Download - Anestesi undip
-
8/16/2019 Anestesi undip
1/71
JAI Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I Nomor 02, Juli 2009
Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro danIkatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi
(IDSAI) Jawa Tengah
Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesiamelalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif
-
8/16/2019 Anestesi undip
2/71
Sejawat terhormat,
Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini
memuat artikel penelitian klinik dan preklinik.
Diantaranya adalah mengenai efek sedasi
midazolam pada variasi genetika Cyp2c19, skor
histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,
pengaruh Suksinilkolin terhadap kadar Kreatin
Fosfokinase dan pretreatment Magnesium Sulfat
untuk mencegah peningkatan TIO akibat
Suksinilkolin.
Dua tinjauan pustaka, mengenai peningkatan
tekanan intrakranial dan regulasi aliran darah
serebral diharapkan menambah pengetahuan kita
dalam bidang anestesi.
Semoga bermanfaat.
Salam,
dr. Uripno Budiono, SpAn
Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk
kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Apabila akan menggunakannya sebagai acuan,
hendaknya mencantumkan artikel tersebut
sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Pelindung:
Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
Ketua Program Studi Anestesiologi
dan Terapi Intensif FK UNDIP
Ketua Ikatan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Reanimasi
Indonesia (IDSAI) Cabang Jawa
Tengah
Ketua Redaksi:
dr. Uripno Budiono, SpAn
Wakil Ketua Redaksi:
dr. Johan Arifin, SpAn, KAP
Anggota Redaksi:
dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA
dr. Hariyo Satoto, SpAn
dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR
dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO
dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP
dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA
dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC
dr. Doso Sutiyono, SpAn
dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR
dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn
dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med
dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med
dr. Danu Soesilowati, SpAn,dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med
Mitra Bestari:
Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO
Seksi Usaha:
dr. Mochamat
Administrasi:
Maryani, Nik Sumarni
Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per
tahun, setiap bulan Maret, Juli dan
November sejak tahun 2009. Harga
Rp.200.000,- per tahun.
Untuk berlangganan dan sirkulasi:
Ibu Nik Sumarni (081326271093)
Ibu Kamtini (081325776326)
Alamat Redaksi:
Program Studi Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi,
Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang.Telp. 024-8444346.
JAI
-
8/16/2019 Anestesi undip
3/71
DAFTAR ISI
PENELITIAN Hal
Sukmiasi Sismadi, Uripno Budiono
Pengaruh Variasi Genetika Cyp2c19 Terhadap Efek Sedasi Midazolam Intravena
Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor sedasi dengan genotip EM, IM
dan PM dari CYP2C19.
65
Curniawati Trisasi, Marwoto
Skor Histologi C-Erbb-2, Proliferasi Endotel Pembuluh Darah : Pada Infiltrasi
Levobupivakain Terhadap Penyembuhan Luka
Ekspresi c-erbB-2 dan indeks proliferasi sel yang dinyatakan dengan mAgNOR pada
kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
tanpa infiltrasi levobupivakain. Terdapat hubungan antara c-erbB-2 dan mAgNOR pada
proses penyembuhan luka.
72
R. Cristianto Nugroho, Abdul Lian Siregar
Pengaruh Midazolam, Atrakurium Terhadap Fasikulasi Dan Kenaikan Kadar KreatinFosfokinase Akibat Suksinilkolin
Atrakurium sebagai pretreatment terbukti efektif mengurangi fasikulasi, mialgia maupun
kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah. Midazolam sama efektifnya dengan atrakurium
dalam hal mengurangi mialgia, namun kurang efektif untuk mengurangi kenaikan kadar
kreatin fosfokinase dan tidak efektif untuk mencegah fasikulasi.
82
Imam Suyuti, IGN Panji, Mohamad Sofyan Harahap
Pengaruh Pretreatment Magnesium Sulfat Dan Atrakurium Terhadap Perubahan
Tekanan Intraokuler Akibat Suksinilkolin
Tidak terjadi kenaikan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada pasien
yang mendapat pretreatment magnesium sulfat, maupun yang mendapat pretreatmentatracurium. Tidak terdapat perbedaan yang bermaknapada perubahan tekanan
intraokuler setelah pernberian magnesium sulfat maupun atracurium.
90
TINJAUAN PUSTAKA
Igun Winarno, Mohamad Sofyan Harahap
Pemantauan Tekanan Intra Kranial
Penanganan penderita dengan peningkatan tekanan intra kranial di mulai dengan
memonitor tekanannya sendiri baik dengan cara invasive maupun non invasive, kemudian
dengan pengelolaan secara bedah dan non bedah. Pengelolaan dibidang anestesi sangat
berperan untuk menurunkan tekanan intra kranial yaitu dimulai dengan menjaga jalannafas, menjaga kestabilan emosi penderita dengan obat-obat sedasi dan anelgetik,
penggunaan obat-obatan dan agent inhalasi yang tidak mempengaruhi tekanan intra
kranial serta mengatasi efek yang timbul kemudian.
101
Iwan Dwi Cahyono, Jati Listiyanto, Mohamad Sofyan Harahap
Regulasi Aliran Darah Cerebral Dan Aneurisma Cerebral
Perubahan aliran darah ke otak memiliki regulasi tersendiri mengingat begitu besar
peranan otak bagi kehidupan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi regulasi aliran
darah ke otak salah satunya adalah tindakan dan obat anestesi selama pembiusan. Untuk
menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi perlu dipelajari tentang auto regulasi
darah serebral dengan baik. Penggunaan obat juga perlu dipertimbangkan. Operasi
dibagian kepala membutuhkan waktu relative lama dibandingkan operasi yang lainnya.
120
-
8/16/2019 Anestesi undip
4/71
65
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PENELITIAN
Pengaruh Variasi Genetika Cyp2c19 Terhadap Efek Sedasi Midazolam Intravena
Sukmiasi Sismadi*, Uripno Budiono*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background : The cytochrome P450 plays an important role in the metabolism of many
drugs, chemicals and carcinogens. CYP2C19 is often a major concern because of the high
difference in each individual and each population. Based on the capacity of CYP2C19 in
the metabolism sustrat, a person can be classified as extensive metabolizers (EM),
intermediate metabolizers (IM) and poor metabolizers (PM). Which has the effect of
midazolam sedation, anxiolytic, and anterograde amnesia is metabolized through the
CYP2C19 enzyme. These drugs are often used as a premedication drug or as a co-
induction. In clinical practice that is common with the usual dose of midazolam, not all
patients show the expected effect. Therefore, the study of genetic influences on intravenous
midazolam biotransformation.
Objectives : Assess the effects of intravenous midazolam on the EM genotype, IM and PM
Methods : The study 24 patients undergoing elective surgery in the installation department
of the Central Surgical Dr Kariadi Semarang, inclusion and exclusion criteria, with ASA
physical status I. Previously people with an explanation of the procedures that will be
undertaken and expressed willingness in the sheet informed consent. Desain phase II
clinical trials research using cross sectional study to assess the effects of midazolam on the
body's metabolic functions. Allele / CYP2C19 polymorphisms were identified by PCR-
RFLP technique.
Results : The results showed the general characteristics of patients with no laboratory
abnormalities, had no complications or side effects of midazolam. Sedation score 5
minutes after administration of midazolam there were no significant differences between
men and women (3.3 ± 0.59), and found no significant association between age with the
sedation score (r = 0.250, P = 0.183). CYP2C19 genotype distribution was found
respectively 6 (20%) of EM, 16 (53.3%) IM and eight (26.7%) PM. These three genotypes
there were no significant differences by age, sex and sedation score.
Conclusion : There is no significant relationship between the scores of sedation with
genotypes EM, IM and PM of CYP2C19.
Keywords : Intravenous Midazolam, metabolism, CYP2C19
-
8/16/2019 Anestesi undip
5/71
66
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
ABSTRAK
Latar Belakang : Sitokrom P450 berperan penting dalam metabolisme obat, zat kimia dan
karsinogen. CYP2C19 sering menjadi perhatian utama karena tingginya perbedaan ditiap
individu maupun tiap populasi. Berdasarkan kapasitas CYP2C19 dalam metabolisme
sustrat, seseorang dapat dikelompokkan sebagai extensive metabolizers (EM),
intermediate metabolizers (IM) dan poor metabolizers (PM). Midazolam yang mempunyai
efek sedasi, ansiolitik dan anterograde amnesia dimetabolisme melalui enzim CYP2C19.
Obat ini sering digunakan sebagai obat premedikasi ataupun sebagai koinduksi. Pada
praktek klinis sering dijumpai dosis midazolam yang lazim, ternyata tidak semua pasien
menunjukkan efek yang diharapkan. Diteliti seberapa besar pengaruh genetik terhadap
biotransformasi midazolam intravena.
Tujuan : Menilai efek midazolam intravena pada genotipe EM, IM dan PM
Metode : Penelitian pada 24 pasien yang menjalani bedah elektif di Instalasi Bedah Sentral
RSUP Dr Kariadi Semarang, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan status
fisik ASA I. Sebelumnya penderita mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan
dijalani serta menyatakan kesediaannya dalam informed consent. Desain penelitian uji
klinik fase II ini menggunakan cross sectional untuk menilai efek midazolam terhadap
fungsi metabolisme tubuh. Alel/polimorfisme CYP2C19 diidentifikasi dengan tehnik PCR-
RFLP.
Hasil : Dari hasil penelitian menunjukkan karakteristik umum penderita tidak terdapat
kelainan laboratorium, tidak mengalami komplikasi atau efek samping terhadap
midazolam. Skor sedasi 5 menit setelah pemberian midazolam midazolam tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan (3,3 ± 0,59), serta tidak
ditemukan hubungan yang bermakna antar usia dengan nilai skor sedasi (r=0,250 ;
P=0,183). Distribusi genotip CYP2C19 ditemukan masing-masing 6 (20%) EM, 16
(53,3%) IM dan 8 (26,7%) PM. Ketiga genotip tidak terdapat perbedaan yang bermakna
dengan usia, jenis kelamin maupun skor sedasi.
Simpulan : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor sedasi dengan
genotip EM, IM dan PM dari CYP2C19.
Kata Kunci : Midazolam intravena, metabolisme, CYP2C19
-
8/16/2019 Anestesi undip
6/71
67
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PENDAHULUAN
Dosis dan frekuensi yang diperlukan
untuk mencapai kadar obat yang efektif
dalam darah dan jaringan bervariasi
karena adanya perbedaan individu di
dalam metabolisme dan eliminasi obat.
