Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
1
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan
Siswa Madrasah Oleh : Ir Zainal Achmad, M.Si
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan indikator utama pembangunan dan kualitas SDM
suatu bangsa. Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan di suatu
negara adalah tersedianya cukup sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
Merujuk pada amanat UUD 1945 beserta amandemennya (pasal 31 ayat 2),
maka melalui jalur pendidikan pemerintah secara konsisten berupaya
meningkatkan SDM penduduk Indonesia. Upaya percepatan peningkatan
pendidikan penduduk mulai dilaksanakan pemerintah pada tahun 1973/1974,
yaitu dengan menyebarkan pembangunan sekolah dasar (SD) ke seluruh pelosok
negeri melalui program SD Inpres. Program wajib belajar 6 tahun dan 9 tahun,
gerakan nasional orang tua asuh (GNOTA), dan berbagi program pendukung
lainnya adalah bagian dari upaya pemerintah mempercepat peningkatan kualitas
SDM, yang pada akhirnya akan menciptakan SDM yang tangguh, yang siap
bersaing di era globalisasi. Peningkatan SDM sekarang ini lebih difokuskan pada
pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada penduduk untuk mengecap
pendidikan, terutama kelompok penduduk usia sekolah (umur 7 – 24 tahun).
Madrasah, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan sebagai
sub sistem dari sistem pendidikan nasional. Selanjutnya jika berbicara tentang
masalah pembangunan pendidikan di Indonesia, maka permasalahan yang
berhubungan dengan madrasah tidak boleh ditinggalkan begitu saja, karena
madrasah merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem pendidikan nasional
yang ada.
Saat ini, pendidikan Islam masih dalam proses transisi. Akan tetapi arah
dan bentuk pendidikan Islam sudah terformulasikan dalam sistem pendidikan
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
2
nasional secara integratif (Hayat, 2006), ke depan kebijakan pendidikan Islam
dan alokasi anggarannya akan lebih proporsional dilihat dari persfektif sistem
pendidikan nasional yang adil dan tidak diskriminatif. Tahun 2006, Depdiknas dan
Depag untuk pertama kalinya memiliki kebijakan pendidikan yang disusun
bersama-sama dalam bentuk Rencana Strategis Pendidikan Nasional.
Umar (2005) menegaskan bahwa diperlukan kerja keras untuk
meningkatkan kualitas lulusan madrasah sehingga kesenjangan yang terjadi
antara pendidikan madrasah dengan sekolah umum semakin mengecil. Untuk itu
diperlukan kebijakan yang tepat bagi peningkatan mutu pendidikan madrasah.
Proses perencanaan pembangunan pendidikan, khususnya menyangkut
Lembaga Pendidikan Islam (madrasah) harus didasarkan pada peta kekuatan –
strengths, kelemahan – weakness, peluang – opportunities, dan tantangan –
threats (SWOT). Program yang dicanangkan diharapkan benar-benar menyentuh
kebutuhan riil Lembaga Pendidikan Agama dan Keagamaan. Untuk mendukung
perencanaan tersebut dibutuhkan data pendukung sebagai landasan
pengambilan kebijakan. Sebagian data pendukung tersebut selama ini telah
tersedia dalam Buku Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan yang series
terakhirnya terbitan tahun 2007. Namun untuk lebih mempertajam nilai
kepekaan agar landasan kebijakan benar-benar menyentuh permasalahan yang
ada di sekitar madrasah maupun lembaga pendidikan keagamaan, diperlukan
analisis lanjutan baik mengenai kesiswaan itu sendiri maupun tenaga pendidiknya
Sebagai bagian dari suatu sistem pendidikan nasional yang tidak
terpisahkan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU pendidikan, maka
keberhasilan pembangunan bidang pendidikan tidaklah terlepas dari kemajuan
bidang pendidikan agama dan keagamaan dalam hal ini madrasah sesuai dengan
jenjangnya yaitu Madrasah Ibtidaiyah (MI) , Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan
Madrasah Aliyah (MA), yang antara lain diindikasikan dengan meningkatnya APK
menurut jenjang pendidikan MI, MTs dan MA.
Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan
dan keterampilan manusia, sehingga kualitas sumber daya manusia sangat
tergantung dari kualitas pendidikan. Pentingnya pendidikan tercermin dalam UUD
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
3
1945, yang mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga
Negara yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejauh mana amanat
ini dilaksanakan dapat tercermin dari perkembangan kemajuan indikator-
indikator pendidikan yang dihitung dan di analisis dari data pendidikan yang
diperoleh dari hasil survey maupun sensus serta data yang merupakan hasil
kompilasi dari produk administrasi.
Indikator-indikator yang dapat mengindikasikan tingkat keberhasilan
pembangunan pendidikan antara lain adalah :
a. Angka partisipasi pendidikan, yang mengindikasikan tingkat partisipasi
penduduk dalam mengakses program pendidikan, yang terdiri dari ;
i. Angka Partisipasi Sekolah (APS) , yang mengindikasikan seberapa besar
akses dari penduduk usia sekolah dapat menikmati pendidikan formal di
sekolah.
ii. Angka Partisipasi Murni (APM), yang mengindikasikan proporsi anak usia
sekolah yang dapat bersekolah tepat waktu.
iii. Angka Partisipasi Kasar (APK), mengindikasikan partisipasi penduduk
yang sedang mengenyam pendidikan sesuai jenjang pendidikannya.
Angka APK ini bisa lebih besar dari 100 persen karena populasi murid
yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan, mencakup anak diluar batas
usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. Secara umum,
APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan
pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan
bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan.
b. Rasio murid dan kelas/sekolah yang mengindikasikan seberapa jauh jumlah
kelas/sekolah telah mencukupi kebutuhan.
Selanjutnya untuk mengukur sejauh mana peran serta lembaga pendidikan
agama dan keagamaan/madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional
maka perlu dilakukan analisis terhadap data statistik pendidikan agama dan
keagamaan, khusus yang menyangkut segi kesiswaan maka analisis meliputi
analisis terhadap Angka Partisipasi Pendidikan, dengan melakukan analisis kohort
dan perkembangan APK dan APM.
Untuk memudahkan membaca analisis berikut, maka perlu penyeragaman
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
4
pembacaan istilah mengenai jenjang pendidikan berikut ini;
- Jenjang Pendidikan Dasar (SD), didalam nya mengandung pengertian SD +
Madrasah Ibtidaiyah (MI).
- Jenjang Pendidikan Menengah (SMP),didalamnya mengandung pengertian
SMP + Madrasah Tsanawiyah (MTs).
- Jenjang Pendidikan Menengah lanjutan (SMA), didalamnyamengandung
pengertian SMA + SMK + MA + MAK.
1.2. Permasalahan
Pertanyaan yang mendasar dalam menganalisis pendidikan agama dan
keagamaan adalah masih besarkah minat penduduk khususnya penduduk muslim
untuk mempercayakan pendidikan anaknya ke Madrasah, hal ini bisa tercermin
dari APK murid madrasah menurut jenjang Pendidikan MI, MTs dan MA.
Kemudian bagaimana kualitas pendidikan yang ada ditingkat MI, MTs dan MA
yang dapat ditandai persentase tingkat kelulusan yang semakin meningkat.
1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan ini dimaksudkan untuk menganalisis seberapa jauh tingkat
partisipasi murid madrasah (MI, MTs dan MA) dan peranannya dalam
perkembangan pembangunan pendidikan di tingkat nasional.
2. Bahan dan Metodologi
2.1. Bahan dan Data
Data yang digunakan merupakan data hasil publikasi Statistik Pendidikan
Agama dan Keagamaan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Departemen Agama serta data Statistik Pendidikan terbitan Badan Pusat
Statistik, data Susenas dan Statistik Persekolahan terbitan Depdiknas.
