ANALISIS TEKNO-EKONOMI PEMANFAATAN LIMBAH PANAS
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA PANAS BUMI UNTUK PROSES
PRODUKSI MINYAK AKAR WANGI
Alif Nuzulul Hidayat, Widodo Wahyu Purwanto
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia
E-mail : [email protected]
Abstrak
PLTP memiliki potensi berupa limbah panas yang masih terkandung dalam kondensat atau brine
yang biasanya diinjeksikan kembali ke dalam bumi melalui sumur reinjeksi. Dalam penelitian ini
dilakukan analisis tekno-ekonomi terhadap pemanfaatan potensi limbah panas PLTP Kamojang
untuk proses penyulingan minyak akar wangi di Kabupaten Garut. Total biaya kapital dan
operasional yang dibutuhkan untuk skema brine secara berturut-turut adalah Rp42.727.999.500
dan Rp549.801.000, sedangkan untuk skema kondensat adalah Rp28.382.845.500 dan
Rp420.174.000. Skema pemanfaatan limbah panas bumi untuk penyulingan minyak akar wangi
yang paling menguntungkan adalah menggunakan brine pada jarak maksimal 1 km dari sumber
panas serta didanai 70% dari hibah dan 30% dari pemerintah dengan NPV Rp 1.057.899.500,
IRR 10,16% dan PBP pada tahun ke-8. Emisi gas CO2 yang dapat dihindari dari penggunaan
brine untuk proses penyulingan minyak akar wangi adalah sebanyak 213,5 ton CO2/tahun.
Techno-Economic Analysis of Waste Heat Utilization from Geothermal Power Plant for
Vetiver Oil Production Process
Abstract
Geothermal power plant potential waste heat in the form of condensate or brine is usually
injected back into the earth through reinjection wells. In this research, techno-economic analysis
of waste heat utilization from geothermal power plant for vetiver oil production located in Garut
is conducted. The result of this research revealed that condensate of Kamojang geothermal power
plant technically can be used to supply heat for vetiver oil production. However, it would be
more effective if wells that contain brine can be found. Total of capital and operating costs
required for the brine scheme are Rp42.727.999.500 and Rp549.801.000, while the condensate
scheme are Rp28.382.845.500 and Rp420.174.000, respectively. The most profitable scheme of
geothermal waste heat utilization for vetiver oil production is to use brine at a maximum distance
of 1 km from the source of heat and funded 70% of grant & 30% of government with NPV
Rp1.057.899.500, IRR 10,16% and PBP on the 8th
year. CO2 emissions can be avoided from the
use of brine for vetiver oil production is as much as 213,5 tonnes of CO2/year.
Keywords : Geothermal, Direct Use, Waste Heat, Vetiver Oil, Steam Distillation
1 Pendahuluan
Minyak akar wangi merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang dihasilkan dari
tanaman akar wangi (Vetiveria zizanoides). Komponen utama yang terkandung dalam minyak
akar wangi adalah vetivone alpha dan beta. Komponen tersebut merupakan senyawa yang
memunculkan bau wangi pada minyak akar wangi. Sifatnya yang dapat memunculkan bau wangi
membuat minyak akar wangi dijadikan sebagai bahan baku pada pembuatan parfum dan bahan
pewangi, serta dapat pula digunakan dalam aromaterapi. Dalam pembuatan produk-produk itu,
minyak akar wangi berfungsi sebagai pengikat (fixative) dan pemberi bau dasar (Martinez et al.,
2004). Hal tersebut membuat minyak akar wangi memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Produksi minyak akar wangi sebagian besar dilakukan oleh industri kecil dengan cara
konvensional. Selama ini bahan bakar yang digunakan untuk memanaskan air adalah solar atau
kayu bakar. Penggunaan solar sebagai bahan bakar membuat harga jual minyak akar wangi
bergantung terhadap harga bahan bakar tersebut. Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil juga
dinilai kurang ramah lingkungan dan sifatnya yang tidak dapat diperbaharui membuat
penggunaan bahan bakar fosil sebaiknya dilakukan secara bijaksana. Hal tersebut membuat
substitusi sumber panas untuk proses produksi minyak akar wangi menjadi salah satu hal yang
menarik untuk diteliti. Mengingat lokasi budi daya tanaman akar wangi sebagai bahan baku
minyak akar wangi terpusat di Provinsi Jawa Barat, maka keberadaan sumber-sumber panas bumi
yang terdapat di Jawa Barat patut untuk dipertimbangkan sebagai substitusi bahan bakar.
PLTP memiliki potensi limbah panas yang berasal dari brine. Brine biasanya diinjeksikan
kembali ke dalam reservoir dengan suhu yang masih cukup tinggi, yaitu sekitar 150-170°C. Saat
ini terdapat empat PLTP di Provinsi Jawa Barat, sekaligus yang terbanyak di Indonesia. Fakta
tersebut menggambarkan besarnya potensi limbah panas dari PLTP yang masih dapat digunakan
untuk keperluan non-listrik di Jawa Barat. Letak geografis yang berdekatan antara sumber panas
(PLTP) dengan pusat budi daya tanaman akar wangi merupakan dua hal yang saling
komplementer dalam masalah substitusi bahan bakar di tempat penyulingan minyak akar wangi
yang diangkat pada penelitian kali ini. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan diusulkan
penggantian bahan bakar fosil dengan limbah panas dari brine di PLTP yang suhunya masih
dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan uap air dalam proses produksi minyak akar wangi.