Perbedaan ini ditentukan oleh faktor
genetik dan non genetik seperti umur,
jenis kelamin, fungsi hati, irama
sirkardian, suhu tubuh dan faktor-faktor
nutrisi serta pemaparan bersamaan
terhadap induser dan inhibitor
metabolisme obat. Perbedaan individu
dalam kecepatan metabolisme juga
tergantung pada sifat obat sendiri. Jadi
dalam individu yang sama, kadar steady
state plasma dapat mencerminkan suatu
variasi yang sangat besar antara 2 sampai
30 kali dalam metabolisme satu obat.1,2,3
Sitokrom P450 berperan penting dalam banyak metabolisme obat, zat kimia dan
karsinogen. CYP2C19 sering menjadi
perhatian utama karena tingginya
perbedaan di tiap individu
maupunpopulasi. Berdasarkan kapasitas
CYP2C19 dalam memetabolisme
substrat, seseorang dapat dikelompokkan
sebagai extensive metabolizers (EM ),
intermediate metabolizer (IM) dan poormetabolizer (PM). Konsentrasi
cycloguanil yang merupakan metabolit
dari proguanil , berbeda secara bermakna
diantara ketiga grup berdasarkan jumlah
dari alel mutan ( Kruskal Wallis, P
-
8/16/2019 Anestesi undip
7/71
68
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
tempat pembelahan sel pada DNA
melalui tes PCR yang dapat
dikembangkan. Midazolam (8-chloro-6-
(2-fluorophenyl)-1-methyl-4Himidazol-
(1,5-a)(1,4) benzodiazepine) merupakan
benzodiazepine agonist yang mempunyai
sifat ansiolitik, sedatif, antikonvulsif dan
anterograd amnesia.7,8
Obat ini banyak digunakan perioperatif.
Sediaan komersial dibuffer pada pH 3,5
untuk menjaga kestabilan dalam air,
potensinya 1,5 – 2 kali diazepam.
Midazolam pada pH netral dan basa
larut dalam air dan dapat dicampur dalam
larutan infus seperti NaCl 0,9% atau
glukosa 5% yang tetap stabil secara fisik
maupun kimiawi untuk 24 jam pada suhu
kamar.8
Asam gama-aminobutirat (GABA) adalah
penghambat neurotransmiter yang utama pada SSP. Penelitian elektrofisiologi
menunjukkan bahwa benzodiazepin
menguatkan neurotransmisi GABAergik
pada semua tingkat neuroaksis, yang
mencakup medula spinalis, hipotalamus,
hipokampus, substansia nigra, korteks
serebeli dan korteks serebri.
Benzodiazepin tampaknya meningkatkanefisiensi inhibisi sinaptik GABAergik
(melalui membran hiperpolarisasi) yang
menyebabkan penurunan kecepatan
pencetusan neuron yang krisis dalam
banyak regio otak. Benzodiazepin tidak
menggantikan GABA, tetapi tampaknya
meningkatkan efek GABA tanpa aktivasi
reseptor GABA secara langsung atau
saluran klorida yang berhubungan.
Peningkatan konduksi klorida
menyebabkan interaksi benzodiazepin
dengan GABA yang menyebabkan
peningkatan frekuensi kejadian
terbukanya saluran. Efek ini mungkin
sebagian disebabkan oleh meningkatnya
afinitas untuk GABA.7,9
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
pengaruh midazolam intravena pada efek
sedasi pasien dengan genotipe EM, IM
dan PM.
METODE
Penelitian ini merupakan cross sectional
yang akan menilai efek midazolam
terhadap fungsi metabolisme tubuh.
Sampel penelitian merupakan penderita
yang menjalani operasi elektif dengan
anestesi umum. Di Instalasi Bedah
Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Diseleksi berdasarkan kriteria inklusi daneksklusi dan drop out .
Kriteria Inklusi : umur 16 sampai
-
8/16/2019 Anestesi undip
8/71
69
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
( Polymerase chain reaction-restriction
length polymorphism). DNA diisolasi
dari darah tepi dengan menggunakan
teknik standar yang digunakan
dilaboratorium bioteknologi pusat
kegiatan penelitian UNHAS.
Setelah mendapatkan informed consent,
subyek dipuasakan 6 jam sebelum operasi
dan dibawa keruang operasi tanpa jalur
intravena dan premedikasi. Setelah
sampai di ruang operasi dilakukan
pemasangan jalur intravena sekaligus
mengambil sampel darah sebanyak 10 cc
dan infus NaCl 0,9%, kemudian dipasang
monitor standar rutin dan diberikan
midazolam 0,07 mg/kgbb intravena
bolus. Waktu pemberian midazolam
disebut menit ke-0 dan pada menit ke-5
dinilai skor sedasi dengan 4 skala
pengukuran seperti yang digunakan oleh
field et al ( Field Score)
7-10
.
Skor :
1. Aktif ( Alert/active)
2. Bangun/tenang ( Awake/calm)
3. Mengantuk, respon terhadap suara
(drowsy but respon verbal )
4. Tertidur (asleep)
Pasien kemudian diinduksi sementara itu
sampel darah dimasukkan kedalam kotak
khusus sebagai transport dan dibawa ke
laboratorium biomolekuler untuk analisa
genetik tipe dari sitokrom P450 pasien
termasuk poor / normal / extensive
metabolism).
Data yang terkumpul selanjutnya diberi
kode, ditabulasi dan dimasukkan sebagai
data komputer. Analisa data meliputi
analisis deskriptif dan uji hipotesis
menggunakan program SPSS 13.0.
HASIL
Jumlah subjek penelitian 30 orang yang
terdiri dari 15 perempuan dan 15 laki-laki
dengan berbagai jenis tindakan operasi.
Tidak ditemukan kelainan laboratorium
pada semua subjek penelitian. Usia rata-
rata subjek penelitian 30,6 ±8,18 tahun,
tidak terdapat perbedaan yang bermakna
pada usia rata-rata antara perempuan
(29,66 ± 7,04 tahun) dan laki-laki (31,53
±9,34 tahun), (p>0,05). Semua subjek
yang mengikuti penelitian ini tidak
mengalami komplikasi atau efek samping
terhadap midazolam.
Nilai rata-rata skor sedasi 5 menit setelah
pemberian midazolam 3,3 ± 0,59. Tidak
terdapat perbedaan yang bermakna nilaiskor sedasi pada perempuan (3,4 ±0,5)
dan laki-laki (3,2 ±0,67), (p
-
8/16/2019 Anestesi undip
9/71
70
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PEMBAHASAN
Telah diteliti nilai skor sedasi pada 30
subjek yang mendapat 0,07 mg/kgBB
midazolam intravena dikaitkan dengan
genotip dari CYP2CI9. Nilai skor sedasi
didasarkan atas respon kognitif subjek 5
menit setelah diberikan midazolam
intravena. Nilai skor sedasi yang
diperoleh pada penelitian ini berkisar 2
sampai dengan 4. Variasi dalam nilai skor
sedasi setelah pemberian midazolam
dapat dijelaskan melalui 2 hal : variasi
kadar plasma midazolam (variasi
farmakokinetik) dan variasi dalam
sensitifitas terhadap midazolam (variasi
farmakokinetik) diantara subjek yang
diteliti.
Variasi skor sedasi pada penelitian ini
kemungkinan lebih disebabkan oleh
faktor farmakodinamik dibandingkan
faktor farmakokinetik. Beberapa penelitian sebelumnya telah
membuktikan bahwa orang dengan usia
lanjut lebih sensitif terhadap efek sedasi
benzodiazepin. Orang usia lanjut
membutuhkan dosis lebih rendah
dibandingkan orang yang lebih muda
untuk mencapai efek sedasi yang sama.
Pada penelitian ini dapat dilihat pada dua
subjek dengan usia muda (16 tahun) nilaisedasinya hanya dua setelah pemberian
midazolam.
Walaupun faktor farmakodinamik
dianggap lebih berperan dalam
menentukan skor sedasi pada penelitian
ini, tidak berarti bahwa faktor
farmakokinetik sama sekali tidak
berperan. Tidak adanya hubungan yang
bermakna antara skor sedasi dengan
genotip PM dan EM dari CYP2C19
belum dapat menyingkirkan peran faktor
farmakokinetik.
Bila faktor farmakokinetik lebih
berperan, maka penelitian ini
menghasilkan dua hal penting dalam
pemberian midazolam. Pertama,
midazolam merupakan pilihan yang aman
bagi subjek yang mempunyai genotip PM
untuk CYP2C19, karena enzim ini bukan
merupakan jalur utama metabolisme
midazolam, tetapi menjadi jalur utama
metabolisme diazepam. Kedua,
pemberian midazolam bersama dengan
obat-obat yang menghambat CYP3A4,
seperti diazepam, anti jamur dan opioid
akan mempunyai konsekuensi klinik
yang perlu diwaspadai. Obat-obat di atas
akan menghambat aktifitas enzim
tersebut, sehingga kemampuannya untukmemetabolisme midazolam akan
menurun. Konsekuensinya adalah
memanjangnya amnesia dan terjadinya
gangguan psikomotor.11
SIMPULAN
Dari hasil penelitian ini, disimpulkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara nilai skor sedasi dengangenotip EM, IM dan PM dari CYP2C19.
Ada tiga hal yang kemungkinan dapat
menjelaskan temuan tersebut. Pertama,
kadar midazolam dalam plasma
mengikuti model dua kompartemen dan
obat masih dalam fase distribusi, belum
berada dalam fase eliminasi, lima menit
setelah pemberian intravena. Kedua,
CYP2C19 bukanlah enzim utama yang
-
8/16/2019 Anestesi undip
10/71
71
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
memetabolisme midazolam. Ketiga,
faktor farmakodinamik lebih berperan
dibandingkan faktor farmakokinetik,
walaupun faktor ini tidak dapat
diabaikan. Perlu dilakukan penelitian
mengenai efek sedasi midazolam
dikaitkan dengan kadar midazolam dalam
darah. Selain itu untuk menilai apakah
faktor farmakodinamik dan faktor
farmakokinetik yang lebih berperan
dalam efek sedasi midazolam.
DAFTAR PUSTAKA1. Holford NHG, Benet. LZ. Farmakokinetik &
Farmakodinamik: Pemilihan Dosis yang
rasional & Waktu Kerja Obat. Dalam :
Katzung BG (ed). Farmakologi Dasar &
Klinik. Terjemahan Anwar Agus. Jakarta :
EGC, 1998 : 36-51)
2. Correia MA. Biotransformasi Obat. Dalam :
Katzung BG (ed). Farmakologi Dasar
&Klinik. Terjemahan Anwar Agus, Jakarta :
EGC, 1998 : 53-64)
3.
Setiawati A, Bustami ZS, Setiabudy R.Pengantar Farmakologi. Dalam : Gan S.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 3. Jakarta:
Bagian Farmakologi FKUI, 1987 : 49-63.
4. Yusuf I, Djojosubroto MW, Ikawati Lum K,
Kaneko A, Marzuki M Ethnic and
geographical distributions of CYP2C19
alleles in the populations of southeast asia.
Adv Exp Med Biol. 2003.
5. Lamba JK, Dhiman RK, Kohli KK.
CYP2C19 genetic mutations in North Indian.Clin Pharmacol Ther 2000; 68:328-35.
6. Kimura M, leiri I, Mamiya K, Urae A,
Higuchi S, Genetic Polymorphism of
cytochrome P450s, CYP2C19 and CYP2C9
in Japanese population. Ther Drug Monit
1998;20:243-7
7. Amrein R,Hetzel W, Allen SR. Co-induction
of Anaesthesia: The Rationale.Euro J of
Anaesth 1995;12:5-11.
8. Clarke RSJ. Intravenous Anaesthetic Agent:
Induction and Maintenance. In: Healy TEJ,Cohen PJ,eds. A Practice of Anaesthesia,
6thed London: Edward Arnold 1995: 91-101.
