Transcript
Page 1: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Anestesi pada Diabetes Mellitus

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli anestesi dalam melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat mengidap diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat mengalami tindakan pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut di atas 50 tahun. Sedangkan di Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 % penderita diabetes mellitus akan mengalami pembiusan dan pembedahan. Karena faktor penyulit inilah mereka lebih banyak memerlukan pembedahan dari pada orang lain.1,2,3

Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, hipertensi, insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gangguan persendian jaringan kolagen (keterbatasan ekstensi leher, penyembuhan luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi granulosit yang inadekuat Oleh karena itu perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada evaluasi preoperatif dan penanganan penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi preoperatif yang optimal.1,4,5,6

Ada tiga komplikasi akut DM yang mengancam jiwa, yaitu ketoasidosis dabetik, koma non ketotik hipenosmolor dan hipoglikomia. Penurunan aklifitas insulin meningkatkan katabolisme asam lemak bebas menghasilkan benda keton (asetoasetat dan β hidroksibutirat).

Akumulasi asam-asam organik berakibat timbulnya asidosis metabolik anion-gab yang disebut kotoasidosis diabetik. Kotoasidosis diabelik dapat diketahui dengan asidosis laktat. Dimana asidosis laktat pada plasma terjadi peningkatan laktat (>6 mmol/L) dan tidak terdapat aseton dalam urine dan plasma. Ketoasidosis alkoholik dapat dibedakan dengan ketoasidosis diabetik dari adanya riwayat baru saja mongkonsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak (pesta minum) yang terjadi pada pasien non diabetik dengan kadar glukosa rendah atau sedikit meningkat.

Manifestasi klinik dari ketoasidosis adalah dyspnue (uji kompensasi untuk asidosis metabolik), nyeri perut yang menyerupai kolik abdomen, mual dan muntah, dan perubahan sensoris. Penalalaksanaan kotoasidosis diabetik tergantung pada koreksi hiperglikemia (yang mana jarang melebihi 500 mg/dl), penurunan kalium total tubuh, dan dehidrasi diinfus dengan insulin, natrium dan cairan isotonis.

Pertentangan akan terjadi antara kebutuhan biaya untuk mengurangi lama rawat inap dan penanganan perioperatif pasien diabetes mellitus yang tergantung pada periode stabilisasi preoperatif. Kontrol gula darah yang lebih baik pada penderita yang akan mengalami pembedahan mayor menunjukkan perbaikan morbiditas dan mortalitas perioperatif. Pencegahan hipoglikemia dan hiperglikemia tidak sesuai lagi untuk perkembangan pengetahuan saat ini. Sementara terdapat sedikit perbedaan pendapat

Page 2: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

tentang penanganan pasien yang akan mengalami tindakan mayor, untuk bedah minor sendiri masih terdapat banyak dilema. Dalam keadaan bagaimana kasus anestesi dan bedah sehari dapat dikerjakan? Apakah waktu masuk pada saat hari pembedahan menambah risiko pada pasien? Jika ada, pemeriksaan apa yang dibutuhkan untuk menilai sfetem kardiovaskuler penderita asimptomatis yang akan dilakukan pembedahan mayor Patut disayangkan, hanya terdapat sedikit data yang memberikan Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ire. Pemahaman patofisiologi dan kepentingan dari penelitian terbaru akan memperbaiki perawatan perioperatif pasien yang akan mengalami pembedahan.7

Dalam tinjauan kepustakaan ini akan dibahas tentang patofisiologi diabetes mellitus serta penatalaksanaan persiapan operasi.

DEFINISI

Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.8,9

Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan etiologi.7

ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu asimtomatik, pemeriksaan harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat jika nilainya tetap di atas batas ini. ADA menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110 dan 126 mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu > 11,1 mmol/L atau 200 mg/dl (darah vena > 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga didiagnosis bila kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau tes toleransi glukosa oral memberikan .hasil pada batas diabetes.7

KLASIFIKAS 1 5 7 8 9

Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama.

Tipe I (kerusakan sel p pankreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan biasanya retensi insulin) direkomendasikan untuk menggantikan Istitah insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Tipe I. Jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan dewasa muda. Defisiensi insulin terjadi karena produksi yang rendah yang disebabkan oleh adanya destruka sel-sel pembuat insulin melalui mekanisme imunologik, sehingga pasien ini selalu memerlukan

Page 3: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

insulin sebagai pengobatannya dan cenderung untuk mengalami ketoasidosis jika insulin dihentikan pemberiannya.

Tipe II . Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan defisiensi insilin relatif, muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung mengalami ketoasidodis, sering kali berbadan gemuk. Pengobatan penderita ini kadang cukup dengan diet saja, bila perlu dapat diberikan obat anti diabetes oral dan jarang sekali memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres atau infeksi berat.

PATOFISIOLOGI

Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh pankreas tetapi berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total pankreas. Besarnya pulau-pulau Langerhans ini berbeda-beda, yang terkecil adalah 50m. sedangkan yang terbesar 300 m. Terbanyak adalah yang besarnya antara 100 dan 225 m. Jumlah semua pulau Langerhans di pankreas diperkirakan antara 100.000 dan 2.500.00. Pulau-pulau Langerhans paling kurang tersusun atas tiga jenis sel : sel-sel a memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik, sel-sel d yang mensekresi insulin , dan sel-sel d yang membuat somatostatin. Pertama insulin disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan proteolitik dan kemudian dibungkus kedalam butir-butir diantara sel-sel b. Sejumlah besar insulin, normalnya kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas. Sintesa terus berlangsung dengan rangsangan glukosa. Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur utama pelepasan insulin. Stimulator lain dari pelepasan insulin termasuk asam amino, glukagon, hormon-hormon gastrointestinal (gastrin, sekretin, cholecystokinin-pancreozymin, dan enteroglucagon), dan asetilkolin. Epinefrin dan. norepinefrin menghambat pelepasan insulin dengan merangsang reseptor a adrenergik dan merangsang pelepasan insulin pada reseptor b adrenergik.5,9

Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam lemak bebas dari jaringan lemak dan pelepasan asam amino dari dalam otot. Hiperglikemia terjadi karena dosis insulin yang normal tidak cukup untuk menandingi meningkatnya kebutuhan insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis, akan mengubah asam amino dan asam lemak bebas membentuk glukosa dan benda keton. Keduanya mempunyai peran penting dalam timbulnya gejala ketoasidosis. Pada tipe I dijumpai peningkatan glukagon yang merangsang hati untuk mengubah asam lemak bebas menjadi benda keton. Hipotesis terjadinya tipe I dihubungkan dengan infeksi virus yang membentuk respon autoimun yang menyebabkan dirusaknya sel beta oleh antibodi. Infeksi oleh virus dianggap sebagai trigger factor pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetik terhadap diabetes mellitus. Virus-virus yang dianggap mempunyai pengaruh adalah : virus coxsackie B, virus encephalamiokardias, mumps, rubella, cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa, varicella dan virus hepatftis.4,6,7,9

Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada hubungannya dengan faktor keturunan. Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif, hal ini kadang diperberat oleh resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena kegemukan.

Page 4: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Dianggap bahwa kegemukan akan :

Mengurangi jumlah reseptor insulin di sel target

Menyebabkan resistensi terhadap insulin karena perubahan pada post reseptor

- Transport glukosa berkurang

- Menghalangi metabolisme glukosa intraseluler

Menimbulkan faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap defek seluler, berupa:

- Bertambahnya penimbunan lemak

- Bertambah masuknya energi ke dalam tubuh

- Komposisi diet (terutama banyak makanan lemak)

- Inaktivasi lemak

Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel (5 banyak yang rusak. Sedangkan alkohol dianggap menambah risiko terjadinya pankreatitis.4,9

Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan iskemik renal karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria, ateromia arterial dan penyakit parenkim ginjal. Peningkatan mortalitas dijumpai pada semua penderita yang dilakukan -pembedahan dan terutama penderita tipe I men punyai risiko komplikasi pasca operasi.

Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia pada pasien non diabetes sebagai hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik pada keadaan defisiensi insulin relatif. Defisiensi ini berkembang dari kombinasi antara menurunnya sekresi insulin dan resistensi insulin. Sebagian dari resistensi insulin dihasilkan dari meningkatnya sekresi katekolamin, kortisol dan growth hormone dan melibatkan perubahan dari ikatan post-reseptor dari insulin dan selanjutnya penurunan dari transport glukosa transmembran.6,7,9

Page 5: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

DIAGNOSIS

Diabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya gejala yang timbul sebagai akibat hiperglikemia seperti pofiuria, polidifsia, pofifagia, penurunan berat badan, gangguan kesadaran, ketosis dan gangguan degeneratif (neuropati, retinopati, nefropati).9,10

Diagnosis diabetes dapat ditegakkan metafii 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat dikerjakan dengan mudah oleh dokter di bagian emergensi (Jinat tabef).14

TABEL I : KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS

Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k). Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan waktu terakhir makan. Kadar glnkosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori dalam 8 jam terakhir, atau

Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes toleransi glukosa oral >= 200 mg/dl.

Apabila tidak terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan dekompensasi metabolik akut (seperti diabetes ketoasidosis atau sindrom hiperglikemik- hiperosmolar-nonketotik), kriteria ini harus dikonfirmasi dengan mengulang penilaian pada hari yang berbeda. Penilaian yang ketiga (tes toleransi glukosa oral) tidak dianjurkan untuk penggunaan klinis rutin.

Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus diperhitungkan, karena respon insulin terhadap rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap dekade kehidupan. Penyebab sekunder intoleransi karbohidrat harus selalu diperhitungkan sebagai diagnosis banding. Penyakit tertentu seperti pankreatitis, hemokromatosis, feokromositoma dan hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu. Gangguan primer metabolisme lemak seperti hiperlipidemia primer dapat pula menyebabkan intoleransi karbohidrat sekunder. Semua penderita hiperglikemia tanpa ketosis harus dicari kemungkinan hipertrigliseridemia.

EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN PADA METABOLISME

Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau karena resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung dari produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama pembedahan atau sakit/stres

Page 6: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

terjadi respon katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon dan prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan cara blokade aferen. dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 m/kg) sebagian dapat mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi (2,1 MAC halotan)1,6,11

FAKTOR RISIKO UNTUK PASIEN BEDAH DIABETES

Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11 % pasien diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi pneumonia. Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah 4%, terutama pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung. Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh:

Sepsis

Neuropati autonomik

Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer)

Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar1,7

Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis; berkurangnya respon denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 x/mnt) dan hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah > 30 mmHg pada perubahan posisi tegak berdiri).1,6,7

Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian obat anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan retensi urin. Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya

Page 7: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

disfungsi autonomik meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat meninggal mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.1,5,6,7

Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan pulih.5,6,7,8

Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang disebabkan oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita . Pada awalnya sindrom ini terjadi pada sendi phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar lainnya. Ketidak mampuan untuk mengekstensikan kepala karena imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi. Akan tetapi dari suatu penelitian retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang dilakukan transplantasi ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap diabetes), tidak seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi sedang sampai berat. Secara keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat kesulitan intubasi ringan sampai sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes. Kekakuan sendi ini disebabkan karena adanya jaringan kolagen abnormal periartikuler yang disebabkan oleh mikroangiopari progresif. Kelainan kolagen dihubungkan dengan glikosilasi non enzimatik protein. 'Banyak pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff joint syndrome" dapat mencapai 30 % pada penderita DM tipe I.1,5,6,7,8

PENILAIAN PRABEDAH

Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal, dan susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik pasien. Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah puasa, elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit arteri koroner, gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus . Pasien dengan hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik hingga 50 %, sedangkan pasien tanpa hipertensi

Page 8: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

mempunyai insiden hanya 10%. Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra bedah.1,5,6,7,8,12.

PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM

Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah, maka pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi dan pengawasan status diabetesnya.4

Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim pemecah kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien diabetes belum terbukti.4.7

Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.7

Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara efektil menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.6,7

Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin untuk transport glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada pasien cukup memuaskan karena kurang pengaruhnya terhadap peningkatan hormon ;

pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan dapat menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama |pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak nyata pengaruhnya terhadap kadar gula darah.4,6,7

Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi. Meskipun hal W tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.7

Page 9: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan kcmplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi.4,7

TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM

Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin residual, Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat kompetitif reseptor a-adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parstal.7

Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik. Hipotensi yang dalam dapat terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan retinovaskular. Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan teknik regsonal pada pasien diabetes. Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural dapat dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional. Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.5,6,7

KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF

Tujuan pokok adalah :

Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan.

Memberikan kecukupan karbohidrat untuk mencegah metabolisme katabolik dan ketoasidosis.

Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.

Page 10: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya. Apakah terapi insulin perlu diberikan pada perioperatif? Untuk bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti diabetes oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat kerja lama 2 hari sebelum pembedahan. Untuk bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk mengontrol kadar gula darah dan glikosuria.1,2,9

Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi seperti di bawah :

Gula darah puasa > 180 mg/dl

Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%

Lama pembedahan lebih 2 jam

Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai dalam 2 sampai 3 hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis insulin. Untuk bedah minor cukup dengan pemberian insulin subkutan. Pada pagi hari sebelum pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal secara subkutan, bersamaan dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua pertiga dosis insulin normal diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah dosis insulin normal untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan sepertiga dosis insulin normal untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi peningkatan efek katabolik stres pembedahan, penurunan metabolisme protein, dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis dengan pembedahan.6

Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling sering :t digunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:

Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin perioperatif pada pasien DM

Page 11: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Pemberian secara bolus

Infus kontinyu

Preoperatif

D5W (1,5 ml/kg/jam)

NPH insulin (1/2 dosis biasa pagi hari) (NPH=neutral protamine Hagedorn)

D5W (1 ml/kg/jam) Regular insulin Unit/jam = Glukosa plasma : 150

Intraoperattf

Regular insulin (berdasarkan sliding scale)

Sama dengan preoperatif

Pascaoperatif

Page 12: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Sama dengan intraoperatif

Sama dengan preoperatif

Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh, pasien yang normalnya mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan kadar gula darahnya 150 mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau i.m. sebelum pembedahan bersama-sama dengan infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam). Dextrose tambahan dapat diberikan apabila pasien mengalami hipoglikemia (<100 mg/dl). Sebaliknya, hiperglikemia intra operatif (>250 mg/dl) diobati dengan RI intravena berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang diberikan kepada orang dewasa akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus diingat bahwa dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada pasien dalam keadaan katabolik (sepsis, hipertermi).6,8

Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus secara kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan lebih tepat dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1 unit/jam/70 kg). Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam 250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah akan lebih fleksibel. Apabila terjadi fluktuasi gula darah, infus RI dapat disesuaikan berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus Roizen):

Gukosa plasma (mg/dl)

Unit perjam = ————————————

150

atau

Glukosa plasma (mg/dl)

Unit per jam = ————————————

100

pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan infeksi

Page 13: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin menyebabkan pergeseran kalium intraselular.6,8

Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama. Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:

Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan intra vena. Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Infus lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:

Campur 50 mRI kedalam 500cc 0,9%Nacl.

Infuskan dengan larutan 0,5-1 m/jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).

Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di bawah ini :

Kadar gula darah

mmol (mg/dl)

Kebutuhan insulin

4,4 ( 80 )

Matikan pompa, beri glukosa IV

4,4 - 6,6

Page 14: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

( 80 - 120 )

Kurangi insulin menjadi 0,2 - 0,7 u/jam

6,6-9,9

(120 - 180)

teruskan insulin 0,5 - 1 m/jam

9,9 - 13,2

(180 - 240) .