Substitusi bahan bakar fosil oleh limbah panas dari PLTP diharapkan dapat membuat harga
minyak akar wangi, dalam jangka panjang, tidak lagi bergantung terhadap bahan bakar.
2 Tinjauan Pustaka
2.1 Pengertian Energi Panas Bumi
Energi panas bumi adalah energi panas yang tersimpan dalam batuan di bawah
permukaan bumi dan fluida yang terkandung di dalamnya. Sumber utama dari energi ini adalah
aliran panas dari inti/pusat bumi dan juga aliran panas dari mantel bumi yang dihasilkan dari
peluruhan potasium, thorium dan uranium. Selain itu, aliran panas tersebut juga dapat dihasilkan
dari friksi atau gesekan dalam zona subduksi sepanjang garis lempeng kontinental. Adanya
energi panas dari dalam bumi dapat ditandai dengan adanya fumarol, mata air panas, geyser,
erupsi vulkanik dan aliran lava pada permukaan bumi. Sumber daya dari energi panas bumi ini
sangat besar, dapat diperbaharui dan juga tersedia hampir di seluruh tempat di dunia. Untuk dapat
diaplikasikan, kualitas dari energi yang dihasilkan oleh panas bumi bergantung pada kedalaman
sumber dan juga pertimbangan ekonomi dalam proses produksinya (Harsh, Gupta dan Sukanta
Roy, 2007).
2.2 Pemanfaatan Langsung Energi Panas Bumi di Indonesia
Sampai saat ini pemanfaatan panas bumi di Indonesia mayoritas digunakan untuk
membangkitkan listrik. Hingga tahun 2013, kapasitas terpasang panas bumi hanya mencapai
1.343,5 MW. Dibandingkan dengan jumlah cadangan panas bumi Indonesia, maka pemanfaatan
energi listrik dari panas bumi baru mencapai sekitar 7,5%. Apabila dibandingkan dengan potensi
panas bumi Indonesia yang mencapai 28.994 MW, maka baru mencapai 4,6%.
Sebagian besar pembangkit listrik tenaga panas bumi tersebut terkonsentrasi di Jawa-Bali,
Sumatra dan Sulawesi Utara, karena pertumbuhan kebutuhan listrik dan ketersediaan
infrastruktur pada daerah ini. Tabel 2 di atas menunjukan pembangkit listrik tenaga panas bumi
yang telah beroperasi di Indonesia hingga tahun 2013. Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa kapasitas
pembangkit listrik panas bumi terbesar adalah pada Gunung Salak. Gunung Salak menghasilkan
listrik sebesar 377 MW yang merupakan pembangkit listrik panas bumi keempat terbesar di dunia
(WWF, 2012). Prospek pengembangan pembangkit listrik di luar pulau Jawa tidak begitu
menarik untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan karena tipe reservoir yang cenderung memiliki
sistem dominasi cair, seperti di Lahendong di Sulawesi dan Sibayak di Sumatera. Selain
pemanfaatan energi panas bumi secara tidak langsung (berupa pembangkit listrik) terdapat pula
pemanfaatan energi panas bumi secara langsung, terutama untuk keperluan industri, yang
terdapat di beberapa lokasi di Indonesia, yaitu kultivasi Jamur di Wilayah Kamojang dan
pengolahan palm sugar di Wilayah Lahendong,
2.3 Minyak Akar Wangi (Vetiver Oil)
Akar wangi (Vetiveria zizanoides) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri
yang potensial. Tanaman dari famili Gramineae ini telah lama dikenal di Indonesia dan menjadi
salah satu komoditas ekspor nonmigas. Tanaman akar wangi, seperti yang terlihat dalam Gambar
2.1, dapat menghasilkan minyak yang dikenal dengan minyak akar wangi (vetiver oil) melalui
suatu proses penyulingan.
Gambar 2.1 Tanaman penghasil minyak akar wangi (Sumber : Kardinan, 2005)
Minyak akar wangi tersimpan dalam kantung-kantung minyak yang berada diantara
lapisan korteks dan endodermis seperti yang terlihat. Pengeluaran minyak dari dalam kantung-
kantung tersebut dilakukan dengan melewatkan uap panas untuk merusak lapisan luar yang
menutupi kantung minyak (epidermis dan koteks). Suhu tinggi dan pergerakan uap air yang
disebabkan oleh kenaikan suhu dalam ketel dapat mempercepat proses difusi. Istilah difusi dalam
konteksi ini adalah penetrasi dari berbagai komponen secara timbal balik sehingga tercapai
keseimbangan.