9. Collin VJ. Intravenous Anesthesia:
Nonbarbiturates-Nonnarcotics. In: Collin VJ,
Ed. Principles of Anesthesiology, 3rd
ed.
Philadelphia: Lea and Febiger 1993: 756-63.
10. Setiawat A, Setiabudy R. Adrenergik.
Dalam: Gan S. Farmakologi dan Terapi.
Edisi 3. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI
1987: 49-63.
11.
Hamaoka N, Oda I and Asada A.
Cytochrome P4502B6 and 2C6 do not
metabolize midazolam: kinetik analisis and
inhibition study with monoclonal antibodies.
Br J Anaesth 2001; 86:540-4.
-
8/16/2019 Anestesi undip
11/71
72
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PENELITIAN
Skor Histologi C-Erbb-2, Proliferasi Endotel Pembuluh Darah: Pada Infiltrasi
Levobupivakain Terhadap Penyembuhan Luka
Curniawati Trisasi*, Marwoto*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background: Postoperative acute pain stimulates clinical pathophysiologic symptoms,
depress immune responses which leads to delayed wound healing process.
Levobupivacaine is a long acting local anaesthetic, proven good for pain control.
Angiogenesis plays an important role in wound healing. C-erbB-2 is a family of epidermal
growth factor receptor that becomes actively mitogenic when binds to EFGR ligand, and
stimulates cell proliferation. Levobupivacaine infiltration enhances c-erbB-2 expression,
leads to endothelial blood vessel proliferation and improves wound healing.
Objective: To prove the difference between histologic score of c-erbB-2, endothelial blood
vessel proliferation of the wound healing process with and without levobupivacaine
infiltration and to prove the correlation between c-erbB-2 and endothelial blood vessel
proliferation.
Methode: This study was an animal experimental study with randomized post test only
control group design. Randomly 15 Wistar rats were divided into 3 groups. Groups I was
the group for control without treatment. Group II, rats that got incisions without
levobupivacain infiltration.Group III, rats that got incisions and levobupivacaine
infiltration every 8 hours for 24 hours. C-erbB-2 at the site of the wound was analized
using the histologic score from samples with immunohistochemistry staining and the
amount of AgNOR expressed by mAgNOR and pAgNOR. The samples were taken from
tissue biopsy on 5th day. Data were analyzed using Kruskal Wallis test. The correlation
between histologic score c-erbB-2 and the amount of AgNOR were analyzed using
Spearmans correlation test.
Results: This study showed that the tissue with levobupivacaine had higher c-erbB-2
histologic score (7,2±2,16 vs 9,9±1,29), and mAgNOR (5,94±0,15 vs 11,86±1,02), than
tissue without levobupivacaine that significantly different (p=0,015 and p=0,02). There
was a correltion between c-erbB-2 and mAgNOR (π=0,693).
Conclusions: The expressions levels c-erbB-2 and mAgNOR in levobupivacaine
infiltration group are higher than without levebupivacaine infiltration group. There is a
correlation between the c-erbB-2 and mAgNOR.
Keywords: Levobupivacaine, c-erbB-2, AgNOR, wound healing.
-
8/16/2019 Anestesi undip
12/71
73
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
ABSTRAK
Latar Belakang: Nyeri akut paska bedah memicu timbulnya gejala klinis patofisiologis,
menekan respon imun, sehingga menyebabkan penurunan sistem imun yang akan
menghambat penyembuhan luka. Levobupivakain, anestetik lokal durasi panjang efektif
mengurangi nyeri akut. Proses angiogenesis merupakan pilar utama penyembuhan luka.
C-erbB-2 adalah reseptor mitogenik yang ekspresinya pada endotel pembuluh darah bila
berikatan dengan ligand yang sesuai menyebabkan sel berproliferasi. Infiltrasi
levobupivakain akan meningkatkan ekspresi c-erbB-2 dan proliferasi sel endotel pembuluh
darah sehingga mempercepat penyembuhan luka.
Tujuan: Membuktikan adanya perbedaan skor histologi c-erbB-2 dan proliferasi endotel
pembuluh darah antara tikus yang diinfiltrasi levobupivakain dengan yang tidak pada
proses penyembuhan luka tikus Wistar.
Metode: Merupakan penelitian eksperimental pada hewan coba, randomized post test
only control group design, menggunakan tikus Wistar. Sampel 15 ekor dibagi menjadi 3
kelompok; kelompok I kontrol, kelompok II insisis subkutis tanpa infiltrsi levobupivakain,
kelompok III insisi subkutis dan infiltrasi levobupivakain setiap 8 jam selama 24
jam.Ekspresi c-erbB-2 dan nilai AgNOR yang dihitung sebagai mAgNOR dan pAgNOR
pada sekitar luka insisi dinilai dengan skor histologi dengan menggunakan pengecatan
secara imunohistokimia, yang diambil dari biopsi jaringan pada hari kelima. Data
dianalisis dengan uji beda Kruskal-wallis. Hubungan antara c-erbB-2, mAgNOR dan
pAgNOR dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman.
Hasil: Rerata skor histologi c-erbB-2 dan mAgNOR pada kelompok infiltrasi
levobupivakain lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain, yaitu
untuk c-erbB-2 7,2±2,16 vs 9,9±1,29 dan mAgNOR 5,94±0,15 vs 11,86±1,02, dan secara
statistik berbeda bermakna (p=0,015 dan p=0,02). Hubungan antara c-erbB-2 dan
mAgNOR secara statistik bermakna (r=0,693;p=0,004). Pada pAgNOR tidak didapat
perbedaan yang bermakna antara kelompok tersebut.
Simpulan: Ekspresi c-erbB-2 dan indeks proliferasi sel yang dinyatakan dengan mAgNOR
pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain. Terdapat hubungan antara c-erbB-2 dan
mAgNOR pada proses penyembuhan luka.
Kata kunci : Levobupivakain, c-erbB-2, AgNOR, penyembuhan luka
PENDAHULUAN
Penyembuhan luka adalah faktor penting
paska operasi yang selalu dihadapi dan
merupakan fenomena kompleks yang
melibatkan berbagai proses meliputi
inflamasi akut menyusul terjadinya
kerusakan jaringan, regenerasi sel
parenkim, migrasi dan proliferasi sel
parenkim, sintesis protein extra cellular
matrix (ECM), remodeling jaringan ikat
dan komponen parenkim, kolagenasi dan
akuisisi kekuatan luka.
1,2
-
8/16/2019 Anestesi undip
13/71
74
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Dokter bedah membuat luka pada tiap
pembedahan. Pasca bedah luka ini
mengakibatkan nyeri karena adanya
kerusakan jaringan. Nyeri akut sering
menimbulkan keadaan yang tidak
menguntungkan bagi penderita sepert
kegelisahan, perubahan hemodinamik,
gangguan pernafasan, retensi urin, ileus
dan lain-lain.3,4
Keadaan tersebut dapat menghambat
penyembuhan luka, mobilisasi yang
terganggu dan lama rawat di rumah sakit
bertambah. Luka pasca bedah di Inggris
Raya, menghabiskan dana National
Health Services minimal sebesar 1 milyar
poundsterling setiap tahunnya.3,4
Pada proses penyembuhan luka
pembentukan dan perkembangan
pembuluh darah atau angiogenesis
merupakan hal yang sangat penting. Tepisel endotel pembuluh darah mengalami
proliferasi cepat, terjadi pertumbuhan
tunas baru dari endotel pembuluh darah
yang sudah ada, membentuk jaringan
vaskularisasi baru.1
Terdapat sejumlah faktor sistemik dan
lokal yang mengganggu penyembuhan
luka. Faktor lokal yang berpengaruhterhadap penyembuhan luka antara lain
infeksi, faktor mekanik, benda asing,
macam, lokasi dan ukuran besarnya
luka.3 Faktor sistemik yang
mempengaruhi penyembuhan luka antara
lain nutrisi, status metabolik, status
sirkulasi darah dan hormon
glukokortikoid.3
Banyak ditemukan permasalahan dalam
penyembuhan luka, seperti waktu
penyembuhan yang lama, terutama bila
terjadi penyembuhan secara sekunder.
Nyeri menjadi stressor yang memicu
timbulnya gejala klinis patofisiologis,
memicu modulasi respon imun, sehingga
menyebabkan penurunan sistem imun
yang berakibat pemanjangan waktu
penyembuhan luka.1
Rasa nyeri merupakan salah satu
pencetus peningkatan hormon
glukokortikoid. Infiltrasi anestetik lokal,
dalam hal ini levobupivakain dapat
mengurangi intensitas nyeri, sehingga
menurunkan sekresi hormon
glukokortikoid dan menghilangkan salah
satu faktor penghambat penyembuhan
luka.5,6
Di tingkat sel proses angiogenesismerupakan faktor yang penting dalam
penyembuhan luka. Proses ini merupakan
proliferasi endotel yang terus menerus
membentuk jaringan vaskuler yang
menunjang semua kebutuhan sel selama
fase penyembuhan luka.1 Banyak faktor
mempengaruhi proses proliferasi endotel
ini, baik faktor eksogen maupun endogen.
Salah satu faktor endogen yangmempengaruhi proliferasi sel adalah
Epidermal Growth Factor (EGF).7
C-erbB-2 adalah glikoprotein yang lebih
dari 50% strukturnya sama dengan
reseptor EGF.7 Bila sel mengekpresikan
reseptor ini dan kemudian reseptor
berikatan dengan ligan yang cocok
(epidermal growth factor receptor
-
8/16/2019 Anestesi undip
14/71
75
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
ligands), sel yang bersangkutan akan
mengalami proliferasi.8
Salah satu marker proliferasi sel adalah
dengan pengecatan Argyrophilic
Nucleolar Organizer Region (AgNOR),
dimana ekspresinya akan meningkat pada
fase G1 dari sel, dan mencapai
puncaknya pada saat transisi dari fase G1
ke fase S, dan akan menurun pada fase
G2.8
Berdasarkan penjelasan diatas
dirumuskan masalah sebagai berikut :
Apakah infiltrasi levobupivakain
menyebabkan perbedaan ekspresi c-erbB-
2, proliferasi endotel pembuluh darah
pada proses penyembuhan luka tikus
Wistar . Penelitian ini bertujuan untuk
membuktikan adanya hubungan proses
penyembuhan luka dengan pemberian
infiltrasi levobupivakain.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental laboratorik dengan desain
“Randomized post test only control group
design”. Sampel penelitian adalah tikus
Wistar yang diperoleh dari Fakultas
peternakan UGM, Yogyakarta. Kriteria
inklusi tikus Wistar betina keturunanmurni, belum pernah digunakan untuk
penelitian, umur 2 sampai 2,5 bulan,
berat badan 250-300 gram, tidak terdapat
kelainan anatomis. Kriteria ekslusi adalah
tikus sakit selama masa adaptasi, tikus
mati selama masa adaptasi dan perlakuan.
