141
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN AL-ZARNUJI
TENTANG ETIKA MURID DALAM PENDIDIKAN
A. Etika Murid dalam Pendidikan Menurut al-Zarnuji
Bentuk pemikiran pendidikan al-Zarnuji dalam kitab Ta`lim al-
Muta`allim dapat dipetakan menurut komponen pendidikan, yaitu berdasarkan
tujuan pendidikan, guru sebagai pendidik, murid sebagai terdidik, serta
media dan metode pendidikan. Untuk mengetahui pemikiran pendidikan al-
Zarnuji, maka kitab Ta`lim al-Muta`allim adalah satu-satunya kitab yang
dapat dijadikan pijakan, sebab berdasar litertur yang dapatkan, para peneliti
masih sepakat bahwa kitab tersebut merupakan satu-satunya kitab sebagai
karya al-Zarnuji yang masih ada sampai sekarang. M. Plessner misalnya,
mengatakan bahwa kitab Ta`lim al-Muta`allim adalah satu-satunya karya al-
Zarnuji yang masih tersisa.
Dalam hal ini penulis sengaja membahas beberapa pasal dari 13 pasal
dalam kitab Ta’lim Muta’allim ini yang perlu dianalisa dan dikritisi dengan
membandingkan dengan teori pendidikan modern yang berkembang,
tentunyan tanpa mengapaikan dampak positif dan negatifnya. Adapun pasal
utama yang menjelaskan pokok-pokok pikiran dari kitab Ta’lim al-
Muta’allim ini, yaitu:
1. Hakikat Ilmu, Hukum Mencari Ilmu dan Keutamaannya
Dalam pandangan Syekh al-Zarnuji ilmu itu dibatasi dengan ilmu agama
dan ilmu yang menerangkan cara bertingkah laku, atau bermuamalah dengan
142
sesama manusia.1 Dan hukum mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim
baik laki-laki dan perempuan. Syeikh Imam al-Zarnuji menekankan kewajiban
belajar seperti pada hadits Nabi yang berbunyi: 2
Diceritakan dari Hisyam ibn Umar, diceritakan dari Khafs ibn Sulaiman,
diceritakan dari Katsir ibn Syindzir, dari Muhammad bin Sirin, dari Anas bin
Malik berkata menuntut ilmu itu adalah fardhu bagi tiap-tiap Muslim.
(HR.Ibnu Majah). 3
Dihukumi fardhu‟ain dalam mencari ilmu, jika itu ditujukan untuk
mengetahui atau mempelajari amalan ibadah yang hukumnya fardhu‟ain,
diibaratkan makanan yang dibutuhkan setiap orang. Sedangkan mempelajari
amalan yang hukumnya fardhu kifayah, itu ibarat obat yang tidak dibutuhkan
oleh setiap orang, dan penggunaannya pun pada waktu-waktu tertentu, maka
hukumnya fardhu kifayah. Adapun, mempelajari ilmu nujum itu
hukumnya haram, karena ia diibaratkan penyakit yang sangat membahayakan.
Boleh mempelajari ilmu nujum untuk mengetahui arah kiblat, dan waktu-
waktu sholat.
Dalam pandangan al-Zarnuji ilmu itu sebagai sarana untuk
bertakwa. Dengan takwa inilah manusia menerima kedudukan terhormat di
1 Aliy As‟ad. Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan. Hlm. 51.
2 Al-khafid Abi „Abdillah Muhammadibni Yazid Al-Qazwini. Tt. Sunan Ibnu Majah, Darulfikri,
t.th. Jil. 1, Hlm. 81. 3 Abdurrahman Al-Baghdadi. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khalifah Islam, Surabaya: Al-
Izzah. Cet. 1, Hlm. 3.
143
sisi Allah swt, dan keuntungan abadi. Sebagaimana dikatakan Muhammad
bin al-Hasan bin „Abdullah dalam syairnya: 4
“Tuntutlah ilmu, karena ilmu merupakan perhiasan bagi pemiliknya,
keunggulan dan pertanda segala pujian”.5
Dijelaskan oleh imam al-Zarnuji dalam kitab Ta'lim Muta’alim tentang
pengertian ilmu:
"Pengertian ilmu itu adalah suatu sifat yang dengannya dapat menjadi
jelas pengertian suatu hal yang disebut".6
Jadi dapat dikatakan bahwasannya ilmu menurut imam al-Zarnuji
merupakan sifat yang kalau dimiliki seseorang maka menjadi jelaslah apa yang
terlintas di dalam pengertiannya. Ini menunjukkan betapa pentingnya ilmu.
Imam al-Zarnuji memandang ilmu sebagai sesuatu yang mulia, karena ilmu itu
khusus dimiliki oleh manusia untuk kebutuhan sekarang. Beliau juga
menjelaskan dalam kitabnya sebagai berikut : 7
“Ketahuilah, bahwa kewajiaban setiap muslim bukanlah menuntut
segala macam ilmu, tetapi yang wajib baginya adalah menuntut ilmu
khaal sekarang)” 8
Dalam pada itu, segala sesuatu selain ilmu, dapat juga dimiliki oleh selain
manusia, misalnya keberanian, kuat, baik hati, belas kasih dan lain sebagainya
4 Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Hlm. 9.
5Aliy As‟ad. 2007. Hlm. 8
6 Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Hlm. 9.
7 Al-Jarnuii, Hlm. 32.
8 Ma‟ruf Asrori. 1996. Etika Belajar bagi Penuntut Ilmu. Surabaya: Al-Miftah. Hlm. 6.
144
selain ilmu. Dengan ilmu pula, Allah mengunggulkan Adam as. atas para
malaikat.9
Dalam menuntut ilmu hendaknya memilih mana yang terbagus dan
dibutuhkan dalam kehidupan agamanya pada waktu itu, al-Ghazali
mengungkapkan dalam Ta’lim al-Muta’alim: 10
Dalam menuntut ilmu hendaknya memilih mana yang terbagus dan
dibutuhkan dalam kehidupan agamanya pada waktu itu, yaitu
mendahulukan mempelajari tauhid, mengenal Allah lengkap dengan
dalilnya. Karena orang yang imannya hanya taqlid, sekalipun menurut
kita sudah sah tetapi tetap berdosa, karena ia tidak mau berusaha mengkaji
dalam masalah ini.11
Di samping itu, manusia juga diwajibkan mempelajari ilmu yang
diperlukan setiap saat. Karena manusia diwajibkan shalat, puasa dan haji, maka
ia juga diwajibkan mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan
kewajiban tersebut. Sebab apa yang menjadi perantara pada perbuatan wajib,
maka wajib pula hukumnya. Demikian pula manusia wajib mempelajari ilmu-
ilmu yang bekaitan dengan berbagai pekerjaan atau kariernya. Seseorang yang
sibuk dengan tugas kerjanya (misalnya dagang), maka ia wajib mengetahui
bagaimana cara menghindari yang haram. Di samping itu manusia juga
9 Hasan Langgulung. 1992. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al Khusna. Hlm. 105.
10 Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Hlm. 13.
11 Aliy As‟ad, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, Hlm. 15.
145
diwajibkan mempelajari ilmu ahwal al-qalb, seperti tawakal, ridla dan
sebagainya. 12
Pemahaman tentang hakikat ilmu. Dalam kamus bahasa Indonesia
ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan. The Liang Gie (1987)
mendefinisikan ilmu sebagai rangkaian aktivitas penelaahan yang
mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara
rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya dan keseluruhan
pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin
dimengerti manusia.13
Lorens Bagus (1996) mengutip pendapat Arhur
Thomson yang mendefinisikan ilmu sebagai pelukisan fakta-fakta,
pengalaman secara lengkap dan konsisten meski dalam perwujudan istilah
yang sangat sederhana.14
Bahm yang dikutip oleh Kunto Wibisono (1997) mendefinisikan
ilmu pengetahuan memiliki enam komponen yaitu masalah (problem), sikap
(attitude), metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclution), dan
pengaruh (effect).15 Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar
untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. segi-segi ini dibatasi agar
12
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Pendidikan Islam dari
Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Hlm.269. 13
Sumarna, Cecep. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi
Aksara, Hlm.56 14
Loren Bagus. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama., Hlm. 307. 15
Koento Wibisono. 1997. “gagasan strategic tentang kultur keilmuan pada pendidikan
tinggi. Jurnal Filsafat, Edisi Khusus Agustus 1997.
146
dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan
membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu- ilmu diperoleh dari
keterbatasannya.16
Analisa lain tentang hakikat ilmu itu dapat dilihat dari pendekatan filsafat
ilmu dilihat dari ontologi; pengkajian segala yang ada bersifat realitas,
epistemologi; metodologi pencapaian sebuah teori pengetahuan, dan axiologi;
teori tentang nilai. Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang
hakikat ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini, perbincangan tentang hakikat ilmu
pengetahuan dan struktur ilmu pengetahuan merupakan keniscayaan.17
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti knowledge
atau pengetahuan. Sedangkan logy berarti theory, sehingga epistemologi
diartikan sebagai teori pengetahuan atau filsafat ilmu. Ketika mengkaji bidang
ini, maka ada tiga persoalan pokok yang perlu disentuh, yaitu makna
pengetahuan, sumber pengetahuan, genealogi pengetahuan, bagaimana cara
mengetahuinya, dan apakah pengetahuan kita itu benar (valid).18
Objek telaah
epistemologi adalah mempertanyakan dari mana ilmu itu diperoleh, bagaimana
cara mengetahuinya, dan bagaimana kita membedakan dengan yang lain, jadi
berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai hal. 19
Aksiologi atau nilai guna dan kemanfaatan ilmu pengetahuan disebut juga
dengan teori nilai. Pada tataran aksiologi, filsafat hendaknya mampu menjawab
pertanyaan tentang “untuk tujuan apa ilmu pengetahuan digunakan?”,
16
Van Peursen: Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya. Dikutip dari buku B. Arief 17
Ahmad Tafsir. 2009. Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosda Karya. Hlm. 66. Lihat juga Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu. Hlm. 63. 18
Juhaya S. Pradja. 1987. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Bandung: Yayasan Piara. Hlm 16. 19
Inu Kencana Syafiie. 2007. Pengantar Filsafat. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 10.
147
“bagaimana hubungan penggunaan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai etika
dan moral?”, “bagaimana tanggung jawab sosial ilmuan?”, dan “apakah ilmu
pengetahuan itu bebas nilai (meaningless) atau sarat nilai (meaningfull)?” 20
Dengan demikian, tataran hakikat ilmu ini mendorong nilai etika atau
karakter dalam Islam yang sangat tinggi dalam pemantapan nilai moralitas
pelajar muslim yang positif dan pantas untuk dijaga serta dilestarikan dalam
kehidupan pendidikan. Hal ini dapat di dapat dilihat dari pendekatan filsafat
ilmu anatara ontologi, epistemologi dan aksiologi saling berrhungan erat dan
tidak bisa dipisahkan. Hal ini dapat dilihat pada bagan sebagai berikut :
Bagan : I
Macam-macam Ilmu Berdsarkan fungsinya
2. Niat Dalam Mencari Ilmu
Niat adalah pokok dari segala amal ibadah. Nabi bersabda “Semua amal
itu tergantung pada niatnya” Hadis Sahih. Niat seorang pelajar dalam menuntut
ilmu harus ikhlas mengharap ridha Allah, mencari kebahagiaan di akhirat,
menghilangkan kebodohan dirinya, dan orang lain menghidupkan agama,
20
Inu Kencana Syafiie. Ibid. Hlm. 11.
ontologi Epistemologi Aksiologi
Filsafat ilmu
148
dan melestarikan Islam.21
Karena Islam akan tetap lestari kalau pemeluknya
atau umatnya berilmu. Dalam menuntut ilmu murid juga harus didasari niat
untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Jangan sampai terbesit
niat supaya dihormati masyarakat, untuk mendapat harta dunia, atau agar
mendapat kehormatan di hadapan pejabat atau lainnya. Hal ini dijelaskan
beliau dalam kitabnya mengenai nita sebagai berikut : 22
.
