik digunakan untuk menilai pemahaman
konsep peserta didik terhadap konsep-konsep kunci (key concepts) pada topik
tertentu, khususnya konsep-konsep yang cenderung dipahami secara salah oleh
peserta didik. Dengan demikian ciri-ciri tes diagnostik adalah topik terbatas dan
spesifik, serta dilakukannya tes ini dengan tujuan untuk mengungkap miskonsepsi.
Menurut Zeilik (1998) untuk membedakan tes pilihan ganda biasa (bukan
untuk diagnosa) dengan tes pilihan ganda untuk diagnosa, pengecoh pada tes pilihan
ganda untuk tes diagnostik dirancang berdasarkan miskonsepsi yang telah
teridentifikasi melalui penelitian, masukan dari peserta didik maupun pendidik (guru).
E. Penelitian Pengembangan
Menurut Gay (1990), tujuan utama Research & Development (R & D) adalah
bukan untuk menguji hipotesis, tetapi untuk menghasilkan produk-produk efektif
yang dapat digunakan di sekolah. Produk yang dihasilkan dapat berupa instrumen/tes,
bahan-bahan pelatihan guru, bahan-bahan belajar, media, dan sistem pengelolaan.
57
Pendapat serupa dikemukakan oleh Borg & Gall (1983) yang menyatakan bahwa R &
D merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengembangkan dan menvalidasi
produk-produk yang digunakan dalam pendidikan.
Pada penelitian pengembangan ini guru-guru kimia SMA dipandang sebagai
orang yang mengetahui secara pasti sering atau tidaknya suatu konsep kimia yang ada
dalam kurikulum yang diajarkan menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Oleh karena
itu pada studi pendahuluan mereka dimintai masukan untuk menentukan materi
pokok kimia yang paling sering menyebabkan miskonsepsi pada peserta didik.
Penelitian ini mengadaptasi prosedur pengembangan yang dikemukakan oleh
Borg & Gall yang terdiri dari 10 (sepuluh) langkah, diadaptasi secara operasional ke
dalam aksi kegiatan penelitian ini menjadi 5 (lima) langkah, yaitu (1) analisis produk
yang akan dikembangkan; (2) pengembangan produk awal; (3) validasi produk; (4)
uji coba lapangan; dan (5) revisi produk
F. Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian miskonsepsi peserta didik terhadap kesetimbangan kimia dilakukan
oleh Bergquist & Heikkinen (1990) dengan instrumen yang dikembangkan sendiri
oleh peneliti berupa pilihan ganda kemudian diikuti wawancara. Miskonsepsi yang
ditemukan Bergquist & Heikkinen akan digunakan sebagai dasar dalam pengem-
bangan instrumen pendeteksi miskonsepsi kesetimbangan kimia dalam penelitian ini.
Odom & Barrow (1995) meneliti tentang miskonsepsi dengan mengembang-
kan instrumen diagnostik miskonsepsi diawali melalui validasi isi oleh satu orang ahli
kimia, satu orang ahli pendidikan kimia, dan satu ahli biologi. Pada penelitian yang
akan dilakukan ini juga akan dilakukan validasi isi yang ditetapkan oleh ahli
pendidikan kimia, ahli ilmu kimia, dan ahli psikometri.
Krishnan & Howe (1994) telah mengembangkan instrumen tes pilihan ganda
dan tes uraian. Bentuk ini kemudian dinilaikan kepada para pakar yang terdiri dari 2
profesor, 4 guru kimia, 4 mahasiswa pendidikan sains, dan 2 instruktur laboratorium
kimia. Hasil revisi kemudian diujikan kepada 20 mahasiswa untuk analisis butir tes
dengan teori tes klasik. Langkah-langkah penelitian Krishnan & Howe hampir sama
58
dengan penelitian yang akan dilakukan, hanya berbeda dalam hal studi pendahuluan,
validator, dan analisis butir tes yang digunakan.
Penelitian yang dilakukan Sidauruk (2005) telah berhasil mengembangkan
instrumen Tes Diagnostik Stoikiometri (TDS) berupa tes pilihan ganda dengan alasan
tertentu seperti yang dikembangkan Treagust dan berhasil mengidentifikasi 30
miskonsepsi dan 9 penyebab miskonsepsi stoikiometri dan mampu menentukan
bahwa frekuensi miskonsepsi stoikiometri terbukti tidak tergantung pada perbedaan
jenis kelamin, tetapi tergantung pada bahasa yang digunakan dan jenjang kelas.
Berdasarkan hasil penelitian Sidauruk, maka penelitian ini tidak menggunakan materi
kimia yang terpisah pada jenjang kelas yang berbeda, karena jenjang kelas terbukti
berpengaruh terjadinya miskonsepsi.
]G. Kerangka Pikir
Setiap peserta didik memiliki prakonsepsi yang dibawa sebagai pengetahuan.
Sejalan dengan perkembangan daya pikirnya, mereka mengembangkan prakonsepsi
yang dimilikinya, tetapi kadang-kadang pengembangan konsep yang dilakukan berbe-
da dengan konsep sebenarnya yang dikemukakan para ahli dan jika hal ini tidak
terdeteksi akan menghasilkan miskonsepsi yang berlarut-larut. Demikian juga setiap
peserta didik memiliki konsepsi yang berbeda-beda terhadap suatu konsep. Daya pikir
dan daya tangkap setiap peserta didik terhadap stimulus yang ada di lingkungan tidak
akan persis sama. Ada kemungkinan beberapa diantara mereka memiliki konsepsi
yang salah terhadap suatu konsep yang akhirnya menghasilkan miskonsepsi.