Menurut WHO besar sampel hewan coba
untuk penelitian jangka pendek tiap
kelompok minimal 5 ekor, pada
penelitian ini jumlah sampel yang
digunakan 15 ekor, masing-masing 5
ekor untuk tiap kelompok (pemeriksaan
hari ke5).9
Randomisasi dilakukan dengan
mengelompokkan 15 ekor tikus secara
random menjadi 3 kelompok, yaitu :
Kelompok 1 (K1 : tikus tanpa
perlakuan) : 5 ekor tikus
Kelompok 2 (K2 : infiltrasi tanpa
anestetik lokal) : 5 ekor tikus Kelompok 3 (K3 : dengan infiltrasi
anestetik lokal) : 5 ekor tikus
Penelitian dan pengumpulan data
dilakukan selama 6 bulan. Perlakuan pada
tikus dan proses pengambilan jaringan
dilakukan di Laboratorium Pusat Antar
Universitas (PAU) Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta. Proses pembuatan
preparat dan pewarnaan dilakukan di
Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran UNS Surakarta dan UNDIP
Semarang.
Setelah data terkumpul dilakukan data
cleaning, coding dan tabulasi. Analisa
data meliputi analisis deskriptif dalam
bentuk rerata, standart deviasi, median
dan grafik dan uji hipotesis. Data
dikumpulkan, diolah serta dinyatakan
dalam rerata ± simpang baku (mean ±
SD) disertai kisaran (range). Dilakukan
uji homogenitas menggunakan uji
Lavene. Distribusi data variabel c-erb-B2
dan mAgNOR dan p AgNOR diuji
dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk
karena sesuai dengan uji non parametric
-
8/16/2019 Anestesi undip
15/71
76
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
dan n
-
8/16/2019 Anestesi undip
16/71
77
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Tabel 3. Nilai AgNOR (mAgNOR dan pAgNOR) pada hari ke 5
No. Nilai AgNOR
mAgNOR pAgNOR
K1.1 2,4 2
2 3,2 2
3 2,1 3
4 1,4 2
5 2,2 1K2.1 5,7 3
2 6,0 23 6,1 4
4 5,9 1
5 6,0 2
K3.1 11,0 2
2 12,6 2
3 11,9 3
4 10,7 35 13,1 3
Keterangan :mAgNOR : Nilai mean AgNOR
pAgNOR : Prosentase AgNOR
Tabel 4. Nilai rerata c-erbB-2, mAgNOR, pAgNOR
Variabel Kel N Rerata Simpang Baku Minimal Maksimal
c-erbB-2 K1 5 4,86 2,11 3,0 7,8
K2 5 7,28 2,61 4,0 10,7K3 5 9,90 1,29 8,3 10,9
mAgNOR K1 5 2,26 0,65 1,4 3,2
K2 5 5,94 0,15 5,7 6,1
K3 5 11,86 1,02 10,7 13,1
pAgNOR K1 5 2,00 0,7 1,0 3,0
K2 5 2,40 1,14 1,0 4,0K3 5 2,60 0,55 2,0 3,0
Nilai rerata C-erbB-2 pada kelompok
dengan infiltrasi levobupivakain (K3)
lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok tanpa infiltrasi obat tersebut
(K2). Nilai rerata mAgNOR pada
kelompok dengan infiltrasi
levibupivakain (K3) lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok tanpa
infiltrasi obat (K2). Nilai rerata pAgNOR
pada kelompok dengan infiltrasi
levobupivakain (K3) lebih tinggi dari
kelompok tanpa infiltrasi obat (K2).
Tanpa levobupivakain dan dengan
levobupivakain berbeda bermakna
( p=0,015), uji beda mAgNOR berbeda
bermakna ( p=0,002) dan uji beda
pAgNOR berbeda tidak bermakna
( p=0,453). Rerata dari kelompok dengan
levobupivakain, lebih tinggi daripada
kelompok tanpa levobupivakain. Hal ini
menunjukkan bahwa ekspresi c-erbB-2
secara bermakna lebih banyak
dibandingkan pada tikus tanpa infiltrasi
levobupivakain.
-
8/16/2019 Anestesi undip
17/71
78
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Tabel 5. Uji Normalitas rerata c-erbB-2, mAgNOR dan pAgNOR
Variabel P Uji
I II III
c-erbB-2 0,109 0,783 0,017 Shapiro-Wilk
mAgNOR 0,968 0,029 0,497 Shapiro-Wilk
pAgNOR 0,600 0,725 0,010 Shapiro-Wilk Ket : p≥0,05 berarti distribusi data normal
Distribusi data c-erbB-2, mAgNOR dan
pAgNOR diuji menggunakan uji
normolitas Shapiro-Wilk karena sesuai
untuk uji non parametrik, jumlah sampel
kecil < 30. Data c-erbB-2 pada kelompok
1&2 terdistribusi normal ( p=0,109 dan
p=0,783). Data mAgNOR pada
kelompok 1 terdistribusi normal
( p=0,968). Data pAgNOR pada
kelompok 1 dan 2 terdistribusi normal
( p=0,600 dan p=0,725).
Dari tabel 6, menunjukkan skor histologi
c-erB-2 antara kelompok tanpa
Diketahui nilai rerata c-erbB-2 dan
mAgNOR dengan levobupivakain (K3)
lebih besar daripada kelompok tanpa
levobupivakain (K2). Hal ini
menunjukkan bahwa ekspresi c-erbB-2
dan mAgNOR dengan infiltrasi
levobupivakain akan meningkat. Pada
kelompok kontrol (K1) ekspresi c-erbB-2
dan mAgNOR lebih rendah dari
kelompok tanpa levobupivakain.
Dari tabel hubungan c-erbB-2 terhadap
mAgNOR mempunyai koefisien korelasi
π =0,693 dan p=0,004. Hasil ini berarti
ada hubungan bermakna c-erbB-2 dengan
mAgNOR. Hubungan c-erbB-2 terhadap
pAgNOR mempunyai koefisien korelasi
π=0,312. Hasil ini berarti tidak ada
hubungan c-erbB-2 dengan pAgNOR.
Hubungan mAgNOR terhadap pAgNOR
koefisien korelasinya π=0,335 berarti
tidak ada hubungan antara mAgNOR
dengan pAgNOR.
Tabel 6. Uji beda antara kelompok c-erbB-2, mAgNOR dan pAgNOR
Varia-belKelompok
Uji PI (n=5) II (n=5) III (n=5)
c-erbB-2 4,860±2,118 7,280±2,613 9,900±1,288 Kruskal-Wallis 0,015
mAgNOR 2,260±0,647 5,940±0,15211,860±1,02
0 Kruskal-Wallis 0,002
pAgNOR 2,000±0,707 2,400±1,140 2,600±0,548 Kruskal-Wallis 0,453
p
-
8/16/2019 Anestesi undip
18/71
79
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini 15 ekor tikus betina
galur Wistar dewasa dibagi dalam 3
kelompok, kelompok 1 adalah kelompok
kontrol yang tidak diberi perlakuan
apapun, kelompok 2 dilakukan insisi
pada punggung, kemudian disuntik
dengan alat suntik kosong dan kelompok
3 diinsisi pada punggung dan diinfiltrasi
levobupivakain pada sekitar luka dan
dilihat perbedaannya terhadap skor
histologi c-erbB-2, mAgNOR dan
pAgNOR setelah hari kelima.
Kelompok kontrol bertujuan untuk
mengetahui apakah terdapat ekspresi c-
erbB-2 dan apakah ada aktivitas
proliferasi sel endotel pembuluh darah
dalam keadaan tidak ada rangsangan pada
tikus yang tidak dilakukan insisi pada
punggungnya.
Pada penelitian ini dilakukan penilaian
terhadap ekspresi c-erbB-2 dan nilai
AgNOR dengan tujuan untuk melihat
apakah infiltrasi levobupivakain
mempengaruhi ekspresi c-erbB-2, yang
merupakan up regulator dan
angiogenesis. Proses angiogenesis
dimulai bila reseptor pada permukaan sel
berikatan dengan ligan yang cocok yang bersifat mitogenik, baik yang bersifat
mengaktifkan tirosin kinase pada
permukaan membran maupun yang non
tirosin kinase, mengirimkan sinyal ke inti
sel yang selanjutnya akan terjadi aktivitas
mitotik dalam inti sel. Inti sel endotel
pembuluh darah yang sedang membelah
memberikan pulasan positif pada
pengecatan AgNOR.
Pada penelitian ini mengambil biopsi
jaringan pada luka yang dilakukan pada
hari kelima, karena proses angiogenesis
menjadi sangat aktif pada saat ini.11
Untuk uji homogenitas ketiga kelompok
dilihat dengan variabel yang dapat diukur
yaitu berat badan, dimana didapat hasil
statistik berbeda tidak bermakna. Berarti
kedua kelompok berasal dari populasi
yang homogen, pada umumnya tikus
berasal dari satu indukan dimana
mempunyai karakteristik yang mirip.
Dalam hal ini faktor bias pada hewan
coba dapat dihindari. Hasil penelitian
menunjukkan adanya ekspresi c-erbB-2
pada endotel pembuluh darah kelompok
kontrol yang tidak diberikan perlakuan
apapun. Samarut J pada penelitiannya
reseptor membran sitokin dan reseptor
hormon inti pada leukemogenesis dan
diferensiasi hemopoetik memperlihatkanreseptor c-erbB normal diperlukan dalam
mengontrol pembelahan sel progenitor
eritrositik.12
Skor histologi c-erbB-2 pada kelompok 3
lebih tinggi dari kelompok 2, hal ini
menunjukkan bahwa infiltrasi ekspresi c-
erbB-2 pada endotel pembuluh darah,
sedangkan mAgNOR pada kelompok 3 juga lebih tinggi dari kelompok 2 dan
kelompok kontrol, hal ini menunjukkan
bahwa infiltrasi levobupivakain
meningkatkan aktivitas proliferasi sel
endotel pembuluh darah. Pada kelompok
3 pAgNOR berbeda tidak bermakna, hal
ini dapat karena aktivitas angiogenesis
yang terjadi pada proses penyembuhan
luka bukan merupakan proliferasi yang
-
8/16/2019 Anestesi undip
19/71
80
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
berlebihan seperti yang terjadi pada
pertumbuhan tumor.
Uji korelasi terhadap c-erbB-2 dan
mAgNOR menunjukkan adanya
hubungan yang kuat, karena c-erbB-2
merupakan upregulator angiogenesis.
Korelasi c-erbB2 dengan pAgNOR tidak
menunjukkan adanya hubungan, juga
antara mAgNOR dan pAgNOR.Ini
mungkin karena sifat proliferasi sel yang
normal tinggi tidak kearah yang
berlebihan.
Pengamatan secara makroskopis
mengenai jaringan luka dapat dilakukan
dengan pengambilan biopsi jaringan
dengan waktu yang berbeda, sehingga
dapat dibandingkan yang diinfiltrasi
levobupivakain dengan yang tidak.
Dengan demikian hasil yang diperoleh
dapat menyeluruh.
Dari hasil penelitian ini maka dalam
aplikasi klinis infiltrasi anestetik lokal
levobupivakain dapat dijadikan alternatif
untuk mengendalikan nyeri akut paska
bedah sehingga penyembuhan luka dapat
lebih baik.
SIMPULANSkor histologi c-erbB-2 pada kelompok
yang diinfiltrasi levobupivakain lebih
tinggi daripada kelompok yang tidak
diinfiltrasi levobupivakain. Hal ini berarti
ekspresi c-erbB-2 meningkat akibat dari
infiltrasi levobupivakain.