2.4 Penyulingan Minyak Akar Wangi
Proses ekstraksi atau pengambilan minyak atsiri yang terkandung dalam suatu tanaman
dapat dicapai dengan beberapa metode yang berbeda. Secara umum, terdapat lima metode utama
dalam proses ekstarksi minyak atsiri, yaitu expression, distilasi air/hidrodistilasi, distilasi air &
uap, distilasi uap dan metode yang kelima adalah ekstraksi pelarut. Proses ekstraksi dapat
berlangsung pada tekanan atmosfer, tekanan di bawah atmosfer/vakum atau pun pada tekanan di
atas atmosfer. Pemilihan metode ekstraksi dari minyak atsiri bergantung pada sifat alamiah dari
(a) Tanaman akar wangi (b) Akar wangi
tanaman, stabilitas komponen kimia yang terkandung di dalam tanaman dan spesifikasi dari
produk yang diinginkan.
Dari kelima metode yang sudah disebutkan sebelumnya, metode yang digunakan untuk
mengekstrak minyak akar wangi dari tanaman rumput akar wangi adalah metode distilasi. Jika
dibandingkan dengan metode ekstraksi lainnya, metode distilasi merupakan metode yang paling
ekonomis dalam mengekstrak minyak atsiri. Keuntungan utama dari distilasi adalah peralatan
yang dibutuhkan dalam proses distilasi tergolong sederhana atau tidak rumit, bahkan di lokasi
yang terpencil sekali pun, metode distilasi dapat mengolah tanaman dalam jumlah besar dan
dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu, distilasi juga membutuhkan jumlah pekerja yang
lebih sedikit dan menyaratkan pekerja dengan kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan metode ekstraksi (UNIDO dan FAO, 2005).
2.4.1 Teori Distilasi Uap
Distilasi uap adalah metode distilasi minyak atsir dengan cara mengontakkan uap air
secara langsung dengan campuran yang akan diuapkan, baik dengan operasi batch atau pun
kontinu. Hal yang membedakan antara medode distilasi uap dengan metode distilasi minyak atsiri
lainnya terletak pada penggunaan boiler dalam prosesnya. Boiler digunakan untk menghasilkan
uap air, sehingga uap air diproduksi di luar ketel suling. Uap air digunakan secara luas, karena
dianggap memiliki tingkat energi yang cukup tinggi, harganya yang murah dan juga mudah untuk
diperoleh. Keuntungan dan kerugian dari distilasi uap diantaranya adalah kualitas dan banyaknya
uap air ang masuk ke ketel suling dapat dikendalikan; resiko degradasi termal yang lebih rendah
dibandingkan dengan metode distilasi lainnya; banyak digunakan untuk proses ekstraksi minyak
atsiri dalam skala yang besar; banyak variasi yang dapat digunakan, seperti batch, hidrodifusi,
distilasi maserasi, ketel mobile dan proses distilasi kontinu; membutuhkan modal yang jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan metode distilasi minyak atsiri lainnya.
Pemodelan proses distilasi uap dalam penelitian ini menggunakan persamaan
distilasi/pelucutan uap batch yang sudah umum digunakan untuk memperkirakan kebutuhan uap
air atau banyaknya minyak yang diperoleh dalam suatu proses distilasi uap. Persamaan tersebut
didasarkan pada kesetimbangan massa untuk komponen volatil (minyak akar wangi), yaitu
( ) (2.1)
Persamaan 2.1 dapat direduksi menjadi dua variabel dengan menyelesaikan variabel Y terhadap
variabel lain. Tekanan parsial dari komponen volatil dalam fasa uap biasanya kurang dari nilai
teoritisnya akibat adanya tahanan perpindahan massa dan panas dalam proses. Oleh karena itu,
dalam persamaan ini dibuat variabel yang dinamakan efisiensi penguapan/vaporisasi seperti yang
terdapat dalam persamaan 2.2.
(2.2)
Dengan P = tekanan parsial komponen volatil dalam fasa uap
P* = tekanan parsial komponen volatil dalam kondisi equilibrium
Berdasarkan Hukum Dalton, Y adalah rasio antara tekanan parsial komponen volatil (P)
dan tekanan parsial uap air (π-P). π adalah takanan total yang dijaga dalam ruang uap di dalam
tangki distilasi. Kemudian, dengan melakukan substitusi persamaan 2.2 akan diperoleh hubungan
Y seperti yang terdapat dalam persamaan 2.3.
(2.3)
Menggunakan persamaan implisit untuk P*, persamaan 2.1 dan 2.3 akan menghasilkan persamaan
umum untuk distilasi uap batch, yaitu
∫
∫
(2.4)
Dengan Xs = komposisi residu (minyak akar wangi yang tersisa) dalam
tangki distilasi (mol volatil per mol inert)
Xf = komposisi umpan (mol volatil per mol inert)
θ = waktu distilasi uap (satuan waktu yang konsisten dengan laju
alir uap air)
Penyelesaian persamaan 2.4 dengan melakukan integral terhadap rentang nilai komposisi umpan-
residu akan menghasilkan persamaan analitik seperti yang terlihat dalam persamaan 2.5.