Naikkan laju insulin 0,8 - 1,5 m/jam

> 13,75

(>250)

Laju insulin 1,5 m/jam atau lebih

Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan terapi sesuai sasaran.1,9

Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2

Page 15: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:

Kadar gula

Infus insulin

< 150 mg/dl

5 cc/jam (1 unit/jam)

150 - 250 mg/dl

10 cc/jam (2 unit/jam)

250 - 300 mg/dl

15 cc/jam (3 unit/jam)

300 - 400 mg/dl

Page 16: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

20 cc/jam (4 unit/jam)

PERAWATAN PASCA BEDAH

Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik pasien stabil dan pasien sudah boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya setelah pemberian subkutan insulin kerja pendek. Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan insulin harus diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat. Pada pasien-pasien ini, kegunaan dari suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja sedang pada waktu tidur dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah infus glukosa dan insulin dihentikan dan sebelum regimen insulin pasien dilanjutkan.15

Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca bedah terutama bite terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus dipantau kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada pasien DM usia lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung Infark miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan status mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskar., atau disrimia, maka perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya infark miokard.2,15

PENATALAKSANAAN PADA KASUS PEMBEDAHAN DARURAT

Keadaan yang jarang tetapi mungkin dijumpai adalah keadaan darurat yaitu pembedahan yang harus dilakukan pada penderita dibetes mellitus dengan ketoasidosis. Dalam keadaan seperti ini bila memungkinkan maka pembedahan ditunda beberapa jam. Waktu yang sangat terbatas ini digunakan untuk memeriksa, mengoreksi keseimbangan cairan, asam basa dan etektrofit yang merupakan keadaan yang mengancam jiwa sebelum pembedahan diJakukan. Bila waktu penundaan cukup maka dapat dilakukan koreksi ketoasklosis secara tuntas, namun koreksi defisit cairan dan ketidakseimbangan dektrolit bermakna dapat dicapai dalam beberapa jam. Penderita harus segera di evaluasi secara lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan gula darah, aseton, elektrolit dan analisa gas darah. Kemudian dilakukan koreksi dehidrasi dengan Nacl 0,9% dengan kecepatan 250 - 1000 cc/jam, apabila kadar gula darah mencapai 250 mg/dl cairan diganti dengan yang mengandung glukosa. Berikan RI bolus 5-10 unit kemudian dilanjutkan dengan infus 50 unit dalam 500 cc Nacl dimulai dengan 2-8 unit/jam atau 20 - 80 cc/jam, sebagai patokan mengatur kecepatan infus dengan rumus kadar gula darah terakhir dibagi 150 atau 100 bila penderita memakai steroid, overweight atau ada infeksi. Dilakukan pengukuran kadar gula darah serial tiap 2-3 jam pemantauan yang penting ialah analisa gas darah dan elektrolit. Tetesan dapat diatur dengan mempertahankan kadar gula darah antara 120 - 250 mg/dl.1,2,3,9

Page 17: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Penggunaan terapi bikarbonat pada ketoasidosis merupakan hal yang kontroversial. Meskipun pH kurang dari 7,1 dapat mengganggu fungsi miokard, koreksi cepat asidosis dengan bikarbonat dapat menimbulkan peningkatan C02, karena itu koreksi asidosis yang terlalu cepat tidak dianjurkan.1,2,3

REFERENSI

Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine Disease in A Practice of Anesthesia, 6th ed, Edward Arnold, 1996: 995-1004.

Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients in Text Book of Trauma Anesthesia ang Critical Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671.

Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus Anestesia-Operasi dalam Buku Naskah Lengkap Konas III IDSAI, 1992: 209-218.

William J, Fenderl. Diseases of the Endocrine System in Anesthesia and Common Diseases, 2nd ed, Philadelphia, WBSaunders, 1991: 204-215.

Roizen MF. Anesthetic Implications of Concurent Diseases in Miller RD ed. Anesthesia, 4th ed, Churchill Livingstone, 1994: 903-1014.

Mathes DD. Management of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed. Perioperative Care, 1sted, Mosby Year Book Inc, 1998: 235-265.

McAnulty GR, Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of Patients with Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia, London, 2000: 80-90.

Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 2nded, Lange Medical Book, 1996: 636-655.

Haznam MW. Pankreas Endokrin dalam Endokrinologi, Percetakan Angkasa Offset, Bandung, 1991: 36-106.

Worthley. Synopsis of Intensive Care Medicine, Longman, 1994: 611-623.

Zaloga Gary P. Endocrine Consultation in Clinical Anesthesia Practice, WB Saunders, 1994: 185-209.

Litt L, Roizen MF. Endocrine and Renal Function in Risk and Outcome in Anesthesia, JB Lippincott, 1988: 111-125.

Roizen MF. Endocrine Abnormalities and Anesthesia, Renal Disfunction dan Diabetes, IARS Review Course Lecture, 19%: 104-113.

Page 18: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Rush MD, Winslett S, Wisdom KD. Endocrine Emergencies in Tintinalli, Kelen, Stapezynski ed. Emergency Medicine, 5th ed, Me Graw Hill, 1998: 1355.

Arauz C, Raskin P. Surgery and Anesthesia in Lebovitz HE ed. Therapy for Diabetes Mellitus and Related Disorder, American Diabetes Association Inc, Virginia, 1991: 147-

Bonus .......................

DAFTAR SEDIAN INSULIN DI INDONESIA

Kandungan

Nama Patent

Onset

Peak

Durasi

Short & Rapid Acting

Insulin aspart

15-20 mnt

1-3 jam

Page 19: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

3-5 jam

Insulin lispro

≤ 15 mnt

0,5-1,5 jam

3-5 jam

Regular (Soluble, neutral)

Atrapid HM, Humulin R

0,5-0,7 jam

1,5-4 jam

5-8 jam

Intermediate Acting

Lante (Insulin Zn susp)

Monotard HM

1,2-5 jam

Page 20: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

6-12 jam

18-24 jam

NPH (Isophane Insulin)

Humulin N, Isulatard HM

1-1,5 jam

6-12 jam

18-24 jam

Long Acting

Insulin gargine

Lantus

2-5 jam

-

24 jam

Lainnya

Pencampuran 30 % regular insulin & 70 % NPH

Page 21: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Mixtard 30 HM

Humulin 30/70

Sampai

30 mnt

24 jam

FAKTOR RESIKO DM

1. Infeksi & sepsis : fungsi leukosit terganggu, dan bila gula darah < 250 mg/dl fungsi leukosit pulih

2. Neuropatik otonom

- Hipotensi ortostatis (Penurunan TD > 30 mmHg pada perubanhan posisi tegak berdiri)

- Hipotensi berat setelah pemberian anestesi

- Penurunan respon Heart Rate terhadap atropin dan propanolol

- Respon abnormal hipoksia yang dapat menyebabkan pasien meninggal mendadak

- Hipotermia intra operatif

- Nyeri berkurang pada pasien dengan Myocard iskemik (Sailent Myocard Iscemic)

- Nerogenic Bladder yang dapat menyebabkan retensi urin

- Gastroparesis menyebabkan resiko aspirasi, cegah dengan pemberian metroclopamid untuk mempercepat pengosongan lambung.

- Keringat berkurang

- Inpotensi

3. Gangguan ginjal

Page 22: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

- Mikroalbuminuria – proteinuria

- Gangguan GFR – Kreatinin menigkat

- Penurunan GFR menyebabkan hipertensi ringan

- Stenosis arteri renalis (sklerotik) menyebabkan hipertensi berat / hipertensi tiba-tiba

- Gagal Ginjal

4. Diuresis hipoosmolar, pasien mudah terjadi dehidrasi

5. Stift Join Sindrome , timbul kekakuan sendi atlantooccipitalis yang dapat menyebabkan kesulitan melakukan tindakan intibasi.

Ivan-Atjeh Anestesi

Berbagi

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Beranda

Lihat versi web

Profil Saya

Anestesi untuk Pasien dengan Penyakit Ginjal

EVALUASI FUNGSI GINJAL

Page 23: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Taksiran akurat pada fungsi ginjal tergantung pada determinasi laboratorium. Gangguan renal (renal impairment) bisa mengarah pada disfungsi glomerulus, fungsi tubulus atau obstruksi traktus urinarius.

Karena abnormalitas fungsi glomerulus disebabkan adanya gangguan yang hebat dan dapat dideteksi, tes laboratorium yang dapat digunakan adalah yang berhubungan dengan GFR (glomerular filtration rate).

BUN (Blood Urea Nitrogen)

Sumber utama urea dari tubuh adalah hati. Pada saat katabolisme protein, amonia diproduksi dari deaminasi asam-asam amino. Konversi hati ke urea mencegah pembentukan dari toksik amonia :

2NH3 + CO2 H2N – CO – NH2 + H2O

BUN adalah berhubungan langsung dengan katabolisme protein dan berhubungan terbalik dengan GF. Hasilnya, BUN bukanlah indikator yang bisa digunakan untuk perhitungan GFR kecuali katabolisme protein normal dan konstan. Lebih lagi, 40%-50% dari filtrat secara normal di reabsorpsi secara pasif oleh tubulus renal; hipovolemi meningkatkan fraksi ini (bawah)

Konsentrasui BUN normal adalah 10 – 20 mg/dl. Nilai yang lebih rendah bisa didapati pada starvasi dengan penyakit hati. Peningkatan biasanya disebabkan oleh berkurangnya GFR atau meningkatnya katabolisme protein. Selanjutnya mungkin berlanjut pada status katabolisme tinggi (trauma atau sepsis), degradasi darah baik pada traktus digestif atau hepatoma besar, atau diet tinggi protein. Konsentrasi BUN yang lebih besar dari 50 mg/dl biasanya berhubungan dengan renal impairment.

SERUM KREATININ

Kreatinin adalah produk dari metabolisme otot yang tanpa enzim dikonversi ke kreatinin. Produksi kreatinin pada sebagian besar orang adalah relatif konstan dan berhubungan dengan massa otot.

Konsentrasi kreatinin serum berhubungan langsung dengan massa otot tubuh tapi berkebalikan dengan GF. Oleh karena massa otot tubuh biasanya konstan, pengukuran kreatinin serum biasanya berdasarkan indeks GFR. Makan daging dalam jumlah besar, terapi simetidin, peningkatan asetoasetat (seperti pada ketoasidosis) meningkatkan pengukuran pada kreatinin serum tanpa perubahan di GFR.

Page 24: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

GFR menurun dengan meningkatnya umur pada sebagian besar orang (5% per dekade setelah umur 20 tahun), tapi karena massa otot juga menurun, kreatinin serum tetap relatif normal; produksi kreatinin bisa menurun sampai 10 mg/kg. Pada pasien yang tua, peningkatan kecil dari kreatinin serum bisa menunjukkan perubahan besar pada GFR. Menggunakan usia dan berat badan (dalam kg), GFR bisa diperkirakan dengan formula / rumus untuk pria.

[( 140 – umur ) x BB]

CrCl = -------------------------------------

72 x kreatinin plasma

Untuk wanita, persamaan tadi dikali dengan 0,85 untuk mengkompensasi perbedaan kecil pada massa otot.

Grouping of Patients According to Glomerular Function

Creatinine Clearance (mL/min)

Normal

100–120

Decreased renal reserve

60–100

Mild renal impairment

40–60

Page 25: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Moderate renal insufficiency

25–40

Renal failure

< 25

End-stage renal disease1

< 10

1This term applies to patients with chronic renal failure.

BUN : RASIO KREATININ

Aliran yang rendah dari tubulus ginjal membantu reabsorpsi urea namun tidak mempunyai efek pada ketetapan kreatinin. Sebagai hasil, rasio BUN terhadap kreatinin serum meningkat diatas 10:1. Penurunan aliran tubulus bisa disebabkan oleh penurunan perfusi ginjal atau obstruksi traktus urinari. BUN : kreatinin rasio lebih dari 15:1 dapat dilihat pada kekurangan volume dan pada edema dengan gangguan yang berhubungan dengan berkurangnya aliran tubular (seperti pada gagal jantung, sirosis, nefrotik sindrome) dan juga pada obstruksi uropati.

Peningkatan katabolisme protein bisa meningkatkan rasio ini.

CREATININ CLEARANCE

Pengukuran CrCl adalah metode yang paling akurat untuk perkiraan klinis fungsi ginjal secara keseluruhan CrCl < 25 mL/min indikasi dari gagal ginjal.

URINALISIS

Page 26: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Selanjutnya urinalisis adalah tes rutin yang paling biasa dilakukan untuk evaluasi fungsi renal. Urinalisis bisa membantu untuk identifikasi beberapa gangguan pada disfungsi tubulus ginjal maupun beberapa gangguan nonrenal. Urinalisis rutin termasuk pH, berat jenis (BJ), deteksi dan kuantitas glukosa, protein, bilirubin dan pemeriksaan mikroskopik terhadap sedimen urin.

pH urin membantu bila pH arteri diketahui. Bila pH urin lebih dari 7,0 pada sistemik asidosis memberi kesan asidosis tubulus renal.

BJ (berat jenis) berhubungan dengan osmolalitas urin 1,010 biasanya berhubungan dengan 290 mOsm/kg. BJ lebih dari 1,018 setelah puasa 1 malam merupakan indikasi adekuatnya kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasi. BJ yang lebih rendah memperlihatkan hiperosmolality dari plasma yang konsisten dengan diabetes insipidus.

Glikosuria adalah hasil dari ambang batas bawah glukosa pada tubulus rendah ( normal 180 mg/dl) atau hiperglikemia.

Proteinuri dideteksi dengan urinalisis rutin yang seharusnya dievaluasi pada pengumpulan urin 24 jam. Ekskresi protein urin lebih dari 150 mg/dl adalah signifikan.

Peningkatan level bilirubin pada urin terlihat pada obstruksi biliari.

Analisa mikroskopik pada sedimen urin bisa mendeteksi adanya sel darah merah atau sel darah putih, bakteri, cast, dan kristal.Sel darah merah mungkin mengindikasikan perdarahan akibat tumor, batu, infeksi, koagulopati atau trauma.

Sel putih dan bakteria biasanya berhubungan dengan infeksi. Proses penyakit pada level nefron membentuk tubular cast.

Kristal mungkin mengindikasikan abnormalitas pada asam oksalat, asam urat atau metabolisme kistin.

PERUBAHAN FUNGSI GINJAL DAN EFEKNYA TERHADAP AGEN-AGEN ANASTESI

Banyak obat-obatan sebagian tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Sehingga modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif.

Efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari agen-agen ini. Observasi terakhir bisa disebabkan menurunnya ikatan protein dengan obat, penetrasi ke otak lebih besar oleh karena perubahan pada blood brain barrier, atau efek sinergis dengan toxin yang tertahan pada gagal ginjal.

Page 27: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

AGEN INTRAVENA

Propofol & Etomidate

Secara Farmakokinetik tidak mempunyai efeknya secara signifikan pada gangguan fungsi ginjal.

Barbiturat

Sering terjadi peningkatan sensitivitas terhadap barbiturat selama induksi. Mekanismenya dengan peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena ikatan dengan protein yang berkurang.

Asidosis menyebabkan agen ini lebih cepat masuknya ke otak dengan meningkatkan fraksi non ion pada obat.

Ketamin

Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa metabolit yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial akumulasi pada gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak diinginkan pada pasien-pasien hipertensi ginjal.

Benzodiazepin

Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena eliminasi di urin. Karena banyak yang terikat kuat dengan protein, peningkatan sensitivitas bisa terlihat pada pasien-pasien hipoalbuminemia.

Diazepam seharusnya digunakan berhati-hati pada gangguan ginjal karena potensi akumulasi metabolit aktifnya.

Page 28: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Opioid

Opioid (morfin, meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati, beberapa metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik remifentanil tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah.

Kecuali morfin dan meferidin, Akumulasi morfin (morfin-6-glucuronide) dan metabolit meperidine pernah dilaporkan memperpanjang depresi pernafasan pada beberapa pasien dengan gagal ginjal. Peningkatan level normeperidine, metabolit meperidine, dihubungkan dengan kejang-kejang.

Agonis-antagonis opioid (butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak terpengaruh oleh gagal ginjal.

Agen-Agen Antikolinergik

Atropin dan glycopyrolate dalam dosis premedikasi, biasanya aman karena lebih dari 50% dari obat-obat ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal di urin, potensi akumulasi terjadi bila dosis diulang.

Scopolamine kurang tergantung pada ekskresi ginjal, tapi efek sistem syaraf pusat bisa dipertinggi oleh azotemia.

Phenothiazines, H2 Blockers Dan Agen-Agen Yang Berhubungan.

Phenothiazines, seperti promethazine bisa terjadi berpotensiasi dari depresi pusat oleh azotemia. Kerja antiemetiknya bisa berguna untuk penanganan mual preoperatif. Droperidol sebagian bergantung pada ekskresi ginjal. Akumulasi bisa dilihat pada dosis besar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal, biasanya droperidol digunakan pada dosis kecil (< 2,5 mg)

Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal. Metoclopramide sebagian diekskresinya tidak berubah di urin dan akan diakumulasikan juga pada gagal ginjal.

AGEN-AGEN INHALASI

Agen-agen volatile

Page 29: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien dengan disfungsi renal karena tidak tergantungnya pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk mengkontrol tekanan darah dan biasanya mempunyai efek langsung minimal pada aliran darah ginjal.

Percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada anemis berat (Hb <5 g/dL) dengan GGK; observasi ini bisa dijelaskan oleh turunnya blood gas portion coefficient atau kurangnya MAC.

Enflurane dan sevoflurane (dengan aliran gas <2 L/min) tidak disarankan untuk pasien-pasien dengan penyakit ginjal pada prosedur lama karena potensi akumulasi fluoride.

Nitrous Oxide

Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2 sampai 50% dengan tujuan untuk meningkatkan penggunaan O2 arteri pada keadaan anemia.

PELUMPUH OTOT

Succinyl choline

· SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum kalium kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh otot nondepol sebaiknya digunakan

Cisatracurium, atracurium & Mivacurium

· Mivacurium tergantung pada eliminasi ginjal secara minimal. Cisatracurium & atracurium didegradasi di plasma oleh eliminasi hidrolisis ester enzymatik & nonenzymatik hofman. Agen-agen ini mungkin merupakan obat pilihan untuk pelumpuh otot pada pasien-pasien dengan gagal ginjal.

Vecuronium & Rucoronium

· Eliminasi dari vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dari 20% dari obat dieliminasi di urine.

· Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya memanjang sedikit pada pasien renal insufisiensi. Perpanjangan kerja pada penyakit ginjal berat pernah dilaporkan.

Curare

Page 30: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

· Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi empedu; 40-60% dosis curare secara normal dieksresi di dalam urin. Dosis lebih rendah dan perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan untuk rumatan agar pelumpuh otot optimal

Pancuronium, Pipecuronium, Alcuronium, & Doxacurium

· Obat-obat ini tergantung terutama pada ekskresi renal (60-90%). Walaupun pancuronium di meta- bolisme di hati menjadi metabolit intermediate yang kurang aktif, eliminasi paruh waktunya masih tergantung pada ekskresi ginjal (60-80%). Fungsi neuromuscular harus dimonitor ketat jika obat-obat ini digunakan pada fungsi ginjal abnormal.

Metocurine, Gallamine & Decamethonium

· Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi dan harus dihindari peng gunaannya dari pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Obat-obat Reversal

· Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi edrophonium, neostigmine & pyridostigmine. Waktu pa ruh dari obat-obat ini pada pasien dengan gangguan gagal ginjal memanjang setidaknya sama dengan pelumpuh otot sebelumnya diatas.

ANESTESIA PADA PASIEN DENGAN GAGAL GINJAL

PERTIMBANGAN PRE OPERASI

Gagal Ginjal Akut

Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal secara cepat yang menghasilkan penumpukan dari sampah nitrogen (azotemia). Zat ini sebagian besar bersifat racun, dihasilkan oleh metabolisme protein dan asam amino. Termasuk urea, senyawa guanidine (termasuk creatin dan creatinin), asam urat, asam amino alifatik, berbagai jenis peptida dan metabolisme dari asam amino aromatik.

Azotemia dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan penyebabnya yaitu prerenal, renal, dan postrenal.

Page 31: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Penyebab oliguria

Pre renal

Renal

Post Renal

Hypovolemia

Hypotension

Poor cardiac output Renal

Pre existing renal damage

Renal vascular disease

Renal vasoconstriction

Sepsis

Hypoxia

From pre renal causes

Renal vein thrombosis

Nephrotoxins system

Amphotericin

Chemotherapeutic agents

NSAIDS

Contrast media (beware Renal or in diabetes and multiple myeloma)

Tissue injury

Haemoglobinuria

Page 32: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Myoglobinuria

Uric Acid (tumour lysis)

Inflammatory nephritides

Glomerulonephritis

Interstitial nephritis

Polyarteritis

Myeloma

Bladder neck

obstruction

Blocked drainage system

Pelvis surgery

Prostatic enlargement

Raised intra-abdominalpressure

Renal or ureteric

Calculi

Clots

Necrotic papillae

Haemoglobinuria

Azotemia renal dan postrenal bersifat reversible pada tahap inisial namun jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan azotemia renal. Kebanyakan pasien dewasa dengan gagal ginjal akan terjadi oliguria.

Pasien yang nonoliguri (yaitu pasien dengan urin output >400mL/hari) terus menerus membentuk urin yang secara kualitatif miskin, pada pasien ini cenderung memiliki pemeliharaan yang cukup baik dari GFR. Walaupun filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus terganggu, kelainannya untuk cenderung buruk lebih sedikit pada gagal ginjal nonoliguri.

Page 33: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Pembahasan mengenai gagal ginjal akut bervariasi, namun pada tipe oliguria bertahan sampai 2 minggu dan diikuti oleh fase diuretik yang ditandai dengan adanya peningkatan yang progresif pada urin output. Fase diuretik ini sering menghasilkan sangat banyaknya urin output dan biasanya tidak ditemui pada gagal ginjal yang non oligurik. Fungsi urinari semakin baik dalam beberapa minggu namun bisa tetap bertahan tidak kembali normal sampai 1 tahun.

Gagal Ginjal Kronis

Sindroma ini dikarakteristikkan oleh adanya penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dalam waktu 3-6 bulan. Penyebab utamanya adalah hipertensi nefrosklerosis, diabetik nefropati, glomerulonefritis kronis, dan penyakit ginjal polikistik.

Manifestasi penuh dari sindrom ini sering dikenal dengan uremia yang akan terlihat setelah GFR menurun dibawah 25 mL/menit. Pasien dengan klirens dibawah 10 mL/menit (sering disebut dengan end stage renal disease) akan bergantung kepada dialisis untuk bertahan sampai dilakukan transplantasi. Dialisis dapat berbentuk intermittent hemodialysis melalui arteriovenous fistula atau dialisis terus menerus melalui kateter yang diimplantasikan.

Manisfestasi of Uremia

Neurological

Cardiovascular

Peripheral neuropathy

Fluid overload

Autonomic neuropathy

Congestive heart failure

Muscle twitching

Page 34: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Hypertension

Encephalopathy

Pericarditis

Asterixis

Arrhythmia

Myoclonus

Conduction blocks

Lethargy

Vascular calcification

Confusion

Accelerated atherosclerosis

Seizures

Metabolic

Coma

Metabolic acidosis

Pulmonary

Page 35: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Hyperkalemia

Hyperventilation

Hyponatremia

Interstitial edema

Hypermagnesemia

Alveolar edema

Hyperphosphatemia

Pleural effusion

Hypocalcemia

Gastrointestinal

Hyperuricemia

Anorexia

Hypoalbuminemia

Nausea and vomiting

Hematological

Delayed gastric emptying

Anemia

Page 36: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Hyperacidity

Platelet dysfunction

Mucosal ulcerations

Leukocyte dysfunction

Hemorrhage

Skin

Adynamic ileus

Hyperpigmentation

Endocrine

Ecchymosis

Glucose intolerance

Pruritus

Secondary hyperparathyroidism

Skeletal

Hypertriglyceridemia

Osteodystrophy

Page 37: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Periarticular calcification

Efek yang meluas dari uremia biasanya dapat dikontrol dengan dialisis. Banyak pasien yang menjalani dialisis setiap hari dengan normal dan mungkin tidak terjadi discoloration yang terkait dengan end stage renal disease dan dialisis.

Mayoritas pasien di dialisis 3 kali perminggu. Sayangnya, semakin lama biasanya komplikasi uremia sukar disembuhkan. Lebih lagi, beberapa komplikasi berhubungan langsung dengan proses dialisis tersebut.

Hipotensi, neutropenia, hipoksemia, sindroma disequilibrium bersifat sementara dan hilang beberapa jam setelah dialisis. Beberapa faktor yang menyebabkan hipotensi selama dialisis termasuk efek vasodilatasi dari larutan asetat dialisat, neuropati otonom dan pergerakan yang cepat dari cairan. Interaksi antara sel darah putih dengan membran derivat dialisis cellophane akan mengakibatkan neutropenia dan leukocyte-mediated pulmonary disfunction menyebabkan hipoksemia. Sindroma disequilibrium dikarakteristikkan oleh gejala neurologis sementara yang berhubungan dengan penurunan dengan cepat osmolaritas ekstraselular dari osmolaritas intraselular.

Manifestasi dari Gagal Ginjal

A. Metabolik

Pasien dengan gagal ginjal dapat berkembang dengan abnormalitas dari metabolik yang multipel termasuk hiperkalemia, hiperphospatemia, hipokalemia, hipermagnesemia, hiperuricemia, dan hipoalbuminemia.

Retensi air dan natrium akan mengakibatkan pemburukan dari hiponatremia dan cairan ekstra seluler yang berlebihan.

Kegagalan untuk mengekskresikan produksi asam yang non folatil mengakibatkan asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi.

Hipernatremia dan hipokalemia adalah komplikasi yang jarang.

Hiperkalemia adalah abnormalitas yang paling mematikan karena memiliki efek pada jantung. Hal ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kreatinin klirens < 5 mL/menit, namun dapat berkembang

Page 38: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

secara cepat pada pasien dengan klirens yang lebih tinggi oleh karena dengan masukan kalium yang besar (trauma, hemolisis, infeksi atau konsumsi kalium).

Hipermagnesia biasanya ringan kecuali masukan magnesium meningkat (umumnya dari antasida yang mengandung magnesium).

Hipokalsemia terjadi dengan sebab yang tidak diketahui. Mekanisme yang diakibatkan oleh deposit kalsium ke tulang secara sekunder oleh karena hiperphospatemia, resistensi dari hormon paratiroid dan penurunan absorbsi usus halus secara sekunder menurunkan sintesa renal dari 1,25-dihidroksi kolekalsiferol.Gejala dari hipokalsemia jarang berkembang kecuali pasien dalam kondisi alkalosis.

Pasien dengan gagal ginjal juga secara cepat kehilangan protein jaringan sehingga menyebabkan hipoalbuminemia. Anoreksia, restriksi protein dan dialisis (terutama dialisis peritonium) juga berperan.

B. Hematologik

Anemia biasanya muncul jika kreatinin klirens dibawah 30 ml/menit. Konsentrasi hemoglobin umumnya 6-8 gram/dl. Penurunan produksi eritropoetin menurunkan produksi sel darah merah, dan menurunkan pertahanan sel. Faktor tambahan termasuk perdarahan saluran cerna, hemodilusi, dan penekanan sumsum tulang dari infeksi sebelumnya. Walaupun dengan transfusi, konsentrasi hemoglobin meningkat sampai 9 gram/dl sangat sulit untuk dipertahankan. Pemberian eritropoetin biasanya dapat mengoreksi anemia. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat bertanggung jawab dalam penurunan kapasitas pembawa oksigen. 2,3-DPG memfasilitasi pelepasan oksigen dari hemoglobin. Asidosis metabolik juga mengakibatkan pergeseran ke kanan pada kurva oksigen-hemoglobin dissosiasi.

Fungsi platelet dan sel darah putih terganggu pada pasien dengan gagal ginjal. Secara klinis, hal ini dimanifestasikan sebagai pemanjangan waktu perdarahan dan gampang terkena infeksi. Pada pasien dengan penurunan aktivitas platelet faktor III, dan juga penurunan ikatan dan agregrasi platelet. Pasien yang dihemodialisa juga memiliki efek sisa antikoagulan dari heparin.

C. Kardiovaskuler

Cardiac Output dapat meningkat pada gagal ginjal untuk menjaga oksigen delivery pada penurunan kapasitas pembawa oksigen.

Retensi natrium dan abnormalitas pada sistem renin angiotensin berakibat pada hipertensi sistemik arteri. Left ventrikuler hipertropi umum dijumpai pada gagal ginjal kronis. Cairan ekstraseluler yang

Page 39: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

berlebihan oleh karena retensi natrium bersamaan dengan peningkatan kebutuhan yang terganggu oleh karena anemia dan hipertensi mengakibatkan pasien gagal jantung dan edema pulmonum. Peningkatan permeabilitas dari membran kapiler alveoli dapat menjadi faktor predisposisi.

Blok konduksi sering ditemukan mungkin diakibatkan oleh deposit kalsium dari sistem konduksi.

Aritmia sering ditemukan dan mungkin berhubungan pada kelainan metabolik.

Perikarditis uremia dapat ditemukan pada beberapa pasien, pasien bisa asimptomatis , yang ditandai dengan adanya nyeri dada atau terbentuknya tamponade jantung.

Pasien dengan gagal ginjal kronis juga dikarakteristikan dengan peningkatan pembuluh darah perifer dan penyakit arteri koroner.

Depresi volume intravaskuler dapat muncul pada fase diuretik pada gagal ginjal akut jika replacement cairan tidak adekuat. Hipovolemi juga muncul jika terlalu banyak cairan yang terlalu banyak dikeluarkan ketika dialisis.

D. Pulmonary

Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien bergantung pada peningkatan ventilasi permenit untuk mengkompensasikan asidosis metabolik.

Cairan ekstravaskular pulmonum biasanya meningkat dalam bentuk interstitial edema, mengakibatkan perluasan gradien alveolar ke arterial oksigen yang menyebabkan terjadinya hipoksemia. Peningkatan permeabilitas dari kapiler alveolar pada beberapa pasien menyebabkan edema paru walaupun dengan tekanan kapiler paru yang normal, karakteristik pada foto toraks menyerupai ”butterfly wings”.

E. Endokrin

Toleransi glukosa yang abnormal ditandai dengan adanya gagal ginjal akut dari resistensi perifer pada insulin, pasien mempunyai glukosa dalam darah dengan jumlah besar dan jarang menggunakannya.

Hiperparatiroidisme yang sekunder pada pasien dengan gagal ginjal kronis dapat mengakibatkan penyakit tulang metabolik, yang dapat menyebabkan fraktur.

Kelainan metabolisme lemak sering mengakibatkan hipertrigliseridemia dan kemungkinan berperan dalam atherosklerosis.

Page 40: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Peningkatan dari tingkat protein dan polipeptida yang biasanya segera didegradasikan di ginjal sering terlihat, hal ini berhubungan dengan hormon para- tiroid, insulin, glukagon, growth hormon, luteinizing hormone, dan prolaktin.

F. Gastrointestinal

Anoreksia, nausea, vomiting dan ileus adinamik umumnya berhubungan dengan azotemia.

Hipersekresi dari asam lambung meningkatkan insiden dari tukak peptik dan perdarahan saluran pencernaan, yang muncul pada 10-30% dari pasien.

Penundaan pengosongan lambung secara sekunder pada neuropati autonom dapat mencetuskan adanya aspirasi perioperatif.

Pasien dengan gagal ginjal kronis juga memiliki koinsiden terhadap virus hepatitis (tipe B dan C), sering diikuti oleh disfungsi hepatik.

G. Neurologis

Tubuh kurus, letargi, confussion, kejang, dan koma adalah manifestasi dari uremik encephalopathy. Gejala pada umumnya berhubungan dengan derajat azotemia.

Neuropati autonom dan perifer umumnya dijumpai pada pasien dengan gagal ginjal kronis. Neuropati perifer bersifat sensoris dan melibatkan ekstremitas distal bagian bawah.

Evaluasi Preoperatif

Gagal ginjalnya berhubungan dengan komplikasi post operatif atau trauma. Pasien dengan gagal ginjal akut juga mempercepat pemecahan protein. Manajemen perioperatif yang optimal tergantung dari dialisis preoperatif. Hemodialisis lebih efektif dari pada peritoneal dialisis dan dapat dilakukan melalui internal jugular yang temporer, dialisis dengan kateter subklavia atau femoral. Kebutuhan dialisis pada pasien nonoligurik dapat disesuaikan dengan kebutuhan individual.

Indikasi Untuk Dialisis

Page 41: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Overload Cairan

Hiperkalemi

Asidosis Berat

Enselopaty Metabolik

Perikarditis

Koogulopati

Refraktory Gastrointestinal Symtom

Toksisitas Obat

Pasien dengan gagal ginjal kronis semua manifestasi yang reversibel dari uremia harus dikontrol. Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau hari sebelumnya dibutuhkan.

Evaluasi fisik dan laboratorium harus di fokuskan pada fungsi jantung dan pernafasan. Tanda–tanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus dapat diketahui. Kekurangan volume intravaskuler sering disebabkan oleh dialisis yang berlebihan. Perbandingan berat pasien sebelum dan sesudah dialisis mungkin membantu.

Data hemodinamik, jika tersedia dan foto dada sangat bermakna dalam kesan klinis.

Analisa gas darah juga berguna dalam mendeteksi hipoksemia dan mengevaluasi status asam-basa pada pasien dengan keluhan sesak nafas.

EKG harus diperiksa secara hati-hati sebagai tanda-tanda dari hiperkalimia atau hipokalimia seperti pada iskemia, blok konduksi, dan ventrikular hipertropi.

Echocardiography sangat bermakna dalam mengevaluasi fungsi jantung pada pasien dibawah prosedur pembedahan mayor karena hal ini dapat mengevaluasi ejeksi fraksi dari ventrikel, seperti halnya mendeteksi dan kuantitatif hipertropi, pergerakan abnormal pembuluh darah, dan cairan perikard adanya gesekan bisa tidak terdengar pada auskultasi pada pasien dengan efusi perikard.

Transfusi pre operatif sel darah merah harusnya diberikan pada pasien dengan anemia berat (hemoglobin <6-7 g/dL) atau ketika kehilangan darah sewaktu operasi diperkirakan.

Waktu perdarahan dan pembekuan dianjurkan, khususnya jika ada pertimbangan regional anestesi. Serum elektrolit, BUN, dan pengukuran kreatinin dapat menentukan keadekuatan dialisis.

Pengukuran glukosa dibutuhkan dalam mengevaluasi kebutuhan potensial untuk terapi insulin perioperatif.

Page 42: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Perlambatan pengosongan lambung akibat sekunder dari neuropati otonom pada beberapa pasien bisa mempengaruhi pasien-pasien GGK untuk terjadinya aspirasi pada perioperatif

Terapi obat preoperatif diberikan secara hati-hati pada obat yang dieliminasi di ginjal. Penyesuaian dosis dan pengukuran kadar darah (jika memungkinkan) dibutuhkan untuk mencegah toksisitas obat.

Obat yang berpotensial berakumulasi secara signifikan pada pada pasien dengan ganggaun ginjal

Muscle relaxants : Metocurine, Gallamine, Decamethonium, Pancuronium, Pipecurium, Doxacurium, Alcuronium

Anticholinergics : Atropine, Glycopyrrolate

Metoclopramide

H2 reseptor antagonists : Cimetidine, Ranitidine

Digitalis

Diuretics

Calcium Channel antagonis : Nifedipine, Diltiazem

β – Adrenergic blockers : Propanolol, Nadolol, Pindolol, Atenolol

Anti Hipertensi : Clonidine, Methyldopa, Captporil, Enalapril, Lisinopril, Hydralazine, Nitroprusside (Thiocyanate)

Antiarrhytmics : Procainamide, Disopyramide, Bretylium, Tocainide, Encainide (Genetically determined)

Bronchodilators : Terbutalline

Psychiatric : Lithium

Antibiotics : Penicillins, Cephalosporin, Aminoglycosid, Tetracycline, Vancomycin

Anticonvulsants : Carbamazepine, Ethosuximide, Primidone

Premedikasi

Page 43: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan pengurangan dosis dari opioid atau benzodiazepin.

Profilaksis untuk aspirasi diberikan H2 blocker diindikasikan pada pasien mual, muntah atau perdarahan saluran cerna.

Metoclopramide, 10 mg secara oral atau tetes lambat intra vena juga berguna dalam mempercepat pengosongan lambung, mencegah mual dan menurunkan resiko aspirasi.

Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi harus dilanjutkan sampai pada saat pembedahan.

Pertimbangan Intraoperatif

Monitoring

Prosedur pembedahan membutuhkan perhatian pada kondisi medis secara menyeluruh. Karena bahaya dari adanya oklusi, tekanan darah sebaiknya tidak diukur dari cuff pada lengan dengan fistula arteriovena.

Intra-arterial, vena sentral, dan arteri paru membutuhkan perhatian, terutama pada pasien dibawah prosedur dengan pergeseran cairan yang luas, volume intravaskuler sering sulit disesuaikan hanya dari tanda klinis.

Monitoring tekanan darah intra-arteri secara langsung diindikasikan pada pasien yang hipertensinya tidak terkontrol.

Monitoring invasif yang agresif diindikasikan khususnya pada pasien diabetes dengan penyakit ginjal berat yang sedang menjalani pembedahan mayor, pasien jenis ini mungkin memiliki tingkat morbiditas 10 kali lebih banyak pada pasien diabetes tanpa penyakit ginjal. Yang terakhir ini menunjukkan insiden yang tinggi pada komplikasi kardiovaskular pada grup pertama.

Induksi

Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan saluran cerna harus menjalani induksi cepat dengan tekanan krikoid.

Page 44: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Dosis dari zat induksi harus dikurangi untuk pasien yang sangat sakit. Thiopental 2-3 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg sering digunakan. Etomidate, 0,2-0,4 mg/kg dapat dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil.

Opioid, beta-bloker (esmolol), atau lidokain bisa digunakan untuk mengurangi respon hipertensi pada intubasi.

Succinylcholine, 1,5 mg/kg, bisa digunakan untuk intubasi endotrakeal jika kadar kalium darah kurang dari 5 meq/L. Rocuronium (0,6mg/kg),cisatracurium (0,15 mg/kg), atracurium (0,4 mg/kg) atau mivacurium (0,15 mg/kg) dapat digunakan untuk mengintubasi pasien dengan hiperkalemia. Atracurium pada dosis ini umumnya mengakibatkan pelepasan histamin. Vecuronium, 0,1 mg/kg tepat digunakan sebagai alternatif, namun efeknya harus diperhatikan.

Pemeliharaan

Tehnik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi dengan efek minimal pada cardiac output, karena peningkatan cardiac output merupakan kompensasi yang prinsipil dalam mekanisme anemia.