Nilai mAgNOR kelompok yang
diinfiltrasi levobupivakain lebih tinggi
daripada kelompok yang tidak diinfiltrasi
levobupivakain. Hal ini berarti
proliferasi endotel pembuluh darah
meningkat akibat dari infiltrasi
levobupivakain
Terdapat hubungan antara skor histologi
c-erbB-2 dan mAgNOR yang secara
statistik bermakna. Perlu dilakukan
penelitian yang melihat langsung
perbedaan proses penyembuhan luka
pada yang diinfiltrasi levobupivakain
dengan yang tidak. Pada pengecatan
AgNOR untuk melihat proliferasi pada
endotel pembuluh darah untuk mendapat
hasil terbaik dapat dilakukan pemilihan
blok parafin dengan pengecatan
hematoksilin eosin terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cotran RS, Kumar V, Collins T. Pathology
basic of disease. 6th
ed. Philadelphia:WB
Saunders Co, 1999.p. 21-20.
2. Constantinnides P. General pathobiology.
1sted. Connecticut: Appleton and
Lange,1994.p. 173-81.
3. Mast AB. Normal wound healing. In:
Achauer B M, Eriksson E. eds. Plastic
surgery, indications, operations and
outcomes. St Louis: Mosby, 2000.p. 37-53.
4. Pedersen D. Accelerated surgical stay
programe. Annals of surgery 1994; 219:
374-81.
5. Bardram L, Funch-Jensen P, Crawford ME,
Kehlet H. Recovery after laparoscopic
colonic surgery with epidural analgesia and
early oral nutrition and mobilitation. Lancet
1995; 345: 763-4.
6. Webster EL, Torpy DJ, Elenkov IJ,
Chrousos GP. Corticotropin releasing
hormone and inflammation. Annals of the
New York Academy of Sciences 1998; 840:
21-32.
-
8/16/2019 Anestesi undip
20/71
81
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
7. Carpenter G, Cohen S. Epidermal growth
factor. J Biol Chem 1990; 265: 7709.
8. Angiogenesis and stromal markers in
experimental and laryngeal tumor
development. [editorial]. 2002. Availablefrom:URL:http://herkules.oulu.fi/isbn95142
69497/html/i251889.html
9. World Health Organization. Research
guidelines for evaluating the safety and
efficacy of herbal medicines. New York:
WHO Publications, 1993.p. 37-41.
10. Wasito R. Imunihistokimia. Dalam:
pedoman kuliah immuno-histopatologi.
DepDikbud. Proyek pengembangan pusat
fasilitas bersama antar uuniversitas.
Yogyakarta: PAU Bioteknologi-UniversitasGajah Mada, 1991. Hal. 36-80.
11. Pettersson N, Berggren P, Larsson M, Jeff
R, Thomsen J. Pain relief by wound
infiltration with bupivacaine or high dose
rovacaine after inguinal hernia repair. Reg
Anesth Pain Med 1999; 24: 569-75.
12. Samarut J. Nuclear hormone receptors
cytokine membrane receptors in the control
of chicken hematopoietic differentiation and
leukemogenesis. 2004. Available from:
URL:http://www.scilet.com/bioandbiosafety
/pab/pababs4.html
http://herkules.oulu.fi/isbn9514269497/html/i251889.htmlhttp://herkules.oulu.fi/isbn9514269497/html/i251889.htmlhttp://www.scilet.com/bioandbiosafety/pab/pababs4.htmhttp://www.scilet.com/bioandbiosafety/pab/pababs4.htmhttp://www.scilet.com/bioandbiosafety/pab/pababs4.htmhttp://www.scilet.com/bioandbiosafety/pab/pababs4.htmhttp://www.scilet.com/bioandbiosafety/pab/pababs4.htmhttp://herkules.oulu.fi/isbn9514269497/html/i251889.htmlhttp://herkules.oulu.fi/isbn9514269497/html/i251889.htmlhttp://herkules.oulu.fi/isbn9514269497/html/i251889.html
-
8/16/2019 Anestesi undip
21/71
82
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PENELITIAN
Pengaruh Midazolam, Atrakurium Terhadap Fasikulasi Dan Kenaikan Kadar
Kreatin Fosfokinase Akibat Suksinilkolin
R. Cristianto Nugroho*, Abdul Lian Siregar*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background : Succinylcholine is commonly used for intubating fascilitation in emergency
and day-case anesthesia. Most occured side effects of succinylcholine is fasciculation,
myalgia, and elevation of blood creatine phosphokinase level. Atracurium, like other
depolarizing muscle relaxants, had been proved as a gold standard for pretreatment
againts these side effects. Midazolam, that has been known as popular premedication drug,
has not been studied most for these utilities yet.
Objective : The aim of this study was to prove that pretreatment with midazolam 0,03
mg/Kg or atracurium 0,05 mg/Kg could reduce fasciculation, myalgia and elevation of
CPK level following succinylcholine administration.
Method : This study was designed as double blind randomly clinical trial on 54 patients
underwent elective surgery, 16 – 40 years age. ASA I-II and fullfill the inclusion criterias.
Before pretreatment drug had beengiven, a blood sample for preinduction creatine
phosphokinase level measurement were taken. Patients was divided into three groups of
pretreatment drugs, receiving midazolam 0,03 mg/Kg, atracurium 0,05 mg/Kg and NaCl
0,9% (control group). Three minutes later, anesthesia was induced with thiopentone 4-5
mg/Kg and succinylcholine 1,5 mg/Kg. Fasciculations were scored followed by intubation.
Twenty four hours after operation, myalgias were scored and a blood sample for post
operation CPK level measurement were taken. Statisticsl analysis were performed by
Anova-post hoc Bonferroni test, chi square – Wilcoxon Signed Ranks test and Spearman
correlation test.
Result : The characteristic features of the three groups are similar. Threre are significantly
reduction of fasciculation incidence (p
-
8/16/2019 Anestesi undip
22/71
83
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
ABSTRAK
Latar Belakang : Pemakaian suksinilkolin sebagai fasilitas intubasi masih merupakan
pilihan dalam anestesia, terutama untuk kasus emergensi dan rawat jalan. Efek samping
yang sering timbul adalah fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase
(CPK) darah. Atrakurium, seperti pelumpuh otot non depolarisasi lain, telah teruji sebagai
baku emas pretreatment terhadap efek samping ini. Sedangkan Midazolam, yang populer
sebagai obat premedikasi belum banyak diteliti sebagai pretreatment.
Tujuan : Membuktikan bahwa pretreatment midazolam 0,03 mg/KgBB atau atrakurium
0,05 mg/KgBB dapat mengurangi fasikulasi, mialgia, dan kenaikan kadar kreatin
fosfokinase darah akibat pemberian suksinilkolin.
Metode : Penelitian ini dirancang untuk uji klinis acak tersamar ganda terhadap 54
penderita yang akan menjalani operasi elektif, usia 16 – 40 tahun, status fisik ASA I-II dan
memenuhi kriteria inklusi. Sebelum mendapat obat pretreatment, dilakukan pengambilan
darah untuk pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan. Penderita dibagi
menjadi tiga kelompok sesuai pretreatment yang diberikan, yaitu midazolam 0,03
mg/KgBB iv, atrakurium 0,05 mg/KgBB iv dan kontrol mendapat NaCL 0,9%. Tiga menit
kemudian semua penderita diinduksi dengan Tiopental 4-5 mg/KgBB iv dan suksinilkolin
1,5 mg/KgBB iv. Fasikulasi yang timbul dinilai, dilanjutkan dengan intubasi. Duapuluh
empat jam pasca operasi dilakukan penilaian mialgia dan pengambilan darah untuk
pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pasca perlakuan. Uji statistik menggunakan uji
Anova – Post hoc Bonferroni dan uji Kai kuadrat – Wilcoxon Signed Rank serta uji
korelasi dari Spearman.Hasil : Data karakteristik penderita berbeda tidak bermakna pada ketiga kelompok. Pada
kelompok atrakurium terjadi penurunan kejadian fasikulasi ( p
-
8/16/2019 Anestesi undip
23/71
84
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PENDAHULUAN
Suksinilkolin adalah obat pelumpuh otot
golongan depolarisasi yang saat ini masih
sering digunakan untuk fasilitas intubasi,
terutama pada anestesi emergensi (rapid-
sequence induction) dan anestesi rawat
jalan (ambulatory/ day case
anesthesia).1,2,3,4
Beberapa keuntungan pemberian
suksinilkolin untuk intubasi adalah mula
aksi yang cepat, lama kerja yang pendek,
murah, dan mudah diperoleh serta
toksisitas jaringan yang rendah.1,5,6,7 Efek
samping suksinilkolin meliputi fasikulasi
otot, disritmia jantung, hiperkalemia,
reaksi anafilaktik, spasme otot masseter,
dan mialgia serta peningkatan tekanan
intragastrik, tekanan intraokuler dan
tekanan intrakranial, hingga timbulnya
komplikasi serius berupa hipertermia
maligna.
1,4,6,7
Efek samping kerusakan otot yang
ditimbulkan akan disertai dengan
perubahan biokimia berupa peningkatan
kadar kalium, mioglobin dan kreatin
fosfokinase darah.7,8,9,10
Fasikulasi otot dan mialgia akibat
pemberian suksinilkolin merupakankomplikasi yang sering dijumpai, dimana
berbagai studi melaporkan kejadian
mialgia paska suksinilkolin berkisar
antara 2% hingga 89%.2,11,12,13
Frekuensi
dan beratnya komplikasi ini dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti umur, jenis
kelamin, latihan otot sebelumnya,
kelainan metabolit, merokok, lama dan
jenis operasi, posisi pasien selama
operasi serta pemberian obat sebelumnya
( pretreatment ).14,15
Berbagai penelitian sebelumnya
menemukan bahwa ternyata antara
fasikulasi otot dan mialgia paska operasi
akibat pemberian suksinilkolin tidak
terdapat kaitan yang bermakna.8,12,16
Banyak jenis obat yang telah diteliti
untuk mencari upaya alternatif dalam
mengurangi atau menghilangkan
fasikulasi otot dan mialgia paska
suksinilkolin, diantaranya pretreatment
dengan obat anestesi lokal, golongan
NSAID, preparat kalsium, preparat
magnesium, klorpromazin, vitamin,
golongan benzodiazepin dan yang paling
populer adalah dengan pelumpuh otot
non depolarisasi dosis kecil.9,10,13,17
Midazolam adalah obat golongan
benzodiazepin dengan potensial dua kalilipat dari diazepam dan saat ini
merupakan obat yang paling sering
digunakan dalam premedikasi.1,7 Di
Amerika Serikat pada tahun 1996- 1997,
lebih dari 75% premedikasi
menggunakan midazolam18.