[
(
) (
) ( )] (2.5)
Persamaan 2.5 adalah persamaan yang digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh profil
massa minyak akar wangi pada setiap satuan waktu dengan nilai laju alir uap air dan tekanan total
sistem yang tetap.
3 Metode Penelitian
Alur penelitian yang digunakan pada penelitian ini diilustrasikan dalam Gambar 3.1.
Sintesis Proses
Logis ?
Input parameter
model distilasi uap
Perhitungan neraca
massa & energi
Estimasi Biaya Cash flow
Analisis Keekonomian
Analisis Sensitivitas
Tidak
Ya
Input parameter komputasi
pada HYSYS
T dan P inlet,
laju alir uap air
Karakteristik pipa
: Jenis pipa, jarak
pipa, sistem
insulasi
Running model pada
HYSYS
T dan P
outlet, laju
alir uap air
T dan P operasi,
laju alir uap air,
massa bahan baku
Running model pada
Ms. Excel
NME : yield, flow
rate produk,
energi per kg
bahan baku
Sizing PeralatanUkuran
Peralatan
Sistem Perpipaan
Sistem Distilasi Uap
Variabel sensitif
terhadap
keekonomian
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian
4 Hasil Dan Pembahasan
4.1 Pemodelan Proses Distilasi Uap
Proses distilasi uap yang digunakan dalam penyulingan minyak akar wangi dimodelkan
dengan menggunakan persamaan 3.1. Hasil dari pemodelan tersebut adalah berupa profil massa
minyak akar wangi pada setiap satuan waktu tertentu. Sebelum melakukan simulasi proses
distilasi uap, validasi model dilakukan terlebih dahulu.
4.1.1 Validasi Model
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model termodinamika yang sudah
cukup umum digunakan untuk keperluan perhitungan dalam proses distilasi uap. Validasi model
dilakukan dengan cara membandingkan hasil perhitungan model dengan data eksperimen. Data
yang dibandingkan adalah berupa profil massa minyak akar wangi pada setiap satuan waktu. Data
eksperimen diperoleh dari penelitian sebelumnya oleh (Tutuarima, 2009). Hasil dari validasi
model dapat dilihat dalam Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Hasil validasi model pada kondisi tekanan konstan (a) 3 bar (b) 2 bar dan (c) 1 bar
Seperti yang terlihat dalam Gambar 4.1, profil massa minyak akar wangi yang diperoleh
dari pemodelan tidak dapat menghasilkan nilai yang 100% sama dengan nilai yang diperoleh dari
eksperimen, terutama pada waktu awal penyulingan (t = 1-5 jam). Namun, kesalahan relatif
(perbedaan antara nilai yang dihasilkan oleh pemodelan dengan nilai eksperimen) yang
dihasilkan pada waktu akhir penyulingan (t = 6-9 jam) bernilai relatif kecil, yaitu di bawah 15%.
Profil massa minyak akar wangi yang dihasilkan melalui pemodelan tidak dapat
mendekati 100% nilai eksperimen, karena pemodelan yang dilakukan pada penelitian ini
didasarkan pada aspek termodinamika, tanpa memerhatikan aspek perpindahan massa di dalam
proses distilasi uap. Akibat dari pengecualian aspek perpindahan massa dalam proses distilasi uap
(a) (b)
(c)
dapat terlihat dari nilai massa minyak akar wangi hasil perhitungan model di akhir waktu
penyulingan yang selalu lebih besar (sekitar 10% lebih besar) dibandingkan nilai eksperimen.
Ilustrasi perpindahan massa dari partikel minyak akar wangi pada proses distilasi uap dapat
dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Ilustrasi perpindahan massa minyak akar wangi pada proses distilasi uap
4.1.2 Simulasi Proses Distilasi Uap
Setelah melakukan validasi model dengan data eksperimen, dilakukan simulasi dengan
tekanan tetap dan laju alir uap air divariasikan, serta pada kondisi laju alir uap air tetap dan
tekanan yang divariasikan dalam waktu selama 24 jam. Berat bahan baku yang digunakan adalah
sebesar 2000 kg, sama dengan banyaknya bahan baku yang digunakan pada penyulingan skala
IKM (Industri Kecil dan Menengah). Hasil dari simulasi berupa grafik dapat dilihat dalam
Gambar 4.3.
Gambar 4.3 Profil perolehan massa minyak akar wangi pada tekanan 3 bar dengan variasi laju alir uap
Melalui hasil simulasi diketahui bahwa perolehan hasil minyak akar wangi mulai
mengalami perlambatan kenaikan ketika menyentuh angka perolehan (recovery) sebesar 97%.
Oleh karena itu, melalui hasil simulasi akan ditentukan kondisi operasi penyulingan yang paling
cepat menghasilkan perolehan sebesar 97%. Perolehan sebesar 97% paling cepat didapat dengan
laju alir 4000 kg/jam pada tekanan 3 bar dalam waktu 11 jam. Namun, laju alir uap air tersebut
jauh di atas laju alir uap air sebesar 2500 kg/jam yang digunakan dalam skala IKM. Selain itu,
apabila diimplementasikan dalam skema pemanfaatan limbah panas bumi yang dilakukan dalam
penelitian ini, laju alir sebesar 4000 kg/jam akan membutuhkan biaya investasi yang sangat besar.