“Sebaiknya bagi pencari ilmu dalam belajarnya hendaklah berniat
mencari Ridha Allah swt. Kebahagian akhirat, memerangi kebodohan
sendiri dan segenap kaum bodoh, mengembangkan agama dan
melanggengkan islam sebab kelanggengan islam itu harus diwujudkan
dengan ilmu. Zuhud dan taqwapun tidak sah jika tanpa berdasar
ilmu”.23
Dengan kata lian, niat mencari ilmu bagi murid adalah untuk
meningkatkan budaya hidup dan membangun masyarakat yang budaya dalam
memahami pentingnya ilmu untuk diamalkan serta merasakan lezatnya ilmu.
Barang siapa dapat merasakan lezatnya ilmu dan nikmatnya
mengamalkannya, maka dia tidak akan begitu tertarik dengan harta yang
dimiliki orang lain. Senada dengan syair Syekh Imam hammad bin Ibrahim
bin Ismail Assyafar al-Anshari kepada Abi Hanifah: “Siapa yang menuntut
ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah kebenaran. Dan
21
Abu Muhammad Iqbal. 2015. Pemikiran Pendidikan Islam Gagasan-Gagasan Besar Para
Ilmuan Muslim. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hlm. 388. 22
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim. Hlm. 10. 23
Ali As`ad, Hlm. 18.
149
kerugian bagi orang yang menuntut ilmu hanya kerena mencari kedudukan di
masyarakat”. 24
Bila dilihat dari teori pendidikan modern, niat dalam mencari ilmu
termasuk kategori motif dalam mencari ilmu (motif belajar). Makna Motif
diartikan sebagai suatu kekuatan atau daya pendorong yang menyebabkan
orang mulai bergerak atau mengambil suatu tindakan.25 Motif juga dapat
dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk
melakukan aktifitas-aktifitas tertentu demi mencapai sutau tujuan.26
Bahkan
motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Niat
mencari ilmu yang bermanfaat merupakan motif belajar yang positif dan
tergolong pada motivasi instinsik. Secara umum motivasi terbagi dua, yaitu
motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Niat mencari ilmu yang
dipengaruhi oleh pendekatan religi dalam teori pendidikan ini merupakan
motivasi instrinsik. Motivasi Intrinsik, yaitu motif-motif yang menjadi aktif
atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap
individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.27 Pelajar yang
memiliki motivasi intrinsik akan memiliki tujuan menjadi orang yang
terdidik, yang berpengetahuan, ahli dalam bidang studi tertentu. Satu-satunya
jalan untuk menuju ke tujuan yang ingin dicapai ialah belajar, tanpa belajar
tidak mungkin mendapat pengetahuan, tidak mungkin menjadi ahli. Dorongan
24
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Hlm. 18. 25
Sidharta. 2008. Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu?, Pustaka Sutra, Bandung. Hal 7-11 26
Dale H. Schunk. 2002. Learning Theories An Educational Perspective. ( Teori-teori
Pembelajaran Perspektif Pendidikan ), Penterjemah : Eva Hamdiah, Rahmat Fajar .
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hlm. 80. 27
Sudarsono. 1993. Kamus Filsafat dan Psikologi. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm.160.
150
yang menggerakkan itu bersumber pada suatu kebutuhan, kebutuhan yang
berisikan keharusan untuk menjadi orang yang terdidik dan berpengetahuan.
Di samping itu, ada juga fungsi-fungsi lain. Motivasi dapat
berfungsi sebagai pendorong kemampuan dan kemuan usaha untuk
pencapaian prestasi.28
Seseorang melakukan suatu usaha karena adanya
motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil
yang baik.
3. Memilih Ilmu, Guru, Teman Belajar dan Tekun dalam Mencari
Ilmu
Para pelajar harus memilih ilmu pengetahuan yang paling baik atau
paling cocok dengan dirinnya. Pertama-tama yang perlu dipelajari oleh
seorang pelajar adalah ilmu yang paling baik dan yang diperlukan dalam
urusan agama pada saat ini. Kemudian baru ilmu-ilmu yang diperlukan pada
masa yang akan datang. Para pelajar harus mendahulukan ilmu tauhid yang
dipelajari atau ilmu-ilmu para ulama salaf.29
Tinggalkan ilmu debat yang
muncul setelah meninggalnya para ulama. Sebab perdebatan akan
menjauhkan keresahan dan permusuhan. Dan apabila umat Muhammad
sudah suka berbantah-bantahan di antara mereka, itulah tanda-tanta akan
datangnya hari kiamat dan tanda bahwa ilmu fiqih semakin menghilang. 30
Adapun cara memilih guru atau kiai, carilah yang alim, yang
bersifat wara‟, dan yang lebih berumur. Sebagaimana Abu Hanifah memilih
28
Veithzal Rival dan Arviyan Arifin. 2013. Islamic Leadership: Membangun Superleadership
melalui Kecerdasan Spritual. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 395. 29
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Hlm. 25. 30
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Hlm. 27.
151
Kiyai Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau mempunyai kriteria atau
sifat-sifat tersebut. Pendapat al-Zarnuji bahwa pelajar seyogyanya
bermusyawarah dengan orang alim ketika akan pergi menuntut ilmu atau
dalam segala urusan. Karena Allah Ta‟ala menyuruh Nabi Muhammad SAW
supaya bermusyawarah dalam segala urusan, padahal tiada seorang pun yang
lebih pandai darinya. Hal ini sebagaimana yang dilaksanakan dalam proses
pendidikan saat ini dengan menggunakan metode diskusi dalam
pembelajarannya. 31
Dalam memilih teman, al-Zarnuji berpandangan bahwa seorang pelajar
harus berteman atau memilih teman dengan orang yang tekun belajar, bersifat
wara‟ dan berwatak Istiqamah. Hindari teman yang malas, banyak bicara, suka
merusak, dan suka memfitnah. Hal ini dijelaskan oleh al-Zarnuji sebagai
beikut: 32
“Tentang memilih teman, hendaklah memilih yang tekun, waro,
bertabiat jujur serta mudah memahami masalah. Menyingkiri orang
pemalas, penganggur, banyak bicara, suka mengacau dan gemar
memfitnah”. 33
Adapun tekun dalam menimba ilmu, al-Zarnuji berkata “seorang
tidak boleh menuruti keinginan hawa nafsunya”. Seperti kata sebuah syair,
31
Departemen Agama RI. 2001. Metodologi Pembelajaran PAI. Jakarta : Bimmas Pendidkan
Agama Islam. 32
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Hlm. 14. 33
Ali As`ad, Hlm. 32.
152
“sungguh hawa nafsu itu rendah nilainya, barang siapa terkalahkan oleh
hawa nafsunya berarti ia terkalahkan oleh kehinaan”. Seorang pelajar harus
tabah menghadapi ujian dan cobaan. Sebab ada yang mengatakan bahwa
gudang ilmu itu selalu diliputi dengan cobaan dan ujian. Ali bin Abi Thalib
ra, berkata secara implisit dijelaskan dalam kitab Ta`lim al-Muta`allim pada
pasal 3 memilih guru, teman dan tentang ketabahan sebagai berikut: 34
* *
“Ah, tak mampu kau meraih ilmu, tanpa dengan enam prilaku:
berikut saya jelaskan semua kepadamu. Cerdas, semangat, sabar,
cukup bekal, dan petunjuk guru serta sepanjang waktu”.35
Bait atau barisan Nadhoman di atas menurut Abu Muhammad Iqbal
adalah isi yang terkandungnya merupakan syarat-syarat untuk mencari ilmu
menurut al-Zarnuji meliputi: cerdas, rasa ingin tau, sabar, biaya, petunjuk
dari guru dan waktunya yang lama.36
Pemikiran al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim ini bila dianalisa
dengan teori pendidik modern, antara lain: tentang belajar dikemukakan
oleh John Travers dalam bukunya Learning Analysis and Application yang
dikutip oleh Nana Sujana.37
Ia mengemukakan bahwa “belajar adalah
suatu proses yang menghasilkan tingkah laku”. Sebelum merumuskan
definisi tersebut, Travers membedakan belajar menjadi dua macam yaitu
34
Syekh al-Zarnuji, Hlm. 15 35
Aliy As`ad. Hlm. 51. 36
Abu Muhammad Iqbal. 2015. Pemikiran Pendidikan Islam Gagasan-Gagasan Besar Para
Ilmuan Muslim. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hlm. 380-385. 37
Nana Sujana. 2005. Dasar-Dasar & Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Hlm. 102
153
pertama, belajar sebagai proses dan kedua, belajar sebagai hasil.
Dalam hubungan ini, yang disebut kedua, belajar sebagai hasil,
merupakan akibat wajar dari yang disebut pertama yaitu, belajar sebagai
proses. Dengan perkataan lain bahwa proses belajar menyebabkan hasil
belajar.38
Bahan pelajaran yang baru yang banyak mengandung masalah
yang perlu dipecahkan membuat siswa tertantang untuk mempelajarinya.
Penggunaan metode eksperimen, inquiri, discovery juga memberikan
tantangan bagi murid untuk belajar secara lebih giat dan sungguh-
sungguh.39
Penguatan positif dan negatif juga akan menantang siswa dan
menimbulkan motif untuk memperoleh ganjaran atau terhindar dari
hukuman yang tidak menyenangkan.
Memilih teman dengan orang yang tekun belajar, bersifat wara‟ dan
berwatak Istiqamah dan menghindari teman yang malas, banyak bicara,
suka merusak, dan suka memfitnah tergolong pada motif yang datang
dari luar untuk meningkatkan motivasi belajar. Motif-motif tersebut
merupakan motivasi ekstrinsik. Motivasi Ekstrinsik, adalah motif-motif
yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.40
Motivasi
ekstrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di
dalamnya aktifitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan
yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktifitas belajar.
Demikian beberapa hal mengenai motivasi belajar yang dapat
38
Nana Sujana. 2005. Dasar-Dasar & Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Hlm.102 39
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta :
Prestasi Pustaka. Hlm. 135. 40
Sardiman, 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Rajawali Pers.Hlm. 37, 87-
89.
154
dirangkum berdasarkan penafsiran yang dapat dipahami secara umum dan
dianggap bisa mewakili perspektif Islam tentang motivasi dalam menuntut
ilmu. Karena dengan ilmu akan mendapatkan kemulyaan di dunia dan
akhirat serta menjadi dekat kepada Allah SWT. 41
4. Penghormatan Terhadap Ilmu dan Ulama
Untuk mengetahui konsep memuliakan ilmu dan guru atau ulama
menurut pemikiran al-Zarnuji, maka dapat diulas dari kitab Ta’lim al-
Muta’allim, yang secara spesifik ditulis dalam pasal IV, tentang
memuliakan ilmu dan ulama.42 Dalam bab ini beliau membahas secara luas
mengenai hubungan guru dengan murid, mencakup beberapa etika yang
harus diperhatikan oleh seorang murid, terkait dengan hubungan sebagai
sesama manusia dalam keseharian maupun hubungan dalam situasi formal
sebagai seorang pengajar dan individu yang belajar. Akan tetapi dalam hal
ini, bagaimana etika atau sikap guru terhadap murid hanya dibahas secara
implisit, karena pada dasarnya kitab ini ditulis sebagai pedoman dan
tuntunan bagi para penuntut ilmu atau para murid.
Menurut Awaludin,43 belajar bagi al-Zarnuji lebih dimaknai sebagai
tindakan yang bernilai ibadah, yang dapat ikut menghantarkan peserta didik
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebab diniati untuk mencari ridho
41
Imam Al Ghazali. 2006. Menggali Mutiara Ihya Ulumuddin (Ringkasan Imam Al-Ghazali)
Penyuting: Rafi`udin. Jakarta :Pustaka Dwipar. Hlm. 219 42
Syekh al-Zarnuji dalam Syeh Ibrahim bin Isma‟il, Syarah Ta’lim al-Muta’allim. (Indonesia :
Karya Insan, t.th). Hlm. 16 43
Awaluddin Pimay, Konsep Pendidik dalam Islam (Studi Komparatif atas Pandangan al-Ghazali
dan al-Zarnuji), Tesis Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan
Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 1999). Hlm. 55, td.
155
Allah, pengembangan dan pelestarian Islam serta dalam rangka mensyukuri
nikmat Tuhan dan menghilangkan kebodohan, serta bukan sekedar
reorganisasi atau struktur kognitif dan bukan pula dalam arti perubahan
yang relatif permanen yang terjadi karena adanya reinforcement.