Diazepam, generasi pendahulu
midazolam, dua dasawarsa yang lalutelah digunakan setidaknya pada dua
penelitian sebagai obat pretreatment
pencegah fasikulasi dan mialgia dengan
hasil cukup memuaskan, yaitu
mengurangi mialgia hingga 30%.17,19,20,21
Midazolam sendiri sejauh penelusuran
kepustakaan oleh penulis, baru satu kali
digunakan pada suatu penelitian yang
-
8/16/2019 Anestesi undip
24/71
85
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
menyimpulkan bahwa midazolam tidak
bermanfaat dalam mencegah mialgia,
kenaikan kadar mioglobin dan kenaikan
kadar kreatin fosfokinase darah.10
METODE
Penelitian ini dilaksanakan dalam ruang
lingkup anestesiologi, dan merupakan uji
klinis tahap II fase 3, dirancang sebagai
uji klinis acak tersamar ganda (double
blind randomized controlled trial ) yang
membandingkan 3 kelompok penelitian,
yaitu kelompok kontrol, kelompok
midazolam, dan kelompok atrakurium.
Penelitian ini dilakukan dengan
rancangan pre test – post test control
group design untuk variabel kadar kreatin
fosfokinase darah dan post test only
control group design untuk variabel skor
fasikulasi dan skor mialgia.
Populasi targetnya adalah penderita yangmengalami operasi selektif dengan
anestesia umum di instalasi bedah sentral
RS Dr Kariadi Semarang serta memenuhi
kriteria inklusi, eksklusi, dan drop out .
Kriteria inklusi disini meliputi : jenis
kelamin laki-laki dan perempuan, umur
16-40 tahun, status fisik ASA I-II, tidak
memiliki kelainan neuromuskular dan
atau metabolik, 5 hari sebelumnya tidakmelakukan aktivitas lebih dari aktivitas
harian, bukan penderita trauma, operasi
ortopedik atau kardiovaskular, tidak
sedang hamil dan tidak merokok, serta
tidak ada kontraindikasi penggunaan
obat-obat penelitian. Kriteria eksklusi
penelitian ini meliputi operasi yang
direncanakan lebih dari 2 jam, mendapat
injeksi intramuskular dalam 24 jam
sebelum operasi, mendapat obat jenis
pretreatment lain 24 jam sebelum operasi,
posisi operasi direncanakan tidak
telentang. Sedangkan kriteria drop out
penelitian ini adalah lama operasi
ternyata lebih dari 2 jam, lalu penderita
mengalami hipertermia maligna saat
operasi, mendapat injeksi intramuskular
selama 24 jam paska operasi. Alokasi
penderita untuk ketiga kelompok
penelitian dilakukan secara randomisasi
sederhana. Jumlah sampel 3 kelompok
adalah 45 orang, dan dengan
memperhitungkan faktor koreksi drop out
(diperkirakan 10%) maka jumlah sampel
keseluruhan sebanyak 56 orang.
HASIL
Telah dilakukan penelitian pengaruh
pretreatment midazolam atau atrakurium
terhadap fasikulasi, mialgia, dankenaikan kadar kreatin fosfokinase darah
akibat suksinilkolin pada 56 orang
penderita dengan status fisik ASA I – II
yang dibagi menjadi 3 kelompok,
masing-masing 19 orang penderita
kelompok midazolam (M) yang
mendapat pretreatment midazolam 0,03
mg/kgBB, 19 orang penderita kelompok
atrakurium (A) yang mendapat pretreatment atrakurium 0,05 mg/kgBB
dan 18 orang penderita kelompok kontrol
(K) yang tidak mendapat pretreatmnet
(diberi NaCL 0,9%). Dua orang penderita
dikeluarkan dari penelitian, yakni satu
orang dari kelompok midazolam karena
lama operasi lebih dari dua jam (operasi
polipektomi + CWL) dan satu orang dari
kelompok atrakurium karena pulang dari
-
8/16/2019 Anestesi undip
25/71
86
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
rumah sakit sebelum 24 jam pasca
operasi (operasi medis wanita/ MOW).
PEMBAHASAN
Data – data karakteristik demografi (umur,
jenis kelamin, dan tingkat pendidikan),
kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan,
lama operasi dan jenis operasi dapat
dilihat pada tabel-tabel berikut. Jenis
operasi yang termasuk THT adalah
tonsilektomi, polipektomi, etmoidektomi
dan CWL. Jenis operasi ginekologi
meliputi ooforektomi, miomektomi, dan
kistektomi. Sedangkan jenis operasi
digestif meliputi appendiktomi dan
herniorafi.
Pada tabel 3 terlihat prosentase skor
fasikulasi berat kelompok atrakurium dan
midazolam lebih rendah daripada
kelompok kontrol. Uji kai kuadrat
terhadap perbedaan skor fasikulasi antara
ketiga kelompok menunjukkan
Tabel 1. Data karakteristik demografi, kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan
VariabelKel.Midazolam
(n=18)Kel.Atrakurium
(n=18)Kel.Kontrol
(n=18)p
Umur (tahun) 28,72 (SB 8,42) 28,44 (SB 7,50) 29,00 (SB 7,81) 0,978*
Jenis Kelamin :
Laki – laki 4 (22,2%) 4 (22,2%) 4 (22,2%) 1,000*
Perempuan 14 (77,8%) 14 (77,8%) 14 (77,8%)
Tingkat Pendidikan : Tak Tamat SD 1 (5,6%) 0 (0%) 0(0%)
Tamat SD 3 (16,7%) 5 (27,8%) 5 (27,8%)Tamat SLTP 6 (33,3%) 5 (27,8%) 6 (33,3%) 0,662
**
Tamat SLTA 6 (33,3%) 5 (27,8%) 7 (38,9%)Tamat PT 2 (11,1%) 3 (16,7%) 0 (0%)
Kadar CPK Awal 46,22 (SB 27,66) 49,83 (SB 28,45) 67,56 (SB 86,01) 0,462
*)uji Anova = berbeda tak bermakna ; **)uji Kai kuadrat=berbeda tak bermakna
Tabel 2. Lama dan jenis operasi kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol
VariabelKel.Midazolam
(n=18)Kel.Atrakurium
(n=18)Kel.Kontrol
(n=18) p
Lama Operasi (menit) 52,00 (SB 24,22) 52,22 (SB 32,67) 56,72 (SB 22,85) 0,839*
Jenis Operasi :
THT 5 (27,8%) 6 (33,3%) 5 (27,8%)
Eksisi Biopsi FAM 5 (27,8%) 5 (27,8%) 6 (33,3%)
Ginekologi 4 (22,2%) 2 (11,1%) 3 (16,7%) 0,992MOW 2 (11,1%) 3 (16,7%) 3 (16,7%)
Digestif 2 (11,1%) 2 (11,1%) 1 (5,6%)*)uji Anova = berbeda tak bermakna ;
**)uji Kai kuadrat=berbeda tak bermakna
Tabel 3. Skor fakulasi kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol
Skor Fasikulasi Kel. Midazolam Kel. Atrakurium Kel. Kontrol p
0 (tidak ada) 0 (0,0 %) 13 (72,2 %) 0 (0,0 %)
1 (ringan) 9 (50,0 %) 5 (27,8 %) 4 (22,2 %)2 (sedang) 3 (16,7 %) 0 (0,0 %) 6 (33,3 %) 0,000
**
3 (berat) 6 (33,3%) 0 (0,0 %) 8 (44,4 %)
Jumlah 18 (100.00 %) 18 (100,00 %) 18 (100,00 %)**)uji Kai kuadrat = berbeda bermakna
-
8/16/2019 Anestesi undip
26/71
87
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Tabel 4. Uji Wilcoxon Signed Ranks skor fasikulasi antar kelompok
Perbedaan Skor
Fasikulasi
Kel. Atrakurium –
Kel. Midazolam
Kel. Kontrol –
Kel. Atrakurium
Kel. Kontrol –
Kel. Midazolam
Z -3,464 -3,668 -1,536 p (2 ekor) 0,001 0,000
0,125
*) berbeda bermakna
Tabel 5. Skor mialgia kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol
Skor Fasikulasi Kel. Midazolam Kel. Atrakurium Kel. Kontrol P
0 (nihil) 10 (55,6 %) 10 (55,6 %) 0 (0,0 %)
1 (ringan) 6 (33,3 %) 8 (44,4 %) 6 (33,3%) 0,000
2 (sedang) 2 (11,1%) 0 (0,0 %) 8 (44,4 %)
3 (berat) 0 (0,0 %) 0 (0,0 %) 4 (22,2%)**
) uji Kai kuadrat = berbeda bermakna
Perbedaan Skor MialgiaKel.Atrakurium-
Kel.Midazolam
Kel.Kontrol-
Kel. Atrakurium
Kel.Kontrol-
Kel.Midazolam
Z -3,720 -3,487
p(2 ekor) 0,480 0,000*
0,000*
*) berbeda bermakna
Dari data karakteristik tersebut terlihat
adanya perbedaan yang tidak bermakna
(p > 0,05) pada seluruh variabel di ketiga
kelompok penelitian.
Data hasil penilaian skor fasikulasi dapatdilihat pada tabel 3. Adanya perbedaan
yang bermakna (p < 0,05). Untuk
mencari dimana letak perbedaannya,
analisis dilanjutkan dengan uji Wilcoxon
Signed Ranks (non parametrik) dengan
hasil pada tabel 4.
Uji hipotesis ini menunjukkan bahwa
meskipun prosentase skor fasikulasi berat
kelompok atrakurium dan midazolam
lebih rendah daripada kelompok kontrol,
perbedaan ini hanya bermakna pada
kelompok atrakurium, sedangkan pada
kelompok midazolam kuadrat terhadap
perbedaan skor mialgia antara ketiga
kelompok penelitian menunjukkan
adanya perbedaan yang bermakna
(p
-
8/16/2019 Anestesi undip
27/71
88
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
kenaikan kadar kreatin fosfokinase pada
kelompok midazolam maupun atrakurium
lebih rendah daripada kelompok kontrol.
Uji Anova terhadap perbedaan kadar
kreatin fosfokinase darah akibat
suksinilkolin. Diantara tiga akibat
(variabel terikat) pemberian suksinilkolin
ada korelasi antara mialgia dengan
kenaikan kadar fosfokinase antara ketiga
kelompok menunjukkan adanya
perbedaan yang bermakna (p = 0,013)
sehingga dilanjutkan dengan uji Post hoc
Bonferroni pada tabel 8.
Uji hipotesis ini menunjukkan bahwa
perbedaan kenaikan ini pada kelompok
atrakurium secara statistik bermakna,
sedangkan pada kelompok midazolam
tidak bermakna. Perbedaan kenaikan
kadar kreatin fosfokinase antara
kelompok atrakurium dan midazolam
tidak bermakna secara statistik.
Tabel 7. Kadar kreatin fosfokinase kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol
Kel.Midazolam Kel.Atrakurium Kel.Kontrol pRerata SB Rerata SB Rerata SB
CPK pra perlakuan 46,22 27,66 49,83 28,45 67,55 86,01 0,462
CPK pasca perlakuan 97,00 53,07 80,56 70,56 182,00 141,36 0,006*
Perbedaan CPK 50,78 64,13 30,72 62,30 114,44 116,59 0,013*
*)uji Anova = berbeda bermakna
Tabel 8. Uji Post hoc Bonferroni perbedaan kadar kreatin fosfokinase antar kelompok
Perbedaan Kadar CKKel.Atrakurium –
Kel.Midazolam
Kel.Kontrol –
Kel.Atrakurium
Kel.Kontrol –
Kel.Midazolam
Beda Rerata 20,00 83,72 63,67
p (2 ekor) 1,000 0,014*
0,086*)berbeda bermakna
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan sebelumnya dapat ditarik
kesimpulan bahwa atrakurium (dosis 0,05
mg/kgBB) efektif digunakan sebagai
pretreatment dalam mengurangi
fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar
fosfokinase darah akibat suksinilkolin.
Kemudian midazolam (dosis 0,03
mg/KgBB) sebagai pretreatment sama
efektifnya dengan atrakurium dalam
mengurangi mialgia akibat suksinilkolin,
tidak efektif dalam mengurangi fasikulasi
akibat suksinilkolin, dan kurang efektif
dibandingkan atrakurium dalam
mengurangi kenaikan kadar kreatin
fosfokinase darah, tidak ada korelasi
antara fasikulasi dengan mialgia, dan
tidak ada korelasi antara fasikulasi
dengan kenaikan kadar kreatin
fosfokinase darah.
Sesuai dengan kesimpulan di atas, kami
menyarankan agar atrakurium dapat
dipergunakan sebagai pretreatment yang
efektif dalam mencegah atau mengurangi
fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar
kreatin fosfokinase darah akibat
pemberian suksinilkolin. Kemudian
diharapkan dilakukan penelitian lebih
lanjut terhadap efektivitas midazolam
sebagai pretreatment dengan dosis lebih
besar, interval waktu pemberian lebih
lama dan cara atau rute pemberian yang
berbeda (misalnya secara intramuskular
yang biasa dilakukan dalam premedikasi)
serta dengan konfirmasi silang dari hasil
pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase
agar hasilnya lebih sahih.
-
8/16/2019 Anestesi undip
28/71
89
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
DAFTAR PUSTAKA
1. Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN.
Lee‟s synopsis of anaesthesia. 12th ed.
Oxford : Butterworth Co, 174 – 99, 200 – 28, 416 – 8.
2. Cartwright DP. Suxamethonium in day-case
anesthesia. Br J Anesth 1993 ; 71(6) : Corr.
3. Alikhami S, Robert JT. Airway evaluation
and management. In : Hurford WE, Bailin
MT, Davison JK, Haspel KL. Clinical
anesthesia procedures of the Massachusetts
General Hospital. 5th ed. Philadelphia :
Lippincott-Raven, 1998 : 204 – 22.
4. Stacey MRW, Barclay K, Asai T, Vaughan
RS. Effects of magnesium sulphate onsuxamethonium-induced complications
during rapid-sequence induction of
anesthesia. Anesthesia 1995 ; 50 : 933 – 6.
5. Durant NN, Katz RL. Suxamethonium. Br J
Anesthesia 1982; 54: 195 – 205.
6. Savarese JJ, Caldwell JE. Lien CA, Miller
RD. Pharmacology of muscle relaxants and
their antagonists. Miller RD Anesthesia 5th
ed. Philadelphia : Churchill Livingstone,
2000 : 412 – 90.
7. Stoelting RK. Pharmacology and Physiology
in Anesthesic Practice 3rd ed. Philadelphia :
Lippincott-Raven, 1999: 126 – 39, 182 –
223, 748 – 51.
8. Maddieni VR, Mirakhur RK, Cooper AR.
Myalgia and biochemical changes following
suxamethonium after induction of anesthesia
with thiopenton or propofol. Anesthesia 199;
48: 626 – 8.
9. McLouglin C, Elliot P, McCarty. Muscle
pains and biochemical changes following
suxamethonium administration after six
pretreatment regimens. Anesthesia 1992; 47:
202 – 6.
10. Laurence AS. Myalgia and biochemical
changes following intermittent
suxamethonium administration. Anesthesia
1987; 42: 503 – 10.
11. Ferres CJ, Mirakhur RK, Craig HJL.
Pretreatment with vecuronium as a
prophylactic againts post-suxamethonium
muscle pain. Br J Anesthesia 1983; 55: 735
– 41.
12. Raman SK, San WM. Fasciculations,
myalgia and biochemical changes following
succinylcholine with atracurium and
lidocaine pretreatmnet. Can J Anesthesia
1997; 44: 498 – 502.13. Cannon JE. Precurarization. Can J Anesth
1994; 41: 177 – 83.
14. Houghton IT, Aun CST, Gin T.
Suxamethonium myalgia: an ethnic
comparison with and without pancuronium
pretreatment. Anesthesia 1993; 48: 377 – 81.
15. Brodsky JB, Ehrenwerth J. Postoperative
muscle pain and suxamtethonium. Br J
Anesth 1980; 52: 215 – 8.
16. Kahraman S, Ercan S, Aypar U, Erdem K.
Effect of preoperative i.m. administration of
diclofenac on
17. Pace NL. Prevention of succinylcholine
myalgias: a meta-analysis. Anesth Analg
1990; 70: 477 – 83.
18. Tramer MR, Schneider J, Marti RA, Rifat K.
Role of Magnesium Sulphate in
Postoperative Analgesia. Anesthesiology
1996; 84: 340-7.
19. Koinig H, Wallner T, Marhofer P,
Magnesium Sulphate Reduces Intra and
Postoperative Analgesic Requirements.
Anesthesia and Analgesia 1998; 87: 206-10.
20. Wilder-Smith CH, Knopfli R, Wilder-Smith
OH. Perioperative Magnesium Infusion and
Postoperative Pain. Acta Anesthesiologica
Scandinavica 1997; 41: 1023-7.
21. Seong-Hoon K, Hye-Rin L, Dong-Chan K,
Magnesium Sulphate does not Reduces
Postoperative Analgesic Requierments.
Anesthesiology 2001; 95: 640-6.
-
8/16/2019 Anestesi undip
29/71
90
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PENELITIAN
Pengaruh Pretreatmen t Magnesium Sulfat Dan Atrakurium Terhadap Perubahan
Tekanan Intraokuler Akibat Suksinilkolin
Imam Suyuti*, IGN Panji*, Mohammad Sofyan Harahap *
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background :Succinylcholine is the only one muscle relaxant with rapid action and short
duration, but it has some side effects, such as increasing of intraocular pressure.
Precurarisation with non depolarizing muscle relaxants could prevent this but may
increase the succinylcholine dose. Magnesium sulphate works competitively in the
neuromuscular junctionon prejunctionaly site.
Purpose: To proof that magnesium sulphate pretreatment to prevent has the same
efficiency with atracurium in preventing the increased of intraocular pressure caused by
succinylcholine administration.
Methods : The study was clinical trial stage II, with double blind randomized controlled
trial. The number of samples was 54 patients divided into 2 groups; Group I :threated with
magnesium sulphate 40 m/kg intravenously in l0 minutes, 3 minutes before inductin. Group
II : administrationNaCl20 in in l0 ml, subsequently atracurium 0,05 ml/kg in 3 ml, 3
minutes before induction, in l0minutes, 13 minutes before induction, subsequently NaCl 3
ml, 3 minutes before induction.
Results: There was no increased in intraoccular pressurc 2 minutes after succinylcholine
administration both groups. But there was a decreased in intraoccular pressure on both
goups. There was, no Siqnificant change of intraoccular pressure in both groups after
sucynilcholine administration
Conclusion: There was no intraocular prcssure increase after
succinylcholineadministration in patients treated by magnesium sulphate, and atracurium.
There was no significant difference in the change of intraocular pressure after
pretreatment with magnesium sulphate and also atracurium.
Keywords: Succinylcholine atracurium, magnesium sulphate, intraocular pressure.
ABSTRAK
Latar belakang : Suksinilkolin satu-satunya pelumpuh otot dengan onset cepat dan durasi
kerja sangat singkat, tetapi mempunyai efek samping diantaranya menaikkan tekanan
intraokuler. Prekurarisasi dengan pelumpuh otot non depolarisasi menyebabkan
peningkatan dosis suksinilkolin. Magnesium bekerja secara kompetitif pada
neuromuscular junction menduduki prejunctional site.
-
8/16/2019 Anestesi undip
30/71
91
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Tujuan : Membuktikan bahwa pretreatment magnesium sulfat sama baiknya dengan
pretreatment atracurium untuk mencegah kenaikan tekanan intraokuler akibat pemberian
suksinilkolin.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis tahap II, dirancang sebagai double blind
randomized controlled trial. Sampel 54 pasien, dibagi dalam 2 kelompok; kelompok I :
diberikan magnesium sulfat 40 mg/kg diencerkan sampai 20 ml, i.v dimasukkan dalam 10
menit, 13 menit sebelum induksi, dilanjutkan NaCl 3 ml 3 menit sebelum induksi. Kelompok
II (kontrol) : mendapatkan NaCl 20 ml dimasukkan dalam l0 menit, dilanjutkan
atracurium 0.05 mg/kg diencerkan sampai 3 ml, 3 menit sebelum induksi. Tekanan
intraokuler diukur sebelum perlakuan, 2 menit setelah pemberian suksinilkolin dan segera
setelah intubasi.
Hasil: Tidak terjadi peningkatan tekanan intraokuler 2 menit setelah pemberian
suksinilkolin pada kelompok I maupun kelompok II, justru terjadi penurunan tekanan
intaokuler pada kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna, pada
perubahan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada kelompok I maupun
II.
Simpulan: Tidak terjadi kenaikan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin
pada pasien yang mendapat pretreatment magnesium sulfat, maupun yang mendapat
pretreatment atracurium. Tidak terdapat perbedaan yang bermaknapada perubahan
tekanan intraokuler setelah pernberian magnesium sulfat maupun atracurium.
Kata kunci : suksinilkotin, tekanan intraokuler, magnesium sulfat, atracurium.
PENDAHULUAN
Suksinilkolin adalah satu-satunya obat
pelumpuh otot golongan depolarisasi,
yang digunakan dalam praktek klinik.
Suksinilkolin merupakan satu-satunya
obat anestesi dengan kejadian komplikasi
yang begitu tinggi yang masih tetap
digunakan sampai saat ini, karena obat inimempunyai onset yang cepat dan durasi
kerja yang sangat singkat walaupun hal
ini tidak selalu menguntungkan.1,2,3
Penggunaan suksinilkolin hanya untuk
fasilitas intubasi, terutama pada anestesi
keadaan darurat (rapid-sequence
induction), anestesi rawat jalan
(ambulatory/day-case anaesthesia), dan
pada pasien dengan prediksi kesulitan
intubasi.l,2,3,4
Keuntungan lain penggunaan
suksinilkolin untuk fasilitas intubasi
adalah harganya murah, mudah diperoleh,
stabil disimpan dalam suhu kamar serta
toksisitas jaringan yang rendah.