Anestesi volatil, nitrous oxide, fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan morfin dianggap sebagai agen pemeliharaan yang memuaskan.

Isoflurane dan desflurane merupakan zat yang mudah menguap pilihan karena mereka memiliki efek yang sedikit pada cardiac output.

Nitrous oxide harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel yang lemah dan jangan digunakan pada pasien dengan konsentrasi hemoglobin yang sangat rendah (< 7g/dL) untuk pemberian 100% oksigen.

Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena akumulasi dari normeperidine. Morfin boleh digunakan, namun efek kelanjutannya perlu diperhatikan.

Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan gagal ginjal. Ventilasi spontan dibawah pengaruh anestesi yang tidak mencukupi dapat menyebabkan asidosis respiratorik yang mungkin mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang dapat menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan peningkatan konsentrasi kalium di darah yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak karena mengeser kurva disosiasi hemoglobin ke kiri, dan mengeksaserbasi hipokalemia yang telah ada, dan menurunkan aliran darah otak.

Terapi Cairan

Page 45: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

·Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal memerlukan penggantian cairan dengan 5 % dekstrosa dalam air. Prosedur ini berhubungan dengan kehilangan cairan yang banyak atau pergeseran yang membutuhkan kristalloid yang isotonik, koloid, atau keduanya.

Ringer laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemia yang membutuhkan banyak cairan, karena kandungan kalium (4 meq/L), normal saline dapat digunakan. Cairan bebas glukosa digunakan karena intoleransi glukosa yang berhubungan dengan uremia.

Kehilangan darah diganti dengan packed red blood cells.

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN GINJAL RINGAN SAMPAI SEDANG

Pertimbangan Preoperatif

Ginjal biasanya menunjukkan fungsi yang besar. GFR, yang dapat diketahui dengan kreatinin klirens, dapat menurun dari 120 ke 60 mL/ menit tanpa adanya perubahan klinis pada fungsi ginjal. Walaupun pada pasien dengan kreatinin klirens 40 -60 mL/menit umumnya asimtomatik. Pasien ini hanya memiliki gangguan ginjal ringan namun harus dipertimbangkan sebagai gangguan ginjal.

Ketika kreatinin klirens mencapai 25 – 40 mL/menit gangguan ginjal sedang dan pasien bisa disebut memiliki renal insufisiensi. Azotemia yang signifikan selalu muncul, dan hipertensi maupun anemia secara bersamaan. Manajemen anestesi yang tepat pada pasien ini sama pentingnya pada pasien gagal ginjal yang berat. Yang terakhir ini terutama selama prosedur yang berkaitan dengan insiden yang relatif tinggi dari gagal ginjal postoperatif, seperti pembedahan konstruktif dari jantung dan aorta.

Kehilangan volume intravaskular, sepsis, obstruktif jaundice, kecelakaan, injeksi kontras dan aminoglikosid, angiotensin converting enzim inhibitor, atau obat-obat terapi seperti NSAID sebagai resiko utama pada perburukan akut pada fungsi ginjal.

Hipovolemia muncul khususnya sebagai faktor yang penting pada gagal ginjal akut postoperatif. Penekanan manajemen pada pasien ini adalah pencegahan, karena angka kematian dari gagal ginjal post operatif sebesar 50%–60%.

Peningkatan resiko perioperatif berhubungan dengan kombinasi penyakit ginjal lanjut dan diabetes.

Profilaksis untuk gagal ginjal dengan cairan diuresis efektif dan diindikasikan pada pasien dengan resiko tinggi, rekonstruksi aorta mayor, dan kemungkinan prosedur pembedahan lainnya.

Mannitol (0,5 g/kg) sering digunakan dan diberikan sebagai perioritas pada induksi.

Page 46: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Cairan intravena diberikan untuk mencegah kehilangan intra vaskular. Infus intravena dengan fenoldopam atau dopamin dosis rendah memberikan peningkatan aliran darah ginjal melalui aktivasi dari vasodilator reseptor dopamin pada pembuluh darah ginjal.

Loop diuretik juga dibutuhkan untuk menjaga pengeluaran urin dan mencegah kelebihan cairan.

Pertimbangan Intraoperatif

Monitoring

Monitor standard yang digunakan untuk prosedur termasuk kehilangan cairan yang minimal. Untuk operasi yang banyak kehilangan cairan atau darah, pemantauan urin output dan volume intravaskular sangat penting.

Walaupun dengan urin output yang cukup tidak memastikan fungsi ginjal baik, namun selalu diusahakan pencapaian urin output lebih besar dari 0,5 mL/kgBB/jam.

Pemantauan tekanan intra arterial juga dilakukan jika terjadi perubahan tekanan darah yang cepat, misalnya pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol atau sedang dalam pengobatan yang berhubungan dengan perubahan yang mendadak pada preload maupun afterload jantung.

Induksi

Pemilihan zat induksi tidak sepenting dalam memastikan volume intravaskular yang cukup terlebih dahulu. Anestesi induksi pada pasien dengan Renal Insuffisiensi biasanya menghasilkan hipotensi jika terjadi hipovolemia. Kecuali jika diberikan vasopressor, hipotensi biasanya muncul setelah intubasi atau rangsangan pembedahan. Perfusi ginjal, yang dipengaruhi oleh hipovolemia semakin buruk sebagai hasil pertama adalah hipotensi dan kemudian secara simpatis atau farmakologis diperantarai oleh vasokonstriksi ginjal. Jika berlanjut, penurunan perfusi ginjal pengakibatkan kerusakan ginjal postoperatif. Hidrasi preoperatif biasanya digunakan untuk mencegah hal ini.

Pemeliharaan

Page 47: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Semua zat pemeliharaan dapat diberikan kecuali Methoxyflurane dan Sevoflurane. Walau enflurane bisa digunakan secara aman pada prosedur singkat, namun lebih baik dihindari pada pasien dengan insuffisiensi ginjal karena masih ada pilihan obat lain yang memuaskan. Pemburukan fungsi ginjal selama periode ini dapat menghasilkan efek hemodinamik lebih lanjut dari pembedahan (perdarahan) atau anestesi (depresi jantung atau hipotensi).

Efek hormon tidak langsung (aktifasi simpatoadrenal atau sekresi ADH), atau ventilasi tekanan positif. Efek ini biasanya reversibel ketika diberikan cairan intravena yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskuler yang normal atau meluas.

Pemberian utama dari vasopresor α – adrenergik (phenyleprine dan norepineprine) juga dapat mengganggu. Dosis kecil intermitten atau infus singkat mungkin bisa berguna untuk mempertahankan aliran darah ginjal sebelum pemberian yang lain (seperti transfusi) dapat mengatasi hipotensi. Jika mean tekanan darah arteri, cardiac output dan cairan intravaskuler cukup, infus dopamin dosis rendah (2-5 mikrogram/kg/menit) dapat diberikan dengan batasan urin output untuk mempertahankan aliran darah ginjal dan fungsi ginjal.”Dosis dopamin untuk ginjal”telah juga dapat menunjukkan setidaknya sebagian membalikkan vasokonstriksi arteri ginjal selama infus dengan vasopresor α–adrenergik (norepinephrine). Fenoldopam juga mempunyai efek yang sama.

Terapi Cairan

Perhatikan jika ditemukan pemberian cairan yang berlebihan, namun masalah biasanya jarang dengan pasien yang urin outputnya cukup. Maka perlu dilakukan pemantauan pada urin outputnya, jika cairan yang berlebihan diberikan maka akan menyebabkan edema atau kongestif paru yang lebih mudah ditangani daripada gagal ginjal akut.

REFERENSI

GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Renal Disease,. Clinical Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed. New York; 2006. p: 742-754

Ivan-Atjeh Anestesi

Berbagi

Page 48: Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Beranda

Lihat versi web

Profil Saya

Foto Saya

Ivan-Atjeh Anestesi


Top Related