Transcript
Page 1: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah
Page 2: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

ANGGARAN NEGARA DALAM ERA OTONOMI DAERAH Kunarjo Editor: Dadang Solihin

Page 3: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

untuk: Rima, Hasna, Fatih, Hanif, dan Sarah

Page 4: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Kata Pengantar

� v

Kata Pengantar

Tujuan penulisan buku adalah untuk memberikan informasi tentang teori dan praktik mengenai anggaran negara di Indonesia terutama dalam erat otonomi daerah. Dalam membicarakan anggaran negara tidak lepas dari sistem pemerintahan yang ada. Sejak tahun 2000, sistem pemerintahan telah mengalami perubahan yang cukup berarti, sehingga berpengaruh kepada sistem anggaran negara yang berlaku. Perubahan sistem anggaran itu bukan hanya pada perubahan tahun anggaran saja, tetapi juga pada sistematika dan proses penyusunannya.

Mempelajari anggaran negara, menurut penulis, sangat menarik, karena di dalamnya dapat melihat bagaimana suatu kebijakan negara dapat dijabarkan. Penyusunan anggaran negara sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur kebijakan ekonomi, sosial, dan politik. Penerimaan yang berasal dari perpajakan, dan pengeluaran, baik pengeluaran rutin maupun pembangunan, misalnya, dapat dimobilisasi dan dialokasikan untuk tujuan pertumbuhan dan pemerataan pendapatan masyarakat maupun mainan politik oleh para politisi.

Pengeluaran anggaran negara tidak sama dengan pengeluaran anggaran yang dilakukan oleh perusahaan swasta atau perseorangan. Selain motif yang berbeda, juga sasarannya terfokus pada pengeluaran yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan, dan pemerataan untuk seluruh masyarakat.

Pengetahuan mengenai anggaran negara memang penuh dengan dinamika, walaupun tampaknya penyusunan anggaran negara itu polanya hampir tidak mengalami perubahan, misalnya anggaran negara

Page 5: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Kata Pengantar

� vi

mempunyai banyak program, banyak dana yang dialokasikan, melibatkan berbagai macam stakeholder, serta banyak prosedur yang digunakan.

Kecuali itu, sistem pemerintahan yang mengatur anggaran secara terdesentralisasi atau tersentralisasi juga sangat mempengaruhi hasil pelaksanaannya. Begitu strategisnya peranan anggaran negara, penyusunannya sering kali digunakan sebagai alat perjuangan untuk memperebutkan kekuasaan bagi para politisi.

Walaupun anggaran negara strategis, orang sulit dapat mendefinisikan apa yang disebut “anggaran negara”. Anggaran negara bukan semata-mata sama dengan ilmu ekonomi, atau ilmu hukum, atau ilmu politik, ataupun ilmu administrasi, tetapi merupakan kombinasi dari semuanya.

Adanya perencanaan pembangunan di Indonesia, mengakibatkan anggaran negara menjadi menarik, sebagai salah satu dari sumber pembiayaan pembangunan itu. Oleh karenanya, penyusunan anggaran negara diusahakan untuk makin dapat terukur dalam membantu perencanaan. Telah disadari bahwa anggaran negara tanpa perencanaan yang baik merupakan pemborosan, dan sebaliknya perencanaan pembangunan tanpa anggaran merupakan impian belaka.

Buku ini tidak dapat terbit tanpa bantuan dari beberapa orang yang telah membantu penulis menyelesaikan naskahnya, antara lain: Sdr. Bambang Triyono; Sdri. Dienova, Sdr. Zainudin dan Sdri. Renata Sihombing yang telah melakukan penyelesaian akhir. Tidak lupa saya menyampaikan terima kasih kepada Sdr. Maruto dari LP3ES yang telah membantu mengedit buku ini.

Semoga buku ini ada gunanya, terutama bagi para pejabat yang menggeluti bidang anggaran baik di pusat dan daerah, serta para mahasiswa yang mendalami tentang anggaran negara.

Jakarta, 1 Januari 2003

Kunarjo

Page 6: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Kata Pengantar Gunawan Sumodiningrat

vii

Kata Pengantar Gunawan Sumodiningrat*

Anggaran negara mempunyai tiga fungsi klasik: mendorong pertumbuhan, mendistribusikan atau memeratakan kesejahteraan dan menstabilkan perekonomian nasional. Di masa orde baru bahkan konsep ini dijadikan pokok pembangunan nasional, yaitu pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas, yang diberi label puitis, Trilogi Pembangunan. Tiga fungsi pokok ini tidak pernah lekang oleh jaman, karena memang itulah misi yang diemban oleh anggaran negara.

Kajian tentang anggaran negara merupakan bidang yang sangat penting karena anggaran negara adalah bagian yang sangat mempengaruhi keuangan sektor swasta atau masyarakat. Ada beberapa alasan yang dapat dikedepankan. Pertama, anggaran negara volumenya amat besar. Di setiap negara, rasanya belum ada sebuah organisasi swasta yang mempunyai volume anggaran atau keuangan yang melebihi volume yang dimiliki oleh negaranya. Ukuran bagaimanapun paralel dengan gaya tarik atau magnitude. Tidak heran jika keuangan-keuangan sektor swasta biasanya menyesuaikan diri dengan anggaran negara, baik dalam prosentase kenaikan maupun penurunan, prioritas alokasi, hingga waktu tahun buku anggaran swasta pun disamakan atau paling tidak dekat dengan tahun buku dari anggaran atau keuangan negara. Kedua, dari sisi penerimaan, maka anggaran negara amat mempengaruhi keuangan swasta, khususnya pendapatan perpajakan. Meningkatnya pajak atau cukai rokok, misalnya akan mempengaruhi harga rokok, belanja iklan rokok, hingga belanja pribadi anggota masyarakat yang mengkonsumsi rokok. Ketiga, dari sisi pengelolaan atau pengeluaran, anggaran negara juga mempengaruhi keuangan secara nasional karena tiga fungsi yang diembannya tadi: pertumbuhan, pemerataan, stabilitas.

* Gunawan Sumodiningrat adalah Guru Besar Ekonomi pada Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta, Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Kewilayahan, Kebangsaan dan Kemanusiaan, serta mantan Deputi Bidang Ekonomi BAPPENAS

Page 7: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Kata Pengantar Gunawan Sumodiningrat

viii

Bagaimana dengan anggaran negara di Indonesia? Tidak cukup banyak ahli keuangan negara yang meluangkan waktu untuk menulis tentang anggaran negara, terkecuali bagi Pak Kunarjo, sahabat dan “sesepuh” saya ini. Bagi negara berkembang, anggaran negara sepertinya lebih diarahkan sebagai stimulan pembangunan, karena masyarakat belum mampu menggerakkan pembangunannya sendiri atau secara otonom. Dalam bahasa politis biasanya disebut sebagai government (public) driven growth. Tujuannya adalah untuk menggerakkan swasta atau masyarakat untuk mampu menggerakkan pembangunan di dalam dirinya. Sebenarnya fungsi ini juga dijalankan secara klasikal seperti yang diajarkan oleh teori-teori ekonomi, khususnya yang berada di bawah aliran Neo Klasik. Seperti kita ketahui bersama, aliran ini berpendapat bahwa tugas pemerintah adalah mempengaruhi (atau menggerakkan, atau menyelamatkan) perekonomian nasional, karena mekanisme pasar saja tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah perkonomian. Bahkan, fungsi dari anggaran negara adalah menyelesaikan misi global dari negaranya. Kita memahami bahwa kebijakan anggaran negara dari AS menentukan anggaran keuangan seluruh negara di dunia. Kontraksi maupun ekspansi anggaran AS mempengaruhi perilaku keuangan negara lain di dunia.

Uniknya, anggaran negara di Indonesia juga menjadi bagian dari krisis ekonomi yang sekarang ini dialami Indonesia sejak tahun 1997. Pembangunan ekonomi Indonesia begitu banyak didorong oleh negara, sehingga dunia usaha Indonesia mengembangkan apa yang disebut oleh Tanri Abeng di tahun 1990-an sebagai “manajemen lobi”, yaitu dimana para pengusaha lebih mengembangkan “kecakapan melobi” penguasa politik atau pejabat pemerintah daripada mengembangkan “kecakapan professional”. Populasi terbesar pelaku usaha, khususnya pelaku usaha besar, berkerumun di dekat kue anggaran negara. Kondisi ini memang bersifat positif dalam menumbuhkan perekonomian namun juga menimbulkan ekses yang sekarang populer dilabeli “korupsi, kolusi, dan nepotisme”. Tidak dipungkiri seluruh organisasi publik di Indonesia terbelit oleh masalah ini, baik dalam skala kecil maupun skala yang tak terperikan besarnya.

Apakah ini hanya monopoli Indonesia? Ternyata tidak. Di negara adidaya seperti Amerika pun kita melihat kejadian-kejadian

Page 8: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Kata Pengantar Gunawan Sumodiningrat

ix

dimana antara kekuasaan dengan pengusaha membentuk konspirasi yang didasarkan kepada anggaran negara. Bahkan yang menakutkan konspirasi ini kebanyakan berkenaan dengan industri militer sehingga memunculkan paradigma complex industrial military, yaitu sebuah kebijakan negara yang menguntungkan industri militer negara yang bersangkutan. Industri militer adalah sasaran pokok karena volume uang yang digunakan amat besar, tidak bisa dipastikan secara fixed, dan dapat dimasukkan dalam kategori “rahasia nasional”.

Tentu saja kenyataan ini tidak berarti excuse bagi negara terhadap kekeliruan KKNnya di masa lalu. Bahkan saya berani memperkirakan bahwa perilaku KKN tidak akan hilang, ia hanya menurun, hingga dalam persentase yang tidak membahayakan. (Bukankah KKN juga kebiasaan manusia pula. Ia hanya bisa diminimalkan hingga tingkat yang paling manusiawi, tapi tidak bisa dihapuskan). Inilah agenda pertama bagi kebijakan anggaran negara kita. Secara ideal adalah bagaimana mengelola anggaran negara secara baik. Memang, mencari padanan “baik” tidaklah mudah. Prinsip klasik pertumbuhan-pemerataan-stabilitas tetap menjadi ukuran, namun itu tidak cukup lagi. Indikator atau alat ukur pelengkap tetapi tidak bisa dipinggirkan (marginalized) adalah prinsip-prinsip pokok dari good governance yaitu akuntabilitas, transpansi, dan responsivitas.

Agenda kedua adalah meletakkan kebijakan anggaran negara dalam konteks kekinian, yaitu dalam NKRI yang didesentralisasi. Tema pengelolaan keuangan negara hari ini menjadi “anggaran negara di era otonomi daerah”. Paradigma pengelolaan negara ini berubah secara paradigmatis dari “lebih sentralistik” menjadi “lebih desentralistik”. Prinsip ini paralel dengan paradigma pembangunan pemberdayaan, yaitu memberi peran yang lebih besar kepada daerah, khususnya dalam arti pemerintah daerah, untuk mengembangkan diri masyarakat sebagai subyek pembangunan sesuai dengan ciri, potensi, kepribadian, dan aspirasinya.

Konsep baru keuangan negara dalam bentuk berubahnya anggaran kepada daerah dari bentuk dana alokasi khusus (specific grant) ke dana alokasi umum (block grant) mewarnai peruahan paradigma keuangan negara Indonesia. Pak Kunarjo membahasnya dalam buku ini secara komprehensif. Barangkali yang perlu menjadi pemikiran bersama adalah menyempurnakan sistem keuangan negara

Page 9: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Kata Pengantar Gunawan Sumodiningrat

x

di era otonomi yang sudah kita miliki dengan mengacu kepada UU No, 25/1999, agar bukan saja sesuai dengan kebutuhan pengelolaan negara yang didesentraliasasikan, melainkan juga sesuai dengan denyut nadi Indonesia yang berada dalam tata dan perubahan global dengan segala konsekuensinya. Keuangan negara harus seimbang antara pola inward looking dengan outward looking, bahkan dalam penilaian saya, harus diperkuat dengan forward looking. Inilah yang menjadi agenda ketiga.

Agenda ketiga adalah bagaimana kita merancang model atau prototip sistem keuangan negara yang cocok untuk kebutuhan masa depan. Untuk itu memang diperlukan keberanian untuk mempertanyakan ulang apakah model yang kita pakai saat ini cocok untuk masa depan. Dalam kasanah akademik dan politik pembangunan daerah pernah menjadi wacana, apakah masih tepat bagi kita untuk menggunakan model anggaran yang “sangat terpusat” atau ICW (Indische Comptabiliteit Wet) dimana semua pemasukan dimasukkan dalam keranjang yang sama, akhirnya tidak jelas mana uang yang “harus dipakai membangun”, “dipakai membayar hutang”, “dipakai untuk konsumsi” dan sebagainya, seperti yang sekarang ini kita gunakan. Memang tidak seluruh warisan penjajah Belanda itu buruk, terbukti dari sistem ICW dari pemerintah kolonial Belanda pun kita adopsi. Tantangannya adalah tidak kemudian menjadi serba anti dengan masa kini untuk memilih model masa depan, namun dengan kepala dingin, dan bijaksana mencermati perubahan di masa depan, melihat sistem hari ini dan menyesuaikan sistem hari ini dengan kebutuhan di masa depan. Saya kira ini adalah tantangan bagi para pemikir dan professional keuangan negara.

Akhirnya, saya mengucapkan selamat kepada Pak Kunarjo, sahabat, kolega, dan bahkan saya anggap sebagai salah satu guru saya di bidang keuangan negara. Buku ini sendiri ditulis dengan sangat baik – atau excellent – sehingga dapat melukiskan permasalahan, pemaparan, analisa dan solusi dengan jernih dan cerdas. Keunggulan lain adalah bahasa yang dipergunakan sangat komunikatif, sehingga akan membantu khalayak dalam menyerap gagasan yang disajikan. Saya kira ini adalah keunggulan yang jarang dimiliki oleh seorang pakar tatkala menulis. Tidak jarang para pakar menulis dalam bahasa yang teramat akademis sehingga hanya mampu difahami sejumlah kecil pembacanya. Tidak heran jika kata “pakar” sering diplesetkan

Page 10: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Kata Pengantar Gunawan Sumodiningrat

xi

menjadi “apa-apa sukar”. Pak Kunarjo di luar kategori tersebut. Saya kira bukan saja karena pengalaman keilmuan beliau yang amat tinggi, praktek profesional anggaran negara (di Bappenas) yang tidak kalah tinggi, namun juga karena wisdom dari sang penulis.

Jadilah buku ini bukan saja bermanfaat untuk diambil nilainya, namun juga menantang para penulis lain untuk mengkreasikan buku yang baik di bidang anggaran negara. Bagi para pakar tantangannya adalah bagaimana mereka menulis dengan cerdas namun mudah dimengerti. Karena prinsip komunikasi pada akhirnya, kan semua harus bisa dimengerti dan dipahami.

Selamat atas bukunya kepada Pak Kunarjo dan selamat membaca bagi sidang pembaca. Semoga semua sama-sama menikmatinya.

Semoga buku ini ada gunanya, terutama bagi para pejabat yang menggeluti bidang anggaran baik di pusat dan daerah serta para mahasiswa yang mendalami tentang anggaran negara.

Bulaksumur, 1 Februari 2003�

Page 11: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

�xii

Daftar Isi

Kata Pengantar v

Kata Pengantar Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat vii

Daftar Isi xii

BAB I PENDAHULUAN 1

Pengertian dan Cakupan Anggaran Negara 3

Beberapa Sudut Pandang Anggaran Negara 4

Perencanaan dan Anggaran 5

Mengapa Anggaran Negara Diperlukan? 6

Mengapa Anggaran Negara Harus Dipertanggung-jawabkan? 7

Anggaran Negara dan Anggaran Perusahaan 8

Peranan Pemerintah Dalam Anggaran 11

Penyusunan Anggaran Negara 13

Fungsi Anggaran 20

Displin Ilmu dan Kriteria Penyusunan Anggaran Negara 24

BAB II ANGGARAN NEGARA DALAM ERA ORDE LAMA 28

Situasi Republik Indonesia Tahun 1945-1952 29

Plan Mengatur Ekonomi Indonesia (1947) 30

Rencana Kasimo (1948-1950) 33

Rencana Urgensi Perkembangan Industri dan Industri Kecil (1951-1952) 34

Lembaga Pengelola Keuangan Negara 35

Penyusunan Anggaran Negara di Era Orde Lama 37

Page 12: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

�xiii

Pedoman Pelaksanaan Anggaran Negara 41

Masa-masa Sulit Menjelang Lahirnya Orde Baru 44

Pembiayaan Defisit Anggaran Negara 44

Lahirnya Orde Baru 49

BAB III PERENCANAAN ANGGARAN NEGARA 52

Penyusunan Perencanaan Anggaran Negara 53

Pentahapan Perencanaan 54

Persyaratan Dalam Menyusun Anggaran Negara 56

Dimensi Perencanaan Anggaran Negara 58

Hubungan Antara GBHN, Propenas dan Repeta 62

Lembaga yang Terlibat dalam Perencanaan Anggaran 65

Klasifikasi Fungsional 70

BAB IV POLITIK DALAM ANGGARAN NEGARA 77

Kebijakan Teknis Versus Kebijakan Politis 78

Peranan Anggaran Negara 78

Pengaruh Politik dalam Anggaran 81

Kaitan Anggaran dengan Faktor Lingkungan 83

Bidang yang Dipengaruhi oleh Politik 84

Konflik Dalam Kelembagaan 88

Mekanisme Konflik 89

Perilaku Para Pengelola Anggaran 91

Konflik Internal Dewan Legislatif 93

BAB V PENERIMAAN NEGARA 95

Pajak Sebagai Sumber Utama Penerimaan Negara 96

Pajak Untuk Stabilitas Ekonomi dan Pemerataan Pendapatan Masyarakat 97

Metode dan Jenis Pajak 99

Gambaran tentang Penerimaan Pajak dalam APBN 109

Pinjaman Luar Negeri dan Hibah 113

Beberapa Masalah tentang Pinjaman Luar Negeri 114

Administrasi Pinjaman Luar Negeri 121

Page 13: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

�xiv

BAB VI PENGELUARAN NEGARA 133

Pengeluaran Rutin 138

Belanja Pegawai 139

Belanja Barang 140

Belanja Rutin Daerah 141

Cicilan Pokok dan Bunga Pinjaman 141

Subsidi 142

Pengeluaran Rutin Lainnya 144

Pengeluaran Pembangunan 144

Metode Usulan 145

Investasi Oleh Negara 146

Komposisi Pembiayaan 149

Petunjuk Penilaian Anggaran Pembangunan 151

BAB VII ANGGARAN DEFISIT 155

Pengertian dan Penyebab Defisit 156

Sebab-Sebab Defisit 158

Dampak Defisit 163

Menutup Anggaran Defisit 167

BAB VIII ANGGARAN NEGARA DAN DESENTRALISASI 171

Desentralisasi dan Kebijakan Dalam Alokasi Anggaran 174

Pengertian Desentralisasi 174

Kebijakan Desentralisasi dalam Alokasi Anggaran 180

BAB IX OTONOMI DAERAH DAN APBD 191

Otonomi Daerah dan Desentralisasi 192

Otonomi Merupakan Suatu Keharusan 192

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 193

Pinjaman Daerah 207

Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah 209

Page 14: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

� xv

BAB X ADMINISTRASI PELAKSANAAN ANGGARAN NEGARA 219

Pengorganisasian Anggaran Negara 221

Dokumen Pembiayaan 222

Organisasi Pengelola Anggaran Negara 227

Pelaksanaan Anggaran Negara 230

Pengelolaan Panitia Pengadaan 233

Penyaluran Dana 236

Mekanisme Penyaluran Dana 237

Pelaksanaan Penyaluran Dana Perimbangan 238

Pertanggungjawaban dan Pengawasan Pelaksanaan Anggaran 239

BAB XI SIKLUS ANGGARAN 240 Tahap Persiapan 241 Tahap Pengesahan 251 Nota Keuangan 251 Tahap Pelaksanaan 263 Penyusunan Satuan 2 (Dua) 263 Penyusunan Satuan 3 (Tiga) 264 Tahap Pengawasan 268 Tujuan Pengawasan 269 Macam Pengawasan 270 Glosarium 282 Daftar Singkatan 289 Daftar Pustaka 292 Tahun Anggaran di Berbagai Negara 299 Tabel Sektor/Sub-Sektor/Program 303 Lampiran UU RI No. 29 Tahun 2002 310 Indeks 324

Page 15: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

1

1 Pendahuluan

Barangkali tidak ada satu produkpun, baik berupa barang maupun jasa, yang dihasilkan oleh perseorangan atau kelompok usaha ataupun negara tanpa mengeluarkan biaya. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan barang dan jasa tergantung dari kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang ingin diperoleh. Negara yang sedang membangun, untuk melaksanakan pembangunan baik berupa prasarana fisik maupun nonfisik, tentu membutuhkan pengeluaran biaya. Biaya yang akan dikeluarkan untuk pengadaan barang dan jasa yang ingin diperoleh itu disusun dalam suatu daftar prioritas.

Penyusunan anggaran negara berbeda dengan penyusunan anggaran perseorangan atau rumah tangga. Pada anggaran negara, penyusunannya dimulai dari penyusunan kebutuhan yang diperlukan selama satu tahun anggaran ke depan lebih dahulu dan kemudian baru diperkirakan rencana penerimaannya. Sedangkan pada anggaran perseorangan atau rumah tangga dilakukan sebaliknya, yaitu dengan menyusun pendapatannya lebih dahulu, baru kemudian menyusun daftar pengeluaran kebutuhan rumah tangga tersebut.

Rencana penerimaan dan pengeluaran negara dapat dilihat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Di dalam APBN dapat dilihat berapa rencana penerimaan dan sumber-sumbernya, serta apa dan berapa jenis pengeluaran dalam satu tahun anggaran mendatang.

Mengamati APBN sangat menarik, karena didalamnya tergambar secara operasional bagaimana ia berperan dalam mendorong pertumbuhan, mengendalikan inflasi, meningkatkan kesempatan kerja dan menurunkan tingkat pengangguran. Walaupun ruang lingkupnya

Page 16: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pendahuluan

2

tampak kecil dibandingkan dengan investasi nasional, tetapi anggaran negara sarat dengan strategi yang dapat mendorong masyarakat melakukan kegiatan sesuai dengan misi yang diinginkan oleh negara. Misalnya, APBN itu terdiri dari penerimaan dan pengeluaran, dan masing-masing di dalamnya terdapat unsur kunci yang sangat berpengaruh terhadap kegiatan masyarakat. Di satu sisi dalam penerimaan terdapat unsur pajak, dan di sisi lain, dalam rincian pengeluaran, terdapat pengeluaran rutin dan pembangunan.

Pajak yang menjadi inti dari penerimaan negara bukan hanya berfungsi untuk menambah penerimaan, tetapi juga mempunyai fungsi lain yaitu pemerataan pendapatan dan perangsang seseorang atau masyarakat untuk melakukan investasi. Apabila negara terlalu berlebihan dalam menarik pajak, maka gairah investasi menjadi berkurang, kesempatan kerja pun menurun, dan seterusnya. Walaupun demikian tidak berarti pemerintah harus menghapus pajak sama sekali, mengingat pajak merupakan sumber penerimaan terbesar untuk membiayai pengeluaran negara (lihat Gambar 1). Dalam Gambar 1, yang dikenal dengan Kurva Laffer, diperlihatkan bahwa apabila pajak dipungut 100%, maka tidak sebuah perusahaanpun dapat beroperasi, yang berarti negara tidak akan memperoleh penerimaan pajak sama sekali. Apalagi bila sebaliknya pajak dipungut 0%.

Gambar 1. Kurva Laffer

Tingkat Pajak

0 Pendapatan

Page 17: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

3

Di sisi lain, pengeluaran negara juga mempunyai komponen yang dapat menimbulkan dampak pada pertumbuhan ekonomi (pembangunan jalan, jembatan, dan berbagai sarana dan prasarana ekonomi lain), penciptaan kesempatan kerja (di sektor pengairan, pertanian), pemerataan pendapatan (melalui transmigrasi, industri yang padat karya) dan lain sebagainya, tergantung dari keinginan politik dari mereka yang mengesahkan anggaran.

PENGERTIAN DAN CAKUPAN ANGGARAN NEGARA

Pengertian “anggaran” sebagai terjemahan dari Bahasa Inggris “budget” adalah semacam tas atau dompet besar terbuat dari kulit1). Tas atau dompet besar tersebut biasanya digunakan oleh bendaharawan raja untuk membawa dokumen-dokumen atau catatan-catatan pajak apabila pergi ke parlemen dalam rangka mengusulkan anggaran untuk kerajaan.

Kegunaan anggaran negara adalah untuk mengalokasi sumber-sumber yang langka, sehingga hasilnya dapat mencapai kepuasan yang maksimal antara kebutuhan yang tidak terbatas dengan sumber-sumber yang terbatas adanya. Semua jenis anggaran, baik anggaran perseorangan, anggaran organisasi maupun anggaran negara melibatkan suatu pilihan terhadap kemungkinan pengeluaran. Selama sumber yang tidak terbatas adanya, sedangkan kebutuhan yang tidak terbatas, manusia biasanya selalu membatasi kebutuhannya melalui anggaran. Seorang anak kecil yang ditanya orangtuanya apakah membeli baju baru atau membeli mainan, kalau bisa pasti si anak akan memilih kedua-duanya. Tetapi selama kemampuan orangtuanya terbatas, anak itu harus memilih salah satu, apakah membeli baju atau membeli mainan. Kalau si anak memilih membeli baju baru, tentu itu merupakan pilihan yang memiliki kepuasan paling tinggi baginya.

Prinsip-prinsip tersebut di atas juga berlaku bagi penyusunan anggaran negara. Keterbatasan dana akan memaksa negara melakukan pilihan kegiatan mana yang akan diprioritaskan dibiayai dari anggaran negara.

1) Clarence L. Barnhart dan Robert Barnhart, The World Book Dictionary, (Chicago:

Childcraft International Inc., 1978).

Page 18: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pendahuluan

4

Beberapa Sudut Pandang Anggaran Negara

Para pakar dengan disiplin ilmu yang berbeda mengartikan “anggaran negara” dengan pengertian yang berlainan menurut disiplin ilmu yang ditekuninya. Apabila pengertian anggaran negara ditanyakan kepada para ahli hukum, ahli ekonomi atau ahli politik, maka masing-masing akan memberikan jawaban yang berbeda.

Para ahli hukum menganggap “anggaran negara” adalah rencana pengeluaran pemerintah yang telah disahkan dengan undang-undang. Sebelum anggaran negara dilaksanakan, pemerintah mengajukan rancangan anggaran negara tersebut kepada dewan legislatif. Karena anggaran negara merupakan rencana kegiatan yang dibiayai dari uang rakyat maka sebelum dilaksanakan, anggaran negara tersebut harus disahkan terlebih dahulu dengan undang-undang. Para ahli ekonomi menganggap bahwa “anggaran negara” adalah pengeluaran negara yang mampu mengendalikan kestabilan jalannya perekonomian negara, serta mampu memberikan rangsangan investasi untuk dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. Dengan penyusunan anggaran negara yang baik, negara dapat memecahkan masalah pengangguran, inflasi, pemerataan pendapatan serta pertumbuhan ekonomi. Sedangkan ahli politik mengatakan bahwa “anggaran negara” merupakan alat politik terutama dalam hubungan antara eksekutif dan legistatif. Pada prinsipnya eksekutif adalah yang mengendalikan dan mengelola anggaran negara, sedangkan legislatif adalah yang menjalankan fungsi pengawasan. Dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif itu, yang terjadi pada dasarnya adalah saling mengadu kekuatan antara oposisi yang duduk dalam legislatif dan eksekutif yang mempertahankan.

Dari penjelasan tersebut di atas, perbedaan pendapat mengenai pengertian “anggaran negara” dapat diilustrasikan sebagai tiga orang buta yang mempunyai penafsiran yang berbeda-beda tentang bentuk binatang gajah, tergantung dari apa yang kebetulan dipegangnya. Orang yang kebetulan memegang telinganya menganggap gajah itu pipih dan lebar, seorang yang kebetulan memegang belalai mengganggap bahwa gajah itu panjang, dan seorang lainnya yang kebetulan memegang ekor menganggap gajah itu kecil dan panjang.

Page 19: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

5

Secara umum, “anggaran negara” didefinisikan sebagai suatu rencana untuk penyelesaian program atau kegiatan dalam rangka pencapaian sasaran dalam waktu tertentu (satu tahun), termasuk perkiraan sumber-sumber dana dan daya yang tersedia. Dengan demikian, “anggaran negara” adalah perencanaan yang sistematis oleh negara mengenai pendanaan atas suatu kegiatan yang akan dilakukan dalam waktu yang akan datang selama masa satu tahun.

Dalam RUU Keuangan Negara, anggaran negara didefinisikan sebagai dokumen yang disusun oleh pemerintah dan disetujui oleh lembaga legislatif yang berisi belanja yang diperkirakan untuk melaksanakan kegiatan penyelenggaraan negara dan pendapatan yang diharapkan untuk menutup belanja tersebut pada tahun yang sama.

Perencanaan dan Anggaran

Dari definisi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa sebenarnya dalam pengertian anggaran tercakup pula unsur perencanaan. Perencanaan dalam pengertian yang sederhana dapat diartikan sebagai bentuk pemikiran yang rasional dan terkoordinasi dalam rangka pencapaian sasaran dengan memperhitungkan sumber daya dan sumber dana yang dipergunakan sebagai masukan. Suatu anggaran yang tanpa disertai perencanaan sama artinya dengan kegiatan yang akan dibiayai tanpa mempunyai arah, sehingga pengeluaran yang dilaksanakan akan tidak efisien. Sebaliknya, perencanaan yang tidak memperhitungkan anggaran hanya merupakan impian tanpa kenyataan belaka.

Perencanaan (yang dibuat oleh negara atau pemerintah) biasanya mencakup berbagai bidang, baik bidang sosial maupun ekonomi secara komprehensif, sedangkan penganggaran (negara) hanya mencakup sektor pemerintah saja. Akan tetapi, perencanaan maupun penganggaran sama-sama memerlukan analisis kebijakan dalam pengalokasiannya. Perbedaannya, apabila perencanaan menyangkut pengalokasian dalam rangka pencapaian kinerja perekonomian secara keseluruhan, maka penganggaran menyangkut pengalokasian pada aspek pembiayaannya saja. Perencanaan merupakan suatu kerangka konsep dari pemikiran, sedangkan penganggaran merupakan dokumen operasional.

Page 20: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pendahuluan

6

Tabel 1. Perencanaan dan Penganggaran

PERENCANAAN PENGANGGARAN l. Cakupan Perekonomian

keseluruhan pemerintah Sektor pemerintah

2. Jangka Waktu Jangka menengah dan Jangka panjang

Tahunan

3. Pendekatan Masing-masing sektor pembangunan

Masing-masing departemen yang melaksanakan

4. Isi Kerangka konsep Dokumen operasional 5. Tujuan Pencapaian sasaran Penentuan kebutuhan

anggaran tahunan untuk melaksanakan program

6. Organisasi yang bertanggung jawab

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Departemen Keuangan

Mengapa Anggaran Negara Diperlukan?

Setiap kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dapat dilaksanakan oleh negara atau swasta. Yang menjadi masalah adalah apakah swasta siap untuk melaksanakan semua kegiatan yang dibutuhkan oleh masyarakat itu, termasuk misalnya membangun angkatan bersenjata, menjalankan program hukum seperti lembaga pemasyarakatan dan sebagainya. Swasta dalam melaksanakan kegiatan mempunyai kecederungan profit motive, yaitu memilih setiap usaha yang dapat menguntungkan. Jadi alasan utama mengapa anggaran negara diperlukan, antara lain, adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dilaksanakan oleh swasta. Kebutuhan yang biasanya dilimpahkan pemenuhannya kepada negara adalah:2)

2) Kunarjo, “Perencanaan Operasional Tahunan” Makalah dalam Kursus

Pendidikan Perencanaan Nasional Angkatan XXX, LPEM UI, 27 Juni 2001.

Page 21: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

7

1) Kebutuhan untuk barang atau jasa yang bersifat kolektif, misalnya kebutuhan akan pertahanan negara (tentara, polisi), pengendalian banjir, taman-taman kota dan lain sebagainya.

2) Pengeluaran-pengeluaran untuk mengantisipasi perubahan demografis, seperti kenaikan jumlah penduduk dengan adanya kelahiran warga baru yang membutuhkan perluasan program-program pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan.

3) Penanganan dampak perkembangan teknologi berupa polusi, misalnya polusi udara dan air yang diakibatkan oleh perkembangan industri.

4) Investasi yang mengakibatkan risiko tinggi, seperti energi nuklir sebagai sumber tenaga listrik. Apabila terdapat risiko tinggi, maka sektor swasta tidak mempunyai gairah untuk menginvestasikan secara besar-besaran di negara yang bersangkutan.

5) Penelitian untuk menciptakan teknologi baru yang memerlukan biaya besar, dengan harapan investasi tersebut akan menurunkan biaya produksi di masa depan dan memperbesar pemasukan pajak.

Mengapa Anggaran Negara Harus Dipertanggungjawabkan?

Pengeluaran anggaran negara harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat karena dua hal: Pertama, dari segi penerimaan: Pemungutan pajak yang membebani masyarakat berarti merupakan pengorbanan dari mereka. Dengan membayar pajak, masyarakat telah kehilangan kesempatan untuk melakukan konsumsi dan investasi yang seharusnya dapat dilakukan, sedangkan pajak yang sudah diserahkan kepada negara tidak diketahui kegunaannya. Untuk itu negara perlu membuktikan bahwa pajak yang diterima dari masyarakat telah digunakan untuk keperluan seluruh masyarakat, walaupun sifatnya berupa pengeluaran-pengeluaran yang kolektif atau untuk keperluan bersama, misalnya untuk pembangunan jalan, sarana pendidikan, kesehatan, pertahanan dan lain sebagainya. Kedua, dari segi pengeluaran: Makin besar anggaran yang dikeluarkan, makin besar pula yang harus dipertanggungjawabkan.

Page 22: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pendahuluan

8

Pertanggungjawaban pengeluaran dilakukan melalui dua langkah. Pertama adalah ketelibatan legislatif dalam pengawasan. Pengawasan ini tidak terbatas pada jenis pengeluarannya tetapi juga pada volume serta biayanya. Kedua adalah orientasi pada manajemen dengan menekankan efisiensi terhadap kegiatan yang sedang berjalan.

Anggaran Negara dan Anggaran Perusahaan

Penyusunan anggaran negara agak berbeda dengan penyusunan anggaran perseorangan atau perusahaan. Perbedaannya dapat digambarkan sebagai berikut:

1) Anggaran negara melibatkan berbagai macam aktor yang masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda-beda serta tingkat kekuasaan yang berbeda-beda pula. Di Indonesia, aktor-aktor tersebut adalah, misalnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pejabat yang duduk di Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan, pejabat di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang terkait dengan anggaran, pejabat di masing-masing departemen/lembaga yang terlibat mengelola anggaran negara, pejabat di Pemerintah Daerah (Pemda) yang terlibat dalam penyusunan anggaran, dan lain sebagainya. Berbeda halnya dengan penyusunan anggaran di lingkungan keluarga atau perusahaan yang hanya mempunyai satu kunci pandangan yang sama untuk pencapaian sasaran;

2) Dalam anggaran negara, pejabat yang dipilih untuk mengelola uang rakyat bertanggung jawab kepada rakyat, dan bukan pada dirinya sendiri, sedangkan pada perusahaan, semua kegiatan pemasukan dan pengeluaran uang adalah uang perusahaan itu sendiri dan bukan uang orang lain. Pejabat negara yang berwenang dapat mengeluarkan uang orang lain (rakyat atau warga negara) untuk sesuatu pengeluaran yang sebenarnya tidak mereka kehendaki. Akan tetapi, karena warga negara itu mempunyai perwakilan yang akhirnya dapat mendongkrak kedudukan pejabat yang melakukan penyelewengan terhadap uang negara, pejabat negara itu akan berusaha untuk menaati peraturan yang tidak jauh dari

Page 23: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

9

keinginan rakyat. Karena beragamnya kepentingan para aktor dalam menyusun anggaran yang kadang-kadang berbeda dengan keinginan rakyat, maka konflik pun sulit untuk dihindari. Untuk menciptakan suatu keputusan yang konsisten, proses dalam penyusunan anggaran negara harus memperoleh kesepakatan terlebih dahulu di antara wakil-wakil rakyat serta kelompok-kelompok yang berkepentingan.

3) Karena para pejabat yang berkuasa untuk melakukan pengeluaran uang bagi kepentingan rakyat, maka pertanggungjawaban mereka dalam penyusunan anggaran adalah sangat penting. Penyusunan dokumen anggaran yang menjelaskan kepada masyarakat bagaimana uang dikeluarkan dapat membantu pelaksanaan tanggung jawab ini. Di Indonesia, dokumen-dokumen seperti Nota Keuangan yang dilampiri dengan dokumen lain, seperti rencana pengeluaran untuk sektor-sektor, program-program, dan bahkan kegiatan yang tercantum dalam Daftar Isian Proyek (DIP), sangat membantu dalam menjawab pertanyaan wakil-wakil rakyat mengenai penggunaan uang rakyat itu. Dokumen anggaran ini harus diketahui oleh rakyat melalui wakil-wakilnya agar mereka mengetahui penggunaan dari uang pajak yang mereka bayar.

4) Penyusunan anggaran negara direncanakan secara sistematis mulai dari awal, yaitu dimulai sejak berlakunya tahun anggaran selama satu tahun penuh. Sejak 1969 sampai dengan tahun 2000, tahun anggaran di Indonesia dimulai dari 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Mulai tahun 2000, tahun anggaran ini diubah menjadi sama dengan tahun kalender yaitu dimulai dari 1 Januari dan berakhir pada 31 Desember.3)

3) Tahun anggaran ini berbeda dari satu negara dengan negara lain, misalnya: Afrika Selatan 1 April – 31 Maret Irak 1 April – 31 Maret Arab Saudi 15 Oktober– 14 Oktober Thailand 31 Sept – 30 Sept Australia 1 Juli – 30 Juni Turki 1 Maret – 28/29 Feb Haiti 1 Oktober – 30 September Uganda 1 Juli – 30 Juni

Page 24: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pendahuluan

10

Perubahan-perubahan, baik jumlah dana maupun sasaran, bisa saja terjadi selama berlangsungnya tahun anggaran. Perubahan-perubahan tersebut bisa diakibatkan oleh faktor ekonomi (seperti panen hasil-hasil pertanian), faktor politik, faktor alam dan hubungan antara sumber-sumber keuangan negara dan perkembangan industri dalam negeri.4)

Perubahan-perubahan yang menyangkut anggaran harus disetujui oleh DPR. Di Indonesia, pada akhir tahun 2000, pernah terjadi bahwa Presiden dianggap melanggar undang-undang karena tidak membukukan penerimaan yang diperolehnya dalam anggaran negara. Adapun perubahan-perubahan pada anggaran untuk perusahaan swasta dapat dilakukan secara luwes, dengan kata lain, perubahan-perubahan dapat dibuat dari minggu ke minggu dan dari bulan ke bulan;

5) Anggaran negara lebih kaku dibanding dengan anggaran swasta, dengan kata lain, anggaran negara ini bukan hanya tersusun dengan angka-angka saja tetapi dilengkapi dengan peraturan perundangan yang sangat ketat, sehingga pejabat negara yang mengelola benar-benar harus berhati-hati dan memahami peraturan perundangan yang bersangkutan. Anggaran negara berbeda dengan anggaran perseorangan maupun perusahaan. Negara menghitung rencana pengeluaran lebih dahulu, kemudian mencari sumber penerimaannya.

4) A. Premchand, Government Budgeting and Expenditure Control, International

Monetary Fund, (Washington DC, 1983) hal. 137.

Page 25: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

11

PERANAN PEMERINTAH DALAM ANGGARAN

Peranan pemerintah sangat penting dalam kehidupan bernegara. Selain berperan sebagai pengayom masyarakat, pemerintah juga bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi dalam memenuhi tugas itu, pemerintah tidak dapat bekerja

Jenis

Contoh

Bagan 1. Pengeluaran Negara dan Swasta

Negara

Dimiliki dan diawasi oleh sektor publik

Departemen Perusahaan Negara

Perusahaan yang sahamnya sebagiandimiliki pemerintah

Perusahaan swasta

Swasta

Dimiliki dan diawasi oleh sektor swasta

* Dibiayai oleh Pemerintah * Bersifat kaku karena ketatnya peraturan perundangan

* Sepenuhnya atau sebagian dibiayai oleh Pemerintah * Keluwesan tergantung dari peraturan perundangan yang berlaku * Umumnya melayani fungsi publik

* Departemen-departemen dlm pemerintahan * Pertamina * Perusahaan Listrik Negara

* Dibiayai dari investasi swasta * Dimiliki swasta * Bermotif mencari keuntungan * Dibatasi oleh peraturan perundangan

* Dimiliki dan diawasi oleh swasta * Bermotif mencari keuntungan

* Perusahaan- perusahaan milik pemerintahan daerah

* PT. Astra Internasional

Page 26: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pendahuluan

12

sendiri, karena pemerintah hanya menguasai sekitar 30% dari kegiatan ekonomi negara sedangkan 70% lainnya dikuasai oleh swasta. Berkaitan dengan penyusunan anggaran negara, kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah dapat berdampak positif atau negatif terhadap kegiatan masyarakat. Bidang-bidang yang dipengaruhi tergantung dari kebijakan yang mempunyai korelasi erat dengan bidang bersangkutan. Misalnya, kebijakan tentang perpajakan akan langsung mempengaruhi tingkat investasi, tingkat kesempatan kerja dan tingkat inflasi; kebijakan tentang nilai tukar akan berpengaruh pada ekspor dan impor yang dilakukan oleh masyarakat.

Penting untuk diketahui bahwa pemerintah dapat mengatur penerimaan dan pengeluaran dalam APBN, karena pemerintah mempunyai wewenang untuk melakukan kebijakan berikut ini:

(1) Membeli dan menjual:

Misalnya, untuk menambah penerimaan, negara dapat melakukan penjualan barang dan jasa atau aset yang dimilikinya. Seperti yang terjadi pada sekitar tahun 2000, ketika negara mengalami kesulitan dalam penerimaan, diputuskan untuk menjual beberapa aset negara guna menutup kekurangan penerimaan tersebut.

(2) Mengambil dan memberi:

Negara dapat menarik pajak dari masyarakat, dan penarikan pajak ini berarti mengurangi tingkat konsumsi masyarakat. Pengurangan konsumsi masyarakat dapat mengurangi jumlah permintaan terhadap barang dan jasa di masyarakat. Dan yang terakhir ini dapat berdampak pada penurunan harga-harga barang dan jasa. Demikian sebaliknya negara dapat melakukan kebijakan dengan melakukan “pemberian”, misalnya pemberian subsidi kepada produsen atau konsumen bagi barang atau jasa, terutama dalam rangka menstabilkan harga-harga di pasaran.

(3) Meminjam dan meminjami:

Negara dapat memberikan pinjaman baik kepada pemerintah daerah maupun perusahaan daerah yang membutuhkan, tetapi sebaliknya, negara juga dapat meminjam dari bank-bank swasta atau masyarakat apabila diperlukan.

Page 27: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

13

Sekali lagi, rencana anggaran negara yang tampaknya sederhana ternyata mempunyai latar belakang yang sangat kompleks dan menakjubkan untuk mengatasi masalah di bidang ekonomi makro seperti stabilisasi, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesempatan kerja. Dengan mengamati susunan anggaran negara, banyak hal dapat dikenali yang sebelumnya hanya diketahui sepintas lalu, seperti jumlah program yang dijalankan, banyaknya dana yang masuk ataupun yang keluar, besarnya pinjaman yang dilakukan oleh negara ataupun swasta, jenis penerimaan dan pengeluaran negara, mekanisme pengawasan, banyaknya stakeholder yang terlibat, dan banyaknya prosedur yang harus dilalui. Karena peranannya yang sangat strategis itulah, wajar apabila anggaran negara dipergunakan sebagai ajang perebutan oleh para politisi untuk saling menjatuhkan lawan politiknya.

Penyusunan Anggaran Negara

Mengingat sumber dana yang terbatas, sementara kebutuhan negara tidak terbatas, penyusunan anggaran negara akan lebih efisien apabila dilaksanakan melalui perencanaan yang baik. Bagi negara yang sumber dananya terbatas, pengelola anggaran harus pandai-pandai memilih kegiatan yang menghasilkan manfaat yang optimal. Ukuran “optimal” ini harus mengacu pada tujuan pembangunan masing-masing negara. Tujuan pembangunan bagi negara yang satu dapat berbeda dengan negara yang lain, namun pada umumnya penyusunan anggaran negara harus mempertimbangkan: (a) Keadaan geografis: Apakah suatu negara merupakan negara kepulauan atau daratan yang menyatu; Negara kepulauan memerlukan pengawasan dan transportasi laut yang memadai. Pembangunan armada laut dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan prioritas; (b) Kepadatan penduduk: Kepadatan penduduk perlu diperhitungkan karena mempunyai hubungan dengan berkurangnya lahan untuk pertanian, terutama dikaitkan dengan apabila sebagian besar penduduk hidup dari sektor pertanian. Selama negara belum mampu untuk meningkatkan investasi yang cukup di sektor industri, maka kepadatan penduduk akan mengganggu peningkatan kesejahteraan di daerah pertanian; (c) Distribusi pendapatan: Distribusi pendapatan yang tidak merata, baik antarwilayah maupun antargolongan, akan

Page 28: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pendahuluan

14

rentan terhadap gejolak-gejolak sosial; (d) Situasi politik: Situasi politik yang tidak stabil akan memaksa negara memperkuat kepolisian untuk mengantisipasi gejolak politik dalam negeri. Rencana-rencana pembangunan tidak akan terarah dan pelaksanaan yang tersendat-sendat karena terganggu oleh faktor-faktor eksternal yang menentu; (e) Letak suatu negara di lingkungan negara tetangga: Apabila negara tetangga cukup berbahaya bagi keamanan dalam negeri, maka tidak ada salahnya sektor pertahanan diprioritaskan dalam penyusunan anggaran.

Setelah keadaan atau situasi negara bersangkutan diketahui, maka tahap berikutnya adalah menentukan tujuan dan sasaran berkenaan dengan arah dari rencana penganggaran yang memenuhi keinginan masyarakat. Baru kemudian disusun kebijakan secara lebih rinci mengenai apa dan siapa yang melaksanakan, serta waktu pelaksanaannya. Adanya tujuan umum yang telah ditetapkan lebih dahulu akan memudahkan penyusunan perencanaan lebih lanjut, dengan memilih prioritas kegiatan yang akan dilaksanakan. Misalnya, apakah suatu negara akan lebih memprioritaskan kegiatan sektor pertahanan dan keamanan dari pada melaksanakan kegiatan sektor ekonomi. Apabila pilihan pertama yang diambil, maka harus disadari bahwa investasi di sektor pertahanan dan keamanan memerlukan faktor-faktor produksi berupa tanah, modal, dan tenaga kerja. Ini berarti bahwa faktor-faktor produksi berupa tanah, modal, dan tenaga kerja yang tersisa untuk investasi pada sektor ekonomi akan berkurang, sehingga produksi barang-barang modal dan barang-barang konsumsi di luar sektor pertahanan dan keamanan, yang seharusnya dapat diproduksi, juga berkurang.

Contoh lain, apakah negara akan memprioritaskan kegiatan untuk program irigasi dibandingkan dengan program pembangunan jalan; atau apakah pembangunan gedung-gedung sekolah lebih diprioritaskan dibandingkan dengan merehabilitasi gedung-gedung kantor yang masih cukup berfungsi. Apabila prioritas kegiatan telah ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah menyusun penjadwalan pelaksanaan, yakni kegiatan-kegiatan mana yang akan dilaksanakan terlebih dahulu. Hal ini penting berkaitan dengan ketersediaan dana yang terbatas. Untuk itu, perencana anggaran harus mampu mengalokasikan dana yang tersedia secara optimal untuk kegiatan-

Page 29: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

15

kegiatan yang memang diperlukan lebih awal dari pada kegiatan lainnya.

Aspek Politis Anggaran Negara

Menurut Irene S. Rubin5), anggaran negara bukan hanya terbatas pada teknis manajerial saja, tetapi juga mengandung atau mencerminkan aspek politik di dalamnya, yaitu:

1) Mencerminkan pilihan tentang apa yang perlu dan tidak perlu. Pelayanan apa yang diharapkan dan seharusnya disediakan pemerinah kepada warga negara sebagai anggota masyarakat; apakah pemerintah akan menyediakan fasilitas seperti air minum, listrik, transportasi dan perumahan.

2) Mencerminkan prioritas, misalnya antara pembangunan lembaga kepolisian atau penanggulangan banjir; pemeliharaan kesehatan atau pertahanan negara; prioritas pembangunan kawasan barat atau kawasan timur.

3) Mencerminkan keputusan-keputusan yang proporsional untuk tujuan efektivitas dan efisiensi serta tujuan yang lebih luas bagi negara.

4) Mencerminkan alasan yang kuat untuk pertanggungjawaban kepada masyarakat yang ingin mengetahui bagaimana pemerintah mengeluarakan dana jika pada saatnya hal itu dilakukan.

5) Mencerminkan keinginan warga negara untuk membedakan bentuk sistem perpajakan dan prosentasenya berdasarkan kemampuan kelompok pembayar pajak.

6) Mencerminkan bahwa pada tingkat nasional, anggaran akan mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan, misalnya mendorong pertumbuhan, kesempatan kerja dan tingkat inflasi.

5) Irene S. Rubin, The Politics of Public Budgeting, (New York– London: Chatham

House Publicers, 1997) hal. 2.

Page 30: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pendahuluan

16

Dengan perencanaan anggaran yang baik, suatu organisasi (departemen/lembaga) dapat merencanakan kegiatan yang memenuhi kebutuhannya di masa yang akan datang secara lebih efisien dan terarah. Dengan demikian, sistem penganggaran dapat membantu pemerintah untuk mempertanggungjawabkan serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan programnya.

Terhadap anggaran yang telah disahkan oleh dewan legislatif, pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan pelaksanannya sesuai dengan yang telah disepakati bersama. Masyarakat memper-cayakan kepada anggota dewan legislatif yang telah dipilihnya untuk mengawasi pengeluaran yang telah dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian sistem anggaran dapat juga dikatakan sebagai alat kontrol terhadap pengeluaran yang dilakukan pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyelesaian sasaran-sasaran dan penggunaan anggaran yang telah disepakati bersama. Untuk menuju ke manajemen yang baik, sistem anggaran perlu diikuti secara disiplin. Sistem anggaran juga merupakan alat untuk perencanaan atau rencana kerja dalam rangka pencapaian sasaran yang dituju.

Prinsip-prinsip utama yang harus diperhatikan dalam menyusun anggaran adalah:

1. Mempunyai Prinsip Bijaksana dan Hati-hati

Rencana pengeluaran yang disusun harus memperhitungkan adanya keterbatasan pada penerimaan. Sasaran cakupan yang akan dicapai adalah meliputi masyarakat yang luas yang memiliki latar belakang kebudayaan dan tingkat kehidupan yang berbeda-beda. Untuk itu, anggaran yang direncanakan benar-benar dapat memenuhi kepentingan semua pihak, tanpa ada yang dianak-tirikan. Selanjutnya harus terdapat alasan yang kuat bahwa setiap pengeluaran akan memberikan dampak terhadap pening-katan pendapatan dan akan dilaksanakan dengan efisien;

2. Dampak terhadap Ekonomi Makro

Anggaran negara mempunyai kedudukan yang strategis berkenaan dengan kebijakan penerimaan pajaknya. Ia dapat mengatur atau mendorong ekspor, menghambat konsumsi dan mengatur distribusi pendapatan yang lebih merata. Sebaliknya,

Page 31: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

17

dengan perencanaan pengeluarannya, ia dapat mengatur kesempatan kerja, pendapatan masyarakat pada golongan tertentu, penanggulangan kemiskinan dan lain sebagainya.

3. Penyesuaian terhadap Kebijakan Tahunan yang Perlu dan Berdasarkan Keinginan Rakyat

Situasi negara tidak selalu sama dari tahun ke tahun. Kadang-kadang, pada tahun tertentu dapat saja terjadi situasi yang mengharuskan negara mengeluarkan dana untuk keperluan khusus.

Dana yang Terbatas

Keberadaan anggaran adalah untuk dapat mengalokasikan kebutuhan yang ingin diperoleh secara maksimal yang disesuaikan dengan keterbatasan dana. Apabila dana itu tidak terbatas, maka penyusunan anggaran untuk pemenuhan kebutuhan barang dan jasa tidak diperlukan karena berapapun jumlah barang dan jasa yang dibutuhkan akan dapat dipenuhi. Jadi, penyusunan anggaran itu diperlukan justru karena adanya keterbatasan tersebut.

Semua sistem anggaran, baik yang disusun oleh perseorangan, dan kelompok usaha maupun oleh negara, akan melibatkan pilihan di antara jenis-jenis kebutuhan yang ingin diperoleh dengan memaksimalkan tingkat kepuasan sesuai dengan jumlah dana yang tersedia. Karena pilihan barang dan jasa itu sangat banyak jenisnya, maka orang harus menyusun skala prioritas untuk masing-masing barang dan jasa yang diperlukan. Demikian pula apabila pilihan lebih dari satu jenis barang, maka untuk mencapai kepuasan yang maksimal, orang akan memilih kombinasi dengan jumlah nilai kepuasan yang paling tinggi.

Tingkat kepuasan untuk kombinasi lebih dari satu barang dan jasa dapat digambarkan dengan suatu kurva yang disebut “kurva indifference” 6) seperti pada Gambar 2.

6) P. R. G. Layard and A. A. Walters, Microeconomic Theory, (New York:

McGraw-Hill Book Company, 1978) hal. 8.

Page 32: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pendahuluan

18

Pada gambar ini dimisalkan ada dua kegiatan atau barang, yaitu barang x pada garis horizontal dan barang y pada garis vertikal. Titik-titik sepanjang kurva indifference c1c1, menunjukkan kombinasi barang x dan y yang mempunyai tingkat kepuasan yang sama. Sebagai contoh, kombinasi antara barang x sebesar dua unit dan barang y sebesar lima unit (yang bertemu pada titik A) mempunyai tingkat kepuasan yang sama dengan kombinasi antara barang x sebesar empat unit dan barang y sebesar tiga unit (yang bertemu di titik B).

Gambar 2. Kurva Indifference

Apabila kurva indifference makin bergeser ke kanan (c2c2), maka tingkat kepuasan menjadi lebih besar. Hal itu terjadi karena pada kurva indifference yang bergeser ke kanan, baik barang x maupun barang y menunjukkan jumlah yang lebih banyak. Keputusan akhir atas pilihan kombinasi barang x dan barang y itu tergantung dari tersedianya jumlah anggaran yang digambarkan pada garis AB. Garis ini disebut garis anggaran atau garis harga, karena selain menunjukkan jumlah anggaran juga menunjukkan harga barang x dan y. Dalam Gambar 3, dari jumlah anggaran tertentu apabila dibelanjakan untuk barang x saja, akan diperoleh tujuh unit barang x,

Barang x

1

2

3

5

4

6

1 2 3 4 5 6

C1

A

B

C1

7

C2

C

Barang y

0

Page 33: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

19

(dan nol unit barang y). Sebaliknya apabila jumlah anggaran dibelanjakan nol unit untuk barang y saja, didapatkan enam unit barang y (dan nol unit barang x). Dalam garis ini tampak bahwa harga barang y lebih mahal dibandingkan dengan barang x. Apabila, karena sesuatu hal, komposisi harga itu terbalik, misalnya barang x lebih mahal dibandingkan dengan barang y, maka garis itu akan berubah yakni bergeser ke kiri seperti yang digambarkan pada garis anggaran yang putus-putus.

Gambar 3. Garis Anggaran

Kombinasi jumlah barang x dan y yang menghasilkan kepuasan maksimal adalah terletak di titik dimana kurva indifference c1c1 menyinggung garis anggaran di titik E, yaitu kombinasi barang x sebesar 3 unit dan barang y sebesar 3,5 unit. Kombinasi yang menghasilkan selain titik E tersebut berarti tidak efisien.

Dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya penyusunan anggaran harus mempertimbangkan: (a) nilai kepuasan; (b) harga dari masing-masing jenis barang dan jasa; dan (c) jumlah dana yang tersedia.

1

2

3

5

4

6

1 2 3 4 5 6 7

E

c

c

Barang x

Barang y

0

Page 34: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pendahuluan

20

Fungsi Anggaran

Dalam penganggaran ada tiga fungsi7) penting sebagaimana diuraikan di bawah ini.

- Fungsi Alokasi

Semua kebijakan pemerintah memberikan dampak pada alokasi anggaran. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, apabila pemerintah memilih kebijakan untuk memprioritaskan sektor pertahanan maka modal dan tenaga kerja akan tersedot ke sektor itu yang berdampak pada pengurangan penyediaan modal dan tenaga kerja yang dialokasikan untuk memproduksi barang dan jasa di sektor ekonomi. Lebih banyak modal dan tenaga kerja yang dialokasikan ke sektor pertahanan, makin kurang modal dan tenaga kerja yang dipergunakan untuk sektor ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah perlu menentukan barang dan jasa apa yang hendak diperoleh lebih banyak dan barang dan jasa apa yang hendak diperoleh lebih sedikit. Apabila negara ingin menyediakan lebih banyak makanan untuk rakyat maka ini berarti harus mengurangi produksi barang lain yang bukan makanan.

- Fungsi Distribusi

Negara bertanggung jawab tidak hanya untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh rakyat, tetapi juga untuk mendistribusikan barang dan jasa itu secara lebih merata. Kebijakan negara untuk mendistribusikan barang dan jasa biasanya tidak lepas dari pertanyaan: siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Kebijakan distribusi biasanya tidak dapat merata, dalam arti pasti ada kelompok-kelompok atau perseorangan yang lebih diuntungkan. Apabila pemerintah menaikkan pajak rokok misalnya, tentu tidak dapat dilakukan perbedaan penerapan antara rokok yang dikonsumsi oleh orang kaya dan yang dikonsumsi oleh orang miskin.

7) Edgar K. Browning and Jacquelene M. Browning, Public Finance and the Price

System, (New York: MacMillan Publishing Co., Inc. 1979) hal. 2.

Page 35: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

21

Pada contoh di atas, kelompok orang miskin cenderung akan dipungut pajak rokok dengan prosentase yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kelompok orang kaya, bila dikaitkan dengan pendapatan kelompok masing-masing. Demikian pula, kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) akan merugikan orang yang berpendapatan rendah karena mereka mengkonsumsi BBM yang sama dengan orang kaya.

Khusus di Indonesia yang mempunyai wilayah yang luas dengan tingkat kemajuan perekonomian dan penyediaan sarana dan prasarana yang berbeda-beda, negara harus melakukan campur tangan dengan melaksanakan fungsi distribusi dari anggaran secara benar. Dalam rangka pengentasan masyarakat dari kemiskinan misalnya, harus ada campur tangan negara untuk menanggulanginya, seperti yang dikenal selama ini dengan program-program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Kukesra dan Takesra, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan lain sebagainya.

Masalah pemerataan, apabila dikaitkan dengan pertumbuhan, memang cukup unik. Pertumbuhan ekonomi belum tentu dibarengi dengan tidak adanya kesenjangan antarpendapatan, sementara adanya kesenjangan belum berarti tidak adanya pertumbuhan. Hal ini dapat diibaratkan dengan dua jalur terowongan yang masing-masing dilalui kendaraan yang padat. Pada suatu saat kedua jalur itu tiba-tiba mengalami kemacetan (tunnel effect). Apabila jalur sebelah kiri sudah mulai bergerak, maka mereka yang melalui jalur sebelah kanan pasti berharap akan segera bergerak pula. Lebih lanjut, apabila gerak lalu lintas sebelah kiri sudah mulai cepat dan jalur kanan masih tetap tidak bergerak, mereka yang berada di jalur kanan sudah mulai cemas dan frustasi.

Dalam suatu negara yang sedang membangun, ilustrasi seperti di atas dapat saja terjadi. Si kaya dapat lebih cepat meluncur, sedangkan si miskin mandeg di tempat. Kalau keadaan sudah demikian, si miskin akan mulai frustasi.

Page 36: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pendahuluan

22

Frustasi itu bisa mengakibatkan tindakan agresif8). Walaupun demikian, teori Pareto Optimal masih bisa mengatakan bahwa kalaupun si miskin mandeg, selama tidak lebih buruk, secara nasional kecepatan ”si kaya” masih menguntungkan karena masih ada pertumbuhan, meskipun pertumbuhan tersebut sebagian besar berasal dari ”si kaya”.

Kebijakan pengeluaran dan penerimaan negara berkaitan erat dengan kebijakan moneter yang berhubungan dengan ekonomi secara agregat, kesempatan kerja, output, dan harga. Masalahnya adalah bagaimana kebijakan anggaran sekaligus dapat menanggulangi kemiskinan atau menciutkan kesenjangan tingkat pendapatan antargolongan masyarakat, antardaerah dan antar-sektor.

- Fungsi Stabilisasi

Stabilisasi yang merupakan salah satu fungsi anggaran diartikan sebagai kemampuan anggaran menjadi alat pengendalian inflasi. Dengan kata lain, apakah anggaran dapat disusun secara ekspansif atau kontraktif, banyak tergantung dari keadaan stabilitas perekonomian pada tahun yang bersangkutan. Dalam keadaan negara mengalami inflasi cukup tinggi, maka biasanya diterapkan anggaran yang bersifat kontraktif. Dalam kaitan ini variabel-variabel makro ekonomi juga perlu diperhitungkan dalam hal menjadi faktor yang diharapkan tidak bersifat kontradiktif. Sebagai contoh, dalam keadaan inflasi yang cukup tinggi, ketika anggaran negara telah disusun secara kontraktif, ternyata dunia perbankan melakukan kebijakan yang ekspansif. Secara nasional hal demikian merupakan suatu kebijakan yang saling berlawanan.

Kecuali fungsi-fungsi tersebut di atas, kita masih mengenal fungsi anggaran negara lainnya, yaitu:

Sebagai alat untuk Menyeimbangkan antara Penerimaan dan Pengeluaran

8) Robert A. Baron and Doma Byrne, Social Psychology, (Boston, MASS: Allyn and

Bacon, 1994) hal. 444.

Page 37: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

23

Banyak negara menganut prinsip anggaran berimbang, di mana jumlah penerimaan sama dengan jumlah pengeluaran. Indonesia, sejak tahun 1969/1970 sampai tahun 2000 menganut sistem ini di dalam APBN-nya. APBN yang merupakan rencana anggaran negara ini digunakan sebagai acuan para pelaksana anggaran untuk mempercepat atau memperlambat pelaksanaan anggaran sesuai dengan yang telah disahkan oleh dewan legislatif.

Pertanggungjawaban

Rakyat yang membayar pajak mempercayakan pemerintah dengan aparatnya, yaitu departemen atau lembaga negara, untuk melaksanakan kegiatan yang mereka inginkan, dan wakil-wakil rakyat yang duduk di dewan legislatif melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang dilaksanakan itu. Anggaran juga merupakan alat untuk pengawasan: apakah suatu departemen/lembaga telah melaksanakan tugas yang dibebankan oleh rakyat itu secara benar.

Proses Hukum

Sebelum dilaksanakan, anggaran telah melalui proses pengesahan oleh dewan legislatif. Apabila dalam proses perjalanan terjadi perselisihan antara legislatif dan eksekutif tentang pelaksanaan anggaran, maka anggaran itu merupakan dokumen resmi yang dapat dipakai oleh eksekutif sebagai pegangan dalam mempertahankan argumentasinya.

Pengawasan

Departemen atau lembaga negara dapat saja melaksanakan pengeluaran yang melebihi batas yang telah ditentukan. Mekanisme birokrasi dalam pemerintahan memungkinkan hal itu. Banyak alasan bagi departemen atau lembaga untuk mengeluarkan dana yang melebihi ketentuan, misalnya terjadinya bencana alam yang tidak dapat diduga sebelumnya. Anggaran tetap menjadi alat pengawasan bagi anggota legislatif untuk menghambat pengeluaran yang melebihi ketentuan atau meminta agar pengeluaran disahkan terlebih dahulu oleh legislatif.

Kebijakan Pemerintah

Page 38: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pendahuluan

24

Setiap kebijakan pemerintah yang timbul secara mendadak akan membutuhkan biaya. Kebijakan itu masih mungkin ditanggulangi tanpa harus mengeluarkan anggaran tambahan, misalnya, dengan cara mengalokasikan dari anggaran yang tersedia. Dalam hal ini pemerintah harus bersikap transparan dan dewan legislatif dapat membantu dengan menyarankan sektor dan program yang anggarannya harus direalokasi.

Alat Perencanaan

Sistem anggaran yang baik menuntut para pejabat di departemen/lembaga untuk mampu menyusun biaya program yang tidak hanya berlaku dalam satu tahun, tetapi juga beberapa tahun ke depan. Walaupun sistem anggaran berlaku hanya satu tahun anggaran, tetapi exercise-nya tidak berarti harus hanya untuk satu tahun melainkan dapat lebih dari satu tahun anggaran.

Displin Ilmu dan Kriteria Penyusunan Anggaran Negara

Dari segi ilmu, pengetahuan tentang anggaran negara sulit untuk dikelompokkan apakah termasuk dalam ilmu keuangan negara, ilmu ekonomi, atau ilmu administrasi negara. Selama ini penyusunan anggaran telah dipengaruhi oleh sistem politik, teori ekonomi, pendekatan manajemen, sistem akuntansi, dan juga administrasi negara. Disiplin ilmu di atas diibaratkan sebagai cabang-cabang dari sebuah pohon yang disebut “anggaran”, yang tumbuh sebagai pohon yang tampak lebih alami.

Para penyusun anggaran negara atau mereka yang ingin mendalami masalah itu memerlukan pengetahuan yang berhubungan dengan beberapa disiplin ilmu yang mempengaruhi penyusunannya. Disiplin ilmu yang dimaksud dan kaitannya dengan penyusunan anggaran negara dijelaskan sebagai berikut:

- Ilmu Politik. Anggaran negara adalah alat politik bagi eksekutif dalam menghadapi legislatif. Oleh karena itu, penyusunan anggaran tidak lepas dari kemauan politik dari ekseksutif untuk dapat tetap diakui keberadaannya oleh legislatif. Pada prinsipnya antara eksekutif dan legislatif harus dicapai kompromi untuk menghasilkan bentuk anggaran yang

Page 39: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

25

dapat dilaksanakan dan memenuhi keinginan masyarakat. Memang untuk memperoleh kompromi biasanya bukan merupakan hal yang mudah, karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang berbeda-beda.

- Ilmu Ekonomi. Penyusunan anggaran diharapkan dapat menyumbangkan peningkatan pendapatan nasional dan menjaga kestabilan perekonomian negara. Oleh karena itu, penyusunan anggaran tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan ilmu ekonomi, terutama tentang perpajakan, ekspor, impor, moneter dan lain sebagainya.

- Akunting. Dengan akunting bisa diketahui perhitungan-perhitungan keuangan negara dari sisi pendapatan dan pengeluaran serta surplus dan defisitnya. Hal ini sangat berguna dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran.

- Psikologi. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia yang dalam kaitan dengan anggaran negara berperan sebagai produsen, konsumen dan pembayar pajak. Anggaran negara, baik penerimaan maupun pengeluaran, tidak dapat dipisahkan dari kelakuan manusia atau warga negara dalam kecenderungannya untuk melakukan kegiatan pengeluaran dan membayar pajak.

- Administrasi Negara. Ilmu administrasi negara memberi informasi mengenai mekanisme yang biasanya tercermin dalam peraturan tentang administrasi keuangan negara yang berlaku. Untuk mencapai tujuannya, anggaran negara harus mengikuti perangkat hukum atau peraturan-peraturan tentang hal-hal yang membolehkan atau tidak membolehkan para pelaksana.