1,5,6,7
Efeksamping suksinilkolin adalah fasikulasi
otot disritmia jantung hiperkalemia
reaksi anafilaktik spasme otot masseter,
mialgia, peningkatan tekanan intragastrik
kenaikan tekanan intraokuler dan tekanan
intrakranial, sampai komplikasi serius
berupa hipertermi maligna. 1,4,6,7
-
8/16/2019 Anestesi undip
31/71
92
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Fasikulasi adalah kontraksi otot rangka
secara cepat terus menerus (tetanik), tidak
sinkron disebabkan oleh depolarisasi
yang terus-menerus, akibat ikatan
suksinilkolin dengan reseptor membran
post sinap.7 Fasikulasi ini menyebabkan
efek samping yang tidak diinginkan
seperti kenaikan kadar kalium,
peningkatan tekanan intrakranial,
kenaikan tekanan intragastrik dan
kenaikan tekanan infaokuler.7
Berbagai
metode dan jenis obat telah diteliti
sebagai pretreatment untuk mencegah
atau mengurangi efek samping akibat
pemberian suksinilkolin, diantaranya
adalah: magnesium,8,9 golongan NSAID,
benzodiazepin, obat pelumpuh otot
golongan non depolarisasi kalsium dan
magnesium.10,11
Efek suksinilkolin yang menaikkan
tekanan intraokuler membatasi penggunaannya terutama pada pasien
dengan trauma tembus mata dan operasi
mata yang akan membuka bilik
anterior.12,13,14
Kenaikan tekanan
intraokuler setelah pemberian
suksinilkolin disebabkan karena efek
langsung dari kontraksi (fasikulasi) otot
ekstraokuler,13,14 dan mungkin karena
dilatasi sementara dari pembuluh darahkoroid.
15
Berbagai jenis obat pelumpuh otot
golongan non depolarisasi telah diteliti
untuk mencegah timbulnya efek samping
akibat pemberian suksinilkolin mulai dari
tubokurarin, galamin, pankuronium,
alkuronium, atrakufium, vekuronium,
okuronium hingga mivakurium.
16,17,18
Tetapi pemberian obat pelumpuh otot
golongan non depolarisari sebelum
pemberian suksinilkolin untuk mencegah
kenaikan tekanan intraokuler
menyebabkan peningkatan jumlah
suksinilkolin yang dibutuhkan untuk
relaksasi sampai antara 50-90%.15,19
Sedangkan menurut Bartkowski dan
Savarese, pemberian prekurarisasi dengan
makurium dan pelumpuh otot non
depolarisasi lainnya mengakibatkan
perlambatan mula kerja dan penurunan
kualitas (kondisi intubasi) blok
neuromuskuler oleh suksinilkolin,
sehingga dosis suksinilkolin harus
ditingkatkan 50% dari 1 mg/kgBB
menjadi 1,5 mg/kgBB, yang juga berarti
akan menaikkan resiko komplikasinya.6,19
Efek magnesium pada neuromuscular
junction adalah ion magnesium bekerja
secara kompetitif dengan ion kalsiumuntuk menduduki prejunctional site.
Magnesium memblok pelepasan kalsium
oleh retikulum sarkoplasma sehingga
menyebabkan penutupan kanal kalsium20
,
masing-masing ion bekerja secara
antagonis satu sama lain, ion magnesium
yang tinggi akan menghambat pelepasan
asetilkolin sedangkan ion kalsium yang
tinggi akan meningkatkan pelepasanasetilkolin dari presinaptic nerve
terminal .
Diketahui juga bahwa ion magnesium
memiliki efek inhibisi pada
postjunctional potential dan
mengakibatkan turunnya eksitabilitas
membran pada serat-serat otot.20 Namun,
sampai saat ini secara langsung belum
-
8/16/2019 Anestesi undip
32/71
93
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
diketahui efek pretreatment magnesium
sulfat terhadap kenaikan tekanan
intraokuler karena pemberian
suksinilkolin.
METODE
Penelitian ini dilaksananakan dalam
ruang lingkup anestologi, penelitian ini
memerlukan waktu sekitar 10 minggu
dan dimulai sejak usulan ini disetujui.
Penelitian ini merupakan uji klinis tahap
II dan dirancang sebagai uji klinis acak
ganda (double blind randomized
controlled trial ) yang membandingkan 2
kelompok penelitian, yaitu kelompok
magnesium sulfat (I) dan atrakurium (II).
Penelitian dengan rancangan pre-test
post-test group design.
Sampel kami adalah Penderita yang
menjalani operasi elektif di Instalasi
Bedah Sentral RS. Dr. KariadiSemarang serta memenuhi kriteria
inklusi.
Kriteria inklusi :
1. Pasien yang menjalani operasi dengan
anestesi umum
2.
Jenis kelamin laki - laki dan
perempuan
3.
Usia 16-40
4.
Status fisik ASA I-II5. Pasien setuju diikutsertakan dalam
penelitian
Kriteria eksklusi :
1. Kelainan metabolisme (hiper-
paratiroid, hipoparatiroid, diabetes
melitus)
2. Hipertensi
3. Kelainan otot
4.
Menderita glaukoma
5. Menderita trauma mata
6. Kelainan ginjal
7. Terdapat kontra indikasi terhadap
obat-obat yang dipakai dalam
penelitian
Alokasi penderita untuk kedua kelompok
penelitian dilakukan secara random
sederhana dengan consecutive sampling
(quota sampling ). Membuat daftar urutan
perlakuan (kontrol/perlakuan) sebanyak
54 pasien dengan menggunakan daftar
bilangan acak, nomer ganjil untuk
perlakuan dan genap untuk kontrol.
Penelitian ini menggunakan metode
double blinding . Penderita dipuasakan 6
jam sebelum operasi dan kebutuhan
cairan selama puasa dipenuhi dengan
pemberian infus ringer laktat sejak puasa.
Di ruang perawatan penderita tidak
mendapatkan premedikasi, setelah
sampai di ruang operasi dilakukan pemasangan monitor kemudian diukur
tekanan darah (TD), tekanan arteri rerata
(TAR) dan laju jantung (LJ) sebagai data
dasar pada penelitian ini. Salah satu mata
pasien ditetesi pantokain l1%, ditunggu 1
menit dan diukur tekanan intraokulernya
dengan tonometri dibantu oleh seorang
dokter spesialis Ilmu Penyakit Mata yang
telah ditunjuk.
Penderita mendapat pretreatment masing-
masing sesuai kelompok yang telah
ditentukan secara acak sebelumnya.
Kelompok I diberikan MgSO4 40% 40
mg/kgBB diencerkan sampai 20 ml,
diberikan dalam waktu l0-13 menit
sebelum induksi, kemudian diberikan
NaCl 3 ml, 3 menit sebelum induksi.
-
8/16/2019 Anestesi undip
33/71
94
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Kelompok II diberikan NaCl 20 ml dalam
10 menit, 13 menit sebelum induksi,
kemudian diberikan atracurium 0,05
mg/kgBB, 3 menit sebelum induksi.
Setelah 3 menit, pada kelompok I dan II
dilakukan induksi dengan propofol 1%
secara titrasi intravena (2-2,5 mg/kgBB)
dengan kecepatan 0,5 cc/detik. Setelah
reflek bulu mata hilang, diikuti
pemberian suksinilkolin 1 mg/kgBB
intravena dalam l0 detik. Dua menit
kemudian peneliti pembantu mengukur
kembali tekanan introkuler dengan alat
tonometri yang telah disiapkan, kemudian
dilakukan intubasi endotrakea. Satu menit
setelah intubasi, tekanan infaokuler
diukur kembali, TD, TAR dan LJ dicatat
siap dilakukan pengukuran tekanan
intraokuler.
Analgetik digunakan tramadol 2
mg/kgBB intravena dan sebagai rumatananestesi digunakan isofluran, O2 : N2O
(50%:50%) dan trakrium hingga selesai.
Data yang terkumpul akan dilakukan
edit ing, coding dan dimasukkan ke dalam
file kemudian dilakukan cleaning .
Setelah itu dilakukan analisis statistik
sebagai berikut:
1.
Dilakukan analisis deskriptif dengan
menghitung nilai mean±SD untuk nilaitekanan intraokuler (bila distribusi
normal). Namun, bila distribusi tidak
normal akan dihitung mediannya.
Hasil disusun dalam bentuk tabel.
2.
Analisis bivariate akan menguji
komparabilitas karateristik (umur,
jenis kelamin, kelainan metabolik, dll)
menurut kelompok perlakuansesuai
dengan skala pengukuran variabel.
3. Analisis statistik selanjutnya akan
menguji perbedaan tekanan intraokuler
sebelum dan sesudah pemberian
suksinilkolin, pada kelompok
magnesium dan atracurium dengan
menggunakan Paired t-test (bila
distribusi normal) atau Wilcoxon Rank
Sum test (bila distribusi tidak normal).
4. Kemudian akan diuji perbedaan
perubahan tekanan intraokuler antara
kelompok I, II dengan menggunakan
independent t-test (bila disribusi
normal) atau menggunakan Mann-
Whitney U test (bila disribusi tidak
normal).
HASIL
Subyek penelitian ini adalah penderita
yang menjalani operasi atau tindakan
bedah elektif dengan anestesi umum di
Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr.
Kariadi Semarang. Jumlah subyek penelitian 54 orang, yang terbagi
menjadi dua kelompok yaitu kelompok
magnesium dan kelompok atrakurium,
dengan masing-masing 27 orang tiap
kelompok.
Subyek penelitian ini terdiri dari 26 laki-
laki dan 28 perempuan. Pada kelompok
magnesium, subyek perempuan lebih banyak daripada laki-laki, yaitu 48% laki-
laki dan 52% perempuan 52%.
Sedangkan pada kelompok atracurium
terdiri dari 48% laki-laki dan 52%
perempuan.
Dari tabel 1, bisa kita lihat, rerata umur
dan rerata Body Mass Indeks (BMI)
kelompok magnesium dan kelompok
-
8/16/2019 Anestesi undip
34/71
95
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
atrakurium tidak didapatkan perbedaan
yang bermakna.
Untuk variabel tekanan darah sistolik,
diastolik dan TAR antara kelompok
magnesium dan atracurium tidak ada
perbedaan yang bermakna. Sedangkan
tekanan irtraokuler antara kelompok
magnesium dan atracurium sebelum
perlakuan juga tidak pada perbedaan
yang bermakna. Dengan demikian, kedua
kelompok ini layak untuk dibandingkan.
Dari tabel 4 setelah dilakukan intubasi,
tekanan darah sistolik & diastolik, TAR
dan jantung tidak terdapat perbedaan
yang bermakna antara kelompok
magnesium dan (p>0,05). Sedangkan
tekanan intraokuler antara kelompok
magnesium dan atracurium terdapat
perbedaan bermakna (p>0,05)
Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian
No. Variabel
Kelompok Perlakuan
(Magnesium)(n=27)
Kelompok Kontrol
(Atracurium)(n=27)
Uji statistik P
1. Umur (tahun) 32,33±9,60 33,41±6,91 Uji-t 0,639
2.Jenis kelamin
(%)
- Laki-laki 48,1 48,1 Mann-Whitney 1- Perempuan 51,9 51,9
3. BMI 21,96±2,39 21,81±2,04 Uji-t 0,808
Tabel 2. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung, Tekanan Intraokuler
Sebelum Anestesi pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium
No. Variabel
Kelompok
Perlakuan
(Magnesium)(n=27)
Kelompok
Kontrol
(Atracurium)(n=27)
Uji statistik P
1. TDS 115,44±12,14 114,96±11,95 Indepen t test 0,884
2. TDD 69,85±13,03 68,70±12,04 Indepen t test 0,730
3. TAR 84,81±10,07 83,04±9,84 Indepen t test 0,515
4. LJ 85,00±6,89 84,85±11,10 Indepen t test 0,953
5. TIO 15,14±1,39 14,19±1,43 Indepen t t