4.2 Simulasi Proses dengan Pemanfaatan Panas Bumi
Simulasi proses yang dilakukan pada penelitian ini dibagi menjadi tiga skema. Ketiga
skema yang dimaksud adalah skema BAU (Business As Usual), skema kondensat dan skema
brine. Keluaran utama yang akan dilihat adalah kebutuhan energi yang digunakan dalam satu kali
penyulingan, banyaknya bahan bakar yang digunakan dan banyaknya CO2 yang dihasilkan pada
setiap skema. CO2 yang terproduksi dari penyulingan minyak akar wangi menjadi salah satu
parameter yang dihitung, karena salah satu manfaat penggunaan limbah panas dari PLTP adalah
pengurangan produksi CO2 sehingga proses berlangsung lebih ramah lingkungan. Hasil simulasi
proses dari ketiga skema terdapat dalam Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil simulasi dengan pemanfaatan panas bumi
Parameter BAU Brine Kondensat
T (°C) 158 130 130
P (bar) 6 3 3
t (jam) 12 14 14
Laju alir uap air (kg/jam) 2500 3000 3000
Kebutuhan energi (MJ) 404.520 566.300 566.300
Konsumsi bahan bakar (l) 525,93 - 687,63
Bahan baku akar wangi (kg) 2000 2000 2000
Hasil minyak akar wangi (g) 6000 6797,96 6797,96
Energi spesifik (MJ/kg minyak) 66.886,02 83.304,4 83.304,4
Produksi CO2 (kg) 1482,71 - 1940,4
Gambar 4.4 Perbandingan (a) konsumsi bahan bakar dan (b) produksi gas CO2 pada ketiga skema
Gambar 4.4 memperlihatkan perbandingan konsumsi bahan bakar dan produksi karbon
dioksida setiap skema dengan basis skema BAU. Dari grafik-grafik tersebut terlihat bahwa skema
kondensat lebih menguntungkan untuk diaplikasikan. Hal tersebut disebabkan oleh lebih
rendahnya konsumsi bahan bakar, maupun produksi karbon dioksida yang dihasilkan
dibandingkan dengan skema BAU. Sementara itu, skema brine yang lebih unggul dibandingkan
dengan skema BAU dan kondensat. Pada skema brine tidak dibutuhkan bahan bakar dan juga
tidak memproduksi gas CO2. Tidak adanya produksi gas CO2 dapat menjadi nilai plus tersendiri
untuk menarik minat investor atau memperoleh dukungan dari lembaga lingkungan dunia, karena
dengan menggunakan skema brine, proses berlangsung menjadi lebih bersih tanpa menghasilkan
emisi gas CO2.
4.3 Sizing Peralatan Proses
Sizing terhadap peralatan proses dilakukan untuk skema kondensat dan skema brine.
Peralatan proses yang akan dilakukan sizing adalah pompa, alat penukar panas dan pipa.
Peralatan-peralatan proses tersebut merupakan peralatan tambahan yang dibutuhkan selain
peralatan proses yang ada dalam skema BAU. Berikut adalah hasil sizing dari ketiga peralatan
proses untuk masing-masing skema.
4.3.1 Pompa
Pompa digunakan untuk menambah tekanan air proses yang dibutuhkan untuk
mengalirkan air dari sumber limbah panas bumi ke tempat penyulingan yang berjarak 6 km.
Tabel 4.2 memperlihatkan hasil sizing dari pompa yang digunakan dalam skema kondensat dan
brine.
(a) (b)
Tabel 4.2 Sizing pompa skema kondensat dan brine
Parameter Skema
Kondensat Skema Brine
Jenis Pompa Resiprokal Resiprokal
Tekanan Masuk (bar) 1 1
Tekanan Keluar (bar) 6 3,5
Laju alir (kg/jam) 3000 3000
Daya (kW) 2,77 2,56
Head (m) 372 344
4.3.2 Alat Penukar Panas
Sizing penukar panas dilakukan dengan menggunakan software HTRI. Tipe TEMA dari
alat penukar panas yang digunakan untuk skema kondensat adalah AES, sedangkan untuk skema
brine adalah tipe AKT. Tipe AKT digunakan untuk skema brine, karena alat penukar panas pada
skema brine berguna untuk menguapkan air proses ketika bertukar panas dengan brine yang
bersumber dari PLTP. Suhu keluar brine dari alat penuka panas dibatasi paling rendah pada suhu
100°C untuk menghindari terjadinya pembentukan kerak. Hasil sizing dapat dilihat pada Gambar
4.5 dan 4.6.