Para penyusun anggaran negara harus memahami bahwa anggaran itu dibuat untuk kepentingan rakyat, sehingga penyusunannya perlu mengikuti kriteria, antara lain sebagai berikut:9)

Didasarkan atas Persetujuan antara Eksekutif dan Legislatif

9) Aaron Wildavsky dan Naomi Caiden, The New Politics of The Budgetary Process,

(New York: Longman, 1997) hal. 45-48.

Page 40: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pendahuluan

26

Anggaran negara diajukan oleh pemerintah dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Anggaran negara itu bersumber dari dana yang dikumpulkan dari hasil pajak, yang artinya adalah uang rakyat yang harus dipertanggungjawabkan penggunaannya. Dewan Perwakilan Rakyat, yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil rakyat yang terpilih, berhak untuk menanyakan penggunaan uang yang telah dikumpulkan dari pajak itu. Jadi, anggaran negara merupakan bentuk pertang-gungjawaban kepada rakyat bahwa hasil pajak benar-benar telah digunakan untuk kepentingan rakyat.

Sederhana

Anggaran negara disusun sedemikian rupa sehingga rakyat dapat memahami tentang pengalokasian dana yang berasal dari pajak maupun sumber lainnya. Dengan penyederhanaan komposisi anggaran ini, maka administrasi anggaran juga tidak menjadi rumit yang sulit untuk dipahami oleh masyarakat.

Memasyarakat

Anggaran negara disusun dengan tujuan untuk mengalokasikan sumber daya nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, alokasi anggaran disusun sedemikian rupa agar bisa dipercaya, dan dapat menjawab segala pertanyaan yang diajukan oleh rakyat yang membiayai. Karena pelaksanaan anggaran memerlukan kebijakan tertentu, maka setiap kebijakan harus disosialisasikan terlebih dahulu kepada rakyat agar rakyat memahami apa yang akan dilaksanakan oleh negara.

Memuaskan Semua Pihak

Mengingat anggaran negara adalah milik rakyat, maka sebaiknya penyusunannya berpihak kepada masyarakat luas, dalam arti tidak ada kelompok yang diuntungkan dan tidak ada kelompok yang dirugikan, sehingga segala masalah negatif, yang akan timbul karena ketidakpuasan salah satu kelompok, dapat dihindari.

Page 41: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

27

Disiplin

Anggaran negara berlaku selama satu tahun, yaitu selama tahun anggaran. Sejak tahun anggaran dimulai, pelaksanaan pengeluaran negara sudah harus dimulai dan selesai pada akhir tahun anggaran. Apabila kegiatan yang didanai belum selesai dikerjakan, maka kegiatan ini terpaksa harus dihentikan dan dana yang tersisa menjadi hangus. Oleh karena itu, menjelang akhir tahun anggaran, untuk dapat dianggap mempunyai kinerja yang baik, para pemimpin proyek biasanya berusaha mengejar waktu yang tersisa agar dananya tidak hangus, walaupun kegiatan yang dilaksanakan bisa menjadi tidak efisien.

Berurutan

Pelaksanaan anggaran dimulai dari persiapan, dilanjutkan dengan pelaksanaan, dan akhirnya evaluasi. Kegiatan-kegiatan tersebut berurutan dari langkah pertama, kedua, sampai terakhir dan tidak dapat dibalik. Dengan demikian, para penyelenggara anggaran sudah harus mengetahui kegiatan apa yang akan dimulai, dan kegiatan mana yang dilakukan pada langkah berikutnya.

Page 42: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

240

11 Siklus Anggaran

Siklus anggaran adalah kegiatan selama tahun anggaran berjalan, yaitu dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Tahun anggaran ditandai dimulainya pengesahan anggaran sampai dengan penutupan pada akhir tahun.

Selama tahun anggaran berjalan, siklus anggaran terdiri dari 4 (empat) tahap,1) yaitu: (1) Tahap persiapan; (2) Tahap pengesahan; (3) Tahap pelaksanaan dan (4) Tahap pengawasan. Empat tahap tersebut dilaksanakan oleh organisasi yang berbeda-beda. Tahap persiapan dilaksanakan oleh Bappenas dan Departemen Keuangan; tahap pengesahan dilakukan oleh Presiden setelah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat; tahap pelaksanaan dilaksanakan oleh masing-masing departemen teknis di pusat maupun di daerah; tahap pengawasan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan unit pengawasan di masing-masing departemen teknis.

Masa pelaksanaan masing-masing tahap tersebut tidak sama, misalnya tahap persiapan dilaksanakan dalam beberapa bulan sebelum tahun anggaran dimulai. Tahap pengesahan dilaksanakan pada awal tahun anggaran dimulai dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Tahap pelaksanaan dilaksanakan secara terus menerus sepanjang tahun anggaran berjalan. Tahap pengawasan juga dilaksanakan secara terus menerus dimulai pada awal tahun anggaran sampai tahun anggaran berakhir, bahkan tahap pengawasan ini dapat dilakukan

1) Robert D. Lee, Jr and Ronald W. Johnson, Public Budgeting System, (Maryland:

Aspen Publishers, Inc., 1998) hal. 47.

Page 43: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

241

sejak tahun angaran dimulai, yaitu apa yang disebut dengan pengawasan perencanaan.

TAHAP PERSIAPAN

Tahap persiapan dilaksanakan jauh hari sebelum tahun anggaran dimulai. Dalam tahap ini dua instansi di pusat, yaitu Bappenas dan Departemen Keuangan, masing-masing bekerja menurut fungsinya yang kemudian disinkronkan sebelum disusun dalam suatu dokumen yang disebut Nota Keuangan untuk diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Bappenas

Beberapa bulan sebelum tahun anggaran dimulai, Bappenas memulai dengan melakukan evaluasi terhadap program-program yang sedang berjalan, apakah ada hambatan pada program bersangkutan. Terhadap program yang tidak memenuhi sasaran dicari penyebabnya untuk perbaikan pada pelaksanaan program-program yang akan datang.

Bappenas menyusun perencanaan makro berdasarkan asumsi-asumsi yang telah dibuat, seperti pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran, tingkat inflasi, pertumbuhan tenaga kerja, perkiraan penerimaan pajak, nilai tukar valuta asing, harga BBM di pasar internasional, tingkat suku bunga dan lain sebagainya. Dalam penyusunan asumsi-asumsi tersebut di atas dibicarakan pula dengan instansi-instansi yang terkait lainnya, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.

Perkiraan-perkiraan perhitungan makro anggaran negara tersebut dibicarakan dengan panitia aggaran di Dewan Perwakilan Rakyat yang terdiri dari komisi-komisi untuk mendapatkan arahan dan penyempurnaan. Pembicaraan dengan panitia anggaran tersebut dilaksanakan sekitar pertengahan Bulan Maret, sebelum tahun anggaran baru dimulai. Asumsi yang disusun oleh pemerintah bukan tidak mungkin direvisi lagi oleh DPR sebelum pemerintah menyusun anggaran. Misalnya, asumsi yang disusun oleh pemerintah untuk pelaksanaan RAPBN 2003 oleh DPR telah direvisi sebagai berikut:

Page 44: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

242

Tingkat Pertumbuhan Usul Pemerintah Ditetapkan DPR

Tingkat Pertumbuhan 5% 4%

Tingkat Inflasi 8% 9%

Nilai Tukar $USD Rp8 700 Rp 9,000

Harga BBM di Pasar Int. USD 20,5/barel USD 22,0/barel

Tingkat Bunga 13% 13%

Pada tahap persiapan ini Bappenas mengumpulkan informasi tentang kebutuhan departemen/lembaga dan daerah tentang program-program yang diusulkan untuk didanai dalam tahun anggaran yang akan datang.

Metode untuk mendapatkan informasi kepada departemen/ lembaga serta pemerintahan daerah, mengggunakan 3 (tiga) alternatif, yaitu dengan menggunakan asumsi sebagai berikut: Pertama, dana yang disediakan terbuka atau tidak terbatas sehingga departemen/lembaga bisa dengan bebas memilih program yang diusulkan; Kedua, departemen/lembaga mengusulkan dengan asumsi bahwa dana yang tersedia terbatas sampai dengan jumlah kenaikan persentase tertentu dari anggaran sebelumnya; Ketiga, anggaran yang diusulkan didasarkan pada skala prioritas. Ketiga metode tersebut memiliki kebaikan dan keburukan masing-masing, antara lain: metode yang pertama dikhawatirkan dengan keterbukaan pagu anggaran akan mengakibatkan program yang diusulkan hanya merupakan shopping list sehingga pembuat keputusan sulit mengetahui program-program mana yang merupakan prioritas bagi si pengusul. Apabila usulan dari departemen teknis dan daerah tidak dibatasi, maka dapat terjadi bahwa “pemotongan” yang dilakukan membabi-buta tanpa memperhitungkan prioritas dan latar belakang proyek sehingga mengakibatkan anggaran tersebut secara keseluruhan tidak mencapai kinerja yang optimal. Alternatif yang kedua, terlalu kaku dan tidak diketahui apa yang diprioritaskan oleh departemen/lembaga. Selain itu juga menimbulkan pengalokasian anggaran yang kurang adil di antara departemen/lembaga. Alternatif yang ketiga cukup memadai, tetapi jumlah anggaran yang belum diketahui membuat departemen/lembaga sulit mengetahui berapa yang akan dialokasikan untuk program-programnya.

Page 45: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

243

DUP yang diusulkan oleh departemen/lembaga ini seharusnya telah dibicarakan dengan daerah melalui instansi vertikalnya di daerah yang bersangkutan. Usulan dari departemen/ lembaga dan pemerintah daerah dikoordinasikan melalui rapat-rapat koordinasi dari tingkat desa sampai ke tingkat pusat. Rapat koordinasi tersebut dijadwalkan jauh sebelum penyusunan akhir anggaran negara yang disesuaikan dengan urutan waktunya.

DUP disampaikan oleh departemen/lembaga dan daerah kepada Bappenas dan Departemen Keuangan untuk dievaluasi. Daftar Usulan Proyek (DUP) ini biasanya akan jauh lebih besar jumlahnya jika dibandingkan dengan rencana penyediaan dana.

Walaupun pada waktu DUP diterima masih belum ada pagu anggaran yang pasti, tetapi pengelola anggaran pusat dengan pengalaman tahun-tahun sebelumnya telah mengetahui ancar-ancar penyediaan dana dalam APBN yang akan datang. Bappenas dan Departemen Keuangan mengevaluasi DUP antara lain sebagai berikut:

Apakah program/proyek termasuk dalam Propenas?

Apakah program/proyek itu merupakan proyek baru atau lanjutan?

Apakah program/proyek yang diusulkan mendukung pinjaman luar negeri yang akan diterima dari negara donor?

Apakah program/proyek itu mempunyai kaitan dengan proyek-proyek lain yang perlu didukung?

Apakah program/proyek cepat menghasilkan?

Apakah program/proyek mendukung peningkatan ekspor dan peningkatan kesempatan kerja?

Apakah program/proyek sudah mempunyai studi kelayakan?

Apabila program/proyek itu sementara dapat diterima, maka program/proyek itu dikelompokkan dalam klasifikasi fungsional (sektor, sub sektor, dan program), dan disusunlah Satuan 2 untuk departemen yang bersangkutan.

Page 46: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

244

Formulir 2. Daftar Usulan Program (DUP)

Page 47: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

245

II. TUJUAN DAN SASARAN PROGRAM

1. Tujuan Program

2. Sasaran Program

3. Dampak Program

Page 48: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

246

REKAPITULASI RENCANA PROGRAM PEMBANGUNAN TA. 2002

Departemen/Lembaga : (dalam ribuan rupiah)

No Program Rupiah Murni

Dana Pendamping

Pinjaman/Hibah Luar Negeri Pusat

Dekonsen-trasi

Tugas Pembantuan

1 2 3 4 5 6 7

J U M L A H

........................................... 2001 An. Menteri/Ketua Lembaga

........................................

Page 49: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

247

Departemen Keuangan

Selama Bappenas membuat perkiraan-perkiraan tentang pengeluaran anggaran untuk tahun anggaran yang akan datang, Departemen Keuangan membuat perkiraan tentang sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan departemen dan daerah pada tahun anggaran bersangkutan. Exercise ini dilakukan terutama dengan melihat sumber-sumber perpajakan dan penerimaan non-pajak serta penerimaan lainnya.

Penyusunan rencana penerimaan biasanya menggunakan asumsi tertentu. Perkiraan penerimaan dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, antara lain, pertama, dengan mengamati kenaikan penerimaan tahun-tahun sebelumnya, kemudian menarik kesimpulan untuk memperkiraan penerimaan pada tahun yang akan datang. Cara sebenarnya ini tidak merupakan cara yang terbaik, karena pada tahun yang bersangkutan penerimaan yang diharapkan dari sumber-sumber tertentu mungkin sudah mulai jenuh, sehingga kemampuan kenaikannya tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Penerimaan pajak, misalnya, dalam dua atau tiga tahun sebelumnya barangkali dapat dinaikkan dengan prosentase yang tinggi, karena cakupannya masih dapat ditingkatkan. Tetapi apabila cakupan penerimaan pajak sudah mendekati maksimal, kenaikan penerimaan dengan prosentase yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya dari sumber ini sulit untuk dapat dijangkau. Perkiraan penerimaan negara dengan menggunakan asumsi seperti itu belum dapat dijamin kebenarannya. Misalnya, dari peningkatan pendapatan masyarakat diharapkan terjadi pula peningkatan tabungan masyarakat. Tetapi peningkatan pendapatan masyarakat itu sendiri pada kenyataannya bisa diikuti dengan peningkatan konsumsi sehingga harapan meningkatnya tabungan masyarakat tidak tercapai. Kedua, contoh metode penggunaan asumsi adalah berkenaan dengan harga minyak di pasar internasional. Harga minyak diprediksi meningkat apabila musim dingin tiba atau terjadi pergolakan di kawasan-kawasan tertentu yang akan mengakibatkan permintaan minyak dunia meningkat. Dengan meningkatnya permintaan dunia itu, harga minyak internasional diharapkan naik sehingga menguntungkan negara produsen minyak. Bagi Indonesia, sebagai negara yang memiliki sumber minyak, kenaikan harga minyak di dunia internasional akan mempengaruhi besarnya penerimaan

Page 50: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

248

negara dari sumber pajak yang berasal dari minyak bumi.

Asumsi tentang naiknya harga minyak tersebut bisa tidak menjadi kenyataan. Sebagai contoh, kejadian pada tahun 1986 membuktikan bahwa harga minyak yang diasumsikan semula dalam APBN sebesar USD 25 per barrel ternyata anjlok sampai ke angka USD 9 per barrel pada awal pelaksanaan anggaran. Hal ini menjadi pelajaran bahwa harga minyak di dunia internasional sulit diperkiraan. Disamping pihak memperkirakan jumlah pengeluaran sama sulitnya dengan memperkirakan jumlah pendapatan negara.

Berapa jumlah anggaran tahunan yang akan ditetapkan dalam pengalokasian untuk masing-masing sub-sektor, program dan proyek tidak kurang sulitnya dibandingkan dengan memperkirakan penerimaan negara. Pengalokasian anggaran pada masing-masing sektor banyak tergantung dari: (a) situasi perekonomian negara pada tahun yang bersangkutan, (b) situasi politik dan keamanan, (c) satuan harga pada proyek-proyek yang menjadi beban pembangunan sektor yang bersangkutan.

Departemen/Lembaga

Dalam rangka mempersiapkan RAPBN dalam tahun anggaran sebelumnya, departemen/lembaga telah mulai mengevaluasi program-program yang menjadi tanggung jawabnya. Program-program itu dievaluasi untuk mengetahui kekurangan yang perlu ditutup pada RAPBN yang akan disusun dalam rangka memenuhi misi yang tercantum dalam Propenas. Lobi dengan Dewan Perwakilan Rakyat juga dilakukan untuk meminta dukungan dewan terhadap program-program yang diusulkan dan disusun.

Ketika menyiapkan usulan kebutuhan anggaran, masing-masing departemen/lembaga berjalan sendiri-sendiri, tanpa mengetahui dan memikirkan kebutuhan instansi lain secara nasional. Oleh karena itulah, kadang-kadang kebutuhan yang disampaikan kepada Bappenas dan Departemen Keuangan melambung tinggi, sehingga pemotongan anggaran perlu dilakukan untuk penyesuaian. Perjuangan untuk memenuhi keinginan masing-masing departemen/ lembaga ini dilakukan melalui rapat koordinasi pembangunan nasional ataupun lewat dewan legislatif.

Page 51: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

249

Pemerintah Daerah

Dalam rangka otonomi daerah, penyelenggaraan rapat-rapat koordinasi serta temanya di berbagai tingkat diserahkan kepada masing-masing daerah bersangkutan. Tetapi pada prinsipnya, daerah menyelenggarakan rapat-rapat koordinasi sebagai berikut:

a. Kelompok Masyarakat (Pokmas)

Rapat ini diselenggarakan sekitar bulan Januari/ Pebruari sebelum tahun anggaran dimulai.

b. Musyawarah Pembangunan Tingkat Desa (Musbang Desa)

Musyawarah Pembangunan tingkat desa diketuai oleh Kepala Desa/Lurah, dimaksudkan untuk menginvetarisasi potensi desa dan permasalahannya serta menyusun usulan program dan proyek yang dibiayai dari swadaya desa, bantuan pembangunan desa, APBD Kabupaten, APBD Provinsi dan APBN.

c. Temu Karya Pembangunan Tingkat Kecamatan

Hasil forum ini adalah berupa usulan anggaran untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di tingkat kecamatan yang akan dibicarakan kemudian dalam rapat koordinasi pembangunan (Rakorbang) Kabupaten. Jadwal forum UDKP ini adalah sekitar bulan Februari sampai April sebelum pelaksanaan tahun anggaran.

d. Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Kabupaten

Di tingkat kabupaten ini diselenggarakan Rapat Koordinasi Wilayah Kabupaten (Rakorwil Kabupaten), yang dipimpin oleh Bupati/Ketua Bappeda Kabupaten dan dihadiri oleh Kepala Dinas Kabupaten dan para kepala kantor yang mewakili departemen di daerah. Forum ini membahas usulan yang akan diajukan dalam forum Rakorwil Provinsi. Jadwal penyelenggaraan adalah sekitar bulan Maret/April sebelum tahun anggaran berikutnya. Sebelumnya rapat didahului dengan Pra-rakorwil Kabupaten yang membahas masalah-masalah teknis antara lain memisah-misahkan usulan-usulan dari UDKP di tingkat kecamatan mengenai anggaran yang seharusnya dibiayai dari APBD tingkat Kabupaten, APBD Provinsi, dan APBN. Kegiatan/proyek yang dikategorikan

Page 52: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

250

sebagai APBD Kabupaten dapat berupa kegiatan/proyek yang dibiayai dari dana yang bersumber dari: (a) Pendapatan Asli Daerah Kabupaten, (b) Dana perimbangan, (c) Pinjaman daerah, dan (d). Lain-lain penerimaan daerah yang sah.

e. Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Provinsi

Rakorwil Provinsi adalah rapat koordinasi di provinsi yang membahas hasil dari Rakorwil Kabupaten. Di samping Rakorbang Provinsi, pihak departemen/ lembaga juga menyelenggarakan rapat-rapat teknis (Ratek) yang membahas usulan program yang menjadi tanggung jawab departemen/lembaga yang bersangkutan. Masalah yang sering timbul adalah bahwa penyelenggaraan Ratek ini tidak seragam antara departemen yang satu dengan yang lainnya. Beberapa departemen/lembaga menyelenggarakan Ratek setelah Rakorbang dan sementara beberapa yang lain menyelenggarakannya sebelum Rakorbang. Agar perencanaan program dapat menampung aspirasi daerah, sebaiknya Ratek ini diselenggarakan sesudah Rakorwil. Hasil dari Ratek akan menjadi acuan usulan program dari departemen/lembaga, sedangkan hasil dari Rakorwil akan menjadi acuan usulan program dari daerah. Apabila demikian halnya, usulan departemen/lembaga diharapkan sinkron dengan usulan program daerah, sehingga pertemuan dalam Konsultasi Nasional Pembangunan (Konasbang) dapat lebih efisien. Hal yang penting adalah bagaimana dengan bimbingan koordinator program, komunikasi antara departemen/lembaga dan daerah dapat ditingkatkan. Penyelenggaraan Rapat Koordinasi Pembangunan Provinsi dijadwalkan pada sekitar bulan Agustus/September sebelum dilaksanakan tahun anggaran baru.

f. Rapat Koordinasi Pembangunan Nasional (Rakorbangnas)

Rakorbangnas diselenggarakan pada sekitar bulan Oktober. Forum konsultasi nasional ini merupakan puncak dari rentetan rapat-rapat koordinasi sejak dari tingkat perencanaan terendah, yaitu desa, sampai dengan Rakorbang Provinsi. Rakorbangnas diselenggarakan oleh Bappenas dan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Dalam Rakorbangnas hadir seluruh Gubernur, para Ketua Bappeda Provinsi, para Direktur Jenderal

Page 53: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

251

terkait dari departemen teknis, Ketua Lembaga, Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, dan pejabat Eselon I Bappenas. Dalam rangka transparansi perencanaan pembangunan nasional, Rakorbangnas mengundang pula wakil dari anggota DPR.

Pimpinan sidang Rakorbangnas biasanya adalah Menneg. Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Sidang ini didahului dengan rapat Gubernur seluruh Indonesia untuk mendapat pengarahan dari para Menteri yang terkait dengan situasi ekonomi/keuangan Indonesia pada tahun yang bersangkutan, misalnya Menko Perekonomian, Menneg. Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Menteri BUMN.

Sidang Rakorbangnas diawali dengan presentasi dari para gubernur mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan di provinsi yang menjadi tanggung jawabnya masing-masing, serta diikuti dengan sidang-sidang kelompok yang membahas secara rinci usulan-usulan proyek. Sidang kelompok tersebut dipimpin oleh para direktur di lingkungan Bappenas dan dihadiri pejabat dari Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, Departemen Teknis terkait, BKPM dan Bappeda Provinsi.

TAHAP PENGESAHAN

Pengesahan anggaran oleh presiden, setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, diperlukan untuk memulai pelaksanaan anggaran. Setelah Bappenas dan Departemen Keuangan selesai menghimpun data-data yang diperoleh dari instansi terkait serta beberapa asumsi-asumsi yang dipergunakan untuk menyusun perkiraan penerimaan, maka kedua instansi tersebut menyusun Nota Keuangan.

Nota Keuangan

Nota keuangan adalah dokumen anggaran yang disusun oleh Bappenas dan Departemen Keuangan yang memuat penjelasan-penjelasan sebagai berikut:

Page 54: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

252

(1) Penjelasan Umum: meliputi penjelasan tentang lingkungan ekonomi global; masalah yang dihadapi oleh negara; kebijakan yang ditempuh; serta asumsi dasar dalam penyusunan RAPBN.

(2) Moneter dan Perkreditan: menjelaskan perkembangan harga, jumlah uang yang beredar, kelembagaan keuangan dan sebagainya.

(3) Perdagangan Luar Negeri dan Neraca Pembayaran.

(4) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN): menjelaskan penerimaan anggaran, pengeluaran anggaran, pinjaman luar negeri, dan penggunaan anggaran untuk membiayai sektor-sektor/ program.

(5) Keuangan Daerah.

Dokumen Nota Keuangan ini dilampiri dengan daftar program/proyek serta daftar kegiatan yang dibiayai dari pengeluaran negara yang terdiri dari pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin. Dokumen-dokumen tersebut dibahas lebih dahulu dalam sidang-sidang kabinet paripurna sebelum disampaikan kepada DPR.

Sidang-sidang Kabinet Paripurna ini diselenggarakan sekitar bulan Oktober/November, dihadiri oleh seluruh menteri termasuk Menteri Keuangan dan Menneg. Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas. Presiden memberikan petunjuk dan pengarahan kepada semua menteri/ketua lembaga mengenai pelaksanaan RAPBN itu.

Menteri Keuangan dalam laporannya menggambarkan perkiraan penerimaan negara yang berasal dari penerimaan dalam negeri dan penerimaan luar negeri, dan perkiraan pengeluaran baik rutin maupun pembangunan secara umum. Biasanya penjelasan tersebut didahului dengan evaluasi perekonomian dunia dan pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia. Dalam evaluasi tentang perekonomian Indonesia, hal yang dijelaskan antara lain adalah perkembangan inflasi, ekspor, impor, perkreditan, perpajakan, dan penerimaan dalam negeri lainnya. Semua itu dilampiri dengan tabel-tabel yang menggambarkan keadaan tahun berjalan dan tahun-tahun berikutnya. Sedangkan dari segi pengeluaran, penjelasan secara rinci tentang jenis pengeluaran rutin disampaikan oleh Menteri Keuangan sementara

Page 55: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

253

tentang pengeluaran pembangunan oleh Menneg. Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.

Dalam menjelaskan rencana anggaran pembangunan, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas menyam-paikan dokumen yang berisi data-data tentang rencana pengeluaran pembangunan yang biasanya dibandingkan dengan rencana tahun sebelumnya untuk menunjukkan adanya perubahan berupa kenaikan atau penurunan beserta alasannya. Data-data ini diawali dengan tabel makro yang menjelaskan jumlah penerimaan dan pengeluaran pembangunan, serta jumlah dana yang diserahkan kepada daerah.

Setelah selesai sidang kabinet, presiden mengajukan konsep rencana anggaran pendapatan dan belanja negara itu dalam sidang paripurna DPR.

Pembahasan di DPR

Dewan Perwakilan Rakyat melakukan pembahasan atas APBN berdasarkan pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

“Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan oleh pemerintah, maka hasil penyusunan anggaran oleh pemerintah, sebelum dilaksanakan diajukan lebih dahulu kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditetapkan.”

Atas dasar pasal tersebut, sebelum melaksanakan APBN, pemerintah terlebih dahulu mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang APBN kepada DPR untuk mendapatkan persetujuannya. Dalam hal ini, DPR mengadakan serentetan kegiatan sebagai berikut:

(a) Pembicaraan pendahuluan dengan pemerintah dalam rangka penyusunan RAPBN.

(b) Penyampaian RUU tentang APBN serta Nota Keuangan oleh Presiden kepada DPR, diikuti dengan pembahasan serta penetapannya .

Page 56: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

254

(c) Penyampaian dan Pembahasan laporan setengah tahunan.

(d) Pembahasan bersama-sama dengan pemerintah mengenai perkiraan tambahan dan perubahan atas APBN yang sedang berjalan.

(e) Penyampaian dan pembahasan serta penetapan RUU tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(f) Penyampaian dan Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perhitungan Anggaran Negara.

Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan RAPBN dilakukan oleh komisi-komisi di dalam rapat kerja dengan pemerintah, disamping pembahasan oleh intern fraksi-fraksi yang ada di badan legislatif itu.

Di dalam DPR terdapat sejumlah Komisi dan Sub-komisi sebagai berikut:

I. Komisi Hankam, Luar Negeri dan Informasi Subkomisi Pertahanan Subkomisi Luar Negeri dan Lembaga Kepresidenan Subkomisi Informasi dan Komunikasi

II. Komisi Hukum, HAM dan Dalam Negeri Subkomisi Hukum dan Hak Asasi Manusia Subkomisi Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Subkomisi Pertanahan

III. Komisi Pertanian, Kehutanan Dan Kelautan Subkomisi Pertanian dan Pangan Subkomisi Kehutanan dan Perkebunan Subkomisi Kelautan dan Perikanan

IV. Komisi Perhubungan dan Prasarana Wilayah Subkomisi Perhubungan Subkomisi Permukiman dan Prasarana Wilayah

V. Komisi Industri, Perdagangan, Koperasi dan Pariwisata Subkomisi Perindustrian dan Perdagangan Subkomisi Koperasi

Page 57: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

255

Subkomisi Pariwisata

VI. Komisi Agama dan Pendidikan Nasional Subkomisi A: Agama dan Arsip Nasional Subkomisi B: Pendidikan dan Perpusakaan Nasional

VII. Komisi Kesejahteraan Rakyat Subkomisi Tenaga Kerja dan Transmigrasi Subkomisi Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Subkomisi Pemberdayaan Perempuan

VIII.Komisi Energi, Sumber Daya Mineral, Riset dan Teknologi, dan Lingkungan Hidup Subkomisi Energi dan Sumberdaya Mineral Subkomisi Lingkungan Hidup Subkomisi Riset dan Teknologi

IX. Komisi Keuangan, Perbankan dan Perencanaan Pembangunan Subkomisi Keuangan Subkomisi Perbankan Subkomisi Perencanaan Pembangunan

Selanjutnya mekanisme pembahasan RUU APBN diatur dalam tata tertib DPR yang telah ditetapkan. Menurut tata tertib DPR ini, pembahasan didahului dengan pemandangan umum yang menampilkan pendapat masing-masing fraksi tentang hasil evaluasi pelaksanaan pembangunan tahun anggaran yang sedang berjalan serta saran-saran kepada pemerintah untuk tahun anggaran berikutnya.

Pemandangan umum ini dilanjutkan dengan tatap muka komisi-komisi dengan para menteri dan kepala lembaga menurut bidangnya masing-masing. Rapat-rapat komisi di DPR ini diselenggarakan dalam rangka mendapatkan informasi tentang pelaksanaan tugas-tugas departemen/lembaga dan kebutuhan anggaran pada tahun mendatang. Setelah selesai melaksanakan pertemuan-pertemuan dengan mitra kerjanya masing-masing, para pemimpin komisi memberikan informasi kepada Komisi APBN.

Tahap pertama yang disebut sebagai tahap pendahuluan ini diakhiri dengan sidang paripurna untuk menyuarakan usulan wakil-wakil rakyat kepada pemerintah. Sekitar bulan November, Presiden

Page 58: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

256

berpidato di hadapan sidang paripurna DPR untuk mengantar Nota Keuangan yang dilampiri dengan: (a) rencana anggaran pembangunan, termasuk berbagai program dan proyek (satuan 2, 3 dan 3A) dan (b) rencana pengeluaran anggaran rutin.

Setelah bahan-bahan tersebut diterima, DPR mempelajari dan melaksanakan tahap-tahap seperti pada tahap pendahuluan, didahului dengan pemandangan umum yang menyuarakan pendapat masing-masing fraksi. Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan secara umum membeberkan kebijakan pemerintah sehubungan dengan pemandangan umum tersebut. Selanjutnya komisi-komisi yang membidangi tugas masing-masing mengadakan dengar pendapat dengan para menteri/pimpinan lembaga terkait.

Sebagai bahan dengar pendapat antara DPR dengan pemerintah (wakil-wakil dari departemen dan lembaga pemerintah), biasanya pertanyaan-pertanyaan tertulis diajukan lebih dahulu oleh masing-masing komisi kepada departemen/lembaga yang bersangkutan. Di dalam sidang, wakil dari departemen, selain menjawab pertanyaan-pertanyaan tertulis, juga menjawab pertanyaan-pertanyaan lisan yang diajukan oleh anggota komisi. Komisi-komisi itu, setelah selesai melakukan dengar pendapat, kemudian memberikan informasi kepada Komisi APBN. Informasi ini dipergunakan sebagai bahan oleh Komisi APBN dalam dengar pendapat dengan Menteri Keuangan. Dengar pendapat antara Komisi APBN dengan Menteri Keuangan ini diakhiri dengan pengajuan permasalahan ke tingkat sidang paripurna. Dalam sidang paripurna, yang merupakan puncak dari rangkaian sidang-sidang sebelumnya, kembali lagi fraksi-fraksi menyuarakan hal-hal yang berkenaan dengan RAPBN tersebut. Bagi DPR, yang penting adalah apakah usulan-usulan yang pernah dikemukakan dan disetujui oleh sidang-sidang sebelumnya telah ditampung dalam rencana APBN.

Undang-undang APBN yang berlaku untuk satu tahun anggaran disetujui oleh DPR sekitar pertengahan bulan November, yaitu beberapa minggu sebelum tahun anggaran dimulai. Angka-angka yang bersifat mengikat dalam undang-undang ini hanya sebatas angka per sektor dan sub sektor. Artinya, secara teori perubahan-perubahan yang terjadi pada program dan proyek dalam pelaksanaan anggaran adalah merupakan kewenangan pemerintah.

Page 59: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

257

Penetapan undang-undang yang hanya mencakup sampai sektor/sub sektor ini dilakukan mengingat kompleknya permasalahan pada klasifikasi yang lebih rendah dari sub sektor yaitu program dan proyek. Hal itu juga mengingat bahwa pelaksanaan APBN harus dapat seluwes mungkin.

Tentang APBD, pengesahannya disesuaikan dengan tingkat wilayah administratif masing-masing. APBD Provinsi pengesahannya dilakukan melalui persetujuan oleh DPRD Provinsi dan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Sedangkan APBD Kabupaten disahkan oleh DPRD Kabupaten dan ditetapkan oleh Gubernur.

Pelaksanaan anggaran dimulai dengan penyusunan Satuan 2, 3, dan 3A. Dalam hal ini, penyusunan Satuan 2, 3, dan 3A tersebut tidak luput dari pembahasan dengan anggota dewan. Bahkan, dalam penyusunan Satuan 2, 3, dan 3A ini kadang-kadang terjadi perubahan-perubahan antar sektor apabila disepakati oleh anggota dewan. Setelah Satuan 3 disetujui, mulailah departemen dan daerah menyusun dokumen operasional sesuai dengan porsinya. Contoh acuan dalam panitian anggaran sidang DPR 2001 adalah sebagai berikut:

Page 60: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

258

Page 61: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

259

Page 62: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

260

Page 63: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

261

Page 64: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

262

Page 65: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

263

TAHAP PELAKSANAAN

Dalam pelaksanaan anggaran, pertanggungjawaban anggaran dilimpahkan kepada unit-unit organisasi pemerintahan seperti departemen teknis/lembaga serta kantor-kantor wilayah di daerah. Departemen-departemen teknis itu menunjuk seseorang untuk mengelola proyek atau kegiatan yang disebut pemimpin proyek, dibantu oleh seorang bendahara yang mengelola keuangan proyek/kegiatan itu.

Penyusunan Satuan 2 (Dua)

Satuan Dua digambarkan dalam suatu matrik yang terdiri dari beberapa baris dan beberapa kolom untuk masing-masing departemen. Yang dimasukkan dalam baris (mendatar) adalah klasifikasi fungsional dalam anggaran, yaitu sektor, sub-sektor dan program. Sedangkan yang dimasukkan dalam kolom adalah organisasi departemen setingkat eselon I, misalnya Direktorat Jenderal atau Badan.

Dalam Satuan 2, pada kode kolom proyek dapat dijelaskan bahwa: Pada klasifikasi fungsional tingkat sektor diberi kode angka satuan, yaitu 1 sampai dengan 20 menurut nomor sektor masing-masing. Pada angka sub sektor, diberi kode sebagai berikut : angka pertama adalah angka sektor, angka kedua adalah angka sub sektor. Jadi misalnya kode 2.04 adalah angka yang tercantum dalam baris itu adalah angka subsektor 04 dalam sektor 2. Sedangkan angka program diberi kode sebagai berikut: angka pertama adalah angka sektor dimana program itu berada, angka kedua adalah nomor sub sektor yang termasuk dalam sektor yang bersangkutan, sedangkan angka ketiga adalah angka program yang ternasuk dalam angka sub sektor yang bersangkutan.

Alokasi anggaran pada Satuan 2 itu merupakan alokasi yang ditetapkan untuk masing-masing Direktorat Jenderal/Badan dalam departemen yang bersangkutan. Angka tersebut kemudian akan dialokasikan dalam masing-masing proyek yang tercantum kemudian dalam apa yang disebut dengan Satuan 3.

Penjelasan tentang penggunaan masing-masing program tercantum dalam apa yang di sebut Satuan 3A. Penjelasan dalam

Page 66: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

264

Satuan 3A, walaupun belum rinci tetapi sudah memuat sasaran-sasaran kuantatif, yang selanjutnya dirinci lagi dalam suatu penjabaran lebih lanjut dalam dokumen operasional anggaran atau DIP.

Formulir 3. Satuan 2 Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(Pembangunan) BAGIAN : DEPARTEMEN : SATUAN DUA :

(dalam ribuan rupiah) No.

Kode Sektor/Sub-sektor/Program Jumlah

Ditjen. A

Ditjen. B

Ditjen. C

(1) (2) (3) (4) (5) (6) x xx xxx x xx xxx x xx xxx

Sektor Sub Sektor Program Sektor Sub Sektor Program Sektor Sub Sektor Program

x x x

x x x x x x

x x x

J U M L A H

Rancangan Satuan 2 ini disampaikan kepada departemen dan lembaga untuk disusun proyek-proyeknya. Proyek-proyek yang disampaikan oleh departemen kepada Bappenas dan Ditjen. Anggaran akan menjadi dasar untuk menyusun Satuan 3.

Penyusunan Satuan 3 (Tiga)

Satuan 3 adalah daftar proyek-proyek yang direncanakan untuk dibiayai, disusun menurut departemen/lembaga yang akan mengelola. Proyek-proyek tersebut dikelompokkan dalam klasifikasi fungsional (sektor, sub-sektor dan program). Dasar penyusunan Satuan 3 menurut departemen/lembaga itu adalah Satuan 2 yang telah

Page 67: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

265

disampaikan kepada departemen/lembaga. Dengan demikian, jumlah anggaran untuk seluruh poyek dalam Satuan 3 tidak dapat melebihi dari pagu anggaran dalam Satuan 2 yang telah disampaikan. Dalam Satuan 3 ini, proyek-proyek disusun menurut : (a) Kode Proyek, (b) Nama Proyek, (c) Lokasi Proyek dan (d) Anggaran Proyek.

(a) Kode Proyek

Kode proyek ini menunjukkan proyek tersebut termasuk dalam sektor, sub sektor dan program tertentu. Disamping itu, kode proyek juga menunjukkan bahwa proyek yang bersangkutan dialokasikan di departemen dan direktorat jenderal tertentu, serta akan dibangun di daerah (provinsi) tertentu pula. Kecuali kode sektor, sub sektor, program, departemen, direktorat jenderal, dan lokasi, juga ada kode menurut nomor urut.

Di daerah (provinsi) mana proyek ini dialokasikan. Kode lain adalah nomor urut proyek. Dengan demikian urutan penyusunan nomor kode proyek ini terdiri dari kelompok 4 digit pertama adalah nomor kode sektor, subsektor, dan program. Kelompok 3 digit kedua adalah departemen dan direktorat jenderal. Kelompok beberapa digit ketiga adalah nomor urut proyek. Kelompok digit terakhir adalah lokasi daerah (provinsi).

(b) Nama Proyek

Nama proyek adalah sesuai dengan nama yang diberikan pada masing-masing proyek.

(c) Lokasi Proyek

Lokasi proyek adalah sampai dengan provinsi. Apabila lokasi itu sangat spesifik sekali, misalnya sampai tingkat kabupaten maka cukup dicantumkan dalam kurung.

(d) Anggaran Proyek

Anggaran proyek adalah jumlah anggaran yang dialokasikan untuk membiayai keseluruhan proyek atau sebagian dari proyek (apabila proyek tersebut dilakukan secara bertahap) dalam waktu satu tahun.

Tabel 25 adalah contoh Satuan 3 dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Page 68: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

266

Tabel 25. Satuan 3 RAPBN Tahun 2001 (Pembangunan)

BAGIAN : 20 DEPARTEMEN : ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL SATUAN TIGA : PERINCIAN MENURUT PROYEK

No NOMOR KODE SEKTOR/SUBSEKTOR/ PROGRAM/PPROYEK

P A G U

1 2 3 4

1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11

BAGIAN : 20 SEKTOR : 07 SUB SEKTOR : 07.1 PROGRAM : 07.1.01 UNIT : 20.06

07.1.01.440357.20.06.002

07.1.01.440222.20.06.002 07.1.01.440275.20.06.002 07.1.01.440290.20.06.002 07.1.01.440301.20.06.002 07.1.01.440332.20.06.002 07.1.01.441085.20.06.002 07.1.01.442442.20.06.002 07.1.01.442875.20.06.002 07.1.01.443396.20.06.002 07.1.01.443400.20.06.004

PROGRAM : 07.1.02

UNIT : 20.01

ENERGI & SUMBERDAYA MANUSIA PERTAMBANGAN DAN ENERGI PERTAMBANGAN PENGEMBANGAN GEOLOGI & SUMBER DAYA MINERAL DITJEN. GEOLOGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Pengembangan Manajemen Data Geologi Inventarisasi dan Evaluasi Bahan Galian Mineral Indonesia Inventarisasi Lingkungan dan Bencana Geologi Penyelidikan dan Pengamatan Gunung Api Inventarisasi Potensi Panas Bumi Pemetaan Geologi dan Geofisika Inventarisasi dan Pendayagunaan Air Tanah Penyelidikan Geologi Wilayah Pantai Mitigasi Bencana Alam Geologi Pengembangan Geowisata Peningkatan Penyelidikan Kegunungapian Yogyakarta PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN SEKRETARIAT JENDERAL

475.300.000 (1.817.398.000)

447.300.000

(1.817.398.000)

40.200.000

15.700.000

1.651.000

1.500.000

1.029.000

1.211.000

2.192.000

1.300.000

1.900.000

3.000.000

900.000

490.000

527.000 22.700.000

Catatan : Nilai di dalam tanda kurung (..) adalah Pinjaman Luar Negeri (PLN) termasuk Hibah.

Page 69: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

267

Departemen/lembaga setelah menerima alokasi dana dari Bappenas dan Departemen Keuangan, menyusun Satuan 3 untuk departemen dan lembaganya masing-masing. Satuan 3 tersebut dibicarakan dengan DPR dalam suatu rapat panitia anggaran. DPR dapat merubah (menambah dan mengurangi) sesuai dengan keinginan dan misinya masing-masing.

Penyusunan Satuan 3A (Tiga A)

Satuan 3A adalah penjelasan tentang penggunaan biaya program yang tercantum dalam satuan 3. Contoh, dalam Satuan 3A Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, tercantum salah satu programnya adalah Program Pembanguanan Geologi dan Sumber Daya Mineral dengan biaya Rp. 22.700,0 juta. Di bawah ini diberikan contoh Satuan 2A (penjelasan) program tersebut sebagai berikut :

Program Pembangunan Geologi dan Sumber Daya Mineral Rp. 22.700,0 juta Anggaran rupiah murni sebesar Rp. 22.700,0 juta ini akan

digunakan untuk mendukung kegiatan survei dan pemetaan geologi dan geofisika bersistem dan pemetaan geologi wilayah pantai dengan skala 1 : 100.000 dan 1 : 250.000. Selain itu, dilakukan pula penyelidikan eksplorasi potensi bahan galian mineral dan panas bumi. Melakukan mitigasi di wilayah rawan bencana alam geologi, meliputi kegiatan pemetaan pada kawasan rawan bencana gunung api dan potensi aliran lahar, penyuluhan kepada masyarakat dan pemerintah daerah di daerah sekitar bahaya letusan gunung api serta daerah rawan bencana alam geologi. Dana tersebut digunakan pula untuk pemetaan geologi teknik dan geologi tata lingkungan dengan skala 1 : 100.000. Menunjang pembangunan daerah cepat tumbuh dengan melakukan pemetaan hidrogeologi, evaluasi cekungan potensi air tanah guna penyediaan air bersih di daerah rawan air. Dana tersebut juga digunakan untuk menunjang pembangunan sektor lainnya, meluputi pengembangan potensi geologi kepariwisataan dan pelestarian lingkungan. �

Page 70: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

268

TAHAP PENGAWASAN

Perencanaan, pemantauan dan pengawasan adalah rangkaian proses suatu kegiatan untuk mencapai sasaran tertentu. Hakikat dari pemantauan dan pengawasan adalah mencegah secara lebih dini kemungkinan terjadinya penyimpangan sehingga pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari anggaran tidak mengalami kerugian yang lebih besar akibat kebocoran, hambatan, kesalahan ataupun penyelewengan. Pada dasarnya hasil dari pengawasan dapat dipergunakan sebagai masukan pada pimpinan untuk melakukan tindakan-tindakan dan perbaikan-perbaikan agar sistem dan pelaksanaan berjalan lebih baik.

Pemantauan adalah kegiatan mengamati pelaksanaan proyek-proyek pembangunan dalam waktu yang sedang berjalan serta mencoba memperbaiki kesalahan-kesalahan agar penyelesaian proyek dapat berakhir dengan benar. Sistem pemantauan adalah bagian dari pengendalian terhadap pelaksanaan suatu proyek/kegiatan. Pelaksanaan pemantauan dilakukan oleh semua pihak, yakni pemimpin proyek, departemen/lembaga, Bappeda Provinsi, dan Bappenas.

Pengendalian akan terselenggara dengan baik apabila sistem pemantauan dan pelaporan dapat menyediakan informasi yang diperlukan mengenai perkembangan pelaksanaan proyek secara terus-menerus dan tepat waktu. Pelaksanaan pemantauan ini dilakukan secara triwulan oleh pemimpin proyek dengan mengisi laporan yang ditujukan kepada: a. Menteri/Kepala Lembaga yang bersangkutan. b. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala

Bappenas. c. Menteri Sekretaris Negara Up. Sekretaris Pengendalian

Operasional Pembangunan. d. Gubernur yang bersangkutan Up. Kepala Bappeda Provinsi dan

Bupati/Walikota Up. Bappeda Kabupaten. e. Kanwil departemen/lembaga yang bersangkutan.

Atas dasar laporan pemimpin proyek ini, departemen/lembaga yang bersangkutan membuat laporan konsolidasi pelaksanaan proyek, dan menyampaikannya kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Disamping itu Kepala

Page 71: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

269

Bappeda Provinsi menyampaikan laporan triwulanan mengenai konsolidasi seluruh proyek yang ada di daerahnya kepada Gubernur yang bersangkutan, Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas.

Pengawasan adalah kegiatan untuk meyakinkan dan menjamin bahwa pekerjaan-pekerjaan telah dilakukan sesuai dengan rencana yang ditetapkan, kebijakan yang digariskan dan perintah-perintah yang diberikan dalam rangka pelaksanaan rencana. Walaupun, dilihat dari fungsi manajemen, pengawasan ini merupakan fungsi pendukung, perannya sangat penting untuk pencapaian kinerja suatu proyek/kegiatan. Pengawasan sebaiknya tidak menjadi beban biaya yang besar, dalam pengertian bahwa biaya pengawasan yang merupakan bagian dari biaya kegiatan tidak melebihi keuntungan yang akan dicapai. Oleh karena itu, pengawasan seyogyanya bersifat mencegah terjadinya kesalahan dan perlu direncanakan sebaik-baiknya. Pengawasan sebaiknya tidak dijadikan tujuan tetapi sarana untuk menjamin dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas bagi suatu organisasi.

Sering ada anggapan yang keliru bahwa pengawasan hanya merupakan sarana untuk mencari kesalahan. Pengawasan tidak mencari siapa yang salah, tetapi apa yang salah dan bagaimana kesalahan tersebut bisa terjadi. Bagaimanapun juga organisasi dijalankan oleh manusia yang mempunyai perilaku berbeda antara satu dengan yang lain. Kesalahan bisa saja terjadi karena sistem yang salah. Tetapi faktor manusia yang memimpin organisasi merupakan penyumbang terbesar dari suatu kesalahan. Maka pengawasan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk membimbing dan mendidik pelaksana atau pemimpin dalam organisasi guna meningkatkan kemampuannya.

Tujuan Pengawasan

Tujuan pengawasan adalah sebagai berikut:

1. Terselenggaranya pelaksanaan tugas umum pemerintahan secara tertib berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berdasarkan sendi kewajaran penyelenggaraan pemerintahan, sehingga tercapai efisiensi dan efektivitas yang

Page 72: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

270

maksimal.

2. Terselenggaranya pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan program pemerintah yang telah disusun, sehingga sasaran yang ditetapkan dapat tercapai.

3. Menilai seberapa jauh hasil pembangunan dapat tercapai untuk memberi umpan balik berupa: pendapat, kesimpulan, dan saran terhadap kebijaksanaan, perencanaan, pembinaan, dan pelaksanaan tugas umum pemerintah.

4. Mencegah sejauh mungkin pemborosan, kebocoran, dan penyimpangan dalam penggunaan wewenang, tenaga, uang, peralatan/perlengkapan sehingga dapat terbina aparatur yang tertib, bersih, berwibawa, efektif dan efisien.

Macam Pengawasan

Macam pengawasan dapat dibedakan menurut: 1) subyek yang melakukan pengawasan, 2) cara pelaksananaan pengawasan, dan 3) waktu pelaksanaan pengawasan.

Subyek Yang Melakukan Pengawasan

Subyek yang melakukan pengawasan dikategorikan ke dalam beberapa bentuk, yakni:

a. Pengawasan Melekat

Pengawasan melekat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh jajaran birokrasi dari atas kepada bawahannya secara terus-menerus. Pengawasan ini secara otomatis dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannya, karena pada prinsipnya pimpinan adalah yang paling dekat dengan bawahan sehingga mengetahui tindakan yang dilakukan secara langsung sehari-hari.

b. Pengawasan Fungsional

Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh organisasi pengawasan yang formal dan mempunyai tugas pengawasan.

Pengawasan fungsional dapat dikategorikan ke dalam:

- Pengawasan fungsional internal instansi, seperti Inspektorat

Page 73: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

271

Jenderal di lingkungan internal Departemen dan Inspektorat Wilayah di lingkungan internal Provinsi,

- Pengawasan fungsional eksternal yang dapat disebut sebagai pengawasan internal pemerintah seperti BPKP dan Irjenbang.

Pengertian internal dan eksternal memang sangat relatif. Tapi pada prinsipnya pengawasan internal dilakukan dalam lingkungan instansi sendiri, sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh instansi lain. Namun pengawasan fungsional eksternal ini dapat disebut sebagai pengawasan internal pemerintah bila dilihat dari segi pemerintah sebagai lembaga eksekutif.

c. Pengawasan Legislatif

Pengawasan legislatif adalah pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui Badan Pemeriksa Keuangan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah Badang Tinggi Negara yang merupakan aparat Dewan Perwakilan Rakyat dalam melakukan pengawasan terhadap instansi pemerintah.

d. Pengawasan Masyarakat

Pengawasan masyarakat adalah pengawasan yang dilakukan oleh warga masyarakat yang disampaikan secara lisan atau tertulis kepada aparatur pemerintah. Pengawasan ini sifatnya merupakan masukan pemikiran dan saran yang bertujuan untuk perbaikan.

Cara Pelaksanaan Pengawasan

Pelaksanaan pengawasan dapat dilakukan melalui cara on the spot dan melalui inspeksi dan pemeriksaan. Kedua cara ini disebut sebagai pengawasan langsung. Di samping pengawasan langsung ada pula pengawasan tidak langsung, yaitu pengawasan yang dilakukan melalui pemantauan dan pengkajian terhadap laporan dari pejabat yang bersangkutan atau laporan yang berasal dari pengawasan fungsional, pengawasan legislatif, dan pengawasan masyarakat.

Waktu Pelaksanaan Pengawasan

Waktu pelaksanaan pengawasan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

1. Pengawasan sebelum kegiatan dimulai atau disebut sebagai

Page 74: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

272

pengawasan preventif atau pre-audit.

2. Pengawasan selama pelaksanaan kegiatan atau bisa disebut sebagai pengawasan represif atau preventif untuk mencegah berkembangnya atau terulangnya kesalahan pada tahap lanjutan kegiatan.

3. Pengawasan sesudah kegiatan dilaksanakan yang disebut sebagai post-audit, yaitu pemeriksaan terhadap pelaksanaan dan perencanaan setelah suatu kegiatan selesai.

Sasaran Pengawasan

Berdasarkan tujuan pengawasan seperti disebutkan di muka, maka pengawasan itu hendak mencapai sasaran yang mengandung empat hal yakni: 1. Kuantitas hasil pekerjaan; 2. Kualitas hasil pekerjaan; 3. Sasaran waktu pencapaian; dan 4. Sasaran fungsional, atau kemanfaatan pekerja.

Untuk mencapai sasaran seperti itu, pengamatan di lapangan merupakan bagian yang sangat penting guna memperoleh masukan sebagai dasar pengambilan tindakan perbaikan, serta penentuan kebijaksanaan lebih lanjut. Keberhasilan kegiatan pengawasan sangat tergantung dari faktor manusia yaitu petugas pengawas itu sendiri. Selain itu, kesadaran dari pihak yang diawasi ikut menunjang keberhasilan kegiatan pengawasan.

Petugas pengawas dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan dedikasi yang tinggi. Mereka harus memiliki pengetahuan yang dalam tentang seluk-beluk obyek yang diperiksa, serta mempunyai daya analisa yang tajam untuk mengungkapkan kenyataan secara jelas, dan menarik kesimpulan dari setiap fakta dan gejala yang ditemukan. Pengawas harus mempunyai kepribadian yang dilandasi unsur jujur, berani, bijaksana, dan bertanggungjawab, sehingga menimbulkan kepercayaan dan rasa hormat.

Subyek Pengawasan

Subyek pengawasan dibagi menjadi: pengawasan internal dan pengawasan eksternal.

a) Pengawasan internal dapat dikategorikan pengawasan melekat dan pengawasan fungsional.

Page 75: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

273

b) Pengawasan eksternal, dibagi menjadi:

1) Pengawasan eksternal instansi, seperti pemeriksaan BPKP dan Irjenbang terhadap departemen/instansi

BPKP sesuai dengan keppres Nomor 31 Tahun 1983, adalah membantu presiden melakukan pengawasan dalam pengelolaan bidang keuangan dan pembangunan. Dalam Keppres Nomor 31 Tahun 1983 itu disebutkan bahwa tugas BPKP adalah: a) mempersiapkan perumusan kebijaksanaan pengawasan keuangan dan pembangunan, b) menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan negara, dan c). menyelenggarakan pengawasan pembangunan.

Irjenbang, sesuai dengan Keppres Nomor 25 Tahun 1974, disebutkan bahwa ia melakukan pengawasan terhadap proyek-proyek pembangunan sektoral, Inpres, Bantuan Desa, dam proyek-proyek daerah, terutama ditujukan pada pemeriksaan fisik/penampilan.

2) Pengawasan eksternal pemerintah

Pemeriksaan eksternal pemerintah adalah pengawasan yang dilakukan dari luar organisasi pemerintahan. Subyek pengawasan eksternal ini misalnya pemeriksaan yang dilakukan BPK, pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat.

Dalam keputusan Ketua Bepeka Nomor 66/SK/K/1982, bahwa Bepeka mempunyai fungsi:

a. Operatif, sebagai fungsi pemeriksaan dan penelitian atas penguasaan dan pengurusan keuangan negara.

b. Yudikatif, sebagai fungsi melakukan tuntutan ganti rugi terhadap bendaharawan yang terkena pelanggaran perbuatan hukum atau melalaikan kewajiban, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara.

c. Rekomendasi, sebagai pemberi pertimbangan kepada Pemerintah tentang pengurusan keuangan negara.

Page 76: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

274

Pengawasan Internal Pemerintah

Pengawasan internal pemerintah adalah pengawasan yang dilakukan di lingkungan instansi pengawasan pemerintah yang bertingkat-tingkat. Organisasi pengawasan yang tergolong dalam internal pemerintah ini adalah:

a. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Dalam Keppres Nomor 31 Tahun 1993 memuat tugas BPKP antara lain membantu presiden melakukan pengawasan dalam pengelolaan bidang keuangan dan pembangunan. Dalam pasal 2 Keppres ini ditegaskan bahwa tugas BPKP adalah:

1). Mempersiapkan perumusan kebijakan pengawasan keuangan dan pembangunan.

2). Menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan negara.

3). Menyelenggarakan pengawasan pembangunan.

b. Inspektorat Jenderal Departemen

Kegiatan pengawasan pada dasarnya harus dilakukan oleh pimpinan organisasi. Tetapi mengingat besarnya organisasi itu, dalam pelaksanaannya pimpinan tidak mungkin mengawasi seluruh aparat yang ada dalam organisasinya. Oleh karena itu, biasanya dalam organisasi dibentuk suatu unit tersendiri atas nama pimpinan yang bertugas untuk mengawasi aparat yang ada di organisasinya. Inspektorat Jenderal adalah contoh organisasi yang dibentuk oleh departemen yang bersangkutan untuk melakukan pengawasan intern departemen tersebut. Dalam Keppres Nomor 44 tahun 1974 tugas Irjen adalah membantu menteri dalam melakukan pengawasan terhadap satuan organisasi/unit kerja di lingkungan masing-masing.

c. Irjenbang

Dalam Keppres Nomor 25 Tahun 1974 dikemukakan bahwa tugas Irjenbang adalah melakukan pengawasan terhadap proyek-proyek pembangunan sektoral, inpres, bantuan desa,

Page 77: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

275

dan proyek-proyek daerah, terutama ditujukan pada pemeriksaan fisik/penampilan.

d. Idwilprop

Di daerah terbentuk pula Idwilprop yang didasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 1991. Idwilprop ini membantu gubernur dalam melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah.

e. Idwilkab

Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 1991 idwilkab/kodya membantu bupati/walikota dalam melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah tingkat II.

Pemeriksaan yang dilakukan oleh badan pengawasan yang disebutkan di atas, antara lain:

a. Pemeriksaan tanggungjawab realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dituangkan dalam perhitungan anggaran. Perhitungan anggaran inidiajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelum disahkan oleh DPR terlebih dahulu diperiksa oleh Bepeka. Apabila Bepeka menolak perhitungan yang dibuat oleh pemerintah maka pemerintah harus merubah pertanggungjawaban tersebut.

b. Pemeriksaan terhadap seluruh kekayaan negara, termasuk perusahaan negara.

Page 78: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

276

Page 79: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

277

Page 80: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

278

Page 81: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

279

Ikhtisar Siklus Anggaran

Januari Dimulai musyawarah pembangunan desa yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang kemudian hasilnya diusulkan ke tingkat yang lebih tinggi yaitu UDKP di tingkat kecamatan.

Februari Usulan kegiatan dari tingkat kecamatan yang akan dipergunakan sebagai bahan Rapat Koordinasi Wilayah Kabupaten.

Januari s.d. Februari Evaluasi program-program yang sedang berjalan dilakukan oleh departemen/lembaga dan disampaikan kepada Bappenas, dalam rangka penyusunan lampiran pidato Presiden RI tanggal 16 Agustus mengenai pelaksanaan APBN tahun-tahun sebelumnya.

Maret s.d. April Kegiatan Rapat Koordinasi Wilayah Kabupaten di daerah untuk membahas usulan-usulan proyek dari tingkat kecamatan dan diselenggarakan di masing-masing kabupaten.

April Pengarahan dan penyampaian formulir DUP kepada departemen/lembaga dan daerah/provinsi untuk tahun anggaran berikutnya.

16 Agustus Pelaksanaan laporan Presiden RI di depan sidang Paripurna DPR RI.

Agustus Pelaksanan Rapat Wilayah Provinsi diselenggarakan di masing-masing provinsi.

Agustus Penyampaian Daftar Usulan Proyek dari departemen/lembaga dan daerah diajukan ke Bappenas.

Agustus s.d. September

Excise makro dalam bidang anggaran, yaitu melakukan

Page 82: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

280

perkiraan-perkiraan dengan asumsi-asumsi untuk penyusunan rencana anggaran untuk tahun berikutnya.

September s.d. Oktober Finalisasi Buku Biru yang berisikan daftar proyek-proyek yang akan diajukan kepada negara donor untuk memperoleh pinjaman. Buku Biru ini dibawa serta oleh delegasi Indonesia dalam sidang CGI.

Oktober Rapat Konsultasi Nasional Pembangunan diselenggarakan di Jakarta.

Oktober

Sidang kabinet paripurna membahas tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan petunjuk Presiden tentang RAPBN tahun berikutnya.

Nopember Penyampaian pagu anggaran departemen/lembaga yang telah dialokasikan menurut Sektor, Sub Sektor dan Program

Nopember Penyusunan satuan 2, 3 dan 3A oleh Departemen Keuangan dan departemen teknis sebagai penjabaran dari pagu program yang dirinci menurut proyek.

Nopember Penyampaian Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Nopember Acara-acara dengar pendapat antara pihak eksekutif dan legislatif tentang RAPBN

Nopember s.d. Desember Pembahasan Daftar Isian Proyek (DIP) oleh departemen/lembaga dan Departemen Keuangan di Departemen Keuangan. Pembahasan DIP ini dilakukan paralel dengan pengajuan Undang-Undang RAPBN. Penandatanganan DIP dilaksanakan setelah Undang-Undang RAPBN disahkan sebagai APBN.

Page 83: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Siklus Anggaran

281

Nopember s.d. Desember Pengesahan Rencana Undang-Undang RAPBN menjadi APBN

Desember Penyampaian DIP dan dokumen pembiayaan lainnya ke semua provinsi di seluruh Indonesia

Januari Pelaksanan APBN

Page 84: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

52

3 Perencanaan Anggaran Negara

Seperti telah dikemukakan di muka, dalam pengertian anggaran telah tercakup unsur perencanaan. Perencanaan didefinisikan sebagai suatu proses penyiapan seperangkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang, dengan maksud untuk mencapai sasaran tertentu.1) Perencanaan tidak dapat dipisahkan dari fungsi manajemen seperti organizing, directing, motivating dan controlling. Walaupun fungsi itu masing-masing mempunyai arti yang berbeda, tetapi keempatnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. George A. Steiner2) mendefinisikan perencanaan dari empat sudut yang berbeda: Pertama, perencanaan berhubungan dengan masa depan dari keputusan yang dibuat sekarang; Kedua, perencanaan merupakan suatu proses yang dimulai dari pembentukan organisasi, mengembangkan rencana yang lebih rinci dan diyakini akan dapat dilaksanakan untuk pencapaian rencana akhir. Dalam hal ini pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah: program macam apa yang dilaksanakan, kapan akan dikerjakan, bagaimana dan siapa yang mengerjakannya, serta apa yang akan dihasilkan; Ketiga, perencanaan merupakan sikap jalan hidup dari suatu organisasi. Perencanaan lebih merupakan pemikiran intelektual daripada memberikan resep untuk proses dan prosedur; Keempat, perencanaan mempunyai 3 (tiga)

1) Y. Dror, “The Planning Process”, International Review of Administrative

Sciences, vol. 29, No. 1, hal. 50. 2) George A. Steiner, Strategic Planning, The Free Press (London: Collien

Macmillan Publishers, 1979) hal. 12.

Page 85: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Perencanaan Anggaran Negara

53

tahap, yaitu perencanaan jangka panjang, perencanaan jangka menengah dan perencanaan jangka pendek atau perencanaan tahunan.

Perencanaan jangka pendek atau perencanaan operasional tahunan mempunyai kurun waktu satu tahun. Karena jangka waktunya yang pendek, maka sasaran-sasaran perencanaan operasional tahunan dapat disajikan secara lebih kongkret, misalnya jumlah hektar sawah yang harus diairi beserta lokasinya, panjang kilometer jalan yang harus dibangun dan lokasi trace-nya, jumlah orang yang dapat ditampung di sekolah dasar beserta lokasi penyebarannya dan seterusnya.

Dilihat dari sudut penyimpangan yang mungkin terjadi antara rencana dan sasaran yang dicapai, maka perencanaan jangka pendek mengandung kemungkinan penyimpangan yang lebih kecil dibandingkan dengan perencanaan jangka menengah dan panjang. Meski demikian, dan walaupun perencanaan jangka panjang, menengah dan pendek tampaknya terpisah-pisah, antara ketiganya sebenarnya saling berkaitan. Perencanaan jangka pendek merupakan penjabaran dari perencanaan jangka menengah dan selanjutya perencanaan jangka menengah merupakan bagian dari perencanaan jangka panjang. Artinya, sasaran dalam perencanaan jangka pendek tidak terlepas dari garis-garis kebijakan yang ditentukan dalam perencanaan jangka menengah dan jangka panjang.

PENYUSUNAN PERENCANAAN ANGGARAN NEGARA

Perencanaan anggaran negara dapat disusun secara bertingkat, yaitu: a) perencanaan tingkat nasional; b) perencanaan tingkat departemen/lembaga pemerintahan non departemen; c) perencanaan tingkat pemerintah daerah; dan d) perencanaan tingkat proyek.

Agar perencanaan dapat berhasil dengan baik, ada unsur-unsur pokok yang perlu dipenuhi, sebagaimana dikemukakan oleh John M. Bryson 3) yaitu:

Misi

3) John M. Bryson, Strategic Planning for Public and Nonprofit Organizations (San

Fransisco: Jossey-Bass Publishers, 1991) hal. 32.

Page 86: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

54

Perencanaan memerlukan misi yang akan diemban. Dalam misi ini tercakup tujuan perencanaan, misalnya apakah perencanaan bertujuan untuk: (1) meningkatkan pertum-buhan; (2) meningkatkan pemerataan; (3) meningkatkan kesempatan kerja; atau (4) meningkatkan pemerataan antar daerah dan antarsektor.

Strategi

Kata “strategi” berasal dari istilah Yunani “stratego”, yang merupakan kombinasi antara “stratos”, angkatan darat dan “ego” yang berarti pemimpin4). Pada mulanya, strategi biasanya digunakan oleh para jenderal untuk menundukkan musuh secara efektif dan efisien. Dalam perkembangan kemudian istilah “strategi” juga dipergunakan oleh para perencana untuk mencapai sasaran secara efektif dan efisien berdasarkan misi yang diemban.

Penganggaran

Perencanaan tanpa dukungan anggaran yang memadai hanya akan merupakan angan-angan saja. Penyusunan anggaran memerlukan pentahapan dengan memilih proyek atau kegiatan yang lebih dijadikan prioritas untuk didahulukan.

Pengawasan

Untuk mencapai sasaran, pengawasan dan pemantauan harus dilakukan terus menerus. Hal ini dimaksudkan agar penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dapat ditang-gulangi lebih dini. Penanggulangan yang terlambat berarti akan menyerap biaya yang lebih besar.

Pentahapan Perencanaan

Penyusunan perencanaan anggaran memerlukan pentahapan secara rinci. Pertama, melakukan penelitian tentang potensi sumber daya alam dan manusia, serta kelembagaan yang tersedia pada saat akan dimulai perencanaan; Kedua, mengidentifikasi peluang dan

4) O’Toole, J. Vanguard Management (New York: Doubleday, 1985)

Page 87: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Perencanaan Anggaran Negara

55

hambatan yang ada; Ketiga, mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki dan kelemahan yang ada; Keempat, menentukan tujuan dan sasaran perencanan yang dapat memenuhi keinginan masyarakat; Kelima, menyusun strategi untuk mencapai tujuan; Keenam, menerjemahkan tujuan dan sasaran ke dalam program-program dan kebijakan di tingkat makro; Ketujuh, menerjemahkan program dalam bentuk anggaran; Kedelapan, menyusun kebijakan secara lebih rinci mengenai apa dan siapa yang melaksanakan, serta waktu pelaksanaannya; Kesembilan, melakukan penilaian terhadap kebijakan yang sedang berjalan; Kesepuluh, memantau kinerja dan menilai secara berulang.

Tahap-tahap tersebut di atas sebenarnya dapat diperas menjadi tiga bagian, yaitu: (1) tahap penyusunan rencana; (2) tahap pelaksanaan; (3) tahap evaluasi.

Pada prinsipnya beberapa pertanyaan yang mendasar sudah harus dapat dijawab pada waktu merencanakan anggaran negara.

Di mana kita berdiri?

Penyusun anggaran negara harus memahami ideologi negara, misalnya ideologi Pancasila yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia, yang direfleksikan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta). Selain itu juga pemahaman tentang kondisi geografis negara yang terdiri dari beribu pulau. Yang juga harus menjadi bahan pertimbangan adalah, antara lain, jumlah penduduk dan komposisinya, situasi kelembagaan, jumlah pendapatan per kapita, kondisi sosial, politik, teknologi dan hukum.

Ke mana kita akan pergi?

Jawaban atas pertanyaan ini tergantung dari visi dan misi negara yang tercantum dalam GBHN.

Bagaimana kita mencapai tujuan?

Pertanyaan ini berkaitan dengan pemahaman terhadap kondisi nyata kelembagaan, keuangan, sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana ekonomi.

Page 88: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

56

Untuk mencapai tujuan, strategi yang mana yang akan kita tempuh?