Pengetahuan yang berkembang pada diri peserta didik tidak hanya diperoleh
ketika mereka diajarkan suatu konsep oleh seorang guru atau membaca buku, tetapi
sebagai manusia mereka senantiasa aktif membangun struktur kognitifnya berdasar-
kan pemilihan informasi yang tersedia sesuai dengan keinginannya. Berdasarkan hal
ini, maka seringkali miskonsepsi terjadi. Ketika mereka berusaha membangun
struktur kognitif dengan memilih informasi yang ada, kemungkinan ada kesalahan
dalam mengaitkan keduanya. Prakonsepsi dan konsepsi yang benar dapat menjadi
salah ketika ia membangun struktur kognitif baru berdasarkan masukan informasi
59
yang salah, atau sebaliknya. Semuanya itu menyebabkan terjadinya miskonsepsi pada
diri peserta didik.
Materi kesetimbangan kimia sebagian besar berisi perhitungan, tetapi juga
mengandung banyak konsep yang perlu kemampuan yang lebih dari sekedar dihafal.
Oleh karena itu untuk menguasai materi ini dengan baik dan benar sangat diperlukan
kemampuan peserta didik untuk mendalami hubungan antar konsep agar mampu
membangun struktur kognitif yang benar tentang materi kesetimbangan kimia.
Namun demikian karena isi materi ini sangat kompleks dan abstrak, kemungkinan
terjadi miskonsepsi peserta didik pada materi kesetimbangan kimia relatif besar, baik
disebabkan peserta didik itu sendiri maupun guru dan buku teks.
Miskonsepsi merupakan suatu keadaan yang dapat dialami oleh setiap peserta
didik, namun bukan berarti dibiarkan begitu saja terjadi. Banyak instrumen
pendeteksi miskonsepsi telah dikembangkan, mulai dari yang berbentuk (1) peta
konsep; (2) tes pilihan ganda dan tes esai tertulis; (3) wawancara diagnostik; (4)
diskusi kelas; sampai yang berupa (5) praktikum dengan tanya jawab. Semua
instrumen memiliki kelebihan di samping kekurangan. Penelitian ini mengadaptasi
dengan cara menggabungkan dua instrumen yang telah dikembangkan, yaitu tes
pilihan ganda dengan alasan terbuka (Amir, 1987, Krishnan & Howe, 1994) dan tes
pilihan ganda dengan alasan tertentu (Treagust, 1987). Dengan mempertimbangkan
kelemahan kedua instrumen tersebut, maka dalam penelitian ini akan dikembangkan
Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) berbentuk tes pilihan ganda
dengan alasan setengah terbuka. Bentuk ini dipilih mengingat instrumen tes pilihan
ganda dengan alasan terbuka memiliki kelemahan adanya peserta didik yang tidak
mengisi alasan dengan berbagai sebab. Demikian juga instrumen tes pilihan ganda
dengan alasan tertentu memiliki kelemahan terbatasinya kebebasan mengungkapkan
alasan di luar yang tersedia dan kemungkinan pilihan alasan yang hanya spekulatif.
Ketepatan IPMK yang dikembangkan akan divalidasi awal oleh expert
jugdment yang memiliki keahlian bidang ilmu kimia/pendidikan kimia/psikometri/
miskonsepsi yang dipilih dari beberapa Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia
60
berdasarkan keahliannya. Berdasarkan masukan dan rekomendasi mereka diharapkan
IPMK yang dikembangkan dapat tepat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi
yang terjadi pada peserta didik, khususnya pada materi pokok kesetimbangan kimia.
Instrumen yang telah direvisi kemudian divalidasi empirik tes intinya (tanpa alasan)
kepada 850 peserta didik SMA kelas XI di DIY yang hasilnya dianalisis dengan teori
respon butir. Berdasarkan analisis teori respon butir, maka diperoleh tes yang baik
yang akan diuji visibilitasnya kepada sejumlah peserta didik SMA kelas XI IPA yang
ada di DIY berdasarkan area proportional sampling.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Model Pengembangan
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pengembangan, yaitu penelitian yang
bertujuan menghasilkan suatu produk dan meneliti kualitas produk tersebut. Produk
yang akan dihasilkan adalah Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) pada
peserta didik kelas XI SMA. Produk yang berupa IPMK kemudian diteliti kualitasnya
berdasarkan penilaian para ahli melalui expert judgment dengan menggunakan teknik
FGD; analisis menggunakan Teori Respons Butir (TRB) atau Item Response Theory
(IRT) dengan dua parameter; dan visibilitas penggunaannya di lapangan.
B. Prosedur Pengembangan
Prosedur pengembangan penelitian ini mengadaptasi dari model Educational
Research & Development (R & D) yang dikemukakan Borg & Gall (1983: 775).
Desain R & D dari Borg & Gall yang terdiri dari 10 (sepuluh) langkah, diadaptasi
secara operasional ke dalam aksi kegiatan penelitian ini menjadi 5 (lima) langkah,
yaitu:
1. Analisis Produk yang Akan Dikembangkan
Sebagai langkah awal adalah melakukan analisis kebutuhan (need assessment)
yang dilakukan dengan menjaring pendapat dari 125 guru kimia SMA di DIY dan
61
Jawa Tengah. Berdasarkan analisis kebutuhan ini, maka dipandang penting penelitian
pengembangan instrumen miskonsepsi ini dilakukan.
Langkah selanjutnya adalah menentukan bentuk produk yang akan dihasilkan
melalui kaji pustaka. Berdasarkan kelebihan dan kekurangan dari setiap instrumen
pendeteksi yang ada, maka penelitian ini memilih bentuk instrumen Tes Pilihan
Ganda dengan Alasan Setengah Terbuka (TPGAST) dan diberi nama Instrumen
Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK).