Gambar 4.5 Ilustrasi alat penukar panas untuk skema brine
Gambar 4.6 Ilustrasi alat penukar panas untuk skema kondensat
4.3.3 Pipa Uap Air
Pipa uap air berfungsi untuk mengalirkan air proses yang sudah bertukar panas dengan
brine atau kondensat. Pipa uap air memiliki panjang 6000 m yang merupakan jarak antara sumber
limbah panas dengan tempat penyulingan minyak akar wangi. Rute dan perubahan elevasi dari
pipa uap air dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Tabel 4.3 Sizing pipa uap air
Parameter Skema Kondensat Skema Brine
Panjang (m) 6000 6000
ID (inch) 6,065 10,02
OD (inch) 6,625 10,75
Bahan pipa Carbon Steel Carbon Steel
Tebaal insulasi (inch) 1,5 1,5
Bahan insulasi Kalsium silikat Kalsium silikat
Kehilangan panas (kW) 23,7 172,5
4.4 Perhitungan Ekonomi
Pada bagian ini dihitung nilai investasi atau biaya kapital yang dibutuhkan untuk
mengimplementasikan pemanfaatan limbah panas PLTP untuk proses produksi minyak akar
wangi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Selain biaya investasi, komponen biaya lain yang
yang dihitung adalah biaya operasional dan pemeliharaan. Setelah komponen biaya
investasi/kapital dan operasional dihitung dilakukan analisis profitabilitas menggunakan
parameter NPV, IRR dan PBP (Payback Period).
4.3.1 Biaya Kapital
Investasi awal yang diperlukan untuk implementasi skema pemanfaatan limbah panas
PLTP untuk produksi akar wangi adalah biaya yang diperlukan untuk mengadakan alat yang
dibutuhkan. Alat-alat tambahan yang dibutuhkan untuk mewujudkan implementasi tersebut
terdiri dari pompa reciprocating, alat penukar panas dan pipa. Rician biaya untuk masing-masing
alat tersebut tersedia pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Biaya investasi alat skema brine dan kondensat
No Peralatan Brine (Rp) Kondensat
(Rp)
1 Pompa 550.638.000 662.458.500
2 Alat penukar
panas 8.740.021.500 5.029.276.500
3 Pipa 27.135.756.000 18.505.179.000
Total Investasi Alat 36.426.415.500 24.196.900.500
Selain biaya pembelian alat, komponen biaya kapital lainnya adalah biaya untuk instalasi alat di
lapangan. Komponen biaya yang dimaksud terdiri dari biaya untuk persiapan lahan, kontingensi
dan upah kontraktor, startup, dan working capital. Rincian biaya masing-masing komponen dapat
dilihat dalam Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Total biaya kapital skema brine dan kondensat
Komponen Biaya (Rp)
Skema Brine Skema Kondensat
Total Investasi Alat 36.426.415.500 24.196.900.500
Persiapan lahan 1.092.798.000 725.895.000
Kontingensi &Upah kontraktor 3.751.920.000 2.492.289.000
Biaya Startup 619.069.500 411.223.500
Working Capital 837.810.000 556.524.000
Total Biaya Kapital 42.727.999.500 28.382.845.500
4.3.2 Biaya Operasional dan Pemeliharaan
Selain biaya kapital terdapat biaya yang dikeluarkan setiap tahunnya untuk
melangsungkan proses. Biaya ini memiliki nilai yang sama setiap tahunnya. Komponen biaya
operasional dan pemeliharaan terdiri dari upah buruh, utilitas, pemeliharaan, pajak dan asuransu,
plant overhead dan general expense. Rincian biaya operasional dan pemeliharaan dapat dilihat
pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Total biaya operasional dan pemeliharaan skema brine dan kondensat
Komponen Biaya($)
Skema Brine Skema Kondensat
Upah Buruh 62.910.000 62.910.000
Utilitas 51.988.500 51.988.500
Pemeliharaan 206.347.500 137.079.000
Pajak dan asuransi 165.078.000 109.660.500
Plant Overhead 18.886.500 13.972.500
General expenses 44.550.000 44.550.000
Total Biaya Operasional 549.801.000 420.174.000
4.3.3 Skema Pendanaan
Pada perhitungan ekonomi ini dilakukan sejumlah variasi pendanaan. Pada masing-
masing skema terdapat tiga pihak yang berperan sebagai sumber perolehan dana untuk
membiayai biaya kapital dan operasional. Ketiga pihak yang dimaksud adalah bank, pemerintah
dan pihak ketiga yang memberikan hibah. Perbedaan dari ketiga pihak penyedia dana ini terletak
pada bunga yang dikenakan terhadap permintaan dana yang dibutuhkan. Pihak bank menetapkan
bunga sebesar 12%, pemerintah memberi bunga lebih rendah, yaitu 5% dan juga keringanan
dalam bentuk insentif pajak, dan pihak ketiga merupakan pihak yang memberi dana tanpa adanya
bunga pinjaman. Variasi pendanaan dalam penelitian ini dibuat sebanyak lima skema. Pada
setiap skema divariasikan besaran nilai investasi yang diperoleh dari masing-masing pihak.
