ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK EKSEKUSI KREDITOR PEMEGANG HAK
TANGGUNGAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 67/PUU-XI/2013
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
BARRA MUHAMMAD HILMA ISKANDAR NIM: 1111048000031
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1437 H/ 2016 M
iv
ABSTRAK Barra Muhammad Hilma Iskandar. NIM: 1111048000031. Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak Eksekusi Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M.
Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 67/PUUXI/2013 memutuskan apabila suatu perusahaan pailit, maka pembayaran upah buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk tagihan kreditor separatis dan tagihan hak Negara. Tujuan dari skripsi ini untuk mengetahui kedudukan kreditor separatis pemegang hak tanggungan dalam mengeksekusi haknya ketika terjadi kepalitan sebelum dan sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013 dan untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013 mengenai hak eksekusi kreditor pemegang hak tanggungan ketika debitor pailit.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan mengacu kepada Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Sedangkan pendekatan kasus dilakukan dengan menelaah pada kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dalam hal ini Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013.
Berdasarkan penelitian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 telah merubah kedudukan pelunasan utang dari debitor yang mendahulukan pelunasan upah buruh dibandingkan dengan kreditor separatis, serta pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut tidak sejalan dengan ketentuan dalam hukum hak tanggungan yang mendahulukan kreditor pemegang hak tanggungan dalam pelunasan utangnya daripada kreditor-kreditor lain.
Kata Kunci : Kreditor Separatis, Buruh, Pailit
Pembimbing : H.M. Yasir, SH, M.Hum
Ahmad Bachtiar, M.Hum
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehinga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum (SH) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu
baik materil maupun immateril, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H dan Drs. Abu Tamrin,
S.H.,M.Hum., Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.
3. H.M. Yasir, SH, M.Hum dan Ahmad Bachtiar, M.Hum, dosen pembimbing
skripsi yang telah banyak meluangkan waktu disela-sela kesibukan dalam
memberikan nasihat, kritik dan saran yang sangat membantu penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum, sebagai dosen penasihat akademik yang telah
memberikan nasihat dan arahan.
5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas berbagi ilmu
pengetahuan dan pengalamanya kepada penulis.
6. Ayahanda Amin Iskandar dan Ibunda Imas Masturoh, yang telah memberikan
segala dukungan baik materil maupun immateril serta doanya sehingga penulis
dapat menyelesaikan masa studi S1.
vi
7. Silma Rahmah, Alya Nashifa, Dhiya Adila. Adik penulis yang selalu mendoakan
dan mendukung penulis.
8. Seluruh keluarga besar Bentong Residence (BR), Andrio, Angga Ariyana, M.
Nurdiansyah, Idham Katiasan, Kurnialif Triono, Ilyas Aghnini, Rudi Hartono,
Dadan Gustiana, Rifki Alpiandi, Febyo Hartanto, Syawal Ritonga, Nevo Amaba,
Muhammad Iqbal, terima kasih atas dukungan dan pengalaman yang telah
diberikan selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Teman-teman kontrakan, Fathul Iman, Dwi Husein (Tokici), Rifki Alpiandi,
Fadli, Rizki, Aji dan Wahyu. Terima kasih atas dukungan dan kerjasamanya
selama beberapa tahun ini.
10. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2011,
terimakasih atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan selama ini.
11. Tian M dan Asep Rendy sahabat penulis diluar perkuliahan
12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT memberikan
berkah dan karuniaNya serta membalas kebaikan mereka. Amin.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Jakarta, 22 Juli 2016 Penulis,
Barra Muhammad H.I
vii
DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii ABSTRAK ..................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ................................................................................... v DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ............................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7
D. Tinjauan Kajian (Review) Terdahulu .............................................. 8
E. Metode Penelitian ........................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ..................................................................... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG HAK TANGGUNGAN
A. Pengertian Hak Tanggungan ........................................................... 18
B. Asas-asas Hak Tanggungan ............................................................ 20
C. Objek Hak Tanggungan .................................................................. 22
D. Subjek Hak Tanggungan ................................................................. 23
E. Proses Pembebanan Hak Tanggungan ............................................. 24
F. Eksekusi Hak Tanggungan .............................................................. 27
BAB III TINJAUAN PUSTAKA TENTANG HUKUM KEPAILITAN DI
INDONESIA
A. Pengertian dan Syarat-syarat dalam Pailit ....................................... 33
B. Para Pihak dalam Kepailitan ........................................................... 38
viii
C. Jenis-jenis Kreditor dalam Kepailitan .............................................. 45
D. Akibat Pernyataan Pailit .................................................................. 48
BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK
EKSEKUSI KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN
DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI NOMOR
67/PUU-XI/2013
A. Posisi Kasus .................................................................................... 52
B. Pertimbangan Majelis Hakim .......................................................... 56
C. Amar Putusan ................................................................................. 60
D. Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak Eksekusi Kreditor
Pemegang Hak Tanggungan ............................................................ 61
1. Kedudukan Kreditor Separatis dalam Eksekusi Hak
Tanggungan Ketika Terjadi Kepalitan ....................................... 61
2. Analisis Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan MK ........ 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 87
B. Saran .............................................................................................. 88
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 90
LAMPIRAN .................................................................................................... 94
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia selalu ingin dapat memenuhi semua kebutuhannya. Kebutuhan ini
beraneka ragam, ada yang perlu diutamakan (primer), penunjang kebutuhan primer
(sekunder), dan kebutuhan yang dapat ditunda pemenuhannya (tersier).1 Seperti
halnya dengan manusia, perusahaan harus memenuhi kebutuhannya untuk dapat
bertahan.Untuk dapat memenuhi kebutuhannya, baik orang maupun perusahaan
tidak terlepas dari transaksi utang-piutang atau kredit sebagai akibat dari kurang
atau tidak adanya penghasilan atau modal.
Bagi suatu perusahaan atau pengusaha, utang bukan merupakan hal yang
menakutkan asalkan masih dapat mengembalikannya. Perusahaan yang dapat
membayar kembali utangnya disebut perusahaan solvable, artinya perusahaan
yang mampu membayar utangya. Sebaliknya, perusahaan yang tidak dapat
membayar utangnya disebut insolvable (tidak mampu membayar).2 Keadaan tidak
membayar utangnya itu terjadi karena kreditor tidak mau membayar atau tidak
mampu membayar. Untuk itu, hakim dapat menjatuhkan pailit pada perusahaan
1 Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 1. 2 H.M.N. Purwosatjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 1984), h. 27.
2
atau orang yang bersangkutan, bahkan apabila perusahaan dinyatakan tidak bisa
membayar utangnya lagi maka usahanya itu bisa dibilang pailit.3
Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk
melakukan pembayaran terhadap utang dari para kreditornya. Keadaan tidak
mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan
(financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran.
Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita
umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan
ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh
kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama
menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh
utang debitor pailit tersebut secara proporsional dan sesuai dengan struktur
kreditor.4
Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap
debitor dapat dilihat dari Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan)
yang menyatakan bahwa ”Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
3 Annalisa Y, Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Alternatif
Penyelesaian Utang Piutang), (Palembang: Unsri, 2007), h.2. 4 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik di Pengadilan,
(Jakarta: Kencana, 2008), h.1.
3
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih dari kreditornya.”
Pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dikenal ada 3 (tiga) jenis
kreditor yaitu kreditor konkuren, kreditor separatis, dan kreditor preferen. Khusus
mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki
terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan.
Kreditor separatis yaitu kreditor pemegang jaminan kebendaan berdasarkan
Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata yaitu Gadai dan Hipotek. Selain itu kreditor
separatis juga pemegang jaminan-jaminan kebendaan yang diatur dalam UU No. 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia, dan juga pemegang hak dalam UU No. 9 Tahun 2011 tentang Sistem Resi
Gudang. Dikatakan “separatis” yang berarti “pemisahan” karena kedudukan
kreditor tersebut memang dipisahkan dari kreditor lainnya, dalam arti dia dapat
menjual sendiri dan mengambil sendiri hasil penjualan yang terpisah dengan harta
pailit dan dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hal ini
disebabkan karena dalam Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) maupun fidusia
memiliki irah-irah “Demi Keadilan Dan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
memiliki kekuatan sama seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum
tetap. Selama Pasal dalam hukum acara perdata yang mengatur tentang irah-irah
tersebut belum dicabut atau belum dinyatakan batal, maka tidak ada satupun
kreditor yang dapat mengambil hak kreditor separatis pemegang hak tanggungan.
4
Kekuatan eksekusi kreditor separatis ini kemudian dikuatkan dengan Pasal 55
ayat (1) UU Kepailitan menyatakan bahwa “Dengan tetap memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap
Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak
agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak
terjadi kepailitan”. Artinya, hak gadai, hipotek, fidusia, dan hak tanggungan tidak
termasuk budel pailit yang akan dieksekusi.
Kreditor separatis berhak mengeksekusi jaminan kebendaan tersebut di
karenakan objek yang dijadikan jaminan sudah berada di tangan kreditor secara
legal yang kemudian secara legal pula (melalui sertifikat hak tanggungan,
sertifikat jaminan fidusia, surat gadai) debitor memberikan kekuasaan untuk
menjual objek jaminan tersebut sebagai sumber pelunasan utangnya apabila ia
ingkar janji atau tidak dapat membayar utangnya. Namun, kedudukan hak eksekusi
yang dimiliki oleh kreditor separatis tersebut kemudian berubah dengan adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013 yang menyebutkan
bahwa:
a) Upah pekerja didahulukan pembayarannya dari segala jenis tagihan dan
kreditor-kreditor lainnya, termasuk dari kreditor separatis dan tagihan pajak
negara.
b) Hak-hak pekerja lainnya dibayar lebih dahulu dari segala macam tagihan dan
kreditor-kreditor lainnya, kecuali jika debitor memiliki kreditor separatis.
5
Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pembayaran tagihan negara dan
kreditor separatis tidak lagi yang utama ketika buruh (pekerja) mengajukan tagihan
pembayaran upah. Mahkamah Konstitusi memposisikan pembayaran upah buruh
lebih utama dari semua jenis tagihan. Posisi upah mengalahkan tagihan negara dan
kreditor separatis. Jika dilihat dari sisi kepentingan kurator, putusan Mahkamah
Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013 mempermudah kurator dalam menjalankan
tugasnya. Kurator tidak perlu berdebat lagi dengan buruh, kreditor separatis
maupun petugas pajak. Singkatnya, putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak
menimbulkan masalah bagi kurator maupun debitor pailit.
Bagi kreditor separatis, putusan Mahkamah Konstitusi itu bisa dinilai tidak
menguntungkan khususnya dalam mengeksekusi haknya ketika debitor pailit dan
tentunya akan berdampak buruk kepada pertumbuhan ekonomi negara dikarenakan
tidak akan ada pemilik modal seperti lembaga perbankan atau lembaga keuangan
lainnya yang mau menyalurkan modal kepada pengusaha atau perusahaan sebagai
langkah dan upaya meningkatkan kapasitas usaha yang tujuannya untuk
meningkatkan perekonomian Negara, pembangunan nasional dan mewujudkan
masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut, maka penulis tertarik untuk
menelitinya dengan judul “Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak Eksekusi
Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI
Nomor 67/PUU-XI/2013”
6
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Apa peran kreditor separatis dalam sebuah perusahaan ?
b. Adakah hak-hak buruh yang dilanggar dalam UU Kepailitan ?
c. Bagaimana pandangan Islam mengenai utang ?
d. Bagaimana cara kurator dalam membagi harta debitor untuk pelunasan
utangnya ?
e. Apa alasan penggugat mengajukan uji materil terhadap Pasal 95 ayat (4)
pada Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013 ?
f. Bagaimana kedudukan kreditor separatis pemegang hak tanggungan dalam
mengeksekusi haknya ketika terjadi kepalitan sebelum dan sesudah
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013 ?
g. Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013 mengenai hak eksekusi kreditor
pemegang hak tanggungan ketika debitor pailit?
2. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga dapat
mengakibatkan ketidakjelasan maka penulis membuat pembatasan masalah
yakni, mengenai perlindungan hukum terhadap hak eksekusi kreditor
pemegang hak tanggungan ketika debitor pailit pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013.
7
3. Rumusan Masalah
a. Bagaimana kedudukan kreditor separatis pemegang hak tanggungan
dalam mengeksekusi haknya ketika terjadi kepalitan sebelum dan sesudah
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013 ?
b. Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013 mengenai hak eksekusi kreditor
pemegang hak tanggungan ketika debitor pailit?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui kedudukan kreditor separatis pemegang hak tanggungan
dalam mengeksekusi haknya ketika terjadi kepalitan sebelum dan sesudah
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013.
b. Untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013 mengenai hak eksekusi kreditor
pemegang hak tanggungan ketika debitor pailit.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoretis
Secara teoretis penelitian ini dapat bermanfaat dalam memahami
tentang hak eksekusi kreditor pemegang hak tanggungan ditinjau dari
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013. Serta dapat
memberikan kontribusi bagi regulasi, terhadap kedudukan para kreditor
8
separatis salah satunya pemegang hak tanggungan khususnya ketika debitor
mengalami pailit.
Dengan demikian, pemahaman tersebut akan membawa akademisi
agar berpikiran lebih luas mengenai hak eksekusi kreditor separatis
pemegang hak tanggungan tersebut. Sehingga di masa depan akan mampu
membuat peraturan perundang-undangan yang lebih baik untuk melindungi
hak eksekusi kreditor separatis.
b. Secara Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan berguna bagi masyarakat luas
Indonesia dalam memahami hak eksekusi kreditor pemegang hak
tanggungan ketika debitor pailit dan diharapkan dapat menjadi kerangka
acuan dan landasan bagi penulisan lanjutan dan menjadi bahan informasi dan
masukan baik bagi pemerintah maupun semua pihak yang terkait dalam
rangka penyiapan dan penyempurnaan perangkat hukum dalam regulasi
yang berhubungan dengan kreditor separatis.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis menyertakan
beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi
yang akan dibahas, sebagai berikut:
“Analisis Yuridis Kedudukan Kreditor Separatis Pemegang Jaminan Fidusia
dalam Keadaan Debitor Pailit (Studi Kasus Atas Putusan Mahkamah Agung No.
9
306 K/PDT.SUS/2010)”. Skripsi yang disusun oleh Ian Martin P L dari
Universitas Indonesia pada tahun 2013. Skripsi tersebut menjelaskan tentang
pemenuhan hak kreditor separatis pemegang jaminan fidusia yang merasa
dihalangi oleh ketentuan Pasal 56 UU Kepailitan dalam hal penangguhan eksekusi.
Sedangkan dalam skripsi ini, penulis mengambil studi tentang eksekusi pemegang
hak tanggungan dan menganalis Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor
67/PUU-XI/2013 yang menurut penulis mengganggu proses eksekusi hak
tanggungan.
“Analisisa Yuridis Mengenai Perlindungan Hukum Kreditor Pemegang Hak
Tanggungan Terhadap Penangguhan Eksekusi Jaminan Utang Berdasarkan
Hukum Kepailitan di Indonesia”. Tesis yang disusun oleh Nieke Dewi Sulistiyani
dari Universitas Indonesia pada tahun 2006. Tesis ini juga berisi mengenai
pemenuhan hak kreditor separatis khususnya pemegang hak tanggungan yang
merasa dirugikan dengan adanya proses penangguhan eksekusi yang tercantum
dalam Pasal 56 UU Kepailitan. Sedangkan yang diteliti dalam skripsi ini adalah
perubahan kedudukan kreditor separatis yang seharusnya didahulukan berdasarkan
Pasal 55 UU Kepailitan, yang pada akhirnya dirubah oleh Putusan Mahkamah
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013.
Buku M. Hadi Shubhan yang berjudul “Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma,
dan Praktik di Pengadilan.” diterbitkan oleh Kencana, Jakarta, tahun 2008. Buku
tersebut menjelaskan tentang pengertian mengenai kepailitan dan aspek hukum
kepailitan dalam perseroan terbatas di Indonesia dan bagaimana penerapan prinsip
10
dan norma hukum kepailitan di Indonesia. Sedangkan dalam skripsi ini penulis
lebih khusus meneliti tentang pertimbangan majelis hakim dalam memutus
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013 yang amar putusannya
Mahkamah Konstitusi memberi kedudukan berbeda terhadap upah dan hak-hak
pekerja lainnya.
“Analisis Yuridis Hak Kreditor Separatis Pemegang Hak Tanggungan dalam
Kepailitan”. Jurnal Hukum yang disusun oleh Nina Yolanda, Dosen Fakultas
Hukum Universitas Palembang, disusun pada tahun 2013. Jurnal ini berisi tentang
pemenuhan hak-hak kreditor pemegang hak tanggungan yang mempunyai
kedudukan lebih tinggi dalam kepailitan, masih dapat diganggu oleh situasi dan
kondisi perusahaan atau individu yang dinyatakan pailit. Salah satunya oleh utang
pajak sebagai kreditor preferen istimewa yang mendapat hak untuk memperoleh
pelunasan lebih dahulu dari penjualan harta pailit. Sebagai pembeda, pada skripsi
ini penulis menganalisa mengenai hak-hak kreditor separatis pemegang hak
tanggungan dalam pelunasan utangnya yang diganggu dengan adanya ketentuan
mengenai upah buruh yang didahulukan daripada kreditor separatis ketika
perusahaan (debitor) dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013.
11
E. Metode Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka bahan-bahan
hukum dikumpulkan terlebih dahulu melalui studi dokumen. Selanjutnya bahan
hukum tersebut digolongkan atau diklasifikasi, yang mana ditentukan bahwa
peneltian ini merupakan bagian dari hukum jaminan khususnya mengenai hak
tanggungan. Sehingga penelitian ini akan dapat memperoleh bahan hukum yang
relevan dengan masalah yang akan diteliti.5
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui studi
dokumen atau bahan pustaka (library research) yang bertujuan memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer dengan cara melakukan penilitian
terhadap berbagai sumber seperti buku-buku yang berkaitan dengan
permasalahan, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, pendapat dan
hasil karya para sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang
diperoleh dari internet.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan pada
penelitian ini adalah yuridis normatif atau kepustakaan. Penelitian yuridis
5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, (Jakarta: UI Press, 2008),
h. 251.
12
normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka.6 Penelitian yuridis normatif mencakup:7
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.
b. Penelitian terhadap sistematika hukum.
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum.
d. Penelitian sejarah hukum.
e. Penelitian perbandingan hukum.
Dalam penelitian ini, penulis menganalisis bahan pustaka atau data sekunder,
dengan berpedoman pada norma-norma hukum yang tedapat dalam perundang-
undangan yang berkaitan dengan hak eksekusi kreditor separatis ketika debitor
mengalami pailit.
3. Sumber Penelitian
Penelitian ini menggunakan adalah data sekunder dari perpustakaan., yaitu
dalam bentuk bahan hukum primer berupa Putusan Mahkamah Konstitusi yang
berkaitan dengan kreditor separatis dan hak tanggungan. Data sekunder yang
dari sudut kekuatan mengikatnya digolongkan ke dalam:8
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat, Dalam
hal ini, bahan hukum primer yang penulis gunakan, yaitu:
1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
6 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 14. 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif………..h. 51. 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,...........h. 51.
13
2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
4) Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan menjelaskan
bahan hukum primer. Antara lain buku, teks, jurnal, makalah, hasil
seminar, dan artikel-artikel yang berkaitan dengan kedudukan kreditor
separatis pemegang hak jaminan kebendaan. Dalam hal ini, bahan hukum
sekunder yang penulis gunakan yaitu:
1) Berbagai hasil penelitian mengenai Hak Tanggungan, Kepailitan dan
Hak Buruh
2) Berbagai buku yang membahas mengenai Hak Tanggungan,
Kepailitan dan Hak Buruh, dan buku tentang perundang-undangan.
3) Yurisprudensi
4. Pendekatan Penelitian
Dalam kaitannya dengan penelitian yuridis normatif, akan digunakan
beberapa pendekatan, yaitu:9
a. Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)
Pendekatan yang digunakan berkaitan dengan penelitian normatif ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan, yaitu penelitian terhadap
9 Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publising, 2007), h.300.
14
undang-undang dengan mengkaji mengenai norma dan perlindungan
hukum hak eksekusi kreditor separatis dalam Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
b. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus yang
telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dalam hal
ini Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 67/PUU-XI/2013. Hal pokok
yang dikaji pada setiap putusan tersebut adalah pertimbangan hakim untuk
sampai pada suatu keputusan sehingga dapat digunakan sebagai
argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi. Dalam
menggunakan pendekatan kasus yang perlu dipahami oleh peneliti adalah
ratio deciendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim
untuk sampai pada putusannya.10
5. Metode Analisis dan Pengolahan Data
Analisis data dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu setelah
penulis mengumpulkan peraturan perundangan-undangan kemudian menelaah
pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat di dalam
10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), h.119.
15
peraturan perundang-undangan. Kemudian, mengklasifikasikannya sesuai aspek
data yang terkumpul lalu diinterpretasikan secara logis dengan melihat data-
data yang diperoleh melalui observasi setelah itu dianalisis setelah dilakukan
analisis, maka kontruksi dilaksanakan dengan cara memasukkan Pasal-pasal
tertentu, ke dalam kategori-kategori atas pengertian dasar dari sistem
hukumnya. Kemudian secara induktif ditarik simpulan untuk menjawab
permasalahan yang ada.
6. Metode Penulisan
Penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai
dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi,
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-
masing bab terdiri atas beberapa subbab guna lebih memperjelas ruang lingkup
dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-
masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab I menguraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi,
batasan, dan rumusan masalah serta tujuan dan manfaat penelitian. Dalam
16
bab ini, penulis juga menjelaskan mengenai tinjauan (review) kajian
terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA HAK TANGGUNGAN
Bab ini akan menjelaskan mengenai pengertian tentang hak tanggungan,
asas-asas hak tanggungan, proses pembebanan dan pendaftaran hak
tanggungan, pengalihan dan hapusnya hak tanggungan, teori-teori tentang
eksekusi dan eksekusi hak tanggungan,
BAB III TINJAUAN UMUM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA
Bab ini berisi tentang pengertian dan syarat-syarat dalam pailit, para pihak
dalam kepailitan, kreditor separatis menurut hukum jaminan dan kepailitan,
buruh dan haknya dalam kepailitan, pengurusan harta pailit dan
berakhimya kepailitan.
BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK
EKSEKUSI KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PASCA
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI NOMOR 67/PUU-XI/2013
Pada bab ini akan dijelaskan tentang kedudukan kreditor separatis dalam
eksekusi hak tanggungan ketika terjadi kepalitan dan mengetahui
pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI
Nomor 67/PUU-XI/2013 mengenai hak eksekusi kreditor pemegang hak
tanggungan ketika debitor pailit.
17
BAB V PENUTUP
Merupakan kesimpulan dari seluruh rangkaian pembahasan dari bab I
sampai bab IV kemudian dilanjutkan dengan saran-saran yang dianggap
penting dan relevan dengan kesimpulan.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG HAK TANGGUNGAN
A. Pengertian Hak Tanggungan
Istilah hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan terdapat pada Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA). Pasal 51 UUPA menjelaskan ketentuan mengenai hak tanggungan akan
diatur lebih lanjut dengan undang-undang dan selama undang-undang tersebut
belum terbentuk maka terhadap hak tanggungan berlaku ketentuan-ketentuan
mengenai hipotek dalam buku kedua KUHPerdata Indonesia dan credietverband
dalam Staatsblad 1908 No. 542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblaad
1937 No. 190.
Kemudian pada 9 April 1996 muncul undang-undang yang mengatur tentang
hak tanggungan yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan dengan Tanah
(UUHT). Dengan demikian khusus mengenai jaminan atas tanah maka hipotek dan
credietverband dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan ketentuan Pasal 29
UUHT. Hipotek yang diatur dalam KUHPerdata yang khusus berkenaan dengan
tanah sudah tidak belaku, sedangkan hipotek atas benda-benda lain masih berlaku,
misalnya hipotek atas kapal laut dan pesawat terbang.
19
Pengertian hak tanggungan berdasarkan Pasal 1 ayat (1) adalah hak jaminan
yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Hak tanggungan adalah salah satu jenis dari hak jaminan. Hak jaminan
dimaksud untuk menjamin utang seorang debitor yang memberikan hak utama
kepada seorang kreditor tertentu, yaitu pemegang hak jaminan itu, untuk
didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain apabila debitor cedera janji.1 Ada
beberapa unsur pokok dari hak tanggungan yang termuat berdasarkan Pasal 1 ayat
(1) UUHT, yaitu:2
1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi
dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu.
4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu.
5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain.