2. Pengembangan Produk Awal
Langkah awal pengembangan produk dilakukan dengan membuat kisi-kisi tes
agar butir-butir tes yang dibuat memenuhi validitas isi. Langkah berikutnya adalah
menyusun tes berdasarkan kisi-kisi yang dibuat. Setiap butir tes dibuat dengan
mendasarkan pada prediksi kemungkinan konsep tersebut dapat menimbulkan
miskonsepsi pada peserta didik. Suatu butir tes terdiri atas 3 (empat) komponen, yaitu
komponen inti tes berupa pokok tes dan alternatif jawaban atau opsi utama (main
option). Komponen lain ialah opsi alasan (reason option) dan opsi komentar
(commentary option). Produk awal ini disajikan pada Lampiran 2.
Prinsip penting pada pengembangan produk awal adalah menyusun buram
produk sehingga memenuhi validitas teoretis. Sebelum divalidasi secara empirik,
buram awal perlu dinilai, terutama aspek kelayakan dasar-dasar konsep atau teori
yang digunakan yang dapat dilakukan melalui expert judgment dengan teknik FGD.
3. Validasi Produk
a. Validasi oleh ahli (expert judgment)
Butir tes dalam IPMK yang dikembangkan dibuat berdasarkan kisi-kisi tes
yang terdistribusi proporsional sesuai uraian materi pokok kesetimbangan kimia yang
tercantum dalam kurikulum dan konsep-konsep yang diprediksikan sering menyebab-
kan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik, sehingga secara validitas isi atau
validitas teoretis telah memenuhi syarat. Validasi isi juga dilakukan dengan cara
62
melakukan penilaian terhadap IPMK yang telah disusun melalui expert jugdment
menggunakan teknik FGD dengan melibatkan ahli bidang ilmu kimia, pendidikan
kimia, psikometri, dan miskonsepsi dari beberapa Perguruan Tinggi berdasarkan
keahliannya.
Melalui teknik FGD diharapkan setiap ahli yang menjadi peserta FGD akan
memberikan masukan dan penilaian terhadap IPMK yang dikembangkan dengan
alasan dan argumentasi yang dapat menjadi pegangan untuk penyempurnaan IPMK
tersebut.
b. Validasi empirik
Setelah direvisi berdasarkan hasil FGD, maka dilakukan validasi empirik
terhadap inti tes (tanpa alasan) dengan mengujicobakan pada 850 peserta didik SMA
kelas XI dari beberapa SMA yang ada di DIY. Hasil uji coba dianalisis dengan
menggunakan teori respons butir (TRB) dua parameter dengan cara dikalibrasi
menggunakan software BILOG Multi Group untuk menentukan butir-butir tes yang
baik dengan kriteria yang ditetapkan dalam teori respons butir.
4. Uji Coba Lapangan
Butir tes yang baik hasil analisis respons butir selanjutnya digunakan untuk
uji coba terhadap sejumlah peserta didik SMA kelas XI di DIY sebagai uji visibilitas
IPMK yang dikembangkan. Uji visibilitas dilakukan untuk mengetahui mudah
tidaknya IPMK yang dikembangkan diterapkan dan dianalisis oleh guru kimia SMA,
serta mudah tidaknya dalam mendeteksi terjadinya miskonsepsi.
5. Revisi Produk
Berdasarkan hasil uji coba lapangan, kemungkinan masih ada hal-hal yang
perlu diperhatikan yang dapat menjadi masukan akhir bagi penyempurnaan IPMK
yang dikembangkan. Secara garis besar lima langkah tersebut dapat digambarkan:
63
Analisis Produk yang Akan Dikembangkan
Pengembangan Produk Awal
Gambar 4.Diagram Alir Langkah-langkah Pengembangan IPMK
C. Uji Coba Produk
1. Desain Uji Coba IPMK
Lima langkah pengembangan IPMK pada Gambar 4 digambarkan secara rinci
menjadi 10 langkah pada Gambar 5.
Produk awal atau Produk I IPMK divalidasi oleh para ahli melalui expert
judgment menggunakan teknik FGD. Para ahli tersebut terdiri atas ahli pendidikan
kimia, ahli ilmu kimia, ahli psikometri, dan ahli miskonsepsi. Data berupa masukan
dari para ahli dianalisis dan hasilnya digunakan untuk melakukan revisi Produk I
IPMK menjadi Produk II IPMK. Produk II IPMK berupa perangkat IPMK yang
sudah valid dan reliabel dari segi teoretis. Produk II IPMK divalidasi secara empirik
dengan subjek uji coba 850 peserta didik SMA kelas XI dari beberapa SMA yang ada
di DIY. Data berupa skor dan hasilnya digunakan untuk melakukan revisi Produk II
IPMK menjadi Produk III IPMK. Produk III IPMK berupa perangkat IPMK yang
sudah valid dan reliabel dari segi empirik.
2. Subjek Uji Coba
Subjek uji coba lapangan untuk tujuan uji visibilitas IPMK adalah sejumlah
peserta didik SMA kelas XI IPA yang ada di DIY berdasarkan area proportional
sampling, artinya diambil peserta didik kelas XI jurusan IPA di setiap Kabupaten
secara proporsional.
3. Jenis Data
64
Validasi Produk
Uji Coba Lapangan
Revisi Produk
Data yang diperoleh, dianalisis, dan digunakan untuk pengambilan keputusan
dalam penelitian pengembangan ini adalah:
a. Data kualitatif
Data kualitatif berupa penilaian dan masukan dari para ahli yang menjadi
peserta FGD, baik penilaian dan masukan yang berkaitan dengan kebenaran konsep
kimia dalam instrumen, ketepatan butir-butir tes, maupun ketepatan instrumen dalam
mendeteksi ada tidaknya miskonsepsi kimia pada materi pokok kesetimbangan kimia.