Ada banyak macam strategi yang dapat digunakan untuk mencapai suatu tujuan, namun tergantung pada para politisi untuk memilih di antara banyak alternatif strategis itu.

Memantau kinerja

Untuk mengetahui penyimpangan secara lebih dini, pemantauan secara terus menerus sangat penting, baik yang menyangkut pelaksanaan anggaran maupun yang berkenaan dengan dampak perencanaan.

Persyaratan Dalam Menyusun Anggaran Negara

Penyusunan anggaran negara bukan merupakan pekerjaan yang mudah karena di dalamnya penuh dengan muatan masalah yang berdimensi sosial, politik, dan ekonomi. Para penyusun anggaran harus bisa memahami masalah tersebut mengingat anggaran negara merupakan pencerminan dari pertanggungjawaban uang rakyat.

Seperti diketahui, ketika rencana pengeluaran disusun, maka sisi penerimaannya, sehingga faktor penerimaan itu perlu dihitung dan diperkirakan sejeli mungkin. Pergeseran variabel yang mempengaruhi penerimaan akan mengganggu pengeluaran yang akan datang. Oleh karena itu penyusunan APBN harus realistis dan tidak terlalu ambisius.

Di atas dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyusunan APBN cukup banyak sehingga asumsi yang diperhitungkan juga banyak. Faktor eksternal, seperti harga minyak di pasaran internasional tidak dapat diabaikan mengingat minyak merupakan 6% dari penerimaan dalam negeri atau sekitar 7% dari penerimaan perpajakan.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga perlu diasumsikan karena sebagian dari pengeluaran negara ada yang dipergunakan untuk pembayaran pinjaman luar negeri. Karena pinjaman luar negeri itu dihitung dengan dolar AS, maka fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran

Page 89: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Perencanaan Anggaran Negara

57

negara. Dengan asumsi nilai tukar rupiah sebesar 9.600 per dolar AS saja, pembayaran pinjaman diperkirakan meliputi 29,0 trilyun rupiah pada tahun 2002. Disamping itu penyusunan APBN harus memperhatikan asumsi lainnya seperti pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi. Bergesernya asumsi-asumsi tersebut akan mempengaruhi kinerja dari APBN.

Menurut George A. Steiner, penyusunan anggaran yang baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut 5):

Suitable

Anggaran negara yang direncanakan diharapkan sesuai dengan misi yang telah ditetapkan serta mendukung kegiatan investasi masyarakat agar mampu meningkatkan pendapatan nasional.

Measurable

Pengeluaran negara adalah salah satu unsur kebijakan makro yang dapat berperan untuk meningkatkan pendapatan nasional. Guna mencapai sasaran peningkatan pendapatan itu, penyusun anggaran negara harus mempunyai ukuran bagaimana dan kapan sasaran itu akan dicapai.

Feasible

Penyusunan anggaran negara mempunyai beberapa faktor baik penghambat maupun peluang yang perlu diamati. Faktor-faktor itu harus benar-benar dicermati agar anggaran negara feasible dan realistis untuk dapat mencapai sasaran.

Acceptable

Penyusunan perencanaan anggaran negara harus dapat diterima oleh masyarakat secara keseluruhan dan kelompok masyarakat secara adil dan memuaskan.

Flexible

Perencanaan anggaran negara disusun secara tidak kaku agar tidak sulit untuk dilaksanakan. Keluwesan anggaran negara diperlukan guna menghindari hambatan dalam pelaksanaannya, apalagi

5) George A. Steiner, ibid, 166

Page 90: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

58

mengingat wilayah Indonesia yang luas dan terdiri dari banyak pulau serta memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang bervariasi.

Motivating

Kegiatan-kegiatan yang direncanakan dalam anggaran negara harus dapat memacu atau merangsang kegiatan lain di kalangan masyarakat, termasuk meningkatkan kegiatan ekspor. Artinya, kegiatan-kegiatan yang tercantum dalam anggaran negara diharapkan dapat lebih berguna sebagai motivasi untuk berbagai kegiatan ekonomi.

Understandable

Bagaimanapun anggaran negara itu disusun, yang penting bahwa masyarakat dapat mengerti dan memahami segala hambatan dan kesulitan yang ada yang akan menyebabkan penyusunan anggaran menjadi kurang sempurna. Oleh karena itu, perencanaan anggaran yang disusun merupakan suatu hasil yang optimal, dan harus diterima oleh semua pihak.

Commitment

Anggaran negara merupakan komitmen pemerintah untuk mempertanggungjawabkan dana yang dihimpun dari rakyat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

People Participation

Yang bertanggung jawab dalam pencapaian sasaran adalah masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat harus diikutsertakan di dalam setiap kegiatan yang diciptakan dalam perencanaan anggaran, sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki dan bertanggung jawab.

DIMENSI PERENCANAAN ANGGARAN NEGARA

Visi dan misi perencanaan Indonesia tercantum di dalam GBHN, sehingga perencana akan lebih mudah menyusun anggaran negara.

Page 91: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Perencanaan Anggaran Negara

59

Sebagai contoh adalah visi dan misi dalam GBHN 1999-20046) sebagai berikut:

Visi

Terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.

Misi

Untuk mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan, ditetapkan misi sebagai berikut:

a. Pengamalan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

b. Penegakan kedaulatan rakyat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

c. Peningkatan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan dan mantapnya persaudaraan umat beragama yang berakhlak mulia, toleran, rukun dan damai.

d. Penjaminan kondisi aman, damai, tertib dan ketentraman masyarakat.

e. Perwujudan sistem hukum nasional, yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia berlandaskan keadilan dan kebenaran.

f. Perwujudan kehidupan sosial budaya yang berkepribadian, dinamis, kreatif dan berdaya tahan terhadap pengaruh globalisasi.

6) Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indinesia, (Garis-Garis Besar Haluan

Negara 1999-2004)

Page 92: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

60

g. Pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi, dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

h. Perwujudan otonomi daerah dalam rangka pembangunan daerah dan pemerataan pertumbuhan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

i. Perwujudan kesejahteraan rakyat yang ditandai oleh meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja.

j. Perwujudan aparatur negara yang berfungsi melayani masyarakat, profesional, berdaya guna, produktif, transparan, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

k. Perwujudan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin dan bertanggung jawab, berketrampilan serta mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia.

l. Perwujudan politik luar negeri yang berdaulat, bermartabat, bebas dan pro-aktif bagi kepentingan nasional dalam menghadapai perkembangan global.

Jelaslah bahwa banyak sekali dimensi yang mempengaruhi perencanaan anggaran negara. Selain harus mempunyai visi dan misi serta tujuan yang jelas, penyusunan perencanaan anggaran juga menghadapi banyak permasalahan, antara lain: (a) masalah manusia, (b) masalah proses, (c) masalah struktural, (d) masalah institusional. Oleh karena itu, perencana anggaran harus mengidentifikasi lebih dulu semua kemampuan, kelemahan, kesempatan yang ada, dan

Page 93: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Perencanaan Anggaran Negara

61

tantangan yang dihadapi melalui analisis SWOT.7) Untuk menghadapi semua faktor itu diperlukan strategi dengan mempertimbangkan segala batasan yang ada, seperti keadaan sosial dan politik, kondisi geografis, ketersediaan dana, kondisi kelembagaan, dan yang terakhir, ideologi negara sebagai pedoman seluruh proses perencanaan itu. (lihat Bagan 2).

Bagan 2. Dimensi Perencanaan Anggaran

7) SWOT adalah singkatan dari: Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan),

Opportunity (kesempatan), dan Threath (tantangan). Keempat faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Setiap negara atau daerah mempunyai faktor-faktor SWOT yang berbeda dan bisa berubah sesuai dengan kondisi masing-masing. Misalnya faktor kepemimpinan dalam negeri di suatu negara merupakan “kekuatan”, tetapi di negara lain kemungkinan merupakan “kelemahan”. Penduduk yang berjumlah besar dapat merupakan “kekuatan”, tetapi juga dapat merupakan “kendala” apabila tingkat pendidikannya rata-rata sangat rendah.

1. Misi dan Visi

Perencanaan Anggaran

2. Tujuan & Sasaran

3. Permasalahan

4. S W O T

5. Strategi

6. D a n a

7. Kondisi Geografis

8. Sosial Politik

9. Ideologi

10. Kelembagaan

Page 94: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

62

Hubungan antara GBHN, Propenas dan Repeta

Penyusunan anggaran negara setiap tahun merupakan suatu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Dalam perencanaan pembangunan nasional telah ditetapkan kebijakan jangka panjang melalui GBHN dan Propenas. Dengan demikian penyusunan anggaran negara setiap tahun harus mengacu pada: (a) GBHN, yang merupakan dokumen politik sebagai arah kebijakan rencana jangka panjang yang disusun oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); dan (b) Propenas, yaitu dokumen perencanaan lima tahunan sebagai penjabaran dari GBHN. Dokumen-dokumen itu menetapkan arahan serta sasaran baik secara makro, sektoral, dan regional. Dokumen yang pertama, yaitu GBHN, berisi penjelasan yang sangat global yang isinya merupakan pokok-pokok arahan dan sasaran yang akan dicapai. Propenas, yang merupakan penjabaran dari GBHN, memuat sasaran-sasaran yang lebih rinci.

GBHN Propenas Repeta

GBHN

GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan oleh MPR untuk lima tahun guna mewujudkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. GBHN ditetapkan dengan maksud memberikan arah penyelenggaraan negara dengan tujuan mewujudkan kehidupan yang demokratis, berkeadilan sosial, melindungi hak dan asasi manusia, menegakkan supremasi hukum dalam tatanan masyarakat dan bangsa yang beradab, berakhlak mulia, mandiri, bebas, maju dan sejahtera untuk kurun waktu lima tahun ke depan.

Arah kebijakan dalam GBHN meliputi bidang hukum, ekonomi, politik, hubungan luar negeri, penyelenggara negara, komunikasi, informasi dan media masa, agama, pendidikan, sosial dan budaya, pembangunan daerah, dan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Page 95: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Perencanaan Anggaran Negara

63

Propenas

Propenas adalah penjabaran dari sasaran-sasaran GBHN dalam jangka waktu lima tahunan. Dengan demikian sasaran-sasaran yang tercantum dalam Propenas selalu mengacu dan merupakan penjabaran yang lebih rinci dari sasaran-sasaran GBHN.

Mengingat arah pembangunan Indonesia adalah komprehensif yang meliputi semua aspek kehidupan, maka program pembangunan lima tahun juga meliputi program di semua bidang, yakni bidang ekonomi, sosial dan politik. Di masing-masing negara perencanaan pembangunan jangka menengah mempunyai strategi yang berbeda. Korea Selatan misalnya, dalam rencana lima tahun kelimanya (1982-1986)-nya, telah mengubah strategi, bahkan dokumen rencana lima tahunnya, yang semula diberi nama rencana lima tahun pembangunan ekonomi berubah menjadi rencana lima tahun pembangunan ekonomi dan sosial. Hal ini disebabkan bahwa Korea mengganggap telah berhasil dalam bidang ekonomi sehingga merasa perlu menonjolkan pembangunan sosial.

Untuk memberikan gambaran mengenai isi dari Propenas, di bawah ini adalah pokok-pokok isi Propenas 1999-2004 yang disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab pertama menjelaskan kondisi umum, visi, misi dan kaidah pelaksanaan Propenas.

Bab kedua menguraikan upaya untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa serta meningkatkan kehidupan demokrasi. Sesuai dengan kondisi umum yang diuraikan dalam GBHN, agenda pembangunan utama adalah menjaga keutuhan bangsa melalui peningkatan kehidupan berdemokrasi. Dalam bab ini diuraikan berbagai permasalahan yang timbul dan strategi kebijaksanaan serta program pembangunan yang diambil untuk menanggulangi perpecahan bangsa. Kebijakan strategis dalam rangka menegakkan demokrasi dan mengurangi terpusatnya kekuasaan merupakan suatu kebutuhan yang pelaksanaannya tidak dapat ditunda lagi.

Page 96: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

64

Bab ketiga menjelaskan upaya untuk mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang korup, tidak efisien, serta kurang tanggap dalam melayani masyarakat telah terbukti menjadi salah satu sebab rentannya perekonomian nasional. Selain itu pemerintah yang tidak efisien mengakibatkan lambannya Indonesia keluar dari krisis. Dalam bab ini diuraikan berbagai permasalahan strategis sehubungan dengan tekad bersama untuk memberantas segala bentuk penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah. Selain itu dibahas pula berbagai strategi yang berkaitan dengan upaya perbaikan sistem peradilan dan hukum. Dengan demikian terjadinya campur tangan dalam proses peradilan dan terjadinya tumpang tindih yang mengakibatkan adanya kerancuan hukum dapat dihilangkan.

Bab keempat menguraikan strategi kebijakan untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Berbagai langkah-langkah reformasi yang berkaitan dengan penyempurnaan perekonomian nasional diuraikan dalam bab ini.

Bab kelima menjabarkan strategi untuk membangun kesejah-teraan rakyat dan ketahanan budaya. Salah satu agenda penting dalam rangka meningkatkan ketahan nasional di masa mendatang adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya. Kualitas pendidikan dan kesehatan yang menurun selama krisis memerlukan berbagai penanganan yang sungguh-sungguh. Dalam bab ini diuraikan mengenai kebijakan strategis dalam bidang agama, kesehatan, pendidikan, pengentasan kemiskinan dan pemerataan, serta peningkatan peran wanita.

Bab keenam menguraikan upaya memberdayakan masyarakat dan daerah. Tuntutan desentralisasi yang semakin tinggi membu-tuhkan penanganan yang tepat agar keutuhan bangsa baik secara sosial maupun secara ekonomi dapat dipertahankan. Kebijakan-kebijakan strategis sehubungan dengan desentralisasi dan otonomi daerah dibahas dalam bab ini.

Page 97: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Perencanaan Anggaran Negara

65

Repeta

APBN adalah rencana operasional tahunan yang menjabarkan sasaran-sasaran Propenas dan Repeta. Dengan demikian, REPETA, Propenas, dan Repeta terkait satu sama lain. Dalam Repeta, rencana-rencana fisik dan pembiayaan sudah lebih kongkrit dibandingkan dengan rencana yang tercantum pada Propenas. Dalam Repeta, perkiraan pendapatan tahunan sudah mendekati jelas. Besarnya anggaran yang disediakan dalam Repeta tergantung dari: (a) besarnya perkiraan pendapatan dalam negeri pemerintah, dan (b) besarnya penerimaan dana dari pinjaman luar negeri.

Lembaga yang Terlibat Dalam Perencanaan Anggaran

Wilayah Indonesia dibagi ke dalam daerah provinsi, dan daerah provinsi dibagi ke dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah tersebut mempunyai sumber daya alam dan tingkat pendapatan asli daerah yang berbeda-beda sehingga masing-masing daerah tidak sama kemampuannya untuk membiayai kebutuhan anggaran, baik rutin maupun pembangunan. Hal yang perlu dicermati adalah daerah yang mempunyai pendapatan yang lebih besar akan mempunyai kesempatan yang juga lebih besar untuk melaksanakan pembangunan dan sebaliknya bagi daerah yang mempunyai sumber pendapatan lebih kecil. Dalam hal ini, tanpa bantuan pemerintah pusat, kesenjangan antar daerah akan menjadi melebar.

Lembaga yang terlibat di dalam perencanaan anggaran dapat diidentifikasi menurut tingkatnya, mulai dari yang paling rendah sampai dengan yang paling tinggi, seperti sebagai berikut:

Wilayah desa: LKMD

Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) adalah lembaga masyarakat di desa atau kelurahan yang tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat, dan merupakan wahana partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Lembaga ini memadukan pelaksanaan berbagai kegiatan pemerintah dan prakarsa serta swadaya gotong-royong masyarakat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dalam rangka mewujudkan ketahanan nasional yang

Page 98: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

66

meliputi aspek-aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, agama, dan pertahanan keamanan.

Organisasi di pedesaan ini mempunyai tiga fungsi pokok:

(1) Merencanakan pembangunan yang didasarkan atas asas musyawarah.

(2) Menggerakkan dan meningkatkan prakarsa dan prestasi masyarakat untuk melaksanakan pembangunan secara terpadu, baik yang berasal dari pemerintah, maupun yang berasal dari gotong-royong/swadaya masyarakat.

(3) Menumbuhkan kondisi dinamis masyarakat untuk mengembangkan ketahanan desa.

Wilayah Kecamatan: UDKP

Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) adalah semacam unit kerja perencanaan yang bertugas untuk menyusun perencanaan pembangunan di daerah di lingkungan wilayah kecamatan.

Wilayah Kabupaten/Kota: Bappeda kabupaten/kota

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pemerintah Kabupaten/Kota merupakan badan tertinggi di daerah kabupaten/kota dalam bidang perencanaan pembangunan di daerah bersangkutan. Badan ini di bentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 1974. Bappeda Kabupaten/Kota adalah instansi yang langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota. Bappeda Kabupaten/Kota mempunyai tugas membantu Bupati/ Walikota dalam menentukan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan di daerah kabupaten/kota serta penilaiannya atas pelaksanaannya. Dalam rangka melaksanakan perencanaan pembangunan di daerah, Bappeda Kabupaten/Kota berkewajiban mengusahakan keterpaduan antara rencana nasional dan daerah; mengkoordinasikan aspek-aspek perencanaan dari seluruh unit vertikal yang terdapat dalam wilayahnya. Untuk menyelenggarakan tugas sebagai mana dimaksud, Bappeda Kabupaten/Kota mempunyai fungsi:

Page 99: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Perencanaan Anggaran Negara

67

1) Menyusun pola dasar pembangunan daerah yang terdiri atas pola umum pembangunan daerah jangka panjang dan pola umum jangka menengah (Propeda);

2) Menyusun Prolita Kabupaten/Kota;

3) Menyusun program-program tahunan sebagai pelaksanaan rencana-rencana tersebut yang dibiayai oleh daerah sendiri atau yang diusulkan kepada pemerintah provinsi untuk dimasukkan ke dalam program pemerintah provinsi dan/atau diusulkan kepada pemerintah pusat untuk dimasukkan ke dalam program tahunan nasional.

4) Melakukan koordinasi perencanaan di antara dinas-dinas satuan organisasi lain di lingkungan pemerintah daerah, instansi-instansi vertikal, kecamatan-kecamatan dan badan-badan lain yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

5) Menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten/Kota bersama-sama dengan bagian keuangan daerah dengan koordinasi Sekretaris Wilayah Kabupaten/Kota.

6) Melaksanakan koordinasi dan atau mengadakan penelitian untuk kepentingan pembangunan di daerah.

7) Mengikuti persiapan dan perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan di daerah untuk menyempurnaan perencanaan lebih lanjut.

8) Memantau pelaksanaan pembanguan di daerah.

9) Melakukan kegiatan-kegiatan lain dalam rangka perencanaan sesuai dengan petunjuk Bupati/Walikota.

Tingkat Provinsi: Bappeda Provinsi

Bappeda Provinsi adalah badan tertinggi di daerah provinsi di bidang perencanaan pembangunan di daerah bersangkutan. Badan ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1974. Bappeda Provinsi adalah badan yang langsung

Page 100: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

68

berada di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur. Bappeda Provinsi mempunyai tugas membantu gubernur dalam menentukan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan di provinsi serta penilaian atas pelaksanaannya. Dalam rangka melaksanakan perencanaan pembangunan di daerah, Bappeda Provinsi berkewajiban mengusahakan keterpaduan antara rencana nasional dan daerah. Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud, Bappeda Provinsi mempunyai fungsi:

1) Menyusun pola dasar pembangunan daerah yang terdiri atas pola umum pembangunan daerah jangka panjang dan pola umum Prolita Provinsi

2) Menyusun Prolita Provinsi

3) Menyusun program tahunan sebagai pelaksanaan rencana-rencana tersebut yang dibiayai oleh daerah sendiri atau yang diusulkan kepada pemerintah Pusat untuk dimasukkan ke dalam program tahunan nasional

4) Melakukan koordinasi perencanaan di antara dinas-dinas satuan organisasi lain dalam lingkungan pemerintah daerah, instansi-instansi vertikal, kabupaten-kabupatem/kotamadya, dan badan-badan lain yang berada dalam wilayah pemerintah provinsi yang bersangkutan

5) Menyusun rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah tingkat provinsi bersama-sama dengan Biro Keuangan Daerah dengan koordinasi Sekretaris Wilayah Pemerintah Provinsi

6) Melaksanakan koordinasi dan atau mengadakan penelitian untuk kepentingan pembangunan di daerah

7) Mengikuti persiapan dan perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan di daerah untuk penyempurnaan perencanaan lebih lanjut

8) Memonitor pelaksanaan pembangunan di daerah

9) Melakukan kegiatan lain dalam rangka pelaksanaan sesuai dengan petunjuk gubernur.

Page 101: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Perencanaan Anggaran Negara

69

Unit Perencanaan Departemen Teknis

Unit perencanaan Departemen/Lembaga biasanya berada di bawah lingkungan Sekretariat Jenderal masing-masing departemen, tepatnya berada dalam cakupan Biro Perencanaan. Fungsi biro ini adalah mengkoordinasikan usulan anggaran dari cabang-cabang departemen teknis di daerah untuk dinilai dan dikoordinasikan, sebelum disampaikan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)

Badan ini merupakan Lembaga Non-Departemen yang berkedudukan langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden; berfungsi membantu Presiden dalam menetapkan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan nasional.

Dalam melaksanakan tugasnya, badan ini mempunyai fungsi:

a) Menjabarkan Garis-garis Besar Haluan Negara ke dalam rencana pembangunan nasional jangka panjang, menengah dan tahunan;

b) Mengkoordinasikan perencanaan dan mengusahakan keserasian di antara rencana bagian lintas sektoral maupun lintas regional dan mengadakan pengintegrasian rencana-rencana tersebut ke dalam suatu rencana pembangunan nasional;

c) Menyusun rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bersama-sama dengan Departemen Keuangan;

d) Menyusun kebijakan penerimaan dan penggunaan pinjaman luar negeri untuk pembangunan bersama-sama dengan lembaga yang terkait;

e) Menilai pelaksanaan rencana pembangunan nasional dengan mempertimbangkan penyesuaian yang diperlukan pada program pembangunan;

Page 102: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

70

f) Meneliti kebijakan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas perencanaan serta penilaian kinerja pembangunan nasional;

g) Meningkatkan kapasitas institusi perencanaan di pusat dan daerah;

h) Melaksanaan kegiatan-kegiatan lain yang ditugaskan oleh Presiden.

Klasifikasi Fungsional

Di beberapa negara, pelaksanaan anggaran negara dibagi ke dalam beberapa klasifikasi fungsional yang merupakan pengelompokan pengeluaran menurut fungsinya. Klasifikasi menurut fungsi ini bertingkat-tingkat, dimulai dari lingkup yang sempit sampai ke lingkup yang luas. Tingkatan klasifikasi ini, dalam sistem anggaran negara di Indonesia, menurut urutan dari kelompok fungsi yang paling luas adalah sektor, sub sektor dan program. Dengan kata lain, setiap sektor dibagi ke dalam beberapa sub sektor, dan masing-masing sub sektor terdiri dari beberapa program. Lihat Bagan 3.

Bagan 3. Klasifikasi Fungsional

Sektor

Sub Sektor

Sub Sektor

Program

Program

Proyek

Proyek

Bagian Proyek

Bagian Proyek

Kegiatan

Kegiatan

Page 103: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Perencanaan Anggaran Negara

71

Tujuan penyusunan klasifikasi di dalam anggaran negara ini adalah: (a) memberi tekanan pada penggunaan anggaran negara yang diprioritaskan, (b) menemukenali tujuan masing-masing kelompok anggaran menurut fungsinya, dan (c) mempermudah pengalokasian anggaran menurut prioritas.

Dalam sejarah perencanaan pembangunan lima tahunan – yakni Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) - di Indonesia, penyusunan klasifikasi di dalam anggaran ini berubah-ubah dari satu Repelita ke Repelita berikutnya.

Perubahan ini terjadi karena: (a) masing-masing Repelita mengikuti penekanan pembangunan yang digariskan oleh GBHN setiap lima tahun; (b) adanya penyempurnaan-penyempurnaan pada masing-masing sektor, sub sektor, dan program terhadap Repelita sebelumnya. Contoh tentang perubahan itu antara lain sebagai berikut:

(1) Dalam Sub Sektor Pertanian, sejak Repelita I sampai dengan Repelita V, program-programnya disusun melalui pendekatan produksi, misalnya peningkatan produksi tanaman pangan, produksi petenakan, produksi perikanan, produksi perkebunan dan produksi kehutanan. Pada Repelita VI, program-program sub sektor ini disusun dengan lebih menekankan pada pendekatan keterpaduan, misalnya program pembangunan pertanian terpadu, program pembangunan usaha pertanian, program diversifikasi pangan dan gizi, program pengembangan sumber daya dan sarana pertanian. Program-program tersebut dilaksanakan oleh lebih dari satu Direktorat Jenderal di lingkungan Departemen Pertanian.

(2) Pada Repelita I dan II, kegiatan perhubungan digolongkan sebagai sub sektor, yaitu Sub Sektor Perhubungan. Akan tetapi, sejak Repelita III kegiatan perhubungan dipecah menjadi beberapa sub sektor, yaitu: (a) Sub Sektor Prasarana Jalan, (b) Sub Sektor Perhubungan Darat, (c) Sub Sektor Perhubungan Laut, (d) Sub Sektor Perhubungan Udara, (e) Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi dan (f) Sub Sektor Pariwisata.

Page 104: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

72

(3) Sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi baru muncul sejak Repelita II, sedangkan Sektor Pengembangan Dunia Usaha dan Sektor Sumber Alam dan Lingkungan Hidup baru muncul sejak Repelita III.

Pengelompokan anggaran menurut sektor adalah penting artinya untuk perencanaan tingkat makro. Melalui pengelompokan menurut sektor itu kebijakan pada tingkat proyek, program, sampai dengan tingkat makro dapat diidentifikasi dengan jelas (lihat Bagan 4)

Bagan 4. Sasaran Makro Melalui Klasifikasi Fungsional

Fungsi Klasifikasi Anggaran

Strategi Pembangunan

Pola pengelompokan anggaran tergantung dari tekanan strategi pembangunan pada masing-masing negara. Pada kenyataannya tekanan pembangunan pada masing-masing negara berbeda satu dengan yang lain, tergantung dari pendekatan ekonomi, sosial dan politik di negara yang bersangkutan. Misalnya, negara yang sedang menghadapi ancaman dari luar lebih memprioritaskan Sektor Pertahanan di bandingkan dengan Sektor Pendidikan atau Sektor Ekonomi.

Sasaran Makro

Sektor

Program

Page 105: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Perencanaan Anggaran Negara

73

Tanggung Jawab Departemen Teknis

Dalam hubungannya dengan struktur organisasi departemen teknis, klasifikasi anggaran ini tampak agak lebih rumit lagi. Kelompok anggaran tertentu pada umumnya dapat dilaksanakan oleh lebih dari satu departemen teknis. Misalnya, perencanaan dan pelaksanaan Sektor Pertambangan dan Energi menjadi tanggungjawab Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Menteri Negara Riset dan Teknologi. Sebaliknya, ada departemen teknis tertentu yang bertanggung jawab terhadap lebih dari satu sektor. Misalnya, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah yang bertanggung jawab terhadap perencanaan dan pelaksanaan Sektor Pengairan, Sektor Transportasi, Sektor Meteorologi dan Geofisika.

Alat Pengendalian oleh Dewan Legislatif

Klasifikasi dalam anggaran negara dapat dipergunakan oleh dewan legislatif, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dalam rangka menilai dan kemudian mengesahkan anggaran negara sesuai dengan pasal 23 UUD 1945. Pengesahan anggaran oleh DPR selama ini masih pada tingkat sektor dan sub sektor, sedangkan pada tingkat program, pemerintah masih dapat mengalokasi dan menggunakan anggaran dengan leluasa selama tidak melebihi anggaran pada tingkat sektor dan sub sektor bersangkutan.

Menganalisis Hubungan antar Sektor

Klasifikasi fungsional diharapkan pula dapat dipergunakan untuk menganalisis hubungan antara sektor, antar sub sektor, dan antar program yang dilaksanakan oleh pemerintah. Hubungan antar sektor dan antar sub sektor ini penting untuk mengetahui sektor atau sub sektor mana yang menjadi sebab dan akibat satu sama lain (hubungan kausal), dan sektor atau sub sektor mana yang saling mempengaruhi (hubungan fungsional). Dalam kaitan ini, yang lebih penting lagi adalah sampai di mana eratnya hubungan antar sektor atau sub sektor. Misalnya, Sektor

Page 106: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

74

Pendidikan erat hubungannya dengan Sektor Ilmu Pengetahuan, tetapi mungkin kurang erat apabila dihubungkan dengan Sektor Pertahanan.

Mengukur Kinerja Pembangunan

Klasifikasi anggaran ini penting artinya sehubungan dengan keperluan untuk menilai kinerja pembangunan. Setiap klasifikasi anggaran mempunyai tujuan yang dapat dikenali, sehingga kinerja masing-masing kelompok anggaran dapat dievaluasi melalui pendekatan output-nya. Sebagai contoh, apakah Sektor Pertanian benar-benar telah dapat mencapai sasaran kenaikan produksi pertanian yang ditargetkan, misalnya, sebesar 3,0% tiap tahun; atau seberapa jauh pengalokasian anggaran pada Sektor Kesehatan, telah mampu menurunkan kematian bayi dan ibu hamil sesuai dengan persentase yang ditargetkan.

Operasional Departemen Teknis Dalam Pencapaian Sasaran

Tujuan pembuatan klasifikasi anggaran juga berhubungan dengan tanggungjawab dari organisasi pelaksananya, baik antar Departemen maupun unit organisasi di dalam Departemen itu sendiri. Seperti diketahui, Departemen dipimpin oleh seorang menteri yang membawahi unit organisasi tingkat direktorat jenderal, direktorat, sub direktorat, seksi, dan sub seksi. Tanggung jawab untuk meningkatkan produksi pertanian sebesar 3,0%, misalnya ada pada Menteri Pertanian, sedangkan setiap unit di bawahnya mempunyai tanggungjawab tentang keberhasilan pada tingkat klasifikasi yang lebih rendah. Direktorat Jenderal Pertanian Pangan, misalnya bertanggungjawab terhadap keberhasilan produksi tanaman pangan yang merupakan bagian dari produksi pertanian. Demikian selanjutnya, Direktorat-Direktorat di bawahnya bertanggungjawab terhadap keberhasilan program-programnya dan tingkat unit organisasi di bawahnya lagi bertanggungjawab dalam lingkup yang lebih kecil.

Page 107: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Perencanaan Anggaran Negara

75

Berikut ini adalah contoh klasifikasi Fungsional Anggaran yang terdapat di dalam Propenas 1999-2004 yang terdiri dari 20 sektor: (1) Sektor Industri (2) Sektor Pertanian dan Kehutanan (3) Sektor Pengairan (4) Sektor Tenaga Kerja (5) Sektor Perdagangan, Pengembangan Usaha Nasional,

Keuangan, dan Koperasi (6) Sektor Transportasi, Meteorologi dan Geofisika (7) Sektor Pertambangan dan Energi (8) Sektor Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (9) Sektor Pembangunan Daerah dan Transmigrasi (10) Sektor Lingkungan Hidup dan Tata Ruang (11) Sektor Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pemuda dan Olah Raga (12) Sektor Kependudukan dan Keluarga Sejahtera (13) Sektor Kesejahteraan Sosial, Kesehatan, Peranan Wanita,

Anak dan Remaja (14) Sektor Perumahan dan Permukiman (15) Sektor Agama (16) Sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (17) Sektor Hukum (18) Sektor Aparatur Negara dan Pengawasan (19) Sektor Politik, Hubungan Luar Negeri, Penerangan,

Komunikasi dan Media Massa (20) Sektor Pertahanan dan Kemanan

Berkaitan dengan sektor-sektor dalam Propenas 1999-2004 tersebut, pada Tabel 3 dapat dilihat departemen dan menteri negara yang bertanggung jawab, baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan, terhadap masing-masing sektor. Sebagaimana telah dikemukakan, sebuah departemen dapat merencanakan dan melaksanakan lebih dari satu sektor, sementara sebaliknya satu sektor dapat dilaksanakan oleh lebih dari satu departemen.

Page 108: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

76

Page 109: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

77

4 Politik dan Anggaran Negara

Anggaran negara diputuskan melalui keputusan politik, sedangkan perhitungan dan analisis di dalamnya merupakan amunisi dalam proses pembuatan keputusan tersebut. Pada bab terdahulu telah dijelaskan bahwa penyusunan anggaran negara dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor sosial, ekonomi, dan politik. Faktor-faktor itu pada prinsipnya melibatkan unsur pemerintah, dewan legislatif, masyarakat, dan pelaku ekonomi. Unsur pemerintah biasanya berhubungan dengan penyusunan dan pengambilan keputusan tentang anggaran; unsur legislatif berhubungan dengan pertanggungjawaban anggaran kepada rakyat yang telah memilihnya; unsur masyarakat berhubungan dengan pemilik dana dan pengguna dana; sedangkan pelaku ekonomi berhubungan dengan masalah produksi, atau pemenuhan kebutuhan manusia atas barang dan jasa. Setiap unsur mempunyai kepentingan yang berbeda dan akan saling mempertahankan kepentingan tersebut menurut kekuatan mereka masing-masing.

Anggaran negara mempunyai beberapa karakteristik yang membuatnya sarat dengan masalah politik. Pemerintah menyusun anggaran secara teknis dengan kriteria efisiensi dan profesional. Biasanya, pejabat yang menyusun anggaran negara mempunyai pendidikan yang khusus dalam mendalami masalah anggaran, tetapi perhitungan yang telah disusun secara teknis dan profesional kadang-kadang sulit disajikan secara rasional akibat adanya intervensi dari unsur-unsur politik. Di sini akan saling berhadapan antara penyusun anggaran yang profesional dan para politisi yang bekerja dengan

Page 110: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Politik dan Anggaran Negara

78

pertimbangan politik. Dengan kata lain, terdapat batasan antara keputusan yang bersifat teknis dari para penyusun anggaran dan yang bersifat politis dari para politisi atau, dalam hal ini, anggota legislatif.

KEBIJAKAN TEKNIS VERSUS KEBIJAKAN POLITIS

Biasanya antara legislatif dan eksekutif yang bertentangan kebijakan dapat digambarkan seperti perlombaan menaiki pohon pinang yang sudah dilumuri dengan pelicin. Pemerintah yang ingin mencapai sasaran tertentu, terpaksa harus meluncur ke bawah lagi setiap kali karena licinnya pohon pinang tersebut. Ingat gelombang demo yang terjadi pada Bulan Januari 2003 ketika pemerintah ingin memperbaiki perekonomian makro melalui mengurangi subsidi walaupun berakibat harus menaikkan harga BBM, tarif dasar telepon dan listrik, terpaksa harus ditunda lagi keputusan tersebut karena kekuatan rakyat yang menghalang-halangi.

Di lingkungan anggota legislatif yang mewakili rakyat juga sering terjadi konflik antar-mereka sendiri. Jadi konflik terjadi bukan hanya antara anggota legislatif dan penyusun anggaran atau pemerintah saja, tetapi juga di kalangan dewan legislatif. Hal ini wajar karena anggota legislatif mewakili kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, antara lain kelompok ekonomi kuat dan ekonomi lemah. Tidak heran, misalnya, bila di kalangan legislatif ada pihak yang memperjuangkan anggaran untuk mengatasi kemiskinan, dan ada pihak yang memperjuangkan anggaran untuk golongan pengusaha yang sudah mapan.

Peranan Anggaran Negara

A. Premchand1) menggambarkan bahwa anggaran negara mempunyai bermacam-macam fungsi, antara lain: Pertama, menunjukkan arah dalam ekonomi yang menekankan pada penggunaan sumber-sumber dalam masyarakat. Kedua, anggaran negara berperan dalam rangka keseimbangan makroekonomi, antara lain untuk meningkatkan pertumbuhan, meningkatkan kesempatan kerja, menjaga stabilitas harga, dan kebijakan moneter lain. Ketiga,

1) A. Premchand, ibid, hal. 37.

Page 111: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

79

anggaran juga mempunyai peran untuk meningkatkan pemerataan pendapatan bagi masyarakat melalui sistem perpajakan, serta pengeluaran yang efektif. Keempat, anggaran harus diorganisasikan secara baik agar mempunyai arti dalam perekonomian secara keseluruhan.

Bagan 5. Penyusunan Anggaran Secara Teknis dan Politis

Begitu luas dan strategisnya peranan anggaran negara, sehingga para politisi yang duduk dalam badan legislatif ataupun eksekutif berusaha untuk menguasai anggaran negara itu sebagai sesuatu yang sangat berarti untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau dengan maksud lain, misalnya untuk mempertahankan kedudukannya di dewan legislatif atau eksekutif. Dengan kata lain, penyusunan anggaran negara tidak dapat dipisahkan dari unsur politik, atau bahkan anggaran negara dapat dipergunakan sebagai alat politik.

Kata “politik” mempunyai banyak definisi, namun pada umumnya dapat dibagi ke dalam dua macam pengertian, yaitu pertama menekankan pada “negara”, dan kedua menekankan pada “kekuatan”.

Perencanaan Secara Teknis

Penerapan prinsip- Prinsip Logika

Perkiraan Sasaran

Perkiraan Menurut Perhitungan Matematis

Rencana yang Efesien Dapat Dilaksanakan

Perencanaan dari Sudut Pandang Politis

Penerapan Prinsip

Manajemen

Sistem Politik Dan Komposisinya

Usaha-usaha Masyarakat

Rencana yang Dapat Diterima Umum

Kesepakatan

Anggaran Negara

Page 112: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Politik dan Anggaran Negara

80

Politik berasal dari kata “polis”, yaitu dalam bahasa Yunani berarti “negara”. “Politik” dan “negara” sangat erat hubungannya, demikian pula antara “politik” dengan “kekuatan (power)”.2)

Dari sejak awal penyusunan anggaran negara sampai dengan proses pelaksanaannya, tidak lepas dari unsur politik. Dengan kata lain proses anggaran itu meliputi berbagai tingkatan dan setiap tingkatan dapat mempengaruhi pembagian kekuasaan baik di kalangan eksekutif, legislatif, kelompok yang berkepentingan maupun individual. Eksekutif menunjukan kekuasaannya dalam menyusun anggaran negara, baik dari segi penerimaan maupun pengeluaran. Dari segi penerimaan, terutama dalam hal penarikan pajak, eksekutif harus bertindak adil dan tidak membebabani rakyat kecil, serta tidak mematikan gairah masyarakat untuk berinventasi. Tetapi fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara, peningkatan pajak juga tidak dilupakan.

Disamping pihak legislatif dengan alasan membela rakyat, maka alasan yang terakhir itu biasanya tidak sependapat. Mereka dengan kekuasaannya akan menolak setiap usaha peningkatan pajak yang membebani rakyat.

Dalam mempengaruhi segi pengeluaran, campur tangan anggota legislatif dari keikutsertaan mereka dalam setiap pertemuan koordinasi antara departemen/lembaga dan Bappenas serta Departemen Keuangan. Demikian pula, pada penilaian dokumen anggaran, misalnya mereka mempertanyakan “berapa”, “di mana” dan “untuk apa” suatu anggaran tersebut disediakan.

Kelompok individu biasanya tidak ragu-ragu membayar pajak apabila penerimaan negara itu dipergunakan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat berupa peningkatan pembangunan sarana dan prasarana serta alat transportasi yang nyaman bagi mereka. Tetapi kebalikannya, apabila sistem penerimaan dan pengeluaran tidak memuaskan, mereka menganggap legislatif juga ikut bertanggung jawab dan akan langsung menentang dan mempengaruhi suara pada pemilihan yang akan datang.

2) J. Roland Pennock and David G. Smith, Political Science, (New York: The Mac-

millan Company, 1964) hal. 5.

Page 113: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

81

Pengaruh Politik Dalam Anggaran

Anggaran negara adalah merupakan ramalan atau prediksi yang di dalamnya terdapat angka-angka sebagai usulan pengeluaran untuk suatu tujuan tertentu. Suatu keputusan tentang kebijakan anggaran mengandung hal-hal yang sangat kompleks, dan bahkan kadang-kadang menghasilkan konflik di antara para aktor yang menangani anggaran itu karena masing-masing pihak ingin mempertahankan kepentingannya. Ia merupakan sebuah titik strategis dalam pengendalian perekonomian nasional sehingga sangat kental dipengaruhi oleh faktor politik. Setiap perubahan atas kebijakan anggaran yang dibuat oleh pemerintah akan berdampak secara langsung pada kepentingan masyarakat dan para pelaku ekonomi.

Pemerintah mengendalikan anggaran negara dari segi penerimaan dan pengeluarannya. Dari komponen penerimaan dapat diteliti: hubungan antara masing-masing komponen dan kegiatan lain, atau pengaruhnya terhadap variabel lain yang mempunyai hubungan kausal dan fungsional. Misalnya, penerimaan melalui perpajakan dapat dihubungkan dengan variabel lain yang mempunyai korelasi yang erat, seperti tingkat inflasi dan tingkat pendapatan. Demikian pula misalnya dari segi pengeluaran, kegiatan mana yang dapat berdampak pada variabel tingkat pertumbuhan, pemerataan dan lain sebagainya. Sebagai contoh lain, bahwa masyarakat dapat diperkirakan selalu tidak puas dengan kebijakan pemerintah dalam menaikkan pajak karena kebijakan ini berarti akan mengurangi hak-hak mereka untuk mengkonsumsi barang dan jasa. Di lain pihak, apabila daya beli masyarakat menurun, para investor dalam negeri kehilangan pasar bagi produksinya, sehingga mereka tidak bergairah lagi untuk melakukan investasi.

Pemerintah tidak dapat mengelak untuk tidak mengambil kebijakan berkenaan dengan masalah atau pilihan sebagaimana contoh di atas, karena pemerintah mempunyai misi yang harus dilaksanakan. Menurut Warren F. Ilchman dan Norman Thomas Uphoff,3) pemerintah pada prinsipnya mempunyai 5 (lima) alternatif kebijakan, yaitu :

3) Warren F. Ilchman and Norman Thomas Uphoff, The Political Economy of

Change, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1971) hal. 33.

Page 114: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Politik dan Anggaran Negara

82

a. Pilihan untuk mengatasi perubahan sosial dan ekonomi

b. Pilihan untuk mendorong perubahan sosial dan ekonomi

c. Pilihan untuk mempertahankan kekuasan pada waktu sekarang

d. Pilihan untuk mempertahankan kekuasaan pada masa yang akan datang

e. Pilihan untuk membangun infrastruktur politik dan administrasi

Pertentangan antar-unsur-unsur yang berkepentingan berkenaan dengan anggaran negara bisa dimengerti, karena posisi anggaran negara yang strategis. Posisi strategis anggaran negara yang dimaksud adalah bahwa ia mampu menanggulangi masalah ekonomi dan sosial, seperti masalah yang berhubungan dengan investasi, inflasi, neraca pembayaran, kesempatan kerja, kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.

Menurut Irene S. Rubin, anggaran negara ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut4) :

1) Anggaran negara ditandai oleh adanya berbagai macam aktor yang mempunyai kepentingan berbeda dan tingkat kekuatan yang berbeda pula. Pada anggaran rumah tangga, aktornya hanya seorang atau beberapa orang yang mempunyai pandangan yang sama tentang apa yang ingin dicapai.

2) Dalam anggaran negara, yang dikeluarkan oleh pejabat sebenarnya adalah uang yang bukan miliknya, tetapi yang dimiliki oleh warga negara. Akan tetapi, uniknya pejabat negara itu dapat memaksakan pengeluaran uang (yang berasal dari pembayaran pajak) yang pada prinsipnya tidak diinginkan.

3) Karena para pejabat pengelola anggaran telah membuat keputusan pengeluaran uang untuk warga negara, maka mereka harus dapat mempertanggungjawabkannya. Untuk itu, diperlukan dokumen anggaran yang dapat membantu menjelaskan apa dan bagaimana anggaran itu digunakan.

4) Irene S. Rubin, ibid, hal. 6.

Page 115: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

83

4) Anggaran negara direncanakan dengan baik, dari mulai permulaan tahun anggaran, dan diharapkan akan berlaku sampai dengan akhir tahun anggaran. Semua perubahan yang timbul selama tahun anggaran berlangsung, karena terjadi hambatan yang disebabkan oleh adanya peristiwa alam, konflik politik, atau gejolak ekonomi, harus disetujui lebih dahulu oleh dewan legislatif. Tidak demikian halnya pada pelaksanaan anggaran rumah tangga yang bersifat lebih luwes, dan dapat di ubah dari minggu ke minggu atau bulan ke bulan, tergantung dari situasi yang ada.

5) Anggaran negara mempunyai “kendala” berupa peraturan perundangan yang ketat, sedangkan anggaran rumah tangga dilaksanakan menurut kehendak pemilik modal.

Kaitan Anggaran dengan Faktor Lingkungan

Anggaran negara amat terkait dengan berbagai faktor lingkungan. Yang dimaksud dengan lingkungan adalah suatu keadaan, seperti ekonomi, politik, sosial, keadaan alam dan hukum, yang dapat mempengaruhi penyusunan atau pelaksanaan anggaran negara. Ekonomi berhubungan dengan perkembangan inflasi, neraca pembayaran, dan struktur pajak; sosial berhubungan dengan penggangguran, kemiskinan, kesehatan dan pendidikan; politik berhubungan dengan hubungan eksekutif legislatif yang mungkin kurang serasi, dan pendapat masyarakat; keadaan alam berhubungan dengan angin kencang, kekeringan, kebakaran hutan, polusi udara dan lain-lain; sedangkan hukum berhubungan dengan keputusan yang telah dikeluarkan sebelumnya yang memerlukan perbaikan.

Faktor lingkungan itu akan mempengaruhi hasil akhir dari anggaran negara baik langsung maupun tidak langsung, melalui suatu strategi para penentu anggaran.

Lingkungan dapat mempengaruhi bukan hanya hasil akhir tetapi juga proses anggaran. Misalnya, jika di suatu negara terdapat akumulasi hutang dan terhadap hutang itu tidak ada pengawasan yang memadai, atau terjadi peningkatan anggaran secara cepat karena berbagai alasan, maka hal ini mungkin akan mengubah proses anggaran dalam usaha untuk mengawasi pengeluaran hutang tersebut.

Page 116: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Politik dan Anggaran Negara

84

Kebalikannya, apabila faktor-faktor lingkungan ini menganjurkan keperluan tambahan untuk pengeluaran dan proses anggaran yang sedang berlangsung disalurkan sangat lamban, maka proses ini harus dipercepat atau dipermudah. Selanjutnya lingkungan juga mempengaruhi strategi dari para aktor anggaran. (lihat Bagan 6).

Bagan 6. Hubungan antara Lingkungan, Proses, Hasil Akhir dan Strategi Penyusun Anggaran

Lingkungan Proses Strategi Hasil Akhir

Para Aktor

Pengaruh politik dalam anggaran negara bukan hanya terjadi pada saat penyusunannya, tetapi juga pada prosesnya secara keseluruhan yakni mulai dari tingkat usulan sampai ke pelaksanaan dan penilaian.

Bidang Yang Dipengaruhi Oleh Politik

Politik dapat mempengaruhi anggaran melalui 4 (empat) bidang, yaitu : (1) Perubahan termasuk perubahan sistem, (2) Penambahan maupun pengurangan, (3) Proses, dan (4) Kebijakan.

Perubahan (termasuk perubahan sistem)

Perubahan dalam sistem anggaran negara untuk kepentingan politik pemerintah pada waktu itu. Contoh, di Indonesia sejak tahun 1969 sampai tahun 2000 sistem anggaran ini tidak berubah. Dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN), anggaran disusun dengan menggunakan bentuk “T-account”, yaitu seperti pembukuan yang terdiri dari dua sisi, sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. Sisi penerimaan terdiri dari penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan. Sedangkan pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan (lihat Tabel 4).

Pada Tabel 4 tersebut, terdapat istilah penerimaan pembangunan disisi sebelah kiri, yang sebenarnya adalah pinjaman luar negeri. Jadi, bisa terlihat di tabel ini bahwa pinjaman luar negeri dibukukan

Page 117: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

85

sebagai penerimaan pembangunan, untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa sebenarnya APBN Indonesia tidak defisit. Padahal dengan pinjaman luar negeri itu, anggaran negara sebenarnya dalam keadaan defisit. Demikian pula istilah tabungan pemerintah (public saving) merupakan selisih antara penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin, yang terus meningkat setiap tahun. Rakyat menghargai pemerintah karena dengan meningkatnya tabungan pemerintah ini menggambarkan keberhasilan pembangunan.

Tabel 4.

Rancangan Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara (1998 – 1999)

(dalam miliar rupiah)

Penerimaan

Jumlah

Pengeluaran

Jumlah

A. Penerimaan Dalam Negeri

I. Penerimaan minyak bumi Dan gas alam (migas) 1. Minyak bumi 2. Gas alam II. Penerimaan di luar migas 1. Pajak penghasilan 2. Pajak pertambahan nilai 3. Bea masuk 4. C u k a I 5. Pungutan ekspor 6.Pajak bumi dan bangunan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan 7. Pajak lainnya 8. Penerimaan bukan pajak 9. Laba bersih minyak B. Penerimaan Pembangunan

I. Bantuan program II. Bantuan proyek

107.687,9 27.286,4

18.869,7 8.416,7

80.401,5

26.337,0 27.830,0 3.179,8 4.649,6 110,0

3,411,0 540,0 14,344,1

-

25.804,0

6.800,0

19.004,0

A. Pengeluaran Rutin

I. Belanja Pegawai 1. Gaji/pensiun

2. Tunjangan beras 3. Uang makan/lauk pauk 4. Lain2 belanja peg. DN 5. Belanja pegawai LN

II. Belanja barang 1. Belanja barang DN 2. Belanja barang LN III. Subsidi daerah otonom 1. Belanja pegawai 2. Belanja nonpegawai IV. Bunga dan cicilan hutang 1. Hutang dalam negeri 2. Hutang luar negeri V. Pengeluaran rutin lainnya 1. Subsidi BBM 2. Lain – lain B. Pengeluaran Pembangunan

I. Pembiayaan rupiah II. Bantuan proyek

92.384,0 21.887,4 17.405,7 1.323,5 1.237,0 1.154,6 766,6

10.738,9 10.059,7 679,2

12.283,9 11.600,7 683,2

32.086,7 1.846,7 30.240,0

15.387,1 10.077,6 5.309,5

41.107,9

22.103,9

19.004,0

J u m l a h

133.491,9

J u m l a h

133.491,9

Sumber : Nota Keuangan 1998/1999

Page 118: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Politik dan Anggaran Negara

86

Untuk mendapatkan angka tabungan pemerintah, sebenarnya merupakan perhitungan matematika sederhana yaitu : penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Untuk merubah angka tabungan pemerintah ini menjadi besar, caranya sangat mudah, yaitu dengan mengecilkan angka pengeluaran rutin, otomatis angka tabungan pemerintah akan menjadi lebih besar. Misalnya kegiatan “proyek” peningkatan data statistik, yang mestinya sudah secara rutin dan setiap tahun disediakan, seharusnya dibukukan dalam anggaran rutin, tetapi ternyata dibukukan dalam anggaran pembangunan. Tentu saja dalam hal ini tabungan pemerintah selalu meningkat, dan dalam laporannya kepada anggota legislatif, eksekutif dengan bangga mengatakan bahwa tabungan pemerintah selalu meningkat tahun demi tahun. (lihat Tabel 5)

Tabel 5. Tabungan Pemerintah (1969 – 1970 s.d. 1997 – 1998)

(dalam miliar rupiah)

T a h u n

Jumlah Kenaikan (+) / Penurunan (-)

(1) (2) (3)

1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998

7.169,0 13.071,9 13.529,0 15.257,2 15.823,2 22.349,0 22.578,9 23.224,1 25.901,9

+ 4.690,1 + 5.902,9 + 457,1 + 1.728,2 + 566,0 + 6.525,8 + 229,9 + 645,2 + 2.677,8

Sumber : Nota Keuangan 1998/1999

Jadi penyusun anggaran ini sebenarnya adalah sama dengan seorang seniman, yang dapat membentuk sedemikian rupa, dan mempresentasikan anggaran dalam berbagai cara.

Lain lagi cara eksekutif menunjukkan kepada dewan legislatif bahwa anggaran masing-masing sektor meningkat tiap tahunnya, yaitu dengan mem blow up angka pinjaman luar negeri untuk masing-masing sektor yang belum jelas, khususnya dana yang bersumber dari

Page 119: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

87

pinjaman luar negeri untuk sektor yang bersangkutan sangat luwes untuk dipermainkan, karena pada waktu penyusunan anggaran ini belum jelas adanya.

Banyak lagi hal-hal yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk menyenangkan anggota legislatif, misalnya dengan memberikan nama bantuan yang sebenarnya adalah hutang atau menyusun anggaran yang terdiri dari angka-angka yang sangat rinci, misalnya sampai dengan satu digit di belakang koma, agar mempunyai kesan bahwa perhitungan anggaran adalah akurat.

Penambahan maupun pengurangan

Setiap kelompok penerima dana akan berusaha untuk menambah anggaran dalam tahun anggaran berikutnya. Alasannya macam-macam : a) karena kenaikan harga (inflasi), dan b) kegiatan yang dibangun membutuhkan dana untuk percepatan penyelesaian dan lain sebagainya. Apabila kelompok ini tidak mampu menjangkau pejabat-pejabat penentu di pusat, maka mereka berusaha mendekati anggota legislatif dari wilayah pilihannya, agar yang bersangkutan dapat membantu melalui negosiasi dengan para eksekutif di pusat, untuk mendapatkan kenaikan anggaran tersebut. Mereka yakin bahwa para anggota legislatif itu akan berhasil, karena kedudukannya yang lebih tinggi dari pejabat penyusun anggaran itu.

Proses

Proses penyusunan anggaran melalui tingkat-tingkat kelembagaan yang sangat kental dengan politik. Masing-masing partai politik berlomba-lomba untuk dapat mendominasi lembaga yang mempunyai peranan penting dalam penyusunan anggaran itu. Sejak tahun 2000 lembaga yang mempunyai peranan dalam perencanaan di Indonesia, yaitu Badan Perencanaan Pembagunan Nasional (Bappenas) yang telah bertahun-tahun dipimpin oleh menteri, bahkan menteri koordinator, sejak tahun 2000 diturunkan statusnya menjadi lembaga, yang hanya dipimpin oleh seorang kepala. Dengan penurunan status ini Bappenas menjadi sulit untuk mengkoordinasi perencanaan dengan para menteri lainnya. Urusan penganggaran yang sebelumnya terlibat telah dialihkan ke Departemen Keuangan. Tetapi tahun 2001, setelah Presiden Abdurrahman Wahid lengser dan diganti oleh Presiden Megawati Sukarnoputri, status Bappenas ini dikembalikan seperti semula, yaitu dipimpin oleh seorang menteri.

Page 120: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Politik dan Anggaran Negara

88

KONFLIK DALAM KELEMBAGAAN

Dalam praktek di Indonesia, anggaran negara secara institusional melibatkan 4 (empat) lembaga yang masing-masing mempunyai peran berbeda. Keempat lembaga itu adalah:

1) Bappenas dan Departemen Keuangan dalam satu kelompok, adalah lembaga yang bertugas untuk merencanakan dan mengelola anggaran negara, sehingga dengan demikian lembaga tersebut bertugas untuk menyusun berapa dan untuk apa anggaran tersebut digunakan. Akan tetapi Bappenas dan Departemen Keuangan dapat juga berfungsi sebagai departemen teknis dalam kelompok lain, karena dalam menjalankan tugasnya, mereka juga mempunyai kegiatan yang harus dibiayai.

2) Departemen teknis dan Pemerintah Daerah sebagai lembaga yang menyusun program-program dan mereka adalah penyusun anggaran dari awal untuk kepentingan masyarakat. Departemen teknis dan Pemerintah Daerah itu dalam posisinya adalah termasuk lembaga yang melakukan pengusulan dan penggunaan anggaran.

3) Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga yang melakukan fungsi pengawasan terhadap jalannya anggaran, termasuk perencanaan dan penggunaannya. Mereka adalah wakil-wakil yang dipilih oleh masyarakat, mewakili daerah pemilihannya. Oleh karena itu masing-masing anggota berkewajiban untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat di daerah pemilihannya.

4) Kelompok masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, yang merupakan pengguna dari anggaran negara yang diprogramkan oleh departemen/lembaga teknis itu. Mereka dapat mengusulkan keinginan melalui departemen teknis, Pemerintah Daerah, bahkan ke anggota dewan yang dipilihnya.

Keempat kelompok lembaga tersebut mempunyai hubungan fungsional, yang satu dengan yang lain saling mempengaruhi. Sebenarnya masih ada lagi lembaga yang penting, yaitu lembaga

Page 121: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

89

peradilan dan media massa. Keterlibatan kedua lembaga tersebut terjadi apabila terdapat penyelewengan terhadap anggaran negara dan pengawasan masyarakat yang dilakukan melalui media massa dalam pelaksanaan di lapangan. Tetapi, walaupun sangat penting, dua kelompok yang terakhir ini tidak ditonjolkan, karena tidak mempunyai peran langsung dalam penyusunan anggaran.

Mekanisme Konflik

Dalam gambar berikut (Bagan 7) terlihat adanya saling mempengaruhi antara masing-masing kelompok itu. Departemen teknis mempengaruhi kelompok Bappenas dan Departemen Keuangan melalui permintaan anggaran, sedangkan Bappenas dan Departemen Keuangan dapat mempengaruhi kelompok departemen teknis untuk dapat mengendalikan pengeluarannya. Bappenas dan Departemen Keuangan juga dapat mempengaruhi DPR dalam rangka pengajuan permohonan pengesahan anggaran, dan sebaliknya DPR dapat mempengaruhi Bappenas dan Departemen Keuangan dalam pengarahan program-programnya.

Program yang disusun oleh departemen teknis akan berhubungan untuk mempengaruhi kelompok masyarakat dalam rangka melayani keinginan masyarakat dan sebaliknya kelompok masyarakat itu dalam memenuhi keinginannya, berusaha menggunakan lobi untuk mempengaruhi pejabat departemen teknis agar keinginan mereka dapat dipenuhi oleh departemen teknis tersebut. Keinginan kelompok masyarakat yang berkepentingan itu tidak selalu mutlak dapat dipenuhi oleh departemen teknis, mengingat ia mempunyai misi dan alasan yang lain. Contoh, apabila suatu kelompok masyarakat membutuhkan pembangunan jalan kereta api di wilayahnya, departemen teknis belum tentu memenuhinya dengan alasan kekurangan dana atau rute jalan yang diusulkan dinilai kurang memenuhi kelayakan. Dalam banyak kasus, komunikasi antara kelompok masyarakat yang berkepentingan dengan departemen teknis itu dilakukan secara informal.

Proses penyusunan anggaran pada berbagai tingkat kelembagaan tidak luput dari adanya konflik, baik vertikal maupun horizontal.

Page 122: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Politik dan Anggaran Negara

90

Bagan 7. Hubungan Timbal Balik Antarkelompok

yang Terlibat dalam Anggaran Negara

Konflik vertikal, misalnya, terjadi antara Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan dan Deputi Bappenas yang menangani anggaran dengan pejabat dari departemen/lembaga teknis dan pejabat daerah. Konflik ini tidak bisa dihindari karena adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda di antara mereka. Direktur Jenderal Anggaran mempunyai alasan menyangkut keterbatasan dana, sedangkan pejabat dari departemen/lembaga teknis mempunyai alasan berkaitan dengan upaya memperjuangkan misi dari departemennya sesuai dengan pesan Propenas dan Repeta. Tetapi Deputi Bappenas yang menangani di bidang anggaran kadang-kadang juga tidak sependapat dengan Direktur Jenderal Anggaran tentang keputusan mengenai jumlah dan komposisi anggaran. Konflik horizontal antara Deputi Bappenas yang menangani bidang anggaran dan Direktur Jenderal Anggaran bisa terjadi mengingat kepentingan yang berbeda di antara mereka. Apabila kedua pejabat itu berasal dari partai politik yang berbeda, maka konflik itu mungkin menjadi lebih tajam dibandingkan dengan kalau mereka berasal dari partai yang sama.

Dalam era reformasi dengan pemerintahan multipartai, sebagian menteri-menteri yang seharusnya berhubungan erat, seperti Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan

Kelompok Masyarakat Yang Berkepentingan

Departemen Teknis dan Pemerintah Daerah

DPR

Bappenas dan Departemen Keuangan

Page 123: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

91

Nasional/Kepala Bappenas, Bank Indonesia, Menteri Pertanian dan Menteri Perhubungan, akan mengalami kesulitan apabila mereka berasal dari partai yang saling berseberangan. Apalagi, kalau mereka loyal terhadap partai yang mempunyai kepentingan dengan sektornya. Bisa terjadi kemungkinan argumen yang mereka kemukakan, akhirnya tidak relevan lagi, karena dalam politik hampir tidak ada istilah ”kebenaran” itu, sementara di dalam keadaan konflik yang ada hanyalah ”kekuatan”.

Konflik kepentingan diilustrasikan dengan contoh tentang beberapa orang yang memandang warna tembok yang sama. Satu orang mengatakan bahwa warna tembok itu krem, seorang lagi mengira putih, yang lain mengatakan kuning muda, dan lain sebagainya. Demikian wajar karena mereka masing-masing melihat dari sudut yang berbeda, sedangkan warna-warna yang berlainan itu sebenarnya hanya akibat pengaruh dari sinar matahari. Padahal mestinya tembok itu mempunyai warna yang benar, misalnya putih. Tetapi para politisi sulit diyakinkan mengenai warna itu.

Bagaimanapun harus ada keputusan yang merupakan hasil kompromi yang saling menguntungkan berbagai pihak. Konflik yang demikian itu biasanya ditandai dengan tertundanya waktu pengesahan terhadap dokumen anggaran oleh salah satu di antara mereka.

Perilaku Para Pengelola Anggaran

Para pengelola anggaran, apabila diamati, mempunyai perilaku yang berbeda-beda. Perilaku para pengelola anggaran negara tersebut terbagi dalam tiga golongan. Golongan pertama adalah orang-orang yang menganggap bahwa menyusun anggaran itu harus benar, tidak ada yang bersifat menipu. Masing-masing pelaku bertindak jujur dan mengikuti peraturan. Orang-orang yang seperti ini berjalan seperti “kuda yang ditutup matanya”, tidak bisa melihat ke kanan dan ke kiri, melainkan lurus ke depan. Mereka percaya bahwa (a) penyusunan anggaran itu mempunyai arah yang jelas, (b) penyusunan anggaran itu merupakan pilihan yang tepat dari berbagai alternatif, (c) alternatif itu telah dianalisis secara benar, dan (d) yang diusulkan oleh departemen teknis sudah merupakan alternatif yang paling baik. Golongan kedua adalah orang-orang yang menyusun anggaran dengan mempertim-bangkan unsur-unsur politik, atau pengaruh eksternal yang dapat

Page 124: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Politik dan Anggaran Negara

92

mengubah anggaran itu menjadi tidak rasional. Golongan ketiga adalah orang-orang yang menggunakan kebijakan dalam setiap usulan walaupun dari segi peraturan sebenarnya belum memenuhi persyaratan.

Tetapi rata-rata mereka bangga dengan tugasnya. Para pengelola anggaran itu bangga dengan lembaga, baik itu Departemen Keuangan maupun Bappenas. Lembaga tempat mereka bekerja memiliki budget power sehingga tidak merasa kesulitan dalam memperoleh data-data dan informasi lainnya, yang orang lain merasa kesulitan.

Anggaran negara berlaku selama satu tahun yang disebut tahun anggaran. Selama satu tahun itu, mulai dari awal tahun sampai akhir, para penyusun anggaran biasanya bekerja secara berulang, sama dengan orang yang bekerja menyapu lantai yang dimulai dari awal sampai dengan akhir, dan keesokan harinya mengulanginya lagi dari awal sampai akhir dan seterusnya. Tampaknya pekerjaannya memang bersifat rutin dengan pola kerja yang sangat mekanis. Oleh karena waktu mulai dan mulai akhir harus tepat waktu, tidak jarang para pelaku anggaran bekerja sampai jauh malam atau bekerja lebih dari jam kerja biasa. Pemikiran para pengelola anggaran sebagian besar bertumpu pada “jumlah uang” dan “prioritas kebutuhan”, sehingga setiap kali pertanyaan-pertanyaan mereka kepada departemen teknis atau pengusul anggaran selalu diawali dengan “Apakah usulan yang diajukan sudah merupakan prioritas?; walaupun mereka sudah mengetahui jawabannya, yaitu “Ya, memang usulan ini merupakan yang paling prioritas”. Pertanyaan selanjutnya adalah tentang waktu, yaitu “Kapan akan dimulai?“ atau “Apakah harus dimulai sekarang?” dan selanjutnya “Bagaimana kalau ditunda tahun depan?”; “Kalau dilaksanakan secara bertahap, bagaimana komposisinya?” dan yang terakhir adalah “Berapa uang yang dibutuhkan?” Apalagi kalau dana pemerintah menipis, pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas diluncurkan oleh pengelola anggaran dengan tujuan mengulur waktu, yang akhirnya ditutup dengan: “Saya kira karena tahun anggaran sudah hampir habis, sebaiknya ditunda untuk tahun anggaran berikutnya“. Tujuan akhirnya akan menjawab bahwa tidak ada dana lagi yang dapat dialokasikan pada tahun yang bersangkutan.

Page 125: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

93

Konflik Internal Dewan Legislatif

Penyusunan anggaran negara pada setiap awal tahun anggaran adalah baru pada tingkat estimasi, baik pada posisi penerimaan maupun pengeluarannya, dengan harapan bahwa estimasi itu akan sesuai dengan apa yang direncanakan. Kadang-kadang walaupun sebelumnya telah diperhitungkan dengan menggunakan asumsi-asumsi yang teliti, penerimaan negara bisa jauh lebih rendah dibandingkan dengan rencana pengeluaran. Apabila hal semacam itu terjadi, baik pihak eksekutif maupun legislatif dapat mengalami kekecewaan, karena bagaimanapun juga pihak legislatif sebelumnya telah mengesahkan anggaran tersebut menurut jumlah dan penggunaannya. Akan tetapi, apabila pihak legislatif mempunyai maksud lain untuk kepentingan politik, dapat saja mereka menyalahkan pemerintah sehingga berakibat tergulingnya kedudukan politisi yang menjadi lawannya yang duduk di kabinet.

Proses politik dalam penyusunan anggaran negara dapat terjadi baik secara vertikal maupun horizontal. Secara horizontal terjadi di antara kalangan partai-partai yang duduk dalam fraksi-fraksi di DPR. Masing-masing fraksi biasanya ingin menarik simpati masyarakat, dengan harapan, misalnya mereka dapat terpilih lagi dalam pemilihan yang akan datang. Cara menarik simpati itu bisa bermacam-macam. Misalnya, dalam suatu dengar pendapat dengan eksekutif, fraksi tertentu berusaha untuk mengusulkan kenaikan anggaran untuk pembiayaan sektor atau proyek tertentu. Dalam hal demikian, pemerintah mungkin belum mempunyai gambaran tentang jumlah kenaikan atau bahkan pagu anggaran untuk tahun berikutnya, sehingga pihak pemerintah hanya menampung saja usulan itu. Akan tetapi, usulan ini sudah terekam di benak masyarakat luas melalui media massa, sehingga masyarakat menganggap bahwa kepentingan-nya telah diperjuangkan oleh fraksi yang bersangkutan. Di sini, pihak fraksi pengusul tentu akan memperoleh tambahan angka prestasi secara politik.

Apalagi kalau yang akan diperjuangkan itu hal-hal yang langsung menyentuh kepentingan rakyat banyak atau kelompok tertentu dalam masyarakat, misalnya kenaikan gaji pegawai negeri. Beberapa anggota fraksi tertentu tidak segan-segan melobi menteri yang menangani angaran. Walaupun keputusan pasti belum dilakukan, tetapi perhitungan-perhitungan sementara sudah dapat diperkirakan.