1 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan: Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok
dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Cet. 1, Edisi Kedua, (Bandung: Alumni, 1999), h.2.
2 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan: Asas-Asas, ……..h.11.
20
B. Asas-asas Hak Tanggungan
1. Asas Privilegie atau Priorteit (Diutamakan dari Kreditor lain)
Ketika debitor wanprestasi, kreditor pemegang hak tanggungan pertama
berhak menjual melalui pelelangan umum, tanah yang dijadikan jaminan
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan
hak mendahului pelunasan utangnya daripada kreditor-kreditor yang lain.
Pengertian “kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain” terdapat dalam penjelasan umum angka 4 UUHT yang
menjelaskan bahwa jika debitor cedera janji, kreditor pemegang hak
tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum benda yang dijadikan
jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan,
dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor yang lain. Memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu daripada kreditor lainnya
dalam Hukum Perdata Barat disebut droit de preference.3
2. Asas Pemisahan Horisontal
Pasal 4 ayat (4) UUHT yang menjelaskan bahwa hak tanggungan dapat
dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya
yang telah ada atau akan ada yang merupakan kesatuan dengan tanah tersebut.
Selain benda-benda yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang
3 Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Buku Praktis Populer: Kiat-Kiat
Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan Perbankan, Cet. Kedua, (Bandung: Kaifa, 2012), h. 41.
21
bersangkutan, hak tanggungan juga dapat dibebankan atas benda-benda yang
bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut.4
3. Asas Publisitas (Pendaftaran dalam Registrasi Negara)
Hal ini sesuai ketentuan Pasal 13 UUHT yang menyebutkan bahwa
pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan.
Pendaftraran pemberian hak tanggungan merupakan syarat mutlak untuk
lahirnya hak tanggungan tersebut dan mengikatnya hak tanggungan terhadap
pihak ketiga. Karena hanya dengan cara pencatatan atau pendaftaran yang
terbuka bagi umum yang memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui
tentang adanya pembebanan hak tanggungan atas suatu tanah.5
4. Asas Parate Executie
Pasal 6 UUHT menyebutkan, apabila debitor cedera janji, pemegang hak
tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas
kekuasaan sendiri. Hal itu dikenal. dengan istilah parate eksekusi. Parate
eksekusi merupakan bentuk penyimpangan dari eksekusi, karena eksekusi
merupakan pelaksanaan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, akan tetapi parate eksekusi didasari perjanjian yang dibuat dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan (Pasal 11 ayat (2) huruf (e)).
4 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain
yang Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h. 26.
5 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan: Asas-Asas, ………..h. 44.
22
Pada praktiknya, saat pemilik jaminan melakukan perlawanan atas upaya
kreditor untuk melelang tanah dan bangunan yang dijaminkan, kreditor masih
tetap membutuhkan bantuan pengadilan untuk mengeksekusi jaminan yang
sudah dibebani hak tanggungan tersebut.6
C. Objek Hak Tanggungan
Pada prinsipnya, objek hak tanggungan adalah hak atas tanah. Untuk dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak jaminan atas tanah, maka benda
yang bersangkutan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: 7
1. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang.
2. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitor cedera janji
benda yang dijadikan jaminan akan dijual.
3. Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan tentang pendaftaran tanah
yang berlaku, karena harus dipenuhi “syarat publisitas”.
4. Memerlukan penunjukan khusus oleh suatu undang-undang.
Objek hak tanggungan adalah hak apa saja yang dapat dikaitkan dengan hak
tanggungan. Hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan hanyalah
hak atas tanah yang berstatus Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan.
Hak Pakai (baik atas tanah hak milik maupun atas tanah Negara) dan Hak atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Selain itu hak tanggungan
6 Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap ………….h.45. 7 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Cet. 12, Edisi Revisi, (Jakarta: Djambatan, 2008), h. 422.
23
juga dapat dibebankan terhadap rumah susun dan hak milik atas satuan rumah
susun. Juga, terhadap ruangan bawah tanah sepanjang secara fisik ada
hubungannya dengan bangunan yang ada di atas tanah.8
D. Subjek Hak Tanggungan
Subjek hak tanggungan menurut Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT adalah pemberi
hak tanggungan dan pemegang hak tanggungan. Pemberi hak tanggungan dapat
perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan. Maka yang dapat menjadi
pemberi hak tanggungan adalah para pihak yang berkedudukan sebagai pemegang
hak atas tanah yang dapat dibebani sebagai objek hak tanggungan, yaitu para pihak
yang mempunyai hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai atas tanah Negara. Sedangkan, Pemegang hak tanggungan adalah
perorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang atau
pihak yang berkedudukan sebagai yang meminjamkan uang.
Pemegang hak tanggungan tidak mempunyai kewenangan untuk menguasai
secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan. Tanah tersebut tetap
berada dalam penguasaan pemberi hak tanggungan, kecuali ada perjanjian yang
memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk mengelola
objek hak tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang
8 Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, (Jakarta: Erlangga, 2013), h. 72.
24
daerah hukumnya meliputi letak objek hak tanggungan apabila debitor
wanprestasi.
E. Proses Pembebanan Hak Tanggungan
Pembebanan hak tanggungan didahului dengan pembuatan perjanjian utang-
piutang antara debitor dan kreditor. Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin
pelunasan piutang kreditor. Dikatakan, bahwa Hak Tangungan adalah accesoir
pada suatu piutang tertentu. Kelahiran, eksistensi, peralihan, eksekusi, dan
hapusnya suatu hak tangungan ditentukan oleh adanya peralihan dan hapusnya
piutang yang dijamin.9 Dengan adanya pembebanan hak tanggungan maka kreditor
menjadi preferen atas hasil penjualan benda tertentu milik debitor, dan ia berhak
mengambil lebih dahulu uang hasil eksekusi hak tanggungan.
Karena hak tanggungan merupakan hak kebendaan, maka proses pembebanan
hak tanggungan perlu sangat diperhatikan dan memainkan peranan sangat penting,
karena proses tersebut melahirkan hak kebendaan baru atas suatu benda (tanah)
dan cacat yuridis dalam proses pemberian hak tanggungan dapat berpengaruh
terhadap keabsahan dari hak tanggungan itu sendiri.10
Proses pembebanan hak tanggungan terdiri atas dua tahap, yaitu tahap
pemberiannya yang dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
9 Munir Fuady, Hukum Jaminan…….h. 9. 10 Munir Fuady, Hukum Jaminan …...h. 82.
25
dan tahap pendaftarannya yang dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten atau
Kotamadya setempat.
1. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT disebutkan bahwa pemberian hak
tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang merupakan bagian
tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau
perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
Sebelum melaksanakan pembuatan APHT, PPAT wajib terlebih dahulu
melakukan pemeriksaan pada kantor pertanahan setempat mengenai
kesesuaian sertifikat hak atas tanah yang akan dijadikan jaminan dengan
daftar-daftar yang ada di kantor pertanahan setempat dengan memperlihatkan
sertifikat asli. Selain sertifikat asli, surat-surat lain yang harus diserahkan
kepada PPAT adalah surat tentang subyeknya (identitas pemberi dan
pemegang hak tanggungan), surat-surat tentang prosedur tanda bukti
pembayaran biaya pendaftaran hak tanggungan dan salinan akta perjanjian
pemberian kredit yang bersangkutan.
Di dalam APHT wajib dicantumkan : 1) Nama dan identitas pemberi dan
penerima Hak Tanggungan 2) Domisili pihak-pihak tertentu 3) Penunjukan
secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin, yang meliputi juga nama
dan identitas debitor, kalau pemberi Hak Tanggungan bukan debitor 4) NiIai
Tanggungan 5) Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.
26
Ketentuan mengenai APHT tersebut sifatnya wajib bagi sahnya
pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kalau tidak dicantumkan
secara lengkap, APHT yang bersangkutan batal demi hukum.
2. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Setelah proses pemberian hak tanggungan dilakukan maka dilanjutkan
dengan proses pendaftaran di Kantor Pertanahan setempat yang menjadi saat
lahirnya Hak Tanggungan (Pasal 13 UUHT). Pemberian hak tanggungan
wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah penandatanganan APHT. Jika tidak didaftarkan, maka APHT
tersebut akan gugur. Pendaftaran dilakukan dengan cara melampirkan:11
a. Sertifikat asli yang akan dibebani hak tanggungan
b. Salinan berkas identitas pemberi hak tanggungan dan penerima kuasa.
c. Salinan berkas perjanjian kredit atau utang atau perjanjian lainnya yang
dijadikan dasar untuk pemberian hak tanggungan.
d. Surat kuasa asli untuk mendaftarkan hak tanggungan
e. Untuk pendaftaran hak tanggungan di wilayak DKI Jakarta, surat kuasa
untuk pendaftaran hak tanggungan ini diminta untuk dilegalisasi oleh
notaris yang melakukan pendaftaran hak tanggungan tersebut.
f. Bukti pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk
pendaftaran hak tanggungan.
Setelah Kantor Pertanahan setempat menerima APHT dan surat-surat
yang diperlukan, kemudian Kepala Kantor Pertanahan setempat segera
membuatkan Buku Tanah Hak Tanggungan dan membuat salinan APHT.
11 Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap …………h. 61.
27
Kemudian membuat Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) yang memuat irah-irah
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sehingga
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Setelah itu, mencatat beban hak
tanggungan dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak
tanggungan, serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah
yang bersangkutan. Terakhir, menyerahkan Sertifikat Hak Tanggungan
kepada kreditor pemegang hak tanggungan.
F. Eksekusi Hak Tanggungan
Eksekusi terhadap objek hak tanggungan disebabkan oleh dua hal yaitu karena
debitor cedera janji (wanprestasi) dan debitor dinyatakan pailit (faillitices).12
Dalam lembaga hak tanggungan, baik keadaan cedera janji maupun keadaan pailit
yang dialami oleh debitor, kedua-duanya bukanlah tujuan, tapi suatu akibat dari
keadaan tidak memenuhi janji (wanprestasi) dan keadaan terpaksa (overmacht)
berkaitan dengan kondisi ekonomi debitor yang berubah ketika perjanjian pokok
(perjanjian utang-piutang) berlangsung.
Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan pada prinsipnya, dapat dilakukan
dalam dua hal, yaitu melalui:
12 Rachamdi Usman, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, (Jakarta:
Djambatan, 1998), h.129.
28
1. Pelelangan Umum
Pasal 20 ayat (1) huruf (a) memberikan kewenangan kepada pemegang hak
tangungan pertama untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari
penjualan tersebut, apabila debitor cedera janji. Hal ini merupakan perwujudan
dari kedudukan yang diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak
tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dan satu pemegang hak
tanggungan.
Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi hak
tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang hak tanggungan
berhak untuk menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa
memerlukan persetujuan lagi dari pemberi hak tanggungan dan selanjutnya
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu dari
kreditor-kreditor lainnya. Sisa dari hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi
hak tanggungan.
Hal ini juga mengandung arti bahwa pemegang hak tanggungan pertama
tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi hak tanggungan
dan tidak perlu pula meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat
untuk melakukan eksekusi tersebut. Cukup dengan mengajukan permohonan
kepada Kepala Kantor Lelang Negara setempat untuk pelaksanaan pelelangan
umum dalam rangka eksekusi objek hak tanggungan. Karena kewenangan
pemegang hak tanggungan pertama itu merupakan kewenangan yang diberikan
29
oleh Undang-Undang dalam Sertifikat Hak Tanggungan. Kepala Kantor Lelang
Negara harus menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut.13
Selain itu, Pasal 20 ayat (1) huruf (b) menjelaskan bahwa eksekusi objek hak
tanggungan dapat juga dilakukan berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat
dalam Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(2) UUHT. Pada Sertifikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat
tanda bukti adanya hak tanggungan, dibubuhkan irah-irah "Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", untuk memberikan kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Selain itu sertifikat Hak Tanggungan tersebut
dinyatakan sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak
atas tanah.
Dengan menunjukan bukti, bahwa debitor ingkar janji dalam memenuhi
kewajibannya, diajukan permohonan eksekusi oleh kreditor pemegang Hak
Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri, dengan menyerahkan Sertifikat
Hak Tanggungan dan eksekusi akan dilaksanakan atas perintah dari pimpinan
Ketua Pengadilan Negeri. Pelelangan umum harus dilaksanakan dihadapan
Pejabat Lelang dan Kantor Lelang Negara dan apabila menyimpang dari
ketentuan tersebut, maka lelang dapat dinyatakan tidak sah.
13 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan: Asas-Asas, ………..h. 164.
30
2. Penjualan di Bawah Tangan
Sering dijumpai penjualan melalui lelang tersebut kecil kemungkinan dapat
mencapai harga yang tinggi atas benda jaminan, Keadaan demikian sangat
merugikan kedua belah pihak (kreditor dan debitor).14 Untuk menghindari
kemungkinan yang tidak dikehendaki dalam pelaksanaan penjualan secara
lelang tersebut, Pasal 20 UUHT telah membuka kemungkinan pelaksaanaan
eksekusi melalui penjualan di bawah tangan, dengan ketentuan sebagai
berikut:15
a. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak
tanggungan. Hal ini dapat dilakukan pada saat pembebanan, saat
berlangsungnya atau saat menjelang proses eksekusi hak tanggungan.
b. Jika dengan cara penjualan dibawah tangan tersebut dicapai harga tertinggi
yang menguntungkan semua pihak.
c. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi atau penerima hak tanggungan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
d. Diumumkan dalam sedikit-dikitnya dua surat kabar yang beredar di daerah
bersangkutan atau media massa setempat.
e. Baru dapat dilaksanakan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan
secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
f. Tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
Penjualan objek hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan dengan
kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan, jika dengan cara
14 Arie S. Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah dalam Kegiatan Ekonomi, Cet.
1, Edisi 1, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), h. 180. 15 Munir Fuady, Hukum Jaminan…….h. 82.
31
itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
Karena penjualan dibawah tangan dari objek hak tanggungan hanya dapat
dilaksanakan bila ada kesepakatan yang diperjanjikan dalam Akta Pemberian
Hak Tanggungan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan. Kreditor tidak
mungkin melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek hak tanggungan
apabila debitor tidak menyetujuinya, karena hal itu dilarang oleh UUHT (Pasal
12 UUHT).
Penjualan di bawah tangan wajib dilakukan dihadapan PPAT yang membuat
aktanya dan diikuti dengan pendaftaran di Kantor Pertanahan. Penaksiran
harganya dilakukan oleh suatu perusahaan penilai independen yang mempunyai
reputasi baik.
Pada prinsipnya pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan merupakan
konsekuensi dari adanya hak preferen yang dipunyai oleh kreditor sebagaimana
tercantum dalam atribut Sertifikat Hak Tanggungan yang dikenal dengan nama
titel eksekutorial. Secara umum eksekusi dimaknai sebagai pelaksanaan
keputusan pengadilan yang diperoleh dari Judiciary Process (proses
pengadilan). Namun, adakalanya eksekusi tersebut tidak diperoleh dari
judiciary process (proses pegadilan), akan tetapi diperoleh dari atribut titel
eksekutorial (irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa) yang ada dalam akta perjanjian hipotek atau Sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan 1178 KUHPerdata.
32
Bandingkan dengan utang-piutang yang tidak dijamin dengan hak
tanggungan, jika debitor cedera janji, eksekusi dilakukan melalui gugatan
perdata menurut hukum acara perdata yang berlaku. Penyelesaian utang-piutang
yang bersangkutan melalui cara ini memerlukan waktu, karena pihak yang
dikalahkan di tingkat Pengadilan Negeri bisa mengajukan banding, kasasi,
bahkan masih terbuka kesempatan untuk minta peninjauan kembali.16 Dengan
adanya parate eksekusi dalam hak tanggungan, pemegang hak tanggungan tidak
perlu mengajukan gugatan perdata kepada pengadilan negeri untuk
mengeksekusi haknya apabila debitor wanprestasi.
Akibat hukum yang terjadi setelah dilakukannya eksekusi adalah perikatan
yang berkaitan dengan pemberian Hak Tanggungan, yaitu Akta Pemberian Hak
Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan menjadi berakhir. Demikian pula
apabila hasil eksekusi telah cukup untuk melunasi utang debitor, maka
perikatan melalui perjanjian utang-piutang juga berakhir, karena pembayaran
merupakan salah satu sebab perikatan itu hapus menurut Pasal 1381
KUHPerdata.
16 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, ………….h. 29.
33
BAB III
TINJAUAN UMUM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA
A. Pengertian dan Syarat-syarat dalam Pailit
Peraturan mengenai kepailitan pada awalnya diatur oleh failliessement
veroordening Staatsblad 1905 No. 217 jo 1906 No. 348, yang telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 yang
kemudian menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Undang-Undang
Kepailitan. Kemudian Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 disempurnakan menjadi
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (UU Kepailitan).
Secara bahasa, pailit berasal dari bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris
dengan istilah yang berbeda-beda. Bahasa Perancis mengenal kata failite sebagai
pemogokan atau kemacetan dan dalam bahasa Belanda untuk arti yang sama
dengan bahasa Perancis juga digunakan istilah faillete. Sedangkan, bahasa Inggris
dikenal dengan istilah to fail dan dalam bahasa Latin digunakan istilah fallire yang
memiliki arti rangkap, yaitu sebagai kata benda dan sebagai kata sifat.1
Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk
melakukan pembayaran terhadap utang terhadap para kreditor pada saat
pembayaran utang tersebut telah jatuh tempo. Keadaan tidak mampu membayar
1 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000) h. 27.
34
lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari
usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan
merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh
kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian
hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan
harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut
secara proporsional dan sesuai dengan struktur kreditor.2
Pasal 1 angka 1 UU Kepailitan menjelaskan kepailitan adalah sita umum atas
semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan
oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada hakikatnya
kepailitan adalah sita umum atas semua harta kekayaan debitor. Sebagai suatu sita
umum, maka kepailitan itu meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan
pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.
Kepailitan merupakan suatu sarana hukum yang dinilai paling efektif dan adil
dalam penyelesaian utang piutang. Seseorang atau badan hukum dalam keadaan
tidak mampu membayar utang kepada beberapa kreditor dapat mengajukan
permohonan untuk dinyatakan dalam keadan pailit, sehingga semua harta
2 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: ………………h.1.
35
bendanya menjadi harta kepailitan. Kreditor juga bisa melakukan gugatan
kepailitan sesuai dengan pengaturan yang berlaku. 3
Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepailitan adalah suatu sitaan
umum yang dijatuhkan oleh pengadilan khusus, dengan permohonan khusus, atas
seluruh aset debitor (badan hukum atau orang pribadi) yang mempunyai lebih dari
1 (satu) utang atau kreditor dimana debitor dalam keadaan berhenti membayar
utang-utangnya, sehingga debitor segera membayar utang-utangnya tersebut.4
Kepailitan mempunyai tujuan untuk menghindari terjadinya sitaan atau eksekusi
terpisah oleh para kreditor dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan
bersama sehingga kekayaan debitor dapat dibagikan kepada semua kreditor, sesuai
dengan hak masing-masing.
UU Kepailitan menjelaskan syarat-syarat diajukannya permohonan pailit
terhadap seorang debitor diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang menentukan bahwa
debitor yang mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka
syarat-syarat diajukannya permohonan pailit terhadap seorang debitor antara lain:
3 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-undang No.37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), h.45. 4 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), h. 75.
36
1. Ada utang
Kata utang berasal dari kata Gotisch, skullan atau sollen, yang berarti harus
dikerjakan menurut hukum, sedangkan utang menurut UU Kepailitan adalah
kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik
dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul dikemudian hari (Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan).
2. Utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih
Pengertian utang yang telah jatuh waktu dan utang yang telah dapat ditagih
sebenarnya berbeda. Utang yang telah jatuh waktu dengan sendirinya menjadi
utang yang dapat ditagih. Namun, utang yang dapat ditagih belum tentu
merupakan utang yang jatuh waktu, misalnya dalam hal terjadi wanprestasi
sebagaimana ditentukan dalam perjanjian itu. 5
3. Ada dua kreditor atau lebih (concursus creditorum)
Dalam UU Kepailitan, kreditor adalah orang yang mempunyai piutang
karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
Apabila kepailitan itu dimohonkan oleh seorang kreditor, maka ia harus dapat
membuktikan bahwa selain dirinya masih ada lagi kreditor lain dari debitor.
Syarat adanya kreditor lain adalah untuk memenuhi prinsip concursus
creditorum dalam kepailitan.
5 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan: Asas-Asas, ……….. h. 72.
37
Selain harus terdapat lebih dari dua kreditor, debitor itu harus berada dalam
keadaan insolven. Seorang debitor dalam keadaan insolven hanyalah apabila
debitor itu tidak mampu secara financial untuk membayar utang-utangnya
kepada sebagian besar kreditornya. Seorang debitor tidak dapat dikatakan
telah dalam keadaan insolvensi apabila hanya kepada seorang kreditor saja
debitor tersebut tidak membayar utangnya, sedangkan kepada kreditor lainnya
debitor tetap dapat melaksanakan kewajiban pelunasan utang-utangnya
dengan baik.
4. Adanya permohonan pailit
Permohonan pailit yang telah memenuhi syarat, dapat diajukan oleh satu
atau lebih kreditornya ke pengadilan niaga, yang merupakan badan peradilan
yang berwenang untuk memproses, memeriksa dan mengadili perkara
kepailitan. Apabila permohonan pailit tersebut dikabulkan maka pengadilan
niaga akan mengeluarkan putusan yang menyatakan debitor tersebut dalam
keadaan pailit.
Pengajuan permohonan pailit dilakukan sebagai suatu bentuk pemenuhan
asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitor.
Tanpa adanya permohonan tersebut ke pengadilan, maka pihak ketiga yang
berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari
debitor. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan
pernyataan pailit oleh hakim pengadilan, baik itu merupakan putusan yang
mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang diajukan.
38
B. Para Pihak dalam Kepailitan
Dalam prosesnya, suatu lembaga kepailitan melibatkan banyak pihak. Ada
beberapa pihak yang memegang peranan penting dalam suatu proses kepailitan,
diantaranya:
1. Pemohon Pailit
Pemohon pailit adalah pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan
permohonan pailit ke pengadilan berdasarkan Pasal 2 UU Kepailitan, pihak
yang berhak mengajukan permohonan pailit adalah:
a. Debitor, apabila memperkirakan atau dapat memperkirakan bahwa tidak
sanggup membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
b. Kreditor, baik Kreditor Konkuren, Kreditor Separatis, maupun Kreditor
Preferen.
c. Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk
kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan telah dipenuhi dan tidak ada pihak yang
mengajukan permohonan pailit.
d. Bank Indonesia, dalam hal Debitor adalah bank. Pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1999 Tentang
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. Pasal 3 ayat (3)
PP tersebut menyatakan bahwa Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut
izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk segera
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) guna
membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi. Jika
direksi bank tidak menyelenggarakan RUPS tersebut, pimpinan Bank
Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang
berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi dan
39
perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.6
e. Badan Pengawas Pasar Modal, dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek,
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian. Yang dimaksud perusahaan efek adalah pihak yang
melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek,
dan atau manajer investasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
f. Menteri Keuangan, dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Dana
Pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.
2. Termohon Pailit
Menurut ketentuan dalam UU Kepailitan, pihak-pihak yang dapat
dipailitkan adalah sebagai berikut:
a. Orang perseorangan, baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah
maupun belum menikah. Jika permohonan pailit diajukan oleh debitor
perorangan yang telah menikah, maka permohonan itu hanya dapat
diajukan atas persetujuan suami atau isterinya, kecuali antara suami isteri
tersebut tidak ada percampuran harta. Sedangkan bagi orang yang belum
dewasa (belum menikah) maka yang berwenang untuk mewakilinya adalah
walinya yang sah. Namun, permohonan pailit itu tetap diajukan terhadap si
debitor itu sendiri bukan walinya. Hal ini berlaku juga untuk orang yang
berada di bawah pengampuan.7
6 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004), h.13-14. 7 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis……..h. 16.
40
b. Badan hukum yang terdiri atas:
1) Badan hukum yang mencari untung seperti perseroan terbatas (PT).
2) Badan hukum yang bergerak di bidang kepentingan publik seperti PT,
Persero, Perusahaan Umum (Perum), Badan Usaha Milik
Negara/Daerah, Badan Hukum Pendidikan.
3) Badan Hukum Sosial yang tidak mencari untung seperti yayasan,
perkumpulan, perserikatan, asosiasi, himpunan, dan badan hukum
sosial lainnya yang menggunakan nama atau sebutan lain.