2.2. Metode Analisis
Metode analisis kuantitaf yang digunakan adalah analisis deskriptif
terhadap perkembangan APK dan APM menurut jenjang pendidikan. Selain itu
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
5
dilakukan analisis kohort terhadap perkembangan murid menurut jenjang
pendidikan dan tingkat kelas.
3. Hasil dan Pembahasan
Pembangunan pendidikan kini tidak bisa lagi dikembangkan dalam
perspektif ke dalam (inward looking), yaitu dalam rangka mendidik manusia agar
cerdas, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dan berkepribadian mulia.
Pendidikan mesti berorientasi keluar (outward looking), yakni untuk
menumbuhkembangkan sistem sosial, ekonomi, dan budaya yang baik di
masyarakat. Sehingga, proses pendidikan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
atau bagian integral dari pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai
subjek sekaligus objek pembangunan. Dengan demikian, pendidikan harus
mampu melahirkan SDM yang berkualitas dan tidak menjadi beban
pembangunan dan masyarakat, yaitu SDM yang menjadi sumber kekuatan atau
sumber pengerak (driving forces) bagi seluruh proses pembangunan dan
kehidupan masyarakat (Ace Suryadi). Oleh karena itu, pendidikan mesti
berhubungan secara timbal balik dengan pembangunan di berbagai bidang
kehidupan (politik, ekonomi, sosial, budaya). Sehingga, pendidikan akan dapat
dimaknai sebagai suatu bentuk investasi SDM untuk menciptakan iklim yang
memungkinkan semua penduduk atau warga negara turut andil dalam
pembangunan dan mengembangkan diri mereka agar menjadi warga negara
yang produktif.
Selanjutnya Ace Suryadi menyatakan bahwa Rencana pengembangan dan
pelaksanaan reformasi pendidikan semestinya mengindahkan kondisi geografis
dan penyebaran penduduk yang unik ini. Sebagai contoh, 60% penduduk
Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali, yang luas areanya hanya 7%
dari luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebaliknya, Sulawesi,
Maluku dan Papua memiliki penduduk 21% dari seluruh penduduk Indonesia,
padahal ketiga daerah ini sebesar 69% dari luas wilayah Nusantara.
Konsekuensinya, isu utama dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah
efektivitas dan efisiensi biaya dalam peningkatan mutu pendidikan. Lebih dari itu,
reformasi pendidikan seharusnya juga peka terhadap keragaman penganut
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
6
agama (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan aliran-aliran
kepercayaan).
Berdasarkan UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang menyebutkan bahwa Madrasah merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem pendidikan formal di Indonesia sehingga peran Madrasah (Ibtidaiyah,
Tsanawiyah dan Aliyah) tidaklah kecil terhadap pembangunan pendidikan dasar
dan menengah di Indonesia, yang antara lain akan dapat dilihat dari tingkat
partisipasi pendidikannya, tingkat drop-out dan berbagai indikator lainnya pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.
3.1. Partisipasi Pendidikan
Pendidikan nasional saat ini masih dihadapkan pada beberapa
permasalahan yang cukup menonjol, diantaranya masih rendahnya pemerataan
memperoleh pendidikan, ketimpangan pemerataan pendidikan antar wilayah
geografis antara perkotaan dan perdesaan, antara Kawasan Timur Indonesia
(KTI) dan Kawasan Barat Indonesia (KBI), dan antar tingkat pendapatan
penduduk maupun antar jenis kelamin.
Untuk mengatasi beragam permasalahan pendidikan khususnya di
pendidikan dasar, maka dalam UU no 20 tahun 2003 dimuat berbagai landasan
hukum mengenai hak dan kewajiban masyarakat atas pendidikan, khususnya
penduduk usia sekolah yang wajib mengenyam pendidikan dasar 9 tahun seperti
yang tercantum pada pasal 6. Selain itu pemerintah mengeluarkan Inpres No.5
tahun 2006 mengenai Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GN-
PWPPBA).
Target pembangunan pendidikan sampai akhir tahun 2009 sebagaimana
ditetapkan dalam PP No.7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah, antara lain adalah :
a. Meningkatnya secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan
program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang antara lain ditandai :
i. Meningkatnya APK jenjang SD termasuk SDLB,MI dan paket A sebesar
115,76 persen dan APK jenjang SMP/MTs/Paket B sebesar 98,09 persen.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
7
ii. Meningkatnya APS penduduk usia 7 – 12 tahun menjadi 99,57 persen dan
APS penduduk 13 – 15 tahun menjadi 96,64 persen.
b. Meningkatnya partisipasi penduduk yang mengikuti pendidikan menengah
secara signifikan, yang antara lain diukur dengan meningkatnya APK jenjang
pendidikan menengah (SMA/SMK/MA/Paket C) menjadi 69,34%.
c. Meningkatnya partisipasi penduduk yang mengikuti pendidikan tinggi secara
signifikan, yang antara lain diukur dengan meningkatnya APK jenjang
pendidikan tinggi menjadi 18,00 persen.
3.2. Angka Partisipasi Sekolah
Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk tingkat nasional tahun 2006 seperti
yang terlihat pada table 3.1, dibagi menjadi 4 kelompok umur, yaitu 7–12 tahun
mewakili usia SD, 13–15 tahun mewakili usia SLTP, 16–18 tahun mewakili usia
SLTA, dan 19–24 tahun mewakili usia Perguruan Tinggi. Secara umum APS
kelompok umur 7-12 tahun sebesar 97,39, APS kelompok umur 13-15 tahun
sebesar 84,08 persen, APS kelompok umur 16-18 tahun sebesar 53,92 persen
dan APS kelompok umur 19-24 tahun sebesar 11,38 persen. Bila didasarkan pada
jenis kelamin APS perempuan sedikit lebih besar pada kelompok umur 7-12
tahun dan 13-15 tahun, sementara pada kelompok umur 16-18 dan 19-24 APS
laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Semakin tinggi kelompok umur baik bagi
laki-laki maupun perempuan APS nya semakin rendah.
Bila diperhatikan lebih lanjut menurut daerah tempat tinggal, APS
penduduk perkotaan lebih besar dari APS penduduk pedesaan untuk semua
kelompok umur. Perbedaan menjadi semakin besar untuk kelompok umur yang
lebih tua.
Status ekonomi rumah tangga sangat berpengaruh terhadap tingginya
rendahnya APS, sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 3.2. Semakin tinggi
status ekonomi rumah tangga, yang direfleksikan dengan kelompok 20 persen
golongan pendapatan tertinggi, memperlihatkan angka APS yang tertinggi untuk
semua kelompok umur sekolah, setelah itu posisi APS berikutnya ditempati oleh
golongan status sosial menengah yaitu kelompok 40 persen rumah tangga yang
berpendapatan menengah.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
8
Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, dapat tercermin dari
angka APS untuk kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun, tidak
memperlihatkan beda yang terlalu signifikan untuk semua golongan status
ekonomi rumahtangga. Untuk kelompok umur 7-12 tahun APS golongan status
ekonomi tertinggi tercatat 98,70 persen, pada status ekonomi menengah sebesar
98,02 persen, dan pada status ekonomi terendah adalah 96,45 persen.
Perbedaan APS per status ekonomi rumah tangga sedikit melebar tapi belum
terlalu signifikan pada kelompok umur 13-15 tahun, tercatat APS pada status
ekonomi tertinggi sebesar 92,17 persen, selanjutnya pada status ekonomi
rumahtangga menengah APS nya sebesar 88,15 persen dan pada kelompok
status ekonomi terendah menunjukan APS sebesar 77,70 persen.