Page 126: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Politik dan Anggaran Negara

94

Pembocoran tentang perkiraan kenaikan gaji pegawainya tersebut dapat dilakukan terutama apabila menteri yang bersangkutan sejalan dengan politik fraksi tersebut. Dari bocoran itu dapat diumumkan kepada masyarakat atau fraksi lainnya yang tidak mendapatkan bocoran bahwa menurut perhitungan fraksi yang bersangkutan gaji pegawai negeri dimungkinkan untuk dinaikkan sekian persen. Demikian fraksi yang bersangkutan mendapatkan nilai prestasi lagi yang memungkinkan bertambahnya simpati masyarakat.

Fraksi adalah pengelompokan anggota dewan legislatif berdasarkan konfigurasi partai politik hasil pemilihan umum yang dapat dibentuk berdasarkan gabungan anggota dari dua atau lebih partai politik. Adapun tugas fraksi hanya bersifat koordinasi.5)

Prinsipnya fraksi-fraksi ini berusaha dalam setiap tindakannya dapat secara tidak langsung mempengaruhi citra masyarakat luas bahwa fraksi yang bersangkutan benar-benar membela rakyat, dengan harapan dapat menghimpun kekuatan dalam pemilihan yang akan datang.

Untuk menarik simpati ini dapat diperjuangkan melalui ucapan dalam sidang, maupun tindakan di luar sidang, terutama yang langsung mengena di hati rakyat misalnya berlomba-lomba membantu korban banjir, membagi-bagi beras untuk rakyat miskin, dengan tanpa meninggalkan baju seragam fraksinya dan mengundang media massa surat kabar dan media elektronik, walaupun yang dibagikan itu mungkin berasal dari anggaran negara.

5) Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, (Jakarta:

Sekretariat Jenderal DPR RI, 1999) hal. 157.

Page 127: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

95

5 Penerimaan Negara

Bab ini berisi pembahasan tentang penyusunan anggaran negara dilihat dari sumber-sumber penerimaannya. Pada umumnya penerimaan negara dapat bersumber dari dalam negeri dan luar negeri. Penerimaan dari dalam negeri adalah penerimaan yang berasal dari kekuatan dalam negeri yang berupa hasil kewajiban membayar pajak dari warga negara. Penerimaan dalam negeri ini menggambarkan kemampuan suatu negara untuk membiayai pengeluaran rutin maupun pembangunan. Sedang yang bersumber dari luar negeri adalah berupa penerimaan dari pinjaman pemerintah kepada negara-negara donor untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Lembaga yang bertang-gung jawab tentang penerimaan negara adalah Departemen Keuangan. Departemen Keuangan menginginkan adanya surplus dalam anggaran belanja negara, mengingat sebagai kasir pemerintah, departemen ini harus memenuhi permintaan departemen-departemen lainnya yang hendak membiayai misinya. Artinya, Departemen Keuangan berkewajiban menjaga “kantong”nya agar selalu tersedia dana.

Departemen Keuangan biasanya sangat ketat dalam melakukan pengeluaran-pengeluaran apabila tidak benar-benar dibutuhkan. Menteri Keuangan pada umumnya adalah menteri yang harus bisa mengatakan “tidak”, dengan maksud untuk tetap menjaga tersedianya uang.1) Tetapi di lain pihak, apabila ada program yang tidak mencapai sasaran, yang selalu menjadi sasaran tuduhan adalah Menteri Keuangan.

Dalam usaha untuk mengumpulkan dana tersebut, Departemen Keuangan (khususnya Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat

1) Aaron Wildavsky, Budgeting, (Boston: Little, Brown & Company, 1975) hal. 143.

Page 128: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

96

Jenderal Bea dan Cukai) akan menetapkan cara-cara penarikan pajak, bea masuk dan cukai yang efisien dan efektif.

PAJAK SEBAGAI SUMBER UTAMA PENERIMAAN NEGARA

Pajak merupakan sumber yang terbesar penerimaan dalam negeri guna mendukung seluruh kegiatan yang dilakukan oleh departemen/ lembaga pemerintahan. Dalam lingkup perpajakan sebagai sumber penerimaan terdapat 3 (tiga) jenis pajak yang sangat menonjol, yaitu pajak pendapatan, pajak kekayaan, dan pajak konsumsi. Pajak pendapatan berhubungan dengan jumlah pajak dari berbagai tingkat penghasilan yang diterima oleh warga negara dalam waktu tertentu. Pajak kekayaan merupakan pajak dari akumulasi nilai kekayaan dalam suatu periode. Pajak konsumsi adalah merupakan pajak hasil dari pembelian atau transaksi yang dilakukan oleh warga negara.

Sisi penerimaan dalam anggaran negara didominasi oleh penerimaan pajak. Dalam APBN 2003 misalnya, penerimaan dari pajak meliputi 79,56% dari jumlah penerimaan dalam negeri, sementara selebihnya berasal dari penerimaan bukan pajak. Pajak merupakan kewajiban warga negara untuk membayar sejumlah uang kepada negara sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan menurut kemampuannya. Kewajiban membayar pajak bagi warga negara itu merupakan suatu keharusan, kalau perlu dapat dipaksakan karena mereka telah menikmati hasil pembangunan yang dilaksanakan oleh negara, seperti pembangunan jalan, jembatan, taman-taman kota, pasar bahkan perlindungan terhadap keamanan yang terancam dari luar dan dari dalam. Potensi pajak suatu negara tergantung dari 4 (empat) faktor2), yaitu: 1) tingkat pendapatan per kapita riil; 2) tingkat pemerataan pendapatan; 3) struktur industri dan pengembangan penanaman modal asing; 4) sosial, politik dan kelembagaan.

Pada prinsipnya pembebanan pajak oleh negara harus memenuhi kriteria keadilan dan efisiensi. Yang dimaksud dengan keadilan adalah bahwa pembebanan pajak tergantung pada tingkat pendapatan atau kekayaan dari pembayar pajak, atau tergantung dari kesanggupan warga negara untuk membayar. Arti dari efesiensi adalah bahwa

2) Michael P. Todaro, Economic Development in the Third World, (New York:

Longman, 1978) hal. 389.

Page 129: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

97

untuk penertiban dalam pengumpulan pajak diperlukan administrasi yang baik. Administrasi perpajakan mempunyai 4 (empat) langkah.3)

Pertama, penentuan obyek atau kegiatan yang akan dibebani pajak, misalnya pemilikan tanah, rumah, dan kekayaan yang lain. Kedua, pelaksanaan pungutan pajak; misalnya, pungutan pajak pemilikan dan pajak pendapatan, dilakukan secara tahunan, sedangkan pajak penjualan dilakukan sewaktu-waktu dalam pelaksanaan transaksi. Ketiga, pengumpulan penerimaan pajak; dana dari pajak dikumpulkan langsung oleh pemerintah, atau melalui pihak ketiga apabila pajak itu merupakan pajak tidak langsung. Keempat, penetapan peraturan hukum; pengawasan diperlukan untuk meyakinkan bahwa para pembayar pajak telah melakukan kewajibannya; mereka yang mempunyai pendapatan lebih besar harus membayar lebih besar pula kepada negara.4)

Warga negara sebagai manusia biasa, selain mempunyai kebutuhan sehari-hari berupa sandang dan pangan, juga memerlukan prasarana dan sarana, seperti jalan untuk transportasi, taman untuk hiburan, bahkan keinginan merasakan aman dan terlindungi melalui penyediaan personel tentara dan polisi, serta berbagai jenis pelayanan. Terhadap sarana dan prasarana seperti itu hanya pemerintah yang bertanggung jawab untuk menyediakannya. Untuk membiayai penyediaan kebutuhan semacam itu pemerintah memerlukan dana, yang dalam hal ini dipungut dari warga negara atau masyarakat yang memanfaatkannya berupa pemungutan pajak.

Pajak, mempunyai fungsi antara lain untuk: 1) peningkatan pene-rimaan negara; 2) stabilitas ekonomi; 3) pemerataan pendapatan masyarakat; 4) realokasi sumber-sumber.

Pajak Untuk Stabilitas Ekonomi dan Pemerataan Pendapatan Masyarakat

Untuk membiayai dan memenuhi kebutuhan warga negara diperlukan dana yang dipungut dari pajak. Dengan demikian pajak itu

3) Robert D. Lee, Jr., Ronald W. Johnson, Public Budgeting Systems, (Gaithersburg,

Maryland: An Aspen Publication, 1998) hal. 276. 4) Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, Public Finance in Theory and

Practice, (New York: Inc Grawhill Book Company, 1980) hal. 242.

Page 130: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

98

merupakan sumber keuangan negara yang diperlukan untuk membiayai berbagai macam pengeluaran. Apabila pemungutan pajak ditingkatkan, maka penerimaan negara pun akan bertambah sehingga negara dapat berbuat lebih banyak untuk kepentingan masyarakat.5) Gejolak ekonomi, seperti inflasi dan semacamnya, akan mengganggu kelangsungan dunia usaha dan berdampak pada tidak adanya kepastian dalam memproduksi dan kesulitan memasarkan barang-barang hasil produksi. Dengan perpajakan sebagai instrumen, pemerintah dapat menghambat kenaikan harga yang terus menerus melalui pemungutan pajak. Dengan pemungutan pajak, daya beli masyarakat akan menurun sehingga gejala inflasi dapat diredam. Namun demikian, sebab musabab terjadinya inflasi ini perlu lebih dahulu dikenali. Biasanya inflasi di negara yang sedang berkembang diakibatkan antara lain oleh meningkatnya defisit anggaran negara. Peningkatan defisit ini terutama disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran negara sesuai dengan kebutuhan pembangunan, sementara penerimaan negara masih lemah. Oleh karena itu yang harus dijadikan perhatian negara adalah peningkatan penerimaan dalam negeri melalui peningkatan penerimaan pajak langsung yang bersifat progresif dan kurang memberikan efek inflasi.

Apabila di kalangan masyarakat masih terdapat kesenjangan antara si kaya dan si miskin, pajak dapat menjadi salah satu alat untuk meredistribusikan pendapatan. Hal ini dilakukan dengan cara memungut pajak yang lebih besar dari warga negara yang berpendapatan tinggi, dan memungut pajak yang lebih kecil dari warga negara yang berpendapatan rendah. Besarnya kesenjangan pendapatan dalam masyarakat digambarkan dengan Kurva Lorenz. Makin cembung Kurva Lorenz (Gambar 5), maka distribusi pendapatan makin tidak merata.

Pajak juga dapat berdampak pada atau mendorong berpindahnya suatu usaha, baik dalam hal lokasi maupun jenis usaha melalui kebijakan perubahan sistem perpajakan. Misalnya, apabila suatu pemerintah daerah menginginkan sebidang tanah di tempat yang strategis untuk keperluan lokasi perkantoran, sementara tanah tersebut dimiliki oleh swasta, maka cara untuk “mengusir” pemilik tanah itu adalah dengan kebijakan memungut pajak yang tinggi pada lokasi

5) Kenyon E. Poole, Public Finance and Economic Welfare, (New York: Rinehart &

Company, Inc., 1956) hal. 98.

Page 131: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

99

tanah yang bersangkutan sehingga pemiliknya terpaksa harus pindah ke lokasi lain.

Gambar 5. Kurva Lorenz Gambar 6. Gini Ratio

Metode dan Jenis Pajak

Metode Penarikan Pajak

Penarikan pajak dapat dilakukan dengan 3 (tiga) metode:6) (a) Progresif, yaitu memungut pajak dengan persentase yang makin meningkat, sesuai dengan cakupan pendapatan yang makin meningkat. Dengan demikian, secara relatif maupun absolut, kelompok masyarakat yang berpendapatan tinggi dibebani dengan pajak yang lebih besar; (b) Regresif, yaitu pungutan pajak dengan persentase yang makin menurun, sesuai dengan cakupan pendapatan yang makin besar. Pada kategori ini, warga negara yang berpendapatan makin tinggi, akan dibebani pajak yang relatif (dalam persentase) menurun, meskipun secara absolut jumlahnya tetap lebih besar; (c) Proporsional, yaitu pembebanan pajak dengan persentase yang sama pada setiap tingkat pendapatan. Ini berarti bahwa secara relatif seluruh wajib pajak dibebani pajak dengan persentase yang sama, tetapi secara absolut kelompok berpendapatan tinggi dibebani pajak yang lebih besar. Lihat Gambar 7.

6) John F. Due, Government Finance, (Homewood, Illinois: Richard D. Irwin, Inc.,

1963) hal. 113.

0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

% Penduduk

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

P e n d a p a t a n

23 %

50 %

0 9 8 7 6 5 4 3 2 1

% Penduduk

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

P e n d a p a t a n

Page 132: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

100

Gambar 7. Pajak Menurut Kelompok Pendapatan

Pajak

progresif

proposional

regresif

Pendapatan

Pilihan terhadap metode di atas erat kaitannya dengan fungsi pajak sebagai instrumen untuk pemerataan pendapatan sebagaimana disebut terdahulu. Akan tetapi, keberhasilan fungsi pajak dalam pemerataan pendapatan itu masih banyak tergantung dari faktor-faktor lain, misalnya faktor pengalokasian pengeluaran. Disamping itu, penerapan fungsi ini akan lebih efektif pada pemungutan pajak langsung, misalnya pajak pendapatan.

Dalam beberapa kasus, pajak sebagai alat pemerataan sulit diterapkan melalui pemungutan pajak tidak langsung. Sebagai contoh, ada seorang pesuruh kantor yang berpendapatan rendah namun mengkonsumsi rokok yang sama dengan rokok yang dikonsumsi oleh kepala kantornya yang berpendapatan lebih tinggi, sementara pajak/cukai setiap batang rokok yang ditanggung kedua orang itu adalah sama besarnya. Masalahnya, rasio pajak rokok tadi terhadap pendapatan pesuruh kantor tersebut akan lebih besar dibandingkan dengan rasio pajak rokok terhadap pendapatan kepala kantornya. Ketidakadilan dalam pemungutan cukai seperti kasus tersebut sulit untuk diatasi.

Jenis Pajak dalam APBN Indonesia

Jenis pajak yang diperhitungkan pada sisi penerimaan dalam APBN adalah: (1) Pajak Penghasilan (PPh); (2) Pajak Pertambahan Nilai (PPN); (3) Bea Masuk; (4) Cukai; (5) Pajak Ekspor; (6) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); (7) Pajak lainnya; (8) Penerimaan bukan pajak.

%

0

Page 133: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

101

(1) Pajak Penghasilan (PPh)

Menurut Undang-Undang RI. Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang diubah dengan Undang-Undang RI. Nomor 7 Tahun 1991, yang menjadi subjek Pajak Penghasilan ialah:

Orang pribadi atau perseorangan dan warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak.

Badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Badan Usaha Milik Negara dan Daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, yayasan atau lembaga dan bentuk usaha tetap.

Yang menjadi objek pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk di dalamnya:

Penggantian atau imbalan yang berhubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, komisi, bonus atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Hadiah undian dan penghargaan.

Laba bruto usaha.

Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta (termasuk keuntungan yang diperoleh perseorangan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota serta likuidasi).

Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya.

Bunga.

Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, dibayarkan oleh perseroan; pembayaran dividen dari

Page 134: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

102

perusahaan asuransi kepada pemegang polis; pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada pengurus dan pengembalian sisa hasil usaha koperasi kepada anggota.

Royalti.

Sewa dari harta.

Penerimaan atau perolehan berkala.

Keuntungan karena pembebasan hutang.

Sifat kesederhanaan dalam tarif PPh tercermin pada hanya terdapatnya 3 jenis tarif yaitu: (a) 15% untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp. 10, 0 juta; (b) 25% untuk penghasilan kena pajak Rp. 10,0 juta sampai dengan Rp. 50,0 juta; (c) 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp. 50,0 juta.

2) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai dapat dikategorikan sebagai pajak tidak langsung. Artinya pajak tersebut dibebankan kepada objek pajak yang menggunakan dan menikmati kegunaan suatu barang. Pajak pertambahan nilai dikenakan pada barang-barang yang dihasilkan melalui proses pengolahan.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-Undang PPN 1984 menyatakan bahwa PPN dikenakan terhadap: (1) penyerahan jasa yang dilakukan oleh pemborong atau kontraktor; (2) penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak kepada pihak manapun, yang dilakukan oleh pabrik, penyalur dan agen utama, importir, indentor, pemegang hak paten atau pemegang hak merek dagang, pemegang hak menggunakan paten, dan/atau merek dagang dari barang kena pajak; serta (3) penyerahan barang kena pajak kepada pengusaha kena pajak.

Untuk PPN hanya berlaku tarif tunggal yaitu 10% atas setiap penyerahan barang/jasa kena pajak. Alasan kebijakan pemungutan PPN ini antara lain:7) (a) menghindari akibat pengelakan pembayaran pajak melalui perusahaan yang tidak

7) J. S. Uppal, The Indonesian Tax Structure, Ekonomi dan Keuangan Indonesia,

EKI Vol. XXXIV Nomor 1, 1986.

Page 135: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

103

melaporkan secara benar; (b) meningkatkan sumber-sumber penarikan pajak.

3) Pajak Impor atau Bea Masuk

Bea masuk adalah pungutan pajak yang dikenakan terhadap semua barang yang dibawa masuk melintasi perbatasan wilayah pabean untuk dipakai di dalam negeri (lihat Gambar 8). Negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia masih banyak mengimpor barang-barang yang belum dapat diproduksi di dalam negeri; atau di negara-negara tersebut barang-barang yang diproduksi di dalam negeri masih kurang dibandingkan dengan tingkat konsumsinya. Barang-barang impor tertentu didatangkan dari banyak negara yang memproduksinya yang dengan demikian berarti bahwa suplai barang-barang tertentu itu di luar negeri adalah berlimpah.

Gambar 8. Pajak Impor

Bila hal itu digambarkan maka kurva penawaran-dilihat dari sudut negara pengimpor-berbentuk horizontal, yang menunjukkan sifat elastis sempurna, artinya berapapun harga barang itu tidak akan mempengaruhi jumlah suplainya (kurva Sm).

Kurva permintaan atas barang tertentu itu, di dalam negeri digambarkan bergerak dari kiri atas ke kanan bawah (kurva Dd).8) Harga di dalam negeri, sebelum dipungut pajak impor, tergambar

8) Paul A. Samuelson and William D. Nordhaus, Economics, (London: Irwin

McGraw-Hill, 1998) hal.45.

Rp

0 Kuantitas Qo Qt

D C

A B

Dd

Pt

Pm

Smt

Sm

Dd

Page 136: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

104

dari perpotongan kurva permintaan (Dd) dan kurva suplai yang mendatar (Sm). Harga barang impor tersebut adalah OPm, dan barang yang dibeli adalah OQ0 (perpotongan di titik B). Setelah dibebani pajak, kurva suplai bergeser ke atas (Smt) dan keseimbangan bergeser dari titik B ke titik D. Dengan demikian barang yang diminta juga menurun dari OQ0 ke OQt, dan hargapun meningkat dari OPm menjadi OPt. Dalam gambar ini, negara akan menerima pendapatan dari pajak sebesar PtDAPm, sedangkan importir memperoleh penerimaan bersih sebesar ruang segi empat OPmAQt.

Adanya pungutan bea masuk terhadap barang yang diimpor menunjukkan atau menyebabkan hal-hal sebagai berikut:9) Pertama, bagi pengguna barang, bea masuk dapat berarti sebagai penambahan nilai atau penambahan harga barang yang bersangkutan. Kedua, daya beli pengguna barang impor menjadi berkurang, dan berarti pengguna barang tersebut memberikan subsidi kepada negara. Ketiga, dengan bea masuk dapat terjadi pembatasan permintaan terhadap barang yang diimpor. Keempat, dengan pemungutan bea masuk, keseimbangan antara permintaan dan penawaran terhadap valuta asing dapat dipertahankan. Kelima, dengan pemungutan bea masuk, produsen dalam negeri dapat bersaing dalam harga maupun dalam pendapatan dengan barang hasil buatan luar negeri. Keenam, pungutan bea masuk dapat pula dipergunakan sebagai alat pemerataan pendapatan.

Hal yang terjadi dengan adanya bea masuk, sebagaimana digambarkan di atas, akan lebih realistis lagi apabila di dalam negeri juga di produksi barang yang sama dan kemudian bersaing dengan barang yang diimpor. Dalam Gambar 9, diasumsikan sekali lagi bahwa penawaran untuk barang-barang impor itu digambarkan dengan kurva penawaran yang elastis yang tidak terhingga (garis penawaran yang horizontal), sebagai pencerminan harga di pasar dunia. Selanjutnya kurva penawaran di dalam negeri (Sd) bergerak dari kiri bawah ke kanan atas. Kurva penawaran itu menggambarkan bahwa apabila harga meningkat, maka barang yang ditawarkan juga meningkat. Sebelum ada bea masuk, kurva penawaran dalam pasar dalam negeri adalah SdA.

9) Lewis Stephen R. Jr., The Structure of Import and Export Taxes, makalah

(William College, 1979)

Page 137: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

105

Gambar 9.

Pajak Impor dengan Kombinasi Produksi Dalam Negeri

Dengan adanya impor maka kurva penawaran akan berubah

yaitu ASm. Jumlah permintaan dalam negeri adalah OQ4, dimana OQ1 disediakan dari produksi dalam negeri dan Q1Q4 disediakan dari barang-barang impor. Keinginan produsen dalam negeri untuk menaikkan harga tidak dimungkinkan karena dihambat oleh barang-barang impor tersebut.

Apabila bea masuk dikenakan, maka kurva permintaan untuk barang-barang impor akan bergeser ke atas menjadi garis horizontal PtSmt, yang besarnya tergantung dari jumlah bea masuk itu. Dengan adanya barang-barang impor yang sudah tercampur dengan barang-barang produksi dalam negeri maka kurva penawaran menjadi SdAGSmt dan harga di dalam negeri menjadi Opt, serta jumlah barang yang dikonsumsi (barang impor dan produksi dalam negeri) menjadi OQ3, di mana OQ2 adalah produksi dalam negeri dan Q2Q3 barang-barang impor.

Pendapatan dari bea masuk adalah jumlah bea masuk dari sebagian jumlah barang yang dikonsumsi atau BCFG. Konsumen dalam negeri melakukan pengeluaran untuk membeli barang produksi dalam negeri dan barang impor sebanyak OPtFQ2. Segi

Rp/Unit

Kuantitas

Dd

Pt

Pm

Sd

Sd

Dd

0 Q1 Q2 Q3 Q4

Smt

Sm

A B C D

EF G H

Page 138: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

106

empat PtGBPm menggambarkan pengeluaran subsidi untuk para produsen dalam negeri atas setiap unit dari OQ3 yang diproduksi.

4) Cukai

Cukai adalah pungutan yang ditambahkan atas harga penjualan barang wajib cukai seperti cukai tembakau, cukai alkohol, cukai bir dan gula. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa pemungutan jenis cukai ini sulit dihindarkan, tergantung dari keadilan atau pemerataan pendapatan. Sebagai contoh: cukai terhadap produksi rokok yang dibebankan pada konsumen, dimana tidak membedakan apakah konsumen tersebut berpendapatan tinggi atau rendah.

5) Pajak Ekspor

Pajak ekspor merupakan jenis pajak tidak langsung yang dikenakan terhadap barang-barang ekspor yang tarifnya sebesar persentase tertentu terhadap nilai ekspor.

Peningkatan ekspor, terutama komoditas nonmigas, banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor intern seperti: Pertama, tingkat inflasi di dalam negeri. Kedua, pertumbuhan ekonomi. Ketiga, iklim usaha yang dapat menunjang kegiatan ekspor. Keempat, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Disamping itu, peningkatan ekspor juga dipengaruhi faktor-faktor eksternal seperti: (a) perkembangan ekonomi internasional, termasuk kebijakan negara-negara yang cenderung semakin proteksionis; (b) persaingan antarnegara berkembang yang memproduksi barang sejenis. Lihat Gambar 10.

Page 139: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

107

Gambar 10. Pajak Ekspor

Barang produksi dalam negeri yang diekspor oleh suatu negara adalah barang yang merupakan kelebihan dibandingkan dengan tingkat konsumsi barang tersebut di dalam negeri. Dalam hal ini, apabila negara bersangkutan tidak mengekspor, maka barang itu akan melimpah di dalam negeri sehingga harganya akan cenderung sangat rendah, yaitu di OPm, yang merupakan perpotongan antara kurva permintaan Dd dan kurva penawaran Sd di titik I, dan jumlah barang yang dikonsumsi adalah OQ3. Apabila barang diekspor dan tidak dikenakan pajak, maka harga akan menjadi OPw, yaitu perpotongan antara kurva permintaan (yang terdiri dari permintaan dalam negeri dan luar negeri atau permintaan dunia) di titik E. Permintaan dunia digambarkan sangat banyak sehingga kurvanya digambarkan elastis sempurna, dengan bentuk horizontal. Dengan harga OPw itu yang dikonsumsi di dalam negeri adalah sejumlah OQ1 dan yang diekspor adalah Q1Q5 (produksi seluruhnya Oq5). Pembebanan pajak ekspor akan mengakibatkan kurva permintaan dunia akan bergeser ke bawah (Dwt). Dengan pungutan pajak ekspor itu, perpotongan antara kurva penawaran dan permintaan bergeser ke titik C, sehingga (akibat pembebanan pajak ekspor tersebut), jumlah yang diekspor menurun dari Q1Q5 menjadi Q2Q4. Dengan demikian pendapatan pemerintah dari pajak ekspor adalah GFCB, dan pendapatan eksportir adalah BCQ4Q2. Barang yang dikonsumsi di dalam negeri adalah OQ2. Penerimaan negara dari

Rp

Pw

Pt

Pm

Q1 Q2 Q3

Q4

Q5

0 Kuantitas

A

B

C D

EFG H

I

Dw

Dwt

Dd

Dd

Sd

Sd

Page 140: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

108

pajak ekspor tergantung dari elastisitas penawaran, yakni apabila penawarannya elastis maka harga hanya sedikit berpengaruh pada barang yang diekspor itu.

6) Pajak Bumi dan Bangunan

Perhitungan PBB didasarkan pada besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yaitu nilai jual dari Bumi dan Bangunan. Sebagian besar penerimaan dari PBB masuk ke kas Pemerintah Daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1985, pembagian penerimaan PBB adalah 10,0% untuk Pemerintah Pusat dan 90,0% untuk Pemerintah Daerah, dengan rincian provinsi memperoleh 16,2%, kabupaten memperoleh 64,8%, dan upah pungut 9,0%. Dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, disebutkan bahwa yang menjadi objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan; bumi adalah permukaan dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan, pendalaman serta laut wilayah Indonesia; sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau peraturan-peraturan.

Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah: Pertama, yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum, seperti di bidang sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksud untuk memperoleh keuntungan. Kedua, yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu. Ketiga, yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak. Keempat, yang digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal-balik. Kelima, yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Subjek PBB adalah badan atau perorangan yang secara nyata: (a) mempunyai suatu hak atas bumi dan atau mempunyai manfaat atas bumi; (b) memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.

Page 141: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

109

7) Pajak Lainnya

Pajak yang masuk kategori ini adalah: (a) bea materai yakni pajak tidak langsung yang dikenakan terhadap semua dokumen yang wajib dipergunakan dalam setiap transaksi perdagangan dan dunia usaha; (b) bea lelang yakni pungutan pajak terhadap transaksi lelang yang dilakukan oleh kantor pajak.

8) Penerimaan Bukan Pajak

Selain penerimaan pajak, pemerintah juga mempunyai penerimaan yang tidak berasal dari pajak, misalnya penerimaan dari sumber penyelenggaraan pendidikan, penerimaan penjualan, penerimaan jasa, iuran hasil hutan, iuran hak pengusaha hutan, denda-denda, penjualan gambar peta dan sebagainya. Di Indonesia secara khusus pemerintah juga memperoleh tambahan penerimaan misalnya dari hasil divestasi saham pemerintah pada BUMN dalam bentuk penerimaan privatisasi; penjualan aset dalam program restrukturisasi perbankan.

Gambaran tentang Penerimaan Pajak dalam APBN

Dalam struktur penerimaan negara, penerimaan perpajakan masih merupakan komponen terbesar dan sumber utama penerimaan dalam negeri untuk menopang pembiayaan operasional pemerintah dan pembangunan.

Sebagaimana telah dikemukakan, terdapat berbagai jenis pajak sebagai sumber penerimaan negara. PPh, PPN, PBB, Cukai dan sejenisnya digolongkan sebagai penerimaan pajak dalam negeri yakni yang bersumber dari kegiatan di dalam negeri. Sementara itu, Pajak Impor Non Bea Masuk dan Pajak Ekspor digolongkan sebagai penerimaan pajak atas perdagangan internasional karena berkaitan dengan transaksi perdagangan antarnegara. Pada penerimaan pajak dalam negeri, penerimaan pajak penghasilan (PPh) dalam tiga tahun anggaran terakhir masih tetap menunjukkan perkembangan yang cukup positif dan berperan makin penting dalam menopang pencapaian sasaran penerimaan perpajakan.

Page 142: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

110

Tabel 6. Perkembangan Penerimaan Perpajakan, 2000 s.d. 2002

(dalam triliun rupiah)

Uraian

2000 1) 2001 2) 2002 PAN % thd

PDB

Reali-

sasi

% thd

PDB

APBN % thd

PDB

I. Pajak Dalam Negeri

1. Pajak Penghasilan

a. migas

b. nonmigas

2. PPN dan PPnBM

3. PBB

4. BPHT

5. Cukai

6. Pajak Lainnya

II. Pajak Perdagangan

Internasional

1. Bea Masuk

2. Pungutan/Pajak

Ekspor

108,9

57,1

18,7

38,4

35,2

3,5

0,9

11,3

0,9

7,0

6,7

0,3

11,0

5,8

1,9

3,9

3,6

0,4

0,1

1,1

0,1

0,7

0,7

0,0

176,0

94,5

23,1

71,4

55,9

5,2

1,4

17,4

1,6

9,5

9,0

0,5

11,8

6,3

1,5

4,8

3,7

0,3

0,1

1,2

0,1

0,6

0,6

0,0

207,0

104,5

15,7

88,8

70,1

5,9

2,2

22,4

1,9

12,6

12,3

0,3

12,3

6,2

0,9

5,3

4,2

0,4

0,1

1,3

0,1

0,7

0,7

0,0

J u m l a h 115,9 11,8 185,5 12,4 219,6 13,0

1) Periode 1 April sampai dengan 31 Desember 2000 2) Realisasi sementara sampai dengan 31 Desember 2001

Faktor strategis lainnya yang sangat penting dalam upaya meningkatkan penerimaan perpajakan pada umumnya adalah penyempurnaan system administrasi perpajakan. Berkaitan dengan itu, untuk mendukung pelaksanaan tertib administrasi perpajakan yang berkaitan dengan transaksi impor, telah diterbitkan keputusan Menteri Keuangan Nomor 450 Tahun 1997 tentang Penunjukan Pemungutan Pajak Penghasilan pasal 22, sifat dan besarnya pungutan serta tata cara penyetoran dan pelaporannya.

Page 143: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

111

Tabel 7. Penerimaan Dalam Negeri

1989/1990 s.d. 2001 (dalam milyar rupiah)

Tahun Anggaran

Penerimaan Pajak

Penerimaan Bukan Pajak

Jumlah

milyar

Rp (%)

Milyar

Rp (%)

Milyar

Rp (%)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1989/1990

1990/1991

1991/1992 1992/1993

1993/1994

1994/1995

1995/1996

1996/1997

1997/1998

1998/1999

1999/20001)

20002)

16.084,1

22.010,9

24.919,3

30.091,5

36.665,1

44.442,1

48.686,3

57.339,9

70.934,2

102.394,4

120.719,1

101.436,8

51,1

52,2

58,5

61,6

65,3

66,9

66,7

65,4

63,2

64,8

66,7

66,3

15.420,1

20.182,1

17.662,7

18.771,1

19.448,0

21.975,9

24.327,6

30.290,4

41.341,3

55.648,0

60.302,8

51.459,7

48,9

47,8

41,5

38,4

34,7

33,1

33,3

34,6

36,8

35,2

33,3

33,7

31.504,2

42.193,0

42.582,0

48.862,6

56.113,1

66.418,0

73.013,9

87.630,3

112.275,5

158.042,5

181.021,9

152.896,5

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

1) Disesuaikan dengan klasifikasi baru 2) Jangka waktu April s.d. Desember (9 bulan)

Penerimaan pajak dalam negeri berikutnya yang cukup penting

sebagai sumber pembiayaan pembagunan dari daerah adalah pajak bumi dan bangunan (PBB), dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Dewasa ini, seluruh hasil pendapatan yang berasal dari jenis pajak ini, kecuali upah pungutannya, telah dialokasikan ke daerah sesuai dengan potensi penerimaan masing-masing daerah.

Page 144: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

112

Tabel 8. Penerimaan Pajak

1989/1990 s.d. 2001 (dalam milyar rupiah)

Tahun Anggaran

Dalam Negeri Internasional Jumlah GDP RasioPajak

Pdpt Nilai

Tambah PBB Cukai

Lain-lain

Pajak Impor

Pajak Ekspor

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

1989/1990

1990/1991

1991/1992

1992/1993

1993/1994

1994/1995

1995/1996

1996/1997

1997/1998

1998/1999

1999/2000

2000

5.754,8

8.250,0

9.727,0

12.516.3

14.758,9

18.764,1

21.012,0

27.062,1

34.388,3

55.944,3

68.537,7

54.224,5

5.986,1

8.119,2

9.145,9

10.742,3

13.943,5

16.544,8

18.519,4

20.351,2

25.198,8

27.803,2

32.981,5

27.002,3

604,4

785,8

944,4

1.106,8

1.484,5

1.647,3

1.893,9

2.413,2

2.640,9

3.565,3

3.650,0

2.900,7

1.482,2

1.799,8

1.915,0

2.241,6

2.625,8

3.153,3

3.592,7

4.262,8

5.101,2

7.732,9

10.398,6

10.271,8

191,1

216,5

298,8

252,4

283,4

301,9

452,8

590,7

477,8

413,0

568,5

1.138,7

1.892,2

2.799,8

2.871,1

3.223,3

3.555,3

3.900,1

3.029,4

2.578,9

2.998,7

2.305,6

3.747,8

4.976,3

173,3

39,8

17,1

8,8

13,7

130,6

186,1

81,0

128,5

4.630,2

834,9

922,5

16.084,1

22.010,9

24.919,3

30.091,5

36.665,1

44.442,1

48.686,3

57.339,9

70.934,2

102.394,4

120.719,1

101.436,8

148.101,8

172.840,3

200.702,1

236.644,4

308.184,4

365.750,9

433.110,4

511.365,4

633.520,5

947.659,8

1.138.115,8

910.431,7

10,9

12,7

12,4

12,7

11,9

12,2

11,2

11,2

11,2

10,8

10,6

11,1

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN HIBAH

Sumber dana untuk pengeluaran negara, selain berasal dari perpajakan, juga diperoleh dari pinjaman dan hibah luar negeri. Pinjaman dan hibah luar negeri diperlukan selama sumber dana dalam negeri yang berasal dari pajak belum cukup untuk membiayai kebutuhan pembangunan. Pinjaman luar negeri adalah penerimaan negara dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, atau dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu; sedangkan hibah luar negeri adalah penerimaan negara dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, atau dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar

Page 145: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

113

negeri, yang tidak perlu dibayar kembali. Dalam era Orde Baru, pinjaman luar negeri disebut sebagai “bantuan luar negeri”, karena: Pertama, dari segi negara donor pinjaman, mempunyai tujuan non komersial. Kedua, beban tingkat bunganya yang rendah, dengan syarat pengembalian yang lunak dibandingkan dengan pinjaman komersial.

Banyak orang yang tidak senang dengan pinjaman luar negeri, karena dana pinjaman tersebut pasti harus dibayar di masa yang akan datang. Bahkan banyak orang mengatakan bahwa meminjam itu akan membebani anak cucu di kemudian hari. Dalam hal ini, meminjam merupakan suatu kebijakan pemerintah yang tidak populer. Kebijakan tersebut sangat dilematis karena di satu pihak, tanpa pinjaman, penerimaan dalam negeri saja tidak mencukupi, sedangkan di lain pihak adanya pinjaman akan menyebabkan beban (pengembalian), berarti akan bergeser kepada generasi yang akan datang. Padahal kebutuhan negara itu sangat relatif, bisa besar dan bisa kecil, tergantung dari sejauh mana negara akan meningkatkan kesejahteraan warganya di masa sekarang dan di masa yang akan datang.

Kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan apabila negara melakukan investasi, yaitu dengan menyisihkan sebagian penerimaan dalam negeri untuk keperluan investasi dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi. Dengan kata lain apabila pinjaman luar negri dilakukan, pinjaman itu dimaksudkan hanya untuk keperluan pembangunan, dan bukan untuk keperluan rutin. Dengan investasi, pembangunan dapat berlangsung secara berkelanjutan, dan pendapatan nasional terus berkembang sehingga dapat tersisa guna membayar pinjaman tersebut di kemudian hari. Negara yang mampu melakukan investasi akan memperoleh pendapatan nasional yang lebih besar dan dengan pendapatan nasional yang lebih besar, investasi juga akan lebih besar lagi dan seterusnya seperti layaknya bola salju yang menggelinding. Lihat Gambar 11.

Page 146: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

114

Gambar 11. Hubungan Investasi dan Pendapatan Nasional

Beberapa Masalah tentang Pinjaman Luar Negeri

Mengapa harus meminjam? Pertanyaan ini memang sulit untuk dijawab. Apabila tidak meminjam benarkah negara akan mengalami kebangkrutan? Semua orang menyadari bahwa peningkatan kesejahteraan itu memerlukan biaya. Benarkah Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk membiayai peningkatan kesejahteraan? Indonesia dikenal sebagai negara yang subur makmur, kaya raya; memiliki tanah subur yang apa saja yang ditanam diatasnya selalu tumbuh. Tetapi mengapa harus meminjam ke luar negeri? Apa yang salah? Hal ini tampaknya memerlukan penelitian tersendiri. Misalnya, apakah sumber daya manusianya kurang mendukung? Apakah wilayahnya terlalu luas? Apakah iklimnya terlalu nyaman yang membuat penduduknya malas? Apakah sumber alam yang dimiliki belum diolah? Apakah penduduknya terlalu banyak dan tidak merata penyebarannya? Apakah kelembagaannya yang tidak mendukung? Apakah karena struktur sosial masyarakat yang feodalistik? Banyak lagi persoalan yang mengundang pertanyaan, mengapa Indonesia harus meminjam ke luar negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Tanpa lebih dulu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, ada baiknya untuk mengikuti Ragnar Nurske yang mengatakan “the

Pendapatan Nasional Pendapatan Nasional Pendapatan Nasional

Investasi Investasi Investasi

Page 147: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

115

country is poor because it is poor”.10) Beberapa negara yang dikategorikan sebagai negara yang sedang berkembang dan mempunyai kondisi geografis seperti pada kriteria yang disebutkan di atas, ternyata tidak terbukti bahwa kriteria yang dimaksud menyebabkan suatu negara akan menjadi miskin. Oleh karena itu, Ragnar Nurske cenderung untuk tidak mempersoalkan sebab-sebabnya, tetapi bagaimana selanjutnya kemiskinan itu dapat ditanggulangi. Bagaimana Indonesia harus membangun, dan untuk itu harus mampu menciptakan pertumbuhan yang cukup guna mengimbangi kenaikan jumlah penduduk dan meningkatkan kualitas kehidupan warganya. Sebuah rumus sederhana yang mudah dimengerti, serta berlaku sampai sekarang, adalah apa yang dikenal dengan persamaan Harrod-Domar:11) Y = . s . . Y

ICOR

menggambarkan pertambahan pendapatan nasional atau tingkat pertumbuhan; s adalah tabungan nasional yang terdiri dari tabungan pemerintah dan masyarakat; ICOR adalah singkatan dari Incremental Capital Output Ratio atau . s .

Y Apabila hasil rasio ini sama dengan 4, maka dikatakan bahwa ICOR adalah 4. Rasio ini dalam jangka tertentu merupakan rasio yang tetap, atau selama teknologi tidak berubah maka rasio ini juga tidak berubah. Dengan kata lain, kalau teknologi berubah, maka bukan tidak mungkin angka ICOR juga berubah. Sebagai contoh, apabila tingkat pertumbuhan (Y) diperkirakan sebesar 6% untuk mengantisipasi pertumbuhan penduduk sebanyak 2%, maka pendapatan per kapita diperkirakan tumbuh dengan 4%. Untuk mencapai pertumbuhan pendapatan nasional 6% ini, dan apabila angka ICOR 4, maka diperlukan tabungan nasional sejumlah 24% dari pendapatan nasional. Jumlah tabungan itu cukup besar. Apabila kemampuan tabungan suatu negara dari sumber dalam negerinya yang berupa pajak dan lain-lain hanya mencapai kurang dari 24% dari 10) Ragnar Nurske, Some International Aspect of the Problem of Economic

Development, The Economics of Under Development, (London: Oxford University Press, 1973) hal. 256.

11) Teori mengenai pertumbuhan ini telah dikenal sekitar tahun 1950-an, dan persamaan tentang pertumbuhan tersebut diciptakan oleh R. F. Harrod, yang dikembangkan oleh Evsey D. Domar, dan dimuat dalam American Economic Review, Maret 1947.

Page 148: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

116

pendapatan nasional, misalnya 20% saja, maka ada dua pilihan yang dapat diambil: menerima tingkat pertumbuhan kurang dari 6%, atau tetap mempercepat pertumbuhan dengan 6%, dengan menambah kekurangan dana dari sumber lain, antara lain pinjaman luar negeri. Contoh tersebut menggambarkan bahwa pilihan Indonesia untuk meminjam disebabkan karena keinginan mempercepat pertumbuhan, sementara sumber dana dari dalam negeri belum mencukupi.

Dampak Pinjaman terhadap Generasi Mendatang

Pandangan bahwa pinjaman luar negeri itu akan menggeser beban kepada generasi yang akan datang masih menjadi perdebatan kalangan para pakar. Berbeda dengan dampak dari pungutan pajak, pinjaman luar negeri tidak mengurangi konsumsi warga negara pada waktu sekarang. Apabila kebutuhan pengeluaran pembangunan dipenuhi dengan hasil memungut pajak, berarti masyarakat akan membayar kegiatan yang dilakukan oleh negara pada kurun waktu sekarang (bukan pada kurun waktu generasi sesudahnya). Akan tetapi, apabila kekurangan dana itu ditutup dengan cara meminjam, generasi sekarang bisa terhindar atau terkurangi dari kewajiban pembayar, sementara pinjaman itu dalam bentuk pembayaran pengembalian pinjaman pokok dan bunganya dibebankan kepada generasi yang akan datang (generasi sesudahnya).

Tidak semua orang berpendapat sepesimis seperti digambarkan, pandangan yang lebih optimistis beralasan bahwa apabila pinjaman sudah diterima, dan pembangunan segera dimulai terutama pembangunan yang bersifat produktif, seperti sarana dan prasarana jalan, pengairan, dan sebagainya-di masa sesudahnya generasi penerus akan dapat membangun dengan biaya investasi yang lebih murah karena pondasinya telah terbangun. Dengan rendahnya biaya investasi, diharapkan keuntungan dapat meningkat, sehingga pada gilirannya masyarakat mampu untuk membayar pajak dan selanjutnya negara akan mampu membayar pengembalian pinjaman tanpa membebani generasi berikut.

Argumentasi pandangan optimistis itu bisa berlaku apabila selama waktu pinjaman berlangsung ada kestabilan ekonomi dan politik di dalam negeri. Namun apabila terjadi kegoncangan politik dan ekonomi di dalam negeri, dan pinjaman luar negeri itu dipergunakan

Page 149: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

117

untuk kegiatan yang kurang produktif selama masa pinjaman berjalan, harapan semula bisa hilang begitu saja. Nilai tukar Rupiah yang mengalami masalah yang serius akibat hambatan pada ekonomi makro, misalnya, akan menggangu pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman yang kemudian berdampak pada APBN. Dengan demikian persoalan di sini, bukanlah masalah berapa besarnya pinjaman, tetapi bagaimana memanfaatkan pinjaman itu untuk merangsang pertumbuhan ekonomi yang lebih produktif.

Pinjaman Luar Negeri, Ekspor dan Devisa

Pinjaman luar negeri diperlukan karena dua hal, yaitu untuk: (a) menutup kekurangan pembiayaan pembangunan yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan perencanaan pembangunan; (b) menunjang neraca pembayaran atau menutup defisit yang terjadi pada neraca pembayaran. Negara yang sedang berkembang memerlukan sejumlah impor berupa barang produksi dan barang konsumsi. Untuk mengimpor barang-barang tersebut membutuhkan sejumlah devisa, yang diperoleh apabila negara bersangkutan mampu mengekspor dengan jumlah nilai yang memadai. Apabila suatu negara belum mampu melakukan ekspor yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan impornya – dengan kata lain, kebutuhan impor lebih besar dibanding dengan kemampuan ekspor – dan hal itu terjadi terus menenerus, maka dapat terjadi ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran yang dapat mengganggu stabilitas moneter dalam negeri. Pinjaman luar negeri baru bermanfaat apabila benar-benar dipergunakan untuk meningkatkan investasi yang dapat membuahkan pendapatan yang lebih besar di kemudian hari. Pinjaman luar negeri di sini harus diartikan sebagai pelengkap untuk memacu pembangunan dalam rangka memerangi kemiskinan.12)

Dalam melakukan pinjaman luar negeri, negara yang sedang berkembang menghadapi beberapa pembatasan: Pertama, penerimaan pinjaman luar negeri dibatasi oleh kemampuan negara peminjam untuk membayar kembali. Oleh karena pinjaman luar negeri yang diterima adalah dalam bentuk devisa, maka jumlah pinjaman juga

12) Mahbub Ul Haq, The Poverty Curtain, Choises for the Third World, (New York:

Columbia University Press, 1976) hal. 75.

Page 150: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

118

ditentukan oleh kemampuan untuk membayar kembali yang juga dalam bentuk devisa. Mengingat satu-satunya sumber devisa adalah ekspor, maka pinjaman luar negeri harus dipergunakan untuk mendorong ekspor; Kedua, pinjaman luar negeri dibatasi oleh persyaratan yang merupakan faktor yang menentukan. Persyaratan itu berkaitan dan tergantung dari dan sifat pinjaman, yakni ada yang lunak, ada yang kurang lunak dan ada yang benar-benar komersial. Pinjaman yang lunak biasanya sangat sedikit persediaannya; Ketiga, kebijakan untuk melaksanakan pinjaman luar negeri, harus tetap berpegang pada prinsip membangun atas kemampuan sendiri, yang berarti bahwa pinjaman luar negeri hanya berperan sebagai pelengkap. Keempat, penerimaan pinjaman luar negeri tidak disertai dengan ikatan politik.

Jenis dan Peryaratan Pinjaman Luar Negeri

Pinjaman Luar Negeri terdiri dari banyak jenis dan persyaratan sehubungan dengan jangka waktu pengembalian, tingkat bunga, peruntukan dan penggunaannya, lembaga penyedia dana pinjaman dan lain sebagainya. Apapun jenis dan persyaratan pinjaman luar negeri pada dasarnya harus dikembalikan kepada pemberi pinjaman. Namun, selain pinjaman, ada bantuan luar negeri yang berbentuk hibah (grant) yang tidak perlu dibayar kembali. Hibah dapat diterima dalam bentuk inkind, misalnya dalam bentuk bantuan tenaga ahli, peralatan dan pendidikan/pelatihan di negara pemberi pinjaman dan dapat berupa tunai dalam bentuk uang. Pengelolaan hibah sering kali dilakukan oleh negara pemberi sendiri.

Dilihat dari sifat persyaratannya, pinjaman luar negeri dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) golongan: Pertama, pinjaman lunak, yaitu pinjaman dengan bunga yang relatif rendah, maksimal 3,5%, dengan grace period sekitar 10 tahun dan pembayaran kembali selama minimal 25 tahun. Kedua, pinjaman setengah lunak, yaitu berbentuk campuran pinjaman dengan kredit ekspor. Campuran ini dapat berupa hibah disertai dengan kredit ekspor atau pinjaman lunak disertai dengan kredit ekspor. Persyaratan pinjaman bervariasi, yakni dengan jangka waktu pengembalian antara 10 sampai 12 tahun dan grace period 3 sampai 4 tahun serta bunga sekitar 7%. Ketiga, pinjaman komersial, yakni pinjaman jangka pendek (kurang dari 5 tahun)

Page 151: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

119

dengan grace period sekitar 6 bulan. Bunga pinjaman komersial biasanya diperhitungkan sesuai dengan tingkat bunga pasar yang berlaku; atas beberapa persen di atas tingkat bunga yang diberlakukan oleh peminjam utama terbesar (Japan long-term prime rate); atau bisa juga sekian persen di atas LIBOR (London Inter Bank Official Rate).

Dilihat dari macamnya, pinjaman luar negeri dapat dikelompok-kan kedalam lima kategori yaitu: Pertama, pinjaman proyek. Pinjaman ini digunakan untuk pengadaan barang dan peralatan. Pinjaman proyek ini dapat berasal dari negara donor yang bersangkutan. Kedua, bantuan teknis. Bantuan teknis biasanya berupa pemberian jasa konsultan dari negara donor untuk kebutuhan penelitian, pendidikan atau peningkatan keterampilan, misalnya melalui pembiayaan tenaga ahli yang dipekerjakan di Indonesia. Bantuan teknis dapat berasal dari hibah dapat pula pinjaman, seperti bantuan teknis dari Bank Dunia dan ADB. Bagi negara-negara yang sedang berkembang, selama tenaga ahli dalam negeri belum mampu menangani suatu proyek, bantuan teknis diperlukan untuk menghindari kemungkinan pemborosan biaya serta hasil yang kurang memuaskan dalam kualitas dan jangka waktu pelaksanaan.13) Ketiga, kredit ekspor. Kredit ekspor merupakan pinjaman yang berasal dari perbankan luar negeri kepada pemerintah dengan persyaratan yang tidak lunak, bertujuan untuk menunjang ekspor dari negara yang meminjamkan. Beberapa nama lain dari kredit ekspor adalah suppliers credit (apabila pinjaman itu disalurkan melalui pemasok di negara donor), dan buyers credit (jika pinjaman diberikan langsung oleh lembaga kredit ekspor di negara donor kepada peminjam di negara penerima).14) Tingkat bunga yang dikenakan pada kredit ekspor ini cukup tinggi, yaitu antara 7% sampai dengan 8% dengan jangka waktu pengembalian lebih pendek, yaitu antara 5 sampai dengan 15 tahun. Fasilitas kredit ekspor dimanfaatkan apabila: (a) suatu proyek memerlukan biaya sangat besar; (b) tidak ada negara donor yang berminat membiayai proyek dengan pinjaman bersyarat lunak; (c) tingkat prioritas proyek sangat tinggi. Kredit ekspor disalurkan melalui Bank Ekspor dan Impor negara donor, badan atau

13) Gustav Papanek, ”Technical Assistance”, dalam Readings on Taxation in

Developing Countries, Richard Bird dan Oliver Oldman (Eds.), (Baltimore: The John Hopkins Press, 1975).

14) Muhtarudin Siregar, Pinjaman Luar Negeri dan Pembiayaan Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1990) hal. 24.

Page 152: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

120

lembaga pemerintah yang independen atau lembaga swasta yang ditunjuk oleh pemerintah. Dana kredit ekspor biasanya hanya mencakup sekitar 85% dari nilai kontrak suatu kegiatan proyek, sementara kekurangannya sebesar 15% dibiayai dari dana pemerintah atau APBN. Keempat, pinjaman atau hibah program. Pinjaman atau hibah program bertujuan untuk menunjang neraca pembayaran dan anggaran pembangunan, berkaitan dengan keperluan penyediaan dana rupiah yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran di dalam negeri.

Pinjaman atau hibah program dalam bentuk aslinya antara lain adalah berupa bantuan pangan. Oleh pemerintah, bantuan natura tersebut dijual kepada masyarakat dan hasilnya dipergunakan untuk menambah dana rupiah dalam negeri. Sekarang ini bantuan yang berbentuk natura seperti itu hampir tidak ada. Dalam perkembangan lebih lanjut, untuk menutupi kekurangan rupiah dalam negeri pemerintah juga menerima pinjaman-terutama dari Jepang-yang dapat dirupiahkan langsung. Bantuan program ini diperhitungkan sebagai penerimaan negara dan termasuk kategori “pembiayaan rupiah”. Kelima, sektor program loan. Pinjaman ini berasal dari pemerintah Jepang (JBIC/Japan Bank International Cooperation), yang seperti halnya bantuan program, bertujuan untuk menunjang neraca pembayaran dan anggaran pembangunan. Akan tetapi, penggunaan pinjaman ini ditetapkan lebih dulu menurut sektor dan program prioritas yang disepakati oleh Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jepang. Sektor-sektor tersebut adalah antara lain sektor pertanian, perhubungan, pertambangan dan energi, sosial, kemasyarakatan, kesehatan, pendidikan dan kehutanan.

Page 153: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

121

Tabel 11. Persyaratan Pinjaman Luar Negeri Dalam Rangka Pledge CGI

No. Pemberi Pinjaman

Luar Negeri Pola Pinjaman

Mata Uang

Tingkat Bunga

(per tahun)

Biaya Komitmen (per tahun)

Pemba-yaran

Kembali (tahun)

TenggangWaktu (tahun, bulan)

1. 2.

3. 4.

5. 6. 7.

8.

BILATERAL Austria Belgia Inggris Jerman Jepang Korea Perancis Spanyol

Pinjaman lunak Pinjaman lunak (State to state loan) Pinjaman lunak - Pinjaman lunak - Kredit ekspor campuran Pinjaman lunak Pinjaman lunak - Pinjaman lunak (50% dari seluruh pinjaman) - Kredit ekspor campuran (50% dari seluruh pinjaman) - Pinjaman lunak Inpres 8/1984 - Pinjaman lunak murni - Pinjaman lunak campuran

ATS BEF

PDS DM DM

Yen Won FFR

FFR

USD

USD

USD

3,5% 0%

3,34

0,75% floating

1,8-2,2%

2,5% 0,63%

floating

3,5%

0,3%

1%

- - - -

0,25 - - - - - - -

18 20

18 30 20

20 20 20

10

18

23

20

7 10 7 10 10

10 10 11

0,6 7

11

10

1. 2. 3.

4.

MULTILATERAL IBRD ADB IDB NIB

Pinjaman lunak Pinjaman lunak - Pinjaman lunak - Installment Sale - Leasing - ITFO - LTTFS Kredit ekspor

USD USD USD USD USD USD USD USD

6-7%

6-7,5% 2,5% 8%

7-8% Libor + 2% Libor + 2%

Libor=margin yg disepakati

0,25% 0,75

0,75% - - - -

0,25%

20 20

15 - 25 7 - 10 6 - 12

2 2 - 5 15

5 5

3 - 5 3 - 5 3 - 5 3 - 5 3 - 5

5

Sumber: Bappenas

Administrasi Pinjaman Luar Negeri

Pelaksanaan pemberian dan penerimaan pinjaman dan hibah luar negeri beserta persyaratannya dituangkan dalam Naskah Perjanjian Pinjaman/Hibah Luar Negeri (NPPHLN). Naskah perjanjian ini ditandatangani oleh Menteri Keuangan atau kuasanya atau pejabat lain yang berwenang dan salinannya disampaikan selambat-lambatnya empat belas hari setelah ditandatangani kepada Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan

Page 154: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

122

Nasional/Kepala Bappenas, Menteri/Ketua LPND (Lembaga Pemerintahan Non-Departemen) yang bersangkutan, Gubernur Bank Indonesia dan Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Dalam NPPHLN tercantum ketentuan-ketentuan antara lain: (a) besarnya jumlah pinjaman yang disetujui; (b) sifat atau jenis pinjaman; (c) tingkat bunga per tahun serta jangka waktu pengembalian dan tenggang waktu (grace period); (d) cara pengadaan; (e) cara penarikan dana.

Jumlah atau bagian dari jumlah pinjaman maupun hibah luar negeri yang dimuat dalam NPPHLN yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran bersangkutan dituangkan dalam DIP (Daftar Isian Proyek) atau dokumen lain yang dipersamakan dengan DIP. Untuk bagian pinjaman atau hibah luar negeri yang berasal dari NPPHLN dan yang diteruskan sebagai kredit, Menteri Keuangan atau kuasanya mengadakan perjanjian penerusan pinjaman dengan penerima pinjaman yang bersangkutan. Atas dasar NPPHLN atau DIP atau dokumen yang dipersamakan dengan DIP, pemimpin proyek atau penerima pinjaman melaksanakan pengadaan barang dan/atau jasa sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Langkah-langkah Penarikan Pinjaman Luar Negeri

Dalam pelaksanaan proyek-proyek yang memperoleh pinjaman luar negeri, langkah-langkah yang harus dilalui oleh pemimpin proyek adalah sebagai berikut: (1) membentuk panitia lelang; (2) menyusun dokumen pelelangan; (3) mengumumkan pelelangan; (4) memproses pelelangan; (5) mengevaluasi hasil lelang atau penunjukan langsung oleh tim evaluasi; (6) memproses hasil evaluasi lelang atau penunjukan langsung untuk mendapat persetujuan pejabat yang berwenang sesuai dengan hasil evaluasi; (7) menandatangani kontrak; (8) proses pembayaran sesuai dengan ketentuan dalam kontrak.

- Pelaksanaan Proyek dengan Fasilitas Kredit Ekspor

Dalam hal pinjaman luar negeri berbentuk fasilitas Kredit Ekspor, pengadaannya hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Menko Perekonomian. Menurut Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1984, setiap tahun

Page 155: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

123

anggaran Pemerintah menetapkan: (a) jumlah pinjaman kredit ekspor luar negeri; (b) daftar proyek-proyek pembangunan yang akan dibiayai dengan kredit ekspor luar negeri. Proyek-proyek pembangunan yang akan dibiayai dengan kredit ekspor luar negeri adalah proyek-proyek prioritas yang jumlah biayanya secara keseluruhan tidak melebihi jumlah alokasi kredit ekspor luar negeri yang ditetapkan. Semua proyek pembangunan yang akan dibiayai dengan kredit ekspor luar negeri dan dana lunak dilakukan melalui tender internasional, kecuali: (a) proyek yang bersangkutan hanya dapat diperoleh dari supllier tertentu dan tidak ada alternatif lain; (b) pengadaan ulang (repeat order), dengan ketentuan bahwa syarat-syarat teknis, harga dan syarat-syarat pinjaman sama atau lebih baik daripada pengadaan semula.

Dalam hal ada penawaran dana untuk proyek pembangunan tertentu dalam bentuk kredit ekspor luar negeri atau campuran antara dana lunak dan kredit ekspor luar negeri, maka: Pertama, apabila proyek pembangunan itu termasuk dalam daftar proyek-proyek yang dibiayai dari kredit ekspor luar negeri, maka yang bersangkutan dapat mengikuti tender internasional. Kedua, apabila proyek pembangunan tersebut tidak termasuk dalam daftar kredit ekspor luar negeri, maka kepada yang bersangkutan diberitahukan bahwa proyek pembangunan tersebut tidak termasuk dalam daftar proyek-proyek kredit ekspor luar negeri tahun anggaran yang bersangkutan, sehingga tidak dapat dibiayai dengan kredit ekspor luar negeri atau campuran antara kredit ekspor luar negeri dan dana lunak, oleh karena itu tawaran tersebut ditolak. Penarikan pinjaman atau hibah luar negeri menurut keputusan bersama Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 185/KMK.03/1995 dan Nomor KEP.031/KET/5/1995, dapat dilaksanakan melalui tata cara sebagai berikut: (a) pembukuan letter of credit (L/C) oleh Bank Indonesia; (b) pembayaran langsung (direct payment) oleh PPHLN kepada rekanan; (c) penggantian pembiayaan pendahuluan (reimbursement); (d) rekening khusus (special account) di Bank Indonesia atau bank pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

- Letter of Credit (L/C)

Page 156: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

124

Letter of Credit (L/C) adalah surat atau dokumen yang dikeluarkan oleh bank atas permintaan importir pelanggan bank luar negeri yang menjadi relasi importir yang bersangkutan, yang memberi hak kepada eksportir untuk menarik wesel atas importir yang bersangkutan atas sejumlah uang yang disebutkan di dalam surat itu.

Penarikan Pinjaman Dari Negara Donor Khusus

Disamping prosedur untuk penarikan dana pinjaman luar negeri sebagaimana diuraikan di atas, ada pula langkah-langkah yang harus diikuti yang ditentukan oleh negara-negara atau organisasi internasional yang memberi pinjaman. Prosedur pinjaman yang ditentukan oleh negara-negara atau organisasi internasional tersebut berbeda satu sama lain berikut ini adalah beberapa contoh:

1) JBIC. Sebelum Naskah Perjanjian Luar Negeri ditandatangani, Pemimpin Proyek perlu mengadakan studi kelayakan yang hasilnya disampaikan kepada Pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang kemudian membentuk misi penilaian (appraisal mission) sebagai bahan untuk Naskah Perjanjian Luar Negeri.

Kegiatan tersebut diadakan sebelum sidang CGI. Setelah pledge dalam sidang CGI ditetapkan, maka langkah lebih lanjut adalah kegiatan exchange of notes antara negara peminjam dan Pemerintah Jepang. Exchange of notes ini merupakan embrio dari Naskah Perjanjian Luar Negeri.

Setelah Naskah Perjanjian Luar Negeri ditandangani, proses berlanjut dengan prakontrak. Proses prakontrak dimulai dengan pengajuan procurement method dan kemudian prakualifikasi oleh Pemimpin Proyek kepada JBIC untuk diminta persetujuan. Tahap berikutnya adalah kegiatan pelelangan yang diikuti dengan evaluasi oleh Tim Evaluasi Departemen. Instansi yang memutuskan pemenang adalah tergantung dari besarnya nilai kontrak yang disesuaikan dengan Keppres Nomor 16 Tahun 1994. Setelah itu kontrak ditandatangani, untuk kemudian dimintakan persetujan ke Bappenas dengan mengisi Formulir I. Selanjutnya, pencairan

Page 157: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

125

dana mengikuti tata cara penarikan dana sesuai dengan SKB tanggal 27 Januari Tahun 1997.

2) Bank Dunia/Bank Pembangunan Asia.

Setelah pledge dari CGI diperoleh, maka Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia/Bank Pembangunan Asia mengadakan negoisasi proyek yang kemudian berakhir dengan ditandatanganinya Naskah Perjanjian Luar Negeri. Tahap selanjutnya adalah proses pelelangan atau penunjukan langsung. Dokumen lelang atau penunjukan langsung diajukan terlebih dahulu ke Bank Dunia/Bank Pembangunan Asia untuk mendapatkan persetujuan sebelum pelaksanaan pelelangan atau penunjukan langsung dimulai. Hasil pelaksanaan pelelangan atau penunjukan langsung lalu disampaikan kepada Tim Evaluasi Departemen yang dari sini hasil penilaiannya dikirimkan kepada Bank Dunia/Bank Pembangunan Asia untuk mendapatkan NOL (No Objection Letter). Setelah NOL diperoleh, maka hasil penilaian Tim Evaluasi Departemen dapat diajukan guna memperoleh persetujuan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan nilai kontrak seperti yang tercantum pada Keppres No.16 Tahun 1994.

3) Lembaga atau negara lain. Dalam proyek-proyek pinjaman bilateral, terdapat prosedur pelaksanaan yang berlainan dengan contoh di atas dengan Jerman misalnya, Naskah Perjanjian Luar Negeri baru ditanda-tangani setelah kontrak pelaksanaan proyek ditandatangani dan bukan sebaliknya.

Commitment Fee

Karena bermacam-macam prosedur seperti contoh di atas, terutama yang diterbitkan oleh organisasi internasional dan negara-negara yang meminjamkan, maka pelaksanaan pencairan dan peminjaman kadang-kadang mengalami hambatan. Perlu diketahui bahwa dalam Naskah Perjanjian Luar Negeri, kegiatan proyek bisa berlangsung dalam cakupan tahun ganda (multi years), disamping pelaksanaan pekerjaan proyek yang tidak dapat sekaligus selesai, melainkan melalui pentahapan. Setiap pentahapan pekerjaan selesai,

Page 158: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

126

maka dana pinjaman dapat dicairkan sesuai dengan isi Naskah Perjanjian Luar Negeri. Sisa dana yang belum dicairkan tentu merupakan komitmen dana yang tersimpan di bank pemberi pinjaman, hal ini khususnya berkaitan dengan pinjaman dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Sisa dana yang belum dicairkan tersebut dikenakan commitment fee sekitar 0,75% setahun

Sehubungan dengan hal di atas, kecepatan pelaksanaan proyek dengan pinjaman luar negeri perlu dipacu. Dalam hal ini Pemerintah Indonesia telah membentuk Tim Pendayagunaan Pelaksanaan Proyek-proyek Pembangunan Dengan Dana Luar Negeri (TP4DLN) untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan proyek-proyek pembangunan dengan dana luar negeri oleh Departemen/Lembaga, Pemerintah Daerah dan Badan Usaha Milik Negara. Tim ini dibentuk melalui Keputusan Presiden RI No.32 Tahun 1986. 15) Dipimpin oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas sebagai Ketua dan Menteri/Sekretaris Negara sebagai Wakil Ketua.

Untuk menyelenggarakan tugas meningkatkan kelancaran pelaksanaan proyek-proyek pembangunan dengan dana pinjaman luar negeri, Tim TP4DLN mempunyai fungsi: (a) mengkoordinasikan dan mengendalikan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan dengan dana luar negeri oleh Departemen/Instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Badan Usaha Milik Negara; (b) memecahkan masalah dan hambatan dalam pelaksanaan proyek pembangunan dengan dana luar negeri; (c) mengambil langkah-langkah pendaya-gunaan prosedur dan tata kerja pelaksanaan proyek pembangunan dengan dana luar negeri; (d) mengambil langkah-langkah pendayagunaan organisasi dan manajemen proyek, terutama peningkatan kemampuan pimpinan proyek dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan dengan dana luar negeri.

Buku Biru

“Buku Biru” adalah kumpulan daftar isian tentang proyek-proyek yang diusulkan untuk mendapatkan pinjaman luar negeri baik melalui pinjaman lunak, setengah lunak, atau komersial yang telah diseleksi

15) Yang kemudian diubah dan ditambah melalui Keppres. Nomor 10 Tahun 1988

dan Keppres. Nomor 74 Tahun 1993

Page 159: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

127

oleh Bappenas. Dalam daftar di Buku Biru ini, bantuan proyek dan bantuan teknis disusun secara terpisah. Usulan yang sudah tercantum dalam Buku Biru merupakan indikasi tentang kebutuhan pemerintah atas proyek-proyek yang diprioritaskan untuk mendapat bantuan dana pinjaman luar negeri.

Rancangan Buku Biru tersebut di atas diajukan oleh Menteri/ Ketua Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan. Usulan tersebut disertai dengan penjelasan secara rinci, serta uraian yang menyangkut latar belakang proyek serta kerangka acuannya. Buku Biru ini diperbaharui setiap tahun untuk keperluan bahan perundingan oleh pemerintah Indonesia dengan CGI.

Contoh formulir untuk bantuan proyek dalam Buku Biru adalah seperti di bawah ini:

Page 160: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

128

Contoh Formulir untuk Bantuan Proyek dalam Buku Biru Project Title : RAILWAY DOUBLE TRAC- KING OF KROYA

YOGYA-KARTA ON THE JAVA SOUTH LINE PHASE STAGE II KUTUARDJO-JOGYAKARTA

Basic Policy : Infrastructure and Economic Facilities Development

Sector : Transportation, Meteorology and Geophysics

Subsector : Land Transportation

Program : Railways Developmet Location (s) : Central Java Duration : 72 months Main Executing Agency : Directorate General of Land Transportation and

Inland Waterways, Ministry of Communications Background and Jutification Construction of double tracking of the Cikampek - Cirebon - Kroya - Yogyakarta -Solo - Wonokromo section is stipulated in railway development plan in Indonesia as high priority; The traffic demand analysis shows that the first and second bottle-neck in the transport capacity in the Cirebon-Wonokromo section area expected to occurred in Kutoarjo - Yogyakarta and Kroya - Kutoarjo sections in the ordinary months in 2004 and 2006 and during peak seasons; Constructions of double tracking phase 1 stage 1 (Kutoarjo - Yogyakarta) was commenced by the conclusion of LA in December 1996, schedule completion of the project in 2003.