Sebagai suatu subjek hukum yang mempunyai kekayaan terpisah dari
kekayaan perseronya, badan hukum juga dapat dinyatakan pailit. Dengan
dinyatakannya pailit suatu badan hukum, maka organ-organ badan hukum
itu kehilangan haknya untuk mengurus dan berbuat bebas terhadap
kekayaan badan hukum itu. Karena, setelah pernyataan pailit itu diputuskan
oleh hakim, maka pengurusan harta kekayaan badan hukum yang
dinyatakan pailit, beralih kepada kurator yang dalam hal ini hanya
berwenang melakukan pemberesan harta pailit milik debitor yang
bersangkutan dan tidak berwenang untuk mengembangkan usaha dari
debitor pailit.8
c. Persero Firma Termasuk CV. Permohonan pailit terhadap suatu firma harus
memuat nama dan tempat kediaman masing-masing persero yang secara
tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma.
8 Bernadette Waluto, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, cet.1, (Bandung: Mandar Maju, 1999), h. 16.
41
d. Kepailitan Harta Peninggalan. Berdasarkan Pasal 207 UU Kepailitan, harta
kekayaan seseorang yang meninggal dunia dapat dinyatakan dalam
keadaan pailit. apabila seseorang atau beberapa kreditor mengajukan
permohonan pailit dengan menyatakan bahwa orang yang meninggal itu
berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya sebelum ia
meninggal dunia atau pada saat ia meninggal harta peninggalannya tidak
cukup untuk membayar utangnya.9
e. Penanggung (borg) adalah pihak ketiga yang mengikatkan diri pada
kreditor untuk memenuhi perikatannya debitor, apabila si debitor tidak
mampu untuk memenuhi perikatannya. Kedudukan penanggung dan
debitor adalah sama-sama sebagai debitor bagi kreditornya, sehingga
kreditor dapat menagih pada siapa saja, baik kepada kreditor maupun
kepada penanggungnya. Oleh karena itu, apabila debitor benar-benar sudah
tidak mampu membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat
ditagih, dan si penanggung pun sudah tidak mampu membayar utangnya
yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih sehingga ía tidak lagi dapat
melaksanakan fungsinya sebagai seorang penanggung yang baik, maka
terhadap penanggung pun dapat diajukan permohonan pailit.10
9 Bernadette Waluto, Hukum Kepailitan dan………, h. 29. 10 Bernadette Waluto, Hukum Kepailitan dan………, h. 27.
42
3. Hakim Pengawas
Hakim pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh pengadilan niaga dalam
putusan pailit, putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, atau dengan
penetapan untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang
diselenggarakan kurator. Hakim pengawaslah yang memimpin rapat
pencocokan utang dan menyerahkan tagihan-tagihan yang tidak diakui kepada
hakim agar diberi keputusan. Sebelum Majelis Hakim mengambil suatu
putusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit, harus mendengar
pendapat dari hakim pengawas. 11
4. Kurator
Dalam putusan pernyataan pailit, pengadilan niaga harus mengangkat
kurator yang bertanggungjawab dalam melakukan pengurusan atau
pemberesan harta pailit. Dalam menjalankan tugasnya, kurator didampingi dan
diawasi oleh seorang hakim pengawas, yang ditunjuk dalam putusan
pernyataan pailit yang bersangkutan. Dengan demikian, maka dalam
menjalankan tugasnya ini, kurator wajib meminta persetujuan atau ijin dari
hakim pengawas. Menurut Pasal 70 UU Kepailitan, yang dapat menjadi
kurator adalah Balai Harta Peninggalan dan kurator lainnya. Yang dimaksud
dengan kurator lainnya adalah:
11 Syamsudin M Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, (Jakarta: Tatanusa, 2012), h.
339.
43
a. Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian
khusus yang dibutuhkan dalam mengurus atau membereskan harta pailit.
b. Terdaftar pada kementrian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 15 ayat (2) UU Kepailitan, kurator harus diusulkan oleh pihak
debitor atau kreditor yang memohonkan pernyataan kepailitan, dengan syarat
kurator tersebut haruslah independen dan tidak mempunyai benturan
kepentingan dengan pihak debitor atau kreditor.12 Jika tidak, maka pengadilan
niaga akan menunjuk Balai Harta Peninggalan sebagai kurator.
5. Hakim Pengadilan Niaga
Menurut Pasal 302 ayat (1) UU Kepailitan, hakim pengadilan niaga diangkat
dengan Surat Keputusan Mahkamah Agung. Mengenai syarat-syarat untuk
dapat diangkat sebagai hakim pengedilan niaga diatur dalam UU Kepailitan
Pasal 302 ayat (2), adalah:
a. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum.
b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-
masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan.
c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim
pada Pengadilan Niaga.
12 Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), h. 41.
44
6. Panitia Kreditor
Pada prinsipnya, suatu panitia kreditur adalah pihak yang mewakili pihak
kreditur, yang bertugas untuk memberi nasihat dan mendampingi kurator
dalam melaksanakan tugasnya memeriksa keadaan harta pailit dan melakukan
pencocokan utang-utang debitor pailit, yang kemudian dilaporkan kepada
hakim pengawas.13 Ada dua macam panitia kreditur yang diperkenalkan oleh
UU Kepailitan, yaitu:
a. Panitia kreditur sementara
Dalam Pasal 79 UU Kepailitan disebutkan, dalam putusan pailit atau
dengan penetapan kemudian, pengadilan dapat membentuk panitia kreditur
(sementara) yang terdiri dari satu sampai tiga orang yang dipilih dari
kreditur yang dikenal dengan maksud memberikan nasihat kepada kurator.
Yang dimaksud dengan kreditur yang sudah dikenal adalah kreditur yang
sudah mendaftarkan diri untuk diverifikasi.
b. Panitia kreditur tetap
Pasal 72 UU Kepailitan menyatakan bahwa setelah pencocokan utang
selesai dilakukan, hakim pengawas wajib menawarkan pada para kreditur
untuk membentuk panitia kreditur tetap.
13 Bernadette Waluto, Hukum Kepailitan ……………..h. 18
45
C. Jenis-jenis Kreditor dalam Kepailitan
Hukum kepailitan mempunyai asas structured creditors, yaitu asas yang
mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam kreditor sesuai dengan
kelasnya masing-masing. Dalam kepailitan, kreditor diklasifikasikan menjadi 3
(tiga) macam, yaitu:
1. Kreditor Konkuren
Dalam lingkup kepailitan, yang dapat digolongkan sebagai kreditor
konkuren (unsecured creditor) adalah kreditor yang piutangnya tidak dijamin
dengan hak kebendaan (security right in rem) dan sifat piutangnya tidak
dijamin sebagai piutang yang diistimewakan oleh undang-undang. Dengan
kata lain kreditor konkuren adalah kreditor yang tidak temasuk dalam kreditor
separatis atau golongan preferen. Pelunasan utangnya didapat dari sisa
penjualan atau pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan
separatis dan preferen. Sisa hasil penjualan harta pailit dibagi dengan para
kreditor lain secara proporsional, yaitu menurut perbandingan besarnya
tagihan masing-masing (Pasal 1132 KUHPerdata). Jadi, kreditor konkuren
(kreditur bersaing) adalah kreditor yang tidak mempunyai keistimewaan
sehingga kedudukannya sama satu dengan yang lainnya.14
14 Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, (Bandung: Alumni, 2006), h.127
46
2. Kreditor Preferen
Kreditor preferen termasuk dalam golongan secured creditors karena sifat
piutangnya oleh undang-undang diistimewakan untuk didahulukan
pembayarannya yang diatur dalam Pasal 1139 KUHPerdata dan Pasal 1149
KUHPerdata. Dengan kedudukan istimewa ini, kreditor preferen berada
diurutan atas sebelum kreditor konkuren atau unsecured creditors lainnya.
Utang debitor pada kreditor preferen memang tidak diikat dengan jaminan
kebendaan, tapi undang-undang mendahulukan mereka dalam hal
pembayaran. Oleh karena itu jika debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan
niaga, maka prosedur pembayaran terhadap kreditor preferen sama seperti
kreditor konkuren yaitu dengan cara memasukkan tagihannya kepada kurator
untuk diverifikasi dan disahkan dalam rapat verifikasi.15
Adapun hak istimewa yang oleh undang-undang yang pemenuhan
piutangnya harus didahulukan dari kreditor pemegang hak jaminan adalah hak
istimewa yang berupa:
a) Hak dari kas negara, kantor lelang, dan badan umum lain yang dibentuk
oleh pemerintah (Pasal 1137 KUHPerdata)
b) Pasal 21 ayat (3) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan yang telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994,
peraturan tersebut menjelaskan bahwa negara mempunyai hak mendahului
untuk tagihan pajak berupa barang-barang milik penanggung pajak dan
15 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2002), h.104.
47
hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu
lainnya.
c) Biaya perkara yang disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu
benda bergerak atau tidak bergerak (Pasal 1139 KUHPerdata)
d) Biaya perkara yang disebabkan karena pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.
e) Imbalan kurator sebagaimana dimaksud dalam UU Kepailitan.
3. Kreditor Separatis
Kreditor separatis adalah kreditor yang memiliki hak jaminan kebendaan,
seperti pemegang hak tanggungan, hipotik, gadai, fidusia, dan lain-lain (Pasal
55 UU Kepailitan). Golongan kreditor ini tidak terkena akibat putusan
pernyataan pailit debitor, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat
dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitor. Dikatakan separatis yang
berarti pemisahan karena kedudukan kreditor tersebut memang dipisahkan
dari kreditor lainnya, dalam arti kreditor separatis dapat menjual benda sendiri
dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah dengan harta pailit
pada umumnya.16
Kreditor separatis dapat menjual dan mengambil sendiri hasil dari
penjualan objek jaminan. Bila hasil penjualan tersebut ternyata tidak
mencukupi, kreditor separatis dapat mengajukan diri sebagai kreditor bersaing
(konkuren). Sebaliknya apabila hasil dari penjualan jaminan utang melebihi
16 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam ……..h. 105.
48
utang-utangnya, maka kelebihan itu harus dikembalikan kepada debitor atau
disetorkan ke kas kurator sebagai budel pailit.17
D. Akibat Pernyataan Pailit
Adapun akibat-akibat dari putusan pailit terhadap harta kekayaan debitor
maupun terhadap debitor adalah sebagai berikut :
1. Sitaan umum
Harta kekayaan debitor yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum
(public attachment, gerechtelijk beslag) beserta apa yang diperoleh selama
kepailitan. Hal ini sebagaimana didefinisikan dalam undang-undang mengenai
arti kepailitan ini. Dalam Pasal 21 UU Kepailitan dikatakan bahwa kepailitan
meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit
diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ketentuan
ini menunjukan bahwa kepailitan itu mengenai harta debitor dan bukan
meliputi diri debitor.18 Seandainya sebelum putusan pailit terdapat sebuah
penetapan pengadilan untuk melakukan sita jaminan atas sebagian harta yang
masuk sebagai harta pailit maka berdasarkan Pasal 31 dan Pasal 32 UU
Kepailitan, penyitaan itu harus dihentikan dan penyitaan yang telah dilakukan
menjadi hapus.
17 Imran Nating. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan
Pembesaran Harta Pailit. Edisi revisi. (Jakarta: Raja Grafindo.2005), h. 48. 18 Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan ………….. h.108.
49
Hakikat dari sitaan umum terhadap harta kekayaan debitor adalah bahwa
maksud adanya kepailitan adalah untuk menghentikan aksi terhadap perebutan
harta pailit oleh para kreditornya serta untuk menghentikan lalu lintas
transaksi terhadap harta pailit oleh debitor yang kemungkinan akan merugikan
para kreditornya. Dengan adanya sitaan umum tersebut, maka harta pailit
dalam stasus dihentikan dari segala macam transaksi dan perbuatan hukum
lainnya sampai harta pailit tersebut diurus oleh kurator.19
Pasal 22 UU Kepailitan mengecualikan beberapa hal yang tidak termasuk
dalam harta pailit, yakni:
a) Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang
digunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapan yang
digunakan oleh debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30
hari bagi debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu.
b) Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai
penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun uang
tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas
atau
c) Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban
memberikan nafkah menurut undang-undang.
2. Kehilangan wewenang dalam harta kekayaan
Debitor pailit demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus dan
melakukan perbuatan kepemilikan terhadap harta kekayaannya yang termasuk
19 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: ………………h.167.
50
dalam kepailitan. Kehilangan hak bebasnya tersebut hanya terbatas pada harta
kekayaannya dan tidak terhadap status diri pribadinya. Debitor yang dalam
status pailit tidak kehilangan hak-hak keperdataan lainnya dan hak-hak lain
selaku warga Negara seperti hak politik dan hak privat lainnya. Dengan
adanya putusan kepailitan bukan berarti debitor pailit menjadi tidak cakap
(seperti melangsungkan perkawinan atau menjadi pejabat publik) dan tidak
wenang terhadap segala hal. Sebagai gantinya maka kuratorlah yang
berwenang menguasai dan mengelola harta debitor pailit. 20
3. Hubungan kerja dengan para pekerja perusahaan pailit
Ketentuan Pasal 39 UU Kepailitan mengatur mengenai akibat kepailitan
terhadap hubungan kerja dengan para pekerja perusahaan pailit. Dari
ketentuan tersebut diketahui bahwa pekerja yang bekerja pada debitor dapat
memutuskan hubungan kerja. Di pihak lain, kurator dapat
memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut
persetujuan atau ketentuan perundangan yang berlaku, dengan pengertian
bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan
paling lambat 45 hari sebelumnya.
Jika terjadi perselisihan mengenai pemutusan hubungan kerja yang ada
kaitannya dengan kepailitan, maka penyelesaiannya adalah melalui hakim
pengawas dan sejauh mana perlu melalui pengadilan niaga. Selain itu, pekerja
20 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: ………………h.165.
51
atau buruh perusahaan pailit merupakan kreditor yang masuk klasifikasi
kreditor preferen, sehingga persoalan pemenuhan hak-hak pekerja adalah
persoalan pendistribusian harta pailit kepada para kreditornya.21
4. Penangguhan (automatic stay)
Ketentuan penangguhan diatur dalam Pasal 56 UU Kepailitan yang
menentukan bahwa kreditor separatis tersebut ditangguhkan haknya selama 90
hari untuk mengeksekusi benda jaminan yang dipegangnya. Hal ini dilakukan
untuk mencegah pemegang hak jaminan untuk menjual benda jaminan dengan
harga di bawah pasar, sedangkan dengan adanya penangguhan, kurator
diharapkan memperoleh harga yang layak dan bahkan harga yang terbaik. Hal
ini karena pada dasarnya pemegang jaminan memiliki hak preferensi atas
benda jaminan sampai senilai piutangnya terhadap debitor, sehingga jika nilai
likuidasi benda jaminan melebihi nilai piutang kreditor, maka sisa nilai
likuidasi benda jaminan harus dikembalikan kepada debitor atau dimasukkan
ke dalam budel pailit.
21 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: ………………h.172.
52
BAB IV
ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK
EKSEKUSI KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN
A. Posisi Kasus
Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang saat ini bekerja
di PT Pertamina memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 95 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan sepanjang frasa “yang didahulukan pembayarannya” terhadap
UUD 1945. Ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menyatakan upah
dan hak-hak lainnya dari para pekerja atau buruh merupakan utang yang
“didahulukan” pembayarannya, akan tetapi dalam pelaksanaan putusan pailit kata
“didahulukan” ditempatkan setelah pelunasan terhadap hak-hak negara dan para
kreditor separatis yang merujuk Buku Kedua Bab XIX KUH Perdata dan Pasal 21
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang diubah oleh Undang Nomor 9 Tahun
1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sehingga hak negara ditempatkan
sebagai pemegang hak posisi pertama, diikuti oleh kreditor separatis (pemegang
hak tanggungan, gadai, fidusia, hipotek), akan tetapi dalam praktik hak pelunasan
upah pekerja atau buruh ditempatkan dalam posisi setelah pemenuhan hak negara
dan para kreditor separatis, sehingga menimbulkan adanya ketidakpastian hukum
53
dalam penerapan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengingat tidak adanya
penafsiran yang jelas dan tegas mengenai klausula “didahulukan pembayarannya”.
Pasal 1134 ayat (2), Pasal 1137 KUH Perdata, dan Pasal 21 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan terdapat urutan peringkat penyelesaian tagihan
kreditor setelah selesainya kreditor separatis dan upah pekerja atau buruh masih
harus menunggu urutan setelah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan
umum yang dibentuk Pemerintah untuk didahulukan. Padahal berdasarkan Pasal
95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan di atas maka secara hukum adanya pernyataan
pailit terhadap perusahaan, dalam hal pemenuhan hak-hak pekerja atau buruh
seperti pesangon dan hak-hak lainnya harus didahulukan dari pemenuhan
kewajiban perusahaan yang pailit.
Pasal 1149 KUH Perdata, piutang pekerja atau buruh terhadap perusahaan atau
majikan berkedudukan sebagai kreditor atau piutang preferen, sehingga dengan
dinyatakan pailitnya debitor tidak akan menghilangkan hak-hak pekerja atau buruh
sebagai kreditor terhadap perusahaan tersebut. Pekerja atau buruh dapat menuntut
pembayaran upahnya sebagai kreditor dengan mengajukan tagihan kepada kurator
yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga yang bertugas untuk mengurus dan
membereskan harta debitor pailit. Kurator mendahulukan pembayaran upah buruh
54
sebagai kreditor preferen dari hasil penjualan budel pailit daripada pembayaran
kepada kreditor konkuren.
Adanya pertentangan tersebut berimplikasi pada tidak terciptanya jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap para pekerja atau buruh
khususnya dalam hal perusahaan yang dinyatakan pailit adalah perusahaan
asuransi yang berdasarkan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian, menyatakan, “Hak pemegang polis atas
pembagian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan
Asuransi Jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama”. Pemberlakuan Pasal 20
ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
dalam praktiknya akan menimbulkan ketidakpastian hukum apabila disandingkan
dengan hak-hak buruh yang bekerja dalam perusahaan asuransi, khususnya tentang
pemberlakuan hukum apakah akan mendahulukan hak pemegang polis
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
ataukah mendahulukan hak-hak pekerja atau buruh sebagaimana dinyatakan dalam
ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Pajak dan Undang-Undang Asuransi, menyatakan
diutamakan sebagai kreditor sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi
pekerja atau buruh sebagaimana diuraikan di atas maka ketentuan Pasal 95 ayat (4)
UU Ketenagakerjaan sepanjang frasa, “didahulukan pembayarannya” telah nyata
menimbulkan multi tafsir dan menempatkan pekerja atau buruh dalam posisi yang
lemah dan tidak sama dengan para kreditor separatis yang dalam praktik lebih
55
didahulukan pembayarannya. Menurut para Pemohon, hak pekerja atau buruh
tidak dapat dikalahkan oleh pihak lain sekali pun perusahaan pailit.
Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, merupakan norma yang belum jelas
dan tegas tafsirannya, mengingat belum jelas apa yang dimaksud dengan klausula
“didahulukan pembayarannya”, karena meskipun upah dan hak-hak pekerja atau
buruh dijamin dalam hal terjadinya pailit atau likuidasi perusahaan, namun posisi
pekerja atau buruh selaku kreditor preferen khusus menjadi rentan karena masih
menunggu pembayaran bagi kreditor separatis dalam hal terjadinya kepailitan.
Dengan demikian salah satu pihak yang di jaminkan haknya selama proses pailit
yaitu para pekerja atau buruh menjadi terabaikan hak asasi manusianya untuk
mendapatkan penghidupan yang layak oleh karena dalam hal terjadinya kepailitan,
kreditor akan terbagi ke dalam 3 (tiga) bagian yaitu kreditor separatis, kreditor
preferen dan kreditor konkuren.
Pekerja atau buruh merupakan kreditor preferen, yang pembayaran hak-haknya
dilakukan setelah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang
dibentuk Pemerintah. Posisi atau kedudukan pekerja atau buruh selaku kreditor
preferen yang masih menunggu urutan peringkat pembayaran setelah tagihan hak
negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah adalah
merupakan suatu kedudukan yang bertentangan dengan Pasal 95 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan.
Dengan demikian, sebagai akibat dari tidak jelasnya penafsiran Pasal 95 ayat
(4) UU 13/2003 yang berujung pada ketidakpastian hukum sebagaimana yang
56
disebutkan di atas maka dengan sendirinya juga menimbulkan ketidakadilan
terhadap salah satu pihak karena tidak mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja sesuai dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
Berdasarkan seluruh uraian di atas maka Pasal 95 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan adalah inkonstitusional, kecuali klausula “didahulukan
pembayarannya” dimaknai bahwa para pekerja atau buruh sebagai kreditor
preferen yang didahulukan pembayaran atas upah dan hak-haknya daripada semua
kreditor lainnya termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum
yang dibentuk Pemerintah untuk didahulukan.
B. Pertimbangan Majelis Hakim
Mahkamah berpendapat mengenai yang menjadi dasar hukum bagi adanya hak
tagih masing-masing kreditor ternyata sama, kecuali bagi hak tagih negara. Dasar
hukum bagi kreditor separatis dan bagi pekerja atau buruh adalah sama, yaitu
perjanjian yang dilakukan dengan debitor. Mengenai dasar hukum kewajiban
kenegaraan adalah peraturan perundang-undangan. Adapun mengenai dasar
hukum bagi adanya peringkat atau prioritas pembayaran adalah karena adanya
perbedaan kedudukan yang disebabkan oleh isi perjanjian masing-masing
berhubung adanya faktor-faktor tertentu. Meskipun antara kreditor separatis dan
pekerja atau buruh dasar hukumnya adalah sama, yaitu perjanjian, namun
manakala dilihat dari aspek lain, yaitu aspek subjek hukum yang melakukan
57
perjanjian, objek, dan resiko, antara keduanya terdapat perbedaan yang secara
konstitusional signifikan.
Aspek subjek hukum, perjanjian gadai, hipotek, dan fidusia serta perjanjian
tanggungan lainnya, merupakan perjanjian yang dilakukan oleh subjek hukum,
yaitu pengusaha dan pemodal, yang secara sosial ekonomis para pihak tersebut
dapat dikonstruksikan sama. Terlebih lagi pemodal, yang boleh jadi adalah
pengusaha juga. Sebaliknya, perjanjian kerja merupakan perjanjian yang dilakukan
oleh subjek hukum yang berbeda, yaitu pengusaha dan pekerja atau buruh.
Pengusaha dan pekerja atau buruh, secara sosial ekonomis tidaklah sejajar,
melainkan pihak yang satu, sebagai pengusaha tentu lebih kuat dan lebih tinggi,
bila dibandingkan pekerja atau buruh, karena pekerja atau buruh secara sosial
ekonomis jelas lebih lemah dan lebih rendah daripada pengusaha, meskipun antara
pengusaha dan pekerja atau buruh saling memerlukan. Perusahaan tidak akan
berproduksi tanpa pekerja atau buruh dan pekerja atau buruh tidak dapat bekerja
tanpa ada pengusaha.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, pekerja atau buruh
secara sosial ekonomis berkedudukan lebih lemah dan lebih rendah dibandingkan
pengusaha dan hak-hak pekerja atau buruh telah dijamin oleh UUD 1945 maka
Undang-Undang harus memberikan jaminan perlindungan untuk dipenuhinya hak-
hak para pekerja atau buruh tersebut.
Aspek objek, perjanjian gadai, hipotek, fidusia, dan perjanjian tanggungan
lainnya yang menjadi objeknya adalah properti. Sementara itu, perjanjian kerja
58
yang menjadi objeknya adalah tenaga atau keterampilan (jasa) dengan imbalan
jasa dalam kerangka untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup bagi diri dan
keluarga pekerja atau buruh, sehingga antara keduanya dalam aspek ini memiliki
perbedaan yang mendasar, yaitu properti dan manusia. Pertanyaannya adalah
bagaimana perbedaan tersebut terkait dengan apa yang sejatinya dilindungi oleh
hukum. Pembentukan hukum jelas dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
manusia. Dalam kasus ini manakah yang seharusnya menjadi prioritas,
kepentingan manusia terhadap properti atau kepentingan manusia terhadap diri dan
kehidupannya. Apalagi berdasarkan sistem pembayaran upah pekerja atau buruh
dalam kegiatan usaha yang dibayar sebulan setelah pekerja melaksanakan
pekerjaan, hal ini merupakan argumentasi tersendiri karena upah pekerja atau
buruh sesungguhnya adalah utang pengusaha kepada pekerja atau buruh, yang
seharusnya harus dibayar sebelum kering keringatnya. Dalam perspektif tujuan
negara dan ketentuan mengenai hak konstitusional, menurut Mahkamah
kepentingan manusia terhadap diri dan kehidupannya haruslah menjadi prioritas,
harus menduduki peringkat terdahulu sebelum kreditor separatis.