Tabel 3.1 Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Umur, Tahun 2006
7 - 12 13 - 15 16 - 18 19 - 24(2) (3) (4) (5)
Perkotaan
Laki-laki 98,14 90,19 66,60 17,88
Perempuan 98,54 89,26 64,38 16,54
L + P 98,33 89,74 65,50 17,20
Perdesaan
Laki-laki 96,37 79,50 45,03 6,28
Perempuan 97,16 81,08 44,99 5,59
L + P 96,75 80,25 45,01 5,94
K + D
Laki-laki 97,08 83,75 54,09 11,81
Perempuan 97,72 84,44 53,73 10,95
L + P 97,39 84,08 53,92 11,38
Kelompok Umur (tahun)TipeDaerah / Jenis Kelamin
(1)
Sumber : Susenas 2006, BPS
Kesenjangan APS menurut golongan status ekonomi rumah tangga
makin melebar signifikan terlihat pada kelompok umur 16-18 tahun, APS
golongan status ekonomi tertinggi mencapai 68,64 persen, kemudian pada
golongan menengah APS mencapai 58,40 persen dan pada golongan status
ekonomi rumah tangga terendah APS nya sebesar 43,10 persen. Kesenjangan
APS menjadi semakin melebar pada kelompok umur 19-24 tahun, dimana pada
status ekonomi rumahtangga tertinggi APS sebesar 25,70 persen dan pada
golongan status ekonomi rumah tangga terendah APS nya sebesar 4,09 persen.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
9
Kesenjangan APS menurut golongan status ekonomi rumah tangga
apabila diperhatikan lebih jauh pada tabel 3.2 memperlihatkan bahwa khusus
pada kelompok umur 16-18 di daerah pedesaan kesenjangan lebih lebar bila
dibandingkan dengan daerah perkotaan.
Tabel 3.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Penduduk menurut Tipe Daerah, Status Ekonomi Rumah Tangga & Kelompok Umur,Tahun 2006
7 - 12 13 - 15 16 - 18 19 - 24(2) (3) (4) (5)
Perkotaan
40% Rendah 97,52 83,47 54,69 5,36
40% Menengah 98,97 94,97 72,46 15,79
20% Tinggi 99,30 95,60 75,50 38,24
Perdesaan
40% Rendah 95,72 73,63 33,96 2,94
40% Menengah 97,37 83,65 48,00 5,05
20% Tinggi 98,32 90,01 63,23 12,89
K + D
40% Rendah 96,45 77,70 43,10 4,09
40% Menengah 98,02 88,15 58,40 10,17
20% Tinggi 98,70 92,17 68,64 25,70
TipeDaerah / Status Ekonomi RTKelompok Umur (tahun)
(1)
Sumber : Susenas 2006, BPS
Jarak APS pada kelompok umur 16-18 antara status ekonomi rumah tangga yang
tertinggi dan terendah di daerah perkotaan sebesar 20,81 persen sedangkan di
daerah pedesaan jaraknya sebesar 29,27. Hal sebaliknya diperlihatkan pada
kelompok umur 19-24 tahun, jarak APS antara golongan status sosial tertinggi
dan terendah pada daerah perkotaan lebih lebar jaraknya dibanding daerah
pedesaan. Perbedaan APS untuk golongan umur ini di daerah perkotaan antara
golongan status ekonomi tertinggi dan terendah adalah sebesar 32,88 persen,
sedangkan di daerah pedesaan hanya berbeda 9,95 persen.
Angka partisipasi sekolah (APS) menurut propinsi tahun 2006 sebagaimana
diperlihatkan pada tabel 3.3 dapat mencerminkan kesenjangan antar daerah,
kesenjangan yang kelihatan tidak begitu signifikan adalah pada kelompok umur
7-12 tahun, hal ini menunjukkan bahwa program wajib belajar 9 tahun sudah
benar-benar dilaksanakan secara merata di seluruh Indonesia. APS tertinggi
pada kelompok umur 7-12 tahun terjadi di Provinsi Yogyakarta yaitu sebesar
99,35 persen dan yang terendah di Provinsi Papua sebesar 80,38 persen.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
10
Tabel 3.3. Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Provinsi & Kelompok Umur, Tahun 2006
7 - 12 13 - 15 16 - 18 19 - 24
(1) (2) (3) (4) (5)NAD 98,88 93,83 72,43 20,95
Sumatera Utara 98,19 90,62 65,09 13,22
Sumatera Barat 97,71 88,45 64,29 18,29
Riau 97,68 91,15 62,87 12,33
Jambi 97,20 83,77 53,75 10,41
Sumatera Selatan 96,84 83,43 52,77 10,35
Bengkulu 98,10 96,75 58,77 14,77
Lampung 97,77 84,14 49,47 7,26
Babel 96,26 79,04 44,95 6,07
Kepri 97,78 90,36 63,24 5,96
DKI Jakarta 98,46 90,16 60,26 15,84
Jawa Barat 97,64 79,70 45,62 8,88
Jawa Tengah 98,47 83,41 51,31 9,26
DI Yogyakarta 99,35 90,55 71,18 39,71
Jawa Timur 98,22 85,99 56,79 10,28
Banten 97,36 80,35 48,65 10,36
Bali 98,27 87,16 63,21 10,98
Nusa Tenggara Barat 96,75 84,84 55,62 12,92
Nusa Tenggara Timur 94,00 77,24 46,51 11,62
Kalimantan Barat 96,53 83,46 48,55 9,30
Kalimantan Tengah 98,33 86,08 53,39 9,32
Kalimantan Selatan 96,36 78,41 48,75 9,50
Kalimantan Timur 97,51 89,91 64,03 13,10
Sulawesi Utara 97,37 88,01 55,84 11,15
Sulawesi Tengah 97,12 80,74 47,90 12,35
Sulawesi Selatan 95,08 78,40 50,85 12,88
Sulawesi Tenggara 97,04 85,22 58,19 14,64
Gorontalo 93,39 75,84 47,60 7,96
Sulawesi Barat 94,02 74,13 42,80 7,44
Maluku 97,55 90,61 70,39 15,86
Maluku Utara 97,35 88,37 61,85 14,40
Papua Barat 90,94 88,38 56,00 11,53
Papua 80,38 77,54 53,64 13,50
Indonesia 97,39 84,08 53,92 11,38
Kelompok UmurProvinsi
Sumber : Susenas 2006, BPS
Demikian pula pada kelompok umur 13 – 15 angka APS per provinsi tidak
meperlihatkan kesenjangan yang signifikan, APS tertinggi untuk kelompok umur
ini terjadi di Provinsi Bengkulu sebesar 96,75 persen dan yang terendah ada di
Provinsi Sulawesi Barat sebesar 74,13 persen. Kesenjangan semakin lebar pada
APS umur 16 – 18, pada kelompok umur ini APS tertinggi ada di Provinsi NAD
sebesar 72,43 persen dan yang terndah di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 42,80
persen. Pada kelompok umur 19 –24 tahun APS tertinggi di Propvinsi D.I
Yogyakarta sebesar 39,71 persen dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau
sebesar 5,96 persen.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
11
3.3 Angka Partisipasi Kasar (APK)
Bila APS digunakan untuk mengetahui seberapa banyak penduduk usia
sekolah yang dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan, tanpa melihat jenjang
pendidikannya, maka Angka Partisipasi Kasar (APK), mengindikasikan partisipasi
penduduk yang sedang mengenyam pendidikan sesuai jenjang pendidikannya.
Angka APK ini bisa lebih besar dari 100 persen karena populasi murid yang
bersekolah di suatu jenjang pendidikan, mencakup anak diluar batas usia sekolah
pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. APK digunakan untuk mengukur
keberhasilan program pembangunan pendidikan yang diselenggarakan dalam
rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan.