65
Studi Pendahuluan
Studi Pustaka Studi Lapangan
Materi Kimia yang Dipilih sebagai Subjek
Penelitian (Materi Pokok Kesetimbangan Kimia
Penyusunan Kisi-kisi IPMK
Konstruksi IPMK
PRODUK I (PRODUK AWAL) IPMK
Validasi IsiKesesuaian dengan
Konten Materi dalam Kurikulum 2006
Expert Judgment
Validasi Empirik
Uji Coba Lapangan/ Uji Visibilitas
Revisi IPMK
Data Validasi dan Analisis Data
PRODUK II IPMK(Valid & Reliabel)
PRODUK III IPMK(Valid & Reliabel – Empirik)
Data Validasi dan Analisis DataRevisi IPMK
Data Validasi dan Analisis Data
Revisi IPMK
Gambar 5.Desain Uji Produk
b. Data kuantitatif
Data kuantitatif berupa skor peserta didik setelah mengerjakan tes pilihan
ganda yang ada dalam IPMK yang akan digunakan untuk validasi empirik menggu-
nakan analisis teori respon butir (TRB) dengan dua parameter. Demikian pula skor
peserta didik pada uji coba lapangan digunakan untuk uji visibilitas.
4. Instrumen Pengumpulan Data
a. Instrumen I IPMK untuk para ahli
Teknik penilaian dalam penelitian ini berupa angket, sedangkan instrumen
berupa lembar angket yang berisi kriteria IPMK yang baik ditinjau dari aspek materi,
konstruksi, dan bahasa dengan mengacu pada ketentuan yang dikemukakan Ditjen
Dikti (2005). Angket dapat dilihat pada Lampiran 3.
Instrumen berikutnya berupa lembar penilaian dan masukan untuk diisi oleh
seluruh peserta FGD yang terdiri dari ahli bidang ilmu kimia, ahli pendidikan kimia,
ahli psikometri, dan ahli miskonsepsi. Semua data penilaian dan masukan ini
digunakan sebagai dasar untuk merevisi produk awal IPMK yang dikembangkan.
Instrumen lembar penilaian ini disajikan pada Lampiran 4.
b. Instrumen II IPMK untuk peserta didik
Instrumen II IPMK berupa seperangkat tes, yaitu produk II IPMK hasil revisi
IPMK I setelah mendapat masukan dari para ahli (lihat Lampiran 5 dan 6). Berda-
sarkan hasil uji validitas empirik diperoleh data berupa skor setiap peserta didik yang
menjadi sampel. Semua data hasil validasi empirik digunakan sebagai dasar untuk
merevisi Produk II IPMK yang dikembangkan, sehingga diperoleh Produk III IPMK.
66
PRODUK AKHIR IPMK
Adapun hasil validasi empirik dengan analisis respon butir (IRT) yang dikalibrasi
menggunakan software Bilog Multi Group dapat dilihat pada Lampiran 8.
c. Instrumen III IPMK untuk uji coba lapangan
Uji coba dilakukan untuk mengetahui visibilitas IPMK. Instrumen untuk
peserta didik berupa IPMK Produk III yang sudah valid dan reliabel secara empirik.
Berdasarkan uji coba lapangan diperoleh data berupa skor setiap peserta didik yang
menjadi sampel. Selain skor, kedua langkah uji tersebut juga menghasilkan data
berupa miskonsepsi yang dialami peserta didik yang akan dijadikan sebagai dasar
untuk memberikan pemecahan tentang cara-cara mengatasinya. Pada uji coba
lapangan juga dijaring data dari para guru kimia tentang aspek atau variabel-variabel
visibilitas atau keterlaksanaan IPMK.
D. Teknik Analisis Data
1. Data penilaian dan masukan dari para ahli melalui expert judgment
Data yang berupa masukan dari para ahli melalui expert judgment terhadap
produk awal IPMK yang dikembangkan dianalisis secara deskriptif dengan cara
memverifikasi masukan yang diberikan yang akan menjadi bahan untuk merevisi
produk awal IPMK. Masukan dapat berupa revisi kesalahan materi, konstruksi tes,
atau kebahasaan. Demikian pula dengan data yang berupa penilaian aspek materi,
konstruksi, dan bahasa yang diberikan oleh ahli pendidikan kimia digunakan sebagai
dasar revisi butir-butir tes dalam IPMK.
2. Data hasil uji coba untuk validasi empirik
Setelah produk I atau produk awal IPMK direvisi berdasarkan data hasil
penilaian dan masukan para ahli melalui expert judgment, maka dilakukan validasi
empirik terhadap inti tes dengan mengujicobakan kepada 850 peserta didik SMA
kelas XI dari beberapa SMA yang ada di DIY. Hasil uji coba menghasilkan skor,
dimana untuk tes yang dijawab benar diberi skor 1 dan tes yang dijawab salah diberi
skor 0 (data dikotomus). Peserta didik yang tidak menjawab satu atau lebih butir tes,
67
hasil pekerjaannya tidak dianalisis (lihat Lampiran 7). Data jawaban dari seluruh
peserta didik dimasukkan dalam program excell yang selanjutnya dianalisis melalui
teori respons butir (TRB) dua parameter dengan cara dikalibrasi menggunakan
software BILOG Multi Group untuk menentukan butir-butir tes yang baik dengan
kriteria yang ditetapkan dalam teori respons butir.
Butir tes yang baik adalah butir tes yang memiliki tingkat kesukaran berkisar
antara -2 dan +2, daya pembeda antara 0 dan 2 dan (Hambleton & Swaminathan,
1985: 36, 107; Hullin, Drasgow, & Parsons, 1983: 36).
3. Data uji coba lapangan
Setelah diperoleh butir-butir tes yang valid dan reliabel menggunakan analisis
teori respon butir (TRB) dengan tiga parameter, maka selanjutnya dilakukan uji coba
lapangan terhadap sejumlah peserta didik SMA kelas XI IPA yang ada di DIY
sebagai uji visibilitas (keterlaksanaan) IPMK yang dikembangkan. Berdasarkan uji
coba lapangan diperoleh data kemungkinan pola jawaban peserta didik yang dapat
dikategorikan dalam beberapa tingkat pemahaman seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.Kemungkinan Pola Jawaban Peserta Didik dan Kategorinya
No. Pola Jawaban Peserta Didik Kategori Tingkat Pemahaman1. Jawaban inti tes benar – alasan benar memahami (M)2. Jawaban inti tes benar – alasan salah miskonsepsi (Mi-1)3. Jawaban inti tes salah – alasan benar miskonsepsi (Mi-2)4. Jawaban inti tes salah – alasan salah tidak memahami (TM-1)5. Jawaban inti tes salah – alasan tidak diisi tidak memahami (TM-2)6. Jawaban inti tes benar – alasan tidak diisi memahami sebagian tanpa mis-
konsepsi (MS-1)7. Tidak menjawab inti tes dan alasan tidak memahami (TM-3)
Berdasarkan kategori tersebut, maka data uji coba lapangan dapat dianalisis
untuk menentukan pada butir-butir tes mana saja peserta didik mengalami
miskonsepsi dan seberapa besar (persentase) peserta didik yang mengalami
68
miskonsepsi. Adapun tabel yang digunakan untuk memasukkan data dasar dapat
dibuat seperti Tabel 2.
Tabel 2.Data Dasar Hasil Uji Coba Lapangan
Subjek Uji Coba
Nomor Butir Tes1 2 3 4 5 6 7 dst
1 M2 Mi-13 Mi-24 TM-1
dst
Berdasarkan data dasar yang telah diisi tersebut, maka dapat dihitung persen-
tase peserta didik yang memahami, miskonsepsi, tidak memahami, dan memahami
sebagian tanpa miskonsepsi untuk setiap butir tes (lihat Tabel 3). Dengan persentase
tersebut dapat diketahui pula uraian materi pokok kesetimbangan kimia mana yang
memiliki kecenderungan peserta didik mengalami miskonsepsi.
Tabel 3.Persentase Tiap Butir Tes dalam Berbagai Kategori Tingkat Pemahaman
Uraian Materi Pokok Kesetim-bangan Kimia
No.Butir Tes
Kategori Tingkat PemahamanM Mi-1 Mi-2 TM-1 TM-2 MS-1 MS-2
% % % % % % %1. Kesetimbangan
dinamis123456
2. Kesetimbangan homogen dan heterogen
789
3. dst
Alasan terbuka (komentar) yang ditulis oleh sampel diverifikasi dimana alasan
yang memiliki maksud yang sama disatukan, sehingga akan diperoleh sekumpulan
69
alasan/ komentar untuk setiap butir tes, baik alasan yang benar/relevan maupun yang
salah/tidak relevan dengan inti tes.
Selanjutnya untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya miskonsepsi ditinjau
dari substansi materi, maka dibuat tabel khusus untuk memasukkan data pola jawaban
pada butir tes yang mengalami miskonsepsi berdasarkan lembar pekerjaan peserta
didik yang menjadi sampel. Adapun tabel yang dimaksud disajikan sebagai Tabel 4.
Berdasarkan data pada Tabel 4 ini, maka dapat diketahui kecenderungan
miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik sebagian besar mengarah pada option
pengecoh (distraktor) yang mana pada inti tes dan option alasan yang mana dari
alasan-alasan yang tersedia maupun isian dari peserta didik sendiri. Dengan demikian
akan dapat dipetakan bagian-bagian mana dari uraian materi kesetimbangan kimia
yang sering menyebabkan miskonsepsi pada peserta didik.
Tabel 4.Pola Jawaban Peserta Didik pada Butir Tes yang Mengalami Miskonsepsi
No. Butir Tes
Kunci Soal Inti dan Alasan
Jumlah Peserta Didik yang Mengalami Miskonsepsi
1 B - D B-A B-B B-C B-E A-D C-D D-D E-D...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... .......
2 B - B B-A B-C B-D B-E A-B C-B D-B E-B...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ......
3 C - C C-A C-B C-D C-E A-C B-C D-C E-C...... ...... ...... ....... ...... ....... ...... ......
dst
Pedoman langkah-langkah dalam mengumpulkan dan merekapitulasi data
seperti yang dikemukakan tersebut dapat digunakan guru dalam penerapan IPMK
untuk mendeteksi terjadinya miskonsepsi pada peserta didiknya. Tabel-tabel tersebut
juga akan mempermudah guru dalam menganalisis bagian-bagian mana dari materi
kesetimbangan kimia yang terbanyak menyebabkan terjadinya miskonsepsi.
70
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Produk awal yang berupa kisi-kisi tes beserta soal dan alasan yang telah
disusun mula-mula divalidasi isi oleh sejumlah reveiwer dan expert melalui FGD.
Berdasarkan analisis data berupa penilaian dari para reveiwer sebanyak 9 orang,
terdiri dari 4 dosen Pendidikan Kimia FMIPA UNY dan 5 guru kimia SMA (ketua
MGMP untuk setiap Kabupaten), maka diperoleh kesimpulan ada 10 soal dari 40 soal
yang yang dikembangkan dinyatakan kurang memenuhi syarat, dengan tinjauan
alasan dari aspek materi, konstruksi, atau bahasa. Namun demikian sebagai bahan
FGD, ke-40 soal tetap dilampirkan untuk mendapat persetujuan dari para expert, baik
expert miskonsepsi, pendidikan kimia, ilmu kimia, maupun psikometri.
Berdasarkan masukan para expert (lihat Lampiran 5), maka kemudian
disepakati soal dikurangi menjadi 30 butir dengan alasan utama jumlah 40 terlalu
banyak, ada beberapa soal yang dipandang terlalu sulit untuk peserta didik (soal
setingkat untuk olimpiade), dan soal tersebut sudah diwakili oleh soal yang lain
sehingga dapat dihilangkan.
71
Hasil masukan para expert kemudian digunakan sebagai dasar untuk merevisi
produk IPMK, sehingga dihasilkan Produk IPMK II yang valid dan reliabel secara isi.