Rincian dari persentase nilai investasi yang ditanggung oleh masing-masing pihak dalam kelima
skema tersedia dalam Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Total biaya kapital skema brine dan kondensat
Skema
Pendanaan
Penyandang Biaya
Bank Hibah Pemerintah
Skema 1 100% - -
Skema 2 - 100% -
Skema 3 70% 30% -
Skema 4 40% 30% 30%
Skema 5 - 70% 30%
4.3.4 Profitabilitas
Profitabilitas dari pemanfaatan limbah panas bumi untuk proses produksi minyak akar
wangi yang dilakukan pada penelitian ini dihitung dari seberapa besar NPV, IRR dan PBP yang
diperoleh pada skema brine dan kondensat. Ketiga parameter profitabilitas tersebut dihitung
untuk kelima skema seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. NPV yang diperoleh untuk
kelima skema tersebut dapat dilihat dalam Tabel 4.8, sedangkan perolehan IRR dan PBP dapat
dilihat dalam Tabel 4.9.
Tabel 4.8 Perolehan NPV pada setiap skema pendanaan
Skema
Pendanaan
NPV (Rp)
Brine Kondensat
1 -36.659.231.900 -30.135.462.900
2 6.068.769.400 -1.752.615.700
3 -23.840.831.600 -21.620.608.700
4 -23.840.831.600 -21.620.608.700
5 -6.749.631.100 -10.267.469.800
Tabel 4.9 Perolehan IRR dan PBP pada setiap skema pendanaan
Skema
Pendanaan
IRR (%) PBP
Brine Kondensat Brine Kondensat
1 -14,41 N/A N/A N/A
2 N/A N/A 1 N/A
3 -11,43 N/A N/A N/A
4 -11,43 N/A N/A N/A
5 -3,05 N/A N/A N/A
Keterangan N/A pada Tabel 4.9 menandakan bahwa IRR dan PBP tidak dapat dihitung. Hal
tersebut diakibatkan oleh tidak adanya arus kas positif dalam perhitungan IRR (arus kas selalu
negatif) atau sebaliknya (arus kas selalu positif). Sementara itu, untuk perhitungan PBP,
keterangan N/A menandakan bahwa pengembalian modal terjadi di luar atau melebihi umur dari
proyek (15 tahun).
4.3.5 Biaya Energi
Setiap proses penyulingan minyak akar wangi membutuhkan sejumlah energi tertentu
untuk memberikan panas selama proses belangsung. Banyaknya energi yang dibutuhkan
sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi bahan bakar. Biaya konsumsi bahan
bakar dan energi yang dibutuhkan per penyulingan dapat dihubungkan dengan cara dinyatakan
dalam biaya energi. Satuan dari biaya energi yang digunakan adalah Rp/kJ. Pada skema BAU
biaya energi dihitung dengan cara membagi total biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan
bakar solar dengan energi/duty panas yang dibutuhkan per penyulingan. Berdasarkan perhitungan
dari hasil simulasi diketahui bahwa biaya energi pada skema BAU adalah sebesar Rp0,007/kJ.
Berbeda dengan perhitungan untuk skema BAU, biaya energi untuk penyulingan minyak
akar wangi skema brine dan kondensat dihitung berdasarkan arus kas. Nilai tersebut diperoleh
dengan cara menjumlahkan nilai depresisasi dan biaya operasional per tahun lalu membaginya
dengan total suplai uap air per tahun. Biaya energi untuk skema brine dan kondensat pada setiap
skema pendanaan dapat dilihat dalam Tabel 4.10.
Tabel 4.10 Analisis sensitivitas terhadap panjang pipa (L) untuk skema brine
Skema Biaya Energi (Rp/kJ)
Skema 1 Skema 2 Skema 3 Skema 4 Skema 5
Brine 0,0119 0,0036 0,0119 0,0119 0,0092
Kondensat 0,0082 0,0028 0,0082 0,0082 0,0065
BAU 0,007
Pada Tabel 4.10 terlihat bahwa biaya energi skema kondensat lebih rendah dibandingkan dengan
skema brine. Hal tersebut disebabkan oleh biaya kapital dan biaya operasional yang dibutuhkan
pada skema kondensat lebih rendah dibandingkan dengan skema brine. Dari kelima skema
pendanaan diketahui bahwa biaya energi paling rendah/murah dihasilkan pada skema pendanaan
2 yang nilainya lebih rendah dibanding BAU, lalu diikuti oleh skema pendaaan 5 yang nilainya
sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan skema BAU. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa
intervensi pemerintah dan besarnya hibah yang diberikan berperan penting untuk
keberlangsungan proyek pemanfaatan langsung panas bumi ini.
4.3.6 Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan setelah NPV dihitung untuk kelima skema pendanaan. Hal
tersebut dilakukan untuk melihat apakah pemanfaatan limbah panas bumi untuk proses produksi
minyak akar wangi ini masih memberikan keuntungan apabila tedapat komponen biaya diubah.
Hasil perhitungan dari analisis sensitivitas ini dapat dilihat dalam Gambar 4.7.
(a) (b)
Gambar 4.7 Perubahan NPV terhadap panjang pipa untuk (a) skema brine (b) skema kondensat
Hasil analisis sensitivitas yang telah dilakukan pada skema brine menunjukkan bahwa dari
kelima skema pendanaan yang divariasikan terdapat dua skema yang layak secara ekonomi, yaitu
skema 2 dan skema 5. Pada skema 2 nilai NPV positif diperoleh untuk panjang pipa 0-6 km.
Sementara itu, pada skema 5, NPV mulai bernilai positif ketika panjang pipa bernilai 0-1 km. Hal
tersebut memiliki arti bahwa pemanfaatan limbah panas PLTP Kamojang untuk produksi minyak
akar wangi skala IKM milik H. Ede layak secara ekonomi apabila jarak lokasi penyulingan
bernilai maksimal 1 km dari sumber panas dengan menggunakan skema 5 dan layak secara
ekonomi untuk jarak 6 km (kondisi lapangan saat ini) apabila digunakan skema pendanaan 2.
Penggunaan skema pendanaan 5 dengan mengurangi jarak antara lokasi penyulingan dengan
sumber limbah panas hingga menjadi 1 km memiliki NPV sebesar Rp 1.057.899.500 dengan
IRR 10,16% dan PBP pada tahun ke-8.
5. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Secara teknis, kondensat PLTP Kamojang dapat dimanfaatkan untuk dimanfaatkan sebagai
sumber limbah panas PLTP untuk penyulingan akar wangi. Namun, akan lebih efektif
apabila dapat ditemukan sumur yang mengandung brine.
2. Penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan 3 bar dan laju alir uap air 3000 kg/jam
selama 14 jam dapat meningkatkan recovery minyak hingga mencapai 97%
3. Laju alir brine minimum untuk melangsungkan proses penyulingan minyak akar wangi pada
tekanan 3 bar dan laju alir uap air 3000 kg/jam adalah sebesar 115.000 kg/jam.
4. Total biaya kapital dan operasional yang dibutuhkan untuk skema brine secara berturut-turut
adalah Rp 42.727.999.500 dan Rp 549.801.000, sedangkan untuk skema kondensat adalah
Rp 28.382.845.500 dan Rp 420.174.000.
5. Secara ekonomi, penggunaan kondensat tidak layak untuk penyulingan minyak akar wangi.
6. Skema pemanfaatan limbah panas bumi untuk penyulingan minyak akar wangi di tempat
IKM H. Ede yang paling menguntungkan, dengan NPV Rp 1.057.899.500; IRR 10,16%;
PBP pada tahun ke-8, adalah menggunakan brine pada jarak maksimal 1 km dari sumber
panas serta didanai 70% dari hibah dan 30% dari pemerintah.
7. Emisi yang dapat dihindari dari penggunaan brine untuk proses penyulingan minyak akar
wangi adalah sebanyak 213,5 ton CO2/tahun.
6. Daftar Pustaka
Dickson, Mary H. Dan Mario Fanelli. 2003. Geothermal Energy : Utilization and Technology.
UNESCO
DiPippo, Ronald. 2012. Geothermal Power Plants : Principles, Applications, Case Studies
and Environmental Impact. Oxford : Elsevier
Gehringer, M. dan Loksha, V., 2012. Geothermal handbook : Planning and Financing Power
Generation, Washington DC: The International bank for Reconstruction.
Gudmundsson, J. S. dan Lund, J. W. 1985. Direct Uses of Earth Heat. International Journal of
Energy Research, 9, 345-375
Guenther. 1990. Minyak Atsiri Jilid I dan IVA. Semangat Ketaren, penerjemah. Jakarta :
Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari : The Essential Oils.
Harsh, Gupta dan Sukanta Roy. 2007. Geothermal Energy : An Alternative Resource For The
21st Century.
Kardinan A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Jakarta : Agromedia Pustaka
Lund, JW., 2015. Fresston D.H., Boyd, T.L.: World Direct Uses of Geothermal Energy 2015,
Proceedings, World Geothermal Congres 2015, Australia.
Martinez J, Paulo TV, Chantal M, Alain L, Pierre B, Dominique P, Angela AM. 2004.
Valorization of Brazilian Vetiver (Vetiveria zizanoides (L) Nash ex Small) Oil. J. Agr and
Food Chem, 52, 6578 – 6584.
Seider, W. D., Seader, J. & Lewin, D. R., 2003. Product and Process Design Principles. 2nd ed.
New Jersey: John Wiley and Sons, Inc..
Sinnot, R., 2005. Coulson & Richardson’s Chemical Engineering Series : Chemical Engineering
Design; 4th ed. Oxford: Elsevier.
Surana, T., Atmojo, J. P., Suyanto & Subandriya, A., 2010. Development of Geothermal Energy
Direct Use in Indonesia. GHC Bulletin , August.
Suwarda, Rosniyati. 2009. Analisis Energi Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi dengan
Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Air Secara Bertahap [thesis]. Bogor : Institut
Pertanian Bogor.
Tutuarima, Tuti. 2009. Rekayasa Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi dengan Peningkatan
Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap [thesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
UNIDO dan FAO. 2005. Herbs, Spices and Essential Oils : Post-harvest operations in
developing countries. Vienna