APK untuk kelompok umur SD tahun 2006 (Tabel 3.4) tercatat sebesar
109,95 persen, kelompok umur SMP sebesar 81,87 persen, kelompok umur SMA
sebesar 56,69 persen dan pada kelompok umur PT tercatat sebesar 12,16
persen. Secara umum APK di daerah perkotaan untuk semua kelompok umur
lebih besar dibandingkan didaerah pedesaan, kecuali untuk kelompok umur SD
APK di daerah pedesaan lebih besar dari daerah perkotaan. APK daerah
pedesaan untuk kelompok umur SD tercatat 110,28 persen sedangkan APK
daerah perkotaan tercatat sebesar 109,47 persen.
Tabel 3.4 Angka Partisipasi Kasar (APK) menurut Tipe Daerah,Jenis Kelamin & Jenjang Pendidikan,
Tahun 2006
SD SMP SM PT(2) (3) (4) (5)
Perkotaan
Laki-laki 109,60 90,40 73,38 19,16
Perempuan 109,34 91,10 70,91 17,79
L + P 109,47 90,74 72,15 18,47
Perdesaan
Laki-laki 110,80 75,23 43,43 5,88
Perempuan 109,72 76,57 46,36 6,66
L + P 110,28 75,87 44,80 6,27
K + D
Laki-laki 110,32 81,25 56,00 12,22
Perempuan 109,56 82,53 57,42 12,11
L + P 109,95 81,87 56,69 12,16
TipeDaerah / Jenis KelaminKelompok Umur (tahun)
(1)
Sumber : Susenas 2006, BPS
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
12
Tabel 3.5 memperlihatkan perbandingan antara APK madrasah dengan
APK nasional menurut jenjang pendidikannya, dimaksudkan untuk melihat peran
madrasah dibandingkan dengan sekolah umum lainnya menurut jenjang
pendidikannya. Data yang tersedia untuk diperbandingkan hanya 2 tahun yaitu
tahun 2003 dan 2006, diharapkan sudah dapat memperlihatkan perkembangan
partisipasi kasar (APK) madrasah dan perannya pada perkembangan APK
nasional pada periode tersebut.
Selama periode 2003 sd 2006 APK SD/MI secara nasional mengalami
peningkatan dari 105,82 persen menjadi 109,95 persen tetapi APK Madrasah
Ibtidaiyah mengalami penurunan dari 11,00 persen menjadi 10,85 persen.
Demikian juga APK untuk SMP dan MTs serta SMA dan MA pada dua periode
tersebut yaitu tahun 2003 dan 2006 selalu mengalami kenaikan yaitu dari 81,09
persen menjadi 81,87 persen untuk APK SMP dan MTs serta untuk APK SMA dan
MA dari 50,89 persen menjadi 56,69 persen. APK MTs ikut menunjang kenaikan
APK tingkat SMP yaitu 14,26 persen menjadi 16,07 persen sedangkan APK
Madrasah Aliyah ikut menunjang kenaikan APK tingkat SMA yaitu dari 5,05
persen menjadi 5,84 persen.
Di tingkat SD/MI, pada periode tahun 2003 hingga 2006 semua provinsi
mengalami kenaikan APK. Akan tetapi di tingkat MI, yang secara nasional APK-
nya mengalami penurunan disebabkan APK di beberapa provinsi yang juga
mengalami penurunan. Provinsi-provinsi tersebut antara lain Nangroe Aceh
Darussalam (NAD), Bengkulu, Babel, Jawa Timur, Banten, NTB, Kalteng, Kalsel,
Sultera, Maluku Utara dan Papua. Di tingkat SMP/MTS secara nasional APK
mengalami kenaikan. Akan tetapi, beberapa provinsi ternyata mengalami
penurunan. Provinsi-provinsi tersebut antara lain Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Jambi, Lampung, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, DIY, Bali, Kaltim dan Sulut.
Di tingkat MTS, penurunan APK hanya terjadi di tiga provinsi yaitu, Sultera,
Maluku Utara, Papua.
Selanjutnya untuk tingkat SMA/MA, penurunan APK terjadi di provinsi-
provinsi NAD, DKI Jakarta, DIY dan Bali. Sementara itu, di tingkat Madrasah
Aliyah penurunan APK terjadi di provinsi Bengkulu, DIY, Maluku Utara dan Papua.
Penurunan APK tingkat madrasah Ibtidaiyah tahun 2006 dibandingkan 2003
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
13
mencerminkan berkurangnya minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya
khusus pada tingkat dasar ke madrasah, bilamana tuntutan orangtua pada mutu
pendidikan, maka hal ini mengindikasikan bahwa orang tua menganggap mutu
madrasah masih dibawah mutu sekolah dasar secara umum.
Tabel 3.5 Angka Partisipasi Kasar (APK) Periode 2003 & 2006
2003 2006 2003 2006 2003 2006 2003 2006 2003 2006 2003 2006NAD 107,64 113,40 17,16 16,30 94,16 96,50 20,15 19,42 74,42 73,70 10,04 11,64Sumatera Utara 107,62 111,57 4,20 4,70 89,63 89,48 15,92 17,23 65,87 68,78 5,27 6,22Sumatera Barat 105,23 108,85 2,06 2,49 87,86 83,53 16,87 18,68 63,92 67,69 6,39 7,26Riau 107,19 110,00 5,34 6,32 84,93 89,88 19,00 20,50 61,61 63,18 5,57 7,51Jambi 108,41 113,35 33,71 36,22 81,58 71,47 17,14 18,39 50,55 51,51 6,87 8,67Sumatera Selatan 106,77 112,92 4,80 5,29 76,08 84,24 8,63 8,77 45,58 53,16 3,73 4,14Bengkulu 103,98 110,40 4,41 3,89 79,86 85,60 8,39 6,59 52,17 60,72 4,86 4,56Lampung 107,26 111,55 7,46 8,72 83,03 80,83 13,44 15,62 45,01 51,55 3,96 5,53Babel 114,38 114,87 3,52 3,33 68,47 73,74 7,52 7,77 42,80 50,27 2,77 3,35Kepri 0,00 111,33 0,00 5,78 0,00 91,79 0,00 8,88 0,00 67,52 0,00 3,51DKI Jakarta 106,57 109,63 8,92 11,95 98,14 92,66 6,42 10,15 77,47 68,95 2,06 2,94Jawa Barat 102,85 107,51 10,02 10,82 76,91 75,13 14,25 17,25 42,77 51,07 3,90 4,23Jawa Tengah 107,70 111,00 12,68 12,82 84,37 82,11 16,21 17,18 46,93 54,54 4,96 5,33DI Yogyakarta 102,83 107,97 3,89 4,13 100,57 91,30 9,31 10,33 75,32 72,57 5,78 5,06Jawa Timur 106,74 109,26 25,32 22,09 82,87 86,19 18,64 21,94 51,52 58,14 7,72 8,81Banten 105,01 108,28 11,57 9,68 77,19 77,47 20,89 22,94 45,54 50,16 5,15 5,65Bali 106,26 110,45 2,41 3,25 88,27 85,01 1,50 1,76 68,16 67,33 0,79 1,01Nusa Tenggara Barat 103,03 107,19 9,66 9,07 69,54 83,58 24,58 25,93 41,95 54,87 12,65 13,78Nusa Tenggara Timur 106,28 114,12 2,16 2,80 56,82 65,39 1,81 2,33 33,97 44,65 0,90 1,33Kalimantan Barat 110,02 114,56 5,03 6,58 71,93 77,93 6,85 8,64 39,56 43,76 2,61 3,74Kalimantan Tengah 109,58 113,11 9,55 9,21 76,91 80,46 10,22 10,91 48,89 50,84 3,49 4,54Kalimantan Selatan 106,21 112,21 17,26 16,51 74,76 78,02 23,22 24,53 39,18 47,37 8,83 9,76Kalimantan Timur 107,29 111,45 3,42 4,67 89,61 83,41 8,10 10,72 65,73 71,54 3,83 4,91Sulawesi Utara 105,80 112,70 2,04 2,51 93,75 83,71 2,30 3,01 59,96 67,53 0,92 1,22Sulawesi Tengah 106,39 113,45 2,52 3,09 76,35 77,48 10,36 11,78 42,96 53,34 3,94 5,53Sulawesi Selatan 101,67 107,70 5,35 5,91 67,75 74,28 9,83 13,07 46,36 55,54 4,21 6,56Sulawesi Tenggara 105,17 109,25 2,47 2,35 81,77 91,40 10,32 9,38 47,34 57,58 4,47 4,66Gorontalo 97,59 111,20 3,13 3,89 65,12 65,68 10,01 11,18 33,57 46,48 4,14 5,59Sulawesi Barat 0,00 106,06 0,00 4,47 0,00 68,90 0,00 4,78 0,00 44,41 0,00 2,55Maluku 107,93 112,24 5,32 6,77 84,72 95,96 6,09 8,00 56,72 70,05 2,53 3,81Maluku Utara 112,48 116,06 3,53 2,51 79,72 84,28 13,15 9,90 49,90 67,80 5,72 4,57Papua 99,88 114,44 1,23 1,21 67,90 77,68 1,69 0,91 41,53 52,21 0,62 0,36Papua Barat 0,00 98,83 0,00 2,99 0,00 71,87 0,00 4,38 0,00 49,41 0,00 1,74Indonesia 105,82 109,95 11,00 10,85 81,09 81,87 14,26 16,07 50,89 56,69 5,05 5,84