Selanjutnya dilakukan validasi empirik dengan mengujicobakan pada 850 peserta
didik, namun sebanyak 47 data tidak dapat dianalisis karena banyak soal yang tidak
dijawab. Validasi empirik ini hanya diperlakukan bagi soal inti (tanpa alasan) dengan
maksud agar diperoleh soal yang valid dan reliabel secara empirik, sehingga ketika
akan digunakan untuk mendeteksi terjadinya miskonsepsi (soal yang telah disertai
alasan) benar-benar dihasilkan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan analisis teori respon butir (TRB) dua parameter yang dikalibrasi
dengan menggunakan software Bilog Multi Group yang sebelumnya diawali dengan
analisis klasik Korelasi Biserial butir soal terhadap skor total, dan ternyata butir 2 dan
butir 24 ke skor total adalah negatif, masing-masing adalah -0.238 dan -0.033,
sehingga kedua butir soal tersebut kemudian dikeluarkan dalam analisis butir secara
IRT. Dengan menggu-nakan dua parameter, yaitu daya pembeda dan tingkat
kesukaran dihasilkan ada 19 butir soal yang fit (valid secara IRT) dan 9 butir soal
tidak fit (gugur). Data hasil analisis ini disajikan pada Lampiran 8.
Analisis butir secara IRT setelah butir soal nomor 2 dan 24 dikuluarkan dari
data hasilnya adalah sebagai berikut:
1. Matriks kurva karakteristik butir setelah 2 butir soal didrop sebagai
berikut:
72
1 - 6
7 - 12
13 - 18
19 - 24
25 - 28
Matrix Plot of Item Characteristic Curv es
2. Butir fit/tidak fit berdasarkan signifikansi 2 menghasilkan sebanyak
19 soal yang fit dan 9 soal yang tidak fit. Adapun butir soal yang tidak fit adalah
nomor 1, 5, 7, 12, 14, 15, 18, 19, 23, dan 24.
3. Person fit yang theta-nya dapat dihitung berjumlah 198 dari 803
peserta didik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pelaksanaan dari uji coba ini
yang tidak semuanya dapat terpantau oleh peneliti, sehingga kebiasaan buruk
peserta didik yang selama ini lazim dilakukan, seperti saling menyontek tidak
dapat dihin-darkan.
Setelah validasi empirik dilakukan selanjutnya butir soal pada IPMK ditata
kembali dan kemudian ditambahkan alasan untuk setiap soal yang fit (Produk III
IPMK). Tahap terakhir adalah uji visibilitas, yaitu mengujicobakan Produk III IPMK
ini kepada sejumlah peserta didik SMA Kelas XI IPA yang ada di DIY berdasarkan
area proportional sampling. Pada penelitian ini digunakan 1000 peserta didik dengan
perincian, Kota sebanyak 217, Bantul sebanyak 179, Sleman 196, Kulon Progo
sebanyak 200, dan Gunung Kidul sebanyak 208. Berdasarkan uji coba ini diperoleh
pemetaan tentang uraian materi kesetimbangan yang sering menyebabkan miskon-
sepsi pada peserta didik. Adapun data yang telah direkap disajikan pada`Lampiran 10.
73
B. Pembahasan
Penelitian ini terutama bertujuan untuk menghasilkan produk berupa
Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) materi pokok kesetimbangan kimia
pada peserta didik kelas XI SMA yang memenuhi kualitas instrumen yang baik
melalui langkah-langkah validasi yang ditetapkan (validasi isi, validasi ahli, dan
validasi empirik) dan uji coba di lapangan sebagai uji visibilitas.
Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh 9 reveiwer yang terdiri atas 4
dosen Pendidikan Kimia dan 5 guru kimia SMA sekaligus Ketua Musyawarah Guru
Mata Pelajaran (MGMP) Kimia dari kelima Kabupaten, maka ada 10 soal yang
disarankan untuk dikurangi dengan pertimbangan utama terlalu banyak jika soal
berjumlah 40 dan ada beberapa soal yang sebenarnya dapat diwakili oleh satu soal.
Adapun soal yang disarankan dikurangi/dihilangkan tersebut adalah butir nomor 3,
11, 16, 20, 22, 30, 31, 33, 39, dan 40. Butir soal nomor 3 dihilangkan karena sebenar-
nya konsep tersebut jika dipertanyakan dalam soal akan menimbulkan banyak
persepsi. Sedangkan butir soal nomor 16, 20, dan 22 sudah tercakup dan dapat
diwakili oleh butir soal nomor 17 – 21.Butir soal nomor 30, 31, dan 33 terutama
menurut guru merupakan materi kesetimbangan kimia pengayaan dan soal yang
sering muncul pada olimpiade, sehingga dikhawatirkan tidak semua peserta didik
menguasai materi tersebut. Butir soal nomor 39 dan 40 merupakan soal yang berisi
materi kesetimbangan kimia yang merupakan fakta yang hanya sekedar dihafal dan
kemungkinan kecil untuk terjadinya miskonsepsi.
Hasil penilaian ini selanjutnya dibawa dalam forum diskusi formal, yaitu
Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh expert pendidikan kimia, ilmu
kimia, psikometri, dan miskonsepsi. Banyak masukan berharga pada FGD ini,
diantaranya dari expert pendidikan kimia tentang pentingnya instrumen ini memper-
hatikan kebenaran konsep dan bahasa, sehingga jangan sampai soal ini justru
mengandung miskonsepsi. Expert ilmu kimia menyampaikan beberapa pertimbangan
materi yang ada dalam setiap butir soal secara terperinci yang kemudian memberikan
usulan beberapa butir soal untuk ditiadakan.
74
Dua expert psikometri menyatakan bahwa untuk validasi empirik sebenarnya
tidak harus dilakukan, mengingat instrumen yang dikembangkan lebih pada diagnosa
terhadap terjadinya miskonsepsi. Namun demikian jika hal itu dilakukan akan
menghasilkan instrumen yang lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Demi-
kian juga menanggapi tentang perlu tidaknya wawancara, kedua ahli psikometri
menyatakan bahwa jika alasan yang menyertai soal inti adalah hasil masukan yang
diberikan guru-guru pada saat studi pendahuluan dan juga melihat hasil-hasil
penelitian miskonsepsi pada materi yang sama, maka wawancara tidak wajib
dilakukan, kecuali jika dari awal alasan pada soal tersebut diharapkan berasal dari
penjaringan pendapat peserta didik.
Masukan yang diberikan dua expert miskonsepsi hampir sama, yaitu sebaik-
nya penelitian ini fokus pada pemetaan terhadap bagian-bagian dari materi kesetim-
bangan kimia yang menyebabkan miskonsepsi dan tidak perlu terlalu jauh mencari
penyebabnya, karena mencari penyebab miskonsepsi merupakan judul tersendiri yang
akan memberatkan jika penelitian ini harus sampai pada pembahasan itu. Kedua
expert miskonsepsi memberikan banyak masukan dan jurnal-jurnal miskonsepsi
untuk digunakan sebagai bahan studi lebih lanjut. Adapun masukan para expert dapat
dilihat pada Lampiran 5.
Berdasarkan kesepakatan dalam FGD yang melibatkan expert dan reveiwer
serta kedua Promotor, maka diperoleh 30 butir soal yang akan digunakan sebagai
instrumen pendeteksi miskonsepsi. Ke-30 butir soal ini kemudian ditata kembali dan
selanjutnya dilakukan persiapan validasi empirik terhadap sejumlah peserta didik
SMA kelas XI IPA di DIY. Instrumen yang telah direvisi berdasarkan masukan pada
FGD disebut Produk II IPMK.
Hasil uji coba terhadap 850 peserta didik menunjukkan hanya 803 yang dapat
dianalisis IRT dua parameter, karena sebanyak 47 data jawaban yang diberikan tidak
lengkap (banyak soal tidak dijawab). Analisis IRT semula direncanakan menggu-
nakan tiga parameter, yaitu daya pembeda, tingkat kesukaran, dan guessing (tebakan
semu), namun ternyata analisis dengan tiga parameter tidak mampu menghitung skor
75
theta (kemampuan) peserta didik, sehingga dicoba analisis IRT dengan dua para-
meter. Hasilnya, theta dapat dihitung, meskipun banyak butir soal yang tidak fit, yaitu
sebanyak 9 soal. Sebelum analisis IRT dilakukan analisis butir soal dengan teori
klasik, yaitu melihat Korelasi Biserial butir soal terhadap skor total, ternyata butir 2
dan butir 24 ke skor total adalah negatif, masing-masing adalah -0.238 dan -0.033,
sehingga kedua butir soal tersebut dikeluarkan dalam analisis butir secara IRT.
Banyaknya butir soal yang gugur terutama kemungkinan disaebabkan kurang
ketatnya pelaksanaan uji coba ini, mengingat pelaksanaan diserahkan kepada masing-
masing guru kimia SMA yang menjadi tempat sekolah sampel. Hal ini karena
pelaksanaannya hampir bersamaan di 5 Kabupaten, sehingga sangat sulit bagi peneliti
untuk memantau satu persatu secara jeli dan cermat. Meskipun sebenarnya semua
guru yang dimintai bantuan telah diberi pengarahan secara bersama-sama dalam satu
forum pertemuan MGMP, namun tentu hal ini tidak dapat menjamin bahwa pelaksa-
naannya dapat seperti yang diharapkan. Seperti diketahui, kebiasaan saling
menyontek antar teman dengan segala cara yang sulit dimonitoring guru akan
memberikan dampak pada kurang akuratnya data pelaksanaan uji coba ini.
Gugurnya 11 soal dari 30 soal adalah hal yang wajar dan masih dapat
diterima, mengingat dari soal yang fit (valid) masih mewakili semua uraian materi
kesetimbangan kimia. Dengan kata lain, soal-soal yang fit (cocok dengan model yang
digunakan) masih representatif mewakili materi pokok kesetimbangan kimia.
Penelitian yang dilakukan oleh Djemari Mardapi (1994) dengan analisis IRT satu
parameter (Model Rasch) menunjukkan dari 40 soal dengan sampel sebanyak 50
mahasiswa ada 8 soal yang tidak fit dengan model yang digunakan. Semakin banyak
parameter yang digunakan tentu semakin ketat model tersebut menguji keterandalan
butir soal. Pada penelitian ini digunakan dua parameter, yaitu tingkat kesukaran dan
daya pembeda.
Setelah uji validasi empirik selesai dilakukan, selanjutnya instrumen direvisi
dan ditata kembali hingga menghasilkan Produk IPMK III yang valid dan reliabel
secara empirik. Selanjutnya dilakukan uji visibilitas terhadap 1000 peserta didik SMA
76
kelas XI IPA dari 5 Kabupaten di DIY yang diambil secara area proportional
sampling. Perincian selengkapnya ada di Lampiran 9. Penelitian ini belum dapat
mengemukakan hasil pemetaaan miskonsepsi yang terjadi dari 1000 sampel yang
dikenai IPMK pada uji visibilitas, tetapi telah berhasil mengembangkan dan
menghasilkan produk berupa Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK)
materi pokok kesetimbangan kimia pada peserta didik kelas XI SMA yang memenuhi
kualitas instrumen yang baik melalui langkah-langkah validasi yang ditetapkan
(validasi isi, validasi ahli, dan validasi empirik).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa telah
dikembangkan dan dihasilkan produk berupa Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi
Kimia (IPMK) materi pokok kesetimbangan kimia pada peserta didik kelas XI SMA
yang memenuhi kualitas instrumen yang baik melalui langkah-langkah validasi yang
ditetapkan, yaitu validasi isi, validasi ahli (expert judgment) melalui FGD, dan
validasi empirik menggunakan analisis teori respon butir dua parameter.
77
B. Saran
Penelitian miskonsepsi kimia masih jarang dilakukan di Indonesia, padahal
miskonsepsi merupakan masalah serius yang dihadapi peserta didik yang sangat
mengganggu mereka dalam menguasai materi kimia dengan benar, baik dan tepat.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pengembangan model instrumen pende-
teksi miskonsepsi kimia untuk materi pokok yang lain yang ada di SMA dan dengan
instrumen yang berbeda, agar dapat digunakan oleh guru-guru kimia SMA dengan
mudah dan cepat dalam mendeteksi miskonsepsi yang terjadi pada peserta didiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, M. R, Grzybowski, E. B, Renner, J. W, et al. (1992). Understandings and misunderstandings of eighth graders of five chemistry concepts found in textbooks. Journal of Research in Science Teaching, 29(2), 105-120.
Amir, Frankl, & Tamir. (1987). Justifications of answers to multiple choice items as a
means for identifying misconceptions. In Proceedings of the Second Internati-onal Seminar on Misconceptions and Educational Strategies in Science and Mathematics. Vol I. 15-25. Ithaca, New York: Cornell University.
Barke, H. D. (2008). Chemistry misconception-diagnosis, prevention, and cure. Paper Bandung: Second International Seminar on Science Education, IUE.
78
Bergquist, W. & Heikkinen, H.. (1990). Student ideas regarding chemical equilibrium, what written test answers do not reveal. Journal of Chemical Education, 67(12), 1000-1003.
Borg, W. R.& Gall, M. D. (1983). Educational Research : An introduction, Fourth edition. New York : Longman, Inc.
Brown. T. L. (1992). Using examples and analogies to remediate misconceptions in physics: Factors influencing conceptual change. Journal of Research in Science Teaching, 29(1), 17-34.
Brown. (1989). Students’s concept of force: The importance of understanding Newton’s third law. Physics Education, 24, 353-357.
Carter, C. & Brikhouse, N. W. (1989). What makes chemistry difficult ?. Journal of Chemical Education, 66(3), 223-225.
Djemari Mardapi. (2008). Teknik penyusunan instrumen tes dan nontes. Yogyakarta: Mitra Cendikia Yogyakarta Press.
Feldsine, J. (1987). Distinguishing student misconceptions from alternate conceptual frameworks through the construction of concept maps. In Proceedings of the Second International Seminar on Misconceptions and Educational Strategies in Science and Mathematics. Vol I. 177-181. Ithaca, New York: Cornell University.
Fowler & Jaoude. (1987). Using hierarchical concepts/proposition maps to plan
instruction that addresses existing and potential student misunderstandings in science. In Proceedings of the Second International Seminar on Misconcep-tions and Educational Strategies in Science and Mathematics. Vol I. 182-186. Ithaca, New York: Cornell University.
Gabel, D. (1999). Improving teaching and learning through chemistry education research : a look to the future. Journal of Chemical Education, 76(4), 548-554.
Garnett, P. J. & Treagust, D. F. (1992). Conceptual difficulties ezperience by senior high school students of electrochemistry: Electrochemical (Galvanic) and electrolytic cells. Journal of Research in Science Teaching, 29(6), 1079-1099.
Gay, L. R. (1990). Educational Research : Competencies analysis and application. 3rd ed. Singapore : Macmillan Publishing Company.
79
George, J. (1989). Sources of students’ conception in science, the cultural context. Journal of Science and Mathematics Education in SE Asia, XII(2), 13-20.
Hambleton, R. K. & Swaminathan, H. (1985). Item response theory. Boston, MA: Kluwer Nijhoff Publishing.
Hullin, C. L., Drasgow, F., & Parsons, C. K. (1983). Item response theory: Application to psychological measurement. Homewood, Illinois: Dow Jones-Irwin.
Krishnan, Shanti R, & Howe, Ann C. (1994). The mole concept: Developing in instrument to assess conceptual understanding. Journal of Chemical Education, 71(8), 653-655.
Liliasari, et al. (1998). Kurikulum dan materi kimia SMU. Jakarta : UT
Lynch, Patrick. (1989). Language and communication in the Science Classroom. Journal of Science and Mathematics Education in S. E. Asia, XII(2), 33-41.
Mehrens, W. A. & Lehmann, I. J. (1984). Measurement and evaluation: In education and psychology. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Middlecamp, C. & Kean, E. (1985). Panduan belajar kimia dasar. Jakarta: Gramedia.
Nakhleh, M. B. (1992). Why some students don’t learn chemistry: Chemical misconceptions. Journal of Chemical Education, 69(3), 191.
Novak & Gowin. (1984). Learning how to learn. Cambridge: University Press.
Odom, A. L. & Barrow, L. H. (1995). Development and application of a two-tier diagnostic test measuring college biology students’ understanding of diffusion and osmosis after a course of instruction. Journal of Research in Science Teaching, 32(1), 45-61.
Paul Suparno. (2005). Miskonsepsi & perubahan konsep pendidikan fisika. Jakarta: Grasindo.
Sidauruk, S. (2005). Miskonsepsi stoikiometri pada siswa SMA. Disertasi. Yogyakarta: PPs UNY
Treagust, D. (1987). An approach for helping students and teachers diagnose misconceptions in specific science content area. In Proceedings of the Second International Seminar on Misconceptions and Educational Strategies in
80
Science and Mathematics. Vol II. 519-520. Ithaca, New York: Cornell University.
Zeilik, M. (1998). Conceptual diagnostic tests. Diakses pada tanggal 30 Maret 2010 jam 11.00 dari www.flaguide.org/extra/download/cat/diagnostic.pdf.
81