Agama sangat menjunjung nilai-nilai moral dalam kehidupan, terlebih
orang-orang yang berilmu. Orang yang mencari ilmu harus memperhatikan
dasar-dasar etika agar dapat berhasil dengan baik dalam belajar,
memperoleh manfaat dari ilmu yang dipelajari dan tidak menjadikannya sia-
sia. Diantara beberapa etika tersebut dapat dipahami dari nasehat–nasehat
al-Zarnuji, yang terkait dengan etika dalam menjaga hubungan antara guru
dengan murid. Dalam mengawali pembahasan ini, beliau memberi statement
yang bernada suatu penegasan kepada orang yang belajar (murid),
penegasan tersebut adalah : 44
.
“Ketahuilah sesunguhnya orang yang mencari ilmu itu tidak akan
memperoleh ilmu dan kemanfaatannya, kecuali dengan memuliakan
ilmu beserta ahli ilmu (Ulama), dan memuliakannya.” 45
Statement di atas menjadi semangat yang mendasari adanya
penghormatan murid terhadap guru, bahwa murid tidak akan bisa
memperoleh ilmu yang manfaat tanpa adanya pengagungan terhadap ilmu
dan orang yang mengajarnya. Jadi untuk mendapatkan ilmu yang
bermanfaat, membutuhkan jalan dan sarana yang tepat, yakni dengan
44
Syekh al-Zarnuji dalam Syeh Ibrahim bin Isma‟il, Syarah Ta’lim al-Muta’allim. Hlm. 16 45
Aliy As`ad, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan. Hlm. 16
156
mengagungkan ilmu yang termasuk dalam mengagungkan ilmu adalah
penghormatan terhadap guru dan keluarganya. Apabila kita membuka mata,
betapa besar pengorbanan Guru yang berupaya keras mencerdaskan manusia
dengan memberantas kebodohan, dengan sabar dan telaten membimbing,
mengarahkan murid serta mentransfer ilmu yang dimiliki, sehingga
melahirkan individu-individu yang memiliki nilai lebih dan derajat
keluhuran baik di mata sesama makhluk maupun di hadapan Allah SWT.
Jadi penghormatan terhadap guru merupakan suatu hal yang wajar karena
pada dasarnya guru tidak membutuhkan suatu penghormatan akan tetapi
secara manusiawi guru biasanya menjadi tersinggung apabila muridnya
bersikap merendahkan dan tidak menghargai. Hal ini dalam analisis
pendidikan modern saat ini adalah adanya hubungan timbal balik antara
guru dengan siswa atau interaksi guru-siswa yang keduanya saling
menghargai, kerja sama dan memperhatikan berbagai aspek perkembangan
pengetahuan siswa.46
Sebagai wujud pemuliaan dan penghormatan kepada guru, Sebagai
konsekuensi sikap moral atas pengagungan dan penghormatan terhadap
guru al-Zarnuji memberikan saran dan penjelasan, bahwa penghormatan
tersebut berbentuk sikap konkrit yang mengacu pada etika moral dan akhlak
seorang murid terhadap gurunya dalam interaksi keseharian dan dalam
46
Dale H. Schunk. Learning Theories An Educational Perspective. ( Teori-teori Pembelajaran
Perspektif Pendidikan ), Penterjemah : Eva Hamdiah, Rahmat Fajar (2002. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar. Hlm. 649.
157
bentuk materi. Syeh al-Zarnuji mengutip syair dari Sayidina Ali
Karramallahu wajhah sebagai berikut : 47
* *
“Aku tahu bahwa hak seorang guru itu harus diindahkan melebihi
segala hak. Dan wajib dijaga oleh setiap Islam. Sebagai balasan
memuliakan guru, amat pantaslah jika beliau diberi seribu dirham,
meskipun hanya mengajarkan satu kalimat.” 48
Dalam kajian Awaluddin bahwa bentuk penghormatan ini, berkaitan
dengan kewajiban orang tua murid dalam upaya menjalin suasana keakraban
dengan seorang guru, sebagai ungkapan rasa terima kasih dan imbalan atas
jasa serta waktu yang telah banyak dicurahkan untuk mendidik murid. Salah
satu bentuknya adalah memberikan sebagian hartanya kepada pendidik atau
guru. 49
Penghormatan dan kedudukan yang sangat tinggi ini sangat logis
diberikan kepada guru karena dilihat dari jasanya yang sedemikian besar
dalam membimbing, mengarahkan, memberikan pengetahuan, membentuk
akhlak dan menyiapkan anak didik agar siap menghadapi hari depan dengan
penuh keyakinan dan percaya diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi
kekhalifahan di bumi dengan baik. 50
Sedangkan bentuk penghormatan dalam sikap konkrit tersebut terdapat
dalam syair al-Zarnuji yaitu: 51
47
Syekh al-Zarnuji dalam Syeh Ibrahim bin Isma‟il, Syarah Ta’lim al-Muta’allim. Hlm. 16 48
Aliy As`ad, . Hlm. 37 49
Awaluddin Pimay, Op.Cit., Hlm. 53 50
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Op.Cit. Hlm. 70 51
Syekh al-Zarnuji dalam Syeh Ibrahim bin Isma‟il, Op.Cit., Hlm. 17
158
.
. . a. Hendaknya seorang murid tidak berjalan di depan guru
b. Tidak menduduki tempat duduk guru.
c. Tidak mendahului bicara kecuali mendapat izin dari guru.
d. Tidak memperbanyak pembicaraan di sisi guru.
e. Tidak mengajukan pertanyaan pada saat guru dalam keadaan
tidak berkenan.
f. Dapat menjaga waktu apabila hendak berkunjung.
g. Bersabar untuk tidak mengetuk pintu dan menunggu sampai
guru keluar.
h. Selalu mencari keridlo’an guru dengan menjaga perasaan dan
menghindari kemurkaannya. i. Taat pada perintah guru kecuali dalam hal maksiat (mendatangkan
dosa), sebab ketentuan taat adalah taat kepada kebaikan bukan
keburukan.
j. Menghormati dan memuliakan anak-anak serta keluarga atau
familinya. 52
Pemikiran al-Zarnuji mengenai keutamaan dalam menghormati dan
memuliakan guru bukan merupakan sebuah teori semata akan tetapi lebih
dari sebuah pemikiran yang mengandung alasan cukup mendasar bagi
terbentuknya suatu hubungan yang etis humanitis antara guru dan murid.
Alasan tersebut dikemukakan secara jelas oleh al-Zarnuji : 53
. Maka, sesungguhnya orang yang mengajar kamu satu huruf, yang hal
itu masalah agama dan kamu perlukan maka dia termasuk (dihukumi)
sebagai bapakmu dalam agama.54
52
Aliy As`ad, . Hlm. 38 53
Syekh al-Zarnuji dalam Syeh Ibrahim bin Isma‟il, Op.Cit., Hlm. 17 54
Aliy As`ad, . Hlm. 37
159
Alasan di atas menunjukkan secara jelas bahwa posisi guru yang
mengajari ilmu walaupun hanya satu huruf dalam konteks keagamaan,
disebut sebagai bapak spiritual, sehingga kedudukan guru sangat terhormat
dan tinggi, karena dengan jasanya seorang murid dapat mencapai ketinggian
spiritual dan keselamatan akhirat. Hal ini berarti hubungan tersebut adalah
hubungan yang sangat dekat tidak hanya terbatas dalam kondisi dan
lingkungan pendidikan secara formal, dimana guru sebagai pentransfer
pengetahuan dan murid sebagai penerima yang dapat merubah sikap dan
prilaku siswa.55
Hubunga ini lebih merupakan sebuah hubungan yang
memiliki ikatan moral dan emosional tinggi sebagaimana ikatan antara
bapak dan anak, yang sama-sama memiliki konsekuensi sikap dalam bentuk
hak dan kewajiban yang menuntut tanggung jawab cukup besar.
Sifat dan kepribadian guru mempunyai pengaruh kuat terhadap diri
murid dan merupakan hal yang pokok dalam pendidikan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Ahmad Fuad al-Ahwani “kepribadian guru itu
berpengaruh besar terhadap akal dan jiwa anak didik”56 Karena pentingnya
kepribadian guru, seorang psikolog terkemuka Zakiyah Daradjat
menegaskan :
Kepribadian itulah yang menentukan apakah ia menjadi pendidik dan
pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak
atau penghancur bagi hari depan anak didik terutama anak didik yang
55
Jeanne Ellis Ormrod. Educational Psychology Developing Learners ( Psikologin Penedidikan
Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang) Terj : Wahyu Indiyanti. 2008. Jakarta: Erlangga.
Cetakan ke-6. Hlm. 424. 56
Ahmad Fuad al-Ahwani, At-Tarbiyah Fil Islam, (Kairo: Darul Ma‟arif, t.th), Hlm. 196
160
masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang
mengalami kegoncangan jiwa atau tingkat menengah. 57
Pada intinya seorang murid hendaknya senantiasa menjaga perasaan
gurunya, dengan tidak berniat sedikitpun untuk menyinggung atau
menyakiti hati gurunya. Sebagaimana cerita yang dikutip dari Syeh Abu
Bakar al-Zarnuji, yang tidak menjenguk gurunya selama dalam
pengungsian, karena beliau sibuk mengurus dan merawat ibunya. Kemudian
gurunya berkata: “kalau begitu kau akan diberi rizki umur, tetapi engkau
tidak diberi rezeki enaknya belajar”.58
Berdasar pada cerita di atas, terdapat indikasi bahwa seorang murid
hendaknya selalu dapat menyenangkan hati sang guru dan menaruh penuh
rasa hormat terhadap gurunya, mendahulukan urusan yang terkait dengan
guru. Sehingga guru tidak merasa tersinggung dan sakit hati. Jadi pada
dasarnya merupakan suatu kewajiban atas murid untuk dapat beritikad baik
kepada guru, sebab bagaimanapun guru adalah juga bapak dari para murid,
sehingga perintah dari guru merupakan suatu keharusan bagi murid untuk
melaksanakannya, sebagaimana perintah dari orang tua terhadap anaknya,
kecuali perintah dalam kedholiman, bahkan haram bagi murid menyinggung
perasaan dan membuat sakit hati guru, sebagaimana Allah mengharamkan
kedurhakaan anak terhadap orang tuanya. Secara tegas al-Zarnuji
mengatakan, “Barang siapa menyakiti hati guru, maka haramlah
keberkahan ilmu dantidak memperoleh manfaat ilmu kecuali sedikit.”59
57
Zakiyah Daradjat. 1980. Kepribadian Guru, Jakarta : Bulan Bintang, cet II, Hlm. 16 58
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Hlm. 18 59
Aly As`ad, . Hlm. 38
161
Sebagai suatu implikasi dari sikap murid yang meremehkan dan
tidak dapat menaruh rasa hormat terhadap guru maupun para kerabatnya,
maka digambarkan oleh al-Zarnuji dengan mengutip sebuah sya‟ir, bahwa:60
* *
“Ketahuilah, sesungguhnya guru dan dokter, keduanya jika tidak
dihormati, tentu tidak akan mau memberikan nasehat yang benar.”61
Syair di atas menggambarkan, bahwa hubungan guru dan murid
seperti hubungan antara dokter dan pasien, karena adanya persamaan saling
membutuhkan dan saling ketergantungan. Guru dibutuhkan oleh murid
karena ilmunya untuk menghilangkan kebodohan sedangkan dokter
dibutuhkan oleh pasien karena nasehat dan obatnya untuk kesembuhan
penyakitnya. Dari analogi di atas, menurut Maemonah, menunjukkan
adanya nilai kepercayaan.62 Dalam proses belajar mengajar dan dalam
persoalan akademik, seorang guru lebih tahu disebabkan pengalaman yang
lebih dibandingkan dengan murid. Sedangkan seorang dokter memang
memiliki keahlian didalam mendiagnosa untuk menyembuhkan berbagai
penyakit.
Di sini fungsi hubungan guru murid sebagai hubungan antara dokter
dengan pasien adalah adanya kepercayaan dan kepatuhan murid terhadap
guru dalam persoalan akademiknya, dengan mengutamakan petunjuk dan
60
Syekh al-Zarnuji dalam Syeh Ibrahim bin Isma‟il, Op.Cit., Hlm. 18 61
Aly As`ad, . Hlm. 42 62
Maemonah, Reward And Punishment Sebagai Metode Pendidikan Anak Menurut Ulama Klasik
(Studi Pemikiran Ibnu Maskawaih, Al-Ghozali, Dan Al-Zarnuji), Tesis Pascasarjana IAIN
Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang,
2001), hlm. 76-77, td.