ProvinsiSD/MI MI SMP/MTS MTS SMU/K/MA MA
Sumber : 1. Data Susenas 2003 dan 2006, BPS 2. Data Statistik Pendidikan Agama, Depag
Kenaikan APK Madrasah Tsanawiyah demikian juga APK Madrasah Aliyah
bila ditelaah lebih jauh juga belum tentu karena kualitasnya lebih baik dari
sekolah umum lainnya yang sederajat, bisa jadi karena daya tampung sekolah-
sekolah lainnya yang terbatas menyebabkan madrasah menjadi salah satu pilihan
untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini dapat diperkuat dengan
data sebagaimana yang ditunjukan pada tabel 3.6. Jumlah murid Madrasah
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
14
Tsanawiyah yang berasal dari SD negeri dan SD swasta ternyata menempati
porsi terbesar yaitu kurang lebih sebesar 70 persen. Berdasarkan data pada tabel
3.6 jumlah murid baru Madrasah Tsanawiyah tahun 2001/2002 berasal dari SDN
sebesar 65,59 persen dan SD swasta sebesar 1,90 persen. Tahun 2004/2005
jumlah murid MTs yang berasal dari SDN mencapai 70,64 persen dan dari SD
swasta sebesar 2,25 persen, tahun 2004/2005 merupakan rekor terbesar murid
MTs yang berasal dari SDN dan SD swasta. Keadaan tahun 2006/2007 jumlah
murid yang berasal dari SDN dan SD swasta. Keadaan tahun 2006/2007 jumlah
murid yang berasal dari SDN dan SD swasta sedikit menurun yaitu mencapai
69,44 persen untuk murid yang berasal dari SDN dan 2,96 persen untuk murid
yang berasal dari SD swasta.
Tabel 3.6 Jumlah Pendaftar & Siswa Baru pada Madrasah Tsanawiyah Berdasarkan Asal Sekolah
SDN SDS MIN MIS Jumlah %
Jumlah 753.212 496.244 13.558 41.959 161.333 713.094 94,67
% 69,59 1,90 5,88 22,62 100,00
Jumlah 796.996 523.658 16.302 44.455 167.006 751.421 94,28
% 477,23 313,56 9,76 26,62 827,16
Jumlah 786.003 524.103 15.774 42.669 161.647 744.193 94,68
% 70,43 2,12 5,73 21,72 100,00
Jumlah 811.290 541.738 17.254 43.238 164.721 766.951 94,53
% 70,64 2,25 5,64 21,48 100,00
Jumlah 866.915 560.592 18.623 45.469 190.434 815.118 94,03
% 68,77 2,28 5,58 23,36 100,00
Jumlah 915.643 588.375 25.086 43.476 190.424 847.361 92,54
% 69,44 2,96 5,13 22,47 100,00
2001/2002
2002/2003
Tahun PendaftarSiswa Baru Yang Diterima
2003/2004
2004/2005
2005/2006
2006/2007
Sumber: Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan, Departemen Agama
Hal yang sebaliknya diperlihatkan pada murid baru Madrasah
Aliyah,sebagaimana diperlihatkan pada tabel 3.7. Dimana jumlah murid baru
Madrasah Aliyah yang berasal MTs negeri dan MTs swasta masih menempati
porsi yang terbesar yaitu sebesar 22,81 persen berasal dari MTsN dan 45,59
persen berasal dari MTsS pada tahun 2001/2002. Untuk tahun 2003/2004 jumlah
murid baru Madrasah Aliyah yang berasal dari MTs baik negeri maupun swasta
menempati porsi terbesar yaitu sebesar 21,33 persen berasal dari MTsN dan
sebesar 48,05 persen berasal dari MTsS. Sedangkan pada tahun 2006/2007
jumlah murid yang berasal dari MTsN sedikit menurun menjadi sebesar 19,33
persen dan yang berasal dari MTsS sebesar 47,86 persen.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
15
Kembali ke masalah APK maka peran madrasah dalam menyumbang APK
nasional dapat dihitung berdasarkan tabel 3.5. Besar peran Madrasah Ibtidaiyah
terhadap APK SD secara nasional adalah sebesar 10,40 persen pada tahun 2003
dan sebesar 9,87 persen tahun 2006. Madrasah Tsanawiyah dalam menyumbang
APK SMP secara nasional adalah sebesar 17,58 persen pada tahun 2003 dan
sebesar 19,63 persen tahun 2006. Di tingkat Madrasah Aliyah menyumbang APK
SMU/K sebesar 9,94 persen pada tahun 2003 dan sebesar 10,30 persen tahun
2006.
Tabel 3.7 Jumlah Pendaftar & Siswa Baru pada Madrasah Aliyah Berdasarkan Asal Sekolah
SMPN SMPS MTsN MTsS Jumlah %
Jumlah 271.698 57.003 21.304 56.527 112.973 247.807 91,21
% 23,00 8,60 22,81 45,59 100,00
Jumlah 295.420 61.334 22.830 57.271 115.743 257.178 87,06
% 23,85 8,88 22,27 45,01 100,00
Jumlah 291.714 58.951 21.049 55.748 125.576 261.324 89,58
% 22,56 8,05 21,33 48,05 100,00
Jumlah 298.763 62.983 22.693 57.306 129.839 272.821 91,32
% 23,09 8,32 21,00 47,59 100,00
Jumlah 319.405 66.682 24.175 59.037 139.378 289.272 90,57
% 23,05 8,36 20,41 48,18 100,00
Jumlah 341.933 73.559 27.072 59.301 146.805 306.737 89,71
% 23,98 8,83 19,33 47,86 100,00
2001/2002
2002/2003
Tahun PendaftarSiswa Baru Yang Diterima
2003/2004
2004/2005
2005/2006
2006/2007
Sumber: Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan, Departemen Agama
Gambaran yang diperlihatkan oleh asal sekolah pada murid baru Madrasah
Aliyah ini, mudah-mudahan bukan karena mutu pendidikan di Madrasah
Tsanawiyah baik Negeri maupun Swasta masih kalah oleh SMPN maupun SMP
swasta sehingga murid lulusan Madrasah Tsanawiyah kalah bersaing dengan
lulusan SMP dalam menempatkan lulusannya di SMU/K yang pada akhirnya
lulusan SMP yang tidak mendapatkan tempat di bangku SMU/K memilih masuk
Madrasah Aliyah, sedangkan lulusan MTs hanya sebagian kecil saja yang bisa
masuk SMU/K dan sebagian besarnya kembali masuk ke Madrasah Aliyah.
