ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN
DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA DI INDONESIA : PENDEKATAN INPUT – OUTPUT MIYAZAWA
ADI HADIANTO
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2010
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pertumbuhan Sektor Berbasis Kehutanan dan Dampaknya Terhadap Distribusi Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia : Pendekatan Input – Output Miyazawaadalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2010
Adi HadiantoNRP A151040071
ABSTRACT
ADI HADIANTO1. A Growth Analysis of Forestry Based Sectors and Its Impact on Income Distribution and Employment in Indonesia : Miyazawa Input-Output Approach. Under the Direction of ARIEF DARYANTO2 and RINA OKTAVIANI3.
Forestry based sectors have role important to economy, but its problems are output of forestry based sectors have decreased during the last one decade which showed from decreasing its contribution to total Gross Domestic Product (GDP). This condition will impact on economy as a whole especially in economic growth, employment, household income and others sectors which have related. One of the strategy to increase its output by increase factors which is become sources of its output growth are consist of exsport exspansion, domestic demand, import substitution and technological change.
This research is aimed to (1) analyze sources of output growth in forestry based sectors, (2) analyze impact of increasing output on household income distribution and employment, and (3) analyze linkages of forestry based sectors. This research analysis using the input-output miyazawa model. The model is extension from Indonesia input-output table. Forestry based sectors are divided into five sub sectors such as forestry, sawntimber industry, pulp industry, plywood industry and furniture industry. The results showed that sources of output growth in forestry, sawntimber industry, furniture industry and plywood industry mainly are caused by domestic demand factor, meanwhile in pulp industry is caused by exsport exspansion. Increasing output of forestry based sectors are able to increase household income and employment. Increasing income especially in low income group in rural area. All forestry based sectors except furniture industry,have strong forward linkages. Thre are three sectors which have strong backward linkages are furniture, pulp and plywood industry.
Key Words : Input-Output Miyazawa, Growth, Household Income, Employment, Forward and Backward Linkages
RINGKASAN
ADI HADIANTO. Analisis Pertumbuhan Sektor Berbasis Kehutanan dan Dampaknya Terhadap Distribusi Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja diIndonesia : Pendekatan Input-Output Miyazawa. Dibawah bimbingan ARIEF DARYANTO dan RINA OKTAVIANI.
Sektor berbasis sumberdaya alam seperti sektor berbasis kehutanan masih menjadi andalan dalam pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Selama ini peran sektor berbasis kehutanan telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menghasilkan devisa, sumber pendapatan masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian,eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya hutan yang berlangsung hampir lebih dari tiga dekade selama ini, berdampak pada degradasi kualitas dan kuantitas sumberdaya hutan. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap menurunnya output hasil hutan terutama kayu dan hasil kayu olahan lainnya.
Menurunnya output sektor berbasis kehutanan tersebut dapat dilihat dari penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) dan kontribusinya terhadap PDB nasional. Kondisi ini berdampak secara langsung terhadap pertumbuhan output, penyerapan tenaga kerja, pendapatan masyarakat terutama yang bekerja di sektor tersebut dan sektor lainnya yang terkait. Oleh karena itu, analisis terhadap pertumbuhan dan faktor-faktor yang menjadi sumber pertumbuhan output sektor berbasis kehutanan menjadi sangat penting sebagai informasi untuk merumuskan strategi peningkatan output sektor berbasis kehutanan ke depan.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis pertumbuhan dan sumber-sumber pertumbuhan gross output sektor berbasis kehutanan di Indonesia, (2) menganalisis dampak peningkatan gross output terhadap distribusi pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan rumahtangga dan penyerapan tenaga kerja, dan (3) menganalisis keterkaitan sektor berbasis kehutanan dengan sektor perekonomian lainnya. Tujuan pertama dianalisis dengan menggunakan dekomposisi pertumbuhan struktural berdasarkan tabel input-output Indonesia Tahun 2005 dan 2008 dan tujuan kedua dan ketiga dianalisis dengan menggunakan analisis dampak berdasarkan tabel input-output Miyazawa Tahun 2008 yang merupakan pengembangan dari model input-output Indonesia Tahun 2008. Sektor berbasis kehutanan dikelompokan menjadi sektor kehutanan(kayu dan hasil hutan lainnya), industri kayu gergajian, industri kayu lapis, industri pulp dan industri mebel dan kerajinan kayu-rotan.
Hasil analisis menunjukkan sumber pertumbuhan output selama periode 2005-2008 pada sektor kehutanan, industri kayu gergajian, industri kayu lapis dan industri mebel dan kerajinan kayu-rotan sebagian besar disebabkan oleh faktor domestic demand. Besarnya domestic demand untuk sektor kehutanan disebabkan oleh meningkatnya permintaan kayu bulat untuk pasokan bahan baku industri kayu dalam negeri dan adanya larangan ekspor kayu bulat oleh pemerintah sejak tahun 1985. Untuk sektor industri kayu gergajian dan industri mebel dan kerajinan dari kayu-rotan, besarnya domestik demand disebabkan karena skala produksi yang kecil (kapasitas terpasang di bawah 6 000 m3 ) menyebabkan sebagian besar hasil produksi dialokasikan untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri. Faktor
lainnya adalah bertambahnya jumlah penduduk yang mendorong meningkatnya kebutuhan terhadap furnitur dan papan serta berkembangnya sektor properti dalam negeri. Sedangkan pada industri kayu lapis, menurunnya daya saing di pasar ekspor menyebabkan produksi banyak di jual di pasar domestik. Penurunan daya saing kayu lapis Indonesia disebabkan oleh langkanya pasokan bahan baku berkualitas tinggi sehingga dan hadirnya negara – negara produsen kayu lapis dunia. Sementara itu sumber pertumbuhan output pada sektor industri pulp lebih besar disebabkan oleh faktor exsport exspansion. Sebagian besar produksi pulp nasional untuk memenuhi permintaan pasar ekspor dan besarnya kapasitas terpasang industri pulp nasional menjadikan Indonesia sebagai produsen utama pulp dunia.
Dampak meningkatnya output pada sektor-sektor berbasis kehutanan mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar dan meningkatkan pendapatan rumahtangga terutama golongan pendapatan rendah di perdesaan. Khusus untuk sektor industri kayu lapis dan pulp, peningkatan pendapatan juga dirasakan oleh rumahtangga golongan pendapatan sedang di perkotaan. Sektor-sektor berbasis kehutanan memiliki keterkaitan yang cukup tinggi dalam mendorong pertumbuhan sektor hulu-hilirnya.. Sektor kehutanan memiliki keterkaitan ke depan terutama dengan sektor bangunan dan industri kehutanan, keterkaitan ke belakang dengan sektor industri mesin alat angkut dan jasa angkutan. Sektor industri kehutanan memiliki keterkaitan ke depan maupun ke belakang terutama dengan sektor bangunan dan industri kehutanan sendiri.
Rekomendasi kebijakan yang disarankan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan output sektor-sektor berbasis kehutanan adalah meningkatkan investasi di HTI dalam rangka peningkatan produksi kayu bulat untuk memenuhi kekurangan pasokan bahan baku bagi industri kayu olahan, pengembangan pasar ekspor untuk produk industri kehutanan bernilai tambah tinggi, revitalisasi kelembagaan pemasaran hasil hutan dengan mengefektifkan kembali sistem pemasaran bersama untuk meningkatkan daya saing dan posisi tawar, peningkatan efisiensi produksi dan pengendalian operasi industri khusus pada industri kayu lapis dan pulp untuk mengatasi masalah kapasitas industri yang terlalu besar, sehingga tingkat produksi sejalan dengan pasokan bahan baku lestari sekaligus mengurangi praktek illegal logging. Selain itu, perlu dukungan regulasi dan kebijakan pemerintah di bidang investasi dan pengelolaan sumberdaya hutan dalam rangka mendukung pengembangan sektor-sektor berbasis kehutanan. Hal ini penting dilakukan mengingat sektor-sektor berbasis kehutanan memiliki potensi besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan rumahtangga terutama rumahtangga golongan pendapatan rendah dalam rangka pengentasan kemiskinan. Kondisi ini sejalan dengan Triple Track Strategy pembangunan sektor ekonomi yang menitikberatkan pada Pro-Growth, Pro-Employment dan Pro-Poor.
Kata Kunci : Pertumbuhan, Distribusi Pendapatan, Penyerapan Tenaga Kerja,Keterkaitan, Tabel Input-Output.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan ridho-Nya
penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Analisis Pertumbuhan Sektor
Berbasis Kehutanan dan Dampaknya Terhadap Distribusi Pendapatan dan
Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia : Pendekatan Input-Output Miyazawa”.
Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam penyelesaian studi Magister
Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing dan
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberikan arahan, saran dan motivasi dalam penulisan tesis ini.
2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian yang sangat membantu kelancaran penyelesaian studi.
3. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop selaku dosen penguji utama
yang juga telah memberikan waktu luang dan masukan khususnya tentang
analisis kebijakan pada sektor berbasis kehutanan.
4. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku dosen penguji wakil program studi.
5. Dwi Nurlia Tjahyani Hadianto, istri yang selalu setia memberikan motivasi
bagi penyelesaian tesis ini.
6. Orang Tua, Kakak dan Adik yang telah memberikan do’a dan dorongan atas
penyelesaian tesis ini.
7. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MA.Ec dan Dr. Ir. Yundi Hafizrianda, M.Si
yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.
8. Ir. Tauhid Ahmad, ME atas bantuan data dan motivasinya selama ini.
9. Ibu Aviliani, SE, M.Si yang telah memberikan saran dan motivasi bagi
penyelesaian tesis ini.
10. Bapak/Ibu staf pada bagian Neraca Produksi Barang dan Jasa, Badan Pusat
Statistik, yang telah memberikan kemudahan data untuk keperluan penulisan
tesis ini dan waktu luang atas diskusi yang telah diberikan.
11. Bapak Ocid yang telah memberikan motivasi dan saran selama penyelesaian
tesis ini.
12. Rekan-rekan : Handian Purwawangsa, Yuhka Sundaya, Santi Chintya, Faisal
Ali, Hendra Khaerizal, Muhammad Isbayu, Beginner Subhan dan seluruh staf
pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL), Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Terimakasih atas
kerjasama dan dukungannya dalam penyelesaian tesis ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi
pemerintah dan masyarakat luas khususnya kalangan perguruan tinggi sebagai
referensi dalam melakukan penelitian sejenis.
Bogor, Juli 2010
Adi Hadianto
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 17 Juni 1979 dari pasangan
Mamat Slamet (Almarhum) dan Murnasih yang merupakan anak keempat dari
lima bersaudara. Penulis menikah dengan Dwi Nurlia Tjahyani, SE pada
Desember 2007 dan saat ini telah dikaruniai seorang anak bernama Aisha Kirana
Putri Hadianto.
Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1991 dari SDN I
Lemahabang, Bekasi. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan pada
tahun 1994 dari SMPN I Lemahabang, Bekasi. Pendidikan Sekolah Menengah
Atas diselesaikan pada tahun 1997 dari SMUN I Cikarang, Bekasi. Selama
menempuh studi pada SMUN I Cikarang, penulis mendapat Beasiswa dari Bank
Tabungan Negara sebagai siswa berprestasi. Gelar Sarjana Pertanian diperoleh
pada tahun 2003 pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya,
Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Selama menempuh studi S1, penulis mendapatkan beasiswa dari
Australian and New Zealand Association (ANZA). Penulis juga aktif pada
berbagai organisasi mahasiswa antara lain Ketua KMS IPB, Dewan Perwakilan
Mahasiswa IPB dan Sekretaris Umum HMI Cabang Bogor.
Tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan
Beasiswa (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional. Sejak tahun 2005 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai
Dosen pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR........................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................ viii
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 7
1.3. Tujuan dan Manfaat ..................................................................... 10
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................ 10
1.5. Keterbatasan Penelitian ................................................................ 12
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 14
2.1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi ................................................... 14
2.2. Sumber-Sumber Pertumbuhan ...................................................... 14
2.3. Kebijakan Pembangunan Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia 16
2.4. Kerangka Tabel Input-Output Miyazawa ...................................... 19
2.5. Keterkaitan Antar Sektor .............................................................. 24
2.6. Dekomposisi Pertumbuhan Struktural dalam Sistem Input-Output 26
2.7. Tinjauan Penelitian Terdahulu ...................................................... 27
III. KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................... 30
3.1. Kerangka Teoritis ........................................................................ 30
3.1.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi ............................................ 30
3.1.2. Konsep Permintaan Akhir ................................................. 35
3.1.3. Pengaruh Permintaan Akhir Terhadap Pertumbuhan ......... 39
3.1.4. Pengaruh Pertumbuhan Terhadap Pendapatan dan LapanganLapangan Kerja ................................................................ 42
3.2. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 45
3.3. Hipotesis ...................................................................................... 46
ii
IV. METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 48
4.1. Jenis dan Sumber Data ................................................................. 48
4.2. Struktur Tabel Input-Output Miyazawa Indonesia ........................ 48
4.3. Penyusunan Tabel Input-Output Miyazawa Tahun 2008 ............... 54
4.3.1. Agregasi atau Disagregasi Sektor ..................................... 54
4.3.2. Penentuan Jenis Tabel Transaksi ....................................... 55
4.3.3. Penyusunan Matriks Inter-Relational Income Multipliers . 56
4.3.4. Rekonsiliasi Data .............................................................. 60
4.4. Analisis Data ................................................................................ 61
4.4.1. Analisis Pertumbuhan Struktural ....................................... 61
4.4.2. Analisis Dampak .............................................................. 63
4.4.3. Analisis Keterkaitan Antar Sektor ..................................... 64
V. ANALISIS PERTUMBUHAN GROSS OUTPUT SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN ................................................................ 66
5.1. Profil Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia ............................. 66
5.1.1. Profil Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) 66
5.1.2. Profil Sektor Industri Kayu Gergajian ............................... 69
5.1.3. Profil Sektor Industri Kayu Lapis ...................................... 70
5.1.4. Profil Sektor Industri Pulp ................................................ 72
5.1.5. Profil Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan ... 73
5.2. Pertumbuhan Struktural Sektor Berbasis Kehutanan ..................... 74
5.2.1. Pertumbuhan Struktural Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) ........................................................ 74
5.2.2. Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Kayu Gergajian ... 76
5.2.3. Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Kayu Lapis ......... 78
5.2.4. Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Pulp .................... 79
5.2.5. Pertumbuhan Struktural Sektor Mebel dan KerajinanKayu-Rotan ...................................................................... 81
5.3. Strategi Peningkatan Pertumbuhan Output Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia ................................................................ 82
iii
VI. DAMPAK PERTUMBUHAN OUTPUT SEKTOR BERBASISKEHUTANAN TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATANRUMAHTANGGA DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA ........... 85
6.1. Struktur Pendapatan Rumahtangga dan Ketenagakerjaan ............. 85
6.1.1. Struktur Pendapatan Rumahtangga ................................... 86
6.1.2. Struktur Ketenagakerjaan .................................................. 87
6.2. Dampak Peningkatan Output Sektor Berbasis Kehutanan Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga dan Penyerapan Tenaga Kerja.. 89
6.2.1. Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) .......... 90
6.2.2. Sektor Industri Kayu Gergajian ......................................... 92
6.2.3. Sektor Industri Kayu Lapis ............................................... 94
6.2.4. Sektor Industri Pulp .......................................................... 97
6.2.5. Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan ............. 99
VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN . 103
7.1. Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan ........................................ 103
7.2. Komposisi Penggunaan Input-Output Sektor Berbasis Kehutanan. 105
VIII. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 109
8.1. Simpulan ...................................................................................... 109
8.2. Saran ............................................................................................ 110
8.2.1. Saran Kebijakan ............................................................... 110
8.2.2. Saran Penelitian Selanjutnya.............................................. 112
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 113
LAMPIRAN ..… ................................................................................. 117
iv
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Nilai Ekspor Sektor Berbasis Kehutanan Tahun 1991-2008 .............. 2
2. Kontribusi Sektor Berbasis Kehutanan Terhadap PDB NasionalTahun 2000 – 2008 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 ........... 5
3. Perkembangan Investasi Asing Pada Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia Tahun 2001 - 2008 ........................................................ 17
4. Perkembangan Investasi Domestik Pada Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia Tahun 2001 – 2008 ....................................................... 18
5. Kerangka Dasar Tabel Input – Output ............................................... 20
6. Kerangka Dasar Tabel Input – Output Miyazawa ............................. 23
7. Agregasi Sektor Pada Tabel Input – Output Miyazawa Tahun 2008 .. 49
8. Struktur Tabel Input – Output Miyazawa Tahun 2008 ..................... 52
9. Klasifikasi Rumahtangga Berdasarkan Golongan Pendapatan ........... 57
10. Klasifikasi Konsumsi Rumahtangga Berdasarkan Golongan Pendapatan ....................................................................................... 59
11. Jumlah Pekerja Menurut Lapangan Usaha, Golongan Pendapatandan Wilayah di Indonesia Tahun 2008............................................... 88
12. Dampak Peningkatan Output Sektor Kehutanan Sebesar Rp.1 MiliarTerhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga .................................. 91
13. Dampak Peningkatan Output Sektor Kehutanan SebesarRp.1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja............................. 92
14. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu GergajianSebesar Rp.1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga .. 93
15. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu GergajianSebesar Rp.1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja ................ 94
16. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Lapis SebesarRp.1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga ............... 95
17. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Lapis SebesarSebesar Rp.1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja ................ 97
v
18. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Pulp SebesarRp.1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga ............... 98
19. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Pulp SebesarRp.1 Miliar Terhadap Pencipataan Lapangan Kerja ........................... 99
20. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Meubel dan Kerajinan Sebesar Rp. 1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga . 100
21. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Meubel dan Kerajinan Sebesar Rp.1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja ............... 101
22. Indeks Forward dan Backward Linkages Sektor – Sektor Berbasis Kehutanan Tahun 2008 ....................................................... 104
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kuadran Matriks Tabel Input – Output ............................................. 20
2. Harga Sewa Modal ............................................................................ 37
3. Perubahan Konsumsi Terhadap Output Nasional ............................. 40
4. Hubungan Suku Bunga, Investasi dan Output Nasional .................... 41
5. Perubahan Nilai Tukar Terhadap Output Nasional ............................ 42
6. Investasi, Pendapatan Nasional dan Harga ........................................ 43
7. Upah Riil dan Kesempatan Kerja di Pasar Tenaga Kerja ................... 44
8. Kerangka Pemikiran Penelitian ......................................................... 46
9. Proses Penyusunan Tabel Input-Output Miyazawa Tahun 2008 ................. 60
10. Produksi Kayu Gergajian Indonesia Tahun 1996 - 2008 ................... 70
11. Produksi Kayu Lapis Indonesia Tahun 1996 - 2008........................... 71
12. Produksi Pulp Indonesia Tahun 1996 - 2008...................................... 72
13. Radar Chart Sumber – Sumber Pertumbuhan Sektor Kayu dan HasilHutan Lainnya (Kehutanan) Tahun 2005 - 2008 ............................... 75
14. Radar Chart Sumber – Sumber Pertumbuhan Sektor IndustriKayu Gergajian Tahun 2005 - 2008................................................... 77
15. Radar Chart Sumber – Sumber Pertumbuhan Sektor IndustriKayu Lapis Tahun 2005 - 2008.......................................................... 78
16. Radar Chart Sumber – Sumber Pertumbuhan Sektor IndustriIndustri Pulp Tahun 2005 - 2008 ....................................................... 80
17. Radar Chart Sumber – Sumber Pertumbuhan Sektor IndustriMeubel dan Kerajinan Tahun 2005 - 2008 ......................................... 82
18. Struktur Pendapatan Rumahtangga Menurut GolonganPendapatan dan Wilayah di Indonesia Tahun 2008 ............................ 86
19. Backward dan Forward Linkages Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Berdasarkan Komposisi Penggunaan Input-Output Tahun 2008 ...................................................................................... 106
vii
20. Backward dan Forward Linkages Sektor Industri Kehutanan Berdasarkan Komposisi Penggunaan Input – Output Tahun 2008...... 108
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2005 ....................................... 117
2. Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2008 ...................................... 120
3. Tabel Input-Output Miyazawa Indonesia Tahun 2008 ....................... 123
4. Matriks Kebalikan Leontief (I-A)-1 Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2005 ....................................................................................... 127
5. Matriks Kebalikan Leontief (I-A)-1 Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2008 ....................................................................................... 129
6. Matriks Kebalikan Leontief Untuk Matriks Miyazawa (I-M)-1 Tahun 2008 ....................................................................................... 131
7. Matriks Rasio Penawaran Domestik (μ0 = I-m) Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2005 ...................................................................... 133
8. Matriks Rasio Penawaran Domestik (μ1 = I-m) Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2008 ...................................................................... 135
9. Hasil Analisis Dekomposisi Pertumbuhan Struktural Sektor-Sektor Berbasis Kehutanan Tahun 2005-2008 ............................................. 137
10. Dampak Peningkatan Output Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga ............. 138
11. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Gergajian Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga ................................. 139
12. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Lapis Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga ................................................. 140
13. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Pulp Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga ................................................. 141
14. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga ............. 142
15. Dampak Peningkatan Output Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja ........................... 143
16. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Gergajian Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja ............................................... 144
ix
17. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Lapis Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja .............................................................. 145
18. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Pulp Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja .............................................................. 146
19. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja ........................... 147
20. Bacward Linkages Sektor-Sektor Berbasis Kehutanan ...................... 148
21. Forward Linkages Sektor-Sektor Berbasis Kehutanan ...................... 149
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada hakekatnya, pembangunan ekonomi merupakan proses terjadinya
perubahan kondisi perekonomian ke arah yang lebih baik. Menurut Hess dan Ross
(2000) pembangunan ekonomi memerlukan adanya perubahan struktural,
mengurangi tingkat kemiskinan, peningkatan derajat kesehatan, pendidikan dan
kehidupan yang layak bagi masyarakat. Pembangunan ekonomi juga harus
mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustained
economic growth).
Di banyak negara termasuk Indonesia, pertumbuhan ekonomi masih
menjadi salah satu tujuan utama pembangunan, disamping upaya pengentasan
kemiskinan dan mengurangi tingkat kesenjangan yang ada. Hal ini tertuang dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang kemudian
dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Pertumbuhan ekonomi ini
diharapkan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja baru dan terciptanya
berbagai peluang ekonomi di masa mendatang.
Tentu saja pertumbuhan ekonomi ini juga sangat tergantung pada pola dan
sumber pertumbuhannya. Jika diamati lebih jauh, pembangunan ekonomi
Indonesia selama ini masih bertumpu pada sektor-sektor yang berbasis
sumberdaya alam (natural resources based sectors). Sejak tahun 1980-an selain
sektor migas, sektor berbasis sumberdaya alam terutama sektor berbasis
kehutanan telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian
nasional.
2
Sektor berbasis kehutanan yang dimaksud adalah sektor yang outputnya
terdiri dari kayu, hasil hutan non kayu, dan kayu olahan. Berdasarkan tabel Input-
Ouput (I-O) Indonesia Tahun 2005 klasifikasi 175 sektor, diperoleh informasi
bahwa sektor-sektor berbasis kehutanan terdiri dari sektor tanaman kayu dan hasil
hutan lainnya dan sektor industri kayu olahan yang terdiri dari kayu gergajian,
kayu lapis, bubur kertas dan industri perabot rumahtangga dari kayu, bambu dan
rotan atau disebut industri mebel dan kerajinan.
Tabel 1. Nilai Ekspor Sektor Berbasis Kehutanan Tahun 1991 – 2008 (Juta US$)
Sektor 1991 1994 1998 2001 2003 2005 2008I. Tan Pangan dan Hortikultura
85 139 143 95 99 216 382
II. Peternakan dan Perikanan 1 189 1 946 2 000 1 335 1 383 1 375 1 754
III.Perkebunan 879 1 439 1 479 987 1 023 1 273 2 411IV. Berbasis Kehutanan 5 477 6 095 5 691 4 317 4 313 4 079 4 353
- Kayu dan Hasil Hutan Lainnya
19 30 31 21 22 25 38
- Kayu Gergajian
4 170 164 90 303 3 56
- Kayu Lapis 3 549 3 720 2 078 1 838 1 663 1 375 1 374
- Bubur Kertas 552 644 690 564 791 934 1 425 - Industri Mebel dan Kerajinan Kayu
1 354 1 530 2 728 1 804 1 535 1 741 1 460
V. Tekstil 2 731 3 206 4 988 4 531 7 172 8 604 10 144
VI. Lainnya 7 886 17 534 26 675 32 419 33 418 50 882 88 850
VII. Migas 10 895 9 694 7 872 12 636 13 651 19 232 29 126
TOTAL 29 142 40 053 48 848 56 321 61 058 85 660 137 020
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2005a dan 2009a
Peran yang cukup menonjol dari sektor berbasis kehutanan dapat dilihat
dari kontribusinya terhadap pertumbuhan ekspor nasional. Sampai dengan tahun
1990-an, sektor berbasis kehutanan memberikan kontribusi terhadap pendapatan
devisa kedua terbesar setelah migas, dan menempati urutan ketiga dibawah migas
dan tekstil sejak awal tahun 2000 seperti yang terlihat pada Tabel 1. Kondisi ini
3
telah berhasil menciptakan “The Indonesian Miracle” dengan laju pertumbuhan
ekonomi rata-rata tidak kurang dari 7 persen per tahun hingga krisis ekonomi
menerpa pada pertengahan Tahun 1997.
Hutan sebagai renewable resources memiliki peranan penting dalam
berbagai aspek kehidupan ekonomi, sosial, pembangunan, dan lingkungan hidup.
Pemanfaatan hutan secara komersial dimulai sejak dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1967 yang mengatur tentang Penanaman Modal Asing
(PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 mengenai Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN). Selanjutnya lahir pula Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1967 tentang Undang-undang Pokok Kehutanan yang mampu meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi nasional yang bersanding dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968.
Implementasinya, lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) serta
berbagai insentif ekonomi dalam pengusahaan hutan sehingga merangsang
tumbuhnya usaha bidang kehutanan khususnya dalam bentuk HPH telah
menempatkan sektor kehutanan sebagai salah satu penggerak perekonomian
nasional.
Pada Tabel 1, sektor berbasis kehutanan terutama industri bubur kertas
(pulp) dan industri kayu lapis, menjadi salah satu kontributor utama terhadap
ekspor nasional. Pada periode 1990-an, industri bubur kertas dan kayu lapis
merupakan salah satu sektor penting penyumbang devisa. Nilai ekspor bubur
kertas rata-rata per tahun sebesar US$ 629 juta dan untuk industri kayu lapis pada
periode yang sama rata-rata per tahun sebesar US$ 3 116 juta. Komoditi kayu
4
lapis dan bubur kertas hingga saat ini masih merupakan salah satu komoditi
unggulan nasional dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara
eksportir utama kayu lapis dan bubur kertas di dunia.
Peran strategis lainnya dari sektor berbasis kehutanan adalah menciptakan
lapangan kerja yang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan masyarakat.
Berdasarkan data Survey Angkatan Kerja Nasional, Badan Pusat Statistik
(BPS, 2008a) jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor ini pada tahun 2008
sebesar 4.09 juta orang, dimana 1.65 juta orang bekerja di sektor kayu dan hasil
hutan lainnya dan sekitar 2.44 juta orang bekerja di sektor industri kayu olahan.
Sektor industri kayu olahan merupakan sektor yang memberikan kontribusi paling
besar dalam menyerap tenaga kerja setelah sektor industri tekstil.
Departemen Kehutanan (2006a) menyatakan bahwa pembangunan sektor
berbasis kehutanan terkait erat dengan pengentasan kemiskinan karena sebagian
besar penduduk miskin berada di wilayah perdesaan termasuk kawasan sekitar
hutan dan bekerja di sektor tersebut. Sehingga pembangunan sektor berbasis
kehutanan terkait dengan masalah pemerataan pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat. Terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan pada kelompok
rumahtangga selama ini, maka pertumbuhan sektor berbasis kehutanan diharapkan
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat terutama pada kelompok
rumahtangga berpendapatan rendah yang sebagaian besar berada di wilayah
perdesaan.
Berdasarkan uraian di atas, sektor-sektor berbasis kehutanan memiliki
peran besar dalam mendukung perekonomian nasional. Namun demikian,
terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 memberikan dampak
5
negatif terhadap pertumbuhan sektor berbasis kehutanan serta terhadap
pertumbuhan sektor-sektor perekonomian lainnya secara keseluruhan. Belum
pulihnya sektor tersebut sebagai akibat dampak krisis yang berkepanjangan saat
itu, menyebabkan sektor berbasis kehutanan mengalami fase dekonstruktif dan
tumbuh negatif hingga akhir pertengahan tahun 2000.
Tabel 2. Kontribusi Sektor Berbasis Kehutanan Terhadap PDB Nasional Tahun 2000 – 2008 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000
Tahun
PDB (Rp. Trilyun)Kontribusi TerhadapPDB Nasional (%)
Sektor Kayu dan
Hasil Hutan
Lainnya
Sektor Industri
Kayu Olahan
Sektor Berbasis
Kehutanan
SektorKayu dan
Hasil Hutan
Lainnya
Sektor Industri Kayu
Olahan
Sektor Berbasis
Kehutanan
(a) (b) (c) = (a)+(b) (d) (e) (f) = (d)+(e)
2000 16.34 20.28 36.62 1.18 1.46 2.63
2001 16.74 20.38 37.12 1.16 1.42 2.58
2002 17.13 20.51 37.64 1.14 1.36 2.50
2003 17.21 20.75 37.97 1.09 1.32 2.41
2004 17.43 20.33 37.76 1.05 1.23 2.28
2005 17.18 20.14 37.32 0.98 1.15 2.13
2006 16.69 20.01 36.69 0.90 1.08 1.99
2007 16.50 19.66 36.16 0.84 1.00 1.84
2008 16.44 20.34 36.78 0.79 0.98 1.77
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009a
Pada Tabel 2 terlihat bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) sektor berbasis
kehutanan mengalami kecenderungan yang terus menurun sejak tahun
2000 - 2008. Hal ini menyebabkan kontribusi sektor berbasis kehutanan terhadap
PDB nasional terus menurun. Kontribusi sektor berbasis kehutanan pada tahun
2000 terhadap PDB nasional sebesar 2.63 persen terus menurun menjadi 2.58
6
persen pada tahun 2001, 2.50 persen pada tahun 2002, 2.41 persen pada tahun
2003, 2.28 persen pada tahun 2004, 2.13 persen pada tahun 2005, 1.99 persen
pada tahun 2006, 1.84 persen pada tahun 2007 dan 1.77 persen pada tahun 2008.
Kondisi ini pun diperkirakan akan terus mengalami penurunan ke depan jika tidak
ada upaya untuk meningkatkan output sektor tersebut.
Menurut Departemen Kehutanan (2007a), salah satu faktor yang
menyebabkan PDB sektor berbasis kehutanan dan kontribusinya terhadap PDB
nasional terus mengalami penurunan antara lain belum optimalnya pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu (non-timber based) dan jasa lingkungan (environmental
services) dalam meningkatkan kontribusi sektor berbasis kehutanan terhadap
pendapatan nasional. Artinya selama ini pemanfaatan hutan masih terfokus pada
hasil hutan berbasis kayu (timber based) yang ketersediaannya semakin terbatas.
Selain itu, menurunnya output sektor industri kayu olahan akibat terbatasnya
pasokan bahan baku kayu bulat dan rendahnya investasi turut memicu
menurunnya PDB sektor berbasis kehutanan.
Meningkatnya output sektor berbasis kehutanan sangat penting dalam
memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian nasional di masa
mendatang, tidak hanya berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi
juga mampu menyediakan lapangan kerja dan menjadi sumber pendapatan
masyarakat. Selain itu, adanya keterkaitan sektor berbasis kehutanan dengan
sektor perekonomian lainnya maka sektor berbasis kehutanan berperan dalam
mendorong pertumbuhan sektor hulu maupun sektor hilirnya.
Hasil evaluasi pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2004 – 2009 terhadap sektor-sektor berbasis kehutanan
7
disebutkan bahwa salah satu upaya untuk lebih meningkatkan peranan sektor
tersebut dalam perekonomian nasional yaitu meningkatkan nilai tambah atau
output melalui pengelolaan kawasan hutan yang didukung oleh regulasi yang
mendorong pengembangan usaha kehutanan dari hulu hingga hilir
(Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2009).
Berdasarkan uraian di atas, untuk mengetahui pertumbuhan output sektor
berbasis kehutanan dalam pembangunan ekonomi nasional, maka dilakukan
penelitian yang menganalisis pertumbuhan sektor berbasis kehutanan dan
dampaknya terhadap distribusi pendapatan dan tenaga kerja di Indonesia dengan
menggunakan pendekatan input – output Miyazawa. Sonis dan Hewings (2000),
menyatakan bahwa model input-output Miyazawa mampu memotret
pembangunan sektoral suatu negara dengan melihat keterkaitan dan kontribusi
suatu sektor terhadap perekonomian serta dampak peningkatan permintaan akhir
suatu sektor terhadap output, penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan.
1.2. Perumusan Masalah
Sektor berbasis sumberdaya alam seperti sektor berbasis kehutanan masih
menjadi andalan dalam pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Selama ini
peran sektor berbasis kehutanan telah memberikan kontribusi yang cukup besar
dalam menghasilkan devisa, sumber pendapatan masyarakat melalui penyerapan
tenaga kerja dan menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya hutan yang berlangsung hampir
lebih dari tiga dekade selama ini, berdampak pada degradasi kualitas dan kuantitas
sumberdaya hutan. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap menurunnya produksi
hasil hutan terutama kayu yang merupakan output utama sektor kehutanan.
8
Menurunnya produksi kayu secara langsung tidak hanya berdampak
terhadap penurunan output sektor kehutanan tetapi juga berdampak terhadap
menurunnya output sektor berbasis kehutanan lainnya seperti industri kayu olahan
yang menggunakan kayu sebagai input produksinya. Menurut Departemen
Kehutanan (2007b), kebutuhan terhadap kayu bulat untuk memenuhi pasokan
bahan baku industri kayu olahan dalam negeri saat ini mencapai 50 - 60 juta m3
per tahun, sementara pasokan kayu bulat hanya sekitar 25 - 30 m3 yang artinya
terjadi kesenjangan permintaan dan pasokan sekitar 25 - 30 m3 per tahun.
Menurunnya produksi tersebut berimplikasi terhadap menurunnya kontribusi
sektor-sektor berbasis kehutanan terhadap PDB nasional selama beberapa tahun
terakhir.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa PDB sektor berbasis kehutanan relatif konstan
sejak tahun 2000 hingga tahun 2008 yaitu dari Rp 36.62 trilyun pada tahun 2000
menjadi sebesar Rp 36.16 trilyun pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 hanya
sebesar Rp 36.78 trilyun. Berbeda dengan nilai PDB, kontribusi relatif sektor
berbasis kehutanan terhadap PDB nasional terus mengalami penurunan setiap
tahunnya yaitu rata-rata penurunan sebesar 0.11 persen. Penurunan kontribusi ini
diperkirakan akan terus berlanjut apabila tidak ada upaya perbaikan dalam
meningkatkan output sektor tersebut.
Menurunnya output pada sektor berbasis kehutanan juga berimplikasi
secara langsung terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat
terutama yang bekerja di sektor tersebut. Oleh karena itu, analisis terhadap
pertumbuhan dan faktor-faktor yang menjadi sumber pertumbuhan output sektor
berbasis kehutanan menjadi sangat penting sebagai informasi untuk merumuskan
9
strategi peningkatan output sektor berbasis kehutanan ke depan. Selain itu, dapat
diketahui sejauh mana dampak pertumbuhan output sektor berbasis kehutanan
terhadap perekonomian makro khususnya dari sisi penyerapan tenaga kerja dan
pendapatan masyarakat serta keterkaitannya dengan sektor lainnya.
Berdasarkan Triple Track Strategy pembangunan ekonomi nasional,
agenda pertumbuhan ekonomi (pro-growth) di sektor berbasis kehutanan ke depan
diarahkan pada peningkatan output seperti pengembangan pasar ekspor dan
investasi baru. Sementara itu, agenda penyediaan lapangan kerja (pro-job)
dimaksudkan untuk menggerakkan industri kayu olahan dalam rangka menyerap
tenaga kerja. Adapun agenda pengentasan kemiskinan (pro-poor) diarahkan pada
peningkatan pendapatan masyarakat melalui pemberian akses atas usaha
pemanfaatan hutan produksi dan kegiatan industri perkayuan (Departemen
Kehutanan, 2008a).
Oleh karena itu, upaya pembangunan sektor berbasis kehutanan ke depan
diarahkan untuk mendorong faktor-faktor yang menjadi sumber pertumbuhan
output sektor berbasis kehutanan sehingga dalam jangka pendek mampu
menyerap tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan sektor lainya, kemudian
dalam jangka panjang mampu mengurangi tingkat kemiskinan melalui
peningkatan pendapatan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, ada tiga pokok permasalahan yang ingin
dijawab dalam penelitian ini yaitu :
1. Faktor-faktor apa saja yang menjadi sumber pertumbuhan sektor berbasis
kehutanan di Indonesia ?
10
2. Bagaimanakah dampak pertumbuhan sektor berbasis kehutanan terhadap
distribusi pendapatan dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia ?
3. Seberapa jauh keterkaitan sektor berbasis kehutanan dengan sektor
perekonomian lainnya ?
1.3. Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini yaitu :
1. Menganalisis pertumbuhan dan sumber-sumber pertumbuhan gross output
sektor berbasis kehutanan di Indonesia.
2. Menganalisis dampak peningkatan gross output sektor berbasis kehutanan
terhadap distribusi pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan
pendapatan dan penyerapan tenaga kerja.
3. Menganalisis keterkaitan sektor berbasis kehutanan dengan sektor
perekonomian lainnya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak
terkait khususnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan sebagai
masukan dalam merumuskan kebijakan nasional pembangunan sektor kehutanan
ke depan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian ini meliputi analisis pertumbuhan gross output sektor
berbasis kehutanan di Indonesia. Sektor berbasis kehutanan yang menjadi fokus
analisis dalam penelitian ini diklasifikasi menjadi lima sektor perekonomian yang
terdiri dari sektor kayu dan hasil hutan lainnya, industri kayu gergajian, industri
11
kayu lapis dan sejenisnya, industri bubur kertas dan industri meubel yang didapat
dari hasil agregasi tabel I-O Indonesia Tahun 2008. Periode analisis pertumbuhan
gross output yaitu antara tahun 2005 – 2008 berdasarkan tabel I-O Indonesia
Tahun 2005 dan 2008.
Adapun golongan pendapatan rumahtangga dalam analisis distribusi
pendapatan diklasifikasi menjadi enam golongan pendapatan, yaitu
(1) rumahtangga kota pendapatan rendah, (2) rumahtangga kota pendapatan
sedang, (3) rumahtangga kota pendapatan tinggi, (4) rumahtangga desa
pendapatan rendah, (5) rumahtangga desa pendapatan sedang, dan (6)
rumahtangga desa pendapatan tinggi. Klasifikasi golongan rumahtangga tersebut
didasarkan pada analisis I-O Miyazawa Tahun 2008 yang dikembangkan dari
model I-O Indonesia Tahun 2008. Menurut Jackson dan Murray (2002), model
I-O Miyazawa adalah pengembangan model input-output dengan melakukan up-
dating matriks Leontief input-output dengan memasukan informasi struktur
pendapatan rumahtangga.
Adapun keunggulan model I-O Miyazawa adalah sebagai berikut :
1. Model I-O Miyazawa telah memasukan klasifikasi pendapatan rumahtangga
kedalam matriks transaksi antar industri. Dengan demikian, model ini dapat
menganalisis dampak pertumbuhan output suatu sektor terhadap pendapatan
rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan.
2. Sebagai analisis kuantitatif, model I-O Miyazawa dapat digunakan untuk
menganalisis dampak perubahan output atau permintaan akhir suatu sektor
terhadap sektor perekonomian lainnya.
12
3. Sebagai pengembangan model I-O Leontief, model I-O Miyazawa dapat
menganalisis transaksi antar industri dalam suatu perekonomian.
1.5. Keterbatasan Penelitian
Penggunaan model I-O Miyazawa sebagai instrumen pengkajian dan
analisis mengandung banyak keterbatasan. Sebagai pengembangan model input-
output, secara umum keterbatasan model I-O Miyazawa sama dengan model
I-O Leontief. Menurut West (1993), transaksi-transaksi yang digunakan dalam
penyusunan Tabel I-O didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut :
1. Asumsi keseragaman (Homogenitas)
Artinya tiap sektor dalam perekonomian memproduksi satu output tunggal
dengan struktur input tunggal.
2. Asumsi kesebandingan (Proporsionalitas)
Artinya dalam proses produksi, hubungan antara input dan output merupakan
fungsi linier yaitu tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik (atau
turun) sebanding dengan kenaikan (atau penurunan) output tersebut.
3. Asumsi penjumlahan (Additivitas)
Asumsi ini menjelaskan bahwa dampak total pelaksanaan produksi
di berbagai sektor dihasilkan oleh masing-masing sektor secara terpisah. Ini
berarti di luar sistem input-output semua pengaruh dari luar diabaikan.
Sebagai sebuah model analisis kuantitatif, adanya asumsi-asumsi tersebut
menandakan adanya keterbatasan model I-O itu sendiri. Asumsi keseragaman
menganggap setiap sektor memiliki struktur input tunggal, maka asumsi ini tidak
mempertimbangkan adanya kemungkinan setiap sektor produksi untuk melakukan
13
substitusi input, misalnya karena faktor harga yang lebih murah. Setiap sektor
hanya memproduksi suatu output tunggal, maka setiap sektor tidak mungkin
melakukan variasi produk. Asumsi kesebandingan menganggap rasio input-output
tetap dan konstan sepanjang periode analisis, dengan demikian produsen tidak
dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses
produksinya. Asumsi ini tidak mempertimbangkan adanya kemajuan teknologi
atau produktivitas. Selanjutnya asumsi penjumlahan menganggap proses produksi
hanya dipengaruhi faktor dalam sistem input-output. Asumsi ini tidak
mempertimbangkan faktor luar yang sebenarnya berpengaruh terhadap proses
produksi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Hess dan Ross (2000), pertumbuhan ekonomi merupakan
peningkatan total barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara pada periode
waktu tertentu yang direpresentasikan oleh peningkatan output per kapita. Lebih
jauh menurut Mankiw (2000), dalam terminologi fungsi produksi pertumbuhan
ekonomi merupakan peningkatan total output dalam proses produksi akibat
peningkatan faktor produksi dan kemajuan teknologi pada periode waktu tertentu.
Dornbush (1992) mengklasifikasikan pengukuran output suatu
perekonomian melalui indikator PDB, dibagi dalam dua pendekatan yaitu
pendekatan sisi penerimaan (income side) dan pendekatan sisi pengeluaran
(expenditure side). PDB dari sisi penerimaan merupakan nilai tambah yang
dihasilkan oleh suatu perekonomian. Sementara PDB dari sisi pengeluaran terdiri
dari konsumsi masyarakat, pengeluaran pemerintah, pengeluaran investasi dan
ekspor bersih.
2.2. Sumber – Sumber Pertumbuhan
Output merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat keberhasilan pembangunan perekonomian suatu negara.
Analisis terhadap pertumbuhan output, perlu didasarkan pada sumber-sumber
yang menjadi pendorong pertumbuhan output itu sendiri.
Hess dan Ross (2000), menjelaskan sumber pertumbuhan output dilihat
dari sisi produksi terdiri dari tenaga kerja, modal, sumberdaya alam dan teknologi.
Tenaga kerja yang dimaksud adalah jumlah angkatan kerja yang merupakan input
15
produksi. Stok barang modal merupakan input produksi yang akan mendorong
pertumbuhan output nasional di masa yang akan datang. Menurut Dornbusch
(1992) stok barang modal terdiri dari pabrik, mesin, kantor dan produk-produk
tahan lama lainnya yang digunakan dalam proses produksi. Barang modal juga
meliputi pembelian rumah tempat tinggal baru dan persediaan. Investasi adalah
pengeluaran yang ditambahkan kepada komponen-komponen barang modal ini.
Sedangkan sumberdaya alam seperti lahan, sumber energi, merupakan faktor
produksi tetap (fix input) yang dapat digunakan dalam proses produksi. Sementara
itu, teknologi direpresentasikan sebagai pengetahuan yang dapat digunakan untuk
memproduksi barang dan jasa. Kemajuan teknologi melalui penemuan baru
(inventions) dan inovasi (innovations) akan menghasilkan output yang lebih besar
dengan sejumlah input yang sama.
Menurut Miller dan Blair (1985), output suatu negara dalam model input-
output merupakan penjumlahan antara input antara (intermediate input) dan
permintaan akhir (final demand). Permintaan akhir terdiri atas permintaan
domestik (domestic final demand) dan permintaan luar negeri atau disebut sebagai
ekspor. Selain itu, dalam proses perdagangan internasional, produksi barang dan
jasa membutuhkan faktor input yang berasal dari impor. Dengan demikian,
sumber pertumbuhan output suatu negara ditentukan oleh perubahan koefisien
input antara yang merupakan bentuk kemajuan teknologi (technological change),
ekspansi permintaan domestik (expansion of domestic final demand), ekspansi
ekspor (exsport expansion) dan substitusi impor (import substitution). Empat
faktor tersebut dapat menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan output sektoral
dalam perekonomian suatu negara.
16
2.3. Kebijakan Pembangunan Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia
Menurunnya output sektor-sektor berbasis kehutanan dalam beberapa
tahun terakhir menyebabkan kontribusi sektor berbasis kehutanan terhadap output
nasional terus berkurang. Oleh karena itu maka esensi pembangunan sektor-sektor
berbasis kehutanan ke depan yaitu mendorong peningkatan produksi dan
pemasaran produk kayu olahan terutama ke pasar ekspor untuk meningkatkan
output sektor tersebut. Peningkatan output yang terjadi diharapkan mampu
menyerap tenaga kerja, mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pendapatan
masyarakat dan dalam jangka panjang dapat kembali menyumbangkan perolehan
devisa dan penerimaan negara lainnya secara lebih signifikan.
Hasil evaluasi terhadap RPJMN 2004 – 2009 terhadap sektor-sektor
berbasis kehutanan disebutkan bahwa salah satu kebijakan prioritas pembangunan
sektor berbasis kehutanan adalah peningkatan produksi dengan mendorong
adanya investasi baru secara proporsional antara pengusaha besar, menengah dan
kecil khususnya di sektor hulu dan upaya pengembangan pasar di sektor hilir
dalam rangka mendorong pertumbuhan output sektor berbasis kehutanan.
Peningkatan produksi di sektor hulu dilakukan melalui penguatan aspek
legal sebagai landasan hukum untuk memberikan kepastian usaha melalui
perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 menjadi Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan beserta
berbagai aturan turunannya. Untuk jaminan berusaha diberikan selama 65 tahun
sesuai dengan Undang-Undang Penanaman Modal. Adapun untuk hutan tanaman,
17
PMA berbadan hukum Indonesia diberi kesempatan sebagai pemegang izin usaha
(Departemen Kehutanan, 2008a).
Berdasarkan publikasi Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) tahun 2009 disebutkan bahwa perkembangan investasi sektor berbasis
kehutanan selama satu dekade terakhir sangat fluktuatif dan minat investor baik
asing maupun domestik cenderung menanamkan modalnya di kegiatan industri
kayu (hilir) dibanding sektor kehutanan (hulu). Kondisi ini lebih disebabkan
karakteristik usaha sektor kehutanan yang memiliki risiko usaha tinggi dan
bersifat jangka penjang dibandingkan dengan usaha di sektor industri kayu olahan.
Selain itu, investasi sektor kehutanan saat ini diarahkan pada kegiatan pembukaan
areal atau penanaman baru dibandingkan kegiatan penebangan (logging) yang
memiliki minat investasi rendah.
Tabel 3. Perkembangan Investasi Asing Pada Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia Tahun 2001 - 2008
Tahun
Kehutanan Industri Kayu Olahan Jumlah Investasi
Nilai Investasi (US$ 000)
Jumlah Investasi
Nilai Investasi (US$ 000)
2001 - - 9 44 6882002 - - 12 19 2522003 - - 24 158 6462004 - - 6 4 0622005 2 118 768 18 75 4982006 1 30 968 18 58 8982007 - - 17 127 8532008 - - 4 64 352
Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal, 2009
Investasi asing (PMA) selama periode 2001 – 2008 untuk usaha kehutanan
tercatat sebesar US$ 149 736 dengan jumlah investasi baru sejumlah 3 investasi
lebih kecil dibandingkan nilai investasi di usaha industri kayu olahan sebesar
18
US$ 702 983 dengan jumlah investasi sejumlah 108 investor. Investasi baru
untuk usaha kehutanan terjadi pada tahun 2005 dan 2006, sementara investasi
masuk di industri kayu olahan terjadi sepanjang tahun.
Tabel 4. Perkembangan Investasi Domestik Pada Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia Tahun 2001 - 2008
TahunKehutanan Industri Kayu Olahan
Jumlah Investasi
` Nilai Investasi (Rp juta)
Jumlah Investasi
Nilai Investasi (Rp juta)
2001 - - 7 280 9952002 2 150 398 2 232 8762003 1 452 779 12 356 1722004 - - 4 888 8822005 1 993 410 9 198 7932006 - - 9 709 0122007 1 8 878 3 38 7622008 - - 1 17 754
Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal, 2009
Sementara itu, nilai investasi domestik (PMDN) di sektor berbasis
kehutanan dalam periode 2001 – 2008 tercatat sebesar Rp 4.32 trilyun dimana
Rp 2.72 trilyun adalah investasi di sektor industri kayu olahan dan sisanya
sebesar Rp 1.60 trilyun adalah investasi untuk sektor kehutanan. Adapun jumlah
investasi baru di sektor kehutanan sejumlah 5 investasi dan ada 47 investasi baru
di industri kayu olahan.
Adapun strategi pengembangan pasar untuk sektor hilir (industri kayu
olahan) adalah dengan mempertahankan pasar yang ada (pasar tradisional), dan
menangkap pasar potensial (captive market) terutama untuk pasar ekspor perlu
ditingkatkan. Perluasan pasar ekspor dilakukan melalui promosi, penetrasi dan
ekspansi (Departemen Kehutanan, 2007b).
19
2.4. Kerangka Tabel Input-Output Miyazawa
Tabel Input-Output (I-O) pertama kali diperkenalkan oleh Profesor
Wassily W. Leontief pada tahun 1951 sebagai instrumen yang digunakan untuk
mengukur dampak ekonomi. Publikasi pertama dilakukan pada tahun 1965 hingga
akhirnya mendapatkan nobel di bidang ekonomi pada tahun 1973. Review untuk
penemuannya dilakukan pada maret 1999 melalui Survey of Current Business.
Tabel I-O pada dasarnya merupakan uraian statitstik dalam bentuk matriks
yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling
keterkaitan antar satu satuan kegiatan ekonomi (sektor) dalam suatu wilayah pada
suatu periode waktu tertentu. Dalam analisisnya Tabel I-O menggunakan prinsip
keseimbangan umum (General Equilibrium), artinya jika terjadi keseimbangan
(atau ketidakseimbangan) di satu sektor berpengaruh terhadap keseimbangan (atau
ketidakseimbangan) di sektor-sektor lain.
Hasil analisis dari Tabel I-O dapat menggambarkan seberapa besar
kontribusi setiap sektor terhadap pembentukan output wilayah, penyerapan tenaga
kerja, struktur permintaan akhir (PDRB dari sisi pengeluaran) dan komponen nilai
tambah (PDRB dari sisi penerimaan). Selain itu analisis Input-Output dapat
merekomendasikan sektor kunci dalam perekonomian wilayah tersebut melalui
hasil analisis keterkaitan sektor baik ke belakang (backward linkage) maupun
keterkaitan ke depan (forward linkage).
Badan Pusat Statistik (BPS) mengembangkan Tabel Input-Output sebagai
dasar pengembangan model Input-Output dengan tiga kuadran yaitu matriks
input – output (kuadran I), matriks permintaan akhir (kuadran II) dan matriks
input antara (kuadran III) seperti pada Gambar 1.
20
Xij
( Kuadran I )
Fik
( Kuadran II )
Vmj
( Kuadran III )
Gambar 1. Kuadran Matriks Tabel Input - Output
Keterangan :
Kuadran I : transaksi antar industri; output sektor i menjadi input sektor j,
Kuadran II : transaksi antara konsumen akhir (rumahtangga, pemerintah,
investor dan ekspor) dengan industri penghasil barang dan jasa.
Kuadran III : menggambarkan transaksi antara pihak-pihak pemilik faktor
produksi (tenaga kerja dan pemilik modal) dengan unit-unit
ekonomi yang menggunakannya.
Secara ilustratif, kerangka dasar Tabel Input-Output disajikan seperti pada
Tabel 5.
Tabel 5. Kerangka Dasar Tabel Input-Output
SektorPenjual
Sektor PembeliPermintaan
AkhirTotal
Output1 2 … n
12...n
x11
x21
..
.
xn1
x12
x11
.
.
.
xn2
……...
…
x1n
x2n
.
.
.
xnn
F1
F2
.
.
.
Fn
X1 X2
.
.
. Xn
Nilai Tambah
v1 v2 … vn
Impor IM1 IM2 … IMn Total Input
X1 X2 … Xn
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2000
21
Keterangan :
1) Permintaan akhir (F) terdiri dari konsumsi rumahtangga (C), konsumsi
pemerintah (G), pembentukan modal/investasi (I), dan ekspor (E)
2) xij = besarnya output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j,
dan Fi (Ci , Gi , Ii , Ei) besarnya output sektor i yang digunakan sebagai
permintaan akhir
3) vj adalah nilai tambah dan IMj adalah impor
4) Xi =
n
j 1
aijXj +fi adalah total input = total output
5) Koefisien langsung, aij = xij / Xj, xij = aij Xj, matriks A = [ aij ]
6) AX + F = X dengan melakukan transformasi maka diperoleh (I-A)-1 F = X
7) (I-A)-1 adalah matriks kebalikan Leontief.
Matriks kebalikan Leontief mengandung informasi penting tentang
bagaimana kenaikan produksi dari suatu sektor (industri) akan mempengaruhi
pertunbuhan sektor-sektor lainnya. Karena setiap sektor memiliki pola transaksi
pembelian maupun penjualan dengan sektor lain yang berbeda-beda, maka
dampak dari perubahan produksi dari suatu sektor terhadap total produksi sektor-
sektor lainnya juga berbeda-beda. Matriks kebalikan Leontief merangkum seluruh
dampak dari perubahan produksi dari suatu sektor terhadap total produksi sektor-
sektor lainnya ke dalam koefisien-koefisien yang disebut sebagai multiplier (ij).
Multiplier ini adalah angka-angka yang terlihat di dalam matriks (I - A)-1.
Tabel I-O nasional yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik saat ini
hanya hanya memperlihatkan struktur transaksi dari beberapa industri yang
berbeda dalam satu negara atau wilayah. Tabel ini tidak memberikan informasi
22
lebih lanjut tentang strata rumahtangga (pemilik faktor produksi tenaga kerja)
yang berpendapatan tinggi, sedang atau rendah. Oleh karena itu, diperlukan
pengembangan model input-output yang memasukan informasi mengenai strata
rumahtangga ke dalam suatu model. Pada penelitian ini, pengembangan model
tersebut digunakan model Input-Output Miyazawa yang merupakan
pengembangan model Input-Output Leontief.
Input-Output Miyazawa diperkenalkan pada tahun 1960 dan 1968 yang
kemudian ditulis kembali pada tahun 1976. Model ini membuat generalisasi
keynesian income multipliers kedalam bentuk matriks inter-relational income
multipliers (Sonis and Hewings, 2000).
Model matriks Miyazawa dalam tabel input-output diformulasikan seperti
pada persamaan (1). Variabel A merupakan matriks koefisien langsung, X
merupakan gross output, F adalah permintaan akhir, vektor T merupakan total
pendapatan, matriks V merupakan rasio pendapatan rumahtangga, g merupakan
pendapatan eksogen dan matriks C menunjukan pengeluaran konsumsi
rumahtangga.
g
F
T
XC
V
A
T
X
0…………………………….………………. (1)
Pada model Miyazawa ini, permintaan akhir (final demand) merupakan
komponen yang terdiri selain dari konsumsi rumahtangga yaitu antara lain
konsumsi pemerintah, pembentukan modal (investasi), dan ekspor. Sama halnya
dengan nilai tambah (value added), merupakan komponen nilai tambah selain
pendapatan rumahtangaa atau upah. Pada penelitian ini kerangka dasar model
Input-Output Miyazawa disajikan pada Tabel 6.
23
Tabel 6. Kerangka Dasar Tabel Input-Output Miyazawa
SektorPenjual
Sektor PembeliPermintaan
Akhir
TotalOutput1 2 … n Konsumsi RT
Menurut Golongan
Pendapatan12...n
x11
x21
..
.
xn1
x12
x11
.
.
.
xn2
……...
…
x1n
x2n
.
.
.
xnn
C11
C21
.
.
.Cnn
F1
F2
.
.
.
Fn
X1 X2
.
.
. Xn
Pendapatan RT V11 V12 … Vnn 0 gn Tn
Nilai Tambah v1 v2 … vn 0
Impor IM1 IM2 … IMn Cm
Total Input
X1 X2 … Xn Cn
Sumber : Sonis and Hewings, 2000
Pada persamaan (1), jika diilustrasikan kerangka tabel input-output
Miyazawa terdiri dari 2x2 blok matriks, maka matriks Miyazawa dapat dituliskan
sebagai berikut :
0
C
V
AM ………………………...………….……………………. (2)
M adalah matriks Miyazawa yang merupakan matriks koefisien input-
output dalam model Leontief, disimbulkan dengan A. Dengan demikian, matriks
kebalikan Leontief untuk matriks Miyazawa dapat dituliskan sebagai berikut :
1 MIB ………………………………………...………………… (3)
Dengan melakukan transformasi pada persamaan (2) dan (3), maka
diperoleh persamaan matriks koefisien antar strata pendapatan adalah sebagai
berikut :
24
1)( MIB
=
I
BC
0
I
N
0
0
I
I
0
VB
B =
N
BCN
NVB
BCNVBB
=
I
0
V
I
I
0
0
I
C
0
I=
CVI
AC
VB……………….....………….… (4)
H = VBC adalah matriks koefisien antar golongan pendapatan (matriks of
inter-income coefficients). Pada persamaan (4) diperoleh persamaan multiplier
antar pendapatan Miyazawa (Miyazawa interreltional income multiplier) atau
disebut juga Keynesian multiplier yang ditulis sebagai berikut :
CVIVBCIHIN 11 )()( ………………........……………..(5)
Pada persamaan (4) diperoleh matriks kebalikan Leontief yang diperbesar
yaitu dengan memasukan matriks V dan matriks C yang dituliskan menjadi
sebagai berikut :
BBCNVBBCVAI 1)( …………...……………………… (6)
Pada persamaan (6) maka diperoleh VΔ = nVB dan ΔC = BCN.
2.5. Keterkaitan Antar Sektor
Menurut Miller dan Blair (1985) dalam model input-output, produksi
barang dan jasa suatu sektor ekonomi memiliki dampak ekonomi terhadap sektor
lainnya. Apabila suatu sektor j meningkatkan outputnya, maka akan berdampak
terhadap sektor penyedia input sektor j dan sektor pengguna output sektor j.
Keterkaitan antar sektor perekonomian tersebut dinamakan backward linkage dan
forward linkage.
25
Adanya penggunaan input antara yang berasal dari output sektor produksi
lain dan penggunaan input primer seperti tenaga kerja dan modal, membuat suatu
sektor produksi menjadi terintegrasi dengan sektor-sektor lainnya dalam suatu
perekonomian.
Lebih lanjut menurut Miller dan Blair, keterkaitan ke belakang (backward
linkage) terdiri dari keterkaitan langsung ke belakang (direct backward linkage)
dan keterkaitan total ke belakang (total backward linkage). Sementara itu,
keterkaitan ke depan (forward linkage) terdiri dari keterkaitan langsung ke depan
(direct forward linkage) dan keterkaitan total ke depan (total forward linkage).
Pada model input-output, direct dan forward linkage merupakan pengaruh
langsung atau pengaruh tidak langsung dari kegiatan produksi suatu sektor
terhadap sektor lain baik sektor hulu maupun hilirnya. Sedangkan total backward
dan forward linkage merupakan pengaruh total baik langusng maupun tidak
langsung dari kegiatan produksi suatu sektor terhadap sektor lain baik sektor hulu
maupun hilirnya.
Secara operasional, pengaruh langsung (direct effect) adalah pengaruh
yang secara langsung dirasakan oleh suatu sektor yang menggunakan output
sektor lain sebagai input produksinya. Sebagai contoh kenaikan produksi industri
furnitur akan menyebabkan bertambahnya permintaan input kayu yang merupakan
input langsung digunakan dalam produksi industri furnitur. Sementara pengaruh
tidak langsung atau indirect effect menunjukkan pengaruh tidak langsung yang
dirasakan oleh suatu sektor akibat kenaikan output sektor lain. Misalkan kenaikan
produksi industri furnitur bisa menyebabkan pula kenaikan permintaan jasa-jasa
transportasi untuk mengangkut hasil produksinya ke pasar, di mana dalam hal ini
26
jasa transportasi bukan merupakan input langsung untuk memproduksi furniture.
Sementara itu, pengaruh total atau total effect adalah pengaruh secara keseluruhan
dalam perekonomian dimana sektor yang bersangkutan berada. Misalkan dalam
dua contoh di atas yang dimaksud pengaruh total adalah penjumlahan dari
pengaruh langsung dengan tidak langsung dari produksi pakaian dalam
perekonomian.
2.6. Dekomposisi Pertumbuhan Struktural dalam Sistem Input-Output
Dekomposisi pertumbuhan dalam sistem input-output merupakan upaya
mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan gross output X dari suatu sektor
perekonomian. Adapun sumber-sumber pertumbuhan gross output X terdiri dari
empat sumber, yaitu :
1. The expansion of domestic Final Demand (FD) menjelaskan dampak
langsung dan tidak langsung dari perluasan permintaan akhir domestik
(expantion of domestic final demand).
2. Export Expansion (EE) merupakan dampak langsung dan tidak langsung
dari perluasan perdagangan internasional ekspor (expantion of
international export).
3. Import Substitution (IS) adalah dampak langsung dan tidak langsung
akibat perubahan dalam proporsi perdagangan internasional impor (change
in international import proportions).
4. Technological change menunjukkan dampak langsung dan tidak langsung
dari perubahan koefisien input-output (change in input-output
coefficients).
27
2.7. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Berbagai penelitian yang terkait dengan peranan sektor berbasis kehutanan
dalam perekonomian telah banyak dilakukan sebelumnya diantaranya oleh
Departemen Kehutanan (2007a) tentang reposisi kehutanan Indonesia. Penelitian
ini bertujuan untuk mengukur kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian
nasional dengan menggunakan model input-output. Hasil penelitian menunjukan
bahwa kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB nasional sangat rendah yaitu
di bawah satu persen dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Namun demikian,
sektor kehutanan memiliki kontribusi besar dalam menyumbang devisa. Strategi
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kontribusi sektor kehutanan terhadap
perekonomian nasional yaitu dengan meningkatkan investasi.
Penelitian lainnya yang terkait dilakukan oleh Suwarna (2007) tentang
dampak bantuan dana rehabilitasi lahan milik terhadap pendapatan masyarakat
dan perekonomian wilayah di Kabupaten Garut. Metode analisis yang digunakan
adalah sistem neraca sosial ekonomi, model ekonometrika dan analisis biaya
manfaat. Hasil analisis menunjukan bahwa dana rehabilitasi lahan milik
di Kabupaten Garut belum dapat secara nyata memperbaiki pendapatan
masyarakat yang melaksanakan kegiatan rehabilitasi. Namun demikian dana
rehabilitasi tersebut berperan untuk meningkatkan perekonomian wilayah.
Kegiatan rehabilitasi lahan milik dengan komoditi utama tanaman kayu secara
finansial memberikan manfaat lebih kepada petani pemilik apabila dilakukan
pemanfaatan lahan diantara tanaman kayu dengan mengusahakan komoditi
tanaman sela. Kelembagaan kelompok tani memberikan kontribusi yang cukup
besar terhadap produktivitas kelompok dalam kegiatan rehabilitasi lahan.
28
Santosa (2006) meneliti tentang peranan ekonomi kehutanan di Propinsi
Jawa Tengah. Berbeda dengan penelitian lainnya, pada penelitian ini analisis
peranan sektor kehutanan tidak hanya dilihat dari sisi PDRB saja tetapi juga dari
manfaat ekonomi lain seperti jasa lingkungan yang dihasilkan sumber daya hutan.
Manfaat ekonomi lain yang diperhitungkan berupa hasil yang langsung
dikonsumsi masyarakat, illegal logging, illegal trading, nilai tambah, nilai air,
udara bersih dan manfaat berupa efisiensi kelembagaan dan
keberadaan/pelestarian hutan yang memberikan tambahan output sektor
kehutanan. Disamping itu, juga diperhitungkan manfaat ekonomi yang bersifat
negatif berupa deforestasi dan erosi. Dengan demikian dihasilkan kontribusi
bersih sektor kehutanan terhadap perekonomian wilayah dalam bentuk PDRB
hijau Propinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukan bahwa kontribusi sektor
kehutanan akan lebih kecil dengan memperhitungkan kerusakan lingkungan
sehingga PDRB bersih Propinsi Jawa Tengah juga mengalami penurunan.
Noor (2004) menganalisis sektor ekonomi yang berpengaruh terhadap
adanya deforestasi dan reforestasi hutan di Kabupaten Kutai Timur dengan
menggunakan pendekatan sistem neraca sosial ekonomi (SNSE). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi yang mempengaruhi kegiatan deforestasi
disebabkan adanya pengaruh Perdagangan, Restoran, dan Hotel (PRH) yang
ditunjukkan oleh empat jalur Modal Swasta Dalam Kabupaten (MSDK) ke kayu
yang memiliki pengaruh global paling kuat adalah melalui PRH. Dengan kata lain
pengaruh MSDK terhadap kegiatan penebangan hutan paling besar terjadi melalui
PRH. Sektor PRH ini sangat besar pengaruhnya, karena sektor inilah yang banyak
menggunakan kayu untuk keperluan usaha, bangunan, dan untuk bahan bakar.
29
Sementara itu kegiatan ekonomi yang berpengaruh terhadap kegiatan
reforestasi disebabkan adanya pengaruh sektor Tenaga Kerja Pertanian Bukan
Penerima Upah dan Gaji (TKPBUG). Sektor TKPBUG ini sangatlah besar
pengaruhnya sebagai gambaran kegiatan masyarakat/pengusaha yang bekerja di
sektor pertanian. TKPBUG ini juga menggambarkan pemilik lahan yang berusaha
dibidang pertanian dengan menanam beberapa jenis tanaman seperti sawit, karet,
umbi-umbian, lada, dan lain sebagainya.
Hardjanto (2003), menganalisis keragaan dan pengembangan Usaha Kayu
Rakyat (UKR) di Pulau Jawa. Tujuan utama dari penelitian adalah untuk
mengupayakan pengembangan sistem UKR dengan menggunakan tiga pendekatan
yaitu analisis SWOT untuk memformulasikan strategi pengembangan, metode
Interpretative Structural Modeling (ISM) digunakan untuk menemukan model
struktural dan mengkaji kelembagaan dan Analisis Hierarki Proses (AHP)
digunakan dalam seluruh tahap analisis. Hasil analisis menunjukan bahwa UKR
berada pada posisi pertumbuhan, sehingga perlu dikembangkan melalui strategi
integrasi horizontal, integrasi vertikal dan diversifikasi. Lembaga yang
berpengaruh dalam pengembangan UKR ini meliputi institusi yang terkait
ke belakang (backward linkages) dan ke depan (forward linkages), institusi
pemerintah terkait, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi serta
lembaga penelitian.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis
3.1.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi
Berbagai model pertumbuhan ekonomi telah banyak dikemukakan oleh
para ahli ekonomi. Teori pertumbuhan yang dikembangkan dimaksudkan untuk
mengukur dampak kegiatan ekonomi terhadap penciptaan output wilayah.
Pertumbuhan wilayah tersebut merupakan indikator perkembangan ekonomi suatu
wilayah. Analisis terhadap pertumbuhan output akan diperoleh informasi yang
dapat dijadikan dasar kebijakan dalam pengembangan wilayah khususnya
terhadap sektor-sektor yang memiliki efek pengganda (multiplier) dan keterkaitan
tinggi (linkages) sebagai motor penggerak perekonomian.
3.1.1.1. Harrod – Domar Model
Menurut Basu (2000) terdapat tiga kelompok besar dalam pengembangan
teori pertumbuhan saat ini yaitu pertama model pertumbuhan Harrod dan Domar
atau sering dikenal sebagai Harrod-Domar Model. Kedua model pertumbuhan
Neo Klasik (Neo-Classical Model) yang merupakan respon terhadap model
pertumbuhan Harrod-Domar. Tokoh yang mengawali dan paling berperan dalam
model pertumbuhan Neo Klasik adalah Robert Sollow sehingga dikenal dengan
model pertumbuhan Sollow (Sollow Growth Model). Ketiga adalah teori
pertumbuhan endogen (theory of endogenous growth) yang dikemukakan oleh
Romer dan Lucas sebagai respon terhadap model pertumbuhan Sollow.
Model Harrod - Domar telah berupaya memasukan unsur dinamyc path (t)
dari model pertumbuhannya. Model ini pada intinya menjelaskan bahwa
31
pertumbuhan output perekonomian (Yt) dideterminasi oleh pertumbuhan
penduduk (population grows, n), tingkat tabungan (saving rate, s) dan tingkat
modal (capital rate,c) sebagai faktor exsogen. Secara umum model pertumbuhan
Harrod-Domar ditulis sebagai berikut :
c
ssvKt
................................................................................................ (7)
dimana v adalah output-capital ratio dan
tK adalah tingkat pertumbuhan modal
pada periode t. Pendapatan diasumsikan proporsional dengan modal dalam model,
maka persamaan pertumbuhan output pada periode t dapat ditulis menjadi sebagai
berikut :
c
sY t .................................................................................................... (8)
Pertumbuhan penduduk (n) akan mempengaruhi tingkat tabungan (s) dan modal
(c) maka persamaan pertumbuhan output pada periode t menjadi
nc
sY t
............................................................................................... (9)
3.1.1.2. Neo – Classical Model
Dalam kelompok aliran pemikiran neo-klasik, model pertumbuhan Sollow
(Sollow Growth Model) dianggap sebagai representatif dalam menangkap ide
utama dalam teori pertumbuhan neo-klasik (Basu, 2000). Dalam model
pertumbuhan Sollow dijelaskan bagaimana tabungan, pertumbuhan penduduk
dan kemajuan teknologi mempengaruhi tingkat pertumbuhan output sepanjang
waktu.
Dalam model neo-klasik, output merupakan fungsi dari modal dan tenaga
kerja yang direpresentasikan dalam persamaan berikut :
32
),( LKfY ............................................................................................. (10)
dimana K adalah modal dan L adalah tenaga kerja. Dalam model juga diasumsikan
fungsi produksi constant return to scale sehingga persamaan fungsi produksi
menjadi
),( LKfY .................................................................................... (11)
Persamaan (11) menjelaskan bahwa besarnya output dalam perekonomian adalah
relatif terhadap besarnya tenaga kerja dimana λ ≥ 0, ),(),( LKfLKf ,
λ= 1/L, sehingga persamaan fungsi produksi baru menjadi :
)1,/(/ LKfLY ................................................................................... (12)
persamaan (12) menunjukan output per tenaga kerja (Y/L) merupakan fungsi dari
modal per tenaga kerja (K/L). Dalam bentuk lain persamaan (12) dapat ditulis
menjadi
)(kfy ................................................................................................ (13)
dimana y adalah (Y/L) dan k adalah (K/L). Persamaan ini menjelaskan
pertumbuhan output per tenaga kerja dapat meningkat hanya jika rasio modal-
tenaga kerja meningkat.
Dalam perekonomian tingkat pendapatan (y) akan dialokasikan untuk
konsumsi (C) dan investasi (i),sehingga y=C+i, sementara fungsi konsumsi
adalah C=(1-s)y maka persamaan investasi menjadi i = sy. Kemudian dengan
memasukan persamaan (13) kedalam persamaan investasi maka diperoleh
persamaan investasi sebagai berikut :
)(ksfi ................................................................................................ (14)
33
Investasi merupakan penjumlahan investasi bersih dan pergantian
penyusutan barang modal atau dengan kata lain perubahan stok modal merupakan
selisih antara investasi dengan tingkat penyusutan. Maka persamaan perubahan
stok modal dapat ditulis sebagai berikut :
kik .............................................................................................. (15)
atau kksfk )( ...................................................................................... (16)
Dengan memasukan faktor pertumbuhan penduduk (n) maka persamaan
perubahan stok modal menjadi :
knksfk )()( ............................................................................. (17)
Persamaan (17) menujukan bahwa perubahan stok modal dipengaruhi oleh
besarnya pertumbuhan kn)( . Dengan kata lain model Sollow menjelaskan
bagaimana tabungan dan pertumbuhan penduduk mempengaruhi keseimbangan
stok modal (steady-state capital stock) dan keseimbangan pendapatan per kapita
(steady-state level of income per capita) dalam jangka panjang (Mankiw, 2000).
Satu hal yang menjadi kekuatan model pertumbuhan Sollow adalah
dengan memasukan faktor perkembangan teknologi (g) kedalam model seperti
ditulis dalam persamaan (17). Persamaan ini menganggap perkembangan
teknologi sebagai faktor eksogen.
kgnksfk )()( ....................................................................... (18)
3.1.1.3. Endogeonous Growth Model
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam model
pertumbuhan Sollow teknologi merupakan faktor eksogen yang mempengaruhi
34
output. Sementara dalam model pertumbuhan endogen (endogenous growth) ini
perkembangan teknologi dianggap sebagai faktor endogen yang akan
mempengaruhi output dalam jangka panjang, sehingga disebut sebagai model
Endogenous Growth.
Fungsi produksi dalam model endogen diulistrasikan sebagai berikut :
AKY .................................................................................................. (19)
dimana Y adalah output, K adalah stok modal dan A adalah konstanta yang
mengukur sejumlah output yang diproduksi per unit modal. Sementara persamaan
(16) disebutkan bahwa perubahan stok modal (Δk) merupakan selisih antara
investasi (sY) dengan tingkat penyusutan modal (δk), dengan memasukan
persamaan (19) kedalam persamaan (16) maka diperoleh :
sAKKYY // ........................................................................ (20)
Persamaan (20) menunjukan bagaimana tingkat pertumbuhan modal
(ΔK/K) atau pertumbuhan output (ΔY/Y) akan terus tumbuh selama sA > δ meski
tanpa asumsi adanya perkembangan teknologi. Dalam model pertumbuhan Sollow
dijelasakan bahwa modal mendorong pertumbuhan output untuk sementara, tetapi
dengan diminishing return to capital pertumbuhan terjadi hanya jika ada
perkembangan teknologi. Hal ini kontras dengan model pertumbuhan endogen,
dimana investasi dan tabungan mampu mendorong pertumbuhan sepanjang
waktu.
Model endogen menganggap pengetahuan merupakan faktor input
produksi dimana barang dan jasa yang dihasilkan sebenarnya hasil perkembangan
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam model endogen pengetahuan
35
merupakan modal yang tidak mungkin bersifat diminishing return tetapi
diasumsikan constant return to scale.
3.1.2. Konsep Permintaan Akhir
Pada Bab 2 telah dijelaskan bahwa permintaan akhir (final demand) terdiri
dari permintaan domestik dan net ekspor sebagai rest of world. Permintaan akhir
domestik merupakan permintaan terhadap barang dan jasa di dalam negeri yang
dihasilkan oleh sektor perekonomian dengan tujuan barang dan jasa yang diminta
tidak untuk dijadikan kegiatan produksi lebih lanjut. Permintaan akhir domestik
terdiri dari konsumi, pengeluaran pemerintah, dan investasi atau perubahan stok
modal.
3.1.2.1. Konsumsi Rumahtangga dan Pemerintah
Mankiw (2000) menjelaskan bahwa konsumsi merupakan permintaan
akhir sejumlah barang dan jasa oleh rumahtangga (household) dalam suatu
perekonomian. Besarnya konsumsi dipengaruhi oleh disposable income yang
merupakan total penerimaan rumahtangga setelah dikurangi pajak. Persamaan
fungsi konsumsi dituliskan pada persamaan (21), dimana C adalah konsumsi
rumahtangga, T adalah pajak, dan (Y-T) adalah besarnya disposable income.
)( TYCC …………………………………………..…………..….. (21)
Sementara itu, pengeluaran pemerintah (government purchases)
merupakan belanja pemerintah yang dikeluarkan untuk barang dan jasa serta
transfer payment. Pada model persamaan pendapatan nasional (Y), pengeluaran
pemerintah merupakan variabel eksogen (Mankiw, 2000).
GG ……………………………………………….……………..….. (22)
36
3.1.2.2. Modal dan Investasi
Modal (capital) dan investasi (investment) merupakan konsep yang saling
berhubungan hanya saja modal merupakan konsep stock dan investasi merupakan
konsep flow. Perusahaan membeli barang investasi untuk menambah sejumlah
stok modal dan mengganti barang modal yang telah rusak atau habis
(Mankiw, 2000).
Dalam konsep produksi, modal (K) bersama tenaga kerja (L) merupakan dua
faktor produksi yang penting dalam menghasilkan sejumlah output (Y). Dalam
fungsi produksi Cobb-Douglas dinyatakan dalam 1LAKY , dimana α, β
adalah parameter yang mengukur share kapital terhadap output dan A adalah
parameter yang mengukur tingkat teknologi.
Harga setiap faktor produksi merupakan balas jasa dari faktor produksi,
dimana sewa (rent) adalah balas jasa dari penggunaan faktor produksi modal.
Perusahaan akan memutuskan berapa banyak modal yang digunakan (disewa)
dengan membandingkan biaya (cost) dan manfaat (benefit) dari setiap unit modal.
Jika perusahaan menyewakan modal pada tingkat harga sewa R dan menjualnya
pada tingkat harga P, maka harga riil per unit modal (real rent price) adalah R/P.
Sementara manfaat riil per unit modal adalah tambahan output yang diproduksi
karena menambah satu unit modal atau disebut marginal product of capital
(MPK). MPK disini merupakan permintaan dari modal itu sendiri, karena slope
MPK yang negatif karena MPK semakin turun apabila stok modal meningkat.
Keuntungan maksimum yang diperoleh perusahaan jika perusahaan menyewakan
modal sampai MPK turun dan sama dengan harga sewa riil (R/P). Hubungan
37
antara harga sewa riil (R/P), stok modal (K) dan marginal product of capital
(MPK) disajikan pada Gambar 1.
MPK
K
Harg
a se
wa
riil,
R/P
Stok Modal, K
Sumber : Mankiw, 2000
Gambar 2. Harga Sewa Modal
Manfaat dari memiliki modal adalah sewa modal yang diperoleh sebagai
balas jasa kepemilikan modal. Sementara biaya kepemilikan modal tergantung
pada harga relatif modal, tingkat suku bunga dan tingkat penyusutan yang
direpresentasikan pada persamaan matematik berikut :
Biaya Modal = KKK PPiP ………………………..……….….. (23)
= )/( KKK PPiP …………………….………….. (24)
dimana i adalah tingkat suku bunga nominal, PK adalah harga barang modal dan
δ adalah tingkat penyusutan. Jika diasumsikan harga barang modal akan
meningkat dengan meningkatnya harga barang lainnya, maka ΔPK/PK sama
dengan tingkat inflasi π. Karena i – π sama dengan tingkat suku bunga riil r,
persamaan biaya modal menjadi :
Biaya Modal = PK (r + δ) ……………………………...….…………. (25)
38
Kemudian biaya kepemilikan modal adalah relatif terhadap barang lainnya dalam
perekonomian, maka biaya riil dari kepemilikan modal ditulis dalam persamaan
sebagai berikut :
Biaya Riil Modal = (PK / P) (r + δ) ………………………....……...…. (26)
dimana PK/P adalah harga relatif barang modal. Tingkat keuntungan dari
kepemilikan per unit modal adalah selisih antara penerimaan (R/P) sebagai harga
sewa riil dan biaya riil (PK / P) (r + δ) dituliskan menjadi :
Keuntungan = Penerimaan – Biaya
= R/P - (PK / P) (r + δ) ……………………..….……… (27)
karena harga sewa riil sama dengan marginal product of capital (MPK), maka
tingkat keuntungan kepemilikan modal menjadi :
Keuntungan = MPK - (PK / P) (r + δ) ……….………...…….……… (28)
Perubahan dalam stock modal atau investasi bersih (net – investment)
tergantung pada perbedaan antara marginal product of capital (MPK) dengan
biaya riil modal (PK / P) (r + δ). Jika MPK lebih besar dari biaya riil modal, akan
menguntungkan jika menambah persediaan modal. Jika MPK lebih kecil dari
biaya riil modal, maka dibiarkan persediaan modal mengecil (Mankiw, 2000).
Dengan demikian dapat ditulis persamaan investasi sebagai berikut :
ΔK = In [ MPK - (PK / P) (r + δ)] ……………………..…...…………… (29)
dimana In merupakan fungsi yang menunjukan seberapa besar investasi bersih
respon terhadap insentif untuk berinvestasi. Dengan demikian investasi (I)
merupakan penjumlahan investasi bersih dan pergantian penyusutan barang modal
yang dapat ditulis pada persamaan berikut :
39
I = In [ MPK - (PK / P) (r + δ)] ……………………...…….…………… (30)
Persamaan (30) menunjukan bagaimana investasi dipengaruhi oleh tingkat
suku bunga riil r. Penurunan dalam tingkat suku bunga riil mengurangi biaya
modal, oleh karena itu memiliki modal lebih menguntungkan, demikian juga
sebaliknya. Kemudian dalam jangka panjang, marginal product of capital (MPK)
sama dengan biaya modal riil. Investasi akan menguntungkan jika nilai MPK
lebih besar dari tingkat suku bunga riil. Dengan demikian seberapa besar investor
akan menanamkan modalnya dipengaruhi juga oleh kebijakan tingkat suku bunga.
3.1.2.3. Ekspor Bersih
Pada model perekonomian terbuka (open economy), pendapatan nasional
atau output perekonomian (Y) dipengaruhi oleh ekspor bersih (net eksport) yang
merupakan selisih antara ekspor dan impor. Besarnya ekspor bersih dipengaruhi
oleh nilai tukar (exchange rate). Mengacu pada model Mundell-Fleming,
persamaan ekspor bersih dapat dituliskan pada persamaan (31), dimana NX(e)
adalah ekspor bersih yang dipengaruhi oleh nilai tukar.
GrITYCYeNX )()()( ……..…………………….……..….. (31)
3.1.3. Pengaruh Permintaan Akhir Terhadap Pertumbuhan
Berdasarkan persamaan (31), output atau pendapatan nasional dapat
dituliskan sebagai berikut :
)()()( eNXGrITYCY ........................................................... (32)
Donrbush dan Fisher (1992) menyatakan bahwa output nasional berada
pada tingka kesetimbangan (equilibrium) apabila output sama dengan permintaan
40
agregat (AD) atau ketika akumulasi modal yang direncanakan sama dengan nol,
dimana persamaan output dapat ditulis menjadi
ADY .................................................................................................. (33)
dengan memasukan persamaan (32) kedalam persamaan (33) maka didapat
persamaan output baru yaitu
)()()( eNXGrITYCYAEAD ........................................ (34)
Pada persamaan (34), dapat dijelaskan bagaimana masing-masing
komponen pembentuk output tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan output
nasional. Perubahan konsumsi rumahtangga dapat dilihat berdasarkan kemiringan
fungsi konsumsi yang disebut Marginal Propensity to Consume (MPC). MPC
merupakan besarnya perubahan konsumsi karena peningkatan disposable income
sebesar satu satuan nilai uang. Dampak perubahan konsumsi karena peningkatan
disposable income terhadap output nasional, dimana faktor lain dianggap konstan
disajikan pada Gambar 3.
AS
Δ CAD'
Y1 Y2
Gene
ral P
rice
(P)
P2
P1
AD = C + I + G + NX
Y
Sumber : Mankiw, 2000
Gambar 3. Perubahan Konsumsi Terhadap Output Nasional
41
Sementara itu, perubahan investasi terhadap pendapatan nasional dapat
digambarkan melalui kombinasi fungsi investasi dengan diagram perpotongan
Keynessian. Untuk mempermudah analisis kita asumsikan konsumsi, pengeluaran
pemerintah dan ekspor bersih dianggap konstan, sehingga dampak perubahan
investasi terhadap pendapatan nasional dapat dilihat dengan jelas.
Pada Gambar 4, dijelaskan bahwa fungsi investasi berhubungan terbalik
dengan tingkat suku bunga. Jika suku bunga menurun dari r1 ke r2 akan
meningkatkan jumlah investasi dari I1 ke I2. Peningkatan jumlah investasi ini
akan menggeser fungsi pengeluaran (AE) ke atas. Pergeseran dalam fungsi
pengeluaran ini menyebabkan tingkat pendapatan nasional meningkat dari
Y1 ke Y2. Kurva IS meringkas hubungan antara tingkat suku bunga dan
pendapatan. Kurva IS mengkombinasikan interaksi antara r dan I yang ditunjukan
oleh fungsi investasi, dan interaksi antara I dan Y yang ditunjukan dengan
perpotongan Keynessian.
E
AE2
AE1
Y1 Y2
Suku Bunga
r1 r1
r2 r2
ISI (r )
I (r1 ) I (r1) Y1 Y2Investasi
Income, Output (Y)
Income, Output (Y)
Sumber : Mankiw, 2000
Gambar 4. Hubungan Suku Bunga, Investasi dan Output Nasional
42
Pada persamaan (31) dijelaskan bahwa perubahan terhadap ekspor bersih
dipengaruhi oleh nilai tukar. Oleh karena itu, perubahan terhadap nilai tukar akan
mempengaruhi perubahan output nasional melalui perubahan ekspor bersih
dengan asumsi faktor lain dianggap konstan.
Mengacu pada model Mundell-Fleming dalam small open economy
dengan menganut floating exchange rate, terjadinya perubahan ekspor bersih
karena perubahan nilai tukar berdampak terhadap perubahan kurva IS-LM yang
selanjutnya akan merubah output nasional seperti yang terlihat pada Gambar 5.
e1
e2
IS
LM (P2)Nilai Tukar riil (e)
LM (P1)
Ouput (Y)Y1 Y2
Sumber : Mankiw, 2000
Gambar 5. Perubahan Nilai Tukar Terhadap Output Nasional
3.1.4. Pengaruh Pertumbuhan Terhadap Pendapatan dan Lapangan Kerja
Pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pengentasan
kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat merupakan variabel
makroekonomi yang selalu menjadi sasaran pembangunan. Menurut Winoto dan
43
Siregar (2005), pertumbuhan ekonomi ini dapat mendorong penciptaan lapangan
kerja dan pengurangan kemiskinan.
Pada Gambar 6 terlihat jika terjadi peningkatan salah satu variabel
permintaan akhir dan variabel yang lain dianggap tetap, maka aggregate demand
bergeser ke kanan atas yang menyebabkan pendapatan nasional meningkat dari
(Y1) ke (Y2) dan tingkat harga umum menjadi naik dari (P1) ke (P2).
AS
Δ AD AD'
Y1 Y2 Y, PDB
Gen
eral
Pric
e (P
)
AD = C + I + G + NX
P2
P1
Sumber : Donrbush dan Fisher, 1992
Gambar 6. Investasi, Pendapatan Nasional dan Harga
Kenaikan pendapatan nasional dan tingkat harga umum menyebabkan
kenaikan terhadap kesempatan kerja. Pertama jika pendapatan nasional meningkat
berarti produksi nasional meningkat. Kenaikan produksi nasional akan mendorong
penggunaan faktor produksi diseluruh perekonomian seperti tenaga kerja dan
faktor produksi lainnya. Artinya terjadinya pertumbuhan pendapatan nasional
44
akan menyerap tenaga kerja. Dengan demikian jelas pengaruh pertumbuhan
mendorong pembukaan lapangan kerja baru bagi masyarakat.
Kenaikan pendapatan nasional juga menyebabkan kenaikan tingkat harga
umum (P). Kenaikan tingkat harga umum ini menyebabkan upah riil (W/P)
di pasar tenaga kerja menjadi turun. Penurunan tingkat upah riil akan
menyebabkan permintaan terhadap tenaga kerja meningkat.
PWMPL / .......................................................................................... (35)
Perusahaan akan menggunakan tenaga kerja tambahan selama produk
marginal tenaga kerja (marginal product of labour, MPL) melebihi biaya
tambahan karena menggunakan tenaga kerja tambahan (MPL > W/P). Kemiringan
kurva MPL yang negatif mencerminkan permintaan tenaga kerja, dimana
perusahaan akan mempekerjakan tenaga kerja tambahan jika tingkat upah riil
mengalami penurunan. Secara ringkas bagaimana upah riil mempengaruhi
permintaan tenaga kerja disajikan pada Gambar 7.
Supply Tenagakerja
L1 L2 Kesempatan Kerja (L)
Upa
h Ri
il (W
/P)
W(P1)
W(P2)
MPL = Permintaan Tenagakerja
Sumber : Donrbush dan Fisher, 1992
Gambar 7. Upah Riil dan Kesempatan Kerja di Pasar Tenaga Kerja
45
3.2. Kerangka Pemikiran
Terjadinya penurunan output sektor-sektor berbasis kehutanan selama
beberapa tahun terakhir yang tercermin dari penurunan kontribusi PDB sektor
kehutanan terhadap PDB nasional. Penurunan output tersebut tentunya berdampak
terhadap perekonomian secara keseluruhan terutama terhadap penyerapan tenaga
kerja dan pendapatan masyarakat yang berkerja di sektor tersebut. Selain itu,
penurunan output pada sektor-sektor berbasis kehutanan berdampak terhadap
sektor lainnya yang terkait kuat dengan sektor tersebut. Oleh karena itu, penelitian
ini akan difokuskan pada tiga aspek yaitu menganalisis pertumbuhan dan sumber-
sumber pertumbuhan gross output sektor-sektor berbasis kehutanan yang
diklasifikasi kedalam enam sektor, menganalisis dampak perubahan output
tersebut terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumahtangga pada
berbagai golongan pendapatan serta melihat keterkaitan sektor berbasis kehutanan
dengan sektor lainnya.
Untuk menjawab ketiga hal tersebut, digunakan pendekatan model
I-O Miyazawa Tahun 2008 yang dianggap mampu menjelaskan sumber-sumber
pertumbuhan output sektor berbasis kehutanan, menguraikan secara lebih jelas
perubahan output terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat
pada berbagai kelompok pendapatan dan sektor-sektor mana yang memiliki
keterkaitan kuat (linkages) dengan sektor berbasis kehutanan.
Model I-O Miyazawa pada penelitian ini dikembangkan dari Tabel I-O
Indonesia Tahun 2008 yang didukung oleh data Survey Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas) Tahun 2008 (BPS, 2008a), Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
46
Tahun 2008 (BPS, 2008b) serta data-data statistik lainnya. Secara keseluruhan
kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 8.
Model I-O Miyazawa Tahun 2008
Output Sektor Berbasis Kehutanan Terus
Menurun
Golongan Pendapatan
Rumahtangga
Analisis Pertumbuhan Gross Output dan Sumber
Pertumbuhan
Tabel I-O Indonesia Tahun 2008 dan 2005
- Data Susenas 2008- Data Sakernas 2008- Data Statistik
Pendapatan Rendah
Pendapatan Sedang
Pendapatan Tinggi
DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAHTANGGA (KOTA+ DESA)
Penyerapan Tenagakerja
Linkages Antar Sektor
Gambar 8. Kerangka Pemikiran Penelitian
3.3. Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dalam
penelitian ini diajukan beberapa hipotesis yaitu :
1. Secara umum, sumber pertumbuhan output sektor-sektor berbasis kehutanan
berdasarkan dekomposisi struktural lebih disebabkan oleh faktor domestc
final demand, dan khusus untuk industri pulp sumber pertumbuhan output
disebabkan oleh faktor ekspor.
2. Peningkatan output sektor-sektor berbasis kehutanan berdampak terhadap
penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan rumahtangga,
47
terutama golongan rumahtangga berpendapatan rendah di wilayah
perdesaan.
3. Sektor-sektor perekonomian lain yang diduga memiliki keterkaitan kuat
terhadap sektor-sektor berbasis kehutanan antara lain sektor bangunan, jasa
perdagangan dan jasa angkutan.
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder seperti tabel I-O Indonesia
klasifikasi 175 sektor tahun 2005 dan 2008, Survey Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) tahun 2008, Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2008,
Statistik Indonesia tahun 2008 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, serta
data Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2008, Statistik Bina Produksi Kehutanan
tahun 2006-2009 yang bersumber dari Departemen Kehutanan serta data-data
hasil studi literatur lainnya yang menunjang penelitian.
4.2. Struktur Tabel Input-Output Miyazawa
Penelitian ini menggunakan model I-O Miyazawa yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1968 oleh Miyazawa dan ditulis kembali pada tahun
1976. Model ini membuat generalisasi keynesian income multipliers kedalam
bentuk matriks inter-relational income multipliers. Model I-O Miyazawa
merupakan pengembangan lebih lanjut dari model I-O Leontief. Kelebihan model
I-O Miyazawa dibanding model I-O lainnya, model ini telah memasukan
golongan pendapatan rumahtangga dalam model. Dengan demikian dapat
melakukan analisis dampak perubahan final demand suatu sektor perekonomian
terhadap pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan
rumahtangga.
Penggunaan model I-O Miyazawa di Indonesia masih sangat terbatas.
Oleh karena itu, pada penelitian ini dibangun tabel I-O Miyazawa untuk Indonesia
Tahun 2008 sebagai langkah awal untuk menjawab tujuan penelitian. Tabel I-O
49
Miyazawa pada penelitian ini diklasifikasi menjadi 30 sektor perekonomian yang
dikembangkan dari tabel I-O Indonesia Tahun 2008 ditambah institusi
rumahtangga sebagai sektor perekonomian yang diklasifikasi menjadi enam
golongan pendapatan yaitu rumahtangga kota untuk pendapatan rendah, sedang
dan tinggi serta rumahtangga desa untuk pendapatan rendah, sedang dan tinggi.
Selain itu untuk mempertajam pembahasan, sektor-sektor berbasis kehutanan yang
menjadi fokus pada penelitian ini dilakukan disagregasi menjadi lima sektor yaitu
sektor kayu dan hasil hutan lainnya, industri kayu gergajian, industri kayu lapis,
industri bubur kertas dan industri mebel dan kerajinan. Rincian sektor
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Agregasi Sektor Pada Tabel Input-Output Miyazawa Tahun 2008No. Agregasi Sektor Kelompok1 Tanaman bahan makanan Padi, jagung, ketela pohon, ubi jalar,
umbi-umbian, kacang, kedelai, kacang lainnya, sayuran, buah-buahan, padi-padian dan bahan makanan lainnya
2 Tanaman perkebunan Karet, tebu, kelapa, kelapa sawit, hasil tanaman serat, tembakau, kopi, teh, cengkeh, kakao, jambu mete, hasil perkebunan lainnya, hasil pertanian lainnya dan jasa pertanian
3 Peternakan Ternak dan hasil-hasilnya kecuali susu segar, susu segar, unggas dan hasil-hasilnya, hasil pemeliharaan hewan lainnya, daging, jeroan dan sejenisnya
4 Perikanan Ikan laut dan hasil laut lainnya, ikan darat dan hasil perairan darat, udang, jasa pertanian
5 Kayu dan hasil hutan lainnya(Kehutanan)
Kayu dan hasil hutan lainnya
6 Industri kayu gergajian Kayu gergajian dan awetan
7 Industri kayu lapis dan sejenisnya
Kayu lapis dan sejenisnya
50
Tabel 7. LanjutanNo. Agregasi Sektor Kelompok8 Industri mebel dan kerajinan Bahan bangunan dari kayu, perabot
rumahtangga dan barang terbuat dari kayu, bambu dan rotan, barang anyaman selain dari plastik
9 Industri bubur kertas Bubur kertas
10 Pertambangan dan penggalian
Minyak bumi, gas bumi dan panas bumi, Batu bara, bijih timah, nikel, bauksit, tembaga, emas, perak, biji dan pasir besi, barang tambang logam lainnya, barang tambang mineral bukan logam, garam kasar, garam galian segala jenis
11 Industri makanan Daging olahan awetan, makanan dan minuman dari susu, buah-buahan dan sayuran olahan dan awetan, ikan kering dan asin, ikan olahan dan awetan, kopra, minyak hewani dan nabati, beras, tepung terigu, tepung lainnya, roti, mie makaroni, gula biji-bijian kupasan, coklat dan kembang gula, kopi giling dan kupasan, teh olahan, hasil pengolahan kedele, makanan lainnya dan pakan ternak.
12 Industri minuman Minuman beralkohol dan tak beralkohol
13 Industri rokok Tembakau olahan dan rokok
14 Industri pemintalan Kapuk bersih, benang
15 Industri tekstil, pakaian dan kulit
Tekstil, tekstil jadi kecuali pakaian, barang rajutan, pakaian jadi, permadani dan tekstil lainnya, kulit dan olahan, barang dari kulit, alas kaki
16 Industri kertas dan barang cetakan
Kertas dan karton, barang-barang dari kertas dan karton, barang cetakan
17 Industri pupuk, kimia dan barang dari karet
Kimia dasar kecuali pupuk, pupuk, pestisida, damar sintetis bahan plastik, cat, obat-obatan, jamu, sabun, barang kosmetik, bahan kimia lainnya, karet remah dan asap, ban, barang dari karet dan plastik
18 Industri migas Barang-barang hasil kilang minyak, gas alam cair (LNG)
19 Industri semen Semen
51
Tabel 7. LanjutanNo. Agregasi Sektor Kelompok20 Industri barang mineral
bukan logamKeramik dan barang dari tanah liat, kaca, bahan bangunan dari kaca dan tanah liat, semen, barang bukan logam
21 Industri logam dasar, besi dan baja
Besi dan baja dasar, barang-barang dari besi dan baja, logam dasar bukan besi, barang dari logam bukan besi, alat dapur dari logam, perabot dari logam, bahan bangunan dari logam, barang logam lainnya
22 Industri alat angkutan, mesin, peralatan dan lainnya
Mesin penggerak mula, mesin dan perlengkapannya, mesin pembangkit dan motor listrik, mesin listrik, barang elektronika dan komunikasi, alat-alat listrik untuk rumahtangga, perlengkapan listrik lainnya, baterai dan aki, kapal dan jasa perbaikannya, kereta api, kendaraan bermotor selain sepeda motor, sepeda motor, alat angkut lainnya, pesawat terbang, alat ukur fotografi optik dan jam, barang perhiasan, alat musik dan olahraga, barang industri lainnya
23 Listrik, gas dan air bersih Listrik, gas, air bersih
24 Bangunan Bangunan tempat tinggal dan bukan, prasarana pertanian, jalan jembatan dan pelabuhan, bangunan untuk instalasi listrik gas air dan komunikasi
25 Perdagangan Jasa perdagangan
26 Restoran dan hotel Jasa perhotelan dan restoran
27 Angkutan Jasa angkutan kereta api, jalan raya, laut, danau dan sungai, udara, dan jasa penunjang angkutan
28 Komunikasi Jasa komunikasi
29 Keuangan dan jasa perusahaan
Bank, lembaga keuangan lainnya, asuransi, dana pensiun, sewa bangunan dan sewa tanah, jasa perusahaan
30 Jasa - jasa Jasa pemerintahan umum, jasa pendidikan, kesehatan dan lainnya dari pemerintah dan swasta, jasa perorangan
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009b
52
Matriks dalam tabel I-O Miyazawa pada penelitian ini terdiri dari matriks
permintaan antara, matriks permintaan akhir dan matriks input primer. Matriks
permintaan antara atau sering disebut matriks input antara merupakan transaksi
input-output antar sektor perekonomian yang terdiri dari 30 sektor perekonomian
ditambah dengan institusi rumahtangga dengan enam klasifikasi golongan
pendapatan yaitu rumahtangga golongan pendapatan rendah, sedang dan tinggi
baik di perkotaan dan perdesaan. Dimasukannya institusi rumahtangga dalam
matriks permintaan antara merupakan ciri khas model I-O Miyazawa yang
membedakannya dengan tabel input-output lainnya yaitu adanya generalisasi
keynesian income multipliers kedalam bentuk matriks inter-relational income
multipliers.
Tabel 8. Struktur Tabel Input-Output Miyazawa Tahun 2008Kolom
Baris
Sektor180 302 303 304 305 409 600
1 2 3 … 30 31 … 36
123...
30
31...
36
190
202
203
204
210
53
Keterangan :
a) Sisi baris
Baris 1 s.d 30 = sektor ekonomi sebagai penghasil/penyedia produk yang
digunakan oleh sektor lain (sektor kolom) sebagai input
antara
Baris 31 = rumahtangga kota pendapatan rendah
Baris 32 = rumahtangga kota pendapatan sedang
Baris 33 = rumahtangga kota pendapatan tinggi
Baris 34 = rumahtangga desa pendapatan rendah
Baris 35 = rumahtangga desa pendapatan sedang
Baris 36 = rumahtangga desa pendapatan tinggi
Baris 190 = jumlah input antara
Baris 202a = surplus usaha sisa
Baris 203 = penyusutan
Baris 204 = pajak tak langsung bersih
Baris 210 = jumlah input
b) Sisi kolom
Kolom 1 s.d 30 = sektor ekonomi sebagai penghasil/penyedia produk
yang digunakan oleh sektor lain (sektor kolom) sebagai
input antara
Kolom 31 = konsumsi rumahtangga kota pendapatan rendah
Kolom 32 = konsumsi rumahtangga kota pendapatan sedang
Kolom 33 = konsumsi rumahtangga kota pendapatan tinggi
Kolom 34 = konsumsi rumahtangga desa pendapatan rendah
Kolom 35 = konsumsi rumahtangga desa pendapatan sedang
Kolom 36 = konsumsi rumahtangga desa pendapatan tinggi
Kolom 180 = jumlah permintaan antara
Kolom 302 = konsumsi pemerintah
Kolom 303 = pembentukan modal tetap bruto
Kolom 304 = perubahan inventori
Kolom 305 = jumlah ekspor untuk barang dan jasa
54
Kolom 409 = jumlah impor untuk barang dan jasa
Kolom 600 = jumlah output
Matriks permintaan akhir dalam model I-O Miyazawa terdiri dari
konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan inventori dan
jumlah ekspor bersih (barang dan jasa). Adapun matriks input primer terdiri dari
surplus usaha, pajak tak langsung bersih dan penyusutan. Untuk kepentingan
analisis dan kemudahan dalam membaca tabel, maka setiap sektor diberi nomor
kode sesuai dengan klasifikasi yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik seperti
dalam tabel I-O Indonesia klasifikasi 175 sektor.
Nomor kode lain yang juga digunakan pada tabel I-O Indonesia Tahun
2008 yang menjadi data dasar dalam penyusunan tabel I-O Miyazawa diantaranya
adalah konsumsi rumahtangga (kode 301) yang ditempatkan pada kolom
permintaan akhir serta upah dan gaji (kode 201) yang ditempatkan pada kolom
input primer.
4.3. Penyusunan Tabel Input-Output Miyazawa Tahun 2008
4.3.1. Agregasi atau Disagregasi Sektor
Langkah awal yang dilakukan dalam penyusunan tabel I-O Miyazawa
adalah melakukan agregasi atau disagregasi sektor perekonomian yang didasarkan
pada tabel I-O pada tahun yang sama. Agregasi atau disagregasi sektor dilakukan
menurut kepentingan penelitian. Pada penelitian ini, dilakukan agregasi sektor
perekonomian menjadi 30 sektor yang didasarkan pada tabel I-O Indonesia Tahun
2008 sebagai tabel dasar. Namun demikian, jika tabel I-O yang dijadikan tabel
dasar pada tahun yang akan dianalisis belum tersedia, maka langkah awal yang
55
perlu dilakukan adalah menyusun tabel baru atau melakukan up-dating terhadap
tabel I-O yang sudah ada sebelumnya.
Menurut BPS (2000), berdasarkan jenis data yang tersedia maka metode
penyusunan tabel I-O dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu metode survey,
metode semi survey dan metode non-survey. Metode survey digunakan apabila
seluruh data yang diperlukan dikumpulkan secara langsung melalui survey atau
penelitian lapangan. Metode semi survey digunakan apabila sebagian data yang
diperlukan dikumpulkan secara langsung melalui survey terutama data pendukung
pembentukan matriks kuadran I. Sementara metode non-survey digunakan apabila
seluruh data yang diperlukan diperoleh dari suatu tabel I-O lain yang sudah ada.
4.3.2. Penentuan Jenis Tabel Transaksi
Jenis tabel transaksi yang digunakan dalam penyusunan tabel Input –
Output Miyazawa Tahun 2008 adalah tabel transaksi total atas dasar harga
produsen. Nilai transaksi pada tabel ini mencakup nilai dari semua transaksi
barang/jasa baik impor maupun domestik dengan menggunakan harga produsen.
Oleh karena itu, margin perdagangan dan biaya pengangkutan diperlakukan
sebagai input antara yang berasal dari sektor perdagangan dan biaya
pengangkutan.
Tabel transaksi total atas dasar harga produsen ini berperan penting dalam
melakukan analisis dengan model yang diturunkan dari tabel I-O karena transaksi
pada tabel ini benar-benar mencerminkan kegiatan ekonomi di suatu wilayah,
dalam hal ini perekonomian Indonesia, yang dinilai dengan harga dari sisi
produsen.
56
4.3.3. Penyusunan Matriks Inter-Relational Income Multipliers
Penyusunan tabel I-O Miyazawa Tahun 2008 memerlukan data–data
pendukung untuk menyusun matriks inter-relational income multipliers dalam
matriks transaksi input antara. Pada penelitian ini, matriks inter-relational income
multipliers pada sisi baris dan kolom terdiri dari baris 31 hingga baris 36. Pada
sisi baris menjelaskan pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan
pendapatan di perkotaan maupun perdesaan. Sementara itu, sisi kolom
menjelaskan konsumsi rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan
di perkotaan maupun perdesaan.
Data yang digunakan untuk menyusun matriks inter-relational income
multipliers yaitu data Susenas Tahun 2008, data Sakernas Tahun 2008 dan data
statistik lainnya yang diperoleh dari Bagian Konsolidasi Neraca Sosial Ekonomi,
Badan Pusat Statistik.
1. Penyusunan Matrik Baris
Menurut Sonis dan Hewings (2000), matriks inter-relational income
multipliers sisi baris diperoleh dari pendapatan rumahtangga sebagai balas jasa
atas faktor produksi yang dimilikinya. Pada penelitian ini, klasifikasi
penggolongan pendapatan rumahtangga rendah, sedang dan tinggi baik
di perkotaan maupun perdesaan, didasarkan pada data Upah Minimum Provinsi
(UMP) seluruh Indonesia tahun 2008 yang bersumber dari Asosiasi Pengusahan
Indonesia (Apindo, 2009) dan komposisi struktur pendapatan rumahtangga dalam
Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia Tahun 2005 (BPS, 2008c).
Data UMP yang dimaksud adalah rata-rata UMP seluruh Indonesia. Data
UMP ini digunakan untuk melakukan klasifikasi rumahtangga pendapatan rendah.
57
Pada penelitian ini diasumsikan rumahtangga pendapatan rendah baik
di perkotaan maupun di perdesaan adalah rumahtangga yang memiliki pendapatan
di bawah UMP. Berdasarkan publikasi Apindo (2009), rata-rata UMP seluruh
Indonesia tahun 2008 sebesar Rp 739 263 per bulan.
Sementara itu, data SNSE Indonesia Tahun 2005 digunakan untuk
melakukan klasifikasi rumahtangga pendapatan tinggi. Hasil perhitungan
diperoleh bahwa rumahtangga pendapatan tinggi adalah rumahtangga yang
memiliki pendapatan rata-rata di atas Rp 1 801 021 per bulan.
Adapun rumahtangga pendapatan sedang adalah rumahtangga yang
memiliki pendapatan lebih besar dari rumahtangga pendapatan rendah (di atas
UMP) dan lebih kecil dari rumahtangga pendapatan tinggi seperti yang terlihat
pada Tabel 9.
Tabel 9. Klasifikasi Rumahtangga Berdasarkan Golongan Pendapatan
Golongan Rumahtangga Pendapatan Rata-Rata (Rp / bulan)
Pendapatan Rendah < 739 263
Pendapatan Sedang 739 263 < pendapatan < 1 801 021
Pendapatan Tinggi > 1 801 021
Sumber : 1. Badan Pusat Statistik, 2008c (diolah) 2. Asosiasi Pengusaha Indonesia, 2009 (diolah)
Menurut Sonis dan Hewings (2000), pengisian sel pendapatan
rumahtangga pada sisi baris (matriks V) dilakukan dengan mengalikan proporsi
pendapatan rumahtangga dari setiap sektor dengan total pendapatan rumahtangga
menurut golongan pendapatan. Adapun proses perhitungan pendapatan
rumahtangga dari setiap sektor menurut golongan pendapatan adalah sebagai
berikut :
58
ΣSj(P) = ΣCi - ΣWj
R = ΣSj(P) / ΣSj
ΣSj(P) = R*Sj
Ij = Wj + Sj(P)
ΣSj(S) = Sj - Sj(P)
θj = Ij / ΣIj
Vj(l,m,h)(U,R) = θj*ΣI(l,m,h)(U,R)
dimana :
Ci = konsumsi rumahtangga
Wj = upah/gaji
Sj = surplus usaha
ΣSj(P) = surplus usaha parsial
ΣSj(S) = surplus usaha sisa
R = rasio surplus usaha parsial dengan surplus usaha
ΣIj = total pendapatan rumahtangga
θj = proporsi pendapatan rumahtangga
Vj(l,m,h) = pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan
l,m,h = rumahtangga pendapatan rendah, sedang, tinggi
U,R = rumahtangga perkotaan dan perdesaan
i,j = sektor ke-i dan j
2. Penyusunan Matrik Kolom
Sonis dan Hewings (2000), pengisian sel pada kolom tabel I-O Miyazawa
tahun 2008 (matriks C) dilakukan dengan mengalikan proporsi konsumsi
rumahtangga setiap sektor dengan total konsumsi rumahtangga menurut golongan
pendapatan. Pada penelitian ini, klasifikasi konsumsi rumahtangga menurut
golongan pendapatan didasarkan pada komposisi pengeluaran konsumsi
rumahtangga dalam Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia Tahun
2005 (BPS, 2008c).
59
Hasil perhitungan diperoleh informasi bahwa untuk wilayah perdesaan,
konsumsi rata-rata rumahtangga pendapatan rendah sebesar Rp 517 969 per bulan
dan rumahtangga pendapatan tinggi sebesar Rp 1 104 674 per bulan. Sedangkan
konsumsi rumahtangga pendapatan sedang adalah rumahtangga yang tingkat
konsumsinya lebih besar dari konsumsi rumahtangga pendapatan rendah dan lebih
kecil dari konsumsi rumahtangga pendapatan tinggi.
Sementara itu untuk wilayah perkotaan, konsumsi rata-rata rumahtangga
pendapatan rendah sebesar Rp 818 686 per bulan dan rumahtangga pendapatan
tinggi sebesar Rp 1 558 333 per bulan. Sedangkan konsumsi rumahtangga
pendapatan sedang adalah rumahtangga yang tingkat konsumsinya lebih besar dari
konsumsi rumahtangga pendapatan rendah dan lebih kecil dari konsumsi
rumahtangga pendapatan tinggi.
Klasifikasi konsumsi atau pengeluaran rumahtangga pada berbagai
golongan pendapatan rumahtangga pendapatan rendah, sedang dan tinggi baik
di wilayah perkotaan maupun wilayah perdesaan secara lengkap disajikan pada
Tabel 10.
Tabel 10. Klasifikasi Konsumsi Rumahtangga Berdasarkan Golongan Pendapatan
Golongan Rumahtangga Konsumi Rata-Rata (Rp / bulan)
Desa
Pendapatan Rendah < 517 969
Pendapatan Sedang 517 969 < konsumsi < 1 104 674
Pendapatan Tinggi > 1 104 674
Kota
Pendapatan Rendah < 818 686
Pendapatan Sedang 818 686 < konsumsi < 1 558 333
Pendapatan Tinggi > 1 558 333
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2008c (diolah)
60
Proses perhitungan besarnya konsumsi rumahtangga tiap sektor menurut
golongan pendapatan adalah sebagai berikut :
ήi = Ci / ΣCi
Ci (U,R) (l,m,h) = ήi * ΣC (U,R) (l,m,h)
dimana :
ήi = proporsi konsumsi rumahtangga
Ci = konsumsi rumahtangga
ΣC = total konsumsi pada berbagai golongan pendapatan
i = sektor ke-i
l,m,h = rumahtangga pendapatan rendah, sedang, tinggi
U,R = rumahtangga perkotaan dan perdesaan
4.3.4. Rekonsiliasi Data
Tahap rekonsiliasi data dilakukan dalam rangka penyesuaian data dalam
penyusunan tabel I-O Miyazawa. Rekonsiliasi data terutama untuk memeriksa
konsistensi antar sel. Selain itu keseimbangan input-output juga menjadi hal
penting yang dilakukan dalam proses rekonsiliasi data.
Penyusunan Tabel I-O /Up-dating
Agregasi/Disagregasi Sektor
Tidak
Ya
Ketersediaan Tabel Dasar
Tabel I-O 2008
Penyusunan Matriks Inter-Relational Income
Multipliers
Konsistensi Data
Tabel I-O Miyazawa 2008
- Susenas 2008- Sakernas 2008- Data statistik lain
Ya
Tidak
Gambar 9. Proses Penyusunan Tabel Input-Output Miyazawa Tahun 2008
61
4.4. Analisis Data
4.4.1. Analisis Pertumbuhan Struktural
Pada penelitian ini analisis terhadap faktor-faktor pertumbuhan gross
output berdasarkan sistem I-O difokuskan untuk menganalisis perkembangan dan
sumber-sumber pertumbuhan gross output sektor berbasis kehutanan di Indonesia.
Analisis pertumbuhan gross output didasarkan pada perubahan gross output tahun
dasar (I-O tahun 2005) dengan tahun analisis (I-O tahun 2008).
West (1993) menyatakan bahwa dalam tabel I-O, total output merupakan
penjumlahan antara permintaan antara (intermediate input), permintaan akhir
domestik (domestic final demand), ekspor minus impor. Secara matematik dapat
dituliskan sebagai berikut :
iiiii IMEFdAXX …..……...………………..…………..… (36)
dimana :
Xi = total output sektor i
A = matriks koefisien input – output
Fdi = permintaan akhir domestik sektor i
Ei = ekspor sektor i
IMi = impor sektor i
Perubahan gross output (ΔX) merupakan selisih antara Xt dan X0, dimana
(t) menunjukan tahun dasar (tahun 2005) dan (0) menunjukan tahun proyeksi
(tahun 2008). Dengan demikian perubahan gross output disebabakan oleh empat
komponen penting yaitu expansion of domestic final demand (FD), exsport
expansion (EE), import substitution (IS) dan technological change (IO).
Zuhdi (1999), jika impor diasumsikan dalam fungsi permintaan total,
maka persamaan impor dapat dituliskan menjadi :
62
)( EFdAXmIM atau
))(1( EFAXIM ………………….…...………..……………(37)
dimana :
μ = 1- m = rasio penawaran domestik terhadap produksi total
m = IM/D = koefisien impor
D = permintaan total
IM = impor
Dengan demikian formulasi untuk variabel output (X) dapat dituliskan
menjadi :
EfAXX ………………………………………..………... (38)
dimana :
μ = rasio penawaran domestik terhadap produksi total
A = matriks koefisien input - output
X = total output
Fd = permintaan akhir domestik
E = ekspor
Menurut pendekatan ini matriks input-output domestik (A = μ A) adalah
matriks yang relevan, sehingga bentuk persamaan keseimbangan adalah :
EFdAXX …………..………...…………………………… (39)
))(( EFdAIX …………..……………………………………(40)
Selanjutnya untuk menguraikan sumber – sumber pertumbuhan output dari
satu waktu ke waktu lainnya, digunakan bentuk umum persamaan dekomposisi
pertumbuhan output yang dituliskan sebagai berikut :
01101111 )( AXFdAXEFdX ……...…..….(41)
])()()[( 01011 XAFdAXEFdX ….....…..…… (42)
63
dimana :
Δ = perubahan nilai dari variabel dan parameter
X = total output
α1 = (I – A)-11 = invers matriks identitas dikurangi matriks koefisien
input-output domestik tahun proyeksi
μ1 = matriks rasio penawaran domestik terhadap permintaan total
tahun proyeksi
Fd = permintaan akhir domestik
E = ekspor
4.4.2. Analisis Dampak
Sonis dan Hewings (2000), analisis dampak (impact analysis) pada model
I-O Miyazawa dapat digunakan untuk mengukur besarnya dampak peningkatan
output suatu sektor, dalam hal ini sektor-sektor berbasis kehutanan, terhadap
distribusi pendapatan rumahtangga. Pada model I-O Miyazawa, pendapatan
rumahtangga pada berbagai kelompok pendapatan dimasukan dalam matriks
kuadran I (matriks M) atau matriks A pada Tabel I-O Leontief.
Analisis dampak pada penelitian ini digunakan untuk melihat besarnya
dampak perubahan output sektor berbasis kehutanan terhadap distribusi
pendapatan rumahtangga dengan menggunakan matriks Miyazawa (M) dan
penciptaan lapangan kerja dengan menggunakan matriks Leontief (A). Miller dan
Blair (1985), persamaan analisis dampak secara umum dituliskan sebagai berikut :
iiji FX dimana :
ΔX = perubahan pendapatan rumahtangga menurut golongan
pendapatan atau perubahan lapangan kerja
αij = matriks kebalikan leontief (I-A)-1atau matriks kebalikan leontief
untuk matriks Miyazawa (I-M)-1
64
ΔF = perubahan output karena perubahan permintaan akhir
i = sektor berbasis kehutanan
4.4.3. Analisis Keterkaitan Antar Sektor
Analisis keterkaitan merupakan analisis untuk melihat sejauhmana suatu
sektor perekonomian, dalam hal ini sektor berbasis kehutanan, mampu mendorong
pertumbuhan sektor hulu maupun sektor hilirnya. Analisis keterkaitan juga
mengindikasikan apakah sektor berbasis kehutanan dapat menjadi sektor kunci
dalam perekonomian nasional atau tidak. Analisis keterkaitan pada penelitian ini
menggunakan Tabel I-O Indonesia tahun 2008.
Analisis indeks keterkaitan mulanya dikembangkan oleh Rasmussen
(1956) dan Hirschman (1958) untuk melihat keterkaitan antar sektor, terutama
untuk menentukan strategi kebijakan pembangunan. Konsep ini kemudian
diperbaiki oleh Cella (1984) dan diterapkan oleh Clements dan Rossi (1991).
Dikenal dua jenis keterkaitan yaitu keterkaitan ke belakang (backward linkages)
dan keterkaitan ke depan (forward linkages).
Keterkaitan ke belakang mencerminkan kemampuan suatu sektor untuk
meningkatkan pertumbuhan sektor hulunya. Sektor j dikatakan mempunyai
keterkaitan ke belakang yang tinggi apabila BLj mempunyai nilai lebih besar dari
satu. Rumus yang digunakan untuk mencari nilai indeks total keterkaitan
ke belakang adalah :
BLj =
n
i
n
j
ij
n
i
ijn
1 1
1
dimana: BLj = indeks total keterkaitan ke belakang sektor j
αij = matriks kebalikan leontief
65
Keterkaitan ke depan merupakan kemampuan suatu sektor untuk
mendorong pertumbuhan produksi sektor-sektor lain yang memakai input dari
sektor tersebut. Sektor i dikatakan mempunyai indeks total keterkaitan ke depan
yang tinggi apabila nilai FLi lebih besar dari satu. Secara matematis dapat
dirumuskan sebagai berikut :
FLi =
n
i
n
j
ij
n
j
ijn
1 1
1
dimana:
FLi = indeks total keterkaitan ke depan sektor i
αij = matriks kebalikan leontief
Tabel I-O Indonesia Tahun 2008 merupakan bentuk model I-O sisi
permintaan (demand driven model) yang mengasumsikan perekonomian tumbuh
apabila ada peningkatan final demand sebagai exogenous factor. Sementara model
I-O sisi penawaran (supply side model) diasumsikan perekonomian dimungkinkan
dapat tumbuh bukan oleh final demand tetapi karena adanya perubahan biaya
input primer sebagai exogenous factor.
Terkait dengan perhitungan keterkaitan sektor, menurut West (1993)
menyatakan bahwa keterkaitan ke belakang (backward linkage) dalam model I-O
sisi permintaan merupakan forward linkage dalam model model I-O sisi
penawaran.
V. ANALISIS PERTUMBUHAN GROSS OUTPUT
SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN
5.1. Profil Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia
Sektor berbasis kehutanan adalah sektor yang outputnya terdiri dari kayu,
hasil hutan non kayu, dan kayu olahan. Berdasarkan klasifikasi sektor dalam tabel
I-O Indonesia, sektor berbasis kehutanan terdiri dari sektor kayu dan hasil hutan
lainnya (kehutanan) dan sektor industri kayu yang dirinci menjadi industri kayu
gergajian, industri kayu lapis, industri pulp dan industri barang yang terbuat dari
kayu, bambu dan rotan atau disebut sebagai industri mebel dan kerajinan. Sektor-
sektor tersebut memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.
Adapun perkembangan secara umum masing-masing sektor diuraikan berikut ini.
5.1.1. Profil Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan)
Peran sektor kayu dan hasil hutan lainnya atau sektor kehutanan pada
dekade 1980-an merupakan sektor strategis dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional saat itu yang masih bertumpu pada sumberdaya alam,
khususnya kayu dan produk turunannya dalam menghasilkan devisa. Namun
demikian, saat ini kondisi sumberdaya hutan Indonesia berada dalam kondisi yang
kritis akibat eksploitasi yang berlebihan tanpa memperhitungkan aspek kelestarian
dan lingkungan.
Selama ini pemanfaatan hutan khususnya kayu dilakukan dengan cara
menebang besar-besaran di hutan alam yang ketersediaannya semakin menipis.
Oleh karena itu, esensi pembangunan kehutanan ke depan yaitu mengoptimalkan
pengelolaan hutan yang masih tersisa melalui pengelolaan hutan lestari. Dengan
67
pengelolaan ini diharapkan kontribusi sektor kehutanan dapat lebih berperan
dalam pembangunan ekonomi nasional ke depan khususnya dalam kontribusinya
terhadap PDB nasional yang selama satu dekade terakhir terus menurun,
penyerapan tenaga kerja, mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pendapatan
masyarakat dan dalam jangka panjang sektor kehutanan diharapkan dapat kembali
menyumbangkan perolehan devisa dan penerimaan negara lainnya secara lebih
signifikan.
Dalam revitalisasi sektor kehutanan yang tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004 - 2009 disebutkan
bahwa salah satu kebijakan prioritas pembangunan sektor kehutanan adalah
mendorong investasi yang difokuskan pada pembangunan Hutan Tanaman
Industri (HTI) karena luasan hutan pada hutan alam semakin menipis. Menurut
Departemen Kehutanan (2009a), areal pengusaan hutan pada hutan alam hingga
tahun 2008 sebagian besar tersebar di pulau Kalimantan sekitar 12.2 juta hektar
dari total 26.2 juta hektar dan paling sedikit tersebar di pulau Maluku sekitar 1.5
juta hektar.
Pengembangan HTI dilatarbelakangi oleh kondisi kesenjangan antara
kapasitas industri perkayuan dengan pasokan bahan baku kayu yang pada waktu
itu hanya mengandalkan dari kayu hutan alam. Jenis tanaman HTI yang
dibudidayakan pada umumnya jenis kayu cepat tumbuh seperti akasia, sengon,
eucaliptus, gmelina dan lainnya. Pada saat itu pembangunan HTI ditargetkan
seluas 6 juta hektar, dengan perkiraan pada waktu panen akan mampu mendukung
kebutuhan industri bersama-sama kayu dari hutan alam.
68
Pembangunan investasi HTI sendiri dimulai sejak tahun 1990. Pada
mulanya, pembangunan HTI diarahkan pada areal hutan yang tidak produktif
dengan kriteria potensi pohon berdiameter 50 cm kurang dari 20 m3 per hektar.
Kemudian berkembang berdasarkan jumlah ketersediaan pohon serta anakan
dengan jumlah tertentu. Sejak tahun 2000 pemerintah hanya mengeluarkan ijin
HTI di dalam kawasan hutan produksi pada areal-areal non hutan (tanah kosong,
alang-alang, semak belukar) sehingga pada areal-areal tersebut tentunya tidak
akan diterbitkan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang selama ini seringkali dicurigai
sebagai motivasi utama dari investor yang berinvestasi dalam usaha hutan
tanaman. Kebijakan tersebut sekaligus merupakan komitmen untuk mulai
mengkonservasi dan memelihara sisa hutan alam di Indonesia.
Kebijakan pemberian ijin HTI atau Usaha Hutan Tanaman hanya pada
areal non hutan di dalam kawasan hutan produksi ditetapkan melalui Keputusan
Menteri Kehutanan No. 10.1/Kpts-II/2000 tanggal 6 November 2000 tentang
Pedoman Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman
(IUPHHK-HT). Istilah tersebut mengacu kepada UU 41/1999 tentang Kehutanan,
menggantikan istilah Hutan Tanaman Industri (HTI).
Pada perkembangannya, investasi pada IUPHHK-HT belum optimal
dilakukan dan realisasinya masih jauh dari yang diharapkan. Sampai dengan
pertengahan tahun 2001, tanaman yang terealisasi pada areal Usaha Hutan
Tanaman seluas 1.9 juta hektar (tidak termasuk hutan tanaman yang
dikembangkan Perum Perhutani di Jawa, hutan tanaman unggulan yang
dikembangkan secara swakelola oleh Dinas-Dinas Kehutanan di Indonesia, serta
hutan rakyat yang dikembangkan pada lahan milik masyarakat). Sedangkan
69
jumlah ijin yang telah diberikan secara definitif sebanyak 104 unit, terdiri dari 21
unit HTI pulp, 32 unit HTI pertukangan dan 51 unit HTI-Trans. Kemudian sampai
dengan tahun 2006, pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) mencapai
sekitar 3 juta hektar dan pada akhir tahun 2007 mencapai 3.57 juta hektar. Angka
ini baru mencapai separuh dari yang ditargetkan oleh Departemen Kehutanan
yaitu sekitar 5 juta hektar (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2009).
Menurut Departemen Kehutanan (2009), sampai dengan bulan Desember
2008 perusahaan IUPHHK-HT sebanyak 227 unit perusahaan dengan total areal
kerja seluas 10.04 juta hektar. Pada tahun 2008 realisasi tanaman pada HTI seluas
4.31 juta hektar.
Hingga saat ini, pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan terus
mendorong pengembangan investasi di Hutan Tanaman Industri untuk mendorong
pembangunan industri kayu olahan yang mengalami kekurangan pasokan kayu
bulat yang selama ini masih mengandalkan dari hutan alam yang persediaannya
semakin menipis. Adanya investasi ini juga diharapkan dapat meningkatkan peran
sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional ke depan.
5.1.2. Profil Sektor Industri Kayu Gergajian
Kondisi industri kayu gergajian (sawn timber) di Indonesia umumnya
merupakan industri kecil dan menengah yang memiliki kapasitas terpasang
di bawah 6 000 m3. Menurut Departemen Kehutanan (2007b), hampir 90 persen
anggota Indonesia Sawmill and Woodworking Association (ISWA) merupakan
perusahaan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan tidak mempunyai HPH. Jumlah
perusahaan terdaftar dan berorientasi ekspor yang aktif dari tahun ke tahun terus
70
menurun. Negara tujuan utama ekspor kayu gergajian adalah Jepang dan China,
sedangkan ekspor ke negara-negara eropa volumenya sangat kecil.
Produksi kayu gergajian sejak tahun 1990an mengalami kecenderungan
yang terus menurun. Pada tahun 1996, produksi kayu gergajian sebesar 3.56 juta
m3 menurun tajam pada tahun 2001 menjadi sebesar 674 ribu m3 dan pada tahun
2008 hanya sebesar 530 ribu m3. Menurunnya produksi setiap tahunnya, maka
sebagian besar output yang dihasilkan digunakan untuk pemenuhan konsumsi
dalam negeri.
-
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
3,500,000
4,000,000
Prod
uksi
(M3
)
Sumber : Departemen Kehutanan, 2006b, 2007c, 2008b dan 2009b
Gambar 10. Produksi Kayu Gergajian Indonesia Tahun 1996 - 2008
5.1.3. Profil Sektor Industri Kayu Lapis
Industri kayu lapis (Plywood) merupakan salah satu industri kehutanan
yang menjadi sumber penghasil devisa utama dan industri ini berkembang pesat
di Indonesia sejak hutan dimanfaatkan secara komersial pada tahun 1970-an.
Indonesia hingga saat ini merupakan produsen kayu lapis terbesar di dunia.
Namun demikian, perkembangan industri kayu lapis Indonesia akhir-akhir ini
71
terus mengalami penurunan, bahkan disinyalir industri kayu lapis telah mengalami
“sunset industries”. Kondisi ini disebabkan oleh menurunnya pangsa ekpsor kayu
lapis Indonesia di pasar internasional karena rendahnya daya saing yang
diakibatkan oleh ketidakpastian pasokan bahan baku kayu bulat yang semakin
langka dan ketidakefisienan produksi akibat mesin-mesin yang sudah tua.
Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) mencatat bahwa jumlah
perusahaan kayu lapis hingga saat ini kurang dari 130 perusahaan dan yang aktif
hanya berjumlah 68 perusahaan dengan kapasitas produksi 6.1 juta m3 /tahun
dimana hanya 19 unit yang berproduksi normal (1.54 juta m3 /tahun).
Sementara itu, dilihat dari sisi produksi, sejak tahun 1996 hingga 1998
produksi kayu lapis Indonesia terus mengalami penurunan. Pada tahun 1996,
produksi kayu lapis mencapai 10.2 juta m3 dan terus mengalami penurunan setiap
tahunnya dan mencapai puncaknya pada tahun 2002 yaitu menjadi 1.69 juta m3,
dan pada tahun 2008 produksi kayu lapis sebesar 3.35 juta m3.
-
2,000,000
4,000,000
6,000,000
8,000,000
10,000,000
12,000,000
Prod
uksi
(M3
)
Sumber : Departemen Kehutanan, 2006b, 2007c, 2008b dan 2009b
Gambar 11. Produksi Kayu Lapis Indonesia Tahun 1996 - 2008
72
5.1.4. Profil Sektor Industri Pulp
Sektor industri pulp mendapat perhatian cukup besar dari pemerintah,
karena keberadaannya amat terkait dengan sumber bahan baku kayu yang berasal
dari hutan alam. Industri pulp merupakan salah satu industri kehutanan yang terus
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Produksi pulp sejak tahun 2000 –
2008 rata-rata sebesar 4.9 juta ton. Besarnya produksi pulp ini disebabkan
kapasitas terpasang industri pulp yang terus meningkat yaitu dari 0.5 juta ton pada
tahun 1987 meningkat menjadi 5.2 juta ton pada tahun 2000 dan pada tahun 2008
mencapai 6.4 juta ton. Pemenuhan bahan baku industri pulp bersumber dari HTI
dan hutan alam. Ketidakseimbangan ketersediaan bahan baku kayu dengan
kapasitas terpasang industri pulp yang besar merupakan masalah utama dalam
perkembangan industri pulp di Indonesia saat ini.
0
1000000
2000000
3000000
4000000
5000000
6000000
1996 1998 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2008
Prod
uksi
(ton
)
Sumber : 1. Departemen Kehutanan, 2009a 2. Indonesia Pulp and Paper Association, 2005
Gambar 12. Produksi Pulp Indonesia Tahun 1996 - 2008
Berdasarkan data statistik kehutanan 2007, tercatat ada 13 pabrik dengan
total kapasitas terpasang 6.5 juta ton dimana 86 persen dari kapasitas terpasang
73
tersebut berlokasi di Sumatera, khususnya Riau. Sementara itu, 53 persen dari
pabrik pulp dan kertas merupakan perusahaan swasta PMA (Private Company
Foreign Investments). Berkembangnya industri pulp di Indonesia ini menjadikan
Indonesia sebagai pemain utama pulp dunia bersama-sama dengan China dan
Brazil.
5.1.5. Profil Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan
Industri mebel dan kerajinan kayu-rotan sebagian besar didominasi oleh
usaha kecil menengah dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan
industri-industri besar. Sentra-sentra produksi mebel dan kerajinan terutama di
Pulau Jawa seperti Semarang, Jepara, Solo, Yogyakarta, Surabaya dan Cirebon.
Badan Pusat Statistik (2009a) mencatat bahwa nilai ekspor mebel dan
kerajinan dari kayu bambu dan rotan pada tahun 2003 sebesar US$ 1.53 milyar,
meningkat menjadi US$ 1.74 milyar pada tahun 2005 dan pada tahun 2008
mengalami penurunan menjadi sebesar US$ 1.46 milyar. Asosiasi Mebel
Indonesia (ASMINDO, 2008) menyatakan bahwa penurunan ekspor ini
disebabkan karena menurunnya permintaan negara-negara importir mebel asal
Indonesia seperti Amerika Serikat dan Eropa.
Menurut Departemen Kehutanan (2007b), sumber bahan baku industri
mebel dan kerajinan sebagian besar berbahan baku kayu dan/atau rotan.
Sementara itu, produksi mebel dan kerajinan sebagian besar untuk memenuhi
permintaan domestik disamping untuk memenuhi permintaan ekspor terutama ke
beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan sejumlah negara-negara
Eropa seperti Inggris, Belanda dan Perancis.
74
5.2. Pertumbuhan Struktural Sektor Berbasis Kehutanan
Analisis terhadap gross output sektor-sektor berbasis kehutanan akan
memberikan informasi sumber-sumber yang menjadi pendorong pertumbuhan
sektor tersebut. Adapun trend waktu yang digunakan untuk mengamati perubahan
struktur adalah tahun 2005 dan tahun 2008, dimana tahun 2005 dijadikan sebagai
tahun awal sedangkan tahun 2008 merupakan tahun akhir. Selisih nilai output
diantara kedua waktu tersebut didekomposisi ke dalam empat faktor penyebab
perubahan yakni : (1) Domestic Final Demands (DD), (2) Exsport Expansions
(EE), (3) Import Substitutions (IS), dan (4) Changes in Input-Output Coefficients
atau Technological Change (IO). Penyajian pertumbuhan struktural menggunakan
perhitungan rata-rata proporsi dari masing-masing faktor pertumbuhan terhadap
nilai total perubahan.
5.2.1. Pertumbuhan Struktural Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya(Kehutanan)
Hasil analisis menunjukkan bahwa sumber pertumbuhan sektor kayu dan
hasil hutan lainnya atau sektor kehutanan dalam kurun waktu 2005 – 2008
disebabkan oleh adanya dorongan domestic demand (DD) seperti yang terlihat
pada Gambar 13. Kontribusi domestic demand terhadap pertumbuhan gross output
sektor kehutanan sekitar 60.3 persen. Besarnya domestic demand disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain; pertama meningkatnya permintaan produk kayu bulat
untuk pasokan bahan baku industri kayu dalam negeri, bahkan terjadi kesenjangan
antara permintaan dengan pasokan kayu bulat untuk industri kayu dalam negeri.
Menurut Departemen Kehutanan (2007b), kesenjangan antara permintaan dengan
pasokan kayu bulat untuk industri perkayuan dalam negeri sekitar 42 juta m3.
75
Adanya kesenjangan ini menimbulkan maraknya praktek illegal logging untuk
memenuhi kebutuhan pasokan kayu bulat bagi industri perkayuan di dalam negeri.
Faktor kedua yang menyebabkan besarnya domestic demand dideterminasi oleh
meningkatnya jumlah penduduk sehingga mendorong permintaan terhadap papan
menjadi terus meningkat. Faktor lainnya adalah adanya larangan ekspor kayu
bulat oleh pemerintah sejak tahun 1985 yang menyebabkan kayu bulat sebagai
output utama sektor kehutanan praktis hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri.
-100
10203040506070
DD
EE
IS
IO
Gambar 13. Radar Chart Sumber - Sumber Pertumbuhan Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Tahun 2005 – 2008
Faktor pendorong pertumbuhan sektor kehutanan lainnya adalah
perkembangan teknologi yang memberikan kontribusi terhadap penciptaan
perubahan nilai output sektor kehutanan sebesar 39.2 persen. Kegiatan di sektor
kehutanan adalah kegiatan penanaman dan penebangan yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan besar pemegang konsesi hak pengusahaan hutan.
Teknologi yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut telah
76
berkembang, sehingga output yang dihasilkan khusunya kayu bulat menjadi lebih
besar.
Sementara itu, faktor impor hanya berkontribusi kecil sekitar 2.6 persen
atau kurang berpengaruh terhadap pertumbuhan gross output sektor kehutanan
selama periode 2005 – 2008. Impor dilakukan hanya untuk menutupi kekurangan
pasokan kayu bulat untuk industri kayu yang silit diperoleh dari dalam negeri.
Disamping impor, faktor exsport expansion juga kurang memberikan kontribusi
terhadap pertumbuhan gross output sektor kehutanan, bahkan terjadi perubahan
ekspor yang negatif dari tahun 2005 ke tahun 2008.
5.2.2. Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Kayu Gergajian
Sama halnya dengan sektor kehutanan, sumber pertumbuhan gross output
industri kayu gergajian selama periode 2005 – 2008 disebabkan oleh faktor
domestic demand sekitar 56.5 persen seperti yang terlihat pada Gambar 14.
Besarnya domestic demand disebabkan karena sebagian besar industri kayu
gergajian merupakan golongan industri kecil dan menengah yang memiliki
kapasitas terpasang di bawah 6 000 m3. Skala produksi yang kecil menyebabkan
sebagian besar hasil produksi dialokasikan untuk pemenuhan konsumsi dalam
negeri.
Faktor lainnya yang mendorong besarnya permintaan dalam negeri adalah
bertambahnya jumlah penduduk. Jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar
menyebabkan meningkatnya kebutuhan terhadap papan serta berkembangnya
sektor properti dalam negeri yang turut mendorong meningkatnya permintaan
output kayu gergajian.
77
-10.00.0
10.020.030.040.050.060.0
DD
EE
IS
IO
Gambar 14. Radar Chart Sumber - Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Kayu Gergajian Tahun 2005 – 2008
Sumber pertumbuhan gross output lainnya pada industri kayu gergajian
adalah technological change dan import substitution. Perubahan teknologi
terutama pada industri kayu gergajian skala menengah meskipun sebagian besar
pada industri kayu gergajian masih menggunakan mesin-mesin yang sudah tua
(Departemen Kehutanan, 2007b). Selanjutnya dorongan impor terhadap kayu
gergajian disebabkan faktor harga produk kayu gergajian impor terutama yang
berasal dari China yang jauh lebih murah dibandingkan kayu gergajian dalam
negeri.
Sementara itu, faktor ekspor justru memberikan kontribusi negatif
terhadap pertumbuhan gross output industri kayu gergajian selama periode 2005 –
2008. Faktor tersebut disebabkan oleh beberapa hal diantaranya rendahnya daya
saing produk kayu gergajian dalam negeri di pasar internasional karena kualitas
dan harga yang tidak mampu bersaing dengan produk-produk negara kompetitor
seperti China, Brazil dan negara Amerika Latin lainnya. Adanya brand image
yang negatif terhadap maraknya illegal logging di Indonesia turut berdampak
terhadap ekspor produk kayu gergajian Indonesia di pasar internasional.
78
5.2.3. Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Kayu Lapis
Hasil analisis menunjukan bahwa sumber pertumbuhan utama gross output
industri kayu lapis selama periode 2005-2008 sebagian besar disebabkan oleh
faktor domestic demand. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perkembangan
industri kayu lapis Indonesia akhir-akhir ini terus mengalami penurunan karena
daya saing di pasar ekspor yang terus menurun. Akibatnya produksi banyak
di jual di pasar domestik.
0.010.020.030.040.050.060.0
DD
EE
IS
IO
Gambar 15. Radar Chart Sumber - Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Kayu Lapis Tahun 2005 – 2008
Exsport exspansion hanya berkontribusi kecil (7.4 persen) terhadap
pertumbuhan gross output sektor industri kayu lapis selama periode 2005-2008.
Kayu lapis merupakan salah satu komoditas andalan ekspor industri kehutanan
selama ini, namun rendahnya daya saing dalam beberapa tahun terakhir
menyebabkan ekspor kayu lapis terus menurun. Menurut kajian Institut Pertanian
Bogor (2007), menurunnya daya saing kayu lapis Indonesia disebabkan oleh
langkanya pasokan bahan baku berkualitas tinggi dan hadirnya negara – negara
79
produsen kayu lapis dunia seperti Malaysia. Tidak adanya kepastian pasokan
bahan baku selama ini menjadi hambatan pemenuhan permintaan pasar ekspor
kayu lapis, akibatnya berdampak terhadap beralihnya konsumen luar negeri
ke negara-negara lain.
Dibubarkannya Badan Pemasaran Bersama (Joint Market Bodies)-
APKINDO dalam butir kesepakatan atau Letter of Intent (LoI) antara pemerintah
Indonesia dengan Badan Moneter Internasional (IMF) saat krisis ekonomi pada
tahun 1998, turut menjadi pemicu turunnya daya saing produk kayu lapis
Indonesia. Dibubarkannya Badan Pemasaran Bersama tersebut, posisi tawar kayu
lapis Indonesia menjadi lemah dan tidak adanya pengendalian produksi dan harga.
Sementara itu, faktor import substitution dan technological change
menjadi faktor penting dalam pertumbuhan gross output industri kayu lapis
nasional. Kurangnya pasokan bahan baku untuk memproduksi kayu lapis, maka
pemenuhan kebutuhan kayu lapis dalam negeri harus dipenuhi melalui impor dari
negara lain seperti China, Malaysia dan Jepang. Faktor teknologi turut mendorong
terjadinya produktifitas, sehingga mendorong pertumbuhan output kayu lapis.
Departemen Kehutanan (2007b) menyebutkan bahwa perusahaan yang bergerak
di sektor industri kayu lapis umumnya adalah perusahaan berskala besar yang
sudah menggunakan teknologi modern, meskipun banyak industri yang masih
menggunakan mesin-mesin yang sudah tua.
5.2.4. Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Pulp
Sektor industri kehutanan mendapat perhatian cukup besar dalam
pembangunan ekonomi nasional, karena dapat berperan sebagai dinamisator yang
akan membawa sektor perekonomian pada tingkat laju pertumbuhan yang lebih
80
tinggi. Diantara berbagai jenis industri kehutanan yang ada, industri pulp
merupakan salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi nasional terutama sebagai
penghasil devisa. Hasil analisis pertumbuhan struktural diperoleh informasi
bahwa faktor exsport expansion merupakan faktor utama pendorong pertumbuhan
gross output industri pulp selama periode 2005 – 2008 seperti yang terlihat pada
Gambar 16. Exsport expansion memberikan kontribusi sekitar 35.4 persen
terhadap pertumbuhan gross output industri pulp.
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0DD
EE
IS
IO
Gambar 16. Radar Chart Sumber - Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Pulp Tahun 2005 – 2008
Pada tahun 2008, pulp merupakan penyumbang ekspor terbesar di sektor
industri kehutanan menggeser kayu lapis yang selama ini memiliki kontribusi
terbesar terhadap ekspor industri kehutanan. Ekspor pulp pada tahun 2005 sebesar
US$ 934 juta meningkat menjadi US$ 1 065 juta tahun 2007 dan menjadi US$ 1
425 juta pada tahun 2008 (Badan Pusat Statistik, 2009a).
Besarnya kapasitas terpasang menjadikan Indonesia sebagai produsen
utama pulp dunia. Menurut Departemen Kehutanan (2007b), sekitar 73 persen
dari pertumbuhan kapasitas industri pulp dunia merupakan kontribusi dari tiga
81
negara saja yaitu Brazil, Indonesia dan China. Kondisi ini menggambarkan bahwa
faktor teknologi berperan penting dalam pertumbuhan output sektor industri pulp
di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan kontribusi technological change
terhadap pertumbuhan output pulp sebesar 29.1 persen.
Faktor lain yang menjadi sumber pertumbuhan gross output industri pulp
adalah domestic demand dan import substitution yang masing-masing
berkontribusi sebesar 21.8 persen dan 13.7 persen. Permintaan pulp dalam negeri
dan pengadaan impor pulp sebagian besar untuk memenuhi konsumsi industri
kertas. Impor disebabkan kurangnya pasokan pulp dari industri pulp dalam negeri
untuk industri kertas. Sejak tahun 2005 – 2008, rata-rata impor pulp Indonesia
sebesar US$ 500 juta. Impor pulp sebagian besar berasal dari Kanada, Brazil,
Afrika Selatan dan Jepang (Departemen Kehutanan, 2008c).
5.2.5. Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan
Hasil analisis pertumbuhan struktural terhadap industri mebel dan
kerajinan menunjukkan sekitar 89.3 persen pertumbuhan output sektor ini
dideterminasi oleh faktor domestic demand seperti yang terlihat pada Gambar 17.
Hal ini disebabkan karena skala usaha industri mebel dan kerajinan sebagian besar
merupakan usaha kecil menengah yaitu dengan kapasitas produksi di bawah 6 000
m3 dimana sebagian besar pemasaran produknya berorientasi pasar dalam negeri..
Industri ini berkembang pesat terutama di Pulau Jawa yaitu antara lain
Jepara, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Cirebon dan kota-kota lainnya.
Industri mebel dan kerajinan ini telah lama dikenal di Indonesia dan merupakan
usaha turun temurun.
82
-20.00.0
20.040.060.080.0
100.0DD
EE
IS
IO
Gambar 17. Radar Chart Sumber - Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Meubel dan Kerajinan Tahun 2005 – 2008
Sumber pertumbuhan gross output lainnya yaitu faktor exsport exspansion,
import substitution dan technological change kurang memberikan kontribusi
terhadap pertumbuhan gross output. Hal ini disebabkan ketatnya persaingan
di pasar internasional untuk produk mebel dan kerajinan, terutama produk-produk
yang berasal dari China yang memiliki harga yang relatif lebih murah. Bahkan
impor untuk produk meubel dan kerajinan cenderung meningkat selama beberapa
tahun terakhir. Selain itu industri mebel dan kerajinan dalam negeri banyak yang
merupakan home industry dengan penggunaan teknologi yang sederhana,
sehingga efisiensi produksinya rendah.
5.3. Strategi Peningkatan Pertumbuhan Output Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia
Berdasarkan hasil analisis terhadap sumber-sumber pertumbuhan gross
output terhadap sektor-sektor berbasis kehutanan, diperoleh gambaran bahwa
pertumbuhan sektor berbasis kehutanan perlu terus ditingkatkan guna
menciptakan nilai tambah yang lebih besar terutama pada faktor yang menjadi
83
sumber pertumbuhan dan mengatasi faktor yang kurang memberikan kontribusi
terhadap pertumbuhan gross output.
Upaya tersebut sangat diperlukan mengingat pertumbuhan output sektor-
sektor berbasis kehutanan selama satu dekade terakhir terus mengalami penurunan
yang tercermin dari penurunan kontribusi sektor berbasis kehutanan terhadap PDB
nasional. Oleh karena itu, untuk memulihkan kondisi sektor-sektor berbasis
kehutanan yang mengalami kelesuan diperlukan suatu upaya yang komprehensif
dan sistematis, tidak hanya di sektor hulu (penanaman dan produksi hasil hutan
kayu), tetapi juga sektor hilir (industri dan pemasaran) secara terarah dan
terintegrasi.
Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan gross-
output sektor-sektor berbasis kehutanan antara lain :
1. Meningkatkan investasi di HTI. Investasi diperlukan dalam rangka
meningkatkan output sektor kehutanan terutama kayu dan untuk
memenuhi kekurangan pasokan bagi industri kayu olahan. Hal ini dapat
dilakukan dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif seperti
pemberian insentif fiskal dengan mengurangi jumlah jenis pungutan yang
selama ini menjadi keluhan investor yang menanamkan modalnya
di usaha kehutanan.
2. Mempercepat pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK) baik hutan industri (IUPHHK-HI), hutan alam (IUPHHK-HA)
dan hutan tanaman rakyat (IUPHHK-HTR) khusus pada areal-areal yang
saat ini tidak ada pengelolaannya.
84
3. Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan dalam rangka pemulihan
lahan kritis dan pembenihan tanaman hutan.
4. Pengendalian operasi industri kayu lapis dan pulp untuk mengatasi
masalah kapasitas industri yang terlalu besar, sehingga tingkat produksi
sejalan dengan pasokan bahan baku lestari sekaligus mengurangi praktek
illegal logging.
5. Meningkatkan daya saing produk kayu olahan di pasar ekspor. Hal ini
dapat dilakukan melalui pengaktifan kembali (revitalisasi) badan
pemasaran bersama, kebijakan promosi ekspor dan melakukan
diversifikasi produk dalam rangka meningkatkan nilai tambah. Untuk
produk mebel dan kerajinan, diversifikasi produk diarahkan dengan
memproduksi produk-produk unik, khas dan bernuansa etnis.
6. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan seperti nilai manfaat tata air melalui
mekanisme Payment Environmental Services (PES) yang mempunyai
potensi besar dalam meningkatkan output sektor kehutanan. Menurut
Nurrochmat, et al (2010), nilai jasa lingkungan tata air ini dapat
direalisasikan dengan memberikan kompensasi kepada daerah penghasil
atau daerah yang melakukan konservasi tata air (hulu) oleh daerah
penerima manfaat (hilir). Nilai jasa lingkungan tata air ini berpotensi
meningkatkan output sektor kehutanan jauh lebih besar dibandingkan jasa
lingkungan hutan dengan mekanisme perdagangan karbon.
VI. DAMPAK PENINGKATAN OUTPUT SEKTOR BERBASIS
KEHUTANAN TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN
RUMAHTANGGA DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA
6.1. Struktur Pendapatan Rumahtangga dan Ketenagakerjaan
Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara, salah satunya dapat
dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi yang positif, dimana pertumbuhan
ekonomi tersebut merupakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yang
mampu menciptakan pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta
terbukanya kesempatan kerja yang luas bagi masyarakat. Menurut Hess dan Ross
(2000), pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas merupakan bentuk dari
growth without development. Lebih jauh Todaro (2000) menyatakan bahwa
pertumbuhan yang tidak berkualitas hanya menciptakan kesenjangan pendapatan
antar golongan pendapatan masyarakat, akibatnya kemiskinan yang menjadi
faktor penghambat pembangunan sulit untuk dituntaskan.
Berdasarkan landasan pemikiran tersebut, maka pemerintah sudah
seharusnya memberikan perhatian lebih terhadap sektor-sektor yang tidak hanya
memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi
yang jauh lebih penting sektor tersebut dapat meciptakan lapangan pekerjaan yang
luas bagi masyarakat dan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama
masyarakat golongan pendapatan rendah.
Pada pembahasan ini akan diuraikan bagaimana struktur pendapatan
rumahtangga menurut golongan pendapatan dan wilayah serta struktur
ketenagakerjaan di Indonesia berdasarkan tabel input - output Miyazawa Tahun
2008.
86
6.1.1. Struktur Pendapatan Rumahtangga
Pada Gambar 18 diperoleh informasi bahwa secara keseluruhan
rumahtangga di Indonesia sebagian besar merupakan rumahtangga golongan
pendapatan rendah yaitu sekitar 46.5 persen, sedangkan rumahtangga golongan
pendapatan sedang sekitar 40.0 persen dan hanya sekitar 13.5 persen merupakan
rumahtangga berpendapatan tinggi. Rumahtangga pendapatan rendah sebagian
besar berada di wilayah perdesaan yaitu sekitar 25.4 persen dari 46.5 persen
rumahtangga pendapatan rendah di Indonesia. Sementara itu, rumahtangga
pendapatan sedang dan tinggi sebagian besar berada di perkotaan masing-masing
sekitar 25.0 persen dan 10.6 persen.
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
45.0
50.0
Pendapatan Rendah
Pendapatan Sedang
Pendapatan Tinggi
21.125.0
10.6
25.4
15.0
2.9
46.5
40.0
13.5
Prop
orsi
Pen
dpat
an (%
)
Kota
Desa
Kota + Desa
Sumber : Tabel Input - Output Miyazawa Tahun 2008
Gambar 18. Struktur Pendapatan Rumahtangga Menurut Golongan Pendapatan dan Wilayah di Indonesia Tahun 2008
Adanya kesenjangan pendapatan antar wilayah dan masih besarnya
rumahtangga berpendapatan rendah mengindikasikan masih banyaknya
rumahtangga miskin yang sangat rentan terhadap goncangan. Jebakan kemiskinan
akibat pendapatan rendah, menyebabkan banyaknya rumahtangga miskin tetap
berada dalam lingkaran kemiskinan yang permanen.
87
Pertumbuhan ekonomi tidaklah cukup untuk mengatasi masalah
kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Oleh karena itu, disamping terus
meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga perlu diimbangi dengan intervensi
kebijakan yang terarah dan efektif. Implikasinya, pemerintah perlu membuat suatu
kebijakan anti kemiskinan yang bersifat bottom-up, menyeluruh dan konsisten
diantaranya dengan cara memperluas kesempatan kerja melalui pengembangan
sektor – sektor berbasis perdesaan dan mampu menyerap tenaga kerja besar.
Berdasarkan uraian di atas, maka terkait dengan tujuan penelitian ini
terdapat permasalahan yang ingin dijawab yaitu seberapa besar pertumbuhan atau
peningkatan output sektor-sektor berbasis kehutanan berdampak terhadap
peningkatan pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan,
sehingga dapat diketahui peranan sektor-sektor berbasis kehutanan terhadap
permasalahan kesenjangan distribusi pendapatan rumahtangga di Indonesia.
6.1.2. Struktur Ketenagakerjaan
Menurut Yudhoyono dan Boediono (2009), permasalahan utama dalam
pasar kerja Indonesia yang hingga saat ini belum dapat ditangani sepenuhnya
antara lain (1) persentase sektor informal yang relatif tinggi, (2) adanya
kesenjangan upah antara sektor formal dengan sektor informal, (3) adanya
kecenderungan peningkatan pengangguran terbuka pada kelompok usia muda dan
(4) penurunan produktivitas tenaga kerja, terutama di sektor manufaktur.
Upaya mengatasi masalah tersebut bukanlah hal yang mudah mengingat
kompleksitas permasalahan ketenagakerjaan terkait dengan banyak aspek. Dengan
mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional saat ini yang baru berangsur
pulih akibat dampak krisis ekonomi global, maka dalam jangka pendek setidaknya
88
pemerintah harus memprioritaskan penanganan masalah pengangguran yang
cenderung meningkat dengan menciptakan lapangan kerja baru. Upaya tersebut
harus dilakukan melalui integrasi kebijakan makro-mikro, diantaranya melalui
perbaikan iklim investasi di pusat maupun di daerah sehingga kesempatan kerja
baru dapat tercipta serta pemihakan kepada perbaikan kesempatan berusaha untuk
sektor usaha kecil dan menengah sebagai tiang penyerap tenaga kerja Indonesia
selama ini.
Tabel 11. Jumlah Pekerja Menurut Lapangan Usaha, Golongan Pendapatan dan Wilayah di Indonesia Tahun 2008
(ribu orang)
SektorPendapatan Rendah Pendapatan Sedang Pendapatan Tinggi
Kota Desa Kota Desa Kota Desa
Pertanian 4 616 26 452 1 390 8 919 333 979Pertambangan dan Penggalian
57 257 134 290 195 129
Industri Pengolahan 2 575 1 969 4 486 1 904 1 308 199Listrik, Gas, Air Bersih
26 14 56 29 64 19
Bangunan 625 747 1 407 1 491 300 164Perdagangan, Hotel, Restoran
5 399 2 268 8 343 2 056 2 416 203
Angkutan dan Komunikasi
929 771 1 856 1 036 1 129 294
Keuangan dan Jasa Perusahaan
161 61 463 148 541 65
Jasa-Jasa 2 879 1 689 2 629 1 260 3 089 1 232Total 17 267 34 228 20 762 17 133 9 376 3 283
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2008a
Pada Tabel 11, secara sektoral terlihat jumlah pekerja di Indonesia pada
tahun 2008 sebagian besar bekerja di sektor pertanian, perdagangan dan industri
pengolahan. Pada sektor pertanian, jumlah tenaga yang terserap pada tahun 2008
sejumlah 42.7 juta orang dari 102 juta orang atau sekitar 41.8 persen. Sementara
di sektor perdagangan, jumlah tenaga kerja yang terserap sejumlah 20.7 juta orang
89
atau sekitar 20.1 persen. Sedangkan di sektor industri pengolahan, jumlah tenaga
kerja yang terserap sejumlah 12.4 juta orang atau sekitar 12.2 persen.
Berdasarkan data tersebut nampak jelas bahwa sektor pertanian sebagian
besar merupakan sektor informal dengan skala usaha kecil dan menengah dan
berada sebagian besar di wilayah perdesaan. Sama halnya pada sektor
perdagangan, hotel dan restoran, khususnya sektor perdagangan dan restoran
sebagian besar juga merupakan sektor informal dengan skala usaha kecil dan
menengah yang tersebar luas di wilayah perkotaan. Sementara pada sektor industri
pengolahan, seperti industri kayu gergajian, industri meubel dan kerajinan, juga
merupakan kelompok industri yang sebagian besar berskala kecil dan menengah
dan bersifat informal. Sektor-sektor penyerap tenaga kerja besar tersebut harus
mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk terus dikembangkan khususnya
dalam rangka mengatasi masalah pengangguran.
Terkait dengan pemikiran tersebut, maka dalam penelitian ini mencoba
menganalisis bagaimana peranan sektor-sektor berbasis kehutanan terhadap
penyerapan tenaga kerja dalam rangka mengatasi masalah pengangguran
di Indonesia apabila terjadi pertumbuhan atau peningkatan output pada sektor-
sektor berbasis kehutanan.
6.2. Dampak Peningkatan Output Sektor Berbasis Kehutanan TerhadapDistribusi Pendapatan Rumahtangga dan Penyerapan Tenaga Kerja
Terjadinya transformasi struktural ekonomi Indonesia pasca krisis, yang
dicirikan dengan meningkatnya pangsa output domestik dari sektor industri dan
jasa, menyebabkan pembangunan sektor berbasis kehutanan menjadi sangat
penting dalam mendukung pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Meski adanya
90
fakta bahwa pangsa sektor berbasis kehutanan terhadap PDB nasional semakin
menurun selama satu dekade terakhir (Tabel 2), sesungguhnya sektor ini masih
memiliki potensi dan peluang besar untuk dapat dipulihkan di masa mendatang.
Potensi dan peluang terjadinya pertumbuhan output pada sektor-sektor
berbasis kehutanan tersebut didukung oleh beberapa faktor antara lain, (1) hutan
merupakan sumber daya alam terbaharui (renewable resources) sehingga
pemanfaatan secara terus-menerus akan menjadikan sektor usahanya
berkelanjutan, (2) sektor-sektor berbasis kehutanan merupakan natural resources
based sector sehingga komoditasnya murni bersifat local content, (3) produk
industri kayu sebagian besar berorientasi ekspor dan produknya tidak dapat
disubstitusi dengan bahan-bahan sintetis, dan (4) adanya dukungan ketersediaan
lahan dan kesesuaian iklim.
Pada bagian ini secara khusus dibahas bagaimana dampak terjadinya
pertumbuhan atau peningkatan gross output sektor berbasis kehutanan terhadap
distribusi pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan dan
seberapa besar penyerapan tenaga kerja akibat peningkatan gross output tersebut.
Pembahasan tentang dampak peningkatan gross output sektor-sektor berbasis
kehutanan terhadap distribusi pendapatan rumahtangga dan penyerapan tenaga
kerja didasarkan pada analisis tabel I-O Miyazawa Tahun 2008 dan tabel I-O
Indonesia Tahun 2008.
6.2.1. Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan)
Hasil analisis terhadap tabel I-O Miyazawa Tahun 2008 menunjukkan
bahwa terjadinya peningkatan gross-output di sektor kehutanan sebesar
91
Rp 1 miliar akan meningkatkan pendapatan rumahtangga terutama golongan
pendapatan rendah di wilayah perdesaan seperti yang terlihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Dampak Peningkatan Output Sektor Kehutanan Sebesar Rp 1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga
No. Golongan Pendapatan RumahtanggaPeningkatan Pendapatan
(Rp Miliar)1 Pendapatan Rendah – Wilayah Perkotaan 1.322 Pendapatan Sedang – Wilayah Perkotaan 1.423 Pendapatan Tinggi – Wilayah Perkotaan 0.694 Pendapatan Rendah – Wilayah Perdesaan 1.765 Pendapatan Sedang – Wilayah Perdesaan 0.846 Pendapatan Tinggi – Wilayah Perdesaan 0.20
Sumber : Tabel Input – Output Miyazawa 2008 (diolah)
Peningkatan pendapatan rumahtangga lebih besar pada rumahtangga
golongan pendapatan rendah mengindikasikan bahwa sektor kehutanan
merupakan sektor berbasis ekonomi rakyat yang memiliki keterkaitan kuat dengan
usaha kecil menengah yang sebagian besar berada di wilayah perdesaan. Upaya
untuk mendorong peningkatan pertumbuhan output di sektor kehutanan akan
mampu meningkatan pendapatan masyarakat secara lebih luas, khususnya pada
rumahtangga di wilayah perdesaan.
Oleh karena itu, perhatian terhadap pembangunan sektor kehutanan jangan
dilihat dari sisi kontribusi output atau PDB yang kecil, namun perlu ditinjau dari
aspek lain yang lebih strategis, bahwa membangun sektor kehutanan berarti
membangun upaya pengentasan kemiskinan yang disebabkan tingkat pendapatan
yang rendah dan sebagian besar penduduk miskin tersebut berada di wilayah
perdesaan.
Peran strategis sektor kehutanan disamping akan meningkatkan
pendapatan rumahtangga pendapatan rendah, juga merupakan penyedia lapangan
92
kerja dan penyedia input produksi bagi sektor hilirnya (linkages). Pada Tabel 13
terlihat bahwa terjadinya peningkatan output pada sektor kehutanan sebesar
Rp 1 Miliar mampu menciptakan lapangan kerja baru di sektor kehutanan sendiri
sejumlah 31 orang dan di seluruh sektor perekonomian sejumlah 42 orang.
Adapun empat sektor paling besar lainnya yang dapat menciptakan
lapangan pekerjaan baru sebagai dampak peningkatan output sektor kehutanan
adalah sektor tanaman bahan makanan, perkebunan, perdagangan dan angkutan.
Sektor tanaman bahan makanan dan perkebunan adalah sektor hilir dari sektor
kehutanan dimana output sektor kehutanan khususnya kayu banyak digunakan
untuk proses produksi sektor tersebut. Sementara itu, sektor perdagangan dan
angkutan berperan penting terutama dalam pemasaran dan proses pengangkutan
hasil tebangan kayu dari hutan ke lokasi industri atau pabrik.
Tabel 13. Dampak Peningkatan Output Sektor Kehutanan Sebesar Rp.1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja
No SektorPenciptaan Lapangan
Kerja (orang)
1 Sektor Kehutanan 312 Sektor Tanaman Bahan Makanan 33 Sektor Perkebunan 24 Sektor Perdagangan 25 Sektor Angkutan 16 Total Perekonomian 42
Sumber : Tabel Input – Output Indonesia Tahun 2008 (diolah)
6.2.2. Sektor Industri Kayu Gergajian
Seperti pada penjelasan di awal, sebagian besar industri kayu gergajian
(sawn timber) adalah industri berskala kecil menengah dengan kapasitas produksi
di bawah 6 000 m3. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan output sektor
industri kayu gergajian akan meningkatkan pendapatan rumahtangga terutama
93
golongan pendapatan rendah di wilayah perdesaan seperti yang terlihat pada
Tabel 14. Kondisi tersebut dapat dijelaskan mengingat lokasi industri kayu
gergajian banyak ditemukan di wilayah perdesaan yang dekat dengan kawasan
hutan serta di wilayah pinggiran kota dengan sistem home industry.
Tabel 14. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Gergajian Sebesar
Rp 1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga
No. Golongan Pendapatan RumahtanggaPeningkatan Pendapatan
(Rp Miliar)1 Pendapatan Rendah – Wilayah Perkotaan 1.282 Pendapatan Sedang – Wilayah Perkotaan 1.433 Pendapatan Tinggi – Wilayah Perkotaan 0.664 Pendapatan Rendah – Wilayah Perdesaan 1.465 Pendapatan Sedang – Wilayah Perdesaan 0.776 Pendapatan Tinggi – Wilayah Perdesaan 0.18
Sumber : Tabel Input – Output Miyazawa 2008 (diolah)
Pengembangan industri kecil menengah seperti industri kayu gergajian
memiliki peran penting sebagai pilar perekonomian berbasis kerakyatan dalam
rangka meningkatkan pendapatan masyarakat terutama bagi masyarakat golongan
bawah di perdesaan yang rata-rata berpendidikan rendah. Disamping itu, sektor
industri kayu gergajian yang sebagian besar merupakan sektor informal menjadi
alternatif bagi penciptaan lapangan kerja baru bagi masyarakat berpendidikan
rendah tersebut. Menurut kajian yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor
(2007) tentang industri kehutanan nasional, bahwa industri kayu gergajian perlu
dikembangkan mengingat keterbatasan pasokan kayu bulat sebagai bahan baku
industri kayu dan besarnya permintaan kayu gergajian domestik terutama untuk
keperluan konstruksi, disamping dari sisi keragaan ekonominya yang efisien.
Sementara itu, apabila dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, industri
kayu gergajian ternyata menyerap jumlah tenaga kerja yang cukup besar
94
di sektor itu sendiri maupun di sektor usaha lainnya. Pada Tabel 15 terlihat bahwa
lapangan kerja baru yang akan tercipta apabila terjadi peningkatan output di sektor
industri kayu gergajian sebesar Rp 1 Miliar adalah sejumlah 24 orang di sektor itu
sendiri atau 43 orang di seluruh sektor perekonomian. Adanya peningkatan output
tersebut juga berdampak terhadap penciptaan lapangan kerja baru di sektor
lainnya terutama sektor kehutanan sebagai sektor hulunya, sektor tanaman bahan
makanan yang banyak menggunakan kayu gergajian untuk kegiatan produksinya
serta sektor perdagangan dan angkutan yang berperan dalam pemasaran dan
transportasi produk kayu gergajian. Berdasarkan informasi tersebut, jelas bahwa
sektor industri kayu gergajian memiliki potensi dan peran besar dalam
mendukung pembangunan ekonomi nasional ke depan, khsusunya terhadap
peningkatan pendapatan masyarakat berpendapatan rendah di perdesaan dan
penciptaan lapangan kerja baru.
Tabel 15. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Gergajian Sebesar Rp 1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja
No SektorPenciptaan Lapangan
Kerja (orang)
1 Sektor Industri Kayu Gergajian 242 Sektor Kehutanan 63 Sektor Tanaman Bahan Makanan 54 Sektor Perdagangan 35 Sektor Angkutan 16 Total Perekonomian 43
Sumber : Tabel Input – Output Indonesia Tahun 2008 (diolah)
6.2.3. Sektor Industri Kayu Lapis
Kayu lapis merupakan produk industri kehutanan yang menghasilkan
devisa non-migas bagi negara yang utama sampai saat ini. Kenyataan yang ada
sejak tahun 1980-an menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dibidang industri
95
kehutanan sangat mendorong berkembangnya industri kayu lapis, sehingga
industri ini berkembang pesat dibandingkan industri kehutanan lainnya. Meskipun
pada beberapa tahun terakhir, industri kayu lapis mengalami fase dekonstruktif
dengan terus menurunnya ekspor yang diakibatkan kurangnya pasokan bahan
baku kayu dan munculnya pemain baru kayu lapis dunia.
Berkembangnya industri kayu lapis tidak hanya membuka lapangan
pekerjaan bagi masyarakat, tetapi juga diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat yang berkerja di sektor tersebut. Hasil analisis dengan
menggunakan tabel I-O Miyazawa Tahun 2008 menunjukan bahwa peningkatan
output di sektor industri kayu lapis sebesar Rp 1 Miliar mampu meningkatkan
pendapatan masyarakat terutama rumahtangga pendapatan rendah di wilayah
perdesaan dan rumahtangga pendapatan sedang di wilayah perkotaan seperti yang
terlihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Lapis Sebesar Rp 1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga
No. Golongan Pendapatan RumahtanggaPeningkatan Pendapatan
(Rp Miliar)1 Pendapatan Rendah – Wilayah Perkotaan 1.292 Pendapatan Sedang – Wilayah Perkotaan 1.453 Pendapatan Tinggi – Wilayah Perkotaan 0.684 Pendapatan Rendah – Wilayah Perdesaan 1.465 Pendapatan Sedang – Wilayah Perdesaan 0.786 Pendapatan Tinggi – Wilayah Perdesaan 0.19
Sumber : Tabel Input – Output Miyazawa 2008 (diolah)
Industri kayu lapis merupakan industri berskala besar yang terintegrasi
antara hulu-hilir dimana perusahaan-perusahaan kayu lapis mengoperasikan
usahanya berada di sekitar kawasan hutan (perdesaan) dan sebagian besar pabrik
pengolahannya berada di wilayah perkotaan. Keberadaan lokasi industri inilah
96
banyak memperkerjakan tenaga kerja di perdesaan sebagai buruh dengan
pendapatan rendah dan tenaga kerja di perkotaan dengan pendapatan sedang.
Menurut data Statistik Struktur Upah tahun 2007 (BPS, 2007), upah pekerja pada
industri kayu olahan seperti industri kayu lapis dan sejenisnya di wilayah
perkotaan rata-rata sekitar Rp 1.09 juta per bulan yang merupakan kelompok
pendapatan sedang.
Pemain utama industri kayu lapis Indonesia antara lain PT. Kayu Lapis
Indonesia (KLI) yang berlokasi di Jawa Tengah dengan kapasitas terpasang
sebesar 504 000 m3 dan PT. Henrison Iriana yang beroperasi di Papua dengan
kapasitas terpasang 264 000 m3. Kedua perusahaan ini menguasai hampir 10
persen kapasitas produksi kayu lapis Indonesia (Greenpeace Southeast Asia
Jakarta, 2006).
Keberadaan industri kayu lapis juga berperan dalam penyerapan tenaga
kerja di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis, jika terjadi peningkatan output
sebesar Rp 1 Miliar di sektor industri kayu lapis mampu menciptakan lapangan
kerja baru di sektor itu sendiri sejumlah 11 orang atau sejumlah 30 lapangan
pekerjaan baru tercipta di seluruh perekonomian seperti yang tersaji pada
Tabel 17.
Terjadinya peningkatan output di sektor industri kayu lapis juga
berdampak terhadap penciptaan lapangan kerja baru di sektor perekonomian
lainnya, terutama di sektor kehutanan, tanaman bahan makanan, perdagangan dan
angkutan. Sektor kehutanan adalah pemasok bahan baku industri kayu lapis,
sehingga peningkatan output industri kayu lapis mendorong permintaan bahan
baku kayu yang berarti membutuhkan tenaga kerja baru di sektor kehutanan. Hal
97
yang sama juga terjadi untuk sektor tanaman bahan makanan yang menggunakan
kayu lapis untuk aktivitas produksinya, sektor perdagangan dan angkutan untuk
kegiatan pemasaran dan transportasi produk atau bahan baku kayu lapis.
Tabel 17. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Lapis Sebesar Rp 1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja
No SektorPenciptaan Lapangan
Kerja (orang)
1 Sektor Industri Kayu Lapis 112 Sektor Kehutanan 43 Sektor Tanaman Bahan Makanan 44 Sektor Perdagangan 35 Sektor Angkutan 26 Total Perekonomian 30
Sumber : Tabel Input – Output Indonesia Tahun 2008 (diolah)
6.2.4. Sektor Industri Pulp
Industri pulp atau bubur kertas adalah industri kehutanan yang
berkembang cepat di Indonesia. Menurut Indonesia Pulp and Paper Association
(2005) dan Departemen Kehutanan (2009a), produksi pulp Indonesia meningkat
tajam sejak awal tahun 2000 dimana pada tahun 1999 produksi pulp sebesar 685
ribu ton meningkat tajam pada tahun 2000 menjadi 4.1 juta ton dan pada tahun
2008 menjadi 4.7 juta ton. Berkembangnya produksi ini tentu berdampak terhadap
penyerapan tenaga kerja yang selanjutnya meningkatkan pendapatan masyarakat.
Hasil analisis dengan menggunakan tabel I-O Miyazawa Tahun 2008
menunjukkan bahwa sektor jika terjadi peningkatan output sebesar Rp 1 Miliar
di sektor industri pulp mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga terutama
rumahtangga berpendapatan rendah di perdesaan dan rumahtangga berpendapatan
sedang di perkotaan seperti yang terlihat pada Tabel 18.
98
Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa industri pulp merupakan industri
berskala besar yang terintegrasi antara unit usaha hulu untuk proses penyediaan
bahan baku kayu dan unit hilirnya untuk proses pengolahan pulp. Keberadaan unit
usaha hulu yang beroperasi di areal sekitar kawasan hutan tentunya
memperkerjakan masyarakat yang berada di wilayah perdesaan sebagai buruh
dengan upah rendah, sementara lokasi pabrik pengolahannya yang dekat dengan
wilayah perkotaan akan menyerap tenaga kerja di wilayah perkotaan. Menurut
data Statistik Struktur Upah tahun 2007 (BPS, 2007), upah pekerja untuk status
pekerja buruh pada industri kertas rata-rata sekitar Rp 1.45 juta per bulan yang
merupakan kelompok pendapatan sedang.
Tabel 18. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Pulp Sebesar Rp 1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga
No. Golongan Pendapatan RumahtanggaPeningkatan Pendapatan
(Rp Miliar)1 Pendapatan Rendah – Wilayah Perkotaan 1.342 Pendapatan Sedang – Wilayah Perkotaan 1.503 Pendapatan Tinggi – Wilayah Perkotaan 0.714 Pendapatan Rendah – Wilayah Perdesaan 1.505 Pendapatan Sedang – Wilayah Perdesaan 0.806 Pendapatan Tinggi – Wilayah Perdesaan 0.20
Sumber : Tabel Input – Output Miyazawa 2008 (diolah)
Pemain utama dalam industri pulp di Indonesia dikuasai oleh dua
kelompok perusahaan yaitu Sinar Mas Group yang menguasai 40 persen kapasitas
pulp nasional dan kelompok perusahaan Raja Garuda Mas yang menguasai 33.3
persen kapasitas pulp nasional (Departemen Kehutanan, 2007b).
Besarnya kapasitas terpasang pada industri pulp di Indonesia
menyebabkan tingkat produksi terus meningkat dan hal ini tentu berdampak
terhadap permintaan tenaga kerja untuk mengimbangi besarnya kapasitas produksi
99
tersebut. Berdasarkan hasil analisis yang ditunjukkan pada Tabel 19, terjadinya
peningkatan output di sektor industri pulp sebesar Rp 1 Miliar mampu
menciptakan lapangan kerja baru di sektor industri pulp sendiri sejumlah 14 orang
atau sejumlah 35 lapangan kerja baru di seluruh sektor perekonomian.
Adanya peningkatan output di sektor industri pulp juga berdampak
terhadap penciptaan lapangan kerja baru di sektor perekonomian lainnya, terutama
di sektor perdagangan, kehutanan, angkutan dan jasa-jasa. Sektor perdagangan
dalam hal ini perdagangan besar berperan dalam pemasaran produk pulp terutama
untuk pasar ekspor. Sementara itu sektor kehutanan adalah pemasok bahan baku
industri pulp, sehingga peningkatan output industri pulp mendorong permintaan
bahan baku kayu yang berarti membutuhkan tenaga kerja baru di sektor
kehutanan. Hal yang sama juga terjadi untuk sektor angkutan yang berperan untuk
pengangkutan produk atau bahan baku pulp.
Tabel 19. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Pulp Sebesar Rp 1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja
No SektorPenciptaan Lapangan
Kerja (orang)
1 Sektor Industri Pulp 142 Sektor Perdagangan 53 Sektor Kehutanan 24 Sektor Angkutan 25 Sektor Jasa-Jasa 16 Total Perekonomian 35
Sumber : Tabel Input – Output Indonesia Tahun 2008 (diolah)
6.2.5. Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu - Rotan
Sektor industri mebel dan kerajinan memiliki peran penting sebagai
sumber pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Seperti yang telah
dijelaskan pada bagian awal, industri mebel dan kerajinan merupakan budaya
100
turun-temurun yang selama ini menjadi sumber pendapatan masyarakat.
Kelompok industri ini banyak tersebar di wilayah perdesaan dan pinggiran
perkotaan. Berkembangnya industri ini jelas turut membantu meningkatkan
pendapatan masyarakat, khususnya golongan pendapatan rendah dan sedang.
Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan output di sektor
ini sebesar Rp 1 Miliar akan meningkatkan pendapatan rumahtangga terutama
rumahtangga golongan pendapatan rendah di perdesaan. Sedangkan di wilayah
perkotaan, distribusi pendapatan ini sebagian besar dirasakan oleh rumahtangga
pendapatan sedang seperti yang terlihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Mebel dan KerajinanKayu-Rotan Sebesar Rp 1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga
No. Golongan Pendapatan RumahtanggaPeningkatan Pendapatan
(Rp Miliar)1 Pendapatan Rendah – Wilayah Perkotaan 1.382 Pendapatan Sedang – Wilayah Perkotaan 1.543 Pendapatan Tinggi – Wilayah Perkotaan 0.724 Pendapatan Rendah – Wilayah Perdesaan 1.575 Pendapatan Sedang – Wilayah Perdesaan 0.836 Pendapatan Tinggi – Wilayah Perdesaan 0.20
Sumber : Tabel Input – Output Miyazawa 2008 (diolah)
Belum pulihnya kinerja sektor industri akibat rendahnya daya saing
produk dan sebagai dampak krisis ekonomi global, memaksa banyak industri
terutama industri berbasis labour intensive melakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) dalam kerangka efisiensi. Atas dasar itu, maka keberadaan industri meubel
dan kerajinan ini memainkan peran penting dalam mengatasi semakin
meningkatnya angka pengangguran tersebut.
101
Hasil analisis menunjukan bahwa terjadinya peningkatan output di sektor
industri mebel dan kerajinan sebesar Rp 1 Miliar, mampu menciptakan lapangan
kerja baru di sektor tersebut sejumlah 10 orang atau sejumlah 37 lapangan kerja
baru tercipta di seluruh sektor perekonomian terutama di sektor industri kayu
gergajian, kehutanan, perdagangan dan tanaman bahan makanan seperti yang
terlihat pada Tabel 21. Oleh karena itu, adanya intervensi kebijakan pemerintah
untuk mengembangkan industri ini sangat diperlukan, selain mampu menciptakan
lapangan kerja dan membantu peningkatan pendapatan masyarakat, juga dapat
lebih berdaya saing tidak hanya di pasar domestik tetapi juga di pasar
internasional yang memiliki peluang pasar cukup besar bagi produk mebel dan
kerajinan kayu-rotan Indonesia.
Tabel 21. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Mebel d an Kerajinan Kayu-Rotan Sebesar Rp1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja
No SektorPenciptaan Lapangan
Kerja (orang)1 Industri Mebel dan Kerajinan Kayu- 102 Industri Kayu Gergajian 53 Kehutanan 54 Tanaman Bahan Makanan 55 Perdagangan 46 Total Perekonomian 37
Sumber : Tabel Input – Output Indonesia Tahun 2008 (diolah)
Berdasarkan hasil analisis di atas membuktikan bahwa terjadinya
pertumbuhan atau peningkatan output pada sektor - sektor berbasis kehutanan
mampu menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan
rumahtangga terutama rumahtangga golongan pendapatan rendah di wilayah
perdesaan dan rumahtangga golongan pendapatan sedang di wilayah perkotaan.
102
Dalam konteks tersebut, maka upaya rekonstruksi sektor berbasis
kehutanan sebagai sektor strategis dalam perekonomian nasional mutlak
dilakukan melalui integrasi kembali sektor berbasis kehutanan ke dalam kebijakan
makro ekonomi dan perbaikan di tingkat mikro. Kondisi ini sejalan dengan Triple
Track Strategy pembangunan sektor ekonomi yang menitikberatkan pada Pro-
Growth, Pro-Employment dan Pro-Poor. Artinya seberapa besar sektor tersebut
memiliki efek multiplier yang besar baik terhadap penciptaan lapangan kerja,
peningkatan output nasional maupun peningkatan pendapatan masyarakat dalam
rangka pengentasan kemiskinan.
VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR
BERBASIS KEHUTANAN
7.1. Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan
Peran strategis suatu sektor tidak hanya dilihat dari kontribusi terhadap
pertumbuhan output, peningkatan pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga
kerja, namun hal lain yang juga penting adalah apakah sektor tersebut memiliki
daya dukung yang kuat terhadap pertumbuhan sektor hulu maupun sektor hilirnya
(forward and backward linkage).
Menurut Millier dan Blair (1989), forward and backward linkage
digunakan sebagai dasar perumusan strategi pembangunan ekonomi dengan
melihat keterkaitan antar sektor dalam suatu sistem perekonomian (sebuah
negara). Bacward linkage suatu sektor menunjukkan hubungan keterkaitan
tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh satu unit final demand pada sektor
tersebut terhadap total pembelian input semua sektor di dalam suatu
perekonomian. Forward linkage menunjukkan hubungan keterkaitan tentang
pengaruh yang ditimbulkan oleh satu unit final demand suatu sektor terhadap total
penjualan output semua sektor di dalam suatu perekonomian. Sektor yang
memiliki indeks bacward dan forward linkage yang kuat jika bernilai lebih
dari satu ( > 1).
Terkait dengan hal tersebut, pada bagian ini akan dibahas secara khusus
seberapa kuat keterkaitan sektor-sektor berbasis kehutanan dengan sektor
perekonomian lainnya. Artinya apakah sektor-sektor berbasis kehutanan tersebut
mampu menjadi sektor kunci (key sector) dalam mendorong perekonomian
nasional. Analisis ini sangat penting untuk mengetahui peranan sektor-sektor
104
berbasis kehutanan yang sedang mengalami fase dekonstruktif selama hampir satu
dekade terakhir, dimana kontribusi output sektor berbasis kehutanan terus
mengalami penurunan terhadap output nasional, baik untuk sektor hulu (sektor
kehutanan) maupun sektor hilirnya (sektor industri kayu).
Tabel 22. Indeks Forward dan Backward Linkages Sektor – Sektor Berbasis Kehutanan Tahun 2008
SektorBackward Linkages
Forward Linkages
Industri Pulp 1.35 1.58Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan 1.14 0.66Industri Kayu Lapis 1.02 1.00Industri Kayu Gergajian 0.87 1.15Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) 0.73 1.16
Sumber : Tabel Input – Output Indonesia Tahun 2008 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor-sektor berbasis kehutanan
merupakan sektor yang memiliki keterkaitan kuat dengan sektor perekonomian
lainnya seperti yang terlihat pada Tabel 22. Adanya keterkaitan yang kuat
ke depan maupun ke belakang pada sektor industri pulp dan kayu lapis,
menunjukkan peran strategis sektor tersebut dalam mendorong pertumbuhan
sektor hulu – hilirnya.
Dilihat dari keterkaitan ke depan, terlihat bahwa semua sektor berbasis
kehutanan kecuali sektor industri mebel dan kerajinan kayu-rotan, memiliki
indeks forward linkages lebih besar dari satu (>1) atau memiliki keterkaitan kuat
dengan sektor hilirnya. Kuatnya keterkaitan ke depan ini disebabkan output sektor
tersebut merupakan row material untuk sektor lainnya maupun sektor berbasis
kehutanan sendiri. Dengan kata lain, produk sektor berbasis kehutanan lebih
bersifat intermediate input yang akan digunakan untuk proses produksi lebih
lanjut.
105
Sementara itu dilihat dari keterkaitan ke belakang, terlihat bahwa sektor
industri pulp, industri mebel dan kerajinan kayu-rotan serta sektor industri kayu
lapis memiliki indeks backward linkages lebih besar dari satu (>1) atau memiliki
keterkaitan kuat dengan sektor hulunya. Kuatnya keterkaitan ke belakang ini
disebabkan sektor-sektor tersebut merupakan sektor berbasis sumberdaya alam
dimana input produksinya sulit disubstitusikan dengan input lain.
7.2. Komposisi Penggunaan Input – Output Sektor Berbasis Kehutanan
Besarnya keterkaitan suatu sektor perekonomian baik ke depan maupun
ke belakang dapat dilihat dari struktur penggunaan input–output sektor yang
bersangkutan oleh sektor lain. Pada bagian ini akan diuraikan bagaimana
keterkaitan ke depan maupun ke belakang sektor-sektor berbasis kehutanan
berdasarkan struktur penggunaan input-output.
Pada Gambar 19 terlihat bahwa sektor kehutanan memiliki keterkaitan
kuat ke depan terutama dengan sektor bangunan dan sektor-sektor pada industri
kehutanan. Keterkaitan ke depan dengan sektor bangunan karena output sektor
kehutanan seperti kayu banyak digunakan sebagai bahan material utama dalam
sektor bangunan. Sementara itu, adanya keterkaitan ke depan yang kuat sektor
kehutanan dengan sektor industri kehutanan disebabkan karena komoditas kayu
merupakan bahan baku utama untuk menghasilkan output pada sektor industri
kehutanan.
Sementara itu, sektor kehutanan memiliki keterkaitan ke belakang yang
kuat terutama dengan sektor industri mesin dan alat angkutan, perkebunan, migas,
angkutan dan bangunan. Penggunaan input yang berasal dari industri mesin dan
alat angkutan digunakan sebagai alat atau mesin pemotong kayu, input dari
106
industri migas digunakan sebagai bahan bakar mesin dan alat pemotong, input
dari sektor angkutan sebagai jasa transportasi untuk mengangkut kayu hasil
tebangan, dan input dari sektor bangunan dalam bentuk sarana prasarana seperti
pembangunan jalan, instalasi listrik, dan sebagainya.
0 10 20 30 40 50
Bangunan
Angkutan
Industri Migas
Perkebunan
Industri Alat Angk, Mesin,Peralatan …
Industri Pulp
Industri Kayu gergajian
Industri Kayu lapis
Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-…
Bangunan
8.99.0
12.017.118.2
2.413.713.7
18.243.7
Komposisi Penggunaan Input-Output (%)
Sumber : Tabel Input – Output Indonesia Tahun 2008 (diolah)
Gambar 19. Backward dan Forward Linkages Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Berdasarkan Komposisi Penggunaan Input – Output Tahun 2008
Sementara itu pada Gambar 20 terlihat bahwa untuk sektor industri
kehutanan, dalam hal ini industri kayu gergajian, kayu lapis, industri mebel dan
kerajinan kayu-rotan dan industri pulp memiliki keterkaitan ke depan yang kuat
terutama dengan sektor bangunan dan sektor industri kehutanan sendiri.
Keterkaitan ke depan dengan sektor bangunan karena sebagian besar
output sektor industri kehutanan seperti kayu lapis, kayu gergajian dan barang
kerajinan dari kayu banyak digunakan sebagai bahan baku bangunan, khususnya
untuk bangunan tempat tinggal, gedung dan lainnya. Sementara keterkaitan
Forward Linkage
Backward Linkage
107
dengan sektor industri kehutanan sendiri terutama antara industri kayu gergajian
dan industri kayu lapis sebagai sektor hulu dengan industri mebel dan kerajinan
kayu sebagai sektor hilirnya. Output kayu lapis dan kayu gergajian adalah bahan
baku utama pembuatan mebel dan kerajinan dari kayu.
Lebih lanjut keterkaitan ke depan industri kehutanan dengan industri
barang dari kertas, disebabkan oleh penggunaan pulp sebagai bahan baku utama
industri barang dari kertas. Keterkaitan industri kehutanan dengan sektor
perdagangan dan industri logam berkaitan dengan jasa pemasaran dan penggunaan
output industri kehutanan untuk proses produksi dalam industri logam.
Sedangkan dilihat dari sisi keterkaitan ke belakang, sektor-sektor industri
kehutanan memiliki keterkaitan yang kuat terutama dengan sektor kehutanan dan
industri kehutanan sendiri. Keterkaitan dengan sektor kehutanan karena bahan
baku utama pembuatan kayu gergajian, kayu lapis, mebel dari kayu dan pulp
adalah kayu bulat yang berasal dari sektor kehutanan. Sementara keterkaitan
dengan sektor industri kehutanan sendiri terutama antara industri kayu gergajian
dan industri kayu lapis dengan industri mebel dari kayu. Bahan baku pembuatan
mebel dan kerajinan dari kayu sebagian besar merupakan kayu gergajian dan kayu
lapis.
Sedangkan input yang berasal dari sektor perdagangan dan angkutan
digunakan dalam bentuk jasa pemasaran dan pengangkutan bahan baku ke lokasi
industri atau pabrik pengolahan kayu olahan. Kemudian penggunaan input yang
berasal dari industri kimia digunakan sebagai bahan baku pembuatan kayu lapis,
pulp, kayu gergajian serta mebel dan kerajinan dari kayu. Hasil selengkapnya
108
bagaimana keterkaitan ke belakang yang kuat sektor-sektor industri kehutanan
dapat dilihat pada Gambar 20.
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0
Industri Kimia, Pupuk & Barang dari …Angkutan
PerdaganganKehutanan
Industri Kehutanan
Industri Logam Dasar, Besi & BajaPerdagangan
Industri barang dari kertas, karton …Industri Kehutanan
Bangunan
8.49.2
11.518.5
32.1
2.53.4
11.431.8
47.7
Komposisi Penggunaan Input-Output (%)
Sumber : Tabel Input – Output Indonesia Tahun 2008 (diolah)
Gambar 20. Backward dan Forward Linkages Sektor Industri Kehutanan Berdasarkan Komposisi Penggunaan Input – Output Tahun 2008
Backward Linkage
Forward Linkage
VIII. SIMPULAN DAN SARAN
8.1. Simpulan
1. Sumber pertumbuhan struktural untuk sektor kehutanan (kayu dan hasil
hutan lainnya), industri kayu gergajian, industri mebel dan kerajinan dari
kayu-rotan serta industri kayu lapis berdasarkan Tabel I-O Indonesia
Tahun 2005 dan 2008, sebagian besar didorong oleh faktor domestic
demand. Besarnya domestic demand ini disebabkan oleh beberapa hal,
antara lain : (1) meningkatnya jumlah penduduk sehingga mendorong
meningkatnya permintaan terhadap papan, (2) khusus sektor kehutanan,
semakin meningkatnya permintaan produk kayu bulat untuk pasokan
bahan baku industri kehutanan serta adanya larangan ekspor kayu bulat
oleh pemerintah sejak tahun 1985 yang menyebabkan kayu bulat hanya
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan (3) untuk kayu lapis,
turunnya daya saing dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan ekspor
kayu lapis terus menurun, sehingga hasil produksi banyak di jual di pasar
domestik. Sementara untuk sektor industri pulp, sumber pertumbuhan
output sebagian besar didorong oleh faktor exsport expansion. Hal ini
disebabkan industri pulp lebih berorientasi ekspor karena dorongan harga
dan permintaan di pasar dunia yang terus meningkat.
2. Struktur pendapatan rumahtangga dan tenaga kerja di Indonesia masih
didominasi oleh rumahtangga golongan pendapatan rendah terutama
di wilayah perdesaan. Hasil analisis dampak dengan menggunakan tabel
I-O Miyazawa Tahun 2008 menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan
output pada sektor-sektor berbasis kehutanan dapat menciptakan lapangan
110
kerja baru yang cukup tinggi di seluruh perekonomian dan meningkatkan
pendapatan rumahtangga terutama rumahtangga golongan pendapatan
rendah di wilayah perdesaan. Khusus pada industri kayu lapis dan pulp,
selain mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga pendapatan rendah
di perdesaan, juga mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga
golongan pendapatan sedang di wilayah perkotaan.
3. Sektor-sektor berbasis kehutanan dapat menjadi sektor kunci dalam
perekonomian nasional karena memiliki keterkaitan ke belakang
(backward linkages) dan keterkaitan ke depan (forward linkages) yang
kuat dengan sektor hulu-hilirnya. Untuk sektor kehutanan (kayu dan hasil
hutan lainnya), keterkaitan ke depan terutama dengan sektor bangunan dan
sektor-sektor pada industri kehutanan, sementara keterkaitan ke belakang
terutama dengan sektor industri mesin alat angkutan, bangunan dan
angkutan. Sedangkan untuk sektor industri kehutanan, keterkaitan ke
depan maupun ke belakang terutama dengan sektor bangunan dan sektor-
sektor pada industri kehutanan sendiri. Namun demikian, industri
kehutanan juga memiliki keterkaitan ke depan dengan industri kertas dan
cetakan serta sektor perdagangan, dan memiliki keterkaitan ke belakang
dengan sektor perdagangan, angkutan dan industri pupuk dan kimia.
8.2. Saran
8.2.1. Saran Kebijakan
1. Untuk meningkatkan pertumbuhan output sektor-sektor berbasis
kehutanan ke depan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah,
antara lain: (1) meningkatkan investasi di HTI dalam rangka peningkatan
111
produksi kayu bulat untuk memenuhi kekurangan pasokan bahan baku
bagi industri kayu olahan, (2) pengembangan pasar ekspor untuk produk
industri kehutanan bernilai tambah tinggi dengan mempertahankan pasar
yang sudah ada dan melakukan kebijakan promosi dan penetrasi ekspor di
pasar baru, (3) revitalisasi kelembagaan pemasaran hasil hutan dengan
mengefektifkan kembali sistem pemasaran bersama, (4) melakukan
modifikasi peralatan mesin-mesin pengolahan kayu atau retooling
(penggantian mesin-mesin baru) khusus untuk industri kayu gergajian dan
kayu lapis dalam rangka peningkatan efisiensi produksi dan kualitas
produk, dan (5) pengendalian operasi industri khusus pada industri kayu
lapis dan pulp untuk mengatasi masalah kapasitas industri yang terlalu
besar, sehingga tingkat produksi sejalan dengan pasokan bahan baku
lestari sekaligus mengurangi praktek illegal logging.
2. Dukungan regulasi dan kebijakan pemerintah di bidang investasi dan
pengelolaan sumberdaya hutan dalam rangka mendukung pengembangan
sektor-sektor berbasis kehutanan. Hal ini penting dilakukan mengingat
sektor-sektor berbasis kehutanan memiliki potensi besar dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan
pendapatan rumahtangga terutama rumahtangga golongan pendapatan
rendah dalam rangka pengentasan kemiskinan. Kondisi ini sejalan dengan
Triple Track Strategy pembangunan sektor ekonomi yang menitikberatkan
pada Pro-Growth, Pro-Employment dan Pro-Poor.
3. Adanya keterkaitan yang kuat sektor-sektor berbasis kehutanan dalam
mendorong pertumbuhan sektor hulu-hilirnya, maka perlu adanya
112
rekonstruksi pembangunan sektor-sektor berbasis kehutanan sebagai
sektor strategis dengan mengintegrasikan sektor-sektor berbasis kehutanan
ke dalam kebijakan makro ekonomi dan perbaikan di tingkat mikro.
8.2.2. Saran Penelitian Selanjutnya
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pertumbuhan sektor-sektor
berbasis kehutanan dengan menggunakan metode analisis yang lebih
lengkap dengan memasukan analisis kelembagaan agar diperoleh hasil
analisis yang lebih lengkap dan menyeluruh.
2. Perlu memasukan faktor lingkungan, mengingat isu tentang sektor
berbasis kehutanan sangat terkait erat dengan masalah lingkungan.
3. Disagregasi sektor perekonomian yang lebih rinci, agar mampu memotret
perekonomian secara lebih lengkap dan detail.
DAFTAR PUSTAKA
Aosiasi Mebel Indonesia Komda Jepara. 2008. Menuju Tata Niaga Industri Furniture Berdaya Saing Global, Jepara.
Asosiasi Pengusaha Indonesia. 2009. Rekapitulasi UMP dan UMK 2008 dan 2009. Asosiasi Pengusaha Indonesia, Jakarta.
Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia. 2005. Indonesia Pulp and Paper Industry. Indonesia Pulp and Paper Association, Jakarta.
Badan Koordinasi dan Penanaman Modal. 2009. Gambaran PMA dan PMDN di Indonesia Tahun 1990 – 2008. Data Tidak Dipublikasikan.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
___________________________________. 2009. Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2000. Teknik Penyusunan Tabel Input-Output. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
_________________. 2005a. Statistik Indonesia Tahun 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
_________________. 2005b. Tabel Input - Output Indonesia Tahun 2005 Klasifikasi 175 Sektor. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
_________________. 2007. Survey Struktur Upah Tahun 2007. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
_________________. 2008a. Keadaan Pekerja di Indonesia Hasil Survey Angkatan Kerja Nasional Tahun 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
__________________. 2008b. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia Tahun 2008 Berdasarkan Hasil Susenas Panel Maret 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
__________________. 2008c. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2005.Badan Pusat Statistik, Jakarta.
_________________. 2009a. Statistik Indonesia Tahun 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
__________________. 2009b. Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
114
Basu, K. 2000. Analytical Development Economics : The Less Developed Economy Revisited. The MIT Press, Massachusetts.
Cella, G. 1984. The Input-Output Measurement of Interindustry Linkages. Oxford Bulletin of Economics and Statistics, 46 (1) : 1-6.
Clements, B.J. and J.W. Rossi. 1991. Interindustry Linkages and Economic Development: The Case of Brazil Reconsidered. The Developing Economics, 29 (2): 167-187.
Departemen Kehutanan. 2006a. Kajian Kebijakan Prioritas : Operasionalisasi dan Implementasinya dalam Program dan Kegiatan Departemen Kehutanan.Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan, Jakarta.
__________________. 2006b. Statistik Bina Produksi Kehutanan Tahun 2005. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta, Jakarta.
__________________. 2007a. Reposisi Kehutanan Indonesia. Biro Perencanaan dan Keuangan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
__________________. 2007b. Road Map Revitalisasi Industri Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan, Jakarta.
__________________. 2007c. Statistik Bina Produksi Kehutanan Tahun 2006. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
_________________. 2008a. Revitalisasi Kehutanan Nasional. Direktorat Jenderal Bina Produksi dan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
___________________. 2008b. Statistik Bina Produksi Kehutanan Tahun 2007. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
__________________. 2008c. Ekspor dan Impor Komoditi Kehutanan. Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
__________________. 2009a. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2008. Departemen Kehutanan, Jakarta.
__________________. 2009b. Statistik Bina Produksi Kehutanan Tahun 2008. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Dornbusch, R. dan S. Fisher. 1992. Makroekonomi. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Greenpeace Southeast Asia Jakarta. 1996. Kayu Lapis Indonesia. Greenpeace, Jakarta
115
Hardjanto. 2003. Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat di Pulau Jawa. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hess, P. dan C. Ross. 2000. Economic Development : Theories, Evidence and Policies. The Dryden Press, North Carolina.
Institut Pertanian Bogor. 2007. Kajian Ekonomi Kayu Lapis dan Kayu Gergajian dalam Peningkatan Nilai Ekspor. Insitut Pertanian Bogor, Bogor.
Jackson, R.W. and A.T. Murray. 2002. Alternative Formulations for Updating Input-Output Matrices. Research Paper, 1 (9): 1-16, Montreal.
Mankiw, N.G. 2000. Macroeconomics. Worth Publisher, New York.
Miller, R.E. dan P.D. Blair. 1985. Input-Output Analysis: Foundations and Extensions, Prentice-Hall, New Jersey.
Noor, A. 2004. Analisis Ekonomi Deforestasi dan Reforestasi Hutan di Kabupaten Kutai Timur. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Depok.
Nurrochmat, D.R, et al. 2010. Neraca Pembangunan Hijau : Konsep dan Implikasi Bisnis Karbon dan Tata Air di Sektor Kehutanan. Penerbit IPB Press, Bogor.
Rasmussen, R. 1956. Studies in Intersectoral Relations. North Holland Publishing Company, Amsterdam.
Santosa, B. 2006. Peranan Ekonomi Kehutanan di Provinsi Jawa Tengah : Analisis Pemanfaatan Hutan dan Penanggulangan Kebocoran Pendapatan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sonis, M. and G.JD. Hewings. 2000. Expended Miyazawa Framework : Labour and Capital Income, Savings, Consumption, and Investment Links. Working Paper. REAL 00-T-14. Illinois.
Suwarna, A. 2007. Dampak Bantuan Dana Rehabilitasi Lahan Milik Terhadap Pendapatan Masyarakat dan Perekonomian Wilayah di Kabupaten Garut. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Todaro, M. P. 2000. Ekonomi Pembangunan. PT. Erlangga, Jakarta.
West, G.R. 1993. Input – Output Analysis for Practitioners. Department of Economics, University of Queensland, Brisbane.
Winoto, J. dan H. Siregar. 2005. Peranan Pembangunan Infrastruktur Dalam Menggerakan Sektor Riil. Makalah Sidang Pleno ISEI IX, Jakarta.
116
Yudhoyono, S.B. dan Boediono. 2009. Membangun Indonesia yang Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan. Makalah Tentang Visi, Misi dan Program Aksi Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2009 – 2014, Jakarta.
Zuhdi. 1999. Analisis Pengembangan Industri Pengolahan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Ekonomi di DKI Jakarta. Tesis Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.
LAMPIRAN
137
Lampiran 9. Hasil Analisis Dekomposisi Pertumbuhan Struktural Sektor-Sektor Berbasis Kehutanan Tahun 2005 – 2008
9.a. Dekomposisi Pertumbuhan Output Sektor-Sektor Berbasis Kehutanan Menurut Sumber Pertumbuhan (Rp Miliar )
Sektor Domestic
Final Demand
Exsport Ekspansion
Import Substitution
TechnologicalChange
Total
5 27 996 -1 107 1 346 18 199 46 4346 18 610 -715 1 084 13 940 32 9197 29 518 3 767 4 092 13 272 50 6488 38 604 -4 934 931 8 636 43 2389 5 863 9 553 3 684 7 849 26 949
9.b. Dekomposisi Pertumbuhan Output Sektor-Sektor Berbasis Kehutanan Menurut Sumber Pertumbuhan (%)
Sektor Domestic
Final Demand
Exsport Ekspansion
Import Substitution
Technological Change
Total
5 60.3 -2.4 2.9 39.2 100.06 56.5 -2.2 3.3 42.3 100.07 58.3 7.4 8.1 26.2 100.08 89.3 -11.4 2.2 20.0 100.09 21.8 35.4 13.7 29.1 100.0
138
Lampiran 10.Dampak Peningkatan Output Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga
CHANGE FINAL DEMAND EFFECTS ON INCOME DISTRIBUTION (RP MILIAR)IO Miyazawa Tesis
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────SECTOR F.DEMAND INDUST CONS'M TOTAL (%) FLOW-ON (%)───────────────────────────────────────────────────────────────────────── 1 0.00 0.22 0.81 1.03 4.1 1.03 4.2 2 0.00 0.12 0.30 0.42 1.7 0.42 1.7 3 0.00 0.12 0.44 0.56 2.2 0.56 2.3 4 0.00 0.08 0.28 0.36 1.4 0.36 1.5 5 1.00 0.03 0.03 1.06 4.2 0.06 0.2 6 0.00 0.01 0.02 0.02 0.1 0.02 0.1 7 0.00 0.00 0.01 0.02 0.1 0.02 0.1 8 0.00 0.02 0.06 0.08 0.3 0.08 0.3 9 0.00 0.01 0.03 0.04 0.2 0.04 0.210 0.00 0.16 0.58 0.74 2.9 0.74 3.011 0.00 0.35 1.22 1.57 6.2 1.57 6.512 0.00 0.01 0.03 0.04 0.2 0.04 0.213 0.00 0.05 0.17 0.23 0.9 0.23 0.914 0.00 0.01 0.03 0.04 0.1 0.04 0.115 0.00 0.07 0.23 0.30 1.2 0.30 1.316 0.00 0.04 0.20 0.24 1.0 0.24 1.017 0.00 0.26 1.05 1.31 5.2 1.31 5.418 0.00 0.17 0.51 0.68 2.7 0.68 2.819 0.00 0.00 0.01 0.01 0.0 0.01 0.020 0.00 0.01 0.02 0.03 0.1 0.03 0.121 0.00 0.06 0.21 0.27 1.1 0.27 1.122 0.00 0.34 1.26 1.60 6.3 1.60 6.623 0.00 0.05 0.18 0.23 0.9 0.23 0.924 0.00 0.05 0.18 0.23 0.9 0.23 0.925 0.00 0.32 1.13 1.45 5.8 1.45 6.026 0.00 0.14 0.50 0.64 2.5 0.64 2.627 0.00 0.19 0.66 0.86 3.4 0.86 3.528 0.00 0.07 0.26 0.34 1.3 0.34 1.429 0.00 0.23 0.83 1.06 4.2 1.06 4.430 0.00 0.21 3.37 3.57 14.2 3.57 14.731 0.00 0.27 1.05 1.33 5.2 1.33 5.532 0.00 0.27 1.15 1.42 5.6 1.42 5.933 0.00 0.11 0.58 0.69 2.7 0.69 2.834 0.00 0.60 1.16 1.76 7.0 1.76 7.235 0.00 0.22 0.62 0.84 3.3 0.84 3.536 0.00 0.03 0.17 0.20 0.8 0.20 0.8
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────TOTAL 1.00 4.91 19.34 25.25 100.0 24.25 100.0MULTIPLIER 1.00 4.91 19.34 25.25 24.25─────────────────────────────────────────────────────────────────────────
139
Lampiran 11.Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Gergajian Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga
CHANGE FINAL DEMAND EFFECTS ON INCOME DISTRIBUTION (RP MILIAR) IO Miyazawa Tesis─────────────────────────────────────────────────────────────────────────SECTOR F.DEMAND INDUST CONS'M TOTAL (%) FLOW-ON (%)───────────────────────────────────────────────────────────────────────── 1 0.00 0.22 0.73 0.95 4.0 0.95 4.2 2 0.00 0.09 0.27 0.36 1.5 0.36 1.6 3 0.00 0.12 0.40 0.52 2.2 0.52 2.3 4 0.00 0.08 0.25 0.33 1.4 0.33 1.5 5 0.00 0.21 0.03 0.24 1.0 0.24 1.0 6 1.00 0.10 0.02 1.12 4.7 0.12 0.5 7 0.00 0.00 0.01 0.01 0.1 0.01 0.1 8 0.00 0.02 0.05 0.07 0.3 0.07 0.3 9 0.00 0.01 0.03 0.04 0.1 0.04 0.210 0.00 0.16 0.52 0.68 2.9 0.68 3.011 0.00 0.36 1.10 1.45 6.1 1.45 6.412 0.00 0.01 0.03 0.04 0.2 0.04 0.213 0.00 0.06 0.16 0.21 0.9 0.21 0.914 0.00 0.01 0.02 0.03 0.1 0.03 0.115 0.00 0.07 0.21 0.28 1.2 0.28 1.216 0.00 0.04 0.18 0.22 0.9 0.22 1.017 0.00 0.26 0.95 1.21 5.1 1.21 5.318 0.00 0.18 0.46 0.64 2.7 0.64 2.819 0.00 0.00 0.00 0.01 0.0 0.01 0.020 0.00 0.01 0.02 0.03 0.1 0.03 0.121 0.00 0.05 0.19 0.24 1.0 0.24 1.122 0.00 0.31 1.13 1.44 6.1 1.44 6.423 0.00 0.05 0.16 0.22 0.9 0.22 1.024 0.00 0.04 0.16 0.20 0.8 0.20 0.925 0.00 0.36 1.02 1.38 5.8 1.38 6.126 0.00 0.14 0.45 0.59 2.5 0.59 2.627 0.00 0.22 0.60 0.81 3.4 0.81 3.628 0.00 0.08 0.24 0.31 1.3 0.31 1.429 0.00 0.25 0.75 1.00 4.2 1.00 4.430 0.00 0.21 3.03 3.24 13.7 3.24 14.331 0.00 0.33 0.95 1.28 5.4 1.28 5.632 0.00 0.38 1.04 1.43 6.0 1.43 6.333 0.00 0.14 0.52 0.66 2.8 0.66 2.934 0.00 0.41 1.05 1.46 6.2 1.46 6.535 0.00 0.21 0.56 0.77 3.2 0.77 3.436 0.00 0.03 0.15 0.18 0.8 0.18 0.8
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────TOTAL 1.00 5.21 17.43 23.64 100.0 22.64 100.0MULTIPLIER 1.00 5.21 17.43 23.64 22.64─────────────────────────────────────────────────────────────────────────
140
Lampiran 12.Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Lapis Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga
CHANGE FINAL DEMAND EFFECTS ON INCOME DISTRIBUTION (RP MILIAR)IO Miyazawa Tesis
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────SECTOR F.DEMAND INDUST CONS'M TOTAL (%) FLOW-ON (%)───────────────────────────────────────────────────────────────────────── 1 0.00 0.22 0.75 0.97 4.0 0.97 4.1 2 0.00 0.09 0.28 0.37 1.5 0.37 1.6 3 0.00 0.12 0.41 0.53 2.2 0.53 2.3 4 0.00 0.08 0.26 0.34 1.4 0.34 1.5 5 0.00 0.13 0.03 0.16 0.7 0.16 0.7 6 0.00 0.05 0.02 0.07 0.3 0.07 0.3 7 1.00 0.05 0.01 1.06 4.4 0.06 0.3 8 0.00 0.02 0.06 0.08 0.3 0.08 0.3 9 0.00 0.01 0.03 0.04 0.2 0.04 0.210 0.00 0.20 0.54 0.74 3.0 0.74 3.211 0.00 0.35 1.13 1.48 6.1 1.48 6.312 0.00 0.01 0.03 0.04 0.1 0.04 0.213 0.00 0.05 0.16 0.22 0.9 0.22 0.914 0.00 0.01 0.03 0.03 0.1 0.03 0.115 0.00 0.07 0.22 0.29 1.2 0.29 1.316 0.00 0.04 0.19 0.23 0.9 0.23 1.017 0.00 0.37 0.98 1.34 5.5 1.34 5.818 0.00 0.20 0.48 0.68 2.8 0.68 2.919 0.00 0.00 0.01 0.01 0.0 0.01 0.020 0.00 0.01 0.02 0.03 0.1 0.03 0.121 0.00 0.05 0.19 0.25 1.0 0.25 1.122 0.00 0.33 1.17 1.49 6.1 1.49 6.423 0.00 0.06 0.17 0.23 0.9 0.23 1.024 0.00 0.04 0.16 0.20 0.8 0.20 0.925 0.00 0.36 1.05 1.41 5.8 1.41 6.126 0.00 0.15 0.46 0.61 2.5 0.61 2.627 0.00 0.26 0.62 0.87 3.6 0.87 3.828 0.00 0.08 0.24 0.32 1.3 0.32 1.429 0.00 0.26 0.77 1.03 4.2 1.03 4.430 0.00 0.22 3.13 3.35 13.8 3.35 14.431 0.00 0.31 0.98 1.29 5.3 1.29 5.632 0.00 0.37 1.07 1.45 5.9 1.45 6.233 0.00 0.14 0.54 0.68 2.8 0.68 2.934 0.00 0.39 1.08 1.46 6.0 1.46 6.335 0.00 0.20 0.58 0.78 3.2 0.78 3.336 0.00 0.03 0.16 0.19 0.8 0.19 0.8
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────TOTAL 1.00 5.33 17.98 24.30 100.0 23.30 100.0MULTIPLIER 1.00 5.33 17.98 24.30 23.30─────────────────────────────────────────────────────────────────────────
141
Lampiran 13.Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Pulp Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga
CHANGE FINAL DEMAND EFFECTS ON INCOME DISTRIBUTION (RP MILIAR)IO Miyazawa Tesis
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────SECTOR F.DEMAND INDUST CONS'M TOTAL (%) FLOW-ON (%)───────────────────────────────────────────────────────────────────────── 1 0.00 0.25 0.77 1.01 3.9 1.01 4.1 2 0.00 0.10 0.28 0.38 1.5 0.38 1.6 3 0.00 0.13 0.42 0.55 2.1 0.55 2.2 4 0.00 0.09 0.26 0.35 1.4 0.35 1.4 5 0.00 0.07 0.03 0.10 0.4 0.10 0.4 6 0.00 0.01 0.02 0.03 0.1 0.03 0.1 7 0.00 0.00 0.01 0.01 0.1 0.01 0.1 8 0.00 0.02 0.06 0.08 0.3 0.08 0.3 9 1.00 0.44 0.03 1.47 5.7 0.47 1.910 0.00 0.24 0.55 0.79 3.1 0.79 3.211 0.00 0.37 1.16 1.53 6.0 1.53 6.212 0.00 0.01 0.03 0.04 0.1 0.04 0.213 0.00 0.06 0.17 0.22 0.9 0.22 0.914 0.00 0.01 0.03 0.04 0.1 0.04 0.115 0.00 0.07 0.22 0.30 1.2 0.30 1.216 0.00 0.05 0.19 0.25 1.0 0.25 1.017 0.00 0.40 1.00 1.40 5.4 1.40 5.718 0.00 0.25 0.49 0.74 2.9 0.74 3.019 0.00 0.00 0.01 0.01 0.0 0.01 0.020 0.00 0.01 0.02 0.03 0.1 0.03 0.121 0.00 0.06 0.20 0.26 1.0 0.26 1.022 0.00 0.38 1.19 1.58 6.2 1.58 6.423 0.00 0.06 0.17 0.23 0.9 0.23 0.924 0.00 0.05 0.17 0.21 0.8 0.21 0.925 0.00 0.47 1.08 1.55 6.0 1.55 6.326 0.00 0.17 0.48 0.64 2.5 0.64 2.627 0.00 0.30 0.63 0.93 3.6 0.93 3.828 0.00 0.09 0.25 0.34 1.3 0.34 1.429 0.00 0.34 0.79 1.13 4.4 1.13 4.630 0.00 0.23 3.20 3.43 13.4 3.43 13.931 0.00 0.34 1.00 1.34 5.2 1.34 5.432 0.00 0.41 1.10 1.50 5.9 1.50 6.133 0.00 0.16 0.55 0.71 2.8 0.71 2.934 0.00 0.40 1.10 1.50 5.9 1.50 6.135 0.00 0.21 0.59 0.80 3.1 0.80 3.336 0.00 0.04 0.16 0.20 0.8 0.20 0.8
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────TOTAL 1.00 6.29 18.38 25.67 100.0 24.67 100.0MULTIPLIER 1.00 6.29 18.38 25.67 24.67─────────────────────────────────────────────────────────────────────────
142
Lampiran 14.Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga
CHANGE FINAL DEMAND EFFECTS ON INCOME DISTRIBUTION (RP MILIAR)IO Miyazawa Tesis
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────SECTOR F.DEMAND INDUST CONS'M TOTAL (%) FLOW-ON (%)───────────────────────────────────────────────────────────────────────── 1 0.00 0.24 0.80 1.03 4.0 1.03 4.1 2 0.00 0.12 0.29 0.41 1.6 0.41 1.6 3 0.00 0.13 0.43 0.57 2.2 0.57 2.3 4 0.00 0.09 0.27 0.36 1.4 0.36 1.4 5 0.00 0.17 0.03 0.19 0.7 0.19 0.8 6 0.00 0.25 0.02 0.27 1.0 0.27 1.1 7 0.00 0.04 0.01 0.05 0.2 0.05 0.2 8 1.00 0.05 0.06 1.11 4.3 0.11 0.4 9 0.00 0.01 0.03 0.04 0.2 0.04 0.210 0.00 0.20 0.57 0.77 2.9 0.77 3.111 0.00 0.39 1.20 1.59 6.1 1.59 6.312 0.00 0.01 0.03 0.04 0.1 0.04 0.213 0.00 0.06 0.17 0.23 0.9 0.23 0.914 0.00 0.01 0.03 0.04 0.1 0.04 0.115 0.00 0.08 0.23 0.31 1.2 0.31 1.216 0.00 0.05 0.20 0.24 0.9 0.24 1.017 0.00 0.33 1.04 1.37 5.3 1.37 5.518 0.00 0.20 0.51 0.70 2.7 0.70 2.819 0.00 0.00 0.01 0.01 0.0 0.01 0.020 0.00 0.01 0.02 0.03 0.1 0.03 0.121 0.00 0.07 0.21 0.27 1.0 0.27 1.122 0.00 0.33 1.24 1.57 6.0 1.57 6.323 0.00 0.06 0.18 0.24 0.9 0.24 1.024 0.00 0.04 0.17 0.22 0.8 0.22 0.925 0.00 0.43 1.12 1.55 6.0 1.55 6.226 0.00 0.15 0.49 0.64 2.5 0.64 2.627 0.00 0.26 0.66 0.91 3.5 0.91 3.628 0.00 0.09 0.26 0.34 1.3 0.34 1.429 0.00 0.28 0.82 1.10 4.2 1.10 4.430 0.00 0.23 3.33 3.56 13.7 3.56 14.231 0.00 0.34 1.04 1.38 5.3 1.38 5.532 0.00 0.40 1.14 1.54 5.9 1.54 6.233 0.00 0.15 0.57 0.72 2.8 0.72 2.934 0.00 0.43 1.15 1.57 6.0 1.57 6.335 0.00 0.21 0.61 0.83 3.2 0.83 3.336 0.00 0.03 0.17 0.20 0.8 0.20 0.8
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────TOTAL 1.00 5.93 19.12 26.04 100.0 25.04 100.0MULTIPLIER 1.00 5.93 19.12 26.04 25.04─────────────────────────────────────────────────────────────────────────
143
Lampiran 15.Dampak Peningkatan Output Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja
FINAL DEMAND EMPLOYMENT EFFECTS (u) IO 2008 TESIS─────────────────────────────────────────────────────────────────────────SECTOR F.DEMAND INDUST CONS'M TOTAL (%) FLOW-ON (%)───────────────────────────────────────────────────────────────────────── 1 0.00 0.12 3.30 3.42 8.2 3.42 30.0 2 0.00 1.25 0.48 1.73 4.1 1.73 15.2 3 0.00 0.02 0.25 0.27 0.6 0.27 2.4 4 0.00 0.00 0.05 0.05 0.1 0.05 0.5 5 30.56 0.59 0.05 31.19 74.4 0.64 5.6 6 0.00 0.01 0.02 0.03 0.1 0.03 0.3 7 0.00 0.01 0.01 0.02 0.0 0.02 0.2 8 0.00 0.00 0.04 0.04 0.1 0.04 0.4 9 0.00 0.01 0.01 0.02 0.1 0.02 0.210 0.00 0.05 0.04 0.09 0.2 0.09 0.811 0.00 0.01 0.19 0.20 0.5 0.20 1.712 0.00 0.00 0.01 0.01 0.0 0.01 0.113 0.00 0.00 0.03 0.03 0.1 0.03 0.214 0.00 0.00 0.01 0.01 0.0 0.01 0.115 0.00 0.04 0.15 0.19 0.4 0.19 1.616 0.00 0.02 0.02 0.03 0.1 0.03 0.317 0.00 0.07 0.12 0.19 0.5 0.19 1.718 0.00 0.03 0.02 0.05 0.1 0.05 0.419 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.020 0.00 0.01 0.01 0.01 0.0 0.01 0.121 0.00 0.03 0.01 0.05 0.1 0.05 0.422 0.00 0.17 0.13 0.30 0.7 0.30 2.623 0.00 0.01 0.02 0.02 0.1 0.02 0.224 0.00 0.10 0.02 0.12 0.3 0.12 1.125 0.00 0.51 1.16 1.66 4.0 1.66 14.626 0.00 0.03 0.22 0.25 0.6 0.25 2.227 0.00 0.35 0.39 0.74 1.8 0.74 6.528 0.00 0.01 0.06 0.08 0.2 0.08 0.729 0.00 0.09 0.11 0.20 0.5 0.20 1.730 0.00 0.34 0.57 0.92 2.2 0.92 8.1
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────TOTAL 30.56 3.88 7.50 41.93 100.0 11.38 100.0MULTIPLIER 1.00 0.13 0.25 1.37 0.37─────────────────────────────────────────────────────────────────────────
144
Lampiran 16.Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Gergajian Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja
FINAL DEMAND EMPLOYMENT EFFECTS (u) IO 2008 TESIS─────────────────────────────────────────────────────────────────────────SECTOR F.DEMAND INDUST CONS'M TOTAL (%) FLOW-ON (%)───────────────────────────────────────────────────────────────────────── 1 0.00 0.11 4.53 4.65 10.7 4.65 21.4 2 0.00 0.32 0.66 0.98 2.3 0.98 4.5 3 0.00 0.01 0.34 0.35 0.8 0.35 1.6 4 0.00 0.00 0.07 0.07 0.2 0.07 0.3 5 0.00 6.24 0.07 6.31 14.5 6.31 29.0 6 21.73 2.06 0.03 23.82 54.8 2.10 9.6 7 0.00 0.01 0.01 0.01 0.0 0.01 0.1 8 0.00 0.01 0.05 0.07 0.2 0.07 0.3 9 0.00 0.01 0.02 0.02 0.1 0.02 0.110 0.00 0.05 0.06 0.11 0.2 0.11 0.511 0.00 0.01 0.26 0.27 0.6 0.27 1.212 0.00 0.00 0.01 0.01 0.0 0.01 0.013 0.00 0.00 0.04 0.04 0.1 0.04 0.214 0.00 0.00 0.01 0.01 0.0 0.01 0.115 0.00 0.02 0.21 0.23 0.5 0.23 1.016 0.00 0.01 0.03 0.04 0.1 0.04 0.217 0.00 0.08 0.17 0.24 0.6 0.24 1.118 0.00 0.04 0.03 0.06 0.1 0.06 0.319 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.020 0.00 0.00 0.01 0.01 0.0 0.01 0.121 0.00 0.01 0.02 0.03 0.1 0.03 0.222 0.00 0.10 0.18 0.28 0.6 0.28 1.323 0.00 0.02 0.02 0.04 0.1 0.04 0.224 0.00 0.04 0.03 0.07 0.2 0.07 0.325 0.00 1.18 1.59 2.77 6.4 2.77 12.726 0.00 0.03 0.30 0.33 0.8 0.33 1.527 0.00 0.59 0.54 1.13 2.6 1.13 5.228 0.00 0.02 0.09 0.11 0.3 0.11 0.529 0.00 0.13 0.15 0.28 0.7 0.28 1.330 0.00 0.32 0.79 1.11 2.6 1.11 5.1
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────TOTAL 21.73 11.43 10.32 43.48 100.0 21.75 100.0MULTIPLIER 1.00 0.53 0.47 2.00 1.00─────────────────────────────────────────────────────────────────────────
145
Lampiran 17.Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Lapis Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja
FINAL DEMAND EMPLOYMENT EFFECTS (u) IO 2008 TESIS─────────────────────────────────────────────────────────────────────────SECTOR F.DEMAND INDUST CONS'M TOTAL (%) FLOW-ON (%)───────────────────────────────────────────────────────────────────────── 1 0.00 0.32 3.60 3.92 13.2 3.92 20.7 2 0.00 0.52 0.52 1.05 3.5 1.05 5.5 3 0.00 0.05 0.27 0.32 1.1 0.32 1.7 4 0.00 0.00 0.05 0.06 0.2 0.06 0.3 5 0.00 3.82 0.05 3.88 13.0 3.88 20.5 6 0.00 1.05 0.03 1.07 3.6 1.07 5.7 7 10.86 0.54 0.01 11.41 38.3 0.55 2.9 8 0.00 0.03 0.04 0.08 0.3 0.08 0.4 9 0.00 0.01 0.01 0.03 0.1 0.03 0.110 0.00 0.11 0.05 0.16 0.5 0.16 0.811 0.00 0.02 0.21 0.23 0.8 0.23 1.212 0.00 0.00 0.01 0.01 0.0 0.01 0.013 0.00 0.00 0.03 0.03 0.1 0.03 0.214 0.00 0.01 0.01 0.02 0.1 0.02 0.115 0.00 0.10 0.16 0.26 0.9 0.26 1.416 0.00 0.02 0.02 0.05 0.2 0.05 0.217 0.00 0.36 0.13 0.49 1.6 0.49 2.618 0.00 0.06 0.02 0.08 0.3 0.08 0.419 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.020 0.00 0.01 0.01 0.02 0.1 0.02 0.121 0.00 0.02 0.02 0.03 0.1 0.03 0.222 0.00 0.16 0.14 0.30 1.0 0.30 1.623 0.00 0.03 0.02 0.05 0.2 0.05 0.224 0.00 0.04 0.03 0.07 0.2 0.07 0.425 0.00 1.43 1.26 2.69 9.0 2.69 14.226 0.00 0.14 0.24 0.38 1.3 0.38 2.027 0.00 1.13 0.43 1.56 5.2 1.56 8.228 0.00 0.03 0.07 0.10 0.3 0.10 0.529 0.00 0.17 0.12 0.29 1.0 0.29 1.530 0.00 0.57 0.63 1.20 4.0 1.20 6.3
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────TOTAL 10.86 10.76 8.19 29.81 100.0 18.95 100.0MULTIPLIER 1.00 0.99 0.75 2.75 1.75─────────────────────────────────────────────────────────────────────────
146
Lampiran 18.Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Pulp Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja
FINAL DEMAND EMPLOYMENT EFFECTS (u) IO 2008 TESIS─────────────────────────────────────────────────────────────────────────SECTOR F.DEMAND INDUST CONS'M TOTAL (%) FLOW-ON (%)───────────────────────────────────────────────────────────────────────── 1 0.00 1.33 4.42 5.75 16.4 5.75 22.8 2 0.00 0.50 0.64 1.15 3.3 1.15 4.6 3 0.00 0.07 0.33 0.40 1.1 0.40 1.6 4 0.00 0.00 0.07 0.07 0.2 0.07 0.3 5 0.00 2.03 0.07 2.10 6.0 2.10 8.3 6 0.00 0.07 0.03 0.10 0.3 0.10 0.4 7 0.00 0.01 0.01 0.02 0.1 0.02 0.1 8 0.00 0.05 0.05 0.10 0.3 0.10 0.4 9 9.82 4.28 0.02 14.13 40.3 4.30 17.010 0.00 0.16 0.06 0.21 0.6 0.21 0.811 0.00 0.03 0.26 0.28 0.8 0.28 1.112 0.00 0.00 0.01 0.01 0.0 0.01 0.013 0.00 0.00 0.04 0.04 0.1 0.04 0.114 0.00 0.01 0.01 0.02 0.0 0.02 0.115 0.00 0.04 0.20 0.24 0.7 0.24 1.016 0.00 0.05 0.03 0.07 0.2 0.07 0.317 0.00 0.39 0.16 0.56 1.6 0.56 2.218 0.00 0.09 0.03 0.11 0.3 0.11 0.419 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.020 0.00 0.01 0.01 0.01 0.0 0.01 0.121 0.00 0.02 0.02 0.04 0.1 0.04 0.222 0.00 0.25 0.17 0.42 1.2 0.42 1.723 0.00 0.03 0.02 0.05 0.1 0.05 0.224 0.00 0.06 0.03 0.09 0.3 0.09 0.425 0.00 3.01 1.55 4.57 13.0 4.57 18.126 0.00 0.20 0.30 0.50 1.4 0.50 2.027 0.00 1.48 0.53 2.01 5.7 2.01 8.028 0.00 0.06 0.09 0.15 0.4 0.15 0.629 0.00 0.35 0.15 0.50 1.4 0.50 2.030 0.00 0.61 0.77 1.38 3.9 1.38 5.5
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────TOTAL 9.82 15.19 10.06 35.08 100.0 25.25 100.0MULTIPLIER 1.00 1.55 1.02 3.57 2.57─────────────────────────────────────────────────────────────────────────
147
Lampiran 19.Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja
FINAL DEMAND EMPLOYMENT EFFECTS (u) IO 2008 TESIS─────────────────────────────────────────────────────────────────────────SECTOR F.DEMAND INDUST CONS'M TOTAL (%) FLOW-ON (%)───────────────────────────────────────────────────────────────────────── 1 0.00 0.46 4.16 4.62 12.6 4.62 17.3 2 0.00 1.00 0.61 1.61 4.4 1.61 6.0 3 0.00 0.03 0.31 0.35 0.9 0.35 1.3 4 0.00 0.00 0.06 0.07 0.2 0.07 0.3 5 0.00 4.83 0.06 4.89 13.3 4.89 18.3 6 0.00 5.31 0.03 5.34 14.5 5.34 20.0 7 0.00 0.41 0.01 0.42 1.1 0.42 1.6 8 9.94 0.28 0.05 10.26 28.0 0.33 1.2 9 0.00 0.02 0.02 0.03 0.1 0.03 0.110 0.00 0.09 0.05 0.14 0.4 0.14 0.511 0.00 0.04 0.24 0.29 0.8 0.29 1.112 0.00 0.00 0.01 0.01 0.0 0.01 0.013 0.00 0.00 0.03 0.03 0.1 0.03 0.114 0.00 0.01 0.01 0.02 0.1 0.02 0.115 0.00 0.08 0.19 0.27 0.7 0.27 1.016 0.00 0.03 0.02 0.05 0.1 0.05 0.217 0.00 0.24 0.15 0.39 1.1 0.39 1.518 0.00 0.05 0.03 0.07 0.2 0.07 0.319 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.020 0.00 0.02 0.01 0.03 0.1 0.03 0.121 0.00 0.03 0.02 0.05 0.1 0.05 0.222 0.00 0.11 0.16 0.28 0.8 0.28 1.023 0.00 0.03 0.02 0.05 0.1 0.05 0.224 0.00 0.06 0.03 0.08 0.2 0.08 0.325 0.00 2.31 1.46 3.77 10.3 3.77 14.126 0.00 0.06 0.28 0.34 0.9 0.34 1.327 0.00 0.98 0.49 1.48 4.0 1.48 5.528 0.00 0.05 0.08 0.13 0.4 0.13 0.529 0.00 0.20 0.14 0.34 0.9 0.34 1.330 0.00 0.56 0.72 1.29 3.5 1.29 4.8
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────TOTAL 9.94 17.30 9.46 36.69 100.0 26.76 100.0MULTIPLIER 1.00 1.74 0.95 3.69 2.69─────────────────────────────────────────────────────────────────────────
148
Lampiran 20.Backward Linkages Sektor - Sektor Berbasis Kehutanan
OPEN INVERSE MATRIX COLUMN OUTPUT LINKAGES IO 2008 TESIS─────────────────────────────────────────────────────────────────────────Sector Column Column Standard Coefficient Backward Backward Total Mean Deviation Variation Linkage Spread───────────────────────────────────────────────────────────────────────── 1 1.3806 0.0460 0.1898 4.1246 0.7029 1.2614 2 1.7467 0.0582 0.1995 3.4258 0.8892 1.0477 3 2.0455 0.0682 0.2260 3.3150 1.0413 1.0138 4 1.4610 0.0487 0.2035 4.1785 0.7438 1.2779 5 1.4423 0.0481 0.1844 3.8351 0.7342 1.1729 6 1.7178 0.0573 0.2000 3.4921 0.8745 1.0680 7 2.0114 0.0670 0.1901 2.8350 1.0240 0.8670 8 2.2390 0.0746 0.1884 2.5247 1.1398 0.7721 9 2.6584 0.0886 0.2602 2.9368 1.3534 0.898210 1.3252 0.0442 0.2088 4.7259 0.6746 1.445311 2.2094 0.0736 0.2255 3.0614 1.1248 0.936312 2.1812 0.0727 0.1884 2.5918 1.1104 0.792713 1.7188 0.0573 0.1987 3.4689 0.8750 1.060914 2.4130 0.0804 0.2062 2.5633 1.2284 0.783915 2.3260 0.0775 0.2267 2.9240 1.1841 0.894316 2.3568 0.0786 0.2196 2.7951 1.1998 0.854817 2.3527 0.0784 0.2643 3.3699 1.1977 1.030618 1.5640 0.0521 0.2014 3.8637 0.7962 1.181619 1.8976 0.0633 0.1986 3.1397 0.9660 0.960220 1.9341 0.0645 0.1870 2.8999 0.9846 0.886921 2.1047 0.0702 0.2245 3.2000 1.0714 0.978722 2.5565 0.0852 0.2907 3.4119 1.3015 1.043523 2.0500 0.0683 0.2136 3.1258 1.0436 0.956024 2.2164 0.0739 0.1866 2.5256 1.1283 0.772425 1.8697 0.0623 0.1887 3.0280 0.9518 0.926126 2.0706 0.0690 0.1864 2.7009 1.0541 0.826027 2.1201 0.0707 0.2026 2.8668 1.0793 0.876728 1.3865 0.0462 0.1953 4.2262 0.7058 1.292529 1.5979 0.0533 0.2146 4.0282 0.8135 1.231930 1.9756 0.0659 0.1916 2.9088 1.0057 0.8896
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────Total 58.9296 1.9643 6.2616 98.0931 30.0000 30.0000Average 1.9643 0.0655 0.2087 3.2698 1.0000 1.0000─────────────────────────────────────────────────────────────────────────Backward Linkage = Column Mean / Average Column MeanBackward Spread = Coefficient Variation / Average Coefficient Variation
149
Lampiran 21. Forward Linkages Sektor - Sektor Berbasis Kehutanan
OPEN INVERSE MATRIX COLUMN OUTPUT LINKAGES IO 2008 TESIS─────────────────────────────────────────────────────────────────────────Sector Column Column Standard Coefficient Forward Forward Total Mean Deviation Variation Linkage Spread───────────────────────────────────────────────────────────────────────── 1 2.0108 0.0670 0.2177 3.2487 0.9717 0.9640 2 2.8298 0.0943 0.2257 2.3928 1.3676 0.7101 3 1.8787 0.0626 0.2233 3.5664 0.9079 1.0583 4 1.6125 0.0538 0.2099 3.9049 0.7793 1.1588 5 2.3918 0.0797 0.2081 2.6101 1.1559 0.7746 6 2.3708 0.0790 0.2272 2.8749 1.1457 0.8531 7 2.0626 0.0688 0.2274 3.3081 0.9968 0.9817 8 1.3690 0.0456 0.1889 4.1404 0.6616 1.2287 9 3.2732 0.1091 0.3051 2.7964 1.5818 0.829810 2.8801 0.0960 0.2181 2.2719 1.3919 0.674211 1.5340 0.0511 0.2205 4.3122 0.7413 1.279612 1.4256 0.0475 0.1858 3.9102 0.6890 1.160413 1.1502 0.0383 0.2007 5.2346 0.5559 1.553414 2.2005 0.0733 0.2415 3.2919 1.0634 0.976915 1.4586 0.0486 0.2276 4.6813 0.7049 1.389216 2.3531 0.0784 0.2230 2.8427 1.1372 0.843617 3.0452 0.1015 0.2599 2.5607 1.4717 0.759918 2.5610 0.0854 0.1928 2.2583 1.2377 0.670219 2.1691 0.0723 0.2517 3.4818 1.0483 1.033220 2.0684 0.0689 0.2255 3.2704 0.9996 0.970521 2.5703 0.0857 0.2632 3.0723 1.2422 0.911722 2.2686 0.0756 0.2913 3.8527 1.0964 1.143323 2.3962 0.0799 0.2049 2.5654 1.1580 0.761324 1.1623 0.0387 0.1841 4.7506 0.5617 1.409725 1.7545 0.0585 0.1875 3.2062 0.8479 0.951426 1.3754 0.0458 0.1826 3.9825 0.6647 1.181827 2.0921 0.0697 0.1998 2.8644 1.0110 0.850028 1.8397 0.0613 0.1967 3.2070 0.8891 0.951729 2.5382 0.0846 0.2217 2.6201 1.2267 0.777530 1.4342 0.0478 0.1919 4.0151 0.6931 1.1915
─────────────────────────────────────────────────────────────────────────Total 62.0764 2.0692 6.6042 101.0949 30.0000 30.0000Average 2.0692 0.0690 0.2201 3.3698 1.0000 1.0000─────────────────────────────────────────────────────────────────────────Forward Linkage = Column Mean / Average Column MeanForward Spread = Coefficient Variation / Average Coefficient Variation