162
nasehat sebagai kepentingan utama, yaitu pada saat-saat tertentu murid
sangat penting untuk berdiskusi dengan guru terutama dalam masalah
pelajaran. Hubungan ini mengisyaratkan adanya penghormatan murid
kepada guru terhadap ketinggian nilai ilmu yang dimiliki oleh guru serta
menciptakan interinteraksi belajar dan mengajar yang memungkinkan siswa
belajar dengan aktif. Kemudian pada akhirnya al-Zarnuji menutup
pembahasan dengan nasehat, bahwa “seorang murid harus dapat menjaga
dari budi pekerti yang tercela (sifat madzmumah) sebab sifat tercela
diibaratkan anjing yang tidak nampak, khususnya dapat menjaga diri dari
sifat takabur (sombong).63
Nasehat ini pada dasarnya ditekankan supaya sebaik mungkin seorang
murid dapat memahami dan menjaga diri dari segala kemungkinan yang
dapat merusak nilai kesucian ilmu yang menjadikan manusia memiliki nilai
lebih dari yang lain, yakni senantiasa menghias diri dengan sikap rendah diri
dan tawadhu’ dalam menjaga hubungan dengan gurunya, sehingga menuai
buah dan manfaat dari ilmu yang dipelajari.
5. Kesungguhan dalam Belajar dan bercita-cita.
Para pelajar harus bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun
seperti diisyaratkan dalam Al-Qur‟an surat Angkabut ayat 69 yang artinya
sebagai berikut : “Dan orang-orang yang berjihad atau berjuang sungguh-
sungguh untuk mencari (keridhaan-Ku), maka benar-benar Aku akan
63
Aly As`ad, . Hlm. 35
163
tunjukkan mereka kepada jalan-jalan menuju keridhaan-Ku.64 Pesan kedua
dalam Ta‟lim Muta‟allim, hendaknya pelajar bercita-cita tinggi, sebab
orang itu tinggi derajatnya karena memang ia bercita-cita tinggi. Cita- cita
itu ibarat sayap burung yang dipergunakan untuk terbang tinggi-tinggi.
Sebagaimana beliau menganjurkan dalam kitabnya : 65
Penuntut ilmu itu harus cita-cita luhur dalam berilmu. Karena
manusia itu akan terbang dengan cita-citanya, sebagaimna halnya
burung terbang dengan kedua sayapnya .66
Hal ini ditegaskan Abi Thalib berkata: “Kedudukan seseorang itu
tergantung menurut cita-citanya. Dan kemuliaan akan tergapai oleh
seseorang kalau cita-citanya tinggi dan mulia. Pangkat yang tinggi akan
terasa berat meraihnya bagi orang yang berjiwa kerdil. Tapi bagi orang
yang berjiwa besar, setinggi apa pun sebuah kedudukan, dianggap kecil
atau ringan.”67 Dengan demikian kesuksesan seseorang dalam hidup
bermodalkan yang paling pokok adalah kesungguhan dan bercita-cita
luhur.
Bila dihubungkan dengan teori pendidikan modern tentang etika
kesungguhan dalam belajar dan bercita-cita tinggi dapat dikaitkan dengan
pendapat Piaget bahwa belajar adalah menyangkut apa yang harus
dikerjakan pelajar untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang
64
Departemen Agama RI. 1989. Al Qur`an dan Terjemahannya. Hlm. 639. 65
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Hlm. 23. 66
Aliy As`ad, . Hlm. 60 67
Aliy As`ad, . Hlm. 61
164
dari dirinya sendiri, guru hanya sebagai pembimbing dan pengarah.68
Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang aktif, jiwa
mengolah informasi yang kita terima, tidak hanya menyimpan saja tanpa
mengadakan tansformasi. Menurut teori ini anak memiliki sifat aktif,
konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Anak mampu mencari,
menemukan dan menggunakan pengetahuan yang telah diperolehnya.69
Thordike mengemukakan keaktifan siswa dalam belajar dengan
hukum "law of exercise"-nya yang menyatakan bahwa belajar memerlukan
adanya latihan-latihan.
Hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat jika sering
dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika tidak pernah digunakan.
Artinya dalam kegiatan belajar diperlukan adanya latihan-latihan dan
pembiasaan agar apa yang dipelajari dapat diingat lebih lama. Semakin
sering berlatih maka akan semakin paham. Hal ini juga sebagaimana yang
dikemukakan oleh Reber bahwa belajar adalah suatu proses memperoleh
pengetahuan dan suatu perubahan relatif langgeng sebagai hasil praktik
latihan-latihan yang diperkuat.70
Dalam proses belajar, siswa harus
menampakkan keaktifan. Keaktifan itu dapat berupa kegiatan fisik
yang mudah diamati maupun kegiatan psikis yang sulit diamati.
Kegiatan fisik bisa berupa membaca, mendengar, menulis, berlatih
68
Piaget Bariow: 1985 dalam Muhibbin Syah. 2014. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan
Baru. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hlm. 109. 69
Jeanne Ellis Ormrod. Educational Psychology Developing Learners ( Psikologin Penedidikan
Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang) Terj : Wahyu Indiyanti. 2008. Jakarta: Erlangga.
Cetakan ke-6. Hlm. 424. 70
Reber dalam Muhibbin Syah. 2014. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung :
Remaja Rosdakarya. Hlm. 89.
165
keterampilan-keterampilan dan sebaginya. Dalam konteks inilah belajar
bisa bermakna sesuai dengan hakekat belajar sebagai suatu proses. 71
Kegiatan psikis misalnya menggunakan pengetahuan yang dimiliki
dalam memecahkan masalah yang dihadapi, membandingkan suatu konsep
dengan yang lain, menyimpulkan hasil percobaan dan lain sebagainya.
Di samping itu pula, bahwa pelajar memiliki kesungguhan belajar
dan bercita-cita tinggi disebabkan adanya perhatian dan motivasi
dalam kajian teori pendidikan modern. Perhatian mempunyai peranan yang
penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian teori belajar pengolahan
informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tidak mungkin terjadi
belajar. Perhatian terhadap pelajaran akan timbul pada siswa apabila bahan
pelajaran sesuai dengan kebutuhan hidup modern yang banyak tantangan
yang menghantam moral siswa. Modernitas terkadang dianggap sebagai
sebuah entitas elementer kebudayaan yang mampu mendekonstruksi pola
pandang manusia atas segala sesuatu yang dicapai selama perjalanan
hidupnya, bahkan ia memberikan situasi berbeda dalam menyikapi masa
depan agama, budaya, dan struktur sosialnya.72
Apabila bahan pelajaran itu
dirasakan sebagai sesuatu yang dibutuhkan, diperlukan untuk belajar
lebih lanjut atau diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan
membangkitkan perhatian dan juga motivasi untuk mempelajarinya.
71
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No : 22, 23,
dan 24. Hlm. 89 72
Seyyed Hossein Nasr, The Essential Seyyed Hossein Nasr, ed. William C. Chittick (New York:
World Wisdom, 1997). Hlm.15. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 2
Nomor 1 Juni 2012 Fakultas Ushuluddin Institut Dirasah Islamiyah al-Amien (IDIA) Prenduan, Madura
166
Apabila dalam diri siswa tidak ada perhatian terhadap pelajaran yang
dipelajari, maka siswa tersebut perlu dibangkitkan perhatiannya.
Dalam proses pembelajaran, perhatian merupakan faktor yang besar
pengaruhnya, kalau peserta didik mempunyai perhatian yang besar
mengenai apa yang dipelajari peserta didik dapat menerima dan memilih
stimuli yang relevan untuk diproses lebih lanjut di antara sekian
banyak stimuli yang datang dari luar. Perhatian dapat membuat peserta
didik untuk mengarahkan diri pada tugas yang akan diberikan melihat
masalah-masalah yang akan diberikan, memilih dan memberikan fokus
pada masalah yang harus diselesaikan sebagai ciri kecerdasan seorang
pelajar yang merupakan potensi miliknya.73
Di samping perhatian, motivasi
mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga
yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Motivasi
mempunyai kaitan yang erat dengan minat.74
Siswa yang memiliki
minat terhadap sesuatu bidang studi tertentu cenderung tertarik
perhatiannya dan dengan demikian timbul motivasi untuk mempelajarinya.
Misalnya, siswa yang menyukai pelajaran matematika akan merasa senang
belajarnya dan terdorong untuk belajar lebih giat, karenanya adalah
kewajiban bagi guru untuk bisa menanamkan sikap positif pada diri siswa
terhadap mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.75 Motivasi dapat
diartikan sebagai tenaga pendorong yang menyebabkan adanya tingkah
73
Wowad Gardner. 2003. Multple Intelleginces, Theory dan Praktik. Batam: Interaksara . Hlm. 9. 74
Dale H. Schunk. Learning Theories An Educational Perspective. ( Teori-teori Pembelajaran
Perspektif Pendidikan ), Penterjemah : Eva Hamdiah, Rahmat Fajar (2002. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar. Hlm. 80. 75
Ahmad Tafsir. 2014. Ilmu Pendidikan Islami. Hlm. 74.
167
laku ke arah suatu tujuan tertentu. Adanya tidaknya motivasi dalam diri
peserta didik dapat diamati dari observasi tingkah lakunya. Apabila
peserta didik mempunyai motivasi, ia akan bersungguh-sungguh
menunjukkan minat, mempunyai perhatian, dan rasa ingin tahu yang kuat
untuk ikut serta dalam kegiatan belajar. Juga ia akan berusaha keras dan
memberikan waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan tersebut dan
terus bekerja sampai tugas-tugas tersebut terselesaikan sebagai kewajiban
yang harus dilakukan oleh pelajar. 76
Motivasi dapat bersifat internal, yaitu motivasi yang berasal dari
dalam diri peserta didik dan juga eksternal baik dari guru, orang tua,
teman dan sebagainya. 77
Berkenaan dengan prinsip motivasi ini ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan
pembelajaran, yaitu: memberikan dorongan, memberikan insentif dan juga
motivasi berprestasi.
6. Mulai Belajar, Ukuran dan Urutannya
Permulaan belajar bagi penunut ilmu menurut al-Zarnuji menulis
dalam kitab Ta‟lim a l - M uta‟allim sebaiknya dimulai belajarnya pada hari
rabu. Hal ini dijelaskan berkata: Guru kami, Syekh Burhanuddin biasa
memulai belajar pada hari Rabu. Beliau melakukan hal itu berdasarkan
hadis nabi yang berbunyi, “Tidak ada sesuatu yang dimulai pada hari
76
Imam Al Ghazali. 2006. Menggali Mutiara Ihya Ulumuddin (Ringkasan Imam Al-Ghazali)
Penyuting: Rafi`udin. Jakarta :Pustaka Dwipar. Hlm. 33-37. 77
Ratna Yudhawati dkk. 2011. Teori-Teori Dasar Psikologi Pendidikan. Jakarta: Prestasi
Pustakarya . Hlm. 7.
168
Rabu kecuali akan menjadi sempurna.” 78 Abu Hanifah meriwayatkan
hadits ini dari gurunya, Imam Ahmad bin Abu Rasyid. Abu Hanifah
juga biasa melakukan hal ini. Senada dalam pemikiran Abu Hanifah, al-
Zarnuji mengutip pula perkataan Syekh Abu Yusuf al-Hamdany sebagai
ulama terpercaya bahwa beliau biasa memulai pekerjaan yang baik pada
hari Rabu. Kebiasaan ini baik dan benar karena hari Rabu adalah hari di
mana cahaya diciptakan. Hari Rabu adalah hari naas bagi orang kafir,
tapi bagi orang mukmin adalah hari yang penuh berkah. 79
Adapun ukuran dalam belajar bagi pelajar yang baru memulai,
menurut cerita Abu Hanifah dari Syekh Umar bin Abi Bakr bahwa beliau
berkata :80
“sebaiknya bagi oarang yang mulai belajar, mengambil pelajaran
baru sepanjang yang kira-kira mampu dihapalkan dengan faham,
setelah diajarkannya dua kali berulang. Kemudian untuk setiap hari,
ditambah sedikit demi sedikit sehingga setelah banyak dan panjang
pun masih bisa menghapal dengan paham pula setelah diulanga dua
kali. Demikianlah lambat laun setapak demi setapak. Apabila
pelajaran pertama yang dikaji itu terlalu panjang sehingga para
pelajar memerlukan diulanganya 10 kali, maka untuk seterusnya
78
Aliy As`ad, . Hlm. 73 79
Aliy As`ad, . Hlm. 74 80
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim. 2
169
sampai yang terakhirpun begitu. Karena hal itu menjadi kebiasaan
yang sulit dihilangkan kecuali dengan susah payah.”81
Bahkan ada yang berpendapat, “Belajar harus diulang-ulang
sampai seribu kali”. Ukuran belajar, setelah benar-benar hafal dan
mengerti, pelajar harus mencatatnya, karena hal itu banyak manfaatnya
dikemudian hari. Santri sebaiknya tidak menulis pelajaran yang belum
dipahami, sebab hal itu akan menimbulkan keracunan, menghilangkan
kecerdasan dan menyia-nyiakan waktu.
Seyogyanya pelajar berusaha sungguh-sungguh memahami apa yang
diterangkan oleh gurunya. Kemudian diulang-ulang sendiri beberapa
kali dan direnungkan supaya benar-benar mengerti, karena mendengar
satu kalimat lalu dihafal dan dimengerti, itu lebih baik dari pada
mendengar seribu kalimat tapi tidak paham. 82
Dalam penggunaan metode diskusi ada beberapa etika dalam
berdiskusi yang dipaparkan oleh al-Zarnuji, yaitu Pelajar harus sering
mendiskusikan suatu pendapat atau masalah dengan teman-teman,
diskusi harus dilakukan dengan tertib atau tenang, tidak gaduh, tidak
emosi.83 Karena tertib dan tenang dalam berpikir adalah tiangnya
musyawarah. Dan tujuan musyawarah adalah mencari kebenaran dan
mengembangkan potensi yang imiliki setiap siswa.84
Tujuan itu akan
tercapai bila orang-orang yang terlibat dalam diskusi atau musyawarah
tersebut bersikap tenang, benar dalam berpikir, dan lapang dada.
81
Aliy As`ad, . Hlm. 7 82
Aliy As`ad, . Hlm.77. 83
Aliy As`ad, . Hlm. 81. 84
Munif Chatib. 2014. Gurunya Manusia. Jakarta. Kalam Mulia. Hlm.132.
170
Sebaliknya, hal itu tidak akan berhasil bila timbul kegaduhan dan
saling emosi. Jika tujuan diadakan diskusi tersebut untuk saling
mengalahkan hujjah temannya, maka tidak halal. Diskusi itu halal kalau
tujuannya untuk mencari kebenaran. Diskusi merupakan suatu tugas yang
benar-benar memerlukan keahlian. Oleh sebab itu apa yang disebut dengan
metode diskusi belum diterapakan dengan baik dan dengan persiapan yang
sungguh-sungguh baik dari pihak guru, sekolah, maupun siswa. Karena ada
yang sebagian guru berpendapat bahwa diskusi telah berjalan jika kelas
menjadi ramai atau jika terjadi tanya-jawab antara guru dengan siswa,
padahal apa yang dikemukakan itu bukan ciri diskusi atau mungkin
sebagian dari ciri sebuah diskusi kelas.85
Sedangkan mengaburkan
persoalan atau jawaban, atau memberi tanggapan dengan cara yang tidak
semestinya juga tidak halal kecuali jika orang yang bertanya itu bermaksud
mempersulit, tidak mencari kebenaran.
Terkait dengan pandangan al-Zarnuji tentang pembiasaan atau
pengulangan dalam belajar sebagai implikasi dari kesungguhan dalam
belajar untuk memperoleh suatu ilmu pengetahuan yang dimaksud.86 Hal
tersebut memiliki kesamaan pandangan dengan teori pendidikan yang sudah
populer, yaitu: Prinsip belajar yang menekankan perlunya pengulangan
adalah teori psikologi daya. Menurut teori ini belajar adalah melatih
daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamati,
menanggap, mengingat, mengkhayal, merasakan, berfikir dan sebagainya.
85
Abdul Azis Wahab. 2009. Metodel dan Model-model Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial IPS.
Bandung: Alfabeta. Hlm. 100. 86
Aly As`ad, . Hlm. 84
171
Menurut Gardner anak-anak itu memiliki Multiple Intelligence. ada 8
macam kecerdasan yang salah satu atau beberapa diantaranya dapat dimiliki
oleh seorang anak.87 Dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya
tersebut akan berkembang, seperti halnya pisau yang selalu diasah akan
menjadi tajam, maka daya yang dilatih dengan pengadaan pengulangan-
pengulangan akan sempurna.
Dalam proses belajar, semakin sering materi pelajaran diulangi maka
semakin ingat dan melekat pelajaran itu dalam diri seseorang.
Mengulang besar pengaruhnya dalam belajar, karena dengan adanya
pengulangan "bahan yang belum begitu dikuasai serta mudah
terlupakanakan tetap tertanam dalam otak seseorang”88. Mengulang dapat
secara langsung sesudah membaca, tetapi juga bahkan lebih penting
adalah mempelajari kembali bahan pelajaran yang sudah dipelajari misalnya
dengan membuat ringkasan.
7. Guru dalam Mengajar
a. Syarat-Syarat Seorang Guru
Guru merupakan unsur dasar pendidikan yang sangat berpengaruh
terhadap proses pendidikan. Dalam perspektif Islam keberadaan,
peranandan fungsi guru merupakan keharusan yang tidak diingkari. Tidak
ada pendidikan tanpa kehadiran guru. Peran dan tanggung jawab guru dalam
proses pendidikan sangat berat. Apalagi dalam konteks pendidikan Islam, di
mana sema aspek pendidikan dalam Islam terkait dengan nilai-nilai (value
87
Wowad Gardner. 2003. Multple Intelleginces, Theory dan Praktik. Batam: Interaksara . Hlm. 7. 88
Aly As`ad, . Hlm. 85
172
bound), yang melihat guru bukan saja pada penguasaan
materialpengetahuan, tetapi juga pada investasi nilai-nilai moral dan
spiritual yang diembannya untuk ditransformasikan ke arah pembentukan
kepribadian anak didik.89
Mengingat peran dan tanggung jawab guru dalam proses
pendidikan sangat berat, imam al-Zarnuji menganjurkan pada kita dalam
memilih guru, hendaklah memilih guru yang lebih alim, waro‟ dan juga
lebih tua usianya. Imam al-Zarnuji berkata:90
Dalam memilih guru hendaklah memilih yang lebih alim, waro’ dan
juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah terlebih
dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka
menentukan pilihannya kepada tuan Hammad bin Abu Sulaiman.
Dalam hal ini ia berkata: “beliau saya kenal sebagai orang tua yang
berbudi luhur, berdada lebar serta penyabar. Katanya lagi: saya
mengabdi di pangkuan tuan Hammad bin Abu Sulaiman, dan
ternyata saya pun semakin berkembang.91
Syarat-syarat di atas yang harus dipenuhi oleh seorang guru, di mana
seorang guru haruslah, 1) „Alim (cendekiawan), karena guru ini merupakan
guru yang mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas.92
Sehingga
dapat memberikan pengetahuan kepada anak didiknya. 2) Lebih tua usianya:
89
Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan. Hlm. 219. 90
Al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, hlm. 13. 91
Aliy As‟ad, Bimbingan bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan. Hlm. 16. 92
Ahmad Tafsir. 2013. Ilmu Pendidikan Islami: Bandung. Rosda Karya. Hlm. 127.
173
dianjurkan memilih guru yang lebih tua usianya (dewasa), sebagai guru
lebih tua mempunyai banyak pengalaman dalam beramal, maupun dalam
menghadapi murid-muridnya. 3) Mempunyai sifat wara‟: dianjurkan
memilih sifat wara‟, karena guru yang mempunyai sifat ini akan selalu
mengutamakan kehidupan yang bersifat ukhrawi, dan dia akan dipercaya
dalam segala tindak lakunya. Sehingga akan menjadi tauladan yang baik
bagi muridnya.93
Persyaratan menjadi seorang yang baik tersebut tidak menutup
kemungkinan syarat-syarat lainnya. Syarat yang dikemukakan di atas masih
relevan dengan persyaratan yang lebih bersifat persyaratan akademis dan
profesionalisme sebagai seorang guru.94
Menjadi guru tidaklah sembarang
orang bisa menjadi guru.
a. Etika Seorang Guru
Guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi anak didik. Ialah
yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu dan membenarkannya. Pribadi
guru adalah uswatun hasanah, untuk itu seorang guru haruslah mempunyai
kepribadian.95
yang baik. Karena guru adalah mitra anak didik dalam
kebaikan. Guru yang baik, anak didik pun menjadi baik. Oleh karena itu,
93
Ibid. Hlm. 128-129 94
Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Tarbiyatul Aulad Fil Islam (Pendidikan Anak Dalam Islam:
Terjemahan Jamaluddin Miri.) Jakarta : Pustaka Amani. Hlm. 302 95
Kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur psikis dan fisik. Dalam
makna demikian, seluruh sikap dan pebuatan seseorang merupakan suatu gambaran dari
kepribadian seseorang. Dan perbuatan yang baik sering dikatakan bahwa seseorang itu
mempunyai kepribadian yang baik atau berakhlak mulia. Sebaliknya, bila seseorang melakukan
sikap dan perbuatan yang tidak baik menurut pandangan masyarakat, maka dikatan bahwa
orang itu tidak mempunyai kepribadian yang baik atau mempunya akhlak yang tidak mulia.
Saiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukasi. Hlm. 40.
174
masalah kepribadian adalah suatu hal yang menentukan tinggi rendahnya
kewibawaan seorang guru dalam pandangan anak didik atau masyarakat. 96
Profesi keguruan bukan hanya kerja mencari nafkah keseharian,
melainkan juga panggilan jihad untuk mencurahkan segala kemampuan
untuk mencari ridha Allah. Jika guru yang menyatakan dirinya sedang
berjihad di jalan Tuhan dan mengharapkan sesuatu yang bersifat material, ia
tidak lebih hanya makelar kependidikan. Guru, dalam konteks jihad
pembelajaran, mensyaratkan adanya kebeningan jiwa dan keikhlasan diri
ketika melaksanakan aktifitas pendidikan.97
Pengajar atau guru mempunyai
derajat yang tinggi. Derajat seorang pengajar dan kedudukannya akan
semakin bertambah tinggi dan mulia jika ia berperilaku baik dan berakhlak
mulia serta menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji. Ia akan
terhindar dari segala sifat yang buruk yang yang akan mencemarinya
dengan kedudukannya yang mulia dan derajat yang tinggi.98
Walaupun
seorang guru itu mempunyai kedudukan yang tinggi, namun hal itu tidak
boleh membuat seorang guru menjadi sombong, hendaknya seorang guru itu
harus selalu bersikap tawadhu’ dan iffah, yaitu selalu menjaga diri dari
perbuatan-perbuatan yang dapat menjerumuskan pada kehinaan bagi
seorang ahli ilmu.
96
Saiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukasi. Hlm. 49 97
Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, Hlm. 226. 98
Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Tarbiyatul Aulad Fil Islam (Pendidikan Anak Dalam Islam:
Terjemahan Jamaluddin Miri.) Jakarta : Pustaka Amani. Hlm. 302
175
8. Peserta Didik dalam Belajar
Seorang anak didik, untuk dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sejak sebelum menjalankan tugas belajar, seharusnya mempunyai
watak-watak yang baik antara lain, tawadu, iffah, tabah, sabar,
mencintai ilmu dan menghormati gurunya, bersungguh-sungguh, wara',
mempunyai cita-cita yang tinggi serta tawakal. Dalam kitab Ta`lim al-
Muta`allim karya al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak
atau karakter bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan
belajar-mengajar, Adapun nilai-nilai karakternya sebagai berikut :
a. Anjuran untuk selalu belajar al-Zarnuji mengutip syair Muhammad bin al-
Hasan bin Abdullah, yang mendorong anak-anak untuk selalu belajar
atau menuntut ilmu, karena ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya.
b. Kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela. Sebagai bekal
dalam mengarungi kehidupan peserta didik, al-Zarnuji amat mendorong
bahkan mewajibkan mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang
terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut,
pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf
(berlebihan), bakhil dan lain-lain.99
. "Setiap orang Islam wajib mengetahui dan mempelajari berbagai
akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir,
penakut, pemberani, rendah hati, congkak, menjaga diri dari
99
Syekh al-Zarnuji, . Hlm.8
176
keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain." 100
c. Larangan mempelajari ilmu perdukunan. Al-Zarnuji mengharamkan
mempelajari ilmu perdukunan atau ilmu nujum. Ini membuktikan
bahwa al-Zarnuji tidak hanya mengutamakan ilmu-ilmu agama Islam,
tetapi juga menghormati dan menjunjung tinggi ilmu-ilmu aqliyah,
karena ilmu perdukunan tidak masuk akal (irasional). 101
. "Sedangkan mempelajari ilmu nujum itu hukumnya haram, karena
ia diibiratkan penyakit yang amat membahayakan. Dan
mempelajari ilmu nujum itu sia-sia belaka, karena ia tidak bisa
menyelamatkan seseorang dari takdir Tuhan".102
Sebaliknya, al-Zarnuji membolehkan mempelajari ilmu-ilmu alam
yang didasarkan pada rasio dan pengamatan, seperti ilmu kedokteran serta
ilmu-ilmu lain yang bermanfaat.
d. Niat dalam menuntut ilmu. al-Zarnuji menempatkan niat dalam kedudukan
yang amat penting bagi para pencari ilmu. Beliau menganjurkan agar para
pencari ilmu menata niatnya ketika akan belajar. Ia mengatakan:103
"Setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar. Karena
niat adalah pokok dari segala amal ibadah. Hal ini sesuai dengan
Sabada Nabi Saw. Sesungguhnya segala amal perbutan itu
100
Aly As`ad, . Hlm. 101
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Hlm.8 102
Ali As`ad. Hlm.12 103
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Hlm.10
177
tergantung pada niatnya. Hadits Saheh.".104
Menurut al-Zarnuji ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
oleh para pelajar terkait dengan niat mencari ilmu itu, yaitu pertama, niat
itu harus ikhlak untuk mengharap ridla Allah, kedua, niat itu
dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan;
ketiga, boleh menunutut ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan
di masyarakat, dengan catatan kedudukan itu dimanfaatkan untuk amar
ma'ruf dan nahi munkar, untuk melakukan kebenaran, untuk menegakkan
agama Allah dan bukan untuk keuntungan diri sendiri, juga bukan
karena keinginan hawa nafsu.
1) Sifat tawadlu. Para pencari ilmu dianjurkan oleh al-Zarnuji untuk tawadlu
dan tidak tamak pada harta benda. Beliau mengutip syair yang
dikemukakan oleh Ustadz al-Adib berkenaan dengan keutamaan
tawadlu, sebagai berikut: 105
"Tawadlu adalah salah satu tanda/sifat orang yang bertakwa.
Dengan bersifat tawadlu, orang yang bertakwa akan semakin tinggi
martabatnya. Keberadaannya menakjubkan orang-orang bodoh yang
tidak bisa membedakan antara orang yang beruntung dengan orang
yang celaka".106
2) Cara memilih guru. Dalam kitab ini, al-Zarnuji juga memberikan resep
bagaimana mencari guru. Menurut beliau guru yang baik adalah yang
104
Ali As`ad, Ibid. Hlm.16 105
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Hlm.12 106
Ali As`ad, Ibid. Hlm.22
178
alim, wara dan lebih tua dari muridnya, sebagaimana dikatakannya:107
"Dan adapun cara memilih guru, carilah yang alim, yang
bersifat wara, dan yang lebih tua".108
7) Cara memilih jenis ilmu. al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar
memilih ilmu yang peling baik dan sesuai dengan dirinya. Di sini
unsur subyektivitas pelajar menjadi pertimbangan penting. Bakat,
kemampuan akal, keadaan jasmani seyogyanya menjadi pertimbangan
dalam mencari ilmu. Namun demikian, al-Zarnuji menempatkan ilmu
agama sebagai pilihan pertama yang mesti dipilih oleh seorang pelajar.
Dan di antara ilmu agama itu, Ilmu Tauhid mesti harus diutamakan,
sehingga sang pelajar mengetahui sifat-sifat Allah berdasarkan dalil
yang otentik. Karena menurut al-Zarnuji, "iman seseorang yang taklid
tanpa mengetahui dalilnya berarti imannya batal". Selain ilmu tauhid,
al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk mempelajari ilmunya
para ulama Salaf.
8) Nasihat kepada para pelajar. al-Zarnuji memberikan beberapa nasihat yang
di dalamnya sarat dengan muatan moral dan akhlak bagi para pelajar,
nasihat-nasihat itu antara lain anjuran untuk bermusyawarah. Karena
mencari ilmu merupakan sesuatu yang luhur namun perkara yang sulit,
al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar melakukan diskusi atau
musyawarah dengan pelajar atau orang lain.
107
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Hlm.13 108
Ali As`ad, Ibid. Hlm.26
179
9) Anjuran untuk sabar, tabah dan tekun al-Zarnuji menganjurkan agar
para pelajar memiliki kesabaran atau ketabahan dan tekun dalam
mencari ilmu.
10) Anjuran untuk bersikap berani. Selain sabar dan tekun, al-Zarnuji juga
menganjurkan para pelajar untuk memiliki keberanian. Keberanian berarti
juga kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan. Menurut
beliau : 109
“Keberanian ialah sabar sejenak.” Maka sebaiknya pelajar
mempunyai hati tabah dan sabar dalam belajar kepada sang guru,
dalam mempelajari suatu kitab jangan sampai ditinggalkan sebelum
sempurna dipelajari, dalam satu bidang ilmu jangan sampai
berpindah bidang lain sebelum memahaminya benar-benar, dan
juga dalam tempat belajar jangan sampai berpindah kelain daerah
kecuali karena terpaksa. Kalau hal ini di langgar, dapat membuat
urusan jadi kacau balau, hati tidak tenang, waktupun terbuang dan
melukai hati sang guru.” 110
11) Anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu. al-Zarnuji banyak sekali
menekankan tentang pentingnya menghindari hawa nafsu.
12) Anjuran berteman dengan orang baik. al-Zarnuji memberikan saran
kepada para pelajar agar ia selalu berteman dengan orang-orang yang
109
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim. Hlm.13 110
Ali As`ad, Ibid. Hlm.31
180
baik, yang menurutnya, orang-orang yang baik adalah: 111
"Yang tekun belajar, bersifat wara', berwatak istiqamah, dan mereka
yang faham/pandai. Sebaliknya ia tidak berteman dengan orang yang
malas, banyak bicara, suka merusak dan suka memfitnah".112
13) Anjuran menghormati ilmu dan guru. Menghormati ilmu dan guru
adalah salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh setiap pelajar, bila ia ingin
sukses dalam mencari ilmu.
Bahkan karena pentingnya hormat kepada guru, al-Zarnuji bahkan
memberikan nasihat kepada para pelajar agar ia tidak berjalan di
depannya, tidak duduk di tempatnya, dan bila di hadapan guru ia tidak
memulai bicara kecuali ada ijinnya. Hormat seorang siswa kepada
gurunya juga harus ditunjukkan dengan cara tidak banyak bicara di
hadapan guru dan senantiasa mencari kerelaan hati sang guru. Anjuran al-
Zarnuji inilah yang oleh para aktivis pesantren mendapat banyak sorotan,
terutama anjurannya untuk tidak terlalu banyak bicara di hadapan
guru. Menurut mereka, anjuran ini dapat melemahkan kreativitas siswa
dalam berdiskusi. Cara lain menghormati guru menurut al-Zarnuji adalah
dengan tidak menyakiti hati guru, karena dengan demikian, maka ilmunya
tidak akan memiliki berkah.
14) Anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam belajar. Dalam pasal
tentang kesungguhan (al-jiddu), ketekunan (al-muwadzabah), dan cita-
111
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim. Hlm.15. 112
Ali As`ad, Ibid. Hlm.32
181
cita (al-himmah), al-Zarnuji mengatakan: 113
"Dan siswa harus bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun
Barang siapa bersungguh-sungguh dalam mencari sesuatu tentu akan
mendapatkannya. Siapa saja yang mau mengetuk pintu dan maju
terus, tentu bisa masuk".114
Dalam Ta’lim al-Muta’allim disebutkan, bahwa Syekh al-Imam al-Ajjal
Ustadz Sadiduddin mendendangkan gubahan syair Imam Syaf‟i: 115
kesungguhan akan mendekatkan sesuatu yang jauh dan membukakan
pintu yang terkunci. Hak Allah yang paling utama bagi makhluknya
adalah orang-orang yang bercita-cita tinggi justru diuji dengan hidup
yang sempit.116
Al-Zarnuji menyarankan kepada peserta didik untuk selalu
bersungguh-sungguh dalam menunutut ilmu, karna siapa yang
bersungguh-sungguh pasti ia akan mendapatkanya.
15) Anjuran untuk mencermati perkataan guru. Dalam upaya meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman siswa, al-Zarnuji menganjurkan agar para
siswa senantiasa jeli dalam mencermati apa yang dikatakan oleh guru.
16) Anjuran untuk berusaha sambil berdoa. Usaha saja tidaklah cukup bagi
seorang siswa tanpa disertai dengan do'a. demikian pula do'a tidak
akan berarti tanpa disertai dengan usaha. Oleh karena itu al-Zarnuji
113
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim. Hlm.21 114
Ali As`ad, Hlm.53 115
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim. Hlm. 30. 116
Ali As‟ad. Hlm. 30
182
menganjurkan agar siswa senantiasa berusaha dan berdo'a.
17) Anjuran untuk berdiskusi. Diskusi atau belajar besama adalah sesuatu
yang amat penting bagi para siswa dalam memahami materi-materi
pelajarannya. Oleh karena itu, al-Zarnuji menganjurkannya.
18) Anjuran untuk senantiasa bersyukur. Al-Zarnuji memberi nasihat agar
para pelajar senantiasa selalu bersyukur kepada Allah.
19) Anjuran untuk tidak mudah putus asa. Mencari ilmu tidak mudah
Untuk menggapainya diperlukan usaha sungguh-sungguh dan serius. Dan
untuk itu pun para siswa akan berhadapan dengan banyak
rintangan, hambatan dan masalah. Oleh karena itu, al-Zarnuji menganjurkan
agar setiap pelajar tidak mudah patah semangat. 117
"Hendaklah pelajar bersungguh-sungguh sampai terasa letih guna
mencapai kesuksesan, dan tak kenal berhenti, dan dengan cara
menghayati keutamaan ilmu. Ilmu itu kekal, sedang harta adalah
fana" 118
20) Anjuran untuk senantiasa tawakkal. Di samping tidak boleh patah
semangat, ketika para pelajar menghadapi masalah, setelah berusaha ia
dianjurkan untuk tawakkal. Beliau mengatakan : 119
117
Syekh al-Zarnuji, Ibid. Hlm.21 118
Ali As`ad, Hlm.63 119
Syekh al-Zarnuji, Ibid. Hlm.
183
Pelajar harus bertawakal dalam menuntut ilmu. Jangan goncang
karena masalah rizki, dan hatinya pun jangan terbawa kesana. Abu
Hanifah meriwayatkan dari Abdullah Ibnul Hasan Al-Zubaidiy
sahabat Rasulullah saw : “Barangsiapa mempelajari agama Allah,
maka Allah akan mencukupi kebutuhannya dan memberinya rizki dari
jalan yang tidak di kira sebelumnya.” 120
21) Anjuran untuk saling mengasihi. Para pencari ilmu disarankan oleh al-
Zarnuji untuk saling mengasihi antar sesama.
22) Anjuran untuk tidak berprasangka buruk. Terhadap sesama Muslim, al-
Zarnuji menganjurkan agar tidak memiliki prasangka buruk.
23) Anjuran bersikap wara'. Para pelajar disarankan oleh al-Zarnuji untuk
memiliki sifat wara' atau menjaga diri dari hal-hal yang tidak jelas halal-
haramnya. Beliau berkata : 121
"Termasuk berbuat waro’ adalah memelihara dirinya jangan sampai
perutnya kenyang amat, terlalu banyak tidur dan banyak
membicarakan hal yang tak bermanfaat.".122
24) Anjuran memperbanyak shalat. Seorang murid yang sedang menuntut
ilmu disarankan agar selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan
shalat. Karena shalat menjadi salah satu ibadah yang dapat
mendekatkan manusia dengan Allah Swt.
120
Ali As`ad, . Hlm. 121
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim. Hlm. 122
Ali As`ad, . Hlm.122
184
Anak didik hendaknya bersabar dalam perjalanannya mempelajari ilmu.
Perlu disadari bahwa perjalanan mencari ilmu itu tidak akan terlepas dari
kesulitan, sebab mempelajari ilmu merupakan suatu perbuatan yang menurut
kebanyakan para ulama lebih utama dari pada berperang membela agama
Allah. Siapa yang bersabar menghadapi kesulitan dalam mempelajari ilmu,
maka ia akan merasakan lezatnya ilmu melebihi segala kelezatan yang ada di
dunia. 123
Imam al-Zarnuji juga mengingatkan agar peserta didik selalu menjaga
diri dari akhlak tercela, terutama sikap sombong. Seorang penyair berkata:
“ilmu itu musuh bagi penyombong diri, laksana air bah musuh dataran tinggi.
Diraih keagungan dengan kesungguhan bukan semata-mata dengan harta
tumpukan. Bisakah agung didapat dengan harta tanpa semangat. Banyak
sahaya menduduki tingkat merdeka, banyak orang merdeka menduduki
tingkat sahaya”.124
9. Tujuan Pendidikan
Pendidikan merupakan proses belajar dan pembelajaran dalam
membimbing dan membina fitrah peserta didik secara maksimal dan
bermuara pada terciptanya pribadi pesreta didik sebagai muslim paripurna
(insan alkamil). Mengenai tujuan pendidikan imam al-Zarnuji adalah
ditujukan untuk mencari keridlaan Allah, memperoleh kebahagiaan di akhirat,
memerangi kebodohan pada diri sendiri danorang lain, mengembangkan dan
123
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Hlm. 109. 124
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Pendidikan Islam dari
Paradigma Klasik Hingga Kontemporer. Hlm. 279.
185
melestarikan ajaran Islam, serta mensyukuri nikmat Allah.125
Hal ini senada
dengan perkataan imam al-Zarnuji mengenai niat menuntut ilmu. Dalam
Ta’lim al- Muta’allim imam al-Zarnuji berkata: 126
. Di dalam menuntut ilmu sebaiknya peserta didik berniat mencari ridla
Allah, mengharap kebahagiaan akhirat, menghilangkan kebodohan
dari dirinya sendiri dan dari segenap orang-orang bodoh,
menghidupkan agama dan melestarikan Islam, karena sesungguhnya
kelestarian islam hanya dapat depertahankan dengan ilmu dan perilaku
zuhud, dan takwa tidaklah sah dengan kebodohan. 127
Jadi tujuan pendidikan imam al-Zarnuji adalah tidak diperbolehkan
belajar dengan tujuan dunia (kedudukan/ kemuliaan di hadapan manusia)
Melainkan ditujukan untuk mencari keridlaan Allah, memperoleh
kebahagiaan di akhirat, memerangi kebodohan pada diri sendiri danorang
lain, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam, serta mensyukuri
nikmat.
Tujuan pendidikan dalam hal ini menurut al-Zarnuji disebutkan dengan
niat, merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam pendidikan Islam. Tujuan
pendidikan tersebut, pertama, harus ditujukan untuk mencari rida Allah Swt.
Kedua, ditujukan pula untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat yang
125
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Hlm. 109. 126
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim. Hlm. 10. 127
A. Ma‟ruf Asrori, Etika Belajar bagi Penuntut Ilmu. Hlm. 15.
186
merupakan tempat kebahagiaan abadi. Ketiga, untuk menghidupkan agama,
sebab agama tanpa ilmu tidak akan dapat hidup. Keempat, ditujukan pula
untuk menghilangkan kebodohan yang ada dalam diri seseorang. Sebab,
manusia telah diberikan Allah potensi akal yang mempunyai kemampuan
untuk berpikir dan sekaligus membedakannya dengan makhluk-makhluk
lain.
Al-Zarnuji memberikan konsep sederhana tetapi penuh makna,
bahwa seorang murid dididik harus mencapai tingkat kecerdasan
intelektual (Intelectual Quotient) terlebih dahulu.
“Kami terangkan: Bahwa sebab-sebab yang dapat membuat seorang
menjadi hafal ialah bersungguh-sungguh, rajin, istiqomah,
mengurangi makan dan mengerjakan sholat malam juga membaca Al-
Quran.” 128
Al-Zarnuji tidak melupakan pentingnya faktor kecerdasan emosional
(Emosional Quotient) dalam proses pengembangan kepribadian. Dalam
bahasa yang santun dan ramah al-Zarnuji berkata:129
“Orang alim hendaknya memiliki rasa kasih sayang, mau memberi
nasehat serta jangan berbuat dengki. Dengki itu berbahaya tidak akan
bermanfaat,130
Bahkan yang lebih mengagumkan, al-Zarnuji pun telah menyadari
bahwa dua kecerdasan tadi akan sia-sia bila tidak diimbangi dengan
128
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim. Hlm. 41. 129
Syekh al Zarnuji. Hlm. 36. 130
Ali As`ad, Hlm. 109.
187
kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient). Al-Zarnuji telah memberikan
konsep mengenai metode pendidikan yang cukup ideal dan gambaran
tentang keharusan adanya keterhubungan yang utuh antara kecerdasan
intelektual lebih berkaitan dengan fungsi akal dengan kecerdasan
emosional serta kecerdasan spiritual dimana keduanya sedikit banyak
terpengaruhi oleh aspek karakter atau moralitas dan etika.
10. Metode Pembelajaran
Alat pendidikan meliputi dua aspek, yaitu materi dan metode
pendidikan yang pada dasarnya kedua hal itu merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan, pemakaian metode pendidikan harus
sesuai dengan materi yang diberikan. Pertama, materi pendidikan harus
mempunyai kaitan erat dengan kebutuhan kehidupan keagamaan anak
didik, misalnya saja tentang tauhid, ibadah, dan akhlak, selain itu materi
juga harus sesuai dengan kebutuhan anak didik dalam menjalani
kehidupannya sehari-hari seperti materi keterampilan kerja.
Kedua, al-Zarnuji memberikan metode menghafal supaya pendidikan
yang diberikan oleh guru dapat masuk kedalam diri anak didik, metode
mancatat dan memahami, metode diskusi yang mencakup tiga, yaitu
mudzakarah, munadharah, dan mutharahah. ,131 Muzakarah adalah tukar
pendapat untuk saling melengkapi pengetahuan massing-masing.
Munadhoroh adalah saling mengkritisi masing-masing. Seangkan
131
Ali As`ad, Hlm. 80.
188
Muthorobah adalah adu pendapat untuk diuji an dicari mana yang benar. 132
Hal ini al-Zarnuji menegsakan ddalam metode diskusi berikut : 133
)(
.
Seorang pelajar seharusnya melakukan Mudzakarah (forum saling
mengingatkan), munadharah (forum saling mengadu pandangan) dan
mutharahah (diskusi). Hal ini dilakukan atas dasar keinsyafan, kalem
dan penghayatan serta menyingkiri hal-hal yang berakibat negatif.
Munadharah dan mudzakarah adalah cara dalam melakukan
musyawarah, sedang permusyawaratan itu sendiri dimaksudkan guna
mencari kebenaran. Karena itu, harus dilakukan dengan
penghayatan, kalem dan penuh keinsyafan. Dan tidak akan berhasil,
bila dilaksanakan dengan cara kekerasan dan berlatar belakang yang
tidak baik. 134
Metode diskusi mendorong siswa untuk berdialog dan bertukar
pendapat, dengan tujuan agar siswa dapat terdorong untuk berpartisipasi
secara optimal, tanpa ada aturan-aturan yang terlalu keras, namun tetap
harus mengikuti etika yang disepakati bersama. Diskusi dapat dilaksanakan
dalam dua bentuk. Pertama, diskusi kelompok kecil (small group discussion)
dengan kegiatan kelompok kecil. Kedua, diskusi kelas, yang melibatkan
semua siswa di dalam kelas, baik dipimpin langsung oleh gurunya atau
132
Ali As`ad, Hlm. 80. 133
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim. Hlm.36. 134
Ali As`ad, Hlm. 81.
189
dilaksanakan oleh seorang atau beberapa pemimpin diskusi yang dipilih
langsung oleh siswa. Jadi dilihat dari segi hubungan antara guru dengan
murid adalah hubungan yang demokratis, hubungan dalam pendidikan
yang memposisikan guru sebagai fasilitator dan evaluator.
Sedangkan lingkungan pendidikan haruslah lingkungan yang
kondusif untuk pengembangan pendidikan. Lingkungan pendidikan yang
dikonsepsikan al-Zarnuji adalah lingkungan persahabatan yang mendukung
lancarnya pendidikan dan kesungguhan belajar, dan sebaliknya harus
menjauhi lingkungan persahabatan yang tidak mendukung pendidikan.
Dalam bab ke-12 dalam kitab Ta`lim al-Muta`allim menjelaskan,
bahwa metode menghafal merupakan metode pokok dalam sistem
pendidikan, kekuatan akal dalam menangkap respon-respon dari luar
sangat penting dalam usaha pemahaman sesuatu makna. Hal ini terlihat
jelas dari deskripsi al-Zarnuji tentang kiat-kiat memperkuat hafalan dan
hal-hal yang harus dijauhi yang dapat merusak hafalan (penyebab
kelalaian). Usaha untuk memperkuat hafalan (dlabith, dalam istilah hadits)
dilakukan dengan cara tekun belajar, mengurangi makan, salat malam,
dan membaca Al-Quran. Dikatakan oleh l- Zarnuji: ,135
. Suatu cara yang efisien dan efektif untuk menghafalkan pelajaran
yaitu : Pelajaran hari kemarin diulang 5 kali, hari lusa 4 kali, hari
135
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’alim. Hlm. 41.
190
kemarin lusa 3 kali, hari sebelum itu 2 kali, dan hari sebelumnya lagi
satu kali. ,136
Cara lain yang dapat menguatkan hafalan adalah dengan makan
kundar (kemenyan) dicampur madu, makan 21 anggur merah setiap hari
tanpa air, dan apa saja yang dapat mengurangi dahak, bisa menguatkan
hafalan, dan sebaliknya jika apa saja yang menambah dahak akan
menyebabkan lemahnya hafalan seseorang.
Al-Zarnuji secara sederhana memberikan gambaran tentang hal-
hal yang menjadikan penyebab lemahnya hafalan seseorang ini
dijelaskan dalam fasal 12 adalah banyak berbuata maksiat, banyak berbuat
dosa dan banyak memikirkan masalah uniawi. Hal ini dijelaskan oleh al
Zanuji sebagai berkut: 137
“Penyebab lupa adalah laku maksiat, banyak dosa, gila dan
gelisah karena urusan dunia. Seperti telah kami kemukakan di
atas, bahwa orang yang berakal itu jangan tergila-gila dengan
perkara dunia, karena akan membahayakan dan sama sekali tidak
ada manfaatnya. Gila dunia tak lepas dari akibat kegelapan hati,
sedang gila akhirat tak lepas dari akibat hati bercahaya yang akan
tersakan di kala shalat. Kegilaan dunia akan menghalangi berbuat
136
Ali As`ad, Hlm. 97. 137
Syekh al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’alim. Hlm. 42.
191
kebajikan, tetapi kegilaan akhirat akan membawa kepada amal
kebajikan.” 138
Penyebab lainya menurut beliau adalah makan ketumbar basah,
makan apel yang kecut, melihat orang yang disalib, membaca tulisan di
kuburan, melewati barisan unta, membuang kutu hidup di tanah dan cantuk
(melukai di bagian tengkuk kepala untuk menghilangkan rasa pusing).
Semua penyebab hapalan tersebut masih harus dikaji lagi kebenaranya
sesuai dengan perkembangan masyarakat modern saat ini yang semua alat
atau media pendidikan saat ini sudah semakin canggih.
B. Relevansi Dan Aktualisasi Etikan Murid Dalam Pendidikan Akhlak
menurut al-Zarnui Terhadap Pendidikan Islam Sekarang
Setelah mengkaji konsep pendidikan akhlak al-Zarnuji yang
tertuang dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim tersebut, maka dapat dikatakan
selaras dengan tujuan pendidikan Nasioanal yang tercantum dalam
Undang-undang Sikdiknas tahun 2003 pasal II tentang dasar, fungsi, dan
tujuan yang menyatakan bahwa:
“ Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri. Dan menjadi warga
yang demokratis dan bertanggung jawab “.139
Tujuan pendidikan Nasional salah satunya adalah membentuk
peserta didik memiliki akhlak yang mulia. Hal ini bertentangan dengan apa
138
Ali As`ad, Hlm. 97. 139
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional
(Sisdiknas), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Hlm. 23.
192
yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini. Lembaga pendidikan yang
seharusnya diarahkan untuk mendewasakan anak didik baik jasmani
maupun rohani, atau terciptanya pribadi yang utuh, dewasa dan cerdas
dalam pikiran dan tindakan, berubah menjadi alat Negara untuk mengejar
ketertinggalan-ketertinggalan dalam bidang pembangunan materi.
Pada dasarnya Pendidikan Agama Islam juga diberikan dengan
mengikuti tuntunan bahwa agama diajarakan kepada manusia dengan visi
untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah SWT. dan
berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur,
adil, berbudi pekerti, percaya diri, bertanggung jawab, bangga akan
kebudayaan sendiri, cinta dengan ilmu, baik personal maupun sosial.
Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang
sempurna (insan kamil), yaitu selalu berupaya menyempurnakan iman,
Islam, takwa dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan
keharmonisan kehidupan. Khususnya dalam memajukan bangsa yang
bermartabat. 140 Pendidikan akhlak di sekolah-sekolah dan madrasah-
madrasah di Indonesia pun mengadopsi dari ajaran-ajaran pendidikan
akhlak atau etika Syekh al-Zarnuji. Baik pendidikan akhlak kurikulum
KTSP maupun pendidikan akhlak kurikulum 2013 banyak berisi ajaran-
ajaran pendidikan akhlak yang ada dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim. Hal
itu berlaku dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 SD/MI, kelas 7 sampai
dengan kelas 9 SMP/MTs, dan kelas 10 sampai dengan kelas 12 SMA/MA. 140
Perangkat pembelajaran KTSP Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah
(MTS), Hlm. 3.
193
Hal itu dapat dilihat dari kurikulum-kurikulum, silabus-silabus dan buku-
buku yang digunakan di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah.
Untuk mengembalikan fungsi dan tujuan pendidikan, konsep
pendidikan yang tertuang dalam kitab Ta`lim al-Muta`allim karya al-
Zarnuji ini juga bagus untuk diterapkan dalam dunia pendidikan saat ini,
baik dari segi tujuan pendidikan dan juga kurikulum yang ditawarkan oleh
beliau. Banyak sekali hal-hal yang yang masih relevan untuk diterapkan
dalam dunia pendidikan saat ini, meskipun ada beberapa pendapat beliau
yang sudah tidak relevan lagi. Hal ini bisa diketahui dari analisis konsep
pendidikan al-Zarnuji dalam kitabnya dan cukup banyak yang masih
relevan dan baik untuk diajarkan kepada peserta didik dan ditanamkan
sejak dini pada saat ini maupun untuk masa yang akan datang. Misalnya
ketaatan pada guru dan orang tua pada tingkat awal pendidikan perlu
ditanamkan untuk pembinaan sikap dalam menaati hukum yang pada
dasarnya adalah masalah mengajarkan ketaatan terhadap norma,
bersungguh-sungguh dalam belajar, tawakkal, cinta ilmu, menjaga diri dari
perkara-perkara yang syubhat, memilih teman yang baik, dan masih
banyak lagi hal-hal yang masih relevan untuk diterapkan dalam dunia
pendidikan pada saat ini dan bahkan di masa yang akan datang. Dengan
demikian anak didik akan menjadi manusia- manusia yang tawadlu, sopan
santun, cinta ilmu, manusia yang shaleh secara individual dan sosial.
Mereka tidak akan melakukan sesuatu yang akhirnya akan merugikan
orang secara individual atau masyarakat. Sangatlah sulit membentuk
194
kepribadian seperti ini, kecuali sejak masa kanak-kanak telah ditanamkan
kepercayaan ini secara emosional dan intelektual.
Adapun aktualisasi dari pemikiran al-Zarnuji tersebut dapat dilakukan
dengan berbagai cara dan oleh berbagai pihak baik murid, orang tua murid,
guru, dan tenaga kependidikan lainnya dengan cara memperbaharui teknik
pengajaran akhlak yang sesuai dengan kemajuan teknologi canggih dan
modern. Hal ini harus selalu disesuaikan dan diperhatikan dengan situasi,
kondisi lingkungan sekolah, sosial siswa yang meliputi :
1. Murid
a. Memperhatikan kemuliaan, kehormatan dan kewibawaan guru, sehingga
hubungan antara guru dan murid dapat berjalan secara harmonis.
b. Memperhatikan konsenstrasi dan suasana belajar mengajar di dalam
kelas.
c. Sopan santun dan tata krama dalam pergaulan sehari-hari.
2. Orang tua Murid
a. Meningkatkan perhatian pada anak/murid dengan meluangkan waktu
untuk memberikan bimbingan, keteladanan dan pembiasaan yang baik.
b. Berusaha menciptakan rumah tangga yang harmonis, tenang dan tentram,
sehingga anak akan merasa tenang jiwanya, dan dengan mudah akan
dapat diarahkan kepada hal-hal yang positif.
c. Memberikan pendidikan akhlak dan menanamkan sikap saling
menghormati dan sopan-santun terhadap anak sejak dini sehingga anak
akan terbiasa dan dengan demikian akan berimplikasi terhadap sikap
195
anak kepada orang tua dan gurunya, yaitu menghormati dan memuliakan
mereka.
d. Selalu mengontrol dan memonitor kegiatan dan perkembangan anak baik
di luar sekolah maupun di sekolah yaitu dengan menjalin tali silaturrahmi
antara guru dan orang tua. Sebab dengan membina hubungan antara guru
dan orang tua secara tidak langsung juga memberikan kontribusi bagi
suksesnya belajar anak di sekolah dimana orang tua dapat memantau
perkembangan anaknya melalui gurunya.
3. Guru
a. Menerapkan pendekatan modelling yaitu guru hendaknya bertindak
sebagai suri tauladan bagi kehidupan akademis bagi semua muridnya,
baik di dalam maupun di luar kelas yang tercermin dalam ucapan dan
tingkah laku sehari-hari, sehingga dengan sendirinya peserta didik akan
menghormatinya.
b. Menunjukkan sikap kasih sayang kepada murid, antusias dan ikhlas
mendengar atau menjawab pertanyaan serta menjauhkan sikap emosional
dan feodal seperti cepat marah dan tersinggung, karena pertanyaan siswa
sering disalahartikan dengan mengurangi kewibawaannya serta
mengupayakan iklim dialogis/ interaktif di dalam kelas.
c. Memberikan pendidikan agama dan budi pekerti serta membiasakan
murid bersikap dan bertindak baik secara terus menerus dan konsisten.
4. Tenaga Kependidikan lain.
196
a. Menciptakan lingkungan sekolah yang bernuansa religius seperti
pembiasaan shalat berjamaah, menegakkan disiplin, memelihara
kebersihan, ketertiban, kejujuran, tolong-menolong, hormat-
menghormati, sopan santun dan sebagainya, sehingga nilai-nilai agama
menjadi kebiasaan tradisi dan budaya seluruh peserta didik.
b. Memberikan peringatan dan penindakan apabila ada sikap dan perilaku
baik peserta didik maupun guru yang kurang terpuji atau menyimpang
dari nilai-nilai etika dan norma-norma agama.
Apabila semua pihak tersebut di atas dapat menjalankan peranannya
dengan baik, maka akan tercipta hubungan yang harmonis antara guru,
murid, orang tua dan tenaga kependidikan yang lain. Hubungan guru dan
murid adalah dekat yang berlaku atas dasar saling memberi dan menerima,
akan tetapi kedekatan tersebut juga bukan kedekatan tanpa batas yang
mengabaikan nilai-nilai etika dan kesopanan dalam hubungan sosialnya,
sehingga dapat menghilangkan kewibawaan guru di depan murid dan
lunturnya rasa hormat murid terhadap guru. Nilai-nilai etika yang
disarankan oleh al-Zarnuji yang cukup beberapa perintah atau anjuran
kepada siswa untuk selalu belajar, kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan
tercela, larangan mempelajari ilmu perdukunan, mengenai niat dalam
menuntut ilmu, sifat tawadlu, cara memilih guru, memilih guru dan
menerima nasehat yang baik.141
141
Moch Muizzudin, 2012. Etika Belajar dalam Kitab Ta`limul Muta`allim. Jurnal.
agibmz@gmail. com.
197
Nilai-nilai etika lain menurut Iman al-Zarnuji yang terdapat dalam
kitab Ta`limul Muta`allim antara lain yang berkaitan dengan karakter peserta
didik dari 13 bab tersebut dapat dianalisa dan disimpulkan, yaitu anjuran untuk
bermusyawarah, sabar, tabah dan tekun, anjuran untuk bersikap berani, tidak
menuruti hawa nafsu, mencari teman yang baik, menghormati ilmu dan guru,
bersungguh-sungguh dalam belajar, banyak mengulangi pelajaran yang sudah
diajarkan, mencermati atau mendengarkan perkataan guru, selalu berusaha
sambil berdo`a, anjuran selalu berdiskusi, selalu bersyukur, selalu sabar tidak
mudah putus asa, senantiasa bertawakkal, saling mengasihi, tidak berprasangka
buruk, bersikap wara` dan memperbanyak shalat sunnah.
Dari beberapa nilai etika murid dalam pendidikan Islam tersebut baik
menurut al-Zarnuji dan Diknas. kesemua itu saling memberikan kontribusi bagi
arah dan pembentukan pola hubungan yang harmonis dan bernilai etis
humanitis tetapi juga tidak menghambat kreatifitas siswa sehingga tercipta
kondisi pendidikan yang berperadaban modern dengan tidak meninggalkan
nilai-nilai religius hasil karya ulama terdahulu yang selalu bertahan dan selalu
relevan dengan kondisi sistem Pendidikan Agama Islam (PAI) saat ini.
Berikut ini aspek-aspek materi pendidikan dan nilai-nilai yang
terkandung dalam konsep pendidikan etika atau akhlak menurut pemikiran
Syekh al-Zarnuji dalam kitab Ta`lim al-Muta`allim yang masih relevan dan
aktual untuk diterapkan dalam kondisi pendidikan Islam pada saat sekarang ini
dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
198
Tabel : 2
Relevansi dan Aktualisasi Pemikirana al-Zarnuji
dalam kitab Ta`lim al-Muta`allim.
No
Aspek Pendidikan al-Zarnuji Materi PAI
Nilai Etika
1
Akhlak
Cinta Ilmu
2 -
-
Akhlak
Cinta Ilmu
3
Keimanan
Religius
4
Tasawuf
Sosial
199
5
Akhlak
Sosial/
Pergaulan
6 *
*
Akhlak
Cinta ilmu
7
.
Akhlak Motivasi
8 *
Tasawuf
Sosial
9
.
Akhlak
Sopan
santun
200
. .
10 .
Akhlak
Religius
11
Akhlak
Sosial
12
Akhlak
Cinta ilmu
13
Akhlak
Motivasi
201
14
Tasawuf
Sosial
15
Akhlak
Motivasi
16
.
Akhlak
Religius
17
.
Akhlak
Sosial
18
Akhlak
Motivasi
202
Akhlak
Religius
20
Akhlak
Motivasi
21
Akhlak
Motivasi
22
Tasawuf
Sosial
23 Akhlak
Cinta Ilmu
203
24
Akhlak
Konsisten
25
Tasawuf Hemat
26
Akhlak Sosial
27
)(
.
Akhlak
Berdiskusi
28
Akhlak
Evaluasi
204
29
Taswuf
Juhud
205