Berdasarkan series dari tahun 2001/2002 sampai dengan 2006/2007
(tabel 3.8 ) APK Madrasah Ibtidaiyah berturut-turut adalah 10,82 ; 11,02 ; 10,99
; 12,06 ; 10,92; dan10,78 persen. Di tingkat Madrasah Tsanawiyah berturut-turut
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
16
APK MTs dari tahun 2001/2002 sampai dengan 2006/2007 adalah 13,49; 14,21;
14,32; 15,89; 15,79; dan 16,34 persen. Berdasarkan series tersebut APK
Madrasah Aliyah berturut-turut adalah 4,69; 4,95, meningkat lagi menjadi 5,15
kemudian 5,73; 5,70 dan pada tahun 2006/2007 meningkat lagi menjadi 5,99
persen.
Tabel 3.8 Angka Partisipasi Kasar (APK) Periode 2001/2002 s.d 2006/2007
TahunMadrasah Ibtidaiyah
Madrasah Tsanawiyah
Madrasah Aliyah
2001/2002 10,82 13,49 4,69
2002/2003 11,02 14,21 4,95
2003/2004 10,99 14,32 5,15
2004/2005 12,06 15,89 5,73
2005/2006 10,92 15,79 5,70
2006/2007 10,78 16,34 5,99 S
umber: Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan, Departemen Agama
3.4. Rasio siswa per Sekolah/Kelas
Untuk menelusuri minat masyarakat terhadap madrasah baik Madrasah
Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah dapat diamati melalui
rasio siwa per sekolah-nya. Pada periode tahun 2001/2002 hingga periode tahun
2006/2007 seperti terlihat pada tabel 3.9 tercatat bahwa rasio siswa persekolah
untuk MI, MTS dan MA lebih rendah daripada rasio siswa SD/MI, SMP/MTS dan
SMU/K/MA.
Jumlah siswa per sekolah SD+MI selama periode 2001/2002 sampai dengan
2006/2007 berkisar antara 174 – 179, untuk rasio siswa per Madrasah Ibtidaiyah
berkisar antara 133 – 136 dan ada gerakan menurun pada tahun 2006/2007. Di
tingkat SMP+MTs jumlah siswa per sekolah berkisar antara 338 – 358 ada
penurunan di tahun 2006/2007 yang bisa mencerminkan bertambahnya jumlah
sekolah SMP+MTs. Ditingkat MTs sendiri jumlah siswa per sekolah hanya
berkisar 177 – 182. Terakhir untuk tingkat SMU/K/MA jumlah siswa per sekolah
berkisar antara 363 – 395, yang terendah justru di tahun 2006/2007 ,sama
dengan pada kasus SMP, hal ini bisa mengindikasikan tambahnya jumlah
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
17
sekolah. Pada tingkat madrasah Aliyah jumlah siswanya hanya berkisar 158 –
175, yang mana kondisi jumlah siswa tertinggi tercatat pada tahun 2001/2002.
Tabel 3.9 Rasio Siswa per Sekolah
SD/MI MI SMP/MTS MTs SMU/K/MA MA
2001/2002 174 135 358 182 388 175
2002/2003 177 136 356 181 391 174
2003/2004 178 135 354 178 395 164
2004/2005 176 134 339 177 382 159
2005/2006 175 133 338 178 375 158
2006/2007 179 133 342 182 363 162
TahunSiswa per Sekolah
Sumber : Depdiknas dan Depag
Dari data tersebut menimbulkan pertanyaan apakah daya tampung
madrasah sudah optimal atau belum karena jumlah siswa per sekolah lebih
rendah dari rata-rata secara nasional pada setiap jenjang pendidikan. Untuk
memperkuat jawaban bila pada kenyataannya daya tampung madrasah tersebut
belum optimal dapat diperlihatkan oleh tabel 3.10 yaitu tabel tentang rasio siswa
per kelas yang diperbandingkan dengan kondisi rasio siswa per-kelas untuk
semua sekolah termasuk didalamnya madrasah.
Jumlah siswa per-kelas secara nasional disemua jenjang pendidikan
umumnya lebih tinggi dari madrasah hanya untuk kondisi tahun 2001/2002
jumlah siswa per-kelas di madrasah lebih tinggi dari rata-rata nasional, yaitu
pada tingkat MI jumlah siswa perkelas tahun 2001/2002 tercatat 49 dan untuk
SD+MI hanya 26, demikian juga untuk MTs jumlah siswa perkelas pada tahun
itu tercatat 52 dan untuk SMP+MTs jumlah siswa perkelasnya adalah 39.
Selanjutnya pada tingkat MA jumlah siswa perkelas pada tahun tersebut tercatat
42 dan pada tingkat SMU/K/MA jumlah siswa perkelasnya tercatat 38. Periode
selanjutnya yaitu tahun 2002/2003 sampai 2006/2007 jumlah siswa perkelas
pada madrasah selalu menurun dan berada dibawah rata-rata nasional.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
18
Tabel 3.10 Rasio Siswa per Kelas
SD/MI MI SMP/MTS MTs SMU/K/MA MA2001/2002 26 49 39 52 38 42
2002/2003 26 25 38 33 38 30
2003/2004 26 25 38 32 38 29
2004/2005 26 25 37 32 37 29
2005/2006 26 24 36 31 36 28
2006/2007 30 24 37 31 36 29
Tahun Siswa per Kelas
Sumber : Depdiknas dan Depag
Berdasarkan kondisi jumlah siswa persekolah dan jumlah siswa perkelas
madrasah yang selalu dibawah rata-rata nasional (sekolah umum dan madrasah)
ini maka dapatlah disimpulkan bahwa daya tampung madrasah masih belum
optimal dan perlu ditingkatkan lagi.
Gambaran sebaran jumlah siswa persekolah menurut provinsi disajikan
pada tabel 3.11, dan ternyata seperti yang tercatat pada tahun 2006/2007 tidak
semua provinsi jumlah siswa per madrasah-nya lebih rendah dari rata-rata
nasional. Untuk Madrasah Ibtidaiyah jumlah siswa per sekolah yang lebih tinggi
dari rata-rata nasional ada di Provinsi NAD, Bali, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Utara, Maluku, Papua dan Papua Barat. Sementara itu pada tingkatan SMP dan
SMA jumlah Siswa per sekolah dari Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah
disemua provinsi lebih rendah bila dibandingkan dengan jumlah siswa per
sekolah SMP+MTs dan SMU/K+MA.
Jumlah siswa per Madrasah Ibtidaiyah secara nasional tahun 2006/2007
tercatat 133 siswa. Provinsi-provinsi yang tercatat diatas rata-rata jumlah siswa
per sekolahnya adalah provinsi NAD, Bali, Kalimantan Timur, Maluku , Papua dan
Papua Barat. Hal tersebut menandakan minat orangtua untuk menyekolahkan
anaknya di Madrasah Ibtidaiyah sangat tinggi. Untuk provinsi NAD dan
Kalimantan Timur yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan terkenal
sebagai muslim yang taat dapat di maklumi bila madrasah menjadi prioritas
utama di sana. Akan tetapi lain halnya dengan Provinsi Bali, Maluku, Papua dan
Papua Barat dimana mayoritas penduduknya beragama non muslim. Mungkin
dikarenakan penduduk muslim yang menetap di Provinsi tersebut adalah
minoritas, maka orang tua lebih mempercayakan pendidikan dasar Islam
anaknya ke sekolah umum.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
19
Di tingkat MTS, pada periode 2006/2007 rasio siswa per sekolah adalah
182. Provinsi-provinsi yang memiliki rasio siswa per sekolah di atas rata-rata
adalah NAD, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan
Banten.