Aspek risiko bagi pengusaha risiko merupakan bagian dari hal yang wajar
dalam pengelolaan usahanya, selain keuntungan dan/atau kerugian. Oleh karena
itu, resiko merupakan hal yang menjadi ruang lingkup pertimbangannya ketika
melakukan usaha, bukan ruang lingkup pertimbangan pekerja atau buruh.
Sementara itu, bagi pekerja atau buruh upah merupakan sarana untuk memenuhi
kebutuhan hidup bagi diri dan keluarganya, sehingga menjadi tidak tepat manakala
59
upah pekerja atau buruh tersebut menduduki peringkat yang lebih rendah dengan
argumentasi yang dikaitkan dengan risiko yang bukan ruang lingkup
pertimbangannya. Adalah tidak adil mempertanggungkan sesuatu terhadap sesuatu
yang ia tidak turut serta dalam usaha. Selain itu, hidup dan mempertahankan
kehidupan, berdasarkan Pasal 28A UUD 1945 adalah hak konstitusional dan
berdasarkan Pasal 28I ayat (1) adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun, yang oleh karenanya berdasarkan ayat (4) dan ayat (5) Pasal
tersebut, negara dalam hal ini Pemerintah, harus melindungi, memajukan,
menegakkan, dan memenuhinya dalam peraturan perundangundangan yang sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Menurut mahkamah mengenai hak-hak pekerja atau buruh yang lain, hal
tersebut tidak sama atau berbeda dengan upah pekerja atau buruh. Upah pekerja
atau buruh secara konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945
merupakan hak konstitusional yang oleh karenanya adalah hak konstitusional pula
untuk mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Adapun
hak-hak lainnya tidaklah demikian, sehingga implikasi hukumnya adalah wajar
bila terkait dengan pembayaran dimaksud hak tersebut berada pada peringkat di
bawah kreditor separatis. Sementara itu, mengenai kewajiban terhadap negara hal
tersebut adalah wajar manakala berada pada peringkat setelah upah pekerja atau
buruh. Argumentasinya adalah, selain berdasarkan uraian tersebut, karena fakta
yang sesungguhnya negara memiliki sumber pembiayaan lain, sedangkan bagi
60
pekerja atau buruh upah adalah satu-satunya sumber untuk mempertahankan hidup
bagi diri dan keluarganya.
C. Amar Putusan
Berdasarkan atas pertimbangan hukum diatas, maka Majelis Hakim
memberikan putusan yang amar putusannya adalah sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
a. Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh
yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan
kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang
dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya
didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang,
dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur
separatis”.
b. Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:
61
“pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua
jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara,
kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan
pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan
termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk
Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
D. Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak Eksekusi Kreditor Pemegang
Hak Tanggungan
1. Kedudukan Kreditor Separatis dalam Eksekusi Hak Tanggungan Ketika
Terjadi Kepalitan.
Pada dasarnya kedudukan para kreditor adalah sama (paritas creditorium)
dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi budel
pailit sesuai besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passu prorate
parte).1 Namun demikian, asas tersebut mengenal pengecualian yaitu golongan
kreditor yang memegang hak jaminan kebendaan (kreditor separatis) dan
golongan kreditor yang haknya di dahulukan berdasarkan UU kepailitan dan
1 Annalisa Y, Kepailitan dan Penundaan………. h. 61-61.
62
peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian, asas paritas
creditorium berlaku bagi para kreditor konkuren saja.2
Berdasarkan jenis pelunasan piutangnya dari debitor maka kedudukan
kreditor dapat dikategorikan, sebagai berikut:3
a. Kreditor yang kedudukannya di atas kreditor saham jaminan kebendaan
(contohnya utang pajak) dimana dasar hukum mengenai kreditor ini
terdapat dalam Pasal 21 UU KUP jo. Pasal 1137 KUHPerdata.
b. Kreditor separatis atau kreditor pemegang jaminan kebendaan (Pasal
1134 ayat (2) KUHPerdata) yang meliputi: Gadai, Fidusia, Hak
Tanggungan dan Hipotek.
c. Utang harta pailit, yang termasuk utang harta pailit yaitu: biaya
kepailitan, imbalan jasa kurator, upah buruh dan uang sewa terhadap
suatu benda.
d. Kreditor preferen khusus, sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1139
KUHPer, dan kreditor preferen umum, sebagaimana terdapat di dalam
Pasal 1149 KUHPerdata.
e. Kreditor konkuren yaitu semua kreditor yang tidak termasuk kreditor
separatis dan tidak termasuk kreditor preferen khusus maupun umum
(Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUHPerdata)
Dari lima golongan kreditor yang telah disebutkan di atas, berdasarkan
Pasal 1134 ayat 2 jo. Pasal 1137 KUHPer dan Pasal 21 UU KUP, kreditor
piutang pajak mempunyai kedudukan di atas kreditor separatis. Sehingga posisi
upah buruh berada dibawah biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator, yang
2 Annalisa Y, Kepailitan dan Penundaan……….. h. 128. 3 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h.121-122.
63
berarti buruh harus lebih sabar dan berada dibelakang setelah harta budel pailit
dipakai untuk membayar pajak, kreditor pemegang jaminan kebendaan, biaya
kepailitan dan imbalan jasa kurator. Dengan posisi seperti ini, seringkali harta
budel pailit tidak cukup untuk membayar hak atau upah buruh.4
Di sinilah letak permasalahannya ketika suatu perusahaan mengalami pailit
dan kurator lebih mendahulukan pembagian budel pailit pada pembayaran
pajak, kreditor separatis, biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator. Sehingga
jika harta budel pailit dalam jumlah yang terbatas seringkali hak-hak buruh
tidak bisa diakomodir oleh kurator itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini, kurator
seringkali menyampingkan hak-hak atau utang gaji pekerja atau buruh tersebut
dikarenakan kurator hanya bertindak menurut aturan dalam UU Kepailitan
tanpa memperhatikan aturan UU Ketenagakerjaan. Padahal posisi kurator
tesebut sebenarnya hanya sementara untuk menggantikan posisi perusahan
karena dalam keadaan pailit. Kurator juga harus bertindak sebagai perusahaan
yang wajib melindungi dan mengakomodir hak-hak pekerja atau buruh seperti
yang diamanatkan UU Ketenagakerjaan. Permasalahan seperti ini seringkali
menimpa buruh-buruh yang hanya mengandalkan hidupnya dari upah yang
diterimanya dari pekerjaan tersebut. Sehingga hal ini harus menjadi perhatian
Pemerintah bagaimana caranya menyikapi perlindungan hak-hak buruh pasca
4 Gunawan Widjaja, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2003), h. 12.
64
putusan pailit dan memastikan kepentingan dan hak-hak pekerja atau buruh
tetap terlindungi.5
Buruh termasuk kedalam salah satu kreditor pada saat suatu perusahaan
dipailitkan, namun seringkali dalam proses kepailitan hak-hak konstitusional
dari buruh terabaikan. Hal ini menunjukkan kedudukan buruh untuk
mendapatkan haknya sangat lemah, padahal fungsi dan peranan buruh sangat
penting guna kelancaran produksi dan pertumbuhan perusahaan.
Tagihan pembayaran upah buruh dikategorikan sebagai hak istimewa
umum (Pasal 1149 KUHPerdata). Ketentuan tersebut juga diatur dalam UU
Ketenagakerjaan Pasal 95 ayat (4) menyatakan bahwa ketika perusahaan
dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja atau buruh
merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Namun, Pasal 1134 ayat (2) KUHPer mengatakan gadai dan hipotek
tempatnya lebih tinggi dari pada kreditor lainnya kecuali dinyatakan sebaliknya
oleh undang-undang. Apabila mengacu pada UU Ketenagakerjaan, maka
sesungguhnya UU Ketenagakerjaan telah memberikan posisi pembayaran upah
karyawan untuk didahulukan pembayarannya dari pada kreditor lainnya. Akan
tetapi, dalam praktiknya apa yang terjadi ternyata berbeda dengan ketentuan
Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Jika ada kreditor pemegang gadai,
5 Gunawan Widjaja, Penanggungan Utang…………..h. 9.
65
jaminan fidusia, hak tanggungan, hak agunan maupun hipotek, maka merekalah
yang mendapat prioritas. Prioritas kepada kreditor jenis ini didasarkan pada
ketentuan Pasal 138 UU Kepailitan yang menjelaskan bahwa kreditor yang
piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek,
hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang
diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat
membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat
dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta
diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut,
tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas
piutangnya.
Tidak adanya penafsiran yang jelas dan tegas mengenai penerapan frasa
“didahulukan pembayarannya” sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan, maka pada tahun 2013 pekerja Pertamina (Pemohon)
mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait penerapan
Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan dalam hal pemenuhan upah pekerja atau
buruh ketika perusahaan atau majikannya pailit.
Berdasarkan permohonan uji materi konstitusionalitas frasa “didahulukan
pembayarannya” dalam Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan Nomor 67/PUU-XI/2013 tanggal 11 September 2014,
memutuskan bahwa dalam hal suatu perusahaan pailit, maka:
66
a. Pembayaran upah pekerja atau buruh yang terutang didahulukan atas
semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak
negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah.
b. Pembayaran hak-hak pekerja atau buruh lainnya didahulukan atas semua
tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang
dibentuk pemerintah, kecuali tagihan dari kreditor separatis.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan sulit untuk dilaksanakan
dalam praktik kepailitan, karena Putusan tersebut merupakan putusan yang
melampaui kewenangan. Adapun dasar melampaui kewenangan tersebut yaitu
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013 telah menciptakan 2
norma baru dalam proses kepailitan yaitu dalam hal suatu perusahaan
dinyatakan pailit maka pembayaran tagihan upah buruh yang terutang
didahulukan dari semua jenis tagihan kreditor termasuk tagihan kreditor
separatis dan tagihan hak negara, dan untuk hak-hak lainnya dari buruh
didahulukan dari semua jenis tagihan kreditor termasuk tagihan hak negara
kecuali tagihan kreditor separatis.
Memang tidak dapat disangkal bahwa kedudukan buruh atau pekerja dalam
proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan merupakan salah satu unsur
yang sangat vital dan mendasar, yang menggerakkan proses suatu potensi
menjadi sesuatu yang konkret atau bahan mentah menjadi produk yang siap
untuk dipasarkan dan dipergunakan oleh konsumen. Unsur lain berupa modal,
juga merupakan unsur yang esensial. Tanpa modal tidak mungkin ada proses
produksi termasuk lapangan kerja. Buruh atau pekerja menurut konstitusi harus
67
mendapat perlindungan hukum secara adil sebagaimana tercantum dalam Pasal
28D ayat (2) UUD 1945.
Masing-masing unsur, yaitu modal dan tenaga kerja (capital and labour)
memasuki proses produksi dalam perusahaan adalah berdasarkan pada
kehendak bebas yang bersifat suka rela dari masing-masing unsur yang
dirumuskan dalam kesepakatan antara pemilik modal dan tenaga ataupun
keahlian, yang diikat dengan perjanjian, sebelum keterlibatan masing-masing
dalam proses produksi yang memperhitungkan dan mengelola risiko-risiko
yang mungkin terjadi bagi para pihak.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013 ini
maka, kedudukan kreditor dalam mendapat pelunasan dari debitor atas
utangnya menjadi:
a. Upah buruh yang terutang (putusan MK No. 67/PUU-XI/2013).
b. Kreditor separatis atau kreditor pemegang jaminan kebendaan (dasar
hukumnya adalah Pasal 1134 ayat (2) KUHPer) yang meliputi : Gadai,
Fidusia, Hak Tanggungan dan Hipotek.
c. Hak-hak pekerja atau buruh lainnya (putusan MK No. 67/PUU-XI/2013).
d. Tagihan hak Negara (pajak)
e. Utang harta pailit, yang termasuk utang harta pailit yaitu : biaya kepailitan,
imbalan jasa kurator dan uang sewa terhadap suatu benda.
f. Kreditor preferen khusus, sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1139
KUHPer, dan kreditor preferen umum, sebagaimana terdapat di dalam
Pasal 1149 KUHPer.
68
g. Kreditor konkuren yaitu semua kreditor yang tidak termasuk kreditor
separatis dan tidak termasuk kreditor preferen khusus maupun umum
(Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUHPer)
Penulis berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi dalam putusannya
sebaiknya tidak menempatkan tagihan kreditor separatis berada di bawah
tagihan upah buruh karena piutang (tagihan) kreditor separatis diakui secara
tegas dalam UU Kepailitan dan undang-undang lainnya yang mengatur tentang
hal tersebut. Apabila kreditor separatis berada setelah pembayaran upah buruh
sebagaimana menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013,
maka akan menimbulkan potensi permasalahan kepastian hukum terkait
pelaksanaan lembaga hukum jaminan dalam proses Kepailitan di Indonesia dan
tentunya akan berdampak buruk kepada pertumbuhan ekonomi negara
dikarenakan tidak akan ada pemilik modal seperti lembaga perbankan atau
lembaga keuangan di Indonesia yang mau menyalurkan modal kepada
pengusaha atau perusahaan sebagai langkah dan upaya meningkatkan kapasitas
usaha yang tujuannya untuk meningkatkan perekonomian Negara,
pembangunan nasional dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera,
adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
Dalam pemberian kredit, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 8
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menegaskan beberapa hal
69
yang perlu diperhatikan seperti prinsip kehati-hatian (prudential principles) dan
prinsip mempunyai keyakinan atas kemampuan debitor untuk melunasi utang
sesuai perjanjian. Bank dalam menyalurkan kredit wajib menempuh cara-cara
yang tidak merugikan bank dan debitor seperti yang terdapat didalam asas 5C
terdiri atas karakter atau watak (character), kemampuan debitor (capacity),
modal (capital) dan prospek usaha debitor (condition of economic) serta adanya
jaminan (collateral) merupakan penilaian bank untuk memperoleh keyakinan
atas kemampuan dan kesanggupan debitor sebelum memberikan kredit.6 Setiap
pemberian kredit yang disalurkan kepada debitor selalu mengandung resiko,
oleh karena itu diperlukan unsur pengamanan dalam pengembalian pinjaman.
Bentuk pengaman kredit dalam praktik perbankan dilakukan dengan cara
pengikatan jaminan.
2. Analisis Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan MK
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 67/PUU-XI/2013 menyatakan
dalam hal suatu perusahaan pailit maka upah buruh yang terutang didahulukan
pembayarannya dari tagihan kreditor separatis dan tagihan hak Negara,
sementara untuk hak-hak lainnya dari buruh didahulukan dari tagihan hak
negara, kantor lelang dan badan umum pemerintah lainnya kecuali tagihan
kreditor separatis.
6 Dahlan. Hukum Perbankan. (Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti. 1995) h. 99.
70
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
67/PUU-XI/3013 penulis mencoba menguraikan dasar hukum bagi tagihan
upah buruh, tagihan kreditor separatis dan tagihan hak negara dalam proses
kepailitan, yaitu sebagai berikut:
a. Tagihan Upah Buruh
UU Kepailitan tidak mengatur secara jelas mengenai kedudukan tagihan
upah buruh dalam proses kepailitan, namun Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan
menyatakan bahwa sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah
yang terutang baik sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit
diucapkan merupakan utang harta pailit. Selanjutnya, Pasal 1149
KUHPerdata mengatur piutang buruh terhadap perusahaan berkedudukan
sebagai kreditor preferen, sehingga dengan dinyatakan pailitnya debitor
(dalam hal ini perusahaan di mana buruh itu bekerja) tidak akan
menghilangkan hak-hak buruh sebagai kreditor terhadap perusahaan
tersebut. Buruh dapat menuntut pembayaran upahnya sebagai kreditor
dengan mengajukan tagihan kepada kurator yang ditunjuk oleh Pengadilan
Niaga yang bertugas untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit.
Selain itu, Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengatur dalam hal
perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Adapun
penjelasan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa yang
71
dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja atau buruh harus
dibayar lebih dahulu daripada utang lainnya.
Pasal 88 ayat 1 UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa setiap pekerja
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan. Hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan,
atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja dan
keluarganya atas suatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan.
b. Tagihan Kreditor dengan Jaminan Hak Kebendaan
UU Kepailitan mengakui kreditor dengan jaminan hak kebendaan sebagai
kreditor separatis, yaitu dalam Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dinyatakan
bahwa dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58
UU Kepailitan, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat
mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan
mengenai kreditor separatis dalam UU Kepailitan merupakan pelaksanaan
lebih lanjut dari asas eksekutorial dalam:
a. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.
b. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia.
72
c. Pasal 1133 dan Pasal 1150 KUHPerdata. KUHPerdata merupakan hukum
pokok di bidang keperdataan sehingga undang-undang lain yang
mengadopsi ketentuan dalam KUHPerdata dilarang untuk mengatur hal
yang serupa dengan ketentuan yang bertentangan.
Menurut ketentuan Pasal 1133 KUHPerdata, hal untuk didahulukan diantara
orang-orang yang berpiutang terbit dari hak istimewa, gadai dan hipotek.
Selanjutnya, Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata menjelaskan bahwa gadai dan
hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal oleh undang-
undang ditentukan sebaliknya.
Aset debitor pailit yang dijaminkan (sebelum debitor dinyatakan pailit)
kepada kreditor separatis tidak termasuk budel pailit. Dikatakan “separatis”
yang berarti “pemisahan” karena kedudukan kreditor tersebut memang
dipisahkan dari kreditor lainnya, dalam arti dia dapat menjual sendiri dan
mengambil sendiri hasil penjualan, yang terpisah dengan harta pailit
umumnya dan berhak mengeksekusi sendiri haknya tanpa melalui kurator.7
Berbeda halnya dengan kreditor preferen (seperti buruh) dan kreditor
konkuren, maka dalam hal terjadi kepailitan tidak dapat melaksanakan
sendiri hak-haknya yakni dengan menjual langsung budel pailit, tetapi hak-
haknya harus dilaksanakan oleh kurator.
Sjahdeini menjelaskan kreditor separatis adalah kreditor yang didahulukan
dari kreditor-kreditor yang lain untuk memperoleh pelunasan dari hasil
7 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005) h. 99.
73
penjualan harta kekayaan debitor asalkan benda tersebut telah dibebani
dengan jaminan tertentu bagi kepentingan kreditor tersebut.8 Sejalan dengan
pendapat tersebut Sastrawidjaja berpendapat bahwa kreditor separatis adalah
kreditor yang dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi
kepailitan, seperti pemegang gadai, pemegang jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek dan agunan kebendaan lainnya.9
UU Kepailitan pada dasarnya menentukan bahwa kreditor separatis dapat
melaksanakan haknya seolah-olah tidak ada kepailitan. Artinya, hak gadai,
hipotek, fidusia, dan hak tanggungan lainnya tidak termasuk budel pailit
yang akan dieksekusi. Kreditor separatis tidak terkena akibat dari kepailitan
dan berhak mengeksekusi sendiri barang-barang jaminan yang ada dalam
kekuasaannya. Dalam hal masih terdapat kekurangan setelah eksekusi atas
barang jaminan yang ada dalam kekuasaannya, kreditor separatis berhak atas
budel pailit sebagai kreditor konkuren, sebaliknya dalam hal terdapat
kelebihan dari piutangnya maka kelebihan tersebut harus dimasukkan
sebagai budel pailit.
Pasal 21 UUHT menjelaskan apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan
pailit, pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak
yang diperolehnya menurut UUHT. Dengan adanya Pasal 21 UUHT tersebut
8 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening
Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002) h. 280. 9 Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan …………h. 127.
74
kreditor dapat melaksanakan hak-haknya berdasarkan UUHT seakan-akan
tagihan kreditor ada di luar kepailitan, di luar sitaan umum. Karenanya
kreditor seperti itu disebut kreditor separatis.10
c. Tagihan Hak Negara
Tagihan hak negara dalam kepailitan dapat diartikan juga utang pajak dari
debitor pailit, UU Kepailitan tidak mengatur jelas mengenai kedudukan
utang pajak dalam proses kepailitan. Adapun mengenai tagihan hak negara
(utang pajak) diatur juga dalam Pasal 1137 KUHPerdata, yang berbunyi,
“Hak dari kas negara, kantor lelang dan lain-lain dari badan umum yang
dibentuk pemerintah, untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu,
dan jangka waktu berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam berbagai
undang-undang khusus yang mengenai hal-hal itu.”
Selanjutnya, tagihan hak negara dalam kepailitan diatur dalam Pasal 21
Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-
Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP), yang menyatakan bahwa dalam hal wajib pajak
dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator atau orang
atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang melakukan
pembagian terhadap harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran atau
likuidasi kepada pemegang saham atau kreditor lainnya sebelum
10 J.Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan: Buku 2,
cet. 1, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998), h.281.
75
menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak wajib pajak
tersebut.
Pasal 1132 KUHPerdata menetapkan adanya persamaan hak, persamaan
kedudukan para kreditor terhadap harta seorang debitor. Tidak ada yang
dilebihkan sekalipun di antara mereka mungkin ada yang mempunyai tagihan
yang lebih dulu adanya daripada yang lain. Lebih lanjut dalam Pasal tersebut
dijabarkan bahwa atas hasil penjualan harta benda debitor, para kreditor
mendapat bagian yang seimbang dengan besar kecilnya tagihan mereka
terhadap keseluruhan tagihan kreditor.11
Pasal 1134 KUHPerdata menyebutkan bahwa hak istimewa ialah suatu
hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga
tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata
berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan hipotek adalah lebih tinggi daripada
hak istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan
sebaliknya.
Berdasarkan Pasal 1134 KUHPerdata kedudukan kreditor preferen berada
dibawah kreditor separatis sepanjang undang-undang tidak menentukan lain.
Hak jaminan kebendaan memberikan penjelasan mengenai Pasal 1134
KUHPerdata, bahwa diantara hak-hak yang didahulukan, gadai dan hipotek
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi terhadap hak istimewa, artinya dalam
11 J.Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, cet ke-IV, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2002), h. 7.
76
mengambil pelunasan atas hasil penjualan barang-barang debitor, atas barang-
barang mana diletakkan hak gadai dan hipotek sekarang termasuk hak
tanggungan dan fidusia dan ada kreditor lain yang mempunyai hak tagih
istimewa pula atasnya, maka pemegang gadai, hipotek, hak tanggungan dan
fidusia, mengambil dulu baru sisanya sesudah diambil kreditor preferen
selanjutnya untuk kreditor konkuren. Dari apa yang disebutkan di atas, bisa
disimpulkan pula, bahwa hak yang didahulukan (hak preferen), yang berasal
dari perjanjian (maksudnya yang adanya diperjanjikan), kedudukannya lebih
unggul dari pada yang diberikan oleh undang-undang.
Hak-hak pekerja dalam perkara kepailitan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan pekerja menempati posisi sebagai
kreditor preferen. Hak preferen tersebut diberikan oleh undang-undang. Hak
preferen yang timbul karena perjanjian (seperti adanya perjanjian dengan
jaminan) kedudukannya lebih tinggi dari hak preferen sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1134 KUHPerdata. Maka penulis menanggap bahwa
pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan hak tagih
masing-masing kreditor sama, kecuali bagi hak tagih Negara adalah kurang
tepat karena menurut penulis hak tagih yang ada pada buruh timbul karena
undang-undang sedangkan hak tagih kreditor separatis berasal dari perjanjian
jaminan kebendaan seperti gadai, hipotek, fidusia dan hak tanggungan. Maka
dari itu kedudukan kreditor separatis lebih unggul daripada pekerja atau buruh.
77
Hak-hak pekerja secara konstitusional dalam perkara kepailitan tidak ada
yang dirugikan. Ketentuan hak-hak pekerja sebagaimana yang diatur dalam
UU Ketenagakerjaan, juga telah diakomodir dalam UU Kepailitan dalam
kaitannya dengan hak-hak pekerja di mana perusahaan tempat mereka bekerja
terjadi pailit. Dalam hal pengadilan telah menjatuhkan putusan pailit terhadap
suatu perusahaan maka yang berlaku adalah wilayah hukum kepailitan atau
UU Kepailitan sesuai dengan asas undang-undang lex spesialis derogate lex
generalis (termasuk) pengaturan mengenai hak-hak buruh sebagai kreditor.