Objectives Construction of the second track along the existing track for the Kutoarjo - Yogyakarta in Central Java. The phase I stage II will commence with the selection of a contractor for construction work since the preparation of a design for the phase I stage I has been done under the phase I. The construction work covers construction and intstallation of road bed, track, bridges and signaling facilities. An automatic signaling with OTC will be introduced for the second track activities will be carried out such as: Procurement of products and materials; Construction work; Construction supervisory services. Project Cost : a. Foreign Exchange Cost : USD 90,000,000 b. Local Cost : USD 15,000,000 Total Cost USD 105,000,000

External Assistance Requirement: a. Grant : USD 0 b. Soft Loan : USD 105,000,000 c. Export Credit : USD 0 Total YEAR USD 105,000,0000

Page 161: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

129

Siklus Proyek Dengan Pinjaman Luar Negeri

Negara atau lembaga yang memberi pinjaman biasanya mempunyai tahapan tertentu untuk menilai proyek yang memperoleh pinjaman luar negeri. Tahapan proses untuk proyek-proyek yang dibiayai oleh tiga lembaga negara pemberi pinjaman terbesar, yaitu Bank Dunia, ADB dan JBIC, dapat dikelompokkan ke dalam tahap-tahap sebagai berikut: Appraisal (penilaian proyek) dilakukan atas dasar hasil identifikasi atas layak atau tidak layaknya proyek yang dipilih tersebut untuk mendapatkan pembiayaan yang berasal dari dana pinjaman. Penilaian proyek itu biasanya meliputi: (1) latar belakang proyek; (2) maksud dan tujuan proyek; (3) analisa kebutuhan proyek; (4) penilaian awal tentang “preliminary design”, mencakup aspek taknis, manajerial, organisasi, finansial dan ekonomis, dengan mempertimbangkan kondisi setempat; (5) perkiraan biaya (pembelanjaan lokal maupun asing); (6) jadwal pelaksanaan proyek; (7) rencana operasional dan pemeliharaan; (8) lembaga/instansi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan; (9) analisis lingkungan dan dampak sosial; (10) kemungkinan risiko yang timbul dan rekomendasi.

Project preparation (persiapan proyek) merupakan tahap persiapan yang mengarah pada pelaksanaan perundingan (negosiasi) dengan negara atau lembaga pemberi pinjaman.

Procurement (pengadaan barang dan jasa). Pada tahap ini berlangsung proses pengadaan barang dan jasa dengan mengacu kepada aturan-aturan internal pemerintah, seperti Keppres yang berlaku tentang pelaksanan APBN, dan ketentuan-ketentuan pengadaan dari negara pemberi pinjaman, misalnya guidelines atau handbook.

Disbursement (penarikan/penyerapan dana), didasarakan pada kontrak pengadaan yang ditandatangani kepala proyek dan rekanan, sesuai dengan prestasi pekerjaan yang telah ditetapkan di dalam kontrak pekerjaan.

Jebakan Pinjaman Luar Negeri (Debt Trap)

Sejak tahun 1969, jumlah pinjaman luar negeri Indonesia terus membengkak (lihat Tabel 12). Untuk mempercepat pembangunan di

Page 162: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

130

Indonesia dengan dana rupiah yang belum memadai, pemerintah lebih memilih untuk memperoleh dana dari sumber pinjaman negeri dibandingkan dengan mencari sumber-sumber lain yang dapat mengakibatkan inflasi. Dalam hal ini, pemerintah tampaknya masih mengalami trauma akibat inflasi pada tahun 1965 yang mencapai 360% setahun.

Dengan bantuan luar negeri, dilihat dari peningkatan GDP, Indonesia mengalami kemajuan yang pesat, sehingga pernah dikategorikan sebagai negara yang berpendapatan menengah. Tetapi Indonesia dipandang sebagai memiliki kelembagaan yang lemah, tidak dapat memfasilitasi kebijakan dan program pinjaman luar negeri secara baik sehingga berujung pada pemborosan, inefisiensi dan korupsi.16)

Dalam krisis ekonomi 1997, dengan melemahnya nilai rupiah terhadap dollar Amerika, kesulitan akibat pinjaman luar negeri amat terasa dengan adanya pengeluaran untuk membayar pokok dan bunga pinjaman setiap tahun yang makin membengkak. Keadaan ini sangat mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada tahun-tahun yang bersangkutan. Masalah pinjaman luar negeri, apabila terus berkesinambungan, sewaktu-waktu bisa menjadi perangkap fiskal yang serius, untuk mengurangi pinjaman luar negeri atau mengatasai dampaknya yang sudah terjadi, langkah radikan mungkin diperlukan, antara lain dengan menyadarkan masyarakat luas tentang keadaan yang sebenarnya dan menganjurkan untuk mengetatkan ikat pinggang sebagai pengorbanan.

Tindakan berhutang adalah tindakan yang dilematis, yaitu karena sumber-sumber dari perpajakan yang kurang mendukung sementara ada kebutuhan untuk pembangunan yang menggebu-gebu. Selain itu, tindakan meminjam tampaknya lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan mengumpulkan pajak dari masyarakat. Para pejabat yang melakukan pinjaman tidak menyadari bahwa kegiatan meminjam itu harus dibayar kembali pada beberapa tahun. Hal di atas sekadar menunjukkan bahwa beberapa pinjaman luar negeri justru dapat menjadi sebuah jebakan. Bahwa dampak pinjaman luar negeri pada suatu saat dapat menjadi masalah bagi negara yang meminjam adalah merupakan soal yang sedikit banyak perlu dipahami oleh mereka yang

16) Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik Utang, Harian Kompas, 4 Juli 2001.

Page 163: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

131

bergelut dalam penyusunan anggaran negara. Ada banyak contoh negara, antara lain negara-negara Amerika Latin, yang lebih dulu dari Indonesia mengalami “jebakan pinjaman luar negeri” yang dapat dijadikan bahan pelajaran. Bahkan negara yang terjebak utang ini ada yang terpaksa menggadaikan utangnya kepada negara lain yang kaya. Utang yang berkedok sebagai bantuan memiliki bunga yang relatif rendah dan jangka waktu yang lebih panjang, tetapi tidak berarti bahwa negara yang berutang dalam kondisi seperti itu selalu memanfaatkan utang tanpa memikirkan efisiensi.

Isu tentang ”kebocoran” pinjaman luar negeri ini sudah sejak awal Orde Baru diperkirakan terjadi dengan jumlah yang cukup besar. Tetapi tidak seorangpun dapat menghitung dengan angka yang pasti berapa sebenarnya jumlah kebocoran tersebut. Si pembicara tentang adanya ”kebocoran” biasanya hanya dapat menyebutkan ”orde kebesarannya” saja. Masyarakat yang mendengarkan menafsirkan bahwa kebocoran itu sama dengan ”korupsi”, padahal apabila diteliti mungkin yang dimaksud dengan kebocoran itu dapat berupa:

penggunaan pinjaman yang boros, tidak efisien dan tidak efektif.

barang atau peralatan yang didatangkan dari negara donor tidak dapat dipergunakan di dalam negeri karena terlalu tinggi tingkat teknologinya, sehingga peralatan tersebut menjadi menganggur (idle).

Disain yang dibuat di dalam negeri dalam rangka menampung barang-barang yang didatangkan terlalu bersar dan mewah

Konsultan dibayar terlalu mahal, dan belum tentu konsultan kelas I.

Penyusun anggaran terlalu ambisius dalam menciptakan program baru, walaupun sebelumnya belum dipikirkan dan sering lupa bahwa uang yang diterima itu adalah berasal dari utang.

Mental dari pengelola anggaran dan pelaksana proyek kurang terpuji, sehingga istilah mem”blow up” proyek muncul.

Pengawasan yang tidak tuntas.

Page 164: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Penerimaan Negara

132

Tabel 12. Posisi Pinjaman Luar Negeri Indonesia

Menurut Kelompok Pinjaman (Juta dollar AS)

Tahun Pemerintah BUMN Swasta Jumlah1969 2,437 n.a n.a. 2,4371970 2,778 n.a n.a. 2,7781971 3,255 n.a n.a. 3,2551972 3,617 n.a n.a. 3,6171973 4,426 n.a n.a. 4,4261974 4,851 n.a n.a. 4,8511975 6,611 1,832 n.a. 8,4431976 8,295 2,009 n.a. 10,3041977 9,654 1,875 n.a. 11,5291978 11,330 1,708 n.a. 13,0381979 11,775 1,793 n.a. 13,5681980 12,994 1,876 n.a. 14,8701981 13,945 2,184 2,718 18,8471982 16,767 3,270 3,401 23,4381983 19,953 3,480 3,824 27,2571984 20,189 3,320 4,756 30,2651985 25,321 2,997 6,839 35,1571986 31,521 3,073 6,998 41,5921987 38,417 3,149 7,963 49,5291988 38,983 3,277 8,460 50,7201989 39,577 3,650 9,173 52,4001990 45,100 4,257 14,596 63,9531991 45,725 3,359 16,613 65,6971992 48,769 4,516 20,075 73,3591993 52,462 5,060 23,070 80,5921994 58,616 5,070 32,814 96,5001995 59,588 4,822 43,421 107,8321996 55,303 3,742 51,126 110,1711997 53,865 3,995 78,228 136,0881998 67,315 4,153 79,418 150,8861999 68,689 5,067 73,183 146,939

Page 165: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

133

6 Pengeluaran Negara

Bab 5 telah membicarakan segi penerimaan negara yang terdiri dari penerimaan dalam negeri dan penerimaan dari luar negeri yang berupa pinjaman dan hibah. Bab tersebut antara lain memberikan gambaran tentang potensi penerimaan di Indonesia. Hasil penerimaan itu akan dipergunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Dalam hal ini, seperti halnya penerimaan, perencanaan pengeluaran sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, seperti politik, ekonomi, manajemen, akuntansi dan administrasi negara.

Penyusunan pengeluaran negara sangat kompleks, karena penuh dengan muatan berbagai disiplin ilmu yang terkotak-kotak. Disiplin ilmu yang disebutkan di atas tidak dapat diatur secara berurutan, karena sebagian darinya mempunyai ciri berkesinambungan. Sebagai contoh, disiplin administrasi negara akan terus terlibat sejak permulaan sampai akhir penyusunan (lihat Tabel 13).

Pengeluaran negara pada umumnya mempunyai beberapa fungsi pokok. Pertama, menggambarkan kebijakan dan arah ekonomi makro, dengan menekankan perhatian pada penggunaan sumber yang tersedia dalam masyarakat. Kedua, menjaga keseimbangan ekonomi makro dan menghindari gejolak yang timbul selama anggaran berlangsung, seperti misalnya masalah ketenagakerjaan, stabilitas harga, serta sejumlah pengaruh faktor eksternal lain. Ketiga, mengurangi ketidakmerataan pendapatan masyarakat melalui pembangunan yang berimbang antarsektor dan antardaerah. Sebagaimana penerimaan negara (melalui perpajakan) dapat berperan

Page 166: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pengeluaran Negara

134

dalam pemerataan pendapatan, maka sistem pengeluaran juga dapat berperan sebagai instrumen untuk mengurangi kesenjangan dalam pembagian pendapatan di masyarakat. Keempat, pengeluaran negara -- dengan proses pelaksanaan secara terkoordinasi guna memberikan hasil secara cepat dan sistematis -- dapat memberikan dampak yang berarti terhadap ekonomi secara menyeluruh.

Penyusunan pengeluaran negara menggunakan multi disiplin ilmu yang kompleks, seperti yang tergambar pada Tabel 13.

Tabel 13. Disiplin Ilmu dan Pengeluaran Negara

Aspek Anggaran Disiplin Ilmu Cakupan Wilayah

Pertanggungjawaban Administrasi Negara Mencakup langkah-langkah penyusunan pengeluaran negara sejak pelaksanaan pengeluaran sampai pengawasan

Politik Hubungan antara legislatif dan eksekutif; proses politik yang menentukan alokasi sumber-sumber; serta konflik antar –kelompok

Akuntansi Pemeriksaan tentang pelaksanaan pengeluaran

Efisiensi dan Pengawasan

Ekonomi Fungsi produksi dan distribusi serta efisiensi dalam pengalokasian

Akuntansi Perhitungan biaya yang efisien

Administrasi Negara Penerapan sistem sentralisasi dan desentralisasi

Politik Batas-batas wewenang pemerintah; batasan tentang pengeluaran negara

Pertumbuhan Ekonomi Ekonomi Distribusi pengalokasian antar sektor

Page 167: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

135

Strategi untuk menyusun pengeluaran negara tidak selalu sama dari negara yang satu dengan negara yang lain, karena masing-masing mempunyai filosofi dan kondisi ekonomi yang berbeda-beda. Beberapa hasil pengamatan menunjukkan bahwa di negara yang kaya ada kecenderungan untuk lebih menekankan pada sektor pertahanan dan keamanan. Negara-negara yang pendapatan nasionalnya banyak didominasi oleh ekspor, cenderung untuk memprioritaskan bidang pendidikan, terutama pendidikan ketrampilan dan kesehatan.

Indonesia sejauh ini pengeluaran anggarannya dialokasikan untuk sektor-sektor yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan stabilitas. Selanjutnya, pengeluaran negara biasanya tersusun dalam kelompok-kelompok program, yang masing-masing terdiri dari kegiatan-kegiatan yang mempunyai sasaran yang sama. Menurut Verne B. Lewis1), supaya pengeluaran itu menjadi lebih terarah, ia harus disusun secara rinci dengan sejumlah pertimbangan berikut:

Semua pengeluaran harus disusun dalam bentuk kelompok program.

Setiap program harus didukung dengan perkiraan biaya.

Masing-masing program harus mempunyai “Tujuan” dan “Sasaran” (lihat Tabel 14).

Pengawasan terhadap pengeluaran dapat dilaksanakan pada setiap program dan sasarannya masing-masing.

Program harus didukung oleh data tentang satuan biaya, serta kriteria tentang efisiensi.

Sebelum dilaksanakan, program harus dinilai sesuai dengan manfaat dan biaya (benefit cost ratio).2)

1) Verne B. Lewis, Reflections on Budget Systems, Public Bugdet, and Finance, Vol.

8, 1988, hal. 14-19. 2) Benefit Cost Ratio adalah perbandingan antara manfaat dan biaya yang telah

dikeluarkan dan dinilai menurut harga sekarang. Apabila rasio tersebut lebih kecil dari 1, maka program dianggap menguntungkan. Sebaliknya apabila rasio kurang dari 1, maka program dianggap tidak menguntungkan.

Page 168: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pengeluaran Negara

136

Tabel 14. Program, Tujuan dan Sasaran

Program Tujuan Sasaran

1. Program Pembinaan Pendidikan Dasar

1. Menyiapkan standar pendidikan untuk murid Sekolah Dasar

2. Mengurangi kesenjangan kesempatan belajar

Penurunan rasio anak sekolah dan rasio buta huruf

2. Program Pelayanan Kesehatan Masyarakat

1. Meningkatkan standar kesehatan masyarakat

2. Menghindari meluasnya penyakit

Menambah jumlah rata- rata harapan hidup dan mengurangi orang yang menderita sakit

3. Program Pembangunan Pertanian Rakyat Terpadu

1. Meningkatkan peggunaan pupuk dan meningkatkan hasil per hektar

2. Mengembangkan irigasi dan perluasan pengawasan hama

Meningkatkan produk tivitas hasil tanaman Pangan

4. Program Pengembangan usaha Pertanian (khusus Perikanan)

1. Meningkatkan hasil produksi setiap hektar

2. Memperluas kolam-kolam ikan dan memperbanyak Kapal-kapal ikan

Mengembangkan produksi ikan untuk memenuhi permintaan dan mengembangkan ekspor ikan

Setiap evaluasi yang dilakukan harus termasuk analisis tentang politik, sosial, peraturan perundangan dan peraturan adminis-trasi yang lain.

Sasaran program harus ditekankan pada sarana fisik dan manfaat yang diperoleh.

Program yang menjadi tanggung jawab antarorganisasi dapat dianalisis tanpa mengganggu kewenangan masing-masing organisasi (lihat Tabel 15).

Sebelum menyiapkan perkiraan pengeluaran, pejabat anggaran harus menyiapkan petunjuk penilaian program untuk dijadikan pedoman pelaksanaan bagi departemen teknis.

Koordinasi antara penerimaan dan pengeluaran diperlukan agar setiap perubahan yang terjadi dapat diketahui secara dini.

Page 169: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

137

Biaya tak terduga harus diperhitungkan dalam rencana pengeluaran untuk mengantisipasi gejolak ekonomi selama pelaksanaan berlangsung, misalnya akibat gempa bumi, perang dan lain-lain.

Tabel 15. Susunan Kabinet Gotong Royong

Susunan Kabinet Gotong Royong Menteri Koordinator (Menko) 1. Menko Polkam 2. Menko Perekonomian 3. Menko Kesra Menteri Yang Memimpin Departemen 4. Menteri Dalam Negeri 5. Menteri Luar Negeri 6. Menteri Pertahanan 7. Menteri Kehakiman dan HAM 8. Menteri Keuangan 9. Menteri Energi dan Sumber

Daya Mineral 10. Menteri Perindustrian dan

Perdagangan 11. Menteri Pertanian 12. Menteri Kehutanan

13. Menteri Perhubungan14. Menteri Kelautan dan Perikanan 15. Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi 16. Menteri Pemukiman dan

Prasarana Wilayah 17. Menteri Kesehatan 18. Menteri Pendidikan Nasional 19. Menteri Sosial 20. Menteri Agama

Menteri Negara (Menneg) Nondepartemen21. Menneg. Kebudayaan 22. Menneg. Riset dan Teknologi 23. Menneg. Koperasi dan Usaha

Kecil Menengah 24. Menneg. Lingkungan Hidup 25. Menneg. Pemberdayaan

Perempuan 26. Menneg. Pendayagunaan

Aparatur Negara

27. Menneg. Percepatan Pembangunan KTI

28. Menneg. Perencanaan Pembangunan/ Bappenas

29. Menneg. BUMN 30. Menneg. Komunikasi dan

Informasi

Dua Pejabat Setingkat Menteri 1. Sekretaris Negara/Sekretaris Kabinet 2. Jaksa Agung

Page 170: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pengeluaran Negara

138

Secara garis besar, pengeluaran negara terbagi ke dalam kelompok pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Kedua kelompok anggaran itu dialokasikan pada dan untuk departemen teknis yang mengelola seluruh pengeluaran negara. Dengan pengalokasian anggaran pengeluaran pada departemen teknis, tidak berarti bahwa lingkup pengeluaran itu menjadi sempit semata-mata akibat kesan bahwa hal itu hanya terjadi di lingkungan pemerintahan saja.

Dampak pengeluaran negara terhadap perekonomian secara keseluruhan sangat berarti, mengingat setiap kebijakan dan investasi yang dilakukan oleh pemerintah membawa efek yang luas ke sektor-sektor swasta.

Hal itu terjadi bukan hanya karena adanya hubungan backward linkage dan forward linkage dalam perekonomian,3) tetapi juga karena adanya prinsip bahwa pemerintah dapat melakukan pengaturan melalui kebijakan-kebijakan yang diciptakannya.

PENGELUARAN RUTIN

Pengeluaran rutin, adalah jenis pengeluaran yang perubahannya tidak drastis pada setiap penggantian tahun anggaran. Pengeluaran ini bertujuan untuk mempertahankan roda pemerintahan, karena menyangkut, antara lain, belanja pegawai, belanja barang, belanja rutin daerah, pembayaran bunga hutang, subsidi, dan pengeluaran sejenisnya (lihat Tabel 16). Jenis dari pengeluaran rutin beserta jumlahnya masing-masing relatif tidak jauh berbeda dari satu tahun anggaran ke tahun anggaran berikutnya. Pengeluaran untuk belanja pegawai, misalnya, tidak mungkin mengalami penurunan karena manyangkut kesejahteraan pegawai negeri. Sebaliknya, kenaikan

3) Backward linkage dan forward linkage adalah hubungan antar program/proyek

yang menggambarkan bahwa dengan adanya pembangunan atau investasi dalam suatu program/proyek, maka yang diuntungkan adalah program/proyek yang mensuplai input untuk program/proyek itu karena tersedianya pasar bagi input tersebut (backward linkage), dan juga program/proyek yang menggunakan output dari program/proyek yang dibangun tersebut karena program/proyek itu mendapatkan input yang lebih murah (forward linkage).

Page 171: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

139

yang mencolok juga sulit dilakukan karena peningkatan dari penerimaan pajak yang relatif terbatas.

Tabel 16.

Perkembangan Pengeluaran Rutin 1) 2000 s.d. 2002

(dalam triliun rupiah)

Uraian

2000 2001 3) 2002

PAN % thd

PDB

Reali-

sasi

% thd

PDB APBN

% thd

PDB

1. Belanja pegawai

2. Belanja barang

3. Pembayaran bunga

a. Utang DN

b. Utang LN

4. Subsidi

a. BBM

b. NonBBM 1)

5. Pengeluaran rutin lainnya

29,6

9,6

50,0

31,2

18,8

62,7

53,8

8,9

10,6

3,0

1,0

5,1

3,2

1,9

6,4

5,5

0,9

1,1

38,6

9,8

87,1

58,2

28,9

77,8

68,4

9,4

5,7

2,6

0,7

5,8

3,9

1,9

5,2

4,6

0,6

0,4

41,3

12,9

88,5

59,5

29,0

41,6

30,4

11,2

9,5

2,5

0,8

5,3

3,5

1,7

2,5

1,8

0,7

0,6

J u m l a h 162,5 16,5 219,0 14,7 193,8 11,5

1) Disesuaikan dengan klasisfikasi baru 2) Realisasi sementara sampai dengan 31 Desember 2001 3) Termasuk dana PPD-PSE pangan sebesar Rp. 0,3 triliun

Belanja Pegawai

Pengeluaran untuk belanja pegawai adalah meliputi: (a) gaji pokok, (b) berbagai macam tunjangan, seperti (tunjangan keluarga, tunjangan jabatan/struktural dan jabatan fungsional, tunjangan pejabat negara, dan tunjangan kemahalan dan lain-lain. Yang dimaksud dengan pegawai adalah pegawai negeri sipil dan anggota TNI/POLRI, beserta pensiunannya.

Disamping itu, dalam pos belanja pegawai ini juga terdapat uang makan dan lauk pauk bagi anggota TNI/POLRI, pelaut, petugas penjaga lampu menara, pasien rumah sakit pemerintah, penghuni

Page 172: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pengeluaran Negara

140

panti-panti asuhan negara, para narapindana, para tuna yang diasuh oleh pemerintah; dan pengeluaran lain-lain berupa uang lembur, uang pakasi, uang honorarium mengajar bagi guru tidak tetap, honorarium ujian dinas, beasiswa, tunjangan ikatan dinas.

Gaji pegawai negeri di Indonesia relatif sangat rendah dibanding-kan dengan misalnya gaji pegawai negeri di negara tetangga. Hasil penelitian Kantor MenPAN dan BPS pada tahun 1990, antara lain menunjukkan bahwa rata-rata gaji pegawai negeri di Indonesia hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup untuk 15 sampai 17 hari. Penelitian BAKN pada Oktober 1988 memperlihatkan bahwa gaji rata-rata pegawai negeri hanya cukup untuk memenuhi 47,9% kebutuhan pokok hidup sehari-hari.4) Akan tetapi secara keseluruhan jumlah belanja pegawai di Indonesia sangat besar, yaitu meliputi sekitar 24% dari total pengeluaran rutin. Pegawai negeri sipil di Indonesia berjumlah kurang lebih 4 juta orang, baik yang bekerja di departemen/lembaga di pusat, maupun yang diperbantukan pada daerah otonom dan instansi lain. Jumlah pegawai sipil tersebut menyebar di kantor menteri koordinator, departemen teknis, kantor menteri negara dan kantor pejabat setingkat menteri, serta sejumlah lembaga lainnya.

Belanja Barang

Pengeluaran untuk belanja barang meliputi pengeluaran untuk keperluan sehari-hari perkantoran, seperti pembelian alat-alat tulis, barang cetak, alat-alat rumah tangga, pengiriman surat, biaya sewa gedung, biaya pengepakan, pengiriman dan penyimpanan barang, biaya langganan majalah dan surat kabar, biaya rapat, biaya pengamanan kantor, biaya pindah kantor, biaya cetak, biaya teleks, biaya bahan-bahan komputer, foto copy, biaya sewa rumah, dan biaya keanggotaan pada organisasi internasional.

4) Executive Summary dan Sistem Penggajian Cerdas Dalam Rangka

Menciptakan Clean Government dan Good Governance, Jakarta, 20 September 1999

Page 173: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

141

Belanja Rutin Daerah

Belanja rutin daerah sebelumnya disebut dengan subsidi daerah otonom. Pada dasarnya pengeluaran ini merupakan transfer dana dari pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Pengeluaran transfer ini adalah berupa belanja pegawai daerah otonom yang menampung gaji pokok dan tunjangan bagi pegawai daerah otonom, termasuk gaji dan tunjangan-tunjangan bagi pegawai negeri pusat yang ditempatkan di daerah otonom, guru-guru SD Negeri, tenaga medis dan paramedis, juru penerang dan tenaga penyuluh kehutanan, pertanian dan keluarga berencana.

Cicilan Pokok dan Bunga pinjaman

Pinjaman pemerintah terdiri dari pinjaman luar dan dalam negeri. Dari kedua jenis sumber pinjaman tersebut, pinjaman yang bersumber dari luar negeri mempunyai kelemahan terutama bagi negara peminjam.

Tabel 17.

Pelunasan Pinjaman Luar Negeri Indonesia 1998 (juta US dollar)

Nomor Uraian 1998 1999 1. Nilai Ekspor 57.632 58.740 2. Pelunasan Pinjaman 33.378 33.341 Pemerintah 5.905 5.800 Swasta 27.473 27.541 3. Debt Service Ratio (%) 57,9 56,8 Pemerintah 10,2 9,9 Swasta 47,7 46,9 Sumber: Lampiran Pidato Presiden Republik Indonesia di Depan Sidang Tahunan

MPR RI, 7 Agustus 2000

Page 174: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pengeluaran Negara

142

Selama pinjaman tersebut diterima dengan valuta asing dan harus dibayar cicilan dan bunganya dengan valuta asing pula, maka masalah yang timbul adalah apabila nilai tukar di negara peminjam tidak stabil.

Apabila terjadi penurunan nilai tukar, maka pembayaran bunga dan cicilan pokok akan mengalami pembengkakan dan akan mengganggu anggaran rutin. Akibatnya pembengkakan anggaran tersebut akan mengurangi alokasi pada program-program pembangunan lainnya.

Subsidi

Kelompok anggaran rutin yang cukup besar lainnya adalah pengeluaran untuk subsidi. Subsidi diberikan oleh pemerintah dengan maksud untuk melindungi kelompok produsen dan konsumen tertentu.

Di negara-negara maju, pengeluaran untuk subsidi bagi lembaga-lembaga sosial dan perusahaan negara kurang diperlukan karena lembaga-lembaga itu secara operasional sudah berjalan efisien. Di negara yang sedang berkembang, lembaga-lembaga sosial, rumah sakit misalnya, akan mengalami kesulitan bila tidak memperoleh subsidi pemerintah mengingat daya beli masyarakatnya yang masih rendah dan belum mampu untuk membeli obat-obat yang komponennya masih diimpor. Subsidi ini bisa diberikan kepada produsen, misalnya dalam bentuk subsidi untuk bahan baku, tetapi bisa juga langsung diberikan kepada pihak konsumen. Yang penting subsidi ini ditujukan untuk meringankan konsumen agar dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, dan membantu produsen agar tidak merugi dalam operasional usahanya. Subsidi ini dapat juga diberikan dalam bentuk subsidi bunga, sehingga produsen dapat mengoperasikan usahanya dengan bunga yang lebih rendah dari bunga pasar.

Dalam Gambar 12, ditunjukkan bahwa harga suatu barang -- bila tidak ada subsidi -- adalah 0A, yang merupakan perpotongan antara kurva permintaan (D) dan kurva penawaran (S). Untuk membantu konsumen, pemerintah memberikan subsidi sebesar BCEA.

Dengan adanya subsidi ini, pendapatan yang diterima produsen tetap normal yaitu OFEA, di mana OBCF diterima dari konsumen, dan BCEA diterima dari pemerintah berupa subsidi.

Page 175: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

143

Gambar 12. Subsidi Pemerintah

Di sini produsen tidak dirugikan, sedangkan konsumen diuntungkan karena dapat membeli barang yang bersangkutan lebih murah. Sebaliknya, pemerintah dirugikan karena harus mengeluarkan anggaran dari dana pemerintah untuk subsidi.

Pemberian subsidi itu sebenarnya tidak sehat dalam pengertian adanya inefisiensi dalam usaha yang disubsidi. Subsidi juga menciptakan ketidakadilan di kalangan konsumen pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Memang ada sebagian konsumen yang membutuhkan subsidi, tetapi kalau subsidi itu diterima juga oleh masyarakat yang mampu, maka hasil yang diperoleh bukan keadilan melainkan justru ketidakadilan. Tetapi apabila subsidi terhadap suatu komoditas dihapus, maka berarti konsumen akan membayar lebih mahal untuk memperoleh komoditas tersebut. Kalau komoditas yang dimaksud adalah produk seperti BBM dan tenaga listrik, maka penghapusan subsidi itu pasti akan mempengaruhi biaya produksi untuk menghasilkan barang-barang konsumsi yang menggunakan bahan baku tersebut, yang akhirnya akan mendorong inflasi.

F0

A

B

D S

E

C

Page 176: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pengeluaran Negara

144

Pengeluaran Rutin Lainnya

Pengeluaran rutin lainnya dimaksudkan untuk menampung pengeluaran seperti surat menyurat, biaya listrik, air minum, telepon, dan berbagai pengeluaran yang sifatnya tidak terus menerus.

PENGELUARAN PEMBANGUNAN

Pengeluaran pembangunan berbeda sifatnya dengan pengeluaran rutin. Apabila dianalogikan dengan anggaran keuangan perseora-ngan, maka pengeluaran rutin adalah sama dengan konsumsi (C), dan pengeluaran pembangunan sama dengan investasi (I). Artinya, pengeluaran rutin, seperti dikatakan sebelumnya, adalah pengeluaran untuk mempertahankan roda pemerintahan, sedangkan pengeluaran pembangunan merupakan investasi yang akan menghasilkan tambahan pendapatan pada waktu yang akan datang. Berkaitan dengan sisi penerimaan, pengeluaran pembangunan lebih fleksibel dibandingkan dengan pengeluaran rutin. Pengeluaran rutin tidak berubah terlalu banyak pada setiap tahunnya, kecuali apabila terjadi perubahan dalam nilai uang atau inflasi, atau perubahan berupa kebijakan pemerintah, seperti kenaikan gaji pegawai.

Banyak faktor yang mempengaruhi pengeluaran pembangunan, misalnya: Pertama, kebutuhan yang berlanjut terhadap komitmen proyek-proyek yang dibangun sebelumnya. Pembiayaan untuk proyek-proyek yang memerlukan penyelesaian lebih dari satu tahun, tentu harus masuk dalam anggaran pada tahun-tahun berikutnya. Kedua, adanya perubahan biaya untuk proyek tertentu akibat inflasi, bencana alam, dan lain-lain. Ketiga, perubahan yang disebabkan karena adanya kebijakan baru yang berdampak pada keperluan anggaran proyek, misalnya bertambahnya biaya akibat adanya proyek-proyek atau program-program baru untuk mempercepat penghapusan kemiskinan. Karena yang mengelola anggaran pembangunan secara operasional adalah departemen teknis, maka pengambil keputusan kadang-kadang sulit untuk menentukan berapa kebutuhan pengeluaran pembangunan yang perlu disediakan dalam anggaran negara secara nasional. Tidak demikian halnya dengan pengeluaran rutin karena perubahannya baik program maupun volumenya, tidaklah berarti.

Page 177: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

145

Untuk menyusun anggaran pembangunan, diperlukan informasi yang berasal dari para pengusul, baik dari departemen teknis maupun dari pemerintah daerah. Agar keputusan tidak menyimpang jauh dari keinginan para pengusul, diperlukan metode-metode tertentu dalam pengajuan usulan itu. Biasanya para pengusul menyampaikan data usulan pembiayaan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan perkiraan dana yang tersedia. Kalau hal ini terjadi, para pemutus anggaran akan mengalami kesulitan di dalam melakukan pemotongan anggaran yang diusulkan. Memotong anggaran yang diusulkan dapat ditempuh dengan beberapa cara: Pertama, memotong program, yakni menghapus seluruh biaya dari suatu program yang diusulkan departemen teknis pengusul. Dengan kata lain, meniadakan program bersangkutan dari rencana anggaran. Kedua, memotong proyek, yakni menghapuskan sebuah atau beberapa proyek yang dinilai tidak efisien. Ketiga, memotong secara proporsional biaya setiap proyek yang diusulkan, yakni dengan meniadakan atau mengurangi kegiatan-kegiatan tertentu dalam suatu proyek. Keempat, memotong satuan biaya, yakni mengubah atau menurunkan satuan biaya yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan biaya kegiatan atau proyek, misalnya, satuan biaya dinilai, apakah telah benar atau di-blow up.

Metode Usulan

Untuk menentukan kegiatan pengeluaran pembangunan diperlukan informasi dari departemen teknis maupun dari daerah. Ada beberapa metode untuk mengatasi hal ini, yaitu bahwa usulan dari departemen teknis ditempuh dengan beberapa cara, yaitu: Pertama, anggaran tanpa batas. Departemen dan pemerintah daerah diberikan peluang untuk menyampaikan usulan-usulannya tanpa batasan anggaran sama sekali. Di sini, keuntungan bagi pengambil keputusan adalah dapat memperoleh informasi yang sebanyak-banyaknya dari pengusul. Tapi kerugiannya adalah pengambil keputusan sulit mengetahui proyek-proyek mana yang lebih diprioritaskan apabila perlu diadakan pemotongan. Kedua, pengusul diberikan pagu anggaran tertentu. Departemen teknis dan pemerintah daerah diberikan patokan dengan pagu anggaran tertentu. Mereka tidak diperkenankan mengusulkan proyek-proyek dengan biaya melebihi pagu anggaran yang telah diberikan. Keuntungan cara ini adalah pengambil keputusan dapat mengetahui urutan prioritas

Page 178: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pengeluaran Negara

146

proyek-proyek yang diusulkan. Kerugiannya adalah apabila pada anggaran tersedia lebih banyak, pengambil keputusan tidak mempunyai informasi tentang proyek mana lagi yang akan diberikan dana. Ketiga, perubahan anggaran dengan persentase tertentu. Departemen teknis dan pemerintah daerah diberikan perkiraan anggaran atas dasar kenaikan atau penurunan sebesar pesentase tertentu dibandingkan dengan anggaran tahun sebelumnya. Kelemahan cara ini bagi departemen teknis atau pemerintah daerah yang sebelumnya menerima alokasi anggara yang lebih kecil, kenaikan persentase akan menghasilkan kenaikan absolut lebih kecil daripada departemen teknis atau pemerintah daerah yang sebelumnya sudah menikmati anggaran yang lebih besar. Keempat, pagu dengan mempertimbangkan hasil review. Pagu anggaran proyek ditentukan berdasarkan review terhadap pelaksanaan, terutama mengenai keberhasilan dan daya serap anggaran proyek bersangkutan pada tahun anggaran belanja. Kelima, usulan dengan daftar prioritas. Departemen teknis dan pemerintah daerah menyampaikan daftar usulan proyek dengan anggaran yang tidak terbatas tetapi telah tersusun menurut prioritasnya, sehingga “pemotongan”, apabila terpaksa dilakukan tidak mengganggu keseimbangan antar proyek yang diinginkan departemen teknis ataupun pemerintah daerah.

Investasi Oleh Negara

Investasi negara sangat diperlukan untuk menghadapi masalah-masalah khusus, misalnya dalam program/proyek yang berkaitan dengan stabilitas ekonomi, pelayanan hukum, dan pertahanan nasional, atau program/proyek yang melindungi masyarakat miskin. Program/proyek semacam itu tidak mungkin dilakukan oleh swasta. Meski demikian, tidak berarti bahwa sama sekali tertutup bagi swasta untuk memproduksi barang-barang seperti suku cadang untuk proyek-proyek negara, atau bahkan pembangunan proyek untuk negara, walaupun pengadaannya harus melalui pengeluaran negara. Misalnya, swasta bisa saja memproduksi peralatan perang atau membangun lembaga pemasyarakatan, namun kegiatannya didasarkan atas kontrak antara swasta dan negara.

Page 179: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

147

Menurut William N. Dunn,5) hambatan untuk mencapai sasaran dalam pembangunan program dan proyek semacam di atas secara umum dapat digolongkan dalam enam kategori, yaitu:

1) Hambatan fisik. Pencapaian sasaran kemungkinan dibatasi oleh keadaan pengetahuan tentang teknologi. Sebagai contoh, pembangunan persenjataan angkatan perang pada keterbatasan teknologi yang dimiliki.

2) Hambatan hukum. Hukum publik, hak kepemilikan, dan peraturan-peraturan lembaga sering menghambat upaya pencapaian tujuan. Sebagai contoh, program sosial yang dirancang untuk redistribusi sumber daya bagi kelompok miskin sering dihambat oleh keperluan adanya pelaporan.

3) Hambatan organisasional. Struktur organisasi dan proses yang tersedia untuk mengimplementasikan program dapat membatasi upaya untuk pencapaian tujuan. Sebagai contoh, sentralisasi yang tinggi, manajemen yang buruk, dan rendahnya moral membatasi efektivitas dan efisiensi dari program-program publik.

4) Hambatan politik. Kelompok oposisi terhadap pemerintah dapat menimbulkan hambatan yang luar biasa dalam implementasi, juga dalam penerimaan awal dari suatu program. Oposisi seperti ini tercermin pada kekakuan dan kecenderungan untuk menghindari masalah dengan membuat keputusan lain.

5) Hambatan distributif. Program publik yang dirancang untuk menyediakan pelayanan sosial secara efisien sering dibatasi oleh kebutuhan untuk meyakinkan bahwa biaya dan manfaat akan didistribusikan secara adil di antara berbagai kelompok yang berbeda.

6) Hambatan anggaran. Anggaran pemerintah adalah terbatas sehingga penentuan sasaran perlu mempertimbangkan keterbatasan itu.

5) William N. Dunn, Public Policy Analysis, (New Jersey: Prentice Hall, 1994) hal.

314-315.

Page 180: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pengeluaran Negara

148

Tabel 18. Pengeluaran Pembangunan Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi

APBN 1999/2000 dan APBN 2000 (dalam miliar rupiah)

Uraian

APBN

1999/20001)

%

thd. PDB

APBN 20002)

%

thd. PDB

(1) (2) (3) (4) (5) I. Pembiayaan Rupiah

1. Anggaran yang dikelola daerah a. Dana Pembangunan Daerah

1. Dana pembangunan desa 2. Dana pembangunan Kabupaten/ kota 3. Dana pembangunan provinsi 4. Dana JPS dan

Penanggulangan Kemiskinan b.Dana pembangunan daerah dari

bagi hasil PBB dan BPHTB

2. Anggaran yang dikelola oleh Instansi pusat a. Pembiayaan

Departemen/Lembaga 1. Departemen/Lembaga 2. Hankam

b. Lain-lain pembangunan 3. Subsidi dan biaya restrukturisasi perbankan

a. Subsidi bunga kredit program b. Restrukturisasi perbankan

II. Pembiayaan Proyek

31.747,3 16.129,3 13.226,9

810,8

5.775,0 3.182,7

3.458,4

2.902,4

15.618,0 14.022,5

12.758,2 1.264,3 1.595,5

- 3)

- -

30.000,0

2,6 1,3 1,1 0,1

0,5 0,3

0,3

0,2

1,3 1,1

1,0 0,1 0,1

- - -

2,5

25.575,7 15.408,9 12.816,2

670,4

6.040,0 3.280,7

2.825,1

2.592,7

10.166,8 8.211,3

7.493,8

717,5 1.955,5

- - -

16.030,0

2,8

1,4 0,1

0,7 0,4

0,3

0,3

1,1 0,9

0,8 0,1 0,2

- - -

1,8

J u m l a h

61.747,3

5,0

41.605,7

4,6

1) Disesuaikan dengan klasifikasi baru 2) Periode 1 April sampai dengan 31 Desember 2000 3) Direalokasi ke dalam pengeluaran rutin

Sumber: Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2001

Page 181: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

149

Komposisi Pembiayaan

Pengeluaran pembangunan di Indonesia mempunyai dua macam pembiayaan yaitu: (a) pembiayaan rupiah, dan (b) pembiayaan proyek. Pembagian tersebut didasarkan pada sumber pendanaannya. Pengeluaran pembangunan berupa pembiayaan rupiah adalah menyangkut pembangunan program/proyek yang dibiayai dari sumber penerimaan dalam negeri, sedangkan pengeluaran pembangunan berupa pembiayaan proyek adalah menyangkut proyek yang dibiayai dari pinjaman luar negeri. Keduanya saling isi mengisi, mengacu pada kebijakan pengeluaran pembangunan yang diselaraskan dengan strategi pencapaian visi dan misi dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Visi dan Misi GBHN 1999-2004 misalnya diarahkan pada: (a) kesejahteraan rakyat dan percepatan pengentasan kemiskinan; (b) pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah dan koperasi dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar; (c) mewujudkan otonomi daerah dalam rangka pembangunan daerah dan pemerataan pertumbuhan.

Pembiayaan Rupiah

Dana pembangunan dengan pembiayaan rupiah dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu: (a) dana pembangunan yang dikelola oleh daerah, dan (b) dana pembangunan yang dikelola oleh instansi pusat.

a. Dana Pembangunan yang Dikelola oleh Daerah

Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pemerintah daerah mempunyai peluang untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan menciptakan peluang yang lebih besar dalam menyelaraskan program dan kegiatan pembangunan dengan referensi dan prioritas daerah. Pelaksanaan kedua undang-undang tersebut di atas dilakukan secara bertahap yang dimulai dengan langkah antisipasi dan penyesuaian terhadap pelaksaaan desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam pelaksanaannya, pengalokasian dana pembangun-an daerah tetap diselaraskan dengan arah dan strategi kebijakan

Page 182: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pengeluaran Negara

150

fiskal secara umum, dan tetap sejalan dengan arah kebijakan ekonomi makro secara nasional sebagaimana diamanatkan dalam GBHN 1999-2004, yakni: (i) pemberdayaan seluruh kekuatan ekonomi nasional, khususnya pengusaha kecil, menengah, dan koperasi; (ii) tercukupinya kebutuhan dasar masyarakat; dan (iii) terwujudnya otonomi daerah.6)

Dalam kaitan dengan arah dan strategi tersebut, dana pembangunan daerah dialokasikan bagi penyediaan dana pembangunan desa, kabupaten/kota, provinsi; dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan penanggulangan kemiskinan; serta dana bagi hasil dari penerimaan PBB dan BPHTB. Dana pembangunan desa merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi desa untuk melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan umum, guna mendorong pembangunan sosial ekonomi masyarakat di pedesaan, termasuk dana langsung di desa, pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), anak dan remaja.

Sebagian besar dana JPS dan penanggulangan kemiskinan dimanfaatkan untuk membiayai program prasarana pedesaan melalui program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di pedesaan dan di perkotaan, program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Desa (PEMD), program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT/AS), dana operasi dan pemeliharaan Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), serta dana operasi dan pemeliharaan puskesmas.

Selain itu, penerimaan dari PBB dan BPHTB juga masuk dalam dana pembangunan yang dikelola oleh daerah.

b. Dana Pembangunan yang Dikelola Instansi Pusat

Anggaran pembangunan yang dikelola instansi pusat akan dititikberatkan pada proyek-proyek nasional, dan pengelolannya dilakukan di tingkat pusat, serta proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman proyek.

Pengeluaran yang dikelola oleh instansi pusat adalah pengeluaran yang digunakan untuk proyek-proyek pembangunan

6) Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2000, hal. IV/112

Page 183: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

151

yang sifatnya secara langsung tidak menghasilkan return kepada pemerintah, tetapi secara tidak langsung mempunyai dampak luas kepada pertumbuhan perekonomian negara, serta pemerataan pendapatan masyarakat. Dana ini dikelola oleh departemen teknis menurut bidangnya masing-masing. Proyek-proyek yang dibiayai meliputi proyek-proyek yang mengacu pada: (a) pertumbuhan ekonomi, seperti jalan, pelabuhan laut dan udara, kelistrikan, pertanian, pengairan, pendidikan, penelitian, dan lain sebagainya; (b) pemerataan pendapatan, seperti transmigrasi, perumahan rakyat, dan koperasi; (c) peningkatan kesejahteraan masyarakat, seperti proyek-proyek kesehatan, kesejahteraan sosial, dan keluarga berencana.

Petunjuk Penilaian Anggaran Pembangunan

Seperti dikemukakan terdahulu, sebelum anggaran pembangunan mulai dilaksanakan, perlu disiapkan lebih dahulu petunjuk kebijakan tentang sasaran yang akan dicapai pada tahun yang bersangkutan. Petunjuk ini penting untuk memberikan arahan kepada departemen teknis dan pemerintah daerah agar mempunyai persepsi yang sama dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan. Proyek-proyek pembangunan yang akan disusun agar memiliki visi dan misi untuk antara lain:

menunjang secara langsung ataupun tidak langsung program Jaring Pengaman Sosial (JPS), meliputi program penyediaan bahan pokok, pelayanan kesehatan, pengembangan pendidikan dan sebagainya.

memperluas lapangan kerja produktif, dengan kualitas yang meningkat dan jumlah yang cukup besar.

mengembangkan mutu sumber daya manusia yang merupakan unsur strategis dalam meningkatkan pembangunan.

menyelesaikan pembangunan prasarana/sarana yang langsung mendukung kegiatan ekonomi masyarakat yang mempunyai dampak luas dan besar.

menjaga/meningkatkan efisiensi pemanfaatan sarana dan prasarana yang telah dibangun.

Page 184: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pengeluaran Negara

152

mendukung upaya pelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup.

memanfaatkan dan meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk peningkatan kecerdasan bangsa.

meningkatkan dan mengoptimalkan penggunaan produksi dalam negeri serta meningkatkan keikutsertaan usaha ekonomi kecil, menengah dan koperasi.

RAPBN (Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara)

RAPBN dalam era reformasi ini disajikan mengikuti standar IMF yang dikenal dengan GFS (Government Finance Statistic) yang berlaku secara internasional. Tabel ini biasa disebut “I Account”. Seperti diketahui bahwa tabel APBN pada era Orde Baru kita mengenal dengan “T Account”. RAPBN 2003 adalah seperti Tabel 19.

Page 185: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

153

Tabel 19. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)

Tahun 2003 (dalam miliar rupiah)

U r a i a n RAPBN 2001

% thd PDB

(1) (2) (3) A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri

1. Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam Negeri i. Pajak penghasilan 1. Migas 2. Non-migas ii. Pajak pertambahan nilai iii. Pajak bumi dan bangunan iv. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan v. Cukai vi. Pajak Lainnya b. Pajak Perdagangan Internasional

i. Bea masuk ii. Pajak/pungutan ekspor

2. Penerimaan Bukan Pajak a. Penerimaan SDA i. Minyak bumi ii. Gas alam iii. Pertambangan umum iv. Kehutanan v. Perikanan b. Bagian Laba BUMN c. PNBP Lainnya II. Hibah B. Belanja Negara I. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat

1. Pengeluaran Rutin a. Belanja Pegawai b. Belanja Barang c. Pembayaran bunga utang i. Utang Dalam Negeri ii. Utang Luar Negeri d. Subsidi

i. Subsidi BBM ii. Subsidi non BBM

e. Pengeluaran Rutin Lainnya

336.155,5 336.155,5 254.140,2 241.742,4 120.924,8 14.775,7

106.149,1 80.789,9 7.523,6 2.401,7

27.945,6 2.156,8

12.397,8 11.960,3

437,5

82.015,3 59.395,5 39.910,5 16.284,5 1.482,6 1.267,9

450,0 10.414,2 12.205,6

-

370.591,8 253.714,1 188.584,3 50.240,5 15.427,1 81.975,2 55.180,2 26.795,0 25.465,3 13.210,0 12.255,3 15.476,2

17,33 17,33 13,10 12,46 6,23 0,76 5,47 4,16 0,39 0,12 1,44 0,11 0,64 0,62 0,02

4,23 3,06 2,06 0,84 0,08 0,07 0,02 0,54 0,63

-

19,10 13,08 9,72 2,59 0,80 4,23 2,84 1,38 1,31 0,68 0,63 0,80

Page 186: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Pengeluaran Negara

154

2. Pengeluaran Pembangunan a. Pembiayaan pembangunan rupiah b. Pembiayaan proyek II. Anggaran Belanja Untuk Daerah 1. Dana Perimbangan a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum

c. Dana Alokasi Khusus 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang C. Keseimbangan Primer D. Surplus/Defisit Anggaran (A - B) E. Pembiayaan (E.I + E.II)

I. Dalam Negeri 1. Perbankan dalam negeri 2. Non-perbankan dalam negeri a. Privatisasi b. Penjualan aset Prog. Restrukturisasi Perbankan c. Obligasi Negara, neto i. Penerbitan Surat Utang Negara

iii. Pembayaran Pokok Surat Utang Negara iv. Pembelian Kembali Surat Utang Negara

II. Pembiayaan Luar Negeri (neto) 1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (bruto)

a. Pinjaman Program b. Pinjaman Proyek

2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN

65129,8 46.229,8 18.900,0

116.877,7 107.221,5 27.895,9 76.978,0 2.347,6

9.656,2

47.538,9

(34.436,3)

34.436,3 22.450,1 8.500,0

13.950,1 8.000,0

18.000,0 (12.049,9)

7.700,0 (6.165,5)

(13.584,4)

11.986,2 29.250,0 10.350,0 18.900,0

(17.263,8)

3,36 2,38 0,97

6,02 5,53 1,44 3,97 0,12

0,50

2,45

(1,78)

1,78 1,16 0,44 0,72 0,41 0,93

(0,62) 0,40

(0,32) (0,70)

0,62 1,51 0,53 0,97

(0,89)

Page 187: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

155

7 Anggaran Defisit

Sejak dicanangkannya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama tahun 1969/1970 sampai dengan pertengahan tahun anggaran 1998/1999, Indonesia menerapkan sistem anggaran negara yang disebut sebagai “anggaran berimbang dan dinamis”. Alasan untuk menerapkan anggaran berimbang ini adalah bahwa anggaran defisit diyakini akan menimbulkan dampak negatif seperti antara lain kenaikan inflasi dan pengangguran. Pengertian anggaran berimbang adalah kebijakan yang mengupayakan suatu posisi dimana pengeluaran negara disesuaikan dengan penerimannya. Artinya, untuk setiap penyusunan anggaran telah dibuat skenario bahwa pengeluaran negara yang direncanakan disesuaikan dengan rencana penerimaan Pencantuman istilah anggaran berimbang dalam GBHN (pada masa-masa Repelita) merupakan kebijakan politik yang harus dipatuhi oleh setiap pengelola anggaran.

Pada tingkat pelaksanaan, belum tentu suatu keseimbangan anggaran dapat dipertahankan, mengingat penerimaan yang dapat berkurang atau berlebih dibandingkan dengan pengeluaran. Bekurang atau berlebihnya penerimaan dibandingkan dengan pengeluaran dapat diakibatkan oleh penggunaan asumsi yang salah pada waktu penyusunan anggaran. Sementara itu, dari segi pengeluaran bisa pula timbul kelebihan karena adanya pengeluaran yang tidak terduga akibat bencana alam, atau keamanan dalam negeri yang tidak stabil, yang membutuhkan dana yang besar untuk menanggulanginya.

Dalam hal penerimaan melebihi pengeluaran, maka demi konsep anggaran berimbang, departemen teknis diminta untuk merencanakan kegiatan tambahan melalui apa yang disebut dengan “anggaran

Page 188: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Defisit

156

belanja tambahan” (ABT). Cara seperti itu biasanya kurang efisien, karena departemen teknis akan mencari-cari program atau kegiatan yang mungkin tidak dibutuhkan, seperti program penelitian, lokakarya, perjalanan dinas dan lain sebagainya. Cara demikian juga dapat menjadi peluang akan terjadinya korupsi, apalagi mengingat sistem anggaran di Indonesia yang harus habis sampai dengan berakhirnya tahun anggaran.

Sebaliknya, kalau penerimaan berkurang dibandingkan dengan pengeluarannya, maka departemen teknis dihimbau untuk mengurangi pengeluarannya, atau memperlambat pelaksanaan proyek. Sebagai contoh, pada tahun 1987, akibat turunnya harga BBM di pasar internasional dari USD 25 per barel menjadi USD 9 per barel, penerimaan negara menurun drastis, akibatnya dokumen anggaran terpaksa harus direvisi. Upaya untuk merevisi tidak mudah karena dokumen itu sudah berada di tangan pemimpin proyek dan siap untuk dilaksanakan. Dengan cara membekukan dana yang ada di Kantor Perbendaraan Kas Negara (KPKN), pemimpin proyek bersangkutan tidak akan dapat mencairkan dananya.

Dalam hal di atas, pertanyaan yang muncul adalah, program mana dan berapa anggarannya yang harus dipotong. Kalau pajak akan ditingkatkan untuk menutup kekurangan penerimaan, maka pertanyaan juga timbul, golongan mana yang pajaknya akan dinaikkan dan berapa pula besarnya. Ada lagi pertanyaan lain yang lebih mendasar, yakni apakah menaikkan pajak sudah merupakan suatu keputusan yang terbaik, terutama dalam usaha menggairahkan investasi dalam negeri. Semua itu akhirnya akan tergantung pada para keputusan politisi.

Menghadapi masalah di atas, pelaksanaan pengeluaran APBN terpaksa di“slow-down”kan. DIP yang seharusnya dicairkan sengaja “ditahan” oleh KPKN.

PENGERTIAN DAN PENYEBAB DEFISIT

Pengertian anggaran defisit adalah apabila pengeluaran negara lebih besar dibandingkan dengan penerimaannya yang berasal dari penerimaan pajak seperti yang berlaku pada era Orde Lama. Dari sisi

Page 189: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

157

lain, apabila pengeluaran negara sama dengan penerimaannya maka disebut anggaran berimbang. Pada periode Orde Lama (1945-1969) sistem keuangan negara masih belum terencana dengan baik. Penerimaan negara, terutama dari pajak, relatif belum banyak disebabkan karena pendapatan masyarakat masih rendah dan dunia usaha juga belum berkembang.

Pengeluaran negara pada waktu itu hampir tidak terkendali yang disebabkan karena negara harus membiayai akibat terjadinya pemberontakan dalam negeri dan perebutan Irian Barat, sedangkan pengeluaran pembangunan digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang tidak produktif dalam rangka nation building.seperti pembangunan monumen nasional dan lain-lain.

Sejak Orde Baru (1969) sistem anggaran negara dirubah menjadi anggaran berimbang. Pengeluaran negara direncanakan sama dengan penerimaannya; tetapi walaupun demikian banyak yang meragukan karena kekurangan anggaran negara ditutup dengan pinjaman luar negeri yang disebut dengan penerimaan pembangunan. Memang apabila penerimaan pembangunan tersebut dimasukkan dalam pembukuan dapat berarti seimbang antara penerimaan dan pengeluaran. Oleh karena itu, banyak pakar yang mempertanyakan, “Anggaran negara Indonesia benar-benar berimbang atau defisit?”. Anggaran negara dikatakan berimbang karena sejak tahun 1969 APBN pada “kenyataannya” selalu berimbang. Akan tetapi, dengan adanya unsur pinjaman luar negeri, ada yang meragukan berimbangnya anggaran negara itu, atau dengan kata lain, anggaran yang sebenarnya defisit, dibuat sedemikian rupa agar tampak berimbang.

Ketidaktransparanan APBN pada Orde Baru tersebut direvisi lagi menjadi anggaran defisit pada Orde Reformasi, tetapi defisit itu dikendalikan tidak melebihi prosentase tertentu terhadap GDP. Para ahli ekonomi cenderung menghitung atau menilai defisit anggaran negara bukan dari angka absolut, tetapi dari rasio defisit anggaran negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). PDB adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi dalam kegiatan

Page 190: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Defisit

158

proses produksi di suatu negara selama satu tahun.1) Apabila defisit dihitung sebagai persentase dari PDB, maka hal itu akan memberikan gambaran tentang berapa persen suatu negara akan dapat menghimpun dana untuk menanggung pinjaman yang diakibatkan dari defisit APBN tersebut.2)

Selain itu, besarnya persentase defisit anggaran negara terhadap PDB akan menggambarkan juga sejauh mana tingkat defisit itu sudah membahayakan keadaan perekonomian nasional. Pada tahun 2003 misalnya, diasumsikan bahwa defisit anggaran negara mencapai sekitar 1,3% dari PDB atau perkiraan defisit sebesar Rp. 26,2 trilyun.

Sebab-Sebab Defisit

Defisit anggaran dapat terjadi karena negara melaksanakan pengeluaran yang melebihi kemampuan penerimaannya. Pengeluaran tersebut terjadi antara lain dengan alasan:

Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi

Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, dana yang besar dibutuhkan untuk investasi di berbagai bidang. Dana itu diperoleh dari dalam negeri berupa hasil pemungutan pajak dan pinjaman dalam negeri, serta dari sumber luar negeri berupa pinjaman. Pengeluaran untuk investasi itu meliputi pembangunan dengan beberapa tujuan, antara lain untuk meningkatkan:

program yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, seperti jalan, jembatan, listrik, pelabuhan dan lain-lain.

program yang berkaitan dengan pertahanan negara, seperti pembangunan TNI dan POLRI.

pembangunan yang meliputi bidang hukum, seperti proyek-proyek pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan lain-lain.

program bidang sosial, pendidikan dan kesehatan, seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan.

1) Robert J. Barro, Macroeconomics, (Harvard University: John Willey and Sons,

Inc., 1990) hal. 14. 2) David N. Hyman, Public Finance, (London: Dryden Press, 1999) hal. 446.

Page 191: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

159

program yang berhubungan dengan peningkatan pemerataan pendapatan, seperti program transmigrasi, program pembangunan daerah dan lain-lain.

program yang menangani masalah kemiskinan, seperti program JPS, PPK, P3DT dan lain-lain.

Semua itu diperlukan biaya yang besar, dan diantaranya harus dilaksanakan oleh negara. Program seperti itu misalnya: Pertama, program yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan. Program ini tidak mungkin dilakukan oleh swasta, karena kecuali berhubungan dengan kerahasiaan, juga tidak menguntungkan apabila dibangun oleh swasta. Pada hakekatnya fungsi pertahanan dan keamanan adalah bertujuan untuk terpeliharanya integritas bangsa serta terciptanya rasa aman, rasa tenteram dan suasana tertib bagi rakyat untuk melakukan kehidupan normalnya sehari-hari. Oleh karena itu, pelaksanaannya (termasuk aspek pembiayaannya) harus dilakukan oleh negara. Kedua, program yang meliputi bidang hukum, seperti lembaga pemasyarakatan dan kantor pengadilan. Swasta mana yang mau membangun lembaga pemasyarakatan? Dan apabila lembaga pemasyarakatan itu tidak terbangun, maka siapa yang akan menampung warga negara yang terhukum karena melakukan pelanggaran kriminal, dan lain-lain. Ketiga, program yang berkaitan dengan pemerataan pendapatan, seperti program transmigrasi. Program ini bertujuan, kecuali penyebaran penduduk dan mengurangi kepadatan, sekaligus membangun daerah yang kekurangan tenaga kerja. Keempat, program yang menangani masalah kemiskinan. Swasta tentu tidak tertarik akan proyek ini, karena tidak menghasilkan keuntungan yang memadai. Investasi untuk masyarakat miskin itu biasanya dilaksanakan di lokasi-lokasi desa miskin yang sekaligus tidak mempunyai sarana dan prasarana yang baik. Padahal negara berkewajiban untuk mengangkat masyarakat miskin ini menjadi masyarakat yang setara dengan saudara-saudara sebangsa lainnya.

Pengeluaran Subsidi

Daya beli masyarakat di negara yang sedang berkembang yang rendah, belum mampu untuk memperoleh barang tertentu yang dibutuhkan seperti bahan bakar minyak, tenaga listrik. Kalau negara tidak membantu, maka golongan masyarakat yang berpendapatan

Page 192: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Defisit

160

rendah tidak dapat mengkonsumsi barang yang termasuk kebutuhan pokok ini secara maksimal.

Kalau barang-barang yang dibutuhkan ini merupakan barang-barang kebutuhan dan yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat, seperti beras, tepung terigu, dan lain sebagainya, maka sedikit ada kenaikan harga akan mudah memicu inflasi dan akan mengganggu keseimbangan ekonomi makro. Oleh karena itu negara perlu menjaga kestabilan harga melalui pengeluaran dana yang disebut subsidi (lihat Tabel 20).

Jika negara memberi subsidi maka yang diuntungkan adalah konsumen, karena mereka dapat membeli barang dengan harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya. Sedangkan produsen akan menerima pendapatannya sesuai dengan harga pasar, dan yang paling rugi adalah negara, karena harus mengeluarkan sejumlah dana tambahan untuk subsidi tersebut, tanpa menikmati hasilnya.

Tabel 20. Pengeluaran Subsidi 1994/1995 s.d. 2000

(dalam milyar rupiah)

Tahun Anggaran

BBM Listrik Beras Pupuk Bunga Lain-lain*)

Jumlah

1994/1995 686,8 - - 815,0 - - 1 501,81995/1996 - - - 143,0 - - 143,01996/1997 1 416,1 - - 186,1 - - 1 602,21997/1998 9 814,3 - 10 598,7 707,6 - - 21 120,61998/1999 28 606,6 1 929,9 1 535,3 - - 612,2 32 684,01999/2000 40 923,1 4 551,6 12 939,2 - 3 252,9 934,2 62 601,02000 22 462,0 3 928,0 2 232,0 - 1 930,3 276,1 30 828,4

Sumber: Departemen Keuangan Catatan: *) Termasuk Subsidi Obat-Obatan

Pengeluaran Akibat Melemahnya Nilai Tukar

Untuk membiayai pembangunan, Indonesia masih membutuhkan pinjaman luar negeri. Karena pinjaman luar negeri itu diperhitungkan dengan mata uang asing, maka Indonesia mempunyai risiko apabila terjadi gejolak terhadap nilai tukar tersebut, atau mempunyai risiko apabila nilai tukar rupiah melemah, karena cicilan pokok dan bunga pinjaman itu harus dibayar dengan mata uang negara donor. Apabila

Page 193: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

161

nilai tukar rupiah menurun, berarti rupiah yang akan dibayarkan juga membengkak.

Sebagai contoh APBN tahun 2000, disusun dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sebesar Rp.7.100,- Dalam perjalanan APBN itu nilai tukar dollar AS terhadap rupiah merangkak naik sebagai berikut:

Januari Rp. 7.385,- Februari Rp. 7.498,- Maret Rp. 7.610,- April Rp. 7.963,- Mei Rp. 8.625,- Juni Rp. 8.723,- Juli Rp. 9.045,- Agustus Rp. 8.370,- September Rp. 8.835,- Oktober Rp. 9.038,- November Rp. 9.445,- Desember Rp. 9.529,- Rata-rata Rp. 8.505,-

Kalau dihitung secara rata-rata realisasi nilai tukar antara rupiah dengan US dollar akan meningkat sebesar Rp.705,- atau sekitar 9% dari nilai tukar yang digunakan sebagai asumsi pada waktu penyusunan RAPBN tahun bersangkutan. Apa artinya? Bahwa pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman yang dibayar dari pengeluaran rutin terpaksa meningkat sebesar 9% dari perkiraan semula.

Pengeluaran Akibat Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi Indonesia yang terjadi tahun 1997 benar-benar membuat ekonomi Indonesia terpuruk. Krisis ekonomi itu disebabkan, kecuali faktor-faktor eksternal juga karena pada waktu yang hampir bersamaan: a) pinjaman luar negeri hampir 85% jatuh tempo sekitar tahun 1992-1997; b) sistem perbankan Indonesia yang lemah; c) pemerintahan yang korupsi, kolusi dan nepotisme; d) krisis politik di Indonesia, yang dimulai dari jatuhnya Presiden Soeharto dan diikuti dengan konflik antara eksekutif dan legislatif pada periode Presiden Abdurrahman Wahid.

Page 194: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Defisit

162

Keterpurukan itu ditandai dengan tingkat inflasi yang tinggi, tingkat bunga pasar yang tinggi, investasi yang menurun, pengangguran yang meningkat, serta kemiskinan yang meningkat. Semuanya ini harus menjadi perhatian negara, sehingga negara terpaksa mengeluarkan dana ekstra untuk program-program kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat terutama di wilayah pedesaan yang miskin itu. Program-program penanggulangan kemis-kinan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan sebagian dibiayai dengan pinjaman luar negeri.

Pengeluaran Karena Inflasi

Bicara masalah inflasi sebenarnya sangat rumit, tidak sederhana. Inflasi tidak hanya disebabkan dari satu faktor saja tetapi banyak faktor, dan faktor-faktor tersebut mempunyai ciri-ciri yang berbeda-beda. Oleh karena itu, seseorang sulit untuk meramalkan tingkat inflasi sampai dengan angka tertentu pada periode tertentu. Ada tiga aspek dari proses inflasi, yang menurut George L. Perry3) adalah aspek “originalnya”, aspek “transmisi”, dan aspek “penyebarannya”.

Ketiga aspek ini sebenarnya tidak tepat benar dan berbeda antara negara satu dengan negara lainnya. Kenaikan harga pada masing-masing negara tergantung dari alasan yang berbeda. Negara yang satu, inflasi dapat disebabkan karena meningkatnya permintaan agregat, dan negara lain dapat disebabkan karena kenaikan upah buruh. Jaringan perdagangan yang luas antar negara, bisa juga mengakibatkan inflasi di dalam negeri, misalnya apabila permintaan terhadap ekspor meningkat, arus modal dapat mengalir ke dalam negeri dan sebagainya.

Selanjutnya dibeberapa negara jika harga bahan kebutuhan pokok dan harga bahan bakar minyak naik, maka akan mendorong upah meningkat, yang dapat diartikan bahwa kenaikan harga bahan pokok dan bahan bakar minyak itu akan mengakibatkan biaya produksi barang-barang kebutuhan juga meningkat, sehingga harga-harga umum cenderung akan meningkat.

3) George L. Perry, “Understanding World Inflation”, The American Economic

Review, May 1975.

Page 195: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

163

Penyusunan anggaran negara pada awal tahun, didasarkan pada standar harga yang telah ditetapkan. Harga standar itu sendiri dalam perjalanan tahunannya tidak dapat dijamin ketepatannya. Dengan adanya kenaikan harga-harga umum, berarti biaya proyek akan meningkat, sedangkan anggarannya tetap sama. Semuanya ini berarti berakibat pada kuantitas dan kualitas yang berkurang. Pemimpin proyek sulit untuk bisa mengatur apabila terjadi kenaikan harga barang yang melampaui harga standar. Untuk melaksanakan proyek dengan biaya yang melampaui harga standar, pemimpin proyek tidak mempunyai dana untuk itu. Sebaliknya apabila terpaksa mengurangi volume, akan dipersalahkan oleh Badan Pengawas Keuangan. Akibatnya pemimpin proyek cenderung untuk diam dan menghentikan kegiatannya, menunggu sampai ada putusan tentang eskalasi harga diresmikan. Tetapi pemerintah sendiri biasanya sulit untuk mengambil keputusan tentang eskalasi harga tersebut, karena kekhawatiran bahwa keputusan itu akan mendorong inflasi yang selanjutnya menambah defisit anggaran negara.

Pada prinsipnya, defisit anggaran negara dapat berdampak pada inflasi, tetapi juga sebaliknya, inflasi dapat berdampak pada anggaran negara. Pengeluaran untuk investasi pemerintah mengalami dampak yang kurang menguntungkan dengan adanya inflasi. Pengeluaran anggaran dalam bentuk riil menurun dan dengan demikian mempengaruhi produksi. Kita ingat pada tahun 1963 ketika inflasi sekitar 630% setahun, terpaksa pinjaman melebihi jumlah penerimaan ekspor dan produksi pertanian turun sampai 4% per tahun.4)

Dampak Defisit

Defisit anggaran negara merupakan momok yang sangat ditakuti mengingat ia dapat membawa pengaruh kepada perekonomian negara.

Defisit anggaran negara dapat berdampak pada beberapa variabel ekonomi makro, antara lain: (a) tingkat bunga; (b) neraca pembayaran; (c) tingkat inflasi; (d) konsumsi dan tabungan; (e) tingkat pengangguran; dan (f) tingkat pertumbuhan.

4) Benyamin Disraeli, The Secret of Access is Constancy to Purpose (Paper), 1998

(Nuturing a Recovery)

Page 196: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Defisit

164

Dampak terhadap Tingkat Bunga

Defisit anggaran ditandai oleh kurangnya dana untuk membiayai pengeluaran negara, dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk pembangunan. Untuk mengatasi hal itu, negara membutuhkan tambahan modal, baik dari dalam maupun luar negeri. Adanya permintaan penambahan modal itu, akan menyebabkan naiknya tingkat bunga sebagai cermin harga dari modal. Dalam Gambar 13 ditunjukkan bahwa kurva permintaan terhadap uang akan bergeser ke kanan sehingga tingkat bunga meningkat.5)

Gambar 13.

Hubungan antara Penawaran Uang dengan Tingkat Bunga

MS

5) Robert L. Crouch, Macroeconomics, (New York: Harcourt Brace Jovanovich,

Inc., 1971) hal. 224.

i

i2

i1

0

md’

M

MS

md

Page 197: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

165

Dampak terhadap Neraca Pembayaran

Dalam sistem ekonomi terbuka, defisit anggaran dapat mempengaruhi posisi ekspor dan impor ke dan dari manca negara. Hal itu berkaitan dengan kebijakan tentang tingkat bunga. Apabila kebijakan tingkat bunga untuk mengatasi defisit mengalami kegagalan, modal asing akan cenderung masuk mengalir ke dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan investasi. Di sini defisit anggaran membawa dua dampak yang saling berkaitan. Pertama, defisit anggaran akan meningkatkan defisit neraca pembayaran. Kedua, membengkaknya defisit neraca pembayaran akan menurunkan nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing.6)

Dampak terhadap Tingkat Inflasi

Sebelumnya telah dikatakan bahwa inflasi dapat menjadi penyebab defisit anggaran. Tetapi, defisit anggaran juga dapat mengakibatkan timbulnya inflasi. Defisit anggaran yang ditutup dengan cara meminjam dana dari dalam negeri berdampak pada meningkatnya uang yang beredar atau berarti meningkatnya money supply. Apabila kenaikan itu tidak dibarengi dengan peningkatan (atau kenaikan) pajak, hal itu akan mendorong bertambahnya permintaan terhadap barang dan jasa, dan selanjutnya berakibat pada meningkatnya harga-harga umum di masyarakat.

Dampak terhadap Konsumsi dan Tabungan

Kenaikan harga-harga umum yang diakibatkan oleh kebijakan meminjam atau penciptaan uang, yang berarti berdampak pada inflasi seperti telah disebutkan di atas, akan menyebabkan menurunnya pendapatan riil masyarakat. Menurunnya pendapatan riil masyarakat itu akan berakibat pada berkurangnya konsumsi dan tabungan, padahal tingkat konsumsi dan tabungan ini sangat erat hubungannya dengan investasi.

6) Daniel Shaviro, Do Deficits Matter?, (Chicago: The University of Chicago Press,

1997) hal. 193.

Page 198: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Defisit

166

Dampak terhadap Penggangguran

Pengganguran atau menurunnya tingkat kesempatan kerja banyak tergantung pada besarnya investasi yang dilakukan, baik oleh negara maupun oleh masyarakat. Naiknya tingkat bunga akibat dari anggaran negara yang defisit akan berdampak pada menurunnya investasi yang berarti banyak proyek-proyek maupun perluasan proyek yang sudah ada tidak dapat dibangun. Keadaan demikian berakibat pada pengurangan tenaga kerja yang sudah ada dan tertutupnya lapangan kerja baru. Dengan kata lain, defisit anggaran secara langsung menyebabkan naiknya tingkat penggangguran.

Dampak terhadap Tingkat Pertumbuhan

Meningkatnya pertumbuhan merupakan hasil dari naiknya investasi oleh negara dan masyarakat dan itu dapat terjadi bila didukung oleh adanya situasi keamanan yang kondusif, tingkat bunga yang rendah, serta harapan pengusaha untuk memperoleh keuntungan. Apabila variabel tersebut berlawanan dengan yang disebutkan di atas, maka tingkat pertumbuhan relatif tidak akan tercapai atau dapat dikatakan bahwa defisit anggaran akan berakibat pada penurunan tingkat pertumbuhan.

Tabel 21.

Laju Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara ASEAN2)

1998-2000 Negara 1998 1999 20001)

1. Malaysia 2. Filipina 3. Singapura 4. Thailand 5. Indonesia

- 7,5 - 0,5 0,4

- 10,4 - 13,01

5,4 3,2 5,4 4,2

0,313)

6,0 4,5 5,9 4,5

4,134) Sumber: Nota Keuangan dan APBN Tahun Anggaran 2001 1) Perkiraan 2) Untuk negara-negara lainnya data tidak tersedia 3) Angka sementara 4) Periode April-Desember 2000

Page 199: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

167

MENUTUP ANGGARAN DEFISIT

Seperti sudah dikemukakan, inflasi dapat mendatangkan masalah bagi anggaran negara dan sebaliknya anggaran negara yang ekspansif dapat mengakibatkan timbulnya inflasi. Adanya inflasi akan menye-babkan bertambahnya pengeluaran sehingga memperburuk posisi defisit anggaran.

Defisit anggaran dalam APBN 2001, misalnya, direncanakan sebesar 3,7% dari PDB, atau sekitar Rp.52 trilyun. Tetapi dalam perjalanannya, defisit tersebut membengkak akibat pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang tidak diperkirakan sebelumnya, antara lain pembayaran pinjaman luar negeri yang membengkak. Hal ini terkait dengan krisis ekonomi Indonesia tahun 1997 yang dirasakan cukup berat, terutama dalam hal dampaknya terhadap APBN.

Diantara negara-negara yang terlanda krisis, Indonesia adalah yang terberat. Mengapa Indonesia tampaknya paling sulit keluar dari krisis? Menurut Boediono,7) penyebabnya adalah bahwa institusi-institusi yang menjadi pilar kehidupan kemasyarakatan Indonesia, -- di bidang ekonomi, hukum, sosial, dan politik -- ternyata lemah, tidak tahan terhadap terpaan badai. Lebih dari itu, kelemahan yang ada pada satu institusi ternyata erat kaitannya dengan kelemahan di institusi lain. Artinya, gangguan pada satu institusi merembet cepat pada institusi-institusi lain. Alhasil, apa yang pada awalnya hanya berupa gejolak di pasar devisa segera berkembang menjadi krisis perbankan, kemudian krisis ekonomi, dan akhirnya menjadi krisis politik dan sosial.

Dilihat dari sisi manajemen APBN, negara harus dapat menutup defisit anggaran. Secara teori, defisit APBN dapat ditanggulangi dengan cara menambah di sisi penerimaan atau mengurangi di sisi pengeluaran. Secara operasional, menutup defisit anggaran pada umumnya dapat dilakukan dengan cara berikut ini.

7) Boediono, Pembenahan Institusi Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi (Keynote

Speech, disampaikan pada Kongres Ikatan Alumni Australia ke-1 di Jakarta, 20 Maret 1999)

Page 200: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Defisit

168

Sisi Penerimaan

Pertama, meminjam dari perbankan dalam negeri. Dengan meminjam dari perbankan dalam negeri berarti terjadi penciptaan uang, sehingga uang yang beredar dalam masyarakat (money supply) meningkat. (lihat Tabel 21). Bila bertambahnya penawaran uang tidak diimbangi dengan jumlah barang yang diproduksi, dampak yang terjadi adalah kenaikan harga-harga umum atau inflasi.

Kedua, meminjam dari non perbankan dalam negeri atau dari masyarakat dengan cara menerbitkan obligasi. Penjualan obligasi pemerintah akan menyerap uang masyarakat dan menambah penerimaan negara. Penyerapan uang dari masyarakat akan berakibat pada berkurangnya uang yang beredar dan yang terakhir ini cenderung berdampak pada penurunan harga. Akan tetapi, cara ini berarti akan mengurangi tabungan atau persediaan modal masyarakat (karena digunakan untuk membeli obligasi) yang sebenarnya dapat digunakan oleh mereka untuk melakukan investasi.

Tabel 21.

Perkembangan Jumlah Uang Beredar

Tahun Uang Kartal Uang Giral Jumlah UangYang Beredar

1995 20 807 31 870 52 6771996 22 487 40 602 64 0891997 28 424 49 919 78 3431998 41 394 59 803 101 1971999*) 47 584 68 731 116 315Catatan: *) Data keadaan pada bulan Oktober 1999 Sumber: Statistik Indonesia 1999

Ketiga, meminjam dari luar negeri. Dengan meminjam dari luar negeri yaitu dari negara-negara donor atau bank internasional, bila digunakan untuk proyek-proyek yang produktif dan efisien, bagi pembangunan sarana dan prasarana ekonomi, akan merupakan modal bagi generasi penerus. Di masa datang, biaya pembangunan proyek akan lebih murah karena telah tersedia sarana dan prasarananya itu. Dengan biaya yang rendah, usaha-usaha makin berkembang, sehingga

Page 201: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

169

mereka mampu membayar pajak kepada negara, dan selanjutnya negara juga dapat membayar pinjaman luar negeri.

Keempat, meningkatkan penerimaan pajak. Meningkatkan pajak, baik pajak langsung maupun pajak tidak langsung adalah kebijakan yang tidak populer. Meningkatkan pajak berarti mengurangi pendapatan riil masyarakat. Peningkatan penerimaan pajak non-migas dapat ditempuh dengan: (a) memperkuat administrasi perpajakan, (b) penurunan penyelundupan pajak dan (c) penurunan penghindaran pajak. Upaya peningkatan penerimaan negara harus dibarengi dengan upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara yang akan dilakukan melalui:

mengurangi beban bunga utang dalam negeri

menjadwalkan kembali (rescheduling) pembayaran utang luar negeri

Kelima, privatisasi atau menjual perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) yang dianggap kurang efisien.

Sisi pengeluaran

Untuk mengurangi pengeluaran negara dapat ditempuh dengan: Pertama, mengurangi subsidi. Subsidi adalah bantuan pemerintah yang diambil dari anggaran negara untuk pengeluaran yang sifatnya membantu dalam mengurangi kenaikan harga suatu barang atau komoditas guna tercipta kestabilan politik, sosial dan sebagainya. Misalnya subsidi yang diberikan untuk harga pupuk, bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya negara memberikan subsidi terhadap suatu barang, karena harga barang itu dianggap terlalu tinggi dibandingkan dengan daya beli masyarakat.

Bila terjadi defisit pada anggaran negara, salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah mengurangi pengeluaran subsidi. Tetapi hal itu akan berakibat pada kenaikan harga barang yang diberi subsidi itu.

Masalah pengurangan subsidi ini terkadang berdampak pada terjadinya konflik antara eksekutif dan legislatif. Eksekutif bermaksud untuk mengurangi subsidi, mengingat subsidi itu akan membebani keuangan negara, tetapi legislatif sulit untuk bisa

Page 202: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Defisit

170

menerimanya apabila kebijakan itu akan membebani masyarakat banyak. Sebagai contoh, pada awal tahun 2003, pemerintah bermaksud mengurangi beban subsidi melalui menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), tarif dasar listrik dan telepon. Hal itu ditanggapi dengan reaksi keras dari masyarakat, berbagai kenaikan harga tersebut ditolak karena pengusaha, buruh dan masyarakat umum merasa keberatan.

Kedua, penghematan yang ketat pada pengeluaran rutin di setiap departemen teknis, misalnya dalam penggunaan listrik, telepon, alat tulis, perjalanan dinas, tanpa mengurangi kinerja dari departemen yang bersangkutan.

Ketiga, mengurangi dana alokasi daerah dalam rangka dana perimbangan.

Keempat, mengurangi pengeluaran yang tidak produktif dan tidak efisien. Sektor-sektor atau program yang dipotong anggarannya untuk menutup defisit adalah yang kurang efisien yaitu yang tidak mendukung pertumbuhan sektor riil, tidak mendukung penerimaan pajak dan tidak mendukung penerimaan devisa. Dalam hal ini, pemotongan anggaran tanpa memperbaiki produktivitas pengeluaran berarti adanya kecenderungan penurunan kualitas dan kuantitas output9).

9) IMF, Unproductive Public Expenditure, (Washington DC: Fiscal Affair

Department IMF, 1995) hal. 8.

Page 203: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dan Desentralisasi

171

8 Anggaran Negara dan Desentralisasi

Demokrasi, desentralisasi dan transparansi adalah tiga kata yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakil-wakilnya. Pelaksanaan demokrasi itu tidak dapat lepas dari kebijakan desentralisasi yaitu penyerahan wewenang oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.1) Desentralisasi berbeda dengan dekonsentrasi yang berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah.

Ciri pokok pemerintahan yang demokratis adalah semua kebijakan dilaksanakan dengan menerapkan transparansi dan tidak otoriter. Semua kebijakan, mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, harus diketahui dan disosialisasikan kepada masyarakat luas, sehingga kebijakan itu juga menjadi kebijakan masyarakat yang harus dipatuhi dan kesalahan yang terjadi harus ditanggung pula oleh masyarakat. Untuk itu masyarakat harus diberdayakan. Pemberda-yaan masyarakat tidak hanya secara ekonomi saja namun juga secara politik. Banyak negara melakukan desentralisasi karena percaya bahwa hal itu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan di pedesaan, serta menjauhi campur tangan Pemerintah Pusat. Beberapa negara melihat bahwa desentralisasi adalah salah satu jalan untuk memperkuat demokrasi.

1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Page 204: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

172

Dalam negara demokrasi, kebebasan mengungkapkan pendapat, walaupun mungkin berbeda, adalah termasuk hak individu. Sebagai negara hukum, Indonesia harus mengakui kebebasan mengeluarkan pendapat atau kebebasan dalam menyatakan pendapat sebagai hak politik yang mendasar, terutama dari segi keinginan untuk menggunakan anggaran.

Masyarakat yang kuat adalah masyarakat yang demokratis, artinya mayarakat ini dapat tumbuh jika mempunyai peluang untuk mengembangkan semua kapasitasnya. Dalam kaitan hubungan negara dengan masyarakat, peran kelompok masyarakat madani yang semakin menguat merupakan prasyarat bagi demokratisasi. Para ilmuwan politik berpendapat bahwa dalam konstelasi politik manapun, masyarakat madani itu selalu berhadapan langsung dengan negara. Ini berarti bahwa bila berhadapan dengan negara, masyarakat madani itu cenderung mengarah pada kegiatan politik yang bersifat luas dan transparan. Karakteristik masyarakat madani dapat ditandai dari faktor-faktor berikut:2) Pertama, masyarakat melakukan kegiatan politik secara kolektif melalui partisipasi politik secara luas. Kedua, terdapat fase perkembangan yang bersifat on going process di tingkat politik akar rumput (grassroot politic). Di sini masyarakat melakukan kegiatan politik secara agresif di tataran infrastruktur politik, sedang-kan para elit politik cenderung bersifat defensif untuk membungkam tuntutan dan protes dari masyarakat. Ketiga, adanya gerakan yang berfokus pada “praktis politik” yang mengacu pada gerakan yang transparan sifatnya, untuk kemudian merambah secara luas ke tingkat negara.

Dengan demikian berarti bahwa dalam pemerintahan, masyarakat madani merupakan kekuatan pengimbang. Apabila keberadaan negara terancam, maka negara biasanya memberlakukan “regulasi politik” di tingkat masyarakat, sehingga lama kelamaan negara dapat menjadi otoriter. Apabila otoriterisme negara itu membuat masyarakat madani menjadi lemah, maka negara dapat terjerumus pada totaliterisme dalam arti: (a) negara memberlakukan suatu pembatasan-pembatasan yang sangat kuat; (b) institusi di luar negara

2) Faisal Siagian, ”Demokratisasi dalam Perspektif Negara dan Civil Society”,

Otonomi dan Demokratisasi, Analisis CSIS, tahun XXIII, Nomor 4, Juli-Agustus 1994.

Page 205: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dan Desentralisasi

173

menjadi impoten, dan tidak dapat diharapkan lagi menjadi pengimbang terhadap kedudukan negara yang kuat.

Gunawan Sumodiningrat, mengutip John Friedmann, mengemukakan bahwa konsep pemberdayaan sebagai suatu konsep alternatif pembangunan pada intinya memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan pada sumber daya pribadi, langsung (melalui partisipasi), demokratisasi, dan pembelajaran sosial melalui pengamalan langsung. Titik fokusnya adalah lokalitas sebab masyarakat madani akan merasa siap bila diberdayakan lewat isu-isu lokal. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya secara ekonomi saja namun juga secara politis.3)

Peranan negara beserta aparatur ekonominya adalah penting tetapi tidak dominan untuk mencegah sistem etatisme. Sebaliknya, peranan swasta adalah penting tetapi juga tidak dominan untuk mencegah tumbuhnya free fight liberalism. Demokrasi ekonomi mengharapkan adanya kekuatan ekonomi masyarakat yang tersebar, dan tidak tersentralisasi di pusat atau tidak terkumpul di beberapa tangan anggota masyarakat.

Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, terdapat empat kelebihan yang dimiliki lembaga yang menerapkan desentralisasi dibandingkan dengan yang tersentralisasi, yaitu:4)

Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel (dari pada yang tersentralisasi) karena lembaga tersebut dapat memberikan jawaban dengan cepat terhadap kebutuhannya dan kebutuhan pelanggan yang berubah;

Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih efektif mengingat para pekerja di baris depan lebih tahu mengenai apa yang sebenarnya terjadi, jam demi jam, dan hari demi hari. Sering kali mereka justru dapat menciptakan solusi terbaik, jika mendapat dukungan dari pemimpin organinsasi;

3) Gunawan Sumodiningrat, Responsi Pemerintah Terhadap Kesenjangan Ekonomi,

(Jakarta: PerPod, 2001) hal. 25. 4) David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Government, (New York: A. Plume

Book, 1992) hal. 251-252.

Page 206: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

174

Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif. Sering terjadi, inovasi muncul karena gagasan yang baik berkembang dari karyawan yang benar-benar melaksanakan pekerjaan dan berhubungan dengan pelanggan.

Lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen, dan produktivitas yang lebih besar. Apabila manajer memberikan kepercayaan kepada karyawan untuk mengambil keputusan penting, itu pertanda bahwa mereka menghargai karyawannya. Hal demikian penting sekali dalam organisasi yang para pekerjanya memiliki pengetahuan.

DESENTRALISASI DAN KEBIJAKAN DALAM ALOKASI ANGGARAN

Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintahan Pusat.

Pengertian Desentralisasi

Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek politik (political decentralization); administratif (administrative decentralization); fiskal (fiscal decentralization); dan ekonomi (economic or market decentralization).

Page 207: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dan Desentralisasi

175

Desentralisasi administratif merupakan pelimpahan wewenang untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan dalam penyediaan pelayanan umum. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan manajemen fungsi-fungsi pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya di daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.

Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bentuk yaitu:5)

Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada pejabat di daerah yang berada dalam garis hirarkinya.

Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Pemerintah Daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya. Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hirarki organisasi dikenal sebagai distributed institutional monopoly of administrative decentralization.

Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan, pihak yang menerima wewenang mempunyai

5) Machfud Sidik, “Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai

Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal”, Seminar Setahun Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia (Yogyakarta: 13 Maret 2002).

Page 208: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

176

keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi.

Dengan pelaksanaan desentralisasi, anggaran daerah yang disusun tidak tergantung pada kekuasaan di tingkat nasional tetapi tergantung pada keinginan daerah itu sendiri sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi, dengan penyusunan fungsi anggaran, yaitu didelegasikan, daerah seyogyanya tetap memegang prinsip fungsi anggaran, yaitu fungsi anggaran sebagai alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah harus memberikan prioritas pada kebutuhan masyarakatnya dan bukan selalu mengikuti kebijakan Pemerintah Pusat. Dari segi pendanaan yang bersumber dari pajak misalnya, Pemerintah Daerah harus menyesuaikannya dengan kepentingan daerahnya, terutama dengan kemampuan pendapatan dari masyarakat daerah yang bersangkutan. Pola pengeluaran anggaran disesuaikan dengan kebutuhan dan kebudayaan masyarakat serta sumber daya yang tersedia di daerah.

Desentralisasi Dalam Pelaksanaan Pembangunan

Hampir semua negara mencoba untuk melaksanakan pembangunannya melalui desentralisasi, dengan motivasi yang sangat beragam. Banyak negara melakukan desentralisasi karena percaya bahwa hal itu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan di pedesaan, serta menjauhi campur tangan pemerintah pusat. Beberapa negara melihat bahwa desentralisasi adalah salah satu jalan untuk memperkuat masyarakat madani dan memperkuat demokrasi. Walaupun demikian, masih ada negara yang memilih untuk tidak mendesentralisasikan kebijakannya dengan melupakan bukti-bukti bahwa desentralisasi telah membawa banyak keberhasilan. Hal yang terakhir ini tidak lepas dari kepentingan politik para pengambil keputusan yang masih ingin memperkuat kedudukannya.

Pelaksanaan desentralisasi terutama yang berkembang di negara-negara yang sedang berkembang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain, latar belakang suatu negara karena ketidakberhasilan dalam pembangunan ekonominya, masyarakat yang tidak puas dan

Page 209: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dan Desentralisasi

177

menuntut adanya perubahan serta tidak puasnya masyarakat dengan sistem sentralistis dalam pelayanan publik.

Desentralisasi ini tidak hanya menyangkut satu segi kehidupan, tetapi juga meliputi aspek fiskal, politik, ekonomi dan administrasi.

Bagi Indonesia yang mempunyai wilayah yang luas dengan beraneka ragam sumberdayanya, sistem perencanaan terpusat yang kaku menjadi tidak efektif, apalagi pengelolaan sumber daya pun bisa berjalan tidak efisien. Desentralisasi merupakan pilihan yang tepat yang melaluinya sasaran pemerataan diharapkan akan lebih terjamin pencapaiannya.

Kebijakan yang sentralistis diakui dapat meningkatkan efisiensi meskipun hal itu perlu dikaitkan dengan sudut pandang cara melihatnya: mikro atau makro. Secara mikro, suatu kebijakan bisa dikatakan efisien apabila hasilnya memberikan manfaat lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Tetapi, dilihat dari segi makro: harus dicermati apakah telah bermanfaat secara menyeluruh dan merata di seluruh tanah air. Dalam hal ini dapat dikatakan, bahwa “efisien” dari sudut mikro belum tentu “efisien” dari segi makro, dan sebaliknya. Indonesia, sebagai negara kesatuan, unsur pemerataan pendapatan adalah sangat penting dan oleh karena itu kebijakan yang sifatnya mendukung pemerataan secara makro bisa digolongkan efisien. Melalui desentralisasi, pencapaian pemerataan itu dapat lebih terjamin secara efektif dengan menyerap partisipasi aktif seluruh mayarakat di daerah.

Kecenderungan untuk menerapkan desentralisasi, terutama di negara yang sedang berkembang, semakin kuat. Desentralisasi itu erat kaitannya dengan pertanyaan: seberapa jauh ia dapat meningkatkan pembangunan di berbagai daerah dalam sebuah wilayah negara. Menjawab pertanyaan seperti itu akan membutuhkan daftar panjang dari masalah yang terdapat pada masing-masing daerah yang bersangkutan.

Namun desentralisasi yang terlalu luas dapat berdampak berupa pembebanan yang mungkin ditanggung pemerintah pusat, misalnya dalam hal yang berkaitan dengan pembayaran pinjaman.

Page 210: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

178

Apa yang diharapkan dari penerapan desentralisasi ini? James Manor mengemukakan beberapa hal yang diharapkan tercapai melalui desentralisasi sebagai berikut: 6)

Menanggulangi kemiskinan yang timbul karena adanya kesenjangan antar daerah

Membantu kelompok masyarakat yang hidup di pedesaan

Memudahkan masalah-masalah pemungutan pajak

Mengurangi pengeluaran pemerintah secara umum

Memobilisasi sumber-sumber daerah

Mengurangi tugas-tugas pemerintah pusat yang sudah terlalu banyak

Mengenalkan perencanaan dari bawah

Mengenalkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan

Menyangkut pemungutan pajak misalnya, para pembayar pajak biasanya lebih dekat hubungannya dengan daerahnya masing-masing; ada rasa tanggung jawab dan rasa memiliki yang lebih kuat sehingga menimbulkan motivasi tersendiri bagi pembayar pajak. Apabila pemungutan pajak itu dipusatkan, masyarakat mungkin merasa kurang begitu bergairah dalam membayar pajak, dengan alasan bahwa pajak yang dibayarkan belum tentu masuk ke daerahnya. Pemerintah daerah mungkin percaya bahwa pusat akan memberikan atau mengembalikan pajak itu ke daerahnya berupa pengeluaran pemerintah, tetapi barangkali tetap kurang yakin bahwa pembagiannya akan merata, hal yang dapat mengakibatkan defisit anggaran daerah sehingga mempengaruhi stabilitas ekonomi makro.

Dalam masalah pinjam-meminjam antara pemerintah daerah dengan pihak donor, yang terakhir ini cenderung kurang dipercayai, mengingat kemungkinan dana pemerintah daerah untuk mengembalikan karena dana yang dimiliki daerah untuk mengembalikan pinjaman cenderung langka.

Perwujudan desentralisasi tercermin antara lain dari semakin besarnya pendelegasian penyelenggaraan tugas pemerintahan kepada 6) James Manor, The Political Economy of Democratic Decentralization,

(Washington DC: The World Bank, 1999) hal. 106-115.

Page 211: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dan Desentralisasi

179

pemerintah daerah dan makin besarnya hak mereka untuk mengurus keperluannya sendiri. Pendelegasian tugas itu diwujudkan antara lain dalam hal mengurus pendidikan tingkat sekolah dasar dan penyelenggaraan kesehatan. Desentralisasi bukan saja sekadar political will tetapi harus bermuara kepada kesadaran untuk membagi-bagi pekerjaan secara adil. Oleh karena itu, suatu skema desentralisasi -- dilihat dari kepentingan rakyat dan kepentingan pembangunan -- perlu ditawarkan.

Mengingat luasnya wilayah Indonesia, penerapan desentralisasi dalam anggaran negara merupakan hal yang sangat penting karena beberapa alasan,7) antara lain: Pertama, pemerintah daerah dan pejabat lokal lebih mengetahui situasi dan kondisi di daerahnya. Dengan kemampuan manajemen yang baik, mereka akan dapat merencanakan dan melaksanakan tugas pembangunan dengan baik pula. Kedua, secara teknis, suatu proyek -- dari segi pembiayaan, perencanaan dan pelaksanaan -- menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sehingga proses dan hasilnya akan efisien dan efektif. Ketiga, secara teknik, berbagai prosedur yang biasanya membutuhkan penetapan dari pusat akan dapat dilimpahkan kepada daerah. Keempat, koordinasi pembangunan akan menjadi lebih efektif mengingat tanggung jawab daerah yang lebih besar bagi keberhasilan tugas pembangunan secara menyeluruh.

Di masa lalu anggaran negara dirancang secara sentralistik untuk mengamankan tujuan ekonomi makro. Pertumbuhan yang tinggi dicapai melalui perencanaan dari atas ke bawah dan mengorbankan pemerataan ke daerah. Pelaksanaan perencanaan dari bawah ke atas (bottom up) secara teori memang tercermin dari adanya serangkaian Rakorbang (Rapat Koordinasi Pembangunan) mulai dari tingkat desa sampai ke tingkat provinsi. Tetapi, dari daerah bermunculan keluhan seperti isu kesenjangan pembangunan antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia. Selain itu, proyek yang telah diusulkan dalam Rakorbang banyak yang tidak terealisasikan, bahkan ada proyek yang tidak diusulkan sebelumnya muncul dalam keputusan pusat.

7) Soemitro (penyunting) dalam Kumpulan Pemikiran Desentralisasi Dalam

Pelaksanaan Manajemen Pembangunan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989) hal. 135.

Page 212: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

180

Kebijakan Desentralisasi dalam Alokasi Anggaran

Kesan ketidakseimbangan pelaksanaan pembangunan antara kawasan timur Indonesia dan kawasan barat Indonesia bukan hanya pada pengalokasian anggaran proyek pembangunan tetapi juga pada kebijakan-kebijakan mengenai pelaksanaan pembangunan. Misalnya, pelelangan proyek besar, bahkan proyek yang justru sudah bisa dikerjakan di daerah, masih dikerjakan oleh pusat dengan alasan efisiensi. Padahal aspek efisiensi itu bisa di lihat secara makro tapi juga secara mikro seperti telah dikemukakan terdahulu. Sebagai contoh, pengadaan buku-buku sekolah yang terpusat memang menguntungkan kalau dinilai secara mikro, tetapi secara makro menjadi tidak efisien karena pengusaha percetakan di daerah tidak dapat menikmati manfaatnya. Masalahnya, pada masa lalu pengalokasian anggaran yang sentralistik itu tidak dapat dihindari karena daerah tidak mempunyai daya, mengingat anggaran daerah ditentukan oleh pusat, dan daerah menerima berapapun anggaran yang diberikan oleh pusat.

Hal yang penting di dalam kebijakan negara adalah bukan membuat pemerintahan lebih efisien tetapi bagaimana pemerintahan lebih efektif.8) Desentralisasi membuat masyarakat menjadi inovatif, imajinatif, dan kreatif, serta berani menghadapi risiko. Dengan demikian, apabila otonomi bekerja secara sempurna, pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan sektor swasta, dengan menggunakan pendekatan yang merupakan kombinasi dengan prinsip-prinsip bisnis. Artinya, pemerintah daerah tidak hanya menguras anggaran negara tetapi dapat menghasilkan pertumbuhan yang berarti melalui usaha masyarakat yang terkoordinasi. Namun demikian, perlu pengkajian yang seksama bilamana pembangunan itu didesentralisasikan dan bilamana pembangunan itu tidak perlu didesentralisasikan? Untuk menentukan pilihan tersebut dapat dipertimbangkan sebagai berikut: Pertama, kalau kepentingan rakyat langsung, serahkan ke daerah. Kalau sifatnya strategis, pusatkan. Kedua, bila banyak keterlibatan rakyat, misalnya padat karya, serahkan ke daerah. Ketiga, bila menggunakan teknologi canggih,

8) David Osborne and Peter Plastrik, Banishing Bureaucracy, (Addison-Wesley

Publishing Company, Inc., 1997) hal. 11.

Page 213: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dan Desentralisasi

181

seyogyanya dipusatkan, tetapi apabila teknologinya sederhana, diserahkan kepada daerah.

Disamping itu ada yang berpendapat bahwa pembangunan yang dikelola secara sentralistis pada masa Orde Baru dapat menghasilkan, antara lain: stabilitas politik dan keamanan; wawasan kebangsaan yang semakin luas dan kuat mendukung ideologi Pancasila sebagai asas kehidupan bangsa; kemantapan kepemimpinan dalam melaksanakan pengendalian kehidupan nasional. Akan tetapi, di pihak lain, hasil pembangunan dirasakan kurang berkembang secara merata. Akibatnya, timbul sikap kurang puas di kalangan masyarakat yang melihat bahwa mobilitas modal dan manusia masih terkonsentrasi di pulau Jawa. Konsentrasi di Jawa ini menimbulkan masalah sosial, ekonomi dan politik yang pada gilirannya bisa menjadi masalah keamanan dan kestabilan.9)

Dengan pelaksanaan desentralisasi, anggaran daerah yang disusun tidak tergantung pada kekuasaan di tingkat nasional tetapi tergantung pada keinginan daerah itu sendiri sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi, dengan penyusunan anggaran yang telah didelegasikan, daerah seyogyanya tetap memegang prinsip-prinsip fungsi anggaran, yaitu fungsi anggaran sebagai alokasi, distribusi, dan stabilisasi.10) Dalam hal ini, pemerintah daerah harus memberikan prioritas pada kebutuhan masyarakatnya dan bukan selalu mengikuti kebijakan pemerintah pusat. Dari segi pendanaan yang bersumber dari pajak, misalnya, pemerintah daerah harus menyesuaikannya dengan kepentingan daerahnya, terutama dengan kemampuan pendapatan dari masyarakat daerah yang bersangkutan. Pola pengeluaran anggaran disesuaikan dengan kebutuhan dan kebudayaan masyarakat serta sumber daya yang tersedia di daerah.

Lembaga legislatif di daerah harus dapat mengantisipasi kemungkinan pemberian kewenangan tak terbatas kepada pihak birokrasi daerah. Untuk pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), anggota legislatif daerah perlu dibekali pengetahuan yang luas tentang ilmu yang berhubungan dengan

9) Prof. Dr. Mattulada, Paper Seminar “Desentralisasi Dalam Pelaksanaan

Manajemen Pembangunan” Jakarta, 10 Oktober 1988. 10) Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, ibid, hal. 7.

Page 214: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

182

perencanaan anggaran serta pengetahuan tentang kebutuhan masyarakat daerah. Pengetahuan itu misalnya tentang penggunaan anggaran daerah yang efisien dan efektif; bahaya defisit anggaran negara terhadap perekonomian daerah; dampak pinjaman terhadap beban anggaran daerah; skala prioritas yang harus disusun sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dewan legislatif, yang antara lain berfungsi sebagai pengawas, termasuk pengawasan terhadap anggaran, benar-benar harus dapat melaksanakan fungsinya yaitu melaksanakan pengawasan terhadap perencanaan maupun pelaksanaan secara objektif.

Prinsip-Prinsip Anggaran Daerah

Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak dapat terlepaskan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Anggaran daerah pada hakekatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dalam kaitannya dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maka APBD harus benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. APBD harus dapat mencerminkan hal-hal sebagai berikut:

Anggaran yang transparan dan bertanggung jawab

Transparansi tentang anggaran daerah merupakan salah satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggungjawab. Mengingat anggaran daerah merupakan salah satu sarana evaluasi pencapaian kinerja, dan tanggungjawab pemerintah menyejahterakan masyarakat, maka APBD harus dapat memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau program yang dianggarkan. Selain itu setiap dana yang diperoleh penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan.

Page 215: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dan Desentralisasi

183

Anggaran yang dilaksanakan dengan disiplin

APBD disusun dengan orientasi pada kebutuhan masyarakat tanpa harus meninggalkan keseimbangan antara pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, anggaran yang disusun harus dilakukan berlandaskan azas efisiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pemilahan antara belanja yang bersifat rutin dengan belanja yang bersifat pembagunan harus diklasifikasikan secara jelas agar tidak terjadi pencampuradukkan kedua sifat anggaran yang dapat menimbulkan pemborosan dan kebocoran dana. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap pos/pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/ program yang belum atau tidak tersedia kredit anggarannya dalam APBD maupun perubahan APBD.

Anggaran yang adil

Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipikul oleh segenap lapisan masyarakat. Untuk itu, pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.

Anggaran yang disusun secara efisien dan efektif

Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Oleh karena itu untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran maka dalam perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang diprogramkan.

Page 216: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

184

Anggaran Rutin dan Pembangunan Daerah

Semua daerah mempunyai dua jenis anggaran, yaitu anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Anggaran rutin berhubungan dengan pengeluaran untuk kegiatan pemerintahan sehari-hari, sedangkan anggaran pembangunan berhubungan dengan pengeluaran yang lebih luas untuk meningkatkan pendapatan masyarakat daerah yang bersangkutan. Kedua jenis anggaran tersebut berbeda dalam hal metode pembiayaan serta proses keputusannya. Keduanya, apabila dibiayai dengan dana rupiah murni, akan berlangsung dalam satu tahun anggaran, sedangkan apabila dibiayai dari pinjaman luar negeri, terutama pada anggaran pembangunan, berlangsung lebih dari satu tahun anggaran, tergantung dari loan agreement-nya. Pada umumnya anggaran pembangunan dipergunakan untuk pengeluaran berupa proyek-proyek yang relatif mahal biayanya, dan berupa proyek-proyek fisik, seperti gedung, jalan, sarana air bersih, dan lain sebagainya.

Anggaran pembangunan umumnya sering dibiayai melalui pinjaman, baik dalam maupun luar negeri, atau dibiayai dari tabungan daerah yang merupakan sisa anggaran yang tercantum dalam APBD setelah dikurangi anggaran rutinnya. Mengingat daerah juga diperbolehkan untuk melakukan pinjaman ke luar negeri, maka pemerintah daerah harus mengikuti peraturan yang dikeluarkan oleh pusat, seperti peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 107 tahun 2000, tentang Pinjaman Daerah.

Pinjaman daerah yang dimaksud adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Ini tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan. Pinjaman daerah jangka panjang adalah pinjaman daerah dengan jangka waktu lebih dari satu tahun dengan persyaratan bahwa pembayaran kembali pinjaman berupa pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain sebagian atau seluruhnya harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

Pinjaman jangka panjang pemerintah daerah harus memenuhi dua ketentuan, yaitu:

Page 217: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dan Desentralisasi

185

a. jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya; dan

b. berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran daerah tahunan selama jangka waktu pinjaman, metode angka Debt Service Coverage Ratio (DSCR) paling sedikit adalah 2,5.

Pinjaman daerah harus disetujui lebih dahulu oleh DPRD.

Khusus untuk pinjaman daerah yang bersumber dari luar negeri, daerah terlebih dahulu mengajukan usulan pinjaman kepada pemerintah pusat, disertai surat persetujuan DPRD, hasil studi kelayakan, dan dokumen lain yang diperlukan. Pembayaran kembali pinjaman daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan dalam mata uang sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian.

Sumber pinjaman daerah dari dalam negeri biasanya berasal dari pemerintah pusat, lembaga keuangan bank, masyarakat, dan sumber lainnya. Apabila daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas pinjaman dari pemerintah pusat, maka pemerintah pusat memperhitungkan kewajiban tersebut dengan dana alokasi umum kepada daerah bersangkutan. Akibatnya pemerintah daerah menggeser pengeluaran-pengeluaran dari anggaran rutin untuk pengeluaran pembangunan dalam rangka mengembalikan pinjaman tersebut.

Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila pemerintah daerah terlalu ambisius, dan tidak mengontrol dirinya, maka bukan tidak mungkin pemerintah daerah ini akan mengalami kebangkrutan. Pemerintah daerah harus dapat menahan diri dan anggota dewan legislatif perlu mengontrol dengan ketat semua rencana pengeluaran pemerintah daerah.

Anggota legislatif di daerah perlu mengajukan pertanyaan secara lebih rinci terhadap mereka yang mewakili pemerintah daerah tentang penggunaan anggaran dan sumber pinjaman dari luar dan dalam negeri. Pertanyaan-pertanyaan itu misalnya:

a. Bagaimana hubungan anggaran atau pinjaman dengan pengembangan daerah?

Page 218: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

186

b. Berapakah jumlah warga negara yang dapat dibantu untuk proyek yang akan dibangun dengan dana pinjaman, dan dari golongan mana warga negara yang bersangkutan?

c. Apakah proyek yang diusulkan merupakan kegiatan atau sarana fisik baru ataukah lanjutan dan rehabilitasi?

d. Apakah pengeluaran untuk proyek bersangkutan akan menambah kemiskinan di wilayah terkait atau kebalikannya akan menambah warga negara yang mampu membayar pajak, dan berapa besar jumlah pajak yang diharapkan?

e. Apakah proyek yang dikerjakan akan meningkatkan efisiensi dan kinerja daerah?

f. Apakah proyek bersangkutan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di daerah?

Pertanyaan-pertanyaan di atas penting dalam rangka memberikan

kesempatan pada para pengelola anggaran dalam membuat skala prioritas yang menguntungkan semua pihak.

Page 219: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dan Desentralisasi

187

PROGRAM PENGEMBANGAN KECAMATAN (PPK) SEBAGAI MODEL PROGRAM YANG DEMOKRATIS, DESENTRALISASI DAN TRANSPARANSI

Sejak tahun 1997 telah dilaksanakan Program Pengembangan Kecamatan. Tujuannya dalam rangka memberdayakan masyarakat di daerah kecamatan miskin. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya mempersiapkan masyarakat yang diiringi dengan upaya memperkuat kelembagaan masyarakat yang diharapkan dapat mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan yang berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat juga merupakan upaya meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang dalam kondisi sekarang mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.11)

Program ini sangat unik karena berbeda dengan program/proyek lain yang telah ada terlebih dahulu. Uniknya program ini menyebar di ratusan wilayah kecamatan miskin di sejumlah kabupaten dan provinsi di Indonesia. Pembiayaannya dilakukan melalui semacam hibah kepada masyarakat kecamatan miskin tersebut. Dan yang diberikan kepada kecamatan miskin itu tidak seragam untuk masing-masing kecamatan, dan tidak semua kecamatan miskin yang telah dipilih menerima dana yang bersangkutan dalam waktu yang sama.

Untuk memperoleh dana PPK, beberapa desa, melalui semacam kompetisi membuat semacam perencanaan yang telah ditetapkan, yaitu dibatasi dengan perencanaan “prasarana”, perencanan “ekonomi produktif”, dan perencanaan “sosial”. Perencanaan itu disusun oleh kelompok masyarakat di masing-masing desa yang ditunjuk diantara kecamatan miskin. Karena pada prinsipnya masyarakat yang ada di desa miskin itu tidak mempunyai sumber daya manusia yang memadai, maka dalam perencanaanya dibantu oleh Tenaga Teknis Desa (TTD) apabila masyarakat desa tersebut menginginkan pembangunan prasarana fisik yang membutuhkan gambar-gambar teknis.

Keinginan masyarakat desa untuk memilih apakah itu prasarana fisik, ekonomi produktif, atau sosial ditentukan oleh masyarakat desa itu sendiri melalui musyawarah desa. Masing-masing kecamatan ditempatkan Fasilitator Kecamatan (FK) yang membantu masyarakat desa itu dalam menghadapi masalah-masalah teknis, organisasi, keuangan, manajemen, dan semacamnya.

Dalam prosesnya PPK mempunyai prinsip:

1. Pemihakan kepada orang miskin

Setiap kegiatan yang dilaksanakan, baik dalam proses maupun pemanfataan harus ditujukan bagi penduduk miskin.

2. Transparansi

Pengelolaan seluruh kegiatan PPK dilakukan secara transparan, dan diketahui oleh masyarakat luas. Transparansi ini dimaksudkan untuk: (a)

11) Gunawan Sumodiningrat, Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman

Sosial, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999) hal. 44.

Page 220: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

188

menumbuh-kembangkan kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan, (b) mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan, (c) meningkatkan saling percaya diantara sesama pelaku.

3. Partisipasi

Partisipasi dimaksudkan agar ada keterlibatan masyarakat secara aktif dalam setiap tahap kegiatan.

4. Desentralisasi

Pemerintah menyerahkan wewenang dan tanggung jawab penuh kepada masyarakat untuk: (a) memanfaatkan dan mengelola dana, (b) merencanakan dan melaksanakan, (c) mempertanggungjawabkan pengelolaan dana, (d) memelihara dan melestarikan kegiatan.

5. Demokratisasi.

Yang dimaksud disini adalah menghindari setiap dominasi dari individu atau kelompok tertentu dalam pelaksanaan. Tidak seorangpun aparat pemerintah yang dapat mencampurtangani perencanaan maupun pelaksanaan proyek yang disusun oleh masyarakat desa. Semuanya harus murni berasal dari masyarakat.

Penentuan pemenang yang berhak untuk menerima dana PPK itu ditetapkan oleh forum masyarakat di kecamatan yang bersangkutan. Desa-desa lainnya akan melaksanakan tahap-tahap berikutnya dengan prosedur yang sama. Disini masyarakat desa telah diajarkan bagaimana proses demokratisasi berkembang di dalam masyarakat.

Dalam rangka pelaksanaan PPK di kecamatan dan desa, dibentuk tim pelaksana yaitu:

(i) Di kecamatan ditunjuk Kepala Seksi PMD sebagai Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PjOK) dan staf kecamatan lainnya sebagai Bendaharawan/ Penanggung Jawab Administrasi Keuangan (PjAK) yang ditetapkan oleh Bupati atas usulan Camat;

(ii) Di kecamatan dibentuk Unit Pengelola Keuangan (UPK) dengan struktur yang sekurang-kurangnya terdiri dari Ketua, Sekretaris, dan Bendahara yang dipilih dari usulan masing-masing desa melalui forum UDKP dan ditetapkan oleh Camat;

(iii) Di desa dibentuk TPK dengan struktur yang sekurang-kurangnya terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Bendahara yang dipilih dari unsur masyarakat melalui forum Musbangdes dan ditetapkan oleh Kepala Desa. Jika di desa telah ada organisasi masyarakat yang dapat melaksanakan pengelolaan kegiatan, maka tidak perlu dibentuk baru.

Unit Pengelola Keuangan (UPK) diharapkan akan menjadi lembaga keuangan di kecamatan miskin tersebut untuk selanjutnya dapat mengelola dan mengembangkan keuangan di kecamatan. Pendapatan dari UPK berasal dari persentase tertentu dana PPK di kecamatan dan masukan dari bunga yang

Page 221: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dan Desentralisasi

189

diperoleh dari masyarakat apabila masyarakat itu memilih membangun “ekonomi produktif”, misalnya usaha pracangan, pasar desa, pompa air dan lain sebagainya. Sedangkan apabila masyarakat memilih membangun “prasarana”, seperti jalan desa, dan semacamnya mereka tidak diwajibkan membayar bunga. Pendapatan dari bunga itu dikelola oleh UPK dan tidak dikembalikan kepada pemerintah lagi. Seluruh pendapatan UPK ini dikumpulkan dan disalurkan kembali kepada masyarakat melalui forum masyarakat tersebut. Untuk itu masyarakat perlu mengetahui segala sesuatu yang telah dikelola oleh manajemen PPK, misalnya berapa modal yang telah terkumpul, siapa yang telah meminjam, dan hal-hal lain yang perlu diberitahukan kepada masyarakat. Dalam setiap kecamatan terdapat papan informasi tempat pengumuman atau pemberitahuan itu ditempelkan untuk diketahui oleh masyarakat luas. Inilah bentuk transparansi di kalangan masyarakat miskin di kecamatan itu.

PPK ini sekarang makin berkembang, dengan membuka kesempatan kepada masyarakat untuk memlilih kegiatan-kegiatan di bidang sosial, seperti pendidikan dan kesehatan.

Semua keputusan yang berhubungan dengan bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan, siapa yang melaksanakan, bunga yang harus dibayarkan, sanksi yang harus jatuhkan apabila seseorang melanggar peraturan, semua ditentukan oleh masyarakat desa itu sendiri atau kelompok-kelompok masyarakat secara demokratis. Aparat seperti kepala desa dan camat, tidak boleh mempengaruhi kebijakan yang diputuskan oleh masyarakat yang bersangkutan, mereka hanya merupakan fasilitator. Di tingkat kabupaten dibentuk tim koordinasi yang terdiri dari pejabat Bappeda kabupaten, selaku ketua tim koordinasi, kantor Pembangunan Masyarakat Desa (PMD), sekretariat wilayah, pejabat Kimpraswil, pejabat Kantor Perbendaharaan Kas Negara KPKN), dan dinas/instansi yang terkait, untuk menangani kesulitan-kesulitan yang tidak dapat dipecahkan oleh masyarakat desa.

Untuk membantu pengelolaan pelaksanaan PPK, ditempatkan tenaga bantuan teknis diberbagai tingkatan, yaitu (a). Konsultan Manajemen Pusat (KM Pusat), dengan tugas mendampingi Tim Koordinasi PPK Pusat; (b) Konsultan Manajemen Kabupaten (KM-Kab), dengan tugas mendampingi TK-PPK Kabupaten; (c). Fasilitator Kecamatan (FK), dengan tugas mendampingi PjOK dan masyarakat; (d). Fasilitator Desa (FD), dengan tugas mendampingi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan masyarakat selama periode perencanaan; (e). Tenaga Teknis Desa (TTD), dengan tugas membantu kelompok masyarakat (Pokmas) dalam penulisan usulan kegiatan.

Sumber dana PPK berasal dari Pemerintah yang berasal dari pinjaman luar negeri. Mekanisme penyaluran dana PPK diatur dalam surat edaran Direktur Jenderal Anggaran-Departemen Keuangan, yang singkatnya dapat dilihat dalam Bagan 8.

Dalam pelaksanaan kegiatannya, masyarakat dibebaskan untuk menyumbangkan sesuatu untuk penyelesaian kegiatan yang bersangkutan, misalnya membantu pengadaan pasir, semen, tenaga, dan lain sebagainya yang dikoordinasi oleh fasilitator kecamatan. Dengan demikian kegiatan yang dihasilkan, dilihat dari segi biaya pasti akan jauh lebih kurang dari biaya yang biasa dikeluarkan oleh pemerintah.

Page 222: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

190

Bagan 8. Mekanisme Penyaluran Dana PPK

MEKANISME PENYALURAN DANA PPK

DEP.KEU

DIT.TUA (SPAP)

KPKN

PJOK/PIMPRO

UDKP

UPK

PUSAT

BI PUSAT

BI CABANG KABUPATEN

BANK OPERASIONAL

LKMD

BRI UNIT DESA/KEC.

REKENING UPK

KELOMPOK

Keterangan: DIT. TUA: Direktorat Tata Usaha Anggaran DEP. KEU: Departemen Keuangan BI: Bank Indonesia KPKN: Kantor Pembendaharaan dan Kas Negara PjOK: Penanggung Jawab Operasional Kegiatan UDKP: Unit Daerah Kerja Pembangunan UPK: Unit Pengelola Keuangan LKMD: Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa

Penyaluran Dana Pengajuan Pencairan Dana

Page 223: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Otonomi Daerah dan APBD

191

9 Otonomi Daerah dan APBD

Otonomi daerah adalah kewenangan suatu daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.1) Sebenarnya, prinsip otonomi dae-rah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan bukanlah masalah baru bagi bangsa Indonesia. Perintah dasar yang utama tentang penerapan prinsip desentralisasi dapat ditemukan dalam pasal 18 UUD 1945, yang pada gilirannya pernah dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan organik, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dan terakhir diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Artinya, otonomi di Indonesia sebenarnya bukan baru dimulai sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tetapi sudah dicita-citakan jauh sebelumnya.

Perkembangan di bidang pemerintahan senantiasa berlangsung terus dan akan selalu menuntut diadakannya pengaturan baru dan penyem-purnaan terhadap ketentuan yang sudah ada, termasuk dalam hal otonomi daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dilahirkan dalam rangka keinginan membangun citra pemerintahan daerah yang ekonomis, efisien, efektif dan bertanggung jawab. Apabila dikaji secara teliti seluruh rancang bangun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 beserta

1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

Page 224: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

192

penjelasannya, nampak adanya perubahan paradigma yang dianut dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya. Walaupun undang-undang ini yang dibentuk dalam masa Presiden B. J. Habibie terkesan terburu-buru sehingga dalam pelaksanaannya masih terus disempurnakan untuk mencapai hasil pelaksanaan yang maksimal.

OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI

Dalam rangka tuntutan globalisasi, Indonesia tak terkecuali harus memasuki era dunia tanpa batas (world borderless). Berkenaan dengan globalisasi, sebagai salah satu faktor, otonomi daerah perlu diberlakukan guna membentuk pemerintahan yang efisien dan efektif. Penerapan otonomi daerah, melahirkan tuntutan kepada daerah untuk lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatannya. Pemerintah pusat hanya menjadi fasilitator yang tidak terlalu mencampuri urusan daerah. Dengan otonomi daerah ini juga diharapkan bahwa daerah lebih mampu menangani serta memecahkan masalah yang dihadapinya secara lebih cepat. Hal penting yang tidak dapat dihindari adalah tantangan yang dihadapi daerah berkenaan dengan struktur kelembagaan dan sumber daya manusia.

Kinerja lembaga pemerintahan akan lebih efisien dan efektif apabila pemerintah pusat memberikan kepercayaan kepada pemerintah daerah untuk mengambil keputusan penting yang terkait dengan kepentingan daerah. Memberikan kepercayaan kepada pemerintah daerah berarti akan menimbulkan dorongan kepada mereka untuk lebih giat bekerja secara lebih baik. Selain itu, di kalangan pemerintah daerah juga akan timbul motivasi untuk menghasilkan kreasi baru dalam rangka memajukan daerahnya.

Otonomi Merupakan Suatu Keharusan

Otonomi adalah merupakan konsekuensi dari desentralisasi. Pemberian otonomi kepada pemerintah daerah adalah mencegah terjadinya sentralisasi dan mencegah kecenderungan keinginan untuk pemisahan diri bagi daerah-daerah yang tidak puas dengan kebijakan pusat. Dengan otonomi, pemerintah daerah diharapkan dapat mencapai efisiensi dan efektivitas dalam menyejahterakan rakyatnya

Page 225: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Otonomi Daerah dan APBD

193

karena: Pertama, pemerintah daerah sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya. Kedua, keputusan pemerintah daerah sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan efisiensi, terutama dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat. Ketiga, persaingan antar-daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong peningkatan inovasinya.

Sebagai akibat langsung dari kewenangan yang diserahkan kepada daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu perlu diatur hubungan keuangan antara pusat dan daerah dalam rangka membiayai pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya. Oleh karena itu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 selalu dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Guna percepatan pelaksanaan Otonomi Daerah perlu dilaksanakan pula program untuk peningkatan kapasitas daerah. Secara umum peningkatan kapasitas daerah itu terdapat 3 (tiga) tingkatan agar dapat berjalan efektif dan berkelanjutan, meliputi hal-hal sebagai berikut:2) Pertama, Tingkat Sistem, yaitu kerangka peraturan dan kebijakan yang mendukung atau membatasi pencapaian tujuan; Kedua, Tingkat Kelembagaan atau Entitas, yaitu struktur organisasi, proses pengambilan keputusan dalam organisasi, prosedur dan mekanisme kerja, instrumen manajemen, hubungan dan jaringan antar-organisasi dan lain-lain; Ketiga, Tingkat Individu, yaitu tingkat keterampilan, kualifikasi, pengetahuan/wawasan, sikap (attitude), etika dan motivasi individu yang bekerja dalam organisasi

Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD)

Dalam konstitusinya, Indonesia merupakan sistem negara kesatuan, yang wilayahnya dibagi dalam Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang bersifat otonom. Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi daerah daerah tersebut berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut

2) Oentarto Sindung Mawardi, “Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah:

Permasalahan dan Penanganan”, Ceramah Acara Diskusi Kebijakan Desentra-lisasi dan Otonomi Daerah dalam Jangka Panjang, (Jakarta, Nopember 2002).

Page 226: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

194

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain. Mereka dibentuk berdasarkan perkembangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan perkembangan lain yang memungkinkan terselenggarakannya otonomi daerah.

Setiap tahun rencana kegiatan dan pembiayaan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan daerah dituangkan dalam dokumen yang disebut Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). Seluruh rencana penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah yang akan dilaksanakan pada suatu tahun anggaran tercatat dalam APBD sebagai salah satu dokumen anggaran tahunan. Dengan demikian APBD dapat menjadi cerminan kinerja dan kemampuan pemerintah daerah, khususnya dalam membiayai dan mengelola peyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di daerah masing masing pada suatu tahun anggaran.

Sumber penerimaan dalam APBD antara lain berasal dari perpajakan. Prinsip-prinsip umum perpajakan daerah pada umumnya harus memenuhi kriteria tentang perpajakan daerah adalah:

Prinsip memberikan pendapat yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat

Adil dan merata secara vertikal, artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horizontal, artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak

Administrasi yang fleksibel, artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi si wajib pajak

Secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak

Non-distorsi terhadap perekonomian: implikasi pajak atau pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap pajak atau pungutan tidak menimbulkan suatu beban, baik bagi konsumen maupun produsen.

Page 227: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Otonomi Daerah dan APBD

195

Pendapatan daerah adalah semua sumber-sumber pendapatan yang dapat dihimpun oleh daerah yang besarnya tergantung dari potensi masing-masing daerah. Setiap daerah memiliki kemampuannya yang berbeda-beda. Sumber-sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah adalah:

Pendapatan Asli Daerah (PAD), terdiri dari:

1) Pendapatan asli daerah sendiri (PADS), yang meliputi:

a. Hasil pajak daerah

Pajak daerah harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:3) (1) tidak boleh bertentangan atau harus searah dengan kebijaksanaan Pemerintah Pusat; (2) sederhana dan tidak terlalu banyak jenisnya; (3) biaya administrasinya harus rendah; (4) tidak mencampuri sistem perpajakan pusat menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh daerah serta dapat dipaksakan.

Pemungutan pajak daerah diperoleh dari 6 (enam) macam pajak sebagai berikut:

Pajak Negara yang diserahkan kepada daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 yang terdiri dari: (a) pajak verponding; (b) pajak verponding Indonesia; (c) pajak rumah tangga; (d) pajak kendaraan bermotor; (e) pajak jalan; (f) pajak potong; (g) pajak kopra; (h) pajak pembangunan; (i) pajak negara yang diserahkan kepada daerah minimum 75% dan maksimum 90%, yaitu: pajak peralihan, pajak upah, dan pajak materai; (j) Menurut persentase yang ditetapkan tiap tahun oleh peraturan pemerintah yaitu: pajak kekayaan dan pajak perseroan.

Pajak Negara yang diserahkan kepada daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-Pajak Negara, yaitu: (a) diserahkan

3) J. B. Kristiadi, Masalah Sekitar Peningkatan Pendapatan Daerah (Prisma

No. 12, 1985)

Page 228: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

196

kepada Daerah Provinsi, seperti pajak kendaraan bermotor; (b) diserahkan kepada Daerah Kabupaten, seperti pajak bangsa asing dan pajak radio.

Pajak Asli Daerah yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah.

Pemungutan pajak dapat dilakukan oleh:

Daerah Provinsi, terdiri dari: (a) pajak atas menangkap ikan di perairan umum di dalam wilayah; (b) pajak sekolah; (c) opsen atas pokok pajak kekayaan; dan (d) opsen atas pajak (cukai) penjualan bensin.

Daerah Kabupaten, terdiri dari: (a) pajak pertunjukan dan keramaian umum; (b) pajak atas reklame; (c) pajak anjing; (d) pajak atas izin penjualan atau pembuatan petasan dan kembang api; (e) pajak atas izin penjualan minuman yang mengandung alkohol; (f) pajak atas kendaraan tidak bermotor; (g) pajak atas izin pengadaan perjudian; (h) pajak atas tanda kemewahan mengenai luas dan penghiasan kubur.

Pajak Asli Daerah lainnya yang dipungut oleh Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 yaitu: (a) pajak penerangan jalan; (b) pajak pemberian air minum; (c) pajak forenzen; (d) pajak rumah bola; (e) pajak pendaftaran perusahaan; (f) pajak atas pemilikan barang-barang menjulang di atas jalan, tanah dan bangunan yang dikuasi daerah; (g) pajak kendaraan di atas air yang tidak bermotor; (h) pajak pembuatan garam; (i) pajak pengangkutan garam di luar daerah; (j) pajak pengusahaan kandang babi; (k) pajak pengambilan sarang burung; (l) pajak pengambilan rumput laut dan agar laut; (m) pajak pengumpulan telur penyu; (n) pajak rumah-rumah asap; (o) pajak mendirikan rumah-rumah tembakau; (p) pajak pelelangan ikan.

Pajak Asli Daerah yang dipungut Daerah Provinsi berdasarkan peraturan daerah, antara lain: (a) Bea balik

Page 229: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Otonomi Daerah dan APBD

197

nama alat angkutan di atas air; (b) Pajak angkutan di atas air; (c) Pajak pembuatan kapal kayu.

Menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957, DKI Jakarta Raya dapat memungut: (a) Pajak kendaraan bermotor; (b) Bea balik nama kendaraan bermotor; (c) Pajak bumi dan bangunan.

b. Hasil perusahaan daerah

Perusahaan Daerah diselenggarakan dan dibina oleh Pemerintah Daerah berdasarkan asas ekonomi perusahaan. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962, Pasal 25 ayat 2: penggunaan laba bersih setelah terlebih dulu dikurangi dengan penyusutan, ditetapkan sebagai berikut:

Perusahaan Daerah yang memiliki modal seluruhnya terdiri dari kekayaan daerah yang dipisahkan: (a) Untuk dana pembangunan daerah 30%; (b) Untuk anggaran belanja daerah 25%; (c) Untuk cadangan umum, sosial dan pendidikan, jasa produksi, sumbangan dana pensiun dan sokongan sejumlah 45%.

Perusahaan Daerah yang sebagian modalnya terdiri dari kekayaan daerah yang dipisahkan setelah dikeluarkan zakat yang dipandang perlu: untuk dana pembangunan daerah 7%, selebihnya untuk pemegang saham dan untuk cadangan umum.

c. Hasil usaha daerah yang lain dan sah

Hasil usaha daerah yang lain dan sah adalah Pendapatan Asli Daerah yang tidak termasuk dalam kategori pajak, retribusi dan perusahaan daerah. Pendapatan ini antara lain: (1) Hasil ganti rugi penyerahan bibit ikan, bibit ternak, bibit tanaman pangan dan bibit tanaman kebun, (2) Hasil atau pengerjaan perbaikan batang/banda/kendaraan oleh bengkel yang berbentuk perusahaan daerah dan lain sebagainya.

d. Hasil retribusi daerah

Retribusi adalah pemungutan uang sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha

Page 230: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

198

atau milik pemerintah baik yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan pemerintah dan berdasarkan peraturan umum yang dibuat oleh pemerintah. Jenis-jenis retribusi ini meliputi:

Retribusi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957, antara lain: uang leges, uang tol bea jalan, bea pangkalan dan bea penambangan, bea pembantaian dan pemeriksaan, uang sempadan atau izin bangunan, retribusi atas pemakaian tanah, bea penguburan.

Retribusi Daerah berdasarkan Peraturan Mendagri Nomor 11 Tahun 1975, antara lain: retribusi tambak-tambak ikan, pengambilan pasir dan batu, uang pembantaian, jembatan timbang, retribusi stasiun bis dan taksi, reklame, retribusi pasar, pesanggrahan, dan lain sebagainya.

2) Pendapatan berasal dari pemberian pemerintah, yang meliputi:

a. Sumbangan dari pemerintah

Sumbangan dari Pemerintah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956, berupa: (1) Penyerahan beberapa sumber pendapatan negara kepada daerah; (2) Pemberian kepada daerah dari bagian tertentu dari penerimaan berbagai Pajak Negara, seperti Pajak Bumi dan Bangunan serta iuran hasil hutan; (3) Pemberian ganjaran, subsidi dan sumbangan.

Karena sebagian kebijakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 (khususnya bagi hasil pajak serta ganjaran, subsidi dan sumbangan) tidak dapat dilaksanakan, maka untuk mengisi kekosongan ini dikerahkan kebijakan berupa: 4)

Penyerahan tambahan tiga Pajak Negara kepada daerah, yaitu bea balik nama kendaraan bermotor, pajak radio dan pajak bangsa asing (Undang-Undang Nomor 10 Tahun

4) J. B. Kristiadi, “Administrasi Pembangunan dan Administrasi Daerah”,

Penataan Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah bagi pejabat Eselon I dan Wakil Gubernur, LAN RI, 1991.

Page 231: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Otonomi Daerah dan APBD

199

1968). Dengan tambahan ini, Pajak Negara yang diserahkan kepada daerah menjadi sebelas pajak.

Subsidi Perimbangan Keuangan Daerah Otonom (SDO) diberikan sebagai pengganti bagi hasil pajak.

Sebagai pengganti ganjaran, subsidi dan sumbangan kemudian diperkenalkan Program Bantuan Inpres sejak tahun 1969.

Bagi hasil beberapa penerimaan negara bukan pajak diperkenalkan pada tahun 1970 yang dibagikan berdasarkan prinsip by origin seperti royalti dan lisence fee di bidang kehutanan dan pertambangan.

Pinjaman kepada daerah dimulai dengan bantuan uang muka Ipeda (tahun 1969), bantuan Inpres pasar (tahun 1976) dan pinjaman lain (tahun 1978).

Jenis sumbangan yang diatur dengan peraturan perundangan antara lain: (1). Undang-Undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi; (2). Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1967 mengenai Hak Pengusahaan Hutan; (3). Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Pengelolaan Bahan-bahan Galian; (4). Keppres Nomor 67 Tahun 1969 tentang Sumbangan Rehabilitasi Kopra; (5). Keppres Nomor 8 Tahun 1980 tentang Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi dalam Negeri; (6). Keppres. Nomor 10 Tahun 1973 tentang Sumbangan Minyak Bumi; (7). Keppres Nomor 8 Tahun 1975 tentang Pemungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan bagi PMA dan PMDN; (8). Penerimaan dari dana pembangunan daerah yang terdiri dari dana pembangunan provinsi, dana pembangunan kabupaten/ kota, dana pembangunan desa, serta dana Jaring Pengaman Sosial (JPS), dan pemberdayaan masyarakat.

b. Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangan

Page 232: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

200

3) Lain-lain pendapatan yang sah

Pendapatan daerah yang lain dan sah berasal dari sumber lain selain Pendapatan Asli Daerah. Selain Pendapatan Daerah, yang berasal dari pemberian Pemerintah.5) Jenis pendapatan daerah yang lain dan sah terdiri dari: (1) Penerimaan sumbangan dari pihak ketiga kepada daerah, atas dasar kesukarelaan pihak ketiga serta dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1978 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Pada Daerah; (2) Penerimaan lain-lain yang merupakan penerimaan kas daerah berasal dari pengembalian gaji pegawai, piutang Pemerintah Daerah, hasil penjualan kendaraan perorangan dinas dan rumah dinas daerah serta lain-lain.

Dana Perimbangan

Dana perimbangan terdiri dari 3 (tiga) kelompok, yaitu:

1) Bagian dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam.

Penerimaan negara dari pajak bumi dan bangunan dibagi dengan imbangan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk daerah propinsi atau kabupaten/kota.

Penerimaan negara dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat, dan 80% untuk daerah propinsi atau kabupaten/kota.

Sepuluh persen penerimaan pajak bumi dan bangunan dan 20% penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang menjadi bagian dari pemerintah pusat dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota.

5) Mulia, Bunga Rampai Keuangan Daerah (Jakarta: Tamita Raya, 1987)

hal. 231.

Page 233: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Otonomi Daerah dan APBD

201

Penerimaan negara dari sumbur daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah. Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut:

a. Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah daerah setelah dikurangi komponan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 25% untuk pemerintah pusat dan 15% untuk daerah.

b. Penerimaan negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70% untuk pemerintah pusat dan 30% untuk daerah.

2) Dana alokasi umum

Dana alokasi umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. Dana alokasi umum untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari dana alokasi umum tersebut di atas.

Dari sisi penerimaan, prosentase yang terbesar berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU).

DAU yaitu dana yang ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri, yang 90%-nya dialokasikan di daerah kabupaten/kota.

Mulai tahun anggaran 2001 Pemerintah tidak lagi menyediakan Dana Rutin Daerah (DRD) dan Dana Pembangunan Daerah (DPD) karena dana-dana tersebut termasuk dalam Dana Alokasi Umum. Pengaturan penggunaan Dana Alokasi Umum sepenuhnya menjadi kewenangan daerah.

Page 234: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

202

Tabel 23. Perkembangan Anggaran Belanja untuk Daerah

2001 s.d. 2002 1)

(dalam triliun rupiah)

Uraian

20012) 2002

PAN % thd

PDB

Reali-

sasi

% thd

PDB

I. Dana Perimbangan

a. Dana Bagi Hasil

1. Pajak3)

i. Pajak Perorangan

ii. Pajak Bumi dan Bangunan

iii. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

2. Sumber Daya Alam

i. Minyak bumi

ii. Gas alam

iii. Pertambangan umum

iv. Kehutanan

v. Perikanan

b. Dana Alokasi Umum4)

1. Provinsi

2. Kabupaten

c. Dana Alokasi Khusus

1. Dana Reboisasi

2. Non Dana Reboisasi

II. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang

a. Dana Otonomi Khusus

b. Dana Penyeimbang

81,0

20,0

9,7

3,2

5,1

1,4

10,3

6,0

3,6

0,4

0,3

-

60,3

6,0

54,3

0,7

0,7

-

-

-

-

5,4

1,3

0,7

0,2

0,3

0,1

0,7

0,4

0,2

0,0

0,0

-

4,0

0,4

3,6

0,0

0,0

-

-

-

-

94,5

24,6

12,0

4,1

5,7

2,2

12,6

5,8

4,8

1,0

0,8

0,2

69,1

6,9

62,2

0,8

0,8

-

3,4

1,4

2,0

5,6

1,5

0,7

0,2

0,3

0,1

0,7

0,3

0,3

0,1

0,0

0,0

4,1

0,4

3,7

0,0

0,0

-

0,2

0,1

0,1

J u m l a h 81,0 5,4 97,9 5,8

1) Disesuaikan dengan klasisfikasi baru 2) Realisasi sementara sampai dengan 31 Desember 2001 3) Untuk tahun 2000, berupa dana pembangunan daerah dari PBB dan BPHT 4) Untuk tahun 2000, berupa dana rutin daerah dan dana pembangunan non PBB

dan BPHT

Page 235: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Otonomi Daerah dan APBD

203

Dari sisi penerimaan, prosentase yang terbesar berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU).

Mulai Tahun Anggaran 2001, Pemerintah tidak lagi menyediakan Dana Rutin (DRD) dan Dana Pembangunan Daerah (DPD) karena dana-dana dimaksud termasuk dalam Dana Alokasi Umum. Pengaturan penggunaan Dana Alokasi Umum sepenuhnya menjadi kewenangan Daerah.

Dana alokasi umum dianggarkan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang penggunaannya ditetapkan oleh daerah. Dana alokasi umum ini terdiri dari:

i. Dana alokasi umum untuk daerah provinsi

ii. Dana alokasi umum untuk daerah kabupaten/kota

Dana alokasi umum ini ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN, yang masing-masing 10% dari jumlah itu untuk daerah provinsi, dan 90%-nya untuk daerah kabupaten/kota.

Dana alokasi umum bagi masing-masing daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian dari jumlah dana alokasi umum bagi seluruh daerah, dengan bobot daerah yang bersangkutan dibagi dengan jumlah masing-masing bobot seluruh daerah di seluruh daerah.6)

Jumlah Alokasi (Bobot Daerah yang bersangkutan) Untuk x DAU (Jumlah bobot dari seluruh Daerah)

6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana

Perimbangan

Page 236: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

204

Dana alokasi umum itu ditetapkan berdasarkan: (a) kebutuhan wilayah otonomi daerah, dan (b) potensi ekonomi daerah. Kebutuhan wilayah otonomi daerah dihitung berdasarkan perkalian antara pengeluaran daerah rata-rata dengan penjumlahan dari indeks penduduk, indeks luas daerah, indeks harga bangunan, dan indeks kemiskinan relatif setempat. Sedangkan potensi ekonomi daerah dihitung berdasarkan perkalian antara penerimaan daerah rata-rata dengan penjumlahan dari indeks industri, indeks sumber daya alam, dan indeks sumber daya manusia.

Hasil perhitungan dana alokasi umum untuk masing-masing daerah ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usulan dewan pertimbangan otonomi daerah.

Tabel 24. Rincian Dana Alokasi Umum

Beberapa Kabupaten di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2000

No. Provinsi Sumatera Barat DAU

(miliar rupiah) 1.1 Kab. Agam 140,73 1.2 Kab. 50 Kota 140,52 1.3 Kab. Padang Pariaman 101,50 1.4 Kab. Pasaman 111,12 1.5 Kab. Pesisir Selatan 157,21 1.6 Kab. Sawahlunto Sijunjung 121,42 1.7 Kab. Solok 114,47 1.8 Kab. Tanah Datar 150,83 1.9 Kab. Kepulauan Mentawai 131,67 1.10 Kota Bukit Tinggi 53,89 1.11 Kota Padang 164,37 1.12 Kota Padang Panjang 40,94 1.13 Kota Payakumbuh 72,61 1.14 Kota Sawahlunto 54,33 1.15 Kota Solok 44,30 Jumlah Se-Provinsi Sumatera Barat 1.663,83

Page 237: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Otonomi Daerah dan APBD

205

Dari hasil perhitungan DAU, setiap kabupaten tidak menerima jumlah yang sama, tergantung dari kriteria yang telah disebutkan di atas. Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 181 tahun 2000 tentang Rincian Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.

Dengan dialokasikannya Dana Alokasi Umum itu, maka APBD di seluruh kabupaten/kota mengalami peningkatan yang cukup tajam dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Tabel 24 menggambarkan contoh APBD di masing-masing Kabupaten/ Kota di Sumatera Barat. Hampir semua kabupaten di seluruh Indonesia mengalami kenaikan APBD-nya seperti contoh dalam Tabel 25.

Tabel 25. Perkembangan APBD di Beberapa Kabupaten

Kabupaten Tahun Anggaran

Kenaikan (%)

2000 (juta)

2001 (juta)

Prop: Sumatera Utara Dairi 65.176,42 134.267,83 106,0 Tanjung Balai 33.390,71 64.004,46 91,7 Sibolga 27.381,24 94.958,34 246,8 Kota Medan 241.450,68 406.592,63 68,4 Karo 49.880,00 128.306,00 157,2

Prop: Sumatera Barat Tanah Datar 74.033,74 173.393,41 134,2 Bukit Tinggi 39.373,84 70.348,48 78,7 Kota Bukit Tinggi 37.820,58 39.373,84 4,1 Kota Padang 132.982,46 230.937,07 73,7 Pesisir Selatan 88.561,58 166.752,61 88,3 Sawah Lunto 81.077,31 128.083,90 58,0 Prop: Riau Karimun 64.810,60 223.247,18 244,5 Pelalawan 64.334,82 152.278,36 136,7 Singingi 65.363,00 236.689,24 262,12 Siak 63.170.60 616.858,31 876,5 Batam 79.028,42 212.525,59 168,9

Page 238: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

206

Kabupaten

Tahun Anggaran Kenaikan

(%) 2000 (juta)

2001 (juta)

Prop: Sumatera Selatan Ogan Komering Ulu 123.066,20 297.001,65 141,3 Pangkal Pinang 37.878,07 68.776,13 81,6 Muara Enim 115.008,60 296.388,13 157,7 Lahat 95.753,07 236.346,82 146,9 Prop: Jambi Muara Jambi dan Batanghari 81.505,11 120.295,19 47,6 Bangka Belitung 68.776,13 140.449,94 104,2 Prop: Lampung Lampung Timur 78.836,89 197.512,37 150,5

Prop: Kalimantan Tengah Barito Selatan 71.571,35 146.142,50 104,2 Barito Utara 105.538,29 160.980,02 52,5 Prop: Kalimantan Selatan Kota Banjar Baru 23.917,71 69.962,29 192,5 Tapin 41.971,66 93.221,09 122,1 Hulu Sungai Tengah 67.076,10 121.138,00 80,6 Hulu Sungai Utara 80.555,43 131.271,71 63,0 Kota Baru 84.605,73 176.254,54 108,3 Prop: Sulawesi Utara Gorontalo 92.012,00 159.382,00 73,2 Minahasa 143.685,20 288.194,40 100,6 Sangihe Talaud 60.378,61 131.574,71 117,9 Kota Gorontalo 41.268,88 97.305,23 135,8 Prop: Sulawesi Tengah Banggai 54.026,59 149.988,58 177,6 Prop: Papua Kota Jayapura 92.890,69 123.397,51 32,8 Sumber: Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah

Page 239: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Otonomi Daerah dan APBD

207

3) Dana alokasi khusus

Dana alokasi khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Kebutuhan khusus itu adalah: (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

Dana alokasi khusus itu termasuk yang berasal dari dana reboisasi. Dana reboisasi dibagi dengan imbangan 40% dibagikan kepada daerah penghasil, dan 60% untuk pemerintah pusat.

Pinjaman Daerah

Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan.7)

Pinjaman daerah tersebut dapat bersumber dari dalam negeri dan luar negeri. Pinjaman dari dalam negeri dapat bersumber dari: (a) pemerintah pusat, (b) lembaga keuangan bank, (c) lembaga keuangan bukan bank, (d) masyarakat, dan (e) sumber lainnya. Pinjaman daerah yang berasal dari luar negeri dapat berupa pinjaman bilateral atau pinjaman multilateral. Seperti lazimnya pinjaman, maka pinjaman daerah dapat berupa pinjaman jangka panjang dan pinjaman jangka pendek. Pinjaman jangka panjang hanya dapat digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk membayar kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Sedangkan pinjaman jangka pendek digunakan untuk pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah.

Pinjaman jangka panjang disyaratkan bahwa jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar tidak melebihi 75% dari

7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2000 tentang

Pinjaman Daerah

Page 240: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

208

jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya, dan Debt Service Coverage Ratio paling sedikit 2,5. Setiap pinjaman daerah dilakukan dengan persetujuan DPRD. Untuk itu setiap pinjaman daerah harus dituangkan dalam surat perjanjian pinjaman antara daerah dengan pemberi pinjaman. Perjanjian pinjaman daerah itu ditandatangani atas nama daerah oleh kepala daerah dan pemberi pinjaman. Prosedur untuk memperoleh pinjaman yang bersumber dari pemerintah pusat, daerah harus mengajukan usulan kepada Menteri Keuangan disertai surat persetujuan DPRD, studi kelayakan, dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk dilakukan evaluasi. Perjanjian pinjaman yang bersumber dari pemerintah pusat ditandatangai oleh Menteri Keuangan dan kepala daerah.

Pinjaman daerah yang berasal dari luar negeri dilakukan oleh pemerintah pusat, dengan prosedur sebagai berikut:

Daerah mengajukan usulan pinjaman kepada pemerintah pusat disertai surat persetujuan DPRD, studi kelayakan dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan.

Pemerintah pusat melakukan evaluasi dari berbagai aspek untuk dapat tidaknya menyetujui usulan tersebut.

Apabila pemerintah pusat telah menyetujui, pemerintah daerah mengadakan perundingan dengan calon pemberi pinjaman yang hasilnya dilaporkan untuk mendapatkan persetuan pemerintah pusat.

Perjanjian pinjaman daerah yang bersumber dari luar negeri ditandangai oleh kepala daerah dengan pemberi pinjaman luar negeri.

Pembayaran kembali pinjaman daerah merupakan kewajiban daerah yang harus diprioritaskan dan dianggarkan dalam APBD-nya. Apabila daerah tidak memenuhi kewajibannya, maka pemerintah pusat akan memperhatikan kewajiban tersebut dengan Dana Alokasi Umum kepada daerah.

Pinjaman daerah dianggarkan dalam bagian/pos pinjaman dan pelaksanaannya berpedoman kepada peraturan pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.

Page 241: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Otonomi Daerah dan APBD

209

Lain-lain Penerimaan yang Sah

Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah

Seluruh pertanggungjawaban keuangan daerah dilakukan oleh kepala daerah yang menyusun laporan setiap triwulan kepada DPRD. Laporan pertanggungjawaban itu terdiri dari: (a) laporan perhitungan APBD, (b) nota perhitungan APBD, (c) laporan aliran kas, dan (d) neraca daerah. Pengawasan atas pelaksanaan APBD dilakukan oleh DPRD. Kepala Daerah mengangkat pejabat yang bertugas melakukan pengawasan internal pengelolaan keuangan daerah, dan pejabat pengawas internal itu tidak diperkenankan merangkap jabatan lain di pemerintahan daerah. Hasil pengawasannya dilaporkan langsung kepada kepala daerah.

Pedoman Umum Untuk Penyelenggaraan APBD

Walaupun dalam otonomi daerah ini telah diberikan keleluasaan di dalam pengelolaan anggaran, tetapi diperlukan adanya rambu-rambu agar penyelenggaraan anggaran daerah itu lebih efisien dan efektif. Pedoman tersebut diperlukan pada sisi anggaran belanja daerah yang terdiri dari anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan.

Anggaran Belanja Rutin

Dengan telah diberikan kewenangan untuk mengelola keuangan daerah, belanja rutin diprioritaskan pada optimalisasi fungsi dan tugas rutin perangkat daerah yang telah dan akan dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Selain itu, perlu diupayakan penghematan untuk belanja rutin nonpegawai dengan cara memprioritaskan pembiayaan terhadap belanja yang benar-benar penting disertai dengan peningkatan disiplin anggaran. Peningkatan belanja rutin yang diusulkan oleh setiap pengguna anggaran harus diikuti dengan peningkatan mutu pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Belanja rutin tersebut terdiri dari belanja DPRD dan belanja kepala daerah dan

Page 242: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

210

wakil kepala daerah, serta belanja sekretariat daerah dan perangkat daerah lainnya, yang terdiri dari:

- Belanja barang

- Belanja pemeliharaan

- Belanja perjalanan dinas

Yang semuanya itu diusahakan sehemat mungkin.

Anggaran Belanja Pembangunan

Anggaran belanja pembangunan disusun atas dasar kebutuhan nyata masyarakat, sesuai dengan tuntutan dan dinamika yang berkembang untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang belih baik. Dalam pembangunan daerah masyarakat perlu dilibatkan dalam proses perencanaannya, sehingga kebutuhan mereka dapat dijabarkan oleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan berdasarkan prioritas dan kemampuan daerah.

APBD Bagi Daerah Yang Baru Dibentuk

Menurut surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 903/2735/SJ, tanggal 17 November 2000, perihal Pedoman Umum Penyusunan dan Pelaksanaan APBD dalam Anggaran 2001, dikatakan:

Sambil menunggu pembentukan DPRD, penyusunan dan pelaksanaan APBD provinsi dan kebupaten/kota yang baru dibentuk mempedomani hal-hal sebagai berikut:

a. Apabila belum memiliki perangkat daerah pengelola pendapatan daerah, pelaskanaan pemungutan pajak, retribusi, dan penerimaan lain yang sah, tetapi dilaksanakan oleh perangkat daerah asal;

b. Bagian hasil pungut dari wilayah yuridiksi daerah yang baru dibentuk, dianggarkan pada bagian tertentu bantuan keuangan APBD daerah asal, untuk diserahkan sepenuhnya pada daerah baru;

Page 243: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Otonomi Daerah dan APBD

211

c. Bagi provinsi yang telah memiliki pengelola pendapatan daerah, maka sambil menunggu ditetapkannya peraturan daerah tentang pungutan di daerah yang baru dibentuk, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi daerah menetapkan kebijakan memberikan kewenangan untuk memungut langsung pajak dan retribusi, serta penerimaan lain yang sah dengan menggunakan peraturan daerah yang lama sebagai dasar pemungutan;

d. Bagi kabupaten/kota yang telah memiliki pengelola pendapatan daerah, maka sambil menunggu ditetapkannya peraturan daerah tentang pemungutan di daerah yang baru dibentuk, gubernur menetapkan kebijakan untuk memberikan kewenangan untuk memungut langsung pajak dan retribusi serta penerimaan lain yang sah dengan menggunakan peraturan daerah yang lama sebagai dasar pungutan;

e. Penerimaan yang bersumber dari bagi hasil pajak dan bukan pajak dialokasikan langsung kepada provinsi, kabupaten/kota yang baru sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Susunan RAPBD secara umum dapat digambarkan dalam Tabel 26.

Page 244: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

212

Tabel 26. Ringkasan APBD Tahun Anggaran 2001

PENDAPATAN JUMLAH

(Rp) NO BELANJA

JUMLAH (Rp)

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Yang Lalu Pendapatan Asli Daerah a. Pajak Daerah b. Retribusi Daerah c. Laba Perusahaan Milik Daerah d. Lain-lain PAD yang sah Dana Perimbangan a. Bagi Hasil Pajak b. Bagi Hasil Bukan Pajak c. Dana Alokasi Umum (DAU) d. Dana Alokasi Khusus (DAK) e. Dana Darurat Pinjaman Daerah Pinjaman Dalam Negeri Pinjaman Luar Negeri Lain-lain Penerimaan Yang Sah

1 2

Belanja Rutin a. Belanja Pegawai b. Belanja Barang c. Belanja Pemeliharaan d. Belanja Perjalanan Dinas e. Belanja Lain-lain f. Angsuran Hutang dan bunga g. Pensiun dan Onderstand h. Bantuan Keuangan Pengeluaran Tidak Ternasuk Bagian Lain j. Pengeluaran Tidak Tersangka Belanja Pembangunan (Sektor/Sub Sektor/Program/ Proyek Disesuaikan dengan kebutuhan Daerah)

Jumlah Jumlah Bagian Urusan Kas dan

Perhitungan Bagian Urusan Kas dan

Perhitungan

MENTERI DALAM NEGERI DAN OTONOMI DAERAH

SURJADI SOEDIRJA

Page 245: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Otonomi Daerah dan APBD

213

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 107 TAHUN 2000 TENTANG

PINJAMAN DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 Undang-undang Nomor 25

Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pinjaman Daerah;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah

diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945; 2. Udang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PINJAMAN DAERAH

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Pemerintah Pusat adalah perangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri.

2. Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Kepala Daerah adalah Gubernur bagi Daerah Provinsi atau Bupati bagi Daerah Kabupaten atau Walikota bagi Daerah Kota.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnta disingkat DPRD, adalah Badan Legislatif Daerah.

5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD, adalah suatu rencana keuangan tahunan Daerah yang

Page 246: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

214

ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

6. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan.

7. Pinjaman Jangka Panjang adalah Pinjaman Daerah dengan jangka waktu lebih dari satu tahun dengan persyaratan bahwa pembayaran kembali pinjaman berupa pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain sebagian atau seluruhnya harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

8. Pinjaman Jangka Pendek adalah Pinjaman Daerah dengan jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun dengan persyaratan bahwa pembayaran kembali pinjaman berupa pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

BAB II

SUMBER DAN JENIS PINJAMAN DAERAH

Pasal 2 (1) Pinjaman Daerah dapat bersumber dari:

a. Dalam negeri; b. Luar Negeri.

(2) Pinjaman Daerah dari dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) huruf a bersumber dari: a. Pemerintah Pusat; b. Lembaga Keuangan Bank; c. Lembaga Keuangan Bukan Bank; d. Masyarakat; e. Sumber Lainnya.

(3) Pinjaman Daerah dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) huruf b dapat berupa pinjaman bilateral atau pinjaman multilateral.

Pasal 3 Pinjaman Daerah terdiri dari 2 (dua) jenis:

a. Pinjaman Jangka Panjang; b. Pinjaman Jangka Pendek.

BAB III

PENGGUNAAN PINJAMAN DAERAH

Pasal 4 (1) Pinjaman Jangka Panjang hanya dapat digunakan untuk membiayai

pembangunan prasarana yang merupakan aset Daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kemballi pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.

Page 247: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Otonomi Daerah dan APBD

215

(2) Pinjaman Jangka Panjang tidak dapat digunakan untuk membiayai belanja administrasi umum serta belanja operasional dan pemeliharaan.

Pasal 5

Daerah dapat melakukan Pinjaman Jangka Pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan Kas Daerah.

BAB IV

PERSYARATAN PINJAMAN DAERAH

Bagian Pertama Batas Masksimum Jumlah Pinjaman Daerah

Pasal 6

Pinjaman Jangka Panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a yang dilakukan oleh Daerah wajib memenuhi 2 (dua) ketentuan sebagai berikut: a. Jumlah kumulatif pokok Pinjaman Daerah yang wajib dibayar tidak

melebihi 75% (tujuh lima puluh persen) dari jumlah Penerimaan Umum APBD tahun sebelumnya; dan

b. Berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran Daerah tahunan selama jangka waktu pinjaman, Debt Service Coverage Ratio (DSCR) paling sedikit 2,5 (dua setengah).

Pasal 7

(1) Jumlah maksimum Pinjaman Jangk Pendek adalah 1/6 (satu per enam) dari jumlah belanja APBD tahun anggaran yang berjalan.

(2) Pinjaman Jangka Pendek dilakukan dengan mempertimbangkan kecukupan penerimaan Daerah untuk membayar kembali pinjaman tersebut pada waktunya.

(3) Pelunasan Pinjaman Jangka Pendek wajib diselesaikan dalam tahun anggaran yang berjalan.

Pasal 8

(1) Batas maksimum kumulatif jumlah pinjaman semua Daerah disesuaikan dengan kebijaksanaan perekonomian nasional.

(2) Berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional, Menteri Keuangan dapat menetapkan pengendalian lebih lanjut atas Pinjaman Daerah.

Bagian Kedua

Batas Maksimum Jangka Waktu Pinjaman Daerah

Pasal 9 (1) Batas maksimum jangka waktu Pinjaman Jangka Panjang disesuaikan

dengan umur ekonomis aset yang dibiayai dari pinjaman tersebut. (2) Batas maksimum Masa Tenggang disesuaikan dengan masa

konstruksi proyek. (3) Jangka waktu Pinjaman Jangka Panjang adalah termasuk Masa

Tenggang.

Page 248: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

216

(4) Dalam hal Daerah malakukan Pinjaman Jangka Pnjang yang bersumber dari dalam negeri, maka jangkaw aktu pinjaman dan Masa Tenggang ditetapkan Daerah dengan persetujuan DPRD.

(5) Dalam hal Daerah melakukan Pinjaman Jangka Panjang yang bersumber dari luar negeri, maka jangka waktu pinjaman dan Masa Tenggang disesuaikan dengan persyaratan pinjaman luar negeri yang bersangkutan.

Bagian Ketiga

Larangan Penjaminan

Pasal 10 (1) Daerah dilarang melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan

terhadap pinjaman pihak lain yang mengakibatkan beban atas keuangan Daerah.

(2) Barang milik Daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan umum tidak dapat dijadikan jaminan dalam memperoleh Pinjaman Daerah.

(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V

PROSEDUR PINJAMAN DAERAH

Pasal 11 (1) Setiap Pinjaman Daerah dilakukan dengan persetujuan DPRD. (2) Berdasarkan persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), Daerah mengajukan pinjaman kepada calon pemberi pinjaman. (3) Setiap Pinjaman Daerah dituangkan dalam surat perjanjian pinjaman

antara Daerah dengan pemberi pinjaman. (4) Perjanjian pinjaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)

ditandatangani atas nama Daerah oleh Kepala Daerah dan pemberi pinjaman.

(5) Agar setiap orang dapat mengetahuinya, setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh Daerah diumumkan dalam Lembaran Daerah.

Pasal 12

(1) Untuk memperoleh pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat, Daerah mengajukan usulan kepada Menteri Keuangan disertai surat persetujuan DPRD, studi kelayakan dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk dilakukan evaluasi.

(2) Perjanjian pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan Kepala Daerah.

Pasal 13

(1) Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui Pemerintah Pusat.

(2) Untuk memperoleh Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Daerah mengajukan usulan

Page 249: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Otonomi Daerah dan APBD

217

pinjaman kepada Pemerintah Pusat disertai surat persetujuan DPRD, studi kelayakan, dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan.

(3) Terhadap usulan Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pemerintah Pusat melakukan evaluasi dari berbagai aspek untuk dapat tidaknya menyetujui usulan tersebut.

(4) Apabila Pemerintah Pusat telah memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pemerintah Daerah mengadakan perun-dingan dengan calon pemberi pinjaman yang hasilnya dilaporkan untuk mendapatkan persetujuan Pemerintah Pusat.

(5) Daerah dapat melakukan Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri, setelah terlebih daluhu mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.

(6) Perjanjian Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri ditanda-tangani oleh Kepala Daerah dengan pemberi pinjaman luar negeri.

BAB VI

PEMBAYARAN KEMBALI PINJAMAN DAERAH

Pasal 14 (1) Semua pembayaran yang menjadi kewajiban Daerah yang jatuh tempo

atas Pinjaman Daerah merupakan prioritas dan dianggarkan dalam pengeluaran APBD.

(2) Pembayaran kembali Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri oleh Daerah, dilakukan dalam mata uang sesuai yang ditetapkan dalam perjanjian pinjaman luar negeri.

(3) Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Pusat memperhitungkan kewajiban tersebut dengan Dana Alokasi Umum kepada Daerah.

(4) Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri, maka kewajiban tersebut diselesaikan sesuai perjanjanjian pinjaman.

BAB VII

PEMBUKUAN DAN PELAPORAN

Pasal 15

(1) Semua penerimaan dan kewajiban dalam rangka Pinjaman Daerah dicantumkan dalam APBD dan dibukukan sesuai dengan standar akuntansi keuangan Pemerintah Daerah.

(2) Keterangan tentang semua Pinjaman Jangka Panjang dituangkan dalam lampiran dari dokumen APBD.

(3) Kepala Daerah melaporkan kepada DPRD secara berkala dengan tembusan kepada Menteri Keuangan tentang perkembangan jumlah kewajiban Pinjaman Daerah dan tentang pelaksanaan dalam rangka memenuhi kewajiban pinjaman yang telah jatuh tempo.

Page 250: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

218

BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 16

(1) Perjanjian Pinjaman Daerah yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dapat tetap tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama sampai berakhirnya pelunasan pembayaran pinjaman.

(2) Perjanjian Pinjaman Daerah yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, atas kesepakatan bersama antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dapat dilakukan pengaturan kembali berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd

ABDURRAHMAN WAHID Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 10 November 2000 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd DJOHAN EFENDI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 204 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I, Tambon V. Nahattands

Page 251: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Administrasi Pelaksanaan Anggaran Negara

219

10 Administrasi Pelaksanaan Anggaran Negara

Anggaran negara, baik anggaran rutin maupun anggaran pembangunan, merupakan bagian dari pembiayaan negara yang pengelolaan dan pengendaliannya mengikuti peraturan pelaksanaan yang ditetapkan oleh negara. Peraturan ini termasuk dalam lingkup ilmu administrasi pembangunan. Ilmu administrasi pembangunan adalah ”ilmu” dan ”seni” tentang bagaimana suatu sistem administrasi negara dilakukan, sehingga dengan demikian sistem administrasi tersebut mampu menyelenggarakan berbagai fungsi umum pemerintahan dan pembangunan secara efisien dan efektif.1)

Untuk menertibkan dan mengendalikan penerimaan dan pengeluaran anggaran negara yang menjadi tanggung jawab pemerintah, diciptakan peraturan perundangan yang mampu mengatur pengelolaan penerimaan dan pengeluaran anggaran secara efisien dan efektif. Dalam UUD 1945 pasal 23 ayat (4) disebutkan bahwa “hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang”. Undang-Undang yang mengatur keuangan negara selama ini sebagian masih mengacu kepada Undang-Undang Keuangan yang diterbitkan pada jaman Kolonial Belanda yang dikenal dengan Indische Comtabiliteits Wet (ICW). ICW ini masih dianggap sebagai payung

1) Mustopadidjaja A. R.., Administrasi Pembangunan, Teori, Masalah dan

Kebijaksanaan, Analisa Kebijaksanaan Administrasi Negara dan Pembangunan (Kumpulan tulisan), Jakarta, 1986.

Page 252: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

220

bagi peraturan perundangan tentang keuangan negara, termasuk keputusan-keputusan presiden tentang pedoman pelaksanaan APBN.

Sejak Repelita I sampai tahun 2002, Indonesia telah mengalami 16 kali perubahan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pedoman Pelaksanaan APBN, yakni:

(1) Keputusan Presiden RI. Nomor 33 Tahun 1969 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1969/1970.

(2) Keputusan Presiden RI. Nomor 24 Tahun 1970 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1970/1971.

(3) Keputusan Presiden RI. Nomor 28 Tahun 1971 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1971/1972.

(4) Keputusan Presiden RI. Nomor 11 Tahun 1972 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1972/1973.

(5) Kepurusan Presiden Nomor 17 Tahun 1973 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1973/1974.

(6) Keputusan Presiden RI. Nomor 7 Tahun 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1974/1975.

(7) Keputusan Presiden RI. Nomor 14 Tahun 1975 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1975/1976.

(8) Keputusan Presiden RI. Nomor 12 Tahun 1976 tentang Pelaksanaan APBN.

(9) Keputusan Presiden RI. Nomor 14 Tahun 1979 tentang Pelaksanaan APBN.

(10) Keputusan Presiden RI. Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pelaksanaan APBN.

(11) Keputusan Presiden RI. Nomor 18 Tahun 1981 tentang Penyempurnaan Keputusan Presiden RI. Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pelaksanaan APBN.

(12) Keputusan Presiden RI. Nomor 29 tahun 1984 tentang Pelaksanaan APBN.

(13) Keputusan Presiden RI. Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN.

Page 253: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Administrasi Pelaksanaan Anggaran Negara

221

(14) Keputusan Presiden RI. Nomor 24 Tahun 1995 tentang Perubahan atas penyempurnaan Kepusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN.

(15) Keputusan Presiden RI. Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(16) Keputusan Presiden RI. Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Keputusan Presiden tentang pelakanaan APBN ini mengatur pedoman pelaksanaan anggaran belanja rutin, pedoman pelaksanaan anggaran belanja pembangunan dan pedoman pelaksanaan anggaran dalam lingkungan Departemen Pertahanan Keamanan.

Dalam Keppres tersebut pada umumnya diatur pula tata cara: a) penerimaan anggaran, b) pengeluaran anggaran, c) penatausahaan dan pengawasan anggaran, d) pedoman pelaksanaan anggaran rutin, dan e) pedoman pelaksanaan anggaran pembangunan.

PENGORGANISASIAN ANGGARAN NEGARA

Anggaran negara, seperti yang ditetapkan dengan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, berlaku mulai 1 Januari sampai 31 Desember. Setelah melampaui batas akhir tahun anggaran, maka anggaran negara tahun bersangkutan tidak berlaku lagi, atau dengan kata lain anggaran itu menjadi “hangus”. Oleh karena itu, wajar apabila pada akhir batas tahun anggaran masih ada sisa anggaran, baik sisa anggaran rutin (SIAR) maupun sisa anggaran pembangunan (SIAP). Sejak Repelita I sampai Repelita VI, proses SIAR dan SIAP menjadi “hangus” mengalami penyempurnaan terus-menerus. Dalam perjalanan tahun anggaran SIAR dan SIAP tersebut pernah mengalami “hangus” setelah masa 3 (tiga) tahun berakhirnya tahun anggaran. Kemudian beberapa tahun berikutnya diperbaiki menjadi hanya 2 (dua) tahun setelah tahun berakhir, kemudian disempurnakan lagi menjadi 2 (dua) tahun dan setahun sampai pada akhirnya SIAR dan SIAP hangus tepat pada akhir tahun anggaran. Keputusan terakhir ini, disamping pihak dapat mempercepat

Page 254: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

222

pelaksanaan pembangunan dan memacu pemimpin proyek untuk bekerja keras, tetapi di lain pihak dapat mendorong pemimpin proyek untuk melaksanakan pembangunan yang terkesan terburu-buru dan tidak efisien yang disebabkan kekhawatiran besarnya dana yang hangus.

Apa yang dimaksud dengan “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam tahun anggaran” adalah mencakup:2) (a) semua penerimaan negara yang diperoleh dari sumber-sumber perpajakan dan bukan perpajakan yang selama tahun anggaran yang bersangkutan dimasukkan ke Rekening Kas Negara, diperhitungkan antarbagian anggaran, dibukukan pada rekening-rekening tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan diterima oleh perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; (b) semua pengeluaran negara untuk membiayai penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang selama tahun anggaran yang bersangkutan dikeluarkan dari Rekening Kas Negara, diperhitungkan antarbagian anggaran, dibukukan pada rekening-rekening tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan dikeluarkan oleh perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; (c) semua penerimaan dan pengeluaran negara sebagai akibat penarikan dan atau pemberian pinjaman oleh pemerintah.

Seluruh penerimaan dan pengeluaran itu dilakukan melalui Rekening Kas Negara.

Dokumen Pembiayaan

Seluruh pengeluaran negara dilaksanakan dengan menggunakan dokumen pembiayaan yang disebut Daftar Isian Proyek (DIP) atau dokumen lain yang dipersamakan. DIP adalah dokumen yang digunakan sebagai alat perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Dengan dokumen DIP, pengeluaran negara dapat terkontrol dari penggunaannya juga mengarah pada tujuan atau sasaran yang tercantum dalam Repeta.

Dalam pelaksanaan anggaran negara dalam Orde Lama, dokumen-dokumen seperti ini belum ada, sehingga banyak sekali 2) Keputusan Presiden R. I. Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara

Page 255: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Administrasi Pelaksanaan Anggaran Negara

223

kelemahan dan kebocoran anggaran negara pada saat itu. Semua pengeluran hanya didasarkan pada keinginan departemen masing-masing.

DIP sebagai alat perencanaan.

Semua kegiatan yang akan dilaksanakan telah disusun secara tertulis dalam dokumen DIP atau dokumen yang disamakan, sehingga pemimpin proyek hanya melaksanakan kegiatan apa yang telah tercantum dalam dokumen ini. Perencanaan kegiatan, baik itu item, volume maupun pembiayaannya direncanakan oleh biro perencanaan di departemen masing-masing dan bukan oleh pemimpin proyek.

DIP sebagai alat pelaksanaan.

Untuk mencapai tujuan proyek, pemimpin proyek melaksanakan secara disiplin dan mengikuti urutan yang telah ditentukan, serta jangka waktu yang telah ditentukan pula. Pemimpin proyek yang tidak disiplin mengikuti urutan kegiatan yang ditentukan dalam DIP akan mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan proyek, baik fisik maupun pembiyaannya.

DIP sebagai alat pengawasan.

Perencanaan dikatakan baik apabila diikuti dengan pengawasan yang terus menerus. Pengawasan dilakukan untuk menyamakan antara pelaksanaan dan perencanaan. DIP yang telah diterbitkan sangat efektif untuk membantu pengawasan, misalnya sampai sejauh mana pelaksanaan menyimpang dari rencananya. Penyimpangan itu bisa dilihat dari sudut programnya, jumlah item dalam program, volume masing-masing item maupun biaya untuk setiap item yang telah ditentukan standarnya. Apabila sifat perencanaan itu sangat kaku, maka perbedaan sekecil apapun dianggap sebagai penyimpangan. Tetapi perencanaan dalam DIP masih diberikan kelonggaran yang sangat luwes, sehingga selama penyimpangan tersebut tidak melebihi persentase tertentu, masih dapat ditolerir. Hal ini disebabkan karena wilayah Republik Indonesia yang sangat luas dan masing-masing daerah memiliki ciri-ciri pembangunan yang berbeda sehingga sulit untuk membuat peraturan yang seragam untuk semua daerah.

Page 256: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

224

Page 257: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Administrasi Pelaksanaan Anggaran Negara

225

Page 258: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

226

Dokumen anggaran yang disebut DIP pada umumnya memuat data-data, seperti: (a). departemen/lembaga yang bertanggung jawab; (b) kode proyek; (c) nama proyek; (d) anggaran proyek; (e) lokasi proyek; (f) nama dan kode kantor pembayar; (g) tahun proyek dimulai dan tahun penyelesaian; (h) tujuan pembangunan proyek; (i) sasaran proyek; (j) bagian proyek dan tolok ukur.

Pemimpin proyek berkewajiban untuk mengelola proyek yang bersangkutan berdasarkan isi yang telah ditentukan dalam dokumen proyek tersebut. Apabila terjadi penyimpangan, maka hal itu harus disetujui terlebih dahulu oleh pejabat yang berhak atau yang telah menandatangani dokumen bersangkutan. Pemimpin proyek juga dibekali dengan peraturan perundangan setingkat keputusan presiden, yaitu Keppres tentang pelaksanaan anggaran negara yang mencakup penerimaan dan pengeluaran. Pada prinsipnya Keppres ini memuat ketentuan tentang:

a. Pengeluaran yang tidak dapat dibiayai dari anggaran negara b. Ketentuan tentang menyetorkan semua penerimaan negara

dan sanksi apabila terjadi kelambatan dalam penyetoran tersebut

c. Perubahan/revisi anggaran yang telah dicantumkan dalam Daftar Isian Proyek atau Daftar Isian Kegiatan

d. Perjalanan dinas yang dibiayai dari anggaran negara e. Dana perimbangan f. Pelaksanaan pelelangan yang transparan g. Proyek-proyek dibawah lingkungan Hankam h. Pemantauan dan pengawasan

Pemimpin proyek, selain dibekali dengan Keppres tentang pelaksanaan APBN, juga dibekali dengan pedoman tentang satuan harga. Pedoman satuan harga ini dimaksudkan agar pemimpin proyek mempunyai ancar-ancar dalam penentuan biaya dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Dengan keberadaan pedoman standar harga ini, pemimpin proyek dapat melaksanakan proyeknya dengan kemungkinan adanya kelebihan dana akibat selisih antara anggaran yang dicantumkan di dalam DIP dengan yang tercantum dalam standar harga. Kelebihan ini harus dikembalikan kepada negara. Sebaliknya dapat pula terjadi kekurangan dana karena jumlah yang tercantum di dalam dokumen anggaran lebih kecil dibandingkan

Page 259: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Administrasi Pelaksanaan Anggaran Negara

227

dengan standar harga, sehingga proyek atau kegiatan itu tidak dapat dilaksanakan. Dalam kedua kasus tersebut terjadilah perubahan anggaran, di satu pihak berupa kelebihan dan di lain pihak berupa kekurangan dana.

Dokumen-dokumen anggaran tadi (DIP, DIPP, DIK) setelah selesai dibahas oleh Direktur Jenderal Anggaran disampaikan kepada: (a) Menneg. Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas cq. Deputi Pembiayaan; (b) Menteri/pimpinan lembaga pemerintah non-departemen yang bersangkutan; (c) KPKN; (d) Bakun; (e) PPDIA; (f) BPK; (g) Gubernur/Bupati/ Walikota cq. Bappeda Provinsi/Bappeda Kabupaten/Kota; (h) Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan.

Sehubungan dengan desentralisasi DIP yang telah selesai dibahas di daerah, dokumen pembiayaan itu disampaikan kepada alamat yang sama oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran.

Organisasi Pengelola Anggaran Negara

Untuk melaksanakan anggaran, menteri/pimpinan lembaga yang menguasai bagian anggaran menerbitkan otorisasi. Setiap tahun anggaran menteri/pimpinan lembaga menetapkan pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani Surat Keputusan Otorisasi (SKO).

Seluruh penerimaan negara pada departemen/lembaga harus disetor sepenuhnya dan pada waktunya ke rekening kas negara, yang dibukukan menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Jumlah yang dimuat dalam anggaran belanja negara merupakan batas tertinggi untuk tiap-tiap pengeluaran. Pelaksanaan pengeluaran anggaran belanja negara dilakukan seefisien mungkin, dan untuk itu diusahakan adanya standarisasi. Termasuk dalam standarisasi adalah harga satuan pelbagai jenis barang dan kegiatan yang ditetapkan secara berkala oleh menteri/pimpinan lembaga teknis terkait. Pejabat yang bertanggung jawab atas penguasaan anggaran adalah Menteri Keuangan.

Untuk mengamankan penerimaan dan pengeluaran negara, ada dua macam pejabat atau instansi yang berfungsi sebagai otorisator dan ordonatur. Otorisator berwenang untuk mengatur pengeluaran

Page 260: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

228

anggaran negara, walaupun yang bersangkutan tidak dapat menguasainya secara langsung.

Dalam proses pengaturan anggaran negara, otorisator -- dalam hal ini adalah Menteri Keuangan -- menerbitkan Surat Keputusan Otorisasi (SKO). Dengan SKO, yang dokumen aslinya diterima oleh ordonatur, yang tersebut terakhir ini sudah mempunyai peluang untuk menggunakan uang. SKO adalah jumlah penyediaan kredit anggaran untuk keperluan pelaksanaan anggaran, baik anggaran rutin maupun anggaran pembangunan.

Pemimpin Proyek

Pemimpin proyek adalah pejabat yang diangkat oleh pimpinan departemen/lembaga/gubernur atau pejabat yang ditunjuk, atas nama menteri/pimpinan lembaga bersangkutan yang bertanggung jawab untuk memimpin dan menjalankan proyek yang bersangkutan. Pejabat yang ditunjuk untuk menjabat pemimpin proyek ditetapkan dalam surat keputusan pimpinan departemen/lembaga/gubernur atau pejabat yang ditunjuk atas nama menteri/pemimpin lembaga yang bertanggung jawab pada proyek yang bersangkutan, yang nama serta jabatannya tercantum dalam dokumen DIP.

Seorang pemimpin proyek menduduki jabatan struktural paling tinggi eselon III di departemen/lembaga atau daerah. Dia adalah orang yang mampu memperkirakan biaya proyek dan mengkoordinasikan pelaksanaan proyek secara profesional. Oleh karena itu, pemimpin proyeklah yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan proyek yang dipimpinnya.

Untuk melaksanakan proyek, pemimpin proyek telah dibekali dengan beberapa dokumen sebagai pedoman pelaksanaan antara lain: Pertama, Daftar Isian Proyek/Kegiatan (DIP/K) atau yang setingkat dengan itu. Dokumen proyek ini memuat secara rinci kegiatan apa yang dilakukan beserta sasaran, biaya, lokasi, dan waktu pelaksanaannya. Pemimpin proyek tidak dapat menyimpang dari batasan-batasan yang tercantum dalam dokumen anggaran tersebut, termasuk menggunakan dana yang berlebih dari hasil pelaksanaan proyek yang lebih efisien; Kedua, standar harga sebagai pedoman biaya suatu kegiatan pengadaan barang/jasa. Tujuannya adalah agar para pemimpin proyek tidak melaksanakan proyek di atas harga yang

Page 261: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Administrasi Pelaksanaan Anggaran Negara

229

telah ditetapkan dalam dokumen standar harga untuk mencegah kebocoran di dalam pelaksanaannya; Ketiga, Keppres tentang Pelaksanaan APBN yang memuat tata cara penggunaan anggaran negara.

Bendaharawan

Dalam organisasi pengelola pengeluaran anggaran, baik anggaran rutin maupun anggaran pembangunan, dikenal adanya jabatan ”bendaharawan”. Bendaharawan adalah pejabat yang ditunjuk untuk menjalankan pengurusan dan penyimpanan sebagian kekayaan negara berupa uang dan barang, untuk unit organisasi maupun proyek, yang diangkat oleh pimpinan departemen/lembaga atas nama menteri/ pimpinan lembaga yang bertanggung jawab terhadap proyek yang bersangkutan. Bendaharawan bertugas menerima, menyimpan dan membayar uang atas perintah dari ordonatur.

Dalam hal ini kita mengenal 3 (tiga) jenis bendaharawan, yaitu: Pertama, Bendaharawan Umum Negara (BUN), adalah bendaharawan dalam pengertian satuan kerja di Bank Indonesia dan bank-bank pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima dan menyimpan semua penerimaan negara, serta mengeluarkannya atas perintah Menteri Keuangan; Kedua, Bendaharawan Khusus untuk Pengeluaran Tertentu, adalah bendaharawan anggaran rutin dan bendaharawan proyek pembangunan. Bendaharawan anggaran rutin bertugas untuk menerima, menyimpan dan mengeluarkan uang atas dasar perintah dari kepala unit kerjanya, atau kepala kantor. Sedangkan bendaharawan proyek pembangunan adalah bendaharawan yang ditugasi untuk menerima, menyimpan dan mengeluarkan uang atas perintah pemimpin proyek. Bendaharawan proyek pembangunan adalah pembantu pemimpin proyek dalam bidang pengurusan kas proyek yang berkewajiban untuk: (a) menjaga agar proyek cukup mempunyai persediaan kas; (b) mengusahakan agar pada waktu yang tepat mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) kepada Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN); (c) mempertanggung-jawabkan dan mengamankan kas dari kerugian yang diakibatkan oleh pencurian, ketekoran, kesalahan membayar, dan lain-lain; serta (e) menyusun laporan keadaan kas pembangunan; Ketiga, Bendaharawan Penerima adalah bendaharawan yang ditugasi untuk menerima, dan

Page 262: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

230

menyetorkan uang kepada kas negara pada hari-hari yang sudah ditentukan.

Pelaksanaan Anggaran Negara

Pemimpin proyek baru dapat memulai kegiatannya apabila: DIP atau Dokumen operasional telah diterima; Petunjuk Operasional telah diterima; SK penunjukkan pemimpin dan bendaharawan proyek oleh pimpinan departemen/lembaga/gubernur atau pejabat yang ditunjuk telah dikeluarkan.

Apabila DIP yang bersangkutan merupakan proyek lanjutan, maka pencantuman pejabat pemimpin proyek dan bendaharawan proyek di dalam DIP sudah dianggap sama dengan SK. Dalam hal ini, yang bersangkutan sudah dapat mulai melaksanakan proyeknya.

Pentahapan Pelaksanaan Proyek

Dalam pelaksanaan proyek/kegiatan, tahap yang harus dilalui antara lain: Pertama, menyiapkan gambar desain yang dilakukan oleh konsultan desain; Kedua, pemilihan konsultan supervisi; Ketiga, pelaksanaan kontruksi pekerjaan sipil yang dilakukan oleh rekanan kontraktor

Pelelangan

Melaksanakan kegiatan dengan dana yang bersumber dari keuangan negara tidak sama dengan melaksanakan kegiatan dengan dana masyarakat. Dana yang bersumber dari keuangan negara harus dikelola dengan tertib dan adil serta terbuka. Oleh karena itu, prosedur pelelangan merupakan hal yang penting dalam rangka mendapatkan rekanan yang akan membangun proyek atau kegiatan itu secara adil dan terbuka.

Pada prinsipnya, pelaksanaan pengadaan barang dan jasa menurut Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan R.I. dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas

Nomor S.42/A/2000 Nomor S.22.62 D-2/05/2000

Page 263: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Administrasi Pelaksanaan Anggaran Negara

231

tentang petunjuk teknis pengadaan barang/jasa Instansi Pemerintah, dapat dilakukan melalui: (1) pelelangan; (2) pemilihan langsung; (3) penunjukkan langsung; dan (4) swakelola.

Pelelangan adalah pengadaan barang/jasa yang dilakukan secara terbuka untuk umum dengan pengumuman secara luas melalui media cetak dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum serta bilamana dimungkinkan melalui media elektronik, sehingga masyarakat luas/dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya. Bila calon penyedia barang/jasa diketahui terbatas jumlahnya karena karakteristik, kompleksitas atau kecanggihan teknologi pekerjaannya, dan atau kelangkaan tenaga ahli atau terbatasnya perusahaan yang mampu melaksanakan pekerjaan tersebut, pengadaan barang/jasa tetap dilakukan dengan cara pelelangan.

Pemilihan Langsung adalah pengadaan barang/jasa tanpa melalui pelelangan dan hanya diikuti oleh penyedia barang/jasa yang memenuhi syarat, yang dilakukan dengan cara membandingkan penawaran dan melakukan negosiasi, baik teknis maupun harga, sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.

Pengadaan barang/jasa melalui pemilihan langsung didasarkan atas kriteria:

Pengadaan barang/jasa merupakan penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat dan masih dimungkinkan untuk menggunakan proses pemilihan langsung; dan atau

Menyangkut pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara yang ditetapkan oleh Presiden; dan atau

pengadaan barang/jasa yang setelah dilakukan pelelangan ulang, ternyata jumlah penyedia barang/jasa yang lulus prakualifikasi atau yang memasukan penawaran kurang dari 3 (tiga) peserta.

Penunjukkan Langsung adalah pengadaan barang/jasa dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) penyedia barang/jasa.

Page 264: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

232

Penunjukkan langsung dapat dilakukan untuk pengadaan barang/jasa dalam hal:

a. Keadaan tertentu, yaitu:

pengadaan barang/jasa merupakan penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda, atau harus dilakukan segera, termasuk penanganan darurat akibat bencana alam, dan atau

menyangkut pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara yang ditetapkan oleh Presiden, dan atau

merupakan pekerjaan yang berskala kecil dengan nilai maksimum Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan: untuk keperluan sendiri; dan atau menggunakan teknologi sederhana; dan atau mengandung resiko kecil; dan atau dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa usaha perorangan dan atau badan usaha kecil/koperasi kecil.

b. Bersifat khusus yaitu:

pekerjaan berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah; atau

pekerjaan/barang bersifat spesifik yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu penyedia barang/jasa, pabrikan, pemegang hak paten; atau

pekerjaan/barang/jasa merupakan hasil produksi usaha kecil atau koperasi kecil atau pengrajin industri kecil yang telah mempunyai pasar dan harga yang relatif mantap; atau

jenis pekerjaan yang seluruhnya dilaksanakan oleh kelompok swadaya masyarakat setempat; atau

pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan atau hanya ada satu penyedia barang/jasa yang mampu mengaplikasikannya.

Page 265: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Administrasi Pelaksanaan Anggaran Negara

233

Swakelola adalah pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan dan diawasi sendiri dengan menggunakan tenaga sendiri, alat sendiri, atau upah borongan tenaga.

Pekerjaan yang dapat dilakukan dengan swakelola adalah:

pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak dapat dilakukan dengan cara pelelangan atau pemilihan langsung atau penunjukkan langsung; atau

pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ditentukan terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa akan menanggung resiko yang besar; atau

pekerjaan berupa penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya, atau penyuluhan; atau

pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) yang bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/metode kerja yang belum dapat dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa; atau

pekerjaan khusus yang bersifat pemrosesan data, perumusan kebijaksanaan pemerintah, pengujian di laboratorium, pengembangan sistem tertentu dan penelitian oleh perguruan tinggi/lembaga ilmiah pemerintah.

Pengelolaan Panitia Pengadaan

Untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa dibentuk panitia pengadaan yang beranggotakan sekurang-kurangnya 5 (lima) orang yang terdiri dari perencana, pengelola keuangan, pengelola barang/jasa dan ahli hukum kontrak atau yang menguasai administrasi kontrak.

Untuk hal-hal yang bersifat teknis, dapat diikutsertakan pejabat dari instansi teknis yang berwenang.

Harga Perkiraan Sendiri (HPS)

Pengguna barang/jasa wajib memiliki HPS yang dikalkulasikan secara keahlian. HPS disusun sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran termasuk rinciannya dan untuk menetapkan besaran

Page 266: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

234

tambahan nilai jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang dinilai terlalu rendah, tetapi tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan penawaran.

Jenis kegiatan proyek dapat dibagi dalam beberapa macam:

a. Kegiatan-kegiatan yang berupa bangunan fisik

b. Pengadaan barang/jasa

c. Kegiatan-kegiatan non fisik. Kegiatan non fisik ini misalnya:

(1) penyelenggaraan pendidikan

(2) pengadaan jasa konsultan

(3) penyelenggaraan penelitian

Walaupun ketentuannya harus dilelang, tetapi ada beberapa kriteria yang memperbolehkan penunjukkan secara langsung selama memenuhi syarat-syarat antara lain sebagai berikut:

Pekerjaan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi berhubung dengan telah terjadinya bencana alam berdasarkan pernyataan gubernur bersangkutan.

Pelaksanaan penunjukkan, seperti pemasangan listrik daerah, pemasangan telepon oleh PT Telekomunikasi, pemasangan gas oleh Perusahaan Gas Negara, pemasangan saluran air oleh PDAM, pembangunan rumah dinas oleh Perum Perumnas, percetakan oleh Perum Percetakan Negara, penelitian dan pemrosesan data oleh Universitas Negeri atau Lembaga Ilmiah Pemerintah.

Untuk pekerjaan lanjutan dari bangunan yang telah ada harga standar dengan menggunakan satuan harga menurut harga yang berlaku pada tahun anggaran bersangkutan dan secara teknis merupakan satu kesatuan kontruksi yang tidak dapat dipecah-pecah dari pekerjaan terdahulu satu dan lain berdasarkan pendapat unsur teknis secara tertulis.

Untuk pekerjaan lanjutan dari pekerjaan yang tidak ada harga standarnya, tetapi sehubungan dengan homogenitasnya perlu

Page 267: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Administrasi Pelaksanaan Anggaran Negara

235

dijaga kontinuitas pelaksanaannya, sesuai dengan pendapat instansi yang kompeten secara tertulis.

Apabila sifat kebutuhannya hanya dapat dipenuhi oleh rekanan tertentu yang menjual barang-barang bersangkutan (barang spesifik) atau yang dapat melaksanakan pekerjaan spesifik.

Pelelangan dinyatakan gagal apabila harga standar dilampaui dan dana yang tersedia tidak mencukupi. Kecuali itu ketidakwajaran harga yang ditawarkan juga dapat menggagalkan pelelangan.

Pengadaan Konsultan

Tata cara pengadaan konsultan dan pengadaan rekanan pekerjaan sipil lainnya pada pokoknya dapat dilakukan melalui undangan internasional atau undangan nasional dengan cara: Pertama, pelelangan dengan sistem dua sampul. Kedua, pemilihan langsung.

Pelelangan dengan Sistem Dua Sampul yang dimaksud adalah pengajuan usulan dilakukan dengan dua sampul. Sampul pertama berisi usulan teknis disertai dengan persyaratan administrasinya, dan sampul kedua berisi usulan biaya.

Satuan Harga

Dalam melaksanakan belanja negara dibuat standarisasi untuk kegiatan, termasuk harga satuannya. Standarisasi harga satuan tersebut digunakan untuk menyusun pembiayaan kegiatan-kegiatan yang diusulkan dalam dokumen anggaran. Dalam penyusunan standarisasi, digunakan data dasar yang bersumber dari penerbitan resmi Badan Pusat Statistik, departemen/lembaga dan pemerintah daerah. Penetapan standarisasi itu perlu dilakukan secara berkala oleh Menteri Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan menteri/pimpinan lembaga terkait untuk standarisasi harga satuan umum, satuan biaya langsung personil dan non-personil untuk kegiatan jasa konsultasi.

Standarisasi harga satuan pokok kegiatan setiap departemen/ lembaga disusun oleh menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan. Sedangkan untuk kegiatan harga satuan pokok daerah provinsi/ kabupaten/kota disusun oleh gubernur/bupati/walikota dengan

Page 268: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

236

memperhatikan pertimbangan dari instansi terkait. Standarisasi harga satuan bangunan gedung negara untuk keperluan dinas, seperti kantor, rumah dinas, gudang, gedung rumah sakit, gedung sekolah dan sebagainya disusun oleh bupati/walikota.

Revisi DIP

Perubahan atau pergeseran biaya dalam satu program atau antar-DIP instansi pusat departemen/lembaga diputuskan oleh Direktur Jenderal Anggaran berdasarkan usulan Sekretaris Jenderal atau pejabat yang ditunjuk. Perubahan/pergeseran biaya dalam satu program atau antar DIP instansi vertikal departemen/lembaga diputuskan oleh kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Anggaran berdasarkan usulan dari kepala kantor/satuan kerja bersangkutan apabila meliputi satu kantor atau satuan kerja. Kalau perubahan/ pergesaran tersebut meliputi lebih dari satu kantor/satuan kerja, maka revisi tersebut diputuskan oleh kepala kantor wilayah departemen/ lembaga/direktorat jenderal yang bersangkutan.

Perubahan/pergeseran biaya antar program dalam satu sub sektor dan atau dalam satu kantor/satuan kerja tingkat pusat departemen/ lembaga, maka perubahan tersebut diputuskan oleh Menteri Keuangan, berdasarkan usulan departemen yang bersangkutan.

PENYALURAN DANA

Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dapat disalurkan melalui lembaga:

(1) Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, yaitu unit organisasi di bawah naungan Departemen Keuangan.

(2) Perbankan.

Seperti disebutkan dalam bab terdahulu dana APBN (pengeluaran pembangunan) dapat dipergunakan untuk beberapa tujuan, yaitu: (1) investasi langsung; (2) tranfer untuk bantuan pembangunan daerah; dan (3) penyertaan modal pemerintah. Sesuai dengan jenis-jenis tujuan tersebut, maka mekanisme penyaluran dana pun bervariasi menurut macam-macam kegiatannya: (1) kegiatan-kegiatan yang menggunakan dokumen DIP dan DIPP; (2) kegiatan yang

Page 269: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Administrasi Pelaksanaan Anggaran Negara

237

menggunakan dokumen SPABP; dan (3) kegiatan yang menggunakan RAB.

Realisasi pencairan dana anggaran dilakukan dengan mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) kepada Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Dengan SPP itu KPKN menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM). Dalam hal SPP untuk UYHD (Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan), SPM disampaikan langsung kepada bendaharawan. Sedangkan dalam hal Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPPLS), SPM asli disampaikan kepada bank rekanan, sementara salinannya disampaikan kepada bendaharawan.

Dalam hal anggaran rutin dan pembangunan yang pelaksanaannya dilakukan melalui dokumen anggaran seperti Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar Isian Proyek (DIP), dokumen-dokumen itu dipersamakan sebagai SKO. Dengan demikian untuk mencairkan uang negara terdapat bendungan-bendungan pengendalian, seperti SKO yang diterbitkan oleh ordonatur, SPP yang diterbitkan oleh bendaharawan, dan SPM yang diterbitkan oleh KPKN.

Mekanisme Penyaluran Dana

Dalam sistem anggaran Indonesia, dikenal istilah UYHD (uang yang harus dipertanggungjawabkan). UYHD adalah uang muka yang diterima bendaharawan untuk membiayai pengeluaran anggaran Departemen/Lembaga/Instansi sehari-hari dalam jumlah relatif kecil yang selanjutnya harus dipertanggungjawabkan. Dalam pengajuan permintaan anggran oleh pimpinan proyek ada dua jenis permintaan, yaitu: (1) permintaan untuk UYHD, dan (2) permintaan untuk keperluan lumpsum atau pengeluaran yang dipergunakan untuk pembayaran kepada pihak ketiga sesuai dengan pertahapannya. Jenis permintaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Permintaan pencairan dana oleh pemimpin proyek untuk UYHD dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

(1) Pemimpin proyek mengajukan surat permintaan pembayaran kepada KPKN, dilampiri bukti-bukti yang telah ditentukan.

Page 270: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

238

(2) KPKN menerbitkan SPM yang ditujukan pada bank operasional.

(3) Bank operasional mentransfer dana ke rekening proyek.

(4) Pemimpin proyek bersama-sama dengan bendaharawan mencairkan dana yang bersangkutan untuk kebutuhan yang diperlukan.

b. Permintaan untuk keperluan lumpsum

(1) Pihak ketiga atau rekanan mengajukan permintaan pembayaran kepada pemimpin proyek yang disertai dengan kuitansi-kuitansi bukti serah terima, bukti pembayaran serta kontraktor.

(2) Pemimpin proyek mengajukan surat permintaan pembayaran (SPP) kepada KPKN.

(3) KPKN menerbitkan surat perintah membayar (SPM) kepada bank operasional.

(4) Bank operasional mentransfer uang langsung kepada rekening pihak ketiga.

Pelaksanaan Penyaluran Dana Perimbangan

Di muka telah disebutkan bahwa dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan tersebut terdiri dari: (1) dana bagi hasil, terdiri dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan, pajak penghasilan, dan penerimaan dari sumber daya alam, (2) dana alokasi umum, dan (3) dana alokasi khusus.

Untuk penyaluran dana perimbangan ini, Menteri Keuangan menerbitkan Surat Keputusan Otorisasi (SKO) atau dokumen lain yang diberlakukan sebagai SKO. SKO yang sudah mendapatkan pengesahan disampaikan kepada: (a) Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); (b) Gubernur/Bupati/Walikota; (c) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; (d) Kepala Badan

Page 271: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Administrasi Pelaksanaan Anggaran Negara

239

Akuntansi Keuangan Negara; (e) Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan; (f) Direktur Informasi dan Evaluasi Anggaran; (g) Kepala Kantor Wilayah Ditjen. Anggaran dan (h) Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.

Dana perimbangan ini dapat diperhitungkan langsung untuk disetor ke rekening kas negara apabila pemerintah daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran kepada Pemerintah Pusat.

Dana pembinaan, dana untuk pembianaan, pemantauan dan evaluasi atas penggunaan dana perimbangan tersebut dilakukan oleh Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri.

Pertanggungjawaban dan Pengawasan Pelaksanaan Anggaran

Pemimpin proyek wajib menyelenggarakan pembukuan atas uang yang dikelolanya dan penatausahaan barang yang dikuasainya, serta membuat laporan pertanggungjawaban mengenai pengelolaan uang dan barang yang dikuasainya kepada kepala instansi vertikal atasannya. Sedangkan untuk penggunaan dana perimbangan gubernur/bupati/walikota menyampaikan laporan realisasi triwulanan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Sekretaris Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, serta Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran setempat. Menteri/pimpinan lembaga wajib menyelenggarakan pertanggung-jawaban penggunaan dana kepada bagian anggaran yang dikuasainya, berupa realisasi anggaran dan neraca departemen/lembaga bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Keuangan.

Page 272: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

282

Glosarium asumsi

Suatu variabel yang dianggap tidak berubah, dengan tujuan agar suatu teori mempunyai kemampuan untuk meramalkan. Misalnya jumlah permintaan barang dan jasa yang meningkat akan menyebabkan harga meningkat dengan asumsi penawaran barang dan jasa tersebut tetap.

backward dan forward linkage Hubungan antar program/proyek yang menggambarkan bahwa dengan adanya investasi dalam suatu program/proyek, maka yang diuntungkan adalah program/proyek yang mensuplai input untuk program/proyek itu karena tersedia pasarannya, dan juga program/proyek yang menggunakan output dari program/poyek yang dibangun tersebut, karena program/proyek itu mendapatkan input yang lebih murah (forward linkage)

bantuan teknis Pinjaman yang biasanya berupa jasa konsultan dari negara donor untuk kebutuhan penelitian, seperti pembiayaan tenaga ahli yang dipekerjakan di Indonesia.

built operation and transfer (BOT) Perjanjian antara 2 instansi atau badan hukum, pihak pertama mempunyai sebidang tanah dan pihak kedua sanggup membangun gedung di atas tanah milik pihak pertama, dengan perjanjian bahwa dalam jangka waktu tertentu pihak kedua akan mengoperasikan gedung tersebut dan selanjutnya setelah dalam jangka waktu tertentu, gedung yang dibangun oleh pihak kedua menjadi milik pihak pertama.

buku biru Daftar isian tentang proyek-proyek yang diusulkan untuk mendapatkan pinjaman luar negeri.

Page 273: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Glosarium

283

consultative group on Indonesia (CGI) Suatu kelompok negara-negara yang ingin membantu membiayai program pembangunan Indonesia yang dikoordinasikan oleh Bank Dunia.

dana alokasi umum (DAU) Dana yang ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN untuk daerah.

defisit Jumlah pengeluaran seseorang atau negara yang melebihi jumlah penerimaannya.

dekonsentrasi Pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah.

desentralisasi Penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya.

devisa Cadangan dalam bentuk uang asing di luar negeri yang berasal dari surplus neraca pembayaran.

dewan legislatif

Dewan Perwakilan Rakyat

DIPDA Daftar Isian Proyek Daerah

DUP Daftar Usulan Proyek

eselon Tingkatan dalam struktur pegawai negeri, misalnya yang tertinggi adalah dari mulai eselon Ia sampai eselon IVd.

Page 274: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

284

eskalasi

Tambahan anggaran proyek yang sedang berjalan di atas yang telah disetujui karena sesuatu hal yang di luar kemampuan pihak pendorong, misalnya akibat kebijakan moneter oleh pemerintah.

feasibility study Lihat studi kelayakan

incremental capital output ratio (ICOR) Ratio antara jumlah kapital dengan pertambahan pendapatan yang diperoleh. ICOR biasanya dinyatakan dengan angka tanpa nama, misalnya ICOR = 3. ICOR digunakan dalam perencanaan makro untuk memperkirakan jumlah investasi yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tertentu. Rumus yang diperkenalkan oleh Harrod dan Domar yaitu ICOR = K/Y, dimana K adalah jumlah modal dan Y adalah pertambahan pendapatan.

inter governmental group on Indonesia (IGGI) Kelompok negara-negara yang ingin membantu membiayai program rehabilitasi dan stabilisasi di Indonesia.

indifference curve Kurva yang menggamberkan bahwa titik-titik di sepanjang kurva tersebut menunjukkan kombinasi 2 buah barang yang mempunyai tingkat kepuasan yang sama.

inflasi Suatu keadaan dimana terjadi kenaikan harga umum secara terus menerus. Inflasi ini biasanya diukur dengan persentase (%), yaitu persentase tingkat harga umum tahun/bulan ini dibanding dengan tahun/bulan sebelumnya.

initial deposit Pengajuan permintaan penarikan pertama

inkind Dalam wujud barang

inovasi Penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknolgi, termasuk penemuan produk baru, pembukaan pasar baru, dan

Page 275: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Glosarium

285

sebagainya.

investasi Penanaman modal dalam satu usaha yang diharapkan dapat mendatangkan tambahan pendapatan di masa yang akan datang.

kantor wilayah Kantor perwakilan departemen di daerah

komisi Kelompok wakil-wakil rakyat yang terdiri dari perwakilan fraksi-fraksi dalam DPR yang membidangi masalah tertentu.

kredit ekspor Pinjaman luar negeri yang berasal dari perbankan luar negeri kepada pemerintah Indonesia dengan persyaratan yang tidak lunak.

letter of credit (L/C) Suatu surat/dokumen yang dikeluarkan oleh bank atas permintaan importir langganan bank luar negeri yang menjadi relasi importir yang bersangkutan, yang memberi hak kepada eksportir itu untuk menarik wesel-wesel atas importir yang bersangkutan atas sejumlah uang yang disebutkan dalam surat itu.

London inter bank official rate (LIBOR) Tingkat bunga yang dikenakan oleh bank-bank penting di London dalam pinjam-meminjam diantara mereka.

money supply Atau uang beredar adalah kewajiban moneter sektor swasta domestik, dalam pengertian sempit terdiri atas uang kartal dan uang giral, sedangkan secara luas terdiri atas uang kartal, uang giral, dan uang kuasi.

musbang desa Musyawarah di kalangan masyarakat desa yang membicarakan pembangunan di desanya.

no objection letter (NOL) Peringatan dari pihak negara pemberi pinjaman mengenai tidak keberatannya atas hal-hal yang tercantum dalam loan agreement.