Di tingkat Madrasah Aliyah, pada periode tahun 2006/2007 rasio siswa
per sekolah adalah 162. Provinsi-provinsi yang memiliki rasio di atas rata-rata
adalah NAD, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, NTB,
NTT dan Kalimantan Selatan.
Tabel 3.11. Rasio Siswa per Sekolah Menurut Provinsi Periode 2006/2007
SD/MI MI SMP/MTS MTs SMU/K/MA MANAD 167 201 357 212 336 228
Sumatera Utara 192 141 347 185 363 143
Sumatera Barat 161 142 370 175 449 144
Riau 212 99 282 130 339 117
Jambi 163 105 231 121 316 119
Sumatera Selatan 201 130 318 129 357 154
Bengkulu 185 104 280 133 334 201
Lampung 235 125 311 155 344 143
Bangka Belitung 174 107 275 131 317 141
Kepulauan Riau 190 159 229 128 254 91
DKI Jakarta 273 186 387 206 387 166
Jawa Barat 213 162 446 226 401 153
Jawa Tengah 168 135 433 264 466 251
DI Yogyakarta 146 80 330 221 341 252
Jawa Timur 158 125 349 178 398 177
Banten 274 158 439 213 361 147
Bali 165 199 488 131 477 164
Nusa Tenggara Barat 200 106 425 142 392 168
Nusa Tenggara Timur 171 116 285 118 339 184
Kalimantan Barat 161 138 230 123 240 156
Kalimantan Tengah 119 125 168 145 203 139
Kalimantan Selatan 137 122 247 181 281 175
Kalimantan Timur 187 134 275 132 261 133
Sulawesi Utara 117 129 175 102 252 105
Sulawesi Tegah 129 86 214 104 268 99
Sulawesi Selatan 164 103 315 112 359 114
Sulawesi Tenggara 140 114 315 125 343 127
Gorontalo 158 94 281 119 393 120
Sulawesi Barat 136 95 292 84 283 108
Maluku 132 135 188 130 313 150
Maluku Utara 125 113 200 125 192 128
Papua 145 166 237 61 266 50
Papua Barat 133 135 190 182 320 136
Indonesia 179 133 342 182 363 162
Provinsi Siswa per Sekolah
Sumber : Depdiknas dan Depag
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
20
Rasio siswa per kelas menurut provinsi pada tahun 2006/2007
sebagaimana diperlihatkan pada tabel 3.12 mencatat rasio siswa per kelas di
tingkat Madrasah Ibtidaiyah adalah 24. Di tingkat Madrasah Tsanawiyah adalah
31 dan di tingkat Madrasah Aliyah adalah 29. Provinsi- provinsi NAD, Sumatera
Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kepri, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Banten, Bali, Papua dan Papua Barat tercatat memiliki rasio siswa per kelas yang
lebih tinggi dari rata-rata rasio siswa per kelas Indonesia pada tingkat Madrasah
Ibtidaiyah.
Tabel 3.12. Rasio Siswa per Kelas Menurut Provinsi Periode 2006/2007
SD/MI MI SMP/MTS MTs SMU/K/MA MANAD 26 28 37 29 31 33
Sumatera Utara 28 27 38 32 39 29
Sumatera Barat 32 21 34 26 36 25
Riau 29 23 35 28 37 26
Jambi 27 26 34 24 36 25
Sumatera Selatan 30 25 35 26 36 26
Bengkulu 30 18 36 23 35 30
Lampung 30 25 40 32 37 29
Bangka Belitung 26 20 35 14 34 24
Kepulauan Riau 28 27 32 23 30 23
DKI Jakarta 33 28 38 33 35 23
Jawa Barat 33 30 37 37 37 27
Jawa Tengah 28 22 38 34 38 32
DI Yogyakarta 23 14 36 27 34 26
Jawa Timur 26 21 37 33 37 32
Banten 31 30 39 34 34 27
Bali 30 48 37 20 38 26
Nusa Tenggara Barat 33 19 38 29 37 34
Nusa Tenggara Timur 29 21 34 23 32 26
Kalimantan Barat 31 24 37 25 33 30
Kalimantan Tengah 33 23 33 29 30 29
Kalimantan Selatan 30 20 33 28 33 29
Kalimantan Timur 32 23 33 28 34 30
Sulawesi Utara 30 23 32 24 31 22
Sulawesi Tegah 31 18 35 23 33 25
Sulawesi Selatan 30 18 34 21 36 26
Sulawesi Tenggara 31 23 34 28 35 31
Gorontalo 30 16 34 20 33 24
Sulawesi Barat 32 20 34 20 34 28
Maluku 32 23 31 31 35 33
Maluku Utara 34 19 31 27 29 21
Papua 31 26 36 19 34 13
Papua Barat 33 25 36 33 32 25
Indonesia 30 24 37 31 36 29
Provinsi Siswa per Kelas
Sumber : Depdiknas dan Depag
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
21
Di tingkat Madrasah Tsanawiyah provinsi-provinsi yang memiliki rasio
siswa per kelas lebih tinggi dari rata-rata Indonesia adalah Sumatera Utara,
Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan
Papua Barat. Adapun provinsi-provinsi NAD, Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa
Timur, NTB, Kalimantan Barat ,Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan Maluku
tercatat memiliki rasio siswa per kelas lebih tinggi dari rata-rata Indonesia untuk
tingkat Madrasah Aliyah.
3.5. Analisis Kohort
Penelurusan kohort siswa adalah pengamatan terhadap sekelompok siswa
dari mulai masuk sekolah sampai dengan menyelesaikan sekolahnya di tiap
tingkat pendidikan. Tujuan penelusuran ini untuk melihat tingkat keberhasilan
siswa tersebut pada tiap-tiap tingkatan sehingga bisa diperoleh probabilitas
keberhasilan siswa tiap tingkatan sampai probabilitas kelulusan siswa.
Penelusuran kohort siswa ini sebaiknya dilakukan untuk series minimal 7 tahun
bagi kohort SD, 4 tahun bagi kohort SMP dan 4 tahun bagi kohort SMA/SLTA,
karena bisa ditelusuri dari mulai masuk suatu jenjang pendidikan sampai dengan
selesai lulus.
Oleh karena data yang tersedia untuk tingkat madrasah ini hanya 4
tahun maka penelusuran kohort ini hanya untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah
dan Madrasah Aliyah saja.
3.5.1 Kohort Siswa Madrasah Tsanawiyah
Penelusuran kohort siswa Madrasah Tsanawiyah dimulai tahun 2001/2002
sampai dengan 2004/2005 karena ketersediaan datanya hanya untuk tahun
tersebut. Siswa baru tahun 2001/2002 berjumlah 713.094 ditambah yang
mengulang di kelas 1 maka siswa kelas 1 berjumlah 715.785, murid kelas 2
sebanyak 660.164 dan murid kelas 3 tercatat sebanyak 585.562, sedangkan
lulusan tahun 2001/2002 berjumlah 572.913 atau sebanyak 97,84 persen dari
jumlah murid kelas 3.