Selanjutnya, dasar hukum bagi upah buruh sebagai tagihan kreditor dalam
proses kepailitan adalah Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan dan Pasal 95 ayat (4)
UU Ketenagakerjaan, maka berdasarkan asas lex posteriori derogat legi priori
UU Kepailitan (disahkan dan berlaku tahun 2004) mengesampingkan UU
Ketenagakerjaan (disahkan dan berlaku tahun 2003) yang mengatur mengenai
kedudukan upah buruh dalam proses kepailitan.
Pasal 55 UU Kepailitan dan Pasal 21 UUHT, pada dasarnya telah
memberikan kewenangan pada kreditor separatis untuk melaksanakan haknya
seolah-olah tidak ada kepailitan. Kreditor separatis tidak terkena akibat dari
kepailitan dan berhak mengeksekusi sendiri barang-barang jaminan yang ada
dalam kekuasaannya. Kreditor pemegang hak tanggungan dapat mengeksekusi
haknya dengan cara:
78
a. Berdasarkan Pasal 6 UUHT
Pasal 6 UUHT menyebutkan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang
hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak
tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum (lelang) serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Pelakanaan
eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT tidak memerlukan fiat eksekusi dari
Pengadilan Negeri sehingga di rasa lebih menghemat dari segi biaya dan
waktu.
b. Berdasarkan Pasal 14 UUHT
Dalam mengeksekusi haknya, kreditor separatis khususnya hak tanggungan
dapat mengeksekusi objek hak tanggungan berdasarkan titel eksekutorial
yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT yang memuat irah-irah ”Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini sebagai bentuk
penjabaran dari salah satu asas pada hak tanggungan yang memberikan
kedudukan pada pemegang objek hak tanggungan sebagai kedudukan yang
diutamakan (droit de preferen) dalam pelunasan utangnya diantara para
kreditor lainnya.
Dari ketentuan ini kreditor dapat menjual objek hak tanggungan melalui
Pengadilan Negeri melalui lelang dan mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan (lelang) tersebut. Lelang eksekusi hak tanggungan
melalui Pasal 14 UUHT memerlukan fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri.
79
Fiat eksekusi ini adalah suatu pernyataan setuju untuk dilaksanakan atau
dalam prakteknya fiat eksekusi ini berupa penetapan dari Ketua Pengadilan
Negeri. Penetapan Ketua Pengadilan Negeri berisi tentang perintah
melaksanakan penjualan dimuka umum dari Ketua Pengadilan Negeri
kepada jurusita pengadilan dengan disaksikan oleh dua orang saksi melalui
perantara Kantor Lelang Negara (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang).
c. Di bawah Tangan
Pasal 20 ayat (2) UUHT menyebutkan bahwa atas kesepakatan pemberi
dan pemegang Hak tanggungan, penjualan objek hak tanggungan dapat
dilaksanakan dibawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Penjualan
objek hak tanggungan dibawah tangan mengalami kesulitan dalam hal
pemenuhan persyaratannya. Persyaratan yang ditentukan dalam UUHT
bahwa penjualan dibawah tangan dapat dilakukan sepanjang mendapat
persetujuan dari debitor.
Pelaksanaan eksekusi berdasarkan Pasal 6 dan 14 UUHT mempunyai
persamaan yaitu tata cara eksekusi harus melalui pelelangan umum seperti
yang diamanahkan dalam Pasal 20 UUHT. Namun demikian kedua tata cara
eksekusi tersebut mempunyai perbedaan yang prinsipiil.
Pelaksanaan eksekusi berdasarkan Pasal 14 UUHT didasarkan pada irah-
irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang ada pada
80
Sertifikat Hak Tanggungan. Irah-irah ini memberi kekuatan pada pemegang
hak tanggungan untuk menjual barang jaminan melalui Pengadilan Negeri. Hal
ini disebabkan irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” memberikan kekuatan eksekutorial pada pemegang Sertifikat Hak
Tanggungan. Kekuatan eksekutorial pada Sertifikat Hak Tanggungan
mengandung arti bahwa Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan yang
sama dengan putusan hakim yang telah mepunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam praktek pelaksanaan eksekusi yang demikian disebut parate eksekusi.
Sedangkan, dasar pelaksanaan eksekusi Pasal 6 UUHT adalah janji
menjual atas kekuasaan sendiri yang diberikan oleh debitor kepada kreditor
yang tertuang dalam Perjanjian Kredit dan dikuatkan dalam Akta Pemberian
Hak Tanggungan atau lebih dikenal dengan Beding Van Eigenmachtige
Verkoop. Dengan memperjanjikan kewenangan seperti itu, maka ketika debitor
wanprestasi, kreditor bisa langsung menjual objek jaminan di muka umum
tanpa harus melibatkan pihak pengadilan terlebih dahulu.
Pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama dapat langsung
mengajukan permohonan penjualan (eksekusi) ke Kantor Lelang (Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) dengan menunjukan bukti, bahwa
debitor ingkar janji dalam memenuhi kewajibannya, diajukan permohonan
eksekusi oleh kreditor pemegang hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan
Negeri, dengan menyerahkan Sertifikat Hak Tanggungan dan eksekusi akan
dilaksanakan atas perintah dari pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Pelelangan
81
umum harus dilaksanakan dihadapan Pejabat Lelang dan Kantor Lelang
Negara dan apabila menyimpang dari ketentuan tersebut, maka lelang dapat
dinyatakan tidak sah.
Untuk mengeksekusi haknya, kreditor diberikan jangka waktu oleh UU
Kepailitan yaitu berdasarkan Pasal 56 dan Pasal 59. Pada Pasal 56, hak
eksekusi kreditor ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan
puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Hal ini diatur
dalam Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan. Pada penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU
Kepailitan menjelaskan tentang tujuan adanya penangguhan adalah untuk
memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, untuk memperbesar
kemungkinan mengoptimalkan harta pailit dan untuk memungkinkan kurator
melaksanakan tugasnya secara optimal.
Selain itu, kreditor dalam mengeksekusi haknya harus memperhatikan
Pasal 59 UU Kepailitan yang mengatur bahwa kreditor harus melaksanakan
haknya dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya
keadaan insolvensi. Yang dimaksud dengan "harus melaksanakan haknya"
adalah bahwa kreditor sudah mulai melaksanakan haknya. Jadi cukup kreditor
separatis sudah mulai dengan tindakan eksekusi seperti telah mengajukan
permohonan lelang kepada instansi yang berwenang dan tidak perlu bahwa
benda yang menjadi angunan telah terjual (selesai melaksanakan haknya).
Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan maka yang berwenang
eksekusi tersebut adalah kurator.
82
Maka, Jangka waktu kreditor separatis untuk melaksanakan hak
eksekutorialnya sendiri berdasarkan Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan
dihubungkan dengan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan adalah dimulai pada hari
ke-91 sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, atau lebih cepat sepanjang
ada penetapan hakim pengawas yang mengangkat penangguhan dan berakhir 2
bulan sesudah insolvensi.
Permasalahan pokok yang terjadi antara kreditor separatis dan buruh
adalah perbedaan kedudukan hukum dan ekonomi yang terkait dengan
pembayaran dalam kepailitan. Bagi kreditor separatis, pembayaran dalam
kepailitan dijamin pelunasannya dengan benda jaminan. Bagi buruh, selaku
kreditor preferen khusus, kedudukannya berada di bawah kreditor separatis,
sehingga jika seluruh harta debitor telah dijadikan agunan dan dikuasai oleh
para kreditor separatis, hal tersebut dapat berakibat buruh tidak memperoleh
apapun, yang menurut para Pemohon, bertentangan dengan perlindungan atas
hak-hak buruh yang telah dijamin dalam UUD 1945, yaitu kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama, karena buruh sebagai pekerja berhak
untuk mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dari pekerjaan
yang telah dilakukannya, yang mendukung haknya untuk hidup.
Keadilan dalam pembagian hak di antara para kreditor atas harta debitor
pailit harus dilihat dari moralitas konstitusi dalam UUD 1945 yang ditafsirkan
sebagai amanat untuk melindungi segenap bangsa secara adil dan
berperikemanusiaan yang berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Sejalan
83
dengan itu, atas dasar asas kekeluargaan yang tercantum dalam Pasal 33 UUD
1945, negara berhak untuk mengatur dan menjaga berbagai kepentingan
ekonomi seluruh lapisan masyarakat, termasuk para pelaku ekonomi. Keadilan
akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam
masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk dalam hal
ini kepentingan pemilik perusahaan, buruh, dan kreditor, karena masing-
masing elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi sebaliknya harus saling
menopang.
Jika hak-hak buruh termarginalisasi dalam kepailitan, maka negara harus
segera meluruskannya melalui kebijakan yang menguntungkan kepentingan
satu pihak, tetapi tanpa mengorbankan kepentingan pihak lain. Ketentuan-
ketentuan hukum yang berhubungan dengan hak-hak buruh harus diperbaiki,
misalnya bila terjadi kepailitan maka harus ada kepastian hukum yang
merupakan jaminan terbayarnya hak-hak buruh misalnya gaji buruh, karena
mereka telah memberikan jasa dan ketrampilannya dalam proses produksi.
Namun, kebijakan ini tidak boleh mengganggu kepentingan kreditor separatis.
Selanjutnya hal tersebut tidak diartikan menyamaratakan seluruh
komponen piutang yang dasar hukumnya masing-masing berbeda, yaitu
undang-undang dan perjanjian. Kedudukan kreditor yang didasarkan pada
jaminan (gadai, hipotek, fidusia, dan tanggungan) sejak awal telah mengurangi
hak debitor atas harta atau aset yang dijadikan jaminan, yang menyebabkan
aset tidak dapat lagi dipandang sebagai hak milik penuh debitor, karena aset
84
telah dibebani hipotek, fidusia, hak tanggungan, dan gadai yang mengurangi
keleluasaan debitor untuk bertindak terhadap objek jaminan sebagai pemilik
semu (pseudo eigenaar).
Keadilan dapat berarti memperlakukan sama terhadap hal-hal yang
memang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang
berbeda. Dengan demikian, justru menjadi tidak adil apabila terhadap hal-hal
yang berbeda diperlakukan sama. Unsur modal dan buruh tidak dapat
dikatakan sama, baik dilihat dari sifat, asal usul, dan peranannya. Prinsip
keadilan dalam UUD 1945 yang menugaskan pada negara untuk melindungi
segenap bangsa, termasuk bagi buruh dalam kepailitan, merupakan perintah
untuk melakukan upaya menghilangkan ketidakadilan yang dapat terjadi
melalui kebijakan publik dalam perundang-undangan untuk meningkatkan
jaminan perlindungan bagi buruh.
Pelaksanaan hak-hak kreditor separatis tidaklah dapat dikatakan sebagai
perlakuan yang tidak adil dan tidak layak dalam hubungan kerja (hubungan
antara buruh dan pengusaha), karena dalam hubungan kerja dimaksud, buruh
tidak kehilangan hak-haknya dalam kepailitan dan buruh juga tidak kehilangan
hak-hak atau upahnya. Apabila ternyata seluruh harta perusahaan habis untuk
membayar kreditor separatis, sehingga upah buruh atau pekerja tidak
terbayarkan, maka dibutuhkan campur tangan negara untuk mengatasi keadaan
demikian melalui berbagai kebijakan sosial yang konkret.
85
Akan tetapi, faktor lemahnya perlindungan terhadap hak-hak buruh atau
pekerja dalam hal terjadinya kepailitan yang dapat mengakibatkan buruh atau
pekerja tidak memperoleh apa-apa karena aset debitor telah dijadikan jaminan
bagi kreditor separatis memerlukan campur tangan negara. Dengan demikian,
yang harus dilakukan bukan dengan cara memberikan kedudukan buruh
sebagai kreditor yang setara dengan kreditor separatis atau menghilangkan
status kreditor separatis, yang tentunya akan merugikan pihak kreditor
separatis yang dijamin hak pelunasan piutangnya berdasarkan UU Kepailitan,
melainkan dengan menutup celah kelemahan hukum dengan mengatur
hubungan antara buruh dan debitor dalam UU Ketenagakerjaan melalui
berbagai kebijakan sosial yang konkret, sehingga ada jaminan kepastian
hukum terhadap hak-hak buruh atau pekerja terpenuhi pada saat debitor
dinyatakan pailit.
Di dalam ajaran agama Islam juga mengatur mengenai utang-piutang.
Islam tidak hanya mengatur dan menilai kondisi debitor saja, tetapi sekaligus
juga mengatur dan menilai terhadap kreditur, sehingga terbangun cara pandang
yang imbang dan adil terhadap kedua belah pihak. Dalam kondisi normal,
utang pasti harus dibayar, namun dalam kondisi kesulitan, pailit yang diderita
oleh debitor, al-Quran secara bijak menawarkan solusi yang realistis dan
manusiawi. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 280:
86
Artinya: Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua
utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Ayat tersebut menawarkan tiga alternatif penyelesaian kepailitan utang:
a. Penangguhan pembayaran utang sampai debitor punya kemampuan
mengembalikan utangnya. Dalam konteksnya perlu diadakannya
penjadwalan ulang (rescheduling) pembayaran utang bersama dengan
lembaga debitor dan pihak kreditur.Peringanan pembayaran utang sesuai
dengan kemampuan debitor.
b. Pemberian keringanan ini besar kecilnya atau prosentasenya disesuaikan
dengan kemampuan dan kesepakatan kedua belah pihak.
c. Pembebasan seluruh utang. Dalam kondisi dimana debitor benar-benar
mengalami kesulitan, tidak mampu membayar utang, adalah sangat
manusiawi dan terpuji bila kreditur mau membebaskan debitor dari seluruh
utangnya. Dan ditegaskan oleh hadist Nabi S.A.W.:
ومن فرج عن مسلم كربة فرج اللھ عنھ بھا كربة من
كرب یوم القیامة
Artinya: Barangsiapa yang melepaskan seorang muslim dari suatu
kesulitan, maka Allah akan melepaskannya dari kesulitan pada hari kiamat.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, dapat
ditarik kesimpulan di antaranya sebagai berikut:
1. Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013 ini maka,
kedudukan kreditor separatis dalam mendapat pelunasan dari debitor atas
utangnya berada di bawah tagihan upah buruh. Hal ini bertentangan dengan
apa yang diamanatkan oleh UU Kepailitan dan UU Hak Tanggungan
khususnya Pasal 55 UU Kepailitan dan Pasal 21 UUHT, yang memberikan
kewenangan pada kreditor separatis untuk melaksanakan haknya seolah-olah
tidak ada kepailitan yang berarti bahwa kedudukan kreditor separatis lebih
tinggi daripada tagihan upah buruh. Apabila pembayaran utang kreditor
separatis berada setelah pembayaran upah buruh, maka akan menimbulkan
potensi permasalahan kepastian hukum terkait pelaksanaan lembaga hukum
jaminan dalam proses Kepailitan di Indonesia dan tentunya akan berdampak
buruk kepada pertumbuhan ekonomi negara dikarenakan tidak akan ada
pemilik modal seperti lembaga perbankan atau lembaga keuangan di
Indonesia yang mau menyalurkan modal kepada pengusaha atau perusahaan.
88
2. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor
67/PUU-XI/2013 mengenai hak eksekusi kreditor pemegang hak tanggungan
ketika debitor pailit yaitu tidak sejalan dengan ketentuan UU Kepailitan dan
UUHT yang mengatur bahwa pada dasarnya telah memberikan kewenangan
pada kreditor separatis untuk melaksanakan haknya seolah-olah tidak ada
kepailitan. Kreditor separatis tidak terkena akibat dari kepailitan dan berhak
mengeksekusi sendiri barang-barang jaminan yang ada dalam kekuasaannya.
Selain itu pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis mempunyai hak
yang didahulukan dari kreditur lainnya, yaitu para kreditur konkuren, untuk
menerima pelunasan atas piutangnya dari hasil eksekusi jaminan hak
tanggungan miliknya. Siapapun yang melaksanakan eksekusi atas benda
jaminan, baik kreditur sendiri ataupun kurator, hak mendahulu atau hak
preferen tersebut tetap dilindungi.
B. Saran
1. Mengingat pentingnya perlindungan bagi buruh atau pekerja, maka
pembentuk undang-undang harus bersungguh-sungguh mengupayakan
terbentuknya undang-undang yang memberikan jaminan dan perlindungan
yang lebih baik bagi buruh atau pekerja tersebut sesuai dengan tujuan
bernegara dan prinsip negara kesejahteraan (welfare statedan welfare society)
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Di samping itu,
89
diperlukan sinkronisasi dan harmonisasi dari berbagai peraturan perundang-
undangan yang terkait.
2. Diperlukan upaya perlindungan yang akan diberikan secara memadai kepada
buruh atau pekerja untuk menghindari tagihan buruh menjadi nihil, karena
habis untuk membayar kreditor dengan peringkat yang lebih tinggi (yang
didahulukan). Kebebasan berkontrak dalam perjanjian kerja dan perikatan
dalam usaha merupakan domain hukum privat, yang menghendaki
keseimbangan dan keadilan dalam kedudukan di antara pihak-pihak. Akan
tetapi, hal tersebut tidak dapat diserahkan semata-mata berdasarkan kebebasan
berkontrak antar pihak-pihak, melainkan harus dilakukan dengan serangkaian
perundang-undangan sosial, yang menuntut campur tangan negara seperti
yang dikenal dalam peraturan perundang-undangan jaminan sosial dengan
ruang lingkup yang lebih luas, terutama bagi Negara Republik Indonesia yang
menganut paham negara kesejahteraan.
90
DAFTAR PUSTAKA
Buku Referensi: Asikin, Zainal. 2000, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di
Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Dahlan. 1995, Hukum Perbankan. Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti.
Fuady, Munir, 1999, Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti.
Fuady, Munir, 2002, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
Fuady, Munir. 2002, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era
Global, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Fuady, Munir. 2005, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Fuady, Munir. 2013, Hukum Jaminan Utang, Jakarta: Erlangga.
Harsono, Boedi. 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Cet. 12, Edisi
Revisi, Jakarta: Djambatan.
Hasan, Djuhaendah, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda
Lain yang Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas
Pemisahan Horisontal. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
91
Hutagalung, Arie S. 2002, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan
Ekonomi, Cet. 1, Edisi 1, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Ibrahim, Johnny. 2007, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publising.
Jono, 2013, Hukum Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika.
Marzuki, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana.
Nating, Imran. 2005, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan
dan Pembesaran Harta Pailit. Edisi revisi. Jakarta: Raja Grafindo.
Purnamasari, Irma Devita, 2012, Panduan Lengkap Buku Praktis Populer: Kiat-
Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan
Perbankan, Cet. Kedua, Bandung: Kaifa.
Purwosatjipto, H.M.N. 1984, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,
Jakarta: Djambatan.
Satrio, J. 1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan: Hak Tanggungan,
cet. 1, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Satrio, J. 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, cet ke-IV, Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
Sastrawidjaja, Man S. 2006, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Bandung: Alumni.
Shubhan, M. Hadi. 2008, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik di
Pengadilan, Jakarta: Kencana, 2008.
92
Sinaga, Syamsudin M. 2012, Hukum Kepailitan Indonesia, Jakarta: Tatanusa.
Sjahdeini, Sutan Remy, 1999, Hak Tanggungan Asas-asas, Ketentuan-ketentuan
Pokok Dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian
Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Cet. 1, Edisi Kedua,
Bandung: Alumni, 1999.
Sjahdeini, Sutan Remy. 2002, Hukum Kepailitan: Memahami
Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Sjahdeini, Sutan Remy, 2009, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-undang
No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Soekanto, Soerjono. 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, Jakarta: UI
Press, 2008.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Pers.
Supramono, Gatot. 2013, Perjanjian Utang Piutang, Jakarta: Kencana.
Usman, Rachamdi. 1998, Pasal-pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah,
Jakarta: Djambatan.
Waluto, Bernadette, 1999, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, cet.1, Bandung: Mandar Maju.
Widjaja, Gunawan. 2003, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung
Menanggung, Jakarta: Rajawali Pers.
93
Y, Annalisa. 2007, Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(Alternatif Penyelesaian Utang Piutang), Palembang: Unsri.
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, 2004, Seri Hukum Bisnis Kepailitan,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Peraturan Perundang-Undangan:
Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Undang-Undang No. 4 Tahun
1996
Indonesia, Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan , Undang-Undang No. 13
Tahun 2003
PUTUSAN Nomor 67/PUU-XI/2013
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2] 1. Nama : Ir. Otto Geo Diwara Purba
Tempat /Tanggal Lahir : Tanjung Pinang/24 Oktober 1966
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Jakarta
Pekerjaan : Pekerja Pertamina
sebagai--------------------------------------------------------------------Pemohon I;
2. Nama : Ir. Syamsul Bahri Hasibuan S.H.,M.H. Tempat /Tanggal Lahir : Palu /13 Desember 1964
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Jakarta
Pekerjaan : Pekerja Pertamina
sebagai--------------------------------------------------------------------Pemohon II;
3. Nama : Eiman
Tempat /Tanggal Lahir : Medan /12 Agustus 1964
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Jalan Taman Ayun 3 Nomor 6 Jakarta timur
Pekerjaan : Pekerja Pertamina
sebagai--------------------------------------------------------------------Pemohon III;
4. Nama : Robby Prijatmodjo
Tempat /Tanggal Lahir : Kediri/05 Mei 1961
Warga Negara : Indonesia
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
2
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Alamat : Jalan Kresna I/20 RT.04 RW. 01
Perumahan PEMDA, Jati Asih-Bekasi
Pekerjaan : Pekerja Pertamina
sebagai--------------------------------------------------------------------Pemohon IV;
5. Nama : Macky Ricky Avianto
Tempat /Tanggal Lahir : Tuban/29 Maret 1968
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Bukit Cimanggu Villa Blok S9E / 31, Bogor
Pekerjaan : Pekerja Pertamina
sebagai--------------------------------------------------------------------Pemohon V;
6. Nama : Yuli Santoso
Tempat /Tanggal Lahir : Jakarta /11 Juli 1958
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Perum Gumilir Indah Blik VII/181 A, Cilacap
Pekerjaan : Pekerja Pertamina
sebagai--------------------------------------------------------------------Pemohon VI;
7. Nama : Joni Nazarudin
Tempat /Tanggal Lahir : Palembang/15 Februari 1964
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Jalan Kecapi Raya Nomor 7B Jagakarsa,
Jaksel
Pekerjaan : Pekerja Pertamina
sebagai-------------------------------------------------------------------Pemohon VII;
8. Nama : Piere J Wauran
Tempat /Tanggal Lahir : Sei Gerong/12 September 1966
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Jalan Kelapa Cengkir Timur IV Blik EJ1/1
Jakut
Pekerjaan : Pekerja Pertamina
sebagai------------------------------------------------------------------Pemohon VIII;
9. Nama : Maison Des Arnoldi Tempat /Tanggal Lahir : Painan/17 Desember 1963
Warga Negara : Indonesia
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
3
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Alamat : Jalan Malaka IV Nomor 36 Klender, Jakarta
Timur
Pekerjaan : Pekerja Pertamina
sebagai--------------------------------------------------------------------Pemohon IX;
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 27 Mei 2013 memberi
kuasa kepada Janses E Sihaloho, S.H.; Riando Tambunan, S.H.; B.P. Beni Dikty Sinaga, S.H.; Ecoline Situmorang, S.H.; M. Zaimul Umam, S.H. M.H.; dan
Anton Febrianto, S.H., Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum
Sihaloho & Zaim Law Offices, beralamat kantor di Jalan Kalibata Selatan Nomor
3 Jakarta Selatan, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan para Pemohon;
Mendengar keterangan para Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Presiden;
Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;
Mendengar keterangan ahli para Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti surat/tertulis para Pemohon;
Membaca kesimpulan para Pemohon dan Presiden.
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan
dengan surat permohonan bertanggal 17 Juni 2013, yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal
17 Juni 2013 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor
305/PAN.MK/2013 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
pada tanggal 27 Juni 2013 dengan Nomor 67/PUU-XI/2013, yang telah diperbaiki
dengan perbaikan permohonan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada
tanggal 29 Juli 2013, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
A. PENDAHULUAN Dalam rangka pembangunan nasional untuk pembangunan manusia Indonesia
yang seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
4
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
materiil maupun spritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa dalam
pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan yang
penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan.
Oleh karenanya diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk
meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan
serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam hal perlindungan terhadap tenaga
kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan
menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas
dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia
usaha. Salah satu pasal dalam UUD 1945 yaitu Pasal 28D yang menyatakan
bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja. Negara Kesatuan Republik Indonesia
menjamin, melindungi serta memenuhi hak-hak warga negaranya melalui
konstitusinya yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Beberapa diantaranya adalah
hak atas kepastian hukum dan hak atas perlindungan yang layak dalam
hubungan kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi: ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum”dan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang
berbunyi: ”Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Lebih lanjut, pemerintah
Republik Indonesia juga telah melakukan ratifikasi terhadap Konvensi ILO
Nomor 111 Tahun 1958 mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan
melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999, sebagai bagian dari
perlindungan hak asasi tenaga kerja dan pekerja/buruh.
Untuk melaksanakan mandat konstitusi tentang hak atas pekerjaan
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 maupun hak-hak terkait lainnya dalam Pasal 28 Undang-
Undang Dasar 1945, maka pada tanggal 25 Maret 2003 Pemerintah Republik
Indonesia, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri telah
mengeluarkan dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
5
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
tentang Ketenagakerjaan, yang tercatat dalam Lembaran Negara Nomor 39
Tahun 2003.
Bahwa tujuan dari dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan adalah sebagaimana disebut dalam
pertimbangannya:
a. Bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja
mempunyai peranandan kedudukan yang sangat penting sebagai
pelaku dan tujuan pembangunan;
c. Bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga
kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan
perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan;
d. Bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk
menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan
kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apa pun
untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya
dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;
Bahwa perlindungan dan jaminan kepastian hukum atas hak-hak buruh telah
berpotensi terabaikan dengan adanya Pasal 95 ayat (4) yang tidak menajmin
pemenuhan hak-hak atas buruh dalam hal perusahaan pailit atau di likuidasi.
B. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1. Hak Uji menurut Prof. DR. Sri Soemantri, dalam Bukunya: “HAK UJI
MATERIIL DI INDONESIA, 1997”, ada dua jenis, yaitu Hak Uji Formil dan
Hak Uji Materiil. Hak Uji Formil menurutnya adalah “wewenang untuk
menilai, apakah suatu produk legislatif, seperti undang-undang misalnya
terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak”
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
6
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
(halaman 6). Selanjutnya ia mengartikan Hak Uji Materiil sebagai “wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu”;
2. Hak Uji, baik formil maupun materiil, diakui keberadaannya dalam sistem
hukum kita, sebagaimana terdapat dalam Konstitusi Indonesia, yaitu
Undang-Undang Dasar 1945, yang telah mengalami perubahan sebanyak
empat kali, dalam Pasal 24 ayat (1), yang menyatakan: “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya …. dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Sedangkan pengaturan mengenai kewenangan hak uji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar tersebut terdapat dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang selengkapnya menentukan sebagai berikut:
Pasal 24C ayat (1) berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
3. Bahwa selanjutnya Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4. Bahwa Pasal 1 angka (3) huruf (a) Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi, menyatakan bahwa “Permohonan adalah permintaan yang
diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”;
5. Bahwa selanjutnya Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
7
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
6. Bahwa selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur secara hirarki
kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 lebih tinggi dari Undang-Undang,
oleh karenanya setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Maka jika terdapat
ketentuan dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945 maka ketentuan Undang-Undang tersebut dapat
dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian Undang-Undang di
Mahkamah Konstitusi;
7. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut jelas bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian secara materiil, yaitu untuk melakukan pengujian sebuah
produk Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
C. KEDUDUKAN HUKUM PARA PEMOHON. 8. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
menyatakan para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-
Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat, atau;
d. lembaga negara;
Dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional”
adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
8
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
9. Bahwa penjelasan: “Yang dimaksud dengan “perorangan” termasuk
kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama”.
Para Pemohon adalah perseorangan yang juga tergabung di dalam
Serikat Pekerja yang bertujuan memperjuangkan kepentingan buruh.
10. Bahwa hak konstitusional sebagaimana terkandung dalam Undang-
Undang Dasar 1945 diantaranya meliputi hak untuk mendapatkan
kepastian hukum, hak atas pekerjaan sebagiamana diatur dalam Pasal
28D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
11. Bahwa berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005, adanya kedudukan hukum (legal standing) Pemohon
berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, harus memenuhi 5 (lima) syarat,
yaitu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945.
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon
telah dirugikan oleh Undang-Undang yang diuji.
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat
spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial
yang menurut penalaran yang wajar (logis) dapat dipastikan akan
terjadi.
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji.
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
tersebut maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan tidak
lagi terjadi.
Bahwa berdasarkan kualifikasi syarat tersebut, para Pemohon merupakan
pihak yang memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat
(1) dan ayat (2) UUD 1945, yaitu perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
12. Bahwa para Pemohon adalah Perorangan warga negara Indonesia
(individu), yang bergerak atas dasar kepentingan pribadi serta kepedulian
untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan KEADILAN
SOSIAL, HUKUM dan HAK ASASI MANUSIA, termasuk hak-hak pekerja
di Indonesia,
13. Bahwa para Pemohon sebagai pekerja (individu) mempunyai kepedulian
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
9
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
perlindungan terhadap Para Karyawan PT. PERTAMINA khususnya, dan
Pekerja yang bekerja pada perusahaan lain pada umumnya.
14. Bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon bertujuan untuk
memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta
meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan
keluarganya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) juncto Pasal 4
ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja.
15. Bahwa para Pemohon adalah juga para pekerja yang berpotensi untuk
dikenai pemberlakuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan dalam hal perusahaan tempat mereka
bekerja mengalami pailit, yang tentunya akan dapat menyulitkan para
Pemohon dalam menuntut hak-hak mereka kelak apabila diperhadapkan
dengan kreditor lainnya;
16. Bahwa bilamana Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tetap diberlakukan tanpa adanya
penafsiran yang tegas terhadap ketentuan pasal tersebut, maka akan
berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus pengingkaran
hak-hak para Pemohon selaku pekerja dan pekerja lainnya yang bekerja
di perusahaan tempat mereka bekerja yang sedang mengalami pailit
berdasarkan putusan pengadilan.
D. FAKTA HUKUM 17. Bahwa pada tanggal 25 Maret 2003 Pemerintah Republik Indonesia telah
mengeluarkan dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, yang tercatat dalam Lembaran Negara Nomor
39 Tahun 2003.
18. Bahwa Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu hubungan industrial
sekaligus juga mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam
hal terjadinya perselisihan dalam hubungan industrial.
19. Bahwa salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yaitu Pasal 95 ayat (4) menyatakan; “Dalam hal
perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
10
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
pembayarannya”
20. Berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (4) di atas, yang menyatakan bahwa
upah dan hak-hak lainnya dari para pekerja/buruh merupakan utang yang
“didahulukan” pembayarannya.
21. Bahwa dalam pelaksanaan putusan pailit kata “didahulukan” ditempatkan setelah pelunasan terhadap hak-hak negara dan para
kreditur separatis yang merujuk Buku Dua Bab XIX KUH Perdata dan
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang diubah oleh
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994. Di sini, hak negara ditempatkan
sebagai pemegang hak posisi pertama, diikuti oleh kreditor separatis
(pemegang hak tanggungan, gadai, fidusia, hipotik).
22. Bahwa berdasarkan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 yang menempatkan hak-hak pekerja harus “didahulukan”, akan
tetapi dalam praktik ditempatkan dalam posisi setelah pemenuhan hak
negara dan para kreditor separatis, menimbulkan adanya ketidakpastian
hukum dalam penerapan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003.
E. ALASAN PENGAJUAN PERMOHONAN UJI MATERIIL TERHADAP PASAL 95 AYAT (4) UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BERTENTANGAN DENGAN:
E.1. PASAL 95 AYAT (4) UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BERTENTANGAN DENGAN PASAL 28D AYAT (1) UNDANG-UNDANG DASAR 1945 KARENA BERPOTENSI MENIMBULKAN KETIDAKPASTIAN HUKUM BAGI PEKERJA:
Bahwa Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Adapun Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa: “Dalam hal perusahaan dinyatakan
pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang
yang didahulukan pembayarannya”
Bahwa pemberlakuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, mengingat tidak adanya
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
11
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
penafsiran yang jelas dan tegas mengenai klausula “didahulukan pembayarannya”.
Bahwa dalam praktik dan dengan mengingat ketentuan hukum yang berlaku,
baik itu dalam Pasal 1134 ayat (2) juncto Pasal 1137 KUH Perdata dan Pasal
21 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, maka terdapat urutan peringkat penyelesaian tagihan kreditor
setelah selesainya kreditor separatis, dimana upah buruh masih harus
menunggu urutan setelah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan
umum yang dibentuk Pemerintah untuk didahulukan. Padahal berdasarkan
Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 di atas, maka
secara hukum adanya pailit terhadap perusahaan, dalam hal pemenuhan
hak-hak pekerja seperti pesongan dan hak-hak lainnya harus didahulukan
dari pemenuhan kewajiban perusahaan yang pailit.
Bahwa dalam Pasal 1149 KUH Perdata, piutang buruh terhadap perusahaan/
majikan berkedudukan sebagai kreditor/piutang preferen, sehingga dengan
dinyatakan pailitnya debitor tidak akan menghilangkan hak-hak buruh sebagai
kreditor terhadap perusahaan tersebut. Buruh dapat menuntut pembayaran
upahnya sebagai kreditor dengan mengajukan tagihan kepada kurator yang
ditunjuk oleh Pengadilan Niaga yang bertugas untuk mengurus dan
membereskan harta debitor pailit. Kurator mendahulukan pembayaran upah
buruh sebagai kreditor preferen dari hasil penjualan boedel pailit daripada
pembayaran kepada kreditor konkuren;
Bahwa pertentangan yang secara nyata yang berimplikasi pada tidak
terciptanya jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap
para buruh adalah dalam hal perusahaan yang pailit merupakan Perusahaan
Asuransi, yang mana berdasarkan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, dinyatakan bahwa: “Hak
pemegang polis atas pembagian harta kekayaan Perusahaan Asuransi
Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang di likuidasi merupakan hak
utama”
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
12
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Bahwa pemberlakuan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian dalam praktiknya akan menimbulkan
ketidakpastian hukum bila disandingkan dengan hak-hak buruh yang bekerja
dalam perusahaan asuransi, tentang pemberlakuan hukum, apakah akan
mendahulukan/mengutamakan Hak Pemegang Polis berdasarkan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian ataukah
mendahulukan/mengutamakan hak-hak buruh sebagaimana dinyatakan
dalam ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
Bahwa baik dalam Undang-Undang Pajak, Undang-Undang Asuransi maupun
Undang-Undang a quo semua menyatakan diutamakan/didahului.
Bahwa ketidakpastian hukum siapa yang didahulukan sangatlah
menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja sehingga perlu untuk di
tafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dari semua kreditor-kreditor dimaksud, siapakah seharusnya di utamakan dan apa yang mendasari hal tersebut? Terkait pertanyaan tersebut, para Pemohon mencoba menguraikan alasan-alasan kenapa pekerja yang menjadi prioritas sebagai berikut:
i. Bahwa pekerja merupakan kelompok yang menggantungkan kehidupannya dan keluarganya kepada perusahaan tempat dia bekerja dan hampir semua pekerja yang dikenakan pemutusan hubungan kerja tidak dapat lagi bekerja di perusahaan lain yang di sebabkan oleh beberapa hal seperti masalah umur dan lapangan kerja yang terbatas, yang artinya hak-hak pekerja seperti pesangon merupakan modal utama untuk melanjutkan hidup untuk kehidupan pekerja dan keluarganya;
ii. Bahwa bila dibandingkan dengan pemegang polis asuransi, maka ketergantungan pemegang polis asuransi terhadap dana asuransi tidaklah se-vital pesangon atau hak-hak buruh bagi buruh dikarenakan asuransi di peruntukkan untuk meng-cover risiko yang mungkin terjadi bagi pemegang asuransi sementara pesangon di pergunakan untuk penghidupan pekerja;
iii. Bila di bandingkan dengan pemegang hak tanggungan dan pemegang fidusia, kedudukan dari pekerja jauh lebih lemah
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
13
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan pemegang hak tanggungan yang tentunya mempunyai dana dan kemampuan lebih untuk hidup dibandingkan dengan pekerja.
iv. Bila dibandingkan dengan piutang-piutang negara seperti pajak, tentunya posisi pekerja sangat lebih lemah dan lebih penting untuk didahululan bagi pekerja, mengingat pajak itu pun secara hukum akan tetap dikembalikan untuk kepentingan masyarakat yang tentunya termasuk pekerja di dalamnya. Sangat tidak logis piutang Negara diutamakan di banding pekerja karena bagiamanapun Negara bertanggung jawab secara konstitusional terhadap jaminan hidup yang layak bagi warga negara termasuk pekerja.
Bahwa berdasarkan prinsip perlakuan khusus terhadap pihak yang lemah
maka sudah selayaknya dan sepatunya lah hak pekerja didahulukan dari
semua kreditur lainnya.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka ketentuan Pasal 95 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sepanjang
frasa “didahulukan pembayarannya” menimbulkan ketidakpastian hukum
dan bertentangan dengan Pasal 28D (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjamin akan adanya suatu kepastian hukum.
Bahwa dengan tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi pekerja
sebagaimana diuraikan di atas maka ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sepanjang frasa
“didahulukan pembayarannya” telah nyata menimbulkan multi tafsir dan
menempatkan pekerja/buruh dalam posisi yang lemah dan tidak equal
dengan para kreditur separatis yang dalam praktik lebih didahulukan
pembayarannya. Bahwa dalam konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 menyatakan, “pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil,
makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila
dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;”. Dan
cita-cita sebagaimana dalam konsideran menimbang tersebut terlaksana
apabila ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
14
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sepanjang frasa “didahulukan pembayarannya” diartikan pembayarannya
didahulukan daripada para kreditor separatis pemegang jaminan gadai,
fidusia, dan hak tanggungan.
E.2. PASAL 95 AYAT (4) UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BERTENTANGAN DENGAN PASAL 28D (2) UUD 1945 KARENA BERPOTENSI MENIMBULKAN PELANGGARAN HAK PEKERJA UNTUK MEMPEROLEH PERLAKUAN YANG ADIL DAN LAYAK SECARA HUKUM
Bahwa Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “Setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja.”
Bahwa Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “Dalam hal perusahaan dinyatakan
pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang
yang didahulukan pembayarannya”
Bahwa hak buruh tidak dapat dikalahkan oleh pihak lain sekali pun
perusahaan pailit; karenanya buruh tidak kehilangan haknya atas upah
selama proses kepailitan terjadi untuk itulah Pasal 95 ayat (4), yang
menyatakan bahwa upah buruh adalah utang yang didahulukan pembayarannya, guna memberikan jaminan akan pemenuhan haknya
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945.
Bahwa meskipun terdapat beberapa sistem hubungan industrial yang dikenal
dan dianut oleh negara-negara di dunia, baik itu hubungan industrial
berdasarkan Liberalisme (utility system), hubungan industrial berdasarkan
Kemanusiaan (humanitarian system), hubungan industrial berdasarkan
Demokrasi (democratic system), hubungan industrial berdasarkan Perjuangan
Kelas (class struggle system), dan hubungan industrial berdasarkan
Komitmen Seumur Hidup (life long commitment/life time employment). Namun
Negara Indonesia menganut sistem hubungan industrial yang berdasarkan
Pancasila, yaitu suatu sistem yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan
manifestasi dari keseluruhan sila-sila Pancasila dan UUD 1945 yang tumbuh
dan berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan Nasional
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
15
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Indonesia. Dalam sistem ini, pemerintah dengan segenap upaya mendorong
dan berperan serta untuk mendorong, melindungi dan memenuhi hak-hak
buruh. Hal ini mengingat bahwa dalam praktik hubungan industrial, pekerja
atau buruh dipandang sebagai salah satu faktor produksi di dalam
perusahaan, dengan kata lain buruh/pekerja dianggap sebagai benda/barang
yang merupakan objek dari hukum ekonomi yaitu hukum permintaan dan
penawaran.
Dengan mengingat posisi rentan para pekerja, maka pemerintah
menghasilkan berbagai kebijakan dan regulasi yang menjamin dan
melindungi hak-hak para pekerja, semisal melalui Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Bahwa Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, merupakan
norma yang belum jelas dan tegas tafsirannya, mengingat belum jelas apa
yang dimaksud dengan klausula “…didahulukan pembayarannya”, karena
meskipun upah dan hak-hak buruh di jamin dalam hal terjadinya pailit atau
likuidasi perusahaan, namun posisi pekerja selaku kreditor preferen khusus
menjadi rentan karena masih menunggu pembayaran bagi kreditor separatis
dalam hal terjadinya kepailitan. Dengan demikian salah satu pihak yang di
jaminkan haknya selama proses pailit itu yaitu para buruh dan pekerja
menjadi terabaikan hak asasi manusianya untuk mendapatkan penghidupan
yang layak dan imbalan yang sesuai dengan kerjanya.
Bahwa dalam hal terjadinya kepailitan, maka kreditor akan terbagi kedalam 3
bagian yaitu kreditor separatis, kreditor preference dan kreditor konkuren.
Buruh merupakan kreditor preference, yang pembayaran hak-haknya
dilakukan setelah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang
dibentuk Pemerintah. Posisi atau kedudukan buruh selaku kreditor preference
yang masih menunggu urutan peringkat pembayaran setelah setagihan hak
negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah adalah
merupakan suatu kedudukan yang bertentangan dengan Pasal 95 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Bahwa akibat dari tidak jelasnya penafsiran Pasal 95 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang berujung pada ketidakpastian hukum
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
16
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagaimana yang disebutkan di atas, maka dengan sendirinya juga
menimbulkan ketidak-adilan terhadap salah satu pihak karena tidak mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sesuai
yang termaktub dalam konstitusi negara kita pada Pasal 28D ayat (2).
Berdasarkan hal-hal yang telah para Pemohon uraikan di atas, maka Pasal
95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
adalah inkonstitusional dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945, kecuali klausula “..di dahulukan pembayarannya” dimaknai bahwa
para pekerja sebagai kreditor preference yang di dahulukan pembayaran atas
upah dan hak-haknya daripada semua kreditor lainnya termasuk tagihan hak
negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah untuk
didahulukan.
F. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa Konstitusi Negara Republik Indonesia menjamin hak warga
negara atas kepastian hukum, pekerjaan dan penghidupan yang layak
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam
hubungan industrial.
3. Bahwa Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang mewajibkan para pihak untuk
melaksanakan kewajibannya sampai dengan ditetapkannya putusan
oleh lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan;
4. Bahwa berdasarkan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang a quo juga
mengandung arti bahwa para pekerja berhak atas upah dan hak-hak
lainnya sehingga upah pekerja dalam Pasal aquo dianggap sebagai
utang yang harus didahulukan pembayarannya.
5. Bahwa tidak adanya penafsiran yang tegas terhadap Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang a quo utamanya terhadap klausula ”didahulukan pembayarannya”, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan
dilanggarnya hak atas rasa adil bagi para pekerja. Karena dalam
mekanisme pelunasan utang perusahaan yang pailit adalah bertingkat
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
17
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
yaitu pembayaran dirprioritaskan kepada (1) utang negara dan biaya
kurator, (2) kreditor separatis pemegang jaminan gadai, fidusia, dan/atau
hak tanggungan, (3) kreditor preferen, dan kreditor konkuren.
6. Bahwa Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah
inkonstitusional dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,
kecuali bila frasa “didahulukan pembayarannya” ditafsirkan pelunasan
mendahului semua jenis kreditor baik kreditor separatis/istimewa,
kreditor preperence, pemegang hak tanggungan, gadai dan hipotik dan
kreditor bersaing (concurent).
7. Bahwa Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah
inkonstitusional dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945,
kecuali bila frasa “didahulukan pembayarannya” ditafsirkan pelunasan
mendahului semua kreditor termasuk para kreditor separatis pemegang
jaminan gadai, fidusia, dan hak tanggungan.
G. PETITUM Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,
dengan ini para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang
Terhormat agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pengujian Materiil (judicial
review) para Pemohon;
2. Menyatakan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan sejauh frasa “didahulukan pembayarannya”
adalah inkonstitusional terhadap Undang-Undang Dasar 1945, kecuali
bila frasa “didahulukan pembayarannya” ditafsirkan bahwa pelunasan
upah dan hak-hak pekerja mendahului semua jenis kreditor baik kreditor
separatis/istimewa, kreditor preperence, pemegang hak tanggungan,
gadai dan hipotik dan kreditor bersaing (concurent)
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
18
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon
telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai
dengan bukti P-9, sebagai berikut:
1 Bukti P-1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2 Bukti P-2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
3 Bukti P-3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
4 Bukti P-4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian
5 Bukti P-5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Pembayaran Utang
6 Bukti P-6 Berita Tempo. Co yang berjudul “Nasib 200 Pilot Batavia Air
Belum Jelas”;
7 Bukti P-7 Berita detik finance yang berjudul “Nasib 200 Pilot Batavia Air
Belum Jelas”;
8 Bukti P-8 Berita Antara News.Com yang berjudul “AJI Putusan Pailit TPI
Ancam 1.083 Pekerja”;
9 Bukti P-9 KTP Para Pemohon
Selain itu, para Pemohon juga mengajukan dua orang ahli yaitu Timboel Siregar dan Yogo Pamungkas yang telah didengar keterangannya di bawah
sumpah dalam persidangan tanggal 10 September 2013, yang menerangkan
sebagai berikut:
Timboel Siregar Bahwa kondisi riil di Indonesia saat ini angkatan kerja masih didominasi oleh
lulusan SD, SMP. Hal tersebut bisa dilihat dari data BPS Agustus 2012
menyatakan bahwa lulusan SMA ke atas hanya 9% dan dari angkatan kerja
formal tersebut mengalami peningkatan di Tahun 2012 yaitu mencapai 44,2 juta
orang sedangkan informal mengalami penurunan. Hal tersebut merupakan
sebuah tren yang baik, tetapi apakah pekerja-pekerja formal tersebut
mendapatkan kualitas pekerjaan dan kualitas kehidupan yang baik, hal tersebut
menjadi sebuah permasalahan. Apabila menciptakan lapangan kerja mungkin
sudah naik, tetapi pada saat bekerja apakah pekerja itu mendapatkan sesuatu
yang berkualitas?;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
19
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Bahwa dari 33 provinsi, ternyata hanya 11 provinsi yang mempunyai upah
minimum 100% KHL, 22 provinsi masih di bawah. Apabila melihat indikator
upah, masih sangat jauh dari kebutuhan dari hidup layak. Hal tersebut sesuai
dengan Undang-Undang a quo yang menyatakan bahwa pekerja harus
mendapatkan upah sesuai dengan kebutuhan hidup layak, tetapi faktanya
sampai di 2013 hanya 11 provinsi, dan selebihnya masih di bawah;
Bahwa rata-rata upah di Tahun 2012 dan Tahun 2013 juga sangat minim dan
rata-rata masih 89% dari KHL sedangan kebutuhan hidup layak masih sulit
karena Pemerintah masih mengedepankan politik upah buruh murah walaupun
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat berpidato di ILC 2011, dua
tahun lalu, mengedepankan bahwa buruh harus mendapatkan upah layak dan
politik upah buruh murah harus ditinggalkan dan ini terus dikampanyekan, tetapi
faktanya, ternyata banyak buruh yang masih mendapatkan upah di bawah
ketentuan yang harusnya diterima;
Bahwa upah adalah sebuah indikator harapan utama dari para buruh untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dan apabila melihat APBN sangat sedikit
mengalokasikan untuk mensubsidi buruh. Buruh bukan kelompok miskin dan
tidak akan pernah dapat BLSM, serta tidak akan pernah mendapatkan fasilitas
yang didapatkan oleh orang miskin seperti Jamkesmas. Buruh dianggap
kelompok menengah, tetapi faktanya buruh hanya mendapatkan sebatas upah,
yang memang masih 22 provinsi yang belum mencapai KHL. 63% buruh formal
yang ada saat ini menurut data Kemenakertrans mendapatkan upah sebatas
upah minimum atau di bawahnya dan berdasarkan hasil penelitian ILO Tahun
2012 menyatakan dengan sangat terang 40% upah buruh formal dari 44,2 %
mendapat upah di bawah upah minimum. Jadi sangat jelas bahwa politik upah
buruh murah masih terus dijalankan oleh Pemerintah. 40% upah buruh formal
masih di bawah upah minimum dari 44,2 juta;
Bahwa tentang kondisi pengupahan bila pemerintah sigap menjalankan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang SJSN dan BPJS tetapi faktanya sampai sekarang belum
terimplementasi. Jaminan sosial sebenarnya bisa menunjang kesejahteraan
buruh. Jadi buruh tidak hanya mendapatkan dari sisi upah, tetapi dari sisi
kesejahteraan dalam bentuk jaminan sosial. Tetapi faktanya sampai sekarang
belum terjalan;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
20
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Bahwa berdasarkan data dari Jamsostek, hanya sekitar 11,7 juta pekerja formal
dari sekitar 38 juta buruh formal termasuk PNS, TNI, Polri dan 38 juta pekerja
buruh formal yang baru mendapatkan jaminan sosial di Jamsostek berupa
jaminan hari tua, kematian, kecelakaan kerja, dan masih 2,2 juta setengah
hanya mendapatkan jaminan kesehatan;
Bahwa penegakan hukum sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1992 menyatakan wajib tetapi faktanya jaminan sosial masih
sedikit dirasakan oleh pekerja yakni 30% yang seharusnya untuk mendukung
Pemerintah serta mendorong untuk meratifikasi Konvesi 102 ILO dan
Pemerintah juga harus menyediakan tunjangan pengangguran sebagai bentuk
proteksi kepada buruh ketika mengalami PHK. Sampai saat ini banyak buruh
yang ketika mengalami PHK jarang mendapatkan pesangon yang layak sesuai
dengan alasan yang di-PHK;
Bahwa harus ada kebijakan Pemerintah yang bisa menanggung buruh, ketika
di-PHK yaitu berupa tunjangan pengangguran, seperti yang ada di Konvesi ILO
102. Tetapi Pemerintah saat ini belum meratifikasinya dan masih
mengedepankan lima program saja yaitu jaminan kematian, kecelakaan kerja,
JHT (Jaminan Hari Tua), jaminan kesehatan, dan jaminan pensiun;
Bahwa dalam kondisi ekonomi sekarang ini dimana pemerintah gagal
menstabilkan harga, kedelai dan sebagainya, harga kebutuhan pokok sehingga
inflasi cukup tinggi dan demikian juga dengan kondisi mata uang kita yang
sangat melemah, dimana kondisi ini akan mengancam jalannya proses
produksi. Hal tersebut dapat menyebabkan perusahaan tutup karena impor
yang sulit dan dengan dollar yang sangat sulit di pasaran. Suku bunga SBI naik
7% yang berakibat pada suku bunga pinjaman yang akan naik sehingga akan
bisa mengganggu cast flow perusahaan dalam menyediakan proses produksi di
tempat kerjanya;
Bahwa masuknya produk asing akibat adanya banyaknya perjanjian yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia seperti ACFTA (Asian China Free Trade
Area) sehingga produk lokal harus berkompetensi dengan produk-produk impor
yang relatif lebih murah. Kondisi ekonomi seperti ini, menyebabkan kondisi
buruh akhirnya terancam diujung tanduk;
Bahwa buruh dalam kondisi upah yang sangat belum layak dan jaminan sosial
yang belum memadai karena memang ada kebijakan negara yang belum
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
21
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
mengimplementasikan Undang-Undang SJSN dan diperburuk dengan kondisi
ekonomi yang mengancam perusahaan. Maka buruh perlu adanya sebuah
proteksi langsung yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 dalam bentuk kompensasi PHK yang ada misalnya dalam Pasal 165
ketika terjadi proses pailit;
Bahwa apabila buruh tidak ada proteksi, maka nasib buruh akan sulit, ketika
buruh tidak punya jaminan sosial, ketika buruh tidak tersubsidi oleh pemerintah
secara langsung dari APBN, ketika buruh tidak punya saving ketika bekerja
dengan upah yang tidak layak, artinya, buruh akan terancam nasibnya dan ini
akan menciptakan kemiskinan baru. Seharusnya Pemerintah melihat bahwa
buruh sebagai faktor yang sangat signifikan dalam menciptakan pertumbuhan
ekonomi dan berkontribusi pada konsumsi, investasi, dan ekspor impor. Artinya
Pemerintah harus melihat buruh sebagai sebuah kelompok yang memang harus
diproteksi. Oleh sebab itu, saatnya buruh mendapatkan kepastian hukum
tentang masa depannya apalagi ketika buruh mengalami sebuah masalah,
seperti PHK dan ketika perusahaan dipailitkan.
Yogo Pamungkas Bahwa pada saat sebuah perusahaan mengalami pailit, ketentuan yang ada
yang mengatur tentang masalah pailit ada di Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Ketentuan yang lain ada pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kemudian,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang
kesemuanya mengatur dan memberikan prioritas kepada objek yang diatur oleh
Undang-Undang tersebut untuk mendapatkan referensi. Apabila melihat
Undang-Undang yang mengatur hal tersebut terbagi menjadi dua bagian besar
yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai sebuah ketentuan yang
bersifat lex generalis, yaitu Pasal 1134 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
hak istimewa ialah suatu hak yang oleh Undang-Undang diberikan kepada
seorang berpiutang, sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang yang
berpiutang lainnya semata-mata berdasarkan sifat piutangnya;
Gadai dan hipotek adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, tetapi kemudian,
diberikan pengecualian dalam hal Undang-Undang ditentukan sebaliknya. Ini
artinya bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan peluang
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
22
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
terhadap ketentuan yang lain untuk menjadi ketentuan yang sifatnya lex
specialis. Undang-Undang Pajak, Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-
Undang Asuransi diisi oleh semua Undang-Undang berstatus sebagai lex
specialis. Ketika beberapa Undang-Undang tersebut menjadi lex specialis dan
menyatakan diri secara rigid memiliki keutamaan, maka siapa yang lebih utama
dari sekian banyak Undang-Undang atau tiga Undang-Undang yang lex
specialis tersebut?;
Bahwa di antara Undang-Undang yang berstatus sebagai lex specialis tadi
pertanyaannya adalah mana yang diprioritaskan? Undang-Undang tentang
Pajak memprioritaskan bahwa utang pajak menjadi yang paling diprioritaskan,
kemudian Undang-Undang Usaha Asuransi adalah pemegang polis, Undang-
Undang Ketenagakerjaan adalah upah buruh. Hal tersebut menyebabkan upah
buruh di nomor tigakan;
Bahwa berdasarkan asas lex specialis derogat lex generalis, maka
sesungguhnya adalah KUHPerdata yang kemudian di lex specialis kan, tetapi
pada sisi lain dengan adanya Undang-Undang Pajak kemudian menghapus
Undang-Undang yang juga lex specialis. Dalam praktik Undang-Undang Pajak
seringkali pajak didahulukan, tetapi ketika kita melihat konstruksi hukum yang
ada, tentu saja tidak bisa seperti hal tersebut apabila alasannya adalah alasan
sosiologis, tetapi ketika alasannya adalah alasan hukum, maka ketiga undang-
undang tersebut adalah produk-produk legislatif dan memiliki kesamaan derajat;
Bahwa terkait dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, klasifikasi upah apakah upah pada saat buruh bekerja,
ataukah upah pada saat buruh mengalami PHK, dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 diatur tentang kebijakan pengupahan nasional, salah satunya
adalah ketika PHK ada pesangon kompensasi dan hak-hak lain;
Bahwa PHK yang dilakukan oleh kurator memang diatur pada saat pailit, tetapi
ketika PHK dimohonkan oleh pekerja itu tidak diatur, sementara di Undang-
Undang Pailit diatur. Semestinya Undang-Undang tersebut diselesaikan terlebih
dahulu, mana yang lebih preferen, apabila dibuat lex specialis mana yang lebih
lex specialis sehingga ada sinkronisasi dan harmonisasi dan setelah itu
dipreferensikan. Namun apabila kita mengundang orang asuransi, maka
pemegang polislah yang akan mendapatkan yang hak dahulu, jika berbicara
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
23
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
tentang pajak, maka pajaklah yang didahulukan karena semuanya memiliki
kepentingan;
Bahwa apabila berbicara tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka upah
buruh yang diprioritaskan. Dengan demikian menurut ahli, pekerja memiliki
posisi yang tidak terlalu menguntungkan karena dalam Undang-Undang Pailit
disebutkan bahwa utang harta pailit hanya sekedar upah, bukan hak-hak yang
lain;
Bahwa benturan kepentingan dari kreditor yang lain akan mampu mengalahkan
para buruh, sehingga di rasa perlu ada satu bentuk perlindungan yang khusus
agar buruh terlindungi tanpa harus kemudian berbenturan dengan kepentingan
kreditor-kreditor yang lain, dan khususnya kepentingan yang memiliki jaminan
yang baik yaitu perlindungan hukum. Beberapa Undang-Undang yang terakhir
tentang pemberian status hak sebelum memiliki kepastian hukum karena
masing-masing Undang-Undang justru secara rigid menentukan hirarki paling
tinggi, atas hak mendahului dengan mengesampingkan Undang-Undang yang
lain kecuali KUHPerdata. Semuanya Undang-Undang tersebut rigid mengatakan
yang paling utama, oleh karena itu perlu ada sinkronisasi dan harmonisasi dari
seluruh Undang-Undang terkait, khususnya terkait posisi hak pekerja pada saat
produsen pailit, menempati urutan yang paling lemah, baik dari aspek ekonomi,
kemampuan membela kepentingan, dan masa depan sebagai pekerja pada
perusahaan yang mengalami pailit. Oleh karena itu, untuk melindungi
kepentingan pekerja dengan menempatkan kepentingan dalam hak mendahului
berupa upah dan hak lainnya, yaitu upah dan hak lainnya dalam hirarki tertinggi
menjadi penting, agar terhindar dari tekanan dan hambatan pihak lain baik
secara sengaja maupun tidak sengaja.
[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden
memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 28 Agustus 2013 dan telah
menyerahkan keterangan tertulis yang diterima di persidangan Mahkamah pada
tanggal 17 September 2013 pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Bahwa terhadap ketentuan yang dimohonkan untuk diuji pada register Nomor
67/PUU-XI/2013 pada intinya adalah terkait dengan ketentuan Pasal 95 ayat (4)
Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa dalam hal
perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
24
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Oleh para Pemohon
dianggap bertentangan dengan Ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945;
Atas anggapan tersebut Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai
berikut: dalam suatu perusahaan yang dinyatakan pailit dengan putusan
pernyataan pailit dari pengadilan yang berwenang yang dalam hal ini pengadilan
niaga, maka pengelolaan perusahaan atau debitor pailit beralih dari para direksi
kepada kurator yang diawasi oleh seorang atau yang diangkat sebagai hakim
pengawas di pengadilan niaga. Dimana tugas kurator adalah melakukan
pemberesan dan pemenuhan hak-hak para kreditor masing-masing, yaitu
kepada
1. Kepada kreditor separatis.
2. Kepada kreditor preferen.
3. Kepada kreditor konkuren.
Pada prinsipnya pemenuhan hak-hak atau pembayaran kewajiban kepada
debitor, para kreditor separatis dilakukan tersendiri dan terpisah atau bersifat
separatis dan mendahului para kreditor lainnya, termasuk para kreditor
pemegang hak istimewa, dan para kreditor bersaing. Artinya, posisi kreditor
separatis berada di atas kreditor preferen karena mereka mempunyai jaminan
kebendaan yang dinyatakan terpisah atau separatis dari semua perjanjian utang
piutang pada umumnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
Kepailitian. Bahkan berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang
Kepailitian dan PKPU, kreditor separatis mempunyai hak untuk mengeksekusi
hak-haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, atau yang sering kita ketahui
sebagai parate eksekusi. Walaupun untuk itu dan guna kepentingan bersama
para kreditor, berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU hak untuk mengeksekusi, hak para kreditor separatis
dimaksud ditangguhkan selama 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit
diucapkan. Dalam konteks bekerja atau buruh sebagai salah satu kreditor yang
mempunyai hak dalam proses kepailitan berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat
(4) Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagaimana sudah Pemerintah
sebutkan di atas yang kemudian juga dijelaskan lebih lanjut, dalam
penjelasannya yang menyatakan bahwa yang dimaksud didahulukan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
25
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu daripada
utang lainnya;
Ketentuan a quo menurut Pemerintah telah sejalan dengan ketentuan-ketentuan
lainnya dalam KUHPerdata dan juga Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.
Khususnya beberapa ketentuan di dalam KUHPerdata yang antara lain diatur di
dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata, pada bagian akhir dikatakan
bahwa kecuali apabila di antara para berpiutang atau kreditor ada alasan-alasan
untuk didahulukan;
Menurut ketentuan Pasal 1133 KUHPerdata bahwa hak untuk didahulukan di
antara orang-orang berpiutang, para kreditor, terbit dari hak istimewa atau
preferen dari gadai dan hipotek atau separatis. Hak istimewa ialah suatu hak
yang oleh Undang-Undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga
tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang atau para kreditor lainnya
semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Berdasarkan ketentuan di atas
nampak jelas hak istimewa tersebut merupakan suatu hak yang timbul dari
ketentuan suatu Undang-Undang yang memberikan hak kepada seorang
berpiutang atau kreditor. Sehingga tingkatannya lebih tinggi dan didahulukan
pembayarannya daripada orang-orang berpiutang atau kreditor lainnya yang
semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Walaupun demikian, berdasarkan
ketentuan Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata bahwa gadai dan hipotek dalam hal
ini kreditor pemegang hak jaminan kebendaan sebagai kreditor separatis adalah
lebih tinggi daripada hak istimewa atau kreditor preferen kecuali dalam hal-hal di
mana oleh Undang-Undang ditentukan sebaliknya sehingga posisinya berada di
atas kreditor separatis;
Pengecualian itu antara lain adalah diatur di dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang menyatakan,
“Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang
sebelum maupun sesudah putusan, pernyataan pailit diucapkan merupakan
utang harta pailit.” Yang dimaksud dengan utang harta pailit adalah segala
biaya-biaya yang timbul dalam mengurus kepentingan kreditor yang harus
dipenuhi terlebih dahulu sebelum kepentingannya atau kreditor yang lain
dipenuhi. Contohnya adalah utang harta pailit antara lain adalah fee kurator,
biaya pemberesan, kemudian termasuk biaya appraisal, akuntan, biaya lelang,
biaya sewa, dan upah karyawan. Artinya, upah buruh tidak hanya sekedar
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
26
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagai kreditur preferen yang mendahului kreditor lainnya yang konkuren.
Akan tetapi pelunasan upah buruh diambil dari budel pailit yang mendahului
kreditor separatis. Yang dimaksud dengan upah sebagaimana diatur di dalam
penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah
hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan
dari pemberi kerja kepada pekerja atas suatu pekerjaan, atas jasa yang telah
atau akan dilakukan, ditetapkan, dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja dan keluarganya;
Dengan demikian, khusus upah pekerja atau buruh, baik sebelum maupun
sesudah pernyataan pailit mendapatkan posisi yang lebih tinggi daripada
kreditor separatis atau setara dengan fee kurator, biaya kepailitan dan
pemeliharaan serta biaya sewa. Hak tersebut diberikan kedudukan yang lebih
tinggi oleh Undang-Undang, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1134
KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak gadai dan hipotek adalah lebih tinggi
daripada hak istimewa kecuali dalam hal-hal di mana undang-undang ditentukan
sebaliknya;
Jadi ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tersebut telah menempatkan posisi buruh sebagai kreditur preferen yang
mempunyai hak istimewa untuk didahulukan daripada para kreditor lainnya.
Namun prinsipnya tidak dapat mendahului hak para kreditur separatis yang
memang terpisah dari hak-haknya tersebut. Akan tetapi hal demikian diberikan
pengecualian, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 dan berdasarkan ketentuan Pasal 1134
KUHPerdata. Dengan perkataan lain, berdasarkan ketentuan tersebut di atas,
hak-hak buruh sebagai salah satu kreditor dalam kepailitan pada prinsipnya
adalah merupakan hak istimewa yang timbul dan diberikan oleh Undang-
Undang Untuk mendahului daripada para kreditor lainnya, khususnya kreditor
bersaing atau konkur atau kreditor konkuren. Namun khusus hak upah bahkan
mendahului hak kreditor separatis. Oleh karena hak pekerja atau buruh,
sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang
Ketenagakerjaan terbagi dalam dua, yaitu:
1. Hak upah, baik sebelum maupun sesudah pernyataan pailit, yang dengan
adanya ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan yang terkait
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
27
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
atau yang merupakan biaya kepailitan yang harus dibayar terlebih dahulu
mendahului kreditor separatis, sehingga sama kedudukannya dengan biaya
pengadilan (fee curator), biaya pemeliharaan, biaya penilaian, biaya lelang,
dan lain sebagainya.
2. Hak-hak lainnya, yakni hak yang timbul dalam hubungan kerja atau sebagai
akibat dari hubungan kerja merupakan hak yang diistimewakan saja yang
diberikan keistimewaan oleh Undang-Undang untuk mendahului para
kreditor konkuren lainnya.
Dengan demikian, hak pekerja atau buruh ada yang masuk dalam kelompok
biaya kepailitan dan ada yang masuk dalam kelompok kreditor preference.
Dalam arti bahwa hak pekerja atau buruh sebenarnya tidak seluruhnya sekadar
merupakan hak preference, akan tetapi ada hak yang lebih diistimewakan dan
diposisikan sederajat dengan biaya pengadilan (fee curator), biaya
pemeliharaan, biaya penilaian, dan biaya lain-lainnya, termasuk biaya lelang di
dalamnya, yakni hak atas upah, baik sebelum maupun sesudah putusan
pernyataan pailit diucapkan. Selain upah, juga termasuk adalah merupakan hak-
hak yang bersifat preference biasa;
Bahwa sesungguhnya ketentuan yang ada telah sesuai, dan tidak saling
bertentangan satu sama lain, serta telah memberikan kedudukan yang
didahulukan terhadap pembayaran upah dan hak-hak lainnya bagi pekerja atau
buruh dalam hal terjadi kepailitan sebagai hak istimewa. Bahkan, hak atas upah
menjadi lebih diutamakan justru dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 39
ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.
Bahwa terhadap anggapan para Pemohon yang mempermasalahkan
kedudukan pajak dalam pemberesan hak-hak para kreditor. Pemerintah dapat
menjelaskan bahwa hal ini dimungkinkan untuk didahulukan dari para kreditor
konkuren, bahkan termasuk didahulukan dari para kreditor separatis yang harus
dipenuhi, yaitu kewajiban pajak-pajak dimaksud dari budel pailit, karena
Undang-Undang memang mengatur demikian dan merupakan pengecualian
dari statement umum dalam ketentuan Pasal 1134 KUHPerdata, sebagaimana
yang Pemerintah sudah sebutkan di atas. Ketentuan undang-undang yang
memberikan pengecualian tersebut masing-masing antara lain dapat
Pemerintah sebutkan adalah berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum tentang Tata Cara Perpajakan,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
28
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 juncto Pasal 19 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa;
Bahwa hak mendahului untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahului
lainnya, kecuali terhadap biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh
adanya penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang
tidak bergerak yaitu biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang
dimaksud dan biaya perkara yang semata-mata disebabkan adanya pelelangan
dan penyelesaian suatu warisan;
Dengan demikian, secara yuridis, posisi tagihan pajak adalah merupakan salah
satu kreditor dalam kepailitan yang oleh Undang-Undang diposisikan sebagai
kreditor preference yang mempunyai hak mendahului yang diistimewakan, yaitu
berdasarkan ketentuan Pasal 1134, Pasal 1137 KUHPerdata. Hak tersebut
disamakan dengan biaya kepailitan yang diambil dari budel pailit, sehingga
kedudukannya dibayarkan sebelum pemenuhan hak-hak kreditor separatis;
Selain itu, secara filosofis, penempatan pajak pada posisi mendahului kreditor
separatis tersebut karena pajak pada hakikatnya adalah terkait dan menyangkut
kepentingan umum dan kemaslahatan orang banyak yang didahulukan dalam
rangka kepentingan bangsa dan negara;
Bahwa terhadap anggapan para Pemohon bahwa mempermasalahkan hak-hak
buruh yang bekerja dalam perusahaan asuransi dan membandingkan hak
mendahului dari para pemegang polis dengan hak mendahului para buruh
sebagaimana diatur di dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
tentang Perasuransian sebagaimana mengutip ketentuan dalam pasal
dimaksud, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa ketentuan tersebut adalah
pernyataan yang sifatnya statement pada umumnya. Oleh karena itu, pemegang
polis sebagai pihak yang menyetorkan sejumlah dana dan pemegang polis
sebagai sertifikat hak jaminan kebendaan. Oleh karena itu, pemegang polis
menjadi salah satu kreditor terpisah atau separatis dan dijamin oleh Undang-
Undang. Walaupun ketentuan tersebut menegaskan lebih lanjut bahwa
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
29
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
kewajiban terhadap negara harus lebih diutamakan sebagai penegasan dari apa
yang diatur di dalam Pasal 1137 KUHPerdata.
Bahwa dari seluruh uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah anggapan Para
Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-
Undang Ketenagakerjaan yang dianggap telah menimbulkan ketidakpastian
hukum dan multitafsir adalah tidak tepat karena pada dasarnya Undang-Undang
atau ketentuan yang terkait dengan ketenagakerjaan telah memberikan
perlindungan yang maksimal terhadap hak pekerja atau buruh. Jikalaupun
terhadap ketidaksempurnaan dalam implementasinya atau pelaksanaannya,
menurut Pemerintah hal demikian semata-mata terkait terhadap dengan teknis
atau proses penyelesaian atau yang terkait dengan proses administrasi. Dalam
kaitan itu dapat dicontohkan misalnya, sebuah perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan putusan Pengadilan Niaga, maka Pemerintah akan segera
menghitung hak-hak pekerja atau buruh yang harus dibayarkan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Selanjutnya, menyampaikan
perhitungan tersebut kepada kurator atau hakim pengawas melalui Ketua
Pengadilan Niaga agar setelah aset perusahaan dilelang maka hak pekerja atau
buruh yang sudah dihitung tersebut dimintakan untuk didahulukan
pembayarannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana
telah diuraikan di atas. Dan selanjutnya ketua pengadilanlah yang akan
menentukan urutan pembayaran utang terhadap para kreditor tersebut termasuk
pekerja atau buruh;
Dengan demikian, menurut Pemerintah ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-
Undang Ketenagakerjaan telah memberikan kepastian hukum dan tidak
multitafsir. Justru sebaliknya telah menguatkan kedudukan pekerja atau buruh
dengan mendahulukan pembayaran upah dan hak-hak lainnya dalam hal
perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi. Sebaliknya menurut Pemerintah,
apabila ketentuan tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat atau ditafsirkan lain, maka menurut Pemerintah dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum dan bahkan dapat menimbulkan multitafsir;
Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada
Mahkamah yang memeriksa, memutus, dan mengadili permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
30
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat
memberikan putusan.
1. Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya
menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima.
2. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan.
3. Menyatakan ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan
Perwakilan Rakyat memberikan keterangan dalam persidangan pada tanggal 28
Agustus 2013 dan telah menyerahkan keterangan tertulis yang diterima oleh
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 Oktober 2013, pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
Bahwa landasan filosofis dari pembentukan Undang-Undang Ketenagakerjaan
adalah untuk memberikan jaminan dalam pemenuhan hak-hak dasar tenaga
kerja dalam menjamin kesamaan kesempatan dan perlakuan tanpa diskriminasi
atas dasar apapun, serta untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan
keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia
usaha;
Bahwa dalam rangka memberikan jaminan pemenuhan hak-hak dasar tenaga
kerja, maka dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan telah mengatur mengenai
persoalan berupa buruh yang pada prinsipnya harus memperhatikan tiga aspek,
yaitu aspek teknis merupakan aspek yang tidak hanya sebatas bagaimana
perhitungan dan pembayaran upah dilakukan, tetapi juga menyangkut
bagaimana proses upah ditetapkan. Aspek ekonomis merupakan aspek yang
lebih melihat pada kondisi ekonomi, baik secara makro maupun mikro yang
secara operasional kemudian mempertimbangkan bagaimana kemampuan
perusahaan pada saat nilai upah akan ditetapkan juga bagaimana
implementasinya di lapangan. Asas hukum meliputi proses dan kewenangan
penetapan upah, pelaksanaan upah, perhitungan dan pembayaran upah, serta
pengawasan pelaksanaan ketentuan upah;
Bahwa salah satu aspek penting dalam persoalan pemberian upah kepada
tenaga kerja adalah aspek hukum di mana hukum harus dapat memberikan
jaminan dalam pelaksanaan pemberian upah kepada tenaga kerja. Aspek
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
31
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
hukum dalam jaminan pemberian upah kepada tenaga kerja, salah satunya
tercermin dalam ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang menyatakan, “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-
hak lainnya daripada pekerja atau buruh merupakan utang yang didahulukan
pembayarannya;
Bahwa menurut pendapat DPR, ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang
Ketenagakerjaan telah cukup memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi
tenaga kerja untuk tetap mendapatkan upahnya manakala perusahaan tempat
tenaga kerja yang bersangkutan dinyatakan pailit atau dilikuidasi. Hal tersebut
dipertegas dalam penjelasan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa yang dimaksud didahulukan
pembayarannya adalah upah pekerja atau buruh harus dibayar lebih dahulu
daripada utang lainnya;
Bahwa terkait jaminan hak atas upah tenaga kerja pada perusahaan yang
dinyatakan pailit juga telah diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 39 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitian dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Hutang yang menyatakan sejak tanggal putusan
pernyataan pailit diucapkan upah yang terutang sebelum maupun sesudah
putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Berdasarkan
ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan tersebut, maka hak
upah baik sebelum maupun sesudah putusan, pernyataan pailit digolongkan
dalam utang harta pailit yang merupakan biaya kepailitian yang harus dibayar
terlebih dahulu mendahului kreditor separatis sehingga sama kedudukannya
dengan biaya pengadilan, fee kurator, biaya pemeliharaan, biaya penilaian,
biaya lelang, dan lain-lain. Dengan perkataan lain, hak upah tenaga kerja
diposisikan sederajat dengan biaya pengadilan, fee curator, biaya
pemeliharaan, biaya penilaian, biaya lelang, dan lain-lain. Oleh karenanya, DPR
berpandangan ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan
juncto Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan telah cukup memberikan
jaminan dan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak upah tenaga kerja pada
persahaan yang dinyatakan pailit;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
32
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Berdasarkan uraian di atas DPR berpendapat ketentuan Pasal 95 ayat (4)
Undang-Undang Ketenagakerjaan telah sesuai dan tidak bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
[2.5] Menimbang bahwa para Pemohon dan Presiden telah menyampaikan
kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah masing-masing pada
tanggal 17 September 2013 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya;
[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa isu konstitusional utama permohonan para Pemohon
adalah mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 95 ayat (4) sepanjang frasa
“yang didahulukan pembayarannya” yang menyatakan, “Dalam hal perusahaan
dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang
yang didahulukan pembayarannya” Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
4279, selanjutnya disebut UU 13/2003) terhadap Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945) yang menyatakan:
Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Pasal 28D ayat (2): “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”;
[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan hal-hal berikut:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
33
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076), salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap UUD 1945;
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon mengenai
pengujian materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945 maka Mahkamah
berwenang mengadili permohonan a quo;
Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat
bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap
UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
34
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal
20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat
spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi;
[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon adalah perseorangan warga negara
Indonesia yang saat ini bekerja di PT. Pertamina;
Bahwa para Pemohon beranggapan telah dirugikan hak
konstitusionalnya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan hak
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja dengan berlakunya Pasal 95 ayat (4) sepanjang frasa “yang didahulukan pembayarannya” dalam UU 13/2003. Menurut para Pemohon, pasal
a quo telah merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon yang dijamin oleh UUD
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
35
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
1945 khususnya Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, karena memuat norma
hukum yang tidak jelas, bias, menimbulkan multi tafsir, menimbulkan ketidakjelasan,
perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum, dan perlakuan
diskriminatif. Dengan berlakunya pasal a quo, para Pemohon sebagai perseorangan
warga negara Indonesia yang saat ini bekerja di PT. Pertamina beranggapan akan
dirugikan hak konstitusionalnya dalam hal perusahaan tempat mereka bekerja
mengalami pailit, yang tentunya akan dapat menyulitkan para Pemohon dalam
menuntut hak-hak mereka kelak apabila diperhadapkan dengan kreditor lainnya;
Menurut para Pemohon norma yang terkandung dalam Pasal 95 ayat (4)
UU 13/2003 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menyebabkan para
Pemohon berpotensi untuk tidak mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja sebagaimana dijamin dalam konstitusi. Oleh karena itu,
menurut para Pemohon pasal a quo telah merugikan hak konstitusional para
Pemohon;
[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil para Pemohon tersebut,
menurut Mahkamah, para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal
standing) sehingga para Pemohon dapat mengajukan permohonan a quo;
[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo serta para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah
akan mempertimbangkan pokok permohonan;
Pokok Permohonan
[3.10] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya memohon pengujian
konstitusionalitas Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003 sepanjang frasa “yang didahulukan pembayarannya” terhadap UUD 1945, dengan alasan-alasan pada
pokoknya sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003 menyatakan upah dan hak-hak
lainnya dari para pekerja/buruh merupakan utang yang “didahulukan”
pembayarannya, akan tetapi dalam pelaksanaan putusan pailit kata
“didahulukan” ditempatkan setelah pelunasan terhadap hak-hak negara dan
para kreditor separatis yang merujuk Buku Kedua Bab XIX KUH Perdata dan
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang diubah oleh Undang-
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
36
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(selanjutnya disebut UU Perpajakan), sehingga hak negara ditempatkan
sebagai pemegang hak posisi pertama, diikuti oleh kreditor separatis
(pemegang hak tanggungan, gadai, fidusia, hipotik), akan tetapi dalam praktik
hak pelunasan upah pekerja/buruh ditempatkan dalam posisi setelah
pemenuhan hak negara dan para kreditor separatis, sehingga menimbulkan
adanya ketidakpastian hukum dalam penerapan Pasal 95 ayat (4) U 13/2003
mengingat tidak adanya penafsiran yang jelas dan tegas mengenai klausula
“didahulukan pembayarannya”;
Pasal 1134 ayat (2), Pasal 1137 KUH Perdata, dan Pasal 21 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terdapat urutan peringkat
penyelesaian tagihan kreditor setelah selesainya kreditor separatis, dimana
upah pekerja/buruh masih harus menunggu urutan setelah tagihan hak negara,
kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah untuk didahulukan.
Padahal berdasarkan Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003 di atas maka secara hukum
adanya pernyataan pailit terhadap perusahaan, dalam hal pemenuhan hak-hak
pekerja/buruh seperti pesangon dan hak-hak lainnya harus didahulukan dari
pemenuhan kewajiban perusahaan yang pailit;
Pasal 1149 KUH Perdata, piutang pekerja/buruh terhadap perusahaan/majikan
berkedudukan sebagai kreditor/piutang preferen, sehingga dengan dinyatakan
pailitnya debitor tidak akan menghilangkan hak-hak pekerja/buruh sebagai
kreditor terhadap perusahaan tersebut. Pekerja/buruh dapat menuntut
pembayaran upahnya sebagai kreditor dengan mengajukan tagihan kepada
kurator yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga yang bertugas untuk mengurus dan
membereskan harta debitor pailit. Kurator mendahulukan pembayaran upah
buruh sebagai kreditor preferen dari hasil penjualan boedel pailit daripada
pembayaran kepada kreditor konkuren;
Adanya pertentangan tersebut berimplikasi pada tidak terciptanya jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap para pekerja/buruh
khususnya dalam hal perusahaan yang dinyatakan pailit adalah perusahaan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
37
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
asuransi yang berdasarkan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian, menyatakan, “Hak pemegang polis atas
pembagian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan
Asuransi Jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama”. Pemberlakuan Pasal 20
ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
dalam praktiknya akan menimbulkan ketidakpastian hukum apabila
disandingkan dengan hak-hak buruh yang bekerja dalam perusahaan asuransi,
khususnya tentang pemberlakuan hukum apakah akan mendahulukan hak
pemegang polis berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian ataukah mendahulukan hak-hak pekerja/buruh
sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003;
Dalam Undang-Undang Pajak, Undang-Undang Asuransi dan Undang-Undang
a quo semua menyatakan diutamakan sehingga menimbulkan ketidakpastian
hukum bagi pekerja/buruh sebagaimana diuraikan di atas maka ketentuan Pasal
95 ayat (4) UU13/2003 sepanjang frasa, “didahulukan pembayarannya” telah
nyata menimbulkan multi tafsir dan menempatkan pekerja/buruh dalam posisi
yang lemah dan tidak equal dengan para kreditor separatis yang dalam praktik
lebih didahulukan pembayarannya. Menurut para Pemohon, hak pekerja/buruh
tidak dapat dikalahkan oleh pihak lain sekali pun perusahaan pailit;
Bahwa Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003, merupakan norma yang belum jelas dan
tegas tafsirannya, mengingat belum jelas apa yang dimaksud dengan klausula
“…didahulukan pembayarannya”, karena meskipun upah dan hak-hak
pekerja/buruh dijamin dalam hal terjadinya pailit atau likuidasi perusahaan,
namun posisi pekerja/buruh selaku kreditor preferen khusus menjadi rentan
karena masih menunggu pembayaran bagi kreditor separatis dalam hal
terjadinya kepailitan. Dengan demikian salah satu pihak yang di jaminkan
haknya selama proses pailit yaitu para pekerja/buruh dan pekerja/buruh menjadi
terabaikan hak asasi manusianya untuk mendapatkan penghidupan yang layak
oleh karena dalam hal terjadinya kepailitan, kreditor akan terbagi ke dalam 3
(tiga) bagian yaitu kreditor separatis, kreditor preference dan kreditor konkuren.
Pekerja/buruh merupakan kreditor preference, yang pembayaran hak-haknya
dilakukan setelah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang
dibentuk Pemerintah. Posisi atau kedudukan pekerja/buruh selaku kreditor
preference yang masih menunggu urutan peringkat pembayaran setelah tagihan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
38
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah adalah
merupakan suatu kedudukan yang bertentangan dengan Pasal 95 ayat (4) UU
13/2003;
Dengan demikian, sebagai akibat dari tidak jelasnya penafsiran Pasal 95 ayat
(4) UU 13/2003 yang berujung pada ketidakpastian hukum sebagaimana yang
disebutkan di atas maka dengan sendirinya juga menimbulkan ketidakadilan
terhadap salah satu pihak karena tidak mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja sesuai dengan Pasal 28D ayat (2) UUD
1945;
Berdasarkan seluruh uraian di atas maka Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003 adalah
inkonstitusional, kecuali klausula “... didahulukan pembayarannya” dimaknai
bahwa para pekerja/buruh sebagai kreditor preference yang didahulukan
pembayaran atas upah dan hak-haknya daripada semua kreditor lainnya
termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk
Pemerintah untuk didahulukan;
[3.11] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon telah
mengajukan alat bukti surat atau tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai
dengan bukti P-9 serta ahli yaitu Timboel Siregar dan Yogo Pamungkas yang
telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 10
September 2013, yang selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara;
[3.12] Menimbang terhadap permohonan para Pemohon, Presiden telah
memberikan keterangan lisan dalam persidangan pada tanggal 28 Agustus 2013
dan keterangan tertulis serta kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah
pada tanggal 17 September 2013, yang selengkapnya termuat dalam bagian
Duduk Perkara;
[3.13] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan
Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan pada
tanggal 28 Agustus 2013, dan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 17 Oktober 2013, yang selengkapnya termuat dalam
bagian Duduk Perkara;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
39
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pendapat Mahkamah
[3.14] Menimbang bahwa setelah membaca, mendengar, dan mempelajari
dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan para Pemohon,
keterangan Presiden, keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, bukti-bukti surat/
tertulis para Pemohon, keterangan ahli para Pemohon, kesimpulan para Pemohon
dan Presiden, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;
[3.15] Menimbang bahwa pokok permohonan adalah pengujian
konstitusionalitas frasa “yang didahulukan pembayarannya” dalam Pasal 95
ayat (4) UU 13/2003 tentang pelunasan utang dalam hal perusahaan dinyatakan
pailit yang tidak mendahulukan pembayaran upah pekerja/buruh, melainkan
mendahulukan pembayaran (1) utang negara dan biaya kurator, (2) kreditor
separatis pemegang jaminan gadai, fidusia, dan/atau hak tanggungan, (3) kreditor
preferen, dan (4) kreditor konkuren;
[3.16] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan
a quo Mahkamah perlu mengemukakan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan Pembukaan UUD 1945, tujuan negara ini dibentuk,
antara lain, adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum [vide
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat]. Pasal-pasal UUD 1945 mengatur lebih
lanjut tujuan tersebut, yaitu menentukan secara konstitusional hak setiap orang
untuk hidup serta hak mempertahankan hidup dan kehidupannya [vide Pasal 28A]
dan hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2)] serta menentukan secara
konstitusional bahwa hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, namun hak asasi
tersebut dapat dibatasi dan tidak boleh bertentangan dengan hak asasi orang lain
dengan nilai-nilai moral, agama, serta diatur dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan, yang oleh karenanya perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
40
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pemerintah dan secara konstitusional menentukan bahwa untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (1), ayat (4), dan ayat
(5)];
Bahwa politik hukum pembentukan UU 13/2003 adalah sebagai bagian
integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang
secara khusus terkait ketenagakerjaan adalah untuk meningkatkan harkat,
martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera,
adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Oleh karena itu,
pengaturan ketenagakerjaan dalam Undang-Undang a quo harus memenuhi hak-
hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta
pada saat yang sama harus dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi
pengembangan usaha. Selain itu, pembinaan hubungan industrial harus diarahkan
untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan
[vide Penjelasan UU 13/2003];
Bahwa pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan para Pemohon
tersebut memiliki kesamaan substansi dengan pengujian konstitusionalitas Pasal
29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008,
tanggal 23 Oktober 2008. Oleh karena itu, Mahkamah perlu mengutip beberapa
pertimbangan dalam putusan tersebut, pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa pernyataan pailit oleh hakim adalah merupakan satu peletakan
sita umum (algemene beslag) terhadap seluruh harta kekayaan seorang debitor.
Tujuannya adalah supaya dapat membayar semua tagihan kreditor secara adil,
merata, dan seimbang. Pembayaran tagihan kreditor dilakukan berdasarkan asas
paru passu pro rata parte, karena memang kedudukan kreditor pada dasarnya
adalah sama, akan tetapi dalam proses pelaksanaannya diatur berdasarkan
peringkat atau prioritas piutang yang harus dibayar terlebih dahulu yang diatur
dalam Undang-Undang terkait dengan jaminan terhadap pinjaman yang diberikan
kreditor terhadap seorang debitor. Kreditor yang demikian sejak awal diperjanjikan
untuk diselesaikan tagihannya lebih dahulu dan secara terpisah (separate) dengan
hak untuk melakukan eksekusi terhadap harta yang dijaminkan. Demikianlah
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
41
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
kreditor yang dijamin dengan hipotek, gadai, fidusia, dan hak tanggungan lainnya.
Dalam urutan berikutnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan, adalah
tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah,
kemudian upah buruh. Padahal, penjelasan pasal tersebut menyatakan, “Yang
dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar
lebih dahulu dari pada utang lainnya”;
Bahwa pada bagian lain dari putusan tersebut Mahkamah juga
mempertimbangkan, tidak dapat disangkal bahwa kedudukan pekerja/buruh dalam
perusahaan merupakan salah satu unsur yang sangat vital dan mendasar yang
menggerakkan proses usaha. Unsur lain yang memungkinkan usaha bergerak
adalah modal, yang juga merupakan unsur yang esensial. Masing-masing unsur
tersebut diikat dengan perjanjian, yang karena isinya menjadikan unsur-unsur
tersebut tidak memiliki kedudukan yang sama dilihat dari ukuran kepastian,
jaminan, dan masa depan jika timbul risiko yang berada di luar kehendak semua
pihak. Pengakuan tetap harus mempertimbangkan kedudukan yang berbeda dan
risiko dalam kehidupan ekonomi berbeda yang tidak selalu dapat diperhitungkan.
Oleh karena itu, dalam membuat kebijakan hukum, hak-hak pekerja/buruh tidak
boleh termarginalisasi dalam kepailitan, namun tidak boleh mengganggu
kepentingan kreditor (separatis) yang telah diatur dalam ketentuan hukum jaminan
baik berupa gadai, hipotek, fidusia, maupun hak tanggungan lainnya.
[3.17] Menimbang bahwa untuk selanjutnya, berdasarkan tujuan pembentukan
negara dan ketentuan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah
mempertimbangkan pokok permohonan, yaitu mengenai apa yang menjadi dasar
hukum bagi adanya hak tagih masing-masing kreditor dan apa yang menjadi dasar
hukum bagi adanya peringkat pembayaran, yang berdasarkan pertimbangan
mengenai dua hal tersebut, Mahkamah dalam Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008
tersebut menolak permohonan yang substansinya sama dengan permohonan
a quo dan hak tagih atas upah pekerja/buruh tetap sebagaimana peringkat yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Namun demikian, mengenai
norma yang diturunkan dari tujuan negara dan ketentuan konstitusional di atas
dalam UU 13/2003 terkait dengan peringkat kreditor dalam memperoleh
pembayaran hak tagihnya dan praktiknya dalam ranah empirik ternyata terdapat
permasalahan lain yang harus dipertimbangkan, yaitu mengenai kedudukan para
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
42
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
kreditor. Terlepas dari pertimbangan putusan tersebut, terhadap permohonan
a quo Mahkamah akan mempertimbangkan tersendiri;
[3.18] Menimbang bahwa mengenai yang menjadi dasar hukum bagi adanya
hak tagih masing-masing kreditor ternyata sama, kecuali bagi hak tagih negara.
Dasar hukum bagi kreditor separatis dan bagi pekerja/buruh adalah sama, yaitu
perjanjian yang dilakukan dengan debitor. Mengenai dasar hukum kewajiban
kenegaraan adalah peraturan perundang-undangan. Adapun mengenai dasar
hukum bagi adanya peringkat atau prioritas pembayaran sebagaimana
pertimbangan Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008 tersebut di atas, adalah karena
adanya perbedaan kedudukan yang disebabkan oleh isi perjanjian masing-masing
berhubung adanya faktor-faktor tertentu. Meskipun antara kreditor separatis dan
pekerja/buruh dasar hukumnya adalah sama, yaitu perjanjian, namun manakala
dilihat dari aspek lain, yaitu aspek subjek hukum yang melakukan perjanjian, objek,
dan resiko, antara keduanya terdapat perbedaan yang secara konstitusional
signifikan;
Bahwa dalam aspek subjek hukum, perjanjian gadai, hipotik, dan fidusia
serta perjanjian tanggungan lainnya, merupakan perjanjian yang dilakukan oleh
subjek hukum, yaitu pengusaha dan pemodal, yang secara sosial ekonomis para
pihak tersebut dapat dikonstruksikan sama. Terlebih lagi pemodal, yang boleh jadi
adalah pengusaha juga. Sebaliknya, perjanjian kerja merupakan perjanjian yang
dilakukan oleh subjek hukum yang berbeda, yaitu pengusaha dan pekerja/buruh.
Pengusaha dan pekerja/buruh, secara sosial ekonomis tidaklah sejajar, melainkan
pihak yang satu, sebagai pengusaha tentu lebih kuat dan lebih tinggi, bila
dibandingkan pekerja/buruh, karena pekerja/buruh secara sosial ekonomis jelas
lebih lemah dan lebih rendah daripada pengusaha, meskipun antara pengusaha
dan pekerja/buruh saling memerlukan. Perusahaan tidak akan berproduksi tanpa
pekerja/buruh dan pekerja/buruh tidak dapat bekerja tanpa ada pengusaha.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, oleh karena pekerja/
buruh secara sosial ekonomis berkedudukan lebih lemah dan lebih rendah
dibandingkan pengusaha dan hak-hak pekerja/buruh telah dijamin oleh UUD 1945
maka Undang-Undang harus memberikan jaminan perlindungan untuk
dipenuhinya hak-hak para pekerja/buruh tersebut;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
43
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Bahwa dalam aspek objek, perjanjian gadai, hipotik, fidusia, dan
perjanjian tanggungan lainnya yang menjadi objeknya adalah properti. Sementara
itu, perjanjian kerja yang menjadi objeknya adalah tenaga atau keterampilan (jasa)
dengan imbalan jasa dalam kerangka untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup
bagi diri dan keluarga pekerja/buruh, sehingga antara keduanya dalam aspek ini
memiliki perbedaan yang mendasar, yaitu properti dan manusia. Pertanyaannya
adalah bagaimana perbedaan tersebut terkait dengan apa yang sejatinya
dilindungi oleh hukum. Pembentukan hukum jelas dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan manusia. Dalam kasus ini manakah yang seharusnya menjadi
prioritas, kepentingan manusia terhadap properti atau kepentingan manusia
terhadap diri dan kehidupannya. Apalagi berdasarkan sistem pembayaran upah
pekerja/buruh dalam kegiatan usaha yang dibayar sebulan setelah pekerja
melaksanakan pekerjaan, hal ini merupakan argumentasi tersendiri karena upah
pekerja/buruh sesungguhnya adalah hutang pengusaha kepada pekerja/buruh,
yang seharusnya harus dibayar sebelum kering keringatnya. Dalam perspektif
tujuan negara dan ketentuan mengenai hak konstitusional sebagaimana diuraikan
dalam paragraf [3.16], menurut Mahkamah kepentingan manusia terhadap diri dan
kehidupannya haruslah menjadi prioritas, harus menduduki peringkat terdahulu
sebelum kreditor separatis;
Bahwa dalam aspek risiko, bagi pengusaha risiko merupakan bagian
dari hal yang wajar dalam pengelolaan usahanya, selain keuntungan dan/atau
kerugian. Oleh karena itu, resiko merupakan hal yang menjadi ruang lingkup
pertimbangannya ketika melakukan usaha, bukan ruang lingkup pertimbangan
pekerja/buruh. Sementara itu, bagi pekerja/buruh upah merupakan sarana untuk
memenuhi kebutuhan hidup bagi diri dan keluarganya, sehingga menjadi tidak
tepat manakala upah pekerja/buruh tersebut menduduki peringkat yang lebih
rendah dengan argumentasi yang dikaitkan dengan risiko yang bukan ruang
lingkup pertimbangannya. Adalah tidak adil mempertanggungkan sesuatu terhadap
sesuatu yang ia tidak turut serta dalam usaha. Selain itu, hidup dan
mempertahankan kehidupan, berdasarkan Pasal 28A UUD 1945 adalah hak
konstitusional dan berdasarkan Pasal 28I ayat (1) adalah hak yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun, yang oleh karenanya berdasarkan ayat (4) dan
ayat (5) pasal tersebut, negara dalam hal ini Pemerintah, harus melindungi,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
44
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
memajukan, menegakkan, dan memenuhinya dalam peraturan perundang-
undangan yang sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis;
[3.19] Menimbang bahwa mengenai hak-hak pekerja/buruh yang lain, menurut
Mahkamah, hal tersebut tidak sama atau berbeda dengan upah pekerja/buruh.
Upah pekerja/buruh secara konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (2) UUD
1945 merupakan hak konstitusional yang oleh karenanya adalah hak konstitusional
pula untuk mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Adapun hak-hak lainnya tidaklah demikian, sehingga implikasi hukumnya adalah
wajar bila terkait dengan pembayaran dimaksud hak tersebut berada pada
peringkat di bawah kreditor separatis. Sementara itu, mengenai kewajiban
terhadap negara hal tersebut adalah wajar manakala berada pada peringkat
setelah upah pekerja/buruh. Argumentasinya adalah, selain berdasarkan uraian di
atas, karena fakta yang sesungguhnya negara memiliki sumber pembiayaan lain,
sedangkan bagi pekerja/buruh upah adalah satu-satunya sumber untuk
mempertahankan hidup bagi diri dan keluarganya;
[3.20] Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas,
permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
45
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili, Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1 Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh
yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan
kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang
dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh
lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara,
kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan
dari kreditur separatis”;
1.2 Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:
“pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua
jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara,
kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan
pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua
tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang
dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh
delapan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
46
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Anggota, Arief Hidayat, Patrialis Akbar, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi,
Anwar Usman, Muhammad Alim, dan Harjono masing-masing sebagai Anggota,
pada hari Rabu, tanggal tiga puluh, bulan Januari, tahun dua ribu empat
belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk
umum pada hari Kamis, tanggal sebelas, bulan September, tahun dua ribu
empat belas, selesai diucapkan pukul 16.02 WIB, oleh tujuh Hakim Konstitusi,
yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap Anggota, Patrialis Akbar, Maria
Farida Indrati, Anwar Usman, Muhammad Alim, Aswanto, dan Wahiduddin Adams,
masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Hani Adhani sebagai
Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemerintah atau yang mewakili, tanpa dihadiri
para Pemohon atau kuasanya dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Hamdan Zoelva
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
Patrialis Akbar
ttd.
Maria Farida Indrati
ttd.
Anwar Usman
ttd.
Muhammad Alim
ttd.
Aswanto
ttd.
Wahiduddin Adams
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Hani Adhani
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]