Page 276: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

286

otonomi Hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri.

pendapatan asli daerah (PAD) Pendapatan daerah yang bersumber dari : (1) hasil pajak daerah, (2) hasil retribusi daerah, (3) hasil perusahaan daerah, dan (4) lain-lain usaha daerah.

pajak Uang yang dibayarkan oleh warga negara dalam jumlah yang telah ditetapkan kepada negara karena warga negara tersebut telah menikmati fasilitas yang telah dibangun.

produk domestik bruto (PDB) Jumlah balas jasa untuk faktor-faktor produksi yang dalam kegiatan ekonomi berupa upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan, termasuk pajak tidak langsung dan pungutan.

pendapatan riil Pendapatan yang diukur dengan barang yang diperoleh

pengeluaran pembangunan Pengeluaran dari APBN yang dipergunakan untuk pembangunan proyek-proyek.

pengeluaran rutin Pengeluaran dari APBN yang dipergunakan untuk mempertahankan kelangsungan pemerintahan.

pinjaman proyek Pinjaman luar negeri yang digunakan untuk pengadaan barang dan peralatan

pinjaman program Pinjaman atau hibah yang bertujuan untuk menunjang neraca pembayaran dan menunjang anggaran pembangunan, yang diterima dalam wujud rupiah.

pledge Ancar-ancar jumlah pinjaman yang akan disetujui dalam sidang CGI

Page 277: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Glosarium

287

propenas Rencana program pembangunan nasional jangka menengah

reimbursement Penggantian uang yang telah dibayarkan.

replanishment Permintaan pengisian kembali rekening khusus

rupiah murni Dana yang berasal dari penerimaan dalam negeri

sanering Usaha pemerintah untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dengan cara memotong nilai nominal uang yang telah dikeluarkan.

satuan 2 Matriks yang menggambarkan jumlah alokasi APBN (rupiah) pada masing-masing unit organisasi departemen/lembaga menurut sektor, sub sektor dan program.

satuan 3 Daftar proyek pembangunan dan alokasi biaya menurut departemen/ lembaga. Satuan 3 ini merupakan pagu tertinggi untuk masing-masing proyek.

satuan 3A Penjelasan penggunaan alokasi biaya untuk masing-masing program. Biasanya satuan 2, 3, dan 3A adalah tersusun dalam satu kesatuan buku.

sektor program loan Pinjaman yang berasal dari Pemerintah Jepang yang cirinya sama dengan pinjaman program.

sentralisasi Kegiatan yang dikoordinasi atau dilaksanakan di pusat.

shopping List Daftar keinginan

sisa anggaran pembangunan (SIAP) Sisa anggaran pembangunan yang telah dialokasikan tetapi

Page 278: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

288

tidak digunakan karena ada sesuatu hal.

suppliers credit Lihat kredit ekspor

studi kelayakan Suatu penelitian bahwa suatu proyek layak untuk dilaksanakan dilihat dari aspek teknis, komersial, dan lain-lain.

tahun anggaran Tahun yang dimulai pada waktu Pemerintah mulai menetapkan anggaran negara untuk jangka waktu 12 bulan. Contoh : - Indonesia, 1 Januari s.d. 31 Desember - Kenya, 1 Juli s.d 30 Juni - Nepal, 15 Juli s.d 14 Juni - Swedia, 1 Juli s.d 30 Juni - Thailand, 1 Oktober s.d 30 September - Korea Selatan, 1 Januari s.d 31 Desember - Philipina, 1 Juli s.d 30 Juni - Turki, 1 Maret s.d 28/29 Februari

tingkat bunga Harga dari penggunaan uang atau dapat dipandang sebagai sewa atas uang untuk jangka waktu tertentu.

transparansi Keterbukaan, semua tindakan atau kegiatan yang harus diketahui oleh masyarakat.

Page 279: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

289

Daftar Singkatan ABT Anggaran Belanja Tambahan ADB Asian Development Bank AIDAP Australian International Development Assistance

Bureau APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APD Aplikasi Penarikan Dana BAKN Badan Adminstrasi Kepegawaian Negara BBM Bahan Bakar Minyak BLT Built Lease Transfer BOO Built Own Operate BOT Built Operate Transfer BPKP Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan BTO Built Transfer Operate BUMD Badan Usaha Milik Daerah BUMN Badan Usaha Milik Negara BUN Bendahara Umum Negara CGI Consultative Government of Indonesia CIDA Canadian International Development Agency DAK Dana Alokasi Khusus DAU Dana Alokasi Umum DIP Daftar isian Proyek DIPDA Daftar Isian Proyek Daerah DIPP Daftar Isian Pembiayaan Proyek DPD Dana Pembangunan Daerah DPR Dewan Perwakilan Rakyat DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DRD Dana Rutin Daerah DSCR Debt Service Coverage Ratio DUP Daftar Usulan Proyek FAO Food and Agriculture Organizations FK Fasilitator Kecamatan

Page 280: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Daftar Singkatan

290

GBHN Garis-Garis Besar Haluan Negara GTZ Gesellschaft fur Technische Zusammenarbit HSBGN Harga Satuan Bangunan/Gedung Negara HSPK Harga Satuan Pokok Kegiatan HSU Harga Satuan Umum IAEA International Atomic Energy Agency ICOR Incremental Capital Output Ratio IDB Islamic Development Bank IDT Inpres Desa Tertinggal IFAD International Fund for Agriculture Development IGGI Inter Governmental Group on Indonesia IHPH Iuran Hak Pengusahaan Hutan ILO International Labour Organizatios JICA Japan International Cooperation Fund JPS Jaring Pengaman Sosial KFW Kredithustalt Fur Wiederaufbau KPBJ Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa KPKN Kantor Perbendaraan Kas Negara L/C Letter of Credit LIBOR London Inter Bank Offer Rate LK Lembaran Kerja LKMD Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa LPND Lembaga Pemerintah Non Departemen NIB Nordic Investment Bank NPPHLN Naskah Perjanjian Pinjaman/Hibah Luar Negeri P3DT Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal PAD Pendapatan Asli Daerah PADS Pendapatan Asli Daerah Sendiri PBB Pajak Bumi dan Bangunan PDB Produk Domestik Bruto PEMD Pengembangan Ekonomi Masyarakat Desa PjOK Penanggung jawab Operasional Kegiatan PKK Pembinaan Kesejahteraan Keluarga PMT/AS Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah POLRI Polisi Republik Indonesia PPH Pajak Penghasilan PPK Program Pengembangan Kecamatan PPN Pajak Pertambahan Nilai RAPBD Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Page 281: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

291

SKP Surat Kuasa Pembebasan SKU Surat Keputusan Otorisasi SP3 Surat Permintaan Pembiayaan Pendahuluan SPATI Sekolah Pendidikan Administrasi Tingkat Tinggi SPKPBJ Surat Persetujuan Kontrak Pengadaan Barang dan

Jasa SPMP Surat Perintah Membayar Pengesahan SPM-PP Surat Perintah Membayar Pembiayaan Pendahuluan SPP Surat Permintaan Pembayaran SPPK Surat Permintaan Persetujuan Kontrak SPPLS Surat Permintaan Pembayaran Langsung SWOT Streght, Weakness, Opportunity, Threath TOR Term Of Reference TTD Tenaga Teknis Desa UDKP Unit Daerah Kerja Pembangunan UNCHS United Nations Central for Human Settlement UNDP United Nations Development Program UNESCO United Nations Education, Scientific and Cultural

Organizatios UNICEF United Nations Childrens Fund UNIDO United Nations Industrial Development Organizations UPK Unit Pengelola Kecamatan USAID US Agency for International Development UU Undang-Undang UUD Undang-Undang Dasar

Page 282: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

292

Daftar Pustaka

Baghevli, Bijan and Mochsin S. Khan, Inflationary Finance and The

Dynamics of Inflation in Indonesia, 1951/72 (paper), June 1977. Barnhart, Clarence L. and Robert Barnhart, The World Book

Dictionary, (Chicago: Childcraft International Inc., 1978). Baron, Robert A. and Doma Byrne, Social Psychology, (Allyn and

Bacon, 1994). Browning, Edgar K. and Jacquelene M. Browning, Public Finance

and the Price System, (New York: MacMillan Publishing Co., Inc. 1979)

Barro, Robert J., Macroeconomics, (Harvard University: John Willey

and Sons, Inc., 1990) Boediono, Pembenahan Institusi Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi

(Keynote Speech, disampaikan pada Kongres Ikatan Alumni Australia ke-1 di Jakarta, 20 Maret 1999)

Boulding, Kenneth E., Economic Analysis, (New York: Harver and

Brothers, 1955) Bryson, John M., Strategic Planning for Public and Nonprofit

Organizations (San Fransisco: Jossey-Bass Publishers 1991)

Page 283: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Daftar Pustaka

293

Crouch, Robert L., Macroeconomics, (New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1971)

Direktorat Jenderal Anggaran, Dari Masa ke Masa 1966-1969

(Jakarta, 1999) Disraeli, Benyamin, The Secret of Access is Constancy to Purpose

(Paper), 1998 Djojohadikoesoemo, Soemitro (penyunting) dalam Kumpulan

Pemikiran Desentralisasi Dalam Pelaksanaan Manajemen Pembangunan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989)

Djojohadikoesoemo, Soemitro, Pelaksanaan Rencana Perindustrian

Pemerintah (Jakarta : Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, FE-UI, 1999

Dror, Y., “The Planning Process”, International Review of

Administrative Sciences, vol. 29, No. 1. Due, John F., Government Finance, (Homewood, Illinois: Richard D.

Irwin, Icn., 1963) Executive Summary dan Sistem Penggajian Cerdas Dalam Rangka

Menciptakan Clean Government dan Good Governance, Jakarta, 20 September 1999

Hemming, Richard, Daniel P. Hewitt, and G. A. Mackenzie, Public

Expenditure Handbook, (Washington DC: IMF, 1991) Hill, Hal, Ekonomi Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2001) Hyman, David N., Public Finance, (London: Dryden Press, 1999) Ilchman, Warren F. & Norman Thomas Uphoff, The Political

Economy of Change, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1971)

Page 284: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

294

IMF, Unproductive Public Expenditure, (Washington DC: Fiscal Affair Department IMF, 1995)

Keputusan Presiden R. I. Nomor 17 Tahun 2000, tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Koran Tempo, Ekonomi dan Bisnis, Rabu, 30 Mei 2001 Kristiadi, J. B., “Administrasi Pembangunan dan Administrasi

Daerah”, Penataan Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah bagi pejabat Eselon I dan Wakil Gubernur, LAN RI, 1991

Kristiadi, J. B., Masalah Sekitar Peningkatan Pendapatan Daerah

(Prisma No. 12, 1985) Kulhaq, Mahbub, The Poverty Curtain, Choises for the Third World,

(New York: Columbia University Press, 1976) Kunarjo, “Perencanaan Operasional Tahunan” Makalah dalam

Kursus Pendidikan Perencanaan Nasional Angkatan XXX, LPEM UI, 27 Juni 2001

Kunarjo, Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan

(Jakarta: UI Press, 2002) Layard, P. R. G. and A. A. Walters, Microeconomic Theory, (New

York: McGraw-Hill Book Company, 1978) Lee, Robert D., Jr and Ronald W. Johnson, Public Budgeting System,

(Gaithersburg, Maryland: An Aspen Publication, 1998) Lewis, Verne B., Reflections on Budget Systems, Public Bugdet, and

Finance, Vol. 8, 1988

Majelis Permusyawaratan Rakyat R.I., (Garis-Garis Besar Haluan

Negara 1999-2004) Manor, James, The Political Economy of Democratic

Page 285: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Daftar Pustaka

295

Decentralization, (Washington DC: The World Bank, 1999) Mattulada, Paper Seminar “Desentralisasi Dalam Pelaksanaan

Manajemen Pembangunan” Jakarta, 10 Oktober 1988 Mawardi, Oentarto Sindung, “Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi

Daerah: Permasalahan dan Penanganan”, Ceramah Acara Diskusi Kebijakan Desentra-lisasi dan Otonomi Daerah dalam Jangka Panjang, (Jakarta, Nopember 2002)

Mubyarto, Ekonomi dan Keadilan Sosial (Yogyakarta: Aditya Media

1995) Mulia, Bunga Rampai Keuangan Daerah (Jakarta: Tamita Raya,

1987) Musgrave, Richard A. and Peggy B. Musgrave, Public Finance in

Theory and Practice, (New York: Inc Grawhill Book Company, 1980)

Mustopadidjaja A. R., Administrasi Pembangunan, Teori, Masalah

dan Kebijaksanaan, Analisa Kebijaksanaan Administrasi Negara dan Pembangunan (Kumpulan tulisan), Jakarta, 1986

Nurske, Ragnar, Some International Aspect of the Problem of

Economic Development, The Economics of Under Development, (London: Oxford University Press,1973)

O’Toole, J. Vanguard Management (New York: Doubleday 1985) Osborne, David and Peter Plastrik, Banishing Bureaucracy, (Addison-

Wesley Publishing Company, Inc., 1997) Osborne, David and Ted Gaebler, Reinventing Government, (New

York: A. Plume Book, 1992) Papanek, Gustav F., ”Technical Assistance”, dalam Readings on

Taxation in Developing Countries, Richard Bird dan Oliver Oldman (Eds.), (Baltimore: The John Hopkins Press, 1975)

Page 286: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

296

Papanek, Gustav F., Ekonomi Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 1987) Pennock, J. Roland & Smith, David G., Political Science, (New York:

The Mac-millan Company, 1964) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2000

Tentang Dana Perimbangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2000

tentang Pinjaman Daerah Perry, George L., “Understanding World Inflation”, The American

Economic Review, May 1975 Poole, Kenyon E., Public Finance and Economic Welfare, (New

York: Rinehart & Company, Inc., 1956) Premchand, A., Government Budgeting and Expenditure Control,

International Monetary Fund, (Washington DC, 1983) Rachbini, Didik J., Ekonomi Politik Utang, Harian Kompas, 4 Juli

2001 Rubin, Irene S., The Politics of Public Budgeting, (New York–

London: Chatham House Publicers, 1997) Samuelson, Paul A. and William D. Nordhaus, Economics, (London:

Irwin McGraw-Hill, 1998) Sekretariat Jenderal DPR RI, Peraturan Tata Tertib Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 1999)

Shaviro, Daniel, Do Deficits Matter?, (Chicago: The University of

Chicago Press, 1997) Siagian, Faisal, ”Demokratisasi dalam Perspektif Negara dan Civil

Society”, Otonomi dan Demokratisasi, Analisis CSIS, tahun

Page 287: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Daftar Pustaka

297

XXIII, No. 4, Juli-Agustus 1994 Sidik, Machfud, “Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai

Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal”, Seminar Setahun Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia (Yogyakarta: 13 Maret 2002)

Siregar, Muhtarudin, Pinjaman Luar Negeri dan Pembiayaan

Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1990)

Steiner, George A., Strategic Planning, The Free Press (London:

Collien Macmillan Publishers, 1979) Stephen R., Jr., Lewis, The Structure of Import and Export Taxes,

makalah (William College, 1979) Sumodiningrat, Gunawan, Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring

Pengaman Sosial, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999)

Sumodiningrat, Gunawan, Responsi Pemerintah Terhadap

Kesenjangan Ekonomi, (Jakarta: PerPod, 2001) Swasono, Sri Edi, Fauzie Ridjal (penyunting), Moh. Hatta, Demokrasi

Kita Bebas Aktif dan Ekonomi Masa Depan (Jakarta: UI Press, 1992)

Tim Wartawan Kompas, I. J. Kasimo, Hidup dan Perjuangannya

(Jakarta : PT Gramedia, 1980) Todaro, Michael P., Economic Development in the Third World, (New

York: Longman, 1978) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Uppal, J. S., The Indonesian Tax Structure, Ekonomi dan Keuangan

Indonesia, EKI Vol. XXXIV No. 1, 1986

Page 288: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

298

Wildavsky, Aaron and Naomi Caiden, The New Politics of The Budgetary Process, (New York: Longman, 1997)

Wildavsky, Aaron, Budgeting, (Boston: Little, Brown & Company,

1975)

Page 289: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Lampiran

299

Tahun Anggaran Di Berbagai Negara Negara Tahun Angggaran Afganistan 21/22 Maret – 20/21 Maret Afrika Selatan 1 April – 31 Maret Algeria 1 Januari – 31 Desember Arab Saudi 15 Oktober – 14 Oktober Argentina 1 Januari – 31 Desember Australia 1 Juli – 30 Juni Austria 1 Januari – 31 Desember Bahama 1 Januari – 31 Desember Bahrain 1 Januari – 31 Desember Bangladesh 1 Juli – 30 Juni Barbados 1 April – 31 Maret Belgia 1 Januari – 31 Desember Bolivia 1 Januari – 31 Desember Bostwana 1 April – 31 Maret Brazilia 1 Januari – 31 Desember Burundi 1 Januari – 31 Desember Chad 1 Januari – 31 Desember Chili 1 Januari – 31 Desember Cina 1 Juli – 30 Juni Costa Rica 1 Januari – 31 Desember Cyprus 1 Januari – 31 Desember Dahomey 1 Januari – 31 Desember Denmark 1 April – 30 Maret Ekuador 1 Januari – 31 Desember El Salvador 1 Januari – 31 Desember Ethiophia 8 Juli – 7 Juli Fiji 1 Januari – 31 Desember Finlandia 1 Januari – 31 Desember Gabon 1 Januari – 31 Desember Gambia 1 Juli – 30 Juni Ghana 1 Juli – 30 Juni

Page 290: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

300

Negara Tahun Angggaran Guatemala 1 Januari – 31 Desember Guinea 1 Oktober – 30 September Guyana 1 Januari – 31 Desember Haiti 1 Oktober – 30 September Honduras 1 Januari – 31 Desember India 1 April – 31 Maret Indonesia 1 Januari – 31 Desember Inggris 1 April – 31 Maret Iran 31 Maret – 30 Maret Iraq 1 April – 31 Maret Irlandia 1 April – 31 Maret Islandia 1 Januari – 31 Desember Israel 1 April – 31 Maret Italia 1 Januari – 31 Desember Ivory Coast 1 Januari – 31 Desember Jamaica 1 April – 30 Maret Jepang 1 April – 30 Maret Jerman 1 Januari – 31 Desember Jordania 1 Januari – 31 Desember Kamboja 1 Januari – 31 Desember Kamerun 1 Juli – 30 Juni Kanada 1 April – 31 Maret Kenya 1 Juli – 30 Juni Kolombia 1 Januari – 31 Desember Korea Selatan 1 Januari – 31 Desember Kuwait I April – 31 Maret Laos 1 Juli – 30 Juni Lebanon 1 Januari – 31 Desember Leshotho 1 April – 31 Maret Liberia 1 Januari – 31 Desember Luxembourg 1 Januari – 31 Desember Malawi 1 April – 31 Maret Malaysia 1 Januari – 31 Desember Mali 1 Januari – 31 Desember Malta 1 April – 31 Maret Maroko 1 Januari – 31 Desember Mauritania 1 Januari – 31 Desember Mauritus 1 Juli – 30 Juni

Page 291: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Lampiran

301

Negara Tahun Angggaran Mesir 1 Januari – 31 Desember Mexico 1 Januari – 31 Desember Muangthai 31 September – 30 September Nederland 1 Januari – 31 Desember Nepal 15/16 Juli – 14/15 Juli New Zealand 1 April – 31 Maret Nicaragua 1 Januari – 31 Desember Niger 1 Oktober – 30 September Nigeria 1 April – 31 Maret Norwegia 1 Januari – 31 Desember Oman 1 Januari – 31 Desember Pakistan 1 Juli – 30 Juni Panama 1 Januari – 31 Desember Paraguay 1 Januari – 31 Desember Perancis 1 Januari – 31 Desember Persat. Emirat Arab 1 Januari – 31 Desember Peru 1 Januari – 31 Desember Pilipina 1 Juli – 30 Juni Portugal 1 Januari – 31 Desember Rep. Afrika Tengah 1 Januari – 31 Desember Rep. Arab Libia 1 Januari – 31 Desember Rep. Arab Yaman 1 Juli – 30 Juni Rep. Demo. Yaman 1 April – 31 Maret Rep. Dominika 1 Januari – 31 Desember Rep. Malagasi 1 Januari – 31 Desember Rep. Rakyat Kongo 1 Januari – 31 Desember Rumania 1 Januari – 31 Desember Rwanda 1 Januari – 31 Desember Samoa Barat 1 Januari – 31 Desember Senegal 1 Juli – 30 Juni Sierra Leone 1 Juli – 30 Juni Singapura 1 April – 31 Maret Somalia 1 Januari – 31 Desember South Africa 1 April – 31 Maret Spanyol 1 Januari – 31 Desember Sri Lanka 1 Januari – 31 Desember Sudan 1 Juli – 30 Juni Swaziland 1 April – 31 Maret

Page 292: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

302

Negara Tahun Angggaran Swedia 1 Juli – 30 Juni Syria 1 Januari – 31 Desember Tanzania 1 Juli – 30 Juni Togo 31 Desember – 30 Desember Trinidad & Tobago 1 Januari – 31 Desember Tunisia 1 Januari – 31 Desember Turki 1 Maret – 28/29 Februari Uganda 1 Juli – 30 Juni Upper Volta 1 Juli – 30 Juni Uruguay 1 Januari – 31 Desember Venezuela 1 Januari – 31 Desember Vietnam 1 Januari – 31 Desember Yanmar 31 September – 30 September Rep. of Yogoslavia 1 Januari – 31 Desember Yunani 1 Januari – 31 Desember Zaire 1 Januari – 31 Desember Zambia 1 Januari – 31 Desember

Page 293: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Lampiran

303

Tabel Sektor/Sub Sektor/Program APBN 2002

KODE SEKTOR/SUB SEKTOR/PROGRAM 2002

01 01.1 01.1.01 01.1.02 01.1.03 02 02.1 02.1.01 02.1.02 02.2 02.2.01 02.2.02 02.3 02.3.01 02.3.02 03 03.1 03.1.01 03.1.02 03.2 03.2.01 03.2.02 04 04.1 04.1.01

SEKTOR INDUSTRI Sub Sektor Industri Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Program Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri Program Penataan Struktur Industri SEKTOR PERTANIAN, KEHUTANAN, KELAUTAN DAN PERIKANAN Sub Sektor Pertanian Program Pengembangan Agribisnis Program Peningkatan Ketahanan Pangan Sub Sektor Kehutanan Program Pembangunan dan Pembinaan Kehutanan Program Pengembangan Usaha Perhutanan Rakyat Sub Sektor Kelautan dan Perikanan Program Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Program Pengembangan Sumber Daya Perikanan SEKTOR PENGAIRAN Sub Sektor Pengembangan dan Pengelolaan Pengairan Program Pengembangan, Pendayagunaan dan Pengelolaan Pengairan Program Pengendalian Banjir dan Konservasi Sumber-sumber Air Sub Sektor Pemanfaatan Jaringan Pengairan Program Pengembangan Jaringan Irigasi dan Reklamasi Rawa Program Pengusahaan Sumber-Sumber Air dan Penyediaan Air Baku SEKTOR TENAGA KERJA Sub Sektor Tenaga Kerja Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja

Page 294: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

304

KODE SEKTOR/SUB SEKTOR/PROGRAM 2002

04.1.02 04.1.03 05 05.1 05.1.01 05.1.02 05.2 05.2.01 05.2.02 05.3 05.3.01 05.3.02

Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Tenaga Kerja SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN DAN KOPERASI Sub Sektor Perdagangan Dalam Negeri Program Pengembangan Distribusi Nasional Program Pengembangan Usaha dan Lembaga Perdagangan Sub Sektor Perdagangan Luar Negeri Program Peningkatan Kerjasama Ekonomi Luar Negeri Program Pengembangan Ekspor Sub Sektor Pengembangan Usaha Nasional Program Pengembangan dan Pembinaan Usaha Nasional Program Persaingan Usaha dan Perlindungan Konsumen

05.4 05.4.01 05.4.02 05.5 05.5.01 05.5.02 06 06.1 06.1.01 06.1.02 06.1.03 06.2 06.2.01 06.2.02 06.2.03 06.2.04 06.2.05 06.2.06 06.2.07 06.3 06.3.01 06.3.02

Sub Sektor Keuangan Program Peningkatan Penerimaan Negara Program Pengembangan Kelembagaan Keuangan Sub Sektor Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Program Pengembangan Kewirausahaan dan Daya Saing PKMK Program Pengembangan Sistem Pendukung Usaha PKMK SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI DAN GEOFISIKA Sub Sektor Prasarana Jalan Program Rehabilitasi Transportasi Jalan Program Peningkatan/Pembangunan Transportasi Jalan Program Pengembangan Aksesibilitas Prasarana Jalan Sub Sektor Transportasi Darat Program Pengembangan Lalu Lintas Angkutan Jalan Program Rehabilitasi Transportasi Kereta Api Program Peningkatan/Pembangunan Transportasi Kereta Api Program Pengembangan Aksesibilitas Angkutan Kereta Api Program Rehabilitasi Transportasi Sungai, Danau, dan penyebarangan Program Peningkatan/Pembangunan Transportasi Sungai, Danau, dan Penyeberangan Program Pengembangan Aksebilitas Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Sub Sektor Transportasi Laut Program Rehabilitasi Fasilitas Pelabuhan Program Peningkatan/Pembangunan Fasilitas Pelabuhan

Page 295: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Lampiran

305

KODE SEKTOR/SUB SEKTOR/PROGRAM 2002

06.3.03 06.3.04 06.3.05 06.4 06.4.01 06.4.02 06.4.03 06.4.04 06.4.05 06.5 06.5.01 06.5.02 06.5.03 07 07.1 07.1.01 07.1.02 07.1.03 07.2 07.2.01 07.2.02 07.2.03 07.2.04

Program Rehabilitasi Prasarana Keselamatan Pelayaran Program Peningkatan/Pembangunan Fasilitas Keselamatan Pelayaran Program Pengembangan Aksesibilitas Angkutan Laut Sub Sektor Transportasi Utara Program Rehabilitasi Prasarana Bandar Udara Program Peningkatan/Pembangunan Prasarana Bandar udara Program Rehabilitasi Prasarana Fasilitas Keselamatan Penerbangan Program Peningkatan/Pembangunan Fasilitas Keselataman Penerbangan Program Pengembangan Aksesibilitas Angkutan Udara Sub Sektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan Penyelamatan Program Pengembangan Meteorologi dan Geofisika Program Pengembangan Pencarian dan Penyelamatan Program Restrukturisasi dan Reformasi Transportasi, Meteorologi, dan Geofisika SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI Sub Sektor Pertambangan Program Pemanfaatan Sumber Daya Mineral Program Pembangunan Pertambangan Program Pengembangan Usaha Pertambangan Rakyat Terpadu Sub Sektor Energi Program Pengembangan Tenaga Listrik Program Pengembangan Listrik Perdesaan Program Pengembangan Tenaga Migas, Batubara dan Energi Lainnya Program Restrukturisasi Bidang Energi

08 08.1 08.1.01 08.1.02 08.2 08.2.01 08.2.02 08.2.03 08.2.04 09 09.1 09.1.01

SEKTOR PARIWISATA, POS, TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Sub Sektor Pariwisata Program Pemasaran Pariwisata Program Pengembangan Produk Wisata Sub Sektor Pos, Telekomunikasi dan Informatika Program Pengembangan Pos dan Giro Program Pengembangan Telekomunikasi Program Pengembangan Informatika Program Restrukturisasi dan Reformasi Pos, Telekomunikasi dan Informatika SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH Sub Sektor Otonomi Daerah Program Pengembangan Otonomi Daerah

Page 296: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

306

KODE SEKTOR/SUB SEKTOR/PROGRAM 2002

09.2 09.2.01 09.2.02 09.2.03 09.2.04 10 10.1 10.1.01 10.1.02 10.1.03 10.1.04 10.1.05 10.2 10.2.01 10.2.02 11 11.1 11.1.01 11.1.02 11.1.03 11.1.04 11.2 11.2.01 11.3 11.3.01 11.4 11.4.01

Sub Sektor Pengembangan Wilayah dan Pemberdayaan Masyarakat Program Pengembangan Wilayah Program Transmigrasi Program Penanganan Daerah Khusus Program Pemberdayaan Masyarakat SEKTOR SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP, DAN TATA RUANG Sub Sektor Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Program Pengembangan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam Program Pencegahan Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum dalam Pelestarian Lingkungan Hidup Sub Sektor Tata Ruang dan Pertanahan Program Penataan Ruang Program Pengelolaan Pertanahan SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN NASIONAL, PEMUDA DAN OLEH RAGA Sub Sektor Pendidikan Program Pendidikan Dasar dan Pra-Sekolah Program Pendidikan Menengah Program Tinggi Program Sinkronisasi dan Koordinasi Pembangunan Pendidikan Nasional Sub Sektor Pendidikan Luar Sekolah Program Pendidikan Luar Sekolah Sub Sektor Kebudayaan Nasional Program Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Sub Sektor Pemuda dan Olah Raga Program Peningkatan Partisipasi Pemuda

11.4.02 11.4.03 11.4.04

Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Kepemudaan Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Olah Raga Program Pemasyarakatan Olah Raga dan Kesegaran Jasmani

Page 297: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Lampiran

307

KODE SEKTOR/SUB SEKTOR/PROGRAM 2002

11.4.05 12 12.1 12.1.01 12.1.02 12.1.03 12.1.04 12.1.05 13 13.1 13.1.01 13.1.02 13.1.03 13.2 13.2.01 13.2.02 13.2.03 13.2.04 13.2.05 13.2.06 13.3 13.3.01 13.3.02 14 14.1 14.1.01 14.1.02 14.2 14.2.01 15 15.1 15.1.01

Program Pemanduan Bakat, Pembibitan dan Peningkatan Prestasi Olah Raga SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA Sub Sektor Kependudukan dan Keluarga Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Kependudukan Program Pemberdayaan Masyarakat Program Keluarga Berencana Program Kesehatan Reproduksi Remaja Program Penguatan Kelembagaan dan Jaringan KB SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Sub Sektor Kesejahteraan Sosial Program Pengembangan Potensi Kesejahteraan Sosial Program Peningkatan Kualitas Manajemen dan Profesionalisme Pelayanan Sosial Program Pengembangan Keserasian Kebijakan Publik dan Penanganan Masalah-Masalah Sosial Sub Sektor Kesehatan Program Lingkungan Sehat, Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat Program Upaya Kesehatan Program Perbaikan Gizi Masyarakat Program Sumber Daya Kesehatan Program Obat, Makanan dan Bahan Berbahaya Program Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Kesehatan Sub Sektor Pemberdayaan Perempuan Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Pemberdayaan Perempuan Program Peningkatan Peran Masyarakat dan Pemampuan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender SEKTOR PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN Sub Sektor Perumahan dan Pemukiman Program Pengembangan Perumahan Program Pengembangan Prasarana dan Sarana Permukiman Sub Sektor Perkotaan Program Pengembangan Perkotaan SEKTOR AGAMA Sub Sektor Pelayanan Kehidupan Beragama Program Peningkatan Pelayanan Kehidupan Beragama

Page 298: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

308

KODE SEKTOR/SUB SEKTOR/PROGRAM 2002

15.1.02 15.2 15.2.01 15.2.02

Program Peningkatan Pemahaman dan Pengamalan Agama serta Kerukunan Hidup Umat Beragama Sub Sektor Pembinaan Pendidikan Olah Raga Program Peningkatan Kualitas Pendidikan Agama Program Pembinaan Lembaga-Lembaga Sosial Keagamaan dan Lembaga Pendidikan Tradisional Keagamaan

16 16.1 16.1.01 16.1.02 16.2 16.2.01 16.2.02 16.3 16.3.01 16.3.02 16.4 16.4.01 17 17.1 17.1.01 17.2 17.2.01 17.2.02 17.2.03 18 18.1 18.1.01 18.1.02 18.1.03 18.1.04 18.2 18.2.01

SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI Sub Sektor Pelayanan dan Pemanfaatan Imu Pengetahuan dan Teknologi Program Peningkatan Iptek Dunia Usaha dan Masyarakat Program Diseminasi Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sub Sektor Penelitian dan PengembangnIlmu Pengetahuan Dan Teknologi Program Pengembangan IlmuPengetahuan dan Teknologi Program Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sub Sektor Kelembagaan, Prasarana dan Sarana IPTEK Program Peningkatan Kemandirian dan Keunggulan IPTEK Program Peningkatan Kapasitas dan Pengembangan Kemampuan Sumber Daya IPTEK Sub Sektor Statistik Program Penyempurnaan dan Pengembangan Statistik SEKTOR HUKUM Sub Sektor Pembinaan Hukum Nasional Program Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Sub Sektor Pembinaan Aparatur Negara Program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum Lainnya Program Penuntasan Kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta Pelanggaran HAM Program Peningkatan Kesadaran Hukum dan Pengembangan Budaya Hukum SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN Sub Sektor Aparatur Negara Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan Program Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Negara Sub Sektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan Program Pengawasan Aparatur Negara

Page 299: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Lampiran

309

KODE SEKTOR/SUB SEKTOR/PROGRAM 2002

19 19.1 19.1.01 19.1.02 19.1.03 19.2 19.2.01 19.2.02 19.3 19.3.01 19.3.02 19.3.03

SEKTOR POLITIK DALAM NEGERI, HUBUNGAN LUAR NEGERI, INFORMASI DAN KOMUNIKASI Sub Sektor Politik Dalam Negeri Program Perbaikan Struktur Politik Program Peningkatan Kualitas Proses Politik Program Pengembangan Budaya Politik Sub Sektor Hubungan Luar Negeri Program Politik Luar Negeri dan Diplomasi Program Peningkatan Kerjasama Internasional Sub Sektor Informasi dan Komunikasi Program Pengembangan Informasi, Komunikasi dan Media Massa Program Peningkatan Prasarana Penyiaran, dan Media Massa Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Informasi Pembangunan

20 20.1 20.1.01 20.1.02 20.1.03 20.1.04 20.1.05 20.2 20.2.01 20.2.02

SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN Sub Sektor Pertahanan Program Pengembangan Pertahanan TNI Program Pengembangan Pertahanan Darat Program Pengembangan Pertahanan Laut Program Pengembangan Pertahanan Udara Program Pengembangan Dukungan Pertahanan Sub Sektor Keamanan Program Pengembangan Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Program Pengembangan Keamanan Dalam Negeri

Page 300: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

310

Lampiran

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 29 TAHUN 2002 TENTANG

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2003

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun

Anggaran 2003 merupakan pelaksanaan dari dan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) Tahun 2003 sebagai penjabaran dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000–2004 yang merupakan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004, yang disesuaikan dengan perkembangan situasi terakhir dalam dan luar negeri;

b. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2003 yang disusun berdasarkan anggaran defisit, perlu ditutup dengan sumber-sumber pembiayaan dari dalam negeri dan luar negeri;

c. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2003 merupakan rencana kerja pemerintahan negara, yang berlaku selama 12 (dua belas) bulan sejak 1 Januari 2003 sampai dengan 31 Desember 2003, dalam rangka memelihara dan meningkatkan hasil-hasil pembangunan tahun-tahun anggaran sebelumnya, serta pelaksanaan desentralisasi fiskal;

d. bahwa untuk menjaga kelangsungan jalannya pembangunan, dipandang perlu diatur sisa lebih pembiayaan anggaran dan sisa kredit anggaran proyek-proyek dalam anggaran pembangunan Tahun Anggaran 2003;

e. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2003 perlu ditetapkan dengan Undang-undang;

Page 301: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Lampiran

311

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4), dan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (5) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-undang Dasar 1945;

2. Ketetapan MajelisPermusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004;

3. Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indische Comptabiliteitswet, Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860);

4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

5. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 - 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 206);

6. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134);

7. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4151);

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2003.

Page 302: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

312

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan:

1. Pendapatan negara dan hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri.

2. Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan yang terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.

3. Pajak dalam negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, cukai, dan pajak lainnya.

4. Pajak perdagangan internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari bea masuk dan pajak/pungutan ekspor.

5. Penerimaan negara bukan pajak adalah semua penerimaan yang diterima negara dalam bentuk penerimaan dari sumber daya alam, bagian pemerintah atas laba badan usaha milik negara, dan penerimaan negara bukan pajak lainnya.

6. Penerimaan hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari sumbangan swasta dalam negeri, dan sumbangan lembaga swasta dan pemerintah luar negeri.

7. Belanja negara adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah.

8. Belanja pemerintah pusat adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.

9. Pengeluaran rutin adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai tugas-tugas umum pemerintahan dan kegiatan operasional pemerintah pusat, pembayaran bunga atas utang dalam negeri, pembayaran bunga atas utang luar negeri, serta pembiayaan subsidi, dan pengeluaran rutin lainnya.

10. Pengeluaran pembangunan adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai proyek-proyek pembangunan

Page 303: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Lampiran

313

yang dibebankan pada anggaran belanja pemerintah pusat.

11. Belanja untuk daerah adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai dana perimbangan, dan dana otonomi khusus dan penyeimbang.

12. Dana perimbangan adalah semua pengeluaran negara yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

13. Dana bagi hasil adalah bagian daerah atas penerimaan pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan sumber daya alam, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta bagian daerah atas Pajak Penghasilan pasal 25 dan Pasal 29 orang pribadi dan Pajak Penghasilan Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

14. Dana alokasi umum adalah semua pengeluaran negara yang dialokasikan kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

15. Dana alokasi khusus adalah semua pengeluaran negara yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan teretntu, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

16. Dana alokasi khusus dan penyeimbang adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan Undang-

Page 304: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

314

undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, serta untuk penyeimbang kekurangan dana alokasi umum untuk beberapa daerah.

17. Sisa Kredit Anggaran adalah sisa kewajiban pembiayaan proyek pembangunan pada akhir Tahun Anggaran.

18. Sisa lebih pembiayaan anggaran adalah selisih lebih antara realisasi pembiayaan dengan realisasi defisit anggaran yang terjadi.

19. Sektor adalah kumpulan subsektor.

20. Subsektor adalah kumpulan program.

21. Pembiayaan defisit adalah semua jenis pembiayaan yang digunakan untuk menutup defisit belanja negara yang bersumber dari pembiayaan dalam negeri dan pembiayaan luar negeri bersih.

22. Pembiayaan dalam negeri adalah semua pembiayaan yang berasal dari perbankan dan nonperbankan dalam negeri yang meliputi hasil privatisasi, penjualan surat utang negara, dan penjualan aset perbankan dalam rangka program restrukturisasi.

23. Pembiayaan luar negeri bersih adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan utang/pinjaman luar negeri yang terdiri dari pinjaman program dan pinjaman proyek, dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok utang/pinjaman luar negeri.

24. Pinjaman program adalah nilai lawan rupiah dari pinjaman luar negeri dalam bentuk pangan dan bukan pangan, serta pinjaman yang dapat dirupiahkan.

25. Pinjaman proyek adalah nilai lawan rupiah dari pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan.

Pasal 2

1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2003 yang memuat pendapatan dan belanja Negara merupakan pelaksanaan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) Tahun 2003.

2. Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) Tahun 2003 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadi Lampiran Undang-undang ini.

Page 305: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Lampiran

315

Pasal 3

(1) Anggaran Pendapatan Negara Tahun Anggaran 2003 diperoleh dari sumber-sumber:

a. Penerimaan perpajakan;

b. Penerimaan negara bukan pajak;

c. Penerimaan hibah.

(2) Penerimaan perpajakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp254.140.200.000.000,00 (dua ratus lima puluh empat triliun seratus empat puluh miliar dua ratus juta rupiah).

(3) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp82.015.327.000.000,00 (delapan puluh dua triliun lima belas miliar tiga ratus dua puluh tujuh juta rupiah).

(4) Penerimaan hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c direncanakan sebesar Rp0,00 (nihil).

(5) Jumlah anggaran pendapatan negara dan hibah Tahun Anggaran 2003 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) direncanakan sebesar Rp336.155.527.000.000,00 (tiga ratus tiga puluh enam triliun seratus lima puluh lima miliar lima ratus dua puluh tujuh juta rupiah).

Pasal 4

(1) Penerimaan perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) terdiri dari:

a. Pajak dalam negeri;

b. Pajak perdagangan internasional.

(2) Penerimaan pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp241.742.400.000.000,00 (dua ratus empat puluh satu triliun tujuh ratus empat puluh dua miliar empat ratus juta rupiah).

(3) Penerimaan pajak perdagangan internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp12.397.800.000.000,00 (dua belas triliun tiga ratus sembilan puluh tujuh miliar delapan ratus juta rupiah).

Page 306: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

316

(4) Rincian penerimaan perpajakan Tahun Anggaran 2003 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) dicantumkan dalam penjelasan ayat ini.

Pasal 5

(1) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) terdiri dari:

a. Penerimaan sumber daya alam;

b. Bagian pemerintah atas laba badan usaha milik negara;

c. Penerimaan negara bukan pajak lainnya.

(2) Penerimaan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp59.395.500.000.000,00 (lima puluh sembilan triliun tiga ratus sembilan puluh lima miliar lima ratus juta rupiah).

(3) Bagian pemerintah atas laba badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp10.414.249.000.000,00 (sepuluh triliun empat ratus empat belas miliar dua ratus empat puluh sembilan juta rupiah).

(4) Penerimaan negara bukan pajak lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c direncanakan sebesar Rp12.205.578.000.000,00 (dua belas triliun dua ratus lima miliar lima ratus tujuh puluh delapan juta rupiah).

(5) Rincian penerimaan negara bukan pajak Tahun Anggaran 2003 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dicantumkan dalam penjelasan ayat ini.

Pasal 6

(1) Anggaran Belanja Negara Tahun Anggaran 2003 terdiri dari:

a. Anggaran belanja pemerintah pusat;

b. Anggaran belanja untuk daerah.

(2) Anggaran belanja pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp253.714.075.000.000,00 (dua ratus lima puluh tiga

Page 307: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Lampiran

317

triliun tujuh ratus empat belas miliar tujuh puluh lima juta rupiah).

(3) Anggaran belanja untuk daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp116.877.704.567.000,00 (seratus enam belas triliun delapan ratus tujuh puluh tujuh miliar tujuh ratus empat juta lima ratus enam puluh tujuh ribu rupiah).

(4) Jumlah Anggaran Belanja Negara Tahun Anggaran 2003 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) direncanakan sebesar Rp370.591.779.567.000,00 (tiga ratus tujuh puluh triliun lima ratus sembilan puluh satu miliar tujuh ratus tujuh puluh sembilan juta lima ratus enam puluh tujuh ribu rupiah).

Pasal 7

(1) Anggaran belanja pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a terdiri dari:

a. Pengeluaran rutin;

b. Pengeluaran Pembangunan.

(2) Pengeluaran rutin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp188.584.275.000.000,00 (seratus delapan puluh delapan triliun lima ratus delapan puluh empat miliar dua ratus tujuh puluh lima juta rupiah).

(3) Pengeluaran Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp65.129.800.000.000,00 (enam puluh lima triliun seratus dua puluh sembilan miliar delapan ratus juta rupiah).

(4) Rincian Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Pembangunan Tahun Anggaran 2003 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ke dalam sektor dan subsektor dicantumkan dalam penjelasan ayat ini.

Pasal 8

(1) Rincian lebih lanjut dari sektor dan subsektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) ke dalam program dan kegiatan untuk pengeluaran rutin, serta program dan proyek untuk pengeluaran pembangunan

Page 308: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

318

dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah.

(2) Rincian pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadi lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.

(3) Rincian lebih lanjut dari sektor dan subsektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) ke dalam program dan kegiatan untuk pengeluaran rutin, serta program dan proyek untuk pengeluaran pembangunan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 9

(1) Anggaran belanja untuk daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b terdiri dari:

a. Dana perimbangan;

b. Dana otonomi khusus dan penyeimbang.

(2) Dana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp107.490.527.080.000,00 (seratus tujuh triliun empat ratus sembilan puluh miliar lima ratus dua puluh tujuh juta delapan puluh ribu rupiah).

(3) Dana otonomi khusus dan penyeimbang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp9.387.177.487.000,00 (sembilan triliun tiga ratus delapan puluh tujuh miliar seratus tujuh puluh tujuh juta empat ratus delapan puluh tujuh ribu rupiah).

Pasal 10

(1) Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a terdiri dari: a. Dana bagi hasil; b. Dana alokasi umum; c. Dana alokasi khusus.

(2) Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp27.895.943.600.000,00 (dua puluh tujuh triliun delapan ratus sembilan puluh lima miliar sembilan ratus empat puluh tiga juga enam ratus ribu rupiah).

Page 309: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Lampiran

319

(3) Dana alokasi umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp76.978.005.850.000,00 (tujuh puluh enam triliun sembilan ratus tujuh puluh delapan miliar lima juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah).

(4) Dana alokasi khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c direncanakan sebesar Rp2.616.577.630.000,00 (dua triliun enam ratus enam belas miliar lima ratus tujuh puluh tujuh juta enam ratus tiga puluh ribu rupiah).

(5) Pembagian lebih lanjut dana perimbangan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Pasal 11

(1) Dana otonomi khusus dan penyeimbang sebagaimana daimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b terdiri dari:

a. Dana otonomi khusus;

b. Dana Penyeimbang

(2) Dana otonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp1.539.560.117.000,00 (satu triliun lima ratus tiga puluh sembilan miliar lima ratus enam puluh juta seratus tujuh belas ribu rupiah).

(3) Dana penyeimbang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp7.847.617.370.000,00 (tujuh triliun delapan ratus empat puluh tujuh miliar enam ratus tujuh belas juta tiga ratus tujuh puluh ribu rupiah), yang terdiri dari dana penyeimbang untuk kekurangan dana alokasi umum bagi beberapa daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 12 sebesar Rp2.262.435.000.000,00 (dua triliun dua ratus enam puluh dua miliar empat ratus tiga puluh lima juta rupiah), dan dana bantuan adhoc untuk kenaikan gaji sebesar Rp5.585.182.370.000,00 (lima triliun lima ratus delapan puluh lima miliar seratus delapan puluh dua juta tiga ratus tujuh puluh ribu rupiah).

Page 310: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

320

Pasal 12

(1) Dengan jumlah Anggaran Pendapatan Negara dan Hibah Tahun Anggaran 2003 sebesar Rp 336.115.527.000.000,00 (tiga ratus tiga puluh enam triliun seratus lima puluh lima miliar lima ratus dua puluh tujuh juta rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), lebih kecil dari jumlah Anggaran Belanja Negara sebesar Rp370.591.779.567.000,00 (tiga ratus tujuh puluh triliun lima ratus sembilan puluh satu miliar tujuh ratus tujuh puluh sembilan juta lima ratus enam puluh tujuh ribu rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), maka dalam Tahun Anggaran 2003 terdapat defisit anggaran sebesar Rp34.436.252.567.000,00 (tiga puluh empat triliun empat ratus tiga puluh enam miliar dua ratus lima puluh dua juta lima ratus enam puluh tujuh ribu rupiah), yang akan dibiayai dari pembiayaan defisit anggaran.

(2) Pembiayaan Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2003 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh dari sumber-sumber:

a. Pembiayaan dalam negeri sebesar Rp22.450.052.567.000,00 (dua puluh dua triliun empat ratus lima puluh miliar lima puluh dua juta lima ratus enam puluh tujuh ribu rupiah);

b. Pembiayaan luar negeri bersih sebesar Rp11.986.200.000.000,00 (sebelas triliun sembilan ratus delapan puluh enam miliar dua ratus juta rupiah).

(3) Rincian pembiayaan defisit anggaran pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2003 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam penjelasan ayat ini.

Pasal 13

(1) Pada pertengahan Tahun Anggaran 2003, Pemerintah menyusun laporan semester I mengenai:

a. Realisasi pendapatan negara dan hibah;

b. Realisasi pengeluaran rutin;

c. Realisasi pengeluaran pembangunan;

d. Realisasi anggaran belanja untuk daerah;

Page 311: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Lampiran

321

e. Realisasi pembiayaan defisit;

(2) Dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pemerintah menyusun prognosa untuk 6 (enam) bulan berikut.

(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pada akhir Juli 2003, untuk dibahas bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah.

(4) Penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2003.

Pasal 14

(1) Sisa kredit anggaran proyek-proyek pada pengeluaran pembanguan Tahun Anggaran 2003 yang masih diperlukan untuk penyelesaian proyek, dipindahkan ke Tahun Anggaran 2004 menjadi kredit anggaran Tahun Anggaran 2004.

(2) Pemindahan sisa kredit anggaran proyek-proyek sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Realisasi dari pemindahan sisa kredit anggaran proyek-proyek yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat pada akhir Triwulan I Tahun Anggaran 2004.

Pasal 15

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Anggaran 2003 ditampung pada pembiayaan dalam negeri dan dapat digunakan untuk membiayai defisit anggaran tahun-tahun anggaran berikutnya.

Page 312: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

322

Pasal 16

Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2003 berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum Tahun Anggaran 2003 berakhir.

Pasal 17

(1) Setelah Tahun Anggaran 2003 berakhir, Pemerintah membuat perhitungan anggaran Negara mengenai pelaksanaan anggaran yang bersangkutan.

(2) Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Perhitungan Anggaran Negara setelah perhitungan anggaran Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah Tahun Anggaran 2003 berakhir, untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 18

Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Perbendaha-raan Indonesia (Indische Comptabiliteitswet, Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860) yang bertentangan dengan bentuk, susunan, dan isi Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 19

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2003.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Page 313: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Lampiran

323

Disahkan di Jakarta pada tangal 24 Desember 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 24 Desember 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 136 Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan, Lambock V. Nahattands

Page 314: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

324

Indeks A ADB, 119 Administrasi Negara, 22, 24, 134 Administratif Decentralization, 174 Agresi militer, 28 Anggaran, 1, 11, 72 Anggaran Negara, 4, 5, 15, 26, 28, 37 Anggaran Belanja Tambahan (ABT), 156 Akunting, 23 APBD, 122, 183, 194 APBN, 1, 12, 56 Appraisal Mission, 124 ASEAN, 51

B Bantuan Program, 85 Backward dan Forward Linkage, 138 Bappenas, 69 Bappeda, 66, 67, 68 Badan Pengawas Keuangan, 163 Bendaharawan, 229 Bendaharawan Khusus, 229 Bendaharawan Umum, 229 Benefit Cost Ratio, 135 BFO, 38 Budget, 3 Budget Power, 92 Bunga, 102 Buku Biru, 126 Buyers Credit, 120

C Civil Society, 172 Commitment Fee, 125 Conefo, 49 Controlling, 52

D Daftar Isian Proyek, 9 Daftar Isian Pembiayaan Proyek, 227 Daftar Usulan Program. 244 Dana, 17, 61 Dana Alokasi Umum, 201, 203 Dana Alokasi Khusus, 205 Dana Pembangunan, 150 Dana Pembangunan Desa, 200 Dana Pembangunan Kabupaten/ Kota, 200 Dana Perimbangan, 200 Debt Service Coverage Ratio, 208 Debt Trap, 129 Defisit, 49, 156, 158, 198 Dekonsentrasi, 174 Dekrit Presiden, 41 Deklarasi Ekonomi, 49 Demokrasi 171 Demokrasi Ekonomi, 50 Demokrasi Pancasila, 50 Demokratisasi, 171 Desentraslisasi, 64, 171, 174, 177, 178 Devisa, 117 Devolusi, 175 Dewan Legislatif, 26, 27, 73, 77

Page 315: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Lampiran

325

Dewan Perwakilan Rakyat, 8, 28, 43, 44 Dimensi Perencanaan, 58 Directing, 52 Demokrasi Ekonomi, 50 DIP, 230, 237 Distribusi pendapatan, 13 Disbursement, 129 Dokumen, 5 Dokumen Anggaran, 222 Dokumen Operasional, 5 DPR, 241 E Efektif, 183 Efektivitas, 15 Efisien, 183 Efisiensi, 8, 64, 96 Ego, 54 Ekonomi Makro, 16, 133, 160Ekonomi Liberal, 29 Ekonomi Terpimpin, 50 Eksekutif, 4, 24 Ekstensifikasi, 34 Ekspor, 30 Ekspansif, 22 Era Reformasi, 152 Etatisme, 50 External Economies, 34 Exchange of note, 124 Evaluasi, 241 F FAO, 51 Fasilitator Kecamatan, 187 Feasible, 5 Feodalisme, 49 Fiscal Desentralization, 174 Fleksibel, 57 Fisher, 46, 47 Forward Linkage, 138 Foreign Exchange Cost, 128 Fungsi Alokasi, 20

Fungsi Distribusi, 20 Fungsi Stabilisasi, 22

G Government Finance Statistic, 152 Ganyang Malaysia, 49 GBHN, 55, 62, 71 Geografis, 13, 61 Grace Period, 119, 122 Grassroot Politic, 172

H Hasil Pajak Daerah, 195 Hibah, 118 Hubungan Causal, 73 Hubungan Fungsional, 73

I I - Account, 152 IBW, 42 ICOR, 115, 116 ICW, 37, 38, 39 IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia), 47, 51 Impor, 30 Imperialisme, 49 Indifference Curve, 18, 19 Ideologi, 55 Inflasi, 12, 46, 47, 163, 165 IPT, 21 Instansi, 7 Institusional, 65 Intensifikasi, 34 Intervensi, 77 Investasi, 7, 118, 146, 166 IMF, 51

J JBIC, 120 Jebakan Pinjaman Luar Negeri, 129

Page 316: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

326

Jaringan Pengaman Sosial, 159

K Kantor Bendahara Negara (KBN), 40 Kas Stelsel, 37 Kelembagaan, 35, 65, 88 Keuangan Daerah, 252 Klasifikasi Fungsional, 70 Komisi, 254, 255 Komposisi Pembiayaan, 149 Kontraktif, 22 Konflik, 88, 90 Konsumsi, 165, 247 Koordinasi, 136 KPKN, 156 Korupsi, 161 Kolusi, 161 Kredit Ekspor, 119, 123, 124 Krisis Ekonomi, 130 Kurva Laffer, 2 Kurva Lorenz, 98

L Laba Bersih Minyak, 85 Legislatif, 4, 78, 80, 86, 185 Letter of Credit (L.C), 123 LIBOR, 119 Liberal, 29 LKMD, 65 Loan Agreement, 184 Lobi, 248 M Measurable, 57 Misi, 53, 59, 63 Motivating, 52 Modal, 164 Multi years, 126 Multinational Corporation, 51

N Nation Building, 44, 157 Negara Donor, 243 Nepotisme, 161 Nilai Tukar, 56, 117, 160, 241 No Objection Letter (NOL), 125 Nota Keuangan, 95, 251 NPHLN, 122 O Obligasi, 163, 167 Oeang Republik Indonesia (ORI), 35 Oldefo, 49 Optimal, 13 Orde Baru, 28, 29, 157 Orde Lama, 40 Organisasi, 6, 66 Organizing, 52 Otonomi, 60 Otonomi Daerah, 191, 192 Otoriterisme, 172 P P3DT, 150 Pajak, 2 Pajak Bumi dan Bangunan, 108 Pajak Ekspor, 107 Pajak Asli Daerah, 195, 196 Pajak Impor, 103, 104 Pajak Penghasilan, 101 Pajak Pertambahan Nilai, 102 Pajak Forenzen, 146 Pajak Verfonding, 195 Panitia pemikir, 31 Pareto optimal, 22 Pelelangan, 122, 230, 231 Pemimpin Proyek, 40 Pemerintah, 11, 65 Pemilihan langsung, 231 Pembiayaan rupiah, 149 Pemberdayaan Masyarakat, 173 Pembangunan Masyarakat Desa,

Page 317: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Lampiran

327

188 Pemerataan pendapatan, 97 Pendapatan Asli Daerah, 195, 196 Pendapatan Daerah, 149 Pendapatan Riil, 165 Penerimaan, 2001 Penerimaan Negara, 95 Pengendalian, 268 Pemantauan, 268 Pendelegasian, 175 Pengawasan, 27, 54 Pengawasan Legislatif, 271 Pengawasan Masyarakat, 271 Pengawasan Melekat, 270 Pengeluaran Pembangunan, 144 Pengeluaran Rutin, 138 Penunjukan Langsung, 232 People Participation, 58 Perencanaan, 27, 52, 53 Pertambahan Nilai, 102 Pertumbuhan, 4, 15 Pinjaman Daerah, 184, 207, 213, 214 Pinjaman Luar Negeri, 114, 115 Pinjaman Lunak, 121 Pinjaman Proyak, 119 Pinjaman setengah lunak, 119 Pledge, 124 Polis, 79 Politik, 14, 23, 79, 84 Political Desentralization, 174 PPK, 21, 18 Preliminary Design, 129 Procurement Methode, 124, 129 Produk Domestik Bruto, 157 Produsen, 160 Profit Motive, 6 Program Pengembangan Kecamatan, 21 Program, 95, 136 Progresif, 100 Propenas, 55, 62,63 Proporsional, 100

Proses, 60, 87 Project Preparation, 129 Psikologi, 23 R Rakorbang Kabupaten, 249 Rakorbang Propinsi, 250 Rakorwil, 250 Reimbursement, 124 Retribusi Daerah, 197, 198 Repeat Order, 123 Repeta, 55, 62 Regresif, 100 Retribusi Daerah, 197 Revisi DIP, 236 Royalti, 102 S Satuan 2, 264 Satuan 3, 266 Satuan 2, 3 dan 3A, 256, 257 Satuan Harga, 235 Sector Program Loan, 120 Senering, 45 Service Coverage Ratio, 185 Shopping List, 242 Siklus, 240 Sisa Anggaran Pembangunan (SIAP), 221 Sisa Anggaran Rutin (SIAR), 221 Soft Loan, 128 Special Account, 124 Strategi, 61, 72, 83 Stratego, 54 Subsidi, 142, 160 Suitable, 57 Suppliers Credit, 120 Surat Keputusan Otorisasi, 40, 227, 228 Surat Permintaan Pembayaran Langsung, 237 Stelsel verkrechten, 37 Stratos, 54

Page 318: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

328

Stakeholder, 13 Struktural, 60 Suppliers Credit, 120 SWOT, 61 T T – Account, 84 Tahun Anggaran, 9 Takesra, 21 Tabungan Pemerintah, 84 Taxing Power, 174 Thesauri negara, 36, 40 Tingkat Bunga, 164 TP4DLN, 126 Tenaga Teknis Desa (TTD), 187 Totaliterisme, 172 Transparan, 172 Transfer, 236 Tunnel Effect, 21

U Uang Giral, 45 Uang Kartal, 45 Uang yang beredar, 45 Uang yang harus dipertanggung-jawabkan, 237 UNDP, 51 UDKP, 249 Unit Pengelola Keuangan, 188 V Variabel, 56 Visi, 61, 63 W WHO, 51

Page 319: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

310

Indeks

Indeks A ADB, 119 Administrasi Negara, 22, 24, 134 Administratif Decentralization, 174 Agresi militer, 28 Anggaran, 1, 11, 72 Anggaran Negara, 4, 5, 15, 26, 28, 37 Anggaran Belanja Tambahan (ABT), 156 Akunting, 23 APBD, 122, 183, 194 APBN, 1, 12, 56 Appraisal Mission, 124 ASEAN, 51

B Bantuan Program, 85 Backward dan Forward Linkage, 138 Bappenas, 69 Bappeda, 66, 67, 68 Badan Pengawas Keuangan, 163 Bendaharawan, 229 Bendaharawan Khusus, 229 Bendaharawan Umum, 229 Benefit Cost Ratio, 135 BFO, 38 Budget, 3 Budget Power, 92 Bunga, 102 Buku Biru, 126 Buyers Credit, 120

C Civil Society, 172 Commitment Fee, 125 Conefo, 49 Controlling, 52

D Daftar Isian Proyek, 9 Daftar Isian Pembiayaan Proyek, 227 Daftar Usulan Program. 244 Dana, 17, 61 Dana Alokasi Umum, 201, 203 Dana Alokasi Khusus, 205 Dana Pembangunan, 150 Dana Pembangunan Desa, 200 Dana Pembangunan Kabupaten/Kota, 200 Dana Perimbangan, 200 Debt Service Coverage Ratio, 208 Debt Trap, 129 Defisit, 49, 156, 158, 198 Dekonsentrasi, 174 Dekrit Presiden, 41 Deklarasi Ekonomi, 49 Demokrasi 171 Demokrasi Ekonomi, 50 Demokrasi Pancasila, 50 Demokratisasi, 171 Desentraslisasi, 64, 171, 174, 177, 178 Devisa, 117 Devolusi, 175 Dewan Legislatif, 26, 27, 73, 77 Dewan Perwakilan Rakyat, 8, 28, 43, 44 Dimensi Perencanaan, 58 Directing, 52 Demokrasi Ekonomi, 50 DIP, 230, 237 Distribusi pendapatan, 13 Disbursement, 129 Dokumen, 5 Dokumen Anggaran, 222 Dokumen Operasional, 5 DPR, 241

Page 320: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

311

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

E Efektif, 183 Efektivitas, 15 Efisien, 183 Efisiensi, 8, 64, 96 Ego, 54 Ekonomi Makro, 16, 133, 160Ekonomi

Liberal, 29 Ekonomi Terpimpin, 50 Eksekutif, 4, 24 Ekstensifikasi, 34 Ekspor, 30 Ekspansif, 22 Era Reformasi, 152 Etatisme, 50 External Economies, 34 Exchange of note, 124 Evaluasi, 241

F FAO, 51 Fasilitator Kecamatan, 187 Feasible, 57 Feodalisme, 49 Fiscal Desentralization, 174 Fleksibel, 57 Fisher, 46, 47 Forward Linkage, 138 Foreign Exchange Cost, 128 Fungsi Alokasi, 20 Fungsi Distribusi, 20 Fungsi Stabilisasi, 22

G Government Finance Statistic, 152 Ganyang Malaysia, 49 GBHN, 55, 62, 71 Geografis, 13, 61 Grace Period, 119, 122 Grassroot Politic, 172

H Hasil Pajak Daerah, 195 Hibah, 118 Hubungan Causal, 73 Hubungan Fungsional, 73

I I - Account, 152 IBW, 42 ICOR, 115, 116 ICW, 37, 38, 39 IGGI (Inter Governmental Group on

Indonesia), 47, 51 Impor, 30 Imperialisme, 49 Indifference Curve, 18, 19 Ideologi, 55 Inflasi, 12, 46, 47, 163, 165 IPT, 21 Instansi, 7 Institusional, 65 Intensifikasi, 34 Intervensi, 77 Investasi, 7, 118, 146, 166 IMF, 51

J JBIC, 120 Jebakan Pinjaman Luar Negeri, 129 Jaringan Pengaman Sosial, 159

K Kantor Bendahara Negara (KBN), 40 Kas Stelsel, 37 Kelembagaan, 35, 65, 88 Keuangan Daerah, 252 Klasifikasi Fungsional, 70 Komisi, 254, 255 Komposisi Pembiayaan, 149 Kontraktif, 22 Konflik, 88, 90

Page 321: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

312

Indeks Konsumsi, 165, 247 Koordinasi, 136 KPKN, 156 Korupsi, 161 Kolusi, 161 Kredit Ekspor, 119, 123, 124 Krisis Ekonomi, 130 Kurva Laffer, 2 Kurva Lorenz, 98

L Laba Bersih Minyak, 85 Legislatif, 4, 78, 80, 86, 185 Letter of Credit (L.C), 123 LIBOR, 119 Liberal, 29 LKMD, 65 Loan Agreement, 184 Lobi, 248

M Measurable, 57 Misi, 53, 59, 63 Motivating, 52 Modal, 164 Multi years, 126 Multinational Corporation, 51

N Nation Building, 44, 157 Negara Donor, 243 Nepotisme, 161 Nilai Tukar, 56, 117, 160, 241 No Objection Letter (NOL), 125 Nota Keuangan, 95, 251 NPHLN, 122

O Obligasi, 163, 167 Oeang Republik Indonesia (ORI), 35 Oldefo, 49

Optimal, 13 Orde Baru, 28, 29, 157 Orde Lama, 40 Organisasi, 6, 66 Organizing, 52 Otonomi, 60 Otonomi Daerah, 191, 192 Otoriterisme, 172

P P3DT, 150 Pajak, 2 Pajak Bumi dan Bangunan, 108 Pajak Ekspor, 107 Pajak Asli Daerah, 195, 196 Pajak Impor, 103, 104 Pajak Penghasilan, 101 Pajak Pertambahan Nilai, 102 Pajak Forenzen, 146 Pajak Verfonding, 195 Panitia pemikir, 31 Pareto optimal, 22 Pelelangan, 122, 230, 231 Pemimpin Proyek, 40 Pemerintah, 11, 65 Pemilihan langsung, 231 Pembiayaan rupiah, 149 Pemberdayaan Masyarakat, 173 Pembangunan Masyarakat Desa, 188 Pemerataan pendapatan, 97 Pendapatan Asli Daerah, 195, 196 Pendapatan Daerah, 149 Pendapatan Riil, 165 Penerimaan, 2001 Penerimaan Negara, 95 Pengendalian, 268 Pemantauan, 268 Pendelegasian, 175 Pengawasan, 27, 54 Pengawasan Legislatif, 271 Pengawasan Masyarakat, 271 Pengawasan Melekat, 270 Pengeluaran Pembangunan, 144 Pengeluaran Rutin, 138

Page 322: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

313

Anggaran Negara Dalam Era Otonomi Daerah

Penunjukan Langsung, 232 People Participation, 58 Perencanaan, 27, 52, 53 Pertambahan Nilai, 102 Pertumbuhan, 4, 15 Pinjaman Daerah, 184, 207, 213, 214 Pinjaman Luar Negeri, 114, 115 Pinjaman Lunak, 121 Pinjaman Proyak, 119 Pinjaman setengah lunak, 119 Pledge, 124 Polis, 79 Politik, 14, 23, 79, 84 Political Desentralization, 174 PPK, 21, 18 Preliminary Design, 129 Procurement Methode, 124, 129 Produk Domestik Bruto, 157 Produsen, 160 Profit Motive, 6 Program Pengembangan Kecamatan, 21 Program, 95, 136 Progresif, 100 Propenas, 55, 62,63 Proporsional, 100 Proses, 60, 87 Project Preparation, 129 Psikologi, 23

R Rakorbang Kabupaten, 249 Rakorbang Propinsi, 250 Rakorwil, 250 Reimbursement, 124 Retribusi Daerah, 197, 198 Repeat Order, 123 Repeta, 55, 62 Regresif, 100 Retribusi Daerah, 197 Revisi DIP, 236 Royalti, 102

S Satuan 2, 264 Satuan 3, 266 Satuan 2, 3 dan 3A, 256, 257 Satuan Harga, 235 Sector Program Loan, 120 Senering, 45 Service Coverage Ratio, 185 Shopping List, 242 Siklus, 240 Sisa Anggaran Pembangunan (SIAP), 221 Sisa Anggaran Rutin (SIAR), 221 Soft Loan, 128 Special Account, 124 Strategi, 61, 72, 83 Stratego, 54 Subsidi, 142, 160 Suitable, 57 Suppliers Credit, 120 Surat Keputusan Otorisasi, 40, 227, 228 Surat Permintaan Pembayaran Langsung,

237 Stelsel verkrechten, 37 Stratos, 54 Stakeholder, 13 Struktural, 60 Suppliers Credit, 120 SWOT, 61

T T – Account, 84 Tahun Anggaran, 9 Takesra, 21 Tabungan Pemerintah, 84 Taxing Power, 174 Thesauri negara, 36, 40 Tingkat Bunga, 164 TP4DLN, 126 Tenaga Teknis Desa (TTD), 187 Totaliterisme, 172 Transparan, 172 Transfer, 236 Tunnel Effect, 21

Page 323: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

314

U Uang Giral, 45 Uang Kartal, 45 Uang yang beredar, 45 Uang yang harus dipertanggungjawabkan,

237 UNDP, 51 UDKP, 249 Unit Pengelola Keuangan, 188

V Variabel, 56 Visi, 61, 63

W WHO, 51

Page 324: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

ANGGARAN NEGARA

DALAM ERA OTONOMI DAERAH

Kunarjo

Editor: Dadang Solihin

Institue for SME Empowerment

Page 325: Anggaran Negara dalam Era Otonomi Daerah

ANGGARAN NEGARA

DALAM ERA OTONOMI DAERAH

Sejak tahun 2000, sistem pemerintahan telah mengalami perubahan yang cukup berarti, sehingga berpengaruh kepada sistem anggaran negara yang berlaku. Perubahan sistem anggaran itu bukan hanya pada perubahan tahun anggaran saja, tetapi juga pada konsep dasar, sistematika dan proses penyusunannya.

Konsep baru keuangan negara dalam bentuk berubahnya anggaran kepada daerah dari bentuk dana alokasi khusus (specific grant) ke dana alokasi umum (block grant) mewarnai perubahan paradigma keuangan negara Indonesia. Konsep baru tersebut dibahas oleh penulisnya dalam buku ini secara komprehensif.

Nilai lebih dari buku ini adalah bukan saja karena pengalaman keilmuan yang amat tinggi serta praktek profesional anggaran negara (di Bappenas) yang tidak kalah tinggi dari sang penulis, tetapi juga karena saat ini tidak cukup banyak ahli keuangan negara di republik ini yang bersedia meluangkan waktu untuk menulis tentang anggaran negara.

Buku ini bukan saja bermanfaat untuk diambil nilainya, namun juga menantang para penulis lain untuk mengkreasikan buku yang baik di bidang anggaran negara. Bagi para pakar tantangannya adalah bagaimana mereka menulis dengan cerdas namun mudah dimengerti, sebagaimana yang dipraktekkan oleh penulisnya dalam buku ini.

ISBN 979-96586-4-0

Penerbit Institue for SME Empowerment Jl. Utan Kayu 20A Jakarta Timur


Top Related