Tahun 2002/2003 sebanyak 96,73 persen murid kelas 1 naik ke kelas 2
demikian juga murid kelas 2 naik ke kelas 3 sebanyak 95,08 persen. Di tahun
berikutnya yaitu tahun 2003/2004 murid kelas 2 naik ke kelas 3 sebanyak 92,60
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
22
persen, sehingga tersisa sebanyak 634.561 siswa dari 715.785 siswa yang
masuk pada tahun 2001/2002. Dan yang lulus sebanyak 621.362 siswa. Dengan
demikian bila ditelusuri siswa yang masuk tahun 2001/2002 sebanyak 715.785
siswa sampai dia lulus hanya tinggal 621.362 siswa atau sebanyak 86,81 persen.
3.13 Kohort Siswa Madrasah Tsanawiyah
2001/2002 713.094,00 715.785,00 660.164,00 585.562,00 …100,00
95,73 95,08 97,99
2002/2003 751.421,00 753.815,00 685.254,00 627.678,00 573.792,20100,00
92,88 92,60 97,92
2003/2004 744.193,00 746.873,00 700.142,00 634.561,00 614.622,30100,00
94,38 93,54 97,92
2004/2005 766.951,00 769.725,00 704.909,00 654.930,00 621.362,13
TahunSiswa Baru Tingkat
ITingkat LulusanI II III
Sumber: Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan, Departemen Agama
Dalam periode 3 tahun tersebut siswa kelas 1 yang naik ke kelas 2
masing-masing sebanyak 95,73 persen, 92,88 persen dan 94,38 persen. Dan
siswa kelas 2 yang naik ke kelas 3 masing-masing sebanyak 95,08 persen, 92,62
persen dan 93,54 persen. Tingkat kelulusan siswa kelas 3 selama 3 tahun
tersebut berkisar sekitar 97 – 98 persen.
3.5.2 Kohort Siswa Madrasah Aliyah
Penelusuran kohort siswa Madrasah Aliyah juga dilakukan mulai tahun
2001/2002 sampai dengan tahun 2004/2005. Siswa baru tahun 2001/2002
ditambah siswa yang tidak naik ke kelas 2 berjumlah 248.568 siswa, siswa kelas
2 sebanyak 220.557 dan siswa kelas 3 berjumlah 191.989 siswa. Tahun
2002/2003 sebanyak 91,98 persen siswa kelas 1 naik ke kelas 2 dan sebanyak
96,00 persen siswa kelas 2 naik ke kelas 3. Di tahun berikutnya yaitu tahun
2003/2004 murid kelas 2 naik ke kelas 3 sebanyak 97,86 persen sehingga tersisa
223.729 siswa dari 248.568 siswa yang duduk di kelas 1 tahun 2001/2002. Dan
yang lulus sebanyak 220.842 siswa.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
23
3.14. Kohort Siswa Madrasah Aliyah
2001/2002 247.807,00 248.558,00 220.557,00 191.989,00 …100,00
91,98 96,00 98,71
2002/2003 257.178,00 257.949,00 228.620,00 211.735,00 189.512,34100,00
93,42 97,86 98,71
2003/2004 261.324,00 262.195,00 240.969,00 223.729,00 209.003,62100,00
91,29 96,14 98,50
2004/2005 272.821,00 273.696,00 239.363,00 231.677,00 220.373,07
Tahun Siswa Baru Tingkat I
Tingkat LulusanI II III
Sumber: Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan, Departemen Agama
Dengan demikian bila di telusuri dari siswa yang duduk di kelas 1
tahun2001/2002, 3 tahun kemudian yang lulus hanya tinggal 220.842 atau
tinggal sebanyak 88,84 persen saja. Dalam periode 3 tahun tersebut siswa kelas
1 yang naik kekelas 2 masing-masing sebanyak 91,98 persen, 93,42 persen dan
91,29 persen. Kemudian siswa kelas 2 yang naik ke kelas 3 masing-masing
adalah 96,00 persen, 97,86 persen dan 96,14 persen. Adapun tingkat kelulusan
pada Madrasah Aliyah selama 3 tahun tersebut berkisar sekitar 98 – 99 persen.
4. Kesimpulan dan Saran
4.1. Kesimpulan
a. Berdasarkan capaian angka APS dan APK 2006 maka Target pembangunan
pendidikan sampai akhir tahun 2009 sebagaimana ditetapkan dalam PP No.7
tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah, masih bisa
dicapai.
b. Sebaran APS per provinsi yang cukup merata pada kelompok umur 7 – 12
dan 13 – 15 menunjukan bahwa program wajib belajar 9 tahun umumnya
secara merata telah dilaksanakan di seluruh Indonesia.
c. Angka Partisipasi Kasar (APK) Nasional untuk daerah perkotaan lebih besar
dari daerah pedesaan untuk semua jenjang pendidikan kecuali untuk
kelompok umur SD APK pedesaan lebih tinggi dari APK perkotaan.
d. Penurunan APK Madrasah Ibtidaiyah dari tahun 2003 ke 2006 padahal di lain
pihak APK SD+MI mengalami kenaikan, bisa mengindikasikan adanya
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
24
penurunan minat orang tua untuk mempercayakan pendidikan anaknya ke
madrasah. Kenaikan APK pada MTs selama periode tahun 2003 – 2006
bahkan bisa mengindikasikan lain hal mengingat asal sekolah siswa baru
yang mendaftar ke MTs mencapai lebih dari 70 persen berasal dari sekolah
SDN dan SD swasta. Kondisi ini bisa jadi karena daya tampung SMPN
maupun swasta terbatas, sehingga lulusan SD banyak yang melanjutkan
sekolahnya ke Madrasah Tsanawiyah.
e. Hal sebaliknya diperlihatkan pada Madrasah Aliyah, yang siswa barunya yang
berasal dari SMP masih dibawah 50 persen, Hal ini bisa mengindikasikan
bahwa lulusan MTs masih banyak yang berminat melanjutkan pendidikannya
ke MA, atau bisa juga lulusan MTs kalah bersaing untuk memperebutkan
tempat di SMU/K.
f. Berdasarkan angka-angka rasio jumlah murid dengan jumlah kelas dan
sekolah dimana jumlah murid per kelas/persekolah dari madrasah umumnya
lebih rendah dari total Nasional masing-masing menurut jenjang
pendidikannya menunjukan masih rendahnya daya tampung madrasah dan
ini bisa ditingkatkan lagi dengan meningkatkan mutu pendidikan madrasah
sehingga minat untuk bersekolah di madrasah makin besar pula.
g. Analisis kohort tidak bisa dilakukan khususnya pada murid Madrasah
Ibtidaiyah karena series data yang tersedia tidak cukup panjang, hanya 4
tahun saja. Dan ini juga series minimal untuk dapat melakukan penelusuran
kohort siswa pada MTs dan MA.
4.2. Saran
Berdasarkan pada kesimpulan yang diperoleh dari bahasan diatas maka
disarankan agar dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan minat orangtua
untuk mempercayakan pendidikan anaknya ke Madrasah. Upaya-upaya tersebut
bisa berarti melakukan peningkatan mutu pendidikan madrasah dengan
perubahan kurikulum ataupun dengan peningkatan mutu tenaga pengajar.
Dengan demikian madrasah ini jangan cuma dipandang sebagai pelengkap dalam
sistem pendidikan nasional melainkan harus menjadi penunjang utamanya.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
25
5. Daftar Bacaan
Balitbang Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Rangkuman Statistik Persekolahan 2006/2007. Jakarta. Depdiknas.
Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Pendidikan 2006 (Hasil Susenas). Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2007. Jakarta
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009, Jakarta: Depdiknas.
Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama. Series 2001/2002 sd 2005/2006. Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta. Depag.
Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama. 2007. Kerja Keras Memperbaiki Mutu Madrasah. Jakarta. Depag
Suryadi, Ace dan Dasim Budimansyah. 2004. Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru. Bandung: Genesindo
Suryadi,Ace. 2008. Kependudukan dan Pembangunan Pendidikan, Jakarta Undang- Undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional